KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA
SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN
Oleh:
Drs. DARU PURNOMO,M.Si.
Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc.
Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M.
KUSTADI,S.H.
Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si.
SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom
PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW
2014
KATA PENGANTAR
Ketersediaan perumahan yang cukup, layak huni, tertata dan memenuhi standar
kebutuhan yang telah dipersyaratkan, merupakan permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh
setiap Pemerintahan Daerah. Selain mendukung upaya penyediaan jumlah rumah dan
lingkungan permukiman yang cukup, Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk mengatur
dan mengarahkan perkembangan pertumbuhan perumahan dan permukiman di masyarakat,
sehingga dapat terarah dan tertata di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan perutukannya
seperti yang telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW).
Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi
menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang teratur dan indah. Kami, dari Pusat
kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial
dan Komunikasi, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk
mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan
dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan perumahan dan permukiman di Kota
Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan
permukiman mendatang. Laporan Pendahuluan ini kami susun sebagai wujud kesiapan kami
untuk mengerjakan kegiatan kajian ini.
Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.
Salatiga, Awal Desember 2014
Tim Penyusun
DATIAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISIi
ii
1
I578
28282933
36
BAB I.I .1.1.2.1.3.1.4.
BAB II.2.1.2.2.)72.4.
BAB IIL
3.1.3.2.J.J.3.4.
PENDAHULUANLatar BelakangIdentifikasi MasalahMaksud dan TujuanMetode
KAJIAN TEORI DAII PRAKTIK EMPIRISPerumahan dan PermukimanPersyaratan Lokasi PermukimanFaktor-fal*or yang Mempengaruhi perkembangan pennukimanPenggunaan Sistem Informasi Geografi s dalanperencanaanPerumahan dan Pennukiman.
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG.UNDANGAN TERKAIT
5"914* Pembangunan perumahan dan permukiman Kota salatiga ....
$epilatan Pembangruran perumahan dan permukiman
Rencana Detail Tata Ruang Kota
BAB rv. T,ANDASAN FILOSOFIS, soslolocls DAN yuRrDrs.4. 1. Gambman Umtrm Kota Salatiga... ............4.2. Analisis Kependudukan4.3. Aspek Lahan danEkonomi.4.5. Aspek Ekonomi Dalam Dunia perrnukiman4.6. Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi
BABY. PENUTUP5.1. Kesimpulan5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
39454753
1s6l849497
106
ll1111
111
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Ketersediaan perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap
Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (I) yang menyatakan bahwa:
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Selanjutnya Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak
Sejalan dengan hal itu, perumahan dan permukiman merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan ketersediaannya wajib dipenuhi.
Sebagai satu kebutuhan dasar manusia, ketersediaan perumahan dan permukiman yang
memenuhi syarat juga mempunyai peran sangat strategis sebagai pusat pendidikan
keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, serta
merupakan pengejawantahan jati diri. Oleh karena itu, setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang
baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran
yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah
satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan
produktif.
Semakin meningkatnya laju perkembangan jumlah penduduk dan fenomena
urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar juga mengakibatkan semakin meningkatnya
kebutuhan akan ruang kota, seperti fasilitas perumahan dan permukiman.
Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan pada hakekatnya
dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan pedesaan yang layak huni
(livible), aman, nyaman, damai dan sejahtera serta berkelanjutan. Pemerintah wajib
memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang
layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial. Pemerintah perlu lebih
2
berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan
dankawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakatsehingga
merupakan satu kesatuan fungsional dalamwujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi,
dan sosialbudaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan
semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan perumahan dan permukiman
sesungguhnya tidak terlepas dari dinamikayang terjadi dalam kehidupan masyarakat
maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.
Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah
sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi
dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah
yang layak huni. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.Selain itu
juga dipahami bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri
atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah
bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.
Secara menyeluruh, ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman yang
dikandung dalam undang-undang tersebut adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan,
serta peran masyarakat. Pengembangan permukiman ini meliputi berbagai hal, seperti
pengembangan prasarana dan sarana dasar, pengembangan permukiman yang
terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, proses penyelenggaraan
lahan, pengembangan ekonomi kota, serta penciptaan sosial budaya di perkotaan.
Sejalan dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan
Permenpera 7 Tahun 2013, batasan perumahan sampai kawasan permukiman adalah
sebagai berikut:
3
Gambar 1.
Pengertian dan Batasan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Menurut Besset dan Short (1980) lingkungan permukiman merupakan suatu
sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu:
Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi,
hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti
biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok
melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang
menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih,
listrik, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri
dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan
wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang
merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata
nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai
bagian dari lingkungan permukiman tersebut. Agar supaya isi (manusianya) yang
tinggal dalam wadah (perumahan dan permukimannya) dapat mewujudkan jatidirinya
sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat, maka dalam penentuan lokasi suatu
4
permukiman, perlu adanya kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi
sebagai lokasi permukiman yang sehat. Kriteria tersebut antara lain:
1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.
2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal
dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air
beracun, dsb).
3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan
individu dan masyarakat penghuni.
4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga
dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya
dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.
5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan
diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gambaran umum penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman di Kota Salatiga
sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan, diluar kemampuan pemerintah,
sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat
timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar
daerah perdagangan dan pusat kota.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah
maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan
untuk pemukiman juga semakin meningkat, sedangkan jumlah lahan jika dilihat secara
administratif jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya
lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah
pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area) yang
dibangun di daerah tepi sungai. Selain itu meningkatnya permintaan terhadap lahan
permukiman ini selanjutnya juga akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian yang semakin meningkat. Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada
timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat
tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan
penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah
pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesandand Kiefer, 1997).
5
Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi
adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk
permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan
hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak
terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi permukiman.
Kondisi keberadaan perumahan dan pemukiman di Kota Salatiga, sejalan
dengan pesat perkembangan jumlah penduduk, mengakibatkan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan perumahan diluar kemampuan pemerintah. Sementara
tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya
perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah
perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan
oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan,
permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat. Di sisi lain jumlah
lahan, jika dilihat secara administratif, jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk
yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki
rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman
kumuh (slum area). Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya
permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.
Kecenderungan makin tingginya angka backlog yang terjadi akibat adanya
kesenjangan selisih antara permintaan dan penawaran rumah kepada masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) sangatlah memprihatinkan. Hal ini terjadi karena
sejumlah kriteria hambatan sebagai berikut:
1. Hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan,
selain karena harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan
yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR.
2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa
ditunjuk pada belum leluasanya pengurusan sertifikasi hak milik rumah MBR
dan juga ketidakkonsistenan UU Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan terkait.
3. Hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan
cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersial yang dapat
mengeliminasi hak MBR.
4. Hambatan politik berupa masih kurangnya komitmen Pemda dalam
merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR.
6
5. Hambatan distributif, dimana akses MBR terhadap pasar perumahan masih
sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka tetap
rendah bahkan tidak berdaya sama sekali.
6. Hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan
melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha
membuka akses MBR untuk memiliki rumah.
7. Hambatan SDM, dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat belum
menjiwai roh dari perumahan untuk rakyat, khususnya perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sejalan dengan kondisi dan harapan tersebut kegiatan kajian ini dilaksanakan.
Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota
Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman
ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:
1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
Sehubungan dengan hal tersebut, maka DPRD Kota Salatiga membutuhkan adanya
dukungan dari tenaga Ahli/Pakar yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap
kegiatan penyusunan Raperda-raperda tersebut di atas yang berasal dari Akademisi,
dengan asumsi mempunyai kajian yang lebih empiris, teoritis, yuridis, filosofis dan
sosiologis, agar nantinya dapat diperoleh suatu produk hukum yang baik.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
1) Maksud :
Pelaksanaan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan
7
Strategis Permukiman, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil kajian mengenai kondisi
permukiman dan perumahan di Kota Salatiga dengan segala permasalahannya, dan
perumusan kebijakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan permukiman tersebut.
2) Tujuan :
1. Melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai
penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya;
2. Menyusun bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek
sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di
Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah
yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.
3. Menyusun rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
1.3. SASARAN DAN RUANG LINGKUP
Secara umum, sasaran kegiatan adalah tersusunnya Kajian Kebijakan Daerah
tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman sesuai kondisi dan kebutuhan Daerah
secara objektif di lapangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan secara lebih
khusus, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai
penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya;
2. Tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek
sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di
Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah
yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.
3. Tersusunnya rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
8
Sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup Kegiatan Kajian
Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam
Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman meliputi :
1. Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD);
2. Penyusunan Laporan Pendahuluan;
3. Penyusunan dan Penyampaian Laporan Akhir dan Produk Akhir Kegiatan.
1.4. DASAR HUKUM
Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota
Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman
ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:
1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
1.5. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
1.5.1. Tahapan Penelitian
Dalam melaksanakan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang
Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman, tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
a) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
Pengumpulan data promer dan sekunder dilaksanakan untuk memperoleh
berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kondisi, keberadaan dan
pelaksanaan kegiatan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Data primer
dan sekunder yang akan dikumpulkan antara lain meliputi: jumlah dan proyeksi
9
penduduk Kota Salatiga, keberadaan dan kondisi lahan yang ada, keberadaan dan
kondisi perumahan dan permukiman yang selama ini sudah berkembang dan/atau
dikembangkan, serta keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang perumahan dan
permikiman yang ada di Kota Salatiga.
b) Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilaksanakan guna mengumpulkan informasi langsung dari para pihak
(stakeholders) yang berkaitan dengan masalah perumahan dan permukiman di Kota
Salatiga. Bagaimanakah pendapat, permasalahan dan harapan para pihak tersebut
tentang keberadaan dan permasalhan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga
yang mereka geluti selama ini.
c) Pengolahan dan Analisis Data
Kegiatan pengolahan dan analisis data akan dilaksanakan dengan menggunakan
statistik deskriptif, yakni hanya mendeskripsikan fenomena yang ada, serta
melakukan proyeksi atas kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang. Analisis
data juga akan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi
Geografis (SIG) sehingga pembacaan hasilnya akan lebih mudah dilakukan.
Seluruh tahapan kegiatan kajian tersebut akan dilaksanakan dengan
menggunakan metodologi sebagai berikut :
a) Metode survey data
Survey Data terutama akan dilaksanakan untuk mengumpulkan Data Primer
yang antara lain berkaitan dengan:
a. Identifikasi permasalahan mengenai permukiman di kota Salatiga;
b. Identifikasi kebijakan yang telah ada;
c. Wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner kepada pihak-pihak
yang terkait (stakeholder) didalamnya.
d. Survey Data Sekunder
e. Kajian kepustakaan;
f. Data dari dinas terkait dan instansi terkait;
g. Legal base line/inventarisasi perundang-undangan terkait.
b) Teknik Pengumpulan Data
Teknis pengumpulan data dalam Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang
Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dilakukan dengan beberapa cara :
10
a. Studi dokumentasi; meliputi identifikasi, inventarisasi dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan Kota Salatiga, Propinsi Jawa
Tengah dan nasional serta berbagai teori, hasil penelitian, jurnal yang
berkenaan dengan materi Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan
Kebijakan Strategis Permukiman.
b. Focus Group Discussion; merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
anggota DPRD, Pimpinan SKPD para pemangku kepentingan, PA, PPTK
dan Tim Koordinasi untuk mengidentifikasi problematika dan harapan
berkenaan dengan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan
Kebijakan Strategis Permukiman penyusunan.
c. Wawancara; dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang dianggap
memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang topik Naskah
Akademik dan Raperda, baik di lingkungan DPRD, SKPD dan lembaga non
pemerintah (perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll).
c) Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion)
Diskusi terfokus akan dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, bahan diskusi
diserahkan kepada Pengguna Jasa dalam waktu 3 (tiga) hari kalender sebelum
pelaksanaan diskusi, sehingga PA, PPTK dan Tim Koordinasi dapat mempelajari
terlebih dahulu. Laporan yang disampaikan untuk diskusi disajikan dalam 2 (dua)
tahap diskusi yaitu:
a. Diskusi 1
Diskusi ini dilakukan untuk membahas Laporan Pendahuluan dihadiri
PPTK, dan Pihak penyedia jasa (konsultan), diharapkan dalam diskusi ini
didapatkan kesepakatan-kesepakatan mengenai latar belakang, kebijakan
daerah, kerangka pikir sistematika, jenis data dan cara mendapatkan data,
metodologi dan analisa kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, jadwal
kegiatan.
b. Diskusi 2
Diskusi ini membahas Draft Laporan Akhir dihadiri PA/KPA, PPTK dan
Penyedia Jasa (konsultan) untuk mendapatkan saran masukan untuk
penyempurnaan materi dalam rangka penyusunan Laporan Akhir dan
Produk Akhir.
11
Gambar 2.
Metode Pemanfaatan SIG
12
1.5.2. Tahap Analisis Data
1. Analisis Pola dan Sebaran Permukiman
Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman
beberapa tahun terakhir dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta
administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta
persebaran permukiman berdasarkanlereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan
menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman
dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan
aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan
persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.
2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman
Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk beberapa
periode (antar 2 titik waktu), yaitu antar peta penggunaan lahan tahun pertama dengan
kedua,kemudian antara tahun kedua dengan ketiga, dan antara tahun ketiga dengan
keempat.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan
petaperkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahunpertama
sampai tahun keempat. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadappeta zonasi jalan,
peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untukmengetahui pola perkembangan
permukiman multi tahun tersebut berdasarkanelevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas.
Gambar 3.
Metode Penggunaan SIG (Overlay)
13
1.5.3. Teknik Analisis Data
Beberapa teknik/metode analisis yang digunakan dalam penyusunan kegiatan kajian
permukiman di Kota Salatiga ini antara lain:
1. Analisis Kependudukan
Analisis kependudukan merupakan analisis untuk mengetahui perkembangan penduduk
dan komposisi penduduk sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebutuhan
sarana dan prasarana, dan kebutuhan ruang, termasuk dalam perencanaan program
perumahan dan permukiman.
Tujuan: mengetahui kondisi penduduk dilihat dari kuantitas dan kualitasnya sehingga
dapat diketahui potensi sumber daya manusianya dalam mendukung pembangunan
perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
Metode :
h Proyeksi dan Pertumbuhan Penduduk
Proyeksi penduduk adalah perhitungan (kalkulasi) yang menunjukkan keadaan fertilitas,
mortalitas, dan migrasi di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk akan dihitung
dengan menggunakan model perhitungan, diantaranya dengan menggunakan Model
Pertumbuhan Geometris.
Model Pertumbuhan Geometris
Model Pertumbuhan Geometris adalah perhitungan pertumbuhan penduduk menggunakan
dasar bunga (bunga majemuk). Rumus yang digunakan adalah:
Dimana: Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n (jiwa)
Po = jumlah penduduk awal (jiwa)
r = tingkat pertumbuhan penduduk ( % )
n = jumlah tahun pada periode tertentu / selisih tahun
h Tingkat Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk menunjukkan kualitas lingkungan permukiman, semakin
padat penduduk pada suatu wilayah mengakibatkan semakin besar tekanan terhadap
sumber daya dan daya dukung fisik lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yang pada
gilirannya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan prasarana sarana.
Pn = Po ( 1 + r )n
14
2. Analisis karakteristik perumahan dan permukiman
Analisis karakteristik perumahan dan permukiman merupakan analisis dengan
mengidentifikasi karakteristik perumahan dan permukiman, yang dilihat baik dari
karakteristik bangunan, status kepemilikan, arsitektur dan pola permukiman. Selain itu
juga untuk mengidentifikasi kawasan permukiman berdasarkan tingkat kepadatan,
kekumuhan, pola pembangunan, dan sebagainya.
Tujuan : mengetahui kondisi perumahan dan permukiman sehingga dapat diketahui tingkat
kualitas perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
Metode :
h Tingkat Kualitas Struktur Bangunan
Kualitas struktur bangunan terkait dengan kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan
bangunan, khususnya rumah tinggal. Tingkat kualitas struktur bangunan dinilai
berdasarkan persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak memenuhi persyaratan
pondasi, dinding, atap, serta lantai suatu bangunan rumah tinggal yang sehat.
h Tingkat Kepadatan Bangunan
Tingkat kepadatan bangunan adalah jumlah unit rumah per satuan luas (ha) dalam suatu
lingkungan permukiman. Semakin tinggi tingkat kepadatan bangunan maka lingkungan
permukiman akan semakin kumuh akibat keterbatasan lahan yang tersedia.
Jumlah Penduduk
X 100 % Luas Wilayah
Jumlah Bangunan Rumah dg Struktur Tidak Layak X 100 %
Jumlah Keseluruhan Bangunan Rumah
Jumlah Bangunan Rumah
Luas Wilayah (ha)
15
h Kebutuhan Rumah Total:
Ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan rumah diantaranya
yaitu: aspek kekurangan jumlah rumah, aspek pertumbuhan jumlah penduduk, aspek
rumah tidak layak huni, dan aspek permukiman kumuh.
Penghitungan Kekurangan Jumlah Rumah Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan
Merupakan suatu perhitungan kekurangan jumlah rumah atau backlog yang dilihat dari
status kepemilikan bangunan. Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah
rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara
spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan
bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah,
sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas,
bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah
tangga yang belum memiliki rumah.
Backlog =
h Tingkat Kesehatan dan Kenyamanan Bangunan
Tingkat kesehatan dan kenyamanan bangunan tempat tinggal akan terkait dengan 3 aspek,
yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan dalam
suatu lingkungan permukiman.
h Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan
Tingkat penggunaan luas lantai bangunan adalah luas ruang yang dipergunakan untuk
melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya setiap orang. Mengacu pada pedoman
rumah sehat, bahwa rumah kumuh mempunyai luas lantai kurang dari 9 meter persegi tiap
orang. Oleh karena itu, semakin kecil penggunaan luas bangunannya maka
mengindikasikan lingkungan permukiman tersebut semakin kumuh. Teknik penilaiannya
adalah membandingkan luas bangunan rumah dengan jumlah penghuni rumah.
Jumlah Bangunan Rumah Tidak Sehat dan Aman X 100 %
Jumlah Keseluruhan Rumah
Jumlah Bangunan Rumah
Jumlah Penghuni Rumah
Jumlah keluarga – Jumlah rumah
16
3. Analisis penyediaan dan kebutuhan perumahan
Analisis penyediaan perumahan merupakan analisis yang dilakukan dengan
mengidentifikasi kemampuan penyediaan rumah melalui jenis-jenis pola penyediaan,
seperti real estate, masyarakat secara swadaya, instansi sektoral, perumnas dan sebagainya.
Dengan demikian akan diketahui proporsi atau kontribusi peran masing-masing
stakeholder dan perkembangan (trend) kemampuannya.
Tujuan : mengevaluasi penyediaan (ketersediaan) rumah bagi masyarakat hingga saat ini,
selain itu dengan mengetahui peran stakeholder penyedia terkait melalui preferensinya
akan dapat diprediksi alokasi lahan bagi pembangunan perumahan 5 hingga 10 tahun
mendatang.
Metode :
Kualitatif deskriptif, dimana melalui masukan yang diperoleh dari stakeholder terkait
seperti REI, perumnas, instansi, dan sebagainya akan dapat diketahui prosentase
penyediaan oleh masing-masing pihak dalam mencari lokasi pengembangan perumahan
Analisis kebutuhan rumah (sebagai tempat tinggal) didasarkan pada asumsi-asumsi dasar
antara lain: jumlah penghuni (tingkat hunian) rata-rata tiap satu unit rumah, jumlah rata-
rata KK per unit dan sebagainya.
Tujuan : mengetahui tingkat hunian rumah dan kekurangan rumah (backlog) di Kota
Salatiga.
Metode :
h Tingkat Hunian :
Semakin tinggi angka perbandingan KK dengan bangunan rumah ini menunjukkan
semakin banyak jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya berpengaruh pada
kebutuhan sarana pelayanan yang semakin besar.
4. Penghitungan kebutuhan rumah berdasarkan pertumbuhan penduduk
Merupakan suatu perhitungan kebutuhan rumah yang didasari oleh adanya faktor
pertumbuhan jumlah penduduk. Perhitungan ini untuk mengetahui tambahan rumah rata-
Banyaknya KK dalam Suatu Wilayah
Jumlah Bangunan Rumah
17
rata per tahun yang nantinya dapat dipakai untuk memprediksikan jumlah rumah pada
tahun mendatang.
Proses :
a) Menghitung jumlah kepala keluarga (KK) selama kurun waktu 5 tahun terakhir
sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan rumah.
koefisien dasar tingkat hunian ideal atau penurunan yang diinginkan (misal dari 4,5
jiwa/ unit menjadi 4 jiwa/unit). Dalam perhitungan kebutuhan rumah ini, koefisien
hunian ditetapkan sebesar 4 jiwa/unit. (Bambang Panudju, 1999).
Jumlah KK pada tahun xn:
b) Dengan asumsi 1 rumah = 1 KK, maka jumlah KK sama dengan jumlah kebutuhan
rumah pada tahun tersebut.
c) Lakukan perhitungan yang sama untuk tahun-tahun yang lain, kemudian hitung rata-
ratanya.
Kebutuhan rumah rata-rata pertahun :
5. Perhitungan Kebutuhan Rumah Total
Kebutuhan Rumah Total = Jumlah backlog + Jumlah kebutuhan rumah akibat faktor
pertumbuhan jumlah penduduk + Jumlah permukiman tidak layak huni + jumlah
permukiman kumuh.
h Segmentasi Kebutuhan Rumah
Untuk menetapkan segmentasi kebutuhan rumah digunakan standar tingkat kesejahteraan.
Menurut BPS, pengelompokkan tingkat kesejahteraan penduduk dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu kelompok keluarga prasejahtera, kelompok keluarga sejahtera I. Dari
kedua kelompok keluarga diatas maka selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok
keluarga yaitu kelompok keluarga miskin dan rawan miskin, keluarga berpenghasilan
Jumlah penduduk
4
X1 + x2 + x3 + x4 + x5
5
18
rendah, dan keluarga berpenghasilan menengah-atas. Dalam identifikasi kebutuhan rumah
ini variabel-variabel yang mendasari pengelompokkan tersebut antara lain:
a) Kelompok keluarga miskin dan rawan miskin
h Kondisi rumahnya tidak layak huni, dengan lantai dari tanah
h Mempunyai penghasilan dibawah rata-rata/UMR
b) Kelompok keluarga berpenghasilan rendah
h Kondisi rumah layak huni, dengan lantai bukan dari tanah
h Mempunyai penghasilan yang diasumsikan dapat digunakan untuk mengangsur
kredit rumah
h Mempunyai rumah dengan tipe bangunan rumah antara 21 – 36
h Mempunyai penghasilan maksimum diperkirakan antara Rp.900.000,00-
Rp.1.500.000,00.
h Proses Perhitungan
a) Mengitung persentase jumlah keluarga tiap-tiap kelompok keluarga dengan cara
membagi jumlah keluarga tiap kelompok dengan jumlah total keluarga dikalikan
100%. Dengan catatan:
h Keluarga Prasejahtera masuk dalam kategori Keluarga Miskin dan Rawan Miskin
h Keluarga Sejahtera I dan II masuk dalam kategori Keluarga Berpenghasilan
Rendah
b) Menghitung segmentasi kebutuhan rumah berdasarkan tingkat penangananya yaitu
yang memerlukan pembangunan baru dan yang perlu peningkatan, tetapi sebelumnya
terlebih dahulu menghitung jumlah persentasenya terhadap jumlah kebutuhan rumah
total. Perlu menjadi catatan jumlah kekurangan jumlah rumah/backlog dan kebutuhan
rumah akibat pertumbuhan jumlah penduduk dianggap sebagai yang memerlukan
pembangunan rumah baru. Sedangkan rumah yang tidak layak huni dan jumlah
permukiman kumuh dianggap sebagai jumlah rumah yang memerlukan peningkatan
kualitas.
c) Menghitung kebutuhan rumah dengan mengalikan persentase tiap kelompok kelurga
dengan jumlah total kebutuhan rumah dari hasil perhitungan sebelumnya.
h Rumus
a) Menghitung persentase tiap kelompok keluarga
- Persentase kelompok keluarga miskin dan rawan miskin = (Jumlah keluarga
prasejahtera/Jumlah keluarga) x 100%
19
- Persentase kelompok keluarga berpenghasilan rendah = (Jumlah keluarga sejahtera
I dan sejahtera II/Jumlah keluarga) x 100%
b) Menghitung persentase berdasarkan penanganan
- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru = (Jumlah
backlog dan jumlah kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk / jumlah
kebutuhan rumah total) x 100%
- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas = (Jumlah
rumah tidak layak huni dan jumlah rumah yang berada di lingkungan permukiman
kumuh / jumlah kebutuhan rumah total) x 100%
c) Menghitung kebutuhan rumah tiap kelompok keluarga
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga miskin dan rawan miskin
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan rendah
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan menengah-
atas
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang
memerlukan pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang
memerlukan peningkatan kualitas.
20
6. Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman
Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman merupakan analisis overlay dari berbagai
kriteria pengembangan permukiman, baik fisik, ekonomi, sosial dan kebijakan. Dari
berbagai kriteria yang dikembangkan, dalam analisis ini pertimbangan aspek fisik seperti
kemiringan lahan, struktur tanah (geologi), sistem drainase alami, ketersediaan air tanah
dan sebagainya, akan menjadi pertimbangan utama.
Tujuan : mengetahui dimana alokasi kawasan fungsi lindung, kawasan aman untuk
permukiman (direkomendasikan) dan kawasan yang kurang diprioritaskan (ada kendala-
kendala yang harus diatasi terlebih dahulu), serta kawasan larangan pengembangan
permukiman karena pertimbangan keamanan dan lain sebagainya.
Metode : kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait yang
mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan yang dikeluarkan oleh
Dirjen Perumahan dan Permukiman Tahun 2002, yakni:
- Status Legalitas Tanah
Status legalitas tanah adalah perbandingan jumlah rumah yang dibangun di atas
tanah/lahan yang diperuntukkan bukan sebagai perumahan dibandingkan dengan yang
dibangun pada tanah yang diperuntukkan bagi perumahan, sesuai dengan Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR).
- Status Penguasaan Bangunan
Status penguasaan bangunan adalah status pemilikan dan penggunaan bangunan. Status
penguasaan bangunan dapat berupa hak milik, hak guna, dan hak pakai.
- Frekuensi Bencana Banjir
Frekuensi bencana banjir adalah banyaknya kejadian banjir pada suatu lingkungan
permukiman. Biasanya disebabkan tidak tersedianya atau kurang terpeliharanya
prasarana drainase ataupun tempat pembuangan akhir. Semakin sering terjadi bencana
banjir pada suatu lingkungan permukiman, tingkat kerawanan bencana terhadap
penyakit di lingkungan tersebut semakin tinggi.
- Frekuensi Bencana Tanah Longsor
Frekuensi bencana tanah longsor adalah banyaknya kejadian tanah longsor pada suatu
lingkungan permukiman, akibat penempatan bangunan pada daerah patahan dan
longsoran. Semakin sering terjadi bencana tanah longsor pada suatu lingkungan
permukiman dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kerawanan bagi kelangsungan
hidup penduduknya, dan secara fisik membutuhkan penanganan yang cukup mahal.
21
7. Analisis kecenderungan arah perkembangan permukiman
Analisis kecenderungan perkembangan permukiman merupakan analisis spasial yang
mengintegrasikan pertambahan rumah dengan penggunaan lahan.
Tujuan : mengetahui lokasi-lokasi yang berkembang lebih cepat dalam hal pembangunan
perumahan dan permukiman
Metode: kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi
arah (kecenderungan) perkembangan permukiman antara lain:
a. Ketersediaan jaringan jalan dan pola sirkulasi (lalu lintas) regional. Semakin tinggi
aksesibilitas (ketersediaan jalan, besarnya arus lalu lintas dan berada diantara 2 simpul
kegiatan) akan semakin mudah suatu kawasan perumahan baru untuk berkembang.
b. Kemudahan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang permukiman seperti
air bersih, drainase (bebas genangan), serta pengelolaan sampah. Ketersediaan jalan
akan memacu kemudahan penyediaan listrik dan telepon. Sehingga kawasan yang
telah terakses jaringan PSD akan lebih cepat berkembang menjadi permukiman baru.
c. Status lahan yang akan memudahkan pengalihfungsian lahan, yang umumnya dari non
permukiman menjadi permukiman.
d. Arahan tata ruang wilayah dan kota yang akan mendorong secara administratif
(perijinan) dan legalisasi kegiatan pengembangan permukiman. Pengembangan
kegiatan industri, perdagangan dan jasa dan kegiatan pelayanan sosial akan memicu
tumbuhnya permukiman di sekitarnya.
8. Analisis permasalahan perumahan dan permukiman
Analisis prioritas permasalahan perumahan permukiman merupakan analisis yang
digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan dari berbagai permasalahan perumahan
dan permukiman yang muncul sebagai akibat perkembangan penduduk dan perkembangan
wilayah.
Tujuan : mengidentifikasi potensi, permasalahan, peluang dan ancaman yang ada dalam
bidang perumahan dan permukiman di Kota Salatiga
Metode : Untuk mengidentifikasi permasalahan perumahan dan permukiman digunakan
analisis deskripsi kualitatif berdasarkan data-data yang telah dihimpun hasil survei primer
dan sekunder.
Dalam analisis ini pertimbangannya meliputi beberapa aspek, diantaranya: aspek
kependudukan, tata ruang dan pengembangan wilayah, pertanahan, prasarana,
pembiayaan, kelembagaan, peran serta masyarakat, dan peraturan perundang-undangan.
22
Permasalahan perumahan dan permukiman (yang merupakan hasil kesimpulan sementara
tentang kondisi yang telah dan sedang berkembang) yang perlu segera ditangani adalah:
1) Permasalahan yang mendesak dan apabila tidak diatasi menimbulkan dampak yang
sangat meluas, adalah:
a. Pemberian perijinan lokasi permukiman baru yang tidak sesuai dengan tata ruang
b. Pemberian perijijnan yang melebihi daya dukung lingkungan atau melebihi
kebutuhan yang berkembang
c. Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh yang sangat cepat
2) Permasalahan yang perlu diantisipasi melalui berbagai kebijakan dan pengaturan, untuk
mencegah dampak negatif apabila tidak diatasi seperti:
a. Review terhadap peruntukan perumahan dan permukiman terutama pada kawasan
yang berkembang tidak terkendali menjadi kawasan permukiman.
b. Penetapan fungsi dan peruntukan kawasan non perumahan yang berkembang
menjadi kawasan perumahan atau sebaliknya.
c. Penetapan negative list terhadap kawasan yang terlarang untuk diubah menjadi
kawasan permukiman dll.
d. Penetapan daya dukung lahan yang mengalami degradasi fisik dan lingkungan.
3) Daftar masalah lain yang perlu ditangani namun dapat diselenggarakan secara bertahap.
Terhadap masalah seperti ini, perlu dipilah menjadi:
a. Masalah yang dapat diselesaikan melalui/menjadi urusan sektor
b. Masalah yang perlu diselesaikan sebagai urusan umum
c. Urusan yang perlu dipecahkan secara terkoordinasi melalui forum lokal/kota.
9. Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Perumahan
1) Analisis Kebutuhan Sarana Perumahan
Salah satu bentuk analisis yang akan dilakukan adalah mengkaji kebutuhan sarana dan
prasarana perumahan. Data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan, disesuaikan
dengan standar rencana kebutuhan fasilitas yang kemudian disesuaikan dengan arah
pengembangan perkiraan di Kota Salatiga. Analisis yang dilakukan dengan metoda
diskriptif kualitatif dan kuantitatif.
2) Analisis Kebutuhan Prasarana Perumahan
Di dalam pelaksanaan pekerjaan ini dibutuhkan beberapa metodologi untuk menganalisis,
termasuk menghitung dan merencanakan sistem jaringan dari komponen-komponen PSD-
PU. Metodologi tersebut akan dikaitkan dengan berbagai prosedur dan standar yang
berlaku dan digunakan di Indonesia. Termasuk proses dan standar yang digunakan di dalam
23
lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah.
3) Analisis Pemilihan Lokasi
Konsep pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan asas kesesuaian dan keberlanjutan
(sustainability) dan kesempatan (opportunities). Untuk lebih jelasnya, pemilihan lokasi
permasalahan perumahan dan permukiman disini harus mengacu pada :
- Kebutuhan dari masyarakat
Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada suatu lokasi harus dapat diidentifikasi, agar
lokasi yang dipilih tidak salah sasaran.
- Kecenderungan perkembangan
Yang perlu diperhatian adalah adanya kecenderungan bahwa masalah yang ada pada
suatu wilayah, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang meluas.
Disini unsur prediksi diperlukan, sehingga masalah yang perlu diatasi telah
diprioritasnya berdasarkan kemendasakannya.
- Pertimbangan lingkungan
Setelah kebutuhan masyarakat diketahui dan prioritas masalah diperoleh, yang terakhir
harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan. Dalam arti disini bukan hanya
lingkungan secara fisik namun juga lingkungan organisasi.
Lingkungan fisik perlu diperhatikan, karena lokasi terpilih nantinya merupakan
tempat/wadah pengelolaan dan penanganan masalah yang dihadapi. Sehingga unsur
sumber daya sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tujuan tersebut. Sedangkan
lingkungan organisasi termasuk didalmnya adalah: kesesuaian rencana penanganan dengan
peruntukan lokasinya, keterlibatan aktor yang berperan secara aktif serta bagaimana
kondisi pendukung lainnya.
4) Analisis Pembiayaan Pembangunan Perumahan
Analisis pembiayaan pembangunan perumahan merupakan suatu analisis yang bertujuan
untuk mengenali dan menggali sumber-sumber pendanaan potensial yang dapat dijadikan
sumber pembiayaan perumahan. Tentunya analisis pembiayaan perumahan ini harus
disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Salatiga. Ada tiga
aspek penting pembiayaan permukiman yaitu sumber dana, aksebilitas dan sasaran (target
group). Perumusan kebijaksanaan pembiayaan permukiman diarahkan guna mengatasi
permasalahan tidak terjangkaunya harga rumah oleh golongan masyarakat berpenghasilan
rendah dan ditujukan guna menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat
berpenghasilan rendah dapat menjangkau dan menikmati hasil-hasil pembangunan
24
perumahan. Analisis ini nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan pembiayaan permukiman di Kota Salatiga baik bagi masyarakat yang di kota
maupun di daerah yang masih bercirikan perdesaan. Hal lainnya yang harus dijawab
adalah memasukkan pembiayaan permukiman sektor non-formal ke dalam sistem
pembiayaan formal yang didukung pendapatan, hubungan atau kemitraan yang harmonis
antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
5) Analisis Kelembagaan Pembangunan Perumahan
Analisis kelembagaan pembangunan perumahan merupakan analisis yang tujuannya untuk
mengembangkan fungsi dan kapasitas lembaga yang ada dalam mendukung pembangunan
perumahan. Pengembangan sistem kelembagaan harus bersifat komprehensif dan sinergis
yaitu mencakup semua aktor, dan sektor yang terkait dengan bidang perumahan. Dengan
melakukan analisis kelembagaan ini diharapkan akan tersusun tatalaksana penyelenggara
pembangunan perumahan yang baik, sehingga nantinya peran dan kapasitas masyarakat
akan semakin meningkat dalam menjawab tantangan dan isu serta permasalahan dalam
penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang mengedepankan strategi
pemberdayaan masyarakat.
1.6. JADWAL PELAKSANAAN
Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah
tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dalam Jangka Waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender (atau sekitar 5 minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai
Kerja (SPMK). Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan
dilaksanakan adalah sebagai berikut: No Kegiatan Mgg-1 Mgg-2 Mgg-3 Mgg-4 Mgg-5
1 Persiapan (SPMK, penyu-
sunan kues dsb)
2 Pengumpulan data
3 FGD tahap 1 25-27
Nov
4 Pengolahan dan Analisa Data
5 Penulisan Laporan
6 FGD tahap 2 2-4 Des
7 Perbaikan Laporan Akhir
8 Penyerahan Laporan Akhir 15 Des
25
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
2.1. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam masyarakat
Indonesia, perumahan beserta prasarana pendukungnya merupakan pencerminan dari jati diri
manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan serta
keserasian dengan lingkungan sekitarnya. Perumahan dan permukiman juga mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa,sehingga
perlu dibina dan dikembangkan demi kelangsungan serta peningkatan kehidupan dan
penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber
daya manusia dan pengejawantahan dari lingkungan sosial yang tertib, juga merupakan
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri perumahan sebagai penyedia
lapangan kerja serta pendorong pembentukan modal yang besar. Melalui peningkatan serta
pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman, diharapkan masyarakat dapat
meningkatkan produktivitas, berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dan mampu
meningkatkan pemupukan modal bagi pembangunan selanjutnya.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menyebutkan
bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman semakin
menegaskan bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagiandari permukiman, baik
perkotaan maupun perdesaan,yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitasumum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yanglayak huni dan terjangkau.Yang dimaksud dengan
“rumah yang layak huni dan terjangkau”adalah rumah yang memenuhi persyaratan
keselamatan bangunandan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatanpenghuninya,
yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisanmasyarakat.
Sementara, sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman, yang dimaksud dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunianyang
26
terdiri atas lebih dari satu satuan perumahanyang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum,serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah bagian dari
kawasanpermukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuanPermukiman, dan kawasan
permukiman adalah bagian dari lingkunganhidup di luar kawasan lindung, baik berupa
kawasanperkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagailingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dantempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi,teratur, terencana,
terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkunganyang memenuhi persyaratan tata ruang,
kesesuaian hak atas tanahdan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umumyang
memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Dalam upaya penetapan lokasi dan penyediaan
perumahan dan permukiman yanglayak huni, sehat dan produktif ini peran pemerintah menjadi
sangat penting.
Pemerintah wajib berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya
pemberdayaan masyarakat serta pelaku kunci lainnya bagi berlangsungnya seluruh rangkaian
proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman, memfasilitasi dan mendorong
terciptanya iklim yang kondusif didalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman serta
mengoptimalkan pandayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan
permukiman.
2.2. PERSYARATAN LOKASI PERMUKIMAN
Salah satu faktor utama yang akan sangat berpengaruh dalam penyediaan perumahan
dan permukiman adalah masalah lokasi. Penetapan suatu lokasi pembangunan lingkungan
hunian barusebagaimana dimaksud dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman
pada pasal 66 ayat (5) adalah menjadi kewenangan dari bupati/walikota.Penetapan lokasi
pembangunan lingkungan hunian barusebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut
dilakukanberdasarkan hasil studi kelayakan;
a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;
b. rencana penyediaan tanah; dan
c. analisis mengenai dampak lalu lintas danlingkungan
Menurut Joseph De Chiara dalam Standar Perencanaan Tapak (1994), kondisi yang
harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi/tapak untuk perumahan apabila ingin dicapai
pembangunan dan pemeliharaan yang sehat, antara lain:
27
A. Sifat Khas Fisis Tapak yang Penting
1. Kondisi tanah dan bawah tanah.
Kondisi bawah tanah dan harus sesuai dengan untuk pekerjaan galian dan persiapan,
peletakan jaringan utilitas serta pelandaian dan penanaman, memberikan daya dukung
yang baik untuk penghematan konstruksi bangunan yang akan dibangun. Untuk
menghemat konstruksi, sebaiknya lapisan bawa tanah tidak mengandung batuan keras atau
rintangan lain untk efisiensi galian utilitas pondasi atau kolong bangunan.
2. Air tanah dan drainase
Muka air tanah yang relatif rendah untuk untuk melingdungi bangunan dari genangan pada
kolong bangunan dan gangguan air selokan, tidak adanya rawa, dan kelandaian lereng
yang cukup memungkinkan penyaluran curah hujan permukaan normal dan kelancaran
aliran air selokan.
3. Keterbebasan dari banjir permukaan
Daerah pembangunan harus terbebas dari bahaya banjir permukaan yang disebabkan oleh
sungai, danau atau air pasang.
4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan
Lahan tidak boleh terlalu curam demi kebaikan kelandaian dalam kaitannya dengan
kostruksi hunian. Tapak bangunan tidak boleh mempunyai ketinggian melebihi
kemampuan jangkuan air untuk keperluan rumah tangga dan penangulangan kebakaran.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi
Topografi harus memungkinkan pencapaian yang baik oleh kendaraan maupun pejalan
kaki, ke dan di dalam tapak. Topografi juga harus memungkinkan pelandaian yang sesuai
dengan standar yang ada.
6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka
Lahan untuk halaman pribadi, tempat bermain dan taman lingkungan harus memungkinkan
pelandaian dan pembangunan yang sesuai dengan spesifikasi.
7. Keterbatasan dari bahaya kecelakaan topografi
Daerah yang akan dibangun hendaknya bebas dari kondisi topografi yang dapat
menyebabkan kecelakaan, seperti galian, lubang yang menganga, dan garis pantai yang
berbahaya.
28
B. Ketersediaan Pelayanan Saniter dan Perlindungan
1. Persediaan air dan pembuangan air selokan saniter
Sistem persediaan air dan pembuangan harus dipandang sebagai pelayanan saniter jangka
panjang dan bukan hanya sekedar instalasi fisis. Penyetujuan dini dari pihak berwenang
dibidang kesehatan merupakan prasyarat untuk pembuatan fasilitas pembuangan air kotor
pada tapak dan untuk usulan pengembangan jaringan air maupun selokan yang akan
melayani tapak tersebut.
2. Pembuangan sampah
Apabila pelayanan sampah kota dapat diadakan, maka pemilihan tapak yang menyangkut
hal ini tidak akan menemui masala. Tetapi kebutuhan fasilitas pengolahan sampah pada
tapak atau di sekitas tapak untuk penguburan, pembakaran dan proses kimiawi memerlukan
upaya penelaahan untuk pengalaman. Masalah yang utama adalah pemisahan lahan untuk
pembuangan, penghindaran bau-bauan yang disebar oleh angin serta penggunaan metode
pembuangan untuk mencegah bersarangnya tikus dan pembiakan serangga.
3. Listrik, bahan bakar dan komunikasi
Listrik sangat penting untuk setiap rumah, tetapi karena pelayanan listrik biasanya dapat
diperluas untuk suatu pembangunan dan dapat dibangkitkan apabila diperlukan maka listrik
jarang menimbulkanmaslah dalam pemilihan tapak. Gas tidak dianggap sebagai utilitas
yang penting. Apabila keperluan gas berada di luar jangkauan jaringan pelayanan, maka
tabung gas bertekanan tinggi yang mudah diangkut dapat digunakan. Pelayanan telepon,
seperti listrik dapat diperluas untuk tapak yang memerlukannya.
4. Pengamanan oleh polisi dan penyelamat kebakaran
Kelayakan perlindungan oleh polisi tidak begitu terpengaruh oleh lokasi, tetapi seperti
halnya perlindungan terhadap kebakaran, apabila letak tempatnya terisolir maka segi
pembiayaan harus diperhitungkan.
C. Keterbatasan Dari Bahaya dan Gangguan Setempat
1. Bahaya kecelakaan
Bahaya utama kecelakaan utama adalah tabarakan dengan kendaraan bermotor lainnya,
bahaya api dan ledakan, jatuh, dan tenggelam. Penyebab tabrakan adalah lalu lintas jalan
dan jalan kereta api serta musibah pendaratan pesawat terbang di dekat jalur pendaratan.
2. Kebisingan dan getaran
Kebisingan yang berlebihan, kadang-kadang disertai getaran biasanya dihasilkan oleh
jalan kereta api, bandar udara, lalu lintas, industri berat, peluit kapal, dan sebagainya.
29
Perumahan tidak boleh terletak pada tapak yang terus menerus dilanda kebisingan yang
tidak terkendali, terutama di malam hari.
3. Bau-bauan, asap dan debu. Sumber bau-bauan yang tidak sedap biasanya adalah:
− Pabrik, industri, terutama rumah potong hewan, penyamakan kulit dan pabrik yang
menghasilkan produk dari binatang; industri karet, kimia dan pupuk, pewarnaan atau
pencucian tekstil; pabrik kertas, sabun dan cat; dan pabrik gas.
− Tempat pembuangan sampah, terutama apabila proses pemusnahan melibatkan
pembakaran.
− Sungai yang dikotori air selokan, atau instalasi pengolahan tinja yang tidak berjalan
dengan sempurna.
− Peternakan, terutama babi dan kambing, terutama apabila dipelihara secara berdesak-
desakan dan dalam keadaan kotor.
− Asap lalu lintas kendaraan bermotor dan kereta api dengan bahan bakar batubara.
Sumber asap dan debu yang sering dijumpai adalah industri, jalur kereta api, tempat
pembuangan dan kebakaran sampah. Debu juga berasal dari lahan terbuka seperti
lahan kosong, perkebunan yang tidak ditanami, tempat rekreasi yang tak terurus dan
daerah berdebu yang luas.
(Dirangkum dari: Joseph De Chiara; Lee E. Koppelman. Standar Perencanaan Tapak. 1994.
Hal: 91-95)
2.3. KRITERIA LOKASI DAN PERSYARATAN BAGGI PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN
Pengembangan permukiman pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman yang secara mendasar sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-
hari dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan permukiman selain menyediakan rumah
untuk tempat tinggal, juga bertujuan untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat secara
lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menjamin kualitas kehidupan bagi semua
orang.
Penggunaan lahan untuk permukiman merupakan penggunaan lahan tunggal terbesar di
kota manapun (Koppelman dan De Chiara J, 1994). Menurut UU no 4 tahun 1992 tentang
permukiman dan perumahan pasal 1, fungsi kawasan permukiman adalah sebagai berikut:
Selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk
berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat
30
awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi dan teratur.
Selain berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk
mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga, perumahan juga berfungsi sebagai
tempat untuk menyelenggarakan kegiatan bermasyarakat dalam lingkup terbatas.
Penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan sebagainya,
dimaksudkan agar lingkungan tersebut akan merupakan lingkungan yang sehat, aman,
serasi dan teratur serta dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.
Permukiman yang dimaksud dalam undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu
yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat
tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja yang
memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung peri kehidupan dan
penghidupan sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
2.4. PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Untuk mewujudkan suatu lingkungan perumahan yang mampu meningkatkan taraf
hidup penghuninya perlu penyediaan prasarana dan sarana penunjang. Prasarana lingkungan
perumahan umumnya terdiri atas jalan, air bersih, listrik, drainase dan persampahan.
Sedangkan sarana lingkungan meliputi dua hal yakni fasilitas sosial (tempat ibadah, lapangan
olah raga, gedung pertemuan) dan pelayanan sosial (sekolah, klinik/puskesmas/rumah sakit)
(Budiharjo, 1991).
Pembangunan dan pengembangan kawasan lingkungan perumahan pada dasarnya
memiliki dua fungsi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu fungsi pasif dalam
artian penyediaan sarana dan prasarana fisik, serta fungsi aktif yakni penciptaan lingkungan
yang sesuai dengan kehidupan penghuni (Budiharjo, 1991). Kedua fungsi ini lebih lanjut
dijabarkan dalam suatu pedoman pokok perumahan atau Habitat Bill of Rights yang
mengemukakan pedoman menyangkut lingkungan permukiman dan bangunan perumahan.
Dalam pedoman mengenai lingkungan permukiman disebutkan:
Fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan budaya masyarakat setempat;
Lingkungan permukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang
sebanding dengan ukuran/luas lingkungan serta jumlah penghuni;
Pada lingkungan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sedapat mungkin tersedia
pula wadah kegiatan yang dapat menambah penghasilan;
Taman, ruang terbuka/penghijauan harus tersedia cukup;
31
Perencanaan tata letak permukiman harus memanfaatkan bentuk topografis dan
karakteristik alami site setempat;
Jalan masuk lingkungan terdapat pemisahan antara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki,
serta sedapat mungkin diteduhi dengan pepohonan;
Lingkungan permukiman harus menunjang terjadinya kontak sosial dan menciptakan
identitas dari segenap penghuni.
Sedangkan hal-hal yang tertera dalam pedoman untuk bangunan perumahan, antara lain:
Ukuran unit rumah dan pekarangan diperhitungkan atas dasar jumlah anggota keluarga dan
kemungkinan pertambahan jumlah penghuni;
Setiap rumah selayaknya memiliki taman tersendiri;
Batas pemilikan rumah/pekarangan harus cukup jelas dibedakan dari daerah publik;
Setiap rumah harus terbuka ke kedua arah agar dapat sirkulasi udara silang dan
pencahayaan silang;
Interior dan eksterior rumah selayaknya mencerminkan nilai-nilai dan tata cara
penghuninya;
Setiap unit rumah memiliki fasilitas mandi cuci sendiri yang memenuhi persyaratan
kesehatan. (Budiharjo, 1991).
2.5. KRITERIA LOKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Yang dimaksud dengan kriteria lokasi adalah kriteria umum yang dipersyaratkan untuk
suatu kawasan dapat disebut dan atau dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan
permukiman. Tidak setiap kawasan ekonomis dapat dikembangkan sebagai kawasan
perumahan, dan tidak setiap kawasan fungsional yang tidak produktif layak dikembangkan
menjadi kawasan perumahan dan permukiman.
Untuk itu, berbagai standart teknis pembangunan perumahan dan permukiman yang ada
tetap dapat dijadikan acuan dan pegangan sepanjang tidak bertentangan dengan visi, misi, dan
kebijakan nasional. Secara umum, terdapat dua kriteria yang perlu dijadikan pegangan dalam
menetapkan suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan
permukiman.
1. Kriteria Umum
Hal yang prinsip dalam penetapan suatu kawasan perumahan dan permukiman adalah
dalam RTRW, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai daerah dengan peruntukan
perumahan dan permukiman. Kawasan perumahan dan permukiman dapat dikembangkan
pada lokasi yang memenuhi kriteria berikut:
32
a. Tercantum dalam RUTR Kota/Kabupaten sebagai daerah perumahan (baik yang telah
ada ataupun masih memerlukan proses dan yang dicadangkan khusus untuk keperluan
tersebut).
b. Secara geografis lokasinya mudah diakses, dalam arti terkait dengan rencana investasi
dan pengembangan sarana dan prasarana primer yang berskala kota, terlayani atau
dalam rencana terlayani oleh sarana angkutan umum.
c. Memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah, khususnya masyarakat, dalam arti:
Menunjang ketersediaan rumah layak dan terjangkau.
Dukungan atau menjadi bagian integral dari pengembangan kawasan fungsional
lain (kawasan industri, kawasan wisata, dll).
Luasan minimalnya mendukung terlaksananya pola hunian berimbang (membentuk
lingkungan sosial yang harmonis antar strata).
Tidak mengganggu keseimbangan dan fungsi ekologis dan upaya pelestarian
sumber daya alam lainnya.
Skala kegiatannya dapat memberikan/ membuka kesempatan kerja baru bagi
masyarakat yang membutuhkan.
2. Kriteria Khusus
Kriteria khusus ini merupakan penjabaran lanjut dari kriteria umum, yang dapat dikaitkan
dengan pengembangan melalui program dan kegiatan khusus, antara lain:
a. Kawasan Permukiman Baru
Pembangunan kawasan permukiman baru diartikan sebagai kawasan permukiman yang
dibangun pada lahan yang disiapkan secara khusus untuk itu. Pengembangannya
mensyaratkan antara lain:
1. Tidak berada pada lokasi yang rawan bencana rutin maupun dapat diprediksi terjadi
(longsor, banjir, genangan menetap atau rawan kerusuhan sosial).
2. Mempunyai sumber air baku yang memadai (kualitas dan kuantitas) atau
terhubungkan dengan layanan jaringan air bersih, pematusan dan sanitasi berskala
kota.
3. Terletak pada hamparan dengan luasan yang memadai, sebagaimana tertuang dalam
Intruksi MENEG AGRARIA No.5/ Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi
dalam rangka penataan/ penguasaan tanah skala besar, yang antara lain memuat
penguasaan lahan maksimum oleh perusahaan pengembang sebagai berikut:
Antara 200-400 Ha per propinsi untuk satu pengembang atau konsorsium.
4000 Ha untuk seluruh Indonesia (bila terletak dalam satu hamparan).
33
b. Untuk pengembangan kawasan permukiman di daerah pedesaan, harus terkait dengan :
1. Upaya antisipasi tumbuh dan bekembangnya kota-kota kecil yang berada pada
lokasi geografis dan strategis.
2. Mendukung pengembangan ibu kota kecamatan sebagai pusat pelayanan primer.
3. Upaya menggulirkan kegiatan berkehidupan dan penghidupan pada desa-desa
terisolasi, kawasan permukiman perbatasan atau desa potensial yang belum
tergarap.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, lokasi
yang sesuai untuk pengembangan dan pembangunan perumahan minimal harus memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut:
Lokasi perumahan harus berada pada daerah yang peruntukannya dapat dikembangkan
sebagai lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku atau di
daerah yang ditunjuk dengan sah oleh pemerintah setempat bila belum ada rencana tata
ruang yang diberlakukan.
Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan perumahan dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan.
Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang
ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya alam.
Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan
individu dan masyarakat penghuni.
Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%,
sehingga dapat dibuat sistem saluran pembuangan air hujan dan fungsi jalan setempat yang
baik serta memiliki daya dukung yang cukup untuk memungkinkan dibangun perumahan.
Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memperoleh lokasi yang sesuai sebagai kawasan perumahan memerlukan seleksi
dan analisis terhadap kondisi fisik kawasan (Chiara & Koppelman, 1989).
Sedangkan menurut Bourne (1982) dalam penentuan lokasi perumahan yang diinginkan
penghuni berkaitan dengan kemampuan ekonomi, keuntungan lokasi dan kualitas lingkungan
fisik.
Kemampuan biaya, dapat dilihat dari pengeluaran yang diperuntukkan bagi penyediaan
tempat tinggal.
Keuntungan lokasi, dilihat dari faktor aksesibilitas dan jarak dari pusat kota. Aksesibilitas
terutama faktor angkutan umum menyebabkan pergerakan penduduk lebih mudah. Bagi
34
golongan berpendapatan rendah maka faktor kedekatan jarak dengan pusat kota menjadi
preferensi utama, sedangkan bagi golongan masyarakat menengah ke atas jarak kedekatan
lokasi tidak menjadi permasalahan.
Kualitas lingkungan, setiap hunian dalam suatu perumahan merupakan tempat kita
melepaskan diri dari luar, dari tekanan dan ketegangan dan dari kegiatan rutin. Oleh
karena itu diperlukan suatu hunian yang nyaman dan damai sebagai elemen pendukung
terhadap konsep ini. Dari pengertian ini diturunkan faktor ketersediaan sarana prasarana
dan bebas banjir.
Menurut Chapin dalam perencanaan guna lahan kawasan perumahan, pada prinsipnya lokasi
pembangunan perumahan memiliki beberapa kriteria, antara lain:
Kawasan perumahan harus didukung dengan kelengkapan sarana prasarana, utilitas, dan
fasilitas umum bagi penghuni.
Kawasan permukiman dan perumahan harus dialokasikan sehingga memiliki kemudahan
pencapaian ke pusat-pusat kegiatan.
Kawasan perumahan dialokasikan di kawasan yang memiliki kapasitas fasilitas pelayanan
lingkungan yang memadai agar pembangunan lebih efisien yaitu dengan memperluas
fasilitas pelayanan yang sudah ada.
Kawasan perumahan perlu dibangun dengan tingkat kepadatan ruang yang direncanakan
sehingga dapat mencegah timbulnya pergerakan yang berlebihan dan mengurangi
kemacetan.
Selain itu dalam memilih lokasi permukiman, juga perlu mempertimbangkan potensi struktural
dan lokasi lahan permukiman (Charter dalam Sai’dah, 2002). Pertimbangan tersebut
ditekankan pada faktor-faktor sebagai berikut:
Kondisi akses lokasi permukiman ke lokasi kegiatan lain.
Besarnya biaya untuk perjalanan aktivitas harian.
Harga lahan yang lebih murah atau menjangkau kemampuan masyarakat.
Kondisi dan kelengkapan fasilitas umum.
Arsitektur rumah yang baik dan modern
Kondisi sosial lingkungan yang dapat diterima.
Jarak permukiman ke lokasi tempat kerja.
Jarak permukiman ke pusat kota atau pusat aktivitas.
Menurut Drabkin (1997), selain itu juga ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
pemilihan lokasi secara individu yang berbeda satu sama lain yaitu:
Aksesibilitas
35
Aksesibilitas ini terdiri atas kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota.
Lingkungan
Lingkungan dalam hal ini terdiri atas lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi
dan lingkungan yang nyaman.
Peluang kerja yang tersedia
Peluang kerja dalam hal ini yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk
kelangsungan hidupnya.
Tingkat pelayanan
Dalam hal ini lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik
dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.
Menurut Hidayat dalam Supriyanto (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan
perumahan oleh konsumen, yaitu:
1. Kelompok faktor kenyamanan, terdiri atas tersedianya air bersih yang mencukupi, udara
yang sejuk segar bebas dari pencemaran, ada jaminan keamanan, bebas banjir, jauh dari
sumber bencana alam.
2. Kelompok faktor internal, terdiri dari; harga rumah yang murah, luas lahan, lebar jalan,
kualitas bangunan.
3. Kelompok faktor tujuan terdiri dari menikmati rumah, untuk spekulasi, untuk investasi.
4. Kelompok faktor sosialisasi terdiri dari penghargaan sesama penghuni, untuk
kebanggaan/prestise, dekat dengan/ada teman sejawat
5. Kelompok faktor fasilitas, terdiri dari ada gedung pertemuan, dekat dengan/ada taman,
kolam renang, tempat ibadah dan lapangan tenis.
6. Kelompok faktor pendidikan terdiri dari dekat TK, SD, SMP, SMA, dan kampus.
7. Kelompok faktor kesehatan, terdiri dari dekat dengan dokter, puskesmas, rumah sakit.
8. Kelompok faktor aksesibilitas, terdiri dari tersedia alat transportasi umum, keadaan lalu
lintas yang lancar menuju lokasi perumahan
9. Kelompok faktor eksternal, terdiri dari dekat dengan bandar udara, pusat kota, museum,
kebun binatang, tempat kerja, pasar, pantai wisata, dll.
10. Kelompok faktor topografi terdiri dari topografi yang berbukit-bukit dan datar/rata.
Sementara itu, menurut Budihardjo (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
memilih lokasi perumahan dibagi menjadi empat segi antara lain:
1. Segi teknis pelaksanaanya :
Mudah mengerjakannya, tidak banyak pekerjaan cut and fill
Bukan daerah banjir, daerah gempa, daerah angin ribut dan daerah rayap
36
Mudah dicapai tanpa hambatan yang berarti
Tanahnya baik sehingga baik untuk konstruksi bangunan
Mudah mendapatkan sumber air bersih, listrik, pembuangan air limbah/kotor/hujan dan
lain-lain
Mudah mendapatkan bahan-bahan bangunan
Mudah mendapatkan tenaga-tenaga pekerja dan lain-lain.
2. Segi tata guna tanah :
Tanah yang secara ekonomis sudah susah untuk dikembangkan secara produktif
Tidak merusak lingkungan
Mempertahankan tanah yang berfungsi sebagai reservoir air tanah, penampung air
hujan dan penahan air laut.
3. Segi kesehatan :
Lokasi jauh dari lokasi pabrik-pabrik yang dapat mendatangkan polusi misalnya debu
pabrik, buangan sampah-sampah dan limbah pabrik.
Lokasi tidak terganggu oleh kebisingan
Lokasi mudah untuk mendapatkan air minum, listrik, sekolah, puskesmas, dan lain-lain
kebutuhan keluarga.
Lokasi mudah dicapai dari tempat kerja para penghuni
4. Segi politis dan ekonomis
Menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekelilingnya
Menjadi contoh bagi masyarakat sekeliling untuk membangun rumah dan lingkungan
yang sehat
Mudah penjualannya karena lokasi disukai calon pembeli dan menguntungkan
pengembang
Dari kriteria di atas dapat disederhanakan menjadi 3 faktor berikut ini:
Kemampuan fisik lahan, meliputi kemiringan, erosi, keefektifan tanah dan ada tidaknya
genangan.
Penggunaan lahan yang ada, meliputi ketersediaan lahan, fungsi lahan eksisting dan
harga lahan.
Potensi lokasi, meliputi kelengkapan sarana/fasilitas dan jaringan utilitas, kemudahan
aksesibilitas atau rute angkutan umum, kedekatan dengan pusat kegiatan/aktivitas atau
jarak ke pusat kota/kecamatan.
Menurut Koppelman dan De Chiarra, 1994 lokasi perumahan seharusnya memiliki sistem jalan
yang sesuai dengan persyaratan sirkulasi dari rencana tata ruang kota. Hal ini memberikan
37
pencapaian maksimum kepada semua bagian kota dan menjamin koordinasi yang baik dengan
rencana perubahan sirkulasi di kemudian hari.
3. Persyaratan Dasar Kawasan Perumahan
Persyaratan dasar tersebut meliputi:
- Aksesibilitas, yaitu kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan yang
terwujud dalam bentuk jalan dan transportasi;
- Kompabilitas, merupakan keserasian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi
lingkungannya;
- Fleksibilitas, yaitu kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan
dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
- Ekologi, adalah keterpaduan antara tatanan kegiatan alam yang mewadahinya (DPU,
1987).
2.6. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
PERMUKIMAN
Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah,
dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi
berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan
harkat hidup manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup
banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya
dan peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor
ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan
adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat(Sumber: “Jurnal Perencanaan
Wilayah Dan Kota, Nomor 12.April 1994).
Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain: letak geografis, kependudukan, sarana
dan prasarana, ekonomi dan keterjangkauan daya beli, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kelembagaan, dan peran serta masyarakat(Sumber : Siswono, dkk).
1. Faktor geografi
Letak geografis suatu permukiman sangat menentukan keberhasilan
pembangunan suatu kawasan. Permukiman yang letaknya terpencil dan sulit dijangkau
akan sangat lambat untuk berkembang. Topografi suatu kawasan juga berpengaruh, jika
topografi kawasan tersebut tidak datar maka akan sulit bagi daerah tersebut untuk
38
berkembang. Lingkungan alam dapat mempengaruhi kondisi permukiman, sehingga
menambah kenyamanan penghuni permukiman.
2. Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk yang tinggi, merupakan permasalahan yang
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan permukiman. Jumlah
penduduk yang besar merupakan sumber daya dan potensi bagi pembangunan, apabila
dapat diarahkan menjadi manusia pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi
sebaliknya, jumlah penduduk yang besar itu akan merupakan beban dan dapat
menimbulkan permasalahan bila tidak diarahkan dengan baik. Disamping itu,
penyebaran penduduk secara demografis yang tidak merata, merupakan permasalahan
lain berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.
3. Faktor Kelembagaan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah
perangkat kelembagaan yang berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan,
dan pelaksanaan baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di
daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan suatu
sistem terpadu. Menurut UU No. 5 Tahun 1979, Pemda memegang peranan dan
mempunyai posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan perumahan. Namun
unsur-unsur perumahan di Tingkat Daerah yang melaksanakan program khusus untuk
koordinasi, baik dalam koordinasi vertikal maupun horisontal dalam pembangunan
perumahan, masih perlu dimantapkan dalam mempersiapkan aparaturnya.Termasuk
didalamnya adalah kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman, keberadaan
lembaga-lembaga desa, misalnya LKMD, Karang Taruna, Kelompok wanita dan
sebagainya.
4. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat
Dalam rangka membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah,
menengah, tidak tetap, perlu dikembangkan pembangunan perumahan secara swadaya
masyarakat yang dilakukan oleh berbagai organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini
dapat dinyatakan bahwa masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah
dan tidak berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan proses
bertahap, yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau sederhana, kemudian
39
lambat laun diperbaiki dengan bangunan permanen bahkan ada pula beberapa rumah
yang sudah bertingkat. Faktor swadaya dan peran serta masyarakat atau aspek sosial
tersebut juga meliputi kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga, gotong
royong dan pekerjaan bersama lainnya.
5. Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi
perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat
istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktor-
faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung
terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan
citra dan jati diri penghuninya.
6. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat
perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan
permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat
pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula
kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan
perkembangan permukiman di suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat
terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin murah
harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah,
maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.
7. Sarana dan Prasarana
Kelengkapan sarana dan prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat
mempengaruhi perkembangan permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana
dan prasarana yang memadai dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas
sehari-hari. Semakin lengkap sarana dan prasarana yang tersedia maka semakin banyak
pula orang yang berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
8. Pertanahan
Kenaikan harga lahan sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan untuk
permukiman, menyebabkan timbulnya kawasan kumuh (slum dan squatter).
40
9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan
perkembangan perumahan dan permukiman. Dengan diciptakannya teknologi-teknologi
baru dalam bidang jasa konstruksi dan bahan bangunan maka membuat pembangunan
suatu rumah akan semakin cepat dan dapat menghemat waktu. Sehingga semakin
banyak pula orang-orang yang ingin membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan
perkembangan permukiman.
2.7. PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PERENCANAAN
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Perkembangan ilmu geografi yang memanfaatkan kemampuan teknologi penginderaan
jarak jauh (remote sensing) telah semakin berkembang melalui pengembangan Sistem
Informasi Geografis (SIG) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti
pemetaan lahan, pemetaan kawasan permukiman dan sebagainya. Sistem Informasi Geografis
(bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi
khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau
dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk
membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis,
misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga
memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari
sistem ini.
Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,
pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute.
Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap
darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah
(wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi.Dengankemajuan teknologi yang
demikian pesat, GIS berfungsi sebagai alat kajian yang utama dalamanalisis keruangan secara
komprehensif. Bahkan sebagian pakarmenyatakan bahwa SIG akan menjadi potensial kajian
geografi (Agnew et al.1996).Dengan keterlibatan seperti itu jelaslah bahwa GIS sebagai alat
bantu ilmuGeografi sangat efektif dalam melakukan analisis geografis karena memangdapat
memadukan berbagai unsur dalam geografi, baik fisik, sosial, ekonomimaupun budaya.
Salah satu keunggulan utama dari SIG adalah kemampuannya untuk
mentransformasikan data riil rupa bumi kedalam berbagai lapis peta (layers) yang saling bisa
41
ditumpangtindihkan (overlay) sesuai dengan yang diinginkan. Gambar berikut menunjukkan
konsep dasar SIG dan contoh penggunaannya.
Gambar 3.
Konsep Dasar
SIG
Dalam Keppres No. 5 tahun 1989 tentang pedoman penyusunan tata ruang di daerah,
kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dengan kriteria
ketersediaan air terjamin, kesesuaian lahan dengan masukan teknologi dan lokasi berkaitan
dengan kawasan hunian yang telah adadan berkembang. Semakin bertambahnya jumlah
permukiman di Indonesia seperti tersebut di atas, mendorong untuk dilakukannya studi
mengenai pola sebaran dan perkembangan permukiman yang mengakibatkan bertambahnya
suatu penggunaan lahan untuk permukiman yang diikuti dengan berkurangnya suatu
penggunaan lahan lainnya pada kurun waktu tertentu,sehingga untuk mengetahui perubahan
lahan di suatu daerah diperlukan minimum dua data pada daerah yang sama dengan kurun
waktu yang berbeda. Pola penggunaan lahan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu
faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan.
Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap
suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun
untuk industry (Kazaz, 2001 dalam Arifiyanto, 2005).Perubahan penggunaan lahan dari lahan
non pertanian (permukiman) bersifat tidak dapat balik, karena untuk mengembalikannya
membutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati
dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang
berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit,radar dan foto
udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan
42
(Arifiyanto, 2005). Untuk memenuhi kebutuhan inilah maka Sistem Informasi Geografis (SIG)
akan dapat dimanfaaatkan secara maksimal.
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berdasar komputer yang
mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup
pemasukan, manajemen data (peyimpanan data dan pemanggilandata), manipulasi dan analisis
dan pengembangan produk serta pencetakan (Aronoff, 1989). Dengan kata lain, suatu SIG
adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial
bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.
43
BAB III
ASPEK SOSIO DEMOGRAFIS, EKONOMI, TATA
RUANG DAN YURIDIS PEMBANGUNAN
PERMUKIMAN KOTA SALATIGA
3.1. GAMBARAN UMUM KOTA SALATIGA
Kota Salatiga terletak di Jawa Tengah bagian tengah tepatnya di tengah-tengah wilayah
Kabupaten Semarang, berjarak ± 54 km ke arah selatan dari Kota Semarang, tepatnya pada
posisi 110 º 27’ 56,81" - 110º 32’ 4,84” Bujur Timur dan 7º 17’ 4,14” - 7º 23’ 23,25” Lintang
Selatan. Secara geografis, letak Kota Salatiga cukup strategis karena berada pada jalur
transportasi darat utama Jakarta – Semarang – Solo – Surabaya dan terletak diantara dua kota
pusat pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Ditinjau dari sudut morfologinya,
maka letak Kota Salatiga karena berada di pedalaman kaki Gunung Gajahmungkur, Gunung
Telomoyo dan Gunung Rong yang mempunyai hawa sejuk.
Kota Salatiga secara administratif termasuk dalam bagian dari Wilayah Propinsi Jawa
Tengah. Secara sepintas tampak bahwa, wilayah Kota Salatiga terletak diantara 0070 17’ dan
0070 17’ 23” Lintang Selatan serta 1100 27’ 56.81” dan 1100 32’ 4.64” Bujur Timur.
Secara administrasi Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 kelurahan
dengan luas wilayah 5.678.109 Ha, dan berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara
- Kecamatan Pabelan : Kelurahan Pabelan, Kelurahan Bejatan
- Kecamatan Tuntang : Kelurahan Kesongo, Kelurahan Watu Agung
2. Sebelah Timur
- Kecamatan Pabelan : Kelurahan Ujung-ujung, Kelurahan Sukoharjo dan Kelurahan
Glawan
- Kecamatan Tengaran : Kelurahan Bener, Kelurahan Tegal Waton, dan Kelurahan Nyamat
3. Sebelah Selatan
- Kecamatan Getasan : Kelurahan Sumogawe, Kelurahan Samirono, dan Kelurahan Jetak
- Kecamatan Tengaran : Kelurahan Patemon, Kelurahan Karang Duren
4. Sebelah Barat
- Kecamatan Tuntang : Kelurahan Candirejo, Kelurahan Jombor, Kelurahan Sraten, dan
Kelurahan Gedongan
44
- Kecamatan Getasan : Kelurahan Polobogo
3.1.1. Kondisi Fisik Alam
Tinjauan kondisi fisik alam Kota Salatiga meliputi Topografi, Geologi, Hidrologi dan
Hidrogeologi, Klimatologi serta klasifikasi tanah.
3.1.1.1. Topografi
Dilihat dari letak topografinya Kota Salatiga, terletak pada ketinggian lebih kurang 455
– 800 meter dpl (dari permukaan laut), berarti kota Salatiga termasuk dalam kawasan budidaya
yang potensial (ketinggian antara 0 – 1000 dpl, menurut Keppres No. 32/1990). Wilayah Kota
Salatiga setelah mengalami perluasan menjadi 3 kategori, yaitu:
- Daerah bergelombang, ± 65% dari luas wilayah yang meliputi Kelurahan Sidorejo Lor,
Salatiga, Kutowinangun, Gedongan, Ledok, Dukuh, Bugel, Kumpulrejo, dan Kelurahan
Kauman Kidul.
- Daerah miring, ± 25% dari luas wilayah meliputi Kelurahan Tegalrejo, Mangunsari,
Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah, dan
Kelurahan Sidorejo Lor.
- Daerah yang relatif datar, ± 10% dari luas wilayah yang berada di Kelurahan Kalicacing,
Kelurahan Noborejo, Kalibening dan Kelurahan Blotongan.
Sedangkan ditinjau dari kelerengan tanahnya, kelerengan tanah terbagi menjadi 6 kategori,
yaitu:
1. 2% - 5%, Luas keseluruhan 1.847,26 ha sebagian besar terdapat di kelurahan Tegalrejo,
Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Noborejo, Kelurahan Kalibening
dan Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Pulutan.
2. 5% - 8%, Luas Keseluruhan 2.393,10 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Kalicacing,
Kelurahan Gendongan, Kelurahan Tegalrejo, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan
Kecandran, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan
Kelurahan Kalibening.
3. 8% - 15%, Luas Keseluruhan 1.098,64 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Ledok,
Kelurahan Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Sidorejo
Lor, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kauman Kidul,
Kelurahan Blotongan.
4. 15% - 25%, Luas keseluruhan 216,31 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan Kelurahan
Blotongan.
45
5. 25% -40%, luas keseluruhan 213,37 ha sebagian besar di Kelurahan Kutowinangun,
Kelurahan Bugel, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan Kelurahan Sidorejo
Kidul.
6. > 40%, luas keseluruhan 131,30 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan sebagian kecil
di Kelurahan Sidorejo Kidul, Blotongan dan keseluruhan Kutowinangun.
Dari data kelerengan diatas dapat dilihat kawasan Budidaya dan Lindung, yakni pada
kelerengan 2% - 15 % ideal untuk Kawasan Permukiman, sedangkan untuk kelerengan 15% -
25% dapat pula dipergunakan untuk Permukiman dengan persyaratan teknis yang lebih rinci.
Untuk kelerengan > 40%, berdasarkan Keppres No. 32/1990 merupakan Kawasan
Lindung/Konservasi.
Jika disimpulkan sebagian besar wilayah Kota Salatiga potensial untuk digunakan
sebagai Permukiman, dan hanya sebagian kecil yang dijadikan sebagai Kawasan
Lindung/Koservasi. Sedangkan untuk kawasan disepanjang aliran sungai, dibagian kiri dan
kanan dapat dijadikan sebagai Kawasan Lindung/Konservasi dengan jarak minimum 15 meter,
dan untuk mata air dengan radius jari-jari ± 200 m. Secara makro, diwilayah Kota Salatiga
sebagian besar tidak terjadi genangan. Untuk kelerengan 25% - > 40 % genangan yang terjadi
hanya sebagian kecil berada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kutowinangun,
Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Bugel dan Kelurahan Blotongan.
Berdasarkan penjelasan pada Keppres No. 32/1990 bahwa salah satu kriteria Kawasan
Lindung adalah mempunyai kelerengan > 40 %. Hal ini tidak berlaku pada sebagian kecil
kawasan yang ada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Bugel dan Blotongan yang mempunyai tingkat
erosi ringan. Maka pada kawasan tersebut tetap masuk dalam kriteria Kawasan Budidaya
dengan persyaratan tertentu. Kondisi kelerengan tersebut diatas sesuai dengan Peta 3.1.
3.1.1.2. Geologi
Geologi merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan potensi sumberdaya tanah.
Jenis lahan di Kota Salatiga dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Lahan Latosol Coklat
Bahan induknya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur remah dan konsegtasinya
gembur, produktivitas lahan sedang sampai tinggi. Jenis lahan ini terdapat di sebagian besar
wilayah Kota Salatiga dan ini sangat baik ditanami padi, palawija, sayur-sayuran, buah-
buahan, cengkih dan lain-lain.
46
b. Lahan Latosol Coklat Tua
Bahan dasarnya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur lahannya remah dan
konsegtasinya gembur sekali. Lahan ini terdapat di bagian ujung utara kota, sekitar
pegunungan Payung Rong. Lahan ini cocok sekali ditanami kopi, teh, coklat, padi, pisang,
cengkih, dan tanaman campuran.
3.1.1.3. Hidrologi dan Hidrogeologi
Wilayah Kota Salatiga memiliki 4 buah mata air yang mengalir di beberapa kecamatan
dan kelurahan yang ada. Keempat mata air tersebut sedikit banyak menjadi sumber air yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Mata air-mata air tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Mata air Kalitaman yang mengalir ke Utara dengan kapasitas 150 liter per detik, yang
berfungsi sebagai irigasi persawahan di pemandian dan rekreasi.
2. Mata air Kalisombo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas 50 liter per detik, yang
dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan mengaliri areal persawahan di wilayah
Semarang dan Kota Salatiga
3. Mata air Benoyo yang mengalir kearah barat dengan kapasitas 50 liter per detik yang
berfungsi sebagai irigasi persawahan di wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga
serta sebagai penggelontoran drainase Kota. Mata air ini dianggap tidak sehat.
4. Mata air Senjoyo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas ± 1.000 liter per detik,
terletak di wilayah Kota Salatiga yang dimanfaatkan untuk air minum Utama Kota Salatiga.
Jumlah sumber air yang cukup banyak di Kota Salatiga akan dapat meningkatkan
konservasi tata air, sehingga kondisi ini akan menjadi kendala dalam pengembangan wilayah
Permukiman selain juga dapat sebagai potensi. Adapun kali-kali yang mengalir di wilayah
Kota Salatiga yaitu: Kali Ngaglik, Kali Banjaran, Kali Kalisombo, yang kesemuanya bermuara
pada Kali Tuntang.
Air tanah di wilayah Kota Salatiga rata-rata pada ketinggian 10 – 20 m. Kota Salatiga
termasuk dalam area “Ground Reservoir” atau daerah pengumpulan air tanah, dimana asal air
tanah yang mengalir dari daerah tangkapan air Gunung Merbabu di sebelah Selatan dan
Gunung Ungaran di sebelah Barat. Maka persediaan air tanah dirasa sudah cukup termasuk air
permukaan yang dapat diperoleh dari kali-kali yang mengalir di wilayah Kota Salatiga dan
sekitarnya, selain dipergunakan untuk kepentingan irigasi, sebagian dapat diolah untuk air
minum Kota Salatiga di masa mendatang.
47
3.1.1.4. Klimatologi
Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis, dengan musim hujan dan kemarau
yang bergantian setiap setengah tahun sekali dengan temperatur rata-rata yang dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:
• 240 – 260 C
• 220 – 240 C
• 200 – 220 C
• dan dibawah 200 C
Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis dengan temperatur antara 20 derajat – 26
derajat. Menurut data yang tertuang dalam Kota Salatiga Dalam Angka 2005 menunjukkan
bahwa jumlah curah hujan 2.308 mm dengan jumlah hari hujan 146 hari dan rata-rata curah
hujan 16 mm/hari.
Tabel III - 1.
Curah Hujan dan Hari Hujan Kota Salatiga Tahun 2014
NO BULAN CURAH
HUJAN
HARI
HUJAN
RATA-RATA
HUJAN/HARI
1. Januari 210 13 16
2. Februari 262 20 13
3. Maret 244 19 13
4. April 339 18 19
5. Mei 68 5 14
6. Juni 18 10 8
7. Juli 82 6 14
8. Agustus 44 5 9
9. September 145 7 21
10. Oktober 330 11 30
11. Nopember 141 9 16
12. Desember 365 23 16
JUMLAH 2.308 146 16
Sumber: Kota Salatiga dalam Angka 2014
Tingginya intensitas jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan di Kota Salatiga,
sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam hal pengelolaan jaringan
drainase dan perlindungan terhadap kawasan hijau. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadi
bencana banjir dan tanah longsor, serta terjadinya genangan air di Kota Salatiga.
3.1.2. Penggunaan Lahan
Dari luas wilayah Kota Salatiga sebesar 5.678.110 Ha, pola penggunaan lahannya
terdiri atas 803.590 Ha digunakan untuk lahan sawah dan 4.678,777 Ha bukan lahan sawah.
48
(Kota Salatiga dalam Angka, 2014), untuk lebih jelasnya mengenai penggunaan lahan eksisting
Kota Salatiga dapat dilihat pada Peta 3.2. Penggunaan Lahan Kota Salatiga Eksisting.
A. Tanah Sawah
Tanah sawah dengan irigasi teknis seluas 373.973 Ha, irigasi setengah teknis seluas 125.934
Ha, irigasi sederhana seluas 138.514 Ha, dan sawah tadah hujan seluas 165.169 Ha.
Ditinjau dari luas tanah sawah di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah sawah terluas adalah
di Kecamatan Sidorejo (391.543 Ha), diikuti oleh Kecamatan Tingkir (316.442 Ha),
Kecamatan Sidomukti (64.920 Ha) dan Kecamatan Argomulyo (30.685 Ha).
B. Tanah Kering
Penggunaan tanah kering di Kota Salatiga seluas 4.678.777 ha terdiri dari: pekarangan
3.033,043 ha, tegal/kebun 1.645,940 dan lahan lainnya 195.743 ha.
Ditinjau dari luas tanah kering di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah kering terluas adalah
Kecamatan Argomulyo (1.748.026 ha), sedangkan luas tanah kering paling kecil adalah
Kecamatan Tingkir (702.527 ha).
Tabel III - 2.
Pola Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
NO KELURAHAN
PENGGUNAAN LAHAN ( Ha )
TOTAL LAHAN
SAWAH
LAHAN KERING LAHAN
LAINNYA PEKARANGAN TEGALAN
A KEC.
SIDOREJO
391,542 889,543 287,264 56,371 1.624,720
1 Blotongan 77,836 159,000 166,964 20,000 423,800
2 Sidorejo Lor 33,485 146,880 72,935 18,300 271,600
3 Salatiga 21,574 173,162 2,492 4,772 202,000
4 Bugel 49,284 228,509 12,883 3,694 294,370
5 Kauman Kidul 76,127 86,813 28,810 4,100 195,850
6 Pulutan 133,236 95,179 3,180 5,505 237,100
B KEC.
TINGKIR
316,442 525,185 177,892 35,535 1.055,054
1 Kutowinangun 45,625 192,762 47,780 7,583 293,750
2 Gendongan 0,000 66,584 0,000 2,316 68,900
3 Sidorejo Kidul 84,472 93,639 86,328 13,061 277,500
4 Kalibening 57,038 39,312 0,177 3,276 99,803
5 Tingkir Lor 75,992 79,230 17,455 4,623 177,300
6 Tingkir Tengah 53,315 53,658 26,152 4,676 137,801
C KEC.
ARGOMULYO
30,685 974,246 774,117 73,644 1.852,692
49
NO KELURAHAN
PENGGUNAAN LAHAN ( Ha )
TOTAL LAHAN
SAWAH
LAHAN KERING LAHAN
LAINNYA PEKARANGAN TEGALAN
1 Noborejo 2,635 100,867 223,626 5,073 332,201
2 Ledok 13,270 128,976 34,787 10,297 187,330
3 Tegalrejo 0,000 135,423 43,001 10,006 188,430
4 Kumpulrejo 0,000 412,088 209,942 7,000 629,030
5 Randuacir 0,000 125,557 222,994 29,050 377,601
6 Cebongan 14,780 71,335 39,767 12,218 138,100
D KEC.
SIDOMUKTI
64,920 644,069 406,668 30,193 1.145,850
1 Kecandran 31,712 175,397 184,064 8,027 399,200
2 Dukuh 3,516 205,677 158,369 9,588 377,150
3 Mangunsari 29,692 186,861 64,235 9,982 290,770
4 Kalicacing 0,000 76,134 0,000 2,596 78,730
Jumlah Total 803,589 3.033,043 1.645,941 195,743 5.678,109
Sumber: Kota Salatiga dalam Angka, 2014
Gambar 3.1.
Diagram Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
Sumber: Hasil Olahan Data, 2014
Penggunaan lahan di suatu wilayah atau Kota senantiasa berubah secara dinamis setiap
tahunnya. Hal tersebut secara umum dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan
penduduk. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk tersebut mempengaruhi fungsi,
luasan dan penggunaan lahan yang tersedia. Status kepemilikan tanah tersebut dapat dilihat
pada Peta 3.3.
P e k a r a n g a n5 3 . 4 1 %
L a in n y a3 . 4 5 %T e g a l
2 8 . 9 9 %
S a w a h T e k n is8 . 8 0 %
S a w a h P . n o n T e k n is5 . 3 5 %
50
Kondisi tersebut juga terjadi di wilayah Kota Salatiga. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang ada di wilayah Kota Salatiga, terjadi konversi lahan dari sawah menjadi
pekarangan dan dari tegalan menjadi pekarangan. Konversi lahan sawah menjadi pekarangan
yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah lahan sawah yang memiliki sistem irigasi permanen
atau sudah baik.
Pada tahun 2003-2005 konversi lahan sawah menjadi pekarangan secara total adalah
seluas 17.450 m2. Konversi tersebut terjadi khususnya hampir di semua wilayah Kecamatan
Sidorejo. Untuk konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan secara total seluas 70.753 m2.
kelurahan yang memiliki jumlah konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan terluas adalah
Kelurahan Dukuh seluas 51.641 ha, kemudian untuk Kelurahan Sidorejo seluas 9.564 ha,
Kelurahan Kutowinangun seluas 16.931 ha, Kelurahan Tegalrejo seluas 35.813 ha. Perubahan
penggunaan tanah/lahan menjadi pekarangan ini menunjukkan bahwa di Kota Salatiga ada
indikasi penambahan jumlah rumah atau dengan kata lain kebutuhan akan perumahan ini
semakin bertambah. Untuk lebih detilnya dapat dilihat pada Tabel III – 3.
Tabel III - 3.
Konversi Lahan Kota Salatiga Tahun 2011-2013
Kelurahan
Dari Sawah menjadi
pekarangan
Dari Tegalan menjadi pekarangan
2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013
A. Kec. Sidorejo 18.519 25.825 15.539 3.802 23.805 0 15.635
1. Blotongan 902 9.886 2.720 - 7.086 0 5.859
2. Sidorejo Lor 6.139 3.908 0 - 12.315 0 8.589
3. Salatiga 6.039 0 1.293 - 4.404 0 486
4. Bugel 774 1.099 0 - 0 0 901
5. Kauman Kidul 2.273 6.370 5.053 - 0 0 0
6. Pulutan 2.392 4.562 6.479 - 2.245 0 0
B. Kec. Tingkir 11.740 4.690 0.360 9.819 13.340 22.840 0.840
1. Kutowinangun 4.250 0 0 - 11.310 1.970 0.390
2. Gendongan 0 0 0 - 0 0 0
3. Sidorejo Kidul 0 3.430 0.170 - 2.030 7.010 0.020
4. Kalibening 6.170 0 0.190 - 0 0 0
5. Tingkir Lor 0 0 0 - 0 4.110 0
6. Tingkir Tengah 1.320 1.230 0 - 0 9.750 0.430
D. Kec. Argomulyo 400 0 0 26.588 19.844 24.521 14.483
1. Noborejo 0 0 0 - 0 4.307 0
2. Ledok 400 0 0 - 6.102 6.095 0
51
Kelurahan
Dari Sawah menjadi
pekarangan
Dari Tegalan menjadi pekarangan
2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013
3. Tegalrejo 0 0 0 - 8.208 7.337 5.086
4. Kumpulrejo 0 0 0 - 3.973 1.541 7.896
5. Randuacir 0 0 0 - 1.561 4.127 1.499
6. Cebongan 0 0 0 - 0 1.114 0
E. Kec. Sidomukti 365 7.145 3.231 34.007 17.740 22.241 41.398
1. Kecandran - 4.905 - - 3.067 -
2. Dukuh - - 0.616 16.561 16.308 34.518
3. Mangunsari - 2.240 2.615 1.179 2.866 6.880
4. Kalicacing - - - - - -
Jumlah 31.040 37.666 18.770, 36 74.216 69.523 84.461 71.516,84
Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005
Kec Sidomukti tahun 2011, angka dari tiap Kelurahan tidak tersedia
Perubahan status desa menjadi kelurahan berpengaruh juga terhadap tanah bengkok.
Tanah eks bengkok/eks bondo desa ini menjadi aset Pemerintah Kota Salatiga. Luas tanah ini
kurang lebih 4.066.048 m2. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 4 berikut ini.
Tabel III - 4.
Tanah Bengkok di Wilayah Kota Salatiga
Kelurahan
Dlm Wil.
Kelurahan
(m²)
Luar Wil.
Kelurahan
(m²)
Dipergunakan
Untuk Sarana
& Prasarana
(m²)
Tanah Negara
Untuk Makam
(m²)
Jumlah
A. Sidorejo 701.082 312.504 76.450 25.101 1.115.137
1. Blotongan 123.667 118.587 0 0 242.254
2. Sidorejo Lor 40.437 34.046 56.810 0 131.293
3. Salatiga 0 159.871 0 4.920 164.791
4. Bugel 118.488 0 0 0 118.488
5. Kauman Kidul 221.530 0 2.300 15.581 239.411
6. Pulutan 196.960 0 17.340 4.600 218.900
B. Tingkir 660.660 107.876 36.780 38.434 843.750
1. Kutowinangun 98.583 102.366 5.960 17.070 223.979
2. Gendongan 0 0 3.080 1.500 4.580
3. Sidorejo Kidul 244.175 0 24.840 0 269.015
4. Kalibening 116.475 0 0 4.000 120.475
52
Kelurahan
Dlm Wil.
Kelurahan
(m²)
Luar Wil.
Kelurahan
(m²)
Dipergunakan
Untuk Sarana
& Prasarana
(m²)
Tanah Negara
Untuk Makam
(m²)
Jumlah
5. Tingkir Lor 102.158 0 2.900 15.864 120.922
6. Tingkir
Tengah 99.269 5.510 0 0 104.779
C. Argomulyo 1.109.608 172.943 129.419 25.650 1.437.630
1. Noborejo 329.159 91.229 9.300 10.400 440.088
2. Ledok 68.350 29.753 26.050 2.500 126.653
3. Tegalrejo 4.250 4.751 44.150 4.500 57.651
4. Kumpulrejo 361.075 0 11.680 5.800 378.555
5. Randuacir 249.073 2.000 10.500 2.450 264.023
6. Cebongan 97.711 45.210 27.739 0 170.660
D. Sidomukti 380.574 112.740 155.717 20.500 669.531
1. Kecandran 290.246 0 18.394 0 308.640
2. Dukuh 57.533 57.370 33.250 7.000 155.153
3. Mangunsari 32.795 30.070 102.910 8.500 174.275
4. Kalicacing 0 25.300 1.163 5.000 31.463
Jumlah 2,851,934 706,063 398,366 109,685 4,066,048
Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005
3.1.3 Aspek Sosio Demografis Permukiman
3.1.3.1. Aspek Sosio-Filosofis Permukiman
Dilihat dari aspek filosofis, keanekaragaman pola persebaran permukiman di suatu
wilayah adalah sebagai wujud dari persebaran penduduk yang dipengaruhi oleh pola-pola
perilaku baik perorangan, kelompok, maupun lembaga (Chapin, 1965). Model Chapin
menjelaskan bagaimana rangkaian tindakan dan pengaruh nilai-nilai yang ada pada individu,
kelompok, maupun lembaga dapat menimbulkan perubahan pola permukiman di suatu wilayah.
53
Gambar 3.2
Model ChapinRangkaian Tindakan & Pengaruh Nilai-Nilai yang Menimbulkan
Perubahan Pola Permukiman
values
Experiencing Needs and wants
Defining goalsPlanningalternatives
Deciding andacting
Cycle of Human Behaviour
Economic ends Social ends
Individu maupun kelompok masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap
penggunaan setiap jengkal lahan. Perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang hidup di dalam persepsi pada setiap individu ataupun kelompok, semuanya itu tercermin
di dalam suatu siklus yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu;
a. Fase merumuskan kebutuhan (need) dan keinginan (experiencing needs and wants)
b. Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” and “wants” tersebut
(defining goals)
c. Fase membuat alternative perencanaan (planning alternatives)
d. Fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap paling sesuai dan melaksanakan
tindakan (deciding and acting)
Baik disadari atau tidak disadari, secara eksplisit atau implisit, pola perumahan dan
permukiman akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang pada individu,
kelompok masyarakat, ataupun badan-badan swasta maupun pemerintah. Hal ini juga terjadi di
kota Salatiga, dimana pola perumahan dan permukiman dapat diamati dari system-sistem
kegiatan yang saling bertaut antara berbagai pihak (lembaga, perorangan, kelompok) yang
tercermin dalam proses imbal daya yang berulang-ulang dan terjadi secara terus menerus
(mempola) dan didalamnya terdapat pergerakan penduduk saja, barang saja, informasi saja atau
gabungan dari elemen-elemen terseut, inilah yang membentuk pola keruangan suatu kota.
54
3.1.3.2. Aspek Kependudukan Permukiman
Aspek kependudukan yang dibahas meliputi jumlah dan kepadatan penduduk serta
komposis dari penduduk tersebut menurut jenis kelamin, mata pencaharian serta agama atau
kepercayan. Karakter kependudukan tersebut erat kaitannya dengan penyediaan perumahan dan
permukiman serta sarana dan prasarana serta fasilitas yang akan dikembangkan atau dibangun
di dalam kawasan perumahan dan permukiman yang akan direncanakan.
3.1.3.2.a Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Tabel III - 5.
Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014
Dari tabel dan data diatas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun 2009
berjumlah 170.024 jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun, akan tetapi
pada tahun 2013 mencapai angka 178.594 jiwa. Artinya ada lonjakan jumlah penduduk sebesar
4720 jiwa.. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan
kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada umumnya
semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami penurunan jumlah
penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang dan dua
kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi.
55
Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kel Kauman Kidul
(Kec Sidorejo), Kel Kutowinangun, Kel Gendongan dan Kel Tingkir Lor (Kec Tingkir), Kel
Ledok dan Kel Kumpulrejo (Kec Argomulyo). Kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah
penduduk sedang adalah Kel Sidorejolor (Kec Sidorejo), Kel Tingkir Tengah (Kec Tingkir),
Kel Randuacir dan Kel Cebongan (Kec Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami
kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kel Dukuh dan Kel Mangunsari (Kec
Sidomukti).
Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu 178.594 jiwa dengan luas wilayah
5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai 3.145. Jumlah penduduk
tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar 54.074 jiwa dengan kepadatan
per Km² 3.328 dengan luas kecamatan 16,247 Km², kemudian Kecamatan Argomulyo 42.133
jiwa dengan kepadatan penduduk 2.274 per Km² dengan luas 18,526 Km² , Kecamatan Tingkir
sebesar 41.723 jiwa dengan kepadatan penduduk per Km² sebesar 3.355 jiwa dengan luas
sebesar 10,549 Km², dan jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di kecamatan
Sidomukti yaitu sebesar 40.664 jiwa dengan kepadatan 3.549 jiwa per Km² dengan luas 11.459
Km².
Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di Kelurahan
Salatiga yaitu sebesar 17.130 jiwa dengan kepadatan 8.480 dengan luas 2,020 Km² dan
terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar 2.886 jiwa dengan kepadatan 980 Km²
dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo jumlah penduduk tertinggi
terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar 10.409 dengan kepadatan penduduk 5.525 per
Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar
4.443 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.217 dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah
penduduk tertinggi di Kelurahan Kutowinangun sebesar 19.961 jiwa dengan kepadatan
penduduk 6,794 per Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan
Kalibening sebesar 1.845 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.852 dan luas 9,96 Km². Jumlah
penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar 16.380
jiwa dengan luas 2.908 Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah penduduk
terendah di Kelurahan Kecandran sebesar 5.319 jiwa dengan luas 3,992 Km² dan kepadatan
penduduk 1,322.
Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori Sangat
Tinggi (> 6004/ km2), kategori kepadatan tinggi (4.003 – 6.003/ Km2), Kategori kepadatan
Sedang (2.002 – 4.002 / Km2) dan kategori Kepadatan rendah (< 2.002 / km2), maka hanya ada
lima kelurahan yang dikategorikan sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan
56
angka kepadatan mencapai 8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang
tidak luas, akan tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu
banyak (overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi
Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga, sehingga
akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk ditinggali.
Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai 8.480
jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi banyaknya
toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk tinggal di lokasi
tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan, kedua kelurahan
ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas
publik, akses jalan, dekat dengan pusat perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak
ditinggali.
Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis, yaitu
Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kec Sidomukti), hal ini disebabkan adanya JB atau Jalan
Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling jalan tersebut menjadi
berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru tersebut selesai dibuat maka
banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko, rumah penduduk, perumahan, dan
sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau
mahal menjadikan masyarakat bergeser untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah
masih murah dan akses jalan atau transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah
penduduk di dua kelurahan tersebut meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar Peta Tabel III-2 dan III-6 berikut ini.
Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari tahun ke
tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap permintaan akan
ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi tingkat kepadatan yang
semakin tinggi pada berbagai wilayah kota Salatiga.
57
Tabel III - 6.
Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009-2013
N
o
Kelurahan
2009 2010 2011 2012 2013
Jml
Penddk
Kepadatan
per Km²
Jml
Penddk
Kepadatan
per Km²
Jml
Penddk
Kepadatan
per Km²
Jml
Penddk
Kepadatan
per Km²
Jml
Penddk
Kepadatan
per Km²
A Kec. Sidorejo 49.683 3,058 50.024 3,079 52.357 3,223 52.688 3,243 54.074 3,328
1 Blotongan 10.367 2,446 10.599 2,501 11.642 2,747 11.822 2,790 11.592 2,735
2 Sidorejo Lor 12.622 4,647 12.697 4,675 14.407 5,304 14.440 5,317 14.914 5,491
3 Salatiga 16.385 8,111 16.298 8, 068 `16.111 7,976 16.004 7,923 17.130 8,480
4 Bugel 2.823 .959 2.844 966 2.824 959 2.844 966 2.886 980
4 Kauman Kidul 3.777 1,929 3.864 1,973 3.643 1,861 3.778 1,930 3.639 1,858
5 Pulutan 3.709 1,564 3.722 1,570 3.730 1,573 3.800 1,603 3.913 1,650
B Kec. Tingkir 41.952 3,977 39.978 3,987 40.562 3,811 41.150 3,830 41.723 3,955
1 Kutowinangun 20.518 6,984 19.187 6,967 19.447 6,645 19.707 6,482 19.961 6.794
2 Gendongan 5.373 7,798 4.961 7,676 5.022 7,010 5.083 6,961 5.142 7.463
3 Sidorejo Kidul 5.239 1,888 5.417 1,952 5.216 1,984 5.306 2,008 5.398 1,945
4 Kalibening 1.642 1,649 1.762 1,648 1.790 1,784 1.817 1,767 1.845 1.825
5 Tingkir Lor 4.758 2,684 4.209 2,698 4.273 2,405 4.338 2,418 4.401 2,428
6 TingkirTengah 4.422 3,209 4.733 3,233 4.814 3,509 4.897 3,539 4.976 3,611
C Kec. Argomulyo 41.816 2,257 40.212 2,302 40.853 2,210 41.500 2,244 42.133 2,274
1 Noborejo 5.068 1,526 5.074 1,527 5.158 1,553 5.243 1,578 5.326 1,603
2 Ledok 10.578 1,682 9.486 5,065 9.630 5,141 9.774 5,218 9.915 5,294
3 Tegalrejo 10.351 5,494 9.915 5,263 10.079 5,349 10.246 5,438 10.409 5,525
4 Kumpulrejo 7.236 3,864 6.581 1,047 6.682 1,062 6.785 1,079 6.887 1,095
5 Randuacir 4.580 1,213 4.904 1,299 4.988 1,321 5.071 1,343 5.153 1,365
6 Cebongan 4.001 2,897 4.252 3,079 4.316 3,125 4.381 3,172 4.443 3,217
D Kec. Sidomukti 36.573 3,912 36.611 3,195 38.975 3,401 39.208 3,422 40.664 3,549
1 Kecandran 4.959 1,242 4.958 1,242 5.150 1,290 5.245 1,314 5.319 1,322
2 Dukuh 9.786 2,594 10.001 2,651 11.736 3,111 11.892 3,153 12.058 3,194
3 Mangunsari 14.968 5,147 14.894 5,122 15.678 5,391 15.770 5,423 16.380 5,633
4 Kalicacing 6.860 8,717 6.758 8,587 6.411 8,146 6.301 8,006 6.907 8,776
Jumlah Total 170.024 2,994 171,327 3,017 172.485 3,038 173.874 3,062 178.594 3,145
Sumber: Salatiga Dalam Angka , 2014
58
Gambar 3.3
Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga 2014
59
Gambar 3.4
Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun 2014
60
3.1.3.2.b Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Komposisi jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kota Salatiga secara umum
menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-
laki. Hal tersebut selalu terjadi sesuai dengan perkembangan yang ada dari tahun ke tahun
mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. pada tahun 2014, rasio jenis kelamin (rasio
jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 95,86 , ini berarti
bahwa untuk setiap 95,86 penduduk laki-laki sebanding dengan 100 penduduk perempuan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel III-7. Komposisi Jumlah Penduduk Menurut
Jenis Kelamin Tahun 2014 serta Gambar 3.2. Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis
Kelamin Tahun 2014.
Tabel III - 7.
Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013
NO KELURAHAN
PENDUDUK
LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL RASIO JENIS
KELAMIN
A Kec. Sidorejo 26.184 27.890 54.074 93,881 Pulutan 1983 1930 3.913 102,75
2 Blotongan 5.170 5.882 11.592 97.08
3 Sidorejo Lor 7.160 7.754 14.914 92,34
4 Salatiga 8,161 8.969 17.130 90,66
5 Bugel 1.418 1.468 2.886 96,59
6 Kauman Kidul 1,752 1,887 3,639 92,85
B Kec. Tingkir 20.421 21.302 41.723 95,861 Tingkir tengah 2,447 2,449 4,976 97,92
2 Tingkir Lor 2,104 2,297 4,401 91,59
3 Kalibening 958 887 1,845 108,00
4 Sidorejo Kidul 2,687 2,711 5,398 99,11
5 Kutowinangun 9,691 10,270 19,961 94,36
6 Gendongan 2,504 2,638 5,142 94,92
C Kec. Argomulyo 20.729 21.404 42.133 96,851 Noborejo 2,597 2,729 5,326 95,16
2 Cebongan 2,177 2,266 4,433 96,07
3 Randuacir 2,556 2,597 5,153 98,42
4 Ledok 4,779 5,136 9,915 93,05
5 Tegalrejo 5,192 5,217 10,409 99,52
6 Kumpulrejo 3,428 3,459 6,887 99,10
D Kec. Sidomukti 20.009 20.655 40.664 96,871 Kecandran 2,700 2,619 5,319 103,09
2 Dukuh 5,963 6,095 12,058 97,83
3 Mangunsari 8,113 8,267 16,380 98,14
4 Kalicacing 3,233 3,674 6,907 88,00
J u m l a h
61
2013 87.343 91.251 178.594 95,72
2012 85.299 88.575 173.874 96,20
2011 84.621 87.864 172.485 96,31
2010 84.807 86.520 171.327 98,02
2009 84.078 85.946 170.024 97,83
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
Yang cukup menarik dari tabel di atas adalah pada kelurahan-kelurahan tertentu seperti
kelurahan Pulutan, Kelurahan Kalibening, dan Kelurahan kecandran, memiliki sex rasio
dimana jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Hal itu dapat
dimungkinkan karena ke 3 wilayah tersebut diduga sebagai kantong-kantong dimana kaum
perempuan melakukan migrasi untuk bekerja baik di dalam satu negara maupun di luar negeri.
Gambar 3.5
Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014.
87.34391.251
Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin 2014
Laki‐Laki
Perempuan
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah.
Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban dibandingkan di
wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga tercatat sebesar 3,2745
jiwa/Km2 (kategori tingkat kepadatan sedang).
Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan
dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah penduduk yang
menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi luas wilayah (Km2).
Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 8. Kepadatan Penduduk Kota Salatiga
Tahun 2013. Dari tabel diatas dan penghitungan mengenai tingkat kepadatan penduduk
62
diperoleh hasil ada delapan kelurahan yang padat penduduk dengan luas lahan kelurahan yang
tidak sebanding, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga (Kec Sidorejo),
Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan (Kec Tingkir), Kelurahan Ledok dan
Kelurahan Tegalrejo (Kec Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing
(Kec Sidomukti)
3.1.3.2.c Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Jumlah penduduk Kota Salatiga pada tahun 2013 sebesar 178.594 jiwa jiwa, penduduk
Kota Salatiga rata-rata memiliki pekerjaan baik pegawai negeri maupun pegawai swasta atau
mungkin berwiraswasta sendiri. Penduduk yang bermata pencaharian paling tinggi adalah
buruh industri di Kota Salatiga yaitu sebesar 16.415 jiwa, kemudian banyak juga yang menjadi
buruh bangunan yaitu sebesar 26.780 jiwa. Penduduk Kota Salatiga yang bermata pencaharian
sebagai pedagang, dalam data monografi kelurahan tercatat sebesar 10.143 jiwa. Kemudian
penduduk Kota Salatiga yang bekerja sebagai buruh bangunan yaitu sebesar 9.944 jiwa dan
yang bermata pencaharian sebagai PNS/ABRI atau POLRI sebesar 9.111 jiwa.
Apabila dilihat dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian, penduduk Kota
Salatiga memiliki tingkat pendapatan yang cukup beragam. Mata pencaharian penduduk
tersebut hubungannya dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka
semakin tinggi pula kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di Tabel III – 4. dan Gambar 3.5
Jenis dan ragam matapencaharian berimplikasi terhadap terjadinya stratifikasi social
pada masyarakat kota Salatiga. Stratifikasi social masyarakat merupakan salah satu pembentuk
struktur ruang dan pola keruangan (pola perumahan dan permukiman). Hal ini nampak jelas
pada perumahan unit besar dengan beragam tipe rumah yang berbeda-beda dan mencerminkan
strata social masyarakat yang mendiaminya; di sisi lain pertumbuhan perumahan dan
permukiman yang berbentuk cluster lebih mencerminkan homogenitas strata social.
63
Tabel III - 8
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014
NO. KELURAHAN
MATA PENCAHARIAN
Petani Sendiri
BuruhTani
Pengusaha Buruh
Industri Pedagang
Buruh Bangunan
Transportasi PNS/ABRI/
POLRI Pensiunan Lain-lain Jumlah
A Kec. Sidorejo 1078 2210 1786 7563 3608 3972 1885 3349 2720 13.929 42.100
B Kec. Tingkir 197 304 3061 5650 2351 1440 402 1224 827 18.520 33.976
C Kec. Argomulyo 1578 480 2251 6815 559 109 320 1634 617 10.516 29.919
D Kec. Sidomukti 731 1602 1085 6752 3621 4423 2397 2904 1522 14.317 39.354
Jumlah Total 3.584 4.596 8.183 26.780 10.143 9.944 5.004 9.111 5.686 57.282 145.349
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
Gambar 3.6
Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014
9.1115.686 5.0049.944
10.143
26.780
8.1834.5963.584
57.282
Petani SendiriBuruh TaniPengusahaBuruh IndustriPedagangBuruh BangunanTransportasiPNS/ABRI/POLRIPensiunanLain‐lain
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
64
3.2. ANALISIS KEPENDUDUKAN
Sektor kependudukan yang akan dianalisis dalam pembahasan berikut meliputi
pertumbuhan dan proyeksi jumlah penduduk serta jumlah dan persebaran rumah. Analisis
tersebut mendasari penentuan penyediaan rumah dalam kawasan perumahan dan
permukiman di Kota Salatiga.
3.2.1. Pertumbuhan dan Proyeksi Jumlah Penduduk
Perencanaan pembangunan suatu daerah khususnya adalah pembangunan
perumahan dan permukiman, kependudukan adalah aspek yang sangat penting. Secara
umum aspek kependudukan yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan
rencana tata ruang adalah struktur penduduk serta pertumbuhan pertahun dari penduduk
tersebut. Pertumbuhan penduduk per kelurahan di Kota Salatiga dari tahun 2010-2014
memiliki pola kecenderungan yang cukup unik. Di tahun 2010 ada beberapa Kelurahan
yang mengalami penurunan jumlah penduduk, sehingga pertumbuhan penduduknya
mencapai negatif. Pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah Kota Salatiga dapat dilihat
pada Tabel III - 9
Pola pertumbuhan yang demikian dapat dipengaruhi oleh banyaknya angka
kematian dan kelahiran serta angka migrasi penduduk. Untuk Kota Salatiga, pengaruh
angka migrasi penduduk cukup besar. Hal tersebut salah satunya disebabkan adanya
aktivitas pendidikan di Kota Salatiga, dalam hal ini adanya Sekolah Tinggi Lanjutan Atas
dan Universitas atau Perguruan Tinggi di Kota Salatiga cukup diminati oleh pelajar dari
luar daerah bahkan luar pulau Jawa yang status tinggalnya hanya sementara.
Kondisi inilah yang menjadikan suatu wilayah kelurahan terkadang dari tahun ke
tahun kepadatan penduduknya tinggi, di tahun berikutnya terkadang rendah. Kondisi
kepadatan tinggi dikarenakan anak muda yang mengenyam pendidikan di kota Salatiga
masuk atau menempuh kuliah, pada saat anak tersebut lulus maka kecenderungannya
akan mencari pekerjaan di luar kota, sehingga tingkat kepadatan penduduk di suatu
lokasi/ kelurahan menjadi turun.
Berdasarkan dari kondisi tersebut, dapat dihitung rata-rata pertumbuhan dari Kota
Salatiga secara umum, yaitu sebesar 4,28% pertahunnya. Apabila ditinjau lagi pola
pertumbuhan yang terjadi di Kota Salatiga yang dihitung per kelurahan, serta rata-ratanya
dapat dikatakan bahwa prosentase pertumbuhan penduduk tersebut terlalu tinggi. Oleh
karena itu, dalam penghitungan proyeksi penduduk yang dilakukan menggunakan
pertumbuhan penduduk Kota Salatiga secara keseluruhan yang tercantum dalam RTRW
65
Kota Salatiga, yaitu sebesar 2,48 %. Untuk proyeksi penduduk tersebut digunakan metode
proyeksi bunga berganda. Untuk hasil perhitungan proyeksi tersebut dapat dilihat pada
Tabel III – 9.
Kota Salatiga merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan penduduk terbesar
(2,71 %) ke 3 dari seluruh kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2013, sedangkan
pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sendiri hanya sebesar 0,89 %. Trend
pertumbuhan penduduk ini sebagai akibat dari Total Fertility Rate (TFR) Kota Salatiga
yang tinggi yaitu sebesar 2,5 % diatas standar nasional 2,1 %. Jika tidak ada pengendalian
yang serius di bidang kependudukan maka diproyeksikan pada tahun 2015 penduduk
Kota Salatiga sebesar 185.627 jiwa, dan pada tahun 2020 akan menjadi 20.4375 jiwa.
Pertumbuhan penduduk ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan akan ruang
untuk perumahan yang dari tahun ke tahun juga akan semakin meningkat. Hal ini dapat
dilihat dari tabel III-9, distribusi kebutuhan rumah (asumsi 1 rumah untuk 1 KK) di
wilayah salatiga tertinggi ada di wilayah kecamatan Sidorejo dan terendah di wilayah
Kecamatan Tingkir.
Dari hasil data tabel III-9 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga atau KK Kota
Salatiga ditahun 2014 adalah: Kec Sidorejo sebanyak 17.694 KK, Kec Tingkir sebanyak
15.284 KK, Kec Argomulyo sebanyak 15.427 KK, Kec Sidomukti sebanyak 13.993 KK.
Jika menggunakan asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK serta menggunakan proyeksi
KK untuk tahun 2020, maka kebutuhan rumah hingga tahun 2020 adalah sebagai berikut:
Lokasi Kec Sidorejo di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 14436,82, Kec Tingkir
di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 10859,71, Kec Argomulyo membutuhkan
rumah sebanyak 11062,06, Kec Sidomukti membutuhkan rumah sebanyak 11051 dan
total jumlah rumah yang dibutuhkan Kota Salatiga di tahun 2020 sebanyak 47383,04
dengan asumsi jumlah penduduk di tahun 2020 sebesar 204.375.
Tabel III - 9
Pertumbuhan dan Proyeksi Penduduk Kota Salatiga NO KELURAHAN 2010 2011 2012 2013 Rerata
Pertumb
uhan (%)
PROYEKSI
2015
PROYEKSI
2020
Proyeksi KK Rerata Kebutuhan rumah
hingga 2020 JUMLAH r (%) JUMLAH r (%) JUMLAH r (%) JUMLAH r (%) 2013 2015 2020
A Kec. Sidorejo 50.024 0,69 52.357 4,66 52.688 0,63 54.074 2,63 2,15 56.424 62744 13518,5 14106 15686 14436,82
1 Blotongan 10.599 2,24 11.642 9,84 11.822 1,55 11.592 ‐1,95 12.096 13451 2898 3024 3362,6 3094,863
2 Sidorejo Lor 12.697 0,59 14.407 13,47 14.440 0,23 14.914 3,28 15.562 17305 3728,5 3890,5 4326,3 3981,78
3 Salatiga 16.298 ‐0,53 16.111 ‐1,15 16.004 ‐0,66 17.130 7,04 17.875 19876 4282,5 4468,6 4969,1 4573,413
4 Bugel 2.844 0,74 2.824 ‐0,70 2.844 0,71 2.886 1,48 3.011 3349 721,5 752,86 837,18 770,512
4 Kauman Kidul 3.864 2,30 3.643 ‐5,72 3.778 3,71 3.639 ‐3,68 3.797 4222 909,75 949,29 1055,6 971,55
5 Pulutan 3.722 0,35 3.730 0,21 3.800 1,88 3.913 2,97 4.083 4540 978,25 1020,8 1135,1 1044,703
B Kec. Tingkir 42.054 0,24 40.206 ‐4,39 40.398 0,48 41.723 3,28 1,33 42.840 45753 10430,8 10710 11438 10859,71
1 Kutowinangun 19.187 ‐6,49 18.995 ‐1,00 19.041 0,24 19.961 4,83 20.495 21889 4990,25 5123,9 5472,3 5195,473
2 Gendongan 4.961 ‐7,67 4.830 ‐2,64 4.770 ‐1,24 5.142 7,80 5.280 5639 1285,5 1319,9 1409,7 1338,366
3 Sidorejo Kidul 5.417 3,40 5.505 1,62 5.261 ‐4,43 5.398 2,60 5.543 5919 1349,5 1385,6 1479,9 1404,998
4 Kalibening 1.762 7,31 1.777 0,85 1.770 ‐0,39 1.845 4,24 1.894 2023 461,25 473,6 505,81 480,2188
5 Tingkir Lor 4.209 ‐11,54 4.264 1,31 4.263 ‐0,02 4.401 3,24 4.519 4826 1100,25 1129,7 1206,5 1145,498
6 Tingkir Tengah 4.733 7,03 4.835 2,16 4.933 2,03 4.976 0,87 5.109 5457 1244 1277,3 1364,2 1295,159
C Kec. Argomulyo 42.638 1,97 40.947 ‐3,97 41.580 1,55 42.133 1,33 1,61 43.501 47111 10533,3 10875 11778 11062,06
1 Noborejo 5.074 0,12 5.327 4,99 5.450 2,31 5.326 ‐2,28 5.499 5955 1331,5 1374,7 1488,8 1398,347
2 Ledok 9.486 ‐10,32 9.366 ‐1,27 9.305 ‐0,65 9.915 6,56 10.237 11086 2478,75 2559,2 2771,6 2603,194
3 Tegalrejo 9.915 ‐4,21 10.336 4,25 10.799 4,48 10.409 ‐3,61 10.747 11639 2602,25 2686,7 2909,7 2732,894
4 Kumpulrejo 6.581 ‐9,05 6.679 1,49 6.728 0,73 6.887 2,36 7.111 7701 1721,75 1777,6 1925,2 1808,189
5 Randuacir 4.904 7,07 4.966 1,26 4.999 0,66 5.153 3,08 5.320 5762 1288,25 1330,1 1440,5 1352,926
6 Cebongan 4.252 6,27 4.273 0,49 4.299 0,61 4.443 3,35 4.587 4968 1110,75 1146,8 1242 1166,514
D Kec. Sidomukti 36.611 0,10 38.975 6,46 39.208 0,60 40.664 3,71 2,72 42.906 49042 10166 10727 12260 11051
1 Kecandran 4.958 ‐0,02 5.203 4,94 5.245 0,81 5.319 1,41 5.612 6415 1329,75 1403,1 1603,7 1445,511
2 Dukuh 10.001 2,20 11.817 18,16 11.892 0,63 12.058 1,40 12.723 14542 3014,5 3180,7 3635,6 3276,927
3 Mangunsari 14.894 ‐0,49 15.751 5,75 15.770 0,12 16.380 3,87 17.283 19755 4095 4320,8 4938,7 4451,49
4 Kalicacing 6.758 ‐1,49 6.343 ‐6,14 6.301 ‐0,66 6.907 9,62 7.288 8330 1726,75 1822 2082,5 1877,072
Jumlah Total
171.327 1,09 172.485 1,06 173.874 0,81 178.594 2,71 1,95 185.627 204375
44648,5 46407 51094 47383,04
Sumber: Hasil olahan data 2014
67
Tabel III - 10
Jumlah dan Kondisi Rumah Kota Salatiga Tahun 2014 N
O
KELURAHAN 2014 JUMLAH 2014 (%) TOTAL
(%) TIPE A TIPE B TIPE C TIPE A TIPE B TIPE
C
A Kec. Sidorejo 7.807 563 303 8.673 90,0 6,5 3,5 22,5
1 Blotongan 2.427 37 75 2.539 95,6 1,5 3,0
2 Sidorejo Lor 700 167 11 878 79,7 19,0 1,3
3 Salatiga 2.991 115 61 3.167 94,4 3,6 1,9
4 Bugel 454 22 52 528 86,0 4,2 9,8
4 Kauman Kidul 739 95 61 895 82,6 10,6 6,8
5 Pulutan 496 127 43 666 74,5 19,1 6,5
B Kec. Tingkir 8.281 1.406 293 9.980 83,0 14,1 2,9 25,8
1 Kutowinangun 4.390 711 45 5.146 85,3 13,8 0,9
2 Gendongan 1.403 35 35 1.473 95,2 2,4 2,4
3 Sidorejo Kidul 833 255 50 1.138 73,2 22,4 4,4
4 Kalibening 194 45 34 273 71,1 16,5 12,5
5 Tingkir Lor 720 181 99 1.000 72,0 18,1 9,9
6 Tingkir Tengah 741 179 30 950 78,0 18,8 3,2
C Kec.
Argomulyo
9.098 760 630 10.488 86,7 7,2 6,0 27,1
1 Noborejo 1.203 38 106 1.347 89,3 2,8 7,9
2 Ledok 2.407 27 30 2.462 97,7 1,1 1,2
3 Tegalrejo 1.818 133 48 1.999 90,9 6,7 2,4
4 Kumpulrejo 937 230 346 1.513 61,9 15,2 22,9
5 Randuacir 834 265 68 1.167 71,5 22,7 5,8
6 Cebongan 1.902 67 32 2..000 95,1 3,4 1,6
D Kec.
Sidomukti
7.881 677 933 9.491 83,0 7,1 9,8 24,6
1 Kecandran 876 179 52 1.107 79,1 16,2 4,7
2 Dukuh 2.415 298 113 2.826 85,5 10,5 4,0
3 Mangunsari 2.896 65 712 3.673 78,8 1,8 19,4
4 Kalicacing 1.694 135 56 1.885 89,9 7,2 3,0
Jumlah Total
33.067 3.406 2.159 18.632 85,6 8,8 5,6 100,0
(%) 85,6 8,8 5,6 100,0
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
68
Gambar 3.7
Diagram Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014
‐60%
‐40%
‐20%
0%20%
40%
60%
80%
100%
2010 2011 2012 2013
Kec SidomuktiKec ArgomulyoKec TingkirKec Sidorejo
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
3.2.2. Jumlah dan Persebaran Rumah
Jumlah dan persebaran rumah ini akan membicarakan tentang jumlah rumah dilihat
berdasarkan permanensi bangunan, status kepemilikan, rumah layak huni dan tidak layak huni
dan backlog.
A. Tingkat Permanensi Bangunan
Secara umum kondisi rumah masyarakat Kota Salatiga sudah merupakan bangunan
permanen (49%). Sisanya merupakan bangunan semi permanen (31%) dan temporer sebanyak
20%.
69
Gambar 3.8
Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
KONDISI LAHAN
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
70
Gambar 3.9
Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
Jumlah dan Kondisi Rumah
Tipe A: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas >= 70 m2Tipe B: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas < 70 m2Tipe C: Atap, dinding, lantai dr bahan alami dan tdk permanen, luas < 40 m2
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
.
B. Tingkat Kelayakan
Rumah layak huni merupakan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis, sosial,
serta penataan ruangan yang akrab dan harmonis. Rumah layak huni dan rumah tidak layak
huni dilihat berdasarkan kondisi fisiknya rumahnya seperti dilihat dari kondisi atap, kondisi
lantai, penghawaan, pencahayaan, air bersih, air kotor, dan fasum dan fasos. Rumah layak huni
adalah rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis sosial serta penataan ruangan yang
71
akrab dan harmonis. Di dalam menciptakan rumah layak huni, harus mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut :
1. Kesehatan:
- Lokasi rumah yang layak dipandang dari segi lokasi (tidak terkena banjir, tidak
lembab, dll)
- Memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti penerangan dan penghawaan
2. Keamanan:
- Konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis
- Pemilihan bahan bangunan yang tepat sesuai fungsi dan kondisi lokal.
3. Keindahan dan Kenyamanan:
- Bentuk arsitektur yang sesuai dengan lingkungan
- Penataan ruangan dan penentuan besaran ruangan yang optimal dan sesuai dengan
persyaratan.
4. Jaminan hukum:
- Pemilihan dan pembangunan rumah diatas tanah yang tidak bertentangan dengan
hukum (tanah yang legal).
- Ijin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5. Pemeliharaan bangunan rumah:
- Secara rutin dibersihkan
- Memperbaiki setiap kerusakan yang sekecil apapun, agar tidak terjadi kerusakan yang
tidak teratasi.
C. Backlog
Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah rumah dari jumlah KK yang
ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara spesifik menurut status kepemilikan
rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri diklasifikasikan
sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah, sedangkan rumah tangga dengan status
penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas, bebas sewa, rumah milik orang tua/famili,
dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Backlog di Kota Salatiga menunjukkan terdapat kelebihan rumah sebesar 3.043 unit. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan rumah di Kota Salatiga ada yang menjadi
rumah investasi, pemiliknya bukan merupakan penduduk Kota Salatiga, atau rumah tersebut
tidak ditempati. Jumlah backlog tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.10.
72
Gambar 3.10
Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
BacklogSelisih antara Jumlah Seharusnya tersedia dengan jumlah tersedia
Jumlah Penduduk 2012 = 186.087 jiwaJumlah Keluarga (KK) 2012 = 57.783 kk
Asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK
Kebutuhan Rumah = 57.783 rumah
Jumlah rumah = 38.632 rumah
Backlog = 19.151 rumah
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
Gambar 3.11
Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
Rumah Tidak Layak Huni
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
73
3.3. ANALISIS KEBUTUHAN RUANG KAWASAN PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN
Peninjauan tentang kebutuhan ruang untuk pengembangan kawasan perumahan dan
permukiman ini meliputi dua maksud, yaitu kebutuhan ruang untuk pembangunan perumahan
dan permukiman baru serta peningkatan kualitas dan kondisi perumahan dan permukiman yang
sudah ada. Berdasarkan kebutuhan ruang untuk pembangunan dan pengembangan perumahan
dan permukiman tersebut maka ditentukan arahan pengembangan termasuk dalam hal ini
adalah pengalokasian lokasi ruang, penghitungan ketersediaan lahan yang ada serta tinjauan
terhadap kemampuan wilayah untuk menampung kawasan perumahan dan permukiman di
Kota Salatiga.
3.3.1. Arah Pengembangan Perumahan dan Permukiman
Dalam mengkaji kecenderungan perkembangan ada beberapa aspek yang
mempengaruhinya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan perumahan dan
permukiman (seperti halnya yang mempengaruhi perkembangan kota/ desa) yaitu faktor:
- Pelaku (manusia)
- Kegiatan/ aktivitas
- Penghubung
Selain ketiga faktor utama diatas ada beberapa faktor penting pula yang mempengaruhi
perkembangan perumahan dan permukiman yaitu faktor fisik alam (kondisi geografis,
Klimatologis, Hidrologis, Geologi dan Topografi serta kemiringan lahan).
A. Kecenderungan Perkembangan Fisik
Perkembangan pusat kota suatu wilayah tidak lain akibat adanya pertumbuhan modal
dan pertumbuhan sumber daya di wilayah tersebut. Semakin intensifnya perkembangan
keduanya mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung lainnya. Di pusat kota terdapat
kemudahan-kemudahan untuk memenuhi kebutuhan manusia hal ini semakin kuat daya
tariknya mengundang manusia (migrasi) dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat
tersebut. Akibat munculnya aktivitas tersebut mendorong para pendatang tersebut membangun
areal permukiman. Namun dengan semakin luasnya perkembangan sektor perdagangan dan
jasa di pusat kota tersebut dan seiring dengan semakin mahalnya harga lahan maka terjadi
perubahan kecenderungan pemanfaatan lahan kota.
Dengan sedikit mengadopsi teori Von Thunen tentang pola penggunaan lahan yang
didasarkan pada jarak. Kecenderungan perkembangan di wilayah studi bahwa pada pusat kota
mempunyai harga lahan yang tinggi sehingga mempunyai spesifikasi pemanfaatan yang lebih
74
tinggi tingkat ekonomisnya, seperti perdagangan dan jasa yang mempunyai jangkauan
pelayanan tingkat regional. Atas dasar itulah mengapa di pusat kota harga lahan semakin
tinggi, dan ini tidak menguntungkan apabila lahan di pusat kota diperuntukkan sebagai
permukiman. Akibatnya banyak muncul permukiman-permukiman baru di daerah pinggiran
yang mempunyai harga lahan relatif murah.
Kecenderungan perkembangan fisik di Kota Salatiga, pada hakekatnya tercermin dari
bentuk struktur keruangan wilayah yang terbentuk karena posisinya secara geografis dan
karakteristik tempatnya. Kota Salatiga secara umum dan garis besar, pola kecenderungan
perkembangan fisik perumahan dan permukimannya mengikuti kondisi prasarana khususnya
kondisi jalur jalan dan kondisi fisik alam yang ada. Arah perkembangan tersebut yaitu
mengikuti arah dan pola jalur jalan regional, khususnya yaitu sepanjang jalur Semarang – Solo.
Salatiga - Ambarawa. Arah perkembangan yang mengikuti jalur Semarang – Solo tersebut
didorong oleh intensitas dan pola aktivitas yang sangat tinggi di sepanjang jalur jalan tersebut.
Kawasan perumahan dan permukiman tersebut dimulai dari Kelurahan Blotongan sampai
dengan Kelurahan Cebongan. Kawasan permukiman dan perumahan tersebut semakin
memadat sampai pada pusat Kota dan mengalami penyebaran menuju ke arah barat Kota
Salatiga. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kelerengan di bagian barat Kota Salatiga yang
relatif berkisar antara 2-15% atau dapat dikatakan memiliki topografi yang relatif datar.
Kecenderungan perkembangan yang tercermin dari perubahan fisik menunjukkan
adanya perembetan meloncat dan memanjang. Pada perkembangan selanjutnya bentuk pola
linier tidak menerus/ meloncat ini akan tumbuh menjadi pola struktur keruangan yang kompak
secara menerus atau sering disebut sebagai Ribbon City atau linier menerus.
Seperti halnya kota atau desa pada umumnya, disetiap persimpangan jalan, aktivitas
yang berkembang lebih beragam tidak hanya perumahan dan permukiman, tetapi berkembang
aktivitas lain yang mengarah pada kegiatan perdagangan dan jasa, disertai keberagaman jenis
fasilitas. Setiap simpul atau persimpangan jalan menunjukkan adanya pola pertumbuhan
perumahan dan permukiman yang konsentrik namun tidak menerus, atau dengan kata lain
menunjukkan pola keruangan yang tidak kompak dan meloncat. Bentuk perkembangan tidak
kompak/ meloncat pada pola konsentrik pada akhirnya sama juga seperti pola linier diatas,
akan membentuk stuktur keruangan yang kompak dengan bentuk bintang atau gurita, hingga
akhirnya membentuk pola yang benar-benar kompak yaitu konsentri menerus atau radial
konsentrik yang menerus.
75
B. Kecenderungan Perkembangan Non Fisik
Kecenderungan perkembangan secara non fisik dapat dilihat melalui pola pemilikan
dan nilai tanah. Batas-batas area tanah, status pemilikan tanah dan nilai tanah seringkali
menjadi problem pembangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
Status tanah dibedakan menurut penguasaannya terdiri dari tanah negara, hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan tanah adat. Tanah milik dapat berbentuk hak milik
(sertifikat), hak milik yayasan, dan hak milik adat.
Pemberian sertifikat hak baru dan konversi tanah dari tahun ke tahun cenderung
meningkat, berbeda dengan sertifikat peralihan hak dan penggantian yang dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan. Banyaknya konversi tanah menunjukkan semakin
banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi untuk permukiman dan tempat kegiatan
penduduk. Dampak yang timbul dari semakin banyaknya tanah konversi ini tentunya akan
mengurangi luasan lahan pertanian. Apabila tidak dikendalikan dan diarahkan
perkembangannya akan berdampak pada menurunnya produksi dari sektor pertanian dan
timbulnya permukiman-permukiman sporadis di beberapa tempat. Sehubungan dengan
masalah tersebut maka perlu ditingkatkan upaya dan langkah-langkah untuk mencegah
terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian
baik yang dilakukan pemilik lahan maupun oknum-oknum tertentu tanpa izin, yaitu dengan
melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Tidak menutup saluran-saluran yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka
- Tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk
penggunaan pertanian tanah kering.
- Tidak menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.
Bagi yang telah merubah tanah beririgasi teknis miliknya menjadi tanah tegalan/tanah
kering tanpa izin dalam rangka menghindari larangan penggunaan tanah sawah beririgasi
teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, agar mengembalikannya menjadi tanah sawah
beririgasi teknis seperti semula.
Sesuai dengan surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Basional/Ketua
Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No. 5335/MK/1994 tanggal 29 september 1994
tentang penyusunan RTRW, kiranya perlu memberikan petunjuk-petunjuk kepada para
Bupati/Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW dengan tidak memperuntukkan
tanah beririgasi teknis bagi penggunaan tanah non pertanian.
76
Sementara itu nilai tanah juga memegang peranan dalam beberapa aspek kegiatan
pembangunan. Selain tata letak dan potensi tanah yang menjadi tolak ukur harga/nilai tanah,
faktor rencana peruntukan lahan sering merangsang naiknya nilai tanah yang bersangkutan.
Tanah yang berada di pusat kota serta yang mempunyai letak Kestrategisan suatu lokasi jelas
akan berpengaruh terhadap nilai tanah, yaitu nilai lahan akan semakin mahal seiring dengan
semakin dekatnya letak tanah tersebut dengan pusat kota (CBD), begitupun sebaliknya.
C. Arahan Kesesuaian dengan RTRW
Arahan Tata Ruang Wilayah dan Kota akan berdampak pada kemudahan perijinan dan
legalisasi pengembangan suatu kawasan. Arahan fungsi kawasan sebagai kawasan industri,
perdagangan dan jasa serta pelayanan sosial biasanya memicu munculnya kawasan perumahan
dan permukiman di sekitarnya. Kawasan perindustrian diarahkan di Kelurahan Noborejo,
Randuacir, Cebongan dan Kalibening. Sedangkan untuk Kota Salatiga bagian Utara dan Timur,
yaitu kelurahan-kelurahan di Kecamatan Sidorejo dan Tingkir diarahkan untuk menjadi
kawasan permukiman, pertanian dan kebun campur. Namun apabila dilihat dari penggunaan
lahan eksisting, sebagian besar digunakan selain sudah menjadi kawasan permukiman dan
perumahan (yang cukup padat di Kecamatan Sidorejo), juga digunakan sebagai sawah irigasi
dan kebun campur. Penggunaan lahan tersebut cukup sulit untuk dikonversi menjadi kawasan
perumahan dan permukiman.
Untuk kawasan perdagangan dan jasa diarahkan di kawasan pusat Kota. Hal tersebut
akan lebih memicu pertumbuhan perumahan dan permukiman. Sehingga perlu adanya
penanganan dan pengendalian pertumbuhan perumahan dan permukiman tersebut. Misalnya
dengan alokasi pembangunan perumahan dan permukiman di kelurahan lain atau dapat juga
dilakukan dengan ekstensifikasi pola pemanfaatan lahan yang disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan.
Berdasarkan dari analisis di atas arah kecenderungan perkembangan perumahan dan
permukiman Kota Salatiga jika dilihat dari pola persebaran permukiman diprioritaskan di
lokasi tegalan, yaitu Kelurahan Noborejo, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo,
Kelurahan Kecandran. Sedangkan untuk perkebunan campuran diarahkan untuk permukiman
agrowisata (sesuai RTRW) yang berlokasi di Kelurahan Kecandran, Kelurahan Dukuh,
Kelurahan Kumpulrejo dan sebagian Mangunsari, Tegalrejo. Untuk permukiman perkotaan
dikembangkan dengan kepadatan rendah (Kelurahan Sidorejo Lor, Tegalrejo, dan Kalibening),
dan kepadatan sedang (Kelurahan Salatiga, Kutowinangun, Mangunsari, dan Gendongan).
Untuk arah Kecenderungan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Peta 3.13. Analisis
77
Kecenderungan Perkembangan Arah Perkembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman
Kota Salatiga.
3.3.2. Alokasi Ruang Kawasan Perumahan dan Permukiman
Pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga disebabkan dari beberapa
faktor yang akhirnya membutuhkan ruang yang tidak sedikit dalam melakukan aktivitasnya.
Dalam penentuan pengalokasian ruang bagi pemenuhan kebutuhan rumah, terlebih dahulu
ditentukan jumlah kebutuhan rumah di Kota Salatiga. Penentuan kebutuhan rumah sampai
dengan tahun 2016 menggunakan 4 alternatif, yaitu: dihitung dari pertumbuhan penduduk
alami, pertumbuhan penduduk + backlog, pertumbuhan penduduk + backlog + pendatang, serta
pertumbuhan penduduk + pendatang. Berdasarkan dari 4 alternatif tersebut jumlah penduduk
sampai dengan tahun perencanaan yang paling banyak adalah alternatif terakhir, yaitu
pertumbuhan penduduk + pendatang. Hal ini menjadi dasar pertimbangan tim teknis pada
sidang Laporan Antara untuk menyepakati alternatif tersebut. Dalam penentuan tersebut
menyertakan pendatang karena Kota Salatiga sarat akan penduduk pendatang. Penduduk
tersebut kebanyakan adalah para mahasiswa yang menuntut ilmu untuk tingkatan SLTA dan
Perguruan Tinggi atau Akademi. Selanjutnya untuk dasar perhitungan luasan kapling yang
digunakan untuk perhitungan adalah :
- Menggunakan kebijakan berimbang 1:3:6 (1 rumah mewah = 600 m2, 3 rumah
sedang/menengah = 400 m2, 6 rumah sederhana/kecil = 200m2) yang bersumber pada
RTRW Kota Salatiga.
- Building Coverage/BC rumah tinggal sesuai dengan standar PU tahun 1983
adalah sebesar 40-50 %, luasan lahan yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun.
Dalam perhitungan BC distudi ini digunakan sebesar 40 % karena lahan yang tersedia
cukup terbatas.
78
Tabel III - 11
Proyeksi Kebutuhan Rumah Kota Salatiga Tahun 2016
No KELURAHAN
JUMLAH
RUMAH
2005
PROYEKSI
JML
PENDUDUK
2016
PREDIKSI
PENDATANG
2016
KOEFISIEN
HUNIAN
IDEAL
PROYEKSI
JML
RUMAH
2016
KEBUTUHAN
RUMAH
2006-2016
KEBUTUHAN
RUMAH
PERTAHUN
SEGMENTASI KEBUTUHAN
RUMAH (Unit)
BESAR
10%
SEDANG
30%
KECIL
60%
A Kec. Sidorejo 10678 56106 2640 4,0 14027 16667 1667 1667 5000 10000
1 Blotongan 2485 12233 576 4,0 3058 3634 363 363 1090 2180
2 Sidorejo Lor 3642 15151 713 4,0 3788 4501 450 450 1350 2700
3 Salatiga 2247 18045 849 4,0 4511 5360 536 536 1608 3216
4 Bugel 548 2874 135 4,0 718 854 85 85 256 512
5 Kauman Kidul 1012 3846 181 4,0 962 1143 114 114 343 686
6 Pulutan 744 3958 186 4,0 990 1176 118 118 353 706
B Kec. Tingkir 8043 47019 2213 4,0 11755 13968 1397 1397 4190 8381
1 Kutowinangun 4044 23277 1095 4,0 5819 6915 691 691 2074 4149
2 Gendongan 1465 6884 324 4,0 1721 2045 204 204 613 1227
3 Sidorejo Kidul 988 5245 247 4,0 1311 1558 156 156 467 935
4 Kalibening 342 1932 91 4,0 483 574 57 57 172 344
5 Tingkir Lor 699 5272 248 4,0 1318 1566 157 157 470 940
6 Tingkir Tengah 505 4408 207 4,0 1102 1310 131 131 393 786
C Kec. Argomulyo 8587 45343 2134 4,0 11336 13470 1347 1347 4041 8082
1 Noborejo 1545 5651 266 4,0 1413 1679 168 168 504 1007
2 Ledok 1750 10862 511 4,0 2715 3227 323 323 968 1936
3 Tegalrejo 1735 11114 523 4,0 2779 3302 330 330 990 1981
4 Kumpulrejo 1539 7485 352 4,0 1871 2224 222 222 667 1334
5 Randuacir 1049 5069 239 4,0 1267 1506 151 151 452 903
6 Cebongan 969 5163 243 4,0 1291 1534 153 153 460 920
79
No KELURAHAN
JUMLAH
RUMAH
2005
PROYEKSI
JML
PENDUDUK
2016
PREDIKSI
PENDATANG
2016
KOEFISIEN
HUNIAN
IDEAL
PROYEKSI
JML
RUMAH
2016
KEBUTUHAN
RUMAH
2006-2016
KEBUTUHAN
RUMAH
PERTAHUN
SEGMENTASI KEBUTUHAN
RUMAH (Unit)
BESAR
10%
SEDANG
30%
KECIL
60%
D Kec. Sidomukti 7612 42914 2020 4,0 10729 12748 1275 1275 3824 7649
1 Kecandran 1024 5281 249 4,0 1320 1569 157 157 471 941
2 Dukuh 2126 11283 531 4,0 2821 3352 335 335 1005 2011
3 Mangunsari 2820 17631 830 4,0 4408 5237 524 524 1571 3142
4 Kalicacing 1642 8720 410 4,0 2180 2590 259 259 777 1554
JUMLAH 34920 191383 9006 4,0 47846 56852 5685 5685 17056 34111
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Tabel III - 12
Luasan Kebutuhan Lahan Rumah Berdasarkan Tipe Rumah Kota Salatiga Tahun 2016
NO KELURAHAN
KEBUTUHAN
RUMAH 2006-
2016
BESAR SEDANG KECIL TOTAL (m2)
10% 600 (m2) 30% 400 (m2) 60% 200 (m2)
A Kec. Sidorejo 16.667 1.667 1.000.016,77 5.000 2.000.033,54 10.000 2.000.033,54 5.000.083,84
1 Blotongan 3.634 363 218.026,63 1.090 436.053,26 2.180 436.053,26 1.090.133,15
2 Sidorejo Lor 4.501 450 270.039,20 1.350 540.078,40 2.700 540.078,40 1.350.196,01
3 Salatiga 5.360 536 321.625,60 1.608 643.251,20 3.216 643.251,20 1.608.128,01
4 Bugel 854 85 51.218,34 256 102.436,68 512 102.436,68 256.091,70
5 Kauman Kidul 1.143 114 68.555,86 343 137.111,73 686 137.111,73 342.779,32
6 Pulutan 1.176 118 70.551,13 353 141.102,26 706 141.102,26 352.755,66
B Kec. Tingkir 13.968 1.397 838.051,36 4.190 1.676.102,72 8.381 1.676.102,72 4.190.256,81
80
NO KELURAHAN
KEBUTUHAN
RUMAH 2006-
2016
BESAR SEDANG KECIL TOTAL (m2)
10% 600 (m2) 30% 400 (m2) 60% 200 (m2)
1 Kutowinangun 6.915 691 414.880,17 2.074 829.760,34 4.149 829.760,34 2.074.400,86
2 Gendongan 2.045 204 122.699,30 613 245.398,61 1.227 245.398,61 613.496,52
3 Sidorejo Kidul 1.558 156 93.487,03 467 186.974,06 935 186.974,06 467.435,15
4 Kalibening 574 57 34.442,59 172 68.885,18 344 68.885,18 172.212,95
5 Tingkir Lor 1.566 157 93.971,32 470 187.942,64 940 187.942,64 469.856,59
6 Tingkir Tengah 1.310 131 78.570,95 393 157.141,89 786 157.141,89 392.854,74
C Kec. Argomulyo 13.470 1.347 808.180,45 4.041 1.616.360,91 8.082 1.616.360,91 4.040.902,27
1 Noborejo 1.679 168 100.712,61 504 201.425,22 1.007 201.425,22 503.563,06
2 Ledok 3.227 323 193.599,12 968 387.198,25 1.936 387.198,25 967.995,62
3 Tegalrejo 3.302 330 198.093,32 990 396.186,64 1.981 396.186,64 990.466,60
4 Kumpulrejo 2.224 222 133.411,76 667 266.823,53 1.334 266.823,53 667.058,82
5 Randuacir 1.506 151 90.348,84 452 180.697,68 903 180.697,68 451.744,20
6 Cebongan 1.534 153 92.014,79 460 184.029,59 920 184.029,59 460.073,96
D Kec. Sidomukti 12.748 1.275 764.885,07 3.824 1.529.770,14 7.649 1.529.770,14 3.824.425,36
1 Kecandran 1.569 157 94.126,29 471 188.252,58 941 188.252,58 470.631,45
2 Dukuh 3.352 335 201.095,91 1.005 402.191,82 2.011 402.191,82 1.005.479,54
3 Mangunsari 5.237 524 314.245,05 1.571 628.490,09 3.142 628.490,09 1.571.225,23
4 Kalicacing 2.590 259 155.417,83 777 310.835,66 1.554 310.835,66 777.089,14
JUMLAH 56.852 5.685 3.411.133,66 17.056 6.822.267,31 34.111 6.822.267,31 17.055.668,28
Sumber: Hasil Analisis, 2006
81
Gambar 3.11
Alih Fungsi Lahan Permukiman Kota Salatiga Tahun 2014
Alih Fungsi Lahan Untuk Permukiman di Kota SalatigaKecamatan Lahan Sawah menjadi Lahan
Pekarangan/PermukimanLahan Tegalan menjadi Lahan
Pekarangan/Permukiman2010 2011 2012 2010 2011 2012
Argomulyo 2.005 400 0 26.588 19.844 24.521Tingkir 16.166 11.756 4.696 9.819 13.347 13.894
Sidomukti 12.113 365 7.145 34.007 17.740 22.241Sidorejo 11.327 18.519 25.825 3.802 18.592 23.805
Total 41.611 31.040 37.666 74.216 69.523 84.461Sumber Data: Salatiga Dalam Angka 2013
Penggunaan Lahan di Salatiga (2013)1. Pekarangan/Permukiman : 3.083.514
Ha2. Tegalan:
1.611.622 Ha3. Sawah Irigasi Teknis:
491.330 Ha4. Sawah Non Irigasi Teknis 295.698
Ha5. Penggunaan Lainnya:
195 948
MENUNJUKKAN PENGGUNAAN UNTUK
PEKARANGAN/PERMUKIMAN ADALAH YANG TERBESAR
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
3.3.3. Intensitas Kepadatan Bangunan Kawasan Perumahan dan
Permukiman
Intensitas kepadatan bangunan kawasan perumahan dan permukiman di
Kota Kota Salatiga secara umum dapat dikatakan tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar
307 unit/Ha. Namun kepadatan yang terjadi cenderung mengelompok di suatu
wilayah, di kelurahan-kelurahan tertentu yang memiliki kondisi representatif
sebagai kawasan perumahan dan permukiman. Kelurahan-kelurahan tersebut
antara lain adalah Kelurahan Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo
Lor dan Kelurahan Salatiga.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kelurahan-kelurahan
tersebut terletak di sepanjang jalur jalan regional Semarang – Solo, dengan
82
topografi relatif datar dan kelerengan < 25%, yang sangat potensial untuk menjadi
wilayah kawasan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
Dari kondisi kepadatan yang ada tersebut, maka untuk wilayah-wilayah
kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan >1.000 unit/Ha seperti Kelurahan
Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga,
sudah kurang potensial untuk menjadi lokasi bagi pengembangan kawasan
perumahan dan permukiman. Apabila melihat dari tingkat kepadatan rumah yang
rendah, Kelurahan Randuacir, Kecandran, Pulutan dan Bugel merupakan
kelurahan yang cukup potensial sebagai lokasi pengembangan kawasan
perumahan dan permukiman. Namun apabila meninjau guna lahan Kota Salatiga,
di wilayah Keluahan Bugel dan Kecandran terdapat sawah irigasi yang merupakan
kawasan budidaya dan tidak boleh dikonversi menjadi kawasan perumahan dan
permukiman, sehingga pengembangannya terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat
melihat pada gambar 3.12 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga.
Gambar 3.12
Peta Rencana Tata Ruang dan Kesesuaian Pemukiman Kota Salatiga
Peta Rencana Tata Ruang WilayahKota Salatiga Peta
KesesuaianPemukimanDi Kota Salatiga
83
Gambar 3.13
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga
Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014
84
3.3.4. Pengaturan Sawah Lestari
Pengembangan penggunaan lahan saat ini di beberapa wilayah yang ada di
Jawa Tengah, temasuk dalam hal ini adalah Kota Salatiga, mulai mengarah pada
upaya untuk mempertahankan lahan sawah yang saat ini sudah mulai banyak
berubah fungsi. Perubahan fungsi lahan sawah tersebut antara lain menuju ke arah
lahan terbangun terutama untuk kawasan perumahan dan permukiman. Oleh sebab
itu perlu dilakukan pengaturan kembali untuk mencegah konversi lahan tersebut
supaya tidak mengganggu keseimbangan penggunaan lahan yang ada. Salah satu
upaya yang dilakukan adalahdengan pengaturan lahan sawah menjadi sawah
lestari.
Termasuk di Kota salatiga, dalam analisis RP4D Kota Salatiga ini tetap
memperhatikan pengaturan lahan yang ditetapkan menjadi sawah lestari. Denan
memperhatikan lahan sawah lestari ini, makadalam arahan pengembangan lahan
yang akan dijadikan kawasan perumahan dan permukiman dilakukanengan tidak
merubah lahan yang ditetapkan menjadi lahan sawah lestari. Untuk sawah yang
tidak pat dikonversi adalah sawah yang memiliki sistem irigasi teknis atau
memiliki sumebr air yang cukup serta memiliki tingkat produkstifitas lebih dari
65 % dari lahan sawah tersebut.
Gambar 3.14
Penggunaan Lahan dan Lahan Sawah Kota Salatiga
PenggunaanLahan di Kota
Salatiga
Lahan Sawah di Kota Salatiga
85
Gambar 3.15
Sawah Berkelanjutan Kota Salatiga
Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014
86
3.3.5. Daya Tampung Kawasan Perumahan dan Permukiman
Daya tampung permukiman di Kota salatiga sesuai dengan lahan yang
tersedia, sehingga rencana daya tampungnya natara proyeksi jumlah kebutuhan
rumah dan ketersediaan lahan yang ada. RP4D yang merupakan penjabaran
daerah kuning (permukiman) dari RTRW, maka dalam rencana selau mengacu
rencana yang ada, untuk itu daya tampung RP4D ini tidak lepas dari daya
tampung yang ada di RTRW.
Tabel III – 13.
Kondisi dan Rencana Kebutuhan Rumah Tahun Perencanaan antara RP4D
dan RTRW
No URAIAN
RTRW RP4D
Eksisting
2002
Rencana
2013 Selisih
Eksisting
2005
Rencana
2016 Selisih
1. Jumlah Penduduk (jiwa) 144.649 158.652 14.003 176.090 191.383 24.299
2. Penduduk pendatang (jiwa) 9.006
3. Jumlah Rumah (unit) 31.568 31.730 162 34.920 47.846 12.926
4. Luas Kapling (Ha) 952,000 1.705,57
5. Luas Permukiman (Ha) 3.000,253 2.015,91 984,343 3.033,040 4.263,925 1.327,47
6.
Luas Permukiman + sarana
prasarana 3.000,253 3.911,418 911,165 3.033,040 4.401,534 1.368,494
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Perbedaan tahun perencanaan antara RTRW (2013) dan RP4D (2016)
selisih 3 tahun, namun tidak banyak selisih jumlah penduduk tahun prediksinya
dan bukan masalah yang berarti. RTRW tidak mempertimbangkan jumlah
penduduk pendatang, padahal jumlah pendatang 5 tahun terakhir terus meningkat,
sedangkan di RP4D pendatang diproyeksikan sampai tahun 2016 sebanyak 9.006
jiwa dengan pertumbuhan 0,19 %.
Perbedaan yang sangat besar adalah kebutuhan lahan untuk permukiman.
Luas lahan yang dibutuhkan oleh RTRW sebesar 952 Ha untuk prediksi luas
kapling yang dihitung berdasarkan hanya pertumbuhan penduduk dan tidak
dikurangi jumlah penduduk eksisting dengan perhitungan kapling kecil : sedang :
besar (100 : 400 : 600). Sedangkan di RP4D, prediksi jumlah penduduk ditambah
pendatang dan dikurangi jumlah penduduk eksisting. Jumlah lahan yang
87
dibutuhkan lebih besar RP4D, sedangkan total luas lahan yang digunakan untuk
permukiman di RTRW antara eksisting (3.000,253 ha) dengan rencana (2.015,91
ha) lebih besar eksisting. Dengan demikian untuk RP4D penggunaan lahan untuk
permukiman masih mengikuti RTRW, namun ada beberapa strategi yang
dilakukan untuk memecahkan perbedaan tersebut.
Dari luasan lahan potensial yang tersedia tersebut masih dibagi lagi ke
dalam beberapa prosentase pembagian peruntukan pembangunan. Pembagian
prosentase peruntukan lahan tersebut adalah 90% sebagai kawasan permukiman
dan 10% sebagai ruang publik. Dari 90% tersebut masih dibagi lagi untuk
pengalokasian pembangunan fasilitas sebesar 20% dan prasarana sebesar 20%.
Dengan kata lain bahwa lahan yang dipergunakan untuk pembangunan rumah
adalah sebesar 60% atau sekitar 1.245 ha.
Sedangkan jika dilihat dari potensi lahan kering yang dimiliki oleh Kota
Salatiga, ada beberapa kelurahan yang masih memiliki luasan lahan kering yang
cukup besar, yaitu di Kelurahan Kumpulrejo (622.030 ha), Kelurahan Kecandran
(359.461 ha), Kelurahan Blotongan (325.954 ha) dan Kelurahan Bugel (241.392
ha). Beberapa alternatif pengalokasian luasan daya tampung yang tersedia dengan
kebutuhan akan pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman di
Kota Salatiga adalah sebagai berikut:
- Mengoptimalkan lahan permukiman perkotaan yang masih memiliki
kepadatan rendah, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Tegalrejo,
Kelurahan Kalibening, sedangkan untuk kepadatan sedang, yaitu Kelurahan
Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, dan Kelurahan
Gendongan.
- Lokasi pembangunan baru diprioritaskan untuk kelurahan yang memiliki
tegalan, dengan persyaratan: tidak rawan bencana, memiliki kelerengan 2% -
15%, memiliki kelengkapan fasilitas sosial dan umum, adanya sumber air,
serta kesesuaian arahan lahan dengan RTRW, yaitu Kelurahan Noborejo,
Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo, dan Kelurahan Kecandran.
- Untuk pusat kota dengan kepadatan > 1000 unit/Ha, dibangun secara
vertikal, yaitu Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kalicacing, Kelurahan
Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.
88
- Meminimalkan luasan kapling yang telah ditentukan di RTRW menjadi
lebih kecil, yaitu di lokasi Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Gendongan,
Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.
- Besarnya BC (building coverage) dibedakan antara di pusat kota dengan
yang berada di pinggiran kota.
3.4. ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BARU
Dalam upaya memenuhi kebutuhan perumahan Kota Salatiga dari
pertumbuhan penduduk alami dan pendatang dibutuhkan 47.846 unit sampai
dengan tahun 2016, membutuhkan aktor-aktor pembangunan dalam hal ini adalah
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pembangunan baru yang dilakukan secara formal oleh pemerintah dan
swasta/pengembang perumahan harus dilakukan koordinasi atau kerjasama dalam
pembangunan perumahan skala besar. Pembangunan yang dilakukan oleh
masyarakat secara swadaya bagi penduduk berpenghasilan tinggi membutuhkan
pengaturan dan pengendalian, sedangkan untuk menengah ke bawah
membutuhkan bantuan dari pemerintah. Pengembangan permukiman baru harus
memperhatikan:
• Jumlah dan luasan penduduk yang tertampung,
• Lokasi – lokasi pengembangan,
• Pendekatan pembangunan skala besar swadaya.
3.4.1. Pembangunan Skala Besar
Penyediaan pembangunan perumahan sampai dengan tahun perencanaan
membutuhkan suatu kawasan yang luas, terutama untuk masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) adalah
sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan
dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau
lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Kawasan ini pertama kali
harus dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan
sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah
dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
89
lingkungan. Sedangkan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) adalah sebidang tanah
yang merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri.
Lingkungan ini juga telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana
lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan
untuk membangun kaveling tanah matang.
Penyiapan Lokasi Kasiba oleh Pemerintah Daerah, harus memperhatikan
beberapa persyaratan umum seperti tersebut di atas, namun selain itu ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan sesuai dengan PP No. 80 Tahun 1999, yaitu:
- Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam satu Kasiba sekurang-
kurangnya 3000 unit rumah dan sebanyak-banyaknya adalah 10.000 unit
rumah.
- Lokasi tersebut telah dilayani jaringan primer dan sekunder prasarana
lingkungan;
- Lokasi tersebut, telah dilayani fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas
ekonomi setingkat kecamatan.
Lokasi pembangunan permukiman untuk skala besar di Kota Salatiga ada
beberapa potensi rencana. Lokasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
seperti pada Gambar 3.8. Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba
3.4.2. Pembangunan Swadaya Masyarakat
Pembangunan swadaya yang dilakukan masyarakat di Kota Salatiga, dapat
dilihat dari tingkat golongan masyarakatnya. Biasanya untuk masyarakat
golongan atas, mereka membangun permukiman kurang mengindahkan peraturan
yang ada, sehingga perlu adanya pengaturan dan penertiban pembangunan
perumahan dari pemerintah yang tegas. Khususnya untuk perumahan yang ada
dipusat Kota Salatiga, seperti yang ada di Kelurahan Salatiga dan Sidorejo Lor,
sebagian besar perumahan yang di kelurahan tersebut memiliki KDB yang > 100
% dan dengan kepadatan tinggi, sehingga karakteristik pusat kota Salatiga tertutup
oleh pembangunan rumah yang tidak terkendali. Sedangkan untuk pembangunan
swadaya yang dilakukan masyarakat untuk golongan menengah rendah, seperti di
Kelurahan Kecandran, Tingkir Lor dan Kauman Kidul, perlu membutuhkan
bantuan dari pemerintah. Bantuan tersebut dapat berupa pinjaman dari koperasi
dan kemudahan dalam peminjaman kredit untuk pembangunan rumah sangat
90
sederhana mandiri. Atau dapat dilakukan oleh pemerintah dengan pembangunan
perumahan sangat sederhana yang diberikan kepada masyarakat menengah
rendah, dan untuk mendapatkan dapat melalui angsuran.
Untuk Kota Salatiga, jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendapatan
menengah rendah adalah sekitar 9.134 KK. Apabila dihitung dari keseluruhan
jumlah KK, yaitu 31.877, maka prosentase penduduk yang memiliki tingkat
pendapatan menengah rendah adalah sekitar 28%. Ini merupakan jumlah yang
relatif sedikit. Sedangkan sisanya yaitu penduduk dengan tingkat pendapatan
menengah ke atas akan memiliki kemampuan untuk membangun kawasan
perumahan dan permukiman mereka secara swadaya.
Gambar 3.16.
Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba Kota Salatiga
A
B
C
Sumber: Analisis Penyusun, 2006
• Kepadatan 46 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat
dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman
• Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan arteri Semarang - Solo • Kawasan disekitarnya sudah mulai banyak
dikembangkan sebagai Kasiba/Lisiba • Sumber air terbatas
• Kepadatan 82 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat
dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman
• Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan Tol • Kawasan disekitarnya sudah mulai
berkembang kapling-kapling perumahan • Tersedia sumber air sumur • Memiliki view Gn. Sindoro-Sumbing • Arah pengembangan sebagai kawasan
lindung
• Kepadatan 61 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat
dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman
• Dekat dengan rencana jalan Lingkar • Kawasan permukiman perdesaan bercirikan
agro • Sumber air langka
91
3.5. ASPEK EKONOMI DALAM DUNIA PERMUKIMAN
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman
adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan
tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan
merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Jadi, permukiman adalah suatu
wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia.
Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial
kemasyarakatan sekitar.
Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan
permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan
perumahan dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah
yang dibangun. Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh
pembangunan rumah berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau
perumahan. Dengan ada perumahan yang terus bertambah maka akan ada
masyarakat yang bertempat tinggal, bertumbuh dan berkembang, yang sering
disebut dengan permukiman. Dengan tumbuhnya permukiman, kemudian akan
menjadi daya tarik orang lain untuk membangun rumah di permukiman tersebut.
Gambar 3.17.
Siklus Perkembangan Permukiman
Perumahan
Permukiman
Rumah
92
Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi
namun disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak
terkendali, terencana dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan
permukiman, kita perlu mengenali faktor determinan pertumbuhan permukiman
itu sendiri. Dengan mengenali faktor determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa
membuat intervensi melalui instrumen-instrumen pembangunan baik itu regulasi,
insentif dan fasilitasi.
3.5.1. Beberapa Definisi
3.5.1.1. Pengertian Rumah
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga. Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya
Freedom To Build mengatakan, “Rumah adalah bagian yang utuh dari
permukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu
proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah
dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya
dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan
rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah”.
Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat, 1991:
432), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup
lainnya, rumah merupakan tempat awal pengembangan kehidupan.
Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan
permukiman menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Selain berfungsi
sebagai pelindung terhadap gangguan alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah
juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian
budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi
jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya
maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang
sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya. (Sumber:
93
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen
Permukiman dan Prasarana Permukiman )
3.5.1.2 Pengertian Perumahan
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman, perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan
(pasal 1 ayat 2).
Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari
seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan
permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )
3.5.1.3. Pengertian Permukiman
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan
sarana lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3).
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa
penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan
merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang
atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan
kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar.
3.5.2. Faktor Determinan Pertumbuhan Permukiman
Untuk mengetahui faktor determinan dari pertumbuhan permukiman, bisa
didekati antara lain dari dua teori yaitu terori permintaan dan teori penawaran.
94
Teori Permintaan. Manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas,
sedangkan pendapatan yang ada selalu terbatas. Dengan demikian manusia perlu
melakukan pilihan terhadap alternatif berbagai kebutuhannya (Soeharjoto, 1998).
Dalam teori ekonomi, konsumen adalah mereka yang membeli dan
mengkonsumsi sebagian besar barang konsumsi dan jasa. Pakar ekonomi
mengasumsikan bahwa setiap konsumen secara konsisten berusaha memperoleh
kepuasan maksimum atau kesejahteraan atau utilitas sedangkan sumber daya yang
ada yang terbatas. Akibatnya, tidak semua kebutuhan konsumen dapat terpenuhi
(Lipsey, 1995).
Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan
suatu barang dengan tingkat harganya. Secara sederhana, permintaan dapat
diartikan sebagai jumlah barang yang dibeli konsumen pada berbagai tingkat
harga, waktu, dan tempat tertentu.
Menurut Lipsey (1995), jumlah yang diminta adalah jumlah komoditi total
yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Banyaknya komoditi yang akan dibeli
konsumen dipengaruhi oleh faktor harga komoditi itu sendiri, rata-rata
penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera distribusi
pendapatan di antara rumah tangga, dan besarnya populasi. Menurut Arief (1996),
fungsi permintaan terhadap barang yang diproduksi suatu perusahaan, misalnya
barang X1, dapat diformulasikan sebagai berikut:
X1 = f (P1, P2, P3, …, Pn, Y, A, á)
dimana permintaan terhadap barang X1 ditentukan oleh:
1. Harga barang itu sendiri (P1)
2. Harga barang sejenis atau yang berkaitan dengan X1, (P2, P3, …, Pn)
3. Daya beli konsumen atau pihak-pihak lain yang meminta barang X1,
yang tercermin dalam tingkat pendapatan (Y)
4. Biaya iklan untuk mempromosikan barang X1 (A)
5. Faktor-faktor lain (á) yang akan ditentukan dari waktu ke waktu
Mankiw (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan individu adalah harga, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan,
selera, dan ekspektasi tentang keadaan dimasa yang akan datang. Begitu juga
menurut Sukirno (2002), beberapa faktor penting yang mempengaruhi permintaan
diantaranya adalah:
95
1. Harga barang itu sendiri. Dalam analisis ekonomi, dianggap bahwa
permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh barang itu sendiri, dan
dimisalkan faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan (ceteris paribus).
Dalam hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka
semakin banyak permintaan atas barang tersebut. Sebaliknya, semakin
tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut
2. Harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, yang meliputi
tiga jenis barang yaitu barang pengganti, barang pelengkap dan barang
yang tidak memiliki kaitan sama sekali (netral)
3. Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat,
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak
permintaan terhadap berbagai jenis barang. Perubahan terhadap
pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap berbagai jenis barang
4. Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat. Jika pendapatan sebagian
masyarakat meningkat atau sebagian lainnya mengalami penurunan, maka
jenis barang yang diminta juga akan berubah
5. Cita rasa/selera masyarakat. Jika selera masyarakat terhadap suatu jenis
barang berubah, maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan
berubah
6. Jumlah penduduk, dalam hal ini tidak dengan sendirinya menyebabkan
pertambahan permintaan. Biasanya pertambahan penduduk diikuti dengan
perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak
orang yang menerima pendapatan dan meningkatkan daya beli.
Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan
7. Ramalan mengenai keadaan dimasa yang akan datang. Jika ramalan
keadaan dimasa datang menunjukkan harga-harga meningkat, maka
konsumen akan membeli lebih banyak pada saat ini untuk menghemat
pengeluaran.
Hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya
tersebut disajikan pada kurva permintaan yang memiliki slope negatif. Kurva
permintaan digambarkan dengan asumsi bahwa setiap faktor, kecuali harga
komoditi itu sendiri diasumsikan konstan. Perubahan pada setiap variabel yang
sebelumnya dianggap konstan akan menggeserkan kurva permintaan itu ke posisi
96
yang baru. Pergeseran kurva permintaan disebabkan oleh perubahan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi perubahan permintaan kecuali harga barang itu sendiri.
Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan kurva
permintaan bergeser ke kanan (D1) yang menunujukkan terjadinya peningkatan
permintaan akan suatu komoditi dalam setiap tingkat harga yang memungkinkan.
Perubahan dalam distribusi pendapatan akan membawa dua pengaruh. Bagi
mereka yang memperoleh tambahan pendapatan akan menggeser ke kanan kurva-
kurva permintaan untuk komoditi yang dibeli (D1), sedangkan bagi mereka yang
berkurang pendapatannya akan menggeser ke kiri kurva-kurva permintaan (D2).
Kenaikan harga barang substitusi juga akan membuat kurva permintaan
bergeser ke kanan (D1), sebaliknya kenaikan harga barang komplementer akan
mengakibatkan kurva permintaan bergeser ke kiri (D2) sehingga jumlah komoditi
yang diminta pada setiap tingkat harga akan lebih menurun.
Selain hal-hal tersebut di atas, kenaikan jumlah penduduk juga akan
mengakibatkan pergeseran ke kanan kurva-kurva permintaan (D1) yang
menunjukkan bahwa akan lebih banyak produk yang dibeli pada setiap tingkat
harga. Selera masyarakat juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
keinginan untuk membeli berbagai produk. Oleh karena itu, setiap perusahaan
yang memasarkan produk-produk konsumsi perlu dan harus mengkaji mengenai
preferensi konsumennya yang cenderung akan terus berubah. Dengan demikian,
diharapkan produk yang dihasilkannya dapat memenuhi selera konsumen dan
dapat meningkatakan tingkat permintaan terhadap produknya.
Teori Penawaran. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa
semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah barang tersebut
akan diatwarkan oleh penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga barang, maka
semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002).
Secara umum, jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya
barang yang dapat dihasilkan oleh suatu unit produksi. Untuk itu, perlu
dipertimbangkan juga peranan faktor-faktor produksi terhadap banyaknya output
yang dihasilkan. Semakin banyak output yang dihasilkan maka semakin banyak
pula jumlah barang yang ditawarkan. Jumlah output dapat diperkirakan dengan
menghitung biaya produksi, misalnya dengan menggunakan fungsi Cobb-Doglas:
97
Q = Ká Lâ di mana:
Q = output riil
K = modal
L = tenaga buruh
Mankiw (2003) menyatakan faktor yang menetukan penawaran adalah
harga, harga input, teknologi dan ekspektasi. Sedangkan menurut Sukirno (2002),
selain faktor biaya produksi, keinginan penjual untuk menawarkan barangnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Harga barang itu sendiri
2. Harga barang-barang lain yang berkaitan
3. Tujuan operasi perusahaan tersebut
4. Tingkat teknologi yang digunakan
Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya
suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat
mempengaruhi berkembangnya permukiman.
Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat
hidup manusia, sehingga banyak aspek yang dapat mempengaruhinya. Jika
diperhatikan dengan seksama, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan,
faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, faktor
keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan permukiman dan
perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat.
Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain:
1. Letak geografis,
2. Kependudukan,
3. Sarana dan prasarana,
4. Ekonomi dan
5. Keterjangkauan daya beli,
6. Sosial budaya,
98
7. Ilmu pengetahuan dan teknologi,
8. Kelembagaan, dan
9. Peran serta masyarakat
3.5.3. Faktor Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi
perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya,
adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi
merupakan faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat
berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi
sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh
permukiman masyarakat Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu
dan membentuk permukiman masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali,
akan menarik orang Bali lainnya untuk datang dan membangun rumah di
permukiman tersebut.
3.5.4. Faktor Ekonomi
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian.
Tingkat perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan
perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan
mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang,
maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal
ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah.
Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi
perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah
tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin
berkembanglah permukiman yang ada.
3.6. DETERMINAN PERMUKIMAN: ANALISIS EKONOMI
1. Harga rumah
2. Pendapatan Masyarakat
3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan
4. Lokasi
5. Jumlah Penduduk
99
6. Pertumbuhan kota/wilayah
7. Kegiatan investasi
8. Pertumbuhan usaha
9. Kebutuhan tempat tinggal
10. Kebijakan pemerintah
11. Harga Rumah
Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama,
umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara
masal tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu
pembangunan perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok
perumahan diasumsikan tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah
tertentu (fixed) yang tidak dapat disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan
terhadap perubahan perubahan harga.
Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan
antara permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan
menggunakan indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus
mengalami kenaikan, maka permintaan dari masyarakat akan menurun.
Sebaliknya, kenaikan harga rumah merupakan suatu rangsangan bagi pihak
pengembang untuk membangun perumahan.
3.6.1. Pendapatan atau Daya Beli Masyarakat
Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka
secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah,
sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002).
Sedangkan Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per
kapita, maka pembelian perumahan akan bertambah.
Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka
semakin rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin
tinggi pula porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan.
Jika pendapatan per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang
digunakan untuk membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.
100
3.6.2. Tingkat Bunga
Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan
kredit yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda
tergantung tingkat kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman
dan bebagai aspek perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman
(Dornbusch et. al., 2004).
Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan
mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena
disamping menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku
bunga yang lebih tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk
konsumsi maupun berinvestasi.
3.6.3. Lokasi Perumahan
Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal
atau bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan
suatu rumah didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan
dihitung dan banyak aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan
Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan
beberapa pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan.
Beberapa pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan
adalah:
3.6.4. Jumlah Penduduk
Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk
permintaan perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar
merupakan pasar yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada
tingkat pertumbuhan populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi
semakin besar.
Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan
dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima
pendapatan dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan
meningkatkan permintaan akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan
menumbuhkan permukiman.
101
3.6.5. Pertumbuhan Kota/Wilayah
Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah
pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau
banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga
pergerakan tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut.
Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan
rumah baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah
meningkat akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman
yang lama maupun yang baru.
Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga
menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada
akhirnya akan menyebabkan perubahan permukiman.
3.6.6. Kegiatan Investasi
Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan
investasi rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari
makna yang pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan
akan rumah meningkat untuk jadi barang investasi. Dengan pertumbuhan kota dan
penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai dari sebelummnya. Banyak orang
kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk ditempati, disewakan maupun
untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan perubahan dan pergerakan
permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi kemudian developer atau
dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan yang akhirnya akan
membentuk investasi.
3.6.7. Pertumbuhan Usaha
Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi
pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan
banyak permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan
pertumbuhan usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana
usaha itu berada.
Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman
juga tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan
102
usahanya pesat, maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang
akhirnya akan menumbuhkan permukiman.
3.6.8. Kebutuhan Tempat Tinggal
Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena
kebutuhan tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan
memiliki anak menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal.
Kebutuhan tempat tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang
tua, kemudian menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya.
Kondisi ini terus bertumbuh seiring dengan waktu
Dengan pertumbuhan keluarga, akan menyebabkan seseorang
membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya akan
terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.
3.6.9. Kebijakan Pemerintah
Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan
dibuat seperti apa, Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan
permukiman. Itu artinya kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan
permukiman.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah:
1. Kebijakan permukiman sendiri
2. Kebijakan moneter dan fiscal
3. Kebijakan pembangunan ekonomi
4. Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat
akan perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau
meniadakan permukiman
Secara keseluruhan dapati disimpulkan bahwa faktor determinan
pertumbuhan permukiman bisa dikelompokkan pada 3 bagian penting yaitu faktor
individu, faktor usaha/bisnis dan faktor pemerintah.
103
Gambar 3.18.
Driver Utama Pertumbuhan Permukiman
BAB VPEl{UTUP
5.1. Kesimpulan
Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukifiun
yaitu lereng, posisi jalur patahan, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, sistem
drainase, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, bahaya erosi, bahaya longsor, dan
bahaya banjir. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan
kawasan pefitrukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya
longsor, bahaya erosi, dan jaftu patahan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan
tentang arah pengembangan kawasan / lokasi penelitian agar tercapai penggunaan
lahan yang optimal sesuai dengan tidak mengurangi nilai kesehatan dan kenyamanau
lingkungan tssebut yaitu :
a) Ditiqiau dari Fungsi Lahan. Sedapat mungkin disesuaikan dengan Tata
Bangunan dan Lingkungan khusus kawasan perrrukiman yang diarahkan ke
fungsi utama kota.
b) Penetapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Pemrukiman Kota.
c) Perlu perbaikan Sarana dan Prasarana Lingkungan Perrnukiman yang terdapat
dalam lokasi studi penelitian ini.
d) Memanfaatkau bangunan-bangunan yang
dasaryang diperlukan.
5.2 Saran
ada serta perbaikan infrastruktur
Disarankan kepada Pemerintah Kota Salatiga untuk dapat membuat perangkat iaturan - aturan dalam membangun rumah tinggal serta aturar - aturan dalam
penggunaan silara dan prasama lingkungan yang ada. Untuk penge,mbangan fisik
lingkungan permukiman seharusnya dapat memperhatikan kebututran lingkungan yang
meliputi:
a) Sarana Lingkungan Permukiman. Sarana lingkungan merupakan pelayanan
umun bagi kebutuhan maqyarakat maka diharapkan pemerintah daerah
setempat untuk dapat rnerevitalisasi sarana tersebut misalnya kebutuhan
111
b)
c)
arealparkir pada lokasi ini yang mempertimbangkan faktor peretrcanaan
lingkungan bahwa 0,16 m2 / penduduk.
Prasarana Lingkungan Perrnukiman
Pe,ngembangan sektor transportasi perlu dilakukan dalam raogka untukmenciptaklau fungsi dan hirarki jaringan jalan.
Pengembangan jalan lokal sekunder yang berfimgsi sebagai si*ulasi pejalatr
kaki dalam lingkungan pennukimaa tersebut. Dimeusi jatan ymg akan
direnovasi disesuaikan dengan standar perencanaan misalnya derrgrn jal*n
setapak mempunyai lebar 2 meter - 3 meter, sedangkan jalan um* kendaraan
sebesar 3 meter - 4 meter dan jalan kolektore dengan lebar 7 meter de"F"kecepatan20 Km ljem..
Pengembangan se}tor persampahan diharapkan dapat dibuatkau Tps - Tpsssuai dengan kebutuhan dan jrrml6h Unit rumah yang ada agar dapat t€r@talingkungan pemrukiman yang sehat.
Pengembangan sistem drainase meqiadi salah satu yang penting unhrk direnovasi atau dibangun baru karena hal ini bila tidak menjadi prioritas maka
pada musin penghujan baq,ir tidak dapat dihindari dalam lokasi ini
d)
e)
ttz
DATTAR PUSTAI(A
Ahmad, N. (1999). Manajemen Perkotaan (Aktor,Organisasi dan Pengelolaan DaerahPerkotaan di Indonesia). Yogyakarta: Cetakan Pertama, PustakaLingkaran Bangsa,.
Ambmdi, u. M. dan s. Prihawantoro. 2002. Pengembanganwilayah dan otonomiDaerah. Jakarta:BPPT
Badan Stadff Nasional, 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan DiPerkotaan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. ISSN: 2357-0606Jurnal Perencanaan Wilayah I Vot.t I No.t I funi ZOt+
Ghalib, R.2005. Ekonomi Regional. Banduug: Pustaka Rarnadhan.
Hamid, dkk.(ed.). 2002. Kawasan Perbatasan Kalimantan Permasalahan dan KonsepPengembangan. Jakarta: BpKTpW-BppT.
Bilivson. 2004. Struktur Ruang Sebagai Arahan Pengembangan Ekonomi WilayahKabupaten Barito Selatan. Tesis, MppWK. Univ. Diponogoro,Semarang.
Dirjen Penaaan Ruang - Dep. Kimpraswil. Sinkronisasi Pe,nataan Ruang DenganPembangunan Perumahan Dan permukiman, Makalah padaOrientasi Wartawan Bidang Properti Dan Konstruksi, Bandung 17Mei 2002.
Pemerintah Kota Kendari Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun2000 - 2010. Pemda Kota Kendari, 2000.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PrtJM/2009 Tentang pedomanPenyusuuan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, 2009.
Soetomo, s. 2009. urbanisasi dan Morfologi. Yogyakarta: Graha lknu.
Tarigan, Rabinson.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Atsara.
113
Top Related