KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH
(Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA
R U B I Y O
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa semua pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul:
” Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L)
terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butler) di
Indonesia”
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan
pembimbingan oleh para komisi pembimbing, terkecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Oktober 2009
Rubiyo NRP:A 161060011
iii
ABSTRACT
RUBIYO, Genetic Study of Cacao (Theobroma cacao L.) Resistance against Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl) in Indonesia. Supervised by SUDARSONO, AGUS PURWANTARA, TRIKOESOEMANINGTYAS, and SATRIYAS ILYAS.
Cacao (Theobroma cacao L.) is one of the estate crops having important role in economy Indonesia. Cacao cultivation faces a lot of constraints, such as crop pests and diseases which can reduce the quality and production of cacao. One of the main diseases which attack cacao in Indonesia is black pod disease caused by Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. The disease caused yield losses ranging from 40 to 50% in Indonesia and worldwide. The research on genetic resistance of cacao against the disease caused by P. palmivora in Indonesia is still very limited. This research can assist the effort of cacao breeding to produce cacao clones or hybrids which are resistant against P. palmivora and to establish heritability model of F1 progeny to produce crop materials having some high qualities, so that the production of cacao can be improved. The objectives of this research: (1) To identify P. palmivora species and to study its genetic variation in cacao production centre of some provinces in Indonesia (2) To establish a standard inoculation method for screening in cacao resistance (3) To measure pathogenicity of P. palmivora upon cacao (4) To test cacao germplasm collection against P. palmivora and use them as parental clones to construct F1 hybrids (5) To study the correlation of resistance levels and observed quantitative characters of several cacao clones (6) To study the potency of high general and specific combining abilities and its heterosis effect on diallel crossing of cacao clones so that F1 hybrid with high yield and resistance to P. palmivora and its heritability can be obtained.
In the first part of this research, 24 indigenous isolates of P. palmivora had been isolated from 13 districts and eight provinces in Indonesia. The indigenous isolates produce ellipsoid, globoid, or ovoid sporangia with distinct papillae and pedicel, typical of P. palmivora. Among indigenous isolates, there was no distinct difference in the papilla and their pedicel. Even though the isolates showed similar in morphology, they showed variation in pathogenicity on cacao clones GC 7, ICS 60 and TSH 858. Phytophthora palmivora isolate from Lubuk Basung, West Sumatra was very pathogenic to pods of the three cacao clones. While the isolates JkBwi (12) and KgBwi (8) from Banyuwangi, East Java; PtBdg (7) from Badung, Bali; SsSpg (36) and AgSpg1 (35) from Sopeng, South Sulawesi, and also Pwmnw from Manokwari, West Papua were pathogenic or very pathogenic. The second part showed that inoculation using mycelia inoculum was more efficient than using zoospore, and wounding treatment could assist in accurately detecting cacao seedling resistance against the P. palmivora infection. The estimation of resistance using detached pod was in line with the result of evaluation using cacao seedlings so that the seedlings can be used for an alternative for resistance evaluation against P. palmivora. TSH 858 clone is better to be used as female parent and crossed with Sca 12 as male parent to establish the population of F1 hybrids which are resistant to the P. palmivora infection and have high productivity.
iv
The third part indicated that inoculation of cacao pods in the field and laboratory for resistance screening gave the similar degree of resistance. Cacao clones showing susceptibility in laboratory have the same susceptibility in the field.
The fourth part indicated that among 35 cacao clones, there were 10 clones which were resistant against P. palmivora infection based on pod inoculation test in laboratory. The clones are: ICCRI 1, ICCRI 3 PA 300, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6 and ICS 60. Whereas, the cacao clones showing susceptibility based on inoculation were: RCC 72, KKM 22, NIC 7, DRC 15, DRC 16, RCC71,BL 300, BL 301, KEE2, TSH 908. Genotypes used for the parental clones for future selection process were eight clones: ICCRI 1, ICCRI3, ICS 13, TSH 858, UIT 1, PA 300, NIC 4 and DR38.
The fifth part, based on stomata observation of 10 clones, stomata density in pod and leaf did not show high correlation to the resistance. The number of stomata on resistant and susceptible clones is not significantly different, indicating that cacao clones which are resistant do not always have low stomata density compared to that of susceptible, and vice versa cacao clones which are susceptible do not always have high stomata density in pod and leaf. Study on the activities of chitinase and peroxidase enzymes upon tested clones indicated that there was chitinase role to the resistance of cacao against the infection by P. palmivora. The increase of chitinase activity in resistant clones generally intensified consistently, and so did peroxidase enzyme. Susceptible cacao clones whose peroxidase enzyme activity did not increase were DRC 15 and DRC 16 and they belong to very susceptible clones. The sixth part of the research showed that there was no gene interaction determining the resistance against the disease caused by P. palmivora. Resistance in cacao is mostly influenced by additive gene actions. Dominant genes are mostly found in parental. Heritability values in narrow and bigger sense belong to a high group. Parental clones such as ICCRI 3, TSH 858 and Sca 6 have the highest General Combining Ability. While the combination between ICCRI 3 x Sca 6 has the highest Specific Combining Ability, and therefore this combination is prospective to become a hybrid. The highest heterosis occurs in the crossing between DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6.
v
RINGKASAN
RUBIYO, Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia. Dibimbing oleh SUDARSONO, AGUS PURWANTARA, TRIKOESOEMANINGTYAS, dan SATRIYAS ILYAS.
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Budidaya kakao menghadapi banyak kendala di lapangan, antara lain penyakit dan hama tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi kakao. Salah satu penyakit utama yang menyerang tanaman kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah (black pod) yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora (Butl). Butl. Penyakit busuk buah kakao mengakibatkan kerugian antara 40 sampai 50% di Indonesia, dan di seluruh dunia.
Penelitian genetika ketahanan kakao terhadap penyakit P. palmivora di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan tanam yang tahan terhadap penyakit busuk buah dan model pewarisan terhadap F1 nya untuk menghasilkan bahan tanam yang mempunyai beberapa sifat unggul, sehingga produksi kakao dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Melakukan identifikasi spesies P. palmivora dan mengetahui keragaman patogenisitasnya pada lokasi sentra kakao di Indonesia (2) Mengetahui metode inokulasi untuk penapisan ketahanan kakao (3) Mengetahui patogenitas P. palmivora terhadap tanaman kakao (4) Mengetahui dan mendapatkan tanaman kakao yang tahan dan rentan terhadap penyakit P. palmivora di koleksi plasma nutfah kakao untuk digunakan sebagai tetua untuk perakitan hibrida F1 (5) Mengetahui korelasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao untuk karakter kuantitatif yang diamati (6) Mengetahui potensi daya gabung umum dan khusus yang tinggi serta efek heterosisnya pada persilangan dialel klon kakao sehingga diperoleh potensi pada hibrida F1 serta heritabilitasnya.
Pada bagian pertama dari penelitian ini telah diperoleh 24 isolat indigenus P. palmivora yang diisolasi dari 13 kabupaten dan delapan provinsi di Indonesia. Isolat indigenus yang didapat mempunyai bentuk sprora ellipsoid, globoid, atau ovoid, tipikal P. palmivora. Di antara isolat tidak terdapat perbedaan yang jelas pada papila dan pediselnya. Meskipun isolat P. palmivora yang didapat secara morfologis hampir sama, terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap kakao klon GC 7, ICS 60 atau TSH 858. Isolat P. palmivora LbSbr dari Lubuk Basung, Sumatra Barat diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao yang diuji. Isolat JkBwi (12) dan KgBwi (8) dari Banyuwangi, Jawa Timur; PtBdg (7) dari Badung, Bali; SsSpg (36) dan AgSpg1 (35) dari Sopeng, Sulawesi Selatan, serta PwMnw dari Manokwari, Papua Barat bersifat patogenik atau sangat patogenik.
Bagian kedua dari penelitian ini menunjukkan bahwa inokulasi dengan menggunakan inokulum miselia lebih efisien dibandingkan dengan zoospora P. Palmivora, dan perlakuan pelukaan lebih mampu secara akurat menduga respon ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan hasil pengujian menggunakan
vi
bibit kakao sehingga bibit dapat digunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi.
Bagian ketiga menunjukkan bahwa inokulasi untuk mengetahui ketahanan klon kakao di laboratorium maupun di lapangan menghasilkan ketahanan yang sama. Terdapat perbedaan dalam perkembangan luas bercak dan masa inkubasinya. Umumnya rata-rata luas bercak dan perkembangan yang dihasilkan pada inokulasi di laboratorium lebih besar dibandingkan dengan luas bercak yang di hasilkan pada uji inokulasi di lapangan. Masa inkubasi umumnya di lapangan lebih lamban rata-rata 2 hari dibandingkan dengan inokulasi di laboratorium.
Bagian keempat hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji ketahanan terhadap 35 klon kakao, terdapat 10 klon kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji inokulasi buah di laboratorium. Klon kakao tersebut adalah: ICCRI 1, ICCRI 3, PA 300, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6 dan ICS 60. sedangkan klon kakao yang menunjukkan hasil rentan berdasarkan hasil inokulasi adalah: RCC 72, KKM 22, NIC 7, DRC 15, DRC 16, RCC71, BL 300, BL 301, KEE2, TSH 908. Genotipe yang digunakan untuk tetua dalam rangka proses seleksi lebih lanjut atau untuk bahan tanam klonal ada delapan klon yaitu: ICCRI 1, ICCRI 3, ICS 13, TSH 858, UIT 1, PA 300, NIC 4 dan DR38.
Bagian kelima menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada daun maupun buah tidak memberikan korelasi yang tinggi terhadap ketahanan. Jumlah stomata tidak berbeda nyata antara kelompok klon yang tahan maupun rentan. Klon kakao yang tahan tidak selalu menghasilkan jumlah kerapatan stomata yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan. Klon kakao yang rentan tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak di daun maupun pada buah. Aktivitas kitinase dan peroksidase terhadap klon kakao yang diuji mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao dari infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan umumnya lebih meningkat, begitu juga pada enzim peroksidase. Klon kakao yang rentan, dan tidak memiliki peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah klon DRC 15 dan DRC 16, sehingga klon tersebut masuk dalam kelompok sangat rentan.
Bagian ke enam hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi gen yang terjadi dalam menentukan ketahanan terhadap penyakit P. palmivora. Ketahanan kakao banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif dan gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun heritabilitas dalam arti sempit masuk kelompok tinggi. Tetua ICCRI 3, TSH 858 dan Sca 6 mempunyai DGU yang paling tinggi dibandingkan dengan tetua lainnya. Kombinasi yang mempunyai daya gabung khusus tertinggi adalah kombinasi ICCRI 3 x Sca 6 sehingga kombinasi ini berpeluang menjadi penghasil hibrida. Heterosis tertinggi terdapat pada silangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6.
vii
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH
( Phytophthora palmivora Butl.) DI INDONESIA
R U B I Y O
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
ix
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir.Yudiwanti Wahyu E.K, MS.
Dr.Ir.Muchdar Sudarjo, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof.Dr.Ir. Sudirman Yahya
Dr.Ir. S. Joni Munarso, MS.
x
Judul Disertasi : Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia
Nama : Rubiyo Nomor Pokok : A 161060011 Program Studi : Agronomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Dr. Ir. Agus Purwantara, APU.
Ketua
Anggota
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota
Prof. Dr.Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 8 Oktober 2009 Tanggal Lulus:
xi
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, puji dan syukur penulis
sampaikan kehadirat Alloh SWT atas segala karunia dan petunjuk-NYA, sehingga
penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Solawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
cahaya dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman.
Disertasi dengan judul “Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao
(Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora
palmivora Butl) di Indonesia “ disusun berdasarkan penelitian–penelitian yang
dilakukan di lapangan yang meliputi sembilan propinsi (Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Jawa Barat, Jawa timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara dan Papua Barat) saat pengambilan isolat di Indonesia. Penelitian di
laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor, laboratorium
fitopatologi dan kebun percobaan Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia Jember Jawa Timur Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Disertasi ini dapat diselesaikan atas kerjasama dan bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penghargaan dan ungkapan terimakasih yang sebesar besarnya
penulis haturkan kepada ketua komisi pembimbing Prof.Dr.Ir.H.Sudarsono, MSc.,
yang telah memberikan bimbingan tanpa kenal tempat maupun waktu dan arahan
yang sangat mendalam dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.
Ungkapan penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada
anggota komisi pembimbing: Dr.H.Agus Purwantara, APU., Dr.Ir.
Trikoesoemaningtyas, MSc., dan Prof.Dr.Ir.Hj.Satriyas Ilyas, MS., yang telah
banyak membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terimakasih yang sebesar-
besarnya penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Hj.Yudiwanti, MS., dan Dr.Ir.H.
Muchdar Sudarjo, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi saat
sidang tertutup, ucapan dan penghargaan yang sama disampaikan kepada
Dr.Ir.Joni Munarso, MS dan Prof.Dr.Ir.Sudirman Yahya atas perkenannya
menjadi penguji luar komisi pada sidang terbuka.
xii
Berbagai pihak yang telah banyak berperan sehingga penelitian dan
penulisan disertasi dapat diselesaikan. Karena itu ungkapan dan penghargaan
ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Ketua komisi pembinaan tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian atas kepercayaan, biaya dan fasilitas
yang diberikan selama tugas belajar sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan Program S3 di Institut Pertanian Bogor.
2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah
memberikan beasiswa dan biaya penelitian, ijin dan kesempatan tugas
belajar S3 kepada penulis di Institut Pertanian Bogor
3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua PS
Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas
kesempatan dan dukungan yang diberikan mulai dari perkuliahan
sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dan menyelesaikan
penulisan disertasi ini dengan baik.
4. Dr. H. Darmono Taniwiryono dan Dr.Hj. Endang Nurhayati yang telah
menguji penulis pada ujian lisan Prakualifikasi Program Doktor.
5. Kepala BPTP Bali dan staf atas dukungannya selama penulis mengikuti
tugas belajar program Doktor di Institut Pertanian Bogor.
6. Direktur Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor-Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia atas ijin dan fasilitas yang diberikan selama
penelitian berlangsung di Laboratorium maupun rumah kaca.
8. Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia atas ijin dan
fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung baik di kebun
percobaan Kaliwining maupun Laboratorium dan perpustakaan dalam
studi literatur.
9. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian Perguruan Tinggi (KKP3T)
Institut Pertanian Bogor dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian melalui DIPA TA 2007-2009, atas
dukungan dana sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
menjadi bagian dari disertasi ini.
xiii
10. Staf Pengajar Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu selama penulis mengambil
kuliah untuk program S3 di Institut Pertanian Bogor.
11. Dr.Ir. H. Sutanto Abdulah, SU., Ir.Sri-Sukamto,MP., Ir.Dedy Suhendi,
MS., Ir. Sudarsianto, Ir. Nurkolis, atas bantuannya selama penelitian
berlangsung di laboratorium dan lapangan yang diberikan, juga diskusi-
diskusi yang sangat membantu sehingga sangat dimungkinkan penelitian
berlangsung dengan lancar.
12. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Dr.M.Syukur, Atekan, SP,
M.Si; Alfian Futuhulhadi, S.Si, M.Si atas bantuan dalam analisa data
penelitian ini.
13. Ir.Endang Mufrihati yang telah banyak membantu dalam pengambilan
isolat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatra Barat dan Papua Barat,
Ir.Suparti Disbun Sopeng yang telah membantu dalam pengambilan
isolat di daerah Sulawesi Selatan, Ucapan yang sama juga disampaikan
kepada Ir. Ramlan, MP Peneliti di BPTP Sulbar yang membantu dalam
pengambilan isolat di Sulawesi Barat, Imran, SP peneliti BPTP Sulawesi
Tenggara juga membantu pengambilan isolat di daerah Sultra dan Mas
Rahmat (yang dengan tekun membantu dalam isolasi isolat dan
inokulasi di Laboratorium dan Green house Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Bogor).
14. Rekan–rekan di laboratorium dan kebun percobaan Kaliwining: Supandi,
SP., Ir.Dody Sulistyo, Suliono, Sukarmin, Sarkawi, Adi Hario, mbak
Khotijah, Mbak Imsiah, bu Aan, mas Sumarto dan pak Karmidin, dan
berbagai pihak yang telah banyak membantu di kebun maupun di
laboratorium, mulai dari persiapan persilangan hingga inokulasi dan
tabulasi data.
15. Rekan di Lab.Biomol IPB (mbak Minarti, Susiani dan Mas Agus serta
Mas Joko) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
16. Ir.Achmat Jauhari, MS., Ir.Suprapto, MP. Ir. Arief Musadad, atas segala
bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Bogor.
xiv
17.Terimakasih dan sungkem yang mendalam penulis sampaikan kepada
kedua orang tua penulis: Bapak Yasareja [Alm] dan Ibu Mukinah atas
perjuangan, pengorbanan dan doa yang tidak pernah terhenti dalam
membesarkan dan mendidik penulis.
18.Terimakasih kepada Bapak dan Ibu mertua (Bapak Ismail Mahardi [alm]
dan Ibu Siti Juariah) yang telah mendidik dan memberikan istri yang
sangat baik bagi penulis.
19.Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
istri tercinta Ir. Endang Mufrihati serta ananda Nicho Nurdebyandaru,
S.Si, Briliandaru Mahardhiyasa Pribadi, Dhimas Upadyandaru SB,
Prabandaru Nuriza Daksa B dan F.Adellia Virgiandaru Huzna yang telah
melengkapi dan memberikan kebahagiaan bagi kehidupan penulis serta
dengan segala pengertian, pengorbanan, kesabarannya dan doa yang
tidak pernah terlupakan selama penulis menyelesaikan studi S3 ini.
20.Terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik (Mas Ir.
Zaenal Arifin, mbak Ir.Susilowati, Mas Samsul Hadi, mbak Rohma, dik
Min, dik Mini dik Tugiya, SE, dik Mery beserta keluarga) serta sanak
famili yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
21.Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian disertasi penulis yang tidak dapat disebutkan satu
persatu dalam tulisan ini.
Semoga bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak
akan menjadi amal baik dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Alloh
SWT. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya perkakaoan di Indonesia untuk kehidupan
dan kemakmuran kita bersama. Amin.
Bogor, Oktober 2009 Rubiyo
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Kidul Yogyakarta tanggal, 11 November
1963 sebagai anak sulung pasangan Yasareja dan Mukinah. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Moch. Sroedji Jember, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 2004 menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Udayana program studi pertanian
lahan kering. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program
Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada
tahun 2006. Beasiswa pendidikan Pascasarjana S3 diperoleh dari Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian – Departemen Pertanian.
Penulis mulai bekerja di Balai Penelitian Perkebunan Jember sekarang
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia tahun 1984 - 1997 sebagai staf pada
bidang pemuliaan tanaman kakao. Mulai tahun 1998 penulis memilih jalur PNS
dan ditempatkan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kendari
lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai Staf Peneliti.
Tahun 2001 sampai sekarang sebagai peneliti di BPTP Bali. Pada tahun 2002-
2004 sebagai Pemimpin Proyek PAATP Bali. Jabatan fungsional Peneliti pertama
diperoleh pada tahun 2000 sebagai Asisten Peneliti Madya bidang budidaya
pertanian dan tahun 2003 sebagai Ajun Peneliti Madya, kemudian jabatan
Peneliti Madya diperoleh pada tahun 2005. Selama menjadi peneliti karya tulis
yang dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Nasional sebagai penulis utama 12 buah dan
sebagai penulis kedua 15 buah.
Dua buah karya ilmiah berjudul (1) “Response of 35 Cacao Collections of
Indonesian Coffee and Cacao Research Institute against Phytophthora palmivora
Butl. Infection Based on Detached Pod Assays “ dan (2) Judul” Heritability and
Genetic control of black pod disease caused by P. palmivora infection in cacao”
diterima sebagai makalah dan akan dipresentasikan pada International Cacao
Research Conference (ICRC) di Bali November 2009. Dua artikel telah
diterbitkan dengan judul (1) Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from
xvi
Indonesia, their morfological and pathogenicity characterizations, dan artikel
kedua (2) dengan judul: “Uji ketahanan kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
penyakit busuk buah dan efektivitas metode inokulasi” pada Jurnal Pelita
Perkebunan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3
penulis. Sebagai seorang peneliti pemuliaan kakao bersama dengan peneliti yang
lain pada tahun 2004 dan 2005 telah melepas 4 klon kakao (ICCRI 1, ICCRI 2,
ICCRI 3 dan ICCRI 4) sebagai klon unggul nasional.
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... I
KATA PENGANTAR ................................................................................... Ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. Iii
RINGKASAN ................................................................................................ 1
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Perumusan masalah .................................................................................... 5
TUJUAN PENELITIAN ............................................................................... 7
MANFAAT PENELITIAN........................................................................... 7
HIPOTESIS................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 9
A.MorfologiTanaman kakao ...................................................................... 9
B. Keragaman GenetikTanaman kakao...................................................... 11
C. Penyakit Busuk Buah Kakao ................................................................. 12
D. Pengendalian Penyakit Busuk Buah...................................................... 16
E. Mekanisme Ketahanan........................................................................... 17
F Mekanisme Ketahanan Struktural ...........................................................
Mekanisme Ketahanan Biokimia ............................................................
18
20
G. Genetika Ketahan Kakao terhadap Penyakit P.palmivora ..................... 22
H. Analisis Daya Gabung........................................................................... 24
I. Heterosis ................................................................................................. 25
J.Heritabilitas............................................................................................. 26
JUDUL 1. ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY CHARACTERIZATIONS................................
28
Abstrak ..................................................................................................... 28
Introduction .............................................................................................. 31
Material and Methods............................................................................... 33
Results and Discussion............................................................................. 36
Conclusions .............................................................................................. 44
Literature Cited ........................................................................................ 45
xviii
JUDUL 2. UJI KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH DAN EFEKTIVITAS METODE INOKULASI .......................................................................... 47
Abstrak ..................................................................................................... 48
Pendahuluan ............................................................................................. 49
Bahan dan Metode.................................................................................... 50
Inokulasi pada Buah Kakao...................................................................... 51
Inokulasi pada Bibit ................................................................................. 52
. Pengaruh Genotipe Kakao........................................................................ 52
Hasil dan Pembahasan.............................................................................. 54
Simpulan................................................................................................... 65
Daftar Pustaka .......................................................................................... 66
JUDUL 3. UJI KETAHANAN KAKAO DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butler)............................................................. 68
Abstract .................................................................................................... 69
Pendahuluan ............................................................................................. 70
Bahan dan Metode.................................................................................... 72
Penelitian uji ketahanan tanaman kakao di laboratorium dan lapangan .. 72
Uji Detached Pod di laboratorium......................................................... 73
Uji ketahanan di lapangan ........................................................................ 73
Hasil dan Pembahasan.............................................................................. 74
Uji ketahanan kakao di laboratorium ...................................................... 74
Uji ketahanan di lapangan ........................................................................ 76
Simpulan................................................................................................... 78
Daftar Pustaka .......................................................................................... 79
JUDUL 4. PENELITIAN RESISTENSI KLON KAKAO TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl RESPON 35 KLON KAKAO BERDASARKAN UJI DETACHED POD ....... 82
Abstract ................................................................................................... 82
Pendahuluan ............................................................................................ 84
Bahan dan Metode................................................................................... 86
Hasil dan Pembahasan............................................................................. 89
Uji Detached Pod di Laboratorium ......................................................... 89
Hubungan antara Tipe Kakao dan Respons Ketahanan. .......................... 90
xix
Pendugaan nilai duga ragam genetik........................................................ 97
Simpulan................................................................................................... 98
Daftar Pustaka .......................................................................................... 98
JUDUL 5. AKTIVITAS ENZIM KITINASE , PEROKSIDASE SERTA KERAPATAN STOMATA PADA KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( P. Palmivora) ............................................................................. 100
Apstrak ..................................................................................................... 101
Pendahuluan ............................................................................................. 102
Bahan dan Metode.................................................................................... 104
A. Penelitian Kerapatan stomata terhadap buah dan daun akao .............. 104
Pengamatan stomata buah kakao.............................................................. 104
B. Penelitian Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Daun pada Beberapa Klon kakao ............................................................................................. 105
Ekstraksi Protein ....................................................................................... 106
Analisis Total Protein Terlarut (TPT) ....................................................... 106
Analisis Aktivitas kitinase......................................................................... 106
Analisis Aktivitas Peroksidase .................................................................. 107
Hasil dan Pembahasan............................................................................... 107
Simpulan.................................................................................................... 111
Daftar Pustaka ........................................................................................... 112
JUDUL 6. PENDUGAAN PARAMETER GENETIK UNTUK KARAKTER KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora.)................................................................................................. 115
Abstrak ...................................................................................................... 115
Pendahuluan .............................................................................................. 117
Bahan dan Metode...................................................................................... 119
Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 119
Bahan Tanaman yang Digunakan .............................................................. 120
Uji Ketahanan Populasi Hibrida F1 Hasil Persilangan Dialel.................... 122
Analisis Data .............................................................................................. 124
Hasil dan Pembahasan................................................................................ 130
Pendugaan parameter genetik.................................................................... 132
Interaksi Gen ............................................................................................. 132
Pengaruh Aditif (D) dan Dominansi (H1).................................................. 133
xx
Distribusi gen di dalam tetua...................................................................... 134
Tingkat Dominansi. .................................................................................... 134
Proporsi gen dominan terhadap gen Resesif ..................... ........................ 134
Arah dan urutan dominan..................... ..................................................... 135
Jumlah Gen Pengendali karakter................................................................ 136
Heritabilitas ................................................................................................ 136
Daya Gabung Umum (DGU) ..................................................................... 137
Daya Gabung Khusus (DGK) .................................................................... 137
Heterosis..................................................................................................... 139
Simpulan..................................................................................................... 140
Daftar Pustaka. ........................................................................................... 141
PEMBAHASAN UMUM .............................................................................. 144
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 157
SARAN .......................................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 160
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Daftar lokasi pengambilan contoh buah kakao terinfeksi penyakit busuk buah kakao, jumlah isolat cendawan dan jumlah isolat P. palmivora indigenus yang teridentifikasi dari masing-masing lokasi.... 37
2 Karakteristik morfologis isolat P. palmivora indigenus berdasarkan bentuk spora dan keberadaan pedisel serta papila.................................. 39
3 Pengelompokkan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang diisolasi dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respons buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten – terhadap infeksi P. palmivora)......... 41
4 Pathogenicity grouping of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistance), and TSH858 (resistance - against P. palmivora infection).......................................... 42
5 Pengaruh jenis inokulan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan. Pengamatan panjang bercak dilakukan 28 hari sesudah inokulasi batang dari bibit kakao yang diuji. ............... 60
6 Pengaruh pelukaan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 28 hari sesudah inokulasi bibit kakao yang diuji. ............................................................ 61
7 Jumlah bercak bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan rataan panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan panjang bercak dilakukan 7 (I), 14 (II), and 21 (III) hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji .................. 64
8 Persentase bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan lebar bercak dilakukan 14 (I), 21 (II), and 28 (III) hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji....................................... 64
9 Rata-rata luas bercak (cm2) hasil inokulasi beberapa klon kakao di Laboratorium 7 hari setelah inokulasi P. palmivora .............................. 74
10 Rata-rata luas bercak (cm2) hasil inokulasi beberapa klon kakao di Lapangan 9 hari setelah inokulasi P. palmivora .................................... 76
11 Material Genotipe Kakao yang digunakan sebagai uji Evaluasi respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora.................. 87
vi
12 Rataan panjang bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI)………………………... .. 91
13 Rataan lebar bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI) ................................................................. 93
14 Rataan luas bercak pada buah yang diuji dan pengelompokan respons terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 3 - 7 hari sesudah inokulasi (HSI) ....................................................................................... 94
15 Persentase buah tanpa gejala, rataan luas bercak dan pengelompokan respons terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI) ....................................................................................... 95
16 Tipe kakao, bentuk buah dan pengelompokan respons klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Penentuan respons didasarkan pada luas bercak yang diamati pada 7 hari sesudah inokulasi (HIS) ......................................................................... 95
17 Nilai duga ragam genetik luas bercak setelah inokulasi hari ke 6 dan ke 7 ......................................................................................................... 97
18 Rata-rata Kerapatan Stomata Daun dan buah (cm2) Pada Beberapa Klon Kakao ........................................................................................... 108
19 Kandungan dan aktivitas kitinase ( µM pNP/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P. Palmivora ..... 110
20 Kandungan dan Aktivitas Peroksidase ( µM pNP/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P.palmivora ............................................................................................ 110
21 Karakteristik klon sebagai tetua untuk pembentukan populasi hibrida F1............................................................................................................ 121
22 Persilangan setengah dialel menggunakan lima tetua ............................ 122
23 Komponen Analisis ragam analisis silang dialel.................................... 123
24 Pengelompokan ketahanan..................................................................... 124
25 Komponen Analisis Ragam untuk populasi dialel ................................. 125
26 Persilangan dialel ketahanan kakao terhadap P. palmivora ................... 125
27 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan Metode 2 Griffing (1956) ..................................................................... 129
28 Anova ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora. ...................... 132
vii
29 Pendugaan parameter genetik ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora …………………………………………………………… 133
30 Heritabilitas dalam arti luas (h2bs) dan heritabilitas dalam arti sempit
(h2ns ) komponen ketahanan berdasarkan luas bercak dan Intensitas
Penyakit terhadap P. palmivora. ............................................................ 136
31 Anova daya gabung karakter luas bercak terhadap penyakit Phytopthora palmivora pada tanaman kakao......................................... 137
32 Nilai efek daya gabung umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak dan intensitas penyakit hasil inokulasi ketahanan terhadap penyakit Phytopthora palmivora........................................................................ 138
33 Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak.......................................................................
139
34 Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan Intensitas Indek Penyakit (IIP).......................................
140
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Beberapa Type Kakao trinitario yang berkembang di Indonesia ........... 12
2 A dan B Bentuk Sporangium P.palmivora dan pedise.......................... 14
3 (A). Serangan P.palmivora pada buah kakao dan (B).Serangan P.palmivora pada bibit ........................................................................... 15
4 (A) Kerapatan stomata pada epidermis buah kakao (B) Tabung kecambah saat penetrasi pada stomata ................................................... 19
5 (A) buah kakao klon GC7 (rentan), (B). Buah kakao klon DRC 16 (resisten) ................................................................................................. 23
6 Tahapan isolasi P. palmivora indigenus dari contoh buah kakao terinfeksi busuk buah dari lapangan dan karakter morfologis isolat. (a) Contoh buah kakao terinfeksi; (b) Baiting step – inokulasi buah kakao sehat dengan miselia potongan contoh buah sakit dari lapangan, (c) Kemunculan bercak gejala pada buah sehat yang diinokulasi dengan potongan buah bergejala dari lapangan dan potongan buah pada perbatasan jaringan yang bergejala dan tidak bergejala hasil baiting yang digunakan sebagai inokulum pada tahapan isolasi; (d) Koloni cendawan yang tumbuh dari inokulum pada medium PDA; (e) Contoh pembentukan spora pada isolat cendawan yang diduga P. palmivora. Pengamatan mikroskopik untuk kemampuan membentuk spora spesifik tersebut digunakan untuk mengidentifikasi isolat cendawan yang dievaluasi sebagai isolat P. palmivora; dan (f) Contoh morfologi spora - ovoid (O) dan ellipsoid (E). ........................................................................................... 34
7 Variasi patogenisitas isolat P. Palmivora indigenus yang berasal dari sentra produksi kakao di Indonesia berdasarkan luas bercak pada buah kakao klon GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), dan TSH858 (g,h,i). Setiap buah kakao diinokulasi dengan satu isolat P. Palmivora indigenus. Gejala dicatat pada hari ke 3 (a,d,g), 5 (b,e,h), atau 7 (c,f,i) sesudah inokulasi dengan masing-masing isolat .......................... 35
8 Inokulasi P. palmivora pada buah dan daun kakao. (a) Buah kakao terinfeksi P. palmivora dari lapangan yang digunakan sebagai sumber isolat; (b) Kultur P. palmivora dengan miselia yang aktif tumbuh; (c) Sporangia P. palmivora; (d) Gejala infeksi P. palmivora pada buah dan (e) pada daun kakao hasil inokulasi buatan.................... 52
9 Persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 total yang terinfeksi P. palmivora dengan kisaran diameter bercak yang ditimbulkan. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi buah. .......................... 54
10 Pengaruh pelukaan buah terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan (hasil inokulasi dengan miselia). GC 7 – DPl dan Sca 12 – DPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12
2
dengan pelukaan buah sebelum diinokulasi. GC 7 – TPl dan Sca 12 – TPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 tanpa pelukaan buah sebelum diinokulasi.............................................................................. 55
11 Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan ( dengan pelukaan, 7 hari sesudah inokulasi buah). GC 7 – M dan Sca 12– M: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia. GC 7 – Z dan Sca 12 – Z: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora. ................................................................................................ 56
12 Representasi perkembangan luas bercak 5 klon kakao inokulasi di laboratorium ........................................................................................... 75
13 Representasi perkembangan luas bercak 5 klon kakao inokulasi di Laboratorium ...................................................................... 76
14 Representasi perkembangan luas bercak tiga klon kakao PA 300, DR 2 dan GC7 inokulasi di lapangan dan laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P.palmivora ........................ 76
15 Luas bercak (cm2) hasil inokulasi di Lapangan dan Laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI , GC 7 dan ICS 13............. 77
16 Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI , GC 7 dan ICS 13............. 108
17 Hubungan kerapatan stomata daun dan buah dengan luas bercak yang disebabkan oleh infeksi P. palmivora ........................................... 109
18 Hubungan peragam (Wr) dan Ragam (Vr) 5 klon kakao sifat ketahanannya terhadap penyakit busuk buah P. palmivora…………………………………… 135
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2002,
dari 776 ribu ha areal kakao Indonesia, sekitar 668 ribu ha atau 86 % adalah kakao
rakyat (Anonim, 2004). Hal ini mengindikasikan peran penting kakao baik
sebagai sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani. Disamping itu,
areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade terakhir,
dengan laju 7,99% per tahun (Ditjen Perkebunan, 2008).
Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia pada periode 1997-2002
meningkat masing-masing dengan laju 12 % dan 10,84 %/tahun, suatu
pertumbuhan yang sangat pesat. Hasil penelitian juga mendukung bahwa industri
kakao patut dikembangkan sebagai salah satu andalan karena mempunyai
koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih besar dari satu, efek
penggandaan dan lapangan kerja yang relatif besar, serta efek distribusionalnya
yang cukup baik (tersebar) (Zainudin et al., 2005). Sejalan dengan peran penting
tersebut, peluang pasar kakao Indonesia masih cukup terbuka. Potensi untuk
menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka dan sangat menjanjikan.
Permintaan biji kakao terus meningkat, terutama dari Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa Barat. Berbagai Negara tersebut dikenal sebagai produsen
makanan yang menggunakan kakao sebagai komponen utamanya. Indonesia
sebagai salah satu produsen perlu memanfaatkan peluang tersebut untuk
meningkatkan devisa negara dengan meningkatkan ekspor biji kakao. Berorientasi
pada pasar ekspor, peluang besar kakao Indonesia relatif masih terbuka. Beberapa
hasil studi menunjukkan bahwa daya saing produk kakao Indonesia, khususnya
biji kakao masih baik sehingga Indonesia masih mempunyai peluang untuk
meningkatkan ekspor dan mengembangkan pasar domestik.
Beberapa hasil kajian yang mendukung keberadaan peluang pasar tersebut
antara lain: (a) Daya saing ekspor biji kakao Indonesia cukup kompetitif. Salah
satu indikator yang digunakan adalah laju ekspor biji kakao Indonesia yang jauh
4
di atas laju perdagangan kakao dunia. Pada periode 1997-2002, laju ekspor kakao
(volume) Indonesia adalah sekitar 12,0% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan
dunia hanya 3,51% per tahun (Zainudin & Baon, 2004). Walaupun mempunyai
kelemahan dan komposisi komoditas dan distribusi pasar, daya saing biji kakao
Indonesia cukup baik yang dicerminkan dengan koefisien daya saing lebih besar
dari satu (1,62). (b) Memiliki daya saing yang cukup baik, Indonesia diperkirakan
akan mampu memanfaatkan peluang pasar yang masih cukup terbuka pada masa
mendatang. Beberapa studi menunjukkan bahwa peluang ekspor kakao Indonesia
pada periode 2000-2008 masih tumbuh dengan laju sekitar 3,3% per tahun sampai
dengan tahun 2008. Laju tersebut tertinggi di antara negara eksportir dan jauh di
atas rata-rata laju ekspor dunia yang hanya 1,7%. (c) Liberalisasi perdagangan
juga diperkirakan akan memperkuat posisi kakao Indonesia di pasar Internasional.
Beberapa negara produsen utama kakao seperti Pantai Gading dan Ghana harus
mengurangi berbagai bentuk dukungan dan subsidi pada agribisnis kakaonya. Di
sisi lain, agribisnis kakao di Indonesia hampir tidak diproteksi atau mendapat
subsidi. Indonesia diperkirakan merupakan salah satu yang akan memperoleh
manfaat liberalisasi perdagangan tersebut ( Zainudin & Baon, 2004)
Peningkatan produksi dan perbaikan mutu kakao Indonesia dapat dilakukan
melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Penerapan kedua program tersebut di
Indonesia memerlukan tersedianya bibit dan benih kakao unggul, sehingga
pengembangan kultivar atau klon kakao unggul secara terprogram perlu segera
dilakukan. Umumnya bahan tanam kakao yang digunakan untuk pengembangan
di Indonesia menggunakan benih hibrida F1, yang diperoleh dari kebun benih.
Kebun benih dirancang khusus untuk menghasilkan benih hibrida F1, dengan
menggunakan tetua (sebagai induk betina dan jantan) yang telah diketahui daya
dan mutu hasilnya serta sifat-sifat penting seperti ketahanan terhadap penyakit
utama (Phytophthora palmivora dan Vascular-Streak Dieback/VSD).
Budidaya kakao menghadapi banyak kendala di lapangan, antara lain
penyakit dan hama tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas
produksi kakao. Salah satu penyakit utama pada tanaman kakao di Indonesia
adalah penyakit busuk buah (black pod) yang disebabkan oleh Phytopthora
palmivora (Butl). Butl. Penyakit yang sama juga diketahui menyerang tanaman
5
kakao di berbagai negara penghasil kakao. Penyakit busuk buah di lapangan
menyebabkan kerugian yang bervariasi besarnya antara satu daerah dengan daerah
lainnya di Indonesia bahkan di antar negara. Secara umum, besarnya kerugian
antara 20-30% per tahun dapat terjadi akibat infeksi penyakit busuk buah pada
pertanaman kakao di lapangan (Wood & Lass, 1985). Berdasarkan data tahun
1997 dilaporkan infeksi penyakit busuk buah menyebabkan menurunnya total
kakao dunia hingga sebesar 44 %/tahun (Van der Vossen, 1997).
Pengendalian penyakit busuk buah yang telah dipraktekkan di lapangan
seringkali memberikan hasil yang tidak konsisten karena perkembangan penyakit
di lapangan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (i) Pertanaman kakao
dibudidayakan di daerah yang mempunyai kondisi iklim cocok untuk
perkembangan penyakit busuk buah, (ii) Tanaman kakao yang diusahakan pada
umumnya mempunyai ketahanan sedang sampai rendah, (iii) Perkembangan sejak
penyerbukan hingga panen kakao memerlukan waktu antara 5,0-5,5 bulan, (iv) P.
palmivora dapat menyerang semua organ kakao dan serangan pada buah terjadi
pada semua tahap pertumbuhannya, (v) Inokulum P. palmivora banyak ditemukan
di lapangan sehingga pada kondisi lingkungan yang optimum untuk
perkembangannya, serangan patogen busuk buah dapat terjadi sepanjang tahun,
(vi) P. palmivora diketahui mempunyai banyak tanaman inang. Dengan kondisi
agroekosistem yang sangat sesuai tersebut sangat dimungkinkan patogen P.
palmivora di daerah sentra produksi kakao di Indonesia akan menghasilkan
tingkat patogenisitas yang berbeda. Hal ini semakin menambah sulitnya
pengendalian secara umum terhadap patogen tersebut. Oleh karena itu diperlukan
informasi isolat-isolat dari daerah yang berbeda pada sentra kakao di Indonesia
untuk dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Berbagai hal tersebut
menjadi penguat perlunya pengembangan metode pengendalian penyakit busuk
buah kakao yang efektif di lapangan.
Umumnya penyakit busuk buah kakao dikendalikan secara preventif
menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga. Penyemprotan fungisida
dilakukan secara periodik untuk menjamin kepastian hasil, yang merupakan
komponen biaya terbesar pemeliharaan (40% dari total biaya pemeliharaan).
Adanya fluktuasi harga kakao menyebabkan pengendalian kimiawi menjadi tidak
6
ekonomis, sehingga perlu dicarikan alternatif pengendalian lain yang secara
bertahap dapat mengurangi ketergantungan pada fungisida.
Pemuliaan untuk mengembangkan varietas kakao unggul yang resisten
terhadap P. palmivora sangat penting untuk dilakukan dan perlu mendapatkan
perhatian khusus jika Indonesia tetap ingin menjadi produsen terbesar komoditas
ekspor ini. Tersedianya varietas tahan membantu meringankan ongkos produksi,
sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan. Jika telah dikembangkan,
penanaman kultivar unggul kakao yang resisten terhadap P. palmivora dapat
menjadi solusi terbaik yang tersedia bagi petani dan produsen kakao di Indonesia
untuk mengatasi masalah penyakit busuk buah di lapangan.
Di Indonesia, arah pemuliaan tanaman kakao ditujukan untuk
mengembangkan kultivar unggul dengan sifat-sifat sebagai berikut: (i)
mempunyai daya hasil yang tinggi, (ii) kualitas biji bermutu tinggi, dan (iii)
resisten terhadap hama seperti: penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit busuk
buah yang disebabkan oleh P. palmivora dan VSD (Iswanto & Winarno, 1992).
Program pemuliaan untuk memperoleh kultivar resisten terhadap P. palmivora
merupakan tujuan kegiatan yang dilakukan di berbagai negara produsen kakao
(van der Vossen, 1997). Namun demikian, kemajuan yang didapat untuk
mencapai tujuan tersebut masih terbatas sebagai akibat (i) belum tersedianya
informasi tentang keragaman genetik/tingkat keragaman plasma nutfah kakao,
(ii) belum dilakukannya strategi pemuliaan yang efektif, (iii) belum tersedia
informasi dasar tentang genetika dan mekanisme dari sifat resisten terhadap P.
palmivora yang ada pada plasma nutfah kakao. Untuk itu perlu tersedia data
tentang ketahanan dari inang, dengan demikian pemahaman mengenai genetika
ketahanan tanaman sangat membantu usaha pemuliaan ketahanan.
Pengembangan kakao unggul akan dilakukan dengan menggunakan benih
hibrida. Benih hibrida dapat diperoleh dari kebun benih yang khusus disiapkan
sebagai penghasil benih hibrida dengan pola tanam tertentu. Benih hibrida
tersebut diperoleh dengan memanfaatkan sifat inkompatibilitas yang dimiliki oleh
tanaman kakao pada umumnya. Oleh karena itu, menanam klon tetua yang
dikombinasikan sebagai tetua jantan dan betina diharapkan dapat menghasilkan
hibridanya. Untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan
7
hibrida dengan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif yang diinginkan perlu
dilakukan studi pendugaan daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan
melakukan persilangan dialel. Dengan demikian informasi tentang daya gabung
umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), heterosis serta dayawaris menjadi
sangat penting untuk tanaman kakao yang heterosigot.
Perumusan Masalah
Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh P. palmivora merupakan
penyakit penting di Indonesia. Pengembangan kakao di daerah – daerah sentra
kakao sangat riskan sebagai tempat endemik penyakit ini. Mengingat banyak
tanaman inang dari patogen tersebut, sangat dimungkinkan isolat dari daerah akan
memberikan tingkat patogenisitas yang berbeda. Isolat yang diambil dari
pertanaman kakao di Indonesia akan menjadi informasi yang penting untuk
membantu merakit kultivar yang resisten terhadap patogen ini.
Jenis kakao yang ditanam menunjukkan tingkat ketahanan yang berbeda
terhadap P. palmivora. Umumnya seleksi ketahanan kakao terhadap penyakit
busuk buah dilakukan dengan inokulasi alami ataupun buatan, yang didasarkan
pada jumlah organ sakit dan keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator ini
menunjukkan reaksi jaringan terhadap serangan patogen, tetapi tidak
mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu atau
beberapa tahap dari daur penyakit busuk buah. Pengujian ketahanan dilakukan
pada buah yang dipetik (detached pod) maupun buah di pohon (attached pod). Uji
pertama banyak diminati, namun hasilnya kurang sesuai dengan kondisi lapangan
karena uji ini mengabaikan pengaruh lingkungan. Dengan demikian metode
inokulasi yang baku sangat penting dilakukan untuk mendapatkan metode uji
ketahanan yang cepat dan akurat. Hal ini sangat membantu dalam proses seleksi
tanaman kakao yang berumur panjang. Disamping itu, hal lain yang penting
adalah tersedianya plasma nutfah yang cukup.
Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan atas
mekanisme struktural dan biokimia (Agrios, 1998). Kedua mekanisme tersebut
dapat berperan dalam ketahanan sebelum penetrasi (preexisting defense) dan
pasca penetrasi (post infection defense). Penetrasi P. palmivora ke dalam buah
8
kakao melalui mulut kulit (Tarjot, 1974), namun terdapat laporan kontradiktif
mengenai peran mulut kulit sebagai mekanisme struktural ketahanan kakao
terhadap patogen ini (Tarjot, 1972; Iwaro et al., 1997; Iwaro et al., 1999;
Phillips-Mora, 1999). Permukaan buah kakao mempunyai alur primer yang
diperkirakan dapat mempengaruhi penyebaran, deposisi, dan pertumbuhan pra-
penetrasi inokulum. Mekanisme biokimia tergantung pada reaksi biokimia yang
terjadi dalam sel tanaman. Seperti protein yang berhubungan dengan respon
ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase dan peroksidase. Kitinase
dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama penyusun
dinding sel cendawan. Sebagian besar cendawan filamentus mengandung senyawa
kitin pada dinding sel hifanya (Kasprzewska, 2003). Peroksidase merupakan
enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap patogen dan termasuk ke
dalam PR-9 (pathogenesis related protein) (Lagrimini et al., 1997). Aktivitas
peroksidase yang tinggi pada tanaman terkait dengan ketahanan tanaman yang
lebih tinggi terhadap patogen seperti yang pernah dilaporkan pada kacang tanah
(Pujihartati et al., 2006).
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan bahwa mekanisme ketahanan
tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah dibedakan atas mekanisme
ketahanan struktural dan mekanisme biokimia. Mekanisme struktural diarahkan
pada kerapatan mulut kulit buah dan mulut daun kakao. Mekanisme ketahanan
biokimia diarahkan pada aktivitas enzim kitinase dan peroksidase.
Pengembangan kakao nasional dilakukan dengan menggunakan benih dari
kebun benih yang disiapkan secara khusus sebagai kebun penghasil benih dengan
tata tanam tertentu. Benih hibrida dihasilkan dengan memanfaatkan sifat
inkompatibilitas klon kakao yang ditanam berdasarkan klon tetua betina dan tetua
jantan. Oleh karena itu persilangan alami dengan memanfaatkan sifat
inkompatibilitas dan penyerbukan silang tersebut, akan dapat menghasilkan benih
hibrida. Ketersedian sumber plasma nutfah yang memiliki keragaman genetik
yang luas khususnya ketahanan terhadap penyakit busuk buah sangat penting.
Oleh karena itu penapisan plasma nutfah kakao perlu dilakukan, untuk
mendapatkan material genetik yang akan digunakan sebagai sumber bahan tanam
untuk merakit varietas kakao baru di Indonesia. Penelitian ini diarahkan untuk
9
melakukan uji ketahanan terhadap beberapa plasma nutfah kakao yang ada,
bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang tahan dan rentan, juga dapat
digunakan sebagai tetua sebagai langkah awal untuk merakit bahan tanam kakao
yang baru.
Terkait untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan
hibrida dengan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif yang diinginkan, perlu
dilakukan studi pendugaan daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan
melakukan persilangan dialel. Untuk merakit hibrida unggul informasi tentang
daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK), heterosis,
heritabilitas atau daya waris menjadi sangat penting untuk tanaman kakao yang
heterosigot.
Tujuan Penelitian
1. Memperoleh identitas spesies P. palmivora dan informasi keragaman
patogenisitasnya pada lokasi sentra kakao beberapa propinsi di Indonesia.
2. Memperoleh metode inokulasi untuk penapisan ketahanan kakao
3. Memperoleh informasi patogenisitas P. palmivora terhadap tanaman kakao.
4. Mendapatkan tanaman kakao yang tahan dan rentan terhadap penyakit P.
palmivora di koleksi plasma nutfah kakao untuk digunakan sebagai tetua
untuk perakitan hibrida.
5. Memperoleh informasi korelasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao untuk
karakter kwantitatif yang diamati.
6. Memperoleh informasi tentang potensi daya gabung umum dan khusus yang
tinggi serta efek heterosisnya pada persilangan dialel klon kakao sehingga
diperoleh potensi pada hibrida.
Manfaat Penelitian
Penelitian genetika ketahanan kakao terhadap penyakit P. palmivora ini
dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan tanam kakao yang
tahan terhadap penyakit P. palmivora. Dengan mendapatkan klon unggul yang
tahan terhadap penyakit tersebut, maka dapat digunakan sebagai sumber bahan
tanam klonal, juga sebagai tetua untuk menghasilkan benih kakao hibrida.
Pengembangan kakao nasional dengan menggunakan bahan tanam bermutu tinggi
10
diharapkan akan dapat memperbaiki mutu hasil dan peningkatan produktivitas
kakao nasional.
Penelitian mengenai kajian genetika ketahanan tanaman kakao terhadap
penyakit busuk buah dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan
tanam yang tahan terhadap penyakit busuk buah dan model pewarisan terhadap F1
nya serta menjadi informasi yang penting untuk menghasilkan bahan tanam yang
mempunyai beberapa sifat unggul, sehingga produksi kakao dapat ditingkatkan.
Manfaat lain adalah memberikan alternatif pengendalian yang diharapkan
saling melengkapi dengan pengendalian kimiawi sehingga secara bertahap
penggunaan fungisida dapat dikurangi dan biaya pemeliharaan menjadi lebih
murah.
Hipotesis
Berdasarkan telaah beberapa pustaka tersebut di atas penelitian ini disusun
dengan beberapa hipotesis sebagai berikut:
1. Isolat P. palmivora yang menyerang kakao di Indonesia adalah salah satu
spesies P. palmivora.
2. Terdapat satu metode penapisan yang efisien dalam menentukan derajat
ketahanan kakao.
3. Terdapat sedikitnya satu isolat P. palmivora yang mempunyai tingkat
patogenitas tinggi, dan dapat digunakan sebagai sumber inokulum untuk uji
ketahanan.
4. Tetua yang membawa gen sumber ketahanan dapat dicari dengan cara
identifikasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao pada koleksi plasma
nutfah kakao.
5. Terdapat beberapa karakter kuantitatif struktur tanaman kakao yang
memcerminkan ketahanan terhadap P. palmivora.
6. Terdapat tetua yang mempunyai daya gabung umum dan daya gabung khusus
yang tinggi untuk karakter yang diamati, yang memberikan potensi hibrida F1
yang unggul.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Morfologi Tanaman Kakao
Tanaman kakao yang mempunyai nama ilmiah Theobroma cocoa L.
merupakan anggota dari familia Sterculiaceae (Wood, 1975; Tjitrosoepomo,
1988). Kakao merupakan jenis tanaman asli hutan hujan tropis Amerika Selatan
(Wood, 1975) dan telah lama dibudidayakan di Indonesia yaitu sejak jaman
“culturstelsel” tahun 1826 (Sunaryo & Situmorang, 1978). Diperkirakan kakao
berasal dari hulu sungai Amazon, tempat Theobroma dan jenis sekerabatnya
terdapat dalam populasi yang paling besar. Tanaman kakao tersebut merupakan
satu-satunya species diantara 22 jenis dalam genus Theobrama yang diusahakan
secara komersial. Sistematika tanaman kakao secara lengkap dapat
diklasifikasikan dalam taksa-taksa sebagai berikut: Divisio: Spermatophyta, Sub
divisio: Angiospermae, Klassis: Dicotyledoneae, Ordo: Malvales, Familia:
Sterculiaceae, Genus: Theobroma, Spesies: Theobroma cocoa, L. (Cheesman,
1944).
Sebagai tanaman yang masuk dalam anggota dari klas Dicotyledonae, benih
tanaman kakao mempunyai tipe perkecambahan yang epigeus yang pada waktu
kecambah daun kotilnya terangkat ke atas serta membentuk akar tunggang yang
tumbuh lurus ke bawah masuk ke dalam tanah (Prawoto, 1991). Sedangkan akar
lateralnya banyak tumbuh dan berkembang di dekat permukaan tanah pada
kedalaman sekitar 0-30 cm.
Pertumbuhan batang kakao bersifat dimorfisme yang berarti mempunyai
dua macam bentuk pertumbuhan batang, yaitu pertumbuhan batang utama yang
bersifat ortotrop yang tumbuh tegak dengan rumus daun 3/8, dan pertumbuhan ke
samping seperti cabang primer disebut plagiotrop, mempunyai rumus daun ½
(Prawoto, 1991).
Bangun helai daun tanaman kakao adalah bulat memanjang atau oblongus,
ujung daun meruncing atau acuminatus, pangkal daun runcing atau acutus,
susunan tulang daun menyirip, tepi daun rata. Daun muda berwarna hijau atau
merah muda dan setelah dewasa berwarna hijau atau hijau tua. Salah satu sifat
khusus daun tanaman kakao yaitu adanya dua persendian, yang terletak pada
10
pangkal daun dan ujung tangkai daun. Adanya persendian ini memungkinkan
daun membuat gerakan untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar
matahari (Prawoto, 1991). Pertumbuhan daun pada cabang plagiotrop berlangsung
serempak dan berkala. Tunas baru disebut dengan flush, dan pada saat flush setiap
tunas dapat membentuk 4-6 lembar daun baru sekaligus.
Tanaman kakao bersifat kaolifloris yang berarti bunga dan buahnya tumbuh
dan berkembang pada batang atau cabang. Sifat penyerbukan kakao adalah
menyerbuk silang. Bekas ketiak daun, tempat tumbuhnya bunga atau buah
tersebut lama kelamaan menebal dan membesar disebut dengan bantalan bunga
atau bantalan buah. Bunga kakao mempunyai rumus K5C5A5+5G(5). K5 berarti
bunga tersusun atas 5 daun kelopak yang bebas satu sama lainnya. C5 bunga
kakao memiliki daun mahkota yang lepas atau tidak berlekatan satu sama lain.
A5+5 berarti bunga kakao memiliki 10 tangkai sari yang tersusun atas dua
lingkaran masing-masing lingkaran tersusun atas 5 tangkai sari steril yang disebut
dengan staminodia dan 5 tangkai sari yang fertil. G5 bunga kakao mempunyai 5
daun buah yang bersatu (Lass & Wood, 1985).
Bentuk buah kakao bervariasi, dari bulat ke lonjong dan meruncing dengan
permukaan yang halus sampai kasar. Permukaan buah kakao mempunyai alur
primer dan alur sekunder. Sering kali alur sekunder tidak tampak. Permukaan
buah kakao berlilin, kaku (rigid), mempunyai rambut-rambut tegak dan mulut
kulit yang agak terangkat (Cuatrecasas, 1964). Pengelompokan kakao dapat
didasarkan pada bentuk buah (Pound, 1932), gabungan karakteristik buah dan
sebaran geografi (Cheesman, 1944), bentuk buah dan struktur permukaan buah
(Ostendorf, 1956; Engels, 1986). Bentuk buah kakao tersebut antara lain:
amilonado, cundeamor, angoleta, calabasilo, criolo dan pentagona.
Buah kakao mempunyai karakteristik termodinamika yang menarik. Waktu
siang hari buah menjadi panas dan dingin waktu malam hari, menjelang dini hari
suhu buah sama dengan suhu lingkungan. Peningkatan suhu udara pada dini hari
memacu kondensasi uap air pada seluruh permukaan buah yang dapat menjadi
suatu inkubator mikro yang baik bagi perkecambahan spora patogen termasuk P.
palmivora (Fulton, 1989).
Buah kakao memiliki anatomi jaringan perikarp dari luar ke dalam adalah :
11
(i) Epikarp, terdiri atas: lapisan epidermis dengan mulut kulit dan trikoma.
Parenkim dengan sel yang relatif kecil (diameter 10-20 µm), terbagi dalam 2 zona,
yaitu: lapisan luar yang tidak mengandung klorofil, terdiri atas 2-4 lapis sel,
lapisan dalam yang mengandung klorofil, terdiri atas 6-12 lapis sel. Parenkim
dengan sel yang relatif besar. Diameter sel paling luar 30-40 µm dan bertambah
kearah dalam. (ii) Mesokarp, terdiri atas sel yang agak berserat dan (iii) Endokarp,
terdiri atas sel parenkim yang besar dengan berkas pengangkutan (Tarjot, 1974).
B. Keragaman Genetik Tanaman Kakao
Menurut Las & Wood (1985) berdasarkan type populasinya, tanaman kakao
dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu tipe Criolo, Forastero dan
Trinitario. Criollo berasal dari penyebaran melintasi pegunungan Andes ke arah
dataran rendah Venezuela, Kolumbia, dan Ekuador, dan ke arah utara ke Amerika
Tengah dan Meksiko. Sifat-sifat tipe Criolo antara lain pertumbuhan tanaman
kurang kuat, daya hasilnya lebih rendah dibanding Forastero, dan relatif lebih
rentan terhadap gangguan hama dan penyakit. Kulit buahnya tebal tetapi lunak
sehingga mudah dibelah. Criollo menghasilkan kakao mulia (fine flavour cocoa).
Warna buah hijau atau agak merah karena adanya pigmen antosianin; perikarp
agak kasar, tipis dan lunak, mesokarp mengandung lignin, biji bulat dan kotiledon
putih. Kelompok ini cenderung rentan terhadap penyakit (Soria, 1974; Opeke,
1982). Kadar lemak di dalam biji lebih rendah dibandingkan dengan Forastero
tetapi ukuran bijinya lebih besar, bulat, memberikan citarasa khas yang unggul.
Dalam tataniaga kakao Criolo termasuk dalam jenis kakao mulia, sedangkan tipe
Forastero termasuk dalam jenis kakao lindak.
Forastero dihasilkan oleh penyebaran ke lembah Amazon, ke arah Brazil
bagian barat dan Guyana (Alvim, 1997). Forastero menghasilkan kakao bermutu
sedang, dikenal dengan kakao lindak (bulk cocoa). Warna buah hijau, tidak ada
pigmen antosianin, perikarp tebal dan keras, mesokarp kaya lignin. Biji lebih kecil
daripada Criollo dan pipih, kotiledon berwarna ungu. Pertumbuhan pohon gigas
(Opeke, 1982). Contoh kelompok ini adalah klon-klon Sca 6, Sca 12, Catongo,
IMC 67, PA 30, dan PA 46. Sebesar 95% produksi kakao dunia berasal dari
kelompok Forastero, terutama dari negara-negara Afrika Barat dan Brazil.
12
Tipe Trinitario merupakan hibrida antara Criolo dan Forastero. Sifat
morfologi dan fisiologinya sangat beragam, demikian pula sifat daya hasil dan
mutu hasilnya. Dalam tataniaga kakao kelompok Trinitario termasuk dalam kakao
mulia atau kakao lindak tergantung dari mutu biji yang dihasilkannya. Seperti
klon DR menghasilkan kakao mulia, sedangkan klon ICS banyak menghasilkan
kakao lindak (Mawardi, 1982; Opeke, 1982). Trinitario mempunyai buah
berwarna merah atau hijau dan bervariasi, tekstur keras; warna biji bervariasi dari
ungu muda sampai ungu tua (Wood & Lass, 1985). Pertumbuhan pohon gigas.
Contoh kelompok ini adalah klon-klon ICS 60, ICS 84, ICS 95, DR 1, DR 2, DR
38, dan DRC 16.
Gambar 1. Beberapa tipe kakao Trinitario yang berkembang di Indonesia.
Selanjutnya Lanaud (1987; Laurent, 1993; N’Goran, 1994 cit, Sounigo et
al., 2000) memisahkan kelompok Forastero, antara genotip yang berasal dari
lembah hulu sungai Amazon dan lembah hilir sungai Amazon. Trinitario lebih
dekat ke genotip Amazone hilir daripada Amazone hulu.
C. Penyakit Busuk Buah Kakao
Busuk buah (black pod atau pod rot) merupakan penyakit yang paling
merugikan di banyak negara produsen kakao. Masalah penyakit ini bisa bersifat
ICS 95
ICS 13
ICS 60
13
lokal, regional atau bahkan global. Busuk buah pada kakao terutama disebabkan
Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. Sejak tahun 1979, setelah Brasier dan
Griffin mempublikasikan kajian taksonomi Phytophthora, diketahui ada spesies
lain yang patogenik terhadap kakao, tetapi hanya menimbulkan masalah lokal
ataupun regional, misal P. arecae di Vanuata, P. capcisi di Kamerun dan Brazil,
P. citrophthora di Brazil, P. faberi dan P. megakarya di Afrika Barat (Zadock,
1997). Busuk buah kakao di Indonesia, Malaysia, dan Papua New Guinea
disebabkan oleh P. palmivora (Waterhouse, 1974; Prior, 1992; van der Vossen,
1997). Sebagai patogen tropika, berdasarkan penyebaran inang aslinya,
diperkirakan P. palmivora berasal dari Amerika Tengah/Selatan atau Indo-Pasifik
(Zentmyer, 1988).
Terdapat tiga bentuk morfologi P. palmivora yang dapat menyebabkan
penyakit pada kakao, namun sekarang bentuk morfologi tersebut mewakili tiga
jenis yang berbeda, yaitu P. capsici, P. megakarya, dan P. palmivora, dan ada
pula tiga jenis tambahan yang dapat menyebabkan penyakit ini, yaitu P. heveae,
P. megasperma, dan P. citrophthora (Thurston, 1998).
Menurut Chee (1974), P. palmivora mempunyai 138 jenis tumbuhan inang,
antara lain karet, lada, kelapa, sukun, pala, jeruk, kapas, pepaya, anggrek, mangga,
alpokat, dan durian. Patogen ini dapat menyerang semua organ atau bagian
tanaman kakao, seperti akar, daun, batang, ranting, bantalan bunga, dan buah pada
semua tingkatan umur. Serangan pada buah paling merugikan dan di Indonesia
penyakit ini perlu mendapat perhatian (Opeke & Gorenz, 1974; Pawirosoemardjo
& Purwantara, 1992).
Selama daur hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa inokulum yang
berperan dalam perkembangan penyakit pada kakao (Wood & Lass, 1985) seperti
berikut: sporangium, berbentuk ovoid dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas
(Drenth & Sendall, 2001). Sporangium mempunyai panjang 35-40 µm dan lebar
23-28 µm, nisbah panjang/lebar 1,4-1,6. Ukuran ini bervariasi sesuai dengan
medium, inang, umur biakan, lengas dan cahaya (Gambar 2 A dan B). Panjang
pedisel 2-10 µm. Umumnya di alam sporangium menghasilkan 15-30 spora
kembara (zoospora). Sporangium dapat pula menjadi sporangium sekunder atau
konidium (Waterhouse, 1974).
14
Gambar 2. (A) Sporangium P. palmivora berbentuk ovoid dengan pedisel yang jelas. (B) Zoospora
P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan miselium
pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan sisa-sisa
tanaman yang tersebar di tanah. Busuk buah dapat berasal dari inokulum yang
bertahan di tanah, sisa-sisa tanaman, bantalan bunga, kulit, kanker batang, tangkai
buah, buah muda (cherelle), buah dan tangkai daun. Peran masing-masing sumber
inokulum tersebut berbeda antar daerah atau negara. Umumnya tanah dan akar
berperan sebagai sumber inokulum primer yang memberikan inokulum infektif
pada awal musim hujan untuk mulainya epidemi busuk buah; sedangkan buah dan
bagian kanopi yang sakit berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan
berhubungan langsung dengan kehilangan hasil (Pereira, 1995).
Epidemi penyakit busuk buah kakao terjadi akibat penyebaran vertikal
(dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon) inokulum P. palmivora.
Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak langsung antara buah sakit dan buah
sehat, penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari buah sakit ke buah sehat di
bawahnya, bantuan serangga vektor, dan percikan air hujan dari tanah ke buah di
sekitar pangkal batang. Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan bantuan
serangga, kontak antar pohon, angin (Muller, 1974). Penyebaran horizontal lebih
lambat dibandingkan dengan penyebaran vertikal (Gambar 3).
A B
15
Gambar 3. (A) Infeksi P. palmivora pada buah di pohon dan (B) serangan P. palmivora pada bibit.
Penyakit busuk buah sukar dikendalikan karena epidemiologi penyakit ini
kompleks dan belum dapat diungkapkan secara tuntas (Gregory & Maddisson,
1981 cit. Tey, 1991), pembuangan sumber inokulum primer yang terdapat di
pohon (buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah (serasah dan kulit buah)
tidak menyebabkan penundaan terjadinya epidemi pada musim hujan. Hal ini
menunjukkan adanya sumber inokulum lain yang memperbesar deposit (pool)
inokulum primer (Dennis & Konam, 1994).
Perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh kelembapan udara.
Kelembaban udara 80-95% selama 2-4 jam mendukung infeksi spora kembara P.
palmivora. Ada interaksi antara curah hujan, keragaan (performance) tanaman dan
penyakit. Busuk buah berhubungan langsung dengan jumlah buah di pohon dan
curah hujan, namun jumlah buah berbanding terbalik dengan curah hujan
(Thorold, 1975).
Menurut Purwantara (1990); Purwantara & Pawirosoemardjo (1992)
kebasahan permukaan buah dan kelembaban udara berperan langsung terhadap
infeksi P. palmivora pada buah kakao. Peranan curah hujan terjadi secara tidak
langsung melalui terjadinya kebasahan permukaan buah dan meningkatnya
kelembaban udara. Pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi terjadi secara
tidak langsung, melalui pengaruhnya pada kelembaban udara dan kebasahan buah.
B A
16
D. Pengendalian Penyakit Busuk Buah
Pengendalian kultur teknik merupakan bagian penting dalam pengelolaan
penyakit busuk buah. Cara ini meliputi pembuangan gulma dan epifit,
pemangkasan, pengaturan jarak tanaman dan manipulasi naungan. Cara ini dapat
memperbaiki sirkulasi udara dan mengurangi kelembaban tajuk dan membatasi
insiden busuk buah (Akrofi & Opuku, 2000). Pengurangan sumber inokulum
dapat dilakukan dengan membuang kulit buah yang tersebar di tanah, buah kering
(mummified pod) dan buah sakit pada pohon (Muller, 1974).
Pengendalian serangga vektor, seperti Drosophila dengan insektisida dapat
mengurangi kerugian akibat busuk buah (Muller, 1974). Kumbang (Coleoptera:
scolytidae dan nitidulidae) mempunyai peranan cukup penting dan penyebaran
inokulum P. palmivora di Papua New Guinea, sehingga mempunyai implikasi
penting dalam strategi pengendalian penyakit (Konam et al., 2000).
Penyemprotan fungisida merupakan cara pengendalian busuk buah kakao
yang penting sejalan dengan intensifikasi pengusahaan tanaman ini. Umumnya
dipergunakan fungisida tembaga seperti bubur Bordeaux, tembaga-oksida,
tembaga-oksiklorida, dan tembaga-hidroksida (Thorold, 1975). Berdasarkan
pengalaman di banyak negara selama 25 tahun, Gorenz (1974) menyatakan
penyemprotan fungisida kontak sering kali memberikan hasil yang tidak konsisten
dan tidak menguntungkan. Keefektivfan fungisida kontak tergantung pada
meratanya deposit bahan tersebut pada permukaan buah. Keadaan ini sukar
dicapai karena adanya lapisan lilin pada permukaan buah, bentuk dan letak buah
di pohon (Gorenz, 1974) dan pertumbuhan buah yang cepat (Thorold, 1975). Oleh
karena itu diperlukan fungisida sistemik yang dapat memberikan perlindungan
pada tanaman.
Fungisida sistemik yang efektif mengendalikan busuk buah dan kanker
batang kakao dan memberikan perlindungan lama pada buah adalah fosfonat
(Brown et al., 1997; Pereira, 1995). Fungisida ini efektif terhadap jenis jamur
dalam bangsa Peronosporales. Dosis anjuran 2,5 – 5,0 gram bahan aktif per liter
air (Schwin, 1983). Sebagai fungisida sistemik, fosfonat diformulasi dalam bentuk
fosetyl-Al dan kalium fosfonat. Fosfonat dapat menurunkan virulensi P.
palmivora pada inang (Dunstan et al., 1990) dan meningkatkan respon pertahanan
17
inang (Akrofi & Opoku, 2000). Fosfonat mempunyai residual activity selama
sepuluh bulan sehingga melindungi pohon dan buah selama satu musim
(Anderson et al., 1989 cit. Akrofi & Opoku, 2000). Namun injeksi fosfonat
menyebabkan gejala terbakar (scorching) jaringan internal batang dan kulit batang
menjadi retak. Sampai sekarang teknologi ini tidak dapat ditransfer ke petani di
Indonesia, meskipun telah diterapkan secara luas di Papua Nugini (Akrofi &
Opoku, 2000).
Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang
paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan (Akrofi & Opoku, 2000).
Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang lebih mudah ditemukan di antara
bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara
terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao (Muller, 1974).
Menurut Muller (1974), ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah
dibedakan atas ketahanan sejati (true resistance) dan ketahanan semu (false
resistance) atau disease avoidance. Ketahanan pertama merupakan hasil dari
karakteristik anatomi, fisiologi dan biokimia, sedangkan ketahanan kedua hasil
dari karakteristik fenologi pohon sehingga terhindar dari infeksi P. palmivora.
Penggunaan bahan tanam tahan dapat memperlambat perkembangan
epidemi penyakit (Campbell & Madden, 1990). Berdasarkan epidemilogi,
ketahanan tanaman dapat bekerja dengan cara berikut: a) reduksi jumlah infeksi,
b) reduksi laju perluasan bercak, c) reduksi sporulasi patogen, d) memperpanjang
masa inkubasi, dan e) reduksi deposisi spora (Berger, 1977).
E.Mekanisme Ketahanan
Umumnya penyakit busuk buah kakao dikendalikan secara preventif
menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga. Penyemprotan fungisida
dilakukan secara periodik untuk menjamin kepastian hasil, sehingga pembelian
fungisida merupakan komponen biaya pemeliharaan yang terbesar (40% dari
biaya pemeliharaan). Ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman
tahunan, seperti kakao, namun sukar penanganannya untuk pemuliaan tanaman.
Zadoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap
P. palmivora dan jamur patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap (partial
18
resistance) yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat
atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain.
Bahan tanam tahan terhadap penyakit ini merupakan pemecahan masalah
tersebut untuk jangka panjang. Simmonds (1994) menyatakan bahwa ketahanan
buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada
vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk
tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya diimbas oleh serangan
patogen), melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Duniway (1983)
menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi
ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan
produksi senyawa antimikrobia.
Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem
multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan
prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan
faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi
patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi
berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya
jaringan yang diserang patogen (Irwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan
bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali
perkembangan selanjutnya terhambat.
F. Mekanisme Ketahanan Struktural
Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi.
Menurut Fry (1982) walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah
jaringan terpenetrasi, karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan
inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada
disposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao
dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora.
Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air
permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974)
menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada
perkecambahan spora.
19
Penelitian Tarjot (1972) menunjukkan bahwa jumlah mulut kulit dan
rambut-rambut pada epidermis tidak berkorelasi dengan ketahanan buah kakao
terhadap P. palmivora. Patogen ini selalu dapat melakukan penetrasi ke dalam
jaringan buah rentan maupun tahan. Diperkirakan ketahanan terhadap patogen ini
terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di bawah epidermis (Gambar 4).
Phillips-Mora (1999) menyatakan bahwa hubungan antara jumlah, panjang,
lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar mulut kulit (stomata) tidak dapat
menjelaskan ketahanan kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun ada
perbedaan nyata antar kultivar. Kultivar tahan (P 7) dan moderat (UF 668)
mempunyai jumlah mulut kulit terbanyak, sebaliknya CATIE 1000 (tahan) dan P
12 (rentan) mempunyai jumlah mulut kulit yang lebih sedikit.
Flores (1989 cit. Enriquez & Soria, 1999) yang mengkaji hubungan Monilia
roreri dan T. cacao menunjukkan tidak ada perbedaan anatomi eksternal antara
buah kakao tahan dan rentan. Hasil penelitian Iwaro et al. (1997) menunjukkan
adanya korelasi nyata antara ketahanan penetrasi (jumlah bercak) dengan
kerapatan mulut kulit dan panjang pori. Ketahanan ini tidak berkorelasi dengan
lapisan lilin pada permukaan epidermis, ketebalan, kekerasan, dan kandungan
lengas perikarp. Ciri morfologi buah tidak berkorelasi dengan ketahanan pasca
penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan peran mekanisme biokimiawi.
Enriquez & Soria (1999) menunjukkan bahwa setiap buah kakao yang tahan
terhadap M. roreri mempunyai cellular arrangement parenkim sub epidermis
Gambar 4a: Kerapatan stomata pada epidermis buah kakao (Tarjot, 1972)
Gambar 4b: Tabung kecambah saat penetrasi pada stomata (Tarjot, 1972)
BA
20
yang berbeda dibandingkan buah rentan. Buah tahan mempunyai sel-sel yang
kompak dan juga mengandung sejumlah besar senyawa fenolat.
Lignifikasi dinding sel merupakan suatu bentuk ketahanan tanaman
terhadap penetrasi patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam lamela tengah,
dinding sel primer dan sekunder (Akai & Fukutomi, 1980). Menurut Friend
(1979) lignifikasi merupakan suatu mekanisme ketahanan mentimun terhadap
Cladosporium cucumerinum. Penggabungan lignin ke dalam dinding sel tanaman
memberikan kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding sel lebih tahan
terhadap degradasi enzim patogen (Goodwin & Mercer, 1990). Dinding sel yang
terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat mencegah pergerakan hara
sehingga patogen dapat mengalami kelaparan (starvation). Prekursor lignin
berpengaruh toksik pada patogen. Semua perubahan dinding sel setelah infeksi
dapat meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan patogen secara langsung
atau dengan memperlambat proses penetrasi sehingga tanaman dapat
mengaktifkan mekanisme pertahanan berikut. Lignifikasi dapat pula terjadi pada
sel patogen (Wiranata, 2004).
Menurut Wood (1985) ada perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat
lignifikasinya antar kultivar kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai
faktor ketahanan terhadap penyakit busuk buah.
G. Mekanisme Ketahanan Biokimiawi
Mekanisme ketahanan biokimia tanaman terkait erat dengan produksi
senyawa antimikrobia dari jalur sekunder. Selirennikof (2001) menyatakan ada
beberapa kelompok senyawa anti cendawan antara lain PR-Protein, defensin,
cyclophilin like-protein, glycine, killer protein/killer toxin dan protease inhibitor.
PR-protein merupakan protein yang terinduksi sintesisnya ketika terjadi proses
patogenesis atau serangan patogen pada tanaman (Ubhayasekera, 2005). Sejumlah
PR-protein juga dapat terinduksi oleh berbagai faktor antara lain stres kekeringan,
salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen,
dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman (Karprezewska, 2003). PR-
protein dikelompokkan ke dalam 5 kelas protein yaitu PR-1, PR-2, PR-3, PR-4
dan PR-5.
21
PR- 3 protein (kitinase) memiliki berat molekul antara 26-43 kDa. Kitinase
dapat dikelompokkan menjadi 5-6 kelas (Fukamizo et al, 2003). Kitinase bekerja
memotong secara acak ikatan glikosida dari GleNac untuk menghasilkan
oligosakarida terlarut terutama kitobiosa yang selanjutnya akan dihidrolisis oleh
ß-N-acetylglucosaminidase menjadi GleNnac (Orikoshi et al., 2005). Stimulasi
atau induksi ekspresi gen kitinase karena adanya serangan patogen sering
ditemukan (Bishop et al., 2000).
Peroksidase (PRX) merupakan enzim yang berfungsi mereduksi senyawa
peroksida (H2O2) sehingga dihasilkan air dan produk yang teroksidasi. Peroksida
merupakan produk akhir yang umumnya terbentuk dari metabolisme oksidatif
pada tanaman dan merupakan oksidan yang kuat serta bersifat toksik terhadap sel
tanaman jika terakumulasi dalam jumlah besar. Untuk mencegah hal tersebut, sel-
sel eukariotik mengisolir enzim penghasil senyawa peroksida dalam organel
bermembran yang disebut peroksisom. Dalam peroksisom juga terdapat enzim
peroksidase yang berfungsi untuk mereduksi H2O2 menjadi air, sehingga menjadi
tidak berbahaya. Dalam proses reduksi tersebut digunakan donor elektron dari
amena aromatic, fenol, enediol.
Beberapa isoform baru peroksidase dapat diinduksi produksinya ketika
terjadi interaksi inang dan patogen (Harrison et al., 1995). Peroksidase juga
berperan dalam lignifikasi dinding sel, penyembuhan luka dan oksidasi auksin.
Induksi ekspresi isoform peroksidase oleh patogen juga berasosiasi dengan respon
Systemic Acquired Resistance (Ye et al., 1990). Peroksidase termasuk dalam
famili PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi dari sejumlah tanaman tingkat tinggi
antara lain tembakau (Lagrimini et al., 1997), kentang (Espelei et al., 1986).
Keterlibatan peroksidase dalam tahapan polimerisasi lignin diduga secara
langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap
infeksi patogen maupun kerusakan fisik (Chitoor et al., 1999).
H. Genetika Ketahanan Kakao terhadap Penyakit P. palmivora
Tujuan umum pemuliaan tanaman kakao adalah mendapatkan bahan tanam
atau varietas yang lebih baik dari varietas atau klon yang sudah ada. Menurut
Iswanto & Winarno (1992; Suhendi, et al., 2005), pemuliaan kakao di Indonesia
22
ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan ciri sebagai berikut:
potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap hama dan penyakit
penting seperti busuk buah (P. palmivora) dan vascular streak dieback
(Oncobasidium theobromae Talbot & Keane). Kakao yang merupakan tanaman
perkebunan penting di Indonesia umumnya dikembangkan secara vegetatif
(kakao mulia/edel cocoa) dan menggunakan benih hibrida (kakao lindak/bulk
cocoa) sehingga semakin menyebabkan sempitnya variabilitas genetik.
Beberapa kajian terdahulu menunjukkan bahwa sumber gen ketahanan
terhadap penyakit busuk buah dapat ditemukan antara lain pada daerah asal
tanaman kakao, yaitu dari hulu sungai Amazon (Brazil). Klon atau hibrida tahan
dari wilayah ini (Iquinitos, Nanay, dan Parinari) adalah: P 7, P 30, Pa 35, Na 32,
T.85/799 (IMC 60 x Na 34), T 87 (IMC 60 x Na 34), T. 79/501 (Na 32 x Pa 7), T
60 (Pa 7 x Na 32), T 86/2 (Pa 35 x Pa 7), T 65/7 (P 7 x IMC 47). Klon tahan lain
adalah Sca 6, Sca 12 (dari Ekuador), TSH 565, 516, 774 (dari Trinidad) (Soria,
1974). Hasil pengujian di beberapa negara menunjukkan bahwa Sca 6 dan Sca 12
memberikan ketahanan mantap (Iswanto & Winarno, 1992; Lopez-Baez et al.,
1999; Philip-Mora, 1999). Uji ketahanan terhadap kanker batang (P. palmivora)
pada beberapa hibrida di Jawa Timur yang menggunakan tetua tahan sebagai
pejantan dan tetua rentan sebagai induk hibrida GC 1 x Sca 6, GC1 X Sca 12,
GC2 X Sca 6 dan GC 2 x Sca 12 memberikan ketahanan yang lebih baik
dibandingkan dengan hibrida yang lain (Iswanto et al., 1994).
Gambar 5. (A) Buah kakao klon GC7 (rentan), (B) Buah kakao klon DRC 16 (resisten).
Klon tahan lain di Indonesia adalah ICS 6, DRC 16 sedangkan, DR 2, DR
38, DRC 9, Sca 89 moderat, dan GC 7, DR 1 rentan (Iswanto & Winarno, 1992).
BA
23
Klon kakao anjuran yang tahan terhadap penyakit busuk buah adalah P 300, RRC
71, RCC 73 (Prawoto et al., 1998).
Menurut Luz et al. (1999), klon EET 59, ICS 9, CEPEC 13, Pa 16, Pa 30, Pa
81, Pa 121, Pa 150, Pa 169, RB 40, dan RB 48 tahan terhadap penyakit busuk
buah dan dipergunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan ketahanan
terhadap P. palmivora di Brazil.
Hasil pengujian ketahanan dengan menggunakan buah di Laboratorium
menyimpulkan hibrida DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 tidak
menunjukan beda nyata dalam luas bercak hasil inokulasi miselium P. palmivora
dibanding dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca 12 yang tahan. Bila dibandingkan
dengan klon DR 1 yang bersifat rentan, maka hibrida-hibrida tersebut tahan
terhadap patogen tersebut (Sri-Sukamto & Mawardi, 1986; Winarno & Sri-
Sukamto, 1989),
Berdasarkan hasil penelitian terhadap penyakit P. palmivora di Kamerun
diperoleh beberapa kesimpulan bahwa, ketahanan semu disebabkan oleh
bergesernya periode pembungaan dari musim yang mendukung perkembangan
patogen. Waktu berbunga lebat pada Klon UPA 134 terjadi pada pertengahan
musim kemarau, sehingga buah dapat terhindar dari infeksi P. palmivora. Klon
serupa adalah SNK 10, 12, 16,136, 213, 459; ICS 39, 40, 43, 46, 61 (Muller,
1974). Di Nigeria, puncak produksi kakao klon T 24/12 tercapai 2-3 bulan setelah
musim hujan sehingga umumnya buah masih kecil dan kerugian akibat busuk
buah rendah. Ini menunjukkan adanya korelasi antara ukuran buah dan serangan
P. palmivora (Toxopeus, 1999). Fenomena escape diamati pula di Pantai Gading
(Kebe et al., 1999).
Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula dicari dari jenis
lain Theobroma. Buah T. grandiflora tahan terhadap inokulasi spora patogen
tersebut; sebaliknya T. bicolor, T. spiciosa, T. simiarum dan T. mammosum rentan
(Hansen, 1961 cit. Soria, 1974). Penggunaan jenis ini sebagai sumber gen tahan
menghadapi kendala karena keberhasilan hibridisasinya dengan T. cacao sangat
terbatas. Hibrid T. cacao x T. grandiflora mempunyai pertumbuhan lambat, lemah
dan fertilitas rendah (Soria, 1974).
24
Penanganan karakter kuantitatif di dalam pemuliaan tanaman tidak
sesederhana pada beberapa karakter kualitatif yang dapat dilakukan suatu analisis
dengan menggunakan genetika Mendel. Suatu upaya dengan pendekatan statistik
dengan menggunakan nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap
karakter kuantitatif guna menduga parameter genetik yang penting dalam
pemuliaan tanaman seperti heritabilitas dan korelasi genetik.
Dalam proses kegiatan pemuliaan tanaman, upaya seleksi untuk karakter
tertentu yang bersifat kuantitatif tanpa sengaja dapat mengakibatkan turut
terseleksinya karakter-karakter lainnya yang dapat menguntungkan ataupun
merugikan bagi pemulia. Terkait dengan hal tersebut, penting diketahui dengan
pasti hubungan (korelasi) antar karakter tanaman yang diteliti. Koefisien korelasi
genetik merupakan hubungan genetik antar karakter, yang merupakan informasi
bagi karakter yang mungkin dapat digunakan sebagai indikator untuk karakter lain
yang lebih penting (Miller et al., 1957).
I. Analisis Daya Gabung
Daya gabung adalah kemampuan untuk berkombinasi dengan genotip yang
lain dan menghasilkan keturunan yang unggul. Terdapat dua macam daya gabung
yaitu daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Menurut
Falconer (1981) efek daya gabung umum dan khusus merupakan indikator penting
dari nilai potensial suatu galur murni untuk kombinasi persilangan suatu hibrida.
Daya gabung umum (DGU) merupakan hasil aksi gen aditif, sedangkan daya
gabung khusus (DGK) merupakan kemampuan kombinasi spesifik hasil dari gen
dominan dan epistasis aditif (Welsh, 1981).
Menurut Griffing (1956), dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan
tiga set materi genetik antara lain: tetua, F1 hasil persilangan dan resiproknya.
Lebih lanjut Griffing menggunakan empat metode dalam analisis daya gabung
yaitu: Metode I menggunakan tetua, F1 hasil persilangan dan resiproknya, Metode
II menggunakan tetua dengan F1 hasil persilangan saja, Metode III menggunakan
F1 saja dan resiproknya tanpa melibatkan tetua dan Metode IV hanya
menggunakan F1 hasil persilangannya saja.
Masalah utama yang dihadapi tanaman kakao dalam merakit kakao hibrida
25
yang mempunyai produksi tinggi, mutu baik tahan terhadap penyakit dan hama
utama adalah tersedianya material genetik plasma nutfah yang terbatas. Seperti
tanaman tahunan yang diperbanyak secara klonal, kelemahan kakao adalah
keragaman genetik yang terbatas. Besarnya daya gabung antar plasma nutfah
yang digunakan sebagai tetua dan besarnya heterosis yang diperoleh oleh
hibridanya berbeda-beda. Besarnya ragam daya gabung umum penting untuk
diketahui karena pada kebanyakan sifat ragam DGU selalu lebih besar dari pada
ragam DGK (Simpson & Everson 1982). Hal ini berarti bahwa dalam
mempengaruhi sifat, aksi gen aditif lebih berperan dibandingkan dengan gen non
aditif.
J. Heterosis
Umumnya apabila dua tetua tanaman yang berlainan disilangkan, maka
keturunannya akan memperlihatkan gejala heterosis atau vigor hibrid yaitu
keturunan yang memiliki peningkatan suatu karakteristik yang lebih besar
dibandingkan rata-rata kedua tetuanya (Phoelman & Sleper, 1995). Terkait
dengan pemahaman gejala heterosis, terdapat dua hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu pertama apabila dua homosigot disilangkan maka akan diperoleh
genotip hibrida yang penampilannya melebihi kedua tetuanya. Genotipe hibrida
yang memperlihatkan gejala heterosis tersebut memiliki konstitusi genetik
heterosigot. Kedua, seleksi genotipe pada generasi F2 dan seterusnya tidak
memberikan peluang diperolehnya genotipe-genotipe dengan penampilan yang
serupa dengan kultivar hibrida F1 (Baihaki, 1989).
Hingga saat ini terdapat dua hipotesis utama yang dapat menjelaskan
mekanisme gejala heterosis, yaitu hipotesis dominan dan over dominan. Hipotesis
dominan menjelaskan gejala heterosis yang paling luas penerimaannya. Hipotesis
ini menjelaskan bahwa akumulasi gen-gen dominan yang unggul dalam satu
genotipe tanaman menyebabkan munculnya fenomena heterosis, sedangkan
penampilan gen-gen resesifnya akan tertutupi atau hilang (Phoelman & Sleper,
1995). Berdasarkan hipotesis ini, fenomena heterosis merupakan hasil aksi dan
interaksi gen-gen dominan yang unggul yang terkumpul dalam satu genotipe F1
dari hasil persilangan kedua tetua. Tanaman menyerbuk silang mencakup banyak
26
individu yang secara genetik merupakan individu-individu yang berbeda (Baihaki,
1989).
Hipotesis over dominan menjelaskan bahwa vigor hibrida merupakan hasil
penampilan superioritas heterosigositas terhadap homosigositas. Hal in berarti,
individu yang berpenampilan superior merupakan individu yang memilki
konstitusi gen heterosigot yang banyak. Genotipe yang heterosigot memiliki
tingkat superioritas yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe homosigot (Fehr,
1987). Menurut Phoelman & Sleper (1995) hal tersebut mengandung makna
bahwa heterosis terjadi karena adanya interaksi antar gen pada lokus yang sama.
K. Heritabilitas
Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor genetik
yang mengukur kemampuan suatu genotip dalam populasi tanaman untuk
mewariskan karakter-karakter yang dimiliki. Pengertian lain menjelaskan bahwa
heritabilitas adalah suatu pendugaan yang mengukur sampai sejauh mana
variabilitas penampilan suatu genotip dalam populasi terutama disebabkan oleh
peranan faktor genetik. Pemahaman tersebut diperoleh dari pengertian bahwa
pendugaan heritabilitas merupakan perbandingan varian genetik dengan varian
fenotip suatu karakter dalam populasi (Poehlman & Sleper, 1995; Allard, 1960).
Melalui hertabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul pada
suatu karakter terutama disebabkan oleh faktor genetik atau oleh faktor
lingkungan. Dengan demikian para pemulia tanaman dapat memperlihatkan dari
karakter mana yang dapat memberikan respon terhadap suatu usaha perbaikan
yang akan dilakukan. Walaupun heritabilitas merupakan parameter genetik yang
memberikan arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan suatu
konstanta yang bernilai tetap.
Nilai duga heritabilitas adalah parameter yang sangat penting dalam
pemuliaan karena sangat berpengaruh terhadap keefektifan seleksi. Heritabilitas
didefinisikan sebagai proporsi total variabilitas yang disebabkan oleh faktor
genetik terhadap variabilitas fenotipik suatu karakter (Allard, 1960; Fehr, 1987;
Hallauer & Miranda, 1988; Crowder, 1993). Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai
heritabilitas arti luas (broad sense heritability/h2bs)dan diduga sebagai nisbah
27
varians genetik terhadap varians fenotipe.
Varian genetik terdiri atas varian aditif, varians dominan, dan varian
interaksi (epistasis), sedangkan varian fenotipe adalah varian genetik ditambah
dengan varian lingkungan (Falconer, 1989). Heritabilitas didefinisikan sebagai
nisbah varian genetik aditif terhadap varian fenotipik. Ini dikenal sebagai
heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability)/ h2ns) yang menggambarkan
besar suatu karakter mewaris ke keturunannya (Falconer, 1989).
Heritabilitas bukan merupakan besaran yang konstan. Besarnya nilai
heritabilitas sangat tergantung pada metode estimasi yang digunakan. Beberapa
metode yang biasa digunakan meliputi: metode pendugaan komponen varian,
metode regresi tetua dan keturunan, dan metode pendugaan varian lingkungan
secara tidak langsung (Fehr, 1987). Metode lain, yang biasa digunakan untuk
menduga heritabilitas arti sempit, adalah dengan menggunakan populasi
backcross (Warner, 1952). Klasifikasi tinggi rendahnya heritabilitas suatu karakter
ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai duga yang diperoleh. Menurut Halloran et
al. (1979), heritabilitas dianggap rendah bila h2 <0,2, sedang bila 0,2 ≤ h2
≤ 0,5,
dan tinggi bila h2 > 0,5.
Apapun metode yang digunakan, ada beberapa asumsi harus dipenuhi untuk
mendapatkan nilai duga heritabilitas yang akurat. Asumsi tersebut meliputi: 1)
tidak ada interaksi non allelik, 2) tidak ada interaksi genetik dengan lingkungan,
3) tidak ada pautan antar gen, dan 4) varian lingkungan pada populasi F2 dan
beckcross adalah sama (Warner, 1952; Dudly & Moll, 1969). Tidak terpenuhinya
asumsi-asumsi tersebut menghasilkan nilai duga heritabilitas yang bias terlalu
tinggi atau terlalu rendah.
JUDUL 1. ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY
CHARACTERIZATIONS
Abstrak
Patogenisitas isolat P. palmivora dari berbagai sentra produksi kakao di
Indonesia belum banyak dievaluasi. Apalagi isolat P. palmivora dapat berubah
dari waktu ke waktu. Sehingga koleksi dan identifikasi keberadaan P. palmivora
di lapangan perlu secara periodik dilakukan. Tujuan spesifik penelitian yang
dilakukan adalah: (1) mengkoleksi isolat indigenus Phytophthora palmivora dari
sejumlah sentra produksi kakao di Indonesia, (2) mengkarakterisasi isolat
indigenus P. palmivora dari Indonesia menggunakan berbagai karakter morfologi,
dan (3) mengevaluasi patogenisitas isolat indigenus P. palmivora terhadap buah
kakao. Isolat indigenus P. palmivora diisolasi dari buah kakao terinfeksi yang
berasal dari kebun kakao di 21 kabupaten dan 13 provinsi di Indonesia. Isolat
yang didapat selanjutnya dikarakterisasi morfologi dan patogenisitasnya. Hasil
penelitian menunjukkan 24 isolat indigenus P. palmivora telah berhasil diisolasi
dari 13 kabupaten dan 8 provinsi di Indonesia. Isolat indigenus yang didapat
mempunyai bentuk spora ellipsoid, globoid, atau ovoid. Sebaliknya, antar isolat
indigenus tidak terdapat perbedaan yang jelas untuk papila dan pediselnya.
Meskipun isolat indigenus P. palmivora yang didapat secara morfologis hampir
sama, terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap
kakao klon GC 7, ICS 60 atau TSH 858. Isolat P. palmivora LBSBR dari Lubuk
Basung, Sumatra Barat diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao
yang diuji. Sedangkan isolat JkBwi (12) dan KgBwi (8) dari Banyuwangi, Jawa
Timur; PtBdg (7) dari Badung, Bali; SsSpg (36) dan AgSpg1(35) dari Sopeng,
Sulawesi Selatan, serta PwMnw dari Manokwari, Papua Barat bersifat patogenik
atau sangat patogenik terhadap buah dari tiga klon kakao yang diuji. Kecuali
dilakukan pengendalian yang sesuai, isolat indigenous P. palmivora yang bersifat
sangat patogenik atau patogenik dapat berkembang menjadi kendala utama dalam
budidaya kakao di Indonesia di masa mendatang.
Kata kunci: kakao, busuk buah, uji buah dipetik, klon GC 7, ICS 60, TSH 858
ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY
CHARACTERIZATIONS
Abstract
Pathogenicity of Phytophthora palmivora isolates from various cacao
production centers has not been evaluated. Moreover, isolates of this pathogen
may change in time (Goodwin, 1997). Therefore, collection and identification of
the existing P. palmivora need to be done from time to time. The specific
objectives of this research were: (1) to collect indigenous isolates of P. palmivora
from a number of cacao production centers in Indonesia, (2) to characterize the
Indonesian indigenous isolates using various morphological characters, and (3) to
evaluate pathogenicity of the indigenous isolates. The indigenous isolates of P.
palmivora were isolated from diseased cacao pod from cacao plantations at 21
districts and 13 provinces in Indonesia. Morphological and pathogenicity
characterization were conducted on the identified isolates. Results of the activities
showed that 24 indigenous isolates of P. palmivora were identified from various
cacao production centers in 13 districts and 8 provinces in Indonesia. These
isolates produced ellipsoid, globoid, or ovoid spores. On the other hand, they
exhibited less apparent differences in their papillae and pedicels. Although these
indigenous isolates of P. palmivora were morphologically similar, they exhibited
a diverse pathogenicity against cacao clones GC7, ICS60 and TSH858. The
LBSBR isolate of P. palmivora from Lubuk Basung, West Sumatra were
identified as very pathogenic against the three cacao clones tested, while JkBwi
(12) and KgBwi (8) isolates from Banyuwangi, East Java; PtBdg (7) isolate from
Badung, Bali; SsSpg (36) and AgSpg1 (35) from Sopeng, South Sulawesi, and
PwMnw from Manokwari, West Papua were characterized as either pathogenic or
very pathogenic against evaluated pods of the three cacao clones, respectively.
Unless properly managed, these pathogenic or very pathogenic indigenous isolates
of P. palmivora might become future major constraints in cacao production in
Indonesia.
Keywords: Cacao, black pod, detached pod assay, clones GC 7, ICS 60, TSH
858
Introduction
Black pod disease of cacao is one of the major diseases associated with
cacao cultivation in the field (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). The cacao
disease caused by Phytophthora palmivora significantly reduced pod and bean
yields of cacao. P. palmivora is also capable of infecting stems, young flushes,
and leaves of cacao in the field (Purwantara, 1990; Sri-Sukamto, 1985). Yield
reduction due to P. palmivora infection in Indonesia was reported up to 45.5%
(Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992; Situmorang & Soeyatno, 1974) while in
other cacao producing countries in the world was between 20 – 30% yearly
(Wood & Lass 1985). Infection of P. palmivora was one of the major constraints
of cacao cultivation in most locations in Indonesia.
In the field, black pod disease is relatively difficult to control because the
epidemiology of this disease is very complex (Tey, 1991). A number of factor
supporting development of black pod disease in cacao plantation in Indonesia are:
(1) the cultivated cacao genotypes are mostly susceptible against black pod
disease, (2) the cacao pods require 5 - 7 months of development before harvesting
and they could get infected by black pod disease at any stage of their
development, (3) The relative humidity in Indonesia usually very high all year
round, therefore it is favorable for infection and disease development, (4) The
sources of infection are generally always available in the field because of the
favorable environment factors and the presence of many alternative hosts in the
field, and (5) the ability of P. palmivora to infect all plant parts of cacao (vander
Vosen, 1997).
Although P. palmivora could preventively be controlled with fungicides
(Holderness, 1990), the required cost for controlling this pathogen could reach up
to 40% out of total cost of cacao cultivation (Sunaryo & Situmorang, 1980).
Therefore, availability of alternative methods for controlling P. palmivora is
necessary. A number of antagonistic microbes were able to inhibit development of
P. palmivora (Sri-Sukamto et al., 1997, Tondje et al., 2006). However, their
effectiveness for controlling black pod disease in cacao needs further evaluation.
Information regarding P. palmivora isolates in Indonesia and other places
has been reported (Umayah & Purwantara, 2006). However, pathogenicity of P.
32
palmivora isolates from various cacao production centers has not been evaluated.
Moreover, isolates of this pathogen may change in time (Goodwin, 1997).
Therefore, collection and identification of the existing P. palmivora need to be
done from time to time to determine the possible occurrences of new and more
pathogenic isolates in the field.
Understanding of the existing P. palmivora isolates infecting cacao and their
characters is needed in order to develop control strategies for the pathogen and to
support cacao resistance breeding program for black pod disease (Appiah, 2001;
Iwaro et al., 1998; Surujdeo-Maharaj et al., 2001). Therefore, isolation and
characterization of pathogenicity of indigenous P. palmivora isolates from various
places in Indonesia need to be conducted. Field isolates of P. palmivora from
various cacao production centers in Indonesia may also be used as reference
isolates. Subsequently, they can be used to evaluate resistance of cacao genotypes
against infection of P. palmivora.
Research activities supported by the Partnership Cooperation with
University in Agricultural Research Project (KKP3T) have been conducted to
develop effective control strategies for black pod disease in cacao through various
approaches, such as studying the indigenous isolates of P. palmivora (Sudarsono
et al., 2007). The success of isolating and characterizing indigenous isolates of P.
palmivora is expected to assist the development of effective methods for
controlling black pod disease in cacao and provide the reference isolates of P.
palmivora indigenous Indonesia to cacao breeders.
The general objectives of this study were to obtain and characterize
indigenous isolates of P. palmivora – the pathogen causing black pod disease in
cacao – from various cacao production centers in Indonesia. The specific
objectives of this research were: (1) to collect indigenous isolates of P. palmivora
from a number of cacao production centers in Indonesia, (2) to characterize the
Indonesian indigenous isolates using various morphological characters, and (3) to
evaluate pathogenicity of the indigenous isolates.
33
Material and Methods
Collection of Diseased Cacao Pods. Samples of cacao pods infected with
black pod disease were collected from cacao plantations at 21 districts and 13
provinces in Indonesia. The provinces and districts were selected because they
were known as the center of cacao production in Indonesia or in the process of
developing cacao as one of the major crops in the locations. Within certain
province and district, locations where there were concentrations of cacao
plantations were selected for collecting diseased pods. List of locations of
diseased cacao pod collection was presented in Table 1. From each location, 2 - 3
cacao pods showing symptoms of black pod infection (Fig. 6.a) were collected.
The sampled cacao pods were either brought back directly or sent through express
mail service to Jember. Subsequently, the diseased pods were used to isolate
indigenous P. palmivora in subsequent experiments.
Isolation of Indigenous P. palmivora. Isolation of P. palmivora from
diseased cacao pod was conducted through three steps, such as: (1) baiting step,
(2) isolation step, and (3) identification and propagation steps, respectively. For
the baiting step, the diseased cacao pods were disinfected using 70% alcohol. A
piece of tissue was cut from diseased pod and used to inoculate a healthy pod of
cacao clone GC7 (4 months after pollination) (Fig. 6.b.). To maintain humidity,
the inoculated site of the healthy pods was padded with wet paper towel.
Subsequently, the inoculated cacao pods were wrapped with newspaper and
incubated for 5 – 7 days in plastic boxes. The relative humidity in the plastic
boxes was maintained at > 90%.
Once the inoculated pods showed specific symptoms of P. palmivora
infection, a piece of tissue from perimeter of diseased and healthy pod was cut
using a scalpel (Fig. 6.c.) and cultured on a petridish (diameter 9 cm) containing
solid PDA medium (Fig. 6.d.). For the isolation step, growing fungal colonies
were purified twice using hyphal tip culture on solid PDA medium. For the
identification step, observation was conducted for the ability of the isolated fungal
colonies to produce fungal spore specific for P. palmivora. Fungal colonies
capable of producing the specific fungal spore (Fig. 6.d.) were identified as
isolates of P. palmivora. The identified fungal isolates were propagated on solid
PDA medium and stored for further use.
34
Figure 6 Steps of indigenous Phytophthora palmivora isolation from a sample of
cacao pod infected with black pod disease in the field and morphological characters of the isolates. (a) A sample of cacao pod infected with black pod disease; (b) Baiting step - inoculation of healthy pod with a piece of diseased cacao pod; (c) Occurrences of necrotic symptoms on healthy cacao pod inoculated with a piece of diseased pod and the tissue in the perimeter of diseased and healthy pod used as inocula for isolation step; (d) Fungal colonies growing from the inoculum tissues on solid PDA medium; (e) Example of typical spore formation from fungal isolate suspected as P. palmivora. Microscopic observation for the abilities to form those typical spores was conducted to verify the identity of the isolates as P. palmivora; and (f) Example of the ovoid (O) and ellipsoid (E) types of P. palmivora spore morphologies.
Gambar 6 Tahapan isolasi P. palmivora indigenus dari contoh buah kakao
terinfeksi busuk buah dari lapangan dan karakter morfologis isolat. (a) Contoh buah kakao terinfeksi; (b) Baiting step – inokulasi buah kakao sehat dengan potongan contoh buah sakit dari lapangan, (c) Kemunculan bercak gejala pada buah sehat yang diinokulasi dengan potongan buah bergejala dari lapangan dan potongan buah pada perbatasan jaringan yang bergejala dan tidak bergejala hasil baiting yang digunakan sebagai inokulum pada tahapan isolasi; (d) Koloni cendawan yang tumbuh dari inokulum pada medium PDA; (e) Contoh pembentukan spora pada isolat cendawan yang diduga P. palmivora. Pengamatan mikroskopik untuk kemampuan membentuk spora spesifik tersebut digunakan untuk mengidentifikasi isolat cendawan yang dievaluasi sebagai isolat P. palmivora; dan (f) Contoh morfologi spora - ovoid (O) dan ellipsoid (E).
(b) (c)
(d) (e)
(a)
(f) OE
35
Figure 7 Variation of pathogenicity of indigenous isolates of Phytophthora palmivora from various cacao production centers in Indonesia based on the width of necrotic symptoms on inoculated cacao pod clones GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), and TSH858 (g,h,i). Each cacao pod was inoculated with one indigenous isolate of P. palmivora. Symptoms were recorded at 3 (a,d,g), 5 (b,e,h) or 7 (c,f,i) days after cacao pod inoculation with the tested indigenous isolates.
Gambar 7 Variasi patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang berasal
dari sentra produksi kakao di Indonesia berdasarkan lebar bercak pada buah kakao klon GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), dan TSH858 (g,h,i). Setiap buah kakao diinokulasi dengan satu isolat P. palmivora indigenus. Gejala dicatat pada hari ke 3 (a,d,g), 5 (b,e,h), atau 7 (c,f,i) sesudah inokulasi dengan masing-masing isolat.
Morphological Characterization of Indigenous P. palmivora. Each P.
palmivora isolate identified from previous experiment was grown on a 9-cm
petridish containing solid PDA medium. The fungal cultures were incubated for
seven days under dark condition in an incubation room. Temperature in the
incubation room was set at 26oC day and night. To induce sporulation, mycelia of
P. palmivora grown on solid PDA medium were cooled at 4o C for 15 minutes in a
refrigerator. Observation for the spore morphology was conducted under
binocular microscope with 100x magnification. In addition, the shape of the
fungal spore, the presence of pedicels and papillae were also recorded as part of
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h) (i)
36
morphological characters of the P. palmivora isolates.
Pathogenicity Test of Indigenous P. palmivora. Identified isolates of P.
palmivora were grown on solid PDA medium in Petri dishes, and subsequently
were used to inoculate healthy cacao pods in the pathogenicity test. Prior to
inoculation, the pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately
resistant) and TSH858 (resistant – against infection of P. palmivora) (Suhendi et
al., 2005) were rinsed in running tap water and damped using tissue towels. The
pods were inoculated with actively growing mycelia on solid PDA medium
(0.5x0.5 cm2) and the inoculated site was padded with wetted paper towels. After
inoculation, cacao pods were incubated for 7 days in wooden boxes with > 90%
relative humidity. To maintain relative humidity, 10 cm thick of foam was laid at
the base of wooden boxes and wetted with sterile water. The boxes were covered
with plastic covers and maintained at 28o C.
Starting at 3 days after inoculation (DAP), observations for the occurrences
of necrotic symptoms were conducted daily up to 8 DAP. The observations were
conducted on incubation periods, number of pods showing necrotic symptoms,
and average width of necrotic symptoms on the surfaces of cacao pods.
Pathogenicity of the isolates was determined based on the diameter of the necrotic
symptoms measured at 8 DAP. The pathogenicity of the isolates was grouped
based on criteria developed by Waterhouse (1975), such as: (1) non-pathogenic if
there is no necrotic symptom on the inoculated cacao pods; (2) less pathogenic if
the symptom was < 25%; (3) pathogenic if the symptom was between 25 – 50%;
and (4) very pathogenic if the symptom was > 50% of the infected cacao pods.
Results and Discussion
Isolation of Indigenous P. palmivora. Isolation of the pathogens from
cacao pods infected with black pod disease was conducted up to November 2007,
and a total of 44 fungal isolates exhibiting mycelia similar to P. palmivora were
obtained. These fungal isolates were obtained from cacao production centers at 21
districts and 13 provinces in Indonesia (Table 1).
37
Table 1. List of locations of sampled cacao pods infected with black pod disease, the number of fungal isolates and the number of indigenous Phytophthora palmivora isolates identified from each location.
Tabel 1. Daftar lokasi pengambilan contoh buah kakao terinfeksi penyakit
busuk buah kakao, jumlah isolat cendawan dan jumlah isolat P. palmivora indigenus yang teridentifikasi dari masing-masing lokasi.
No. of fungal isolate:(Jumlah isolat
cendawan) No. Province (Provinsi)
District (Kabupaten)
Total (total)
P. palmivora
1 North Sumatera Deli Serdang 3 1 2 West Sumatera Lubuk Basung, Agam 2 2 3 Lampung Lampung Tengah 1 0 4 West Java Sukabumi 4 2 5 Central Java Wonosobo, Temanggung 2 0 6 East Java Jember, Banyuwangi 9 7 7 Bali Jembrana, Tabanan, Badung 6 5 8 South Sulawesi Sopeng 3 3 9 Southeast Sulawesi Konawe, Kolaka, Kendari 10 3 10 Central Sulawesi Toli-toli, Donggala 2 0 11 West Sulawesi Mamuju 1 0 12 West Papua Manokwari 1 1
13 Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
Saree - -
Total 13 provinces 21 districts 44 24 Notes: the fungal isolates were identified as isolate of P. palmivora based on their
ability to produce typical spore on solid PDA medium and to infect cacao pods. Keterangan: isolat cendawan diidentifikasi sebagai isolat P. palmivora berdasarkan pada
kemampuannya untuk menghasilkan spora spesifik pada medium PDA padat dan kemampuannya menginfeksi buah kakao.
The ability to produce typical spores on PDA medium was evaluated to
verify the identity of the isolated fungi as P. palmivora. Results of identification
indicated that 24 out of 44 fungal isolates were positively identified as P.
palmivora. These 24 isolates of P. palmivora were obtained from diseased pods
originated from 13 districts and 8 provinces, such as: Jembrana, Tabanan, and
Badung districts (Bali Province), Banyuwangi and Jember (East Java), Sukabumi
(West Java), Lubuk Basung and Agam (West Sumatera), Deli Serdang (North
Sumatera), Soppeng (South Sulawesi), Kolaka and Konawe (Southeast Sulawesi),
38
and Manokwari (West Papua) (Table 1).
The identified indigenous isolates of P. palmivora could be used as
reference isolates for evaluating response of cacao germplasm collections and
breeding lines against black pod disease in Indonesia. The reference isolates could
be used to inoculate cacao germplasm collections and identify the resistance
clones. The resistance clones could then be planted and cultivated in the target
areas where the reference isolates existed.
More indigenous isolates of P. palmivora would be re-isolated from
diseased cacao pods originated from districts and provinces that have not been
represented in this activity. However, results of characterization of only 24
identified indigenous isolates of P. palmivora were presented in this report.
Twenty fungal isolates evaluated did not produce typical spores of P. palmivora.
Therefore, they may not be the isolates of P. palmivora.
Morphological Characterization of Indigenous P. palmivora. All fungal
isolates positively identified as P. palmivora were evaluated for the shape of their
spores and for the presence of the pedicels and the papillae. Results of evaluations
indicated that indigenous isolates of P. palmivora from various cacao production
centers in Indonesia have spore shape either as ellipsoid (E), globoid (G), or ovoid
(O). Out of 24 isolates of P. palmivora identified, nine isolates have O spores and
only two has E spores (Table 2). Results of the observation also indicated nine
identified isolates of P. palmivora have a mixture of O and G spores and six
isolates have a mixture of O and E spores (Table 2). Examples of spore shapes of
indigenous isolate of P. palmivora were presented in Figure 6.f.
39
Table 2. Morphological characteristics of indigenous isolates of Phytophthora palmivora based on the spores shape and the presence of pedicels and papillae.
Tabel 2. Karakteristik morfologis isolat P. palmivora indigenus berdasarkan
bentuk spora dan keberadaan pedisel serta papila.
Morphological characters (Karakter morfologis)
Isolate of P. palmivora (Isolat P.
palmivora)
Origin of isolate (Asal isolat)
Spore (spora)
Pedicel (pedisel)
Papillae (papila)
AdlnSU Deli Serdang, Noth Sumatra O + + LbSbr Lubuk Basung, West Sumatra O/E + + AgSbr Agam, West Sumatra O/E + + BlSkbm3B(15) Sukabumi, West Java O + + BLSkbm4A(16) Sukabumi, West Java O + + KgBwi(8) Banyuwangi, East Java O + + JkBwi(12) Banyuwangi, East Java O + + KoaJbr(10) Jember, East Java O + + KwJbr1(29) Jember, East Java O/G + + KwJbr2(30) Jember, East Java O/E + + KwJbr3(31) Jember, East Java O/E + + KwJbr4(32) Jember, East Java O/E + + PsTbn Tabanan, Bali O/G + + MJbrn Jembrana, Bali E + + PJbrn Jembrana, Bali O + + AsBdg(6) Badung, Bali O/G + + PtBdg(7) Badung, Bali O + + EgSpg(37) Sopeng, South Sulawesi O/G + + SsSpg(36) Sopeng, South Sulawesi O/G + + AgSpg1(35) Sopeng, South Sulawesi O/G + + OlKnw(26) Konawe, Southeast Sulawesi O/G + + TuKnw(27) Konawe, Southeast Sulawesi O/G + + TtKlk(20) Kolaka, Southeast Sulawesi O/G + + PwMnw Manokwari, West Papua O/G + +
Notes: Spore shape O: ovoid, E: ellipsoid, G: globoid. Pedicel and papilla: (+) with papilla and with pedicel.
Keterangan: Bentuk spora O: ovoid, E: ellipsoid, G: globoid, Pedisel dan
papila: (+) dengan papila dan dengan pedisel.
Based on the observed data, except for spore shape, fungal morphology
variation was not apparent. All fungal isolates positively identified as P.
palmivora have pedicel and papillae and produced ellipsoid, globoid, or ovoid
shape of spores. However, there was unclear association, if any, among shape of
the spore, the origin of the isolates, and the level of their pathogenicity. Previous
report has attempted to evaluate the spore shape of P. palmivora as an isolate
40
identity. However, result of the evaluation also indicated the absence of strong
association between spore shape and isolate identity (Appiah et al., 2003; Drenth
& Sendall, 2001; Umayah & Purwantara, 2006).
Characterization of Phytophthora sp. has also been done using DNA
sequence of intergenic transcribed spacer (ITS) and the 5S rRNA gene. Although
it is possible to differentiate among Phytophthora species, this technique was not
able to differentiate different isolates of P. palmivora (Appiah et al., 2004;
Ristaino et al., 1998).
Pathogenicity of Indigenous P. palmivora. Pathogenicity of indigenous
isolates of P. palmivora was characterized based on their ability to induce necrotic
symptoms and the width of the symptoms on inoculated cacao pods. Examples of
necrotic symptoms on pod of cocoa clones GC7, ICS60 and TSH858 induced by
inoculation of indigenous isolate of P. palmivora at 3, 5, and 7 DAP, respectively,
were presented in Figure 7.
Results of pathogenicity test indicated the 20 fungal isolates that did not
produce typical P. palmivora spores did not result in necrotic symptoms on cacao
pods. Such results supported previous suspicions that these fungal isolates were
not P. palmivora.
These 20 isolates might be other fungi co-inhabiting cacao pods with P.
palmivora in the field. Previous report has indicated the presence of various types
of fungi inhabiting cacao pods, including endophytic fungi that show antagonistic
activities against P. palmivora (Crozier et al., 2006; Sri-Sukamto et al., 2007).
However, no further attempt of identifying these fungal isolates was conducted in
this experiment.
On the other hand, all indigenous isolates identified as P. palmivora based
on their ability to form typical spores resulted in various degrees of necrotic
symptoms on evaluated cacao pods. Summary of the pathogenicity test results on
the indigenous isolate of P. palmivora from various cacao production centers in
Indonesia was presented in Table 3.
Based on results of pathogenicity test using pods of cacao clone GC7, 10
indigenous isolates of P. palmivora were grouped as very pathogenic, 3 were
pathogenic, 3 were less pathogenic, and 8 were non-pathogenic (Table 3). Using
41
pods of cacao clone ICS60, the same indigenous isolates were grouped as very
pathogenic (4 isolates), pathogenic (8 isolates), less pathogenic (14 isolates), and
non-pathogenic (3 isolate) (Table 3). On the other hand, the grouping of
indigenous isolates based on results of pathogenicity test using pods of cacao
clone TSH858 were very pathogenic (6 isolates), pathogenic (7 isolates), less
pathogenic (7 isolates), and non-pathogenic (4 isolates) (Table 3).
Table 3. Grouping of pathogenicity of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistant), and TSH858 (resistant - against P. palmivora infection).
Tabel 3. Pengelompokan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang
diisolasi dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respon buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten – terhadap infeksi P. palmivora).
Number of isolates with certain pathogenicity level: (Jumlah isolat dengan tingkat patogenisitas tertentu:) Cacao clone
(klon kakao) NP LP PT VP
GC7 8 3 3 10 ICS60 3 9 8 4 TSH858 4 7 7 6
Notes: NP - non-pathogenic, LP – less pathogenic, PT – pathogenic, and VP – very pathogenic. Pathogenicity groupings were based on the size of necrotic areas of the tested cacao pods, 7 days after inoculation.
Catatan: NP – non-patogenik, LP – agak patogenik, PT – patogenik, dan VP – sangat
patogenik. Pengelompokkan patogenisitas ditentukan berdasarkan ukuran luas bercak pada buah kakao yang diinokulasi, 7 hari sesudah inokulasi.
Results of the pathogenicity test also indicated that LBSBR isolate of P.
palmivora was very pathogenic against pods of cacao clones GC7, ICS60, and
TSH858. This isolate originated from Lubuk Basung district, West Sumatera
Province (Table 4). Moreover, six indigenous isolates, JkBwi(12) and KgBwi(8)
isolates from Banyuwangi, East Java; PtBdg(7) isolate from Badung, Bali; and
SsSpg(36) and AgSpg1(35) from Sopeng, South Sulawesi, and PwMnw from
Manokwari, West Papua (Table 4) were characterized as either pathogenic or very
pathogenic against evaluated pods of the three cacao clones, respectively.
42
Table 4. Pathogenicity grouping of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistance), and TSH858 (resistance - against P. palmivora infection).
Tabel 4. Pengelompokkan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang diisolasi
dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respon buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten – terhadap infeksi P. palmivora).
Pathogenicity on cacao clone: Isolate No.
(No. Isolat) Isolate Origin (Asal isolat) GC7 ICS60 TSH858
AdlnSU Deli Serdang, North Sumatra NP LP NP LbSbr Lubuk Basung, West Sumatra VP VP VP AgSbr Agam, West Sumatra LP LP LP BlSkbm3B(15) Sukabumi, West Java NP LP PT BlSkbm4A(16) Sukabumi, West Java LP LP LP KgBwi(8) Banyuwangi, East Java PT PT VP JkBwi(12) Banyuwangi, East Java VP PT VP KoaJbr(10) Jember, East Java VP PT LP KwJbr1(29) Jember, East Java NP LP NP KwJbr2(30) Jember, East Java NP NP LP KwJbr3(31) Jember, East Java NP NP NP KwJbr4(32) Jember, East Java VP VP PT PsTbn Tabanan, Bali NP PT PT MJbrn Jembrana, Bali NP LP PT PJbrn Jembrana, Bali VP LP LP AsBdg(6) Badung, Bali LP PT PT PtBdg(7) Badung, Bali VP VP PT EgSpg(37) Sopeng, South Sulawesi PT LP VP SsSpg(36) Sopeng, South Sulawesi VP PT VP AgSpg1(35) Sopeng, South Sulawesi NP NP NP OlKnw(26) Konawe, Southeast Sulawesi PT LP PT TuKnw(27) Konawe, Southeast Sulawesi VP PT LP TtKlk(20) Kolaka, Southeast Sulawesi VP PT LP PwMnw Manokwari, West Papua VP VP VP
Notes: NP – non-pathogenic, LP – less pathogenic, PT – pathogenic, and VP – very
pathogenic. Pathogenicity groupings were based on the size of necrotic areas of the tested cacao pods, 7 days after inoculation.
Catatan: NP – non-patogenik, LP – agak patogenik, PT – patogenik, dan VP – sangat
patogenik. Pengelompokkan patogenisitas ditentukan berdasarkan ukuran luas bercak pada buah kakao yang diinokulasi, 7 hari sesudah inokulasi.
On the other hand, PsTbn isolate from Tabanan, MJbrn from Jembrana, Bali
Province and BlSkbm3B (15) from Sukabumi, West Java were identified as non-
pathogenic against pods of cacao clone GC7, but either less pathogenic or
43
pathogenic against that of ICS60 and TSH858 (Table 4). The AdlnSU isolate
originated from Deli Serdang, North Sumatera; AgSBR from Agam, West
Sumatra, BlSkbm4A (16) from Sukabumi, West Java, KoaJbr (10), KwJbr1 (29),
KwJbr2 (30), KwJbr3 (31), and KwJbr4 (32) isolates from Jember, East Java were
identified either as less pathogenic or non-pathogenic against three cacao clones
tested (Table 4). Overall results of the observation indicated the indigenous
isolates of P. palmivora from various cacao production centers in Indonesia
showed various levels of pathogenicity against pods of cacao.
Based on RAPD data using six random primers and 14 polymorphic
amplified DNA fragments, Umayah et al. (2007) reported that P. palmivora
isolates from six provinces in Indonesia were genetically similar. Subsequently
they concluded that there might be less possibility of occurrence of new
physiological isolates of P. palmivora. However, results of this experiment might
not support the hypotheses proposed by Umayah et al. (2007).
Umayah et al. (2007) proposed conclusions might not necessarily correct
because of the following arguments: (a) The number of RAPD markers utilized in
the genetic similarity analysis were only 16 markers. Considering size of the
genome of P. palmivora, 16 markers were relatively too small. These markers
would only represent 16 loci in the P. palmivora genome and most probably
might not be in the same loci as those of gene(s) controlling pathogenicity
characters. (b) If the above argument is true, the statement associating high
genetic similarity to less probable occurrences of new P. palmivora isolates might
not be valid. If gene(s) associated with pathogenicity and the RAPD markers were
in different loci, P. palmivora isolates with different levels of pathogenicity might
exhibit high genetic similarity based on the markers. Moreover, occurrences of
new physiological isolates of P. palmivora might also be possible without
changing the level of genetic similarity based on the RAPD markers. (c) The
pathogenicity of the tested P. palmivora isolates were also not reported in the
Umayah et al. (2007).
In conclusion, high level of pathogenicity among isolates of P. palmivora as
shown in this experiment could not be nullified by Umayah et al. (2007) data.
Differences in isolate pathogenicity might not be attributed to the environmental
44
factors as it was suggested by Umayah et al. (2007). In this experiment,
pathogenicity tests were conducted under controlled environment and optimized
for infection of P. palmivora. Hence, response differences were observed among
the tested isolates on pod of either cacao clone GC 7, ICS 60, or TSH 858.
The diverse pathogenicity exhibited by indigenous isolates of P. palmivora
and the absence of diversity on fungal morphology indicated that pathogenicity of
the isolates of P. palmivora might not be associated with fungal morphology.
Therefore, fungal morphology might not be used to predict pathogenicity of
indigenous isolate of P. palmivora originated from various cacao production
centers in Indonesia.
Cacao clones ICS60 and TSH858 have been identified as resistant against P.
palmivora infection. On the other hand, cacao clone GC7 was regarded as
susceptible (Suhendi et al., 2005). Results of the pathogenicity test against pods of
cacao clones GC7, ICS60, and TSH858 indicated the existence of isolates that
were very pathogenic or pathogenic against ICS60 and TSH858. These isolates
were identified from Badung-Bali, Banyuwangi-East Java, and Lubuk Basung-
West Sumatra. The existence of such P. palmivora isolates would become the
major constrain for cacao cultivation in the areas. Even if the available P.
palmivora resistance cacao clones such as ICS60 and TSH858 were planted, such
identified isolates would be able to significantly reduce cacao production in the
regions.
Conclusions
Indigenous isolates of P. palmivora originated from North and West Sumatra, East Java, Bali, South and Southeast Sulawesi, and West Papua exhibited diverse pathogenicity levels against cacao pods. The LbSbr isolate of P. palmivora from Lubuk Basung, West Sumatra was identified as the most pathogenic isolates identified in this research. The existence of highly pathogenic isolates in Lubuk Basung – West Sumatra; Banyuwangi - East Java; Badung - Bali; Soppeng - South Sulawesi, and Manokwari, West Papua need to be closely monitored to prevent their further widespread across cacao production centers in Indonesia. Unless properly managed, these pathogenic or very pathogenic
45
indigenous isolates of P. palmivora might become future major constrains in cacao production.
Literature Cited
Appiah AA. 2001. Variability of Phytophthora species causing black pod disease of cocoa (Theobroma cacao L.) and implication for assessment of host resistance. London UK: University of London, PhD Dissertation.
Appiah AA, Flood J, Archer A, & Bridge PD. 2004. Molecular analysis of the major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol. 53:209-219.
Appiah AA, Flood J, Bridge PD, & Archer SA. 2003. Inter- and intraspecific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolates from cocoa. Plant Pathol. 52:168-180.
Crozier J, Thomas SE, Aime MC, Evans HC, & Holmes KA. 2006. Molecular characterization of fungal endophytic morphospecies isolated from stems and pods of Theobroma cacao. Plant Pathol. 55:783-791.
Drenth A. & B Sendall. 2001. Practical Guide to Detection and Identification of Phytophthora. CRC for Tropical Plant Protection. Brisbane, Australia. 41 pp.
Goodwin SB. 1997. The population genetics of Phytophthora. Phytopathol. 87:462-473.
Holderness M. 1990. Efficacy of neutralized phosphonic acid (phosphorous acid) against Phytophthora palmivora pod rot and canker of cocoa. Austral. Plant Pathol. 19:130-131.
Iwaro AD., Sreenivasan TN, & Umaharan P. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: effect of pathogen species, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol. 104:11-15.
Prawirosoemardjo S & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60:67-72.
Purwantara A. 1990. Pengaruh beberapa unsur cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58:78-83.
Ristaino JB, Madritch M, Truot CL, & Parra G.1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied Environ. Microbiol. 64:948-954.
Situmorang S & Soeyatno. 1974. Percobaan pemberantasan penyakit busuk buah
46
pada tanaman kakao dengan beberapa fungisida. Menara Perkebunan 42:251-254.
Sri-Sukamto. 1985. Phytophthora palmivora Butl. salah satu jamur penyebab penyakit pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 53:7-11.
Sri-Sukamto, Semangun H, & Harsoyo A. 1997. Identifikasi beberapa isolat jamur dan sifat antagonisnya terhadap Phytophthora palmivora pada kakao. Pelita Perkebunan 13:148-160.
Suhendi D, Winarno H, & Susilo AW. 2005. Peningkatan produksi dan mutu hasil kakao melalui penggunaan klon baru. Prosiding Simposium Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, hlm. 98-111. Yogyakarta, 4-5 Oktober 2004.
Sudarsono, Purwantara A, & Suhendi D. 2007. Molecular Technique and Plant Breeding to Speed up the Development of Cacao (Theobroma cacao L.) Cultivar with Resistance against Black Pod Disease Due to Phytophthora palmivora Butl. Infection. KKP3T Research Report, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. 122 hlm.
Surujdeo-Maharaj S, Umaharan P, & Iwaro AD. 2001. A study of genotype-isolate interaction in cocoa (Theobroma cacao L.): resistance of cocoa genotypes to isolates of Phytophthora palmivora. Euphytica 118:295-303.
Tey CC. 1991. New development in chemical control major disease of cocoa in Malaysia. Proc. Int. Cocoa conference: Challenges in the 90’s. Kuala Lumpur.
Tondje PR, Hebbar KP, Sammuels G, Bowers JH, Weise S, Nyemb E, Begoude D, Foko J, & Fontem D. 2006. Bioassay of Geniculosporium species for Phytophthora megakarya biological control on cocoa pod husk pieces. African J. Biotech. 5:648-652.
Umayah A & Purwantara A. 2006. Identifikasi Isolat Phytophtora asal kakao. Menara Perkebunan, 74, 76-86.
Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM & Purwantara A. 2007. Keragaman genetik isolat Phytophtora palmivora dari tanaman kakao di Indonesia. Pelita Perkebunan, 23(2), 129-138.
van der Vossen HAM. 1997. Strategies of variety improvement on cocoa with emphasis on durable disease resistance. Ingenic, Reading. UK. 32 pp.
JUDUL 2. UJI KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH DAN EFEKTIVITAS METODE INOKULASI
Abstrak
Tujuan umum percobaan yang dilakukan adalah membakukan metode
evaluasi ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora, penyebab
penyakit busuk buah kakao. Tujuan khusus penelitian antara lain: mengevaluasi
(1) pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan buah, dan (2) pengaruh jenis
inokulum dan pelukaan jaringan daun dan batang bibit kakao klon Sca 12 dan GC
7 terhadap infeksi P. palmivora, serta (3) pengaruh latar belakang genetik bibit
kakao terhadap infeksi P. palmivora. Dalam penelitian digunakan dua tipe
inokulum (zoospora dan miselia) yang diinokulasikan pada buah kakao, serta
daun dan batang bibit klon GC 7 dan Sca 12. Buah, daun dan batang kakao yang
diuji sebagian diberi perlakuan pelukaan sebelum diinokulasi dan sebagian yang
lain tanpa pelukaan. Pengamatan dilakukan terhadap diameter bercak (buah),
jumlah bercak (daun), dan lebar bercak (batang). Hasil percobaan menunjukkan
inokulasi dengan menggunakan inokulum miselia lebih efektif dibandingkan
dengan zoospora P. palmivora dan perlakuan pelukaan lebih mampu secara akurat
menduga respon ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil
pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan hasil
pengujian menggunakan bibit kakao sehingga bibit dapat dipergunakan sebagai
alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Klon TSH 858 lebih baik
untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai
induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap
infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi.
Kata kunci: Phytophthora palmivora, pemuliaan kakao, evaluasi plasma nutfah, standardisasi metode inokulasi, uji buah dipetik, uji bibit.
CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANCE EVALUATION AGAINST BLACK POD DISEASE AND EFECTIVENESS OF INOCULATION
METHODS
Abstract
The general objective of this experiment was to standardize method of
resistance evaluation of cacao germplasm against P. palmivora, the pathogen
causing black pod disease in cacao. The specific objectives of this experiment
were to evaluate (1) effects of inoculum type and pod wounding, (2) effects of
inoculum type and seedling wounding, and (3) effects of genetic background of
cacao seedlings on infection of P. palmivora. In this experiment, effectiveness of
either zoospora or mycellia was evaluated as inoculation sources for pod, leaf and
stem of cacao clone GC 7 and Sca 12. Part of the tested cacao pods, leaves, and
stems were wounded prior to P. palmivora inoculation while the others were not.
Observations were conducted to measure diameter of the necrotic symptoms on
inoculated cacao pods, number of necrotic spot on inoculated leaf, and the length
of necrotic symptoms on stem of tested cacao seedlings. Results of the experiment
indicated that inoculation using mycelia of P. palmivora was more effective than
zoospora and wounding the tested cacao pods and seedlings before P. palmivora
inoculation resulted in more accurate prediction of the resistance of tested cacao
clones against P. palmivora infection. Results of resistance prediction using
detached pod assay was similar to that of using seedling assay; therefore, seedling
assay could be used as an alternative method of resistance evaluation. Cacao F1
hybrids derived from TSH 858 x Sca 12 showed some resistance against P.
palmivora and they might be potentially high yielding lines.
Key words: Phytophthora palmivora, cacao breeding, germplasm evaluation, inoculation method standardization, detached pod assay, seedling assay.
49
Pendahuluan
Meskipun sebagai komoditas ekspor yang bernilai ekonomi tinggi, 80% dari
total luasan pertanaman kakao di Indonesia dibudidayakan oleh rakyat. Sebagai
akibat kurang intensifnya teknologi budidaya yang diterapkan pekebun kakao
maka daya hasil dan kualitas hasil kakao di Indonesia masih relatif rendah. Disisi
lain, permintaan negara konsumen untuk produk mentah kakao semakin
meningkat sehingga perlu diantisipasi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas
hasil kakao Indonesia.
Salah satu kendala utama dalam peningkatan hasil kakao rakyat di Indonesia
adalah penyakit busuk buah kakao akibat infeksi Phytophthora palmivora Butl
(Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Penyakit busuk buah kakao di Indonesia
dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil kakao hingga mencapai 45.5%
(Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Di perkebunan kakao rakyat, kehilangan
hasil akibat penyakit busuk buah kakao diduga lebih tinggi lagi karena kurang
intensifnya pemeliharaan tanaman yang dilakukan.
Pengendalian penyakit busuk buah relatif sulit dilakukan akibat keberadaan
inokulum P. palmivora di lapangan sepanjang tahun, kondisi lingkungan di
pertanaman kakao yang mendukung perkembangan dan penyebaran P. palmivora,
dan kemampuan P. palmivora untuk menyerang serta bertahan hidup di semua
bagian tanaman kakao. Meskipun secara preventif P. palmivora dapat
dikendalikan, biaya yang diperlukan untuk pembelian fungisida dapat mencapai
hingga 40% dari total biaya pemeliharaan tanaman kakao di lapangan. Dengan
demikian, pengembangan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap
infeksi P. palmivora perlu dilakukan untuk mengatasi salah satu kendala utama
budidaya kakao di Indonesia.
Klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P.
palmivora dapat dirakit antara lain melalui hibridisasi terkontrol antara tetua yang
resisten atau toleran dengan yang berdaya hasil tinggi. Identifikasi plasma nutfah
kakao yang resisten atau toleran tersebut perlu dikembangkan untuk merakit klon
kakao unggul yang resisten. Keberhasilan pengembangan klon kakao unggul yang
lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora diharapkan dapat
membantu penyediaan bahan tanaman yang dapat digunakan oleh pekebun kakao
untuk mengatasi masalah infeksi penyakit busuk buah di lapangan.
50
Tersedianya metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao
terhadap infeksi P. palmivora yang efektif dapat membantu identifikasi klon
kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi patogen ini. Dalam penelitian
sebelumnya telah diidentifikasi 24 isolat P. palmivora dari 13 kabupaten dan 8
provinsi di Indonesia dan telah dikarakterisasi patogenisitasnya (Rubiyo et al.,
2008; Sudarsono et al., 2008). Isolat P. palmivora tersebut dapat digunakan untuk
mengevaluasi metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap
infeksi P. palmivora.
Tujuan umum percobaan yang dilakukan adalah membakukan metode uji
ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora, penyebab penyakit
busuk buah kakao. Tujuan khusus penelitian antara lain: mengevaluasi (1)
pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan buah, dan (2) pengaruh jenis
inokulum dan pelukaan jaringan daun dan batang bibit kakao klon Sca 12 dan GC
7, serta (3) pengaruh latar belakang genetik bibit kakao terhadap infeksi P.
palmivora.
Bahan dan Metode
Penyiapan Inokulum P. palmivora
Isolat P. palmivora LBSBR dari Sumatera Barat digunakan untuk
penelitian. Isolat dibiakkan pada media PDA dalam cawan Petri (diameter 9 cm)
pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26oC selama tujuh hari. Dalam
penelitian digunakan dua macam inokulum P. palmivora yaitu: (1) potongan
kultur berdiameter 0,5 cm yang mengandung miselia dan sporangia (selanjutnya
disebut miselia) dan (2) suspensi zoospora. Hanya miselia yang sedang aktif
tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam
percobaan (Gambar 8.b). Untuk menghasilkan suspensi zoospora, kultur P.
palmivora yang ditumbuhkan dalam media PDA padat tersebut direndam dengan
akuades steril dingin (4o C) selama 15 menit. Stok suspensi zoospora yang
diperoleh dihitung kerapatannya di bawah mikroskop binokuler (Gambar 8.c)
dengan menggunakan haemocytometer. Zoospora dengan kerapatan sekitar 104-
105 zoospora/ml diperoleh dengan pengenceran stok zoospora menggunakan
akuades steril.
51
Inokulasi pada Buah Kakao.
Percobaan 1. Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon buah
kakao klon GC 7 (rentan) dan Sca 12 (tahan) (Mawardi & Sri-Sukamto, 1985; Sri-
Sukamto & Winarno, 1986) dengan menggunakan miselia P. palmivora. Sebelum
diinokulasi, buah sehat yang telah berkembang sempurna tetapi belum masak
(umur + 4 bulan) dicuci dengan air yang mengalir. Untuk inokulasi buah kakao
dengan miselia, potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P.
palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang
diuji.
Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak plastik yang di
dalamnya diletakkan kertas tisu basah. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik
untuk menjaga kelembabannya (100%) dan diletakkan dalam ruang gelap pada
suhu kamar (28o C) selama 5 hari. Unit percobaan terdiri atas satu buah kakao dan
setiap kombinasi perlakuan diulang empat kali (total 4 buah kakao untuk setiap
kombinasi perlakuan). Pengamatan dilakukan lima hari sesudah inokulasi
terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan diameter
bercak pada permukaan buah sebagai gejala infeksi P. palmivora.
Percobaan 2. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelukaan
terhadap keberhasilan inokulasi. Sebagian dari buah klon GC 7 dan Sca 12 yang
diuji diberi perlakuan pelukaan dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Untuk
perlakuan pelukaan, pada buah kakao yang diuji dibuat lubang berdiameter 8 mm
dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Untuk inokulasi buah kakao
dengan miselia, potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P.
palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang
diuji, dengan perlakuan tanpa pelukaan atau dimasukkan dalam lobang pada buah
kakao yang diuji dengan perlakuan pelukaan. Inkubasi buah, rancangan percobaan
dan pengamatan dilakukan seperti percobaan pertama.
Percobaan 3. Percobaan bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis
inokulum terhadap infeksi pada klon kakao. Buah kakao klon GC 7 dan Sca 12
dilukai dengan bor gabus, kemudian diinokulasi dengan dua jenis inokulum yaitu
miselia dan zoospora. Inokulasi buah kakao dengan zoospora dilakukan dengan
menyemprotkan suspensi zoospora (104-105 zoospora/ml) pada permukaan buah
52
kakao. Inkubasi buah, rancangan percobaan dan pengamatan dilakukan seperti
percobaan pertama.
Gambar 8 Inokulasi P. palmivora pada buah dan daun kakao. (a) Buah kakao
terinfeksi P. palmivora dari lapangan yang digunakan sebagai sumber isolat; (b) Kultur P. palmivora dengan miselia yang aktif tumbuh; (c) Sporangia P. palmivora; (d) Gejala infeksi P. palmivora pada buah dan (e) pada daun kakao hasil inokulasi buatan.
Inokulasi pada Bibit
Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon bibit kakao akibat
inokulasi P. palmivora pada jaringan daun atau batang dengan atau tanpa
perlakuan pelukaan. Sebelum diinokulasi, sebagian daun pertama yang berwarna
hijau muda dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur 2 bulan diberi
pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum dan sebagian
yang lain tanpa pelukaan. Demikian juga untuk jaringan batang, sebagian batang
(5 cm di atas permukaan tanah) dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur
2 bulan diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum
dan sebagian yang lain tanpa pelukaan.
Inokulasi menggunakan miselia P. palmivora dilakukan dengan
menempelkan potongan media PDA (diameter 8 mm) yang mengandung miselia
53
dan sporangia pada permukaan daun atau batang yang diuji. Sedangkan inokulasi
dengan zoospora P. palmivora dilakukan dengan menyemprotkan suspensi
zoospora (dengan kerapatan 104-105 zoospora/ml) pada permukaan daun dan
batang. Untuk menjaga kelembaban agar tetap 80-100%, pada daun atau batang
yang diinokulasi ditempelkan kapas basah dan bibit dikerodong dengan kantong
plastik.
Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun dan batang
yang diinokulasi P. palmivora secara bersamaan. Setiap kombinasi perlakuan
diulang empat kali sehingga didapat total 20 bibit kakao untuk setiap kombinasi
perlakuan. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi terhadap jumlah daun
dan batang yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan jumlah bercak (untuk
daun) serta lebar bercak (untuk batang) yang muncul pada permukaan daun atau
batang sebagai gejala infeksi P. palmivora.
Pengaruh Genotipe Kakao
Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon akibat infeksi P.
palmivora dari bibit kakao dengan tiga latar belakang genetik yang berbeda.
Genotipe kakao yang diuji terdiri atas: bibit umur dua bulan dari benih zuriat
kakao klon Sca 12, dari benih hibrida F1 hasil silangan TSH 858 X Sca 12 serta
F1 hasil silangan antara ICS 60 dan Sca 12.
Daun pertama yang berwarna hijau muda dari bibit kakao yang diuji diberi
pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum. Inokulasi
dilakukan dengan menggunakan miselia P. palmivora sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya. Untuk menjaga kelembaban agar tetap 80-100%, daun
yang diinokulasi ditempel kertas tisu basah dan bibitnya dikerodong dengan
kantong plastik. Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun
yang diinokulasi dan setiap kombinasi perlakuan diulang enam kali (total 30 bibit
kakao untuk setiap genotipe yang diuji). Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah
inokulasi terhadap jumlah daun yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan
jumlah serta lebar bercak yang muncul pada permukaan daun sebagai gejala
infeksi P. palmivora.
54
Hasil dan Pembahasan
Inokulasi pada Buah
Inokulasi P. palmivora pada buah kakao dengan menggunakan miselia
tanpa perlakuan pelukaan menyebabkan terjadinya gejala busuk buah
sebagaimana disajikan pada Gambar 8.d. Persentase buah kakao yang terinfeksi
P. palmivora dan kisaran diameter bercak yang muncul pada buah yang
diinokulasi disajikan pada Gambar 9. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi P.
palmivora sebagian besar (69%) mempunyai diameter bercak > 8.2 cm dan
sebagian kecil (31%) mempunyai diameter bercak < 8.2 cm, sedangkan buah
kakao klon Sca 12 yang diinokulasi P. palmivora serta mempunyai diameter
bercak > 8.2 cm sebanyak 44% dan yang < 8.2 cm sebanyak 56%.
Gambar 9. Persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 total yang terinfeksi P.
palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan, hasil inokulasi dengan miselia tanpa pelukaan (7 hari sesudah inokulasi buah).
Pengaruh Pelukaan dalam Uji Inokulasi Buah
Hasil inokulasi miselia P. palmivora pada buah kakao tanpa atau dengan
pelukaan disajikan pada Gambar 10. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi
miselia P. palmivora tanpa pelukaan mempunyai kisaran diameter bercak 0 -
14.75 cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang diinokulasi P.
palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 – 18.25 cm. Sebaliknya, buah
kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai
kisaran diameter bercak 0 – 18.0 cm. Sedangkan, buah kakao klon Sca 12 dengan
pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 6.0 –
31%
13%
50%
6%19%
38%
13% 13%19%
0%
25%
50%
75%
100%
< 4.1 4.1 - 8.2 8.2 - 12.3 12.3 - 16.81 > 16.81Kisaran diameter bercak (cm)
Per
sent
ase
(%)
GC7 Sca12
55
20.5 cm.
Buah kakao klon GC 7 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora,
50.5% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 49.5% menunjukkan diameter
bercak < 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang
diinokulasi P. palmivora, 87.5% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan
12.5% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca
12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 25% menunjukkan diameter
bercak > 8.2 cm dan 75% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm. Sedangkan
buah kakao klon Sca 12 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 62.4%
menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 37.5% menunjukkan diameter bercak
< 8.2 cm sebanyak 37.5%.
Gambar 10 Pengaruh pelukaan buah terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan (hasil inokulasi dengan miselia). GC 7 – DPl dan Sca 12 – DPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 dengan pelukaan buah sebelum diinokulasi. GC 7 – TPl dan Sca 12 – TPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 tanpa pelukaan buah sebelum diinokulasi.
Hasil inokulasi dengan dua jenis inokulum disajikan pada Gambar 11.
Dari total 16 buah kakao klon GC 7 yang diuji dalam percobaan, empat buah
(25%) tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora sedangkan untuk klon Sca
50%
13%
38%38% 38%
13% 13%
0%
25%
50%
75%
100%
< 4.1 4.1 - 8.2 8.2 - 12.3 12.3 - 16.81 > 16.81Kisaran diameter bercak (cm)
Pers
enta
se b
uah
(%) GC7 - TPl Sca12 - TPl
13% 13%
63%
13%
38%25%
13%25%
0%
25%
50%
75%
100%
< 4.1 4.1 - 8.2 8.2 - 12.3 12.3 - 16.81 > 16.81Kisaran diameter bercak (cm)
Pers
enta
se b
uah
(%) GC7 - DPl Sca12 - DPl
56
12 - tiga buah (18.5%) tidak menunjukkan gejala infeksi. Semua buah yang tidak
bergejala tersebut merupakan buah yang diinokulasi dengan zoospora.
Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora
mempunyai kisaran diameter bercak 0 - 18.5 cm dan yang diinokulasi dengan
miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 9.5 – 16.0 cm.
Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P.
palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 17.0 cm, sedangkan
yang diinokulasi dengan miselia mempunyai kisaran diameter bercak antara 4.5 –
20.5 cm.
Gambar 11 Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase buah kakao klon GC 7
dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan ( dengan pelukaan, 7 hari sesudah inokulasi buah). GC 7 – M dan Sca 12– M: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia. GC 7 – Z dan Sca 12 – Z: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora.
63%
13% 13% 13%
38%25% 25%
13%
0%
25%
50%
75%
100%
< 4.1 4.1 - 8.2 8.2 - 12.3 12.3 - 16.81 > 16.81Kisaran diameter bercak (cm)
Pers
enta
se b
uah
(%) GC7 - Z Sca12 - Z
13%
88%
50%
25% 25%
0%
25%
50%
75%
100%
< 4.1 4.1 - 8.2 8.2 - 12.3 12.3 - 16.81 > 16.81Kisaran diameter bercak (cm)
Pers
enta
se b
uah
(%) GC7 - M Sca12 - M
57
Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 dan klon Sca
12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora sebagian kecil (37.5%)
mempunyai diameter bercak yang > 8.2 cm sedangkan sebagian besar (62.5%) <
8.2 cm. Dari Gambar 11 juga diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 yang
diinokulasi dengan miselia P. palmivora semuanya (100%) mempunyai diameter
bercak yang > 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi
dengan miselia P. palmivora, 50% mempunyai diameter bercak > 8.2 cm dan 50%
mempunyai diameter bercak < 8.2 cm.
Penggunaan varietas kakao yang resisten merupakan cara efektif dan
ekonomis untuk pengendalian busuk buah kakao (Muller, 1974). Di Indonesia,
pemuliaan kakao ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan
potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap busuk buah dan vascular
streak dieback (Iswanto & Winarno, 1992). Kemajuan dalam pemuliaan tanaman
untuk ketahanan terhadap busuk buah kakao sering kali kurang berhasil antara
lain diduga karena rendahnya keragaman plasma nutfah kakao, belum tersedianya
metode uji ketahanan yang efisien, belum digunakannya strategi pemuliaan yang
efektif, dan terbatasnya informasi genetik sifat resisten dan mekanisme ketahanan
kakao terhadap infeksi P. palmivora.
Tersedianya metode uji ketahanan yang efektif dan mudah dilakukan
merupakan langkah awal bagi keberhasilan pemuliaan tanaman kakao untuk
mendapatkan klon unggul yang resisten terhadap infeksi P. palmivora. Untuk itu,
pembakuan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P.
palmivora perlu dilakukan agar identifikasi plasma nutfah yang resisten dan yang
rentan dapat dilakukan dengan akurat. Menggunakan metode baku yang
dikembangkan, hasil uji ketahanan plasma nutfah dapat diperbandingkan antar
peneliti.
Hal ini sangat penting untuk kakao karena ketahanan buah kakao terhadap
infeksi P. palmivora diduga merupakan ketahanan horizontal (Simmonds, 1994),
yang relatif sulit penanganannya dengan pemuliaan tanaman. Zedoks (1997)
menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lainnya
cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistance). Metode baku uji ketahanan
yang dikembangkan harus mampu mengidentifikasi perbedaan respon yang ada di
58
antara koleksi plasma nutfah kakao. Dengan demikian, metode ujinya tidak boleh
terlalu ketat sehingga semua plasma nutfah yang dievaluasi mengalami kematian
dan tidak boleh terlalu ringan sehingga semua plasma nutfah tergolong resisten.
Dalam pembakuan metode uji ketahanan, faktor yang perlu dievaluasi
antara lain: tipe inokulum P. palmivora yang digunakan (zoospora atau miselia),
perlu tidaknya pelukaan jaringan sebelum diinokulasi (dengan atau tanpa
pelukaan), dan jaringan tanaman yang akan diinokulasi P. palmivora (jaringan
buah, batang, atau daun). Metode uji yang dikembangkan seharusnya juga
mempertimbangkan aspek teknis pelaksanaannya, yaitu mudah dilakukan tetapi
dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji.
Di lapangan, P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan
miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan
sisa-sisa tanaman yang tersebar di tanah. Oleh karena itu, dalam pengujian metode
inokulasi perlu dievaluasi penggunaan zoospora dan miselia sebagai inokulum.
Dalam percobaan ini, zoospora yang digunakan untuk meginfeksi buah
kakao menghasilkan persentase buah tidak terinfeksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan miselia. Diameter bercak pada buah kakao yang diinokulasi
dengan zoospora juga relatif lebih kecil dibandingkan miselia. Diduga inokulum
yang berupa zoospora menurun viabilitasnya untuk menginfeksi buah, sehingga
sebagaian besar buah GC 7 yang merupakan klon rentan tidak terinfeksi.
Sedangkan kultur miselia yang digunakan sebagai sumber inokulum sebenarnya
terdiri dari miselia dan sporangia yang terbungkus dalam agar sehingga
viabilitasnya tetap terjaga karena media dalam agar mampu memberikan
lingkungan tumbuh yang cocok sebelum memenetrasi buah kakao. Selain hal
tersebut secara teknis inokulasi dengan menggunakan miselia lebih mudah
dilakukan.
Sebaran diameter bercak pada buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi
dengan zoospora P. palmivora sama dengan klon Sca 12. Sebaliknya untuk buah
kakao yang diinokulasi dengan miselia, persentase buah dengan diameter bercak
>8.2 cm lebih besar pada buah kakao klon GC 7 dibandingkan Sca 12. Hal ini
sesuai dengan yang diharapkan karena klon GC 7 merupakan klon kakao yang
rentan dan Sca 12 merupakan klon kakao yang lebih resisten terhadap infeksi P.
59
palmivora. Sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao akibat
infeksi P. palmivora ditemukan antara lain pada klon kakao Sca 6 dan Sca 12
(asal Ekuador) serta TSH 565, TSH 516, dan TSH 774 (asal Trinidad) (Soria,
1974). Berdasarkan hasil pengujian di beberapa negara, kakao klon Sca 6 dan Sca
12 mempunyai ketahanan mantap terhadap P. palmivora (Iswanto & Winarno,
1992; Philip-Mora, 1999). Klon lain yang juga tahan terhadap infeksi P.
palmivora antara lain ICS 6 dan DRC 16; klon yang moderat antara lain GC 7,
DR 2, DR 38, DRC 9, dan Sca 89, dan klon yang rentan antara lain DR 1
(Iswanto & Winarno, 1992).
Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula diintrogresikan
dari spesies Theobroma lainnya seperti T. grandiflora yang buahnya tahan setelah
diinokulasi dengan spora P. palmivora. Sedangkan T. bicolor, T. speciosa, T.
simiarum dan T. mammosum dilaporkan rentan terhadap infeksi P. palmivora
(Soria, 1974). Namun demikian keberhasilan hibridisasi antar species di dalam
genus Theobroma diduga sangat terbatas. Bibit hibrida F1 dari silangan antara T.
cacaoxT. grandiflora mempunyai pertumbuhan yang lambat, lemah dan fertilitas
yang rendah (Soria, 1974).
Inokulasi pada bibit
Infeksi P. palmivora pada daun kakao menyebabkan terjadinya gejala
bercak daun seperti yang terlihat pada Gambar 8.e. Dari total 16 bibit kakao klon
GC 7 yang diuji, lima bibit (31.25%) tidak menunjukkan gejala sedangkan untuk
klon Sca 12, tujuh bibit (43.75%) tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora
setelah diinokulasi batang atau daunnya. Semua bibit yang tidak bergejala tersebut
merupakan bibit yang batang atau daunnya tidak diberi perlakuan pelukaan
sebelum diinokulasi. Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan
kisaran diameter bercak yang muncul pada bibit disajikan dalam Gambar 11.
Dengan menggunakan zoospora, bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi
mempunyai kisaran diameter bercak 0 - 1.4 cm. Persentase bibit kakao klon GC 7
yang diinokulasi zoospora dan mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak
62.5% dan yang mempunyai diameter bercak >0.52 cm sebanyak 37.5% (Tabel
5). Bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora
60
mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 1.6 cm. Persentase bibit kakao
klon Sca 12 yang diinokulasi zoospora P. palmivora dan mempunyai bercak <
0.52 cm sebanyak 50%, sedangkan yang mempunyai diameter bercak > 0.52 cm
sebanyak 50% (Tabel 5).
Bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora
mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 2.0 cm. Setelah diinokulasi dengan
miselia P. palmivora, persentase bibit kakao GC 7 dengan diameter bercak < 0.52
sebanyak 37.5% sedangkan yang mempunyai diameter bercak > 0.52 cm
sebanyak 62.5% (Tabel 5). Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi
dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 2.6
cm. Setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora, persentase bibit kakao Sca
12 dengan diameter bercak antara < 0.52 sebanyak 75% dan yang > 0.52 cm
sebanyak 25% (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan (28 hari sesudah inokulasi batang dari bibit kakao yang diuji)
Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang
Klon kakao
Tipe inokulum
< 0.52 0.52-1.04 1.04-1.56 1.56-2.08 > 2.08
cm GC 7 Zoospora 62.5 0 37.5 0 0 Miselia 37.5 0 37.5 25.0 0 Sca 12 Zoospora 50.0 12.5 12.5 12.5 12.5 Miselia 75.0 12.5 0 12.5 0
Bibit kakao klon GC 7 tanpa perlakuan pelukaan, setelah diinokulasi P.
palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 – 2.0 cm. Persentase bibit kakao
klon GC 7 tanpa pelukaan dan setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai
diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 87.5% sedangkan yang dengan diameter
bercak > 0.52 cm sebanyak 12.5% (Tabel 6). Sebaliknya bibit kakao klon Sca 12
tanpa pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter
bercak antara 0-2.6 cm. Persentase bibit kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan dan
setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak
87.5% sedangkan yang dengan diameter bercak > 0.52 cm sebanyak 12.5%.
61
Bibit kakao klon GC 7 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora
mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 1.6 cm. Dengan pelukaan bibit
sebelum diinokulasi, persentase bibit kakao GC 7 yang mempunyai diameter
bercak < 0.52 cm sebanyak 12.5% dan yang dengan diameter bercak > 0.52%
sebanyak 87.5% (Tabel 6). Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 dengan pelukaan,
setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0.5 –
1.8 cm. Bibit kakao Sca 12 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora dan
mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 37.5% dan yang > 0.52%
sebanyak 62.5%.
Tabel 6. Pengaruh pelukaan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan (28 hari sesudah inokulasi bibit kakao yang diuji)
Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak
Klon kakao
Perlakuan pelukaan
<0.52 0.52-1.04 1.04-1.56 1.56-2.08 >2.08
cm GC 7 Tanpa pelukaan 87.5 0 0 12.5 0 Dengan pelukaan 12.5 0 75.0 12.5 0 Sca 12 Tanpa pelukaan 87.5 0 0 0 12.5 Dengan pelukaan 37.5 25.0 12.5 25.00 0
Perlakuan tanpa pelukaan dimaksudkan untuk mengevaluasi ada tidaknya
mekanisme ketahanan pra-penetrasi P. palmivora. Sebaliknya, perlakuan pelukaan
untuk mengevaluasi adanya mekanisme ketahanan pasca penetrasi. Pada buah
kakao tanpa pelukaan, setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora
mempunyai kisaran diameter bercak yang lebih kecil dibandingkan dengan yang
diberi pelukaan. Hal tersebut berlaku baik untuk kakao klon GC 7 yang rentan
atau Sca 12 yang resisten.
Menurut Iwaro et al. (1995) dan Iwaro et al. (1998), ketahanan buah kakao
terhadap P. palmivora merupakan sistem multi komponen yang terekspresi dalam
dua tahap, yaitu ketahanan pra-penetrasi dan pasca-penetrasi. Ketahanan pra-
penetrasi berhubungan dengan faktor morfologis yang berpengaruh terhadap
perkembangan patogen dan menentukan tingkat keparahan yang terjadi pada
tanaman yang diuji. Ketahanan pasca-penetrasi berhubungan dengan mekanisme
62
biokimia yang berpengaruh terhadap luasnya jaringan yang terserang. Fry (1989)
menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang,
sering kali perkembangan selanjutnya terhambat oleh mekanisme ketahanan yang
ada pada masing-masing tanaman.
Buah kakao klon GC 7 dengan atau tanpa pelukaan memberikan persentase
buah dengan diameter bercak > 8.2 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan
klon Sca 12. Hal ini mempertegas kembali perbedaan respon GC 7 yang rentan
dan Sca 12 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora.
Hasil percobaan juga menunjukkan penggunaan zoospora untuk
menginokulasi bibit kakao menyebabkan kisaran diameter bercak yang lebih
sempit dibandingkan miselia. Dengan demikian, respon bibit kakao yang
diinokulasi dengan zoospora atau miselia P. palmivora sejalan dengan respon
buah kakao.
Perlakuan pelukaan berperanan penting dalam hubungannya dengan respon
bibit kakao yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Sebagian bibit yang tidak
dilukai sebelum diinokulasi P. palmivora ada yang tidak menunjukkan gejala
bercak pada daun atau batangnya. Sedangkan bibit yang diinokulasi dengan
miselia P. palmivora semuanya menghasilkan bercak pada daun atau batangnya.
Seperti yang diharapkan, klon GC 7 yang diinokulasi dengan P. palmivora
menghasilkan persentase bibit dengan diameter bercak > 0.52 cm yang lebih
tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal tersebut diamati jika miselia P.
palmivora digunakan sebagai inokulum dan jika bibit yang diuji diberi pelukaan.
Untuk bibit yang diinokulasi dengan zoospora atau bibit yang tidak dilukai,
respon yang diamati tidak sejalan dengan karakteristik ketahanan klon GC 7 dan
klon Sca 12 terhadap infeksi P. palmivora. Meskipun demikian, respon bibit yang
diinokulasi dengan P. palmivora tetap sejalan dengan respon buah yang diuji.
Berdasarkan berbagai hasil yang didapat diusulkan bahwa metode baku uji
ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora sebaiknya
dilakukan dengan (1) menggunakan miselia sebagai inokulum, (2) memberikan
pelukaan pada jaringan buah atau daun sebelum diinokulasi dengan miselia P.
palmivora, dan (3) menggunakan buah dipetik umur empat bulan sesudah antesis
atau daun bibit umur dua bulan setelah tanam.
63
Besar kecilnya diameter bercak akibat infeksi P. palmivora pada buah atau
bibit yang diuji diduga mencerminkan ada tidaknya sifat resisten pada klon yang
diuji. Klon GC 7 yang dilaporkan rentan mempunyai sebaran bibit atau buah
dengan diameter bercak yang lebih besar dibandingkan dengan klon Sca 12 yang
dilaporkan resisten. Meskipun infeksi P. palmivora pada buah atau bibit kakao
klon Sca 12 tetap menimbulkan bercak kecoklatan (nekrosis), nekrosis yang
diamati relatif tidak berkembang secepat yang diamati pada klon GC 7.
Gejala awal infeksi P. palmivora pada klon kakao tahan sama dengan yang
rentan, yaitu adanya sel yang mempunyai granula berwarna kecoklatan (Tarjot,
1974). P. palmivora tetap mempenetrasi buah kakao dari klon yang resisten dan
yang rentan. Namun demikian penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah
kakao yang rentan berbeda dengan yang resisten (Tarjot, 1974). Pada buah kakao
yang rentan, P. palmivora tidak bertahan lama dalam sel, sel yang terinfeksi
menjadi rusak dengan cepat dan terlihat adanya granula kecoklatan. Pada buah
rentan, patogen menyebar dengan cepat dari satu ke sel lain sehingga
perkembangan busuk buah berlangsung cepat. Pada buah kakao yang tahan, P.
palmivora bertahan lama di dalam sel sebelum munculnya gejala nekrosis.
Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan busuk
buah juga melambat (Tarjot, 1972)
Pengaruh Genotipe Kakao
Hasil yang didapat menunjukkan hibrida F1 hasil silangan antara ICS 60 x
Sca 12 mempunyai rataan jumlah bercak tertinggi (2,75), diikuti oleh zuriat Sca
12, (1,28) dan hibrida F1 antara TSH 858 x Sca 12 (0,67). Sedangkan panjang
bercak tertinggi dihasilkan oleh F1 (ICS 60 x Sca 12) 10,55 cm kemudian disusul
Sca 12 (6,14 cm) terkecil dihasilkan oleh TSH 858 x Sca 12 (2,76 cm) (Tabel 7).
Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter
bercak daun yang muncul setelah 28 hari sesudah inokulasi disajikan pada Tabel
8. Sebagian besar bibit kakao zuriat Sca 12 dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12)
yang diinokulasi P. palmivora dan mempunyai luas bercak < 4.58 cm2 sedangkan
bibit hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) mempunyai luas bercak > 4.58 cm (Tabel 8).
Dari data pada Tabel 8 dapat diduga bahwa dalam kondisi penelitian ini bibit
64
hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) lebih resisten dibandingkan dengan bibit hibrida
F1 (ICS 60 x Sca 12) atau bibit zuriat Sca 12.
Tabel 7. Jumlah dan lebar bercak pada daun bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858xSca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora, pada 7, 14 dan 21 hari sesudah inokulasi (HSI)
Jumlah bercak Lebar bercak (cm) Genotipe bibit (Seedling 7 HSI 14 HSI 21 HSI 7 HSI 14 HSI 21 HSI F1(ICS 60xSca 12) 1.68 1.68 2.75 7.33 10.15 10.55 F1(TSH 858xSca 12) 0.58 0.67 0.67 1.93 2.48 2.76 Sca 12 0.95 1.28 1.28 5.00 5.82 6.14
Tabel 8. Persentase bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan lebar bercak dilakukan 14, 21, dan 28 hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji
Persentase bibit dengan kisaran panjang bercak (cm)
Pengamatan (hari sesudah inokulasi)
Genotipe bibit < 4.58
4.58-9.16
9.16-13.74
13.74-18.32
> 18.32
14 ICS 60 x Sca 12 33.0 16.8 16.8 16.8 16.8 TSH 858 x Sca 12 82.5 16.8 0 0 0 Sca 12 66.8 16.8 0 16.8 0 21 ICS 60 x Sca 12 16.8 33.0 16.8 16.8 16.8 TSH 858 x Sca 12 82.5 0 16.5 0 0 Sca 12 50.0 33.0 0 17.0 0 28 ICS 60 x Sca 12 16.8 33.0 16.8 33.0 0 TSH 858 x Sca 12 82.5 16.8 0 0 0 Sca 12 50.0 33.0 16.8 0 0
Dalam pengujian pengaruh latar belakang genetik kakao terhadap infeksi P.
palmivora menggunakan metode baku yang telah dikembangkan dapat diketahui
bahwa hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) lebih resisten dibandingkan dengan tetua
donor Sca 12 atau hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12). Hal tersebut memperkuat dugaan
sebelumnya bahwa Sca 12 mempunyai mekanisme ketahanan terhadap infeksi P.
palmivora. Namun demikian, hibrida F1 hasil persilangan antara ICS 60 x Sca 12
dan TSH 858 x Sca 12 mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa keragaan hibrida F1 hasil silangan antara Sca 12 sebagai
tetua jantan dan donor sifat resisten terhadap P. palmivora dipengaruhi oleh latar
65
belakang genetik induk betinanya.
Menurut Winarno & Sri-Sukamto (1986), Sca 6 dan Sca 12 dapat digunakan
sebagai tetua donor sifat resisten terhadap infeksi P. palmivora. Hibrida F1 hasil
silangan antara DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 ketika
diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan luas bercak yang sama dengan
klon Sca 6 dan Sca 12. Tetapi jika dibandingkan dengan klon DR 1 yang rentan
terhadap infeksi P. palmivora, maka ketiga hibrida kakao tersebut lebih tahan
terhadap infeksi P. palmivora.
Dari penelitian ini diketahui bahwa sifat ketahanan diwariskan lewat Sca 12
sebagai tetua jantan, terbukti bahwa ICS 60 yang tergolong rentan terhadap P.
palmivora bila disilangkan dengan Sca 12 yang tahan akan menghasilkan hibrida
yang tahan. Sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dilaporkan diwariskan
lewat tetua jantan (Jacop & Toxopeus, 1971).
Klon TSH 858 sebagai induk betina lebih baik jika digunakan untuk
menghasilkan hibrida F1 dengan Sca 12 sebagai induk jantan. Hibrida F1 (TSH
858 x Sca 12) diharapkan selain tahan infeksi P. palmivora juga mempunyai daya
hasil tinggi mengingat sifat daya hasil galur hibrida kakao mengikuti karakteristik
induk betinanya. Sebaliknya, meskipun galur hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) juga
berpotensi berdaya hasil tinggi sesuai dengan sifat ICS 60 sebagai induk betina,
dalam hal ketahanan terhadap P. palmivora lebih rendah dibandingkan dengan
hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12).
Menurut Jacop & Toxopeus (1971), pewarisan sifat bobot biji ditentukan
oleh tetua betinanya. Oleh karena itu pemuliaan tanaman untuk peningkatan
ukuran dan bobot biji kakao dilakukan dengan persilangan antara induk betina
yang berdaya hasil tinggi dan berbiji besar dengan induk jantan yang resisten.
Selain itu perlu dipilih induk jantan dengan karakter ukuran serbuk sari yang
besar. Iswanto dan Junianto (1987) menyatakan bahwa tetua jantan dengan ukuran
serbuk sari yang besar cenderung menghasilkan hibrida F1 dengan biji yang besar
dan berat.
Simpulan
Inokulasi dengan menggunakan miselia lebih efektif dibandingkan
66
zoospora dan perlakuan lebih akurat untuk menduga ketahanan bibit kakao
terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah
yang dipetik sejalan dengan bibit kakao sehingga pengujian bibit dapat
dipergunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Jika
menggunakan buah yang dipetik, uji ketahanan dilakukan dengan (1)
menggunakan buah kakao umur empat bulan setelah antesis, (2) memberi
pelukaan sebelum diinokulasi, (3) menggunakan miselia P. palmivora sebagai
inokulum, dan (4) mengamati diameter bercak. Sedangkan jika menggunakan
bibit kakao, dilakukan dengan: (1) menggunakan bibit kakao umur dua bulan, (2)
memberi pelukaan pada daun sebelum diinokulasi, (3) menggunakan miselia P.
palmivora sebagai inokulum, dan (4) mengamati lebar bercak yang muncul pada
daun yang diinokulasi. Pengamatan diameter bercak pada buah dilakukan 3 hari
sedangkan pada daun 14 hari sesudah inokulasi. Kakao klon GC 7 sebaiknya
digunakan sebagai pembanding yang rentan dan klon Sca 12 sebagai pembanding
yang tahan. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan
disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi
hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya
hasil tinggi.
Daftar Pustaka
Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p.
Iswanto A & Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the role of planting material resistant to VSD and black pod. In P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112.
Iswanto A & Yunianto D. 1987. Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: 185-188.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN, & Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
67
Iwaro DA, Sreenivasan TN, & Umaharan P. 1997a. Foliar resistance to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in Theobroma cacao. Plant Disease, 81: 619-624.
Jacob VJ & Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, 556-564.
Toxopeus H. 1999. Search for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Muller RA. 1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: 259-265. Longman, London.
Philips-Mora W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Prawirosoemardjo S & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60:67-72.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Sudarsono, Purwantara A, & Suhendi D. 2007. Teknik Molekuler dan Pemuliaan Tanaman untuk Percepatan Pengembangan Klon Kakao (Theobroma cacao L.) yang Resisten terhadap Busuk Buah Akibat Infeksi Phytophthora palmivora Butl. Laporan Penelitian KKP3T, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. 122 hlm.
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (ed.) Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London.
Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18th
January.
Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 103-116. Longman London.
Winarno H & Sri-Sukamto. 1986. Uji Laboratorium Ketahanan Tongkol Beberapa Hibrida Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora Butler). Pelita Perkebunan 2:115-119.
Zadoks JC. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p.
JUDUL 3. UJI KETAHANAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( Phytophthora palmivora Butler) DI LAPANGAN DAN
LABORATORIUM
Abstrak
Penyakit busuk buah merupakan salah satu penyakit terpenting pada
tanaman kakao. Di Indonesia busuk buah disebabkan oleh Phytophthora
palmivora. Keberhasilan pengendalian ini salah satunya tergantung dari
keberhasilan penekanan kuantitas patogen di lapang antara lain dengan
menggunakan bahan tanam kakao yang diusahakan. Uji ketahanan tanaman kakao
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora di laboratorium dan lapangan perlu
dilakukan, hal ini untuk mengetahui konsistensi ketahanan klon tersebut, sehingga
mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini dapat diketahui.
Penelitian berlangsung pada bulan Juni 2008 hingga Februari 2009, bertempat di
Laboratorium Penyakit dan Kebun Percobaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia di Jember Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi
untuk mengetahui ketahanan klon kakao di Laboratorium maupun di Lapangan
menghasilkan ketahanan yang sama. Klon kakao yang rentan di laboratorium juga
rentan di Lapangan seperti klon GC7. Perkembangan bercak pada buah kakao
hasil inokulasi di Laboratorium lebih cepat dari pada di Lapangan.
Kata kunci:Kakao, inokulasi laboratorium, inokulasi lapangan, P. Palmivora, Ketahanan
CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANCE EVALUATION AGAINST BLACK POD DISEASE( Phytophthora palmivora Butler) IN THE FIELD
AND LABORATORY
Abstract
Black Pod Disease is one of the important diseases of cacao. In Indonesia
black pod disease is caused by Phytophthora palmivora. The effectiveness of
controlling the disease depends on reducing pathogen population in the field,
such as using resistant cacao plant materials. Cacao resistance evaluation against
black pod disease caused by P. palmivora in the field and laboratory needs to be
conductedto know the consistency of the resistant clones. Hence the cacao
resistance mechanism against this pathogen can be determined. The research took
place in June 2008 till February 2009 in Disease Laboratory and Experiment
Garden at Indonesian Coffee and Cacao Research Institute in Jember, East Java.
The results indicated that laboratory inoculation and field inoculation to test the
cacao clone resistance showed the consistent results. Cacao clone which was
susceptible in the laboratory, such as GC 7, was also susceptible in the field.
Keywords: cacao, laboratory inoculation, field inoculation, P. palmivora, resistance
70
Pendahuluan
Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan dan merupakan
komoditas ekspor penting di Indonesia, namun pengembangannya secara luas
masih menghadapi hambatan antara lain oleh adanya serangan hama dan penyakit.
Diantara beberapa jenis penyakit pada tanaman kakao, yang sangat penting dan
penyebarannya sangat luas adalah penyakit busuk buah atau pod rot yang
disebabkan oleh P. palmivora. Seluruh bagian tanaman kakao dapat terinfeksi
oleh patogen tersebut mulai dari akar, batang, bunga, buah dan daun. Namun
kerugian yang sangat tinggi disebabkan oleh serangan pada buah (Darmono et al.,
2006). Survei yang dilakukan di Jawa menunjukkan bahwa penyakit busuk buah
dapat menurunkan hasil sekitar 26-56% (Pawirosoemardjo & Purwantara, 1992).
Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang
paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan (Akrofi & Opoku, 2000).
Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang lebih mudah ditemukan di antara
bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara
terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao (Muller, 1974). Bahan tanam tahan
terhadap penyakit ini merupakan pemecahan masalah untuk jangka panjang.
Ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan, seperti kakao,
namun sukar penanganannya untuk pemuliaan tanaman. Simmonds (1994)
menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan
lebih bersifat horizontal daripada vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan
tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif
(ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural
dan biokimia. Zadoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P.
palmivora dan patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistance)
yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat atau tidak
dapat berkorelasi satu sama lain.
Duniway (1983) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap
Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas,
reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia. Mekanisme ketahanan
struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry (1982)
walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi,
71
karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton (1989)
memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada deposisi dan penyebaran
efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator
mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora patogen ini
bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya
menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan bahwa lengas di
permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora.
Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem
multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan
prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan
faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi
patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi
berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya
jaringan yang diserang patogen (Irwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan
bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali
perkembangan selanjutnya terhambat.
Pengujian ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini telah dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode inokulasi buatan. Efron & Blaha (1998)
telah mengembangkan inokulasi buatan menggunakan metode potongan daun
kakao, sedangkan uji ketahanan dengan menggunakan buah di laboratorium juga
dilakukan oleh Iwaro et al. (2000), Rubiyo et al. (2000) melakukan inokulasi
dengan menggunakan buah untuk uji lapang ketahanan beberapa hibrida kakao.
Oleh karena itu penelitian untuk mengetahui korelasi antara ketahanan genotipe
kakao di laboratorium dan di lapang perlu diketahui. Apabila korelasinya positif
maka cukup dilakukan uji ketahanan di laboratorium sehingga akan sangat
membantu dalam siklus pengujian dan seleksi genotipe kakao. Arah dan strategi
pemuliaan ketahanan tanaman kakao dititikberatkan pada penggunaan metode
seleksi. Hal ini disebabkan tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang
berdaur hidup panjang sehingga kurang efisien bila digunakan metode persilangan
berulang di dalam program pemuliaannya. Persilangan antar tanaman kakao akan
melibatkan tetua yang bukan galur murni sehingga pada turunannya akan terjadi
72
segregan-segregan dalam keanekaragaman sifat yang tinggi (Wood, 1973). Oleh
karena itu seleksi ketahanan tanaman tetua akan sangat menentukan hasil akhir
dari hibrida F1 yang akan diperoleh.
Bahan dan Metode
A. Penelitian Uji Ketahanan Buah Kakao di Laboratorium dan Lapangan Penyiapan Inokulum P. palmivora. Isolat P. palmivora indigenus yang
diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a)
digunakan sebagai inokulum. Isolat P. palmivora terpilih (LbSbr) ditumbuhkan
dalam cawan Petri berdiameter 9 cm yang berisi media PDA padat. Kultur
patogen diinkubasikan selama tujuh hari pada kondisi gelap dalam ruang kultur
bersuhu 26oC. Hanya miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung
koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan.
Uji Detached Pod di Laboratorium. Buah kakao sehat yang telah
berkembang penuh tetapi belum masak dari 13 klon diambil dari lapang untuk
digunakan dalam percobaan di laboratorium. Sebelum diinokulasi dalam uji
detached pod, buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir.
Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam
5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA (diameter 8 mm)
dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan
sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah
yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan
aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air
steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak (100%). Kotak inkubasi
disungkup dengan plastik dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar (28o
C).
Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap. Unit percobaan terdiri
atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali. Dalam
percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao (3 buah/unit x 3 ulangan)
diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 13
klon.
73
Uji ketahanan di lapangan. Bahan dan metode yang digunakan sama
dengan inokulasi di laboratorium. Inokulasi buah di lapang dilakukan terhadap
buah yang masih menempel di pohon. Buah yang telah diinokulasi dengan miselia
ditempel dengan kapas basah untuk menjaga kelembaban, kemudian dikerodong
dengan kantong plastik transparan agar kelembaban tetap terjaga dan untuk
menghindari adanya patogen lain yang menginfeksi. Umur dan kriteria buah yang
digunakan penelitian di lapangan sama dengan yang di laboratorium. Penelitian
di lapangan menggunakan 3 buah kakao sebagai ulangan, sehingga digunakan 3
pohon untuk tiap klon (sebagai perlakuan).
Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora.
Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah
inokulasi (HSI). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan
gejala dan terhadap panjang bercak (p) serta lebar bercak (l) yang muncul di
permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas
bercak (L) di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan
rumus L=3.14*([p+l]/4)2. Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk
mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P.
palmivora. Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah
diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora (tidak menghasilkan
bercak); tahan – jika luas bercak < 25 cm2, agak tahan – jika antara 25 – 50 cm2,
agak rentan – jika antara 50 - 75 cm2, rentan jika antara 75 - 100 cm2, dan sangat
rentan jika > 100 cm2 (Iwaro et al, 1997)
Hasil dan Pembahasan
Uji Ketahanan Kakao di Laboratorium
Berdasarkan hasil pengamatan luas bercak pada hari ke-7 setelah inokulasi
di Laboratorium, klon GC 7 menunjukkan luas bercak tertinggi akibat inokulasi P.
palmivora (Tabel 9). Klon klon kakao yang lainnya TSH 858 dan PBC 123
menghasilkan luas bercak yang cukup tinggi namun secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan GC 7. Klon PA 300 menghasilkan
luas bercak terkecil dibandingkan dengan klon yang lainnya (86,47 cm2) dan
mengalami perkembangan bercak yang lamban (Gambar 12).
74
Tabel 9 Rata-rata luas bercak (cm2) beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di laboratorium, 7 hari setelah inokulasi
No Klon Rata-rata luas bercak cm2 hari ke -7 setelah inokulasi
1 GC 7 326,20 a 2 TSH 858 292,22 ab 3 PBC 123 247,63 ac 4 ICS 60 224,78 bd 5 DR2 220,19 bd 6 RCC70 210,77 cd 7 KKM 22 197,47 cd 8 SCA 12 180,86 cd 9 DRC16 183,30 cd 10 PA7 173,10 ce 11 ICS 13 154,36 ce 12 SCA 6 143,28 de 13 PA 300 86,47 e
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5%.
Hasil analisis statistik berdasarkan rata-rata luas bercak hari ke-7 sangat
berbeda nyata bila dibandingkan dengan GC 7 (klon rentan) tetapi tidak berbeda
nyata dengan klon Sca 6 yang digunakan sebagai klon kontrol yang tahan (Tabel
9). Luas bercak klon yang lain berkisar antara 154,36 hingga 224,78 cm2.
Berdasarkan hasil uji laboratorium terdahulu yang dilakukan oleh Sri-Sukamto &
Winarno (1986) dan Suhendi et al. (2005), klon Sca 6 diketahui selalu
menghasilkan tingkat ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan klon yang
lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama walaupun klon Sca 6
menghasilkan luas bercak yang terkecil setelah klon PA 300. Besarnya luas
bercak yang dihasilkan tersebut sangat dimungkinkan karena kondisi lingkungan
optimum (suhu dan kelembaban) khususnya dapat terkontrol dengan baik.
Kondisi seperti ini sangat sesuai dengan lingkungan yang diinginkan oleh P.
palmivora untuk tumbuh dan berkembang, sehingga akan mampu menginfeksi
dengan baik pada buah kakao tersebut.
75
Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium
Gambar 12. Representasi perkembangan luas bercak (cm2) 5 klon kakao hasil
inokulasi di Laboratorium. Uji Ketahanan Kakao di Lapangan
Berdasarkan luas bercak pada hari ke-9 setelah inokulasi di lapangan, klon
Sca 6, Pa 7 dan PA 300 menghasilkan luas bercak terkecil berturut-turut 4,78 ,
7,02 dan 18,57 cm2 (Tabel 10).
Tabel 10. Rata-rata luas bercak (cm2) beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di lapangan, 9 hari setelah inokulasi
No Klon Rata-rata luas bercak (cm2) 1 GC 7 63,14 ad 2 TSH 858 62,52 ad 3 PBC 123 20,93 cd 4 ICS 60 43,59 ad 5 DR 2 74,76 ac 6 RCC70 102,70 a 7 KKM 22 99,66 a 8 SCA 12 37,34 bd 9 DRC16 74,69 ac 10 PA7 7,02 d 11 ICS 13 91,81 ab 12 SCA 6 4,78 d 13 PA 300 18,57 cd
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5%.
Luas bercak terbesar dihasilkan oleh klon klon RCC 70 dan KKM 22
masing-masing 102,70 dan 99,66 cm2. Klon yang lain menghasilkan luas bercak
berkisar 20,93 - 91,81 cm2. Klon Sca 6 yang digunakan sebagai kontrol klon
tahan secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil. Dengan demikian
0
100
200
300
3 4 5 6 7 8 9
PA 300 ICS 13 DR 2TSH 858 GC 7
Luas
Ber
cak
(cm
2 )
76
semakin menguatkan bahwa klon Sca 6 dapat digunakan sebagai sumber gen
ketahanan dalam perakitan kultivar kakao untuk penelitian selanjutnya. Luas
bercak di lapang yang dihasilkan beberapa klon kakao yang diuji, walaupun
lingkungan dikondisikan sama dengan di laboratorium, tetap lebih kecil
dibandingkan dengan hasil uji di laboratorium.
0
100
200
300
4 5 6 7 8 9
PA 300 ICS 13 DR 2TSH 858 GC 7
U ji d i L a b v s . d i L a p a n g a n
P e r k e m b a n g a n lu a s b e rc a k p a d a b u a h h a s il u ji d i L a p a n g
0
100
200
300
4 5 6 7 8 9
PA 300 ICS 13 DR 2TSH 858 GC 7
Gambar 13 Representasi perkembangan luas bercak (cm2) 5 klon kakao hasil
inokulasi di lapangan
Gambar 14. Representasi perkembangan luas bercak tiga klon kakao PA 300,
DR 2 dan GC7 hasil inokulasi P. palmivora di lapangan dan laboratorium
0
100
200
300
3 4 5 6 7 8 9
PA300 (Lb) PA300 (Lp)GC7 (Lb) GC7 (Lp)DR2 (Lb) DR2 (Lp)
Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium (Lb) dan Lapangan (Lp)
Luas
Ber
cak
(cm
2 )
77
Luas Bercak di Laboratorium dan Lapangan
85,48
173,10
247,63224,78
292,22
154,36
197,47
326,20
180,85
143,28
210,77183,30
220,20
18,57 7,02 20,9343,59
62,5291,81 99,65 99,00
37,344,78
102,5774,68 74,76
-
50
100
150
200
250
300
350
PA 300 PA7 PBC123
ics 60 TSH858
ICS 13 KKM 22 GC 7 SCA 12 SCA 6 RCC 70 DRC 16 DR 2
Klon
Luas
Ber
cak
(cm
2 )
Lab Lapangan
Gambar15. Luas bercak (cm2) hasil inokulasi di Lapangan dan Laboratorium
beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora
Dalam penelitian ini inokulasi di laboratorium maupun di lapang dilakukan
dengan pelukaan jaringan. Cara inokulasi demikian dimaksudkan untuk menguji
tingkat ketahanan pascapenetrasi (Iwaro et al., 1995). Beberapa klon yang
sebelumnya dilaporkan tahan seperti Sca 6, PA 7, PA 300 menunjukkan luas
bercak yang kecil dibandingkan klon lain pada uji di lapang. Namun pada uji di
laboratorium, klon – klon tersebut menunjukkan luas bercak yang sebanding atau
bahkan lebih besar dari pada luas bercak klon rentan hasil uji lapangan. Diduga
pemetikan buah untuk diuji di laboratorium menjadi faktor predisposisi yang
memacu perkembangan bercak. Meskipun uji di laboratorium dapat membedakan
klon kakao tahan dan rentan, uji laboratorium mempunyai potensi untuk keliru
(misleading) karena klon yang mempunyai ketahanan cukup di lapang dapat
terserang patogen di laboratorium dengan menunjukkan bercak yang luas.
Perbedaan hasil inokulasi di laboratorium dan di lapangan selain masa inkubasi
yang lebih lambat 2 hari dibandingkan dengan laboratorium, juga perbedaan luas
bercak yang dihasilkan (Gambar 14 dan 15). Umumnya luas bercak yang
dihasilkan inokulasi di laboratorium cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
inokulasi di lapang untuk klon yang sama. Perbedaan perkembangan bercak
tersebut, selain kondisi lingkungan yang utamanya suhu dan kelembaban diduga
ada faktor lain yang berperan dalam mengatur mekanisme ketahanan beberapa
klon kakao tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mekanisme yang mengatur ketahanan kakao seperti enzim atau bahan kimia yang
ada dalam buah atau daun kakao.
78
Umumnya seleksi ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dilakukan
dengan inokulasi alami ataupun buatan, yang didasarkan pada jumlah organ sakit
dan keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator ini menunjukkan reaksi jaringan
terhadap serangan patogen, tetapi tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme
ketahanan yang bekerja pada satu atau beberapa tahap dari daur penyakit busuk
buah. Pengujian ketahanan dilakukan pada buah yang dipetik (detached pod)
maupun buah di pohon (attached pod). Uji pertama banyak diminati, namun
hasilnya kurang sesuai dengan kondisi lapangan karena uji ini mengabaikan
pengaruh lingkungan. Menurut Toxopeus & Jacob (1970 cit. Wood, 1985) ada
perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat lignifikasinya antar kultivar kakao
sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai faktor ketahanan terhadap
penyakit busuk buah.
Simpulan
1. Klon Sca 6 dan Pa 300 secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil
dibandingkan dengan klon yang lainnya baik di laboraorium maupun di
lapangan. Klon kakao yang menunjukkan tingkat ketahanan yang rentan di
laboratorium juga rentan di lapangan seperti klon GC7,
2. Hasil inokulasi di lapangan menghasilkan perkembangan luas bercak yang
lebih kecil dan masa inkubasinya lebih lamban dibandingkan dengan inokulasi
di laboratorium dengan masa inkubasi di lapang lebih lambat rata-rata 2 hari.
3. Penelitian ini menunjukkan bahwa uji ketahanan buah kakao terhadap P.
palmivora terbaik dilakukan pada buah di lapang. Pengujian di laboratorium
dengan buah yang dipetik dapat dilakukan apabila dalam setiap pengujian
disertakan klon tahan dan rentan sebagai pembanding, seperti Sca 6 dan GC 7.
79
Daftar Pustaka
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Press.New York.4th Ed.803.p.
Akai S & Fukutomi M. 1980. Preformed internal Physical Defenses.In J.A. Bailey & B.J. Deverall (Eds). Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydney.
Akrofi AY & Opoku IY. 2000. Managing Phytophthora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cocoa Pests and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October.
Chittor JM, Leach JE, & White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense against pathogens In Datta SK, Muthukrishnan S (Eds). Pathogenesis-Related Proteins in Plants. p.171-188. Science
Darmono TW, Jamil I & Santoso DA. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74: 86-95.
Duniaway JM. 1983. Role of Physical Factors in Development of Phytophthora Diseases. In D.C.Erwin SB Gracia, PH Tsao (Eds) Phytophtora Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. 175-188. APS. St. Paul.
El-Katatny MH, Gudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, & Gobitz GM. 2001. Characterzation of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 137-143.
Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p.
Goodwin T.W. & Mercer EI. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ. West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol 46: 557-565.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: effects of pathogen spesies, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol 46: 557-565.
Jacob VJ & Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, 556-564.
Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR, Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant. Mol. Biol. 33: 887-895.
80
Muller RA.1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: 259-265. Longman, London.
Neuhaus JM. 1999. Plant chitinase (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11) In: Datta SK, Muthukrishnan S (Eds). Pathogenesis-Related Proteins in Plants. London:CRC Pr. p. 77-105.
Oku H. 1994. Plants Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub. CRC Press. Tokyo. 119p.
Philips-Mora W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Pudjihartati E, Ilyas S & Sudarsono, 2006b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif perosidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13:166-172.
Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S & Sudarsono. 2006. Aktivitas Enzim Kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13: 73-78.
Rocha HM. 1974. Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of Cocoa: 211-218 Longman London.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Rubiyo, Sri-Sukamto & Iswanto A. 2000. Uji lapang ketahanan hibrida kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butler). Jurnal Stigma 1: 57-59.
Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK, & Azad P. 2006. Psedomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: 375-380.
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa: 197-202. Longman London.
Simmonds NW. 1994. Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers Bul 47:42-52.
Toxopeus H. 1999. Search for Phytophthora Pod Rot Resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18th
January.
Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 103-116. Longman London.
81
Wood. 1985. Establishment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London.
Wirianata H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta (tidak diterbitkan), 130p.
Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB & Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr. Purif . 40:230-236.
Zhang M, Melouk HA, Chenault K, & El Rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers yeast by capillary electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem. 49:5265-5269.
Zedooks. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p.
JUDUL 4. RESISTENSI KLON KAKAO TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl: RESPON 35 KLON KAKAO
BERDASARKAN UJI DETACHED POD
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon koleksi kakao terhadap
infeksi penyakit busuk buah P. palmivora. Tujuan penelitian yang dilakukan
antara lain: (i) menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi P. palmivora
berdasarkan uji detached pod, (ii) menentukan ada tidaknya hubungan antara tipe
kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora,
dan (iii) mengetahui klon kakao yang rentan pada koleksi plasma nutfah kakao
terhadap infeksi P. palmivora. Penelitian menggunakan buah kakao dari 35 klon
(umur 4 bulan setelah antesis) yang dipetik dari pohon dan diinokulasi dengan
miselia P. palmivora di laboratorium. Pengamatan dilakukan terhadap panjang
dan lebar bercak yang diakibatkan oleh infeksi P.palmivora pada buah kakao yang
diuji. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa klon ICCRI 1, PA 300, ICCRI
3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, Sca 6, TSH 858 dan ICS 60 merupakan 10 klon
kakao yang mempunyai tingkat resistensi tinggi terhadap infeksi P. palmivora.
Klon kakao yang sangat rentan adalah RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC
71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908 dan DRC 15. Klon kakao yang dapat
digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut adalah: ICCRI 1, PA
300, ICCRI 3, UIT 1, TSH 858, NIC 4, DR 38, ICS 13, dan Sca 6.
Kata kunci: Busuk buah, pemuliaan kakao, evaluasi plasma nutfah, uji ketahanan di laboratorium
RESISTANCE OF CACAO CLONES AGAINST PHYTOPHTHORA PALMIVORA BUTL. INFECTION: RESPONSE OF 35 CACAO BASED
ON DETACHED POD ASSAYS
Abstract
This research was conducted to evaluate the response of cacao collection
against infection of black pod disease due to Phytophthora palmivora. The
objectives of this experiment were (i) to evaluate the response of 35 cacao clones
against infection of P. palmivora using detached pod assay, (ii) to determine the
most resistance cacao clones, and (iii) to determine the most susceptible cacao
clones among evaluated cacao germplasm collection against infection of P.
palmivora. In the experiment, pods of 35 cacao clones (at 4 months after anthesis)
were harvested and inoculated with mycelia of P. palmivora in the laboratory.
Observations were conducted on length and width of necrotic symptoms because
of P. palmivora infection on the surface of the tested pods. Results of the
experiment showed that clones ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38,
ICS 13, TSH 858, SCA 6, and ICS 60 were the ten most resistant clones. On the
other hand, clones RCC 73(3), KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC71, BL 300, BL
301, KEE 2, TSH 908, and DRC 15 were the ten most susceptible clones.
Key words: Black pods, cacao breeding, germplasm evaluation, laboratory resistance tests
84
Pendahuluan
Strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan busuk buah kakao di
lapangan adalah dengan menanam klon kakao yang resisten terhadap
Phytophthora palmivora Butl. Sebagai patogen penyebab busuk buah kakao,
infeksi P. palmivora merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya kakao
rakyat di Indonesia (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Serangan penyakit
busuk buah kakao menyebabkan terjadinya penurunan hasil kakao hingga
mencapai 45.5% (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Di perkebunan kakao
rakyat, kehilangan hasil akibat serangan penyakit busuk buah kakao diduga lebih
tinggi lagi karena kurang intensifnya pemeliharaan tanaman yang dilakukan.
Pengembangan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi
P. palmivora perlu dilakukan untuk mengurangi penurunan hasil kakao akibat
infeksi P. palmivora di Indonesia. Klon kakao unggul yang lebih resisten atau
toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dirakit melalui hibridisasi terkontrol
antara tetua yang resisten atau toleran dengan yang berdaya hasil tinggi. Untuk
itu, identifikasi plasma nutfah kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P.
palmivora perlu dilakukan.
Dalam penelitian sebelumnya, isolat P. palmivora indigenus Indonesia telah
diisolasi dari buah kakao sakit dari lapangan (Rubiyo et al., 2008a). Isolat P.
palmivora yang mempunyai sifat patogenisitas tinggi telah diidentifikasi dan
dapat digunakan untuk menguji respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P.
palmivora. Selain itu, metode yang efektif untuk identifikasi klon kakao yang
resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora juga telah dikembangkan
(Rubiyo et al., 2008b). Selanjutnya, metode tersebut dapat digunakan untuk
menguji respon klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia terhadap
infeksi P. palmivora dan mengidentifikasi klon yang resisten atau toleran.
Kegiatan Penelitian telah dilakukan untuk pengembangan klon kakao yang
meningkat resistensinya terhadap infeksi P. palmivora dan berdaya hasil tinggi
(Sudarsono et. al. 2007). Keberhasilan pengembangan klon kakao unggul yang
lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora sangat tergantung pada
tersedianya klon kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora sebagai tetua
donor.
85
Klon-klon kakao di Kakao Indonesia umumnya termasuk ke dalam dua tipe
kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario (Las and Wood, (1985; Alvim,1997;
Opeke, 1982 dan Mawardi, 1982). Sementara jika dilihat dari bentuk buahnya
maka klon-klon kakao tersebut mempunyai bentuk buah amilado, angoleta,
calabasilo, atau candomaur (Engels, 1986; Cheesman, 1944 dan Ostendorf, 1956).
Ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buah klon-klon kakao
koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan respon ketahanan terhadap
infeksi P. palmivora merupakan hal yang menarik untuk diketahui karena dapat
dijadikan dasar pengembangan idiotipe klon-kakao unggulan.
Analisis komponen varian genetik untuk sifat ketahanan terhadap infeksi P.
palmivora dapat menghasilkan informasi yang berguna dalam mendukung
kegiatan pemuliaan tanaman (Begum & Sobhan, 1991), termasuk pemuliaan
tanaman kakao. Dengan didapatkannya nilai komponen varian genetik akan dapat
diduga pola penurunan sifat (heritabilitas) resistensi terhadap infeksi P. palmivora
pada kakao.
Sifat tanaman terekspresi sebagai pengaruh faktor genetik dan lingkungan
yang bertindak secara simultan (Allard, 1960). Parameter genetik digunakan
sebagai tolak ukur untuk mengetahuai peranan genetik terhadap penotipik sifat
tanaman. Oleh karena itu, pengukuran parameter genetik motlak harus dilakukan
dalam tahapan suatu kegiatan pemuliaan tanaman kakao.
Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut di atas maka perlu
dilakukan identifikasi klon kakao yang tahan atau toleran terhadap infeksi P.
palmivora, yang dapat digunakan sebagai donor sifat ketahanan. Tujuan penelitian
yang dilakukan antara lain: (i) menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi
P. palmivora berdasarkan uji detached pod, (ii) menentukan ada tidaknya
hubungan antara tipe kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap
infeksi P. palmivora, dan (iii) menghitung komponen varian genetik dan
melakukan pendugaan nilai heritabilitas sifat ketahanan kakao terhadap infeksi P.
palmivora..
86
Bahan dan Metode
Bahan Tanaman. Ketahanan klon kakao terhadap infeksi busuk buah diuji
dengan menggunakan uji detached pod di laboratorium. Dalam pengujian ini
digunakan buah kakao (35 klon - Tabel 11) yang berumur kurang lebih 4 bulan
sesudah antesis (buah telah berkembang sempurna tetapi belum masak). Buah
yang terbebas dari infeksi busuk buah dipanen dan digunakan untuk uji detached
pod di laboratorium.
Penyiapan Inokulum P. palmivora. Isolat P. palmivora indigenus LBSBR
yang diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a)
digunakan sebagai inokulum. Kultur patogen diinkubasikan selama tujuh hari
pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26oC. Hanya miselia patogen yang
sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum
miselia dalam percobaan.
Uji Detached Pod di Laboratorium. Sebelum diinokulasi dalam uji
detached pod, buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir.
Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam
5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA (diameter 8 mm)
dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan
sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah
yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan
aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air
steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak. Kotak inkubasi disungkup
dengan plastik untuk menjaga kelembabannya (100%) dan diletakkan dalam
ruang gelap pada suhu kamar (28o C) selama tujuh hari.
Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap. Unit percobaan
terdiri atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali.
Dalam percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao (3 buah/unit x 3 ulangan)
diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 35 klon
sehingga total buah yang diinokulasi dalam percobaan sebanyak 315 buah (3
buah/unit x 3 ulangan x 35 klon).
87
Tabel 11. Material genotipe kakao yang digunakan dalam evaluasi respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora.
No Nama Klon Kelompok kakao Keterangan Bobot 1 biji
kering Warna
Biji Segar 1 DR1 Mulia Indonesia > 1 g Putih 2 DR2 Mulia Indonesia > 1 g Putih 3 DRC16 Mulia Indonesia > 1 g Putih 4 DR38 Mulia Indonesia > 1 g Putih 5 ICS60 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 6 TSH 858 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 7 GC7 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 8 SCA 12 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 9 UIT1 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 10 Sca 6 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 11 Sca 8 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 12 SCA 12 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 13 Sca 89 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 14 KEE2 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 15 KEE 52 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 16 NW 6261 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 17 ICS13 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 18 NIC7 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 19 NIC 4 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 20 PA 300 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 21 PA7 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 22 PA 303 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 23 UF 667 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 24 DRC 15 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 25 RCC 70 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 26 RCC 71 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 27 RCC 72 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 28 RCC 73 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 29 ICRI 01 Lindak Indonesia > 1 g Putih 30 ICRI 02 Lindak Indonesia > 1 g Putih 31 ICRI 03 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 32 ICRI 04 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 33 TSH 908 Lindak Introduksi > 1 g Ungu
Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora.
Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah
inokulasi (HSI). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan
gejala dan terhadap panjang bercak (p) serta lebar bercak (l) yang muncul di
permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas
bercak (L) di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan
rumus L=3.14*([p+l]/4)2. Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk
88
mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P.
palmivora. Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah
diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora (tidak menghasilkan
bercak); tahan – jika luas bercak < 25 cm2, agak tahan – jika antara 25 – 50 cm2,
agak rentan – jika antara 50 - 75 cm2, rentan jika antara 75 - 100 cm2, dan sangat
rentan jika > 100 cm2.
Hubungan antara Tipe Kakao dan Bentuk Buah dengan Respon
Ketahanan. Tiga puluh lima klon kakao yang diuji dikelompokkan ke dalam dua
tipe kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario berdasarkan informasi yang didapat
dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Selain itu, bentuk buah masing-
masing klon yang diuji dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu amilado,
angoleta, calabasilo, atau candomaur. Selanjutnya, analisis dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara tipe kakao, bentuk buah, dan respon
ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora yang diuji dengan
menggunakan uji detached pod di laboratorium.
Ragam Genetik Kerentanan Kakao Berdasarkan Luas Bercak. Di
samping itu, dilakukan analisis sidik ragam dan nilai duga ragam genetik.
Identitas tetua yang menunjukkan hasil resisten akan digunakan sebagai calon
tetua donor P1 sedangkan yang rentan terhadap infeksi P. palmivora akan
digunakan sebagai tetua recurrent P2. Nilai luas bercak digunakan sebagai tolak
ukur ketahanan terhadap P. palmivora. Berdasarkan peubah tersebut dapat
dihitung nilai duga parameter genetik antara lain: daya waris arti luas (h2bs),
kovarian ragam genetik (KVG), respon seleksi (R) dan kemajuan genetik (KG%)
sesuai rumus (Singh & Chauddary, 1979) 222egp δδδ += ............................................................................................ (1)
222 / pgbsh δδ= ............................................................................................... (2)
pbshiR δ.. 2= ............................................................................................ (3)
%1002
xX
KVG g
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎣
⎡=
δ.......................................................................................................................... (4)
%100(%) xXRKG ⎥⎦⎤
⎢⎣⎡= ................................................................................. (5)
89
Keterangan:
X = rerata; i = intensitas seleksi;
2bsh = heritabilitas arti luas;
R = respon seleksi 2gδ = ragam genetik; 2pδ = ragam penotip;
KVG = kovarian ragam genetik
Hasil dan Pembahasan
Ketahanan Klon Kakao Terhadap Infeksi P. palmivora
Berdasarkan hasil pengamatan panjang bercak dari 35 klon kakao yang diuji
terdapat 5 klon kakao yang memiliki kisaran panjang bercak < 1 cm. Klon
tersebut adalah ICCRI 1, DR38, NIC4, Pa 300 dan UIT1. Empat belas klon kakao
memiliki kisaran panjang bercak > 1cm - <2 cm, sedangkan 16 klon kakao
lainnya memiliki panjang bercak dengan kisaran 2-2,9 cm (Tabel 12).
Klon kakao yang memiliki rata-rata lebar bercak terkecil dengan kisaran <
1cm adalah ICCRI 1, DR38, NIC4 dan Pa 300. Klon kakao yang menghasilkan
lebar bercak rata-rata 1-2 cm adalah klon ICCRI 3, UIT 1, ICS 13, NW 6261, DRI
dan ICS60. Klon yang menghasilkan lebar bercak rata-rata 2-3 cm terdapat 14
klon, klon yang lain memiliki lebar bercak > 3-4 cm.
Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora.
Hasil pengamatan rataan luas bercak pada buah kakao yang diberi perlakuan
inokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan metode detached pod assay
di laboratorium pada 3 - 7 hari sesudah inokulasi (HSI) disajikan pada Tabel 14.
Dari data yang didapat terlihat bahwa klon kakao ICRI 1, PA 300, ICRI 3, UIT 1,
NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6, dan ICS 60 merupakan 10 klon kakao
yang paling resisten terhadap infeksi P. palmivora di antara 35 klon kakao yang
diuji. Apabila digunakan sebagai salah satu variabel ketahanan klon kakao
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora, rataan pertambahan bercak tertinggi
adalah DRC 15 (52,50 cm2), rata-rata pertambahan bercak terkecil adalah ICCRI
1 (3,80 cm2).
90
Sebaliknya, kakao klon RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC71, BL
300, BL 301, KEE 2, TSH 908, dan DRC 15 merupakan 10 klon kakao yang
paling rentan terhadap infeksi P. palmivora di antara 35 klon kakao yang diuji.
Hubungan antara Tipe Kakao dan Respon Ketahanan
Tidak ada perbedaan ketahanan antara bentuk buah amelonado, angoleta
maupun candoaumr (Tabel 15 dan 16). Begitu juga pada tipe kakao, jenis
forastero tidak selalu memberikan ketahanan yang lebih baik dibandingkan jenis
yang lainnya. PA 300 yang masuk type Forastero merupakan jenis yang tahan
tetapi PA7 yang merupakan jenis yang sama sangat rentan terhadap inokulasi P.
palmivora. Begitu juga tipe kakao yang lain seperti Trinitario terdiri dari klon-
klon yang bervariasi dari tahan sampai sangat rentan. dengan demikian jenis atau
tipe kakao tidak bisa digunakan sebagai peubah untuk menentukan tingkat
ketahanan terhadap patogen ini. Hasil ini memberikan gambaran bahwa ketahanan
kakao tidak ditentukan oleh jenis atau tipe kakao tetapi ada gen lain yang
mengatur. Ketahanan kakao diduga cenderung mengikuti tipe mekanisme
ketahanan struktural maupun biokimia.
Permukaan daun dan permukaan buah kakao mempunyai alur primer yang
diperkirakan dapat mempengaruhi penyebaran, disposisi, dan pertumbuhan pra-
penetrasi inokulum. Bentuk buah akan mempengaruhi disposisi inokulum,
misalnya jenis kakao yang mempunyai kulit yang kasar akan menahan air di
antara kulit kakao, sehingga inokulum akan berkecambah dan menetrasi pada
buah kakao. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ini permukaan buah dan
stomata daun tidak bisa dijadikan sebagai variabel ketahanan klon yang diuji
terhadap infeksi P. palmivora. Ciri morfologi buah tidak berkorelasi dengan
ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan peran mekanisme
biokimiawi (Iwaro et al., 1997).
91
Tabel 12.Rataan panjang bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI)
Panjang bercak pada hari pengamatan (HSI)
Klon kakao 3 4 5 6 7
Rataan pertambahan
panjang (cm/hari)*
ICCRI 1 0.00 0.06 0.06 0.83 0.83 0.2 DR 38 0.78 1.06 1.56 1.89 1.89 0.3 NIC 4 0.44 0.72 0.94 3.00 3.00 0.6 PA 300 0.00 0.48 1.39 2.42 3.38 0.8 ICCRI 3 0.00 0.83 1.56 2.59 3.80 1.0 UIT 1 0.37 1.22 2.39 3.21 4.10 0.9 BL 97 0.00 0.94 1.24 5.03 5.03 1.3 NW 6261 0.83 2.39 3.08 5.17 5.17 1.1 SD 6225 0.06 0.28 1.67 5.67 5.67 1.4 TSH 858 0.28 1.44 3.11 5.06 6.33 1.5 SCA 6 0.00 2.16 4.13 5.63 6.90 1.7 DR 1 1.60 2.81 4.44 6.30 7.77 1.5 RCC 71 2.33 2.33 3.94 5.92 7.77 1.4 ICCRI 2 1.24 2.47 4.30 7.86 7.86 1.7 NIC 7 1.42 2.00 2.58 8.06 8.06 1.7 PA 303 1.83 3.60 5.28 6.93 8.21 1.6 ICS 60 0.41 1.99 3.93 6.58 8.36 2.0 ICS 13 1.03 2.39 4.30 6.88 8.40 1.8 RCC 72 1.99 4.00 5.80 7.31 8.78 1.7 KKM 22 0.64 2.52 4.74 6.82 8.97 2.1 PA 7 1.34 2.27 4.42 7.13 8.97 1.9 ICCRI 4 0.87 2.47 4.30 6.86 9.08 2.1 SCA 12 1.31 2.78 4.97 6.99 9.17 2.0 DR 2 1.50 3.30 5.33 7.60 9.39 2.0 SCA 89 2.93 3.82 5.74 7.86 9.89 1.7 PBC 123 1.08 2.94 5.26 8.20 10.00 2.2 RCC 70 1.78 3.56 5.89 8.09 10.32 2.1 RCC 73 1.78 3.50 5.91 7.89 10.90 2.3 DRC 16 1.73 3.76 6.00 8.72 11.38 2.4 BL 300 2.47 4.34 6.79 8.69 11.73 2.3 KEE 2 2.61 4.77 7.17 9.47 11.76 2.3 BL 301 0.96 1.86 3.49 5.36 12.40 2.9 GC 7 3.04 5.54 8.33 11.03 12.62 2.4 TSH 908 2.89 5.38 7.92 10.68 12.98 2.5 DRC 15 2.93 5.16 7.48 10.38 13.23 2.6
Catatan: *Rataan pertambahan panjang bercak (∆p) dihitung dengan rumus ∆p=∑(Xn-X(n-1))/N. Xn adalah rataan panjang bercak pada hari ke n dan X(n-1) adalah rataan panjang bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan.
92
Tabel 13. Rataan lebar bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI).
Lebar bercak pada hari pengamatan (HSI)
Klon kakao 3 4 5 6 7
Rataan pertambahan
lebar (cm/hari)
ICCRI 1 0.00 0.06 0.06 2.19 2.19 0.5 DR 38 0.72 1.11 1.44 2.91 2.91 0.5 NIC 4 0.33 0.56 0.83 3.67 3.67 0.8 PA 300 0.00 0.38 1.13 2.48 3.76 0.9 ICCRI 3 0.00 0.74 1.38 2.20 4.46 1.1 UIT 1 0.20 1.06 1.97 3.13 4.94 1.2 ICS 13 0.77 1.97 3.22 4.36 5.76 1.2 NW 6261 0.78 1.87 2.37 6.08 6.08 1.3 SD 6225 0.06 0.37 2.52 8.03 8.03 2.0 DR 1 1.31 2.51 3.91 6.22 9.09 1.9 SCA 6 0.00 2.30 4.67 7.16 9.39 2.3 ICS 60 1.73 1.70 3.76 6.21 9.41 1.9 BL 97 0.00 2.11 2.11 9.51 9.51 2.4 RCC 71 1.83 1.83 3.37 5.93 9.80 2.0 TSH 858 0.39 1.33 3.48 5.48 9.91 2.4 NIC 7 1.50 2.87 3.48 10.21 10.21 2.2 ICCRI 2 1.17 2.94 5.56 10.61 10.61 2.4 PA 303 1.79 1.88 5.88 1.88 12.07 2.6 PBC 123 1.01 2.69 4.96 8.23 12.18 2.8 PA 7 1.10 2.42 4.96 9.23 12.17 2.8 RCC 72 1.99 4.09 6.36 9.21 12.20 2.6 ICCRI 4 0.74 2.28 4.02 8.16 12.49 2.9 DR 2 1.32 2.64 4.83 7.50 12.67 2.8 SCA 89 3.16 3.57 6.51 9.87 12.69 2.4 SCA 12 1.13 3.16 5.30 9.40 12.83 2.9 RCC 70 1.53 3.69 6.59 10.27 14.28 3.2 BL 300 2.43 4.89 7.61 11.28 14.49 3.0 DRC 16 1.52 3.74 7.18 11.59 14.66 3.3 KKM22 0.64 2.93 5.21 9.71 15.09 3.6 RCC 73 1.64 3.86 6.39 10.44 15.21 3.4 BL 301 0.97 1.91 3.97 6.37 15.24 3.6 GC 7 3.16 6.43 9.77 13.72 15.56 3.1 KEE 2 2.27 5.44 8.88 27.68 16.91 3.7 TSH 908 3.37 6.61 10.39 15.07 19.18 4.0 DRC 15 2.64 5.86 9.51 15.53 19.86 4.3
Catatan: *Rataan pertambahan lebar bercak (∆l) dihitung dengan rumus ∆l=∑(Xn-X(n-1))/N. Xn adalah rataan lebar bercak pada hari ke n dan X(n-
1) adalah rataan lebar bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan.
93
Tabel 14. Rataan luas bercak pada buah yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 3 - 7 hari sesudah inokulasi (HSI)
3 4 5 6 7 HSI
DRC15 6,1 23,8 56,6 131,7 214,9 41,8TSH908 7,7 28,2 65,8 130,1 203,0 39,1KEE2 4,7 20,5 50,6 270,8 161,3 31,3GC7 7,5 28,1 64,3 120,2 155,8 29,7BL301 0,7 2,8 10,9 27,0 149,9 29,8BL300 4,7 16,7 40,7 78,3 134,9 26,0RCC73 2,3 10,6 29,7 65,9 133,8 26,3DRC16 2,1 11,0 34,1 81,0 133,1 26,2RCC70 2,2 10,3 30,6 66,2 118,8 23,3KKM22 0,3 5,8 19,4 53,6 113,6 22,7SCA89 7,3 10,7 29,4 61,7 100,1 18,6PBC123 0,9 6,2 20,5 53,0 96,5 19,1DR2 1,6 6,9 20,3 44,7 95,5 18,8SCA12 1,2 6,9 20,7 52,7 95,0 18,8ICCRI4 0,5 4,4 13,6 44,3 91,3 18,2PA7 1,2 4,3 17,3 52,5 87,7 17,3RCC72 3,1 12,8 29,0 53,6 86,4 16,7PA303 2,6 5,9 24,4 15,2 80,7 15,6ICCRI2 1,1 5,7 19,1 66,9 66,9 13,2NIC7 1,7 4,7 7,2 65,5 65,5 12,8ICS60 0,9 2,7 11,6 32,1 62,0 12,2RCC71 3,4 3,4 10,5 27,6 60,6 11,4DR1 1,7 5,6 13,7 30,8 55,8 10,8SCA6 0,0 3,9 15,2 32,1 52,1 10,4TSH858 0,1 1,5 8,5 21,8 51,8 10,3BL97 0,0 1,8 2,2 41,5 41,5 8,3ICS13 0,6 3,7 11,1 24,8 39,3 7,7SD6225 0,0 0,1 3,4 36,8 36,8 7,4NW6261 0,5 3,6 5,8 24,8 24,8 4,9UIT1 0,1 1,0 3,7 7,9 16,0 3,2ICCRI3 0,0 0,5 1,7 4,5 13,4 2,7PA300 0,0 0,1 1,2 4,7 10,0 2,0NIC4 0,1 0,3 0,6 8,7 8,7 1,7DR38 0,4 0,9 1,8 4,5 4,5 0,8ICCRI 1 0,0 0,0 0,0 1,8 1,8 0,4
Klon kakaoLuas bercak pada hari pengamatan (HSI) Rataan
pertambahan luas (cm2/hari)*
Catatan: *Rataan pertambahan luas bercak (∆L) dihitung dengan rumus
∆L=∑(Xn-X(n-1))/N (Rumus 6). Xn adalah rataan luas bercak pada hari ke n dan X(n-1) adalah rataan luas bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan.
94
Tabel 15. Persentase buah tanpa gejala, rataan luas bercak dan pengelompokan respon terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI)
Klon kakao Buah tanpa gejala (%) Luas bercak (cm2) Respons*
DRC15 0 214,9 SRTSH908 0 203,0 SRKEE2 0 161,3 SRGC7 0 155,8 SRBL301 0 149,9 SRBL300 11,1 134,9 SRRCC73 33,3 133,8 SRDRC16 0 133,1 SRRCC70 0 118,8 SRKKM22 11,1 113,6 SRSCA89 11,1 100,1 SRPBC123 0 96,5 RTDR2 0 95,5 RTSCA12 0 95,0 RTICCRI4 0 91,3 RTPA7 0 87,7 RTRCC72 11,1 86,4 RTPA303 33,3 80,7 RTICCRI2 44,4 66,9 ARNIC7 33,3 65,5 ARICS60 11,1 62,0 ARRCC71 0 60,6 ARDR1 11,1 55,8 ARSCA6 22,2 52,1 ARTSH858 11,1 51,8 ARBL97 44,4 41,5 ATICS13 0 39,3 ATSD6225 44,4 36,8 ATNW6261 44,4 24,8 THUIT1 55,6 3,2 THICCRI3 33,3 13,4 THPA300 55,6 10,0 THNIC4 77,8 8,7 THDR38 88,9 4,5 THICCRI1 77,8 1,8 TH Catatan: *TH: tahan (luas bercak < 25 cm2), AT: agak tahan (25-50 cm2), AR:
agak rentan (50-75 cm2), RT: rentan (75-100 cm2), dan SR: sangat rentan (> 100 cm2) terhadap infeksi P. palmivora.
95
Tabel 16. Tipe kakao, bentuk buah dan pengelompokan respon klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Penentuan respon didasarkan pada luas bercak yang diamati pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI)
Klon kakao Tipe kakao* Bentuk buah* Respons**
DRC15 Trinitario Angoleta SRTSH908 Trinitario Angoleta SRKEE2 Forastero Angoleta SRGC7 Trinitario Candomaur SRBL301 Forastero Amilonado SRBL300 Forastero Amilonado SRRCC73 Forastero Calabasilo SRDRC16 Trinitario Angoleta SRRCC70 Forastero Calabasilo SRKKM22 Unknown Unknown SRSCA89 Forastero Angoleta SRPBC123 Trinitario Angoleta RTDR2 Trinitario Angoleta RTSCA12 Forastero Angoleta RTICCRI4 Trinitario Calabasilo RTPA7 Forastero Amilonado RTRCC72 Forastero Calabasilo RTPA303 Forastero Amilonado RTICCRI2 Trinitario Angoleta ARNIC7 Forastero Angoleta ARICS60 Trinitario Angoleta ARRCC71 Forastero Calabasilo ARDR1 Trinitario Angoleta ARSCA6 Forastero Angoleta ARTSH858 Trinitario Angoleta ARBL97 Forastero Amilonado ATICS13 Trinitario Angoleta ATSD6225 Trinitario Angoleta ATNW6261 Forastero Angoleta THUIT1 Trinitario Angoleta THICCRI3 Trinitario Calabasilo THPA300 Forastero Amilonado THNIC4 Forastero Angoleta THDR38 Trinitario Angoleta THICCRI1 Trinitario Angoleta TH Catatan: *Data tipe kakao dan bentuk buah diperoleh dari Puslit Kopi dan Kakao
Indonesia. **TH: tahan - jika luas bercak < 25 cm2, AT: agak tahan - jika luas bercak 25-50 cm2, AR: agak rentan - jika luas bercak 50-75 cm2, RT: rentan - jika luas bercak 75-100 cm2, dan SR: sangat rentan terhadap infeksi P. palmivora - jika luas bercak > 100 cm2.
96
Persentase buah tanpa gejala (Tabel 15), kakao yang memiliki respon tahan
sampai dengan agak tahan menunjukkan rata-rata buah yang tidak bergejala cukup
tinggi yaitu antara 55.6 – 88,9%. Terkecuali ICS 13 walaupun masuk dalam
kelompok agak tahan, tetapi seluruh buah yang diuji terinfeksi P. palmivora.
Begitu juga ICCRI 3 yang mempunyai 66,7% buah terinfeksi walaupun masuk
kelompok agak tahan. Klon ICS 13 memiliki luas bercak 45,2 cm2, hal ini
mengindikasikan bahwa P. palmivora tidak mampu mendegradasi sel buah kakao
tersebut, sehingga bercak tidak dapat berkembang secara cepat. Diduga klon
tersebut memiliki mekanisme pertahanan sehingga mampu menghentikan laju
degradasi sel yang disebabkan oleh infeksi patogen tersebut.
Pendugaan Nilai Duga Ragam Genetik
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata genotipe
terhadap peubah luas bercak pada hari ke 6 dan ke 7 pada aras 5%. Peubah-
peubah tersebut merupakan tolak ukur ketahanan tanaman pasca penetrasi pada
buah sehingga ini menunjukkan bahwa faktor genetik berpengaruh nyata terhadap
ketahanan terhadap P. palmivora. Luas bercak merupakan tolak ukur utama
terhadap P. palmivora (Iwaro et al., 2000), sehingga bahasan ini akan
menitikberatkan pada peubah luas bercak.
Nilai duga heritabilitas arti luas peubah luas bercak hari ke 6 dan ke 7
setelah inokulasi tergolong sedang dan tinggi (Tabel 17). Nilai duga daya waris
ini merupakan parameter genetik yang mengungkap proporsi ragam genetik
terhadap ekspresi sifat-sifat tersebut. Kontribusi ragam genetik terhadap ekspresi
luas bercak masing-masing adalah (36,9%) dan (53,2%). Hal ini menunjukkan
bahwa peran faktor genetik terhadap ekspresi kerentanan tanaman terjadi secara
berimbang dengan pengaruh faktor non genetik. Faktor non genetik dalam hal ini
lingkungan (suhu dan kelembaban). Patogen ini akan menginfeksi jika terjadi
kelembapan yang tinggi. Apabila tidak tercapai kelembaban minimal yang
dibutuhkan untuk menumbuhkan miselia patogen tersebut, maka patogen tidak
mampu menginfeksi buah kakao oleh karena itu kelembaban sangat berperan
dalam uji ketahanan.
Nilai heritabilitas merupakan tolak ukur pendugaan keefektifan seleksi
(Johnson et al., 1995). Berdasarkan hasil ini, seleksi akan kurang efektif bila
97
dilakukan saat kondisi faktor-faktor non genetik kurang mendukung. Terdapat 2
faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap ekspresi kerentanan tanaman
kakao terhadap P. palmivora yaitu tingkat kelebatan buah (Kebe et al., 1996;
Nyasse et al., 1996) dan kemampuan tanaman menghindari (escape) infeksi P.
palmivora (Kebe et al., 1996).
Nilai koefisien ragam genetik (KVG) merupakan tolak ukur variabilitas
genetik tanaman. Berdasarkan tolak ukur ini variabilitas kerentanan terhadap P.
palmivora termasuk kategori luas karena KVG peubah yang diukur lebih besar
dari pada dua kali standar deviasi ragam genetik (Tabel 17). Hal ini menunjukkan
bahwa ada variasi yang tinggi untuk sifat kerentanan terhadap P. palmivora. Oleh
karena itu perbaikan genetik ketahanan terhadap P. palmivora melalui cara seleksi
cukup baik sebab tersedia variasi genetik yang besar. Peubah luas bercak
merupakan tolak ukur ketahanan yang menggambarkan respon kerentanan
tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa seleksi yang mendasarkan kriteria ini
dianggap sebagai proses seleksi negatif.
Tabel. 17. Nilai duga ragam genetik luas bercak setelah inokulasi hari ke 6 dan ke 7
Parameter genetik Peubah σ2g σ2p h2
bs KVG (%) Luas bercak hari ke 6 5,607 15,198 0,369 30.519 Luas bercak hari ke 7 6,954 13,059 0,532 33,986
Keterangan: Varian genetik (σ2g ) Varian penotip ( σ2p) Heritabilitas arti luas ( h2bs)
Kovarian ragam genetik ( KVG)
Artinya bahwa kemajuan genetik diukur berdasarkan intensitas seleksi
terhadap genotipe yang tidak diikutkan dalam proses seleksi lanjut. Berdasarkan
hasil ini terdapat 8 klon yang mempunyai luas bercak lebih kecil dibandingkan
klon Sca 6, dan 26 klon yang lain tidak layak diikutkan seleksi lanjut. Dengan
demikian nilai intensitas seleksi adalah i = 26/35 x 100% = 74, 28%. Genotipe
yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut terdiri 8 klon
( ICCRI 1, ICCRI 3, ICS 13, UIT 1, TSH 858, Pa 300, NIC4 dan DR 38) (Tabel
15).
98
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji ketahanan terhadap 35 klon kakao di
laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Klon kakao yang tahan adalah klon ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4,
DR 38, ICS 13, Sca 6, TSH 858 dan ICS 60.
2. Klon kakao yang sangat rentan adalah RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16,
RCC 71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908 dan DRC 15.
3. Klon kakao yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih
lanjut adalah: ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, TSH 858, NIC 4, DR 38,
ICS 13, dan Sca 6.
Daftar Pustaka
Alvim PT. 1977. Cocoa. In P.T. Alvim & T.T. Kozlowski (Eds) Ecophysiology of Tropical Crops: 279-313. Academic Press. New York.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal.
Engels JMM. 1986. Systematic Description of Cocoa Clones and Significance for Taxonomy and Plant Breeding. PhD Disertasion. Agricultural University Wageningen. 125p.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
Johnson R. 1978. Practical breeding for durable resistance to rust diseases in self-pollinating cereal. Euphytica 27: 529-540.
Kebe IB, Goran JAKN, Tahi GH, Paulin D, Clement D & Eskes AB. 1999. Pathology and Breeding for Resistance to Black Pod in Cote d’Ivorie. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. P:135-140. Salvador Bahia, Brasil. 12-26th November.
Mawardi S. 1996. Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika Terhadap Penyakit Karat Daun (Hemileia vastatrix B.et Br) di Indonesia.[Disertasi]. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 219 hal.
Opeke LK & Gorenz AM. 1974. Phytophthora Pod rot: Symptoms and Economic Importance. In P.H. Gregory (Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa: 117-124. Longman, London
99
Prawirosoemardjo S & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl) Butl. pada buah dan batang pada beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: 67-72
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Susilo AW, Suhendi D & Sri-Sukamto. 2002. Ragam Genetik Kerentanan Tanaman Kakao terhadap Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan 18: 1-9.
Sudarsono A. Purwantara & Suhendi D. 2007. Molecular Technique and Plant Breeding to Speed up the Development of Cacao (Theobroma cacao L.) Cultivar with Resistance against Black Pod Disease Due to Phytophthora palmivora Butl. Infection. KKP3T Research Report, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. 122 hlm.
Wood. 1985. Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London.
JUDUL 5. AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PEROKSIDASE SERTA KERAPATAN STOMATA PADA KETAHANAN KAKAO (Theobroma
cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( Phytophthora palmivora)
Abstrak
Penelitian berdasarkan morfologi yang terkait dengan ketahanan sruktural
seperti kerapatan stomata dan ketahanan kimiawi yang melibatkan enzim-enzim
kitinase maupun peroksidase perlu dilakukan, sehingga mekanisme ketahanan
tanaman kakao terhadap patogen ini dapat diketahui. Penelitian berlangsung pada
bulan Juni 2008 hingga Februari 2009, bertempat di Laboratorium Penyakit dan
Kebun Percobaan Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di
Jember. Jawa Timur. Penelitian analisis kitinase dan peroksidase berlangsung di
Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil pengamatan
stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada daun maupun buah tidak
memberikan korelasi yang tinggi terhadap ketahanan. Jumlah stomata tidak
berbeda nyata antara kelompok klon yang tahan maupun rentan. Klon kakao
yang tahan tidak selalu menunjukkan jumlah stomata yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang rentan. Atau klon kakao yang rentan tidak selalu
memiliki jumlah stomata yang banyak pada daun maupun pada buah. Aktivitas
kitinase dan peroksidase klon kakao yang diuji mengindikasikan ada peran
kitinase terhadap ketahanan kakao dari infeksi P. palmivora. Peningkatan
aktivitas kitinase klon yang tahan umumnya lebih konsisten, begitu juga pada
enzim peroksidase. Klon kakao yang rentan, dan tidak memiliki peningkatan
aktivitas enzim peroksidase adalah klon DRC 15 dan DRC 16, sehingga klon
tersebut termasuk dalam kelompok sangat rentan.
Kata kunci: aktivitas kitinase, peroksidase, stomata, P. palmivora, ketahanan kakao.
ACTIVTIES OF CHITINASE AND PEROXIDASE ENZYMES AND STOMATA DENSITY IN CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANT
AGAINST BLACK POD DISEASE (Phytophthora palmivora)
Abstract
Research based on morphology which is related to structural resistance such
as stomata density and chemical resistance involving chitinase and peroxidase
enzymes needs to be conducted, therefore cacao resistance mechanism against
this pathogen can be determined. Research took place in June 2008 till February
2009 in Disease Laboratory and Kaliwining Experimental Garden, Indonesian
Coffee and Cacao Research Institute, Jember, East Java. Analyses on chitinase
and perxidase took place in PAU Laboratory of Bogor Agriculture Institute (IPB).
Based on stomata observations of 10 clones, the stomata density in pod and leaf
does not give high correlation to the resistance. Cacao clone which is resistant
does not always yield low stomata density compared to that of being susceptible.
Cacao clone which is susceptible does not always have high stomata density in
pod and leaf. The number of stomata between resistant and susceptible clones is
not significantly different. The activities of chitinase and peroxidase enzymes
upon tested clones indicated that there was chitinase role to the resistance of cacao
against the infection by P. palmivora. The chitinase activity in resistant clones
generally intensifies consistently, and so does peroxidase enzyme. Susceptible
cacao clones whose peroxidase activity do not increase are DRC 15 and DRC 16
and they belong to very susceptible clones.
Keywords: chitinase activity, peroxidase, stomata, P. palmivora, cacao resistance.
102
Pendahuluan
Pemanfaatan bahan tanam kakao tahan terhadap penyakit busuk buah
merupakan pemecahan masalah tersebut untuk jangka panjang. Simmonds (1994)
menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan
lebih bersifat horizontal dari pada vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan
tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif
(ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural
dan biokimia. Duniway (1983) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap
Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas,
reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia.
Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem
multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan
prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan
faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi
patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi
berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya
jaringan yang diserang patogen (Iwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan
bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali
perkembangan selanjutnya terhambat.
Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi.
Menurut Fry (1982) walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah
jaringan terpenetrasi, karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan
inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada
disposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao
dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora.
Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air
permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974)
menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada
perkecambahan spora.
Diperkirakan ketahanan terhadap patogen ini terletak pada beberapa lapisan
sel parenkima di bawah epidermis. Enriquez & Soria (1999) menunjukkan bahwa
setiap buah kakao yang tahan terhadap M. roreri mempunyai pengaturan selular
103
parenkim sub epidermis yang berbeda dibandingkan buah rentan. Buah tahan
mempunyai sel-sel yang kompak dan juga mengandung sejumlah besar senyawa
fenolat. Lignifikasi dinding sel merupakan suatu bentuk ketahanan tanaman
terhadap penetrasi patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam lamela tengah,
dinding sel primer dan sekunder (Akai & Fukutomi, 1980). Menurut Friend
(1979) lignifikasi merupakan suatu mekanisme ketahanan mentimun terhadap
Cladosporium cucumerinum. Penggabungan lignin ke dalam dinding sel tanaman
memberikan kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding sel lebih tahan
terhadap degradasi enzim patogen (Goodwin & Mercer, 1990).
Tumbuhan memiliki berbagai mekanisme untuk melindungi dari berbagai
infeksi patogen tanaman yang berpotensi merusak, antara lain dengan mensintesis
berbagai protein yang menghambat perkembangan patogen. Protein lain yang
berhubungan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase
dan peroksidase. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan
komponen utama penyusun dinding sel cendawan. Kitinase adalah enzim yang
umum diproduksi oleh sel bakteri, cendawan, hewan dan tumbuhan. Hidrolisis
polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding hifa cendawan dapat
menghambat pertumbuhan hifa. Oleh karena itu, kitinase dikenal sebagai salah
satu protein anti cendawan (Wang et al., 2005) Menurut Oku (1994), peranan
kitinase pada ketahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua
cara, adalah (i) menghambat pertumbuhan cendawan dengan secara langsung
menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melepaskan elisitor endogen
oleh aktivitas kitinase yang kemudian meningkatkan reaksi ketahanan sistemik
(systemic acquired resistance/SAR) pada inang.
Peroksidase merupakan enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap
patogen dan termasuk kedalam PR-9 (Lagrimini et al., 1997). Oku (1994)
menyatakan bahwa peroksidase berperan dalam proses oksidase dan polimerisasi
prekusor untuk biosentesis lignin, sementara lignin sendiri berfungsi sebagai
barier fisik yang dapat menghambat infeksi patogen pada tanaman. Peroksidase
juga menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan dalam
pengujian in vitro (Saikia et al., 2006). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada
tanaman terkait dengan ketahanan tanaman lebih tinggi terhadap patogen pada
104
kacang tanah (Pujihartati et al., 2006). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui peran kitinase maupun peroksidase di dalam mekanisme
ketahannn tanaman kakao, pada klon yang tahan maupun rentan.
Bahan dan Metode
A. Penelitian Kerapatan Stomata pada Buah dan Daun Kakao
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung pada bulan Desember 2008 hingga bulan Februari
2009, bertempat di Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur dan Laboratorium Ekofisiologi Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Pengamatan Stomata Daun Kakao
Bahan penelitian adalah 10 klon kakao yang mewakili kelompok rentan
hingga tahan merupakan hasil penelitian pada Bab III. Klon kakao tersebut
adalah: ICCRI 3, GC 7, DR 2, TSH 858, ICS 13, Sca 6, DR 1, DRC 15, DRC 16
dan ICS 60. Daun yang masih segar diambil dari dua pasang dari daun ke-2 yang
masih dipohon. Bagian permukaan bawah daun dioles cat kuku dan aseton dengan
merata, dibiarkan selama 15 menit sampai kering, kemudian selotip transparan
ditempelkan agar stomata daun kakao terikut. Stomata yang terikut di selotip
ditempelkan pada gelas obyek kemudian diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100 x. Untuk mempermudah pengamatan stomata, gambar stomata
dari kamera Canon tipe digital IXUS 60 dipindahkan ke komputer. Penghitungan
jumlah stomata dengan menggunakan handcounter. Parameter yang diamati
adalah kerapatan stomata (cm²), yang dilakukan 5 kali pada 3 bidang pandang
sebagai ulangan.
Pengamatan Stomata Buah Kakao
Pengamatan stomata pada kulit buah kakao menggunakan klon dan metode
yang sama dengan penelitian stomata pada daun. Pengukuran kerapatan stomata
permukaan kulit buah dilakukan dengan menggunakan buah kakao umur 3 bulan
105
(dari saat antesis). Bagian permukaan kulit buah dioles cat kuku dan aseton
dengan merata sampai kering, kemudian ditempelkan selotip transparan agar
stomata buah kakao terikut. Stomata yang terikut di selotip ditempelkan pada
gelas obyek kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 x.
Data dari hasil pengamatan terhadap stomata buah dan daun kemudian ditabulasi
untuk dilakukan analisis statistik dengan menggunakan program SAS versi 9.
B. Penelitian Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Daun pada Beberapa Klon Kakao.
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung mulai bulan Januari sampai Mei 2009, dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Tumbuhan PAU Institut Pertanian Bogor.
Bahan Penelitian
Penelitian menggunakan 10 klon kakao (sama dengan penelitian A) yaitu
ICCRI 3, GC 7, DR 2, TSH 858, ICS 13, Sca 6, DR 1, DRC 15, DRC 16 dan ICS
60 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Daun sehat berumur sekitar 3 minggu
(warna hijau muda) dipilih dan diberi tanda untuk digunakan dalam penelitian.
Salah satu daun dari pasangan daun dipilih untuk diinokulasi dengan
menempelkan potongan media V8 juice agar diameter 0,5 cm yang mengandung
miselia P. palmivora umur 14 hari pada permukaan daun, kemudian ditutup
dengan kapas basah. Daun disungkup dengan plastik transparan yang bagian
ujungnya diikat dengan karet dan ditutup dengan selotip. Hal ini agar kelembaban
yang tinggi dapat tercapai sehingga miselia dapat tumbuh dan berkembang.
Setelah 7 hari dari saat inokulasi, daun yang diinokulasi dan telah terinfeksi oleh
P. palmivora (ditandai dengan bercak kecoklatan membulat) dipetik dan diberi
label sesuai dengan klonnya lalu dimasukkan dalm cool box untuk dianalisis di
laboratorium. Daun sehat (tidak diinokulasi) dari pasangan daun dipetik untuk
dijadikan pembanding (kontrol).
106
Ekstraksi Protein
Ekstraksi protein dari jaringan daun yang terinfeksi maupun yang sehat
dilakukan dalam kondisi lingkungan yang bersuhu sekitar 4°C. Daun sebanyak 0,5
g basah digerus dalam larutan penyangga fosfat (50 mM pH 7) dingin dengan
perbandingan 1:4 (b/v). Gerusan daun yang sehat maupun yang terinfeksi
disentrifus pada kecepatan 5000 rpm dan suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan
diambil dan ditentukan total protein terlarutnya (TPT) menggunakan metode
yang dijelaskan oleh Pujihartati et al. (2006a) dan Sukma (2008).
Analisis Total Protein Terlarut (TPT)
Untuk penetapan total protein terlarut digunakan bahan-bahan pereaksi A
(Na2CO3 dalam NaOH 0,1 M), B (CuSO4. 5H2O 0,5% dalam Na-K-tartrat 1%),
C (50 ml pereaksi A ditambah 1 ml pereaksi B yang dibuat segar) dan D (foline
ciocalteau yang dilarutkan dalam H2O dengan perbandingan 1:1). Penetapan TPT
dengan metode Lowry secara ringkas sebagai berikut: sebanyak 1 ml supernatant
hasil ekstraksi protein ditambahkan 5 ml pereaksi C, divorteks, kemudian
didiamkan pada suhu ruang selama 10 menit. Larutan tersebut kemudian ditambah
pereaksi D dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah inkubasi,
absorbansi larutan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 500
nm. Total protein terlarut ditetapkan dengan menggunakan kurva standar dari
Bovin Serum Albumin (BSA). Kadar protein jaringan ditentukan dengan
membagi nilai TPT dengan bobot contoh yang digunakan dan memperhitungkan
volume bufer pengekstraksi.
Analisis Aktivitas Kitinase
Aktivitas kitinase dalam ekstrak kasar protein dari daun tanaman yang sehat
dan yang terinfeksi P. palmivora pada 10 klon kakao dianalisis berdasarkan
kemampuannya untuk mendegradasi substrat dimmer p-nitrophenil N-asetil β-D
glucosaminide (pNP-NacGluc) mengikuti prosedur yang digunakan oleh
Pujihartati et al. (2006a). Sebanyak 100 µl supernatant hasil ekstrak kasar protein
dicampur dengan 10 µl subtract pNP-NacGluc 5 mM, lalu divortek dan
selanjutnya diinkubasi selama 0 dan 3 jam. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan
107
dengan menambahkan Trichlocetic Acid (TCA) 20% sebanyak 25 µl, divorteks,
lalu disentrifus pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifus diambil
0,3 ml dan ditambahkan 0,7 ml NaOH 0,5 mM. Kemudian larutan diinkubasikan
selama 30 menit dan nilai absorbsi larutan setelah reaksi diukur dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 405 nm. Aktivitas
kitinase dihitung berdasarkan banyaknya pNP NacGluc (nM)yang dibebaskan per
jam per mg protein (mM pNP/jam/mg protein).
Analisis Aktivitas Peroksidase
Aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein daun kakao yang
sehat dan yang sakit dari 10 klon kakao ditentukan dengan metode Kar & Mishra
(1976) dan Pujihartati et al. (2006b). Ekstrak kasar protein (100 µl) dari daun
yang diuji ditambahkan ke dalam larutan 2,5 ml pirogalol 0,2 M. Kemudian ke
dalam campuran ditambahkan 250 µl H2O2 (1%). Nilai absorbansi larutan sesudah
reaksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ
420 nm setiap 30 detik dalam periode 0 – 150 detik, dengan menggunakan blanko
yang mengandung campuran larutan yang sama tetapi tanpa ekstrak kasar protein.
Sebagai pengganti ekstrak kasar protein, ke dalam larutan blanko ditambahkan
larutan penyangga fosfat. Aktivitas peroksidase dihitung sebagai peningkatan nilai
absorbansi persatuan waktu per bobot protein (ΔA420/menit/mg protein) pada
kondisi analisis.
Hasil dan Pembahasan
Kerapatan Stomata Berdasarkan hasil analisis kerapatan stomata pada daun kakao diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah stomata yang nyata antara klon kakao
yang tahan dengan klon yang rentan. . Klon kakao ICCRI 3 dan ICS 13 yang
masuk dalam kelompok agak tahan memiliki kerapatan jumlah stomata terkecil
berturut-turut 82,14 dan 83,75/cm2, sedangkan klon yang lain memiliki kerapatan
stomata berkisar antara 100,27 – 131,01/ mm.2 (Tabel 18).
108
Tabel 18. Rata-rata Kerapatan Stomata Daun dan Buah pada Beberapa Klon Kakao
NO Klon Kakao Kerapatan Stomata
Daun per cm2 Kerapatan Stomata
Buah per cm2
1 DR1 115,48 a 17,78 a 2 ICS 13 83,75 a 10,22 a 3 TSH 858 120,14 a 7,78 a 4 ICCRI 3 82,14 a 8,89 a 5 SCA 6 125,73 a 18,89 a 6 ICS 60 122,97 a 10,00 a 7 DRC 15 100,27 a 11,11 a 8 DR 2 131,01 a 10,00 a 9 GC 7 123,87 a 14,44 a 10 DRC 16 123,97 a 13,33 a
Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada aras 0,05%.
Gambar 16. Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI 3, GC 7 dan ICS 13
TSH 858 ICCRI 3
GC 7 ICS 13
109
Gambar 17. Hubungan kerapatan stomata daun dan buah dengan luas bercak yang disebabkan oleh infeksi P. palmivora
Hasil analisis regresi (Gambar 17) menunjukkan adanya kemiringan
(slope) yang negatif antara jumlah stomata pada buah dengan luas bercak yang
disebabkan oleh infeksi P. palmivora pada beberapa klon kakao (R2 = 0,038) dan
pada stomata daun (R2 = 0,1519). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi
korelasi antara luas bercak dengan kerapatan stomata klon kakao baik terhadap
stomata daun maupun stomata pada buah kakao, sehingga variabel ini tidak bisa
digunakan sebagi tolok ukur ketahanan terhadap penyakit busuk buah yang di
sebabkan oleh infeksi P. palmivora.
Aktivitas Kitinase Pada umumnya aktivitas kitinase meningkat pada klon kakao yang
diinokulasi (Tabel 19). Aktivitas kitinase tertinggi pada daun sakit dihasilkan
oleh klon ICS 60 (3,27) dan GC 7 (3,07). Klon Sca 6 yang dikategorikan klon
agak tahan memiliki kandungan kitinase tertinggi (0,65) dibandingkan dengan
klon yang lainnya. Apabila fungsi kitinase digunakan sebagai indikator fungsi
ketahanan terhadap penyakit ini, enzim tersebut mampu berfungsi dengan baik.
Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas kitinase pada daun yang sakit meningkat
menjadi 1,17, sehingga diduga ada peran kitinase dalam aspek pertahanannya
terhadap infeksi penyakit busuk buah pada daun klon Sca 6. Peningkatan aktivitas
Hubungan Kerapatan Stomata dan Luas Bercak Buah
y = -0,0088x + 13,856R2 = 0,0382
6
8
10
12
14
16
18
20
0 50 100 150 200 250 300 350
Luas bercak (cm2)
Kera
pata
n st
omat
a bu
ah k
akao
(cm2
)
Luas Bercak
Linear (Luas Bercak)
Hubungan Kerapatan Stomata dan Luas Bercak Daun
y = 0,0828x + 97,735R2 = 0,1519
66
76
86
96
106
116
126
136
0 50 100 150 200 250 300 350
Luas bercak (cm2)
Kera
pata
n st
omat
a da
un k
akao
(cm2
)
Luas Bercak
Linear (Luas Bercak)
110
kitinase tertinggi adalah ICS 13 (9700%) dan terkecil TSH 858 (19,2%).
Tabel 19. Kandungan dan aktivitas kitinase (µM pNP/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi P. palmivora
Klon kakao Kandungan Kitinase daun sehat
(A)
Kandungan Kitinase daun sakit (B)
Peningkatan aktivitas kitinase
(%) (PKt) DR 1 0,05 0,09 80,0 ICS 13 0,01 0,98 9700,0 TSH 858 0,73 0,87 19,2 ICCRI 3 0,02 1,41 6950,0 SCA 6 0.65 1,17 80,0 ICS 60 0,18 3,27 1716,7 DRC 15 0,55 0,41 -25,5 DR 2 0,59 2,14 262,7 GC 7 0,24 3,07 1179,2 DRC 16 0,08 0,75 837,5
Keterangan: persentase peningkatan aktivitas kitinase (PKt) dihitung dengan rumus: PKt={(B-A)/A}x100%. A= Aktivitas kitinase pada jaringan sehat dan B= pada jaringan terinfeksi.
Aktivitas Peroksidase
Tabel 20 Kandungan dan Aktivitas Peroksidase (µM pNP/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P. palmivora
Klon kakao Kandungan Peroksidase daun
sehat (A)
Kandungan Peroksidase daun
sakit (B)
Peningkatan aktivitas
peroksidase (%) (PPr)
DR 1 0,003 0,003 0 ICS 13 0,000 0,006 500 TSH 858 0,002 0,004 100 ICCRI 3 0,000 0,003 200 SCA 6 0,003 0,008 166,67 ICS 60 0,000 0,013 1200 DRC 15 0,002 0.002 0 DR 2 0,001 0,004 300 GC 7 0,002 0,004 100 DRC 16 0,003 0,003 0
Keterangan: persentase peningkatan aktivitas peroksidase (PK) dihitung dengan rumus: PK={(B-A)/A}x100% (Rumus 7). A= Aktivitas peroksidase pada jaringan sehat dan B= pada jaringan terinfeksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan peroksidase dan
aktivitasnya mengalami peningkatan pada beberapa klon (Tabel 20). Meskipun
111
demikian, klon DR 1, DRC 15, dan DRC 16 yang merupakan klon kelompok
sangat rentan terhadap infeksi P. palmivora, menunjukkan aktivitas peroksidase
yang sama, baik pada daun yang sehat maupun daun yang terinfeksi. Artinya
ketiga klon tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan peroksidase
untuk pertahanan akibat adanya infeksi patogen. Klon GC 7 yang juga termasuk
kelompok sangat rentan menghasilkan peningkatan aktivitas peroksidase (PPr)
100 %. Ada kecenderungan peningkatan aktivitas peroksidase selaras dengan aras
ketahanan klon kakao.
Simpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada
daun maupun buah kakao tidak berkorelasi dengan ketahanan kakao. Klon
kakao yang tahan tidak selalu menghasilkan jumlah kerapatan somata yang
lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan, atau klon kakao yang rentan
tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak pada daun maupun buah.
2. Aktivitas kitinase dan peroksidase pada klon kakao yang diuji
mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao terhadap
infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan
umumnya lebih konsisten, begitu juga pada enzim peroksidase.
3. Klon kakao yang tidak memiliki peningkatan aktivitas enzim peroksidase
adalah klon DR 1, DRC 15 dan DRC 16. Ketiga klon tersebut termasuk
dalam kelompok sangat rentan.
112
Daftar Pustaka
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Press.New York.4th Ed.803.p.
Akai S & Fukutomi M. 1980. Preformed internal Physical Defenses. In J.A. Bailey & B.J. Deverall (Eds). Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydny.
Akrofi AY, & Opoku IY. 2000. Managing Phytophtora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October.
Chittor JM, Leach JE, & White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense against pathogens. In Datta SK, Muthukrishnan S (ed). Pathogenesis-Related Proteins in Plannts. p171-188. Science
Duniaway JM. 1983. Role of Physical Factors in Development of Phytophthora Diseases. In D.C.Erwin SB Gracia, PH Tsao (eds) Phytophtora Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. 175-188. APS. St. Paul, Minnesota.
El-Katatny MH, Gudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, & Gobitz GM. 2001. Characterzation of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 137-143.
Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p.
Goodwin TW & Mercer EI. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: Effects of pathogen spesies, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol 46: 557-565.
Jacob VJ & Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, 556-564.
113
Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR & Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant. Mol. Biol. 33: 887- 895.
Muller RA. 1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: 259-265. Longman, London.
Neuhaus JM. 1999. Plant chitinase (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11). In Datta SK, Muthukrishnan S (ed). Pathogenesis-Related Proteins in Plants. London:CRC Pr. 77-105.
Oku H. 1994. Plants Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub. CRC Press. Tokyo. 119p.
Philips-Mora, W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Pudjihartati E, Ilyas S & Sudarsono. 2006b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif, peroksidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13:166-172
Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S & Sudarsono. 2006. Aktivitas Enzim Kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13: 73-78.
Rocha HM. 1974. Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 211-218 Longman London.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK & Azad P. 2006. Pseudomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: 375-380
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (ed.) Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London.
Simmonds NW. 1994. Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers Bull. 47:42-52.
Toxopeus H. (1999). Search for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
114
Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18th
January.
Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 103-116. Longman London.
Wood GAR. 1985. Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London.
Wirianata H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta (tidak diterbitkan), 130p.
Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB & Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr Purif. 40: 230-236.
Zhang M, Melouk HA, Chenault K, & El Rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers Yeast by capillary electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem. 49:5265-5269.
Zadooks. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p.
JUDUL 6. PENDUGAAN PARAMETER GENETIK UNTUK KARAKTER KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP
PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora.)
Abstrak
Metode cepat untuk pemuliaan ketahanan sebagai upaya mendapatkan klon kakao unggul berdaya hasil dan bermutu hasil yang tinggi serta resisten terhadap penyakit utama seperti busuk buah akibat infeksi Phytophtora palmivora perlu dicari. Untuk itu, tersedianya informasi tentang berbagai parameter genetik akan sangat membantu dalam program pemuliaan kakao di Indonesia. Salah satu metode pendugaan parameter genetik yang dapat digunakan adalah analisis silang dialel. Penelitian bertujuan untuk menduga parameter genetik ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit P. palmivora, menggunakan silangan setengah dialel. Persilangan menggunakan lima klon kakao sebagai tetua (ICCRI 3, TSH 858, DR 1, ICS 13 dan Sca 6). Klon kakao tersebut merupakan klon terpilih hasil pengujian ketahanan dari penelitian sebelumnya, dengan tingkat ketahanan rentan sampai tahan. Jumlah genotipe dalam penelitian ini adalah 15, terdiri dari 10 F1, dan 5 tetua. Penelitian berlangsung di Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, Jawa Timur berlangsung pada tahun 2007-2008. Bibit hasil persilangan yang digunakan untuk penelitian tiap kombinasi terdiri dari 20 bibit diulang 3 kali. Jenis inokulum yang digunakan miselia, dari inokulum yang terpilih pada penelitian sebelumnya. Inokulasi dilakukan pada daun dan untuk menjaga kelembaban (90%) disungkup dengan plastik. Pengamatan dilakukan 3 hari setelah inokulasi terhadap luas bercak yang diakibatkan infeksi P. palmivora. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi gen yang terjadi dalam menentukan ketahanan terhadap P. palmivora, yang banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif. Kd/Kr adalah 1,3594 menunjukkan bahwa gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun heritabilitas dalam arti sempit masuk kelompok tinggi. Tetua ICCRI 3, TSH 858 dan Sca 6 mempunyai DGU yang paling tinggi dibandingkan dengan tetua lainnya. Sedangkan yang mempunyai DGK tertinggi kombinasi ICCRI 3 x Sca 6 sehingga kombinasi ini berpeluang menjadi penghasil hibrida. Heterosis tertinggi adalah silangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6.
Kata kunci: Tanaman kakao, parameter genetik, ketahanan, P. palmivora
ESTIMATION OF GENETIC PARAMETERS FOR RESISTANCE AGAINST BLACK POD DISEASE (Phytophthora palmivora) IN CACAO
(Theobroma cacao L.)
Abstract
Method for cacao breeding as an effort to produce high productivity and
quality cacao clones which are resistant to black pod disease caused by
Phytophthora palmivora, needs to be investigated. For that reason, providing the
information about various genetic parameters will really assist to solve the
problems in cacao cultivation and farming in Indonesia. One of the estimation
methods of some genetic parameters which is eligible to be used is diallel
crossing analysis. The research aims at estimating genetic parameter of cacao
resistance to the disease caused by P. palmivora, using half dialel crossing. The
cross used five cacao clones as parental clones (ICCRI 3, TSH 858, DR 1, ICS 13
and Sca 6). The clones represented selected clones resulted from resistance
evaluation of previous research, with the resistance level from susceptible to
resistant. The number of genotypes in this research was 15, consisting of 10 F1,
and 5 parental clones. Research took place from 2007 till 2008 in Kaliwining
Experimental Garden,, Indonesian Coffee and Cacao Research Center, Jember,
East Java. Seedlings from the crossing used for the research of every
combination consisted of 20 seedlings replicated 3 times. Inoculum type used was
mycelia, from selected inoculum in previous research. Inoculation was done in
leaf and to maintain moisture (90%) it was covered by plastic. Observation was
conducted 3 days after inoculation to the spot area caused by P. palmivora
infection. The research indicated that there was no gene interaction that occurred
in determining resistance to the disease caused by P. palmivora, mostly
influenced by additive gene actions. Kd/kr was 1.3594 indicating that more
dominant gene in parental. Heritability values in narrow and bigger senses belong
to a high group. Parental clones such as ICCRI 3, TSH 858 and Sca 6 have the
highest GCA compared to others. While the combination which has the highest
SCA is between ICCRI 3 x Sca 6 and this could be a candidate for a potential
hybrid. The highest heterosis is the crossing between DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6
and ICS 13 x Sca 6.
Keywords: Cacao, genetic parameters , resistance, P. palmivora
117
Pendahuluan
Peningkatan daya hasil dan perbaikan mutu kakao Indonesia, dapat
dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman kakao.
Penerapan kedua program tersebut di Indonesia memerlukan tersedianya bahan
tanam (bibit dan benih) kakao unggul. Kakao yang merupakan tanaman
perkebunan penting di Indonesia, bahan tanamnya dikembangkan secara vegetatif
(kakao mulia/edel cocoa) atau dengan menggunakan benih hibrida F1 (kakao
lindak/bulk cocoa) (Suhendi et al., 2004).
Program pemuliaan tanaman kakao yang dilakukan bertujuan untuk
menghasilkan klon kakao unggul baru yang lebih baik dibandingkan dengan klon
kakao yang sudah ada. Selain mampu berproduksi tinggi, pemuliaan kakao di
Indonesia ditujukan untuk mengembangkan klon unggul yang resisten terhadap
penyakit utama yang menyerang kakao, seperti busuk buah akibat infeksi
Phytophthora palmivora dan vascular-streak dieback (VSD) akibat infeksi
Oncobasidium theobromae (Iswanto & Junianto, 1987; Suhendi et al., 2005).
Pengembangan kakao mulia (edel cocoa) di Indonesia relatif terbatas karena
kendala dalam budidayanya (Sunaryo & Sudarsono, 1980). Sebaliknya,
pengembangan kakao lindak (bulk cocoa) saat ini dilakukan dengan menggunakan
bahan tanam yang berasal dari benih hibrida F1 (Iswanto et al., 1994). Benih
hibrida F1 dihasilkan dari kebun benih kakao yang dirancang secara khusus
dengan menggunakan induk betina dan induk jantan, berdaya hasil dan bermutu
hasil tinggi, mempunyai sifat-sifat penting seperti ketahanan terhadap penyakit
utama yang menyerang kakao, serta ditanam dengan pola tanam tertentu (Iswanto
et al., 1999). Benih hibrida diproduksi secara open pollination (OP) dengan
memanfaatkan sifat inkompatibilitas yang dimiliki oleh tanaman kakao pada
umumnya (Suhendi et al., 2000). Penggunaan kombinasi klon tetua yang tepat
dalam produksi benih hibrida F1 berpotensi untuk mendapatkan heterosis di
antara populasi bibit asal benih F1 yang didapat (Rubiyo et al., 2000).
Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh P. palmivora merupakan
salah satu penyakit utama yang menyerang kakao di Indonesia (Sri-Sukamto &
Mawardi, 1986; Purwantara, 1990; Sudarmadji & Pawirosoemardjo, 1990).
Pengembangan kakao di berbagai sentra produksi kakao menghadapi kendala
118
penyakit busuk buah karena merupakan daerah endemik penyakit ini (McMahon
& Purwantara, 2004). Penggunaan isolat P. palmivora indigenus Indonesia untuk
mengembangkan klon yang resisten melalui pemuliaan merupakan langkah
penting yang harus dilakukan. Isolasi dan karakterisasi isolat indigenus P.
palmivora telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a).
Klon kakao yang ditanam diketahui mempunyai tingkat ketahanan yang
berbeda terhadap infeksi P. palmivora. Evaluasi ketahanan klon kakao yang diuji
terhadap penyakit busuk buah biasanya dilakukan dengan cara inokulasi secara
alamiah di lapangan atau dengan inokulasi buatan di laboratorium (Winarno &
Sri-Sukamto, 1986). Pengelompokan ketahanan klon yang diuji didasarkan pada
jumlah organ yang sakit atau tingkat keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator
ini hanya menunjukkan reaksi jaringan kakao terhadap serangan patogen tetapi
tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu
atau beberapa tahapan dari daur penyakitnya (Muller, 1974; Agrios, 1997).
Pengujian ketahanan dapat dilakukan pada buah kakao yang dipetik (detached pod
assay) atau pada buah yang masih menempel di pohon (attached pod assay)
(Iwaro et al., 2000). Uji buah dipetik banyak diminati tetapi hasil pengujiaan ini
mengabaikan pengaruh faktor lingkungan terhadap perkembangan penyakit
sehingga kurang sesuai dengan kondisi lapangan (Purwantara, 1990; Iwaro, 1995).
Pengembangan metode pengujian ketahanan klon kakao telah dilaporkan
sebelumnya (Rubiyo et al., 2008b).
Informasi tentang kendali genetik dan heritabilitas sifat ketahanan terhadap
penyakit busuk buah pada kakao sangat diperlukan dalam rangka mendukung
program pemuliaan kakao di Indonesia. Perilaku genetik dari gen pengendali sifat
ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dapat diduga melalui pendugaan
parameter genetik dengan metode analisis silang dialel (Falconer, 1981). Metode
silang dialel merupakan evaluasi genetik menyeluruh serta merupakan pendekatan
secara sistematik dan analitik yang berguna untuk mengidentifikasi persilangan
dan seleksi awal pasangan tetua yang terbaik (Allard, 1966). Selain itu, pendugaan
daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan persilangan dialel juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan
hibrida F1 dengan sifat-sifat unggul yang diinginkan (Bahihaki, 1989).
119
Persilangan dialel juga akan menghasilkan informasi tentang daya gabung umum
(DGU), daya gabung khusus (DGK), daya waris (heritabilitas) dan heterosis yang
sangat penting untuk pemuliaan kakao yang gentipenya mayoritas heterosigot
(Welsh, 1981; Falconer, 1989; Phoelman & Sleper, 1995).
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar
untuk pemuliaan kakao ke arah pengembangan klon yang tahan terhadap penyakit
busuk buah akibat infeksi P. palmivora, serta mengidentifikasi klon dengan daya
gabung dan heterosis yang baik. Secara spesifik, tujuan penelitian yang dilakukan
antara lain: (1) mengembangkan populasi setengah dialel yang diturunkan dari
hasil persilangan antar lima klon kakao, (2) mengevaluasi resistensi populasi
hibrida F1 hasil persilangan dialel yang didapat terhadap infeksi P. palmivora,
dan (3) menduga berbagai parameter genetik yang mengontrol sifat ketahanan
tanaman kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil penelitian yang dilakukan
diharapkan dapat memberikan sejumlah informasi dasar yang dapat membantu
usaha perbaikan genetik tanaman kakao, terutama dalam hubungannya dengan
sifat ketahanan terhadap penyakit busuk buah akibat infeksi P. palmivora di
Indonesia.
Bahan dan Metode
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan meliputi penelitian lapang dan laboratorium.
Pembentukan populasi hibrida kakao dilakukan di Kebun Percobaan Kaliwining
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember (50 m dpl) dengan tipe iklim
C menurut Schmit dan Ferguson. Kegiatan perbanyakan dan pemeliharaan isolat
P. palmivora dilakukan di Laboratorium Penyakit Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2008 sampai dengan
bulan Maret 2009.
Isolat P. palmivora yang digunakan merupakan biakan murni isolat LBSBR
yang berasal dari daerah Lubuk Basung, Sumatera Barat. Inokulum miselia yang
digunakan berasal dari biakan murni yang diperbanyak dengan menggunakan
media agar V8 juice. Kultur patogen diinkubasikan di ruang gelap dengan suhu
260C dan miselia yang aktif tumbuh siap digunakan pada 12 hari sesudah
120
inokulasi. Sedangkan untuk menghasilkan inokulum zoospora, kultur dibiakkan
pada media agar V8 juice dan zoospora dipanen 12 hari sesudah inokulasi.
Zoospora dipisahkan dari miselia dengan cara dimasukkan ke dalam kulkas suhu
± 40C selama 5 menit agar zoospora berkecambah, kemudian ditambahkan air
steril sebanyak 10 ml ke dalam media sambil dikocok agar zoospora terikut air
tersebut, dan diencerkan hingga mencapai kerapatan 104-105 zoospora/ml.
Bahan Tanaman yang Digunakan
Lima klon kakao yang digunakan sebagai tetua telah ditanam di kebun
koleksi plasma nutfah Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember sejak
tahun 1994 dengan menggunakan bibit klonal hasil okulasi. Setiap klon terpilih
yang digunakan sebagai tetua masing-masing terdiri atas lima tanaman dan dipilih
yang memiliki tingkat pertumbuhan dan habitus tanaman yang seragam.
Karakteristik lima klon yang dipilih sebagai tetua disajikan dalam Tabel 21.
Persilangan antar tetua dilakukan secara terkontrol (hand pollination).
Sehari sebelum persilangan, bunga dari tetua betina terpilih diisolasi dengan cara
dikerodong menggunakan tabung obat (diameter 3 cm dan panjang 5 cm) yang
ujungnya telah dilobangi dan ditutup dengan kain strimin. Tabung obat diikatkan
ke batang dan untuk mencegah masuknya serangga penyerbuk yang tidak
diinginkan, pinggir tabung obat yang berbatasan dengan batang tanaman kakao
ditutup dengan parafin. Persilangan dilakukan dengan cara menghilangkan
staminodia (lima benang sari palsu) yang mengelilingi kepala putik dengan
menggunakan pinset agar tidak menganggu saat mengoleskan pollen ke kepala
putik dan melakukan proses persilangan. Bunga jantan sebagai sumber pollen
diambil dari klon kakao terpilih yang sesuai dengan kombinasi persilangan yang
diinginkan. Bunga jantan dipilih yang masih segar, disimpan dalam cawan Petri
setelah dipetik, dan diberi label sesuai dengan nomer klonnya. Bunga jantan
dipilih yang mempunyai serbuk sari viabel, yaitu berwarna putih transparan dan
tidak berwarna kuning atau kecoklatan (pollen sudah rusak).
121
Tabel 21. Karakteristik klon kakao sebagai tetua untuk pembentukan populasi
hibrida F1
Daya hasil klon * Klon Produksi buah Ukuran biji Ketahanan terhadap
infeksi P. palmivora ** ICCRI 3 Tinggi Besar Tahan/Agak tahan TSH 858 Tinggi Besar Agak rentan DR 1 Tinggi Besar Rentan ICS 13 Tinggi Sedang Agak tahan Sca 6 Sedang Kecil Tahan/Agak tahan
Keterangan: * (Sudarsono, 1980; Iwanto & Winarno, 1984; Iswanto & Sunaryo, 1985; Sunaryo & Suhendi et al., 2005).
** Berdasarkan pengujian yang dilakukan dengan menggunakan metode inokulasi buah (Sri-Sukamto & Mawardi, 1986; Winarno & Sri-Sukamto, 1986 ; Rubiyo et al., 2008b;).
Dalam proses penyerbukan, tangkai sari dipotong dari bunga jantan
dengan menggunakan pinset dan serbuk sarinya dioleskan ke kepala putik dari
bunga betina yang sudah siap untuk diserbuki. Pengolesan serbuk sari ke kepala
putik dilakukan 2-3 kali secara pelan-pelan agar putik tidak rusak. Indikasi serbuk
sari sudah menempel pada kepala putik jika kepala putiknya kelihatan membesar
dan membuka. Bunga yang telah diserbuki ditutup kembali dengan tabung obat
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Keberhasilan penyerbukan diamati dua hari setelah persilangan yang
ditandai dengan bunga yang disilang tidak rontok. Hasil persilangan yang didapat
diberi label sesuai dengan kombinasi klon tetua dan tanggal persilangannya. Buah
yang berkembang sebagai hasil persilangan dipelihara hingga masak atau sekitar
lima bulan sesudah polinasi. Buah kakao yang telah masak antara lain ditandai
dengan perubahan warna pada kulit buahnya, yaitu yang ketika muda berwarna
hijau menjadi kuning bila masak dan yang ketika muda berwarna merah menjadi
oranye bila masak. Kombinasi persilangan antar tetua disusun dalam kombinasi
half dialel dengan jumlah kombinasi persilangan sebanyak 10 (10 famili F1 hasil
persilangan antar tetua, Tabel 21).
Sebelum ditanam, benih F1 hasil persilangan terkontrol yang dipanen
selanjutnya diekstrak dari buah kakao, dikecambahkan dalam bak pengecambahan
dan diseleksi keseragaman serta kesehatannya. Hanya kecambah yang seragam
pertumbuhannya, bebas dari serangan hama dan penyakit yang dipilih dan
ditanam dalam media pembibitan.
122
Tabel 22 Persilangan setengah dialel dengan lima tetua untuk menghasilkan hibrida F1.
♀ ♂
ICRI 3 TSH 858 DR1 ICS 13 SCA 126
ICRI3 - × × × × TSH858 - × × × DR1 - × × ICS 13 - × SCA 126 -
Keterangan: (×) hibrida F1 turunan hasil persilangan antar tetua.
Kecambah hasil persilangan yang terpilih ditanam di kantong plastik hitam
(polybag) berukuran 20 x 15 cm, berisi media campuran tanah : pasir : pupuk
kandang (2:1:1). Pembibitan dilakukan di rumah kaca, diberi naungan dari paranet
hitam yang dipasang dengan ketinggian 1,5 m (bagian timur) dan 1 m (bagian
barat) di atas bedengan untuk menghindari panas matahari langsung. Bedengan
pembibitan dibuat dengan arah utara ke selatan. Bibit dipelihara dengan
melakukan penyiraman setiap pagi dan sore hari hingga bibit berumur satu bulan.
Uji Ketahanan Populasi Hibrida Hasil Persilangan Dialel.
Penelitian disusun dengan rancangan lingkungan acak kelompok faktor
tunggal (10 hibrida dan 5 klon tetua) dengan 3 ulangan. Setiap unit percobaan
terdiri atas 20 bibit kakao sehingga secara keseluruhan terdapat 900 (15 x 3 x 20)
bibit kakao. Jumlah 20 bibit per ulangan dari setiap genotipnya dipilih untuk
memenuhi asumsi homosigositas karena populasi bibit kakao yang digunakan
dalam penelitian sebetulnya ada dalam kondisi heterosigot. Jumlah populasi
sebagaimana yang digunakan dalam penelitian ini biasa digunakan pada pengujian
yang dilakukan pada tanaman perkebunan seperti kelapa sawit yang juga dalam
kondisi heterosigot.
Populasi bibit yang diuji dipelihara di rumah plastik hingga berumur satu
bulan. Dalam salah satu penelitian, masing-masing bibit yang diuji diinokulasi
dengan potongan agar (0.5 cm2) bermiselia yang telah disiapkan sebelumnya.
Bibit yang telah diinokulasi disungkup plastik transparan dan dijaga
kelembabannya agar mencapai 90%. Pengamatan dilakukan mulai enam hari
123
setelah inokulasi dengan cara mengukur panjang dan lebar bercak pada
permukaan daun kakao yang diuji. Pengamatan dilakukan setiap hari dan diakhiri
bila terdapat tanaman kakao yang mati akibat inokulasi. Pengamatan luas bercak
dilakukan dengan cara mengukur lebar dan panjang bercak yang ditimbulkan dari
hasil inokulasi pada daun kakao. Panjang dan lebar bercak diukur dengan
menggunakan kertas millimeter yang telah dibungkus dengan selotip transparan.
Penelitian intensitas penyakit. Dalam penelitian ini bibit yang digunakan
mempunyai umur yang sama seperti penelitian di atas. Bibit diinokulasi dengan
menyemprotkan zoospora P. palmivora (104-105 zoospora/ml) ke permukaan daun
menggunakan sprayer. Bibit yang telah diinokulasi disungkup plastik transparan
dan dijaga kelembabannya agar mencapai 90%. Penelitian Intensitas penyakit ini
terdiri dari 10 hibrida F1 dan lima tetua. Setiap perlakuan dengan menggunakan
20 bibit kakao umur 1 bulan diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan mulai enam
hari setelah inokulasi dengan menghitung persentase gejala pada permukaan daun
kakao yang diuji dan menentukan indek intensitas penyakitnya (IIP). Pengamatan
dilakukan setiap hari dan diakhiri bila terdapat tanaman kakao yang mati akibat
inokulasi. Gejala bercak diamati dengan parameter skoring gejala penyakit
mengacu pada metode Fee (1983) yang dimodifikasi seperti tertera dalam Tabel
23. Hasil nilai intensitas penyakit digunakan untuk mengelompokkan tanaman
menjadi lima kategori seperti pada Tabel 24.
Tabel 23 Skor gejala bercak infeksi P. palmivora Skor Serangan Gejala
0 Sehat 0% terinfeksi 1 Sangat ringan < 5% daun terinfeksi 2 Ringan 5-10% daun terinfeksi, klorosis/nekrotik belum
ada daun gugur sudah ada pembengkakan lentisel
3 Sedang 10-25% daun terinfeksi, klorosis, nekrotik sudah ada daun gugur, sudah ada pembengkak an lentisel
4 Agak berat 25-50% daun terinfeksi, klorosis, nekrotik, daun gugur lentisel membengkak.
5 Berat 50-75% daun terinfeksi, klorosis, nekrotik, daun gugur lentisel membengkak
6 Sangat berat >75% daun terinfeksi, klorosis, nekrotik, daun gugur lentisel membengkak bibit mati
124
Dari data skor yang diperoleh, indeks penyakit ditentukan dengan rumus:
%100.
.1 x
NZ
vnIP
n
i∑== ................................................................................................ (8)
IP : intensitas penyakit N : jumlah tanaman berskor V : skor ke-i Z : nilai skor tertinggi
Tabel 24. Pengelompokan ketahanan kakao terhadap P. palmivora
Kategori Intensitas Penyakit (%) Tahan 0-30
Agak Tahan 31-50 Sedang 51-65
Agak Rentan 66-80 Rentan 81-100
Analisis Data
Pendugaan parameter genetik sifat ketahanan kakao terhadap infeksi P.
palmivora dilakukan dengan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman
(Singh dan Chaudhary, 1979) sebagai berikut:
a. Analisis ragam. Populasi dialel dianalisis menggunakan rancangan lingkungan
acak kelompok dengan tiga ulangan. Model statistik yang digunakan
ijkljkkijijkl ebTbTmY ++++= )( ......................................................................... (9)
ijklY : nilai pengamatan pada genotipe i x j dalam k ulangan
m : nilai tengah umum ijT : pengaruh genotipe i x j
kb : pengaruh ulangan ke-k
jkbT )( : pengaruh interaksi
ijkle : pengaruh galat
Komponen analisis ragam untuk pendekatan Hayman yang dimodifikasi
untuk tetua heterosigot (model 1 menurut Becker, 1953) disajikan pada Tabel 25.
Jika dari hasil analisis Anova diperoleh perbedaan yang nyata di antara genotipe,
maka analisis dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya, yaitu pendugaan nilai
ragam dan peragam untuk masing-masing peubah yang diamati sebagai indikasi
125
respon ketahanan terhadap infeksi P. palmivora.
Tabel 25. Komponen Analisis Ragam untuk populasi dialel
Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah KT Harapan
Ulangan b-1 KTb be n 22 σσ + Genotipe n-1 KTg ge b 22 σσ + Galat (n-1)(b-1) KTe e
2σ Total Bn-1
b. Pendugaan ragam dan peragam. Untuk menduga nilai ragam dan peragam,
data dirata-ratakan berdasarkan ulangan membentuk tabel setengah dialel
(Tabel 26).
Tabel 26. Persilangan dialel ketahanan kakao terhadap P. palmivora
Tetua ICCRI 3 TSH 858 DR 1 GC 7 Sca 6 Xi. Rata-rata
ICCRI 3 11X 12X 13X 14X 15X .1X 5/.1X
TSH 858 - 22X 23X 24X 25X .2X 5/.2X
DR 1 - - 33X 34X 35X .3X 5/.3X
ICS 13 - - - 44X 45X .4X 5/.4X
Sca 6 - - - - 55X .5X 5/.5X
Rata-rata tetua (ML0) = n
xji
ij∑= ;
Ragam tetua (V0L0) =
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
−−
∑∑ −
= n
xx
ni ji
ij
jiij
2
2)(1
;
Ragam array (Vri) = ( )⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
−− ∑
∑=
=n
j
n
jij
ij n
xx
n 1
2
12
11 ;
Rata-rata ragam array (V1L1) = ∑=
n
iriV
n 1
1 ;
126
Ragam rata-rata array (V0L1) = ( )⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
−− ∑
∑=
==n
i
n
ijjiij
in
xxx
n 1
2
1;1'
2.
11 ;
Peragam antara tetua dan keturunan (Wri) =
( )⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
−− ∑
∑==
==n
ij
n
ijjiij
jiijn
xxxx
n 1;1
2
1;1'
'
..
11 ;
Rata-rata peragam tetua dan array (W0L0) = ∑=
n
iriW
n 1
1 ; dan Perbedaan rata-rata
tetua dan rata-rata semua keturunan (M L1-ML0) = 2
1;1
11⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∑∑=== ji
ij
n
jiij xx
nn
c. Grafik Wr-Vr. Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari
persamaan: Wri = (Vri x V0L0)1/2, regresi diperoleh dengan menghubungkan
titik-titik dari persamaan: Wrei = Wr – bVr + bVri. dan intersep regresi
diperoleh dari: a = Wr – bVr. Semakin dekat letak tetua dengan pangkal
persilangan sumbu x-y maka kandungan gen dominannya secara relatif
semakin tinggi, sebaliknya semakin jauh letak tetua dengan pangkal
persilangan sumbu x-y maka kandungan gen dominannya semakin kecil.
d. Pendugaan komponen ragam. Pendugaan komponen ragam yang dilakukan
adalah:
D = V0L0 - E
F = 2 V0L0 - 4 W0L0 – 2(n-2)E/n
H1 = V0L0 - W0L1 + 4 V1L1- (3n-2)E/n
H2 = 4 V1L1 - 4 V0LI – 2E
h2 = 4(MLI - ML0)2- 4(n-1)E/n2
S2 = [ ])(2/1 VrWrVar −
SE (D) = ( )[ ] )(*/ 2545 Snnn +
SE (F) = ( )[ ] )(*/1616204 252345 Snnnnn +−+
127
SE (H1) = ( )[ ] )(*/41241 252345 Snnnnn +−+
SE (H2) = ( )[ ] )(*/36 254 Snn
SE (h2) = ( )[ ] )(*/16321616 2524 Snnnn +−+
SE (E) = ( )[ ] )(*/ 254 Snn
Keterangan:
D : komponen ragam karena pengaruh aditif; F : nilai tengah Fr untuk semua array; Fr adalah peragam pengaruh aditif dan
non aditif pada array ke-r; H1 : komponen ragam karena pengaruh dominasi; H2 : perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua; h2 : pengaruh dominasi (sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan saat
heterozigous); E : komponen ragam karena pengaruh lingkungan.
Jika intersep bernilai positif atau D > H1, interaksi yang terjadi adalah
dominan sebagian, jika bernilai negatif atau D < H1 berarti overdominan.
Dominan lengkap jika D = H1, serta tidak terdapat dominan jika garis regresi
menyentuh batas parabola.
e. Pendugaan parameter lain. Parameter lain yang diduga adalah: rataan tingkat
dominasi = (H1/D)1/2; Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif
dalam tetua = H2/4H1;
Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua =
( ) ( ) FDHFDH −+ 2/11
2/11 4/4 .
Selain itu juga ditentukan jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat
dan menimbulkan dominansi = 22 / Hh ; Heritabilitas arti luas ( 2h BS) dan
Heritabilitas arti sempit ( 2h NS). 2h BS = ( ) EFHHDFHHD +−−+−−+ 2/14/12/12/1/(2/14/12/12/1 2121 );
dan 2h NS= ( ) ).2/12/12/12/1/(2/12/12/12/1 2121 EFHHDFHHD +−−+−−+
Jika korelasi negatif, nilai Wri + Vri-nya paling rendah, berarti mengandung
gen dominan paling banyak.
128
f. Pendugaan tetua paling dominan dan paling resesif.
VD = (V0L0) 21x ; VR = (V0L0) 2
2x ; WD = (V0L0) 1x dan WR = (V0L0) 2x ; 1x dan
x2 diperoleh dari akar persamaan: (V0L0) 2x - (V0L0)x + (W0L0 - VILI); Nilai tetua
dominan penuh (YD) = ( ) ( )[ ]ILILDDr VWVWbY +−++ 00
Pendugaan daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK)
sifat ketahanan genotipe-genotipe kakao yang diuji terhadap infeksi P. palmivora
dilakukan dengan analisis dialel menggunakan Metode 2 Griffing (Singh dan
Chaudary, 1979) sebagai berikut:
g. Pendugaan daya gabung. Model statistik untuk menduga daya gabung
adalah:
Yij = m + gi + gj + sij + 1/bc∑∑ eijkl ............................................................. (10)
Keterangan:
Yij = nilai tengah genotipe i x j m = nilai tengah umum gi = daya gabung umum (DGU) tetua ke-i gj = daya gabung umum (DGU) tetua ke-j sij = pengaruh daya gabung khusus (DGK) 1/bc∑∑ eijkl = nilai tengah pengaruh galat
Analisis half dialel (tetua dan F1 tanpa resiprokal) dilakukan dengan
menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh Griffing (1956) - Metode 2
Model 1 (tanpa galur murni). Penggunaan Metode Griffing (1956) telah dilakukan
untuk menghitung daya gabung pada tanaman singkong yang tetuanya heterosigot
(bukan galur murni) yaitu untuk sifat ketahanan terhadap penyakit (Owolade et
al., 2006). Sidik ragam untuk analisis daya gabung Metode 2 dapat dilihat pada
Tabel 27 berikut.
129
Tabel 27. Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan Metode 2 Griffing (1956).
Sk Db Jk Kt Ekt
DGU p-1 JKdgu KTdgu )2(22 +++ pdgke σσ
GK P(p-1)/2 JKdkg KTdgk dgu
2σ Galat (r-1)[(p-
1)+p(p-1)/2] JKGgalat KTgalat edgke
222 σσσ ++
Pengaruh daya gabung umum (gi) = 1/2n(Yi+Y.j)-1/n2Y........................... (11)
Keterangan:
gi = nilai daya gabung umum Yi. = jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Y.j = jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-j Y.. = total nilai tengah genotipe
Pengaruh daya gabung khusus (sij) = 1/2 (Yi+Yji)-1/2n(Yi. + Y.j + Y.j + Yj.)
+ 1/n2Y ............................................................................................................... (12)
Keterangan:
Sij : nilai daya gabung khusus Yij : nilai tengah genotipe i x j Yji : nilai tengah genotipe j x i Yi. : jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Y.j : jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-j Yj. : jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-j Y.. : total nilai tengah genotipe
h. Pendugaan Heterosis
Nilai heterosis diduga berdasarkan nilai tengah kedua tetua (mid parent) dan
nilai tengah tetua terbaik (best parent) atau heterobeltiosis.
Heterosis = %1001 xMP
MPF
μμμ − .............................................................. (13)
Heterobeltiosis = %1001 xBP
BPF
μμμ − .......................................................... (14)
Keterangan:
1Fμ : nilai tengah turunan MPμ : nilai tengah kedua tetua = ½ (P1 + P2) BPμ : nilai tengah tetua terbaik
130
Hasil dan Pembahasan
Penggunaan analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Diantaranya adalah: (1) secara
ekperimental merupakan pendekatan sistematis, (2) secara analitik merupakan
evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan
bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi (Johnson, 1963). Di dalam
analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada
F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 maupun BCP2, seperti pada
teknik pendugaan parameter genetik lainnya.
Dalam pelaksanaan, analisis silang dialel harus memenuhi beberapa
asumsi berikut: (1) segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara persilangan
resiprokal, (3) tidak ada interakasi antara gen-gen yang tidak satu alel, (4) tidak
ada multialelisme, (5) tetua homosigot, (6) gen-gen menyebar secara bebas di
antara tetua (Hayman, 1954).
Asumsi-asumsi ini harus dipenuhi dan dibuktikan sebelum analisis dialel
dapat dilakukan. Pada penelitian ini digunakan populasi yang berasal dari tetua
yang tidak homozigot. Untuk itu semua asumsi dapat dipenuhi, dan model analisis
yang digunakan mengikuti Metode Griffing (1956) untuk menghitung daya
gabung pada tanaman singkong yang tetuanya heterosigot (bukan galur murni)
yaitu untuk sifat ketahanan terhadap penyakit (Owolade et al., 2006).
Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan mempunyai dua set
kromosom atau disebut diploid. Pasangan kromosom pada individu yang
mempunyai tingkat ploidi demikian, pada waktu miosis berjalan dengan normal,
sehingga akan menghasilkan gamet yang sempurna. Tanaman kakao mempunyai
tingkat ploidi diploid (Chesmen, 1956), dengan demikian segregasi gen-gen yang
terjadi merupakan segregasi diploid.
Adanya interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel di dalam analisis
silang dialel dapat diuji dengan nilai koefisien regresi b dari garis regresi antara
Wr (peragam antara tetua dan keturunan dari array ke r terhadap Vr (ragam di
dalam array ke r). Apabila nilai b = 1 maka tidak ada interaksi antara gen-gen
tidak sealel (Singh & Chaudhary, 1979). Adanya beberapa alel yang
mengendalikan suatu karakter akan menyulitkan analisis silang dialel.
131
Dalam penelitian ini, genotipe–genotipe kakao yang digunakan diklonkan
sehingga homogen. Tanaman kakao adalah heterosigot dan asumsi homosigot
sulit terpenuhi. Gen-gen yang mengendalikan suatu karakter harus menyebar
diantara tetua-tetua persilangan. Untuk memenuhi asumsi ini maka dipilih tetua
yang mewakili tetua tahan, moderat dan rentan.
Dengan terpenuhinya asumsi tersebut maka keluaran yang dapat diperoleh
dari suatu analisis silang dialel Metode Hayman adalah (Singh & Caudhary,
1979): (1) keragaman karena pengaruh aditif (D), (2) nilai tengah Fr genotipe
(rata-rata Fr untuk semua arrary (F) ; peragam pengaruh adaitif dan non aditf
pada arrary ke-r.(3) keragaman karena pengaruh dominansi (H1), (4) perhitungan
untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua (H2), (5) pengaruh
dominansi/sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan saat heterosigot (h2), (6)
keragaman karena pengaruh lingkungan (E), (7) rata-rata tingkat dominansi
(H1/D)1/2), (8) proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif di dalam
tetua (H2/4H1), (9) proporsi gen-gen dominan dan resesif di dalam tetua (Kd/Kr),
(10) jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
(h2/ H2), (11) heritabilitas dalam arti luas (h2bs), (12) heritabilitas dalam arti sempit
((h2ns).
Informasi lain yang bisa diperoleh dari analisis silang dialel adalah daya
gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Daya gabung adalah
kemampuan genotipe untuk mewariskan sifat yang diinginkan kepada
keturunannya. Daya gabung umum adalah kemampuan suatu genotipe untuk
menunjukkan kemampuan rata-rata keturunan bila disilangkan dengan beberapa
genotipe lain yang dikombinasikan (Singh & Caudhary, 1979). Daya gabung
umum akan memiliki arti jika nilainya diperbandingkan pada lebih dari satu
individu dan populasi penguji serta lingkungan yang ditentukan (Henderson,
1952). Daya gabung khusus adalah kemampuan individu tetua untuk
menghasilkan turunan yang unggul jika disilangkan dalam kombinasi spesifik
dengan tetua tertentu (Singh & Caudhary, 1979). Daya gabung khusus merupakan
konsekuensi dari interaksi gen intra alel (dominan) dan interkasi gen antar alel
(epistasis) (Henderson, 1952).
132
Daya gabung umum (DGU) yang besar dan positif menunjukkan bahwa
tetua tersebut mempunyai daya gabung yang baik. Nilai daya gabung umum yang
negatif berarti tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung (rata-rata) yang
lebih rendah dibandingkan dengan tetua-tetua lain. Daya gabung khusus (DGK)
yang positif menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kombinasi hibrida
yang tinggi dengan salah satu tetua yang digunakan. Sebaliknya bila DGK negatif
berarti tetua tersebut tidak mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi dengan
salah satu dari tetua – tetua yang digunakan (Sujiprihati, 1996).
Informasi yang diperoleh dari pengujian DGU dan DGK sangat penting
dalam suatu program pemuliaan tanaman kakao. Hal ini sebagaimana
disampaikan Sujiprihati (1996), bahwa informasi yang dihasilkan dari pengujian
DGU dab DGK akan berguna untuk menentukan tetua dan metode pemuliaan
yang sesuai dalam upaya perbaikan sifat-sifat yang diinginkan pada tanaman
tersebut.
A. Pendugaan Parameter Genetik Pendugaan parameter genetik menggunakan analisis silang dialel dapat
dilakukan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe berdasarkan uji F
terhadap karakter luas bercak ketahanan penyakit busuk buah P. palmivora (Singh
& Chauddhary, 1979). Berdasarkan Anova pada Tabel 28, diperoleh hasil analisis
yang sangat nyata antar genotipe berdasarkan parameter luas bercak akibat
inokulasi terhadap P. palmivora. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan
parameter genetik dapat dilakukan pada genotipe kakao yang diuji
Tabel 28. Anova ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora
SK Db SS MS F Ulangan 2 1518,052555 759,0262773 2,496498297 tn Genotipe 14 19883,53417 828,4805903 2,724939102** Galat 28 14593,74571 304,036369 Total 44 35995,33243
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata, tn = berpengaruh tidak nyata
Interaksi Gen Interaksi gen dapat dilihat berdasarkan nilai b(Wr,Vr), jika nialai b berbeda
nyata dengan satu maka terdapat interaksi antar gen, tetapi jika nilai b tidak
133
berbeda nyata dengan satu maka tidak terdapat interaksi antar gen (Roy, 2000;
Sousa & Maluf, 2003). Hasil uji koefisien regresi b (Wr, Vr) tidak berbeda nyata
dengan satu (Tabel 29), dengan demikian tidak terdapat interaksi gen dalam
menentukan ketahanan terhadap karakter luas bercak pada penyakit busuk buah P.
palmivora. Hal ini membuktikan bahwa salah satu asumsi analisis silang dialel
dapat dipenuhi.
Tabel 29 Pendugaan parameter genetik ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora
Parameter Genetik Nilai KeteranganKoefisien regresi (b) 0,4493 tn
Komponen ragam krn pengaruh aditif (D) 0,0386 **
Rerata Fr untuk semua array (F) 0,0188 tn
Komponen ragam krn pengaruh dominansi (H1) 0,0989 **
Proporsi gen-gen positif/negative dalam tetua (H2) 0,0700 **
Pengaruh dominansi (h2) 0,1497 **
Rata-rata tingkat dominansi (H1/D)1/2 1,6003 Over
dominan
Komponen ragam karena pengaruh lingkungan (E) 0,0017
Proporsi gen-gen positif/negatif dalam tetua 0,1768
Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua
(Kd/Kr)
1,3594 Gen
dominan
Jumlah gen pengendali ( h2/H2) 2,1396
heritabilitas arti sempit (h2ns) 0,5589 Tinggi
heritabilitas arti luas (h2bs) 0,9600 Tinggi
Pengaruh Aditif (D) dan Dominansi (H1)
Pengaruh aditif (D) berperan sangat nyata terhadap ketahanan kakao untuk
penyakit busuk buah dari semua klon yang digunakan. Besarnya pengaruh aditif
0,0386, sedangkan pengaruh dominan (H1) juga sangat nyata (0,0989) (Tabel 29).
Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap penyakit busuk buah yang
disebabkan P. palmivora pada persilangan tanaman kakao banyak dipengaruhi
oleh aksi gen aditif. Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan
di antara kerabat (antara tetua dengan keturunannya). Ragam genetik dominan
134
merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini
merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung. Dengan
demikian hanya aksi gen aditif dan dominan yang menentukan keragaman
ketahanan terhadap panyakit P. palmivora. Aksi gen aditif lebih kecil
dibandingkan gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih
ditentukan oleh aksi gen dominan.
Distribusi Gen di dalam Tetua Distribusi gen tetua (Tabel 29) menunjukkan bahwa nilai H2 gen-gen yang
menentukan pewarisan sifat tahan terhadap penyakit busuk buah tidak menyebar
merata di dalam tetua. Hal ini terlihat dari nilai H2 (proporsi gen-gen
positif/negatif dalam tetua) yang sangat nyata. Proporsi gen-gen positif akan
terlihat dari besarnya nilai H1 terhadap H2. Jika H1> H2 maka gen-gen yang
banyak adalah gen-gen positif, sebaliknya apabila H1<H2 maka gen-gen negatif
akan lebih banyak dari pada gen-gen positif. Ketahanan tanaman kakao terhadap
penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P. palmivora ini ditentukan oleh gen-
gen positif. Hal ini terlihat dari nilai H1>H2, ini mengindikasikan bahwa tetua
yang membawa gen yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap
ketahanan penyakit busuk buah kakao.
Tingkat Dominansi.
Besarnya pengaruh dominansi dari nilai (H1/D)1/2.Nilai H1/D)1/2 (Tabel 29)
menunjukkan adanya over dominan dengan nilai 1,6003. Menurut Hayman
(1954), nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi,
sedangkan nilai (H1/D)1/2 antara nol dan satu menunjukkan dominansi parsial
(dominansi parsial atau resesif parsial)
Proporsi Gen Dominan terhadap Gen Resesif. Banyaknya gen – gen dominan di dalam tetua tercermin dari nilai Kd/Kr.
Apabila Kd/Kr> 1 maka gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua.
Sebaliknya apabila Kd/Kr<1 maka gen-gen resesif lebih banyak di dalam tetua.
Pada Tabel 29 terlihat bahwa nilai Kd/Kr adalah 1,3594 yang menunjukkan
bahwa gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Hal ini mengindikasikan
bahwa gen dominan dari genotipe kakao yang digunakan sebagai tetua untuk
135
menghasilkan keturunan yang lebih baik kemungkinan sulit dicapai. Oleh karena
itu diharapkan dalam perakitan hibrida dikombinasikan antara tetua yang resesif.
Arah dan Urutan Dominansi Urutan dominansi tetua (berdasarkan wr + vr) untuk sifat ketahanan
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora disajikan pada Gambar 18. Klon ICS
13 merupakan tetua paling banyak mengandung gen dominan (16,68), diikuti DR
1 (68,65) sedangkan tiga klon yang lainnya TSH 858 paling banyak mengandung
gen resesif bersama dengan Sca 6 dan ICCRI 3. Berdasarkan urutan dominansi,
makin dekat dengan titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen
dominan, sebaliknya semakin jauh dengan titik nol maka tetua tersebut paling
banyak mengandung gen resesif (Sudjindro et al., 1991; Sousa & Maluf, 2003).
Gambar 18. Hubungan peragam (Wr) dan Ragam (Vr) 5 klon kakao sifat ketahanannya terhadap penyakit busuk buah P. palmivora.
Berdasarkan arah dan urutan dominansi terhadap tetua-tetua tersebut
dimungkinkan tetua yang resesif akan berpeluang menghasilkan hibrida yang baik
dalam hal aspek heterosisnya. Jika hal tersebut terbukti maka, diduga peluang
untuk menghasilkan hibrida pada tanaman kakao dimiliki oleh ICCRI 3 dan Sca 6.
Jumlah Gen Pengendali karakter.
Katahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan
oleh P. palmivora dikendalikan oleh gen resesif. Jumlah gen pengendali
ICCRI 3
ICS 13
Sca6
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00
Vr
Wr
136
tercermin dari nilai (h2/H2). Jumlah gen yang mengendalikan katahanan kakao
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora 2,1396 (dua).
Heritabilitas Hasil analisis menggunakan ragam fenotipe dan ragam genetik aditif,
diketahui bahwa hasil pendugaan nilai daya waris (heritabilitas) berdasarkan luas
bercak hasil inokulasi terhadap P. palmivora dengan pendekatan persilangan
dialel besarnya heritabilitas dalam arti luas (h2bs) adalah 0,9600, sedangkan
heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) sebesar 0,5589 (Tabel 30). Sedangkan
berdasarkan intensitas penyakit heritabilitas dalam arti luas dan sempit adalah
tinggi dan sedang. Mangoendidjojo (2003) mengelompokkan heritabilitas sebagai
berikut: h2 > 50% = tinggi, 20% ≤ h2 ≤ 50% = sedang dan h2 < 20% = rendah.
Menurut klasifikasi tersebut, heritabilitas terduga berdasarkan komponen luas
bercak tersebut tinggi. Heritabilitas dalam arti sempit yang tinggi menggambarkan
besarnya peranan penampilan gen aditif. Hanson (1963) menyatakan bahwa
heritabilitas dalam arti sempit hanya menggambarkan besarnya peran penampilan
gen-gen aditif dalam menentukan besarnya keragaman genetik dalam
hubungannya dengan keragaman fenotipik.
Tabel 30. Heritabilitas dalam arti luas (h2bs) dan heritabilitas dalam arti sempit
(h2ns ) komponen ketahanan berdasarkan luas bercak dan Intensitas
Penyakit terhadap P. palmivora
Heritabilitas (h2) Karakter h2
bs (%) h2ns (%)
Luas bercak 96, 00 55, 89 Kriteria Tinggi Tinggi Intensitas penyakit 50,46 20,95 Kriteria Tinggi Sedang
Berdasarkan nilai duga heritabilitas di atas dapat diartikan bahwa karakter
ketahanan dapat digunakan sebagai alat yang efisien untuk seleksi klon kakao
dalam rangka mendapatkan bahan tanam yang unggul dan tahan terhadap P.
palmivora.
Berdasarkan Tabel 31 hasil analisis varian daya gabung umum dan daya
gabung kusus menunjukkan bahwa daya gabung umum berpangaruh sangat nyata.
Hai ini mengindikasikan bahwa terdapat klon yang memiliki kemampuan
137
menggabung yang tinggi dengan klon lainnya. Untuk daya gabung khusus
berdasarkan analisis varian menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kombinasi persilangan tertentu dari tetua yang dapat
menghasilkan hibrida yang lebih baik dari kombinasi persilangan lainnya.
Analisis daya gabung umum dan daya gabung kusus, dapat dilanjutkan untuk
mengetahui tetua yang memiliki DGU tinggi dan DGK agar diketahui kombinasi
persilangan tertentu untuk menghasilkan hibrida yang diinginkan.
Tabel 31. Anova daya gabung karakter luas bercak terhadap penyakit Phytopthora palmivora pada tanaman kakao.
Sumber variasi db JK KT F.Hitung DGU 4 1651,6368 412,9092 4,67 ** DGK 10 1914,7124 191,4712 2,17 * Galat 28 2475,4805 88,4100
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata, * = berpengaruh nyata) nilai-p=0,05199
Daya Gabung Umum (DGU) Hasil analisis efek daya gabung umum berdasarkan luas bercak
ditampilkan pada Tabel 32. Dapat diketahui bahwa klon TSH 858, Sca 6, dan
ICCRI 3 mempunyai nilai daya gabung umum yang tinggi. Berasarkan intensitas
penyakit klon DR1 mempunyai nilai daya gabung umum yang tinggi
dibandingkan dengan klon lainnya. Ketiga klon kakao tersebut mempunyai nilai
daya gabung umum tinggi. Sedangkan DR1 dan ICS 13 daya gabung terhadap
klon lainnnya lebih rendah. Untuk indeks intensitas penyakit, DGU terendah
dihasilkan oleh Sca 6. Nilai daya gabung umum Sca 6 yang kecil berarti tetua
yang bersangkutan mempunyai daya gabung (rata-rata) yang lebih rendah
dibandingkan dengan tetua-tetua lain.
Daya Gabung Khusus (DGK)
Daya gabung khusus merupakan ekspresi ragam genetik non aditif,
dominan dan epistasis (Bolanos-Aquilar et al., 2001). Dari Tabel 32 terlihat
bahwa kombinasi persilangan yang mempunyai DGK tertinggi adalah ICCRI 3 x
Sca 6 dan DR1 x ICS 13, sedangkan persilangan TSH 858 x ICS 13 dan TSH
858 x DR1 menduduki peringkat ke 3 dan ke 4. Kombinasi persilangan tersebut
berpeluang menghasilkan hibrida F1 pada tanaman kakao yang tahan terhadap
138
penyakit P. palmivora. Berdasarkan hasil nilai daya gabung khusus dapat
diketahui bahwa tidak semua klon kakao yang memiliki nilai daya gabung umum
yang tinggi menghasilkan DGK yang tinggi. Nilai daya gabung yang tinggi dari
tetua yang menghasilkan nilai daya gabung khusus tinggi adalah kombinasi
persilangan antara ICCR3 x Sca 6 (14,29%) berdasarkan parameter luas bercak.
Berdasarkan intensitas penyakit nilai daya gabung khusus tertinggi dihasilkan
oleh kombinasi persilangan dari tetua DR1 x ICS 13. Kedua tetua ini konsisten
merupakan penggabung yang baik, karena kedua tetua ini menghasilkan nilai daya
gabung umum yang tinggi berdasarkan intensitas penyakit.
Tabel 32. Nilai efek Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak (cm2) dan intensitas penyakit (%) hasil inokulasi ketahanan terhadap penyakit Phytophthora palmivora
Rata-rata DGU Genotipe
Luas bercak
Intensitas penyakit
(a)
(b) ICCRI 3 18,23 20.42 30,85 13,83 TSH 858 24,57 22.39 35,61 12,93 DR1 20,21 18.39 14,83 18,03 ICS13 13,47 23.24 4,46 16,28 Sca 6 14,71 15.33 34,37 3,20
Rara-rata DGK (a) (b) (a) (b) ICCRI 3 X TSH 858 24,67 13.83 -8,08 1,19 ICCRI 3 X DR1 20,29 15.49 -0,91 0,02 ICCRI 3 X ICS 13 10,15 12.27 -5,30 -2,23 ICCRI 3 X Sca 6 46,35 8.25 14,29 1,02 TSH 858 X DR1 26,17 9.62 2,32 -5,35 TSH 858 X ICS 13 23,02 11.70 4,93 -2,26 TSH 858 X Sca 6 35,53 13.17 0,82 6,44 DR1 X ICS 13 13,58 25.48 7,04 8,65 DR1 X Sca 6 14,72 6.25 -8,45 -3,32 ICS 13 X Sca 6 10,73 4.44 -6,67 -4,14
Heterosis
Berdasarkan pendugaan nilai heterosis pada klon kakao yang digunakan
sebagai tetua untuk persilangan merakit hibrida F1, dan berdasarkan luas bercak
yang dihasilkan dari ketahanan terhadap P. palmivora terdapat 5 hibrida yang
menghasilkan nilai heterosis tinggi dibandingkan kedua tetuanya (Tabel 33).
139
Hibrida yang mempunyai nilai heterosis tinggi untuk ketahanan terhadap infeksi
P. palmivora ditunjukkan dengan nilai heterosis yang negatif tinggi dan melebihi
dari rata-rata kedua tetuanya. Nilai heterosis/hibrida-hibrida tersebut adalah : DR
1 x Sca 6 (-52,07%), ICS13 X Sca 6 (-42,00%), DR1 x ICS13 (-47,00 %), TSH
858 x DR1 (-27,00 %), ICCRI 3 x ICS 13 (-36,00%) serta ICCRI 3 x DR1 (-
27,00%). Sedangkan nilai heterosis terkecil dihasilkan oleh persilangan TSH 858
x Sca 6 dengan menghasilkan nilai heterosis positif sebesar 23 %. Hibrida DR1 x
Sca 6 menghasilkan nilai heterosis tertinggi berdasarkan parameter luas bercak
yaitu (-52,07%) atau persilangan ini akan mnghasilkan ketahanan sebesar 52,07%
lebih tinggi dari tetua yang tahan. Angka-angka negatif menunjukkan nilai
ketahanan yang mengarah kekiri yaitu menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih
baik. Semakin besar nilai heterosis negatif, maka semakin besar pula nilai
pewarisan ketahanan yang dihasilkan dari hibrida tersebut.
Tabel 33. Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak.
Persilangan P1(g) P2(g) F1 MP hMP (%)
hHP (%)
ICCRI3 X TSH 858 18,22672 34,55005 24,673 26,388 -7 35 ICCRI3 X DR1 18,22672 37,48375 20,294 27,855 -27 11 ICCRI3 X ICS13 18,22672 13,46766 10,149 15,847 -36 -25 ICCRI3 X Sca 6 18,22672 23,28629 19,67 20,757 -5 8 TSH 858 X DR1 34,55005 37,48375 26,17 36,017 -27 -24 TSH 858 X ICS 13 34,55005 13,46766 23,02 24,009 -4 71 TSH 858 X Sca 6 34,55005 23,28629 35,531 28,918 23 53 DR 1 X ICS 13 37,48375 13,46766 13,581 25,476 -47 1 DR 1 X Sca 6 37,48375 23,28629 14,717 30,385 -52 -37 ICS 13 X Sca 6 13,46766 23,28629 10,736 18,377 -42 -20
Keterangan: P1 = Tetua pertama, P2 = Tetua kedua, hMP = Heterosis rata-rata tetua, hHP = Heterosis rata-rata tetua tertinggi, MP= rata-rata nilai kedua tetua.
Untuk heterosis berdasarkan tetua tertinggi (hHP) terdapat 4 hibrida yang
memiliki nilai heterosis terbaik. Kombinasi persilangan tersebut adalah: DR1 x
Sca 6, ICCRI3 X ICS13, TSH 858 X DR1 dan ICS 13 X Sca 6. Keempat
kombinasi persilangan tersebut memiliki peluang yang besar digunakan sebagai
sumber bahan tanam untuk merakit bahan tanam yang baru. Besarnya heterosis
140
berkisar antara (-20 %) hingga (-37%). Nilai heterosis tertinggi dihasilkan
persilangan : DR1 x Sca 6 sebesar -37%. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan
persilangan tersebut akan menghasilkan kenaikan ketahanan berdasarkan
intensitas penyakit sebesar 37 % lebih tinggi dari tetua yang mempunyai
ketahanan tinggi yang digunakan (Sca 6).
Nilai heterosis berdasarkan IIP (Tabel 34) bahwa hibrida ICS 13 X Sca 6,
DR 1 X Sca 6, ICCRI 3 X Sca 6 dan TSH 858 X DR1 menghasilkan nilai tertinggi
dibandingkan dengan hibrida lainnya.
Tabel 34. Penampilan tetua, F1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan Intensitas Indek Penyakit (IIP).
Persilangan P1(g) P2(g) F1 MP hMP (%)
hHP (%)
ICCRI3 X TSH 858 20.416 22.389 13.834 21.403 -35,4 -32,2 ICCRI3 X DR1 20.416 18.389 15.488 19.403 -,20,2 -15,8 ICCRI3 X ICS13 20.416 23.241 12.273 21.829 -43,8 -39,9 ICCRI3 X Sca 6 20.416 15.334 8.253 17.875 -53,8 -46,2 TSH 858 X DR1 22.389 18.389 9.622 20.389 -52,8 -47,7 TSH 858 X ICS 13 22.389 23.241 11.705 22.815 -48,7 -47,7 TSH 858 X Sca 6 22.389 15.334 13.167 18.862 -30,2 -14,1 DR 1 X ICS 13 18.389 23.241 25.477 20.815 22,4 38,5 DR 1 X Sca 6 18.389 15.334 6.250 16.862 -62,9 -59,2 ICS 13 X Sca 6 23.241 15.334 4.446 19.288 -76,9 -71,0
Keterangan: P1 = Tetua pertama, P2 = Tetua kedua, hMP = Heterosis rata-rata tetua, hHP = Heterosis rata-rata tetua tertinggi, MP= rata-rata nilai kedua tetua.
Simpulan
1. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam menentukan ketahanan terhadap
penyakit busuk buah kakao. Ketahanan banyak dipengaruhi oleh aksi gen
aditif.
2. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun sempit tergolong tinggi untuk luas
bercak, sedangkan berdasarkan intensitas penyakit, tergolong tinggi hingga
sedang.
3. Tetua TSH 858, ICCRI 3 dan Sca 6 mempunyai Daya Gabung Umum yang
cukup tinggi untuk luas bercak dibandingkan dengan tetua lainnya.
141
4. Nilai DGK tertinggi kombinasi ICCRI 3 X Sca 6 untuk luas bercak sedangkan
persilangan DR 1 x ICS 13 mempunyai DGK terbaik dibandingkan dengan
persilangan lainnya berdasarkan luas bercak maupun IIP, sehingga kombinasi
tetua ini berpeluang menjadi penghasil hibrida.
5. Haterosis tertinggi diperoleh dari persilangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6
dan ICS 13 x Sca 6.
Daftar Pustaka
Ambreen A, Chowdhry MA, Khaliq I, Ahmad R. 2002. Genetic determination for some drought related leaf traits in bread wheat. Asian Journal of Plant Science 3:232-234.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 p.
Falconer DS. 1985. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd. London, New York. Longman Group Limited.
Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. 4th ed. Longman: Essex.
Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development. Theory and Techniques. Vol 2. London: Macmillan Publ.
Griffing B. 1956. Concepts of general and specific combining ability in relation to dialel crossing systems. Aust. J. Biol. Sci. 9:463-493.
Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39: 789-809.
Hanson WD. 1963. Heritability. In WD. Hanson and NF Robinson (Eds) Statistical genetics and plant breeding. NAS-NRC Pbl. No 982, National Academy of Science, National Research Council, Washington DC., 125-139.
Iswanto A. & Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the role of planting material resistant to VSD and black pod. In P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112.
Iswanto A & Yunianto D. 1987. Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: 185-188.
__________, Winarno H & Suhendi D. 1999. Kajian Stabilitas hasil dan komponen buah beberapa hibrida kakao. Pelita Perkebunan 15(2): 81-90.
__________, Winarno H & Astutiningsih P. 1994. Seleksi Pendahuluan Ketahanan terhadap penyakit kanker batang P. palmivora pada beberapa kakao hibrida F1 setelah terjadinya banjir. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman II: 128-131.
142
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1993. Relationship between leaf and pod resistance in cocoa to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 33-39.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
Iwaro AD, Sreenivasan TN & Umaharan. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: effect of pathogen species, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol. 104:11-15.
Iwaro DA., T.N.Sreenivasan., Umaharan & Spence. H 1999. Studies on Black Pod Disease in Trinidad. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. p: 67-74. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Johnson R. 1978. Pratical breeding for durable resistance to rust diseases in self-pollinating cereal. Euphytica 27, 529-540.
Kushalappa CA & AB Eskes. 1989. Advances in coffee rust research. Ann. Rev. Phytopathol. 27, 503-531.
McWhirter KS. 1979. Breeding of cross pollinated crops. In R. Knight (Ed.) , Plant breeding. Australian Vice Consellors Committee, Brisbane.
Mawardi S. 1996. Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika Terhadap Penyakit Karat Daun (Hemileia vastatrix B.et Br) di Indonesia.[Disertasi]. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 219 hal.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta. Kanisius.
Mahmood T, Shabbir G, Sarfraz M, Sadiq M, Bhati MK, Mehdi SM Jamil M, Hassan G. 2002. Combining ability studies in rice (Oryza sativa L) under salinized soil conditions. Asian Journal of Plant Science 1:88-90.
Noshin, Iqbal MM, Din R, Khan SJ, Khan SU, Khan IU & Khan MU. 2003. Genetic analysis of yield its components in F1 generation of brown mustard (Brassica juncea L.Czem and Coss). Asian Journal of Plant Science 2: 1027-1033.
Purwantara A. 1990. Pengaruh beberapa unsur cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58: 78-83.
Purwantara A & Prawirosoemardjo S. 1990. Fluktuasi intensitas serangan Phytophthora palmivora pada buah kakao di daerah beriklim basah. Menara Perkebunan 58: 44-50
Poelhman JM, Sleper AD. 1996. Breeding Field Crops. Iowa State University Press. Ames
143
Prawirosoemardjo S & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl) Butl. pada buah dan batang pada beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: 67-72
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations.. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Roy D. 2000. Plant breeding analysis and exploitation of variation. New Delhi:Narosa Publishing House. 701 hal.
Rocha, H.M. 1974. Breeding cacao for resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (Ed). Phytophthora Disease of Cocoa: 211-218 Longman London.
Sujiprihati S. 1996. Heterosis, combining ability and yield prediction in hybrid from local maize inbred lines [PhD]. Malaysia: University.247 p.
Saosa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and estimation of genetic parameters of hot pepper. Sci Agric 60. 105-113.
Singh RK & Chaudary BD. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Pub. New Delhi, 304 p.
Suhendi D, Winarno H., & Susilo. 2005. Peningkatan produksi dan mutu hasil kakao melalui penggunaan klon baru. Prosiding Simposium Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, hlm. 98-111. Yogyakarta, 4-5 Oktober 2004.
van der Plank JE. 1963. Plants Diseases Epidemics and Control. Academic Press, N.Y, 349p.
Wells JR.1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. USA: John Wiley & Sons.224 pp.
PEMBAHASAN UMUM
Penggunaan varietas kakao yang tahan merupakan cara efektif dan
ekonomis untuk pengendalian busuk buah kakao (Muller, 1974). Di Indonesia,
pemuliaan kakao ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan
potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap busuk buah dan vascular
streak dieback (Iswanto & Winarno, 1992). Kemajuan dalam pemuliaan tanaman
untuk ketahanan terhadap busuk buah kakao sering kali kurang berhasil antara
lain diduga karena rendahnya keragaman plasma nutfah kakao, belum tersedianya
metode uji ketahanan yang efisien, belum digunakannya strategi pemuliaan yang
efektif, dan terbatasnya informasi genetik sifat resisten dan mekanisme ketahanan
kakao terhadap infeksi P. palmivora.
Tersedianya metode uji ketahanan yang efektif dan mudah dilakukan
merupakan langkah awal bagi keberhasilan pemuliaan tanaman kakao untuk
mendapatkan klon unggul yang tahan terhadap infeksi P. palmivora. Untuk itu,
pembakuan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P.
palmivora perlu dilakukan agar identifikasi plasma nutfah yang tahan dan yang
rentan dapat dilakukan dengan akurat. Dengan metode baku yang dikembangkan,
hasil uji ketahanan plasma nutfah dapat diperbandingkan antar peneliti.
Hal ini sangat penting untuk kakao karena ketahanan buah kakao terhadap
infeksi P. palmivora diduga merupakan ketahanan horizontal (Simmonds, 1994),
yang relatif sulit penanganannya dengan pemuliaan tanaman. Zadoks (1997)
menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lainnya
cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistance). Metode baku uji ketahanan
yang dikembangkan harus mampu mengidentifikasi perbedaan respon yang ada di
antara koleksi plasma nutfah kakao. Dengan demikian, metode ujinya tidak boleh
terlalu ketat sehingga semua plasma nutfah yang dievaluasi mengalami kematian
dan tidak boleh terlalu ringan sehingga semua plasma nutfah tergolong tahan.
Dalam pembakuan metode uji ketahanan, faktor yang perlu dievaluasi
antara lain: tipe inokulum P. palmivora yang digunakan (zoospora atau miselia),
perlu tidaknya pelukaan jaringan sebelum diinokulasi (dengan atau tanpa
pelukaan), dan jaringan tanaman yang akan diinokulasi P. palmivora (jaringan
buah, batang, atau daun). Metode uji yang dikembangkan seharusnya juga
145
mempertimbangkan aspek teknis pelaksanaannya, yaitu mudah dilakukan tetapi
dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji.
Di lapangan, P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan
miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang kakao, dan sisa-sisa
tanaman yang tersebar di tanah. Oleh karena itu, dalam pengujian metode
inokulasi perlu dievaluasi penggunaan zoospora dan miselia sebagai inokulum.
Dalam percobaan ini, zoospora yang digunakan untuk meginfeksi buah
kakao menghasilkan persentase buah tidak terinfeksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan miselia. Diameter bercak pada buah kakao yang diinokulasi
dengan zoospora juga relatif lebih kecil dibandingkan miselia.
Sebaran diameter bercak pada buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi
dengan zoospora P. palmivora sama dengan klon Sca 12. Sebaliknya untuk buah
kakao yang diinokulasi dengan miselia, persentase buah dengan diameter bercak
>8.2 cm lebih besar pada buah kakao klon GC 7 dibandingkan Sca 12.
Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena klon GC 7 merupakan klon
kakao yang rentan dan Sca 12 merupakan klon kakao yang lebih tahan terhadap
infeksi P. palmivora. Sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao
akibat infeksi P. palmivora ditemukan antara lain pada klon kakao Sca 6 dan Sca
12 (asal Ekuador) serta TSH 565, TSH 516, dan TSH 774 (asal Trinidad) (Soria,
1974). Berdasarkan hasil pengujian di beberapa negara, kakao klon Sca 6 dan Sca
12 mempunyai ketahanan mantap terhadap P. palmivora (Iswanto & Winarno,
1992; Philip-Mora, 1999). Klon lain yang juga tahan terhadap infeksi P.
palmivora antara lain ICS 6 dan DRC 16; klon yang moderat antara lain, DR 2,
DR 38, DRC 9, dan Sca 12 89, dan klon yang rentan antara lain GC 7 dan DR 1
(Iswanto & Winarno, 1992).
Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula diintegrasikan dari
spesies Theobroma lainnya seperti T. grandiflora yang buahnya tahan setelah
diinokulasi dengan spora P. palmivora, sedangkan T. bicolor, T. speciosa, T.
simiarum dan T. mammosum dilaporkan rentan terhadap infeksi P. palmivora
(Soria, 1974). Namun demikian keberhasilan hibridisasi antar species di dalam
genus Theobroma diduga sangat terbatas. Bibit hibrida F1 dari silangan antara T.
cacao x T. grandiflora mempunyai pertumbuhan yang lambat, lemah dan fertilitas
146
yang rendah (Soria, 1974).
Perlakuan tanpa pelukaan dimaksudkan untuk mengevaluasi ada tidaknya
mekanisme ketahanan pra-penetrasi P. palmivora. Sebaliknya, perlakuan pelukaan
digunakan untuk mengevaluasi adanya mekanisme ketahanan pasca-penetrasi.
Buah kakao tanpa pelukaan, setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora
mempunyai kisaran diameter bercak yang lebih kecil dibandingkan dengan yang
diberi pelukaan. Hal tersebut berlaku baik untuk kakao klon GC 7 yang rentan
atau Sca 12 yang resisten.
Menurut Iwaro et al. (1995; 1998) ketahanan buah kakao terhadap P.
palmivora merupakan sistem multi komponen yang terekspresi dalam dua tahap,
yaitu ketahanan pra-penetrasi dan pasca-penetrasi. Ketahanan pra-penetrasi
berhubungan dengan faktor morfologis yang berpengaruh terhadap perkembangan
patogen dan menentukan tingkat keparahan yang terjadi pada tanaman yang diuji.
Ketahanan pasca-penetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang
berpengaruh terhadap luasnya jaringan yang terserang. Fry (1982) menyatakan
bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali
perkembangan selanjutnya terhambat oleh mekanisme ketahanan yang ada pada
masing-masing tanaman.
Buah kakao klon GC 7 dengan atau tanpa pelukaan memberikan persentase
buah dengan diameter bercak > 8.2 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan
klon Sca 12. Hal ini mempertegas kembali perbedaan respon GC 7 yang rentan
dan Sca 12 yang tahan terhadap infeksi P. palmivora.
Hasil percobaan juga menunjukkan penggunaan zoospora untuk
menginokulasi bibit kakao menyebabkan kisaran diameter bercak yang lebih
sempit dibandingkan miselia. Dengan demikian, respon bibit kakao yang
diinokulasi dengan zoospora atau miselia P. palmivora sejalan dengan respon
buah kakao.
Perlakuan pelukaan berperanan penting dalam hubungannya dengan respon
bibit kakao yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Sebagian bibit yang tidak
dilukai sebelum diinokulasi P. palmivora ada yang tidak menunjukkan gejala
bercak pada daun atau batangnya. Demikian juga bibit yang diinokulasi dengan
miselia P. palmivora semuanya menghasilkan bercak pada daun atau batangnya.
147
Seperti yang diharapkan, klon GC 7 yang diinokulasi dengan P. palmivora
menghasilkan persentase bibit dengan diameter bercak > 0.52 cm yang lebih
tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal tersebut diamati jika miselia P.
palmivora digunakan sebagai inokulum dan jika bibit yang diuji diberi pelukaan.
Untuk bibit yang diinokulasi dengan zoospora atau bibit yang tidak dilukai,
respon yang diamati tidak sejalan dengan karakteristik ketahanan klon GC 7 dan
klon Sca 12 terhadap infeksi P. palmivora. Meskipun demikian, respon bibit yang
diinokulasi dengan P. palmivora tetap sejalan dengan respon buah yang diuji.
Berdasarkan berbagai hasil yang didapat diusulkan bahwa metode baku uji
ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora sebaiknya
dilakukan dengan (1) menggunakan miselia sebagai inokulum, (2) memberikan
pelukaan pada jaringan buah atau daun sebelum diinokulasi dengan miselia P.
palmivora, dan (3) menggunakan buah dipetik umur empat bulan sesudah antesis
atau daun bibit umur dua bulan setelah tanam.
Besar kecilnya diameter bercak akibat infeksi P. palmivora pada buah atau
bibit yang diuji diduga mencerminkan ada tidaknya sifat tahan pada klon yang
diuji. Klon GC 7 yang dilaporkan rentan mempunyai sebaran bibit atau buah
dengan diameter bercak yang lebih besar dibandingkan dengan klon Sca 12 yang
dilaporkan tahan. Meskipun infeksi P. palmivora pada buah atau bibit kakao klon
Sca 12 tetap menimbulkan bercak kecoklatan (nekrosis), nekrosis yang diamati
relatif tidak berkembang secepat yang diamati pada klon GC 7.
Gejala awal infeksi P. palmivora pada klon kakao tahan sama dengan yang
rentan, yaitu adanya sel yang mempunyai granula berwarna kecoklatan (Tarjot,
1974). P. palmivora tetap mempenetrasi buah kakao dari klon yang tahan dan
yang rentan. Namun demikian penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah
kakao yang rentan berbeda dengan yang tahan (Tarjot, 1974). Pada buah kakao
yang rentan, P. palmivora tidak bertahan lama dalam sel, sel yang terinfeksi
menjadi rusak dengan cepat dan terlihat adanya granula kecoklatan. Pada buah
rentan, patogen menyebar dengan cepat dari satu ke sel lain sehingga
perkembangan busuk buah berlangsung cepat. Pada buah kakao yang tahan, P.
palmivora bertahan lama di dalam sel sebelum munculnya gejala nekrosis.
Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan busuk
148
buah juga melambat (Tarjot, 1972).
Dalam pengujian pengaruh latar belakang genetik kakao terhadap infeksi P.
palmivora menggunakan metode baku yang telah dikembangkan dapat diketahui
bahwa hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) lebih tahan dibandingkan dengan tetua
donor Sca 12 atau hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12). Hal tersebut memperkuat dugaan
sebelumnya bahwa Sca 12 mempunyai mekanisme ketahanan terhadap infeksi P.
palmivora. Namun demikian, hibrida hasil persilangan antara ICS 60 x Sca 12 dan
TSH 858 x Sca 12 mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa keragaan hibrida hasil persilangan antara Sca 12 sebagai
tetua jantan dan donor sifat tahan terhadap P. palmivora dipengaruhi oleh latar
belakang genetik induk betinanya.
Menurut Winarno & Sri-Sukamto (1986), Sca 6 dan Sca 12 dapat digunakan
sebagai tetua donor sifat tahan terhadap infeksi P. palmivora. Hibrida F1 hasil
silangan antara DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 ketika
diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan luas bercak yang sama dengan
klon Sca 6 dan Sca 12. Tetapi jika dibandingkan dengan klon DR 1 yang rentan
terhadap infeksi P. palmivora, maka ketiga hibrida kakao tersebut lebih tahan
terhadap infeksi P. palmivora.
Dari penelitian ini diketahui bahwa sifat ketahanan diwariskan lewat Sca 12
sebagai tetua jantan, terbukti bahwa ICS 60 yang tergolong rentan terhadap P.
palmivora bila disilangkan dengan Sca 12 yang tahan akan menghasilkan hibrida
yang tahan. Sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dilaporkan diwariskan
lewat tetua jantan (Jacob & Toxopeus, 1971).
Klon TSH 858 sebagai induk betina lebih baik jika digunakan untuk
menghasilkan hibrida dengan Sca 12 sebagai induk betina. Hibrida (TSH 858 x
Sca 12) diharapkan selain tahan infeksi P. palmivora juga mempunyai daya hasil
tinggi mengingat sifat daya hasil galur hibrida cacao mengikuti karakteristik induk
betinanya. Sebaliknya, meskipun galur hibrida (ICS 60 x Sca 12) juga berpotensi
berdaya hasil tinggi sesuai dengan sifat ICS 60 sebagai induk betina, dalam hal
ketahanan terhadap P. palmivora lebih rendah dibandingkan dengan hibrida (TSH
858 x Sca 12).
Menurut Jacob & Toxopeus (1971), pewarisan sifat bobot biji ditentukan
149
oleh tetua betinanya. Oleh karena itu pemuliaan tanaman untuk peningkatan
ukuran dan bobot biji kakao dilakukan dengan persilangan antara induk betina
yang berdaya hasil tinggi dan berbiji besar dengan induk jantan yang tahan. Selain
itu perlu dipilih induk jantan dengan karakter ukuran serbuk sari yang besar.
Iswanto dan Junianto (1987) menyatakan bahwa tetua jantan dengan ukuran
serbuk sari yang besar cenderung menghasilkan hibrida F1 dengan biji yang besar
dan berat.
Patogenisitas isolat P. palmivora dari berbagai sentra produksi kakao di
Indonesia belum banyak dievaluasi. Apalagi isolat P. palmivora dapat berubah
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, koleksi dan identifikasi keberadaan P.
palmivora di lapangan perlu secara periodik dilakukan. Tujuan spesifik penelitian
yang dilakukan adalah: (1) mengkoleksi isolat indigenus Phytophthora palmivora
dari sejumlah sentra produksi kakao di Indonesia, (2) mengkarakterisasi isolat
indigenus P. palmivora dari Indonesia menggunakan berbagai karakter morfologi,
dan (3) mengevaluasi patogenisitas isolat indigenus P. palmivora terhadap buah
kakao. Isolat indigenus P. palmivora diisolasi dari buah kakao terinfeksi yang
berasal dari kebun kakao di 21 kabupaten dan 13 provinsi di Indonesia. Isolat
yang didapat selanjutnya dikarakterisasi morfologi dan patogenisitasnya. Hasil
penelitian menunjukkan 24 isolat indigenus P. palmivora telah berhasil diisolasi
dari 13 kabupaten dan 8 provinsi di Indonesia. Isolat indigenus yang didapat
mempunyai bentuk sprora ellipsoid, globoid, atau ovoid. Sebaliknya, antar isolat
indigenus tidak terdapat perbedaan yang jelas untuk papila dan pediselnya.
Meskipun isolat indigenus P. palmivora yang didapat secara morfologis hampir
sama, terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap
kakao klon GC 7, ICS 60 atau TSH 858. Isolat P. palmivora LbSbr dari Lubuk
Basung, Sumatra Barat diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao
yang diuji. Sedangkan isolat JkBwi (12) dan KgBwi (8) dari Banyuwangi, Jawa
Timur; PtBdg (7) dari Badung, Bali; SsSpg (36) dan AgSpg1 (35) dari Sopeng,
Sulawesi Selatan, serta PwMnw dari Manokwari, Papua Barat bersifat patogenik
atau sangat patogenik terhadap buah dari tiga klon kakao yang diuji. Kecuali
dilakukan pengendalian yang sesuai, isolat indigenous P. palmivora yang bersifat
sangat patogenik atau patogenik dapat berkembang menjadi kendala utama dalam
150
budidaya kakao di Indonesia di masa mendatang.
Berdasarkan hasil uji ketahanan terhadap 35 klon kakao yang merupakan
plasma nutfah kakao di Indonesia, diketahui bahwa bentuk maupun tipe buah
kakao tidak mempengaruhi tingkat ketahanannya terhadap infeksi penyakit busuk
buah. Jenis kakao Trinitario menghasilkan tingkat ketahanan yang berbeda begitu
juga dengan jenis kakao lainnya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh nyata genotipe terhadap peubah luas bercak pada hari ke 6 dan
ke 7 pada aras 5%. Peubah-peubah tersebut merupakan tolok ukur ketahanan
tanaman pasca penetrasi pada buah sehingga hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetik berpengaruh nyata terhadap ketahanan terhadap P. palmivora. Luas
bercak merupakan tolok ukur utama terhadap P. palmivora (Iwaro et al., 2000),
sehingga bahasan ini akan menitikberatkan pada peubah luas bercak.
Nilai duga daya waris (heritabilitas) arti luas peubah luas bercak hari ke 6
dan ke 7 setelah inokulasi tergolong sedang dan tinggi. Nilai duga heritabilitas ini
merupakan parameter genetik yang mengungkap proporsi ragam genetik terhadap
ekspresi sifat-sifat tersebut. Kontribusi ragam genetik terhadap ekspresi luas
bercak masing-masing adalah (36,9%) dan (53,2%). Hal ini menunjukkan bahwa
peran faktor genetik terhadap ekspresi kerentanan tanaman terjadi secara
berimbang dengan pengaruh faktor non genetik.
Nilai daya waris tersebut merupakan tolok ukur pendugaan keefektifan
seleksi (Johnson at al., 1995). Berdasarkan hasil ini, seleksi akan kurang efektif
bila dilakukan saat kondisi faktor-faktor non genetik kurang mendukung. Terdapat
2 faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap ekspresi kerentanan tanaman
kakao terhadap P. palmivora yaitu tingkat kelebatan buah (Kebe et al., 1996;
Nyasse et al., 1996) dan kemampuan tanaman menghindari (escape) infeksi P.
palmivora (Kebe et al., 1996).
Nilai koefisien ragam genetik (KVG) merupakan tolok ukur variabilitas
genetik tanaman. Berdasarkan tolok ukur ini variabilitas kerentanan terhadap P.
palmivora termasuk kategori luas karena KVG peubah yang diukur lebih besar
dari pada dua kali standar deviasi ragam genetik. Hal ini menunjukkan bahwa ada
variasi yang tinggi sifat kerentanan terhadap P. palmivora. Oleh karena itu
perbaikan genetik ketahanan terhadap P. palmivora melalui cara seleksi cukup
151
baik sebab tersedia variasi genetik yang besar. Peubah luas bercak merupakan
tolok ukur ketahanan yang menggambarkan respon kerentanan tanaman. Oleh
karena itu, seleksi yang mendasarkan kriteria ini dianggap sebagi proses seleksi
negatif.
Artinya bahwa kemajuan genetik diukur berdasarkan intensitas seleksi
terhadap genotipe yang tidak diikutkan dalam proses seleksi lanjut. Beradasarkan
hasil ini terdapat 8 klon yang mempunyai luas bercak lebih kecil dibandingkan
klon Sca 6 dan 26 klon, yang lain tidak layak diikutkan seleksi lanjut. Dengan
demikian nilai intensitas seleksi adalah i = 26/35 x 100% = 74,28%. Berdasarkan
nilai intensitas seleksi ini maka nilai kemajuan genetik harapan (KG= 66,575%)
yang diperoleh termasuk kategori tinggi menurut Begum & Sobhan (1991).
Genotip yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut
terdapat 8 klon ( ICCRI 1, ICCRI 3, ICS 13, UIT 1, TSH 858, Pa 300, NIC 4 dan
DR 38). Keefektifan seleksi terhadap tanaman tahan di Laboratorium adalah 8/35
x 100% = 22,88%.
Penyakit busuk buah merupakan salah satu penyakit terpenting pada
tanaman kakao. Di Indonesia busuk buah disebabkan oleh Phytophthora
palmivora. Keberhasilan pengendalian ini salah satunya tergantung dari
keberhasilan penekanan kuantitas patogen di lapang antara lain dengan
menggunakan bahan tanam kakao yang diusahakan. Uji ketahanan tanaman kakao
terhadap penyakit busuk buah P. palmivora di laboratorium dan lapangan perlu
dilakukan, hal ini untuk mengetahui konsistensi ketahanan klon tersebut. Dengan
demikian mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini dapat
diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil inokulasi untuk mengetahui
ketahanan klon kakao di laboratorium maupun di lapangan menghasilkan
ketahanan yang sama. Klon kakao yang menunjukkan tingkat ketahanan yang
rentan di laboratorium juga rentan di lapangan seperti klon GC 7 rentan di
laboratorium juga rentan di lapangan.
Umumnya kerapatan stomata buah lebih kecil dibandingkan dengan stomata
di daun, jumlah stomata pada buah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
antar klon terhadap tingkat ketahanannya. Klon Sca 6 yang dikategorikan agak
tahan memiliki jumlah stomata pada buah tertinggi (18,89), stomata terkecil
152
dihasilkan oleh ICCRI 3 (8,89) pada hal kategori ketahanannya terhadap penyakit
busuk buah kakao sama dangan klon Sca 6. Berdasarkan jumlah stomata tersebut,
dapat diketahui bahwa ketahanan kakao tidak dipengaruhi oleh kerapatan stomata
pada daun maupun buah kakao. Patogen dapat mempenetrasi ke daun maupun
buah kakao kemudian mendegradasi sel. Hasil pengamatan morfologi stomata
pada daun kakao menunjukkan bahwa umumnya stomata membuka dan lebih
jelas menonjol ke permukaan untuk klon ICS 13 dan ICCR 3, sedangkan GC 7
yang tergolong sangat rentan dan TSH 858 umumnya stomata agak masuk ke
dalam. Mekanisme tersebut dapat berperan dalam ketahanan sebelum penetrasi
(preexisting defense) dan pasca penetrasi (post infection defense). Penetrasi P.
palmivora ke dalam buah kakao melalui mulut kulit (stomata) (Tarjot, 1974),
namun terdapat laporan kontradiktif mengenai peran mulut kulit sebagai
mekanisme struktural ketahanan kakao terhadap patogen ini (Tarjot, 1972; Iwaro
et al., 1997; Iwaro et al., 1999; dan Phillips-Mora, 1999)
Permukaan daun dan permukaan buah kakao mempunyai alur primer yang
diperkirakan dapat mempengaruhi penyebaran, deposisi, dan pertumbuhan pra-
penetrasi inokulum. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ini permukaan buah
dan stomata daun tidak bisa dijadikan tolak ukur sebagai variabel ketahanan 10
klon kakao yang diuji. terhadap infeksi P. palmivora. Ciri morfologi buah tidak
berkorelasi dengan ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan
peran mekanisme biokimiawi (Iwaro et al., 1997).
Phillips-Mora (1999) menyatakan bahwa hubungan antara jumlah, panjang,
lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar stomata tidak dapat menjelaskan
ketahanan kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun ada perbedaan nyata
antar kultivar, kultivar tahan (P 7) dan moderat (UF 668) mempunyai jumlah
stomata terbanyak, sebaliknya CATIE 1000 (tahan) dan P 12 (rentan) mempunyai
jumlah stomata yang lebih sedikit.
Kitinase diketahui turut berperan dalam mekanisme ketahanan terhadap
infeksi P. palmivora karena dapat menghidrolisis ikatan β 1,4 diantara subunit N-
asetilglukosamina (NAcGLe) pada polimer kitin (Neuhaus, 1999). Enzim kitinase
mempunyai peran penting dalam kontrol biologi berbagai patogen dengan
mendegradasi senyawa kitin yang ada pada dinding sel cendawan (El-Katatny et
153
al., 2001). Zang et al. (2001) menjelaskan bahwa senyawa kitin diketahui
merupakan salah satu penyusun dinding sel hifa S. rolfsii yang menginfeksi pada
tanaman kacang tanah. Degradasi senyawa kitin pada ujung hifa S. rolfsii
diharapkan juga dapat menghambat perkembangan normal hifa dan selanjutnya
dapat mengganggu proses infeksi cendawan ini pada tanaman inangnya. Selain itu
kitinase juga dilaporkan ikut berperanan dalam proses pelepasan elisitor yang
mampu memicu reaksi ketahanan sistemik (systemic acquired resistance/SAR)
pada inang sehingga menghambat perkembangan penyakit (Oku, 1994).
Berdasarkan aktivitas peningkatan kitinase, Sca 6 juga memberikan lebih
kecil dibandingkan dengan klon yang lainnya yaitu sebesar (44,44%).
Peningkatan aktivitas kitinase tertinggi dihasilkan oleh klon ICCRI 3 (98,58 %),
klon ini masuk dalam kelompok yang agak tahan, sehingga dalam proses
pertahanannya aktivitas kitinase ini dikeluarkan cukup besar. Besarnya
peningkatan aktivitas kitinase berkisar antara -34,15 % hingga 98,58 %. Infeksi
Peningkatan aktivitas kitinase pada klon DRC 15 adalah – 34,15 µM pNP/mg
protein/jam, hal ini diduga kitinase ikut berperan dalam aspek ketahanan terhadap
infeksi P. palmivora. Dengan rendahnya peningkatan aktivitas tersebut diduga
klon tersebut memiliki kemampuan yang kecil dalam melindungi infeksi P.
palmivora sehingga tidak mampu memicu ketahanan sistemiknya dibandingkan
dengan klon DR 2 yang mempunyai ketahanan yang sama. P. palmivora pada
kakao mengindikasikan peningkatan aktivitas kitinase pada sebagian klon kakao
baik klon yang tahan maupun rentan.
Besarnya peningkatan aktivitas peroksidase berkisar antara 50-100%.
Peningkatan aktivitas peroksidase (PPr) tertinggi adalah klon ICS 60, ICCRI 3
dan ICS 13 masing-masing mencapai 100%, sedangkan klon Sca 6 (62,50%). Hal
ini diduga bahwa peran aktif enzim peroksidase pada tanaman kakao dapat
digunakan sebagai alat pertahanan menghambat perkembangan patogen yang
menginfeksi jaringan tanaman tersebut. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
terhadap tanaman lain, peroksidase juga menunjukkan penghambatan terhadap
pertumbuhan cendawan dalam pengujian in vitro (Saikia et al., 2006). Pujihartati
et al. (2006b) melaporkan bahwa, aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman
terkait dengan ketahanan yang lebih tinggi terhadap patogen pada tanaman kacang
154
tanah. Peroksidase termasuk PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi dari sejumlah
tanaman tingkat tinggi antara lain tembakau (Lagrimini et al., 1987) dan kentang
(Espelie et al., 1986).
Keterlibatan peroksidase dalam tahapan polimerisasi lignin diduga secara
langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap
infeksi pathogen maupun kerusakan fisik (Chitoor et al., 1999). Dinding sel yang
terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat mencegah pergerakan hara
sehingga patogen dapat mengalami kelaparan (starvation). Prekursor lignin
berpengaruh toksis pada patogen. Semua perubahan dinding sel setelah infeksi
dapat meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan patogen secara langsung
atau dengan memperlambat proses penetrasi sehingga tanaman dapat
mengaktifkan mekanisme pertahanan berikut. Lignifikasi dapat pula terjadi pada
sel jamur (Wiranata, 2004).
Berdasarkan nilai heritabilitas arti luas dari luas bercak maupun intensitas
penyakit P. palmivora menunjukkan nilai yang tinggi. Heritabilitas arti sempit
untuk luas bercak tinggi, sedangkan untuk intensitas penyakit masuk kelompok
sedang. Nilai heritabilitas adalah merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor
genetik yang mengukur kemampuan suatu genotip dalam populasi tanaman untuk
mewariskan karakter-karakter yang dimiliki. Pengertian lain menjelaskan bahwa
heritabilitas adalah suatu pendugaan yang mengukur sampai sejauh mana
variabilitas penampilan suatu genotip dalam populasi terutama disebabkan oleh
peranan faktor genetik. Pemahaman tersebut diperoleh dari pegertian bahwa
pendugaan heritabilitas adalah merupakan perbandingan varian genetik dengan
varian fenotip suatu karakter dalam populasi (Allard, 1960; Poehlman & Sleper,
1995).
Melalui heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul pada
suatu karakter terutama disebabkan oleh faktor genetik atau oleh faktor
lingkungan. Dengan demikian para pemulia tanaman dapat memperlihatkan dari
karakter mana yang dapat memberikan respon terhadap suatu usaha perbaikan
yang akan dilakukan. Walaupun heritabilitas merupakan parameter genetik yang
memberikan arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan suatu
konstanta yang bernilai tetap.
155
Menurut Falconer dan Mackay (1996), dan Fehr (1987), nilai heritabilitas
menunjukkan besarnya peran faktor genetik dalam fenotipe suatu karakter.
Sehingga nilai duga heritabilitas dapat digunakan untuk menduga peran gen-gen
pengendali suatu karakter katahanan tanaman kakao. Nilai duga heritabilitas yang
rendah mengindikasikan karakter tersebut merupakan karakter kuantitatif yang
dikendalikan banyak gen, hal ini peran lingkungan terhadap fenotip sangat
dominan. Oleh karena itu, bila nilai duga heritabilitas yang tinggi
mengindikasikan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen mayor.
Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa varian daya gabung umum
(DGU) lebih besar dari pada daya gabung khusus (DGK). Hal ini menunjukkan
bahwa penampilan gen aditif lebih penting dibandingkan penampilan gen non-
aditif (Sing & Chaudhary, 1979; Gost-Dastidar & Das, 1982). Berdasarkan hasil
kajian ini diharapkan bahwa tindak gen ketahanan terhadap P. palmivora pada
kakao bersifat aditif. Oleh karena itu, seleksi klon yang menampakkan fenotipe
tahan terhadap banyak ras fisiologi, biasanya dicirikan dengan tipe reaksi yang
sangat rendah, akan menghasilkan genotipe yang jumlah alel ketahanannya
banyak. Hal ini sangat penting dalam upaya seleksi untuk mengumpulkan gen-gen
ketahanan dalam satu genotipe, sehingga diharapkan akan menghasilkan genotipe
yang memiliki ketahanan awet (Kushalappa dan Eskes, 1989; Mawardi, 1996).
Daya gabung adalah kemampuan dari suatu tetua untuk menurunkan sifat-sifat
yang diinginkan ke hibrida F1. Terdapat dua macam daya gabung yaitu daya
gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Menurut Falconer (1981)
efek daya gabung umum dan khusus merupakan indikator penting dari nilai
potensial suatu galur murni untuk kombinasi persilangan suatu hibrida. Daya
gabung umum (DGU) merupakan dari hasil aksi gen aditif, sedangkan daya
gabung khusus (DGK) merupakan kemampuan kombinasi spesifik hasil dari gen
dominan, epistasis dan aditif (Welsh, 1981).
Ragam aditif yang tinggi menunjukkan tingginya peran aksi gen aditif
terhadap karakter yang diamati. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif
dapat difiksasi sehingga seleksi ketahanan dapat dilakukan pada generasi awal
(Fronza et al., 2004; Noshin et al., 2003).
Nilai heterosis merupakan pencerminan dari hasil keturunan sifat ketahanan
156
yang lebih baik dari rerata kedua tetuanya. Strategi pemuliaan tanaman kakao
yang merupakan tanaman tahunan serta dalam seleksinya memerlukan waktu atau
periode yang panjang, maka nilai heterosis akan sangat membantu di dalam
menghasilkan bahan tanam baru sesuai dengan tujuan penelitian yang diinginkan.
Nilai heterosis yang tinggi menunjukkan bahwa penggabungan sifat genetik
kedua tetua yang digunakan menghasilkan sifat pewarisan yang baik terhadap
ketahanan penyakit P. palmivora
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Secara morfologis isolat indigenus P. palmivora yang didapat dari berbagai
propinsi sentra kakao di Indonesia hampir sama, terdapat perbedaan yang
besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap kakao klon GC7, ICS60 atau
TSH858. Isolat P. palmivora LbSbr dari Lubuk Basung, Sumatra Barat
diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao yang diuji.
2. Metode inokulasi dengan menggunakan miselia lebih efektif dibandingkan
zoospora, dan perlakuan pelukaan lebih akurat untuk menduga ketahanan bibit
kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan
menggunakan buah yang dipetik umur 4 bulan setelah antesis dengan
pelukaan sejalan dengan bibit kakao umur 2 bulan dengan pelukaan pada daun
sebelum diinokulasi sehingga pengujian bibit dapat digunakan sebagai
alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora.
3. Berdasarkan hasil uji ketahanan terhadap 35 plasma nutfah genotip kakao
terhadap penyakit busuk buah diperoleh 10 klon kakao yang tahan (ICCRI 1,
PA 300, ICCRT 3, UIT 1, NIC4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6 dan ICS 60.
Genotip tersebut dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih
lanjut.dengan nilai intensitas seleksi 74,28%.
4. Hasil inokulasi untuk mengetahui ketahanan klon kakao di laboratorium
maupun di lapangan menghasilkan ketahanan yang sama. Klon kakao yang
menunjukkan tingkat ketahanan yang rentan di laboratorium juga rentan di
lapangan.
5. Berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada
daun maupun buah tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap
ketahanan kakao. Klon kakao yang tahan tidak selalu menghasilkan jumlah
kerapatan somata yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan, atau
klon kakao yang rentan tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak
pada daun maupun buahnya.
6. Aktivitas kitinase dan peroksidase terhadap klon kakao yang diuji
mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao terhadap
158
infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan
umumnya lebih konsisten meningkat, begitu juga pada enzim peroksidase.
7. Sifat ketahanan terhadap penyakit busuk buah yang disebabkan P. palmivora
pada persilangan tanaman kakao banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif,
proporsi gen dominan dalam tetua dibandingkan gen resisif .
8. Genotip TSH 858, Sca 6 dan ICCRI 3 mempunyai daya gabung umum yang
baik dan dapat digunakan sebagai tetua tahan dalam perakitan hibrida yang
tahan terhadap P. palmivora. Kombinasi persilangan yang mempunyai
prospek untuk dikembangkan sebagai hibrida baru yang tahan adalah ICCRI
3 x Sca 6 dan DR 1 x ICS 13. Heritabilitas arti luas maupun arti sempit
menunjukkan nilai yang tinggi sehingga memberikan harapan keberhasilan
seleksi yang baik.
9. Secara garis besar, penelitian ini merupakan serangkaian langkah awal dalam
rangka pengembangan klon atau hibrida baru tahan penyakit busuk buah
kakao. Hasil penelitian ini, dalam bentuk klon–klon kakao yang tahan
penyakit P. palmivora dapat digunakan sebagai tetua donor untuk
mengembangkan kultivar tahan P. palmivora untuk membantu memecahkan
masalah kerugian akibat infeksi patogen ini pada tanaman kakao di Indonesia.
Informasi dan aksi gen pengendali ketahanan terhadap P. palmivora pada
tanaman kakao merupakan sumbangan yang penting dalam ilmu pengetahuan
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang studi aksi
gen ketahanan kakao terhadap P. palmivora khususnya yang diisolasi dari
Indonesia.
SARAN
1. Klon kakao yang tahan terhadap P. palmivora dapat digunakan sebagai bahan
tanam klonal di lapangan dengan tata tanam secara poliklonal dalam rangka
pengembangan kakao nasional.
2. Klon-klon yang terpilih dapat digunakan sebagai tetua-tetua untuk
membangun kebun benih kakao penghasil benih hibrida dengan pola tanam
tertentu.
3. Populasi hibrida yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai
159
bahan penelitian kultivar tahan karena tetua yang digunakan untuk membuat
hibrida memiliki karakter agronomis yang baik.
`
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Press.New York.4th Ed.803.p.
Akai S & Fukutomi M. 1980. Preformed internal Physical Defenses. In J.A. Bailey & B.J. Deverall (Eds). Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydny.
Akrofi AY & IY Opoku. 2000. Managing Phytophtora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3rd Int.Seminar of International Permanent Working Group for Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October.
Alvim PT. 1997. Cocoa. In P.T. Alvim & T.T. Kozlowski (Eds) Ecophysiology of Tropical Crops: 279-313. Academic Press. New York.
Appiah AA. 2001. Variability of Phytophthora species causing black pod disease of cocoa (Theobroma cacao L.) and implication for assessment of host resistance. London UK: University of London, PhD Dissertation.
Appiah AA, J. Flood, Bridge PD, & Archer SA. 2003. Inter- and intraspecific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolates from cocoa. Plant Pathol. 52:168-180.
Appiah AA., Flood J, S.A. Archer, & Bridge PD. 2004. Molecular analysis of the major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol. 53:209-219.
Ambreen A, Chowdhry MA, Khaliq I & Ahmad R. 2002. Genetic determination for some drought related leaf traits in bread wheat. Asian Journal of Plant Science 3:232-234.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal.
Baihaki A. 1989. Fenomena heterosis. Dalam Kumpulan Materi Perkuliahan Latihan Teknik Pemuliaan Tanaman dan Hibrida. Balitan Sukamandi, Balitbang Pertanian Deptan, dan Fakultas Pertanian UNPAD. Tidak di publikasikan.
Berger RD. 1977. Application of epidemiological principles to achieve plant disease control. Annu. Rev.Phytopatol. 15: 165-183.
Campbell CL. & Madden L. 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wely & Sons, New York. 532p.
Cheesman EE. 1944. Cocoa notes on nomenclature classification and possible relationships of cocoa populations. Trop.Agr. Trinidad. 21: 144-150.
Cooper GAD & Bhattacharya M. 1998. Role of phenolic in plant evolution. Phytochemistry 49: 1165-1174.
161
Cuatrecasas J. 1964. Cocoa and Its Alleis A Taxonomic Revision of The Genus Theobroma. Bull. US National Herbarium. 35: 379-612.
Crozier J, Thomas SE, Aime MC, Evans C H, & Holmes KA. 2006. Molecular characterization of fungal endophytic morphospecies isolated from stems and pods of Theobroma cacao. Plant Pathol. 55:783-791.
Chittor JM, Leach JE, & White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense agains pathogents in Datta SK, Muthukrishnan S (Ed). Pathogenesis-Related Proteins in Plannts. p171-188. Science
Dirjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Arah kebijakan pengembangan komoditas kakao. Prosiding Simposium Kakao 2004. Pusat Penelitian kopi dan kakao Indonesia. Yogyakarta, 4-5 Oktober 2004. (hal: 9-19).
Dennis JJ. & Konam. 1994. Phytophthora palmivora Culture Control Methods and The Relationship to Disease Epidemiology on Cocoa in Papua New Guinea. Proc.11st Int.Cocoa Res. Conf.p:953-957. Yamoussoukro, Coted’Ivoire. 18-24 July.
Drenth A. & Sendall B. 2001. Pratical guide to Detection and Identification of Phytophthora. CRC for Tropical Plant Protection, Brisbane, Australia. 41p.
Dunstan RH, Smillie RH, & Grant BR. 1990. The effect of subtoxic levels of phosphonate on the metabolism and potential virulence factor of Phytophthora palmivora. Physiol. Mol. Plant Pathol. 36: 205-220.
Darmono TW, I.Jamil & Santoso DA. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan, 74: 86-95.
El-Katatny MHGudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, & Gobitz GM, 2001. Characterization of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii. Appl. Micrrobiol Biotechnol. 56: 137-143.
Engels JMM. 1986. Systematic Description of Cocoa Clones and significance for Taxonomy and Plant Breeding. PhD Disertasion. Agricultural University Wageningen. 125p.
Eskes AB, Engels JMM & Lass RA. 2000. Working Procedures for cocoa germplasm Evaluation and Selection . International Plant Genetic Resources Institute, Rome. 176p.
Fulton RH. 1989. Cocoa disease trilogy: black pod, monilia pod rot and witches broom. Plant Disease 73(7): 601-603.
Falconer DS. 1985. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd. London, New York. Longman Group Limited.
162
Falconer DS & Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Ed. ke 4 Longman: Essex.
Falconer DS. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. Longman. London.
Fehr WR. 1987. Principle of Cultivar Development. Macmillan Publising Company. New York.
Fry WE. 1982. Principles of Plant disease Management. Academic Press, New York. 376p.
Goodwin TW & Mercer EI. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p.
Griffing B. 1956. Concept of and specific combining ability in relation to dialel crossing system. Aust. J. Biol Sci 9: 463-493.
Holderness M. 1990. Efficacy of neutralized phosphonic acid (phosphorus acid) against Phytophthora palmivora pod rot and canker of cocoa. Austral. Plant Pathol. 19:130-131.
Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39, 789-809.
Hanson WD. 1963. Heritability. In WD. Hanson and NF.Robinson (Eds) Statistical genetics and plant breeding. NAS-NRC Pbl. No 982, National Academy of Science, National Research Council, Washington DC., 125-139.
Iswanto A. & Winarno H. 1992. Cocoa Breeding at RIEC Jember and The Role of Planting Material Resistant to VSD and Black Pod. In P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112.
Iswanto A & Yunianto D. 1987. Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: 185-188.
__________, Winarno & Suhendi D. 1999. Kajian Stabilitas hasil dan komponen buah beberapa hibrida kakao. Pelita Perkebunan 15: 81-90.
__________, Winarno & P.Astutiningsih. 1994. Seleksi Pendahuluan Ketahanan terhadap penyakit kanker batang P. palmivora pada beberapa kakao hibrida F1 setelah terjadinya banjir. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman II: 128-131.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1993. Relationship between leaf and pod resistance in cocoa to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 33-39.
163
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol. 46: 557-565.
Iwaro AD, Sreenivasan TN & Umaharan. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: Effect of pathogen species, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol. 104:11-15.
Iwaro DA,. Sreenivasan TN, Umaharan &. Spence JA. 1999. Studies on Black Pod Disease in Trinidad. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. P: 67-74. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Jacob VJ & Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int.Cacao Res.Conf., Tafo, Ghana, 556-564.
Kushalappa CA & Eskes AB. 1989. Advances in coffee rust research. Annu.Rev.Phytopathol. 27: 503-531.
Kebe IB, Goran JAKN, Tahi GH, Paulin D, Clement D & Eskes AB. 1999. Pathology and Breeding for Resistance to Black Pod in Cote d’Ivorie. Proc.Int.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Varieity Improvement. P:135-140. Salvador Bahia, Brasil.12-26th November.
Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR, & Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant.Mol. Biol. 33: 887-895.
Muller R.A. 1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: 259-265. Longman, London.
Miller AN, Timothy JNG; & Thomas HB. 1984. Chomparison of inheritance of resistance to tomato antracnoce caused by two Colletotrichum spp. Plant Diseases, 68:875-877
Mawardi S. 1982. Tujuh puluh tahun pemuliaan tanaman coklat di Indonesia. Menara Perkebunan 50: 7-22.
McWhirter KS. 1979. Breeding of cross pollinated crops. In R. Knight (Ed.) , Plant breeding. Australian Vice consellors committee, Brisbane.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta. Kanisius.
164
Mahmood T, Shabbir G, Sarfraz M, Sadiq M, Bhati MK, Mehdi SM Jamil M, & Hassan G. 2002. Combining ability studies in rice (Oryza sativa L) under salinized soil conditions. Asian Journal of Plant Science 1:88-90.
Noshin, Iqbal MM, Din R, Khan SJ, Khan SU, Khan IU, & Khan MU. 2003. Genetic analysis of yield its components in F1 generation of brown mustard (Brassica juncea L.Czem and Coss). Asian Journal of Plant Science 2: 1027-1033.
Neuhaus JM. 1999. Plant chitinase (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11) In: Datta SK, Muthukrishnan S (Ed). Pathogenesis-Related Proteins in Plants. London:CRC Pr. Hlm 77-105.
Opeke LK & A.M. Gorenz. 1974. Phytophthora Pod rot: Symtoms and Economic Importance. In P.H. Gregory (Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa: 117-124. Longman, London.
Osbourn AE. 1996. Preformed antimicrobial compounds and plant defense against fungal attack. Plant Cell. 8:1821-1831.
Purwantara A. 1990. Pengaruh beberapa unsur cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58: 78-83.
Purwantara A & Prawirosoemardjo S. 1990. Fluktuasi intensitas serangan terhadap Phytophthora palmivora pada buah kakao di daerah beriklim basah. Menara Perkebunan 58: 44-50
Prior C. 1992. Comparative Risk from Disease of Cocoa in Papua New Guinea, Sabah and Carribean. In P.J Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease management in South Asia and Australia: 109-116. FAO, Rome. Paper No. 112.
Prawirosoemardjo S. & Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl) Butl. Pada buah dan batang pada beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: 67-72
Periera JL. 1995. Phytophthora Pod Rot of Cocoa: Advances and Prospects. Proc.1stInt.Cocoa Pest and Disease Seminar. P:76-97 Accra, Ghana.6-10 Nov
Prawoto AA, Raharjo P, Abdullah S, Sri-Sukamto, Winarsih, Odang B, Suhendi D, Wiryadiputra S & Sulistyowati. 1988. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kakao. Puasat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 103p.
Philips-Mora W.1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc.Int.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
165
Poehlman JM, & Sleper DA. 1995. Breeding Field Crop. Iowa Stste Uneversity Press. Ames, Iowa.
Poelhman JM, & Sleper AD. 1996. Breeding Field Crops. Ames. Iowa state University Press.
Pudjihartati E, Ilyas S & Sudarsono, 2006b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif,perosidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13:166-172
Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S & Sudarsono, 2006. Aktivitas Enzim Kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13: 73-78.
Rocha HM. 1974. Breeding Cacao for Resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 211-218 Longman London.
Rocha H.M. 1974. Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 211-218 Longman London.
Ristaino JB, Madritch M, Truot CL & Parra G. 1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied Environ. Microbiol. 64:948-954.
Rubiyo, Sri-Sukamto & Iswanto A. 2000. Uji lapang ketahanan hibrida kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butler). Jurnal Stigma 7: 57-59.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Rubiyo, Purwantara A, Suhendi D, Trikoesoemaningtyas, Ilyas S & Sudarsono. 2008b. Uji katahanan kakao (Theobroma cacao L) terhadap penyakit busuk buah dan efektivitas metode inokulasi. Pelita Perkebunan 24 : 95-113.
Roy D 2000. Plant breeding analysis and exploitation of variation. New Delhi:Narosa Publishing House. 701 hal.
Saosa JA de, & Maluf WR. 2003. Dialel Analysis and estimation of genetic parameters of hot pepper. Sci Agric 60 : 105-113.
Singh RK & BD Chaudary. 1982. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Pub. New Delhi, 304 p.
Situmorang S & Soeyatno. 1974. Percobaan pemberantasan penyakit busuk buah
166
pada tanaman kakao dengan beberapa fungisida. Menara Perkebunan 42:251-254.
Sri-Sukamto. 1985. Phytophthora palmivora Butl. Salah satu jamur penyebab penyakit pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 53:7-11.
Sri–Sukamto & Mawardi S. 1986. Ketahanan tongkol klon coklat terhadap penyakit busuk buah tongkol hitam (Phytophthora palmivora (Butl) Butl.). I. Pengujian Laboratorium. Menara Perkebunan 54: 138-142.
Sri-Sukamto, Semangun H & Harsoyo A. 1997. Identifikasi beberapa isolat jamur dan sifat antagonisnya terhadap Phytophthora palmivora pada kakao. Pelita Perkebunan 13:148-160.
Sudarsono A, Purwantara & Suhendi D. 2007. Molecular Technique and Plant Breeding to Speed up the Development of Cacao (Theobroma cacao L.) Cultivar with Resistance against Black Pod Disease Due to Phytophthora palmivora Butl. Infection. KKP3T Research Report, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. 122 hlm.
Surujdeo-Maharaj S P, Umaharan & Iwaro AD. 2001. A study of genotype-isolate interaction in cocoa (Theobroma cacao L.): resistance of cocoa genotypes to isolates of Phytophthora palmivora. Euphytica 118:295-303.
Suhendi D, Winarno H & Susilo AW. 2005. Peningkatan Produksi dan mutu Hasil kakao Melalui Penggunaan Klon Baru. Pro. Simp. Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jogjakarta, 4-5 Oktober 2004: 98-111.
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London.
Sounigo O, Moldear V, Iwaro AD, Bekele F, Sreenivasan TN JM, Thevenin, N. Khan & Butler DR. 2000. Strategy to Establish a CFC. Project Collection. In A.B. Eskes, J.M.M Engels & R.A. Lass (Eds) Working Prosedures for Cocoa Germplasm Evaluation and selection: 29-37. IPGRI- Rome
Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK, & Azad P. 2006. Pseudomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: 375-380
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory (ed.) Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London.
Simmonds NW. 1994. Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers Bul.47:42-52.
Toxopeus H. 1999. Searh for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa research Institute of Negeria during the 1960s. Proc.In.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
167
Tey CC. 1991. New development in chemical control major disease of cocoa in Malaysia. Proc. Int. Cocoa conference: Challenges in the 90’s. Kuala Lumpur.
Tondje PR, Hebbar KP, Sammuels G, Bowers JH, Weise S, Nyemb E, Begoude D, Foko J, & Fontem D. 2006. Bioassay of Geniculosporium species for Phytophthora megakarya biological control on cocoa pod husk pieces. African J. Biotech. 5:648-652.
Thurston HD. 1998. Tropical Plant Disease. APS. St. Paul, Minnesota. 2nd Ed. 200p.
Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18th
January.
………, 1974. Physiology of Fongus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 103-116. Longman London.
Thorold CA. 1975. Disease of Cocoa. Clarendon Press, Oxford. 423p.
Toxopeus H. 1999. Searh for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc.In.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Umayah A & Purwantara A. 2006. Identifikasi Isolat Phytophthora asal kakao. Menara Perkebunan 74: 76-86.
Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM & Purwantara A. 2007. Keragaman genetik isolat Phytophthora palmivora dari tanaman kakao di Indonesia.Pelita Perkebunan 23: 129-138.
Vander vossen, H.A.M. 1997. Strategies of Variety Improvement on Cocoa with Emphasis on Durable Disease Resistance. INGENIC. Reading, UK. 32p.
Van der plank JE. 1963. Plants Diseases:Epidemics and control. Academic Press, N.Y, 349p.
Wels JR.1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. USA: Jhon Wiley &Sons.224 hal.
Winarno H. & Sri-Sukamto. 1986. Uji Laboratorium Ketahanan Tongkol Beberapa Hibrida Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butler). Pelita Perkebunan. 2:115-119.
Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB, & Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr Purif. 40:230-236.
168
Wood GAR. 1985. Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: 119-165. Longman, London.
Wirianata H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta (tidak diterbitkan), 130p.
Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. J.Wiley. New York.
Waterhouse GM. 1974. Phytopthora palmivora and some Related Species. P.H. Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa: 51-70. Longman, London.
Zainudin & John Bako Baon. 2004. Prospek kakao nasional, Satu Dasa Warsa (2005-2014) mendatang antisipasi pengembangan kakao nasional menghadapi regenerasi pertama kakao di Indonesia. Prosiding Simposium Kakao 2004. Pusat Penelitian kopi dan kakao Indonesia. Yogykarta, 4-5 Oktober 2004. (hal:20-28).
Zadooks. 1997. Desease Resistance Testing in Cocoa. INGNIC. UK. 58p.
Zentmyer GA. 1974. Variation Genetics and Geographical Distribution of Mating Type. In P.H. Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa: 89-102. Longman, London.
____________.1988. Origin and distribution of four species of Phytophhtora Trans.Br.Mycol.Soc. 91(3): 367-378.
Zhang M, Melouk HA, Chenault K, & El Rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers Yeast by capillary electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem. 49:5265-5269.
Top Related