LAPORAN AKHIR
KAJIAN PEMBIAYAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KLASTER
BIRO KREDIT BANK INDONESIA DESEMBER 2006
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita, sehingga penelitian “Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster” dapat diselesaikan dengan baik.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kantor Bank Indonesia Semarang, dengan 6 contoh klaster unggulan yaitu klaster batik Lasem di Kabupaten Rembang, klaster handycraft kayu di Kabupaten Blora, klaster pertanian organik di Kabupaten Semarang, klaster hortikultura – Jambu air di Kabupaten Demak, klaster tenun torso di kabupaten Jepara dan klaster pertanian terpadu di Kabupaten Klaten. Klaster-klaster tersebut tumbuh dan berkembang difasilitasi oleh Forum Pengembangan Ekonomi Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah.
Kegiatan penelitian ini merupakan wujud nyata keberpihakan Bank Indonesia terhadap sektor riil. Tim Peneliti menyadari bahwa penelitian lapangan dan laporan “Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster” ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan kerjasama dari semua pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini perkenankanlah Tim Peneliti menyampaikan terimakasih yang setinggi-tingginya untuk seluruh pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian kami.
Akhirnya besar harapan kami, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan salah satu bahan rujukan dalam pengembangan UMKM di Indonesia.
Jakarta, Desember 2006
Tim Penelitian dan Pengembangan
Biro Kredit – Bank Indonesia
ii
DAFTAR ISI
Judul................ ......................................... i
Daftar Isi .............................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………...................1
1.1. Latar Belakang …………………………………………...............1
1.2. Tujuan Penelitian.. ..........................5
1.3. Ruang Lingkup …………………………………………................5
1.4. Metode Penelitian.. ..........................6
BAB II. TINJAUAN TEORI.. .....................................7
2.1. Definisi Klaster ………………………………………….............7
2.2. Kondisi Klaster.. ...........................10
2.3. Manfaat Klaster.. ...........................12
BAB III. GAMBARAN UMUM KONDISI KLASTER DI INDONESIA….........14
3.1. Kondisi Umum Klaster.. .....................14
3.2. Kebijakan Pemerintah Tentang Pengembangan
Klaster.. ..................................15
3.2.1. Kebijakan Pemerintah Pusat.........15
3.2.2. Pembelajaran Pengembangan Klaster di
Indonesia.. .......................17
3.3. Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah ………… 24
BAB IV. PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH .................26
4.1. Strategi Pengembangan Klaster di Jawa Tengah 26
4.2. Klaster Di Jawa Tengah......................26
4.3. Profil Klaster Sampel.......................28
4.3.1. Klaster handicraft dan mebel di
Kabupaten Blora ...................28
iii
4.3.2. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang31
4.3.3. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara 34
4.3.4. Klaster pertanian hortikultura di
Kabupaten Demak........................37
4.3.5. Klaster pertanian organik di Kabupaten
Semarang ..............................39
4.3.6. Klaster pertanian terpadu di Kabupaten
Klaten ................................41
BAB V. ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENGEMBANGAN KLASTER............44
5.1. Faktor-faktor yang dipersyaratkan/input (factor
conditions) ................................44
5.2. Faktor Permintaan (Demand Conditions) ......46
5.3. Faktor Strategi, Struktur Perusahaan dan
Pesaing (Firm Strategy,
Structure and Rivalry) .....................47
5.4. Faktor Industri terkait dan Pendukung
Related and Supporting Industries)..........50
5.5. Faktor Modal Sosial (Social Capital)........52
BAB VI. KAJIAN PEMBIAYAAN UNTUK PENGEMBANGAN KLASTER..........55
6.1. Sumber-Sumber Dana dan Pola Pembiayaan......55
6.1.1. Sumber dana...........................55
6.1.2. Pola penyaluran dana ..................56
6.2. Kebutuhan Pembiayaan untuk UMKM.............59
6.2.1. Masukan dari pelaku UMKM ..............59
6.2.2. Masukan dari Institusi dan Departemen
Terkait ..............................60
6.3. Usulan Pembiayaan untuk Klaster.............62
6.3.1. Dasar pertimbangan....................62
6.3.2. Terms and Conditions pembiayaan
klaster ..............................65
6.4. Kajian Pola Pembiayaan untuk Pengembangan
iv
Klaster ....................................67
6.4.1. Potensi pembiayaan pada klaster .......67
6.4.2. Usulan pola pembiayaan untuk klaster ..68
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................73
7.1. Kesimpulan .................................73
7.2. Saran ......................................74
DAFTAR PUSTAKA ...............................................48
EXECUTIVE SUMMARY
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan
yang signifikan dalam perekonomian nasional. Peran yang besar
tersebut mendorong Pemerintah dan pihak-pihak yang concern
terhadap UMKM untuk terus berupaya memberdayakan UMKM agar mampu
bersaing dalam era globalisasi. Salah satu upaya yang saat ini
giat dilakukan adalah pengembangan UMKM melalui pendekatan
klaster.
Pendekatan klaster menjadi strategis mengingat klaster
bermanfaat baik bagi klaster itu sendiri maupun bagi ekonomi
wilayah. Pengembangan klaster juga menjadi salah satu alternatif
untuk percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan
aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,
sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku
UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan UMKM,
terutama di bidang produksi dan pemasaran. Disamping itu,
pengembangan klaster berbasiskan masyarakat mendorong terwujudnya
kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah (daerah) karena
dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap bagian dalam
klaster merupakan kesatuan unit usaha dinamis. Sehingga ketika
klaster berkembang, tidak terjadi ada pelaku yang menang dan
kalah yang dapat menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang
memicu ketidakstabilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk
menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman business nature
dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut
pelaku-pelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun
eksternal.
Penelitian yang dilakukan Bank Indonesia (BI) bertujuan
untuk mengkaji pola pembiayaan terhadap klaster yang ada (best
practices). Pada penelitian ini, klaster yang dipilih adalah
klaster yang berkembang di Jawa Tengah. Propinsi Jawa Tengah
menjadi lokasi peneltian karena pemerintah daerahnya sudah
merintis pengembangan klaster di 23 wilayah. Sedangkan jenis
klaster yang menjadi lokasi penelitian adalah klaster
handycraft-mebel kayu di Kabupaten Blora, klaster batik lasem di
Kabupaten Rembang, Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara,
Klaster pertanian organik di Kabupaten Semarang, Klaster
hortikultura (jambu air) di Kabupaten Demak dan Klaster
Pertanian Terpadu di Kabupaten Klaten.
Dari hasil kunjungan lapangan secara umum dapat dikemukakan
bahwa pengembangan klaster di Jawa Tengah masih pada tahap awal
pengembangan. Hal ini dapat diindikasikan dari baru dimulainya
proses penumbuhan kebersamaan dalam klaster. Pada proses tersebut
terdapat beberapa kendala yang dihadapi antara lain belum seluruh
pelaku dalam klaster mau melakukan tindakan bersama, teknik
produksi yang masih sederhana, keterbatasan akses memperoleh
bahan baku, pemasarannya masih tergantung pada pedagang
perantara, persaingan dalam hal harga sehingga memicu persaingan
tidak sehat dan masalah dalam permodalan.
Berdasarkan kondisi di atas, pengembangan klaster
memerlukan pendampingan yang intensif dan komprehensif, dalam
arti pengembangan klaster mensyaratkan komitmen yang kuat dan
jelas dari semua stakeholder yang berkepentingan. Di sinilah
peran Pemerintah Daerah sebagai inisiator dibutuhkan. Untuk itu,
Pemerintah Daerah (propinsi) membentuk Forum Pengembangan
Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah. Forum ini sebagai
wadah berkumpulnya seluruh instansi terkait dan melibatkan
lembaga penelitian (universitas), Business Development Service
(BDS), lembaga donor dalam mengembangan klaster untuk merumuskan
kebijakan pengembangan yang terpadu dan holistik bagi klaster.
Fungsi FPESD di tingkat Propinsi adalah memfasilitasi kegiatan
yang diperlukan oleh klaster berdasarkan hasil diskusi forum
rembuk dan sebagai koordinator keterpaduan program pengembangan
UMKM dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi monitoring. Agar
kebijakan tersebut dapat terealisasi sesuai kebutuhan klaster
(bottom up planning) di lapangan, maka pada tingkat kabupaten
dibentuk Forum for Economic Development Employment Promotion
(FEDEP).
Berkaitan dengan permodalan (dari perbankan), umumnya
penyaluran pinjaman bersifat individual artinya pelaku individu
UMKM sendiri yang mengajukan pinjaman melalui prosedur kelayakan
dan menyerahkan jaminan aset hak milik dan atau usahanya. Pola
pembiayaan yang diharapkan klaster adalah yang sesuai dengan
karakterisitik masing-masing sektor ekonomi, sehingga pola
pembiayaan klaster di sektor industri tentunya berbeda dengan
pola pembiayaan klaster di sektor pertanian. Khusus untuk klaster
di sektor pertanian, pola pembiayaan harus mempunyai mekanisme
yang transparan dengan sistem bagi hasil, mengingat
karakterisitik usaha pertanian, serta ada keseimbangan pembiayaan
dari huku ke hilir. Penyaluran pembiayaan tersebut, akan sangat
bermanfaat dengan adanya pendampingan/fasilitator yang menjadi
syarat mutlak bagi pengembangan klaster, namun bentuk
pendampingan yang diberikan hendaknya bersifat spesifik
tergantung kebutuhan masing-masing klaster. Oleh sebab itu, pola
pembiayaan yang diharapkan yaitu pola pembiayaan yang
menyesuaikan dengan siklus produksinya (disesuaikan dengan sektor
ekonominya) dan dalam bentuk rekening yang fleksibel, sehingga
penarikan pinjaman dapat dilakukan dengan cepat serta sesuai
dengan kebutuhannya.
Sehubungan dengan pembiayaan pada klaster, untuk menentukan
pola pembiayaan pada klaster perlu dilakukan analisa value chain
dan kompetensi inti, sehingga pembiayaan akan lebih efektif dan
tepat sasaran. Pola pembiayaan klaster hendaknya juga
memperhatikan inti pengembangan klaster, yakni kebersamaan,
sehingga pembiayaan dilakukan dengan pendekatan kelompok
(misalnya pendekatan PHBK) dan pembiayaan untuk klaster
difokuskan pada kegiatan bersama (misalnya pembelian baku dan
pemasaran bersama), serta memanfaatkan skala usaha klaster dalam
penyediaan agunan. Pola pembiayaan untuk klaster perlu pula
dibedakan untuk klaster yang belum berkembang dan klaster yang
sudah berkembang. Untuk klaster yang belum berkembang, perlu
didukung oleh dana dari Pemerintah atau negara donor yang bersuku
bunga rendah sehingga kapasitas klaster meningkat dari yang belum
bankable dan feasible menjadi bankable dan feasible. Sedangkan
untuk klaster yang sudah berkembang dapat dibiayai dengan dana
komersial (perbankan) karena sumber dana tersebut dapat
mengakomodasi kebutuhan klaster yang besar dan lebih terjamin
keberlanjutannya.
Pengembangan klaster juga perlu adanya grand strategy
(rencana induk) yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,
berdasarkan analisa value chain dari klaster yang dikembangkan.
Penyusunan grand strategy ini hendaknya dilakukan secara
partisipatif (bottom up) yang melibatkan seluruh komponen klaster
sehingga rencana tersebut menjadi rencana bersama (merasa
memiliki) dari para stakeholders. Adanya grand strategy juga akan
membantu seluruh stakeholders untuk melakukan koordinasi dengan
pihak-pihak terkait sehingga dapat menfokuskan dan mengeksplor
kemampuan serta mengintergrasikan sumber dayanya secara optimal
untuk kepentingan pengembangan klaster.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam perekonomian nasional, Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) mempunyai peranan yang signifikan. Peran yang besar
tersebut mendorong Pemerintah dan pihak-pihak yang concern
terhadap UMKM untuk terus berupaya memberdayakan UMKM agar mampu
bersaing dalam era globalisasi. Upaya mengembangkan UMKM tidak
lepas dari persoalan dasar yaitu kelemahan internal usahanya
sendiri (pelaku dan usahanya) dan kelemahan eksternal berupa
hubungan dengan pelaku-pelaku lain yang terkait dalam usaha
tersebut.
Kelemahan internal UMKM antara lain adalah kapasitas
manajemen dan wirausaha yang lemah, teknis produksi dan kurangnya
infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi akses
terhadap sumber modal, pasar, informasi, teknologi, sarana dan
prasarana.
Salah satu infrastuktur yang dibutuhkan adalah permodalan.
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia (2005)1, sebagian
besar UMKM (64,6%) memerlukan kredit. Namun demikian, sumber
pembiayaan usaha mikro dan kecil sebagian besar masih berasal
dari modal pribadi dan modal keluarga. Sejalan dengan hal
tersebut, survei BPS (1998) menyatakan bahwa keterbatasan akses
modal sebagai kendala utama bagi usaha mikro (40,5%) dan kecil
(36,6%) untuk berkembang2. Hal ini didukung oleh kenyataan di
lapangan, meskipun banyak sumber dana yang tersedia, tetapi
1 Biro Kredit Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, Bank Indonesia,2005 2 Bambang Ismawan dkk, Keuangan Mikro sebuah Revolusi Tersembunyi dari Bawah, Gema PKM Indonesia, 2005
2
sumber tersebut belum banyak dimanfaatkan karena belum ada titik
temu UMKM sebagai debitur dan pihak kreditur. Dari sisi UMKM,
beberapa kendala dalam mengakses permodalan dari bank adalah suku
bunga yang tinggi dan kesulitan memenuhi persyaratan agunan.
Sedangkan dari sisi perbankan, permasalahan UMKM terletak pada
kelayakan usaha, baik aspek keuangan maupun aspek pemasaran dan
tenaga kerja.
Sedangkan kelemahan eksternal yang dimaksud adalah terkait
dengan pelaku – pelaku dalam lingkup usaha, sering disebut
sebagai hubungan usaha hulu – hilir. Hubungan-hubungan usaha yang
dimaksud adalah hubungan antara pelaku usaha dengan pelaku-pelaku
lain yang ada dalam jalur produksi (misalnya bahan baku) dan
pemasaran.
Menurut Nurul W, dkk (AKATIGA, 2003)3 bahwa di dalam
hubungannya dengan pelaku lain tersebut tercipta pola-pola
relasi, diantara pola-pola relasi tersebut tidak jarang bersifat
mengeksploitasi usaha mikro kecil. Hubungan yang eksploitatif
dalam rantai hulu-hilir kemudian diartikan sebagai perilaku
sekelompok aktor yang memupuk dan mengakumulasi keuntungan dengan
mengalihkan resiko atas akumulasi modal tersebut kepada pihak-
pihak yang lebih lemah. Kelompok pelaku ini menciptakan aturan
main yang menguntungkan bagi dirinya sendiri serta menciptakan
bentuk-bentuk pertukaran yang tidak seimbang. Kemampuan tersebut
mengindikasikan perbedaan kekuatan yang dimiliki antar pelaku.
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki seorang pelaku yang
membuatnya dapat menentukan bentuk hubungan yang terbangun
bersumber dari posisinya di dalam masyarakat. Pelaku-pelaku yang
mendominasi suatu hubungan merupakan pelaku yang memiliki
kekuatan ekonomi, sosial atau politik yang kuat.
Pada kenyataannya, ketiga sumber kekuatan tersebut
seringkali tumpang tindih atau dimiliki oleh seseorang/kelompok
3 Nurul Widyaningrum, dkk;, Pola-Pola Eksploitasi, Akatiga, 2003
3
pada saat yang bersamaan. Akumulasi kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang/kelompok ini, menyebabkan yang bersangkutan dapat
menguasai, mengatur, menekan atau mengeksploitasi pihak lain. Di
dalam hubungan-hubungan yang bersifat ekonomi, kekuatan tersebut
menyebabkan pelaku yang bersangkutan dapat menciptakan distorsi
pasar melalui berbagai bentuk monopoli, barrier to entry,
pendiktean harga serta berbagai bentuk pengalihan resiko kepada
pihak yang lebih lemah. Pola tersebut terjadi terus menerus
bahkan sampai ke generasi berikutnya. Dampaknya, mengisolasi
usaha mikro-kecil, menyuburkan ketidakpercayaan antar pelaku dan
menjadikannya pasif. Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian
dari modal sosial masyarakat ikut mati.
Sementara itu, klaster, mengutip Michael Porter, 1998,
didefinisikan sebagai kelompok usaha atau perusahaan yang saling
terhubung dan berdekatan secara geografis dengan entitas-entitas
yang terkait dalam suatu bidang khusus yang menjadi tujuan
klasterisasi4. Dengan definisi tersebut, maka suatu klaster
industri dapat meliputi pemasok bahan baku dan input lainnya dari
hulu hingga hilirnya berupa pemasarannya ke pasar-pasar
potensial. Pada klaster juga termasuk lembaga pemerintah,
asosiasi bisnis, penyedia jasa pelatihan/penelitian dan lembaga-
lembaga lainnya yang menciptakan value chain (rantai nilai) dari
bidang/usaha khusus yang diklaster.
Berdasarkan definisi tersebut, mengindikasikan bahwa
pendekatan klaster menjadi strategis mengingat promosi klaster
lebih menguntungkan dibandingkan dengan program-program
pengembangan usaha individual. Hal ini tidak hanya karena
efisiensi biaya tetapi juga ekonomi eksternal yang memberikan
suatu rentang keuntungan bagi klaster. Sebagai contoh, pemusatan
geografis usaha-usaha mikro kecil dalam klaster memudahkan
klaster untuk melakukan efisiensi dalam pembelian bahan baku
4 Michael E. Porter, Clusters and The new economics of competition. Harvard Business Review. Boston. Nov/Dec 1998
4
melalui tindakan kolektif. Usaha mikro-kecil di dalam klaster
juga berada dalam posisi yang menguntungkan untuk mendapatkan
pesanan.
Lebih jauh pendekatan klaster mensyaratkan keterlibatan
seluruh stakeholder dalam posisi tawar yang berimbang dan tidak
saling mengeksploitasi. Dengan demikian hubungan hulu - hilir
yang terbentuk menjadi hubungan yang saling menguntungkan dan
saling ketergantungan yang positif dalam hubungan usaha dan
sosial. Pada akhirnya akan mampu membangkitkan kembali modal
sosial yang telah mati.
Pengembangan klaster berbasiskan masyarakat mendorong
terwujudnya kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah
(daerah) karena dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap
bagian dalam klaster merupakan kesatuan unit dinamis. Sehingga
ketika klaster berkembang, tidak terjadi ada pelaku yang menang
dan kalah yang dapat menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang
memicu ketidakstabilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk
menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman nature business
dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut
pelaku-pelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun
eksternal. Melalui pemahaman ini, akan membantu membangkitkan
klaster tidak aktif menjadi aktif. Klaster yang aktif akan mampu
bertahan dan terus tumbuh-berkembang mengikuti perubahan pasar
dan lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, pendekatan klaster telah menjadi
strategi dalam pemberdayaan Usaha Mikro-Kecil (UMK) dari berbagai
departemen maupun institusi pemerintah seperti Kementerian
Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Bappenas, BPPT,
Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah. Pada
5
pelaksanaannya, mendapat dukungan pula baik dari industri terkait
yang relevan dengan klaster, lembaga-lembaga penelitian, BDS dan
berbagai pihak yang mempunyai komitmen untuk mensejahterakan
masyarakat. Disamping itu dukungan dari lembaga-lembaga donor
seperti JICA, ADB, WB, GTZ, Asia Foundation, Swiss Contact, USAID
dan lainnya dalam bentuk bantuan teknis maupun pendanaan.
Mendasari uraian tersebut di atas, proses pengembangan
klaster yang ada dititik beratkan pada proses penumbuhan kembali
(revitalization) modal sosial, meningkatkan kapasitas internal
UMK baik pada sisi teknis produksi maupun manajemen dan
penggalangan tindakan bersama untuk berhubungan dengan pihak luar
seperti pembelian bahan baku bersama dan atau pemasaran bersama.
Sementara itu, tantangan selanjutnya bagi klaster yang
dikembangkan adalah berkaitan dengan keberlanjutan klaster di
masa datang. Kenyataan bahwa lingkungan usaha yang terus berubah,
maka klaster yang telah berkembang dan aktif tersebut harus mampu
mengikuti perkembangan dan mampu menjawab kebutuhan pasar yang
senantiasa berubah sesuai dengan perubahan permintaan dan
referensi konsumennya. Untuk itulah klaster aktif harus selalu
melakukan inovasi secara berkesinambungan.
Mengingat peran penting klaster sebagai salah satu
alternatif pengembangan UMKM dan mengingat kelemahan di bidang
permodalan yang dihadapi UMKM, maka dipandang perlu adanya kajian
mengenai pola pembiayaan untuk klaster (best practise). Sejalan
dengan peran Bank Indonesia dalam bantuan teknis untuk mendorong
pengembangan UMKM, hasil kajian tersebut akan merupakan informasi
bagi perbankan untuk melakukan pembiayaan kepada klaster UMKM.
1.2 TUJUAN PENELITIAN
6
Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut:
1. Memetakan potensi, persoalan-persoalan pembiayaan UMKM
klaster dengan mengacu pada kemampuan dan kapasitas klaster
serta sumber dana yang tersedia.
2. Mengidentifikasikan pola-pola pembiayaan bagi klaster UMKM
yang ada.
3. Merekomendasikan pola pembiayaan bagi UMKM klaster
1.3 RUANG LINGKUP
Penelitian akan difokuskan pada klaster yang berkembang di
wilayah Jawa Tengah. Kriteria penentuan klaster yang berkembang
mengacu dari informasi departemen/instansi pembina, lembaga
penelitian dan lembaga donor yang terlibat dalam pembinaan dan
pendampingan pengembangan klaster tersebut.
Kriteria pemilihan klaster yang berkembang adalah:
a. Klaster tersebut telah memperoleh pembinaan dan
pendampingan selama satu tahun atau lebih.
b. Pelaku UMKM dalam klaster tersebut belum/hanya sebagian
kecil yang memperoleh pembiayaan dari sumber dana komersial
(perbankan).
Responden survei adalah pelaku usaha dan pelaku terkait
dalam klaster, perbankan, instansi atau institusi pemerintah,
asosiasi yang terkait dan lembaga-lembaga penelitian
1.4 METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat penelitian dilakukan.
Pengumpulan Data menggunakan dua sumber data yaitu:
1. Pengumpulan data primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam
(indepth interview) dan diskusi terfokus. Wawancara dilakukan
7
pada pelaku usaha dan pelaku terkait dalam hubungan hulu
hilir, pejabat bank dan non bank, serta dinas/instansi
pemerintah juga lembaga pendamping. Adapun diskusi terfokus
dilakukan dengan lembaga penelitian, instansi pemerintah dan
lembaga pendamping.
2. Pengumpulan data sekunder
Pengambilan data sekunder diperlukan untuk memperkuat dan
mendukung informasi yang diperoleh dari data primer, yaitu
berupa:
? Hasil-hasil penelitian
? Data lainnya dari instansi terkait
8
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI KLASTER
Menurut Porter (1998) Klaster merupakan konsentrasi
geografis perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada
sektor tertentu. Klaster mendorong industri untuk bersaing satu
sama lain. Selain industri, klaster termasuk juga pemerintah dan
industri yang memberikan dukungan pelayanan seperti pelatihan,
pendidikan, informasi, penelitian dan dukungan teknologi.
Sedangkan menurut Schmitz (1997) klaster didefinisikan sebagai
grup perusahaan yang berkumpul pada satu lokasi dan bekerja pada
sektor yang sama. Sementara Enright, M,J, 1992 mendefinisikan
klaster sebagai perusahaan-perusahaan yang sejenis/sama atau yang
saling berkaitan,berkumpul dalam suatu batasan geografis
tertentu.
Pengertian klaster (JICA, 2004)5 juga dapat didefinisikan
sebagai pemusatan geografis industri-industri terkait dan
kelembagaan-kelembagaannya. Perkembangan sarana transportasi dan
telekomunikasi telah mengurangi pentingnya kedekatan secara
5 JICA, Final Reports of the Study on Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, Japan International Cooperation Agency, 2004
9
geografis, oleh karena itu batasan geografi menjadi fleksibel
tergantung dari kepentingannya, yaitu:
1. Merujuk dari segi usaha (business), klaster
diidentifikasikan atas daerah yang luas di sepanjang
pertalian-pertalian industri. Ini artinya bisa mencakup
satu desa, kapupaten, propinsi bahkan lintas provinsi yang
berkaitan
2. Sedangkan dipandang dari kepentingan pembangunan daerah,
batasan geografis dipergunakan dalam konteks kontribusinya
terhadap ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduknya.
Penumbuhkembangan klaster, sebagaimana dirumuskan oleh
Michael Porter (1998), mengandung empat faktor penentu atau
dikenal dengan nama diamond model yang mengarah kepada daya saing
industri6, yaitu: (1) faktor input (factor/input condition), (2)
kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan
terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi
perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy).
Berikut adalah penjelasan tentang diamond model dari Porter:
1. Faktor Input
Faktor input dalam analisis Porter adalah variable-variable
yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu cluster industri seperti
sumber daya manusia (human resource), modal (capital resource),
infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur
informasi (information infrastructure), infrastruktur ilmu
pengetahuan dan teknologi (scientific and technological
infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative
infrastructure), serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas
faktor input ini, maka semakin besar peluang industri untuk
meningkatkan daya saing dan produktivitas.
6 Ibid, Michael E. Porter, 1998
10
2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan
sophisticated and demanding local customer. Semakin maju suatu
masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka
industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk
atau melakukan innovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal
yang tinggi. Namun dengan adanya globalisasi , kondisi permintaan
tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar
negeri.
3. Industri Pendukung dan Terkait
Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan
efisiensi dan sinergi dalam Clusters. Sinergi dan efisiensi dapat
tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi,
informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh
industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung
dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan produtivitas
yang meningkat.
4. Strategi Perusahaan dan pesaing
Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga
penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau
industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang
dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya
persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi
baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi.
Best (1999)7 kemudian mengembangkan lebih lanjut argumen
Porter dan mengajukan model klaster dinamis sebagaimana
digambarkan di bawah ini. Model Best bisa menjelaskan proses
7 Ibid. JICA, 2004
11
secara evolusi dari suatu klaster yang tidak aktif
bertransformasi menjadi dinamis.
Prosesnya adalah:
1. Berbagai perusahaan menghasilkan komoditas serupa di dalam
klaster
2. Munculnya perusahaan dinamis yang mengakibatkan terjadinya
inovasi dan difusi teknologi
3. Saat berbagai perusahaan saling bersaing untuk
mengembangkan kemampuan produksi, variasi teknis tumbuh di
dalam klaster
4. Sementara perusahaan berupaya meningkatkan kemampuan
produksi melalui spesialisasi, mereka membutuhkan rekanan
yang bisa mendukung kegiatan, sehingga timbullah peluang
bisnis baru
5. Masing-masing perusahaan berspesialisasi dalam suatu proses
produksi tertentu sambil terus meningkatkan kemampuan
teknologi
Karakteristik kunci klaster yang dinamis dapat disimpulkan dalam
tiga hal:
1. Klaster memproduksi barang-barang berkualitas tinggi
2. Masing-masing perusahaan mempunyai spesialisasi dalam
teknik produk tertentu atau proses produksi tertentu
Klaster Spesialisasi Perusahaan
Perusahaan entrepreneurial
Spin-off
Variasi teknologi
Spesialisasi
Intergrasi horizontal
/Re-intergrasi Sistem terbuka
12
3. Klaster mempunyai atmotfir terbuka, sehingga mengundang
UMKM baru untuk bergabung ke dalam klaster
2.2 KONDISI KLASTER
Berdasarkan kondisi klaster (merujuk diamond model) dengan
menilai dari kualitas produksi, teknologi, pasarnya, kapasitas
sumber daya manusia dan hubungannya dengan pihak-pihak terkait
bagi pengembangan klaster baik dari pemerintah, swasta maupun
industri terkait, maka klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu
klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan
klaster dinamis (advantage). Beberapa ciri yang dimiliki
(disarikan dari Laporan JICA, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Klaster tidak aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Produk tidak berkembang (cenderung mempertahankan produk
yang sudah ada)
b. Teknologi tidak berkembang (memakai teknologi yang ada,
biasanya tradisional, tidak ada investasi untuk peralatan
dan mesin)
c. Pasar lokal (memperebutkan pasar yang sudah ada, tidak
termotivasi untuk memperluas pasar, ini mendorong
terjadinya persaingan pada tingkat harga bukan kualitas)
dan tergantung pada perantara/pedagang antara
d. Tingkat keterampilan pelakunya statis (keterampilan turun-
temurun)
e. Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku rendah (modal
sosialnya rendah, mendorong saling menyembunyikan informasi
pasar, teknis produksi dsb)
f. Informasi pasar sangat terbatas (hanya perorangan atau
kelompok tertentu yang mempunyai akses terhadap pembeli
langsung)
2. Klaster Aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Produk berkembang sesuai dengan permintaan pasar (kualitas)
13
b. Teknologi berkembang untuk memenuhi kualitas produk di
pasar
c. Pamasaran lebih aktif mencari pembeli
d. Terbentuknya informasi pasar
e. Berkembangnya kegiatan bersama untuk produksi dan pasar
(misalnya pembelian bahan baku bersama, kantor pemasaran
bersama dst)
3. Klaster Dinamis memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Terbentuknya spesialisasi antar perusahaan dari klaster
(misalnya: untuk industri logam ada spesialisasi
pengecoran, pembuatan bentuk, pemotongan dsb)
b. Klaster mampu menciptakan produk baru yang dibutuhkan
pasar/konsumen
c. Teknologi berkembang sesuai dengan inovasi produk yang
dihasilkan
d. Berkembangnya kemitraan dengan industri terkait baik dalam
pengembangan produk, pengembangan teknologi maupun menjadi
bagian industri terkait
e. Berkembangnya kelembagaan klaster
f. Berkembangnya informasi pasar
Hasil penelitian dari proyek percontohan pengembangan
klaster di Indonesia yang dilakukan oleh JICA (2004)8
mengungkapkan bahwa Klaster di Indonesia dibatasi oleh bentuknya
yang mudah tercerai berai dari modal sosial. Modal sosial yang
dimaksud merupakan aset tak wujud seperti “kepercayaan yang
terbentuk”, “ikatan internal” atau “jejaring sosial”.
Pembentukan dan konsolidasi modal sosial menjadi unsur inti dalam
penguatan klaster. Modal sosial klaster ini sebagai ikatan
internal akan menjembatani dalam hubungan dengan pihak ekternal.
Secara skematis klaster aktif yang direkomendasikan untuk
kondisi Indonesia adalah:
8 Ibid, JICA, 2004
14
Pada klaster aktif – dinamis, keterkaitan kelima faktor
dari diamond model Porter akan membentuk rantai nilai (value
chain) yang kuat. Sebagai ilustrasi suatu mekanisme rantai nilai
dalam konteks suatu klaster industri, misalnya terbentuknya suatu
hubungan dengan suatu pasar baru akan memicu terbentuknya suatu
kelompok produsen-produsen (UMKM baru) yang mempunyai
spesialisasi dalam kegiatan logistik dan penjualan.
3.3. MANFAAT KLASTER
Menurut Scorsone (2002) klaster UMKM yang berbasis pada
komunitas publik memiliki manfaat baik bagi UMKM itu sendiri
maupun bagi perekonomian di wilayahnya. Bagi UMKM, klaster
membawa keuntungan sebagai berikut :
a. Lokalisasi ekonomi. Melalui klaster, dengan memanfaatkan
kedekatan lokasi, UMKM yang menggunakan input (informasi,
teknologi atau layanan jasa) yang sama dapat menekan biaya
perolehan dalam penggunaan jasa tersebut. Misalnya
A
C
B
D
E
A = Demand Conditions B = Factor conditions C = Firm strategy, structure and Rivalry D = Related and supporting Industries
15
pendirian pusat pelatihan di klaster akan memudahkan akses
UMKM pelaku klaster tersebut.
b. Pemusatan tenaga kerja. Klaster akan menarik tenaga kerja
dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan klaster tersebut,
sehingga memudahkan UMKM pelaku klaster untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerjanya dan mengurangi biaya pencarian
tenaga kerja.
c. Akses pada pertukaran informasi dan patokan kinerja. UMKM
yang tergabung dalam klaster dapat dengan mudah memonitor
dan bertukar informasi mengenai kinerja supplier dan
nasabah potensial. Dorongan untuk inovasi dan teknologi
akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan perbaikan
produk.
d. Produk komplemen. Karena kedekatan lokasi, produk dari
satu pelaku klaster dapat memiliki dampak penting bagi
aktivitas usaha UMKM yang lain. Disamping itu kegiatan
usaha yang saling melengkapi ini dapat bergabung dalam
pemasaran bersama.
Adapun manfaat klaster UMKM bagi perekonomian wilayah
diantaranya adalah :
a. Klaster UMKM yang saling terhubung cenderung untuk memiliki
produktivitas yang lebih tinggi dan kemampuan untuk
membayar upah lebih tinggi.
b. Dampak penyerapan tenaga kerja dan pendapatan wilayah dari
klaster umumnya lebih besar dibanding bentuk ekonomi
lainnya.
Sedangkan keberhasilan klaster dapat dilihat dari beberapa
faktor penentu kekuatan klaster yaitu : (1) spesialisasi, (2)
kapasitas penelitian dan pengembangan,(3) pengetahuan dan
keterampilan, (4) pengembangan sumber daya manusia, (5) jaringan
kerjasama dan modal sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7)
16
ketersediaan modal, (8) jiwa kwirausahaan, serta (9) kepemimpinan
dan visi bersama (Rosenfeld,1997).
BAB III GAMBARAN UMUM KONDISI KLASTER DI INDONESIA
3.1. KONDISI UMUM KLASTER
17
Secara umum 9 klaster di Indonesia masih berupa sentra-
sentra UMKM. Sentra UMKM terdiri dari sekumpulan industri skala
kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang
sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UMKM mencerminkan
suatu tipe klaster yang paling sederhana dan berkembang secara
alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini
pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan
tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun,
serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada
sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan
minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit,
kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan
sebagainya. Selain klaster UMKM yang terbentuk secara alamiah,
terdapat pula sejumlah kecil klaster yang tumbuh dan berkembang
akibat dukungan pemerintah, misalnya Perkampungan Industri Kecil
(PIK) dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).
Sejauh ini sentra-sentra tersebut merupakan calon klaster
yang tidak aktif atau sedang tidur (dormant). Di dalam sentra,
pelaku usaha tidak banyak melakukan perubahan terhadap produk,
proses produksi maupun pasarnya. Kondisinya tidak banyak berubah
dari tahun ke tahun bahkan sampai generasi berikutnya. Secara
lebih rinci dari studi yang dilakukan oleh JICA (2004)
menyebutkan secara garis besar kondisi klaster di Indonesia
adalah sebagai berikut:
a. Kebanyakan UMKM-UMKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro
yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal
sehingga seringkali menghilangkan jiwa kewirausahaan.
b. Produk-produknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak
terlalu menuntut teknologi dan kualitasnya.
9 Bappenas, Laporan tentang Kajian Startegi Pengembangan Kawasan Dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah, 2006.
18
c. Sebagian besar UMKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan
internal satu sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan”
(trust building) sulit dilakukan.
d. Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusi terkait
merupakan kendala yang lumrah ditemui sehingga penguatan
klaster sulit dilakukan.
e. Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah
bercerai berai dan masih berkutat pada strategi untuk
mempertahankan hidup.
3.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENGEMBANGAN KLASTER
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 10 menjadikan agenda
percepatan pemulihan ekonomi sebagai salah satu prioritas
pembangunan nasional yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan
mempercepat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan
yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Pendekatan klaster
menjadi sangat relevan untuk merealisasikan agenda tersebut. Hal
ini mengingat klaster melibatkan kelompok sebagai pelaku, dengan
demikian dampak kemajuan dapat dirasakan secara kolektif dan
biaya pengembangan lebih ekonomis daripada pelibatan pelaku
secara individual.
3.2.1. Kebijakan Pemerintah Pusat
Konsep klaster sebagai salah satu pendekatan pengembangan
ekonomi telah banyak digunakan oleh pemerintah dalam menyusun
kebijakan dan program ekonomi. Sejak Pelita III, pemerintah telah
berupaya mengembangkan klaster UKM, diantaranya pengembangan
sentra di seluruh provinsi, pengembangan kawasan industri kecil
(PIK, LIK, SUIK), program kemitraan, serta pemberian kredit.
Pengembangan sentra industri kecil (SIK) di berbagai daerah turut
10 Ibid, Bappenas 2006
19
didukung pula oleh pendirian Unit Pelayanan Teknis (UPT) sesuai
dengan potensi dan kebutuhan utamanya di bidang teknologi.
Program pemerintah yang dominan dan populer bagi pengembangan
usaha kecil adalah penyediaan berbagai skema kredit.
Berikut adalah beberapa kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dengan mengadopsi konsep klaster sebagai strategi
pengembangan ekonomi daerah.
a. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Bappenas bekerjasama dengan UNDP dan UNCHS berinisiasi
terhadap proyek Poverty Alleviation through Rural-Urban
Lingkages (PARUL) sebagai upaya untuk meningkatkan keterkaitan
desa dengan kota di dalam suatu propinsi ataupun kabupaten
yang dipilih. Proyek ini kemudian berkembang menjadi Kemitraan
Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) yang mengembangkan ekonomi
daerah berdasarkan sumber daya lokal melalui pendekatan
partisipatif masyarakat.
Pada tahun 2000, program KPEL dilaksanakan di 19
kabupaten/kota di 6 provinsi sebagai pilot project.
Keberhasilan pendekatan ini, kemudian di tahun 2001, Bappenas
dengan pemerintah daerah melakukan replikasi di 18
kabupaten/kota di 6 provinsi lain dan juga 14 kabupaten/kota
di tahun 2003.
b. Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Pendekatan klaster tertuang dalam Kebijakan Pembangunan
Industri dan Perdagangan Tahun 2001, yaitu kebijakan
pembangunan industri jangka panjang diarahkan untuk
pembentukan industri klaster dengan memperkuat industri -
industri yang terdapat dalam rantai nilai (value chain) yang
20
mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.
Sehubungan dengan itu, kebijakan dasar yang menjadi perhatian
adalah membentuk hubungan antara industri pendukung dan
terkait di bagian hulu maupun di hilir. Selain itu, Deperindag
juga memprakarsai proyek pembentukan klaster industri tertentu
di beberapa daerah.
c. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM)
Kementerian KUKM menggunakan pendekatan klaster sebagai
kebijakan pemberdayaan UKM yang meliputi program pengembangan
sentra/klaster UMKM, fasilitasi penguatan lembaga bantuan
pengembangan bisnis (BDS), dan pemberian modal awal dan
padanan (MAP). Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan
kinerja UMKM, peningkatan lapangan kerja, serta peningkatan
pendapatan masyarakat. Dana yang disediakan sebesar Rp200 juta
yang disalurkan melalui koperasi atau unit simpan pinjam.
Tahun 2001 disalurkan ke 99 lokasi dan 332 lokasi di tahun
2003.
d. Kementerian Riset dan Teknologi
Pendekatan klaster akan menjadi landasan kebijakan di bidang
riset dan teknologi, khususnya terkait dengan pengembangan
techno-industrial dan aliansi strategis.
e. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
BPPT memprakarsasi percontohan klaster industri daerah dalam
rangka pengembangan unggulan daerah. Guna mendukung hal
tersebut, BPPT juga melakukan kegiatan eksplorasi sinkronisasi
dan sinergi program antar stakeholder, terutama Kementerian
KUKM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen
Pertanian, Kementerian Riset dan Teknologi, dan pemerintah
daerah setempat yang menjadi lokasi studi.
21
3.2.2. Pembelajaran Pengembangan Klaster di Indonesia
Program pengembangan klaster telah banyak dilakukan oleh
pemerintah melalui departemen-departemen terkait sebagaimana
tersebut di atas. Berikut disampaikan beberapa pengalaman
pengembangan klaster yang dilakukan oleh departemen-departemen
teknis.
a. Departemen Perindustrian
i. Program pengembangan klaster Industri Kecil Menengah (IKM)
dari Departemen dilakukan dengan berbasis pada komoditi
unggulan.
ii. Pengembangan klaster IKM difasilitasi melalui
pendekatan hulu-hilir. IKM yang dikembangkan berawal dari
adanya sentra industri. Sentra tersebut kemudian akan
difasilitasi untuk menjadi klaster. Pendekatan hulu –
hilir ini penting karena akan mendukung kelanjutan klaster,
sebab pengembangan klaster membutuhkan keterlibatan semua
pelaku (stakeholders).
iii. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster
antara lain adalah:
a). Sistem yang ada belum berjalan dengan baik, yaitu
sulitnya melakukan koordinasi dengan instansi terkait
untuk menyatukan tindakan bersama dalam mengembangkan
klaster.
b). Pengertian tentang klaster yang masih beragam diantara
stake holders/instansi. Departemen Perindustrian
mendefinisikan klaster mengacu pada definisi menurut
Michael Porter yaitu kelompok usaha yang sejenis yang
berdekatan dan melibatkan pelaku hulu-hilir yang
terkait.
22
iv. Dalam pengembangan klaster, sebaiknya klaster tersebut
sudah tumbuh di wilayah yang bersangkutan baik sebagai
kumpulan UMKM ataupun sebagai sentra industri, sehingga
pengembangannya tidak dimulai dari awal (nol), tetapi
mengembangkan yang sudah ada.
v. Inti dari pengembangan klaster adalah adanya komitmen
bersama untuk menghasilkan produk bersama yang berkualitas.
Pengalaman yang ada selama ini adalah persaingan yang
sangat tinggi diantara pelaku UMKM sendiri yang menyebabkan
lemahnya posisi tawar UMKM.
vi. Dari pengalaman pembinaan IKM/UMKM, untuk pengembangan
klaster dibutuhkan suatu holding usaha bersama. Holding ini
bertugas untuk memenuhi kebutuhan klaster, misalnya
kebutuhan ahli desain produk, ahli pemasaran dst. Holding
ini harus bekerja profesional sesuai dengan keahlian yang
diperlukan klaster untuk berkembang.
b. BAPPENAS – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Direktorat Pemberdayaan Koperasi dan UKM
i. Pengembangan klaster dilakukan melalui pendekatan
berdasarkan ketersediaan lapangan usaha. Lapangan usaha
yang berperan dalam pengembangan ekonomi masyarakat
difasilitasi untuk berkembang menjadi klaster. Untuk
memilih lapangan usaha yang dimaksud dilakukan analisa
backward and forward linkage dan pelaku-pelaku lain yang
berperan di dalam klaster tersebut.
ii. BAPPENAS telah melakukan penelitian untuk lapangan
usaha tekstil dan umbi-umbian. Lapangan usaha yang dikaji
sejauh ini masih dalam bentuk sentra-sentra produksi. Pada
industri tekstil, selain menganalisa backward dan forward
linkage juga dilakukan analisa terhadap pelaku-pelaku lain,
misalnya pedagang makanan yang berperan melayani pekerja
23
pabrik tekstil. Keberadaan industri tekstil menjadi penting
karena mempengaruhi kelangsungan lapangan usaha pedagang
makanan. Analisa ini untuk mengetahui apakah sektor ekonomi
yang akan dikembangkan menjadi klaster benar-benar
merupakan lapangan usaha yang utama (yang mempengaruhi
keberadaan lapangan usaha lainnya) dalam pengembangan
ekonomi masyarakat di lingkungan klaster tersebut.
iii. Karakteristik sentra produksi hasil kerjasama dengan
Kementerian Koperasi adalah :
a). Pada sektor pertanian, di antara pelaku UMKM mempunyai
trust yang tinggi sehingga terdapat rasa kebersamaan yang
tinggi.
b). Pada sektor non pertanian, antar pelaku UMKM/IKM
mempunyai tingkat persaingan yang tinggi sehingga sulit
untuk disatukan.
Gambaran untuk sektor pertanian
? Bentuk ideal untuk mengembangkan sentra menjadi klaster
yang aktif adalah dalam bentuk kelompok. Bentuk kelompok
yang ideal yang ada sampai saat ini adalah koperasi.
Koperasi di wilayah pertanian dapat menjadi fasilitator
pengembangan klaster. Contoh yang bisa dilihat adalah
budidaya rumput laut di Sulawesi. Diantara pelaku –
pelaku terdapat ikatan yang cukup kuat. Mereka melakukan
budidaya secara bersama yang disatukan dalam wadah
koperasi sehingga kegiatan produksi dari hulu – hilir
dapat dilakukan. Pada tingkat hulu, koperasi menyediakan
kebutuhan bahan baku /modal untuk budidaya rumput laut.
Pada tingkat hilir, koperasi melakukan kegiatan
pengolahan pasca panen bersama (pengeringan rumput laut)
dan pemasaran bersama.
24
? Demikian juga pada sektor peternakan. Pada umumnya di
Pulau Jawa peternakan sapi dilakukan secara individual.
Tetapi pada peternakan sapi di Kalimantan Selatan
dilakukan secara kelompok (koloni). Mereka membuat
kandang bersama. Satu kandang dimiliki oleh 3 orang
petani. Kandang ini dikelola bersama baik pakannya,
pemeliharaan dsb. Kegiatan produksi ini sangat
menguntungkan, karena dapat menghemat tenaga pemeliharaan
dan tempat untuk kandang.
? Untuk menyatukan pelaku – pelaku dalam kegiatan bersama
perlu adanya leader (pemimpin) baik berasal individu atau
instansi/pemerintah yang memiliki jiwa entrepreneur.
Komitmen dan kemauan dari pemimpin tersebut merupakan
langkah yang strategis untuk memacu pengembangan klaster.
Pada contoh diatas, dinas terkait menjadi penggerak dalam
pengembangan klaster rumput laut dan peternakan sapi.
Gambaran untuk sektor non pertanian
? Pada contoh kasus yang disampaikan, lapangan usaha yang
dikembangkan adalah industri sasirangan (tekstil) di
Kalimantan Selatan. Dari pengamatan terlihat bahwa
persaingan diantara pelaku UMKM cukup tinggi, antara lain
dalam hal penetapan harga jual, informasi pembeli,
pengembangan motif dll. Untuk membangun kebersamaan,
maka pelaku UMKM didampingi oleh fasilitator klaster
(BDS, LSM ataupun universitas) yang berfungsi sebagai
fasilitator klaster.
? Kendala yang dihadapi adalah fasilitator klaster (dalam
contoh dari Perguruan Tinggi) yang ada masih tergantung
pada program Pemerintah. BDS tersebut memperoleh bantuan
dari Kementerian Koperasi dalam bentuk dana pendampingan
25
dan dana bergulir. Sehingga ketika program selesai,
keberlanjutan BDS masih dipertanyakan
c. BAPPENAS – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Direktorat Kewilayahan II
i. BAPPENAS dalam hal ini Direktorat Kewilayahan II, berperan
sebagai lembaga yang melakukan pengkajian pengembangan
wilayah termasuk satu diantaranya dengan cara pengembangan
klaster.
ii. Hasil dari kajian yang telah dilakukan bahwa kegagalan
dalam mengembangkan klaster dikarenakan :
a). Pengembangan klaster tidak berdasarkan pada potensi
yang ada di masyarakat. Program klaster lebih dikarenakan
adanya kepentingan pemerintah untuk membentuk klaster.
b). Kurangnya komitmen dan kemauan (willingness)
pemerintah dan stakeholders yang terkait. Akibatnya
kebijakan pengembangan UMKM justru bersifat
kontraproduktif.
c). Tidak adanya grand strategy (rencana induk) yang
melibatkan pelaku hulu-hilir pada klaster yang
dikembangkan. Misalnya: peternakan sapi potong, yang
diperhatikan hanya sapi potong, tetapi peluang usaha yang
lain kurang diperhatikan misalnya pengolahan kotoran sapi
penjadi pupuk organik.
d). Pengembangan klaster mengecil menjadi sentra usaha.
Seharusnya pengembangan klaster diarahkan untuk dapat
menjadi penunjang pengembangan ekonomi lokal dan ekonomi
regional. Agar pengembangan klaster tidak terjebak
menjadi sentra, maka rencana induk harus dibuat secara
bottom up.
d. BPPT – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
26
Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing
i. Konsep pengembangan klaster adalah adanya linkage antar
pelaku-pelaku klaster dan terciptanya nilai tambah (value
chain)
ii. Agar linkage dan nilai tambah dapat diperoleh, maka
pengembangan klaster dilakukan melalui pendekatan
partisipatory. Langkah-langkah yang dilakukan sebagai
berikut (mengacu pada contoh proses pembentukan klaster di
Tegal-Jawa Tengah) :
a). Proses partisipasi
? Proses ini diawali dengan melakukan identifikasi
usaha-usaha yang mempunyai prospek untuk berkembang.
? Kemudian dilakukan pemetaan kondisi lingkungan klaster
(meta plan). Faktor yang dipetakan mengacu pada
diamond model yang disampaikan Michael Porter. Peta
tersebut akan menggali hal-hal yang menjadi kendala
dan hal-hal yang menjadi pendukung.
? Dilakukan penguatan lingkungan usaha, melalui
perumusan tujuan bersama, strategi bersama hingga
membuat matrik rencana kerja untuk melakukan aksi
bersama. Untuk melangkah ke aksi bersama diperlukan
manajemen dari klaster tersebut.
b). Proses analisa (tahun 2006).
Analisa yang digunakan adalah:
? Analisa rantai nilai, untuk mengetahui nilai tambah
dari masing-masing pelaku.
? Analisa kompetensi inti, meliputi peta pelaku industri
pemasok, pembeli (buyer), industri terkait, industri
pendukung dan institusi pendukung.
27
? Hasil analisa rantai nilai dan kompetensi inti ini
untuk menentukan kepada siapa/kemana pembiayaan perlu
diberikan.
iii. Faktor penting yang juga terkait dalam mengembangkan
UMKM/IKM dengan pendekatan klaster adalah :
a). Peningkatan kapasitas (capacity building), pelaku-
pelaku yang terlibat dalam klaster.
b). Adanya tokoh panutan/pemimpin yang berpengaruh (Local
Champion)
? Contoh pendekatan klaster yang cukup berhasil adalah
yang dilakukan di Tegal. Melalui peran pemerintah
daerah dalam hal ini Kepala Bappeda yang berkomitmen
mengembangkan UMKM, maka terbentuk 5 klaster yang
berkembang yaitu: klaster engine dan aplikasinya,
komponen kapal, pariwisata, sapi potong dan jagung
hibrida.
? Keberhasilan yang diperoleh dapat dilihat dan diukur
dari tingkat pendapatan yang meningkat dari pelaku-
pelaku yang ada pada klaster. Sebagai gambaran
pendapatan petani jagung hibrida yang bertambah. Harga
hasil pertanian seperti pada umumnya sangat
berfluktuasi. Petani pada posisi tawar yang tidak
seimbang terhadap pembeli (umumnya tengkulak yang
berfungsi sebagai penebas hasil panen). Ketika proses
mengembangkan klaster, petani difasilitasi agar
memperoleh harga yang wajar dan penebas pun memperoleh
keuntungan yang diharapkan. Caranya dengan mengajak
petani untuk mengatur waktu tanam serta memperluas
areal dan mengajak penebas untuk melakukan tebasan
secara periodik dalam kondisi jagung sudah mencapai
umur produksi siap tebas.
28
e. BPPT – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Business Technology Center/BTC
i. BPPT-BTC dalam hal ini berperan menyediakan aplikasi
teknologi untuk UMKM/IKM
ii. Untuk mendukung peran tersebut, BPPT memperoleh
bantuan dari Uni Eropa dalam bentuk dana hibah (grant).
Dana hibah ini digunakan untuk program teknologi informasi
kepada Koperasi. Pertimbangannya adalah dari pengalaman
banyak negara yang telah menggunakan teknologi informasi
khususnya internet untuk memasarkan produk-produk UMKM/IKM.
Pemasaran melalui cara ini terbukti sangat efektif untuk
meningkatkan penjualan.
iii. Kondisi koperasi di Indonesia masih lemah, sehingga
perlu dilakukan peningkatan kapasitas agar dapat melayani
UMKM lebih baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
melalui penyediaan teknologi informasi. Pada saat ini akan
dilakukan pilot project teknologi informasi dengan
pemerintah daerah Jawa Tengah.
f. Departemen Pertanian
i. Untuk mengembangkan klaster pada komoditi pertanian
tidaklah mudah, mengingat karakteristik dari sektor
pertanian sendiri, sehingga tidak semua komoditi pertanian
dapat diklasterisasi.
ii. Faktor keberhasilan dalam kredit tanaman perkebunan
adalah adanya industri inti yang menampung produk mereka.
Sistem yang dikembangkan dalam hubungan industri inti dan
petani adalah sistem bagi hasil.
iii. Sedangkan untuk tanaman pangan (termasuk
hortikultura), kapasitas petani masih sangat rendah. Untuk
itu pada level petani masih sangat diperlukan usaha
29
penguatan kapasitas. Pada sektor pertanian, pembiayaan bank
dirasakan belum mampu menggantikan peran tengkulak (dalam
ketepatan waktu pemberian dan jumlah pinjaman yang
dibutuhkan).
Kebijakan di tingkat pusat ini, lebih jauh juga menjadi
inspirasi bagi pemerintah-pemerintah di daerah dalam
mengembangkan ekonomi masyarakatnya. Salah satu pemerintah daerah
yang melakukan program pengembangan klaster adalah Pemerintah
Daerah (Pemda) Propinsi Jawa Tengah. Program di tingkat propinsi
tersebut diakomodasikan dan dikoordinasikan dengan pemda-pemda di
tingkat kabupaten.
3.3. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH JAWA TENGAH
Data sektor ekonomi11 menyatakan bahwa industri dan
perdagangan merupakan kelompok terbesar dari aktivitas ekonomi
masyarakat, karenanya menjadi aset potensial guna mendorong
ekonomi kerakyatan. Sektor tersebut didominasi 99% oleh Usaha
Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) dimana kurang lebih 30% populasi
UMKM di Indonesia berada di Jawa Tengah.
Prosentasi yang besar dari UMKM ini belum secara optimal
dikembangkan, padahal sektor UMKM memiliki kemampuan daya ungkit
tinggi terhadap pembangunan dan kesempatan kerja kepada
masyarakat. UMKM dengan karakternya yang fleksibel dengan
teknologi perpaduan antara padat modal dan padat karya dalam
memanfaatkan sumber daya lokal telah terbukti lebih mampu
bertahan terhadap krisis ekonomi dan perubahan-perubahan yang
terjadi sebagai konsekuensi globalisasi. Ukurannya yang relatif
mikro - kecil – menengah, menjadikan kelompok usaha ini lebih
mudah untuk melakukan penyesuaian terhadap perkembangan teknologi
dan tuntutan pasar yang dinamis. 11 Ibid, FPESD Jawa Tengah, 2006
30
Berdasarkan hal tersebut di atas dengan diberlakukannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
memberikan kesempatan yang sangat luas kepada masyarakat untuk
mengelola dan memajukan wilayahnya masing-masing. Pemerintah
Dearah (Pemda) Propinsi Jawa Tengah telah menetapkan untuk
pencapaian pemantapan kemandiriaan wilayah tahun 2008 dengan 3
(tiga) sektor prioritas pembangunan yaitu; pertanian dalam arti
luas (agrobisnis), UMKM berorientasi ekspor dan pariwisata. Untuk
merealisasikan kemandirian wilayah, maka langkah yang tepat
adalah dengan memadukan kebijakan top down dan bottom – up
planning melalui pendekatan partisipatif dan kewilayahan,
diantaranya melalui pendekatan klaster. Sehubungan dengan maksud
tersebut, diperlukan suatu wadah yang mampu membawa aspirasi dari
bawah agar dapat disampaikan ke unsur terkait, maka dibentuklah
suatu forum, yaitu:
a. Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa
Tengah. Forum ini berkedudukan di tingkat Propinsi. Forum
ini berfungsi sebagai wadah (think tank) bagi Pemda untuk
memformulasikan kebijakan ekonomi Jawa Tengah dan khususnya
pengembangan UMKM. Secara legal pembentukan wadah ini
diformalkan dalam SK Gubenur Jawa Tengah no. 500/36/2001
yang kemudian diperbaharui dengan SK Gubenur No.
500.5/30/2003
b. Forum of Economic Development and Employment Promotion
(FEDEP). FEDEP ini berkedudukan di tingkat kabupaten /
kota. Forum tersebut berfungsi sebagai fasilitator dan
mengoptimalkan peran serta pelaku usaha, masyarakat dan
pemerintah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi.
c. Resource Development Centre (RDC). RDC ini sebagai Badan
Pelaksana FPESD yang akan menangani pelaksanaan program,
peningkatan kapasitas dan pendampingan.
31
Secara garis besar, fokus yang dituju dari forum-forum
tersebut adalah pada penciptaan iklim usaha yang kondusif,
peningkatan kapasitas kelompok usaha dan pengembangan potensi
klaster.
Menyadari bahwa pengembangan klaster membutuhkan kerjasama
yang komprehensif dan berkelanjutan, maka sejak awal, penyamaan
persepsi dan penggalangan komitmen dari pihak-pihak terkait harus
ditumbuhkembangkan. Umumnya proses ini berlangsung pada sebuah
forum bersama. Forum ini kemudian menjadi inisiator dan
penggerak untuk melakukan upaya-upaya nyata dalam proses
pengembangan klaster.
Sejauh ini proses pengembangan klaster masih berlangsung di
beberapa wilayah di Indonesia. Hasil positif yang telah dicapai
pada proses tersebut antara lain12:
1. Tumbuhnya kembali modal sosial di masyarakat
2. Meningkatnya keterampilan teknis produksi
3. Meningkatnya pengetahuan tentang manajemen usaha
4. Tumbuhkembangnya organisasi klaster
5. Berkembangnya proses perencanaan yang partisipatif dan
bottom up
6. Beberapa klaster telah menunjukkan peningkatan pendapatan
7. Beberapa klaster mulai memperoleh kepercayaan dari industri
terkait
12 Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya Jawa Tengah (FPESD), Best Practice Pengembangan Klaster di Jawa Tengah, 2006
32
BAB IV
PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH
4.1. STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH
Pengembangan klaster (FPESD, 2004)13 dipilih sebagai
strategi pendekatan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi UMKM
terhadap kemandirian ekonomi wilayah karena pendekatan klaster
dikembangkan secara kelompok sehingga lebih mempermudah dalam
merumuskan kebijakan dan pengalokasian sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengembangkan UMKM klaster.
Realiasasi dari strategi tersebut di tingkat pelaku klaster
dilakukan melalui kegiatan:
a. Meningkatkan kemandirian pelaku klaster melalui Forum Rembuk
Klaster. Forum ini merupakan wadah bagi pelaku klaster untuk
berinteraksi dan sebagai wadah dialog antara pelaku dengan
semua stakeholder terkait dalam klaster tersebut. Forum Rembuk
Klaster sekaligus berfungsi sebagai wahana untuk menumbuhkan-
mengembangkan dan memperkuat modal sosial (social capital).
Nilai-nilai modal sosial yang diintegrasikan adalah rasa
memiliki (ownership), kebersamaan, saling percaya (trust) dan
meningkatkan keterlibatan aktif setiap anggota klaster.
b. Pendampingan oleh fasilitator klaster (BDS, LSM atau
universitas)
c. Pengembangan jejaring kerja (net working), yang dibantu baik
oleh FEDEP dan FPESD
d. Pengembangan ekonomi lokal yang partisipatif
e. Kerjasama antara kabupaten/kota secara alami yang terhubung
dari kebutuhan klaster-klaster yang berkembang
4.2. KLASTER DI JAWA TENGAH 13 Ibid. FPESD Jawa Tengah, 2004
33
Melalui fasilitasi dari FPESD, Propinsi Jawa Tengah sudah
menyeleksi sentra produksi yang akan dikembangkan menjadi klaster
sebanyak 23 klaster. Klaster-klaster tersebut adalah:
1. Klaster kuningan di Kabupaten Pati
2. Klaster knalpot di Kabupaten Purbalingga
3. Klaster kayu bulakan di Kabupaten Sukoharjo
4. Klaster handicraft dan mebel di Kabupaten Blora
5. Klaster keramik di Kabupaten Banjarnegara
6. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara
7. Klaster pariwisata Karimunjawa di Kabupaten Jepara
8. Klaster batik ATBM di Kota Pekalongan
9. Klaster sabut kelapa di Kabupaten Kebumen
10. Klaster batik dan bordir di Rembang
11. Klaster desa wisata Borobudur di Kabupaten Magelang
12. Klaster batik masaran di Kabupaten Sragen
13. Klaster pariwisata Cepogo,Selo dan Sawangan di Kabupaten
Boyolali
14. Klaster pertanian terpadu (hortikultura) di Kabupaten
Klaten
15. Klaster gula kelapa di Kabupaten Banyumas
16. Klaster perikanan di Cilacap
17. Klaster pertanian organik (padi) di Kabupaten Semarang
18. Klaster nilam di Kabupaten Wonosobo
19. Klaster genteng di Kabupaten Grobogan
20. Klaster pertanian hortikutura di Kabupaten Demak
21. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang
22. Klaster pariwisata dieng di Kabupaten Wonosobo
23. Klaster pariwisata dieng di Kabupaten Banjarnegara
Pada masing-masing klaster tersebut sudah terbentuk Forum
Rembuk Klaster (FRK), beberapa diantaranya bahkan telah berbadan
hukum yaitu koperasi. FRK merupakan forum yang melibatkan seluruh
34
pelaku UMKM klaster yang berkeinginan untuk berkembang. Setiap
FRK didampingi oleh fasilitator klaster. Fasilitator klaster
tersebut dapat berupa lembaga swadaya masyarakat (misalnya BDS)
maupun dari universitas terdekat. Tugas dan fungsi fasilitator
klaster antara lain menfasilitasi FRK untuk menumbuhkan dan
mengembangkan modal sosial, membuat perencanaan partisipatif
klaster (jangka pendek, jangka menengah ataupun sampai jangka
panjang) serta membantu FRK untuk berhubungan dengan pemda/dinas,
swasta, lembaga penelitian, industri terkait dan pihak-pihak yang
terkait dalam pengembangan klaster yang besangkutan.
FRK ini juga memfasilitasi klaster untuk melakukan
perencanaan pengembangan klaster. Perencanaan tersebut dituangkan
dalam proposal rencana pengembangan. Rencana pengembangan klaster
meliputi bidang: permodalan, bahan baku, pengembangan SDM,
pengembangan teknologi, kelembagaan, iklim usaha, pemasaran, HAKI
(hak atas kekayaan intelektual) dan penataan kawasan klaster.
Keragaman bidang pengembangan tergantung dari kebutuhan dan
kemampuan dari masing-masing klaster tersebut.
4.3. PROFIL KLASTER SAMPEL
Dari 23 klaster yang sudah dipilih dan sedang dalam proses
pengembangan tersebut, klaster yang dijadikan sebagai sampel
penelitian adalah 6 klaster, yaitu:
1. Klaster handicraft dan Mebel di Kabupaten Blora
2. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang
3. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara
4. Klaster pertanian hortikultura (jambu air) di Kabupaten
Demak
5. Klaster pertanian organik di Kabapaten Semarang
6. Klaster pertanian terpadu di Kabupaten Klaten
35
Berikut adalah profil dari masing-masing klaster yang sudah
dikunjungi, adalah:
4.3.1. Klaster handicraft dan Mebel di Kabupaten Blora
a. Gambaran umum
Lokasi klaster handicraft dan mebel Kabupaten Blora
meliputi hampir seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Blora. Ada
beberapa wilayah kecamatan yang pengrajinnya telah mengelompok
dalam sentra industri handicraft dan mebel. Sentra-sentra
tersebut diintegrasikan dalam beberapa klaster yaitu:
i. Klaster handicraft Jepon,
ii. Klaster mebel Jiken
iii. Klaster handicraft Cepu
iv. Klaster mebel Ngawen
v. Klaster mebel Tunjungan
Diantara kelima klaster tersebut penelitian dilakukan di
klaster mebel Jiken. Berdasarkan informasi dari fasilitator
klaster (BDS), disampaikan bahwa secara teknik produksi yang
paling berkembang adalah klaster Jepon. Sedangkan dari sisi modal
sosial yang paling berkembang adalah klaster di Jiken.
Klaster handicraft dan mebel di kabupaten Blora memproduksi
beberapa produk antara lain produk mebel untuk rumah tangga dan
ekspor, produk ukir gembol akar jati, produk handicraft suvenir,
produk handicraft suvenir variasi bubut, produk ukir kaligrafi.
Bahan baku yang digunakan adalah kayu jati khususnya akar
jati. Keunggulan akar jati dibandingkan kayu jati adalah warna
yang relatif sama yaitu warna coklat yang merata. Bahan baku
diperoleh melalui kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) yang merupakan pendampingan dari Perhutani. Jenis akar
kayu jati yang digunakan adalah akar jati yang sudah ditebang dan
telah melampaui masa tunggu selama 2 (dua) tahun setelah tebang.
Komposisi bahan baku (merujuk dari produk di Jiken) yaitu:
36
i. Untuk kualitas ekspor = 30%
ii. Untuk kualitas II = 25%
iii. Untuk kualitas III = 25%
iv. Untuk limbah = 20% digunakan untuk kayu bakar
Pelaku usaha dalam klaster meliputi UMKM pengrajin anggota
klaster, penyedia bahan baku, penyedia jasa angkutan, penyedia
alat produksi dan pemilik toko/showroom. Pelaku UMKM yang sudah
mampu biasanya juga sebagai pemilik toko/showroom.
Menurut informasi dari pengrajin mebel kayu di wilayah
Jiken bahwa kapasitas produksi setiap pengrajin (pekerja) yang
terampil dapat membuat satu buah kursi per hari. Kemampuan
pengrajin ini sangat dipengaruhi jenis produk yang dibuat,
semakin kompleks jenis produknya maka waktu yang dibutuhkan
semakin lama.
Produksi UMKM dalam klaster antara mebel dan handicraft
jumlahnya berimbang sesuai dengan pesanan maupun kebutuhan dalam
satuan unit/stel. Produksi klaster ini lebih banyak dipasarkan
dalam bentuk sudah jadi (finishing), untuk produksi setengah jadi
atau mentahan hanya ditujukan untuk pasar-pasar regional dan
ekspor sesuai dengan pesanan.
Umumnya proses produksi yang dilakukan masih sederhana dan
bersifat individual. Total kapasitas produksi klaster adalah
21.319 unit per tahun (2005). Masing-masing klaster mampu
memproduksi sejumlah 6.686 unit untuk klaster di Jepon, sebanyak
4.710 unit untuk klaster di Jiken, sebanyak 7.382 unit untuk
klaster di Cepu, sebanyak 1.396 unit untuk klaster di Tunjungan
dan 1.145 unit untuk klaster di Ngawen.
b. Potensi Klaster
Klaster handicraft dan mebel ini mempunyai potensi untuk
dikembangkan, ditinjau dari aspek:
i. Ketersediaan bahan baku. Penggunaan bahan baku akar jati
mempunyai keunggulan karena akar jati termasuk limbah
37
sehingga pemanfaatannya tidak bertentangan dengan program
pelestarian hutan. Selain itu, di wilayah Blora masih
tersedia lahan hutan jati yang cukup luas. Meskipun
demikian, untuk menjamin keberlanjutan klaster ini maka
perlu dicari alternatif bahan baku yang murah dan
berkualitas setara dengan akar jati.
ii. Pemasaran produk handicraft dan mebel dari kabupaten
Blora sebesar 60% adalah untuk pasar lokal yang didisplay
pada toko/show room. Sedangkan 40% lebihnya untuk memenuhi
kebutuhan pasar regional dan ekspor.
Sebagai gambaran, pasar produk yang telah dimasuki oleh
pengusaha mebel di Jiken yaitu:
a). Pasar ekspor
Dilakukan melalui kerjasama PT Stone Wood yang berlokasi
di Jepara. Perusahaan ini memberi pesanan kepada klaster.
Model mebel baik dalam bentuk gambar ataupun barang
contoh diberikan kepada klaster sesuai dengan kapasitas
produksi klaster. Penentuan harga dilakukan oleh klaster.
Setiap bulan seorang pengusaha dapat mengirimkan sebenyak
100 – 180 kursi. Setelah disortir, hanya sekitar 3 buah
yang kembali. Kursi yang ditolak akan diperbaiki oleh
pengusaha dan dikirim kembali ke perusahaan tersebut
dengan harga sama. Ini menunjukkan bahwa pemilihan bahan
baku sudah baik sehingga walaupun ditolak namun dengan
sedikit perbaikan dapat diterima kembali oleh eksportir.
Produk yang diekspor mempunyai kualitas B+ dan sudah
mempunyai sertifikat eco labelling.
b). Pasar lokal
Penjualan kepada konsumen dilakukan melalui pedagang
perantara, dengan kualitas barang kelas II dan III.
Pedagang akan mengambil barang ke pengusaha dan dalam
jangka waktu tertentu akan membayar sesuai dengan barang
38
yang laku. Pedagang biasanya memberi uang muka kepada
pengusaha.
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Teknologi
Industri mebel sangat tergantung pada alat yang
berkualitas. Oleh karena itu investasi pada peralatan
sangat berpengaruh terhadap kualitas produk yang
dihasilkan. Sejauh ini kelompok di wilayah Jiken
menggunakan sebagian besar pinjamannya untuk investasi di
peralatan.
ii. Sumber Daya Manusia
Secara umum keterampilan diperoleh dengan cara magang
kepada pengusaha mebel. Oleh sebab itu keterampilan yang
diperoleh sangat tergantung dari ”guru” tempat di mana
tenaga kerja tersebut magang.
iii. Perluasan pasar
Keunikan dan keseragaman warna bahan baku, menjadi daya
tarik tersendiri untuk pasar ekspor. Oleh karena itu perlu
dilakukan promosi yang intensif ke pasar-pasar ekspor.
iv. Permodalan
Keterbatasan modal menyebabkan UMKM handicraft dan mebel
memasarkan produknya, terutama untuk pasar regional dan
ekspor, melalui pihak ketiga. Akibatnya UMKM tidak
mempunyai akses untuk berhubungan langsung dengan pasar
sehingga perkembangan usahanya pun tidak optimal
(memproduksi hanya berdasarkan pesanan).
4.3.2. Klaster Batik Lasem di Kabupaten Rembang
a. Gambaran umum
Industri batik ini sudah memasuki generasi ke tiga sampai
ke empat. Keterampilan membatik, jalur distribusi maupun jalur
39
bahan baku merupakan warisan dari pendahulunya yang kemudian
mereka perluas. Pengusaha tersebut biasanya mempunyai rumah
produksi sendiri. Rumah produksi tersebut merupakan tempat
melakukan semua kegiatan pembuatan batik dari hulu ke hilir yaitu
mulai dari membatik, pewarnaan, hingga penjemuran, hingga
pembatikan dikerjakan.
Lokasi klaster batik lasem meliputi 10 desa yang terletak
di dua kecamatan yaitu kecamatan Pancur dan kecamatan Lasem di
Kabupaten Rembang.
Klaster Batik Lasem melibatkan 21 pengusaha batik dengan
memperkerjakan sekitar 1.876 tenaga kerja. Tenaga kerja yang
terlibat sebagian besar adalah wanita. Pembuatan batik tulis ini
disamping dikerjakan di tempat pengusaha, juga dilakukan dengan
cara mengambil pesanan untuk dikerjakan di rumah masing-masing.
Kekuatan daya tarik dari batik tulis Lasem adalah pada
warna yaitu warna merah dan soga. Warna merah yang menjadi ciri
khas batik tersebut berasal dari kandungan air di lokasi, yang
menghasilkan warna yang unik yang tidak bisa direplikasikan di
wilayah lain. Warna merah tersebut akan makin bagus dengan
semakin seringnya batik tersebut dicuci, inilah yang menjadi
keunggulan pewarnaan batik Lasem.
Produk batik lasem yang banyak diproduksi adalah jenis kain
panjang, sarung, selendang dihan. Produk-produk itu kemudian
berkembang penggunaannya untuk bahan kemeja, busana wanita dan
busana muslim. Sedangkan motif batik yang diproduksi adalah jenis
gringsing/gunung, ringgit/sisik, sekar jagad, latohan, parang
(menag, rusak), sido mukti, abang biru, tiga negeri, empat
negeri, kawong, pasiran, es teh, tumpal (main, lerang) latar
(lereng, ireng) dan kricak/watu pecak
Kapasitas produksi setiap rumah produksi sangat beragam
yaitu antara 50 – 200 kain per bulan. Jika pembatikan dilakukan
dalam rumah produksi maka seorang pembatik dapat menyelesaikan
satu kain batik dengan kualitas bagus dalam jangka waktu 1 bulan.
40
Sedangkan jika pengerjaannya dilakukan di luar rumah produksi
(sub kontrak) seorang pembatik dapat menyelesaikan satu kain
batik dengan kualitas bagus dalam jangka waktu 1,5 bulan.
b. Potensi Klaster
Klaster batik lasem ini mempunyai potensi untuk dikembangkan,
ditinjau dari aspek:
i. Pewarnaan batik dengan merah yang khas, menjadi daya tarik
tersendiri karena tidak dijumpai pada batik di wilayah
lain. Hal ini menjadi nilai tambah bagi produk tersebut.
ii. Pemasaran produk, sudah memiliki jalur pemasaran yang
dirintis sejak lama sehingga secara pasarnya sudah pasti.
Yang menjadi tantangan adalah untuk meningkatkan daya serap
pasar terhadap produk tersebut .
iii. Batik lasem mempunyai nilai historis, beberapa
konsumen tertentu lebih tertarik terhadap nilai historisnya
dari pada harga. Kelompok kunsumen ini akan sangat membantu
untuk meningkatkan nilai batik tersebut.
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Sumber daya manusia
Minat generasi muda terhadap batik sangat berkurang,
karena:
a). Banyak lapangan pekerjaan lain yang lebih mudah dengan
upah yang hampir sama
b). Batik membutuhkan keterampilan dan ketelitian dalam
pengerjaannya yang relatif sulit (pengusaha harus memberi
contohnya, baru tenaga kerja bisa melakukannya)
c). Tidak ada gengsi/kebanggaan terhadap pekerjaan
membatik
d). Pada saat masa tanam dan panen, pembatik memilih untuk
bekerja di pertanian karena pekerjaan di bidang pertanian
memang merupakan mata pencarian pokok masyarakat Lasem.
41
ii. Teknologi
Teknologi yang berkembang dalam klaster batik Lasem relatif
tertinggal jauh dari klaster batik seperti Solo,
Yogyakarta, Pekalongan. Hal ini dapat diketahui dari
pengakuan pengusaha yang mengeluhkan tentang:
a). Teknik pewarnaan yang masih sulit untuk dilakukan,
tidak jarang terjadi gagal pembentukan warna
b). Teknik disain batik yang cenderung tidak berkembang,
motif mengikuti yang telah ada sejak leluhur mereka
iii. Perluasan pasar
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa umumnya pengusaha
batik lasem masih menggunakan jalur pemasaran yang
diwariskan oleh pendahulunya. Jenis jalur pemasaran yang
ada adalah:
a). Galeri sederhana di tempat usahanya (sistem pembayaran
secara tunai), menunggu pembeli hadir
b). Pedagang perantara dengan sistem pembayarannya setelah
barang laku (tempo waktunya sekitar 1 bulan)
c). Pesanan dari beberapa kota (pembayaran sebagian
diawal, dan kemudian dilunasi sesuai barang yang laku,
biasanya jangka waktu 1-2 bulan)
d). Mengikuti pameran
Untuk mendorong peningkatan produktivitas, perluasan pasar
perlu dilakukan baik melalui perluasan wilayah maupun
kreativitas produk yang dipasarkan.
iv. Permodalan
Kebutuhan permodalan yang mendesak adalah untuk pengadaan
bahan baku. Ini diperlukan pada saat UMKM memperoleh
pesanan dalam jumlah besar, maka dibutuhkan dana dalam
jumlah besar dan dalam waktu cepat untuk pengadaan bahan
baku. Pada kondisi tersebut, UMKM tidak mempunyai kapasitas
untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan formal
(perbankan) baik karena kendala jaminan, prosedur yang
42
relatif lama maupun karena suku bunga/margin yang cukup
tinggi.
4.3.3. Klaster Tenun Troso di Kabupaten Jepara
a. Gambaran umum
Kabupaten Jepara dikenal sebagai daerah yang memiliki
beragam sentra industri, satu diantaranya adalah tenun troso.
Sentra tersebut merupakan usaha mikro, kecil menengah yang
menjadi pilar ekonomi rakyat. Oleh karena itu, sentra memiliki
nilai dan dampak potensial yang strategis untuk dikembangkan
dalam rangka memperkuat perekonomian nasional. Ini disebabkan
karena sentra memiliki akar yang kuat di masyarakat setempat.
Sentra-sentra itulah yang kemudian difasilitasi oleh FPESD untuk
berkembang menjadi klaster. Lokasi klaster adalah di Desa Troso
termasuk yang dalam wilayah Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara
Sepanjang perjalanannya tenun troso mengalami pasang surut,
demikian juga secara kuantitas perusahaan dan pengrajin tenun
ikat mengalami kenaikan dan penurunan jumlah usaha dan unit
industri. Saat ini jumlah pengrajin tenun troso tercatat 191 unit
usaha.
Kerajinan tenun troso, mampu menghasilkan volume produksi
(tahun 2005) sebanyak 3.108.780 m/tahun dengan nilai produksi
Rp. 54.403.650.000,- dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak
1.816 orang. Skala usaha pengrajin sangat bervariasi dari yang
mempunyai 10 mesin s.d 100 mesin.
Bahan baku tenun troso adalah benang (sutra, katun) dan zat
pewarna yang didapat dari tengkulak. Untuk benang sutra diimpor
dari Cina karena sutra Cina memiliki kualitas yang lebih bagus
dibanding sutra lokal. Untuk benang katun diperoleh dari India.
Produk yang dikembangkan antara lain, taplak meja, sprei/selimut,
gordin akar wangi, kemeja pria, baju wanita dan kain sutra.
43
Produk tenun troso selain dipasarkan ke Bali dan Jakarta,
juga di ekspor ke Australia dan Spanyol. Permintaan dari pembeli
luar negeri tidak kontinu namun biasanya tergantung musim (pada
musim panas permintaan sarung pantai sangat tinggi) dengan volume
yang cukup besar.
Sistem pembayaran penjualan produk antara lain dilakukan
dengan cara tunai, sistem jatuh tempo (pengrajin dibayar dengan
Bilyet Giro yang dapat dicairkan 2-3 bulan kemudian) dan sistem
konsinyasi. Untuk ekspor, sistem pembayarannya dengan tunai,
bahkan kadang diberikan uang muka sebagai modal awal. Profit
marjin yang diperoleh pengrajin berkisar 10-20%. Untuk motif baru
biasanya dapat diperoleh marjin yang lebih tinggi.
b. Potensi Klaster
Klaster tenun troso ini mempunyai potensi untuk dikembangkan,
ditinjau dari aspek:
i. Klaster tenun troso berorientasi pada konsumen, oleh karena
itu motif dan jenis bahan mengikuti selera pasar. Kemauan
dan kemampuan untuk mengikuti perubahan selera pasar
menjadi modal untuk mampu berkembang dan potensi untuk
berkelanjutan.
ii. Pemasaran produk, sudah memiliki jalur pemasaran yang
dirintis sejak lama sehingga pasarnya sudah pasti. Bahkan
walaupun tidak kontinu, klaster ini mempunyai pasar baik di
dalam maupun di luar negeri. Dalam perkembangnya, pasar
ekspor masih terbuka.
iii. Teknologi penenunan relatif lebih maju dibanding
daerah lain yang memproduksi tenun, yang dapat
diidentifikasi dari kehalusan hasil tenun troso tersebut.
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Ketersediaan bahan baku
44
Bahan baku utama tenun troso adalah benang. Benang ini
sebagian besar diimpor dari Cina. Sedangkan untuk bahan baku
lokal diperoleh dari tengkulak, akibatnya UMKM pada klaster
ini tidak memperoleh kepastian persedian bahan baku. Dengan
demikian harga bahan baku pun relatif tinggi sehingga
mempertinggi biaya produksi. Bahan baku tersebut diperoleh
dari luar Jepara, yaitu dari Bandung, Surakarta dan Surabaya.
ii. Permodalan
Modal usaha UMKM relatif terbatas, hanya mampu membuat proses
produksi dalam waktu singkat. Sedangkan perolehan kembali
(penjualan) membutuhkan waktu lebih lama, sehingga biaya usaha
pun menjadi besar. Akibatnya jika memperoleh pesanan yang
besar dalam waktu singkat, UMKM tidak mampu memenuhi. Ini
berarti kesempatan memperoleh keuntungan dan kesempatan
memperluas pasar pun menjadi terbatas.
iii. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Oleh karena tenun troso selalu mengikuti selera konsumen, maka
memerlukan tingkat kreativitas tinggi untuk mendisain motif
maupun produk akhir. Sejauh ini penghargaan terhadap hak cipta
motif dan produk belum dilakukan. Hal ini mengakibatkan
peniruan (penjiplakan) dan persaingan harga yang tidak sehat.
Sebagai contoh: UMKM yang melakukan peniruan menjual dengan
harga yang lebih rendah dari UMKM yang telah menciptakan motif
dan produk baru tersebut. Jika ini dibiarkan, akhirnya UMKM
tidak terdorong untuk berkreasi dan berinovasi, bahkan
cendurung hanya bersaing harga saja. Kondisi tersebut akan
menghantarkan klaster ini menjadi klaster yang statis/tidak
berkembang.
iv. Lingkungan
Disadari bahwa industri tenun menggunakan bahan-bahan kimia
yang dapat mencemari lingkungan, terutama pada penggunaan zat
warna. Saat ini limbah zat warna tersebut sudah dirasakan
menggangu baik oleh masyarakat maupun lingkungan sekitarnya.
45
Dengan demikian, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk
mengelola limbah agar lebih ramah terhadap lingkungan.
4.3.4. Klaster Pertanian Hortikultura (Jambu Air) di Kabupaten
Demak
a. Gambaran umum
Di Kabupaten Demak terdapat beberapa klaster hortikultura yaitu :
i. Jambu Air Merah Delima
ii. Jambu Air Citra
iii. Belimbing
iv. Kelengkeng Dataran rendah
Dari beberapa klaster tersebut yang menjadi prioritas
pengembangan saat ini adalah klaster jambu air merah delima.
Tanaman ini telah dibudidayakan oleh masyarakat sejak kurang
lebih 15 – 20 tahun silam. Lokasi pengembangan jambu air merah
delima tersebar di desa-desa Betokan, Cabean, Tempuran dan
beberapa desa lain di wilayah Kecamatan Demak Kota (ada sekitar 8
desa). Jumlah petani yang mengusahakan jambu air jenis ini kurang
lebih 5.656 orang.
Disamping petani jambu air, terdapat pelaku UMKM lain yaitu
yang menyediakan bibit, pemasaran buah, pengadaan buah/pengepul,
pemasaran buah besar, penyedia Saprotan, dan penyedia pupuk
kandang.
Sebagian besar tanaman jambu air dibudidayakan oleh petani
dengan skala rumah tangga (3-5 batang). Secara keseluruhan, saat
ini terdapat 70.000 tanaman Jambu Air Merah dengan kondisi 60%
siap berbuah dan sisanya tanaman remaja.
Hasil panen buah jambu air dipasarkan ke kota-kota besar,
antara lain ke Jakarta, Surabaya, Semarang, Jepara. Sejauh ini
pemasaran hasil produksi budidaya jambu air dilakukan oleh
pedagang pengumpul. Akibatnya petani tidak mempunyai kesempatan
46
untuk memperoleh harga yang pantas. Dalam hal ini petani lebih
banyak menerima apa adanya penawaran dari pedagang pengumpul di
daerahnya.
Sistem penjualan hasil dengan pedagang pengumpul dilakukan
dengan cara jual putus. Harga jual per buah jambu air merah
delima adalah antara Rp100,00 –Rp 400,00.
Produktivitas tanaman yang terdapat di lokasi klaster
adalah ± 40%. Tingkat produkvitas tersebut memberi kontribusi
pendapatan setiap musim panen sebesar ± Rp.600.000,00 -
1.000.000,00/pohon.
b. Potensi Klaster
Klaster pertanian hortikultura jambu air merah delima ini
mempunyai potensi untuk dikembangkan, ditinjau dari aspek:
i. Kesesuaian lahan di wilayah klaster mendukung pengembangan
budidaya pertanian jambu air merah delima
ii. Harga jual produk hortikultura relatif baik
dibandingkan produk tanaman pangan lainnya.
iii. Kualitas hasil produksi jambu air ini realtif lebih
baik dibanding dengan daerah lain.
iv. Pertumbuhan permintaan (demand) jambu air menunjukkan
peningkatan, hal ini menjadi indikator minat masyarakat
terhadap hasil jambu air merah delima cukup tinggi.
v. Teknologi yang digunakan untuk melakukan budidaya jambu air
di wilayah klaster relatif sederhana. Ini mendorong hampir
sebagian besar masyarakatnya mempunyai pohon jambu dengan
skala rumah tangga (3-5 batang) ataupun skala pekarangan
(10 – 15 batang). Oleh karena itu, kenaikan harga jual
jambu air akan memberi kontribusi positif terhadap
pendapatan masyarakat/UMKM
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Sumber daya manusia
47
Pengetahuan ataupun keterampilan penanganan buah pasca
panen belum dikuasai dengan baik dan menjadi perhatian
pelaku pembudidaya (UMKM), antara lain dalam hal :
a). cara sortasi buah yang tepat dan baik,
b). tepat dalam memelihara dan menyeleksi buah sebelum
dibungkus,
c). teknologi pasca panen : pengepakan buah dengan kemasan
yang baik sehingga tidak mudah rusak dalam perjalanan dan
tahan lama
Penangan paska panen yang tidak optimal menyebabkan
kualitas buah menurun dan lebih lanjut menyebabkan harga
jual yang diperoleh pun relatif rendah
ii. Pemasaran
Pedagang pengumpul menjadi ujung tombak pemasaran hasil
budidaya. Petani tidak mempunyai akses untuk mengetahui
perkembangan harga jambu air merah delima. Karenanya agar
nilai tambah petani meningkat, maka perlu dibukakan akses
ke pasar. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan
sistem pemasaran bersama. Hal ini selain menaikan posisi
tawar petani, sekaligus untuk menjaga agar harga buah pada
saat panen tidak turun.
iii. Permodalan
Kebutuhan modal untuk budidaya jambu air merah delima
umumnya berasal dari petani sendiri. Untuk meningkatkan
produktivitas pohon jambu air maka perlu dilakukan
pemeliharaan yang intensif. Modal untuk melakukan
pemeliharaan inilah yang perlu memperoleh layanan pinjaman.
Selain itu, kebutuhan dana pinjaman diperlukan untuk
membeli hasil panen jambu air di tingkat petani. Pembelian
hasil panen akan membantu petani memperoleh nilai tambah
dari harga penjualan yang lebih baik (dibandingkan dari
tengkulak)
48
4.3.5. Klaster Pertanian Organik di Kabupaten Semarang
a. Gambaran umum
Pertanian organik diusahakan di Desa Ketapang, Desa Timpik
dan Desa Sidoharjo, Kabupaten Semarang. Jenis pertanian organik
yang dibudidayakan adalah padi organik.
Untuk mendukung pertanian organik, dikembangkan pula pembuatan
pupuk organik, pestisida organik/agensia hayati, penanaman sayur
organik dan pembuatan jamur tiram. Usaha pendukung ini tersebar
di Desa Ketapang dan Desa Sumowono.
Petani-petani yang tergabung dalam klaster ini telah
membentuk kelompok tani yang diberi nama Al – Barokah. Jumlah
petani yang tergabung dalam kelompok adalah 247 orang dengan luas
areal 45,6 ha. Luas areal tersebut dibagi menjadi 3 wilayah
pertanian yaitu 9 ha untuk pertanian anorganik, 22,6 ha semi
organik dan 14 ha organik. Perbedaan tersebut dilakukan selain
untuk memenuhi permintaan juga belum semua petani bersedia untuk
mengkonversikan ke pertanian organik. Hal ini karena pada
pertanian organik kapasitas produksi akan turun 30% meskipun
harga produk lebih tinggi. Kapasitas untuk produksi padi organik
sebanyak 3 – 5 ton/bulan.
Pemasaran produk cukup lancar yang dilakukan melalui :
a). Penjualan langsung kepada pengecer untuk komoditi padi
dan jamur
b). Kerjasama pihak ketiga kepada pembeli yang berada di
Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Bogor dan Bekasi, melalui
Indorice di Bogor, PT. Facet Natra Indonesia, Koperasi
pemerintah dan supermaket. Juga saat ini sudah dilakukan
kerjasama dengan Singapura yaitu pengiriman rutin sebanyak
2 ton per bulan padi organik.
Keuntungan di tingkat petani dengan menjual beras organik
bersekitar ± Rp 150,- per kgnya. Ini lebih baik mengingat untuk
49
padi anorganik sangat sulit untuk memperoleh keuntungan Rp 50,-
per kg.
Diinformasikan juga bahwa forum rembuk klaster telah
mempunyai Koperasi Primer Serba Usaha dengan nama Gardu Tani Al-
Barokah.
b. Potensi Klaster
Klaster pertanian organik ini mempunyai potensi untuk
dikembangkan, ditinjau dari aspek:
i. Harga produk organik yang relatif lebih tinggi dari produk
sejenis yang anorganik dapat menjadi daya tarik bagi petani
untuk beralih menjadi petani organik.
ii. Makin meningkatnya konsumen yang menggunakan produk
organik. Hal ini didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat
yang meningkat terhadap kesehatan dengan gaya hidup ”back
to nature”.
iii. Produk beras organik sudah memperoleh sektifikat dari
dinas terkait dan pemerintah daerah. Setifikat ini dapat
menjadi pendorong harga jual dari produk organik yang
dihasilkan oleh klaster tersebut.
iv. Pertanian organik yang dilakukan sudah mulai
diintegrasikan dengan sarana produksi pertanian organik
(pupuk, pestisida, bibit dll), yang akan menjamin mutu
produk organik. Dengan demikian budidaya padi dari hulu
sampai hilir dilakukan secara organik
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Keterbatasan lahan dan tingkat kesadaran petani
Meskipun wilayah di lokasi bersangkutan mempunyai potensi
untuk melakukan intensifikasi pertanian organik tetapi
tidak mudah mengajak petani untuk beralih cara budidaya
dari anorganik. Oleh karena itu agar petani tertarik, maka
dikembangkan pertanian semi organik.
50
ii. Bahan baku dan Teknologi
Bahan baku untuk pembuatan pupuk organik masih terbatas
(jumlah ternak terbatas) dan teknologi yang digunakan masih
tradisional. Demikian juga bahan baku dan teknologi yang
digunakan untuk pembuatan pestisida organik atau disebut
sebagai agensia hayati masih terbatas. Meskipun sudah mulai
dirintis laboratorium sederhana untuk pembuatan pupuk dan
pestisida organik, tetapi secara ekonomis masih belum
mencukupi.
iii. Pemasaran
Promosi penggunaan produk organik akan sangat mendorong
pengembangan dan perluasan usaha pertanian organik.
iv. Permodalan
Kebutuhan modal yang mendesak untuk para petani organik
adalah dana sewa lahan agar dapat mencapai skala ekonomis
usaha tani (padi) dan dana pengadaan sarana produksi
pertanian. Saat ini koperasi hanya bisa melayani kebutuhan
pinjaman sebesar Rp. 100.000,-/petani, jumlah tersebut jauh
dari kebutuhan modal sesungguhnya untuk usaha taninya. Oleh
karena itu untuk meningkatkan produktivitas usaha tani
perlu diupayakan peningkatan kapasitas koperasi dalam
memberikan pinjaman.
4.3.6. Klaster Pertanian Terpadu di Kabupaten Klaten
a. Gambaran umum
Klaster di Kabupaten Klaten ini merupakan klaster pertanian
terpadu, yang meliputi kegiatan pertanian, perikanan dan
peternakan. Klaster ini terletak di daerah lereng Gunung Merapi
bagian timur yang memiliki ketinggian 450 – 1000 dpl, dengan
curah hujan rata-rata 195,8 mm/th. Penggunaan lahan yang
dimanfaatkan adalah lahan tegalan/ladang, pekarangan dan hutan.
51
Lokasi untuk kegiatan pengembangan pertanian terpadu
sebanyak 8 kelompok di 4 kecamatan yaitu Kec. Manis Renggo, Kec.
Kemalang, Kec. Tulung, Kec. Wedi, Kec. Klaten Utara. Pelaku yang
terlibat dalam klaster kurang lebih 300 KK.
Produk tanaman pertanian yang dipilih adalah hortikultura
(cabe, bunga kol, daun bawang). Adapun pertimbangannya adalah
memiliki keuntungan yang tinggi dibandingkan padi, dapat menarik
generasi muda untuk melakukan budidaya hortikultura. Omset cabe
merah di Klaten per tahun mencapai Rp225 miliar. Sedangkan untuk
peternakan dipilih sapi agar dapat menghasilkan pupuk kandang.
Sistem tanam petani saat ini dengan tumpangsari (cabe, bunga kol,
kopi).
Pemasaran produk masih bersifat tidak langsung dengan
melalui perantara (tengkulak, pengepul, pedagang). Penjualan
produk ke tengkulak sangat merugikan petani karena harga selalu
lebih rendah dibandingkan perantara lainnya. Oleh pedagang
perantara produk sayuran dibawa ke Pasar Kramat Jati, Jakarta.
b. Potensi Klaster
Klaster ini mempunyai potensi untuk dikembangkan, ditinjau dari
aspek:
i. Harga jual produk pertanian untuk jenis hortikultura
relatif cukup tinggi, terlebih jika melakukan pengaturan
masa tanam sehingga kelebihan produksi bisa di antisipasi
ii. Kesesuaian lahan untuk pertanian jenis hortikultur
memberi kesempatan untuk meningkatkan produktivitas
penggunaan lahan.
iii. Pasar untuk produk hortikultura masih terbuka,
sehingga memberi kesempatan untuk memperluas areal
budidaya.
iv. Pengelompokan petani merupakan pendekatan yang
strategis untuk mencapai skala ekonomi bagi usaha pertanian
agar dapat mencapai keuntungan yang maksimal. Dengan
52
demikian, petani akan dapat merasakan nilai tambah dari
hasil usahanya, lebih lanjut akan dapat meningkatkan
kesejahteraannya.
c. Kebutuhan Pengembangan
i. Sumber daya manusia
Minat generasi muda terhadap pertanian sangat berkurang, hal
ini karena:
a). Banyak lapangan pekerjaan lain yang lebih mudah dengan
upah yang lebih baik
b). Resiko usaha di pertanian sangat tinggi
c). Pertanian hanya akan menguntungkan jika mempunyai luas
lahan lebih dari 1 ha, kenyataannya rata-rata kepemilikan
lahan tidak lebih dari 0,25 ha per rumah tangga petani.
d). Tidak ada gengsi/kebanggaan terhadap pekerjaan bertani
ii. Teknologi
Teknologi yang dimaksud adalah:
a). Pengembangan teknologi pengolahan pasca panen
mengingat produk pertanian bersifat mudah rusak/busuk
sehingga perlu segera dilakukan pengolahan agar nilai
tambah yang diperoleh pun meningkat.
b). Teknologi pengendalian hama dan penyakit terpadu, saat
ini kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih rendah
akibat adanya serangan hama dan penyakit.
iii. Pemasaran produk
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemasaran hasil produk
pertanian mengandalkan keberadaan pedagang pengumpul. Petani
tidak mempunyai akses langsung ke konsumen, tidak mengetahui
perkembangan harga. Akibatnya, saat panen raya harga komoditas
pertanian cenderung menurun. Oleh sebab itu perlu dilakukan
upaya untuk membuka akses petani terhadap informasi pasar agar
diperoleh nilai tambah dan posisi tawar petani juga meningkat.
iv. Kelembagaan petani
53
Meskipun petani sudah mempunyai forum rembuk klaster, tetapi
sifatnya masih baru sehingga masih membutuhkan upaya penguatan
kapasitas baik forumnya maupun pengelolanya.
v. Permodalan
Sampai saat ini belum ada petani yang mendapat pembiayaan dari
bank. Hal ini dikarenakan perbankan lokal belum bersedia untuk
masuk ke sektor pertanian mengingat resikonya yang tinggi.
Oleh sebab itu, untuk mengembangkan sektor pertanian maka
perlu skim pembiayaan yang dapat mengakomodir resiko di sektor
ini.
54
BAB V
ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENGEMBANGAN KLASTER
Klaster yang terdapat di Jawa Tengah lebih cenderung
disebut sebagai lokus (tempat) ekonomi, namun demikian lokus –
lokus tersebut berpotensi untuk berkembang menjadi klaster yang
aktif. Untuk mengembangkannya menjadi klaster yang aktif, maka
faktor-faktor penentu klaster aktif - dinamis perlu dikaji lebih
lanjut. Dalam hal ini, faktor-faktor penentu merujuk dari
definisi yang telah diuraikan oleh Michael Porter berupa diamond
model (model berlian) yang oleh JICA dilengkapi dengan faktor
social capital (modal sosial). Berikut ini disampaikan gambaran
tentang faktor penentu yang membentuk klaster, di enam sampel
klaster di Jawa Tengah.
5.1. Faktor-faktor yang dipersyaratkan/input (factor conditions)
Faktor-faktor yang dipersyaratkan antara lain meliputi
ketersediaan bahan baku, teknologi (termasuk mesin dan
peralatan), sumber daya alam, sumber daya manusia dan keuangan
(modal).
Secara garis besar faktor-faktor yang dipersyaratkan pada
klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:
Faktor – faktor yang Dipersyaratkan Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif
Batik Lasem – Rembang
a. Bahan baku tergantung pada industri tekstil.
b. Sumber daya alam terutama air merupakan faktor yang mendukung, karena batik Lasem sangat terkenal akan warna merahnya yang tidak bisa dibentuk dengan teknik pewarnaan. Warna tersebut terjadi karena pengaruh air setempat.
a. Masing-masing pengusaha membeli bahan baku ke pemasok sendiri-sendiri. Akan lebih ekonomis jika dilakukan bersama-sama. Hal ini juga akan membantu untuk mengamankan ketersediaan bahan baku (lebih dari satu alternatif sumber bahan baku baik pemasok/pabrik tekstil).
b. Motif tradisional untuk kebutuhan koleksi dan seni
55
c. Desain masih tradisional.
d. Tenaga kerja terampil terbatas.
e. Modal pinjaman dibutuhkan pada saat-saat pesanan memuncak seperti menjelang hari besar.
memang bagus, tetapi untuk masuk pada pasar komersial haruslah mengakomodir taste dari konsumen luas.
c. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.
Mebel akar jati Jiken – Blora
a. Bahan baku (BB) akar jati banyak tersebar di hutan sekitar lokasi klaster.
b. Teknologi sudah menggunakan mesin.
c. Keterampilan tenaga kerja sebatas dari desain gambar atau contoh produk.
d. Modal pinjaman dibutuhkan untuk membeli alat dan bahan baku.
a. Ketersediaan BB dalam jangka pendek memang berlimpah. Yang perlu diantisipasi adalah ketersediaan BB untuk jangka panjang yang diwujudkan dengan kerjasama formal baik dengan LMDH/perhutani.
b. Meningkatkan keterampilan untuk mendisain produk melalui keterampilan gambar sehingga akan dapat melakukan inovasi maupun kreativitas terhadap produknya.
c. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.
Pertanian padi organik-Semarang
a. Bahan baku seperti bibit dan pupuk organik masih terbatas.
b. Luas tanam untuk intensifikasi pertanian terbatas.
c. Sumber air irigasi sejauh ini mencukupi.
d. Teknologi bercocok tanam dibatasi oleh areal tanam sehingga penggunaan mekanisasi kurang efesien.
e. Modal pinjaman dibutuhkan untuk intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian.
a. Meskipun produk organik mulai dikenal di masyarakat tetapi masih sedikit masyarakat yang berminat untuk menggunakannya sehingga dibutuhkan promosi dan advokasi lebih intensif.
b. Sepanjang petani belum merasakan keuntungan secara signifikan dari pertanian organik, maka penambahan luas tanam dan kemauan untuk bercocok tanam organik pun akan terbatas.
c. Mengingat komoditi padi merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dan mengingat
56
pula lebih banyak petani buruh dan petani lahan sempit maka perlu skim pembiayaan yang khusus untuk mendorong sektor pertanian. Tetapi tetap diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.
Tenun troso – Jepara
a. Bahan baku utama (benang) masih tergantung pada impor yang sering mengalami kelangkaan.
b. Modal untuk pembelian bahan baku masih kurang.
c. Teknologi yang digunakan masih sederhana berupa alat tenun bukan mesin.
a. Masing-masing pengusaha membeli bahan baku ke pemasok sendiri-sendiri. Akan lebih ekonomis jika dilakukan bersama-sama.
b. Membutuhkan modal pinjaman yang cukup besar untuk membeli bahan baku. Hal ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga keuangan bank.
Hortikultura –Demak
a. Budidaya masih dilakukan pada skala rumah tangga.
b. Kondisi iklim dan tanah cocok untuk pengembangan jambu air.
c. Teknologi produksi dan paska panen masih sederhana.
d. Modal yang cukup besar dibutuhkan untuk modal kerja (perawatan tanaman) dan pemasaran bersama.
a. Perlu diberikan pengetahuan produksi (pengaturan waktu tanam) dan paska panen (sortasi,pengemasan produk) untuk meningkatkan pendapatan petani dan peningkatan kualitas.
b. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal.
Hortikultura –Klaten
a. Kondisi lahan dan iklim sesuai untuk pengembangan hortikultura.
b. Luas lahan yang dimiliki oleh petani untuk intensifikasi masih terbatas (kurang dari 1ha).
c. Perlu pengembangan teknologi paska panen dan teknologi pengendalian hama.
a. Diperlukan kerjasama dengan universitas atau dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan teknologi paska panen dan pengendalian hama kepada petani.
b. Keterbatasan luas lahan dapat diatasi dengan peningkatan produktivitas tanaman.
57
5.2. Faktor Permintaan (Demand Conditions)
Faktor permintaan yang dimaksud melibatkan pembeli
(konsumen) dan kualitas pasar. Konsumen dalam hal ini meliputi
konsumen akhir (pengguna langsung), perusahaan pembeli (sub
kontrak), pedagang seperti agen dan grosir. Sedangkan kualitas
pasar yang diharapkan adalah pasar yang menuntut kualitas produk.
Secara garis besar faktor permintaan pada klaster yang
dikunjungi di Jawa Tengah adalah:
Faktor Permintaan Jenis
Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif Batik Lasem – Rembang
a. Pasar yang meminati Batik Lasem masih terbatas pada konsumen akhir yang memang menyukai batik.
b. Peluang pasar yang lebih luas belum bisa dijajagi mengingat keterbatasan dalam hal faktor-faktor yang dipersyaratkan.
Produk masal untuk pasar yang lebih luas akan menjadi alternatif untuk mengembangkan klaster batik seperti klaster Pekalongan, Solo maupun Yogyakarta.
Mebel akar jati Jiken – Blora
a. Pasar ekspor yang dimasuki merupakan perusahaan pembeli, pengusaha belum mempunyai informasi tentang pasar ekspor.
b. Pasar lokal juga masih tergantung dengan pedagang perantara.
Informasi yang lengkap tentang pasar yang dituju akan membantu untuk mendorong pelaku klaster berinovasi misalnya membuat disain sendiri yang mempunyai peluang diminati konsumen.
Pertanian padi organik-Semarang
Pasar produk organik masih sangat terbuka, mengingat trend hidup sehat back to nature makin disadari terutama oleh masyarakat perkotaan yang memang daya belinya menjangkau harga premium produk tersebut.
Terus meningkatkan teknis produksi agar penurunan produksi untuk produk organik dapat diatasi sehingga akan menarik minat petani untuk beralih kepada budidaya organik.
Tenun troso - Jepara
Pasar tenun troso masih terbuka baik pasar dalam
Informasi yang lengkap tentang pasar yang dituju
58
negeri maupun pasar ekspor.
akan membantu untuk mendorong pelaku klaster berinovasi mengikuti trend/selera konsumen.
Hortikultura -Demak
a. Pasar jambu air masih terbuka namun belum dapat menjangkau ke daerah yang lebih jauh karena sifat produk yang mudah busuk.
b. Permintaan menunjukkan peningkatan.
Diperlukan akses ke pasar yang lebih luas dan promosi lebih sering untuk mengenalkan jambu air merah delima karena selama ini produk hortikultura yang terkenal dari Demak adalah belimbing.
Pertanian Terpadu- Klaten
a. Pemasaran masih terbuka luas.
b. Pemasaran produk masih tergantung pada pedagang pengepul, sehingga petani tidak mengetahui perkembangan harga.
Diperlukan informasi lengkap tentang pasar (membuka akses informasi pasar kepada petani), sehingga petani mempunyai bargaining position terhadap pedagang perantara.
5.3. Faktor strategi, Struktur perusahaan dan Pesaing (Firm Startegy, structure and rivalry)
Faktor strategi, struktur perusahaan dan pesaing meliputi
jaringan internal antar pelaku UMK maupun dengan pelaku hulu –
hilirnya, tindakan bersama yang dapat mengefisiensikan biaya
produksi maupun untuk memenuhi kelayakan ekonomis, serta derajat
spesialisasi dalam proses produksi usaha yang bersangkutan.
Secara garis besar faktor strategi, struktur perusahaan dan
pesaing pada klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:
Faktor strategi, Struktur perusahaan dan
Pesaing Jenis Klaster
Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif Batik Lasem - Rembang
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum
a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat menghadapi pasar yang lebih luas.
b. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur
59
teridentifikasi c. Belum ada tindakan
bersama yang dapat meningkatkan daya saingnya.
d. Persaingan terjadi dalam hal harga sehingga yang berkembang persaingan tidak sehat antar pelaku.
e. Semua proses produksi dilakukan oleh setiap pelaku.
distribusinya. c. Tindakan bersama untuk
bahan baku dan pemasaran perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi dan pemarasan sehingga meningkatkan daya saing produknya.
d. Diarahkan untuk bersaing dalam hal kualitas dalam pasar bebas (bukan persaingan antar pelaku UMKM dalam klaster).
e. Spesialisasi pada proses produksi akan meningkatkan kapasitas produksi. Ini dapat dilihat di klaster Batik yang sudah maju ada bagian pewarnaan, pemotongan, penjahitan dst.
Mebel akar jati Jiken - Blora
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum teridentifikasi.
c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saingnya.
d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.
e. Semua proses produksi dilakukan oleh setiap pelaku.
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah cukup kuat karena jumlahnya relatif masih sedikit. Perlu diantisipasi ketika klaster ini pelakunya berkembang.
b. Jaringan internal antar pelaku antar klaster yang sejenis belum ada, setiap wilayah berkembang sendiri-sendiri meskipun dalam cakupan pendampingan satu Business Development Service (BDS).
c. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur pemasaran sehingga terbuka peluang yang lebih besar.
d. Tindakan bersama untuk bahan baku dan pemasaran perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi dan pemarasan sehingga meningkatkan daya saing produknya.
e. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.
60
f. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi dalam proses produksi untuk efesiensi biaya dan waktu dengan mengembangkan standar kualitas tiap prosesnya.
Pertanian padi organik-Semarang
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum teridentifikasi.
c. Tindakan bersama sudah dirintis melalui penyediaan bibit, pupuk dan pestisida organis serta penjualan produk dalam bentuk koperasi.
d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.
e. Budidaya padi dilakukan oleh petani, penjualan dilakukan oleh koperasi, sedangkan untuk bibit, pupuk, pestisida masih bersifat bantuan teknis dari pengurus (belum dalam bentuk badan usaha sendiri).
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah cukup kuat karena jumlahnya relatif masih sedikit. Perlu diantisipasi ketika klaster ini pelakunya berkembang.
b. Jaringan internal antar pelaku antar klaster yang sejenis sudah ada, karena pertanian ini diperluas tidak saja di desa setempat
c. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk jalur pemasaran. Bila jumlah pelaku yang sedikit masih bisa diatasi, tetapi dalam jumlah besar perlu diantisipasi mengingat jalur pemasaran beras telah dikuasai oleh pihak tertentu.
d. Tindakan bersama pemasaran harus terus diperkuat untuk mengatisipasi produksi yang meningkat.
e. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.
f. Dikembangkan diversifikasi produk yang berkelanjutan dengan memperhatikan pola tanam (bukan musiman).
Tenun troso - Jepara
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum
a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan efisensi produksi.
b. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur
61
teridentifikasi. c. Belum ada tindakan
bersama yang dapat meningkatkan efisensi produksi.
d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.
e. Semua proses produksi dilakukan oleh masing-masing pelaku.
distribusinya. c. Tindakan bersama untuk
pembelian bahan baku perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi.
d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.
Hortikultura –Demak
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir sudah ada namun masih bekerja secara individual.
c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saing.
d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.
e. Budidaya jambu air dilakukan oleh petani.
a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan daya saing.
b. Perlu kerjasama diantara pelaku hulu-hilir.
c. Tindakan bersama untuk pemasaran perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan daya saing.
d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.
Pertanian Terpadu- Klaten
a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.
b. Jaringan internal dengan hulu (penyedia saprodi) sudah ada.
c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saing.
d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.
e. Budidaya padi dilakukan oleh petani, penjualan dilakukan oleh koperasi, sedangkan untuk bibit, pupuk,
a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan daya saing.
b. Kerjasama dengan pelaku hulu (penyedia saprodi) perlu ditingkatkan.
c. Tindakan bersama untuk pemasaran perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan daya saing.
d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.
62
pestisida masih bersifat bantuan teknis dari pengurus (belum dalam bentuk badan usaha sendiri).
5.4. Faktor Industri-industri terkait dan pendukung
(Related and Supporting Industries)
Faktor Industri-industri terkait dan pendukung yang
dimaksud melibatkan pemerintah dan instansi-instansi terkait baik
pusat maupun daerah dan lembaga pendukung. Lembaga pendukung ini
meliputi lembaga penelitian seperti universitas atau institusi
terkait, BDS dan asosiasi.
Secara garis besar faktor Industri-industri terkait dan
pendukung pada klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:
Faktor Industri-industri terkait dan pendukung Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif
Batik Lasem - Rembang
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) di tingkat provinsi dan Forum for Economic Development and Employment Promotion (FDEP) di tingkat kabupaten.
b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat
c. Sudah dijajagi dengan institusi penelitian seperti Universitas maupun instutusi swasta seperti Institute
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan sekaligus menjadi pendorong untuk melakukan/membentuk forum rembuk klaster. Umumnya pengusaha sulit disatukan terutama jika pengusaha tersebut sudah besar dan kuat, peran pemerintah dapat ”memaksa” pengusaha tersebut untuk bergabung sehingga transfer pengalaman dapat diciptakan.
b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.
63
Pluralism Indonesia (IPI.)
d. Belum terlihat keterlibatan dengan asosiasi usaha.
c. Mengembangkan lembaga penelitian yang berorientasi pasar (bukan hanya akademis) sehingga dapat menunjang perkembangan klaster.
d. Menghadirkan asosiasi sehingga dapat memperoleh informasi pasar yang lebih luas, fasilitas promosi dsb.
Mebel akar jati Jiken - Blora
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.
b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.
c. Belum terlihat keterlibatan dengan asosiasi usaha.
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.
b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.
c. Menghadirkan asosiasi sehingga dapat memperoleh informasi pasar yang lebih luas, fasilitas promosi dsb.
Pertanian padi organik-Klaten
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten
b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.
c. Sudah dijajagi dengan institusi penelitian seperti Universitas.
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif
b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.
c. Mengembangkan lembaga penelitian yang berorientasi pasar (bukan hanya akademis) sehingga dapat menunjang perkembangan klaster.
Tenun troso - Jepara
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait
64
terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.
b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.
c. Sudah dijajagi dengan asosiasi Mode Indonesia untuk membina mengenai disain.
sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.
b. Keterlibatan pemerintah daerah agar tenun troso mendapatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
c. Meningkatkan kerjsama dengan perguruan tinggi atau dinas terkait untuk mengatasi permasalahan limbah.
d. Kerjasama dengan asosiasi perlu ditingkatkan.
Hortikultura -Demak
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.
b. Keterlibatan BDS pada klaster sudah ada dan sangat aktif mendorong pemberdayaan masyarakat.
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.
b. Perlu kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan teknologi paska panen.
Pertanian Terpadu- Klaten
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.
b. Keterlibatan BDS pada klaster sudah tersedia dan sangat aktif mendorong pemberdayaan masyarakat.
a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.
b. Perlu kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan teknologi paska panen dan pengendalian hama.
5.5. Faktor modal sosial (Social capital)
Yang dimaksud dengan modal sosial adalah nilai-nilai
kemanusian dan kemasyarakatan seperti saling percaya, jujur,
65
ikatan internal dan sejenisnya. Modal sosial ini dapat
ditumbuhkan melalui tindakan kolektif/bersama untuk kepentingan
bersama.
Di Indonesia modal sosial sangat strategis untuk membangun
klaster yang utuh. Ini mengingat klaster yang banyak tumbuh masih
terpisah, ditandai dengan persaingan tidak sehat diantara pelaku
usaha, hubungan hulu - hilir yang eksploitatif dan tingkat
kepercayaan yang rendah diantara mereka. Agar klaster dapat
bergerak aktif maka modal sosial perlu dilakukan revitalisasi.
Hal ini dapat dilakukan lebih cepat jika dalam klaster terdapat
pemimpin yang dapat diterima dan dipercaya oleh setiap pihak yang
berkepentingan.
Secara garis besar faktor modal sosial pada klaster yang
dikunjungi di Jawa Tengah adalah:
Faktor Modal Sosial Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif
Batik Lasem - Rembang
Ada keunikan dalam klaster Batik Lasem yaitu keterlibatan etnis cina dalam rembuk klaster. Pada satu sisi ini dapat menjadi pendorong jiwa entrepreneur bagi pengusaha lokal dengan menimba pengalamam dari pengusaha etnis cina yang terkenal sangat ulet dalam berusaha. Pada sisi lain, tingkat kepercayaan diantara pengusaha masih belum tumbuh. Ini dapat diketahui, pertemuan rembuk klaster akan ramai dihadiri oleh pengusaha jika pemerintah hadir pada acara tersebut, demikian juga masih subur perasaan curiga disainnya akan ditiru, persaingan harga juga terjadi diantara mereka.
Kemauan untuk tergabung dalam forum rembuk klaster dan koperasi harus terus diperkuat dengan menumbuhkembang- kan rasa saling percaya dan memiliki diantara pelaku. Mengingat peran pemerintah mampu mengkondisikan bergabungnya semua pengusaha, maka untuk tahap awal perannya perlu terus ditingkatkan sebagai fasilitator sampai rasa percaya tersebut dapat ditumbuhkan dan menemukan pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak.
Mebel akar jati Jiken – Blora
Modal sosial sudah tumbuh cukup kuat karena awalnya memang difasilitasi
a. Kepemimpinan Pak Kasio diakui oleh kelompoknya sehingga dapat menjadi
66
berdasarkan kelompok. Peran pemimpin yang kuat sangat berpengaruh. Pada wilayah ini Bapak Kasio sebagai pelopor dalam industri mebel menjadi tokoh yang dihormati. Kelompok yang terbentuk awalnya adalah pekerja di tempat pak Kasio kemudian mandiri sebagai pengusaha. Pak kasio menetapkan aturan kelompok untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat antara lain: ? Harga tidak boleh
lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkannya.
? Setiap pesanan yang datang akan dibagi kepada kelompoknya sesuai dengan kapasitas produksi per kelompok.
? Bahan baku harus memenuhi criteria pemesan (30% bahan baku dari total merupakan kualitas ekspor).
? Pengiriman pesanan dilakukan secara kolektif untuk menghemat biaya transportasi.
agen penyatu dalam klaster yang menumbuhkan kembali modal sosial.
b. Untuk jangka panjang
perlu untuk mempersiapkan regenerasi pimpinan agar modal sosial pun makin menguat.
Pertanian padi organik-Klaten
Modal sosial juga sudah ada, hal ini karena gerakan padi organik dilakukan dengan pendekatan kelompok dan menempatkan Bapak Basiron sebagai tokoh masyarakat untuk memulai perubahan dengan beralih ke pertanian organik.
Masyarakat agraris mempunyai modal sosial yang lebih tinggi dari pada masyarakat industri. Ini karena sifat pekerjaan agraris yang membutuhkan kerjasama antar petani dan sangat tergantung dengan alam membuat ikatan internal lebih terasa. Misalnya mereka harus bersatu dalam melakukan penanggulangan hama dan penyakit kalau tidak maka hama dan penyakit justru akan menghancurkan area
67
tanam semua petani.
Tenun troso – Jepara
Modal sosial dalam klaster belum kuat, karena klaster masih relatif baru dari yang sebelumnya berupa sentra.
Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu menumbuhkembangkan rasa kebersamaan untuk meningkatkan efisiensi produksi, terutama dalam pembelian bahan baku bersama. Untuk itu peran fasilitator dalam hal ini sangat penting untuk menyatukan para pengusaha.
Hortikultura –Demak
Modal sosial dalam klaster sudah cukup kuat, karena dukungan pemerintah daerah dan fasilitator klaster yang cukup kuat.
Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu untuk meningkatkan daya saing, terutama dalam pemasaran bersama. Peran fasilitator perlu ditingkatkan untuk menyatukan petani.
Pertanian Terpadu- Klaten
Modal sosial dalam klaster belum kuat, karena klaster masih relatif baru.
Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu untuk meningkatkan daya saing, terutama dalam pemasaran bersama. Untuk itu peran fasilitator dalam hal ini sangat penting untuk menyatukan para pengusaha.
Demikian dinamika faktor-faktor penentu klaster yang ada di
6 (enam) klaster Jawa Tengah yang dikunjungi. Perhatian
pemerintah dan instansi terkait sangat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan klaster baik dalam hal kebijakan, program prioritas
maupun infrastruktur yang dibutuhkan. Hal ini akan menjadi daya
tarik bagi industri besar untuk bergabung dalam klaster dan
menggerakan klaster menjadi aktif-dinamis.
68
BAB VI KAJIAN PEMBIAYAAN UNTUK PENGEMBANGAN KLASTER
Penyaluran pembiayaan kepada pelaku UMKM dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya
lembaga keuangan secara langsung memberikan layanan pembiayaan
kepada UMKM yang bersangkutan. Proses pembiayaan seperti
identifikasi, penilaian dan pemilihan calon nasabah dilakukan
oleh lembaga keuangan sendiri. Sedangkan cara tidak langsung
dilakukan melalui lembaga keuangan yang hanya berfungsi sebagai
sumber dana untuk disalurkan kepada pihak ketiga (lembaga
penyalur). Proses penilaian calon nasabah sampai pencairan dana
dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat diwakili baik
oleh perbankan ataupun Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).
6.1. SUMBER-SUMBER DANA DAN POLA PENYALURANNYA
6.1.1 Sumber dana
Pelaku UMKM yang berada di klaster di Jawa Tengah umumnya
sudah memperoleh akses pembiayaan baik dari sumber lembaga
keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank (termasuk dana-
dana APBN/APBD atau donor). Beberapa sumber dana dari perbankan
ternyata merupakan penempatan dana dari sumber non perbankan
seperti dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau
anggaran dinas teknis terkait.
Perbankan yang terlibat dalam pembiayaan klaster antara
lain Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Pembangunan Daerah
(BPD) yang dananya berasal dari penempatan dana dari sumber
Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan
lembaga/institusi non perbankan yang membiayai UMKM klaster
adalah koperasi, supplier (pemasok) dan dinas koperasi. Terdapat
dua sumber dana koperasi yaitu non perbankan (anggota
69
koperasi/dinas) dan dari perbankan (berupa pinjaman). Sumber dana
dinas koperasi berupa dana Modal Awal Padanan (MAP) yang
disalurkan baik melalui koperasi, atau bank maupun Lembaga
Keuangan Mikro (LKM).
6.1.2. Pola penyaluran dana
Penyaluran dana ke pelaku klaster yang sudah terjadi di
lapangan umumnya bersifat individual. Artinya pelaku individu
UMKM sendiri yang mengajukan kredit, melalui prosedur kelayakan
dan menyerahkan jaminan aset hak milik dan atau usahanya.
UMKM klaster yang telah mengakses sumber dana dari
perbankan adalah pelaku yang memiliki usaha sudah cukup lama
berkembang (bahkan beberapa di antaranya sudah melewati generasi
ke generasi) dan mampu memberikan jaminan aset.
Pola penyaluran dana kepada UMKM pada klaster-klaster di Jawa
Tengah secara garis besar dapat disampaikan 5 (lima) pola berikut
terms and conditionsnya yaitu:
a. Pola -1 Contoh klaster adalah klaster batik Lasem di Kabupaten Rembang.
Perbankan yang terlibat adalah Bank Rakyat Indonesia.
Terms and conditions kredit
1. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan atau Investasi
2. Plafon kredit Tergantung nilai agunan (nilai 70%-80% dari nilai agunan) dalam bentuk rekening koran
BANK Pelaku UMKM
Kredit
70
3. Suku bunga Pasar 4. Jangka waktu kredit 1 tahun 5. Waktu tenggang/GP - 6. Angsuran Sekaligus pada saat
jatuh tempo 7. Agunan Fisik 8. Kinerja Kredit Lancar
b. Pola -2
Contoh klaster adalah klaster mebel di Kabupaten Blora. Pada
pola- 2, dana dari APBD ditempatkan ke Bank Pembangunan Daerah
(BPD). Kemudian BPD menyalurkan ke Badan Kredit Kecamatan (BKK).
BKK langsung memberikan kreditnya langsung ke pelaku UMKM yang
sudah terseleksi. BKK ini berfungsi sebagai channeling bank.
Terms and conditions kredit
1. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan atau investasi
2. Plafon kredit 2 juta – 20 juta
3. Suku bunga Di bawah bunga pasar
4. Jangka waktu kredit
Maksimal 3 tahun
5. Waktu tenggang/GP
Maksimal 3 bulan
6. Angsuran Bulanan 7. Agunan Tidak mutlak 8. Kinerja kredit Lancar
c. Pola-3
Contoh klaster adalah pertanian organik di Kabupaten Semarang.
Pada pola- 3, dana dari APBD ditempatkan ke Bank (misalnya:
BPD). Kemudian bank menyalurkan ke Koperasi Sekunder. Koperasi
sekunder ini selanjutnya menyalurkan pembiayaan ke koperasi
APBD II
Bank (BPD) Pelaku
UMKM
Penempatan dana
Kredit
BKK Channeling
71
primer. Akhirnya koperasi primer inilah yang menyalurkan
pembiayaan langung ke pelaku UMKM yang dalam hal ini adalah
anggota koperasi.
Terms and conditions kredit
1. Jenis Kredit Kredit modal kerja (1)
Kredit modal kerja (2)
2. Plafon kredit
25 juta 200 ribu
3. Suku bunga Di bawah pasar Pasar 4. Jangka waktu
kredit 2 tahun Satu kali siklus
produksi 5. Waktu
tenggang/GP Sesuai dengan siklus produksi (pertanian)
Sesuai dengan siklus produksi (pertanian)
6. Angsuran Sekaligus setelah panen
Sekaligus setelah panen
7. Agunan - - 8. Kinerja Kredit
Lancar Lancar
d. Pola – 4
Contoh klaster adalah klaster tenun troso di Kabupaten Jepara.
Pada pola - 4, perbankan memberikan kreditnya ke pemasok
(supplier). Kemudian pemasok ini kemudian memberikan kredit dalam
bentuk natura (non capital) kepada UMKM yang membutuhkan
berdasarkan kapasitas pesanan produksinya. Dengan demikian,
pemasok mempunyai kepastian tentang pembayaran dari UMKMnya.
LKM LKM Anggota/UMKM
Supplier
UMKM
Kredit Kredit 2
Kredit
BANK
Channeling
Bank Kredi
72
Terms and conditions kredit 1. Jenis Kredit Natura untuk modal kerja
(bahan baku) 2. Plafon kredit Sesuai jumlah pesanan 3. Fee 10% per bulan 4. Jangka waktu kredit
1 bulan
5. Waktu tenggang/GP
-
6. Angsuran Sekaligus 7. Agunan (belum ditentukan) 8. Kinerja kredit Lancar
e. Pola – 5 MAP (Modal Awal Padanan) Contoh klaster adalah klaster batik Lasem di Kabupaten
Rembang. Pada pola - 5, sumber dana MAP (modal awal padanan)
berasal dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dana tersebut
disalurkan baik melalui koperasi (primer maupun sekunder)
ataupun lembaga keuangan (bank maupun non bank). Kondisi dan
persyaratan yang berlaku untuk MAP ini tergolong sebagai
sumber dana komersial.
LKM
UMKM MAP
Bank
73
Terms and conditions kredit 1. Jenis Kredit Modal kerja dan atau
investasi 2. Plafon kredit - 3. Suku bunga Pasar 4. Jangka waktu kredit
-
5. Waktu tenggang/GP - 6. Angsuran Bulanan 7. Agunan Fisik
6.2. Kebutuhan Pembiayaan untuk UMKM
Hasil wawancana dan diskusi baik dengan pelaku UMKM pada
klaster di Jawa Tengah, dengan narasumber fasilitator klaster,
maupun dengan departemen-departemen yang terkait dalam
pengembangan klaster, maka diperoleh kebutuhan pembiayaan yang
diharapkan oleh pelaku UMKM. Kebutuhan pembiayaan tersebut
mengedepankan tentang terms and conditions (kondisi dan
persyaratan) yang dapat membantu pengembangan usaha yaitu:
6.2.1. Masukan dari pelaku UMKM
Beberapa usulan/saran untuk pembiayaan dalam klaster dari
pelaku UMKM klaster di Jawa Tengah, antara lain:
a. Pembiayaan yang dibutuhkan umumnya akan digunakan sebagai
modal kerja (pembelian bahan baku, bibit, perawatan tanaman
dll).
b. Pola pembiayaan sebaiknya disesuaikan dengan sektor
ekonominya (sektor pertanian, sektor industri dll) karena
ternyata masing-masing sektor mempunyai ciri khas.
c. Sedangkan pembiayaan yang dibutuhkan oleh kelompok/klaster
digunakan antara lain untuk :
i. membeli hasil panen dari petani untuk dijual bersama
sehingga dapat meningkatkan bargaining position petani
ii. untuk meningkatkan produksi.
74
d. Sebagian besar klaster akan merintis Lembaga Keuangan Non
Bank yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) antara lain BMT.
Dengan terbentuknya LKM tersebut diharapkan mempermudah
pelaku UMKM untuk mengakses permodalan karena dibandingkan
bank persyaratannya lebih mudah, prosesnya cepat, dan
jangka waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
e. Persyaratan pinjaman yang diinginkan antara lain :
i. Terdapat grace period
ii. Pinjaman berupa stand by loan/rekening koran
iii. Pinjaman hendaknya diberikan melalui kelompok
6.2.2. Masukan dari Institusi dan Departemen Terkait
Beberapa usulan/saran untuk pembiayaan bagi UMKM dalam
klaster dari departemen dan institusi pemerintah yang terlibat
dalam pengembangan klaster, antara lain:
a. Sebaiknya pola pembiayaan tidak sama untuk semua jenis
klaster. Untuk klaster spesifik perlu juga dipertimbangkan
keterkaitannya dengan kebijakan stakeholders yang lain
(instansi-instansi yang terkait dalam klaster).
b. Pada sektor industri (dalam hal ini pada kasus industri
rotan), kebutuhan pembiayaan yang dirasakan adalah untuk
pembelian bahan baku. Agar industri rotan dapat berkembang
maka kesinambungan penyedian bahan baku perlu dipenuhi.
Industri ini paling tidak membutuhkan bahan baku untuk proses
produksi selama 2 (dua) tahun. Kebutuhan bahan baku ini
memerlukan pembiayaan sebesar kurang lebih Rp2-3 milyar.
Sejauh ini telah diupayakan untuk mengakses pembiayaan dari
perbankan (Mandiri maupun BRI). Namun skim pembiayaan
komersial yang ada belum dapat mengakomodir jumlah pembiayaan
yang besar. Hal ini dikarenakan kredit komersial yang tersedia
per individu terbatas jumlahnya. Untuk mengatasi hal tersebut,
75
Asosiasi mengajak anggota untuk mengakses bank secara bersama-
sama agar terpenuhi jumlah pembiayaan yang dimaksud.
c. Disarankan pola pembiayaan di sektor pertanian harus mempunyai
mekanisme yang jelas dan transparan dengan sistem bagi hasil
(mengingat usaha pertanian sangat tergantung dengan kondisi
cuaca dan faktor eksternal lainnya) serta ada keseimbangan
pembiayaan dari hulu ke hilir. Disamping itu perlu
diperhatikan pula ketepatan waktu pemberian kredit, jumlah
yang dibutuhkan serta pembayaran kredit dapat dilakukan
setelah panen.
d. Untuk menentukan pola pembiayaan pada klaster, maka perlu
dilakukan analisa rantai nilai dan kompetensi inti. Agar
klaster dapat berkembang maka pembiayaan pada industri inti
merupakan pilihan yang direkomendasikan. Dalam hal pemberian
pembiayaan melalui inti, maka fungsi bank hanya sebagai
channeling agent.
e. Namun demikian, pembiayaan melalui inti dikuatirkan akan
mengakibatkan distorsi. Oleh sebab itu, diusulkan pembiayaan
dilakukan melalui sebuah forum/holding yang terbentuk dalam
klaster yang memang diperuntukkan bagi kebutuhan
mengembangkan klaster yang bersangkutan. Dengan demikian tidak
terjadi tarik-menarik kepentingan antar pelaku-pelaku terkait.
f. Oleh karena inti pengembangan klaster adalah kebersamaan, maka
pembiayaan untuk klaster diusulkan dengan cara pembiayaan
bersama, misalnya untuk melakukan pembelian bahan baku
bersama, pemasaran produk bersama.
g. Sebenarnya pola pembiayaan untuk individu dan untuk klaster
tidaklah jauh berbeda, yang perlu ditingkatkan justru pada
aspek mekanisme penyalurannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah:
1. Kemudahan untuk mengakses pola pembiayaan tersebut, baik
prosedurnya, agunannya dan dengan cara yang informal.
Misalnya untuk kebutuhan dana yang relatif kecil (Rp1-3
76
juta), apakah harus melalui perbankan atau cukup ke lembaga
keuangan lain yang mempunyai fungsi sebagai lembaga
pembiayaan UMKM.
2. Kesulitan penyediaan agunan berupa sertifikat tanah, dapat
difasilitasi dengan keterlibatan instansi terkait.
Misalnya: petani di pedesaan umumnya tanah garapannya tidak
memiliki sertifikat, maka BPN dapat dilibatkan untuk
menfasilitasi agar tanah garapan memperoleh sertifikat
sehingga dapat digunakan untuk jaminan.
3. Sebaiknya juga dipertimbangkan tentang pola jaminan kredit.
Jika kredit (pembiayaan) yang diberikan memang memiliki NPL
yang rendah (maksimal 5%) bisa dipertimbangkan untuk
memperoleh pembiayaan dengan bunga rendah.
h. Bentuk jaminan hendaknya diperluas tidak hanya jaminan fisik,
tetapi berlaku juga dalam bentuk avalis, inventori, purchasing
order dan lainya sehingga memberi ruang gerak bagi UMKM untuk
dapat memanfaatkan pola pembiayaan yang disediakan.
i. Perlu adanya kontrol dari pihak perbankan terhadap pembiayaan
yang telah disalurkan. Kontrol yang intensif mengurangi risiko
kemacetan kredit. Sebagai contoh pembiayaan yang dilakukan
oleh bank keliling atau BPR cenderung mempunyai tingkat
kemacetan yang rendah. Hal ini dikarenakan mereka melakukan
pengawasan secara periodik dan berkelanjutan.
j. Perlu adanya sosialisasi aktif tentang informasi perbankan
kepada UMKM mengingat tidak banyak UMKM yang tahu tentang bank
dan pola-pola pembiayaan yang tersedia.
k. Untuk mendukung pengembangan klaster, Departemen Perindustrian
juga mengembangkan pola pembiayaan yang melibatkan lembaga
bukan bank (terlampir). Dasar pertimbangannya adalah lembaga
bukan bank lebih mudah diakses oleh IKM/UMKM, karena
prosedurnya mudah dan lokasinya dekat dengan pelaku.
77
6.3. Usulan Pembiayaan Untuk Klaster
6.3.1. Dasar Pertimbangan
a. Pada pembiayaan atau kredit untuk klaster yang harus
menjadi perhatian utama adalah bagaimana kredit yang
diberikan dapat memotivasi, meningkatkan
enterpreneurship, meningkatkan kualitas usaha (produknya)
sehingga pada akhirnya dapat berkembang dan menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi.
b. Sebagai gambaran adalah : Pada saat klaster
(individu/kelompok pengusaha) ini produknya di jual di
pasar kendala yang dihadapi adalah pada umumnya mereka
tidak berhubungan langsung dengan pasarnya, mereka hanya
sesekali kontak dengan pasar. Ketika produknya tidak laku
yang mereka lakukan adalah menurunkan harga tanpa mau
untuk melihat penyebab produknya tidak laku. Pada sisi
pembeli, mereka juga sulit untuk berhubungan dengan
pengusaha karena pada umumnya produk yang ditawarkan
kualitasnya sangat rendah sehingga tidak memenuhi
syarat/standar produknya. Sedangkan pada sisi supplier,
kompetensinya menjadi kendala karena dalam penyediaan
bahan baku sering kali tidak kontinu (dalam jumlah dan
jenis), tidak ada standar dan dengan harga yang
fluktuaktif. Di lain pihak, para pengusaha ini tidak
mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk menilai bahan
baku yang akan dibeli dari supplier. Hal ini
mengakibatkan pengusaha tidak bisa tawar-menawar (terjadi
perbedaan kemampuan untuk berbisnis) dengan supplier.
Oleh karena itu sangat dibutuhkan upaya untuk menumbuhkan
enterpreneur dan memberdayakan mereka (empowerment). Hal
ini dapat dimulai dengan kelompok kecil dulu, kelompok
ini perlu juga untuk mengikutsertakan supplier. Disadari
78
bahwa untuk melakukan hal tersebut tidaklah mudah, tetapi
pendekatan ini perlu dilakukan.
Secara ringkas dapat digambarkan pada skema berikut ini:
i. Kesenjangan yang ada pada pihak UMKM
Dalam hubungannya dengan supplier, antara lain :
a). Tidak mengetahui kualitas bahan baku yang
diperoleh
b). Tidak mengetahui harga bahan baku terkait dengan
kualitas
Dalam hubungannya dengan buyer/pembeli, antara lain :
a). Tidak mengetahui kualitas yang disyaratkan oleh
pembeli
b). Tidak mengetahui bagaimana cara memenuhi kualitas
(dari mana sum-ber keterampilan akan diperoleh)
c). Tidak mengetahui standar harga terkait dengan
kualitas
d). Bargaining position (posisi tawar) umumnya rendah
ii. Kesenjangan ini menyebabkan UMKM terjebak untuk
melakukan persaingan dalam hal harga. Persaingan harga
tersebut mendorong UMKM tidak memperdulikan kualitas
barang/produk yang dihasilkan. Ini menyebabkan UMKM
menjadi tidak berkembang, mematikan enterpreneurship/
kewirausahaan dan tingkat kerjasama yang rendah antar
pelaku sehingga mudah tercerai berai.
iii. Kesenjangan tersebut juga disebabkan beberapa hal
berikut ini :
a). UMKM tidak mempunyai kesempatan untuk
akses/berkomunikasi dengan usaha besar (buyer)
sehingga tidak mengetahui kualitas yang dibutuhkan.
UMKM Buyer/
Pembe
Supplier/
pemaso
79
b). Usaha besar/buyer/user mematok harga rendah untuk
produk UMKM sehingga UMKM tidak termotivasi untuk
membuat produk/barang yang berkualitas. Alasan mematok
harga rendah ini karena mereka masih memproses produk
UMKM (finishing) agar sesuai dengan standar produknya.
c). Tidak ada upaya pendampingan baik dalam hal
teknik produksi maupun pembiayaan secara
berkesinambungan.
c. Dalam gambaran tersebut, Perbankan atau instansi terkait
yang berkompeten dapat mengambil peran yang lebih nyata.
Misalnya dengan memfasilitasi UMKM untuk melakukan MOU
dengan supplier, atau perjanjian long term (jangka panjang)
pembelian dengan buyer atau bentuk joint financing scheme
(pembiayaan bersama) untuk kualitas produk yang
disyaratkan.
d. Skim pembiayaan untuk UMKM tidak harus berbeda (dapat
menggunakan skim yang sudah ada), tetapi bisa juga sama.
Permasalahannya bukan pada skim tapi pada realitas bahwa
skim pembiayaan tersebut dapat mengakomodir kondisi
pengusaha yang masih lemah dalam hal entrepreneurship,
kemampuan, pengetahuan dan sumberdayanya untuk berhubungan
dengan supplier maupun pembeli. Jadi yang perlu dipikirkan
dalam memberikan pembiayaan adalah bagaimana pembiayaan
tersebut dapat diakses oleh pengusaha dan dapat mendorong
pengusaha untuk mampu ber-dealing (berbisnis) dengan
supplier dan pembeli secara seimbang.
e. Kredit kepada klaster dapat digunakan untuk :
i. membiayai innovative action misalnya pembuatan produk
unggulan yang membutuhkan bahan baku berkualitas. Dapat
pula dikombinasikan dengan pelatihan sehingga akan lebih
menarik dan memenuhi kebutuhan klaster.
ii. meningkatkan mekanisme quality control (bahan baku)
bagi supplier. Sehingga UMKM hanya berhubungan dengan
80
supplier yang menyediakan bahan baku yang berkualitas dan
kredit digunakan hanya untuk pengadaan bahan baku yang
berkualitas dari supplier yang dimaksud.
f. Di lain pihak, kredit yang diberikan harus memperhatikan
hubungan transaksi perdagangan yang menekankan tumbuh dan
berkembangnya UMKM. Hendaknya pemberian kredit
mempertimbangkan pula hubungan transaksi yang berkelanjutan
pada pembeli, suplier, dengan menekankan pada kualitas
barang, harga yang sesuai dengan kualitasnya, sehingga
secara keseluruhan akan dapat meningkatkan nilai tambah
dari pelakunya dan lebih jauh akan mampu membangkitkan
ekonomi bangsa Indonesia.
6.3.2. Terms and Conditions Pembiayaan Klaster
a. Plafon kredit
Plafon kredit yang diberikan harus mempertimbangkan cash flow
usaha UMKM yang ada dalam klaster, sehingga besar kreditpun dapat
berbeda antara unit satu dan yang lainnya.
b. Bunga kredit
i. Bunga kredit harus dilihat dari pertumbuhan usahanya, perlu
dipertimbangkan untuk memberi bunga kredit yang berbeda
bagi UMKM yang baru tumbuh dan bagi UMKM yang sudah
berjalan (sudah berkembang).
ii. Bunga kredit sebaiknya mempertimbangkan tingkat
perkembangan industri yang bersangkutan diantara industri
sejenis yang ada. Misalnya UMKM batik lasem jika diberi
tingkat suku bunga kredit yang sama seperti UMKM batik
Pekalongan atau Solo, maka kredit tersebut akan
berat/sulit. Ini karena batik lasem pada kondisi bertahan
(tidak laku) sehingga untuk kualitas yang sama (atau bahkan
lebih rendah), harganya akan lebih mahal. Jika pembiayaan
81
diberikan dengan bunga lebih rendah maka akan mendorong
mereka dapat berkompetisi sehingga tercipta momentum
marketing (pemasaran) yang selanjutnya dapat menciptakan
siklus pemasaran yang lebih pendek, akhirnya biaya-biaya
produksi akan terdorong turun sehingga mereka dapat
berkompetisi secara wajar dan bunga kredit pun dapat
ditingkatkan.
Bentuk rekening kredit dan cara pembayaran
a). Untuk usaha pemula ada baiknya bentuk kreditnya
tunai/langsung (fix loan), yang diikuti dengan cara
pembayaran secara angsuran. Pertimbangannya adalah UMKM
yang pemula belum memisahkan keuangan untuk usaha dan
keuangan diluar usaha (konsumsi, keluarga), administrasi
keuangan yang belum baik, dan belum mempunyai pengalaman
dalam mengelola kredit. Oleh karena itu pembiayaan/kredit
akan lebih membantu UMKM jika cara pembayaran dilakukan
secara angsuran, sekaligus sebagai pembelajaran bagi UMKM
untuk disiplin dalam pengembalian.
b). Untuk usaha yang sudah berkembang dan sektor
perdagangan pada umumnya, kredit dapat diberikan dalam
bentuk rekening koran. Rekening koran ini dapat cepat
dicairkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan UMKM terhadap
kenaikan jumlah produksi dalam waktu cepat.
c). Untuk meringankan beban UMKM, cara pembayaran rekening
koran dapat dimodifikasi dengan sistem angsuran minimum.
Sehingga ketika jatuh tempo, jumlah kredit yang
dibayarkan tidak terasa berat.
c. Agunan
i. Permasalahan UMKM yang terkait dengan agunan adalah aset
yang dimiliki berupa tanah/bangunan belum bersertifikat.
82
Untuk itu hendaknya juga ada upaya-upaya untuk
membantu/memfasilitasi proses sertifikasi aset UMKM (tanah
dan atau bangunan).
ii. Pada dasarnya agunan dibutuhkan agar ada jaminan bahwa
kredit yang diberikan dapat dikembalikan. Untuk menganalisa
pengembalian kredit dapat dilakukan dengan pendekatan
analisa industri dari klaster tersebut dalam kaitannya
dalam hubungan hulu hilir.
d. Sumber dana kredit/pembiayaan
i. Keberadaan dana murah dari pemerintah (instansi terkait)
sebaiknya dipergunakan untuk klaster-klaster yang baru
tumbuh. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk:
a). Membiayai suatu kegiatan yang dapat
dikerjasamakan.
b). Membiayai unit-unit bisnis yang baru tumbuh di
dalam klaster.
ii. Mekanisme pengelolaan dana dapat dilakukan dengan
mengumpulkan dana murah yang ada dan kemudian ditempatkan
ke perbankan (BPD). Selanjutnya BPD dapat menyalurkan
melalui BPR/BMT ke UMKM atau langsung ke UMKM sehingga dana
ini akan terus bergulir. Untuk tingkat suku bunga dapat
dikontrol dengan menerapkan suku bunga maksimal, misalnya
bahwa suku bunga kredit tidak boleh lebih dari 18% pa.
iii. Dana bank dapat diberikan oleh UMKM yang sudah
berjalan (berkembang) baik secara individu maupun kelompok.
iv. Pembiayaan untuk klaster yang baru tumbuh dapat
diberikan oleh BPR maupun BMT. Namun untuk klaster yang
sudah berkembang maka kebutuhan dananya belum tentu bisa
dipenuhi oleh BPR/BMT mengingat adanya keterbatasan dana
yang dapat dihimpun.
6.4. Kajian Pola pembiayaan Untuk Pengembangan Klaster
83
6.4.1. Potensi Pembiayaan pada Klaster
Pembiayaan pada klaster sejauh ini telah dilakukan oleh
lembaga keuangan formal (bank/BPR) dan lembaga keuangan bukan
bank (koperasi/LKM dll). Layanan pembiayaan yang diberikan oleh
lembaga keuangan tersebut umumnya lebih menyukai memberi pinjaman
langsung kepada individu/UMKM. Hal ini didasari dari evaluasi
kinerja kredit yang menunjukkan bahwa penyaluran kredit secara
individu lebih lancar dari pada secara kelompok. Pada pembiayaan
secara individu, setiap nilai pinjaman dapat dipersyaratkan
dengan agunan. Sedangkan pada pembiayaan kelompok, jaminan
bersifat kolektif dan kekentalan anggota kelompok pun masih
dipertanyakan kesinambungannya. Tidak jarang terjadi, ketika ada
permasalahan dalam pengembalian pembiayaan, pemilik jaminan
kolektif mengundurkan diri dan anggota kelompok yang lain tidak
bersedia bertanggungjawab. Meskipun sudah diantisipasi melalui
sistem tanggung renteng (tanggungjawab bersama), namun acap kali
nilai yang dibebankan pada kelompok tidak sanggup dipenuhi oleh
anggotanya. Anggota pun memilih untuk keluar dari kelompok,
akibatnya pengembalian pembiayaan menjadi kredit macet. Dengan
pengalaman tersebut, maka lembaga keuangan cenderung untuk
menghindari pembiayaan kelompok.
Pengembangan klaster melibatkan analisa hubungan hulu-hilir
industri terkait agar memperoleh nilai tambah (value chain) yang
maksimal dari hubungan tersebut. Nilai tambah tersebut dapat
tercapai melalui kelompok. Demikian pula pada pendekatan klaster
akan lebih bermanfaat jika pembiayaan dilakukan dalam kelompok.
Pendekatan kelompok dapat dilakukan antara lain dengan pendekatan
Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK). Secara garis besar potensi pembiayaan yang dapat
digambarkan dalam skema berikut ini:
Pemasaran bersama Sarana/bahan pendukung
BDS/ Fasi- litator Klaster
Pembelian bersama
84
Pembelian bersama dan pemasaran bersama merupakan potensi
pembiayaan baik bagi pelaku klaster maupun bagi lembaga keuangan.
Melalui tindakan bersama pelaku klaster mencapai skala ekonomis,
sedangkan bagi perbankan dapat menekan biaya transaksi.
Pembiayaan bersama ini dapat bermanfaat jika pelaku klaster
sudah mempunyai modal sosial dan kualitas entrepreneur pun
meningkat. Proses menumbuhkembangan modal sosial dan entrepreneur
inilah peran pendamping dibutuhkan. Pendamping ini berfungsi
sebagai fasilitator dalam pengembangan klaster.
6.4.2. Usulan Pola Pembiayaan untuk Klaster
a. Tingkat perkembangan klaster
Dari hasil penelitian dan diskusi dengan berbagai pihak
yang terlibat langsung dalam pengembangan klaster, maka
berdasarkan kondisinya klaster dapat dibagi menjadi dua yaitu
klaster yang sudah berkembang dan klaster yang belum berkembang.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan
penggolongan adalah sebagai berikut :
No Kriteria Indikator 1.
Kekentalan anggota klaster
a. Mempunyai badan hukum b. Mempunyai aturan main yang
jelas dan terukur c. Mempunyai simpanan/tabungan
kelompok 2. Analisa industri a. Ada kajian industri hulu
85
Hulu-Hilir hilir dan kinerja rantai industri tersebut terutama tentang kinerja kreditnya
b. Ada rencana induk pengembangan klaster (difasilitasi oleh Pemda)
c. Ada kerjasama (alur pemasok dan atau pemasarannya)
3. Rencana kerja klaster a. Ada rencana kerja kelompok yang jelas, terukur dan dapat dilaksanakan
b. Tersedianya sumber daya untuk merealisasikan rencana kerja tersebut (material maupun non material)
4. Informasi Klaster a. Keberadaan klaster: lokasi, jumlah UMKM, jenis produknya, kapasitas usahanya, tingkat keterampilan pelakunya, dan modal sosial
b. Potensi klaster: skala usaha klaster, pasar produk klaster, prospek pengembangan produk dan pasar (trend)
c. Kinerja klaster: kontinuitas produksi, kontinuitas pasar, pengalaman pembiayaan (jika ada)
d. Aspek keuangan: omset, modal, profit margin
b. Pola Pembiayaan Klaster
Merujuk pada tingkat perkembangan klaster, maka pola pembiayaan
klaster juga dibedakan menjadi dua. Pola pembiayaan yang
dimaksud meliputi pola penyaluran, sumber dana dan terms and
conditionsnya. Berikut adalah kedua pola pembiayaan yang
diusulkan :
i. Klaster yang belum berkembang
a). Tujuan yang akan dicapai melalui pola pembiayaan ini
adalah untuk menjadikan klaster yang belum bankable
menjadi bankable.
86
Contoh klaster yang belum berkembang adalah klaster batik
lasem di Kabupaten Rembang, klaster mebel kayu di
Kabupaten Blora dan klaster pertanian di Kabupaten Demak.
b). Pola pembiayaan
Skema pola pembiayaan untuk klaster belum berkembang
adalah berikut ini :
c). Terms and conditions
Terms and conditions dari pola pembiayaan untuk klaster
yang belum berkembang adalah sebagai berikut:
No Terms and
Conditions Uraian
1.
Nasabah
a. Kelompok klaster yang mempunyai
rencana kerja yang jelas dan terukur.
b. Kredit untuk kegiatan bersama dan atau individu.
c. Tidak semua anggota mendapat pembiayaan dalam jumlah dan waktu yang sama
2. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan kredit Investasi 3.
Plafon Kredit
Dapat mengakomodir rencana kerja kelompok dan atau perkembangan usaha anggota kelompok
4. Suku bunga dan grace period
Suku bunga bersubsidi atau tidak mengenakan suku bunga, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan dibiayai
5. Jangka waktu kredit
Mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan kelompok
6. Pengembalian kredit
Angsuran tetap
7. Agunan tambahan
Tidak menjadi persyaratan
87
8. Legalitas Tidak dipersyaratkan. Membentuk kelompok menjadi ketentuan yang diprioritaskan
9. Pendamping a. Harus ada fasilitator klaster baik dalam bentuk lembaga maupun perorangan
b. Harus ada instansi pembina ii. Klaster yang sudah berkembang
a). Tujuan yang akan dicapai melalui pola pembiayaan ini
adalah untuk meningkatkan kapasitas klaster agar menjadi
klaster yang aktif - dinamis.
Contoh klaster yang sudah berkembang adalah klaster tenun
troso di Kabupaten Jepara, klaster pertanian
hortikultura (jambu air) di Kabupaten Demak dan klaster
pertanian terpadu di Kabupaten Klaten.
b). Pola pembiayaan
Skema pola pembiayaan untuk klaster sudah berkembang adalah
berikut ini:
c). Terms and conditions
Terms and conditions dari pola pembiayaan untuk klaster
yang sudah berkembang
adalah sebagai berikut:
No Terms and
Conditions Uraian
1. Nasabah a. Kelompok klaster yang mempunyai
88
rencana kerja yang jelas dan terukur.
b. Kelompok yang dimaksud adalah yang anggotanya sudah mempunyai kesamaan pola pikir dalam mengembangkan usaha klaster
2. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan kredit Investasi, termasuk untuk pengembangan produk maupun promosi
3. Plafon Kredit Dapat mengakomodir rencana kerja kelompok
4. Suku bunga dan grace period
Suku bunga pasar, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan dibiayai
5. Jangka waktu kredit
Mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan kelompok
6. Pengembalian kredit
Angsuran tetap
7. Agunan tambahan Asuransi (LPKD), avalis dari Inti, kontrak pembelian, tabungan kelompok, inventaris produksi analisa industri (hulu-hilir) berikut kinerjanya, agunan fisik
8.
Legalitas
Mutlak dibutuhkan
9.
Pendamping
a. Harus ada fasilitator klaster baik dalam bentuk lembaga maupun perorangan
b. Ada komitmen Pemda dan atau instansi pembina
89
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN 1. Pengembangan klaster merupakan salah satu alternatif untuk
percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan
aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,
sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku
UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan
UMKM, terutama di bidang produksi dan pemasaran.
2. Pengembangan klaster yang ada saat ini masih lebih cenderung
ke arah individu UMKM, sehingga klaster lebih berfungsi
sebagai sentra usaha. Agar dapat lebih optimal, pengembangan
klaster hendaknya dilakukan dengan strategi kelompok dan
pendekatan partisipatory, pada semua aspek secara komprehensif
dan berkelanjutan.
90
3. Klaster yang dapat tumbuh dan berkembang menuju klaster aktif
umumnya adalah klaster yang berdasarkan pada potensi yang ada
di masyarakat, dan tidak bersifat top down atau yang
berdasarkan program Pemerintah. Klaster yang lebih
dikarenakan adanya kepentingan Pemerintah tidak menumbuhkan
kemandirian industri.
4. Tantangan utama dalam pengembangan klaster di Indonesia adalah
penumbuhkembangan modal sosial/ kebersamaan antar pelaku dalam
klaster dan penyelesaian konflik yang timbul antar pelaku, dan
hal ini dapat diatasi dengan capacity building pelaku yang
terlibat dalam klaster dan adanya local champion yang
berpengaruh.
5. Pendampingan/fasilitator merupakan kegiatan yang mutlak bagi
pengembangan klaster, namun bentuk pendampingan yang diberikan
hendaknya bersifat spesifik tergantung kebutuhan masing-masing
klaster.
6. Pola pembiayaan yang diharapkan klaster adalah yang sesuai
dengan karakterisitik masing-masing sektor ekonomi, sehingga
pola pembiayaan klaster di sektor industri tentunya berbeda
dengan pola pembiayaan klaster di sektor pertanian.
7. Khusus untuk klaster di sektor pertanian, pola pembiayaan
harus mempunyai mekanisme yang transparan dengan sistem bagi
hasil, mengingat karakterisitik usaha pertanian, serta ada
keseimbangan pembiayaan dari huku ke hilir.
8. Untuk menentukan pola pembiayaan pada klaster perlu dilakukan
analisa value chain dan kompetensi inti, sehingga pembiayaan
akan lebih efektif dan tepat sasaran.
9. Pola pembiayaan klaster hendaknya memperhatikan inti
pengembangan klaster, yakni kebersamaan, sehingga pembiayaan
dilakukan dengan pendekatan kelompok (misalnya pendekatan
PHBK) dan pembiayaan untuk klaster difokuskan pada kegiatan
bersama (misalnya pembelian baku dan pemasaran bersama), serta
memanfaatkan skala usaha klaster dalam penyediaan agunan.
91
10. Pola pembiayaan untuk klaster perlu dibedakan untuk
klaster yang belum berkembang dan klaster yang sudah
berkembang. Untuk klaster yang berkembang, perlu didukung oleh
dana dari Pemerintah atau negara donor yang bersuku bunga
rendah, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan
dibiayai. Sedangkan untuk klaster yang sudah berkembang dapat
dibiayai dengan dana komersial perbankan, namun tetap
mempersyaratkan keberadaan kelompok UMKM sebagai klaster.
7.2. SARAN
1. Dalam pengembangan klaster perlu adanya grand strategy
(rencana induk) yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,
berdasarkan analisa value chain dari klaster yang
dikembangkan. Dengan adanya grand strategy ini maka potensi
usaha masing-masing pelaku klaster akan dapat dieksplor secara
optimal.
2. Agar pengembangan klaster dapat diarahkan menjadi penunjang
ekonomi lokal dan ekonomi regional, maka rencana induk
pengembangan klaster ini harus dibuat secara bottom up, dengan
melibatkan seluruh pelaku kalster dan pihak Pemerintah daerah
terkait.
3. Pendamping atau fasilitator bagi klaster agar memiliki
kompetensi dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan teknis
masing-masing klaster. Untuk itu disarankan adanya pilot
project pengembangan klaster yang memberikan bantuan teknis
untuk meningkatkna kinerja klaster.
4. Mengingat banyaknya program pengembangan klaster yang
dilakukan oleh berbagai instansi Pemerintah dan negara donor,
disarankan adanya forum nasional yang mengkoordinasikan atau
setidaknya mengkomunikasikan program-program pengembangan
klaster di daerah agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan
92
yang akan menjadi kontraproduktif terhadap upaya pengembangan
klaster.
93
DAFTAR PUSTAKA
1. Asia – Pasific Economic Cooperation (APEC). 2005, Strategies to Promote the Development of Industrial Clusters for Innovative SMEs, Small and Medium Enterprises Ministerial Meeting, Daegu, Korea, Submitted by Chinese Taipe.
2. Bambang Ismawan dkk, Keuangan Mikro sebuah Revolusi Tersembunyi dari Bawah, Gema PKM Indonesia, 2005
3. Biro Kredit Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, Bank Indonesia,2005
4. Depatemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional.
5. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Badan Perencanaan
6. Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan tentang Kajian Strategi Pengembangan Kawasan Dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing, Bappenas 2006
7. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan tentang Mengenal Klaster, Bappenas 2006
8. Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya Jawa Tengah (FPESD), Best Practice Pengembangan Klaster di Jawa Tengah, 2006
9. Enright, M.J. 1992, Why Local Cluster are The Way To Win The Game, World Link, 5, July/August, 24- 25
10. JICA, Final Reports of the Study on Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, Japan International Cooperation Agency, 2004
11. Nurul Widyaningrum, dkk;, Pola-Pola Eksploitasi, Akatiga, 2003
12. Mahmudy, Mahdi, 2006. Strategi Pengembangan Industri Indonesia : Diamond Cluster Model (paper)
13. Porter, Michael E, Clusters and The new economics of competition. Harvard Business Review. Boston. Nov/Dec 1998
14. Porter, Michael E, 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, A Division of Macmillan, Inc, New York.
94
15. Ricardo Bisso, 2003, Clusters and Development Strategies: Reflections for a developing country’s SME policy, Bologna and Buenos Aires.
16. Schmitz, H. And K. Nadvi. Clustering and Industrialization: An Introduction. World Development 27, no.9 (1999): 1503 - 14
17. Supratikno, H. Et al. The Strategies of Cluster Upgrading in Central Java. A Preliminary Report to Deperindag, Salatiga. 2002.
18. Swiss Contact, 2006. Lending Scheme Model for Clusters Development. (Bahan Persentasi)
19. USAID Indonesia, 2006. Peran Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi, LSM dan Media Dalam Pengembangan Klaster. (Bahan Persentasi)
20. The Asia Foundation, 2006. Pengembangan Iklim Usaha Melalui Perbaikan Proses Perijinan dan Kebijakan. (Bahan Persentasi)
21. Working paper, 2006. Profil Klaster di Jawa Tengah. FPESD Jawa Tengah.
Top Related