Makalah Manajemen Pembelajaran Sains
Disusun Oleh :
Lia Safitri Manik (409321036)
Miftahul Husnah (409321037)
Sri Ulina Brutu (409321053)
Ulina Marito Sinaga (409321059)
Pendidikan Fisika Ekstensi 2009
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam
UNIMED
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas di mata kuliah Manajemen pembelajaran
sains. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen pembelajaran sains dan pengetahuan yang luas untuk kami para mahasiswa/i mata
kuliah tersebut.
Ucapan terimakasih penulis ucapakan kepada Bapak dosen yang bersangkutan
dibidang mata kuliah Manajemen pembelajaran sains yang telah menuntun kami dalam
mengerjakan makalah ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada teman – teman yang
telah ikut serta membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah kami ini tidak lah sempurna, oleh karena itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak Dosen dan teman-teman untuk
kesempurnaan makalah ini.
Hormat Kami
Kelompok 8
Pend. Fisika Ekstensi 2009
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I 1
Pendahuluan 1
Bab II 3
A. Komitmen 3
B. Kepuasan Kerja 8
Daftar Pustaka 13
BAB I
Pendahuluan
Keberadaan staf pengajar atau guru memberikan pengaruh yang besar dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik maka
diperlukan komitmen organisasional yang tinggi dari tiap elemen yang terkait terutama staf
pengajar.
Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah organisasi, karena
terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi kerja yang profesional.
Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas
yang sering mengikuti kata komitmen. Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan
komitmen mengandung makna yang confuse.
Loyalitas disini secara sempit diartikan sebagai seberapa lama seorang karyawan
bekerja dalam suatu organisasi atau sejauh mana mereka tunduk pada perintah atasan tanpa
melihat kualitas kontribusi terhadap organisasi. Muncul suatu fenomena di Indonesia bahwa
seorang karyawan akan dinilai loyal, bilamana tunduk pada atasan walaupun bukan dalam
konteks hubungan kerja. (Alwi, 2001).
Kesediaan staf pengajar untuk tetap hadir, aktif dan bertahan di lingkungan sekolah
dapat dikarenakan kepuasan yang dirasakannya terhadap pekerjaan dan organisasinya. Hal ini
sesuai dengan pen-dapat Juliandi (2004) bahwa tujuan organisasi dapat dicapai melalui
tingginya komitmen organisasional yang dipenga-ruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja
yang dirasakan seseorang diperoleh dari kondisi kerja yang kondusif, hubungan dengan rekan
kerja yang baik serta imbalan yang sesuai dengan jerih payah yang sudah dilakukan. Dapat
dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan
kinerja dan komitmen seseorang.
Karyawan yang termotivasi dalam bekerja adalah karyawan yang memiliki tingkat
kepuasan yang tinggi dalam pekerjaannya. Perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja
karyawan karena hal ini akan mendorong kinerja dan loyalitas yang tinggi. Kepuasan kerja
karyawan akan mencegah kepindahan, menguatkan motivasi, dan meningkatkan kontribusi
karyawan, serta menghindari stres pemicu konflik di kantor maupun di rumah. Pada akhirnya,
karyawan yang puas dalam pekerjaannya akan menguntungkan perusahaan dan juga keluarga
dari karyawan yang puas.
Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya
tugastugas yang menjadi tanggung jawab guru tersebut secara tepat waktu, disamping itu
munculnya dedikasi, kegairahan, kerajinan, ketekunan, inisitif dan kreativitas kerja yang
tinggi dalam bekerja. Kepuasan kerja guru menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan,
apabila guru merasakan kepuasan dalam dalam bekerja, maka akan tercipta suasana yang
penuh kebersamaan, memiliki tanggung jawab yang sama, iklim komunikasi yang baik dan
juga semangat kerja yang tinggi sehingga tujuan organisasi atau sekolah dapat tercapai secara
maksimal. Tetapi sebaliknya apabila guru tidak merasa puas, maka akan tercipta suasana yang
kaku, membosankan, dan semangat tim yang rendah.
Banyak usaha yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan kepuasan kerja guru.
Diantaranya adalah dengan melengkapi dan menyiapkan berbagai sarana dan prasarana yang
diperlukan guru dalam mengajar, memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan,
pelatihan dan penataran, mempermudah usulan kenaikan pangkat, serta secara bertahap
pemerintah pusat dan daerah telah memberikan peningkatan kesejahteraan seperti gaji ke 13,
dan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah dan lain sebagainya. Namun, usaha yang
sudah dilaksanakan tampaknya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
BAB II
Kepuasan Kerja Dan Komitmen Tenaga Pengajar
Menurut Stephen P. Robbins mengatakan bahwa keterlibatan pekerjaaan yang
tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen
organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.
Dalam organisasi sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung
dengan siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu menjalankan
kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen yang kuat
terhadap sekolah tempat dia bekerja.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi
dan manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional (organizational
commitment). Konstruk ini dikaitkan pada pentingnya kinerja yang dihasilkan dan
perputarannya (Hom and Griffeth, 1995). Ketika konstruk komitmen organisasional banyak
diperhatikan dalam literatur psikologi dan manajemen, maka hal ini juga menjadi penting
dalam bidang yang menyangkut teknologi dan pengembangannya, sehingga pihak manajemen
di bidang ini mulai memfokuskan perhatiannya pada konstruk komitmen organisasional ini.
Steers dan Salancik (1991) walaupun tidak secara tegas mengatakan bahwa
komitmen berpengaruh terhadap kepuasan kerja, namun dalam situasi hubungan pekerja dan
organisasi yang begitu kompleks beberapa aspek kepuasan kerja dapat dipenuhi melalui
manifestasi komitmen terhadap organisasi. Model hubungan sebab akibat komitmen
organisasi yang bersifat lingkaran umpan balik,pada situasi tertentu dapat menjelaskan
hubungan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja.
A. Komitmen
Pada dasarnya definisi atau pengertian komitmen telah banyak dikemukakan para
ahli. Komitmen merupakan “ikatan psikologis” dengan sebuah organisasi (Gruen cs. 2000
dalam Bansal et.al 2004). Komitmen juga merupakan sikap yang menuntun atau menengahi
respon nyata seseorang atau niat perilaku seseorang terhadap suatu benda (Ajzen dan Fishbein
1970 dalam Bansal et.al 2004). Bansal, Irving dan Taylor (2004)
mendefenisikan komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan
yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Buchanan (1997)
menyebutkankomitmen menyangkut tiga sikap yaitu rasa pengidentifikasian dengan tujuan
organisasi, rasa keterlibatan dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Sementara Robbins (2001)
menyebutkan komitmen adalah tingkatan di mana seseorang mengidentifikasikan diri dengan
organisasi dan tujuantujuannyua dan berkeinginan untuk memelihara keanggotaannya dalam
organisasi.
Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa komitmen memiliki
arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilainilai perusahaan, di mana
individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di
perusahaan tersebut.
Park (dalam Ahmad dan Rajak, 2007) menjelaskan, komitmen guru merupakan
kekuatan bathin yang datang dari dalam hati seorang guru dan kekuatan dari luar itu sendiri
tentang tugasnya yang dapat memberi pengaruh besar terhadap sikap guru berupa tanggung
jawab dan responsive (inavotif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
1. Dimensi Komitmen
Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi,
yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai
komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, daripada jenis-jenis komitmen
berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasi
mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut.
Komitmen afektif (Affective commitment)
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di
organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi
anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu (Allen & Meyer,
1997).
Komitmen kontinyu (Continuance commitment)
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan
mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka
memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Komitmen normatif (Normative commitment)
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada
dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus
menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi
tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Cut Zurnali (2010) mendefinisikan masing-masing dimensi komitmen organisasional
tersebut sebagai berikut:
a) Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaaan cinta pada organisasi yang
memunculkan kemauan untuk tetap tinggal dan membina hubungan sosial serta
menghargai nilai hubungan dengan organisasi dikarenakan telah menjadi anggota
organisasi.
b) Komitmen kontinyu (continuance commitment) adalah perasaan berat untuk
meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan
biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan
partisipasi di dalam organisasi.
c) Komitmen normatif (normative commitment) adalah perasaan yang mengharuskan
untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap
organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai dan keyakinan karyawan.
2. Pembentukan Komitmen
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor, baik
dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya affective
commitment, continuance commitment, dan normative commitment , masing-masing
memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 1997).
- Proses terbentuknya Affective commitment
Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut yaitu :
Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan
affective commitment adalah sistem desentralisasi (bateman & Strasser, 1984; Morris &
Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan
organisasi kepada individu (Allen & Meyer, 1997). Dalam penelitian ini karakteristik
organisasi gereja yang dilihat adalah aliran gereja yang digunakan, bagaimana praktek
kelompok sel dalam gereja tersebut dan bagaimana kedudukan kelompok sel sebagai strategi
gereja.
Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender
mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian
(Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu usia juga
mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment, meskipun tergantung dari
beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer, 1993), organizational tenure (Cohen;
Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan,
kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya
(Allen & Meyer, 1997)
Pengalaman Kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses
terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik yang
menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980 dalam Allen &
Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan
variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu peran individu dalam organisasi
tersebut (Mathieu & Zajac, 1990 dalam Allen & Meyer, 1997) dan hubungannya dengan
atasan. Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang dilakukannya
dalam gereja tersebut dan juga interaksinya dengan anggota gereja lain seperti pemimpinnya.
- Proses terbentuknya Continuance commitment
Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau
kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan
atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu
proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang
harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah
kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana
individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi
mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997).
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi gereja berbeda dengan
organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan
khas gereja dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari
organisasi profit biasa.
- Proses terbentuknya Normative commitment
Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment terhadap
organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses
sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke
dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi
memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali
(Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak
psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen &
Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa
masing-masing akan timbal balik memberi.
3. Meningkatkan Komitmen Guru Dan Karyawan
Secara umum tujuan sekolah adalah memberi bekal pengetahuan, keterampilan, nialai-
nilai dan sikap kepada peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dan
bekal hidup di masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut semua komponen yang ada di
sekolah harus dikelola sedemikian rupa sehingga semua berfungsi secara
optimal. Karyawan/pegawai merupakan salah satu komponen penting, bahkan paling penting
di sekolah karena semua komponen lain hanya dapat digerakkan oleh guru/karyawan.
Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, guru/karyawan atau orang-orang
yang bekerja di sekolah merupakan salah satu elemen kunci yang penting untuk meraih
kesuksesan dalam mencapai tujuan. Karena itu, pengelolaan sumber daya manusia bagi
sekolah yang ingin unggul dibanding sekolah-sekolah lain merupakan bagian penting dari
praktik-praktik manajemen strategik sekolah. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam
rangka memberdayakan sumber daya manusia ini adalah dengan memberikan motivasi
kepada para karyawan agar mereka dapat bekerja secara optimal.
Dari aspek guru, proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektivitas tinggi apabila
proses ini diawali dengan perbaikan kinerja guru dalam menangani pembelajaran-
pembelajaran yang inovatif. Guru merupakan faktor kunci dalam proses pendidikan umumnya
dan proses pembelajaran khususnya. Apa pun kurikulum dan sarana yang dimiiki sekolah,
pada akhirnya gurulah yang menggunakan dalam proses pendidikan. Kemampuan kerja guru
yang ditunjang dengan komitmen kerjanya yang tinggi akan muncul dalam ujud kinerja guru
yang baik, yaitu guru yang mampu membimbing siswa dalam belajar dan meningkatkan hasil
belajar siswanya. Sehingga apa pun kemampuan kerja guru, kalau komitmen kerjanya rendah,
kineja profesionalnya juga akan rendah.
Kompetensi dan komitmen merupakan kombinasi yang membentuk sinergi tinggi
apabila didukung oleh kebijakan manajemen yang memberi peluang yang kompetitif bagi
setiap individu dalam organisasi untuk berprestasi dan memperoleh kompensasi yang
seimbang atas prestasi yang mereka capai.
Salah asatu cara untuk meningkatkan komitmen guru / karyawan adalah dengan cara
pendekatan personal oleh pemimpin/ kepala sekolah “Pendekatan Personal (Personal
Approach)” adalah suatu strategi pendekatan yang bersifat orang per orang. Pendekatan
dilakukan oleh pemimpin terhadap guru-guru yang kinerjanya rendah secara perorangan
dengan tujuan guru yang di minta meningkatkan kinerja tidak merasa dipaksa atau diperintah,
tetapi merasa adanya perhatian dari pimpinnan sehingga akan timbul kesadaran secara pribadi
untuk melakukan apa yang menjadi tuntutan organisasi. Hal ini perlu di pahami oleh
pimpinan bahwa manusia sebagai SDM memiliki criteria dan karakter yang berbeda-beda.
“Pimpinan/Kepala” Sekolah adalah guru yang karena mempunyai criteria tertentu
maka oleh pemerintah di beri tugas tambahan untuk memimpin rekan-rekan dalam suatu
sekolah tanpa menghilangkan tugas pokoknya sebagai guru.
B.Kepuasan Kerja
Salah satu sumber daya yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan di SMA
adalah guru. Unsur ini merupakan key person dalam proses pembelajaran khususnya dan
umumnya dalam pencapaian tujuan pendidikan. Keberhasilan guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran terkait dengan permasalahan yang dihadapi guru, salah satunya adalah faktor
kepuasan kerja. Kepuasan kerja guru perlu mendapatkan perhatian yang serius dari
pihakpihak terkait karena faktor ini sangat erat hubungannya dengan pencapaian tujuan dan
kelancaran aktivitas pembelajaran. Guru yang merasa puas dalam bekerja akan bekerja
dengan baik, karena kepuasan kerja itu memungkinkan timbulnya kegairahan, ketekunan,
kerajinan, inisiatif dan kreativitas kerja. Hal ini pada akhirnya akan menghasilkan kualitasdan
produktivitas kerja yang tinggi.
Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugas-
tugas yang menjadi tanggung jawab guru tersebut secara tepat waktu, disamping itu
munculnya dedikasi, kegairahan, kerajinan, ketekunan, inisitif dan kreativitas kerja yang
tinggi dalam bekerja. Kepuasan kerja guru menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan,
apabila guru merasakan kepuasan dalam dalam bekerja, maka akan tercipta suasana yang
penuh kebersamaan, memiliki tanggung jawab yang sama, iklim komunikasi yang baik dan
juga semangat kerja yang tinggi sehingga tujuan organisasi atau sekolah dapat tercapai secara
maksimal. Tetapi sebaliknya apabila guru tidak merasa puas, maka akan tercipta suasana yang
kaku, membosankan, dan semangat tim yang rendah.
1. Pengertian Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap
individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai
dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.
Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja.
Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan
luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepusasan kerja yang dinikmati dalam
pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan
suasana lingkungan kerja yang baik. Guru yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam
pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu
penting.
Secara sederhana, definisi kepuasan kerja merupakan kepuasan yang dirasakan
seorang pekerja secara individual melalui perbandingan antara input yang digunakan dan
hasil yang diperoleh apakah sesuai dengan yang diharapkan. Robbins and Judge (2009)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan sebagai hasil
evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.
Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi bahwa pekerjaannya memenuhi
nilai-nilai pekerjaan yang penting . Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.
Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu
seseorang dapat secara relative dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak
puas dengan satu atau berbagai aspek . Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson and
Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif
dan menyenangkan sebagai hasil dari penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan
seseorang .
2. Dimensi Kepuasan Kerja
Celluci dan De Vries (1978) dalam Fuad Mas’ud(2004) merumuskan dimensi-dimensi
kepuasan kerja dalam 5 dimensi sebagai berikut:
a) Kepuasan dengan gaji.
b) Kepuasan dengan promosi.
c) Kepuasan dengan rekan kerja.
d) Kepuasan dengan penyelia.
e) Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri.
3. Meningkatkan Kepuasan Kerja Guru Dan Karyawan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan. Menurut Gilmer ada beberapa hal
yang mempengaruhi kepuasan kinerja:
a. Kesempatan untuk maju
b. Keamanan kerja
c. Gaji
d. Perusahaan dan manajemen
e. Faktor intrinsik dan pekerjaan
f. Kondisi kerja
g. Aspek social dalam pekerjaan
h. Komunikasi dan
i. Fasilitas
Sedangkan Heidjrachman dan Husnan juga mengemukakan hal yang hampir sama,
bahwa beberapa faktor di bawah ini adalah kebutuhan dan keinginan pegawai:
a. gaji yang baik
b. pekerjaan yang aman
c. rekan sekerja yang kompak
d. penghargaan terhadap pekerjaan
e. pekerjaan yang berarti
f. kesempatan untuk maju
g. pimpinan yang adil dan bijaksana
h. pengarahan dan perintah yang wajar
i. organisasi atau tempat kerja yang dihargai oleh masyarakat
Menurut Loeke (dalam Sule, 2002: 211), kepuasan atau ketidakpuasan guru dan
karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang diharapkan. Apabila yang didapat guru
dan karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan guru dan karyawan
tidak puas. Begitu juga sebaliknya, apabila yang didapat guru dan karyawan lebih tinggi dari
pada yang diharapkan, secara otomatis akan meningkatkan kepuasan kerja guru dan
karyawan. Disamping itu ada beberapa hal yang mesti dijadikan pondasi bagi setiap
manajemen untuk bisa menciptakan kinerja yang maksimal diantaranya :
a. Pimpinan harus mengetahui betul bagaimana teknik pengerjaan
b. Pimpinan harus mengetahui betul bagaimana kendala-kendala yang dihadapi
b. Pimpinan harus turun langsung kelapangan,tujuannya agar menciptakan hubungan
baik antar manajemen dengan guru dan karyawan
c. Pimpinan harus bisa memahami bagaimana tingkat kesulitan dari setiap proses
d. Pimpinan harus bisa menemukan teknik agar produktivitas bisa berjalan dengan
e. Baik
Ada pun juga sikap yang harus diambil dalam setiap manajemen Johan, R. (2002) :
a. Siap
b. Siaga
b. Cepat
c. Tanggap
d. Laksanakan
Itulah yang bisa meningkatkan bagaimana efektifitas waktu yang akan ditempuh
dalam satu hari bekerja sehingga meningkatkan mutu efisiensi waktu dalam bekerja dan
manajemen harus bisa menciptakan metode bekerja dengan baik dan bawahan merasa nyaman
dalam metode yang ditemukan tersebut.Tidak dapat dipungkiri jika salah saja metode pada
pihak manajemen maka akan berdampak pada kinerja bawahan sehingga bawahan akan trus
selalu mengikuti metode yang telah diberikan oleh atasan. Suryabrata, S. (2002)
Jika suatu atasan menginginkan produktivitas meningkat maka pikah manajemen terkait mesti
melakukan adanya perombakan sistem metode kerja, guru dan karyawan akan puas dalam
bekerja tanpa adanya tekanan yang berdampak pada pisikologis bagi guru dan karyawan. Hal
demikian akan terjalin hubungan antara manajemen dengan guru dan karyawan.
Ramlan Ruvendi ( 2005: 17) menyebutkan bahwa indikator kepuasan atau
ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya : 1) jumlah
kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran, 2) perasaan senang atau tidak senang dalam
melaksanakan pekerjaan, 3) perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan, 4) suka
atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya, 5) sikap menolak pekerjaan atau menerima
dengan penuh tanggung jawab, 6) tingkat motivasi para pegawai yang tercermin dalam
perilaku pekerjaan, 7). reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan organisasi, dan 8) unjuk
rasa atau perilaku destruktif lainnya.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya kepuasan yaitu:
1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan).
Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan
yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Discrepancies (perbedaan).
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan.
Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh
individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan
tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat
diatas harapan.
3) Value attainment (pencapaian nilai).
Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi
pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4) Equity (keadilan).
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil
individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa
perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan
dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.
5) Dispositional/genetic components (komponen genetik).
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja,
sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa
kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model
menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan
kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
Daftar Pustaka
Asfiati, 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Kepala sekolah Kantor
Departemen Agama Kabupaten Tapanuli. Tesis, Padang: PPS UNP Padang.
Aditya, Risky. 2011, Kepuasan Kerja Guru: Studi Deskriptif Pada Guru SLB Kota
Medan,Medan: USU Press.
Cut Zurnali, 2010, "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan
Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya
Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press, Bandung
Fraser, T.M. 1992. Stres dan kepuasan kerja (Terjemahan Mulyana, L.) Jakarta: Pustaka
Binaa Pressendo.
Robbins, S.P., and T.A., Judge, 2009, Organizational Behavior, Pearson Prentice Hall,
United State Of America, New York, hal. 113
http://chanatha.wordpress.com/2010/01/04/kepuasan-kerja/
http://id.shvoong.com/business-management/management/2190790-pengertian-komitmen/
#ixzz2LrYjJFs1
Top Related