1
MANIFESTO KEADILAN SUBSTANTIF OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI;
SEBUAH PARADOKS
(Kajian Atas Beberapa Putusan MK dalam Perkara Pengujian Undang-undang)
Oleh: Ali Ridho1
Abstract
The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is an institution (high) state that
one of its authority to test (judicial review) laws against the constitution. The results of
these tests is the decision, in its decision the constitutional court with a substantive
attempt to achieve justice through procedural rules. But the effort is that the court
carefully examined there is a paradox that makes the decision even as if the less reflect
the substance of justice. In addressing this, the constitutional court tried to answer it by
deciding to test the law in a comprehensive and terms with the justice that is expected
by the community.
Keyword: Constitutional Court, substantive justice, and Court’s Dicision
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca
Perubahan Keempat. Di dalam pasal 24 C disebutkan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi (MK) secara jelas. Selain MK juga ada organ negara yang secara langsung
menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Organ tersebut
adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis
Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil
Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii). Dengan penyebutan tugas dan wewenang
tersebut yang termaktub dalam konstitusi, maka implikasinya lembaga-lembaga yang
ada dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan
perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan
organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted
1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII.
DRAFT
2
power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang
kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka.2
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,
Mahkamah Konstitusi juga bersifat independen, baik secara struktural maupun
fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-
Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari
mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang
berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan
dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih belum
„terfasilitasi‟ dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan terbentuknya MK
menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia, beberapa wilayah
yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh hokum, sekarang dapat dilakukan oleh
MK, termasuk kewenangan-kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca
amandemen.3 Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hokum
yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undang-
undang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan
konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti undang-
undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan
tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita hukum dan nilai-nilai
konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada prinsip menegakkan keadilan
substantif. penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali MK
sedalam-dalamnya untuk mewujudkan keadilan substantif (substantive justice) di
masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang
(procedural justice).
2 Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mhkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar di UNS, Kamis, 2 September, 2004. Di akses
www.hukumonline.com tanggal 07 Februari 2011. 3 Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indoensia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, hlm. 26
3
Dikotomi Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural
Persoalan keadilan sejauh ini masih menjadi primadona dan elegan untuk di
diskusikan dalam ranah teori maupun parktis. Hal ini mengingat dalam ranah teori,
interpretasi terhadap keadilan sampai saat ini masih terjadi perdebatan yang tak
berkesudahan dan belum sampai pada konsesus bulat parameter keadilan yang
sesungguhnya. Hal yang lebih menarik didalam praktiknya, publik sejauh ini merasakan
dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan
prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu
sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum
yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.
Seyogyianya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap
semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-
prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan
lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Permasalahan sebagaimana
tergambar pada uraian tersebut agaknya memang tidak dapat dilepaskan dari dikotomi
antara keadilan substantif dan keadilan prosedural.4
Keadilan substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th
Edition dimaknai
sebagai : Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law,
Regardless of Any Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive Rights.5
[Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa
melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif
Penggugat]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja
disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya,
apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya
sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak
melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti
hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan
substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa
4KeadilanaSubstantifadanaProblematikaaPenegakannya,adalamahttp://www.situshukum.com/k
olom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm, diakses tanggal 19 Februari 2011. 5 Bryan A. Garner, editor, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West Group, 1999,
hlm. 869
4
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah
memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.
Sedangkan keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi
dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat
dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau
sumber daya), dan keadilan distributir (keadilan dalam membenahi kesalahan-
kesalahan).6 Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan
merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses
dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural
berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun
syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi.
Paradoks Keadilan Substantif MK
Paradigma keadilan substantif mulai di blow up oleh MK dalam acara Refleksi
Kinerja MK 2009, jargon yang memprioritaskan subtansi keadilan itu dilontarkan
langsung oleh ketua MK, Prof. Mahfud MD. Alasan yang muncul keharusan
ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum tidak selalu terkait
kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi
acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk
ke lembaganya. Sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of
constitution) dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya ialah menjamin hak-hk
rakyat yang telah ditegaskan dlaam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adlah
rasa keadilan. Jaminan keadilan oleh UUD 1945 terdapat dalam pembukaan alinea
kedua yang menyatakan: “Dan perjuanagn pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengejewantahan atas nama “keadilan” juga
ditegaskan pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas
6 Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal 19 Februari 2011
5
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.7
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental
yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek
prsedural akan di „nomorduakan‟. Secara teritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam
empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, kedilan komutatif,
dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu,
buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu
dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip
pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan
yang sama untuk memperoleh keadilan.8
Menarik untuk dikaji adalah beberapa putusan MK yang menekankan bahwa
putusannya mengedepankan aspek keadilan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benar-benar memposisikan keadilan
substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja pertanyaan itu muncul mengingat hakim
di lingkungan MK juga seorang manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kekhilafan.
Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama, parameter
keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah pergulatan abadi
manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era plato sampai abad akhir
keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya diperdebatkan. Immanuel Kant melihat
keadilan sebagai bagian dari kewajiban moral yang tidak bisa dipertanyakan.9 Keadilan
berpijak pada tiga prinsip, yakni tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang,
memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari
kebebasan. Keadilan adalah bagian dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari
manusia.
7 UUD 1945,Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 47.
8 Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di Mahkamah
Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta, 14 Januari 2011. 9 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), hlm. 196.
6
Sementara John Rawls melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang didasarkan
pada prinsip-prinsip rasional yang terukur.10
Artinya para filsuf masih berdiskusi keras
untuk memahami arti sesungguhnya keadilan, dan mencari kemungkinan penerapan di
masa yang terus berubah. Kedua, putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding).11
Sehingga upaya hukum terhdap putusan tidak dikenal, mengingat adanya ketidak
laziman tersebut, pastinya akan berimplikasi kepada pencari keadilan.12
Persoalan ini
tentunya menimbulkan tanya bagaimana jika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
melakukan kesalahan fatal dan berakibat ada pihak lain yang dirugikan?.
Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak
mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan
ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu
dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan
yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi,
idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu
hal tertentu yang melawan keputusan hakim.
Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan
panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan ketentuan atau
ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada muaranya. Sehingga tidak
heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan berbagai interpretasi, sebagian
kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan bentuk keadilan yang diharapkan oleh
masyarakat, hal ini mengingat lembaga yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak
ada lagi yang bisa diharapakan. Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten
mengedepankan nilai keadilan kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri
dan wajar muncul dugaan bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk
10
John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), hlm. 156. Yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 11
Lihat penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentan Mahkamah Konstitusi. 12
Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkmah Konstitusi,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 93.
7
arogansi, bahkan „kediktatoran‟ para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para
hakim MK tidak bisa di awasi oleh lembaga lain13
, dan masih debatable-nya rumusan
keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan komposisi
hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga negara tersebut
memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan. Namun, ke
depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi hakim di MK. Sehingga
kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena dan cenderung arogan bisa saja
muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral dan jiwa negarawan yang baik. Oleh
karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan
keadilan substantif yang di agung-agungkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Contoh putusan MK untuk melihat bagaimana keadilan substantif berusaha
ditegakan akan tetapi lazim berbenturan dengan problematika kepastian hukum
(equality) adalah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada
daerah tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka
menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak
mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU
Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak
undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi
dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-
undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan
hokum’.14
Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK
itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan
hukum bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun
keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk
mengubahnya. Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak
ada lembaga lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak
13
Lihat selengkapnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. 14
Jawa Pos, Tanggal 3 Desemeber 2008
8
kepastian hukum. Kepastian hukum pun makin rancu. Sebab, putusan MK itu bisa
menjadi preseden bahwa pelanggaran pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan
ke MK, menjadi bagian dari materi yang bisa diajukan gugatan (legal action) ke MK.
Tak perlu lagi melalui jalur panwaslu untuk diproses di pengadilan negeri.15
Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan asas
prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir
barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan selanjutnya, dengan
semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang sudah
dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-
kasus tertentu, sebab bisa jadi kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan
kepastian hukum atau mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih
diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan keadilan.
Beberapa Putusan MK; Cermin Lembaga Pengawal Demokrasi dan Penegak
Keadilan Substantif
Salah satu tugas hakim mahkamah konstitusi adalah mengkonstituir atau
memutuskan perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Hakim terlebih
dahulu harus mengkontantir peristiwanya, kemudian dilanjutkan dengan mengkualifisir
peristiwa hukumnya, sebelum pada akhirnya harus mengkonstituir atau memutus
perkaranya. Pada dasarnya putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara
para pihak.16
Tujuan dari putusan tersbut tidak lain adalah untuk mewujudkan aspek keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Karena idealnya, putusan harus memuat tiga unsur yaitu
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit), dan kemanfaatan
15
Problematika Menegakan Keadilan Substantif, dalam http://gp-ansor.org/7409-
10122008.html, diakses tanggal 19 Februari 2011. 16
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty Yogyakarta, 1989), hlm.
175
9
(Zwechtmassigkeit).17
Dalam hal putusan untuk mewujudkan keadilan ini pula hakim
mahkamah konstitusi memiliki kewenangan ataupun peluang untuk merealisasikannya.
Karena dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Mahkamah Konstitusi di tegaskan
bahwa mahkamah kosntitusi memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan
alat bukti dan keyakinan hakim.18
Artinya kans mahkamah konstitusi dalam
mewujudkan nilai luhur tersebut sangatlah besar, mengingat salah satu kewenangannya
adalah memutus perkara yang di ajukan kepadanya. Upaya melahirkan putusan yang
adil tersebut berusaha di konkretkan oleh mahkmah konstitusi melalui putusan dalam
perkara pengajuan undang-undang yang merupakan salah satu kewenangannya
berdasarkan pasal 50 sampai pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi.
Sebagai gambaran dalam mengkaji putusan mahkamah konstitusi yang dirasa
telah merepresentasikan keadilan substantif, maka penulis perlu memberikan koridor
pembahasan dalam paper ini agar tidak mengalami perluasan pembahasan yang tidak
fokus dan menghindari kesimpangsiuran penyajian. Penulis hanya akan memaparkan
beberapa putusan mahkamah konstitusi yang telah di judicial review-kan oleh para
pihak dan telah di putus, serta satu perkara yang masih dalam persidangan akan tetapi
sudah ada putusan sela. Harapannya dari pemaparan itulah nantinya dapat diberikan
penilaian apakah putusan MK sudah mengedepankan nilai keadilan substantif yang
menjadi ekspektasi publik.
Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi terhadapa pengakuan atas hak pilih eks
PKI (Register No. 011-017/PUU-I/2003). Melalui putusan yang disampaikan secara
terbuka untuk umum pada hari Selasa, 24 Februari 2004, MK mengabulkan
permohonan perkara pengujian Undang- undang No. 12/2003 tentang pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD dan menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12 / 2003
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Alasan dan argumentasi mengapa para pemohon menolak Pasal 60 huruf g
Undang-undang Pemilu bahwa keanggotaan pada suatu organisasi terlarang sebelum
organisasi itu dilarang bukanlah suatu cacat dalam hukum maupun konstitusi, sehingga
pelarangan yang semata-mata berdasarkan pada itu dan tidak didukung oleh alasan yang
17
Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, (Liberty, Yogyakarta, 1990), hlm. 15. 18
Lihat UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
10
kuat sesuai hukum melalui pengadilan adalah diskriminasi, berdasarkan pandangan
politik adalah pelanggaran hak asasi manusia.19
Hal senada juga disampaikan oleh ahli,
Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, S.J yang memberi keterangan pada pokoknya bahwa
PKI dan organisasi lain termasuk yang disebut langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam gerakan 30 September dinyatakan terlarang dalam TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966. Bahwa andaikan TAP tersebut mempunyai kedudukan hukum yang
sah, tetapi pelarangan terhadap Anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak
berdasar karena bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Dalam petitumnya MK memandang ketentuan seperti pasal 60 huruf g tidak lagi
relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional.20
Meskipun keterlibatan PKI dalam
peristiwa G-30 S yang juga di amini oleh banyak kalangan, dan TAP MPRS No.
XXY/1966 masih berlaku, akan tetapi sebagai sesama warga negara Indonesia,
sungguhpun mereka yang bekas anggota PKI harus diperlakukan sama dengan warga
negara lainnya tanpa diskriminasi. Sungguhpun implikasi putusan ini menimbulkan pro
dan kontra di kalangan masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi isolasi
politik selama puluhan tahun terhadap eks PKI.21
Hal yang terpenting dalam putusan
tersebut adalah upaya MK dalam menyetarakan hak dan kewajiban konstitusional warga
negara Indonesia yang juga di jamin dalam konstitusi, putusan ini juga merupakan
terobosan untuk menghilangkan diskriminasi yang di „haramkan‟ baik dalam UUD 1945
maupun instrumen HAM internasional.
Kedua, Perkara No.3/PUU-VII/2009 tentang Penghitungan Tahap Kedua
Konstitusional Bersyarat, Konstitusionalitas Parliamentary Threshold 2,5%,
Presidential Threshold 20% dan Pemisahan Jadwal Pemilu.22
Para Pemohon
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
19
Lihat selengkapnya Putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. 20
Lihat www.hukumonline.com, diakses tanggal 16 Februari 2011 21
Bambang Sutyoso, Op. Cit, hlm. 111 22
Pasal yang di judicial review-kan di antaranya pasal 50 ayat (1), huruf g, 214 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10/2008. Lihat Ringkasan Permohonan Perkara Registrasi Nomor
131/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD “Ketidakpastian Hukum norma-
norma UU Pemilu Legislatif”,
hlm.7.AAtauadiaksesamelaluiahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20p
erkara%20131%20UU%20Pemilu%20Lgislatif.pdf. diakses tanggal 16 Februari 2011.
11
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemohon juga mendalilkan telah terjadi
kesewenang-wenangan oleh pembentuk undang-undang, pembentuk undang-undang
tidak mendasarkan perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan
konstitusi, melainkan hanya berdasar argumen kekuasaan semata. Atas dalil pemohon
tersebut dengan berbagai pertimbangan hukumnya, Permohonan judicial review atas
undang-undang a quo dikabulkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitus dan
menyatakan undang-undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Urgensi putusan tersebut secara implisit menjelaskan bahwa suatu pasal harus
ditafsirkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), tetap
konstitusional sepanjang tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan
ringan (culpa levis) dan kejahatan politik dalam pengertian perbuatan yang
sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging)
yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis. Nampaknya putusan ini
memprioritaskan atas jaminan hak asasi manusia untuk terus di nomor satukan dalam
konteks kebebasan berekspresi dan aspirasi.
Putusan yang sejatinya meminta kejelasan pada MK atas ketidakpastian hukum
norma-norma UU Pemilu Legislatif memang selaras dengan jaminan hak asasi manusia
yang termaktub dalam konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi. Pasal 28D ayat (1)
menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ini
merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara,
termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar
hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan
kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) menjadi sangat penting
dalam mewujudkan tatanan system hukum serta rasa keadilan masyarakat.
Ketiga, Kasus uji materil UU KPK dengan Pemohon Bibit-Chandra (Perkara
No.133/PUU-VII/2009), menarik untuk dicermati adalah berkaitan putusan sela yang di
lakukan oleh Mahakmah Konstitusi. Seperti kita ketahui bahwa MK sebelum
menjatuhkan Putusan Akhir menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32
ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
12
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan.
Permohonan uji materi tersebut dimohonkan oleh Bibit Samad dan Chandra Hamzah.
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pertama kalinya menetapkan putusan sela
terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berikut isi dari Putusan Sela MK:23
Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian;
Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan
berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yakni pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi
terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir
Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo;
Menolak permohonan provisi untuk selain dan selebihnya.
Putusan sela terhadap judicial review atas Undang-Undang a quo memiliki tujuan yaitu
kepentingan mendesak untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Namun perlu
dicatat bahwa putusan tersebut hanya secara administrasi saja yakni penundaan
penerapan pasal yang diujikan di MK.
Meskipun putusan sela kurang dikenal dalam hukum beracara di lingkungan
MK, namun MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
”......Oleh karenanya, meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi
dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran
hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang
perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a quo dengan mendasarkan pada
aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang
23
aPutusanaSelaaMK,adalamahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Per
kara%20Nomor%20133.PUU-VII.2009,%2029%20oktober%202009.pdf, diakses tanggal 16 Februari
2011.
13
dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan
sela”.24
Mahkamah juga memberikan pertimbangan bahwa relevansi dan signifikansi
diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD
adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma
hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan
padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam
putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah
kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa karena
diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau pasal undang-undang
tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.
Subtansi putusan tersebut menjelaskan pasal 32 ayat (1) huruf (c) Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tidak hanya bertentangan dengan asas pra-duga tidak
bersalah (presumption of innocence) melainkan juga bertentangan dengan hak setiap
orang atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas
perlakuan yang sama di depan hukum dan kepastian hukum yang adil, karena ketentuan
pemberhentian secara tetap tersebut menyimpang dari ketentuan pemberhentian
pimpinan lembaga Negara independen lainnya yang mensyaratkan adanya Putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.25
Pasal tersebut juga merupakan ketentuan
yang berlebihan dan tidak proporsional dan bertentangan dengan asas proporsionalitas
dalam pembatasan hak asasi manusia sebagaimana di atur dalam Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbanagan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara .
Mahkamah Konstitusi dalam yurisdiksi ini juga menegaskan akan pentingnya
perlindungan hak asasi manusia (HAM), pijakan yang di pakai jelas yaitu Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Sehingga sudah seharusnya tidak ada atau tidak diberikan sanksi atau
hukuman dalam bentuk diberhentikan sementara atau diberhentikan sebelum proses
24
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pengajuan Judicial Review UU No. 30 Tahun
2002 Tentang KPK Terkait dengan Status Pimpinan KPK (Putusan No. 133/PUU-VII/2009). 25
Sebagai perbandingan Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
14
hukumnya berakhir dengan adanya putusan bersalah yang telah berkekuatan hukum
tetap. Apabila ada seseorang yang di nyatakan bersalah seeblum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka hal itu
dapat dianggap sebagai pelanggaran atas asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence).
Asas pra duga bersalah yang dianut oleh Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-
Undang 30/2002 sesungguhnya mengandung sebuah keniscayaan menuju keadaan
diskriminatif dan kesewenang-wenangan dimana orang-orang dari kategori yang sama,
yakni para pejabat negara seperti para Hakim Konstitusi, anggota Komnas Hak Asasi
Manusia, para pejabat Bank Indonesia, anggota Polri, para anggota Kejaksaan yang
memperoleh perisai perlindungan asas pra duga tidak bersalah dapat membuka peluang
untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh aparatur negara. Keadaan yang membuka
peluang bagi terjadinya perlakuan sewenang-wenang dan diskriminatif oleh aparat
negara itulah yang ingin dicegah melalui asas persamaan di hadapan hukum dan
pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pola seperti itulah yang berusaha dijadikan dasar MK dalam memutus Perkara
No.133/PUU-VII/2009.
Persamaan kedudukan di hadapan hukum (Equality before the Law) dan
pemerintahan merupakan asas yang fundamental dalam kehidupan masyarakat
bernegara hukum. Keberadaan hukum menjadi tidak masuk akal bila ada perlakuan
hukum yang tidak sama terhadap subjek hukum dan objek hukum yang sama. Orang
atau kelompok dari klasifikasi atau kategori yang sama harus memperoleh perlakuan
hukum yang sama. Itulah ynag dikenal sebagai pedoman hukum berlaku umum. Oleh
karenannya dengan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang 30/2002
menunjukkan adanya diskriminasi perlakuan antara Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi selaku pejabat negara dengan pejabat negara lainnya, sehingga dengan
demikian penulis berpendapat bahwa berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-
Undang a quo adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
Keempat, sengketa Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Umum Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Konawe Utara (PHPUD) dibawah register
191/ PHPU.D-VIII/2010. Bahwa pemohon keberatan adalah tiga pasangan calon kepala
15
daerah (Kada) dan wakil kepala daerah (Wakada) yang mendalilkan dua hal, yakni
pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana, yang sama sekali tidak menyoal hasil
perhitungan suara sebagaimana ketentuan pasal 106 ayat (2) UU tersebut di atas. Bila
hakim MK mendahulukan asas kepastian hukum, maka berdasarkan ketentuan pasal
tersebut, maka MK akan menyatakan bahwa permohonan pemohon keberatan error in
objecto, dan harus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Tetapi walhasil,
justru MK membuat putusan sela sebelum kemudian membuat putusan akhir. Putusan
sela tersebut antara lain adalah : Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Konawe Utara untuk melakukan pemungutan suara ulang dalam Pemilukada
Konawe Utara Tahun 2010 di desa/kelurahan : (1) Desa Bandaeha, Kecamatan Molawe;
(2) Desa Tondowatu dan Desa Motui, Kecamatan Sawa; (3) Desa Wawolesea, Desa
Lemobajo, Desa Basule, Desa Waworaha, Desa Lametono, dan Desa Toreo, Kecamatan
Lasolo; (4) Desa Polora Indah, Kecamatan Langgikima; dan (5) Kelurahan Lembo,
Kecamatan Lembo.26
Putusan MK untuk kasus ini tidak bersifat final, tetapi putusan sela sebelum
nanti akan membuat putusan akhir. Apa sesungguhnya yang diinginkan MK dengan
membuat putusan seperti ini?. Kalau kepastian hukum yang diprioritaskan, sudah pasti
tidak, karena ketentuan tersebut di atas dikesampingkan. Tujuan di jatuhkannya putusan
sela tersebut ialah sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu
diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua
belah pihak. Menurut Sudikno Mertokusukumo yang menyatakan putusan sela
merupakan putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang
bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah
satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.27
Jelas bahwa adanya putusan sela semata
untuk kepentingan bersama agar terwujudnya keadilan yang menjadi tujuan hukum.
Kesimpulan
26
Penegakan Keadilan Substantif Ala Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Sengketa Hasil
Pemilukada Konawe, dalam
http://kendariekspres.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=9810, diakses tanggal 18
Februari 2011 27
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Cet ke-X, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 46-57
16
Hadirnya Mahkamah Konstitusi telah menjadikan harapan baru bagi para insan
pencari keadilan, aspek yang belum bisa tersentuh dalam ranah yudisial, seperti judicial
review akhirnya dapat terfasilitasi di lembaga independen tersebut. Lewat kewenangan
menguji UU terhadap UUD, MK menjadi penjamin terpenuhinya hak konstitusional
warganegara serta melindungi warganegara dari UU buatan legistator yang dapat
menimbulkan kerugian konstitusional
Sebagai wujud konkret atas kepercayaan masyarakat terhadapnya, maka melalui
jargon keadilan subtantif mahkamah konstitusi berupaya mewujudkan keadilan yang
hakiki melalui putusan-putusannya. Akan tetapi dalam teori dan praksisnya, nampaknya
persoalan keadilan substantif tersebut masih mengalami paradoksial, sehingga tidak bisa
dinegasiakan munculnya “asumsi negatif” terhadapnya. Dalam menjawab keraguan
tersebut, MK melalui beberapa putusannya mulai memberikan bukti nyata bahwa
putusan yang di hasilkan melalui majelis hakim merupakan cerminan keadilan yang
selama ini di harapkan oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya putusan tersebut telah
merepresentasi bahwa MK bukan hanya bersuara, tetapi bukti konkret juga berusaha di
hadirkana dalam ranah publik.
Daftar Pustaka
A. Garner, Bryan, editor, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West
Group.
Huijbers,Theo, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, Yogyakarta:
Kanisius.
Mertokusumo, Sudikno, 1989, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
___________, 1990, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Rawls, John, A Theory of Justice, 1973, terjemahan, London: Oxford University Press.
Retnowulan, Sutantio dan Oeripkartawinata, Iskandar, 2005, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Cet ke-X, Bandung: Mandar Maju.
Sutiyoso, Bambang, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkmah
Konstitusi, Yogyakarta: UII Press.
17
Asshiddiqie, Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar di UNS, Kamis, 2 September
2004.
Sutiyoso, Bambang Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indoensia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Zubaidy, Anang, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di
Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di
Yogyakarta, 14 Januari 2011.
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-
undang (PUU) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-
undang (PUU) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial
Putusan No. 133/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang (PUU) No. 30
TAHUN 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Putusan MK Pasal 60, dalam www.hukumonline.com, diakses tanggal 16 Februari 2011
KetidakpastianaHukumaNormaaUUaPemiluaLegislatif,adalamahttp://www.mahkamah
konstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20perkara%20131%20UU%20Pe
milu%20Lgislatif.pdf. diakses tanggal 16 februari 2011.
PutusanaSelaaMK,adalamahttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidan
g_Perkara%20Nomor%20133.PUU-VII.2009,%2029%20oktober%202009.pdf,
diakses tanggal 16 Februari 2011.
Penegakan Keadilan Substantif Ala Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Sengketa
Hasil
18
PemilukadaaKonawe,adalamahttp://kendariekspres.com/index2.php?option=com_
content&do_pdf=1&id=9810, diakses tanggal 18 Februari 2011.
Jawa Pos, Tanggal 3 Desemeber 2008
Problematika Menegakan Keadilan Substantif, dalam http://gp-ansor.org/7409-
10122008.html, diakses tanggal 19 Februari 2011
Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal 19 Februari 2011
KeadilanaSubstantifadanaProblematikaaPenegakannya,adalamahttp://www.situshuku
m.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm,diakses
tanggal 19 Februari 2011.
Top Related