Kajian penggunaan bap dan iba untuk merangsang pembentukan tunas lengkeng (dimocarpus longan lour) varietas pingpong secara in vitro
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat
Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jurusan/ Program Studi Agronomi
Disusun oleh :
MUJI WIDYARSO
H 0106020
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lengkeng (Dimocarpus longan Lour) merupakan salah satu tanaman
buah berbentuk pohon. Buahnya mempunyai cita rasa manis, aroma yang khas,
dan mengandung gizi yang cukup tinggi sehingga disukai oleh masyarakat.
Saat ini lengkeng mempunyai potensi pengembangan pasar yang baik, tetapi
sayangnya buah lengkeng banyak dipasok dari luar negeri.
Beberapa tahun terakhir sebagian masyarakat mengenal tanaman
lengkeng hanya ditanam dan berbuah baik di dataran menengah ke atas.
Sekarang tanaman lengkeng dapat berbuah baik di dataran rendah, seperti
varietas Diamond River yang berasal dari Thailand dan varietas Pingpong yang
berasal dari Vietnam. Keduanya dapat berproduksi tinggi di dataran rendah
pada beberapa daerah di Indonesia seperti yang sudah dilaksanakan di Provinsi
Kalimantan Barat dan Jawa Tengah (Kuntarsih et al., 2005).
Lengkeng dapat dikembangbiakan secara generatif maupun vegetatif.
Perkembangbiakan secara generatif dilakukan dengan cara mengecambahkan
bijinya. Pembibitan tanaman lengkeng dengan biji kurang menguntungkan
karena membutuhkan waktu yang lama untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Selain itu perbanyakan generatif tanaman lengkeng dapat
menimbulkan variasi genetik yang menyebabkan bibit tersebut memiliki sifat
berbeda dengan tanaman induknya. Perkembangbiakan secara vegetatif
tanaman lengkeng banyak dilakukan, antara lain dengan sambung pucuk,
sambung masuk seperti pelana, tempel mata tunas atau okulasi, dan penyusuan,
sehingga diperlukan batang atas yang memiliki sifat unggul pada kualitas dan
produksi buah, dan batang bawah yang umumnya menggunakan varietas lokal
(Sunanto, 1990).
Pengembangan lengkeng dataran rendah saat ini dikendala oleh
mahalnya harga bibit, yaitu berkisar antara Rp. 75.000 – Rp. 200.000 untuk
satu tanaman sambung pucuk dengan tinggi 30-80 cm, dan ketersediaannyapun
masih terbatas. Beberapa pengusaha bibit telah mengembangkan pembibitan
1
lengkeng melalui sambung pucuk, tetapi cara ini belum mencukupi kebutuhan
permintaan bibit yang terus meningkat.
Melihat besarnya potensi pengembangan lengkeng di daerah dataran
rendah maka perlu upaya-upaya percepatan dalam penyediaan bibit. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kultur jaringan.
Beberapa kelebihan teknik kultur jaringan dibandingkan dengan cara
konvensional adalah faktor perbanyakan tinggi, tidak bergantung pada musim
karena lingkungan tumbuh in vitro terkendali, bahan tanam yang digunakan
sedikit sehingga tidak merusak pohon induk, tidak membutuhkan tempat yang
luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak, memperoleh bibit
yang sama dengan induknya (true to type), dan diharapkan harganya lebih
murah (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).
Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat yang
diperlukan terpenuhi. Salah satu syarat yang menunjang keberhasilan kultur
jaringan adalah penggunaan zat pengatur tumbuh (Koestiati, 1995).
Penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur merupakan kunci
keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi tunas (Sukmadjaja dan
Mariska, 2003). Beberapa zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
diantaranya adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin berperan dalam pembelahan
sel dan inisiasi tunas (Kyte dan Kleyn, 1996). Sitokinin yang banyak
digunakan untuk tujuan komersial adalah sitokinin sintetik misalnya 6-Benzil
Amino Purin (BAP) dan Benzyladine (BA). Auksin berperan dalam inisiasi
akar dan pembesaran sel. Auksin sintetik seperti Indole Butirat Acid (IBA)
dan Naftalen Asam Aseta (NAA) lebih sering digunakan untuk merangsang
pengakaran dan terbukti memberikan hasil yang lebih baik (Herlina dan
Benny, 2000). Dengan penambahan BAP dan IBA pada konsentrasi yang tepat
diharapkan dapat meningkatkan pembentukkan tunas lengkeng secara in vitro.
Menurut Pratiwi (2007) penggunaan zat pengatur tumbuh sebaiknya pada
selang konsentrasi rendah, karena penggunaan konsentrasi sampai 5 ppm akan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan lengkeng.
B. Perumusan Masalah
Penggunaan modifikasi zat pengatur tumbuh dapat menjadi faktor
penentu keberhasilan kultur jaringan. Dalam penelitian ini dikaji pengaruh
penggunaan BAP dan IBA terhadap pembentukan tunas lengkeng. Untuk itu
perlu diketahui pemberian zat pengatur tumbuh BAP dan IBA pada konsentrasi
berapa yang tepat untuk merangsang pembentukan tunas lengkeng varietas
pingpong secara in vitro.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi BAP dan IBA
yang tepat untuk pembentukan tunas lengkeng varietas pingpong secara in
vitro.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lengkeng (Dimocarpus longan Lour)
Secara botani tanaman lengkeng (D. longan) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Familia : Sapindaceae
Genus : Dimocarpus
Spesies : Dimocarpus longan (Lour.) Steud.
(Anonim, 2009a).
Pohon lengkeng dapat mencapai tinggi 40 m dan diameter batangnya
hingga sekitar 1 m. Berdaun majemuk, dengan 2-6 pasang anak daun, sebagian
besar berbulu rapat pada bagian aksialnya. Panjang tangkai daun 1-20 cm dan
panjang tangkai anak daun 0,5-3,5 cm. Anak daun bulat memanjang, panjang
1-5 kali lebarnya, bervariasi 3-45 × 1,5-20 cm, mengertas sampai menjangat,
dengan bulu-bulu terutama di sebelah bawah di dekat pertulangan daun
(Anonim, 2009b).
Lengkeng lebih cocok ditanam di dataran rendah antara 200-600 m dpl
yang bertipe iklim basah dengan musim kering tidak lebih dari empat bulan.
Curah hujan 1.500-3.000 mm per tahun dengan 9-12 bulan basah dan 2-4 bulan
kering (Sunarjono, 2008).
Menurut Yusnita (2003) bagian tanaman yang dapat digunakan
sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau
kotiledon, tunas pucuk, dan potongan batang satu buku. Selain itu eksplan
yang digunakan merupakan jaringan muda yang sedang tumbuh aktif karena
mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri.
B. Kultur In Vitro
Kemajuan teknologi yang didasarkan pada teknik in vitro atau kultur
jaringan sangat nyata dampaknya dalam peningkatan kualitas dan produksi
pada komoditas pertanian. Kultur jaringan tersebut mempunyai dua kegunaan
utama yaitu untuk perbanyakan cepat dalam jumlah yang banyak dan seragam
sesuai induknya, dan menghasilkan kultivar-kultivar baru yang unggul dalam
perbaikan tanaman. Aplikasi kultur jaringan dalam bidang pertanian, antara
lain digunakan untuk : (1) memproduksi bahan-bahan farmasi dan produk
alami lainnya, (2) memperbaiki sifat genetik tanaman, (3) memperoleh klon
yang bebas penyakit sistemik, (4) melestarikan plasma nutfah, dan (5)
melipatgandakan klon dari hasil seleksi varietas (Mattjik, 2005).
Usaha pengadaan bibit tanaman secara besar-besaran dan penanaman
secara masal dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin
meningkat dapat dipenuhi dengan teknik kultur in vitro. Di Negara-negara
maju seperti Jepang, Eropa, dan AS, kultur aseptik telah umum digunakan
4
sebagai sarana perbanyakan tanaman terutama untuk tanaman buah-buahan
(Purbiati dan Triatminingsih, 1992).
Kultur jaringan termasuk teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif
buatan yang memanfaatkan sifat totipotensi tumbuhan. Totipotensi adalah
kemampuan beberapa sel tanaman yang masih dalam proses pertumbuhan
untuk membentuk individu tanaman.. Keberhasilan kultur jaringan salah
satunya ditentukan oleh pertumbuhan bahan tanam yang dikulturkan yaitu
berupa jaringan muda yang dalam kondisi tumbuh, seperti pucuk tanaman,
daun muda, akar, dan tunas ( Rahardja dan Wiryanta, 2005).
Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang
dibutuhkan dapat terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi : (1) pemilihan
eksplan/bahan tanam, (2) penggunaan media yang sesuai, (3) keadaan yang
aseptic, dan (4) pengaturan tempat tumbuh yang sesuai (Santoso dan
Nursandi, 2004).
Cara memilih eksplan harus didasarkan oleh ilmu pengetahuan tentang
sel, yaitu bagian-bagian tanaman yang mempunyai sel aktif membelah
(meristem). Pada bagian sel meristem mengandung hormon tanaman, sehingga
hasilnya akan sesuai seperti yang diharapkan yakni dapat memunculkan tunas
maupun bagian lain dari tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Poliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan
tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi
sesuai untuk poliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan
cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk
penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam
waktu singkat (Kosmiatin et al., 2005).
Salah satu bagian jaringan meristem pada tanaman terdapat pada
bagian tunas. Eksplan berupa tunas pucuk merupakan eksplan yang paling
tinggi persentasenya menghasilkan planlet, terutama jika ditumbuhkan pada
media tanpa auksin (Irawati, 2000). Menurut Dinyunita (1999) tunas yang
akan dijadikan eksplan harus berasal dari pohon induk yang fisiknya sehat.
Selain itu eksplan harus melalui tahap sterilisasi terlebih dahulu.
Meskipun dengan teknik in vitro mempunyai kelebihan namun kultur
jaringan pun memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan biaya awal yang relatif
tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia dan dibutuhkan keahlian khusus
untuk melaksanakannya (Yusnita, 2003). Menurut Rahardja dan Wiryanta
(2005) kelemahan teknik in vitro yaitu hanya dapat dilakukan di
Laboratorium, sedangkan menurut Mattjik (2005) kendalanya adalah kualitas
bahan tanam (eksplan). Hal ini disebabkan masih adanya cendawan dan
bakteri yang terdapat pada jaringan tanaman.
C. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen medium
bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh
dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh
sama sekali. Pembentukan kalus, tunas, dan organ-organ ditentukan oleh
penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut. Golongan sitokinin
yang sering ditambahkan dalam medium anatara lain adalah BAP, kinetin, dan
zeatin. Sedangkan golongan auksin yang sering ditambahkan dalam medium
adalah 2,4-D, IAA (Indol Asam Asetat), NAA (Naftalen Asam Asetat), dan
IBA (Indol Butirik Asetat) (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Pada umumnya media perbanyakan secara in vitro menggunakan zat
pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, seperti BAP yang merupakan salah
satu zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan untuk memacu
pembentukan tunas dengan daya aktivitas yang kuat mendorong proses
pembelahan sel (George dan Sherrington, 1984).
Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam
kultur jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine). Menurut George &
Sherrington (1984) 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu
sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak
mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz
(1983) BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam
pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang
paling aktif.
Menurut Wilkins (1989) cit. Soleh (2005) golongan sitokinin adalah
turunan dari adenin. Turunan-turunan adenin yang disubtitusikan pada posisi
golongan adalah sitokinin-sitokinin yang paling aktif. Subtitusi ini dapat
berupa benzyl pada BAP, furfuril pada kinetin, isopentanyl pada 2-iP.
Sitokinin yang paling aktif untuk merangsang pertunasan adalah BA ataupun
BAP disusul kinetin. BA atau BAP mempunyai berat molekul 25,26 dan
mempunyai pengaruh lebih baik dibandingkan kinetin.
Penggunaan sitokinin sebagai zat pengatur tumbuh untuk kerja auksin
cukup efektif. Hal ini ditunjukkan dengan bertambahnya jumlah daun yang
dibentuk oleh eksplan. Menurut Wetherell (1982) penggunaan sitokinin
mempunyai peranan penting jika bersamaan dengan auksin yaitu merangsang
pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan serta merangsang
pertumbuhan tunas dan daun.
Perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka akan
menstimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Apabila sebaliknya akan
mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar. Tetapi bila konsentrasi
sitokinin itu sedang dan konsentrasi auksin rendah, maka akan terbentuk kalus
(Abidin, 1993).
Pada kultur jaringan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas
aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas (adventif), zat pengatur
tumbuh yang digunakan adalah sitokinin dan auksin dengan konsentrasi
rendah. Kultur jaringan dimanfaatkan untuk merangsang pembentukan akar
pada tunas, biasanya menggunakan zat pengatur tumbuh auksin, misalnya IBA
dan NAA, karena efektivitasnya tinggi dan harganya relatif murah (Yusnita,
2003).
Sudarmadji (2003) menggunakan BAP dengan konsentrasi 1 mg/l, 2
mg/l, dan 3 mg/l pada kultur jaringan kapas. Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa pemberian BAP 2 mg/l pada kalus dari kapas varietas coker 500
menghasilkan pertumbuhan tunas yang lebih cepat. Winarsih et al. (2002)
menggunakan IBA dengan konsentrasi 1 mg/l, 2 mg/l, 3 mg/l, dan 4 mg/l pada
kultur jaringan kakao. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kalus dapat
terinduksi baik pada tanaman kakao klon TSH 858 dengan menggunakan IBA
1 mg/l. Farid (2003) menggunakan BAP dan IBA pada perbanyakan tebu
secara in vitro. BAP dengan 3 taraf konsentrasi yaitu 0,5 ppm, 0,75 ppm, dan
1,5 ppm. IBA dengan 3 taraf konsentrasi yaitu 0,5 ppm, 0,75 ppm, dan 1 ppm.
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa perbanyakan massal tanaman tebu
dapat dilakukan secara in vitro pada konsentrasi BAP 1,5 ppm dan IBA 0,5
ppm.
IBA adalah hormon pengakaran yang biasa digunakan oleh para
pemulia. IBA dihasilkan secara alami pada tanaman dan juga dapat dibuat
secara sintetik. IBA lebih stabil daripada NAA dan lebih disukai untuk induksi
pengakaran pada kultur jaringan (Kyte and Kleyn, 1996). Menurut Salisbury
dan Ross (1995) IBA lebih lazim digunakan untuk memacu perakaran
dibandingkan NAA ataupun auksin lainnya. IBA bersifat lebih aktif, sekalipun
cepat dimetabolismekan menjadi IBA aspartat dan sekurangnya menjadi satu
konjugat dengan peptide lain.
Rochiman dan Harjadi (1973) cit. Lukitariati et al. (1996) menyatakan
bahwa jenis auksin IBA bersifat unggul dan efektif dalam merangsang
aktifitas perakaran, dikarenakan sifat kimia yang stabil dan daya kerja lebih
lama. Auksin pada kultur jaringan dikenal sebagai hormon yang berperan
menginduksi kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam
proses embriogenesis dan juga mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman
(Santoso dan Nursandi, 2004).
D. Media Kultur Jaringan
Komponen media kultur yang lengkap menurut Yusnita (2003) meliputi
air destilata (aquades) atau air bebas ion sebagai pelarut atau solvent, hara-hara
makro dan mikro, gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energy, vitamin,
asam amino, dan bahan organik lain (seperti mio-inositol), zat pengatur
tumbuh, suplemen berupa bahan-bahan alami (jika diperlukan), agar-agar atau
gelrite sebagai pemadat media.
Formula dasar untuk media kultur jaringan dibuat untuk menyediakan
nutrisi dan mengatur pertumbuhan yang optimal untuk tanaman yang spesifik.
Formulasi media Woody Plant Medium (WPM) dikembangkan oleh Brent Mc
Cown dan Greg Lloyd ini cocok dan optimal untuk kultur jaringan tanaman
berkayu (Kyte and Kleyn, 1996).
Media yang cocok untuk tanaman tahunan menurut Mariska dan
Purnamaningsih (2001) adalah media WPM, hal ini disebabkan tanaman
tahunan yang berkayu seperti tanaman lengkeng. Pada tanaman lengkeng
media WPM mempunyai persentase yang cukup besar dalam keberhasilannya
menumbuhkan tunas, ini terkait bahwa media WPM konsisten digunakan
sebagai media kultur jaringan untuk tanaman berkayu, sedangkan tanaman
lengkeng termasuk ke dalam kriteria tanaman berkayu (Pratiwi, 2007).
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai Januari 2010
di Laboratorium Fisiologi dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan tanam yang digunakan sebagai eksplan adalah bagian pucuk
tanaman lengkeng varietas pingpong pada buku kedua sampai kelima.
Eksplan tersebut berasal dari bibit lengkeng pingpong hasil sambung susu
yang berumur 2,5 tahun. Bahan kimia yang digunakan meliputi media
Woody Plant Media (WPM), ZPT BAP dan IBA, aquades, chrolox 5,25 %,
fungisida, bakterisida, spirtus, amoxicillin, dan alkohol 70 %.
2. Alat
Alat yang digunakan adalah botol kultur, autoklaf, magnetik stirer,
Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), pH meter, petridish, pinset, scalpel,
bunsen, timbangan analitik, hot plate, plastik PP 0,4, plastik clip, botol
semprot, karet gelang, beker glass, gelas ukur, erlenmeyer, pipet ukur,
aluminium foil, kertas label, tissue, dan rak kultur.
C. Cara Kerja Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan lingkungan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas dua faktor perlakuan :
a. Faktor pertama yaitu konsentrasi BAP dengan lima taraf konsentrasi,
yaitu : B0 : Perlakuan tanpa penambahan BAP (0 ppm)
B1 : Perlakuan dengan penambahan BAP 0.5 ppm
B2 : Perlakuan dengan penambahan BAP 1 ppm
B3 : Perlakuan dengan penambahan BAP 2 ppm
B4 : Perlakuan dengan penambahan BAP 3 ppm
b. Faktor kedua yaitu konsentrasi IBA dengan lima taraf konsentrasi,
yaitu : I0 : Perlakuan tanpa penambahan IBA (0 ppm)
I1 : Perlakuan dengan penambahan IBA 0.5 ppm
I2 : Perlakuan dengan penambahan IBA 1 ppm
I3 : Perlakuan dengan penambahan IBA 2 ppm
I4 : Perlakuan dengan penambahan IBA 3 ppm
Sehingga diperoleh 25 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi
perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan.
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang harus disterilkan diantaranya adalah botol kultur,
petridish, skalpel, pinset, dan pisau pemes. Alat-alat tersebut dicuci
sampai bersih dengan menggunakan sabun cuci kemudian dikeringkan.
Setelah kering dibungkus dengan kertas koran (kecuali botol kultur)
10
lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 1,5 Psi (kg/cm2),
pada suhu 1210 C selama 45 menit.
b. Pembuatan Larutan Stok
Pembuatan larutan stok yaitu dengan menimbang bahan-bahan
kimia, hara makro, hara mikro, maupun ZPT sesuai komposisi media
WPM untuk dibuat larutan stok. Kemudian bahan-bahan tersebut
dilarutkan dengan aquades dan diaduk sampai homogen dengan
magnetic stirrer, kemudian dimasukkan dalam botol yang diberi label
pada tiap botolnya sesuai dengan perlakuan dan disimpan dalam lemari
pendingin (Lampiran 1).
c. Pembuatan Media Tanam
Pembuatan media dengan mengambil dan menakar masing-masing
larutan stok sesuai dengan perlakuan dan ukuran yang telah ditentukan
kemudian memasukkannya ke dalam gelas piala. Kemudian
mengambil zat pengatur tumbuh BAP dan IBA sesuai perlakuan
(lampiran 2). Bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades sampai
volume larutan mencapai 1 liter, kemudian ditambahkan gula sebanyak
30 g. Larutan dimasukkan dalam beker glass dan diaduk serta
dididihkan dengan menggunakan magnetik stirer dan hot plate.
Langkah selanjutnya yaitu pengukuran pH larutan. pH media
diatur pada kisaran 5,8-6,3. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan
dengan NaOH dan bila pH terlalu tinggi ditambahkan dengan HCl.
Setelah pH telah sesuai, kemudian larutan ditambahkan bahan pemadat
media yaitu agar-agar sebanyak 8 g. Setelah semua larutan terlarut,
maka tahap selanjutnya adalah menuangkan larutan tersebut ke botol-
botol kultur, kurang lebih 25 ml setiap botolnya. Botol ditutup dengan
plastik PP dan kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210
C, pada tekanan 1,5 kg/cm2 selama 45 menit. Setelah selesai, botol
diangkat dari autoklaf dan di tempatkan di ruang inkubasi supaya
media menjadi padat. Apabila media telah memadat, maka penanaman
eksplan dapat dilakukan.
d. Persiapan bahan tanam (eksplan)
Bahan tanam diambil dari bagian pucuk tanaman lengkeng pada
buku kedua sampai kelima. Bahan tanam dipotong (satu buku) sebagai
eksplan (lampiran 3).
e. Sterilisasi eksplan
Eksplan dicuci menggunakan deterjen dan dibilas dengan aquades
steril sampai bersih, kemudian direndam dalam campuran larutan
agrept, dithane, serta amoxicillin dan dishaker selama 24 jam. Eksplan
selanjutnya dibilas dengan aquades steril. Eksplan yang telah steril
dibawa ke dalam LAFC.
f. Penanaman eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam LAFC yang telah
dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70 % dan ruang LAFC
disemprot spirtus. Eksplan dipotong ujung-ujungnya dan selanjutnya
disterilisasi dalam larutan chrolox 5,25 % selama 30 detik. Penanaman
diawali dengan mendekatkan mulut botol kultur dengan lampu bunsen.
Selama penanaman mulut botol kultur harus berada dekat dengan
lampu bunsen guna mencegah kontaminasi.
Eksplan diambil dengan menggunakan pinset panjang yang telah
direndam dalam alkohol untuk ditanam dalam botol kultur. Penanaman
dilakukan dengan mencelupkan dahulu seluruh bagian eksplan ke air
yang berada di dalam media tanam atau ketika di dalam botol media
tidak terdapat air maka menempelkan seluruh bagian eksplan ke media
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya
pencoklatan atau browning pada eksplan sesaat setelah dilakukan
sterilisasi menggunakan chlorox. Setelah itu ditanam dan kemudian
ditutup kembali dengan plastik pp 0,4. Botol-botol yang telah selesai
diberi label sesuai dengan perlakuan dan tanggal penanaman.
g. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalisasi risiko kontaminasi
dengan cara menyemprotkan spirtus ke botol-botol kultur setiap 2 hari
sekali serta mengeluarkan botol-botol kultur yang terkontaminasi dari
ruang inkubasi.
h. Pemeliharaan lanjutan pada 180 HST
Eksplan yang menghasilkan kalus dan tunas pada beberapa
perlakuan tetap dipelihara dan diamati peertumbuhannya sampai umur
180 HST.
i. Subkultur
Untuk beberapa perlakuan, eksplan lengkeng yang tumbuh tunas
dilakukan subkultur pada umur 120 HST dengan penambahan BAP 2
ppm dan IAA 2 ppm pada media tanam. Pengamatan hasil subkultur
dilakukan sampai eksplan berumur 150 HST.
3. Variabel Pengamatan
a. Persentase pembentukan kalus
Persentase kalus yang terbentuk dihitung pada saat umur eksplan
90 HST, dengan cara menghitung kalus yang tumbuh pada eksplan
tiap-tiap perlakuan, dibagi jumlah ulangan kemudian dikali 100%.
% pembentukan kalus = ݔ3 × 100 %
x : kalus yang tumbuh dalam tiap-tiap perlakuan
3 : ulangan
b. Warna kalus
Pengamatan warna kalus dilakukan pada saat umur eksplan 90
HST, dilakukan dengan mengamati secara visual dengan sistem
penilaian. Kriteria penilaian yang digunakan adalah 1 = kalus tumbuh
berwarna coklat, 2 = kalus tumbuh berwarna putih kecoklatan, 3 =
kalus tumbuh berwarna putih kekuningan, 4 = kalus tumbuh berwarna
hijau keputihan, hijau kekuningan.
c. Tekstur kalus
Tekstur kalus diamati pada saat umur eksplan 90 HST dan
ditentukan dengan sistem penilaian. Kriteria penilaian yang digunakan
adalah 1 = kalus tumbuh bertekstur kompak, 2 = kalus tumbuh
bertekstur intermediet (sebagian kompak dan remah), 3 = kalus
tumbuh bertekstur friable / remah.
d. Ukuran kalus
Pengamatan ukuran kalus dilakukan pada saat umur eksplan 90
HST dan ditentukan dengan sistem penilaian. Kriteria penilaian yang
digunakan adalah 1 = kecil, 2 = sedang, dan 3 = besar.
e. Persentase pembentukan tunas
Persentase tunas yang terbentuk dihitung pada saat umur eksplan
90 HST, dengan cara menghitung tunas yang tumbuh pada eksplan
tiap-tiap perlakuan, dibagi jumlah ulangan kemudian dikali 100%.
% pembentukan tunas = ݔ3 × 100 %
x : tunas yang tumbuh dalam tiap-tiap perlakuan
3 : ulangan
f. Jumlah tunas
Jumlah tunas diamati pada saat umur eksplan 90 HST, dilakukan
dengan menghitung jumlah tunas yang muncul. Perhitungan jumlah
tunas dilakukan pada eksplan baik itu tunas yang berasal dari mata
tunas maupun tunas samping.
g. Panjang tunas
Panjang tunas diamati pada saat umur eksplan 90 HST dengan
mengukur panjang tunas dari pangkal tunas hingga ujung tunas
tertinggi (dalam mm).
4. Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kalus
1. Persentase Pembentukan Kalus
Salah satu indikator adanya pertumbuhan dalam kultur in vitro adalah
munculnya kalus pada eksplan. Kalus pertama kali muncul dari bagian jaringan
tertentu selanjutnya berkembang membentuk gumpalan jaringan yang belum
mengalami diferensiasi. Pada beberapa kultur in vitro terdapat kalus yang
langsung mengalami diferensiasi membentuk organ, namun ada juga yang
tidak mengalami diferensiasi sehingga perlu diberikan perlakuan yang berbeda.
Adapun proses terbentuknya kalus sampai ke tahap diferensiasi berbeda-beda,
bergantung macam dan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan,
metode kultur in vitro, serta zat-zat yang ditambahkan dalam medium dasar
(Suryowinoto, 1996).
Tabel 1. Persentase pembentukan kalus lengkeng (%) pada umur 90 HST dengan berbagai konsentrasi BAP dan IBA
Keterangan : % = persentase pembentukan kalus ppm = part per million (mg/l)
Tabel 1 menunjukkan persentase pembentukan kalus eksplan lengkeng
adalah 100%. Hal ini menunjukkan penggunaan berbagai konsentrasi BAP dan
IBA dapat memberikan persentase pembentukan kalus yang sama, tidak
terlepas dari pengaruh sitokinin dan auksin endogen di dalam eksplan
lengkeng. Untuk menginduksi pembentukan kalus dari bagian tanaman tertentu
menggunakan auksin dan biasanya sitokinin juga digunakan sebagai kombinasi
untuk induksi kalus (Santoso dan Nursandi, 2004). Hal tersebut didukung
Yusnita (2003) menyatakan bahwa kadang-kadang sitokinin dibutuhkan untuk
memunculkan kalus.
Pembentukan kalus eksplan lengkeng muncul antara 3 sampai 5 minggu
setelah tanam. Waktu kemunculan kalus yang berbeda tersebut diduga
disebabkan oleh perbedaan tanggapan (respon) sel-sel atau jaringan eksplan
BAP (ppm)
IBA (ppm) 0 0.5 1.0 2.0 3.0
0 100 100 100 100 100 0.5 100 100 100 100 100 1.0 100 100 100 100 100 2.0 100 100 100 100 100 3.0 100 100 100 100 100
16
lengkeng terhadap ketersediaan auksin endogen dan eksogen. Hal tersebut
selaras dengan pendapat Santoso dan Nursandi (2004) yang menyebutkan
bahwa respon jaringan eksplan dapat berbeda-beda pada tahap induksi kalus,
yang dicerminkan oleh perbedaan pertumbuhan kalus eksplan. Penjelasan
tersebut diperkuat pendapat Gunawan (1987) cit. Dwiyono (2009) bahwa sel-
sel suatu jaringan akan menunjukkan pertumbuhan kalus yang berbeda apabila
jaringan eksplan tersebut tersusun atas sel-sel yang heterogen. Eksplan-eksplan
yang berasal dari bagian-bagian batang, akar, dan daun merupakan jaringan
kompleks yang tersusun atas sel-sel yang heterogen.
Pertumbuhan kalus eksplan lengkeng yang dikulturkan menunjukkan
waktu yang relatif cepat karena pada umur 3 minggu kalus telah muncul,
namun perkembangan berikutnya relatif lambat bahkan mengalami stagnasi
pertumbuhan dan perkembangan kalus. Hal ini diduga penggunaan bahan
eksplan yang digunakan yaitu berasal dari bagian pucuk tanaman lengkeng
yang telah dewasa. Menurut Yusnita (2003) daya regenerasi eksplan dari induk
dewasa umumnya lebih rendah dibanding dari induk muda, walaupun secara
fisiologis jaringannya masih sama-sama muda. Menurut Santoso dan Nursandi
(2004) kalus dapat diinduksi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi
kemampuan bagian tanaman untuk membentuk kalus bergantung pada umur
fisiologis, waktu pengambilan eksplan, bagian tanaman yang diambil, dan jenis
tanaman.
2. Warna Kalus
Kemunculan kalus ditandai dengan adanya perubahan bentuk pada
permukaan eksplan, seperti terjadinya pembengkakan pada jaringan yang
mengalami kontak dengan media kultur baik secara langsung maupun tidak
langsung. Menurut Suryowinoto (1996) eksplan terinisiasi membentuk kalus
karena sel-sel yang kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan
selanjutnya aktif mengadakan pembelahan membentuk jaringan penutup luka.
Dalam kultur jaringan, warna kalus merupakan indikator penting dalam
mengetahui kualitas kalus. Kualitas kalus yang baik memiliki warna yang
hijau. Karakteristik pertumbuhan kalus meliputi hubungan yang kompleks
antara bahan tanaman yang digunakan, komposisi medium, dan kondisi
lingkungan selama masa inkubasi (Aitchision et al., 1977 cit. Doods dan
Robert, 1995). Suatu kalus masih memiliki sel-sel yang aktif membelah (masih
hidup) ataukah sudah mati dapat dilihat berdasarkan warna kalus (gambar 1).
Warna coklat secara umum menunjukkan keadaan kalus tanaman mahkota
dewa yang sel-selnya telah mati (Dwiyono, 2009).
1 = kalus berwarna coklat
2 = kalus berwarna putih kecoklatan
3 = kalus berwarna putih kekuningan
4 = kalus berwarna hijau keputihan
Gambar 1. Kategori penilaian warna kalus lengkeng umur 90 HST
Keterangan : 1 = coklat 2 = putih kecoklatan 3 = putih kekuningan
4 = hijau keputihan, hijau kekuningan hingga hijau tua Gambar 2. Frekuensi eksplan membentuk kalus berwarna coklat, putih
kecoklatan, putih kekuningan, dan hijau keputihan Gambar 2 menunjukkan bahwa warna yang terlihat pada kalus lengkeng
memiliki rentang mulai dari coklat (ditunjukkan oleh nilai 1) hingga hijau
(ditunjukkan oleh nilai 4). Warna kalus yang dihasilkan adalah putih
kecoklatan (ditunjukkan nilai 2) dan coklat (ditunjukkan nilai 1). Hal ini berarti
kualitas kalus yang dihasilkan kurang baik karena warna kalus yang dihasilkan
cenderung berwarna kecoklatan sampai coklat. Munculnya pencoklatan kalus
atau browning yang terjadi pada kalus akibat adanya metabolisme senyawa
fenol bersifat toksik, yang sering terangsang akibat proses sterilisasi eksplan,
yang menghambat pertumbuhan atau bahkan menyebabkan kematian jaringan
(Yusnita, 2003). Menurut Santoso dan Nursandi (2004) peristiwa pencoklatan
tersebut sesungguhnya merupakan suatu peristiwa alamiah dan proses
perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik seperti
pengupasan, dan pemotongan. Gejala pencoklatan merupakan tanda-tanda
terjadinya kemunduran fisiologis eksplan.
3. Tekstur Kalus
Tekstur kalus merupakan salah satu penentu untuk menilai kualitas suatu
kalus. Kalus dapat dikatakan baik apabila memiliki tekstur friable atau remah,
karena dengan tekstur tersebut upaya untuk perbanyakan dalam hal jumlah
kalus yaitu melalui kultur suspensi lebih mudah. Tekstur kalus dapat dibedakan
0123456789
10
1 2 3 4
11
4
8
2
Frek
uens
i eks
plan
m
embe
ntuk
kal
us
Skor warna
menjadi tiga macam, yaitu kompak, intermediet, dan friable atau remah
(Turhan, 2004). Ketiga kriteria tersebut pada kalus lengkeng ditunjukkan pada
gambar 3.
1 = kalus bertekstur kompak
2 = kalus bertekstur intermediet (sebagian kompak dan remah)
3 = kalus bertekstur friable/remah
Gambar 3. Kategori penilaian tekstur kalus lengkeng umur 90 HST
Kalus dengan tekstur kompak dicirikan oleh susunan antar sel-sel kalus
yang sulit dipisahkan, disamping itu partikel-partikel yang menyusun kalus
membentuk tonjolan-tonjolan padat. Sebaliknya kalus dengan tekstur remah
memiliki ciri khusus seperti partikel-partikel penyusun kalus mudah sekali
dipisahkan dan kelompok-kelompok selnya memiliki susunan yang renggang
(Santoso dan Nursandi, 2004). Hasil penelitian untuk tekstur kalus lengkeng
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tekstur kalus lengkeng pada berbagai kombinasi BAP dan IBA
Keterangan : 1 = kompak 2 = intermediet 3 = friable / remah
Tabel 2 menunjukkan tekstur kalus yang terbentuk bervariasi dari yang
bertekstur kompak sampai remah. Tekstur pada kalus dapat bervariasi dari
kompak hingga remah bergantung pada jenis tanaman yang digunakan sebagai
eksplan, komposisi nutrisi medium, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan
tumbuh (Pierik, 1987). Tekstur kalus yang terbentuk kebanyakan adalah
intermediet (sebagian kompak dan remah). Hanya pada perlakuan tanpa BAP
(0 ppm) dengan penambahan IBA 3 ppm memperlihatkan kalus lengkeng yang
bertekstur remah. Menurut Akeneme dan Eneobong (2008) bahwa sel-sel yang
mengalami pembelahan yang begitu cepat akan membentuk kalus dengan
tekstur yang remah. Pembelahan sel-sel yang berlangsung begitu cepat tersebut
cenderung mengarahkan sel-sel membentuk kalus dengan susunan yang agak
renggang dan agak saling lepas satu sama lain.
4. Ukuran Kalus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kalus eksplan lengkeng yang
terbentuk cukup beragam, mulai dari kecil hingga ukuran besar. Kriteria
ukuran kalus lengkeng disajikan pada gambar 4.
Hasil penelitian untuk tekstur kalus lengkeng dapat dilihat pada tabel 3.
Sebagian besar ukuran kalus yang terbentuk adalah sedang, sedangkan untuk
ukuran kalus terbesar diperoleh pada perlakuan BAP 0.5 ppm dengan IBA 1
ppm. Ukuran kalus terkecil dihasilkan pada perlakuan tanpa BAP dengan IBA
3 ppm serta pada perlakuan BAP 3 ppm dengan IBA 2 ppm. Pada konsentrasi
BAP (ppm)
IBA (ppm) 0 0.5 1.0 2.0 3.0
0 2 2 2 2 3 0.5 2 2 2 2 2 1.0 2 1 2 2 1 2.0 2 2 1 1 2 3.0 2 1 1 2 2
1 = kalus ukuran kecil
2 = kalus ukuran sedang
3 = kalus ukuran besar
Gambar 4. Kategori penilaian ukuran kalus lengkeng umur 90 HST
Tabel 3. Ukuran kalus lengkeng pada berbagai kombinasi BAP dan IBA
Keterangan : 1 = kecil 2 = sedang 3 = besar
auksin yang tinggi cenderung menghasilkan ukuran kalus yang kecil. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Tisserat (1985) cit. Balogun et al. (2007)
serta Santoso dan Nursandi (2004) yang menyebutkan bahwa fungsi dari
BAP (ppm)
IBA (ppm) 0 0.5 1.0 2.0 3.0
0 2 2 2 2 1 0.5 2 2 3 2 2 1.0 2 2 2 2 2 2.0 2 2 2 2 2 3.0 2 2 2 1 2
auksin secara umum adalah untuk memacu pertumbuhan kalus. Namun,
penambahan auksin pada konsentrasi yang terlalu tinggi akan bersifat
menghambat, bahkan mematikan atau meracun pertumbuhan kalus (George
dan Sherrington, 1984).
B. Tunas
1. Persentase Pembentukan Tunas
Munculnya tunas merupakan indikator untuk mengetahui pertumbuhan
dan perkembangan eksplan dalam budidaya secara in vitro. Pada peneltian ini
tunas pertama kali terbentuk dari pemanjangan mata tunas yang ada pada buku
eksplan lengkeng, bukan berasal dari diferensiasi kalus yang terbentuk.
Semakin cepat muncul tunas maka semakin cepat pula dihasilkan bahan untuk
perbanyakan tanaman. Persentase pembentukan tunas diamati pada umur 90
hari setelah tanam (HST) (tabel 4).
Tabel 4. Persentase pembentukan tunas lengkeng (%) pada umur 90 HST dengan berbagai konsentrasi BAP dan IBA
Keterangan : % = persentase pembentukan tunas ppm = part per million (mg/l)
Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir pada semua perlakuan mampu
merangsang pembentukan tunas kecuali pada perlakuan tanpa BAP dengan
IBA 3 ppm. Hal ini disebabkan tidak adanya BAP yang ditambahkan walaupun
pada eksplan sudah terdapat sitokinin endogen tetapi belum mampu untuk
merangsang pembentukan tunas. Persentase pembentukan tunas terbanyak
ditunjukkan pada perlakuan BAP 2 ppm dengan semua perlakuan IBA (tanpa
IBA; 0,5 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm) dan semua perlakuan BAP (tanpa BAP;
0,5 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm) tanpa IBA yaitu sebesar 100 %. Tanpa
BAP (ppm)
IBA (ppm) 0 0.5 1.0 2.0 3.0
0 100 100 67 67 0 0.5 100 67 33 100 100 1.0 100 100 100 67 100 2.0 100 100 100 100 100 3.0 100 100 67 100 100
penggunaan maupun penggunaan BAP dan IBA mampu membentuk tunas
lengkeng, kecuali perlakuan tanpa BAP dengan IBA 3 ppm. Tunas dapat
terbentuk karena pada eksplan mempunyai mata tunas sehingga ketika eksplan
ditanam dalam media kultur terjadi pertumbuhan tunas tersebut.
Adanya perbedaan penggunaan konsentrasi sitokinin dan auksin eksogen
dapat memberikan persentase pembentukan tunas yang sama, hal tersebut
diduga tidak terlepas dari pengaruh sitokinin dan auksin endogen di dalam
eksplan lengkeng sudah mencukupi untuk pembentukan tunas. Oleh karena itu
perlakuan tanpa BAP atau BAP dalam konsentrasi rendah dan perlakuan tanpa
IBA atau IBA dalam konsentrai rendah tetap mampu membentuk tunas.
Perlakuan tanpa BAP dengan peningkatan penambahan konsentrasi IBA
menunjukkan penurunan persentase pembentukan tunas. Pada konsentrasi BAP
0.5 ppm tanpa IBA menunjukan persentase pembentukan tunas 100 %, namun
seiring dengan penambahan IBA sampai 1 ppm menunjukan penurunan
persentase pembentukan tunas, tetapi dengan penambahan IBA sampai 3 ppm
menunjukan peningkatan persentase pembentukan tunas. Pada konsentrasi
BAP 1 ppm dengan penambahan IBA sampai 1 ppm menunjukan persentase
pembentukan tunas 100 %, sedangkan pada penambahan IBA 2 ppm
menunjukan persentase pembentukan tunas 67 %, tetapi dengan penambahan
IBA 3 ppm persentase pembentukan tunas kembali naik 100 %. Pada
konsentrasi BAP 3 ppm dengan penambahan IBA sampai 0.5 ppm menunjukan
persentase pembentukan tunas 100 % kemudian turun 67 % dengan
penambahan IBA 1 ppm dan kembali naik 100 % pada penambahan IBA
sampai 3 ppm.
Hughes (1987) mengatakan bahwa pada genotipe tanaman yang berbeda
akan memperlihatkan arah morfogenesis yang berbeda sehingga tidak ada
suatu perbandingan antara sitokinin dan auksin yang bersifat universal yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam menginduksi tunas dan akar. Hal ini
diduga yang menyebabkan hampir semua kombinasi perlakuan BAP dan IBA
dapat membentuk tunas. Seperti yang dinyatakan oleh George dan Sherrington
(1984) bahwa inisiasi tunas dan akar ditentukan oleh konsentrasi sitokinin dan
auksin yang diberikan ke dalam media dan interaksinya dengan sitokinin atau
auksin endogen yang dikandung oleh eksplan.
Selain itu, hal ini diduga kandungan nutrisi yang terdapat pada media
WPM mampu dioptimalkan oleh eksplan untuk pembentukan tunas. Menurut
Pardal et al. (2004) cit. Nursetiadi (2008) bahwa media WPM banyak
digunakan pada berbagai spesies tanaman berkayu, karena memiliki kandungan
total ion yang rendah, tetapi kandungan sulfatnya tinggi. Unsur makro yang
terdapat pada media WPM seperti unsur magnesium yang tinggi sangat
mendukung dalam pertumbuhan jaringan tanaman. Wetherell (1982)
mengatakan bahwa di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin
dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat. Hendaryono
dan Wijayani (1994) mengatakan bahwa gula yang ditambahkan pada media
berperan dalam menghasilkan energi sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan diferensiasi sel pada tanaman tertentu
2. Jumlah Tunas
Jumlah tunas mengindikasikan keberhasilan dalam multiplikasi. Semakin
banyak tunas yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat multiplikasinya.
Rata-rata jumlah tunas lengkeng pada berbagai konsentrasi BAP dan IBA
disajikan pada gambar 5.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian BAP pada berbagai konsentrasi
ternyata efektif untuk merangsang pembentukan jumlah tunas lengkeng
tanpa BAP BAP 0.5 ppm BAP 1 ppm BAP 2 ppm BAP 3 ppm
1
32
12
1 11
1 11 12
1 11 12 2
10
12
1 1
tanpa IBA
IBA 0.5 ppm
IBA 1 ppm
IBA 2 ppm
IBA 3 ppm
Perlakuan
Jum
lah
tuna
s
01
2
3
4
Gambar 5. Rata-rata jumlah tunas lengkeng pada umur 90 HST denganberbagai konsentrasi BAP dan IBA
(multiplikasi) secara in vitro. Menurut Marlin (2005) hal ini disebabkan karena
pertumbuhan yang dipacu oleh BAP mencakup pembelahan dan pembesaran
sel, sehingga eksplan lengkeng mampu menggandakan tunas. Pemberian BAP
1 ppm dengan IBA 0, 1, 2, 3 ppm dan BAP 2 ppm dengan IBA 2 ppm serta
BAP 3 ppm tanpa IBA menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang sama yaitu 2
buah. Diduga auksin endogen pada eksplan lengkeng mempunyai pengaruh
yang sama dengan penggunaan IBA konsentrasi 1, 2, dan 3 ppm terhadap
tumbuhnya tunas. Menurut Wetherell (1982) secara alami, beberapa eksplan
dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan
tunas.
Rata-rata jumlah tunas terbanyak pada perlakuan BAP 0.5 ppm tanpa IBA
yaitu 3 buah. Diduga pada konsentrasi BAP 0.5 ppm merupakan konsentrasi
optimal yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah tunas. Pendapat
ini diperkuat oleh Katuuk (1989) cit. Yuniastuti (2003) bahwa kehadiran
sitokinin pada budidaya in vitro mempunyai peranan penting sebagai
perangsang tunas. Hal ini juga berkaitan dengan keseimbangan antara sitokinin
dan auksin. George dan Sherrington (1984) mengatakan bahwa perimbangan
konsentrasi sitokinin dan auksin yang tepat seringkali mampu memperbaiki
penggandaan tunas. Wilkins (1989) menyatakan bahwa BAP merupakan
golongan sitokinin aktif yang bila diberikan pada tunas pucuk akan mendorong
proliferasi tunas yaitu keluarnya tunas lebih dari satu.
Gambar 6. Tunas yang terbentuk pada umur 90 HST dengan perlakuan BAP
0.5 ppm tanpa IBA
Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0.5 ppm tanpa pemberian
IBA telah mampu meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk. Sesuai pendapat
Yusnita (2003) bahwa untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas, zat
pengatur tumbuh yang digunakan adalah sitokinin atau kombinasi sitokinin
dengan auksin yang rendah. Pada eksplan lengkeng pemberian BAP
konsentrasi rendah (0.5 ppm) tanpa IBA sudah dapat menunjang pembentukan
tunas. Diduga pada eksplan tersebut mengandung auksin endogen dalam
jumlah yang rendah. Pernyataan ini didukung oleh Nursetiadi (2008) bahwa
auksin endogen yang terdapat pada eksplan manggis telah mampu mendorong
pembentukan tunas.
3. Panjang tunas
Panjang tunas merupakan indikator untuk mengetahui pertumbuhan tunas.
Rata-rata panjang tunas lengkeng pada berbagai konsentrasi BAP dan IBA
disajikan pada gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata panjang tunas lengkeng pada umur 90 HST dengan
berbagai konsentrasi BAP dan IBA
Gambar 7 menunjukkan respon rata-rata panjang tunas lengkeng akibat
pemberian BAP dan IBA yang bervariasi. Rata-rata panjang tunas terbaik
sebesar 8 mm dicapai pada perlakuan BAP 0.5 ppm tanpa IBA. Peningkatan
penggunaan konsentrasi BAP 0.5 ppm sampai 3 ppm tanpa IBA menunjukkan
penurunan rata-rata panjang tunas lengkeng. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian BAP pada konsentrasi yang semakin tinggi tanpa IBA dapat
menghambat pemanjangan tunas. Peningkatan konsentrasi BAP dengan IBA 1
dan 2 ppm cenderung menghasilkan rata-rata panjang tunas yang meningkat,
0123456789
10
Tanpa BAP BAP 0,5 ppm BAP 1 ppm BAP 2 ppm BAP 3 ppm
2,3
8 7
4,3
6,3
1,7 1,5
2,75
6
3 3
4,7 6,3 6
1,5 1,7
4
7
2,7
0
1,7
45,7 6
Rat
a-ra
ta p
anja
ng tu
nas
(mm
)
Perlakuan
Tanpa IBA IBA 0,5 ppm IBA 1 ppm IBA 2 ppm IBA 3 ppm
namun pada konsentrasi BAP 3 ppm rata-rata panjang tunas yang dihasilkan
cenderung menurun. Hal ini menunjukkan penggunaan BAP pada konsentrasi
tinggi dapat menghambat pemanjangan tunas. Menurut Yelnitis et al. (1996)
panjang tunas berhubungan erat dengan konsentrasi sitokinin yang digunakan,
dimana pemberian sitokinin pada konsentrasi tinggi menekan pertumbuhan dan
pemanjangan tunas.
Gambar 8. Panjang tunas yang terbentuk pada umur 90 HST dengan perlakuan BAP 0.5 ppm tanpa IBA
Gambar 8 menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0.5 ppm tanpa IBA telah
mampu meningkatkan rata-rata panjang tunas yang terbentuk dibandingkan
tanpa BAP. Penambahan BAP lebih dari 0.5 ppm tanpa IBA cenderung
menurunkan panjang tunas. Hal ini sesuai dengan penelitian Pratiwi (2007)
yang menunjukkan pemberian sitokinin (BA 0.5 ppm) pada media WPM
memberikan hasil pertumbuhan panjang tunas yang terbaik pada eksplan
lengkeng.
C. Pengamatan Lanjutan
Pengamatan lanjutan dilakukan pada perlakuan BAP 0.5 ppm dengan IBA 2
ppm (gambar 9). Pada perlakuan yang lain pertumbuhan tunas eksplan yang
dihasilkan pada umur 180 HST cenderung mengalami stagnansi (tidak mengalami
perkembangan yang berarti).
Eksplan lengkeng umur 90 HST
Eksplan lengkeng umur 180 HST
Gambar 9. Pertumbuhan eksplan lengkeng pada umur 90 HST dan 180 HST dengan perlakuan BAP 0.5 ppm dan IBA 2 ppm
Pada gambar 9 terlihat bahwa pertumbuhan tunas yang cukup signifikan saat
eksplan berumur 180 HST pada perlakuan BAP 0.5 ppm dengan IBA 2 ppm.
Pertumbuhan tunas tersebut tergolong lambat, dimana saat berumur 90 HST
belum mengalami pertumbuhan tunas yang menonjol. Hal ini diduga karena
lengkeng termasuk tanaman tahunan yang di lapang pun pertumbuhannya lambat.
Umumnya tanaman yang pertumbuhan di lapang lambat maka dalam kondisi in
vitro juga demikian. Selain itu hal yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan
tunas lengkeng tersebut diduga karena eksplan tidak memunculkan akar sehingga
penyerapan zat pengatur tumbuh lama atau kurang optimal. Tanpa akar,
penyerapan sitokinin dan auksin dari media dan pengangkutannya ke bagian
tanaman menjadi terhambat. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan tunas
terhambat (Yelnitis et al., 1996).
D. Subkultur
Hasil pengamatan menunjukan bahwa eksplan lengkeng sampai umur 90
HST hanya mampu menumbuhkan rata-rata jumlah tunas terbanyak 3 buah dan
rata-rata panjang tunas tertinggi sebesar 8 mm. Hal itu menunjukkan pertumbuhan
eksplan lengkeng tergolong lambat, sehingga pada umur 120 HST dilakukan
upaya subkultur dengan menggunakan BAP 2 ppm dan IAA 2 ppm pada media
tanam (gambar 10). Penanaman subkultur dilakukan untuk beberapa perlakuan
saja (tanpa BAP dengan IBA 2 ppm, BAP 1 ppm tanpa IBA, BAP 0.5 ppm tanpa
IBA, BAP 0.5 dengan IBA 2 ppm, BAP 1 ppm dengan IBA 3 ppm, BAP 1 ppm
dengan IBA 1 ppm, BAP 3 ppm tanpa IBA). Penggunaan IAA 2 ppm tersebut
dimaksudkan untuk merangsang pengakaran, karena sampai umur 120 HST
eksplan belum mampu memunculkan akar. Penanaman dilakukan dengan cara
eksplan ditanam secara horizontal agar semua bagian eksplan menempel di media
tanam, dengan harapan lebih banyak bagian eksplan dalam memanfaatkan unsur-
unsur yang terdapat pada media dan ZPT yang digunakan.
Eksplan lengkeng sebelum dilakukan subkultur
Eksplan lengkeng setelah dilakukan subkultur
Gambar 10. Keragaan eksplan lengkeng hasil subkultur dengan perlakuan BAP 2 ppm dan IAA 2 ppm, pada umur 150 HST
Pengamatan hasil subkultur dilakukan setelah 30 hari subkultur (150 HST),
pada umur tersebut eksplan lengkeng hasil subkultur tidak menunjukkan adanya
perubahan pertumbuhan tunas. Pertumbuhan yang lambat ini diduga akibat sifat
genetik dari eksplan yang digunakan. Menurut Debergh dan Zimmerman (1991)
umur dari tanaman induk, umur fisiologis eksplan, ukuran eksplan yang tepat dan
tahap perkembangan eksplan dapat mempengaruhi kesuksesan kultur jaringan.
Pertumbuhan tanaman di lapang juga menentukan pertumbuhan dan
perkembangan dari eksplan yang digunakan. Seperti pendapat Andriyanto (2002)
cit. Wulandari et al. (2008) bahwa pertambahan panjang tunas dipengaruhi oleh
media yang digunakan dan faktor genetik dari eksplan yang digunakan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut :
1. Penggunaan berbagai konsentrasi BAP dan IBA maupun tanpa BAP dan
IBA mampu membentuk kalus pada eksplan lengkeng, dengan warna putih
kecoklatan, bertekstur intermediet, dan berukuran sedang, tetapi belum
mampu berdiferensiasi membentuk tunas.
2. Tanpa penggunaan maupun penggunaan BAP dan IBA mampu
membentuk tunas lengkeng dengan pertumbuhan yang lambat, kecuali
perlakuan tanpa BAP dengan IBA 3 ppm.
3. Perlakuan penggunaan BAP 0.5 ppm tanpa IBA merupakan konsentrasi
yang paling optimal dalam pembentukan jumlah tunas terbanyak 3 buah
dan panjang tunas tertinggi 8 mm.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
1. Dalam pengembangan bibit lengkeng pingpong secara in vitro sebaiknya
zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah BAP dengan konsentrasi 0.5
ppm.
2. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan urutan buku
eksplan lengkeng untuk mendapatkan urutan buku eksplan lengkeng yang
tepat pada pembentukan tunas dan multiplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1993. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.
31
Akeneme, F. I. and E. E. Eneobong. 2008. Tissue Culture in Pinus caribea Mor. Var. Hondurensis barr. And golf. II : Effects of Two Auxins and Two Cytokinins on Callus Growth Habits and Subsequent Organogenesis. Afr. J. Biotechnol. 7(6) : 757-765.
Anonim. 2009a. Lengkeng. http.//www.wikipedia.org. Diakses tanggal 10 Oktober 2009.
----------. 2009b. Lengkeng Pingpong (Dimocarpus longan). http://www.tamanmundu.com/Lengkeng Pingpong (Dimocarpus longan). Diakses tanggal 19 September 2009.
Balogun, M. O., S. R. Akande, and B. A. Ogunbodede. 2007. Efect of Plant Growth regulators on Callus, Shoot, and Root Formation in Fluted Pumpkin (Telfairia occidentalis). Afr. J. Biotechnol. 6(4) : 355-358.
Debergh, P. C. dan R. H. Zimmerman. 1991. Micropropagation Technology and Aplication. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht.
Dinyunita. 1999. Kultur Jaringan. www.indobiogen.or.id. Diakses tanggal 15 Juli 2009.
Doods, J. H and L. W. Roberts. 1995. Experiment in Plant Tissue Culture. Cambridge University Press. Cambridge.
Dwiyono, E. 2009. Induksi Kalus Tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) dengan Perlakuan Kondisi Gelap dan 2,4-D. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Farid, B. M. 2003. Perbanyakan Tebu (Saccharum officinarum L.) secara In Vitro pada Berbagai Konsentrasi IBA dan BAP. J. Sains dan Teknologi. 3(3):103-109. http://www.pascaunhas.net. Diakses tanggal 5 Agustus 2009.
George, E. F. and Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eastern Press. Reading Berks.
Hendaryono, D. P. S. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius. Yogyakarta.
Herlina, D. dan O. T. Benny. 2000. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Tanaman Hias dan Bunga. Buletin Forum Florikultura Indonesia. No. 3 : 1-6.
Hughes, K. W. 1987. Ornamental Species. Conger (Ed.). Clonning Agricultural Plant via In Vitro Techniques. CRC. Press. Florida.
Lukitariati, S., N. L. P. Indriyani, A. Susiloadi, dan M. J. Anwarudin. 1996. Pengaruh Naungan dan Konsentrasi Asam Indol Butirat Terhadap Pertumbuhan Bibit Batang Bawah Manggis. J. Hortikultura. 6(3) : 220-226.
Irawati. 2000. Diferensiasi Berbagai Macam Eksplan pada Perbanyakan Philodendron goeldii (Araceae) Secara In Vitro. Berita Biologi. 5 (1) : 69-75.
Koestiati, D. 1995. Perkembangan Embrio Somatik Bawang Putih (Allium sativum L.) yang berasal dari Kultur Bulbus. Skripsi S1 Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.
Kosmiatin, M.; A. Husni; dan I. Mariska. 2005. Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu Secara In Vitro. J. Agrobiogen. 1(2):62-67.
Kuntarsih, S.; W. D. Wibawa; Samsuardi; dan Sutari. 2005. Budidaya Buah-Buahan Lengkeng. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Jakarta.
Kyte, L. dan J. Kleyn. 1996. Plant from Test Tubes An Introduction to Micropropagation. Timber Press. Inc. Portland.
Mariska, I., dan R. Purnamaningsih. 2001. Perbanyakan Vegetatif Tanaman Tahunan Melalui Kultur In Vitro. J. Litbang Pertanian. 20 (1).
Marlin. 2005. Regenerasi In Vitro Plantlet Jahe Bebas Penyakit Layu Bakteri Pada Beberapa Taraf Konsentrasi 6-Benzyl Amino Purine dan Sukrosa. J.Akta Agrosia. 8(2) : 70-73.
Mattjik, N. A. 2005. Peran kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. FP. IPB. Bogor.
Noggle, G. R. dan G. J. Fritz. 1983. Introductory Plant Physiology: Second Edition. Prentince-Hall, Inc. New Jersey.
Nursetiadi, E. 2008. Kajian Macam Media dan Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. Netherland.
Pratiwi, R. E. 2007. Perbanyakan Cepat Melalui Teknik Kultur Jaringan bagi Tanaman Lengkeng Dataran Rendah (Dimocarpus longan Lour). Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Purbiati, T. dan R. Triatminingsih. 1992. Pengaruh Penambahan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan Eksplan Kesemek. J. Hort. 2(3):34-36.
Rahardja, P. C. dan W. Wiryanta. 2005. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerjemah : Lukman, D. R. dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung.
Santoso, U. dan F. Nursandi. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang Press. Malang.
Soleh, R. M. 2005. Pengaruh Konsentrasi NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Eksplan Tanaman Krisan (Crysanthemum indicum Hybr.). Secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Sudarmadji. 2003. Penggunaan Benzylaminopurine pada Pertumbuhan Kalus Kapas Secara In Vitro. Buletin Teknik Pertanian. 8(1) : 8-10. www.pustaka.deptan.go.id. Diakses tanggal 5 Agustus 2009.
Sukmadjaja, D. dan I. Mariska. 2003. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. http://www.indobiogen.or.id/ terbitan/pdf/Buku_%20Jati.pdf. Diakses tanggal 27 Juni 2009.
Sunanto, H. 1990. Budidaya Lengkeng dan Aspek Ekonominya. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarjono, H. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Kanisius. Yogyakarta.
Turhan, H. 2004. Callus induction and growth in transgenic potato genotypes. African Journal of Biotechnology. 3(8): 375-378.
Wetherell, D. F. 1982. Induction To In Vitro Propagation. A Very Publishing Grup Inc. New. Jersey.
Wilkins, M. B. 1989. Fisiologi Tanaman. Penerjemah : Mulyani. Bina Aksara. Jakarta.
Winarsih, S., D. Santoso, dan T. Wardiyati. 2002. Embriogenesis Somatik dan Regenerasi dari Eksplan Embrio Zigotik Kakao (Theobroma cacao L.) http://www.sumutprov.go.id. Diakses tanggal 5 Agustus 2009.
Wulandari, S., W. Syafii dan Yossilia. 2008. Respon Eksplan Daun Tanaman Jeruk Manis (citrus sinensis l.) secara In Vitro akibat Pemberian NAA Dan BA. J. Biogenesis. 1(1): 21-25
Yelnitis, N., Bernawie, dan Syafaruddin. 1996. Perbanyakan Klon Lada Varietas Panniyur Secara In Vitro. J. Penelitian Tanaman Industri. 5(3) : 109-114.
Yuniastuti, E. 2003. Identifikasi dan Seleksi Keragaman Tanaman Pranajiwa (Sterculia foetida Linn.) serta Teknologi Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro untuk Penyediaan Bahan Baku Biofuel. Laporan Akhir Penelitian Program Riset Dasar. Kementrian Riset dan Teknologi.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Top Related