MerekamDemokrasiAceh
MerekamDemokrasi
Aceh
Editor:Adi WarsidiNurdin Hasan
Merekam Demokrasi Aceh
Penerbitan ini terlaksana berkat kerjasama Katahati Institute dan Pusat
Resolusi Konflik dan Telaah Perdamaian (Center for Conflict Resolution
and Peace StudiesCCRPS) IAIN Ar-Raniry, serta dukungan dari
Masyarakat Jepang.
Diterbitkan pertama kali pada Desember 2009, dari hasil tulisan para
jurnalis yang mengikuti pelatihan Studi Antopologi dan Jurnalisme
Damai dan redaktur yang mengikuti Workshop Jurnalisme Damai
kerjasama Katahati Institute dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Kota Banda Aceh.
Disunting oleh Adi Warsidi dan Nurdin Hasan.
2009, Katahati Institute.
Jl. Lamreung No-17 Ulee Kareng
Banda Aceh 23117, Indonesia
Telp.(0651) 7410466
Fax. (0651) 636947
Email: [email protected]
Website: www.katahati.or.id
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Katalog Dalam Terbitan(ed.) Warsidi, Adi, 2009Merekam Demokrasi Aceh/Adi Warsidi dan Nurdin Hasan
xii + 152 h. 20 x 25 cm.
ISBN 978-979-16458-3-6
Dirancang dan disusun dengan huruf Palatino dan Helveticaoleh Khairul Umami.
Desain sampul oleh gepe dengan ilustrasi dari Tauris Mustafa.
RIzA NASSERHadiah Berbalut Noda1
SuPARTA
Golongan Putih Kutaradja9
YULI R AHMADRaib Sebelum Mencontreng15
M ELLYANPerempuan Antara Peluang dan Ancaman27
J UNAIDI MULIENgDua Partai Bergandeng Menang35
Daftar Isi
viii
SALMAN MARDIRABuah Ingkar Prajurit Pendata43
KHITHTATI
Liku Pesta Demokrasi di Aceh51
M UHAMMAD If DHALBerlindung dalam Tradisi59
REzA fAHLE vIBerkah Lain dari Pemilu65
zULKARNAINIKemenangan karena Rakyat69
RI zKI MAULIDABukan karena Iklan73
TAHARAH
Yang Menang dan Ganti Nama79
ISKANDAR NoRMANBiola Damai85
A LAIDIN I KRAMIDemokrasi Cacat 91
fAKHRURRAD zIE gADEusai Jamuan di Sebuah Jambo97
daftar isi
ixMerekaMdeMokrasi aceH
M URI zAL H AMzAH"Lon Hana Teupeue..."105
A RIf R AMDANKursi Perdamaian111
J UNAIDIPerang Belum usai119
M AIMUN S ALEHBermain Api di Takengon125
SAID K AMARUzzAMANMengungkap Sipil Bersenjata Api 131
TA u FIK AL Mu BARAK
Pria Bergelar Komputer137
N URDIN H ASANTeror usai Deklarasi Damai145
PengantarPenerbit
Alhamdulillah, situsasi pasca damai Aceh, telah banyak melahirkan kembali inspirasi-inspirasi dari anak bangsa, untuk mengisi semangat perdamaian agar terus bersemi dalam agenda masyarakat Aceh. Kejenuhan dan kehilangan segalanya akibat konflik yang panjang telah menyebabkan berbagai inpirasi untuk
membangun Aceh yang lebih baik menjadi terhambat. 15 Agustus 2005
dengan Mou Helsinki antara Pemerintah dan gAM telah membawa perubahan yang cukup fantastik dalam nuansa ke-Acehan, keharuan yang merupakan hikmah terbesar sejak 30 tahun untuk meniti kembali pembangunan Aceh.
Empat tahun damai bersemi di Aceh telah memberikan harapan besar bagi generasi Aceh, untuk bahu membahu menata pranata kehidupan ekonomi sosial dan politik serta mengawal amanah perdamaian nan abadi di Bumi Serambi Mekkah.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan ide-ide kreatif dari anak bangsa dengan ruh perdamaian dan demokrasi dalam merekam fakta
xiipengantar
penerbit
Aceh, menulis Aceh dengan semangat perdamaian untuk meraih masa depan yang lebih gemilang. Setiap peristiwa ataupun pikiran menjadi penting untuk ditulis sebagai partisipasi anak bangsa dan upaya pendokumentasian atas peristiwa yang selalu terjadi di sekitar kita. Namun, harus dikaji kembali setelah damai terwujud apa yang berubah? Perdamaian menjadi kunci utama untuk menentukan masa depan Aceh dalam segala aspek.
Buku Ini menjadi penting sebagai sebuah upaya pendokumentasian atas fakta demokrasi yang berlaku di Aceh dan rujukan pemikiran baik yang terekam baik keresahan, dan harapan, praktek keberhasilan yang menjadi satu. Demokrasi adalah titik ukur awal untuk menulis sejarah selanjutnya.
Akhirnya, ucapan terimakasih sekali lagi dari Katahati Institute kepada penulis, organisasi mitra program Aliansi Jurnalis Independen (Aji Banda Aceh), CCRPS IAIN Ar-Raniry dan Kedutaan Jepang yang
telah mendanai berjalannya program Jurnalisme Damai.
Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H 7 September 2009 fAHRUL RIzHA YUSUf Direktur Eksekutif Katahati Institute
PengantarEditoroleh: Adi Warsidi
Mencoba rekam kisah-kisah dalam damai Aceh yang masih muda. Tentang demokrasi yang berlaku di Bumi Serambi,untuk dibaca sampai generasi selanjutnya.
Meneruskan kisah dengan lisan, akan membengkokan riwayat yang dibaca generasi depan. Meneruskan cerita lewat tulisan, sedikitnya terbacalah sejarah negeri dalam sebuah kebenaran dan layak dikenang.
Terilhami kata itu, sebuah agenda kami siapkan. Tujuannya,
mengumpulkan tulisan saat pesta demokrasi Pemilihan umum (Pemilu)
2009 sedang berlangsung di Aceh. Catatan memberi label, itulah Pemilu pertama di Aceh setelah konflik senjata berakhir, setelah damai hadir
pada 15 Agustus 2005 silam.
Beberapa jurnalis muda berkumpul, lalu mengikuti sebuah pembelajaran singkat, sepuluh hari untuk mengingatkan kembali pentingnya merekam sejarah, perlunya menulis dengan baik dan tak ada embel-embel kepentingan penguasa di dalamnya.
Pembekalan usai. Mereka terjun ke lapangan mengumpulkan sepatah-sepatah informasi yang terserak pada masyarakat, pejabat maupun mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pemilu
xiv
itu sendiri. Kemudian kata dirangkai dan lahirlah tulisan tentang demokrasi, kala damai masih muda.
Beragam kisah tentunya. Ada cerita tentang intimidasi dalam pemilihan, golongan putih, kisruh data pemilih sampai keikutsertaan perempuan Aceh dalam ramainya pesta. Mereka menulis dengan lugas dan menyampaikan informasi apa adanya, yang didapat untuk dikabarkan kepada publik. Bahwa beginilah pemilu di Aceh, yang pertama sesudah perang. Bahwa beginilah kisah pemilihan wakil rakyat untuk duduk di parlemen pusat dan daerah.
Kekurangan tentu ada, terasa saat kami menyuntingnya. Tapi tiada
yang fatal, hingga semua kisah yang ditulis layak tayang. Jadilah buku ini, memuat bagian kecil sejarah Aceh yang tak rugi dibaca siapapun dan sampai kapanpun. Atau mungkin untuk sekadar tahu, inilah lakon demokrasi di Aceh, 2009.
Sebagai pembanding dan mungkin juga pengingat, ada beberapa laporan yang tidak bercerita tentang Pemilu, tetapi rekaman Aceh dari sejarah lain, saat konflik dan kondisi seusainya. Tulisan bagian ini lahir
saat para jurnalis senior duduk bersama dan berembuk, membahas tentang perdamaian kita. Ikut dibantu oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, mereka di antaranya Nurdin Hasan, Murizal Hamzah
dan Fakhrurradzie M Gade.
Maka buku ini semakin kaya dengan sumbang tulisan wartawan yang sudah karatan meliput Aceh. Terakhir, saya ingin mengingatkan
bahwa para penulis sudah mencoba menorehkan kisah untuk sejarah. Agar generasi sesudah kita tak lagi mengira, bahwa yang dulu hanya pandai berkata-kata. ***
Banda Aceh, September 2009
pengantar editor
MerekamDemokrasiAceh
Hadiah Berbalut NodaOleh Riza Nasser vivanews.com
Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam milik Rusli (bukan nama sebenarnya). ustad di pedalaman Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie itu sedikit gusar. Pengirim pesan, pria yang pernah bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ternama di
kampung dan sempat melarikan diri ke Malaysia. Assalamualaikum tengku, ada hal penting yang ingin saya
bicarakan, saya ke rumah anda sekarang, bunyi SMS itu. Meski malam telah larut, Rusli mengizinkan.
Selang beberapa menit. Pria berkopiah, muncul di ambang pintu rumahnya. Sebaiknya tengku mundur sebagai Caleg, ia memulai percakapan. Sontak Rusli terkejut. Itu tidak dilarang undang-undang, hak saya untuk memilih partai manapun, kata politisi Partai Daulat Aceh (PDA) ini.
Simpatisan Partai Aceh itu tetap ngotot. Dia kembali mendesak Rusli mundur dari bursa pencalonan. Dengan tenang Rusli berujar, kenderaan kita berbeda tapi tujuan kita sama, demi kemaslahatan
2HadiaH
berbalut noda
umat itu harga mati bagi saya. Merasa usahanya kandas, ia memotong pertemuan. Kalau tidak
percaya ya terserah, nanti tahu sendiri akibatnya, ujar tamu sambil berlalu pergi. Saya tahu dia diutus untuk menggertak saya, mereka anggap dia bisa mempengaruhi saya, ungkap Rusli, 30 tahun kepada saya, pertengahan Mei 2009 lalu.
Rusli masih beruntung. Rekannya yang juga calon legislatif PDA bahkan sempat dihadang sekawanan kader Partai Aceh. Perkaranya sederhana, ada stiker partainya di sepeda motor. Motornya diancam bakar kalau masih ada stiker Partai Daulat Aceh, kisah Rusli.
Sejak dideklarasikan menjadi partai politik lokal, Partai Aceh disegani lawannya. Partai ini dibentuk secara resmi pada tangal 7 Juni 2007 oleh para mantan gerilyawan gAM. Sebelum bernama Partai Aceh, Partai bernama Partai gAM.
Departemen Hukum dan HAM menolak memverifikasi, partai ini
masih berbau gerakan perlawan, dengan mengunakan bendera bulan bintang ber-striping merah, putih, hitam, serta tak punya singkatan nama Partai. Lalu berganti nama menjadi Partai gerakan Aceh Mandiri (GAM). Setelah proses panjang, akhirnya nama Partai ini diganti lagi
menjadi Partai Aceh (PA), dan ditetapkan menjadi salah satu Partai
lokal peserta Pemilu di Aceh. Partai Aceh, memang memiliki massa dihampir semua wilayah
Aceh. Dalam setiap kampanyenya, partai ini menyebut dirinya sebagai satu-satunya partai lokal yang diamanahkan perundingan damai (Mou)
di Helsinki. Partai Aceh amanah MoU Helsinki, partai lain semua ikut-ikutan, sudah ada SIRA, PRA, inilah, itulah tau apa mereka, Sebut Sofyan Dawood, juru kampanye Partai Aceh, dihadapan ribuan masanya yang berkumpul di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, 1 April lalu.
Sofyan Dawood menuturkan, setelah menguasai parlemen, Partai Aceh akan memperjuangkan lahirnya aturan pelaksana serta me-
3MerekaMdeMokrasi aceH
review undang-udang Pemerintah Aceh (uuPA). Yang paling penting,
mengenai pasal soal ekonomi. Dengan banyaknya caleg orang Aceh yang duduk di parlemen, maka akan banyak kebijakan pemerintah
yang berpihak kepada masyarakat Aceh, ekonomi Aceh harus maju, sebutnya.
Menurut dia, Partai Aceh tidak butuh modal uang yang begitu besar untuk kampanye. Sebab, PA telah berkampanye sejak tahun 1976 lewat
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah kendali Hasan Di Tiro. Darah
dan keringat orang Aceh selama 32 tahun, kata Sofyan, menjadi modal bagi Aceh kedepan.
Dirinya juga mempertegas komitmen kelompok ini terhadap damai. Kata dia, tidak ada lagi tuntutan merdeka bagi rakyat Aceh dan gAM, jika pemerintah pusat berlaku adil. Baik GAM, KPA (Komite Peralihan
Aceh) dan Partai Aceh tidak pernah akan menuntut merdeka lagi, katanya. KPA adalah organisasi yang dibentuk untuk menampung aspirasi para mantan kombatan.
Dengan modal kampanye itu, Partai Aceh berhasil meraih 49,91
persen suara rakyat pada Pemilu legislatif untuk kursi DPR Aceh. Di Kabupaten Pidie yang dikenal sebagai daerah basis gAM, Partai Aceh meraih 152.048 suara. Partai Demokrat menyusul dengan 9.036 pemilih,
PDA 5.187 suara, Golkar 5.023 suara dan PKS dengan perolehan suara
sebanyak 4.610 pemilih.
***
Kemenagan Partai Aceh disambut riang oleh Syamaun, warga Indrapuri Aceh Besar. Pasalnya pada Pemilu 9 April lalu, dia juga memilih partai Aceh. Harapannya, Aceh akan lebih baik dari sebelumnya. Partai ini Partai orang Aceh, pasti mereka akan bikin Aceh lebih baik, sebut pria berumur 43 tahun ini.
Menurut Syamaun, Partai yang dipilihnya selama empat Pemilu ke
4HadiaH
berbalut noda
belakang, tidak menunjukkan perubahan bagi Aceh. faktor lain yang membuatnya berpindah hati, karena baru kali ini ada partai lokal. Capek kita dengar mereka umbar janji terus, makanya kali ini kita lihat bagaimana orang Aceh yang memimpin.
Pedagang sayur di pasar Lambaro ini, mengaku mendukung perjuangan gAM. Karena itu alasan itulah, dia memilih Partai Aceh. Meski begitu, dia tak mahu Aceh kembali bergolak. Menurutnya dengan adanya partai, Perjuangan gAM tak memakan korban lagi. Yang penting tidak ribut lagi, sekarang sudah lebih baik, katanya.
Berbeda dengan Syamaun, Mardiati (bukan nama sebenarnya),
warga di Kecamatan Keumala, Pidie, mengaku memilih Partai Aceh karena tak mau panjang urusan. Pasalnya, jauh-jauh hari sebelum pemilihan, dia telah diwanti-wanti untuk memberikan suara bagi partai mantan petempur GAM itu. Tak memilih partai ini, siap-siap saja
mendapat cemoohan.Pernah ada seorang warga yang tidak memilih Partai Aceh selalu
disindir-sindir, kata perempuan berusia 40-an tahun itu. Kalau nggak
milih Partai Aceh, pergi saja dari sini.Di lain waktu, simpatisan Partai Aceh menakut-takuti warga.
Mereka bilang Aceh akan ribut lagi kalau PA tidak menang, ujar Mardiati.
Selain itu, Kader Partai Aceh kata Mardiati, juga meminta masyarakat untuk tidak memilih caleg untuk kursi DPR-RI. Aceh tidak punya urusan lagi dengan jakarta, jadi tidak perlu memilih caleg DPR-RI, ungkap Mardiati, menirukan seruan kader PA itu.
Cerita Mardiati, juga menjadi salah satu alasan penolakan hasil Pemilu oleh 21 Partai lokal dan nasional di Kabupaten Pidie. Dalam surat pernyataan yang dikirimkan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Partai-partai tersebut mengungkapkan bahwa banyak saksi
mereka yang diancam oleh kader PA. Ada beberapa saksi yang diusir di TPS. Kita menolak itu karena ingin
5MerekaMdeMokrasi aceH
ada penyelesaian yang serius, kata T Syahrial, Ketua Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Kabupaten Pidie, yang juga ikut menandatangani surat
pernyataan penolakan tersebut.Mereka mensinyalir, kader Partai Aceh telah mengatur sedemikian
rupa setiap TPS, untuk memudahkan kadernya mengarahkan pemilih
saat masuk ke bilik suara. Partai Aceh juga dituding mengerahkan kadernya untuk menjadi pengawas Pemilu tingkat Kecamatan dan Gampong, sampai putagas pengamanan TPS.
Sebanyak 21 partai ini sempat berencana mengajukan sengketa itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hingga batas waktu pemohonan
sengketa Pemilu ditutup, partai-partai ini tidak mengajukan keberatan mereka terhadap pelaksaan Pemilu di Pidie kepada MK. Saya tidak tahu pasti sudah sejauh mana proses penyelesaian kasus itu, yang pasti kita sudah mengajukannya kepada Panwaslu dan kepolisian, sebut Syahrial.
Partai Rakyat Aceh (PRA) mengaku juga sering mendapatkan
ancaman. Menurut Seketaris PRA, Thamren Ananda, initimidasi itu
berupa gertakan, hinaan, sampai dengan pemukulan kader mereka. Ada banyak kasus, tapi kami tidak mencatat berapa jumlahnya, sebut Thamrin.
Kata Thamrin, teror dan intimidasi malah sudah terjadi saat masa
verifikasi Partai politik. Misalnya di Kecamatan Lamlo, Pidie, Ketua
PRA kecamatan tersebut dipukuli oleh kader Partai Aceh, karena menolak mundur dari jabatannya. Waktu itu Panwaslu (Panitia
Pengawas Pemilu) belum terbentuk, kita melaporkannya ke Polisi, tapi tidak diselesaikan, katanya.
Demikian halnya dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Safaruddin. Dia juga mengaku, kader
partainya banyak diintimidasi oleh simpatisan Partai Aceh. Mereka cuma bercerita kepada kami, tapi ketika diminta untuk melapor kepada Panwas, mereka tidak berani, ujarnya.
6Dia mengatakan, sulit membuktikan intimidasi yang dilakukan kader Partai Aceh. Untuk menyelesaikan kasus intimidasi, pengurus Partai SIRA hanya mengajukan komplain kepada pengurus Partai Aceh. Itu untuk menghindari konflik yang menyebar. Kami tidak mau
memperpanjang masalah, demi menjaga damai, sebutnya.
***
Adnan Beuransyah, Juru Bicara Partai Aceh, menampik tuduhan kadernya sering melakukan praktik ancam-mengancam. Menurutnya, pihak PA tidak pernah memberikan perintah kepada kader Partai untuk melakukan intimidasi. Semangatnya adalah menjaga perdamaian Aceh. Tidak ada intimidasi yang kami lakukan
ke pemilih, ujarnya.Namun, Adnan menyebut, pengurus tidak sanggup mengontrol
para simpatisan. Pengurus dan kader PA tidak mengintimidasi, tapi simpatisan tidak sanggup dikontrol, akunya.
Seketaris Partai Aceh, Muhammad Yahya, mengatakan teror dan intimidasi malah sering menimpa Partai Aceh. Mereka mencatat telah terjadi 55 kasus. Sebanyak 30 kasus diangap ringan seperti penurunan
atribut dan ancaman terhadap kader partai, telah terjadi. Sementara kasus yang berat, seperti pembakaran dan penggranatan
tercatat 18 kasus. Selebihnya adalah kasus pembunuhan kader Partai. Tujuh orang kader kami dibunuh, sebutnya.
Dia menyarankan agar pihak yang menuding Partai Aceh melakukan teror dan intimidasi menunjukan bukti yang kuat. Selama ini tidak ada bukti yang kuat atas tudingan itu, jika memang ada silahkan buktikan, ujarnya.
Meski begitu dia memaklumi tudingan itu. Sebab menurutnya setelah damai, Aceh baru saja mulai menata demokrasi. Kita sekarang sedang sama-sama belajar berpolitik, sebutnya.HadiaHberbalut noda
7MerekaMdeMokrasi aceH
Anggota Panwaslu Aceh, Asqalani mengaku menerima laporan intimidasi terhadap saksi dari partai nasional dan sebagian partai lokal di Pidie dan Aceh Timur. Namun banyak kasus yang tidak bisa
dilanjutkan penyidikannya. Malah juga ada laporan yang dicabut dengan alasan yang tak jelas. Banyak masyarakat setelah melaporkan adanya tindak pidana Pemilu tidak berani menjadi saksi, jadi banyak kasus yang masuk tidak bisa diteruskan penyidikannya ke polisi, ungkapnya.
Sebelumnya, Panwaslu Aceh menemukan 247 kasus pelanggaran
Pemilu di Aceh. Hanya 16 kasus intimidasi yang dilaporkan kepada
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Beberapa kasus dilimpahkan
kepada Kepolisian, tapi sebagian besar dikembalikan karena tak cukup bukti.
Dengan jumlah tenaga pengawas yang terbatas, Asqalani mengakui pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan maksimal. Mereka mengandalkan laporan dari masyarakat untuk menindak lanjuti adanya kecurangan maupun intimidasi dalam Pemilu.
Pengamat Politik, Mawardi Ismail menilai kemenangan Partai Aceh tidak serta merta karena teror dan intimidasi. Indikasi itu, katanya tidak terlalu berpengaruh terhadap kemenangan Partai Aceh. Tidak begitu
besar pengaruhnya, meski saya tidak membantah hal itu ada, katanya.Lebih jauh, Mawardi menyebut, kemenagan partai ini merupakan
hadiah masyarakat untuk gAM yang berjuang selama 30 tahun. Dia merunut pada pilkada 2006 lalu, dimana calon independen dari
kalangan gAM juga berhasil meraih tampuk kepemimpinan. Buktinya dari gubernur sampai bupati banyak yang berasal dari mantan gAM, ini merupakan bentuk penghargaan rakyat kepada gAM.
Mantan Dekan fakultas Hukum Unsyiah itu mengatakan, Partai Aceh lebih siap ketimbang lima partai lokal lain. Struktur partai itu juga sampai ke pelosok desa. Untuk Pemilu kali ini saya rasa wajar Partai Aceh menang, tuturnya.
8Menurut Mawardi, pengunaan metode teror dan intimidasi untuk dalam Pemilu, sama tuanya dengan praktik membeli suara. Ini sudah lazim dilakukan partai politik, praktik semacam itu tidak begitu
mempengaruhi suara rakyat, tidak terbukti efektif.Mawardi juga menyebut, jika Partai Aceh tak melakukan intimidasi,
mungkin partai besutan kombatan gAM ini akan meraih suara lebih besar lagi. Kedekatan emosional, mempengaruhi pemilih. Tanpa
intimidasi pun mereka menang, ujarnya. Semacam hadiah, tapi berbalut noda? ***
HadiaHberbalut noda
golongan Putih Kutaradjaoleh Suparta Harian Aceh
Sepekan jelang Pemilu, undangan sampai ke tangannya. Namun Mahfud, sama sekali tak tertarik pada perhelatan lima tahunan itu. Ia memilih menjenguk keluarga di Pidie Jaya daripada ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kelurahan Buerawe Banda Aceh.
Alasannya keengganannya, sederhana; janji para calon legislatif (caleg) tak bisa dipegang. Lagi pula, mayoritas kandidat politisi-
politisi lama. Bagi pria 28 tahun itu, anggota legislatif tak memikirkan kepentingan rakyat.
Selama mereka duduk di kursi dewan, apa yang telah diperjuangkan untuk rakyat, selain kepentingan pribadi dan kroninya, tegas Mahfud.
Alasan lain, para caleg dinilainya terlalu haus kekuasaan. Padahal, secara akademis dipandang tak mampu mengemban peran legislasi. Dari pada salah memilih, lebih baik menerima hasil pilihan orang, ujar karyawan swasta ini.
Ketidakpercayaan pada calon anggota legislatif juga menjadi alasan Saini tak menggunakan hak pilihnya. Pria 37 tahun ini mengaku kesal
10golongan putiH
kutaradja
dengan anggota dewan yang dipilihnya pada Pemilu 2004 lampau. Ia
memilih calon yang dikenalnya sangat merakyat. Namun apa lacur, Dia berubah setelah duduk di kursi dewan, kata pedagang keliling ini. Selama menjadi anggota dewan, dia tidak pernah menepati janjinya semasa kampanye dulu.
Saini berlaku apatis pada pemilihan kali ini. Parahnya, Saini mengklaim mayoritas caleg sekarang ini tak akan mampu menepati janji-janji yang ditebar selama masa kampanye. Pun begitu, warga Peunayong ini memilih menyambangi lokasi pemungutan suara, hanya untuk mengantar sang istri mencontreng. Tak enak sama Pak Lurah,
katanya, tersenyum.Hal senada juga dilakukan Yanti 19 tahun, walau baru pemilu kali ini
namanya terdaftar sebagai pemilih, namun dia memilih tidak datang ke
TPS dan memilih bermalas-malasan di rumah pada saat yang lainnya
menyalurkan aspirasi politiknya. Malas datang ke TPS, pemilunya
rumit, pake antri lagi, kata mahasiswi fakultas keguruan ini.Besarnya kertas suara, serta pengetahuan yang minim tentang latar
belakang para calon legislatif, menjadi alasan Yanti memilih golput. Uniknya dia mengaku mengikuti sosialisasi cara memilih bagi pemula, yang diprakarsai KIP Aceh di kampus IAIN Arraniry jelang pemilu.
Mahfud, Saini dan Yanti, merupakan bagian dari warga yang memilih mengabaikan hak suaranya dalam pemilihan 9 April lalu atau lazim disebut golongan putih (golput). Di Banda Aceh, jumlah mereka
yang berada di saf ini mencapai 51.586 orang atau hampir 40 persen, dari total calon pemilih 174.858 orang. Angka ini terbilang besar. Bandingkan
dengan angka golput di tingkat provinsi yang hanya 23 persen.Tingginya angka golput ini mengkhawatirkan. Sebab, sikap politik
ini lahir dari sikap apatis yang diperlihatkan warga. Sosiolog Universitas Syiah Kuala Ahmad Humam Hamid menyebutkan, para pemilih dewasa ini sudah pintar dan tak lagi termakan janji-janji yang diumbar para caleg sebelumnya. Mereka kecewa, karena calon yang dia pilih
11MerekaMdeMokrasi aceH
GOLPuT PeMILu LeGISLATIF PeR KeCAMATAN
GOLPuT PILKADA LeGISLATIF PeR KeCAMATAN
11MerekaMdeMokrasi aceH
12
sebelumnya tidak bisa membawa perubahan seperti yang dijanjikan,
ujar Humam.Humam tak sepenuhnya melihat membengkaknya angka golput
karena sikap apatis tadi. Ada juga, menurut Humam, yang mengabaikan hak pilihnya karena memang bisa dikatakan sebagai pemilih rasional, yang kebanyakan tinggal di perkotaan. Namun, Mereka akan memilih calon, sesuai dengan hati nuraninya, kata mantan calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu.
Tak berlebihan analisis Humam ini. Sejumlah pemilih mengaku
menggunakan hak pilih karena ada teman yang menjadi calon anggota legislatif. T. Patria misalnya. Ia hanya mencontreng kertas suara untuk
pemilihan parlemen di tingkat kota. Sementara kertas suara untuk tingkat provinsi, pusat, dan anggota senator, dibiarkan terbungkus rapi seperti sedia kala saat diserahkan petugas.
Untuk DPD dan DPR RI, serta DPRA, saya tidak pernah buka, sampai dimasukkan ke kotak suara, ujar pengusaha muda ini. Sayang, jagoan saya tidak mendapat kursi.
Persoalan warga menjadi golput juga tak sepenuhnya karena alasan sikap politik. Humam Hamid menilai, amburadulnya proses pendataan pemilih juga menyumbang sebab. Jamak dikabarkan media, banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Belum lagi, proses
pencontrengan yang rumit dan merepotkan: kertas suara ukuran jumbo dan calon legislatif yang ribuan.
Ribet sih, kertas suaranya terlalu besar, kenapa tidak dibuat versi kecil aja, kata Felly Nazilah. Walau demikian Felly mengaku pulang dari Sigli khusus untuk ikut Pemilu. Walau rumit dengan besarnya kertas suara, dia mengaku senang dapat menggunakan aspirasi politiknya.
Dokter berusia 27 tahun ini terpaksa memilih karena namanya masuk dalam DPT. Kalau nggak masuk, nggak milih sih, ujar felly. Dia mengaku mencontreng dengan benar ke empat kertas suara yang disodor panitia. Rugi dong, masa udah capek-capek antri di TPS ngak golongan putiHkutaradja
13MerekaMdeMokrasi aceH
milih semua, ujarnya polos.
***
Kecamatan Kutaraja keluar sebagai juara karena menyumbang angka golput terbesar di Banda Aceh. Di kecamatan yang dipimpin Ria Jelmanita ini, sebanyak 49,5 persen dari 5.765 jiwa yang masuk DPT, mengabaikan hak suaranya. Angka ini turun
dibandingkan jumlah kelompok putih pada pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu yang mencapai 64,1 persen dari 4.161 pemilih
Tapi, Ria menolak disebutkan wilayahnya penyumbang terbesar bagi
kelompok putih. Menurutnya, banyak warga yang terdaftar di DPT tak
lagi berdomisili di kecamatan itu. Mereka umumnya pindah tempat tinggal karena mendapat rumah bantuan, namun masih terdaftar
sebagai pemilih di kelurahan asal, jelasnya.Selain itu ada juga warga yang telah meninggal masuk dalam DPT,
dan ada juga yang namanya ganda. Sedangkan masyarakat yang sudah wajib memilih ada yang tidak masuk dalam daftar memilih, Kita
telah memperbaiki daftar pemilih tetap, untuk pemilihan presiden
mendatang.Menurut dia, partisipasi masyarakat di kecamatannya tinggi, dalam
mengikuti ritual lima tahunan itu. Buktinya pada simulasi masyarakat sangat antusias, terang camat wanita di Kota Banda Aceh ini.
Sementara Manawarsyah ketua Pokja Sosialisasi komisi independen pemilu (KIP) Banda Aceh, manapik, banyaknya Golput dan suara tidak
sah di Banda Aceh karena gagalnya sosialisasi yang pihaknya lakukan.Menurut dia, KIP telah melakukan berbagi upaya, untuk membangun
partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. Sosialisasi telah dilakukan KIP, baik dengan pertemuan-pertemuan, selebaran maupun melalui media, kata dia
Munawarsyah mengungkapkan, adanya suara tidak sah pada pemilu
14golongan putiH
kutaradja
legislatif lalu bukan dikarenakan kurangnya pemahaman dengan cara memilih, tapi suara rusak tersebut di sengaja oleh pemilih, karena terjadi perbedaan angka untuk DPRK, DPRA, DPD dan DPR-RI
Malah di kertas suara, pemilih meneluarkan kreasinya, ada yang menggambar, misalnya menambah kumis caleg, dan juga ada yang menulis Wakil Rakyat hana jelas, Hana Muesoe-soe kajuet keucalon dewan, kata dia
Sedangkan untuk warga yang tidak datang ke TPS, karena banyak
pemilih di Banda Aceh dari kalangan mahasiswa dan bertepatan dengan libur panjang, maka diperkirakan mereka memilih pulang ke kampungnya.
Apa pun alasan KIP, Mahfud dan Saini masih tetap pada keyakinannya untuk bergolput. Bahkan, sikap ini juga akan ditunjukkan pada pemilihan presiden Juli mendatang. Dengan alasan calon atau pasangan calon yang maju masih juga pemain lama
Dari zaman dulu, siapapun yang duduk di dewan tidak ada yang
bekerja ikhlas demi rakyat kalau tidak ada kepentingan, mereka hanya pengemis terhormat menjelang pemilu, demikian ujar Mahfud. ***
Pastikan nama anda telah terdaftar dalam pemilihan presiden 8
Juli mendatang, begitu untaian ajakan yang terpampang pada sebuah pamflet berukuran 8 x 4 meter di pojok Simpang Mesra,
Banda Aceh. Adanya baliho yang berukuran besar ini menimbulkan segelintir
pertanyaan bagi masyarakat Banda Aceh. Pasalnya, sebelum penetapan DPT Pemilihan Legislatig (Pileg) pada akhir 2008 lalu, baliho bercorak
orange ini tak pernah ditemukan. Di situ hanya terpampang iklan isak tangis dan realita duka tsunami, hasil rekaman kamera.
Baliho yang sama tidak saja terpampang di Simpang Mesra Banda Aceh. Sejumlah ruas Banda Aceh lainnya seperti di depan Rumah Sakit umum Dr Zainoel Abidin (RSuZA), Simpang Surabaya, Keudah,
begitu juga di depan kantor Komunikasi dan Informasi Aceh juga menampilkan seruan senada.
Kenyataan itu membuat Erlina Wati, warga Desa Rukoh, Banda Aceh terpaksa membuang amarah yang pernah ditujukan kepada
Raib SebelumMencontrengoleh Yuli Rahmad theglobejournal.com
16
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai pelaksana Pemilu.
Pasalnya pada pemilihan legislatif 9 April lalu, hak pilihnya terenggut oleh kebrobrokan kinerja KIP, dalam mensosialisasikan DPS kepada masyarakat sebelum ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT).
KIP sudah sadar. Mereka tahu kalau pada Pemilu Legislatif lalu, sosialisasi DPT minim, ujar ibu muda ini.
Kesal wajar saja dilontarkan Erlina. Pasalnya, tak ada yang memungkiri sosialisasi DPT pada Pileg lalu minim. Perubahan itu jelas dirasa. Sebut
saja fenomena unik yang didapati erlina jelang pemutakhiran DPT
Pilpres Mei lalu di desanya. Selain adanya beberapa spanduk yang juga menghiasi ruas desanya, petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) juga
mendatangi rumahnya. Tujuan petugas itu tak lain untuk memastikan
erlina dan suaminya sudah terdaftar dalam DPT Pilpres mendatang.
Tidak hanya rumahnya, rumah warga lainnya juga dikunjungi petugas
yang sama.Sama halnya apa yang dialami Nasruddin, warga Cot Reng, Pidie
yang keseharian berprofesi sebagai tukang becak. Langkahnya terhenti menuju lokasi pemilihan ketika diketahui namanya tak tertera di DPT.
Kesal juga pernah disampaikan kepada PPS setempat. Tapi hak pilihnya
tetap tak bisa didapat. Saya sudah marah-marah. Tapi waktu saya lirik, Ketua PPS-nya
tak memperlihatkan aura marah. Sebenarnya siapa yang salah ya, ujar laki-laki yang kerap disebut Bang Nas ini bertanya.
Namun hal itu tak lama dipikirkannya. Menjalani rutinitas merupakan hal yang lebih penting baginya, daripada membahas calon pemimpin masa depan yang mungkin saja akan membohongi masyarakat demi mendapatkan kursi parlemen.
Dari kabar yang beredar di masyarakat, KIP yang merupakan pelaksana Pemilu minim anggaran. Hal itu juga yang membuat aksi sosialisasi minim. Tak ayal, PPS di desanya tak mampu mengadakan
sosialisasi secara intens.raib sebeluM Mencontreng
17MerekaMdeMokrasi aceH
Jelang pelaksanaan Pemilu Presiden, polemik DPT mendapat respon
yang lebih besar. Begitu juga dengan perbaikan DPT yang terjadi
di Desanya. Seruan peringatan perbaikan DPT hampir setiap hari
dibacanya. Begitu juga dengan baliho berukuran besar yang terpampang menantang setiap kali mengantar penumpangnya melewati Simpang Mekar Kota Sigli dan Pasar grong-grong. Bahkan peristiwa unik yang dialami Erlina juga dialaminya. Petugas PPS mendatangi rumah ke rumah termasuk rumahnya yang sebutnya sangat sederhana. Akhirnya nama saya terdaftar di DPT, ujarnya terkekeh-kekeh.
Banyak tudingan masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2009 lebih buruk dibandingkan dengan Pemilu 2004 dan Pemilu sebelumnya, para
peserta Pemilu yang meliputi Partai Nasional, Partai Lokal, dan para caleg juga gencar mencari perlindungan hukum untuk menggugat KPU maupun KIP yang dinilai menyisakan dilema bagi kalangan mereka.
Meski para caleg terpilih telah diumumkan pada 18 Mei 2009 lalu, namun empat partai lokal meliputi, Partai Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Daulat Aceh
(PDA) masih memperjuangkan haknya di Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam Perkara Hasil Pemilihan umum (PHPu) legislatif.
Selain dugaan tingginya angka kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu, polemik kisruh DPT juga menjadi sorotan mereka. Bagaimana
tidak, mereka mengklaim kegagalan meraup suara maksimal akibat banyaknya kader dan simpatisan partainya yang tidak terdaftar dalam
DPT Pemilu Legislatif 2009.
Kendati partai Demokrat tidak mengajukan perkara itu hingga ke meja hijau, namun Ketua DPW Demokrat Aceh Nova Iriansyah juga
mengaku hal yang sama. Tidak sedikit kader dan simpatisan partai
Demokrat tidak masuk dalam DPT. Namun dia membantah dugaan
bahwa partai tidak ikut serta mensosialisasikan DPT kepada masyarakat.
Jauh sebelum pelaksanaan Pemilu memasuki detik-detik menegangkan hingga kisruh DPT diangkat ke muka publik, Demokrat mengaku telah
18
melancarkan beberapa seruan kepada masyarakat melalui pengurus dan kader Demokrat yang ada di daerah.
Kendati demikian, Nova tak ikut menyalahkan pemerintah maupun KIP secara khusus atas masalah ini. Perbaikan DPT berasal dari elemen
paling bawah baik masyarakat, kepala desa, dan PPS tingkat desa maupun kecamatan. Unsur-unsur ini harus saling interaktif untuk memastikan setiap elemen masyarakat telah terdaftar dalam DPT.
Nggak benar kalau pemerintah ataupun KIP disalahkan secara mutlak. Masyarakat juga harus aktif, pungkas Nova yang terpilih sebagai anggota dewan pusat.
Terkait dengan pelaksanaan Pilpres, partai asuhan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ini, sebut Nova juga ikut melakukan sosialisasi DPT Pilpres. Demokrat kembali mendata kader serta simpatisannya
sehingga perkara senada tidak terulang lagi. Kendati sosialisasi ini lebih ditujukan kepada kader dan simpatisannya, namun secara keseluruhan dia juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam perbaikan DPT Pilpres.
Kalau kisruh ini terulang lagi pada Pilpres ini, bukanlah alasan lagi untuk menyalahkan pemerintah maupun pelaksana Pemilu, timpalnya lagi.
Persoalan DPT menjadi momok bagi KIP di tingkat kabupaten dan kota, juga KIP Aceh sebagai sentral pelaksana Pemilu. Namun yang selalu mendapat tudingan langsung dari masyarakat merupakan PPS di tingkat Desa. Mereka yang keseharian berhadapan dengan masyarakat merasa jenuh dengan tudingan-tudingan tersebut.
Sebut saja seperti apa yang dialami Jamaluddin ketua PPS Tanjung
Selamat, Aceh Besar. Sedikitnya ada 50 warganya yang melempari
tudingan dan kekesalan akibat tidak terdaftar dalam DPT. Awalnya,
50 warga tersebut bergantian menghujani pihaknya dengan berbagai
sumpah serapah. Mereka tak mau menerima kenyataan tidak berhak memilih para calon anggota dewan di parlemen yang akan menjabat raib sebeluM Mencontreng
19MerekaMdeMokrasi aceH
lima tahun mendatang.Namun masih untung, tudingan itu tak berpanjang lebar. Kekesalan
itu bisa diganti dengan penjelasan yang akurat sehingga mereka menerima penjelasan itu dengan lapang dada.
Sebenarnya aku Jamaluddin, sosialiasasi DPT yang digelar pihaknya
memang minim. Bentuk sosialisasinya hanya berupa penempelan DPS di kantor kepala desa yang juga dalam area Masjid Tanjung Selamat.
Namun seruan perbaikan DPS Pileg juga pernah disampaikan melalui Masjid tersebut.
Hanya saja, persoalan mendatangi rumah ke rumah masyarakat, sebagaimana yang dipraktekkan dalam perbaikan DPS Pilpres ini tidak dilancarkannya. Tidak adanya aksi itu pada perbaikan DPS Pileg lalu
akibat tidak adanya alokasi anggaran kegiatan sosialisasi. Kendati demikian, dia tak bersedia menyebutkan alokasi anggaran sosialisasi yang diterima pihaknya dalam perbaikan DPT Pilpres.
Setelah mengalami perbaikan, jumlah pemilih pada Pilpres ini meningkat. Sebelumnya jumlah pemilih di Tanjung Selamat sebanyak
3.686 pemilih. Selama perbaikan DPT Pilpres, diketahui ada 12
nama yang masuk dalam DPT lalu telah meninggal dunia. Akibat
pengerucutan itu, jumlah DPS Tanjung menjadi 3.674 pemilih. Namun
jelang pemutakhiran DPS, angka itu kembali bertambah sebanyak 20 pemilih. Setelah ditetapkan, DPT Pilpres di desa itu berjumlah 3.694
pemilih. Kendati DPT Pilpres mengalami peningkatan sebanyak 20 pemilih,
namun peningkatan itu masih jauh dari yang dibayangkan pihaknya. Pasalnya pada Pileg lalu, sedikitnya terdapat 50 warga yang mengaku
tidak terdaftar dalam DPT. Seharusnya meningkat 50. Tapi yang
namanya masyarakat memang seperti itu, imbuhnya. Tidak hanya Jamaluddin yang mengalaminya. Hampir seluruh PPS
tingkat desa di Aceh mengalami hal yang sama. Bustaman Ketua PPS Desa Keuniree, Pidie mengatakan ada 10 warganya tidak terdaftar dalam
20
DPT, namun hal itu menjadi persoalan rumit yang harus dipecahkannya
untuk meminimalisir perpecahan di masyarakat. Angka itu kemudian diperbaiki dalam DPT Pilpres.
***
Pasca-Pemilu Legislatif 9 April lalu, KIP Aceh dihujani berbagai tudingan, baik dari masyarakat, maupun Partai Politik yang merasa telah terzalimi. KIP Aceh dinilai gagal melaksanakan Pemilu, karena telah merenggut hak pilih masyarakat Aceh untuk menentukan wakilnya di parlemen.
Kendati demikian, KIP Aceh tidak mentah-mentah menerima tudingan itu. Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih pada KIP
Aceh, Akmal Abzal mengatakan persoalan DPT pada dasarnya tidak saja menjadi tanggung jawab KIP. Harusnya masyarakat harus membangun kesadaran diri untuk memastikan apakah telah terdaftar dalam DPS,
sebelum ditetapkan sebagai DPT.
Menurutnya, jauh sebelum DPT ditetapkan, pihaknya telah
melakukan sosialisasi DPT. Seruan yang mengajak masyarakat untuk
memastikan diri telah terdaftar dalam DPT, dapat dilihat dalam
berbagai spanduk. Tidak hanya itu, di desa seruan itu juga kerap
dikumandangkan oleh pejabat desa melalui meunasah dan dayah. Seruan itu juga tersurat melalui pengumuman dan DPS yang ditempel di masing-masing kantor desa.
Di level nasional, KPU juga gencar melakukan sosialisasi itu. Uang miliaran rupiah telah dikucurkan untuk mensosialisasikan hal ini. Media massa, cetak, bahkan elektronik juga mendapat jatah untuk mengingatkan masyarakat. Anehnya, kata Akmal, masyarakat masih saja menyudutkan KPU atau KIP sebagai dalang masalah ini.
Sebenarnya jelas Akmal, pihaknya juga telah mengumumkan tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
raib sebeluM Mencontreng
21MerekaMdeMokrasi aceH
sejak 5 April 2008 lalu. Hari itu pula, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil menyerahkan data kependudukan kepada KIP Aceh. esoknya pada 6 April 2008, proses pemutakhiran data pemilih
dilakukan. Proses itu digelar selama tiga bulan hingga 6 Juli 2008. Dalam
rentetan itu juga, sejak 7 Juni hingga 20 Juli 2008, data kependudukan itu juga diteliti dan dicocokkan di tiap-tiap desa.
Setelah melalui berbagai proses pencocokan, pada tanggal 1 hingga 14 Agustus 2008 KIP Aceh melalui KIP Kabupaten/Kota mengumumkan
jumlah DPS di masing-masing desa. Dalam masa itu pula hingga 21 Agustus 2008, proses perbaikan DPS dilakukan oleh PPS di tingkat desa. Kemudian, 30 September 2008 DPT pemilihan legislatif 2009 ditetapkan
oleh KIP Aceh. Artinya sejak itu pula sebut Akmal, masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT kehilangan hak pilihnya.
Saya rasa nggak ada alasan lagi. seruan itu sudah diumumkan di masjid, meunasah, dan rumah ibadah lainnya. Kalau di TV, persoalan
itu setiap hari diingatkan melalui Running Tex, kilahnya.Sekretaris KIP Aceh, Nasir zalba menambahkan, persoalan
sosialisasi DPT dihadapkan oleh minimnya anggaran yang dialokasikan
pemerintah. Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Aceh (APBA) hanya mengucurkan alokasi anggaran sosialisasi
senilai Rp 400 juta, plus tambahan dari pemerintah melalui APBN
Senilai Rp 60 juta.
Lebih jauh, Akmal menjelaskan KIP memperoleh data pemilih dari Dinas Kependudukan sebanyak 3.128.790 pemilih. Data tersebut kemudian dijadikan sebagai DPS. Sementara jumlah penduduk yang
tersebut dalam data dinas terkait mencapai 4.471.288 jiwa. Artinya,
Persentase pemilih dengan jumlah penduduk Aceh mencapai 69,98
persen dari keseluruhan penduduk.Sementara itu, setelah melakukan evaluasi di lapangan, jumlah
pemilih itu menyusut hingga 118.825 pemilih. Artinya, jumlah pemilih
yang masuk dalam DPT menjadi 3.009.965. Meskipun demikian,
22
persentase pemilih dengan penduduk telah melebihi konteks pemilih rasional yaitu 67 persen. Hal itu berpedoman pada rumus pemilih
rasional yang berlaku secara nasional.Saya rasa sudah sangat jelas, pemilih Aceh melebihi jumlah rasional
pemilih yang ditetapkan secara nasional, kata Akmal. Pemilih rasional harusnya tidak melebihi 65 persen jumlah penduduk.
Masih dalam persoalan itu, penyusutan data pemilih itu disebabkan oleh beberapa hal. Data pemilih yang diperoleh dari dinas terkait tidak pernah diperbaharui. Akibatnya, di sana masih terdapat nama pemilih yang tidak berhak. Sebut saja misalnya, masyarakat yang telah menjadi anggota TNI atau Polri, adanya pemilih ganda karena memiliki dua
KTP berbeda, terdapatnya anak-anak dalam data itu, meninggal dunia,
bahkan pindah alamat ke daerah lain maupun ke luar negeri. Sayangnya kata Akmal, masyarakat juga kurang peduli dengan
persoalan itu. Masyarakat beranggapan, persoalan DPT merupakan
tanggung jawab KIP sebagai pelaksana Pemilu. Tidak hanya masyarakat,
peserta Pemilu yang dianggap memiliki kepentingan dalam perhelatan ini juga lepas tangan. Persoalan ini baru dipersoalkan ketika mereka kehilangan suara. Seharusnya, persoalan DPT ini dibicarakan jauh
sebelum oktober 2008. Jadi setelah masuk oktober hingga April 2009, kita hanya membicarakan pendidikan pemilih, cetusnya.
Kisruh DPT yang terjadi dalam Pileg menjadi pembelajaran bagi
KIP Aceh sendiri. untuk itu, proses perbaikan DPT yang dilakukan
pihaknya lebih baik untuk Pilpres. Rentetan perbaikan DPS Pemilu Presiden telah diawali sejak 1 April 2009 lalu sampai sebulan menjelang pemilihan presiden, 8 Juli 2009.
Setelah melewati masa itu, tibalah saatnya pemutakhiran DPS dilakukan KIP Aceh. Hasilnya pun berubah, tak bertambah tapi menyusut dari 3.009.965 pemilih yang ditetapkan sebagai DPT Pileg
lalu, menjadi 3.008.235 pada DPT Pilpres.
Penyusutan angka itu salah satunya disebabkan oleh pemilih raib sebeluM Mencontreng
23MerekaMdeMokrasi aceH
yang pindah tempat, adanya sejumlah pemilih dalam DPS yang telah meninggal dunia, juga adanya pemilih ganda.
Setelah penetapan DPT Pilpres dilakukan, Akmal berharap tidak ada
lagi masyarakat yang mengaku tidak terdaftar. Kalaupun itu terjadi,
dia tak ingin masyarakat menyudutkan pihaknya sebagai sumber kekisruhan. Pasalnya, upaya perbaikan DPS Pilpres telah melalui berbagai tahap dan perpanjangan masa perbaikan.
Anggota Panwaslu Aceh, Asqalani menyebutkan, kisruh DPT
memang menjadi persoalan hangat pasca-Pemilu 9 April 2009 lalu. Namun pihaknya tidak mendata jumlah warga yang mengaku tidak terdaftar dalam DPT Pileg. Pasalnya, persoalan itu tidak pernah diajukan
kepada Panwaslu sebagai pengawas Pemilu.Menilik hadirnya kisruh besar itu, Asqalani mengaku sosialisasi DPT
yang dilakukan KIP Aceh pada Pileg lalu, minim. Perbandingan itu jelas terlihat dalam sosialisasi DPT pada Pilpres sesudahnya. Pilpres
sosialisasinya jauh lebih baik dan menyeluruh, ujarnya. Sementara itu, Pakar Hukum Unsyiah Mawardi Ismail mengatakan
meskipun sosialisasi DPT pada Pileg lalu minim, namun DPT tidaklah
menjadi tanggung jawab KIP semata sebagai pelaksana Pemilu. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam pemutakhiran DPS
sebelum ditetapkan sebagai DPT. Namun hal itulah yang tidak
dilihatnya dalam rentetan penetapan DPS sebagai DPT. Penilaiannya,
masyarakat masih memandang Pemilu bukanlah prosesi wajib yang harus diikuti oleh setiap masyarakat. Apalagi, sebagian masyarakat masih menilai Pemilu bukanlah hal yang menguntungkannya. Pemilu hanyalah keuntungan sekelompok orang yang sedang mencalonkan diri sebagai caleg.
Namun hal itu terlihat sangat aneh ketika kisruh DPT dijadikan
polemik oleh peserta Pemilu. Bahkan lebih ironis lagi, para peserta Pemilu mempengaruhi publik untuk meminta pengulangan Pemilu kepada pemerintah. Padahal, jauh sebelum DPT ditetapkan, Partai
24
Politik sama sekali tidak memperlihatkan kontribusinya untuk memperbaiki DPT. Mereka hanya mempersoalkan itu ketika partainya
gagal memperoleh suara maksimal.Psikologi orang kalah memang mencari-cari kesalahan. Coba kalau
menang, pasti diam saja. Dan saya berharap, itu tak terulang pada Pilpres, kata Mawardi.
Lain halnya dengan tanggapan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim yang datang ke Aceh untuk melihat keobjektifitasan Pemilu kepada
masyarakat, April lalu. Dalam pertemuan yang diadakan pengacara senior J Kamal Farza di kantornya, dia menilai bukan hanya KPu
maupun KIP yang mesti bertanggung jawab atas bobroknya pelaksanaan Pemilu Pileg 2009. Dia juga mendesak pemerintah SBY melalui KPU untuk mengadakan Pemilu khusus.
Dalam kesempatan itu juga, pihaknya merekomendasikan untuk amandemen uu Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, serta PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
uu nomor 23 tahun 2006. Selain rekomendasi itu, pihaknya yang
menengarai kisruh DPT ulah minimnya kapasitas anggota KPu, juga
merekomendasikan perbaikan sistem pengrekrutan anggota KPU di masa yang akan datang.
Berdasarkan pantauan Komnas HAM di Aceh, jelas Ifdhal, sedikitnya terdapat dua masalah yang mengakibatkan hilangnya hak pilih sejumlah rakyat Indonesia pada Pemilihan Legislatif lalu. Dua persoalan itu yakni buruknya administrasi kependudukan pada departemen terkait, serta minimnya kapasitas dan wawasan KIP sebagai pelaksana Pemilu. Imbasnya, KIP tidak mampu menyesuaikan anggaran dan target pelaksanaan Pemilu hingga pengumuman caleg terpilih.
Kendati KIP maupun KPU merupakan lembaga independen yang ditunjuk oleh Negara untuk melaksanakan Pemilu, namun Ifdhal menyebutkan, hal ini merupakan bentuk kegagalan Negara dalam memenuhi kewajibannya kepada seluruh warga Negara. Banyaknya raib sebeluM Mencontreng
25MerekaMdeMokrasi aceH
warga yang tidak masuk dalam DPT merupakan penghilangan hak
pilih secara sistemik. Persoalan ini jangan sampai terulang lagi pada 8 Juli (Pilpres) mendatang dan selanjutnya. ***
Perempuan Antara Peluang dan Ancamanoleh Mellyan Tabloid Sipil
Pemilu legislatif April 2009, memberikan peluang besarbagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik.Namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen.
Hari itu, 26 Mei 2009, Siti Maisarah sedang membolak-balik halaman surat kabar satu media lokal Aceh, Ia memperhatikan hasil perhitungan suara Pemilu legislatif yang dimuat media tersebut.
Hanya empat perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), ujarnya.
Siti calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK) dari Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), salah satu partai lokal
Aceh. Kulitnya sawo matang, hari itu ia menggunakan setelan gamis dan jilbab hitam. Ia sedang mengkliping surat kabar tentang Pemilu legislatif April lalu. Ia duduk di ruang tamu rumahnya yang didominasi surat kabar. Tidak ada hiasan dinding di sana. Rumah sederhana
tersebut, terletak di Kampung Mulia, Banda Aceh. Pada Pemilu lalu, perempuan mendapat kesempatan lebih besar
untuk berkiprah dalam dunia politik, namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Terbukti dari 304 perempuan
28pereMpuan antara
peluang dan ancaMan
yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRA, hanya empat orang perempuan yang melaju ke DPRA.
Perempuan-perempuan yang berhasil melaju ke DPRA adalah Nurlelawati dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2, Pidie dan Pidie Jaya dengan
jumlah suara 2.052, Nuraini Maida dari dapil 5, Lhokseumawe dan Aceh
utara dengan jumlah suara 1.566 dan Yuniar dari dapil 6, Langsa Aceh
Tamiang dan Aceh Timur dengan jumlah suara 4.304. Semuanya dari
Partai golkar. Sementara Liswani dari dapil 8, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue dengan jumlah suara 3.901 berhasil lolos sebagai utusan Partai Amanat Nasional.
Siti Maisarah adalah satu di antara sekian banyak caleg perempuan yang tidak lolos ke parlemen.
Jika dipersentasikan berarti hanya 05,7 persen dari 69 orang anggota
DPR Aceh periode 2009-2014 yang berjenis kelamin perempuan, jauh
dari target kelompok perempuan yang menginginkan 20 persen di parlemen. Sebelumnya pada periode 2004-2009 anggota DPR Aceh yang
perempuan hanya tiga orang. Tak lolos, bukan berarti Siti putus asa. Ia kembali berutinitas sebagai
ibu rumah tangga serta mengembangkan usaha ketering dan kue kering. Tapi ia tetap menjadi partisipan politik. Menjadi anggota legislatif
baginya bukan menjadi cita-cita pribadi, tetapi itu semua pilihan rakyat. Jika belum dipilih tidak perlu meratapi apa pun. Hidup harus terus
berlanjut, jalani rutinitas seperti biasa, jangan terlalu dipikirkan. Tapi
saya serius untuk terjun ke dunia politik, ucap wanita ramah ini.Kita harus akui kebanyakan perempuan itu belum siap. Tapi
Alhamdulillah, masyarakat Aceh sudah lebih dewasa dalam berpolitik, sehingga nggak terjadi kekacauan. Kita harus salut dengan masyarakat Aceh, tuturnya.
Parlemen Aceh hanya berhasil menjaring anggota perempuan dalam jumlah minim, menurut Siti kualitas dan kwantitas seharusnya berjalan beriringan, jumlah yang banyak dan ditunjang kemampuan yang
29MerekaMdeMokrasi aceH
bagus tentu lebih baik. Ia mengatakan seperti halnya caleg laki-laki, perempuan juga ada yang kualitasnya baik, dan layak untuk dipilih.
Tapi dalam kenyataannya, yang bagus pun nggak dipilih, kan kasihan. Karena hanya sedikit jumlahnya, satu-satunya cara adalah mereka berjuang semaksimal mungkin dan bekerja sama dengan unsur-unsur perempuan di luar parlemen, ucapnya.
Sementara itu, di kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai
Amanat Nasional (PAN) Aceh di Lueng Bata Aceh Besar, Liswani, salah
satu anggota DPRA perempuan merupakan kader PAN selalu menebar senyum. Akhir Mei 2009 lalu, dia menyempatkan diri melayani wawancara menyangkut kemenangan dirinya.
Liswani, berhasil memperoleh suara untuk duduk di DPRA dari daerah pemilihan delapan; Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulu. Namun kemenangan tersebut bukanlah tanpa usaha, jauh-jauh hari sebelum Pemilu berlangsung, ia telah memperiapkan segalanya dengan matang. Hanya satu stretegi jitu yang dipakai, membuat program yang bisa dirasakan langsung masyarakat di daerahnya. Sasaran utama adalah perempuan. Dari dulu saya selalu aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Saya selalu memberikan motivasi kapada masyarakat agar bisa berkembang secara ekonomi dan pendidikan, kata wanita kelahiran Medan, 43 tahun lalu.
Ia sudah delapan tahun wara-wiri di dunia politik dan terlibat dalam setiap kegiatan partai. Pada Pemilu 2004, ia juga ikut mencalonkan diri
dari partai yang sama, tapi tidak terpilih karena waktu itu memakai sistem nomor urut. Padahal waktu itu, ia juga memperoleh suara terbanyak.
Namun Liswani tidak bisa memastikan kalau yang memilihnya kaum perempuan. Tapi yang terpenting ia telah berusaha melakukan
yang terbaik untuk masyarakat dan kaumnya. Bahkan ke depan ia akan melanjutkan program pemberdayaan perempuan yang telah dirintis selama ini.
30
Kita tidak bisa memaksakan masyarakat untuk memilih kita. Tapi yang penting bagaimana cara kita memberikan pemahaman dan
pendidikan politik kepada mereka, terutama perempuan, ujar Liswani.Menurutnya, para politisi perempuan harus lebih aktif dalam
memberikan pendidikan dan pemahaman politik bagi masyarakat. Itu adalah hal paling penting. Selain itu, pengembangan perekonomian keluarga juga harus ditingkatkan. Bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, sedangkan mereka dalam keadaan lapar, tuturnya.
***
Akmal Abzal, Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) terlihat sibuk, handphone-nya hampir tidak berhenti berdering. Hari itu ia mengenakan kemeja batik coklat, peci hitam di kepalanya beberapa kali dibuka, kemudian dipakai lagi. Memang lagi sibuk dan panas, baru siap pemilu legislatif udah nyambung Pemilu Presiden, ujarnya.
Akmal mengatakan banyaknya caleg perempuan yang tidak terpilih salah satu penyebabnya adalah masyarakat belum begitu percaya pada perempuan. Ia mengaku pihaknya sudah maksimal memberikan pemahaman politik terhadap para caleg perempuan dengan berbagai macam even yang diberikan, mulai dari pertemuan dengan organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang dilakukan pemerintah daerah serta
partai peserta pemilu. Kita sudah memaksimalkan diri untuk mensosialisasikan perpolitikan para perempuan. Memang dari 2.099 orang hanya beberapa yang terpilih. Namun yang menjadi masalah bukan hanya perempuan, caleg laki-laki juga bertanya kenapa nggak dipilih, jawabannnya tanya kepada masyarakat kenapa mereka tidak terpilih, ucapnya.
Menanggapi isu yang menyatakan perempuan menjadi caleg hanya pereMpuan antara peluang dan ancaMan
31MerekaMdeMokrasi aceH
untuk memenuhi kuota, Akmal membantah. Regulasi itu bukan hanya untuk menutup kuota 30 persen, namun regulasi itu telah memberi kesempatan para perempuan untuk berpartisipasi dalam even yang sama. Keterwakilan perempuan tidak serta merta menempatkan bahwa perempuan itu harus dianggap sakral. Dalam regulasi terbaru, kursi akan diberikan kepada suara terbanyak, maka posisi nomor urut tidak menjadi substansi.
Mereka yang menepati nomor urut tidak basah juga banyak mendapat kursi. Posisi perempuan dengan nomor urut apa pun tidak masalah, sekarang yang jadi masalah mungkin masyrakat yang belum siap dan menerima perempuan itu menjadi anggota dewan dalam tingkat apa pun, ujarnya.
Soal kualitas, Akmal mengungkapkan bahwa mereka adalah orang-orang yang belum teruji, Kinerja mereka baru bisa dinilai setelah bekerja selama satu atau dua tahun. Namun ia yakin bahwa orang-orang yang berani menawarkn diri menjadi caleg telah memiliki kesiapan mental. Untuk wawasan dan tingkat intelektual kita nggak bisa prediksi, karena kita juga nggak kenal dan rata-rata mereka pendatang baru. Kita lihat saja aksinya di parlemen nanti, ujar alumni IAIN Ar-Raniry ini.
Sementara pengamat politik Aceh, Saifuddin Bantasyam, kurang setuju jika minimnya perolehan suara caleg perempuan sebagai suatu kegagalan. Sebab, jumlah perempuan yang terpilih untuk tingkat DPRA dan DPRK, relatif sama dengan Pemilu 2004. Kalau gagal, jumlahnya
lebih minim, seharusnya bisa jauh lebih baik dari sebelumnya, ungkap Saifuddin.
Dosen Universitas Syiah Kuala ini menyebutkan, jumlah perempuan yang terpilih mengalami peningkatan sampai sekitar 4 persen, dibanding
hasil Pemilu 2004. Perkiraannya, Pemilu 2004 sekitar 10 persen, untuk
Pemilu 2009 diprediksi menjadi 14 persen perempuan yang berhasil
duduk secagai anggota dewan tingkat DPRA dan DPRK.Tidak meningkatnya perolehan suara bagi perempuan disebabkan
32
berbagai faktor. Mulai dari strategi kampanye yang tidak tepat sampai kualitas para caleg yang kebanyakan wajah baru dalam dunia politik. Sehingga mereka kurang dikenal oleh lingkungannya. Penempatan nama caleg perempuan di urutan bawah pada kertas suara juga menjadi penyebab lainnya. Saya percaya bahwa saat mencontreng, pemilih terlebih dahulu melihat nama-nama pada nomor-nomor atas. Sedangkan sebagian caleg perempuan, berada pada nomor urut terbawah, ujarnya.
Saifuddin melanjutkan, masyarakat memilih partai dan wakilnya karena beragam alasan, misalnya karena kedekatan emosional, karena ideologi, agama, suku, dan juga karena kepintaran wakil-wakil tersebut.
Tapi ia tidak tahu pasti, apakah perempuan tidak memilih
perempuan karena hal tersebut atau ada lainnya. Tapi fakta ini memang
sebuah anomali, dari dulu sudah terjadi seperti itu, perempuan tidak mau memilih perempuan. Mungkin perlu ada satu riset tersendiri mengenai fenomena ini. Siapa tahu, perempuan yang ingin masuk ke perlamen itu memang tidak boleh yang rata-rata, tapi harus di atas rata-rata, sehingga dipercayai oleh kaumnya sendiri.
Peralihan aturan kuota 30 persen menjadi sistem suara tebanyak, bagi Saifuddin tidak merugikan caleg perempuan, malah sangat baik bagi demokrasi. Dengan alasan, karena pilihan diserahkan sepenuhnya kepada pemilih.
Dulu ketika ada sistem nomor urut, perempuan dirugikan, misalnya karena urutan teratas diberi kepada pucuk pimpinan partai, sedangkan untuk perempuan dapat nomor sepatu. Suara terbanyak menghilangkan hegemoni partai, meskipun tetap saja laki-laki yang lebih dominan. Mungkin kali ini perempuan belum siap dengan sistem suara terbanyak, karena itu jika ingin menjadi caleg lagi pada Pemilu 2014,
berkampanye-lah dari sekarang. Jangan terus menerus menyalahkan sistem, ujarnya.pereMpuan antara peluang dan ancaMan
33MerekaMdeMokrasi aceH
Caleg perempuan yang terpilih harus siap untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Termasuk siap untuk belajar. Saifuddin menyebutkan,
legislatif memiliki tiga fungsi, legislasi, penyusunan anggaran dan pengawasan. Menjadi wakil rakyat yang ideal itu tidak mudah, harus mau buka mata dan telinga terus menerus, juga menggunakan hati atau perasaan untuk menyelami persoalan yang dihadapi rakyat.
Selain itu, legislator dari perempuan juga harus mendalami betul isu-isu mengenai perempuan dan anak. Tentu saja tanpa
mengenyampingkan masalah laki-laki. Tapi caleg perempuan itu perlu
sangat peka kepada kaummnya sendiri. Karena hal itulah keberadaan mereka di parlemen penting, ucapnya.
Ia menambahkan, secara umum Pemilu 2009 telah berlangsung dengan baik, namun bukannya tanpa catatan. Banyaknya yang tak terdaftar sebagai pemilih misalnya, di samping disebabkan oleh pemilih
sendiri, tak terlepas juga dari kinerja KPU yang lemah. Minimnya perolehan suara bagi caleg perempuan tidak hanya
terjadi pada partai-partai yang kalah, tapi juga pada partai menang, seperti Partai Aceh. Partai lokal ini memperoleh suara maksimal dengan memborong 33 kursi DPRA, namun tidak ada caleg perempuan dalam urutan nama legilatif Aceh yang lewat dari partai itu. Hal ini disebabkan karena yang diberlakukan adalah suara terbanyak. Calon dari perempuan sangat minim memperoleh suara, sehingga mereka tidak bisa memperoleh kursi, kata Adnan Beuransyah, jurubicara Partai Aceh.
Adnan beranggapan, minimnya perolehan suara caleg perempuan dari partai tersebut karena calegnya belum memiliki popularitas. Sementara para laki-laki memang figur yang sudah menjadi panutan
rakyat. Jadi orang yang disukai oleh masyarakat adalah orang-orang yang sudah dikenal. Pada saat Pemilu mudah saja dicontreng namanya, karena udah dikenal, ujar Adnan.
Adnan berharap, pada Pemilu mendatang perempuan bisa lebih
34
berperan dalam dunia politik dan terjun ke masyarakat, agar tingkat kefiguran mereka meningkat dan semakin dikenal. ***
pereMpuan antara peluang dan ancaMan
Dua Partai Bergandeng Menang
Kemenangan Partai Demokrat di Aceh dinilaiadanya campur tangan Partai Aceh.Kader partai Aceh mengarahkan masyarakatuntuk memilih Demokrat setelah partai tersebut.
oleh Junaidi Mulieng Aceh Feature
Hasil perhitungan suara Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan, Partai Demokrat berhasil memperoleh suara terbanyak di Aceh, dibandingkan partai nasional lainnya. Partai nomor urut 31 ini, menduduki peringkat kedua di parlemen Aceh, setelah Partai Aceh. Untuk tingkat pusat, berada pada urutan pertama.
Kemenangan Partai Demokrat di Aceh, berbanding terbalik dengan prediksi sebelumnya, bahwa partai nasional tidak bisa meraih kemenangan di Aceh. Wajar saja, karena pemilu April 2009 lalu, juga diikuti enam partai lokal. Sebagian besar kursi legislatif di Aceh akan dikuasai politisi dari partai lokal, ungkap pengamat politik Saifuddin Bantasyam, dalam seminar politik di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, sebelum pemilu legislatif digelar, 2009 April lalu.
Parlok dinilai lebih memiliki kedekatan dengan masyarakat Aceh. Selain para pendirinya tokoh-tokoh politik Aceh yang berpengaruh, programnya juga lebih terfokus pada isu seputaran kehidupan masyarakat Aceh. Karena itu, partai nasional dianggap tak dapat
36dua partai
bergandeng Menang
berbuat banyak di Aceh.Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan Saifuddin sebelum
Pemilu, 49 persen setuju bahwa partai lokal akan mengalahkan partai
nasional dalam Pemilu 2009. Sisanya, 20 persen, tidak setuju pada asumsi ini dan 31 persen tidak tahu.
Tentu ini bukan barometer bahwa partai lokal bisa membayangi
parlemen Aceh, karena sampel yang dilibatkan hanya 107 reponden untuk masyarakat kota Banda Aceh saja. Selain itu, kelompok responden yang menjawab tidak tahu, juga bisa beralih persepsi.
Kemenangan Partai Demokrat kemudian, mengundang tanggapan beragam dari pengamat politik di Aceh. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa kemenangan partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudohono (SBY ini), tidak terlepas dari peran kader Partai Aceh (PA).
Ini satu kondisi yang diciptakan meskipun tidak secara mutlak, bahwa Partai Demokrat harus mereka dukung setelah Partai Aceh. Karena sosok SBY punya peranan penting untuk gAM dan rakyat Aceh, kata Taufik Abdullah, pengamat politik.
PA adalah partai politik yang didirikan mantan kombatan gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca penandatanganan Memorandum of
Understanding (Mou) Helsinki, Filandia 25 Agustus 2005. Setelah
melewati proses negosiasi yang panjang antara dua belah pihak, akhirnya perdamaian di Aceh terwujud. Ini terjadi ketika SBY menjabat sebagai presiden Indonesia, bersama pasangannya Jusuf Kalla. Sehingga partai ini mengklaim bahwa mereka adalah partai amanah dari MoU.
Hal tersebut terlihat jelas dari motto yang dipakai Partai Aceh
amanah MoU Helsinki. Dengan anggapan, perdamaian Aceh lahir karena adanya gAM dan saat ini mereka berkumpul dalam Partai Aceh.
Kondisi keamanan di Aceh pun berangsur pulih dan semakin kondusif. Namun ada kekhawatiran mendalam yang dirasakan
37MerekaMdeMokrasi aceH
sebagian besar rakyat Aceh, bahwa perdamaian yang telah dirajut di Aceh tidak akan bertahan lama jika dalam Pilpres nanti SBY tidak lagi terpilih sebagai presiden Indonesia.
Kekhawatiran inilah yang menyebabkan masyarakat Aceh menjatuhkan pilihannya dengan memilih Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 9 April lalu. Masyarakat bukan mencontreng nama caleg, malainkan lambang dan nama partai. Jadi, bisa juga ini semacam ucapan terima kasih rakyat Aceh kepada SBY, ujar dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe ini.
Hal ini semakin diperkuat setelah mantan juru bicara KPA atau Komite Peralihan Aceh, Sofyan Dawood ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan SBY pada pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Ia
bertugas mengatur strategi politik di wilayah Sumatera bagian utara (Sumbagut), meliputi Aceh, Sumatera utara, Sumatera Barat, dan Riau.
Beberapa waktu lalu, Sofyan Dawood telah melantik relawan Pilpres SBY untuk wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe. Pelantikan yang berlangsung di aula kontor Bupati Aceh Utara tersebut, dihadiri sejumlah pejabat dan kepala dinas di lingkungan Pemkab Aceh Utara. Saya mendapat kepercayaan dari rekan-rekan untuk menjadi koordinator pemenangan SBY, ungkap Sofyan Dawood.
Kedekatan SBY dengan mantan petinggi gAM begitu terasa. Pada tanggal 28 Maret 2009, sewaktu SBY kampanye di Banda Aceh, orang nomor satu Indonesia itu menyempatkan diri untuk menghubungi ketua KPA Muzakir Manaf, yang waktu itu tidak berada di Banda
Aceh. Dalam percakapan singkat melalui telepon selulernya, SBY menitip pesan damai kepada mantan panglima gAM itu. Ciptakan dan sukseskan Pemilu dengan penuh Damai, semua masalah bisa diselesaikan sesuai jalurnya masing-masing, pesan SBY.
Sebelumnya, Tgk Hasan Tiro, Deklarator GAM juga pernah
melakukan pertemuan khusus dengan SBY, pada 24 Oktober 2008,
ketika dia pulang ke Aceh. Pihak gAM menyebutkan, pertemuan
38
tanggal 9 april 2009, secara serentak pemilu legislatif digelar. Meski menuai berbagai tanggapan dari berbagai kalangan tentang pelaksanaannya, namun pemilu kali ini sudah ada hasilnya. itulah pilihan rakyat yang menginginkan adanya perubahan dan kemajuan di negeri ini.
Maryani, 27 tahun, masyarakat lambaro angan, kecamatan darussalam, kabupaten aceh besar, punya harapan suaranya bisa memberikan satu kebaikan bagi rakyat aceh. apalagi ini pemilu pertama yang diikutinya. saya tidak mau suara saya sia-sia karena salah pilih, semoga saja tidak, ungkap penyiar radio komunitas perempuan di banda aceh ini.
Maryani memiliki impian seperti kebanyakan masyarakat aceh lainnya, yaitu damai. Wajar, karena daerah tempat ia tinggal pada salah satu kawasan yang masuk dalam daftar hitam semasa konflik dulu. ia mengaku sama sekali tidak bingung untuk menentukan pilihannya, karena sudah kenal betul dengan partai yang ia pilih. tentu saja saya pilih yang sudah ada kerja nyata untuk aceh, tertuma perdamaian, ujarnya tanpa menyebut nama partai dimaksud.
ketika saya mencoba mempertegas lagi apakah yang dimaksud itu partai demokrat. spontan ia menjawab, pasti, belum ada partai seperti itu. saya kurang tahu tentang caleg demokrat, yang saya tahu demokrat partai sbY. tapi daerah (untuk dpra), tetap dari orang kita sendiri biar imbang,
Memilih karena SBYsambungnya sambil tersenyum.
begitu juga dengan presiden nanti, ia yakin sbY adalah orang yang tepat untuk mempertahankan perdamaian di aceh. apalagi yang paling diimpikan rakyat aceh selain keamanan, lanjutnya.
Hal yang sama juga diungkapkan razali, 35 tahun, warga banda aceh. baginya, aceh saat ini jauh lebih baik dibandingkan 30 tahun silam. ini hal yang patut kita syukuri bersama. tentunya kita semua tidak mau kembali ke masa lalu yang penuh ketakutan karena konflik, ujar guru sekolah dasar ini.
ia menuturkan, pemilu 2009 merupakan penentuan bagi masa depan masyarakat aceh yang tengah berada dalam suasana damai. karenanya, pada pemilu legislatif lalu ia tidak mau sembarangan memilih. partai yang memiliki kepedulian dan kedekatan dengan aceh patut mendapat dukungan untuk tingkat pusat. tapi kalau untuk dprk dan dpra, dukungannya sepenuhnya tertuju untuk parlok.
kalau saat ini yang nyata di hadapan kita kan demokrat dengan sbY-nya. kalau yang lain, sudah pernah mendapat kepercayaan rakyat, tapi tidak ada hasil. sedangkan parlok, semuanya orang aceh, ucapnya blak-blakan.
razali melanjutkan, satu periode pemerintahan sbY belum cukup untuk membangun aceh. Masyarakat harus memberikan kesempatan kepada sbY untuk melanjutkan yang telah dilakukan selama ini.[junaidi Mulieng]
39MerekaMdeMokrasi aceH
tersebut hanya sebatas silaturrahmi untuk memenuhi undangan SBY, tidak ada agenda politik.
***
Rabu 13 Mei 2009, Adnan Beuransyah sedang berada di kantornya. Bangunan ruko berlantai dua itu, berada tepat di depan Kantor Berita Nasional Antara. Seluruh bangunannya bercat merah. Bendera merah bergaris hitam di bagian atas dan bawahnya, memenuhi halaman kantor. Di tengah-tengah bendera tersebut bertulis Partai Aceh. Satu pamplet menyerupai bendera, bertulis dewan pengurus wilayah Partai Aceh, dipasang tepat di depan kantor.
Suatu kewajaran jika kami menjalin kerjasama sebaik-baiknya dengan pemerintah Indonesia, terutama untuk mempertahankan perdamaian di Aceh, ungkap juru bicara PA ini.
Ia membantah jika kedekatan mantan tokoh gAM dengan SBY, telah melahirkan kerjasama politik antara PA dan Demokrat pada Pemilu 2009. Walaupun ada dari mantan kombatan yang menjadi tim pemenangan SBY, hal itu tidak ada kaitannya dengan PA, tapi bersifat individual semata. Itu tidak ada kaitannya dengan instansi, tapi lebih bersifat pribadi. Dan itu sah-sah saja, kata Adnan.
Baginya, Pemilu 2009 bukanlah saat yang tepat untuk saling bantu membantu. Hal tersebut sangat beralasan, karena selama proses Pemilu 2009 berlangsung di Aceh, partai Aceh kerap kali mendapat ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan partai itu menang. Mulai dari penghilangan atribut partai, pembakaran, penggranatan, sampai penculikan terhadap kader partai tersebut. Karena sibuk mengurus permasalahan internalnya sendiri, PA tidak sempat berpikir untuk memberikan bantuan kepada partai lain.
Keberadaan mantan gAM dalam tim pemenangan SBY, tidak bisa dilihat sebagai bentuk dari deal politik. Karena sampai saat ini masih
40
bersifat individu, belum adanya ikatan antar partai.Setiap partai pada Pemilu 2009 ini, memperjuangkan kepentingan
masing-masing, bukan join kepentingan. Partai Aceh memikirkan untung sendiri, Demokrat mikir untung sendiri. Tidak ada kesempatan
untuk membantu, ujanya.Namun PA selalu membuka diri kepada siapa saja yang ingin
menjaga perdamaian Aceh. Saat ini PA hanya memiliki satu keinginan, menjaga, merawat dan mengisi perdamaian yang ada di Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengurus Partai Demokrat Wilayah Aceh, tidak mau berkomentar. Dari beberapa pengurus yang dihubungi, semua mengatakan tidak berani memberikan keterangan tentang permasalahan tersebut. Saya belum berani memberikan tanggapan tentang itu, coba hubungi saja pak ketua, kata Helmy, Sekretaris Partai Demokrat.
Ketua Partai Demokrat Aceh, Nova Iriasyah juga menolak memberikan keterangannya. Handphonenya tak berhasil dihubungi, bahkan setelah pesan pendek dikirimkan kepadanya.
Saifuddin Bantasyam punya penilaian berbeda. Dia mengatakan kemungkinan terjadinya deal politik antara dua partai tersebut bisa saja terjadi, karena keduanya memiliki kepentingan yang sama. Kalau dilihat sekilas, PA tentu ingin Aceh terus damai. Mereka percaya bahwa PD-nya SBY merupakan mitra yang tepat untuk menjaga perdamaian itu.
Bayangkan jika Mega dengan PDIP-nya jadi presiden misalnya, atau Wiranto dengan Hanura-nya, bukan hanya PA yang meragukan masa depan Aceh, melainkan kita semua, ucap Saifuddin.
Meskipun ada rumor yang berkembang bahwa ada kader PA yang menganjurkan masyarakat untuk memilih Demokrat, namun ia melihat keunggulan Demokrat di Aceh karena faktor SBY. Tentu saja mesin
Demokrat di Aceh juga bekerja, walaupun tidak secara maksimal. Orang hanya tahu, Demokrat itu partainya SBY. Tanpa perlu sibuk-
dua partaibergandeng Menang
41MerekaMdeMokrasi aceH
sibuk mencari tahu apakah anggota legislatif dari PD sudah bekerja maksimal selama ini atau tidak, ujarnya.
Bukankah Jusuf Kalla (JK) lebih berperan dalam negosiasi dengan
gAM? Menurut Saifuddin, untuk sebuah pernyataan politik, mungkin seperti itu. Tapi dalam sistem pemerintahan seorang wakil presiden
hanya bisa bergerak dengan seizin presiden. Artinya, JK di depan
karena SBY memintanya seperti itu. Itu sebabnya golkar di Aceh tidak banyak mendapat lirikan pemilih. Dengan kata lain, JK menjadi sibuk mengurus perdamaian, karena SBY menginginkan seperti itu.
Lagi pula, klaim JK bahwa ia sangat berperan dalam perdamaian Aceh, kan baru belakangan ini muncul, ketika ingin jadi presiden. Jadi, klaim itu sangat politis, papar Saifuddin.
Kemenangan Demokrat di Aceh yang menempati urutan kedua setelah PA, diprediksikan akan memberikan perkembangan politik di Aceh semakin baik. Tentu dengan catatan apabila kedua partai ini
bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan dengan tepat mengartikulasikan kepentingan konstituennya.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2009 yang dilaksanakan KIP Aceh, Partai Aceh mampu menguasai parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan memperoleh 33 kursi (48 persen) dari 69
kursi yang disediakan DPRA. Disusul Partai Demokrat di urutan kedua dengan meraih 10 kursi (15 persen) dan tempat ketiga diraih Partai
Golkar dengan 8 kursi (12 persen).***
Buah Ingkar Prajurit Pendataoleh Salman Mardira acehkita.com
Kisruh DPT borok Pemilu 2009.Dari soal waktu, sosialisasi hingga kurang siap wargaberdemokrasi jadi pemicu.
Wajah Ainal Mardiah (35 tahun) berkerut masam kala melihat Abdul Salam Pohroh beranjak dari tempat duduknya di ruang Aceh I, Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, usai menghadiri konferensi pers persiapan Pemilu Legislatif 2009, 7 April 2009 lalu.
Saat Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh itu berjalan
keluar ruangan, Ainal langsung mencegat. Kenapa kami tidak terdaftar,
kami kan berhak memilih wakil kami sendiri, tanya dia dengan nada tinggi. Seketika suasana ruangan yang penuh pejabat dan sejumlah wartawan itu tegang.
Ainal, warga Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Dia memprotes KIP karena dirinya tak terdata di Daftar Pemilih Tetap
(DPT). Akibatnya, ia kehilangan hak memilih dalam Pemilu 9 April
2009.Ainal tak sendiri. Sekitar sepuluh warga Banda Aceh yang senasib
dengannya, ikut mengerumuni Salam Poroh kala itu. Ini adalah
44
kesalahan KIP, ketus Cut fatma, warga Ulee Kareng. Ia juga mengaku tak terdaftar di Tempat Pemungutan Suara (TPS) desanya.
Aksi warga secara tiba-tiba itu menjadi tontonan para pejabat seperti Sekda Aceh, Husni Bahri TOB, Kapolda Aceh Irjen Pol Aditya Warman,
Kasdam Iskandar Muda Brigjen Hari Purnama, Kajati Aceh,Yafizham
dan Ketua Panwaslu Aceh Nyak Arif fadillah.Ditanya bertubi-tubi, Salam Poroh akhirnya mencoba memaklumi
mereka. untuk yang belum terdaftar saat ini kita tidak bisa berbuat
banyak. Anda masih bisa mendaftar pada Pemilu presiden nanti.
Mendengar itu warga makin berang. Kami tidak butuh presiden, kami butuh wakil kami di DPR, jika kami tidak terdaftar sebagai pemilih
wakil rakyat, kami juga tidak akan memilih presiden, ujar Ainal.Ainal dan Cut fatma dua dari sekian banyak warga Banda Aceh yang
kehilangan hak suaranya, karena tak terdaftar di DPT. Permasalahan itu
tak hanya dialami masyarakat akar rumput, tapi juga menimpa para tokoh.
Sabri Badruddin contohnya. Politisi yang juga calon legislatif untuk DPR Banda Aceh dari Partai Golongan Karya juga tak terdaftar sebagai
pemilih. Ia tinggal di Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Permasalahan itu mencuat pada 25 Mei 2009, sepekan setelah ia
ditetapkan sebagai anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Kecamatan Kuta Alam. Sabri pun terancam gugur duduk di parlemen.
Nasib tak kalah sial dialami J Kamal Farza, seorang pengacara
di Banda Aceh. Di hari H, pria bekas aktivis itu datang ke TPS dan
berupaya meyakinkan panitia dengan menunjukkan KTP, ternyata
ia benar tak terdaftar di DPT. Akhirnya saya batal memilih, ujarnya
medio April lalu. Masalah banyak warga tak masuk DPT meruncing saat acara
pencontrengan tinggal menghitung hari. Masalah ini terus menyita perhatian sejumlah komponen hingga Pemilu usai.
Di Banda Aceh, jumlah angka pasti warga tak masuk DPT belum buaH ingkar
prajurit pendara
45MerekaMdeMokrasi aceH
diketahui. KIP Kota juga tak memiliki angka konkrit terkait masalah ini.Namun, dari 130. 177 jiwa jumlah pemilih tetap di ibukota Provinsi
Aceh itu, KIP setempat memperkirakan ada sekitar puluhan ribu warga di sana yang tak terdaftar. Ada sekitar 20 ribu yang tidak terdaftar,
kata Azhari Amin, anggota KIP Banda Aceh, Maret 2009.
Menurutnya, banyak warga yang luput masuk DPT karena terlambat
membuat KTP. Selain adanya pemilih pemula yang saat pendataan
mereka belum cukup umur.Polemik DPT di Banda Aceh bukan hanya warga tak terdaftar.
Adanya anak di bawah umur tercatat sebagai pemilih makin terbukti bobroknya sistem pendataan.
Adalah Raja Baihaqi. Bayi dua tahun itu mendapat undangan memilih di TPS I Gampong Laksana, Kecamatan Kuta Alam. Raja
masuk DPT berawal dari kesalahan di Kartu Keluarga-nya (KK). Di
KK itu, usia Raja tertulis 27 tahun. Mulanya Mahdar, ayah Raja sudah memprotes, namun pihak kelurahan tak menggubrisnya.
Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) setempat juga tak
mau disalahkan. Kami tak tahu kalau Raja ternyata anak bayi. Baru hari ini kami lihat manusianya. Kami tak mau tanggungjawab, kata Muhammad Ali, sekretaris KPPS, 9 April 2009.
Serentetan kisruh DPT, menurut Andri, Ketua Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) Banda Aceh, terjadi karena buruknya kinerja
penyelenggara pemilu dalam menjalin kerjasama mendata pemilih. Ini juga bukti lemahnya sosialisasi dilakukan KIP Kota Banda Aceh, katanya.
KIP Banda Aceh tak mau disalahkan. Aidil Azhar, Ketua KIP kota
mengatakan pihaknya sudah bekerja maksimal. Kisruh DPT, lanjutnya,
dilatari oleh banyak faktor. Masalah DPT memang sangat sensitif,
katanya, 25 Mei lalu.
Salah satunya adalah terlambatnya terbentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS). PPS punya tugas penting dalam pemutakhiran data
46
pemilih. Menurut peraturan, PPS harus sudah terbentuk dan bekerja pada Juli 2008. Namun di Banda Aceh, kata Aidil, PPS baru terbentuk pertengahan Agustus 2008.
Menurut Aidil, keterlambatan itu disebabkan oleh ketiadaan dana operasional di KIP kota. Sebab, plot dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2008. Dana baru cair pada Agustus, ujarnya.
PPS kemudian membentuk Panitia Pemutakhiran Data Penduduk (PPDP) pada akhir Agustus 2008. PPDP dibentuk untuk memutakhirkan
data secara konkrit. Mereka bekerja mendatangi warga dari rumah ke rumah, untuk memastikan kebenaran data sebelumnya dari KIP Kota.
Data awal KIP Banda Aceh saat itu berjumlah 105.833 orang. Data itu
diambil 25 Mei 2008 dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota,
berdasarkan formulir 101 dari warga pembuat KTP.
Sejak itu bibit permasalahan mulai muncul. Pasalnya, masih banyak warga Banda Aceh saat itu belum membuat KTP nasional dan otomatis
nama mereka tak terdata. Namun, mereka masih berkesempatan melapor di kelurahan.
Setelah sekitar tiga bulan dikantongi KIP, pada September 2008 data itu diumumkan melalui PPS di Kelurahan. Namun, PPDP yang diharapkan door to door, ternyata tak berkerja optimal. Di sinilah persoalan muncul.
Temuan KIP Kota, kata Aidil, di lapangan prajurit pendata itu hanya
mendatangi Kepala Desa atau Kepala Dusun dan mencocokkan data kependudukan sesuai persepsi petinggi kelurahan. Bukan mendatangi rumah-rumah mengecek, seperti diharapkan.
Ironisnya, saat itu tak ada pihak yang mengawasi. Panwaslu Kota, yang seharusnya berperan sama sekali belum terbentuk. Saat itu, ada beda paham antara Pusat dan Aceh terkait pembentukan Panwaslu Aceh.
Panwaslu Banda Aceh baru terbentuk pada februari 2009, jauh setelah DPT disahkan. Ketiadaan Panwas saat itu juga menjadi faktor,
buaH ingkarprajurit pendara
47MerekaMdeMokrasi aceH
karena tak ada yang mengawasi, sebut Aidil.Karena diburu waktu, kata Aidil, KIP saat itu, tetap menerima
hasil pemutakhiran oleh PPDP. Jumlah calon pemilih saat itu hanya bertambah sekitar 13.167 dari jumlah data sebelumnya 105.833 jiwa.
Data 119.000 jiwa kemudian dijadikan sebagai Daftar Pemilih
Sementara (DPT) oleh KIP dan ditempel oleh PPS di tempat-tempat
mudah dijangkau warga di seluruh kelurahan di Banda Aceh, medio
September 2008.Saat itu, KIP minta warga berpartisipasi aktif memperhatikan. KIP
memberi waktu dua minggu, untuk mengomplain jika ada tak sesuai, seperti tertera nama orang telah meninggal dan warga yang namanya sudah terdata di TPS lain. Jika ada warga belum terdata namanya juga
diminta melapor.Di sini juga bermasalah. Keikutsertaan warga sangat kurang. Aidil
mengatakan, saat itu pihaknya sangat sedikit mendapat komplain atau laporan dari masyarakat. Bahkan, sejumlah warga mangaku tak pernah melihat pengumuman pemilih itu. Sudah ada KTP kan pasti terdaftar.
Kalau ga, ya tak usah ikut Pemilu, sebut Safrizal, pemuda Gampong
Pineung, Banda Aceh.Terkait ini, Andri Ketua Panwaslu Kota minilai sosialisasi dilakukan
KIP gagal, karena tak menyentuh masyarakat langsung. Ini karena sosialisi dilakukan KIP hanya di tingkat PPK, tak pernah ke desa-desa.
Aidil mengatakan, sosialisasi dilakukan di PPK selalu melibatkan Kepala Desa (keuchik). Jumlah kami sedikit, tak mungkin turun ke
desa-desa. Jadi kami selalu mengimbau keuchik ikut menyampaikan apa yang kami sampaikan.
Kewajiban ikutserta masyarakat mengomplain DPS sebenarnya termaktub di pasal 23, Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Yaitu, masukan dan tanggapan dari masyarakat harus diterima PPS paling lama 14 hari sejak DPS diumumkan.
Minimnya partisipasi warga membuat calon pemilih hanya
48
bertambah 11.177 jiwa. Akhirnya, KIP Kota merekap pemilih tetap di Banda Aceh sebanyak 130.177 jiwa. Data itulah yang disahkan KPU Pusat sebagai DPT Pemilu lalu.
Beberapa bulan setelah disahkan, mencuatlah kasus banyak warga tak masuk dalam DPT. Seharusnya untuk masalah ini KIP memiliki
suatu kebijakan sehingga mereka yang tidak terdaftar namun memiliki
KTP bisa tetap memilih, kata Cut Fatma, seorang warga.
Namun, KIP tetap bersikukuh tak membolehkan warga diluar DPT
memilih. Mereka tak bisa dimasukkan lagi ke DPT. Mereka hanya bisa
dimasukkan dalam DPT Pilpres nanti, ujar Aidil.
Banyak warga tak terdaftar di DPT, menurut Saleh Syafie, sosiolog
dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh menunjukkan masyarakat kita belum mampu berdemokrasi secara stubtantif. Demokrasi adalah partisipasi, katanya di Banda Aceh, 27 Mei lalu.
Masyarakat Aceh, menurut Saleh, belum independen dan mandiri. Masih harus diantar, misalnya datang ke rumah. Jangan harap mereka datang. Jadi sistem itu belum dihayati oleh masyarakat kita.
Hal itu, kata Saleh, dipengaruhi oleh budaya di keluarga dan masyarakat yang masih dipenuhi doktrin. Kita di keluarga tak diajari berdemokrasi. Masih banyak doktrin, gak boleh ini, gak boleh itu. Jika melanggar malah anak bisa dipukul.
Saleh menilai pentingnya mengajari masyarakat berdemokrasi secara benar melalui pendidikan formal. Selain itu, para politisi juga harus mencerminkan prilaku yang demokrasi kepada publik.
Saleh tak menampik kisruh DPT juga dipicu buruknya sosialisasi
dilakukan KIP. Seharusnya mereka melihat dulu sosiologi masyarakat, katanya.
Menurut Saleh, masyarakat Aceh kini masih belajar berdemokrasi. KIP seharusnya jangan hanya meyosialisasi lewat media saja untuk mendaftar, tapi harus didatangi secara langsung. Ini bisa dilakukan
dengan memilih figur yang disayangi masyarakat sebagai pelaku. Seperti buaH ingkar
prajurit pendara
49MerekaMdeMokrasi aceH
bola salju, dia akan mengajak dan memahami masyarakat, ujar Saleh.Selain itu, lanjut dia, sosialisai Pemilu, juga tepat dilakukan melalui
pengajian-pengajian di desa-desa. Penyelenggara Pemilu juga harus melihat waktu yang tepat untuk sosialisasi.
Banyaknya warga hilang hak suara karena tak masuk DPT, menurut
Saleh, tak mempengaruhi kualitas Pemilu. Namun, hal ini bisa menimbulkan sikap apatis warga negara.
Mereka akan merasa tak berkepentingan dengan kinerja parlemen, karena tak punya ikatan emosional dengan orang duduk di sana. Hal ini, lanjut Saleh, bisa mengurangi nilai demokrasi dan kekritisan warga, sehingga berakibat buruk pada pembangunan bangsa. ***
Liku Pesta Demokrasi di Aceholeh Khithtati Aceh Feature
fauziah segera menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Ibu rumah tangga ini bergegas menuju Masjid Tungkob. Harus datang lebih awal biar cepat selesai jadi nggak harus antri, ujar Fauziah sambil berlalu pergi.
Kamis, 9 April 2009, sebuah pesta demokrasi terbesar di Indonesia digelar. Seluruh warga Indonesia menentukan pilihannya kepada wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasi mereka di parlemen pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, serta di Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Beberapa hari sebelum pemilu digelar, berbagai ajang promosi telah dilakukan oleh para calon anggota legislatif agar dirinya terpilih. Saya sudah punya pilihan jauh sebelum kampanye dilakukan, yang kita pilih bukan karena janjinya tapi apa yang sudah dibuktikan, kata Fauziah
tentang pilihannya.Pukul 08.30 Tempat Pemungutan Suara (TPS) baru dibuka. Fauziah
mendapat giliran pertama. Kertas suara yang lebih dari satu sempat
52
membuatnya bingung. Terlebih pemilu kali ini mengenalkan istilah baru
bukan lagi mencoblos melainkan mencontreng. Ya, harusnya sebelum pemilu orang-orang dikumpulkan terlebh dahulu dan diajarkan cara mencontreng jadi masyarakat tidak binggung sampai di bilik suara, papar Fauziah.
Saya yang tahu aja sempat binggung apa lagi yang nggak tau sama sekali, lanjut Fauziah lagi.
usai menconteng Fauziah kembali pulang ke rumah berjalan kaki,
kerena bilik suara dan rumahnya hanya terpaut bebebara ratus meter, 15 menit berjalan kaki.
Hari itu ada empat TPS di Masjid Tungkob. Sampai pukul 09.00 WIB
belum banyak masyarakat yang pergi menentukan pilihannya. Beberapa warung kopi di dekat masjid masih ramai dipenuhi orang. Para petugas TPS tampak bersiaga di lokasi masing-masing. Hanya beberapa kursi
yang diperuntukkan untuk saksi terisi. Para petugas memakai baju senada dengan warna putih berkerah hitam dan memakai topi hitam.
Saat datang ke TPS petugas meminta surat undangan, lalu satu
persatu nama dipanggil untuk memasuki bilik suara. Ada empat lembar kertas yang diberikan. Di tempat pencontrengan yang dibuat dari susunan meja dan ditutupi terpal hitam setinggi orang dewasa itu, telah disediakan pulpen yang diikat dengan benang. Di sebelah kiri bilik ada empat kotak suara yang dijaga oleh laki-laki berpakaian seragam
dengan tulisan Limmas. Ada satu meja untuk mencelupkan jari setelah selesai mencontreng.
Lee that keretah, hana meu ta tuoh pilih yang toh (banyak sekali kertas, tidak tahu harus pilih yang mana, ujar seorang ibu yang keluar dari bilik suara. Dia menggendong anaknya.
Mendengar celotehan si ibu, petugas TPS tersenyum kecil.
Saya bingung mau pilih siapa, maka dari itu tadi pagi adik saya datang dan mengajarkan bagaimana cara mencontreng, ujar Rohani.
Dan sekarang saya sudah tahu, ini sudah memilih, tambahnya liku pestadeMokrasi di aceH
53MerekaMdeMokrasi aceH
memperlihatkan jari tangannya yang sudah bertanda tinta.Ada yang memilih ada juga yang tidak. Di antara mereka ada yang
belum masuk dalam daftar Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan
oleh KIP atau sedang berada di luar kota saat pemilu berlangsung. Saya lihat lewat TV saja, malas untuk pulang kampung, jauh, ujar Ahmad
salah seorang pedagang. Dia mengaku tidak tahu apakah namanya masuk daftar pemilih atau
tidak. Kampung halaman Ahmad di Aceh Utara, sudah dua tahun ia merantau ke Banda Aceh mengikuti jejak saudara laki-lakinya.
Hal yang sama juga dialami oleh Taufik Hidayat, kuliah jauh di
kampung halaman membuatnya urung mendatangi bilik suara. Nggak memilih kan tidak apa-apa, nggak dosa kan? ujar Taufik bercanda.
Suasana jalan hari itu lenggang. Hanya ada sedikit orang yang melakukan aktifitas di luar rumah. Sebagian besar toko terlihat tutup.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebagian TPS sudah tidak
begitu ramai seperti yang terlihat di depan Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Baiturrahim Ulee Lheu. Hanya ada beberapa orang saja yang setia menunggu pegumuman perhitunggan suara dilaksanakan.
Hal yang berbeda terlihat di TPS yang lokasinya pada sekolah di
Peunayong, Banda Aceh. Para pemilihnya kebanyakan warga Indonesia keturunan china. TPS ini juga ramai didatangi oleh para
Top Related