KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN
(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia&Tunisia)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
YA` RAKHA MUYASSAR
NIM: 1112044100018
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2016 M
v
ABSTRAK
Ya` Rakha Muyassar, NIM 1112044100018, Kebebasan Wanita Dalam Peraturan
Perkawinan (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia & Tunisia).
Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M. x + 77
halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan
perkawinan di Indonesia dan Tunisia, apa yang mempengaruhi pembentukan ketentuan
mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia, apa
persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan
Tunisia.
Penelitian ini menggunakan metode Library Research, dengan meneliti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Majallah al-
Ahwal al-Syakhsiyyah No. 39 Tahun 2010, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-
tulisan ilmiyah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.
Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan. Adapun analisis data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah analisis komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Diantaranya di Tunisia wali sudah tidak lagi
menjadi rukun/syarat dari sebuah perkawinan sedangkan di Indonesia masih. Faktor mengapa
terjadi perbedaan tersebut diantaranya dari segi perbedaan mazhab yang dianut. Tunisia
menganut mazhab Maliki dan Hanafi salah satunya tertera pada pasal 3 Majallah al-Ahwal al-
Syakhsiyyah No. 39 Tahun 2010 tentang perwalian yang menggunakan mazhab Hanafi
bahwa wali bukan merupakan rukun/syarat perkawinan. Sedangkan Indonesia menganut
mazhab Syafi`i seperti tertera pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam untuk melangsungkan
perkawinan harus ada wali.
Kata Kunci : Kebebasan Wanita dalam Peraturan Perkawinan di
Indonesia dan Tunisia
Pembimbing : Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D
Daftar Pustaka : 1957 sampai 2016
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
serta nikmat-Nya, baik nikmat jasmani maupun rohani sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat beriringkan salam semoga selalu terlimpah
curahkan kepada junjungan kita, nabi besar kita serta suri tauladan kita, yaitu baginda
rasulullah, Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman ilmiyah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua termasuk dari ummat
beliau yang akan mendapatkan syafaat darinya di hari kiamat nanti. Aaamiin.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis
temukan, tapi subhanallah walhamdulillah berkat rahmat dan hidayah dari-Nya, dan
berkat kesungguhan, kerja keras, do`a serta bantuan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-
baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim M.Ag dan Bapak Arif Furqan MA selaku Ketua
Progam Studi dan Sekertaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Peradilan Agama
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.
5. Bapak Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D. selaku dosen pembimbing penulis
yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya selama menjadi pembimbing
penulis.
6. Pimpinan dan staf perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan dan penyediaan buku-
bukunya.
7. Bapak dan mama tercinta Bapak Ya` Samsuddin S.T dan Ibu Hj. Dwi Sulastri S.H
yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi, support dan do`anya
serta tidak bosan-bosannya memberikan semangat untuk terus belajar dan
menyelesaikan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan
studinya di perguruan tinggi negeri ini.
8. Untuk pendamping hidupku Ridha Amaliah yang selalu setia menemani penulis
selama penulisan skripsi ini dan selalu memberikan support, do`a dan alfatihah
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan selesai.
9. Teman-teman Peradilan Agama seperjuangan dan para sahabatku M. Faqih
Rahman, Giyasuddin Fikri, Muharrom Ihsan Sofa, Ahmad Mubarok, Abdullah
Ramadhan, Ray Fuad Zein, Rivaldi Fahlepi, Adit, Toching, dll yang selalu
menemani dan membantu penulis dalam suka maupun duka serta tidak pernah
bosan dalam memberikan support, do`a dan alfatihah kepada penulis.
viii
Semoga amal baik mereka semua dibalas dengan balasan yang berlipat-lipat
ganda oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik
serta saran atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis bertanggung jawab
sepenuhnya sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
Jakarta, 23 Oktober 2016
Ya` Rakha Muyassar
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11
D. Review Studi Terdahulu 12
E. Metode Penelitian 13
F. Sistematika Pembahasan 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM
PERKAWINAN
A. Pengertian Wali 17
B. Kebebasan Wanita Dalam Perkawinan Menurut Imam Mazhab 21
1. Wali Merupakan Rukun Nikah 22
2. Wali Bukan Merupakan Rukun Nikah 27
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Gambaran Umum 37
1. Gambaran Umum Hukum Islam Di Indonesia 37
2. Gambaran Umum Hukum Islam Di Tunisia 41
B. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan
Tunisia 51
1. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia 51
2. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Tunisia 55
x
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KEBEBASAN WANITA DALAM
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan
Di Indonesia Dan Tunisia 59
B. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Ketentuan
Mengenai Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di
Indonesia Dan Tunisia 65
C. Persamaan Dan Perbedaan Kebebasan Wanita Dalam Peraturan
Perkawinan Di Indonesia Dan Tunisia 67
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 70
B. Saran-saran 72
DAFTAR PUSTAKA 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20
adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (baik itu mengenai
perkawinan, perceraian, warisan, dll) di negara-negara berpenduduk
mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir
1920, Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia
1974.1 Sampai pada tahun 1996 di negara timur tengah misalnya hanya
tinggal lima negara yang belum memperbaharui hukum keluarganya,
bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draft yakni
Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain, dan Oman.2
Adapun bentuk pembaharuan yang dilakukan berbeda antara satu
negara dengan negara lain. Pertama, kebanyakan negara melakukan
pembaruan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada beberapa negara
yang melakukannya dengan berdasarkan dekrit (raja atau presiden), seperti
Yaman Selatan dengan dekrit raja tahun 1942,3 dan Syiria dengan dekrit
1 M. Atho` Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.1. 2 Dawoed El Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of
The Arab World, (London: The Hague, Boston Kluwer Law International, 1996), h.4. 3
Kiran Gupta, “Polygamy-Law Reform in Modern Muslim States; A Study in
Comparative law”, Islamic and Comparative Law Review, vol. xii, no. 2 (Summer 1992), h.127.
2
presiden tahun 1953.4 Ketiga, ada negara yang usaha pembaharuannya
dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudha),
seperti yang dilakukan Sudan.5
Sejumlah negara melakukan pembaharuan hukum keluarga secara
menyeluruh yang di dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan
warisan, sementara itu sejumlah negara lain membatasi hanya pada
perkawinan dan perceraian. Bahkan ada negara yang melakukan
pembaharuan dengan cara setahap demi setahap, yang dimulai dengan satu
aturan tertentu, seperti keharusan pencatatan perkawinan dan perceraian,
serta siapa yang berhak mencatatkan perkawinan dan perceraian,
kemudian diteruskan dengan aturan lain yang masih dalam soal
perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan lagi dengan aturan yang
berhubungan dengan masalah waris.6
Dari sisi tujuannya, ada negara yang melakukan pembaharuan
hukum keluarga dengan tujuan untuk terciptanya unifikasi hukum.
Unifikasi inipun masih dikelompokkan minimal menjadi tiga kelompok.
Pertama, unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara tanpa
memandang agama, misalnya kasus yang berlaku di Tunisia.7 Kelompok
kedua, unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam
4 J. N. D. Anderson, “The Syrian Law of Personal Status”, Bulletin in the School of
Oriental and African Studies, no. 17 (1955), h.34. 5 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (New Delhi: The Indian
Law Institue, 1972), h.64. 6
Mhd. Abduh Saf, “Islam dan Hukum Keluarga dalam Islam”, Al-Hukama`: The
Indonesian Journal of Islamic Family Law, vol. 3, no. 01 (Juni, 2013), h.555. 7
J. N.D Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International And
Comparative Law Quarterly 7 (April, 1958), h.266.
3
sejarah muslim, yakni antara paham sunni dan shi`i, dimana Iran dan Irak
termasuk di dalamnya, karena di negara bersangkutan ada penduduk yang
mengikuti kedua aliran besar tersebut. Ketiga, kelompok yang berusaha
memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya ada pengikut
mazhab-mazhab yang bersangkutan. Keempat, unifikasi dalam satu
mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Hanafi, Maliki, Syafi`i
atau Hambali.8
Baik pembaharuan hukum yang bertujuan untuk penyatuan hukum
maupun untuk meningkatkan status wanita, keduanya tidak dapat
dilepaskan dari adanya tuntutan zaman modern. Dari sudut isi,
pembaharuan yang dilakukan ada yang tidak jauh berbeda apabila
dibandingkan dengan konsep imam mazhab, tetapi banyak juga aturan
hukum modern yang cukup jauh beranjak dari konsep fikih konvensional.9
Dan dari sisi metode yang digunakan dalam melakukan pembaruan
dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni pertama
dengan menggunakan metode talfiq yakni dengan menggabungkan
pendapat dua atau lebih mazhab dalam fikih, baik pandangan yang
digabungkan antar mazhab populer maupun salah satu diantaranya dari
pandangan pribadi tokoh. Kedua, menggunakan metode takhayur yakni
dengan memilih dan menyeleksi salah satu pandangan imam mazhab yang
lebih sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, dengan menggunakan siyasah
8 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2004), h.162. 9 M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.8.
4
shari`ah. Keempat, berusaha menafsirkan kembali teks nash untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan modern.10
Dalam teorinya Tahir Mahmood membagi penerapan hukum
keluarga pada negara-negara (berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk :
(1) Negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang
banyak di jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia,
Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia,
dan lain-lain. (2) Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam
kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina
dan Uni Sovyet. Bagi negara berpenduduk mayoritas muslim, mengganti
hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa (Turki dari
Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi harus tunduk
pada aturan hukum negaranya. (3) Negara yang menerapkan hukum
keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei,
Singapore, dll.11
Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum keluarga dalam
proses transformasi hukum keluarga yaitu: pembatasan umur perkawinan,
wali nikah, pencatatan nikah, aspek biaya dalam perkawinan, seperti
mahar dan biaya nafkah, poligami dan hak istri, pemeliharaan terhadap
10
Lihat dan bandingkan dengan John L. Esposito, Women in Muslim Family Law
(Syracuse: Syracyuse University Press, 1982), h.94; David Pearl dan Warner Menski, Muslim
Family Law, edisi ke-3 (London: Sweet & Maxwell, 1998), h.21; J. N. D. Anderson, “Modern
Trends in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, International and
Comparative Law Quarterly, 20 (Jan. 1971), h.12; Noel J. Coulson, “Reform of Family Law in
Pakistan”, Studia Islamica, no. 7 (1957), h.141. 11
Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. TRIPATHI,
PVT. LTD, 1972), h.3.
5
istri dan keluarga selama perkawinan, perceraian, nafkah istri setelah cerai,
masa iddah, hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan anak, hak waris,
wasiat wajibah dan wakaf.12
Dari permasalahan hukum keluarga di atas,
masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda dalam
menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat serta dominasi mazhab
tertentu sering kali menjadi latar belakang untuk menentukan suatu
peraturan hukum perkawinan. Di antara perubahan-perubahan yang
penting dalam bidang hukum perkawinan salah satunya adalah wali
nikah.13
Sebuah perkawinanakan sah jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.
Di antara syarat-syarat tersebut adalah wali.14
Keterangan tersebut
berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah S.A.W. Adapun dalil
dari Alquran adalah firman Allah SWT :
Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma`ruf.” (Q.S. Al-Baqarah: 232)15
12
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, Text and Comparative
Analysis, (New Delhi: Academic of Law and Religion, 1987), h.11. 13
John J. Donohue & John L, Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-Masalah,
h.365. 14
Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007), h.156. 15
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), h. 37.
6
Memandang begitu pentingnya perkawinan maka para ulama
terdahulu merasa perlu untuk memperhatikan secara cermat lembaga
perwalian. Menurut mereka, keberadaan wali dalam perkawinan
merupakan hal penting, khususnya bagi perempuan dan anak-anak, untuk
memelihara kemaslahatan dan menjaga hak-hak mereka yang sering kali
diabaikan oleh kaum laki-laki, baik sebelum atau sesudah akad nikah.
Karena pentingnya masalah perwalian ini, para ulama membahasnya
secara rinci, dari pengertian wali, macam-macam wali, sampai dengan
urutan para wali secara hirarkis. Keberadaan wali yang dipandang lebih
berpengalaman dapat memilihkan pasangan yang sesuai dan paling baik
bagi mereka.16
Dalam pandangan empat mazhab fikih terdapat kesepakatan
(pendapat jumhur ulama) bahwa sebuah perkawinan dipandangan sah
menurut agama apabila disertai oleh wali. Akan tetapi di kalangan ulama
terdapat pandangan yang berbeda terhadap wali, mengenai sejauh mana
peran aktif perempuan dalam akad nikah, dan ini terkait dengan perbedaan
pendapat tentang apakah wali nikah tersebut merupakan syarat atau rukun
perkawinan.17
16
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),
h.187.
17
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung,
1975), h.53.
7
Menurut pandangan mazhab Maliki, Syafi`i dan Hanbali, wali
merupakan rukun dalam sebuah perkawinan, sehingga dianggap tidak sah
apabila perkawinan tidak memakai wali. Para ulama sepakat mengenai
untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang
kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah baligh, berakal
Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut
Imam Abu Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia
berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan
pendapatnya semula, yaitu perkawinan akan sah jika adanya wali baik
anak tersebut kecil, dewasa, baligh ataupun janda. Menurut mazhab
Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis,
sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi`i persetujuan hanya untuk
janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak
tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi perkawinan
yang akan dilangsungkan.18
Hubungannya dengan keberadaan wali dan kebebasan mempelai
wanita dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) harus ada wali atau
izin wali, (2) boleh nikah tanpa wali atau tanpa izin wali, (3) harus ada
persetujuan dari calon mempelai wanita, dan (4) ada (masih mengakui)
hak ijbar wali.19
18
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h.193. 19
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002),
h.187.
8
Status wali nikah dalam perundangan keluarga di negara muslim,
khususnya di Indonesia dan Tunisia, dilatarbelakangi oleh adanya anutan
masyarakat akan konsep fikih yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari
yang juga mempengaruhi kodifikasi hukum. Secara spesifik Tunisia
menekankan bahwa wali tidak menjadi salah satu rukun dalam sebuah
perkawinan bahkan perempuan dewasa bisa menikah sendiri. Adapun
metode dan argumentasi yang dipakai oleh perundangan Tunisia yaitu
dimaknai metode secara normatif terhadap teks-teks Alquran walaupun
dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang.
Kodifikasi hukum keluarga di negara-negara muslim sangat dipengaruhi
aspek sosial masyarakat yang berkembang. Karena itulah hukum keluarga
di negara muslim mengalami banyak perubahan dari konsep awalnya
sehingga memunculkan keberanjakan fikih yang tercantum dalam UU
hukum keluarga tersebut.20
Kedua negara tersebut (Indonesia dan Tunisia), menunjukkan
pemikiran serta dominasi mazhab yang berbeda. Indonesia lebih
menonjolkan mazhab Syafi`i sedangkan Tunisia lebih menonjolkan
mazhab Maliki21
, terlebih dalam hal kebebasan wanita dalam peraturan
perkawinan. Kebebasan wanita dalam hal ini maksudnya adalah mengenai
eksistensi dari keberadaan seorang wali dalam sebuah akad perkawinan
bagi seorang wanita yang ingin menikah dengan seorang pria.
20
Miftahul Huda, “Wali Nikah dan Kebebasan Perempuan”, Jurnal Justitia Islamica, vol.
1, no. 1 (2004), h.61. 21
M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.84.
9
Berkenaan dengan permasalahan di atas, skripsi ini ingin
membahas dan mengetahui lebih lanjut mengenai “Kebebasan Wanita
Dalam Peraturan Perkawinan (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum
Keluarga Indonesia-Tunisia).”
10
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berbicara mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
maka akan menyangkut berbagai macam aspek. Agar kajian ini tidak
terlalu luas dan terbatas maka penulis membatasi permasalahan
mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan, kaitannya
dalam hal eksistensi dari keberadaan seorang wali di dalam sebuah
perkawinan. Mengingat terlalu banyak negara Islam di dunia ini, maka
penulis membatasi fokus masalah mengenai kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan yang ada di Indonesia dan Tunisia. Penulis akan
membahas dan mengetahui lebih lanjut bagaimana peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan Tunisia, lalu membandingkan
aspek kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan yang dibatasi
pada ketentuan melangsungkan akad pernikahan.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di
Indonesia dan Tunisia ?
b. Apa yang mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai
kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan
Tunisia ?
c. Apa saja persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia ?
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan
perkawinan di Indonesia dan Tunisia.
b. Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi pembentukan
ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
di Indonesia dan Tunisia.
c. Untuk mengetahui apa saja persamaan dan perbedaan kebebasan
wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.
2. Manfaat
a. Secara akademik, penulisan skripsi ini di harapkan dapat
menambah khazanah pengetahuan dan keilmuan di bidang
hukum keluarga khususnya di bidang perwalian.
b. Skripsi ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-
penelitian sebelumnya.
c. Memberikan sumbangan kepada siapa saja baik mahasiswa,
akademisi ataupun siapa saja yang konsen dengan
permasalahan ini.
d. Memberikan saran kepada pemerintah dalam hal ketika
nanti akan merevisi undang-undang perkawinan di
Indonesia khususnya di bidang perwalian.
12
D. Review Studi Terdahulu
1. Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum
Keluarga di Dunia Islam, prodi SAS 2014.22
Skripsi ini membahas
tentang perbandingan hukum keluarga mengenai aturan kriminalisasi
bagi praktik poligami yang terjadi di negara Indonesia dan Tunisia.
Penelitian penulis ini berfokus pada perbandingan hukum keluarga
mengenai aturan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di
negara Indonesia dan Tunisia.
2. Ahmad Khadik Sa`roni, Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti
Musdah Mulia), prodi SAS 2014.23
Skripsi ini membahas tentang
pemikiran seorang tokoh feminis, Siti Musdah Mulia mengenai
kebolehan menikah tanpa wali. Adapun penelitian penulis ini
membahas tentang kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
antar negara yakni diIndonesia dan Tunisia.
3. Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik
Tunisia”, Al Muqaranah, 2014.24
Jurnal ilmiyah ini membahas tentang
kecenderungan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga Islam
di Tunisia. Penelitian penulis ini lebih menitik beratkan pada
kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan
Tunisia.
22
Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia
Islam (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia-Tunisia), (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 23
Ahmad Khadik Sa`roni, Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti Musdah Mulia),
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jogja, 2014). 24
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-
Muqaranah, vol. 5, no. 1, (2014).
13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research) yaitu dengan meneliti berbagai buku, artikel,
majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan karya ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan materi judul yang penulis bahas dalam skripsi ini.
2. Data Penelitian
a. Sumber Data
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yakni: Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan tata peraturan perundang-undangan di
Tunisia, yakni: Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-
Syakhsiyyah) Nomor 66 tahun 1956 beserta Suplementary Laws-
nya dari tahun 1956 sampai tahun 2010 (Tunisia: Kitab Undang-
undang Hukum Pribadi dan Hukum-hukum Tambahan 1956-2010)
b. Jenis Data
Ada tiga jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini:
Data primer: Data-data yang berasal dari Alquran, hadis,
kitab-kitab, dan perundang-undangan Indonesia dan Tunisia yang
membahas tentang kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan.
14
Data sekunder : Data-data yang berupa dokumen yang
terdapat di dalam majalah, artikel, jurnal karya ilmiah, dan surat
kabar yang relevan dan berkaitan dengan tema skripsi ini.
Data tersier : Adapun data tersier yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah kamus hukum.
c. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan oleh penulis di dalam
penelitiannya adalah deskriptif analitik yang bertujuan untuk
memaparkan hasil pengamatan tanpa diadakannya pengujian
hipotesis-hipotesis.
d. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis di dalam penelitiannya
adalah penelitian yuridis normatif yakni dengan kajian studi
pustaka dan perundang-undangan. Dengan menggunakan
pendekatan ini dilakukan pengkajian mengenai persinggungan
antara pendapat ulama konservatif, kontemporer dengan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema penelitian
ini. Namun untuk kepentingan perolehan dan analisis data maka
pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan.
15
e. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini
adalah studi naskah dan kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan
data-data yang membahas, berkaitan dan mengenai kebebasan
wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.
Setelah data-data tersebut semuanya terkumpul dari
berbagai sumber, maka penulis memaparkan data-data tersebut dan
kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini berpedoman
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini terbagi menjadi beberapa sistematika
pembahasan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam
penyusunan skripsi serta mempermudah para membacanya dalam
membaca dan memahami isi dari skripsi ini. Sistematika pembahasan
dalam penelitian ini terbagi atas beberapa bab yaitu :
Bab Pendahuluan. Pada bab ini membahas tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi review terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
16
Bab II. Pada bab ini diuraikan tentang pengertian wali yang
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang kebebasan wanita
dalam perkawinan menurut pandangan Imam mazhab yang dibagi menjadi
dua sub-bab yakni wali merupakan rukun nikah dan wali bukan
merupakan rukun nikah.
Bab III. Pada bab ini dijelaskan tentang kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Pada bab ini pertama-tama
diuraikan mengenai gambaran umum hukum Islam di Indonesia dan
Tunisia. Lalu kemudian dijelaskan mengenai kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.
Bab IV. Pada bab ini diuraikan tentang analisis perbandingan
hukum mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di
Indonesia dan Tunisia. Yang pertama mengenai kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Lalu yang kedua
mengenai faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai
kebebasan wanita dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di
Indonesia dan Tunisia. Lalu yang ketiga mengenai persamaan dan
perbedaan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan
Tunisia.
BAB V. Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari
hasil penelitian dan berisi saran-saran yang sesuai dengan permasalahan
yang diteliti.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANGKEBEBASAN WANITA DALAM
PERKAWINAN
Berbicara mengenai kebebasan wanita dalam hal aturan
perkawinan maka tidak bisa dilepaskan dari eksistensi keberadaan wali di
dalam sebuah perkawinan. Baik itu keberadaannya maupun izinnya. Oleh
sebab itu maka dalam pembahasan pada bab ini diawali dengan pengertian
wali, kemudian dilanjutkan mengenai pengertian kebebasan wanita dalam
aturan perkawinan menurut Imam mazhab.
A. Pengertian Wali
Perwalian, dalam literatur fikih Islam disebut dengan al-walayah
(alwilayah), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-
dilalah.1
Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya
adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) seperti dalam
penggalan ayat wa-man yatwallallaha wa-rasulahu2
dan kata-kata
ba`dhuhum awliya`u ba`dhin3. Ayat 61 surat at-Taubat (9); juga berarti
kekuasaan/otoritas (as-sulthah wal-qudrah) seperti dalam ungkapan al-
wali (اناني), yakni orang yang mempunyai kekuasaan.4 Hakikat dari al-
1 Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradat li-Alfazh Alquran, (Beirut-Lubnan: Dar al-
Fikr), h.570.
2 Lihat Q.S. Al-Maidah: 56.
3 Perhatikan Q.S At-Taubat: 61.
4 Wahbah Az-Zuhayli, al-Fikih al-Islami wa Adillatuh, h.186.
18
walayah (alwilayah) adalah “tawalliy al-amr” (mengurus/menguasai
sesuatu).
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para
fuqaha (pakar hukum Islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli
ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung
melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas
seizin orang lain.5
Orang yang mengurusi/menguasai sesuatu
[akad/transaksi], disebut wali seperti dalam penggalan ayat: fal-yumlil
waliyyuhu bil-`adli.6 Kata al-waliyy muannatsnya al-waliyyah )اننيت( dan
jamaknya al-awliya` )الانياء( , berasal dari kata wala-yali-walyan-wa-
walayatan لايت( -نيا-يهي-)ني , secara harfiah berarti yang mencintai, teman
dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang
yang mengurus perkara (urusan) seseorang.7
Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti
penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian disini ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian
disebut dengan wali.8 Secara etimologi wali berasal dari bahasa arab اناني
yang berarti wali, orang yang mengurus perkara seseseorang.9 Sedangkan
secara terminologi, wali nikah adalah orang yang mempunyai wewenang
5 Wahbah Az-Zuhayli, al-Fikih al-Islami wa Adillatuh, h.186.
6 Baca Q.S. Al-Baqarah: 282.
7 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.135.
8 Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.93.
9 Ahmad Warsono Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h.1582.
19
untuk mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya
dimana tanpa seizinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah.10
Dalam kaitannya dengan wali, terdapat pengertian yang bersifat
umum dan ada yang harus bersifat khusus.11
Adapun pengertian wali
menurut bahasa (lughatan) yaitu berasal dari kata ولي yang jamaknya
mempunyai arti ولي yang berarti kasih, pemerintah. Sedangkan kata اولياء
pemerintah atau wali.12
Pengertian wali menurut istilah, wali dapat berarti penjaga,
pelindung, penyumbang, teman, pengurus dan juga digunakan dengan arti
keluarga dekat.13
Seperti yang telah disinggung di atas wali ada yang
bersifat umum dan ada yang khusus, kewalian umum adalah mengenai
orang banyak dalam satu wilayah atau negara, sedangkan kewalian secara
khusus ialah mengenai seseorang atau hartanya. Dan dalam pembahasan
ini yang dimaksud dengan wali ialah yang menyangkut pribadi dalam
masalah perkawinan. Definisi wali sendiri ialah orang yang berhak dan
yang berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada
di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari`at.14
Dalam ensiklopedi
Islam di Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Yang dimaksud
10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.88.
11
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h.134.
12
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Alquran, 1983), h.507.
13
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.161.
14
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, h.134.
20
dengan wali hakim ialah wali dalam suatu perkawinan bagi wanita yang
tidak ada walinya, maka hakim setempat menjadi walinya.15
Muhammad Jawad Mughniyah di dalam bukunya yang berjudul
Fikih Lima Mazhab memberikan definisi perwalian dalam perkawinan
adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i atas segolongan manusia,
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan
tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.16
Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam karangannya yang berjudul Fikih
Sunnah 7, disebutkan wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut
syara` yang bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa.17
Lalu Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah.
Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-
laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak
perempuan yang dilakukan oleh walinya.18
15 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1992/1993), h.128.
16
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h.345.
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Terjemahan Kahar Mashur, (Jakarta: Kalam Mulia,
1990), h.1.
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1990),
h.77.
21
B. Kebebasan Wanita Dalam Perkawinan Menurut Imam Mazhab
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya
perkawinan (nikah) menurut ajaran agama Islam, “Wali Nikah” adalah hal
yang sangat penting dan menentukan bahkan menurut Imam Syafi`i tidak
sah menikah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan,
sedangkan bagi calon pengantin laki-laki tidak diperlukan wali nikah
untuk sahnya nikah tersebut.19
Para ulama20
telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa
dapat melaksanakan semua akad kecuali akad nikah, dan juga dapat
mewakilkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya tanpa adanya hak
sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa akad
nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, bila dilaksanakannya oleh
walinya menurut hukum syara` dengan persetujuan wanita yang
bersangkutan, adalah sah dan nafiz (langsung tanpa tergantung pada
sesuatu yang lain). Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya
(akad nikah) atau mewakilkannya kepada orang lain yang
melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya,
langsungnya dan terikatnya.21
19 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.215. 20
Mayoritas ulama, terutama empat imam mazhab: Imam Hanafi, Maliki, Syafi`i dan
Hambali
21
Mahmud Syaltut dan M. `Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fikih,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.73.
22
1. Wali Merupakan Rukun Nikah
Menurut Imam Idris as Syafi`i22
beserta para pengikutnya
berpendapat bahwa wali merupkan rukun dari sebuah perkawinan.
Mereka bertitik tolak dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri
Rasulullah) berbunyi seperti di bawah ini: “Barangsiapa di antara
perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikahnya itu
batal.”23
Dalam hadis Rasulullah tersebut terlihat bahwa seorang perempuan
yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa
wali, nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah.
Dari hadis Rasulullah yang lain rawahul Imam Ahmad dikatakan oleh
Rasulullah, bahwa:
a) )لا كاح إلا بني شاذ عذل )سا انخست Artinya: Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua)
orang saksi yang adil.24
b) لا تزج انشءة انشءة لا تزج انشءة فسا )سا اب ياج
انذاسقطي(
Artinya: Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang
lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya
sendiri (Rawahul Daruqutny), diriwayatkan lagi oleh Ibnu
Majah.25
22 Mazhab Syafi`i dibangun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas
bin Syafi`i, dari suku Quraisy, bertemu nasabnya dengan Rasulullah SAW pada Abd Manaf. Imam
Asy-Syafi`i lahir di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H. Ibunya keturunan
Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik Imam Asy-Syafi`i.
23
Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1955), h.362.
24
Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.368.
25
Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.363.
23
c) )ايا ايشأة كذت بغيش إر نيا فكادا باطم )سا الأسبعت إلا انسائ
Artinya: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya,
nikahnya adalah batal, batal, batal. Tiga kali kata batal itu
diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan nikah
tanpa izin wali pihak perempuan (berasal dari istri Rasulullah: Siti
Aisyah).26
d) Apabila mereka berselisih paham tentang wali, maka wali nikah
bagi wanita itu adalah “Sulthan” atau “Wali Hakim”, begitupun
apabila bagi wanita itu tidak ada wali sama sekali, (Rawahul Abu
Daud, Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).27
Apabila wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita yang tidak
pakai wali itu wajib dibayarkan kepadanya “mahar mitsil" dengan
mahar tersebut dianggap halal melakukan hubungan seksual
dengannya. Tidaklah wanita menikahkan wanita lain dan tidaklah
wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita yang menikahkan dirinya
sendiri adalah wanita pezina. Hadis Rasul dari Abu Hurairah Rawahul
Ibnu Majah Al Daruqutny dan Al Baihaqi.28
Di samping alasan-alasan berdasarkan hadis Rasul tersebut di atas
oleh Imam Syafi`i dikemukakan pula alasan menurut Alquran antara
lain:
26 Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.363.
27
Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.368.
28
Husen Ibrahim, K.H., Fikih Perbandingan Masalah Islam Masalah Talaq. (Jakarta:
Ihya Ulumuddin, 1977), h.102.
24
a) Q.S. Al Nuur: 32
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.
b) Q.S. Al Baqarah: 231
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah
kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.29
29 Husen Ibrahim, K.H., Fikih Perbandingan Masalah Islam Masalah Talaq, h.53.
25
Kedua ayat Quran tersebut ditujukan kepada wali, mereka diminta
menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan orang-orang yang
tidak beristri di satu pihak dan melarang wali tersebut menikahkan
laki-laki muslim dengan wanita non-muslim sebaliknya wanita muslim
dilarang dinikahkan dengan laki-laki non-muslim sebelum mereka
beriman. Andaikata wanita itu berhak secara langsung menikahkan
dirinya dengan seorang laki-laki tanpa wali maka tidak ada artinya
Khitbah. Ayat tersebut ditujukan kepada wali, semestinya ditujukan
kepada wanita itu, karena urusan nikah (perkawinan) itu adalah urusan
wali. Maka perintah dan larangan untuk menikahkan wanita itu
ditujukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita
atau wanita menikahkan dirinya sendiri haram hukumnya (dilarang).30
Imam Malik,31
Syafi`i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama
berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita
sendiri atau wakilnya. Daud berpendapat bahwa nikah itu sah kalau
wanita itu bukan perawan,32
dan batal kalau wanita itu perawan.
Sedangkan Abu Saur berpendapat bahwa nikah itu sah apabila
diizinkan oleh walinya dan batal apabila wali tidak mengizinkannya.33
30 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h.218.
31 Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa
wali dan wali menjadi syarat sahnya nikah dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), h. 385.
32
Daud dan orang-orang yang sepaham dengan dia mengambil dalil dengan hadis, انشيب
.”wanita sayyib (sayib/janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya“ادق بفسا ي نيا
33
Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan denga wanita janda. Juga dengan
hadis نيس نهني يع انشيب أيش“tidak ada urusan wali mengenai wanita janda”. Mereka mengatakan
hadis ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di
antaranya ialah akad nikah. Dan hadis ini juga jelas menunjukkan perintah meminta izin wanita
26
Imam Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat: jika wanita yang
baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan
dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada
keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa
persetujuannya dan sebaliknya wanita itupun tidak boleh
mengawinkan dirinya sendiri tanpa restu sang wali.34
Namun,
pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh
wanita tersebut tidak berlaku sama sekali walaupun akad itu sendiri
memerlukan persetujuannya.35
perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali member izin mengenai
nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain selain dia yaitu
walinya yang meminta izin kepadanya. 34
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: PT Alma`arif, 1981), h.14. 35
Syeikh Mahmud Syaltut dan Syeikh M. Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqh, h.345.
27
2. Wali Bukan Merupakan Rukun Nikah
Menurut mazhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah,
wali itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang
menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang
mengucapkan ikrar “ijab” dalam proses akad nikah ialah pihak laki-
laki. Tetapi kenapa dalam prakteknya selalu pihak wanita yang
ditugaskan mengucapkan “ijab” (penawaran), sedangkan pengantin
laki-laki yang diperintahkan mengucapkan ikrar “qobul”(penerimaan).
Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu (isin-Jawa),
maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali
itu sebenarnya wakil dari pengantin perempuan, biasanya diwakilkan
oleh ayahnya, bilamana tidak ada ayah, dapat digantikan oleh
kakeknya (ayah dari ayah). Wali nikah yang demikian disebut wali
nikah yang memaksa (mujbir).36
Menurut Hanafi37
, nikah (perkawinan) itu tidak merupakan syarat
harus pakai wali. Hanafi dan beberapa pengikutnya mengatakan bahwa
akibat ijab (penawaran) akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang
36 Memaksa maksudnya disini ialah apabila masih ada bapak maka bapaklah (ayah) yang
berhak menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya. Bila tidak ada ayah (bapak)
mungkin karena meninggal atau ghaib (hilang tak tentu hutan rimbanya), maka ayah dari ayahnya
(kakek) yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada bapak
atau kakek maka dapat diwalikan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin perempuan
(saudara laki-laki) yang menjadi wali itu harus sudah akil baligh (dewasa dan berakal), laki-laki
beragama Islam dan adil, bila tidak ada saudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada
saudara laki-laki dari bapak (paman). Si wanita yang akan menikah itu, wali sesudah bapak dan
kakek itu disebut wali nasab biasa (tidak memaksa).
37
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang paling tua di antara empat mazhab Ahli
Sunnah wal Jama`ah yang popular. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Besar Abu Hanifah An-
Nu`man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimiy, lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada
tahun 150 H.
28
dewasa dan berakal (akil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian
juga menurut Abu Yusuf, Imam Malik dan riwayat Ibnu Qasim.38
Beliau itu mengemukakan pendapatnya berdasarkan analisis dari
Quran dan Hadis Rasul sebagai berikut di bawah ini. Menurut
Alquran:
a) Q.S. Al-Baqarah: 230
Artinya: Apabila suami menalak istrinya (istri-istri) sesudah talak
yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya,
sehingga dia (perempuan) itu menikahi calon suami mereka yang
baru.39
b) Q.S. Al-Baqarah: 232
Artinya: Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis masa
iddahnya janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah
lagi dengan calon suaminya.40
38 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h.102.
39
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), h.55. 40
Dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa `iddah mantan istrinya sudah
habis, maka mantan suami tidak berhak mencegah mantan istrinya menikah dengan wanita lain.
Oleh karena itu, ayat ini tidak berhubungan dengan wali, sebab yang dilarang mempersulit itu
adalah suami-suami. Lihat As-Sarakhsi, dalam al-Mabsut, h.11.
29
Oleh Hanafi ditinjau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Q.S Al-
Baqarah: 230 & 232) dengan mengemukakan contoh dari kasus Ma`qil
bin Yasar, yang menikahkan saudara perempuannya kepada seorang
laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian laki-laki itu menceraikan
perempuan tersebut. Setelah habis tenggang waktu menunggu
(tenggang waktu iddah), maka kedua bekas suami istri itu ingin
kembali lagi bersatu sebagai suami istri dengan jalan menikah lagi,
tetapi Ma`qil bin Yasar tidak memperkenankan kembali menjadi suami
dari saudara perempuannya laki-laki muslim itu. Setelah disampaikan
orang berita ini kepada Rasulullah, maka turunlah Q.S. Al-Baqarah
ayat 232, yang mengatur dan melarang wali menghalangi mereka
menikah lagi dengan bekas suaminya tadi.41
Alquran surat Al-Baqarah ayat 232 demikian juga surat Al-
Baqarah ayat 230 terdapat kata-kata yankihna dan kata kerja “tankiha”
yang terjemahannya menikah. Disini pelakunya adalah wanita bekas
istri itu tadi. Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi (riwayat) semestinya
dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan
orang lain sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan). Demikian
juga dilihat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 234, terdapat kata kerja
“fa`alna” yang artinya mengerjakan atau perbuatan pelakunya
(failnya) adalah wanita-wanita yang kematian suami.
41 Sholeh K.H. Qomaruddin dkk., Asbabun Nuzul, (Jakarta: Diponegoro), h.78.
30
c) Q.S. Al-Baqarah: 234
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ayat tersebut menyatakan bahwa akad nikah yang
dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya
tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah.42
d) Hadis Rasul
إرا صاتا ٬ادق بفسا ي نيا انبكش تستأر في فسا شيبان
)سا انجاعت إلا انبخاسي( Artinya: Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada
walinya, dan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya,
sedangkan izinnya adalah diamnya.43
42
Jadi wanita mempunyai hak penuh terhadap urusan dirinya termasuk menikah tanpa
bantuan wali. 43
فسا ي نياالأيى ادق ب , hadits ini bersumber dari `Abdullah ibn Abbas dalam Muslim,
Sahih Muslim, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 2545 dan 2546; at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, “Kitab
an-Nikah”, hadits no. 1026; an-Nasa`i, Sunan an-Nasa`i, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 3208, 3209
dan 3210; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 1795; Ibn Majah, Sunan
Ibn Majah, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 1860; Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad Bani Hasyim”,
hadits no. 1790 dan 2055. As-Sarakhsi, al-Mabsut, h.12.
31
e) Hadis Rasul
Dari Ummu Salamah, meriwayatkan bawa tatkala
Rasulullah SAW meminangnya untuk dinikahi dia berkata kepada
Rasulullah.Tiada seorangpun hai Rasulullah di antara wali-waliku
yang hadir, maka bersabda Rasulullah: “Tidak seorangpun walimu
baik yang hadir maupun yang tidak hadir (ghaib) menolak
perkawinan kita”.44
Berdasarkan Alquran dan hadis Rasul tersebut, menurut Hanafi
memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya
dengan meniadakan campur tangan orang lain (wali) dalam urusan
perkawinan. Pertimbangan rasional logis dari Hanafi tentang tidak
wajibnya wali nikah bagi perempuan yang hendak menikah. Bahwa
ijab menurut lazimnya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita,
jadi pengantin wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan
dengan seorang laki-laki, sedangkan qabul (penerimaan) ikrar nikah
diucapkan oleh pengantin laki-laki, seperti contoh di bawah ini:
- Ijab dari pengantin perempuan:
Aku nikahkan diriku kepada laki-laki nama A bin B bayar
maharnya seribu rupiah kontan.
44
As-Sarakhsi, al-Mabsut, h.12.
32
- Qabul dari pengantin laki-laki:
Aku terima nikahmu wanita C binti D dengan maharnya seribu
rupiah kontan.
Oleh karena wanita fitrahnya adalah sangat pemalu (isin = jawa),
maka dia harus diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali
(wakil pengantin perempuan).45
Tetapi bila ditinjau secara yuridis apa alasan atau dasar hukumnya
perempuan yang mengucapkan ijab laki-laki mengucapkan qabul ? Hampir
semua firman Allah dalam Quran tentang baik perintah maupun larangan
perkawinan (nikah) ditujukan kepada laki-laki bukan kepada wanita,
bahwa poliandri atau wanita yang bersuami dua, larangan tetap ditujukan
kepada laki-laki:
1. Jangan kamu nikahi wanita yang telah bersuami (Q.S. An-Nisa’: 24).46
2. Jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kamu,
perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji (Q.S. An-Nisa’: 22).47
3. Diharamkan kamu menikahi: Ibu kamu; Saudara-saudaramu yang
perempuan; Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-
saudara ibumu yang perempuan; dan seterusnya (Q.S. An-Nisa’: 23).48
45
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h.221.
46
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Alquran, 1978), h.120.
47
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, h.120.
48
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, h.120.
33
Semua ayat-ayat Alquran tersebut larangannya selalu ditujukan
kepada laki-laki, seyogianya ijab itu diperintahkan pula kepada laki-laki
dan qabul kepada wanita sehingga wanita yang mengucapkan qabul cukup
dengan anggukan saja, seperti sabda Rasulullah diamnya wanita itu adalah
izinnya atau persetujuannya.49
Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riyawat dan Zufar
berpendapat bahwa nikah yang dilangsungkan oleh wanita itu sendiri atau
mewakilkannya kepada orang lain itu sah mutlak, hanya wali mempunyai
hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata,
apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan orang yang tidak sekufu.
Dan diriwayatkan dari dua yang pertama (Abu Hanifah dan Abu Yusuf),
pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang kufu saja, dan
batal kalau bukan dengan yang sekufu.50
Kemudian berkembang lagi,
boleh secara mutlak sekufu atau tidak.51
Imam Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan
berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan
akad nikah sendiri, baik perawan atau janda. Tidak ada seorangpun yang
mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya dengan
syarat orang yang dipilihnya itu sekufu52
(sepadan) dengannya dan
49 Tanpa persetujuan dari keduanya, perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Dalam suatu
hadisnya Nabi SAW bersabda: لايى دتي تستأيش لا تكخ انبكش دتي تستأر قانا: يا سسل الله كيف ارا لا تكخ ا
قال: ا تسكت
50
Mahmud Syaltut dan M.`Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fikih,
h.73. 51
Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma`rufah, 1409-1989), h.10.
52
Arti kesepadanan (kafa`ah) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam
perkawinan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita
(yang akan menjadi istrinya). Para Ulama memandang penting adanya kafa`ah hanya pada laki-
34
maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih
seseorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh
menentangnya dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad
nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar
kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh diminta membatalkan akadnya bila
mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.53
Dan di dalam kitab “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusyd,
Ulama berselisih pendapat, apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau
tidak dan tentunya ini berimbas terhadap kebebasan wanita dalam
perkawinan. Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat
bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh ImamSyafi`i. Sedangkan Imam Abu
Hanifah, Zufar, asy-Sya`bi54
dan az-Zuhri55
berpendapat bahwa apabila
laki dan tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki berbeda dengan kaum wanita, tidak direndahkan
jika mengawini wanita yang lebih rendah derajat dari dirinya. Hanafi, Syafi`i dan Hambali sepakat
bahwa kesepadanan itu meliputi: Islam, merdeka, keahlian, dan nasab. Tetapi mereka berbeda
pendapat dalam hal harta dan kelapangan hidup. Hanafi dan Hambali menganggapnya syarat tapi
Syafi`i tidak. Sedangkan Maliki tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam
hal agama. 53
Syeikh Mahmud Syaltut dan Syeikh M. Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqh, h.345. 54
Amir bin Syurahabil al-Humairi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Asy-Sya`bi,
usia beliau mencapai lebih dari 80 tahun. Beliau lahir dan dibesarkan di Kufah. Ia merupakan
seorang ulama tabi`in yang terkemuka, beliau lahir pada pemerintahan Khalifah `Umar bin
Khattab yaitu pada tahun 17 H, ia seorang imam ilmu, penghafal hadits dan ahli dalam bidang
fiqh. Beliau mendapat kesempatan untuk bertemu sebanyak kurang lebih 500 sahabat yang mulia.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra`fat Basya, Suwaru Min Hayati At-Tabi`in, atau Mereka
adalah Para Tabi`in, alih bahasa Abu `Umar `Abdillah, (Yogyakarta: Pustaka At-Tibyan, 2009),
h.151. 55
Pakar hadits yang bernama asli Muhammad bin Syihab Az-Zuhri ini lahir pada 50 H
pada akhir periode masa sahabat, tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam. Ia wafat di
Sya`bad pada 123 H. Ada yang mengatakan ia wafat pada 125 H. Biografi az-Zuhri dalam Tahdzib
at Tahdzib: Ibnu Hajar Asqalani 9/445.
35
seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali sedang calon
suaminya sebanding (se-kufu`) maka nikahnya itu boleh.56
Silang pendapat ini disebabkan tidak terdapatnya satu ayat pun
atau satu hadis pun yang berdasarkan lahirnya mensyaratkan adanya wali
dalam perkawinan, terlebih lagi menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat
dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh fuqaha yang
mempersyaratkan wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.
Demikian pula ayat-ayat dan hadis-hadis yang dipakai alasan oleh fuqaha
yang tidak mensyaratkan wali juga hanya memuat kemungkinan yang
demikian. Hadis-hadis tersebut, di samping kata-katanya hanya memuat
kemungkinan-kemungkinan tersebut, ternyata dari segi keshahihannya pun
masih diperselisihkan, kecuali hadis Ibnu Abas ra.Meskipun fuqaha yang
meniadakan wali juga tidak mempunyai dalil, karena pada dasarnya “asal
segala sesuatu adalah bebas dari kewajiban” (al-ashlu baro`atu
`dzimmah).57
56
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid,(Semarang: CV. Asy-Syifa`, 1990),
h.365. 57
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, h.366.
36
Jadi kesimpulan menurut Malikiyah, Syafi`iyah dan Hambaliyah
sepakat keharusan adanya wali58
atau pengganti dalam setiap perkawinan,
baik untuk gadis ataupun janda, baik dewasa maupun belum dewasa.
Berbeda dengan ketiga mazhab tersebut, Hanafiyah berpandangan bahwa
keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa (shogirah)
dan yang dewasa tetapi gila (kabirah mazjunah). Sementara bagi yang
dewasa dan berakal sehat baik gadis maupun janda, mereka mempunyai
hak untuk menikahkan dirinya sendiri kepada orang yang dikehendaki.59
Berdasarkan pada konsep dasar pemikiran di atas, mengenai
kebebasan wanita dalam hal aturan perkawinan menurut imam mazhab
dengan berbagai pendapat, dalil dan ikhtilafnya. Hal inilah yang menurut
penulis menjadi salah satu dasar atas terbentuknya peraturan perundang-
undangan hukum keluarga Islam baik di Indonesia maupun di Tunisia.
58Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab yaitu wali yang mempunyai
hubungan darah dengan calon mempelai wanita.Yang dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat
digantikan oleh wali hakim yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau
tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab mau atau tidak bersedia menikahkan calon
mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahinya.
59
Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, (Bandung:
Penerbit Pustaka Al-Fikriis, 2009), h.20.
37
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Gambaran Umum
1. Gambaran Umum Hukum Islam Di Indonesia
negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk
republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar.1 Pancasila adalah dasar ideal negara
dan Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang
menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
menghargai dan menghormati kehidupan beragama.2
Sampai saat sekarang ini di negara republik Indonesia berlaku
berbagai sistem hukum. Antara lain; hukum adat, hukum Islam serta
hukum barat (baik itu civil law maupun common law atau anglo
saxon). Dari ketiga hukum tersebut, tampak bahwa hukum Islam
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama dan hukum
Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.3
1 Asep Saepuddin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi; Kajian Perundang-
undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h.29. 2 Hal ini seperti terlihat dalam pancasila pada sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan tercantum dalam BAB IV pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
3 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam dalam Negara
Republik Indonesia”, Jurnal Bulanan Mumbar Hukum, no. 29 (November-Desember 1996), h.7.
38
Dalam UUD 1945 sendiri terdapat landasan filosofis dan landasan
yuridis tentang pemberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya.
Landasan filosofis adalah Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti
“tauhid” seperti yang dituturkan oleh Ki Bagus Hadikusumo sebagai
penggagas penyempurna sila pertama itu. Sedangkan landasan yuridis
terdapat dalam pasal 29 UUD 1945.4
Kedudukan hukum Islam dalam negara republik Indonesia, tidak
hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945 (di
samping hukum-hukum lainnya), tetapi secara khusus tercantum dalam
pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu
jelas disebutkan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.5
Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 serta di dalam pembukaan
UUD 1945 dijelaskan bahwa kedudukan hukum Islam telah mantap
dan berkembang di Indonesia. Karena pada dasarnya hukum Islam
merupakan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah disesuaikan
dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Sedangkan menurut Noel J.
Coulson bahwa hukum Islam ini diakui sebagai hukum Tuhan dengan
4 Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h.73. 5 Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h.13.
39
ungkapannya “does not grow out of... an avolving as is the case with
system but is imposed from above.”6
Di Indonesia sendiri, kini terdapat beberapa peraturan baik yang
berbentuk UU maupun di bawah UU, yakni:7
1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kini sudah
diamandemen menjadi UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI.8
Kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan merupakan bagian
dari sebuah lembaga perkawinan dan merupakan salah satu dari
kompetensi absolut dari Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.9 Regulasi mengenai
kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam.
6 Noel J. Coulson, “The Concept Progress and Islamic Law”, Religion and Progress in
Modern Asia, h.75. 7 Thantowi, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Islam
Mukaddimah, no. 19, h.348. 8
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan,
(Jakarta: BIMAS Islam dan Urusan Haji, 2000), h.4. 9 Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: “Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang; perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq dan
shadaqah dan ekonomi syari`ah.
40
Hal-hal yang diatur dalam Hukum Perkawinan di Indonesia yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan antara lain:
1. Dasar perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5
2. Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12
3. Pencegahan perkawinan yang diatur dalam pasal 13-21
4. Batalnya perkawinan yang diatur dalam pasal 22-28
5. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29
6. Hak dan kewajiban suami istriyang diatur dalam pasal 30-34
7. Harta benda dalam perkawinan yang diatur dalam pasal 35-37
8. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal
38-41
9. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44
10. Hak dan kewajiban orangtua dan anak yang diatur dalam pasal
45-49
11. Perwalian yang diatur dalam pasal 50-54
12. Ketentuan lain-lain yang diatur dalam pasal 55-63
41
2. Gambaran Umum Hukum Islam Di Tunisia
Republik Tunisia merupakan salah satu negara yang terletak di
Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan Algeria, utara dan timur
dengan Medeterania dan selatan dengan Libya, Tunisia merupakan
negara yang paling kecil.10
Tunisia termasuk kepulauan Karkunna
untuk daerah Bjerba.11
Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa
(berdasarkan sensus Tahun 2000). Dari jumlah tersebut 98% beragama
Islam, sisanya Kristen 1% dan Yahudi 1%.12
Negara yang memiliki
luas wilayah 163.610 km2
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956,
dengen presiden pertama Habib Bourguiba13
, yang membawahi 23
provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom dari
pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara
pesemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa14
dan pada
10 Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika, (Jakarta: Widyadara,
1990), h.86.
11
Larry A. Barry, Reeva S. Simon dkk, “Tunisia”, Encyclopedy of Modern Middle East,
(1996), h.79.
12
Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam
http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-
KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses tanggal 23 Maret 2011 – 07.33. Apabila dibandingkan
dengan hasis sensus yang dilakukan pada tahun-tahun seblumnya, seperti yang dijelaskan Tahir
Mahmood dalam bukunya dinyatakan bahwa penduduk Tunisia berjumlah kurang dari 7 juta jiwa
dengan komposisi 97% beragama Islam. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries;
History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h.
151. Dalam literatur lain, lebih spesifik dinyatakan bahwa jumlah penduduk Tunisia pada tahun
1986 adalah 7.424.000 jiwa dengan komposisi 97% beragama Islam. Gary L. Flower, “Tunisia”,
Barnes & Noble New American Encyclopedia (Glorier Incorporated, 1991), vol.19, h.335.
Sebagaimana yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,
Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.83. Pertumbuhan penduduk Tunisia meningkat drastis dalam 14
tahun dengan komposisi muslim yang juga meningkat dari 97% menjadi 98%. Hal ini tidak
langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum keluarganya.
13
The New Encyclopedia Britannia, (USA: Encyclopedia Britannica Inc., 1979), di bawah
artikel “Tunisia”.
14
John P. Entelis, Jhon L. Esposito dkk, “Tunisia”, The Oxford Encyclopedia of The
Modern World, (New York: Oxford University Press, 1999), h.236.
42
tahun 1956 Tunisia memperoleh status merdeka. Tunisia menempati
posisi geopolitik yang sangat strategis sebagai penghubung antara
Eropa dan Afrika, serta antara bagian timur dan bagian barat dunia
Arab. Bersama dengan Maroko dan Aljazair, Tunisia membentuk
sebuah zona regional yang disebut dengan Arab Maghreb.15
Tunisia adalah negara arab muslim di Afrika Utara. Dalam
konstitusinya, Islam merupakan agama negara, seperti halnya negara-
negara arab lainnya. Sedangkan mazhab fikih yang dominan di Tunisia
adalah mazhab Maliki, seperti yang terjadi di negara tetangganya
Maroko, Aljazair dan Mesir. Ibu kota Tunisia adalah Tunis dan sistem
pemerintahannya adalah Republik.16
Sejak kemerdekaannya tahun 1956, presiden Habib Bourgiba, yang
memerintah selama 31 tahun, memberi perempuan hak-hak lebih
banyak dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya.17
Beberapa
bulan setelah kemerdekaannya, pemerintah Tunisia langsung
memberlakukan hukum keluarga. Oleh banyak pengamat, hukum
keluarga tersebut dianggap cukup maju dalam menginterpretasikan
syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak perempuan. Namun,
bagi kalangan tertentu hukum keluarga itu dianggap menyalahi bahkan
15Benjamin Rivlin, “Tunisia”, The Encyclopedia Americana: International Edition,
volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972), h.222. 16
Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, h.107. 17
Musdah Mulia, Menghukum Pelaku Poligami dalam
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html#
akses 27 Agustus 2016-09:10 WIB.
43
menentang syariat Islam.18
Aturan-aturan baru ini tidak hanya
menentang praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi
dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Prancis.19
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas
penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia
juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi20
sebagai konsekuensi dari
posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti
Usmaniyah (sejak tahun 1574).21
Ketika bangsa Prancis menguasai
Tunisia, mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim
kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan,
perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah. Dan dalam perjalanannya
secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum
Perancis. Sehingga output sistem hukum yang dihasilkan merupakan
perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan
Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (Frence civil law).22
18
Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam
http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-
KELUARGA-DI-TUNISIA.html, akses 27 Agustus 2016-09:12 WIB. 19
John P. Entelis, John L. Esposito dkk, “Tunisia”, The Oxford Encyclopedia of Modern
World, (New York: Oxford University Press, 1995), h.236. 20
Abdullahi A. An-Na`im (ed), Islamic Family Law in a Changing World; A Global
Resource Book, (London: Zed Books Ltd., 2003), h.182. 21
Namun banyak di antara berbagai dinasti yang penah berkuasa di Tunisia baik asing
maupun asli Tunisia yang memiliki keyakinan berbeda-beda, seperti Dinasti Syi`ah Fatimiyah
sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang praktis kaum Syi`ah menjadi kelompok minoritas.
Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi
pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Prancis datang pada tahun 1883. Bhara Centum,
Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim. 22
Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, akan tetapi
regulasi di Tunisia memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang
lain. Lagipula, dibanding dengan Negara-Negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia
lebih revolusioner.
44
Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah
itu pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum
keluarga yang materinya adalah pemikiran hukum dari golongan antara
mazhab Hanafi dan Maliki yang kemudian disesuaikan dengan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Usaha itupun
berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluarga bernama
Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah23
Nomor 66 tahun 1956. Majallat
al-Ahwal al-Syakhsiyyah (Code of Personal Status) itu sendiri berisi
170 pasal 10 buku mencakup materi hukum perkawinan, perceraian
dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam
klasik.24
Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah
negeri itu memperoleh kemerdekaan. Sejarah lahirnya kodifikasi dan
reformasi hukum keluarga Tunisia berawal dari adanya pemikiran dari
beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan
23
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah negara
itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka
Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka
sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan
perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki dan dipublikasikan di bawah judul
Laihat Majallat al-Ahkam al-Syar`iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya
pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammadd al-Jait,
guna merancang Undang-undang resmi. Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan
Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut mengajukan
Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya
diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah (Code of Personal Status) tahun
1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957.
Nur Avik, Reformasi Hukum Keluarga Tunisia dalam
http://nuravik.wordpress.com/2010/08/24/reformasi-hukum-keluarga-tunisia/ akses 27 Agustus
2016 – 10:06. 24
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,Al-
Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.34.
45
melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka
sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga akan dapat
dikembangkan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi
sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum tersebut mengajukan catatan
perbandingan antara dua sistem hukum tersebut, Hanafi dan Maliki
dan dipublikasikan di bawah judul Laihat Majallat al-Ahkam al-
Syar`iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya,
pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh
Islam, Muhammad al-Jait guna merancang undang-undang resmi.25
Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan undang-
undang hukum kelurga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki, panitia
tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga
tersebut kepada pemerintah Tunisia. Rancangan tersebut akhirnya
diundangkan di bawah judul “Majallat al-Ahwal al-syakhsiyyah (Code
of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke
seluruh Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun dalam
perjalannya, undang-undang ini mengalami kodifikasi dan perubahan
(amandemen) beberapa kali, yaitu melalui Undang-undang No.
70/1958, Undang-undang No. 41/1962, Undang-undang No. 1 Tahun
1964, Undang-undang No. 77/1969 dan terakhir menurut catatan Tahir
25 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, h.86.
46
Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui Undang-
undang No.7/1981.26
Menurut catatan Charrad M. Mounira di dalam bukunya yang
berjudul “Family Law Reform in The Arab World; Tunisia and
Maroco” yang diterbitkan pada tahun 2012 mencatat bahwa hukum
keluarga di Tunisia (Code Of Personal Status) yang bersumber dari
dari Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah yang diumumkan pada tahun
1956 telah diamandemen pada 19 Juni 1959 yang kemudian
diamandemen lagi pada 21 April 1964, lalu diamandemen kembali
pada 18 Februari 1981 dan terakhir kali amandemen pada tanggal 12
Juli 1993.27
Namun menurut catatan Mustofa Sakhri di dalam bukunya yang
berjudul “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah” yang diterbitkan pada
tahun 2013, Undang-undang Hukum Keluarga di Tunisia telah
mengalami beberapa kali amandemen lagi, yakni pada tanggal 6 Maret
2006 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006, pada tanggal 14
Mei 2007 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2007, pada
tanggal 4 maret 2008 melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008,
dan terakhir pada tanggal 26 Juli 2010 melalui Undang-undang Nomor
39 Tahun 2010.28
26 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h.99.
27
Mounira M. Charrad, Family Law Reform in The Arab World; Tunisia and Marocco,
(Austin: Departement of Sociology of Texas, 2012), h.6.
28
Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik
Tunisia, 2013), h.10.
47
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru
Tunisia tersebut antara lain:
1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi
dan Maliki.
2) Untuk penyatuan Pengadilan menjadi Pengadilan Nasional,
sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri.
3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para
hakim.
4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang
diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik.
5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan
tuntutan modernitas.29
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan
mazhab Maliki, akan tetapi undang-undang ini memasukkan pula
beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain.
Lagipula, jika dibanding dengan negara-negara Arab lain,
reformasi di bidang hukum Tunisia lebih revolusioner.30
Perkembangan pembentukan dan pembangunan hukum
keluarga Islam di Tunisia sangatlah signifikan. Hal ini didasari
oleh latar belakang historis terbentuknya negara republik Tunisia.
29
J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International and
Comparative Law Quarterly, (7 April, 1985), h.262. 30
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-
Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.33.
48
Komparasi fikih klasik (intradoctrinal reform) yang didominasi
oleh mazhab Maliki dan beberapa mazhab lainnya yang kemudian
disinergikan dengan warisan hukum Perancis (extradoctrinal
reform) di negara ini ternyata menghasilkan hukum baru yang
cenderung lebih “menghargai” perempuan dan anak-anak serta
melindungi haknya.31
Undang-undang hukum keluarga Tunisia yang
dideklarasikan pada tahun 1956 telah beberapa kali mengalami
amandemen:
4 Juli 1958 melalui Undang-undang Nomor 70 Tahun 1958.
19 Juni melalui Undang-undang Nomor 77 Tahun 1959.
21 April 1964 melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964.
3 Juni 1966 melalui Undang-undang Nomor 49 Tahun 1966.
18 Februari 1981 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981.
12 Juli 1993 melalui Undang-undang Nomor 74 Tahun 1993.
6 Maret 2006 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006.
14 Mei 2007 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2007.
4 Maret 2008 melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008.
26 Juli 2010 melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010.32
31
Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-
Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.51. 32
Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik
Tunisia, 2013), h.10.
49
Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Hukum Perkawinan di
Tunisia menurut Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah Tahun 2010 terdiri
atas 12 bab, berisikan tentang:
1. Bab 1 mengenai pernikahan, yang diatur pada pasal 1-27.
2. Bab 2 mengenai perceraian, yang diatur pada pasal 29-33.
3. Bab 3 mengenai iddah, yang diatur pada pasal 34-36.
4. Bab 4 mengenai nafkah, yang diatur pada pasal 37-53.
5. Bab 5 mengenai hadhanah, yang diatur pada pasal 54-67.
6. Bab 6 mengenai nasab, yang diatur pada pasal 68-76.
7. Bab 7 mengenai orang-orang yang tidak bisa menggunakan harta, yang
diatur pada pasal 77-80.
8. Bab 8 mengenai orang yang mafqud, yang diatur pada pasal 81-84.
9. Bab 9 mengenai warisan, yang diatur pada pasal 85-152.
10. Bab 10 mengenai orang yang boleh dan orang yang tidak boleh
menggunakan harta, yang diatur pada pasal 153-170.
11. Bab 11 mengenai wasiat, yang diatur pada pasal 171-199.
12. Bab 12 mengenai hibah, yang diatur pada pasal 200-213.
50
Dari seluruh aturan di atas, ketentuan yang mengatur tentang
kebebasan wanita dalam perkawinan terdapat pada Bab I mengenai
pernikahan dalam pasal 3. Isi pasal 3 Undang-undang Nomor 39
Tahun 2010 adalah sebagai berikut:
لايعقذ انزاج إلا بشضا انزجي. يشتشط نصذت انزاج إشاد شاذي ي أم انثقت
تسيت يش نهزجت
Pasal 3 UU No. 39 Tahun 2010: “Sebuah perkawinan tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan adanya izin dari kedua belah pihak. Dan
dipersyaratkan dalam sahnya sebuah perkawinan keberadaan dua orang
saksi dari ahli yang terpercaya dan dengan sejumlah mahar untuk calon
mempelai wanita.”33
Menurut kesimpulan penulis, pasal tersebut dengan jelas
menyatakan bahwa di Tunisia wali bukan merupakan salah satu
rukun/syarat dari sebuah perkawinan.
33
Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik
Tunisia, 2013), h.12.
51
B. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan
Tunisia
1. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia
Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, wali nikah
menjadi salah satu rukun nikah. Tanpa wali, perkawinan tidak sah.34
Sejalan dengan keharusan adanya wali, pada prinsipnya, wali dalam
perundang-undangan perkawinan Indonesia adalah wali nasab. Namun
demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu, posisi wali nikah dapat
digantikan oleh wali hakim, yakni: (i) kalau tidak ada wali nasab; (ii)
tidak mungkin menghadirkan wali nasab; (iii) tidak diketahui tempat
tinggal wali nasab; (iv) wali nasab ghaib; (v) wali nasab enggan
menikahkan.35
Untuk menggantikan posisi wali nasab karena alasan
enggan menjadi wali harus terlebih dahulu ada putusannya dari
Pengadilan Agama setempat.36
Akan halnya dengan kebebasan wanita dalam perkawinan,
disebutkan dalam satu perkawinan harus ada persetujuan dari kedua
calon mempelai. Sehingga kalau kedua calon tidak setuju dengan
perkawinan tersebut, akad nikah tidak dapat dilaksanakan.37
Sementara
34 KHI Pasal 14, “Untuk melangsungkan perkawinan harus ada: a. calon suami; b. calon
isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi; dan e. ijab dan qabul”. Kemudian disebutkan lebih tegas
pada KHI Pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
35
KHI Pasal 23 ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau ghaib atau adhal atau enggan”.
36
KHI Pasal 23 ayat (2), “Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
37
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (1), “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
calon mempelai”. KHI Pasal 17 ayat (2), “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah
52
perkawinan (akad nikah) yang dilaksanakan dengan paksa dapat
dibatalkan38
dengan jangka waktu 6 bulan setelah bebas dari ancaman
atau menyadarinya.39
Hanya saja ada ketentuan yang
menyebutkan, keharusan persetujuan tersebut sepanjang hukum
masing-masing agamanya tidak menentukan lain.40
Bersamaan dengan
ini, ada konsep fikih yang menyebutkan adanya hak ijbar wali (bapak
atau kakek) dari imam Syafi`i yakni hak bapak atau kakek yang
memaksa menikahkan seorang wanita yang di bawah pengampuan atau
perwaliannya tanpa persetujuannya dari wanita yang bersangkutan.
Dengan adanya konsep ini, ada kemungkinan terjadi perkawinan tanpa
persetujuan dari calon mempelai, dengan syarat walinya bapak atau
kakek tadi. Dengan demikian, dari teks yang ada tidak disebutkan
secara tegas keberadaan hak ijbar antara ada atau tidak. Pandangan ini
perlu dikemukakan, sebab pandangan ini dapat dimasukkan sebagai
ketentuan agama yang menentukan adanya hak ijbar.
seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. Kemudian ditambahkan
kembali pada PP. No. 9 Tahun 1975 Pasal 12, “Akta perkawinan memuat: a…; b…; c…; f.
persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang”, maksudnya UU No. 1
Tahun 1974).
38
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 27 ayat (1), “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum”; KHI Pasal 71 ayat (f), “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a…; f.
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”.
39
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 27 ayat (3), “Apabila ancaman telah terhenti, atau yang
bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya gugur.
40
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (6) disebutkan, “Ketentuan ayat (1) sampai dengan
ayat (5), pasal ini (berarti termasuk di dalamnya tentang harus adanya persetujuan, yang
dicantumkan di ayat [1], berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
tidak menetukan lain”.
53
Adapun bentuk persetujuan dari calon mempelai dapat dalam
bentuk pernyataan tegas dan nyata, dengan tulisan, lisan, dengan
isyarat, atau dengan diamnya yang menujukkan tidak adanya
penolakan yang tegas41
. Sedangkan proses untuk mengetahui ada atau
tidaknya persetujuan dari kedua calon mempelai dilakukan dengan
cara menanyakan persetujuan keduanya sebelum dilangsungkannya
akad nikah di hadapan dua orang saksi.42
Dengan demikian, perundang-undangan perkawinan Indonesia
pada prinsipnya tidak tidak lagi mengakui adanya hak ijbar wali.
Sejalan dengan itu, perundang-undangan perkawinan Indonesia
mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum
melangsungkan akad perkawinan. Sementara kalau terjadi perkawinan
paksa antara para pihak maka para pihak tersebut dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan.43
Oleh karenanya dalam perkembangan hukum perkawinan di
Indonesia khususnya bagi ummat Islam, melalui Pasal 15 KHI telah
menetapkan batasan usia kawin bagi calon mempelai yaitu sekurang-
kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.
41KHI Pasal 16 ayat (2), “Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan atau isyarat tapi juga dapat berupa dengan diam dalam
arti selama tidak ada penolakan yang tegas”. Pada KHI Pasal 17 ayat (3) disebutkan: “Bagi
penderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat
yang dapat dimengerti”.
42
KHI Pasal 17 ayat (1): “Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatatan
Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan dari kedua calon mempelai di hadapan dua saksi
nikah”, Pasal 17 ayat (2), “Apabila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai atau keduanya maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan”.
43
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h.188.
54
Ketentuan ini diperkuat dengan keharusan adanya izin dari orangtua
atau wali yang memeliharanya jika tidak ada orangtua. Apabila terjadi
perkawinan yang berlangsung di bawah usia minimum tersebut.
Apabila tidak mendapatkan persetujuan dari orangtua atau wali, maka
calon mempelai dapat meminta persetujuan melalui Pengadilan.44
Selain itu KHI dalam Pasal 16 juga menetapkan suatu aturan
bahwa dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya perlu
memandang izin dari orangtua tetapi substansi yang paling penting
adalah harus adanya persetujuan dari calon mempelai sendiri. Jika
perkawinan tidak disetujui oleh calon mempelai, maka akad nikah
tidak dapat dilangsungkan dan perkawinan yang dilakukan dengan
paksa dapat dibatalkan. Konsep ini tidak lain merupakan konsep yang
menentang hak Ijbar yang dimiliki seorang wali (ayah atau kakek)
yang selama ini dipegang teguh dalam konsep fikih Syafi`i.45
Adapun bentuk persetujuan calon mempelai dapat dibuat dalam
bentuk pernyataan tegas dan jelas baik lisan maupun tulisan atau
dengan isyarat. Dan proses untuk mengetahui adanya persetujuan atau
tidak dari kedua calon mempelai ini harus telah dilakukan sebelum
pelaksanaan akad nikah.46
44
Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai
dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, vol. 13 no. 1, (Februari 2008), h.70. 45
Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai
dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, h.71.
46
Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai
dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, h.71.
55
Jadi kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia
terkait keberadaan wali masih mengikuti pendapat imam Syafi`i, yakni
masih mengakui adanya wali (wali masih merupakan salah satu rukun
perkawinan). Sedangkan mengenai hak ijbar wali di Indonesia sudah
tidak diakui lagi dalam perundang-undangan hukum keluarga di
Indonesia.
2. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan PerkawinanDi Tunisia
Ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan
perkawinan di Tunisia bisa dilihat dalam Pasal 3 UU Nomor 39 Tahun
2010. Dalam undang-undangan hukum perkawinan Tunisia, wali tidak
lagi menjadi salah satu rukun/syarat nikah.
بشضا انزجي. يشتشط نصذت انزاج إشاد شاذي ي أم انثقت لايعقذ انزاج إلا
تسيت يش نهزجت
Terjemahan Pasal 3 itu adalah: “Sebuah perkawinan tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan adanya izin dari kedua belah pihak. Dan
dipersyaratkan dalam sahnya sebuah perkawinan keberadaan dua orang
saksi dari ahli yang terpercaya dan dengan sejumlah mahar untuk calon
mempelai wanita.”47
Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa di Tunisia wali
bukan merupakan salah satu rukun/syarat perkawinan. Keyakinan
penulis bahwa di Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam
47
Pasal 3 UU Nomor 39 Tahun 2010.
56
sebuah perkawinan adalah pada pasal-pasal selanjutnya yang hanya
menyebutkan bahwa izin wali dibutuhkan apabila terjadi pernikahan di
bawah umur. Dari penjelasan ini kita bisa melihat tentang kebebasan
wanita dalam peraturan perkawinan di Tunisia. Dalam perundang-
undangan hukum keluarga Tunisia selain wali bukan merupakan
rukun/syarat dari sebuah perkawinan, persetujuan dari kedua belah
pihak calon mempelai juga sangat diperhatikan.
Eksistensi dari keberadaan wali baru bisa diterima bila dalam kasus
calon pengantin masih di bawah umur kedewasaan. Sebagaimana
terdapat pada Pasal 6, Undang-undang Nomor 74 Tahun 1993:
Tunisian 1956 as amended 1964 on 1993, Article 6: The marriage of a
minor requires the agreement of the guardian and the mother. Of the guardian
or the mother refuse to agree and the minor insists on his/her desire [to be
married], the matter shall be raised with the judge. Permission to marry may
not be appealed in any manner.48
Jika sang wali enggan memberikan izinnya terhadap perkawinan
anak yang berada di bawah perwaliannya sedangkan kedua belah pihak
sangat berhasrat untuk melangsungkan akad perkawinan, maka perkara
tersebut dapat diputuskan di pengadilan.
أ الأو ع ز انافقت تسك انقاصش بشغبت نزو سفع الأيش نهقاضيز الإر إ ايتع انني
بانزاج لايقبم انطع بأي جز49
48 Lynn Welchman, Women And Muslim Family Law In Arab States; A Comparative
Overview Of Textual Development And Advocacy, (Amsterdam: Amsterdam University Press,
2007), h.166.
49
Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 2010 (Sebagaimana telah diamandemen melalui UU No.
74 Tahun 1993).
57
Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010 yang
merupakan amandemen terbaru undang-undang hukum keluarga
Tunisia. Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan
perkawinan jika telah berusia 18 tahun. Dengan ketentuan bahwa baik
laki-laki maupun perempuan di Tunisia harus berusia 18 tahun untuk
boleh melangsungkan perkawinan, dan bagi yang berusia di bawah18
tahun harus mendapat izinkhusus dari Pengadilan.50
Izin tersebut
hanya dapat diberikan untuk alasan mendesak dan atas dasar
kepentingan yang jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh
kedua pasangan dengan perkawinan. Perkawinan di bawah umur
memerlukan persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin
padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan perkawinan, perkara
tersebut dapat diputus di Pengadilan.51
Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-
ketentuan dalam fikih mazhab Maliki. Sebab di dalam kitab fikih
Maliki tidak ada batasan mengenai usia perkawinan52
dan mengenai
kebebasan wanita dalam perkawinan di dalam kitab tersebut.53
50 Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 2010.
51 Penjelasan isi Pasal 5, UU Nomor 39 Tahun 2010.
52
M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.88.
53
Lihat misalnya Sayyid Muhammad az-Zarqa`, Syarh al-Muwatta al-Imam Malik, dan
Imam Alauddin, Bada`I as-Sana`i.
58
Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa di Tunisia tidak
mengharuskan adanya wali dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan
UU Nomor 39 Tahun 2010, Pasal 3: “Perkawinan hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan kedua mempelai dan disaksikan dua
orang saksi dan sejumlah mahar untuk calon isteri.54
Dari pasal ini kita bisa melihat tentang kebebasan wanita dalam
perundang-undangan Tunisia,pasal tersebut dengan tegas mewajibkan
persetujuan dari calon sehingga hak pilih kedua calon sangat
diperhatikan. Adapun eksistensi wali baru diterima bila dalam kasus
calon pengantin masih di bawah umur kedewasaan.Artinya keberadaan
wali dan persetujuan wali baru diperlukan pada saat kondisinya seperti
itu. Dan apabila wali menolak untuk memberikan persetujuanya maka
persoalan ini diserahkan kepada Pengadilan. Hal ini menunjukkan
kebebasan wanita yang cukup signifikan dalam peraturan perkawinan
di Tunisia.
54 Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.12.
59
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN KEBEBASAN WANITA DALAM
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan
Tunisia
Berdasarkan pemaparan materi yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya, walaupun Indonesia tidak menyatakan diri sebagai negara
Islam secara konstitusionalnya, namun secara sosiologis dan yuridis
hukum Islam telah hidup dan berkembang di Indonesia sejak zaman
kerajaan-kerajaan sampai sekarang ini, yang dalam penerapannya sudah
berangsur-angsur terlegislasi dalam peraturan perkawinan di Indonesia.
Mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di
Indonesia, wali nikah masih menjadi salah satu rukun dari sebuah
perkawinan. Tanpa adanya wali sebuah perkawinan tidak sah,
sebagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14, “Untuk
melangsungkan perkawinan harus ada: a. calon suami; b. calon isteri; c.
wali nikah; d. dua orang saksi; e. ijab dan qabul”. Kemudian disebutkan
lebih tegas lagi pada Pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya”. Pada prinsipnya wali dalam peraturan perkawinan
di Indonesia adalah wali nasab, namun dalam kondisi-kondisi tertentu
60
posisi wali nikah ini dapat digantikan oleh wali hakim sebagaimana diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) & (2).
Menurut peraturan perkawinan di Indonesia, di dalam sebuah
perkawinan juga mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon
mempelai. Akad pernikahan tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat (1)
yang berbunyi, “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon
mempelai”. Kemudian diatur lagi oleh KHI Pasal 17 ayat (2), “Bila
ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai
maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. Kemudian ditambahkan
kembali oleh PP. Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 12, “Akta perkawinan
memuat: a…; b…; c…; f. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Apabila ditemukan
adanya perkawinan (akad nikah) yang dilaksanakan dengan paksaan maka
dapat dibatalkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 27 ayat (1) yang kemudian dikuatkan kembali oleh
Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 ayat (f).
Hal ini menunjukkan walaupun mayoritas penduduk di Indonesia
merupakan pengikut mazhab Syafi`i dan dalam peraturan perkawinannya
mengikuti pendapat mazhab Syafi`i, namun pada prinsipnya peraturan
perkawinan di Indonesia sudah tidak lagi mengakui adanya hak ijbar wali.
Wali masih menjadi rukun nikah di dalam peraturan perkawinan di
61
Indonesia, akan tetapi di dalam peraturan perkawinan Indonesia juga
mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon mempelai sebelum
melangsungkan akad perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 16 ayat (2) dan (3). Apabila terjadi perkawinan paksa
antara para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat diajukan
permohonan pembatalan perkawinan.
Sedangkan di Tunisia, walaupun mayoritas penduduknya merupakan
pengikut mazhab Maliki dandalam peraturan perkawinannya mengikuti
pendapat mazhab Maliki (sebagaimana kebanyakan masyarakat muslim
lainnya di kawasanAfrika Utara), namun peraturan perkawinan di Tunisia
juga memasukkan pendapat-pendapat mazhab Hanafi di dalam peraturan
perkawinannya. Hal ini dikarenakan secara historisnya Tunisia pernah
berada di bawah pemerintahan Turki Ustmani sebelum negara ini
merdeka. Dengan kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia
dengan membawa mazhab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui
kekuasaan pemerintah langsung maupun melalui sebuah sistem
kedaerahan memberi pengaruh penting di Tunisia, khususnya dalam
peraturan perkawinannya. Sehingga keberadaan pengikut mazhab Hanafi
dan Maliki keduanya saling berdampingan.
Setelah kemerdekaan negara Tunisia pada tahun 1956, upaya
pembentukan hukum keluarganya terus dilakukan secara bertahap dan
komprehensif. Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia
terus dilakukan dan materinya adalah pemikiran hukum dari golongan
62
mazhab Maliki dan Hanafi, kemudian dilakukan fusi antar kedua
pemikiran mazhab tersebut, sehingga usaha itupun berhasil dengan
berlakunya Undang-Undang Hukum Keluarga “Majallah al-Ahwal al-
Syakhsiyyah”.
Perkembangan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga di
Tunisia sangatlah signifikan. Hal ini didasari oleh latar belakang historis
terbentuknya negara republik Tunisia. Berdasarkan komparasi fikih klasik
(intradoctrinalreform) yang didominasi oleh mazhab Maliki dan beberapa
mazhab lainnya, terlebih mazhab Hanafi yang kemudian disinergikan
dengan warisan hukum Perancis (extradoctrinal reform) di negara ini
ternyata menghasilkan hukum baru yang cenderung lebih “menghargai”
perempuan dan anak-anak serta melindungi haknya.
Menurut catatan Lynn Welchman di dalam bukunya “Women And
Muslim Family Laws In Arab States: A Comparative Overview Of Textual
Development And Advocacy”, undang-undang Tunisia terakhir kali
diamandemen yaitu pada tahun 1993 melalui Undang-Undang Nomor 74
Tahun 1993. “Law No. 74/1993 of 12 July 1993 amending certain
provisions of the code of personal status”. Kemudian ditambahkan
kembali oleh penulis sebagaimana terdapat di dalam buku Mustofa Sakhri1
yang memuat peraturan perkawinan Tunisia terbaru yakni pasca
amandemen pada tahun 2010 melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun
2010.
1 Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.10.
63
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010,
laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melangsungkan perkawinan
apabila telah berusia 18 tahun. Hal ini merupakan ketentuan baru yang
mengubah ketentuan isi pasal undang-undang sebelumnya, yakni Undang-
undang Nomor 66 Tahun 1956. Sebelum diubah ketentuan usia nikah di
Tunisia adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan,
sedangkan pada ketentuan isi pasal undang-undang Tunisia pada tahun
1964 dan 1993, pasal 5 sebelum diamandemen batas minimum usia
perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 20 dan 17 tahun. Bagi
mereka yang berusia kurang dari batas usia tersebut harus mendapatkan
izin terlebih dahulu dari walinya, dan jika walinya tidak mengizinkan
dengan alasan yang tidak syar`i maka perkara tersebut dapat diputuskan
oleh Pengadilan (Pasal 5 UU No. 66/1956; UU No. 1/1964; UU No.
74/1993; UU No. 32/2007; UU No. 39/2010 ).
Izin ini hanya bisa diberikan jika alasannya mendesak dan atas dasar
kepentingan yang jelas dan dilihat dari kemanfaatan bagi kedua calon
mempelai di dalam perkawinannya tersebut. Perkawinan di bawah umur
memerlukan persetujuan/izin dari walinya dan jika walinya tersebut
menolak memberikan izinnya padahal keduanya telah berhasrat untuk
melangsungkan perkawinan maka dapat diputuskan oleh pengadilan.
Jika dilihat dari ketentuan ini, maka bisa dikatakan hal ini merupakan
langkah maju karena hal ini tidaklah ditemukan di dalam kitab-kitab fikih
klasik baik dari mazhab Maliki, Hambali dan lain-lain. Hal ini
64
menujukkan bahwa di Tunisia sangat menghargai wanita bahkan
memberikan kebebasan kepada kaum wanita di sana untuk lebih mandiri
lagi di dalam melaksanakan segala sesuatunya, terlebih dalam hal
perkawinan. Sebagaimana telah ditetapkan di dalam Undang-undang No.
39 Tahun 2010 bagi mereka yang sudah mencapai umur 18 tahun untuk
pria dan wanita, bisa melangsungkan perkawinan tanpa memerlukan wali
nikah, baik wali nasab ataupun bukan. Dan apabila terjadi penolakan dari
sang wali maka hal itu akan diputuskan perkaranya oleh pengadilan
dengan melihat situasi, kondisi dan alasan dari para pihak.
Hal ini menunjukkan bahwadi Tunisia memang benar-benar
memberikan kebebasan kepada wanita dalam peraturan perkawinannya.
Dalam hal ini maksudnya adalah selain di dalam perkawinan tidak
mewajibkan adanya wali, di Tunisia sudah tidak lagi mengakui adanya
intervensi dari seorang wali dalam perkawinan. Wanita bisa menikahkan
dirinya sendiri dan bebas dalam menaruhkan pilihannya terhadap pria
yang dia senangidan dengan tidak diakuinya akan keberadaan hak ijbar
dari seorang wali. Ini semua tidak lepas dari perkembangan hukum dan
keadaan sosial di sana. Di Tunisia yang memang dalam perjalanan
historisnya lebih memberikan hak wanitanya dengan lebih dan
memberikan wanita kebebasan di dalam melaksanakan aktivitasnya
termasuk di dalam hal perkawinan.
65
Menurut hemat penulis kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan dengan di Tunisia. Karena di
Indonesia tetap mengharuskan adanya wali di dalam perkawinan, baik izin
maupun kehadirannya. Sedangkan di Tunisia wali sudah tidak lagi menjadi
rukun/syarat perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan
di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan dengan Tunisia, positif baik
bagi calon mempelai itu sendiri maupun keluarganya.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Ketentuan Mengenai
Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan
Tunisia
Dalam hal faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan
ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan baik di
Indonesia maupun Tunisia, hal ini didasari oleh beberapa faktor. Antara
lain:
1. Perbedaan Mazhab
Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan
mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan adalah
perbedaan mazhab yang dianut oleh kedua negara, baik di Indonesia
maupun di Tunisia. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab
sebelumnya, Indonesia dalam peraturan perkawinannya mengikuti
pendapat mazhab Syafi`i sebagaimana mayoritas penduduknya yang
merupakan pengikut mazhab Syafi`i. Sedangkan di Tunisia walaupun
66
mayoritas penduduknya merupakan pengikut mazhab Maliki namun
dalam peraturan perkawinannya juga memasukkan pendapat mazhab
Hanafi, dikarenakan secara historisnya Tunisia pernah menjadi daerah
otonom Turki Utsmani maka diantara keduanya dilakukan fusi baik
antara mazhab Maliki maupun Hanafi sehingga terbentuklah Undang-
undang Hukum Keluarga “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah” pada
tahun 1956.
2. Historis
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pembentukan ketentuan
mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan adalah
historis/sejarah dari kedua negara, baik di Indonesia maupun di
Tunisia. Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, di
Indonesia saat ini berlaku beberapa sistem hukum antara lain: hukum
adat, hukum Islam serta hukum barat (civil law and common law). Hal
ini menunjukkan bahwa di Indonesia dalam peraturan perkawinannya
dipengaruhi oleh faktor historis (sejarah). Sedangkan di Tunisia selain
pernah menjadi daerah otonom Turki Utsmani, mereka juga pernah
dijajah oleh negara Perancis pada tahun 1883 sehingga kodifikasi
hukum di sana juga mengikuti apa yang telah dibawa oleh Perancis
ketika menjajah Tunisia. Komparasi fikih klasik yang didominasi oleh
mazhab Maliki dan Hanafi yang kemudian ditambah lagi dengan
warisan hukum Perancis di Tunisia membuat peraturan perkawinan di
67
sana menghasilkan hukum baru yang cenderung “lebih menghargai”
perempuan dan anak-anak di sana serta lebih melindungi hak-haknya.
3. Sosial Budaya
Faktor sosial budaya juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai kebebasan wanita
dalam peraturan perkawinan baik di Indonesia maupun di Tunisia.
Dominasi mazhab yang berbeda, faktor historis yang berbeda juga
menjadikan sosial budaya dari kedua negara berbeda juga. Hal ini
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan
mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan baik di
Indonesia maupun di Tunisia.
C. Persamaan Dan Perbedaan Kebebasan Wanita Dalam Peraturan
Perkawinan Di Indonesia Dan Tunisia
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya,
mayoritas penduduk agama Islam di Indonesia merupakan pengikut
mazhab Syafi`i dan hal ini berimplikasi terhadap peraturan perkawinan di
Indonesia. Di Indonesia dalam hukum keluarganya mengikuti pendapat
(ro`yun) dari mazhab Syafi`i. ImamSyafi`i berpendapat bahwa wali
merupakan “rukun nikah” dan begitu pula diatur dalam hukum keluarga di
Indonesia. Wali merupakan rukun nikah dan nikah tidak dianggap sah jika
tidak ada wali. Namun walaupun di dalam kitab-kitab salafnya, Imam
Syafi`i mengakui adanya hak paksa (ijbar)dari seorang wali di dalam
68
perkawinan anak yang di bawah perwaliannya, namun secara tersirat
dalam peraturan perkawinan di Indonesia sudah tidak mengakui adanya
hak tersebut lagi, sebagaimana terdapat dalam: Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat (1) & Pasal 27 ayat (1); KHI
Pasal 17 ayat (2) & Pasal 71 ayat (f) dan PP. Nomor 9 Tahun 1975 Pasal
12. Eksistensi dari seorang wali masih diakui dalam peraturan perkawinan
di Indonesia, baik izin maupun kehadirannya. Namun mengenai hak ijbar
wali, menurut peraturan perkawinan di Indonesia sudah tidak mengakui
lagi akan adanya hak tersebut dari seorang wali.
Sedangkan di Tunisia, walaupun mayoritas penduduknya merupakan
pengikut mazhab Maliki namun karena secara historisnya pernah menjadi
daerah otonom Turki Ustmani, hal ini berimplikasi terhadap sosial budaya
di sana terlebih lagi dalam peraturan perkawinan di Tunisia. Menurut
peraturan perkawinan di Tunisia “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah”,
Tunisia dengan tegas tidak mewajibkan wali dalam perkawinan.
Berdasarkan Pasal 3, Undang-UndangNomor 39 Tahun 2010, wali bukan
merupakan rukun/syarat perkawinan, dan eksistensi dari seorang wali
sudah tidak diakui di sana. Walaupun adanya pertentangan atau penolakan
dari seorang wali terhadap perkawinan calon mempelai wanita yang
berada dibawah perwaliannya hal tersebut masih harus dilimpahkan ke
pengadilan.
69
Jadi menurut hemat penulis, baik di Indonesia maupun Tunisia sama-
sama sudah “tidak mengakui adanya hak paksa (ijbar) dari wali nasab”
akan tetapi dalam hal eksistensi dari wali nikah keduanya berbeda
pendapat. Di Indonesia, wali masih merupakan salah satu dari rukun
nikah, berbeda halnya dengan Tunisia yang dengan tegas meniadakan atau
tidak mengakui akan eksistensi dari sang wali, baik wali nasab maupun
bukan. Dan begitupula dalam hal ketetapan batasan usia perkawinan
karena hal ini juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam hal
wali, hak ijbar dan kebebasan wanita dalam perkawinannya. Di Indonesia
batasan usia dalam melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk
laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Di Tunisia batasan usia yang
dipakai di sana adalah 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.
Pertama, mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
baik di Indonesia maupun di Tunisia. Di Indonesia dalam hal kebebasan
wanita dalam peraturan perkawinannya masih mengakui eksistensi dari
seorang wali, baik wali nasab maupun bukan. Kehadiran dan izinnya
masih merupakan rukun/syarat perkawinan sebagaimana menurut
pendapat mazhab Syafi`i. Akan tetapi mengenai hak ijbar sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 6 ayat (1); KHI Pasal 17 ayat (2); dan PP. Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 12, hak ijbar tersebut sudah tidak diakui lagi. Dengan kata lain
persetujuan dari kedua calon mempelai sangat dibutuhkan sebelum
terlaksanakannya akad perkawinan. Sedangkan di Tunisia, eksistensi wali
baik itu wali nasab maupun bukan, kehadirannya maupun izinnya sudah
tidak diakui lagi keberadaannya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2010. Namun bagi mereka yang
menikah dibawah umur dan ditentang perkawinannya oleh sang wali
(tidak mendapatkan izin) masih membutuhkan putusan Pengadilan dengan
terlebih dahulu melihat alasan, keadaan dan maslahatnya.
71
Kedua, baik di Indonesia maupun di Tunisia, faktor yang
mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan, hal ini tak bisa dilepaskan dari beberapa faktor
yakni faktor perbedaan mazhab yang dianut, historis dan sosial budaya
diantara kedua negara. Menurut hemat penulis faktor yang cukup
signifikan mempengaruh kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan
adalah faktor sosial-budaya di kedua negara, Indonesia dan Tunisia.
Ketiga, mengenai persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam
perkawinan: baik di Indonesia maupun Tunisia sama-sama sudah tidak
mengakui lagi akan adanya hak paksa (hak ijbar) dari seorang wali. Suatu
perkawinan tidak dibolehkan atau tidak diakui tanpa persetujuan dari
kedua calon mempelai. Baik Indonesia maupun Tunisia mengharuskan
adanya izin/persetujuan dari kedua calon mempelai sebelum terlaksananya
sebuah (akad) perkawinan. Sedangkan perbedaannya: di Indonesia masih
mengakui eksistensi dari seorang wali, baik izin maupun kehadirannya,
sedangkan di Tunisia sudah tidak lagi mengakui eksistensi dari seorang
wali baik izin maupun kehadirannya dalam akad perkawinan. Jadi, dalam
hal kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan, Tunisia sedikit berada
di baris depan ketimbang Indonesia. Akan tetapi kebebasan wanita dalam
peraturan perkawinan di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan
Tunisia. Positif bagi kedua calon mempelai maupun bagi pihak keluarga.
72
B. Saran-saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
Kehadiran seorang wali dalam perkawinan merupakan
suatu keharusan, guna melindungi kepentingan dan hak-hak dari
kedua calon mempelai khususnya calon mempelai wanita. Oleh
sebab itu hendaklah pemerintah Tunisia di dalam undang-undang
hukum keluarganya tetap memasukkan wali sebagai salah satu
rukun dalam sebuah perkawinan sebagaimana di Indonesia.
Pemerintah dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) perlu
memberikan sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada para
wanita terkait dengan hak-hak mereka yang dijamin serta
dilindungi oleh undang-undang maupun pemerintah. Terkait aturan
mengenai hukum keluarga, baik di Indonesia maupun Tunisia.
Pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga
Islam ini sangatlah penting di Indonesia, karena seringkali kita
memperdebatkan sesuatu hal yang di negara lain sudah
menyelesaikan masalah ini puluhan tahun sebelumnya. Oleh sebab
itu apabila terjadi suatu perdebatan dalam permasalahan hukum,
terlebih hukum keluarga. Maka dapat merujuk hukum keluarga di
negara muslim lainnya.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi A, an-Na`im. Islamic Law in Changing World: A Global Resource
Book. London: Zed Book, 2003.
Al-Haddad, Thahir. Wanita dalam Syariat dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993.
Anderson, J.N.D. Hukum Islam di Dunia Modern, Terjemahan Machnun Husein.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World.London: Athlone Press,
1976.
Barry, Larry A. Encyclopedia Of Modern Middle East. New York: Simon and
Schuster Macmilan, 1996.
Bisri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Panata Sosial. Jakarta:
Rajawali Press, 2004.
Charrad, Mounira M. “Family Law Reform In The Arab World: Tunisia and
Marocco”. Departement of Sociology: University of Texas Autin, 2012.
Departemen Agama RI. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.
Jakarta: BIMAS Islam dan Urusan Haji, 2000.
Djatnika, Rahmat. Sosialisasi Hukum Islam. Bandung: Rosda Karya, 1991.
Donohue, John J. Islam dan Pembaharu, Ensiklopedi Masalah-Masalah,
Terjemahan Machnun Husein. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
El Alami dan Hinchcliffe. Islamic Marriage and Divorce Laws. London: CIMEL,
1996.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA &
CUSO, 1994.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. New York: Syracus University
Press, 1982.
Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of The Muslim World. New York:
Oxford University Press, 1995.
74
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern III. Jakarta: Mizan,
2000.
Huda, Miftahul. “Wali Nikah dan Kebebasan Perempuan”, Jurnal Justitia
Islamica Vol. 1 No. 1. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2014.
Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan. Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 2003.
Josheph, Schacht. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford University
Press, 1964.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in the Muslim World. Bombay: N.M
TRIPATHI PVT. LTD,1972.
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries: History, Text and
Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
Majalah Peradilan Agama. Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015.
Mardjono, Hartono. Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesiaan.
Bandung: Mizan, 2010.
Mudzhar, Atho dan Nasution, Khairuddin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam
Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Mudzhar, M. Atho. Esai-Esai Sejarah Sosial Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014.
Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberas.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Al- Fikih `ala al-Madzahib al-Khamsah. Beirut:
Dar al- Jawad, 1996.
Nasution, Khairuddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.
75
Nasution, Khairuddin. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fikih.
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Pers,1995.
Rahmat, Aulia. “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,
Jurnal Al-Muqaranah Volume V No. 1, 2014.
Rangkuti, Ramlan Yusuf. “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon
Mempelai dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality Volume 13
No. 1, 2008.
Ramulyo, Mohd Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.
Rusyd, Ibnu. Terjemahan Bidayatu `l-Mujtahid, Semarang: CV. Asy-Syifa`, 1990.
Sabiq, Sayyid. Fikih al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikir, 1977.
Saf, Mhd. Abduh. “Islam dan Hukum Keluarga dalam Dunia Modern”, Al-
Hukama`: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 2013.
Sakhri, Mustofa.Majallah Al-akhwal al-Syakhsiyah. Tunisia: Pemerintah
Republik Tunisia, 2013.
Saleh, Muhammad Zaki. “Tren Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-
Negara Muslim”, JurnalAl-Risalah, 2011.
Saleh, H.E. Hassan. Kajian Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Pers, 2008.
Sfeir, George N. “Document: The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-
Ahwal al-Syakhsiyyah)”, The Middle East Journal, Vol. 11, No. 3, 1957.
Shihab, Quraish. Wawasan Al Qur`an. Bandung: Mizan, 1996.
Suchmadi. “Ketentuan Nikah dan Poligami”, Kodifikasia: Jurnal Penelitian
Keagamaan dan Sosial Budaya Vol. 1 No. 1, 2007.
Suma, Muhamad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia
Islam. Bandung: Penerbit Pustaka Al-Fikriis, 2009.
76
Syaltut, Mahmud dan as-Sayis, M. `Ali. Perbandingan Mazhab dalam Masalah
Fikih. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2007.
Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang:
Angkasa Raya.1990.
Tahir, Masnun. “Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan
Tunisia”, dalam Al-Mawarid Edisi XVIII, 2008.
Thanthowi. “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi
Islam Mukaddimah No. 19, Yogyakarta: PT AIS DIY, 2005.
Tholabi, Ahmad. Modernisasi Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta: SPs. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Wahib, Ahmad Buyan. “Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim”, Ijtihad:
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Volume 14 Nomor 1,
2014.
Welchman, Lynn. Women And Muslim Family Law In Arab States; A
Comparative Overview Of Textual Development And Advocacy.
Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007.
Yanggo, Huzaimah T. Hukum Keluarga Dalam Islam. Palu: Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2013.
Zuhaili. al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu Juz VII. Damaskus: Daar al-Fikr, 1997.
77
Perundang-undangan
Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, tentang Penyebaran Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk No. 32 Tahun 1954.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah), 1956.
The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah), 2010
Top Related