1
Kami bukanlah pejabat kampus,
kami juga bukanlah para jenius,
bukan pula agamawan dengan iman yang lurus,
apalagi mahasiswa yang hanya berorientasi lulus,
kami hanya kumpulan manusia yang ingin hidup dengan militansi yang tak pernah pupus.
“Even if you are a minority of one, the truth is the truth”
_ Mahatma Gandhi _
2
Terima kasih kepada
Tuhan bagi yang percaya,
Diri pribadi masing-masing,
Lingkar Sastra ITB,
Perkumpulan Studi Ilmu Kemsayarakatan ITB,
Institut Sosial Humaniora – Tiang Bendera,
Majalah Ganesha – Kelompok Studi Sosial Ekonomi Politik,
Senartogok,
Semua anggota Aliansi Kebangkitan,
Unit-unit di ITB yang lain,
dan semua yang akan membaca!
3
Pengantar
Hanya dari Sebuah Diskusi
Memang tak butuh macam-macam untuk mencipta sesuatu, apalagi
sebuah jurnal sederhana yang berisi kumpulan tulisan. Tidak banyak
memang, tapi militansi menulis sederhana seperti inilah yang bisa
menajamkan pena setajam peluru timah para prajurit.
Pembahasan mengenai makhluk bernama pos-modern bukanlah suatu
hal yang baru. Wacana itu sudah mulai muncul sejak awal abad 20, ketika
kepercayaan manusia modern terhadap rasionalitas mulai luntur. Namun
mengingat fenomena pos-modern terus semakin terlihat dan terangkat,
wacana ini tidak pernah menjadi makanan basi, yang terbuang masuk tong
sampah atau dimakan kucing, tapi akan terus disantap dengan nafsu dari
kegelisahan akan makna yang semakin runtuh pada subjektivitas.
Ya mungkin karena itu pula lah bung Haris dan kawan-kawan
memunculkan kembali wacana ini dalam sebuah diskusi di penghujung
semester, kala ujian berada di ujung tanduk dan aroma liburan semakin
menggoda. Pos-modern bukanlah topik yang mudah dibahas bersama, karena
apa yang ia tawarkan adalah subjektivitas. Maka apakah perlu pemahaman
bersama? Walaupun memang pembahasan lari kesana-kemari, dari
bagaimana keadaan manusia kelak hingga tentang perjodohan. Salah satu
yang menarik bagiku adalah, dengan semua subjektivitas yang semakin
terlihat, bukan tidak mungkin kelak, puncak peradaban manusia adalah
anarki sejati. Ya apapun bahasannya kala itu, pada akhinya diskusi hanyalah
sesi berbagi. Apapun konklusi dan interpretasi, silakan ambil sendiri.
4
Fenomena pos-modern memang merupakan suatu fenomena yang
menarik. Well, tentu saja, karena itu yang kita rasakan dan akan kita rasakan.
Rasionalitas sudah mulai runtuh secara sistematis ketika Einstein
merumuskan relativitasnya, diikuti dengan pengembangan mekanika
kuantum. Bersamaan dengan itu, sisi bahasa, sosial, seni, dan sekotr-sektor
lainnya juga secara perlahan mengalami dekonstruksi terhadap makna-
makna yang terkandung di dalamnya. Melihat kemana manusia bergerak,
mungkin lama-lama pusat keyakinan akan terus mengecil, berawal dari
kemutlakan sejati pada pra-modern, lalu mengerucut pada kemutlakan
objektif pada era modern, dan sekarang bergerak menuju kebenaran subjektif.
Kemutlakan semakin sulit untuk diyakini ketika semua orang pasti memiliki
perspektif yang selalu berbeda.
Ah, apapun itu, aku juga mungkin tidak bisa berkata banyak. Kebenaran
toh milik masing-masing individu. Yang terpenting, usaha-usaha untuk
mengabadikan semua perjalanan pencarian kebenaran itu lah yang perlu
dijaga dalam konsistensi, termasuk dengan pengarsipan dalam jurnal ini.
Walau mungkin tulisan lama juga ikut nyangkut, tak ada yang namanya
kadaluarsa, toh kami tidak memakai pengawet. Makna tetap akan selalu ada
dalam kata-kata yang terbaca, maka nikmatilah, selagi kebenaran masih bisa
dirayakan bersama-sama.
PHX
8 Januari 2016
Komando Pembebasan Harian Wilayah III sektor Himpunan
5
Prolog
"Kuliah Publik: Mengintip Horizon Postmodernisme"
Cafe Tiben #13 / Kajian Awal Tahun
6
Di Halaman Depan Kampus ISH Tiben
Jumat, 18 Desember 2015
Pukul 18.41 s/d 23.00
(disambung di warung pak Rocky kalau masih kurang)
Pembicara:
• Abdul Haris Wirabrata
• Georg Wilhelm Friedrich Hegel
• Choirul Muttaqin
• Martin Heidegger
• Husein Abdulsalam
• Karl Marx
• Okie Fauzi Rachman
• Jaques Lacan
Moderator/Provokator: Senartogok!
Sebenarnya ini semacam UAS, atau lebih tepatnya pemaparan terakhir hasil
belajar selama setahun lebih. Secara pribadi, aku mengucapkan selamat telah
berkutat dan hampir tewas dengan materi-materi yang man teman dalami
dalam setahun ini, Husein dengan Marx kesayangannya, Haris dengan Hegel
paporitnya, Choi dengan Heidegger pujaannya, atau Okie dengan Lacan
kebanggaannya. Nanti sore adalah waktu yang tepat untuk menjabarkan dan
membagikan untuk kami hasil perjuangan dan jungkir baliknya selama ini.
Kami tentu tak sabar dengan diskusi santai barengan ini, sekalian menyambut
7
liburan nantinya. Kita tentu tak mau kalah dengan militer, sebab diskusi
gabungan juga harus dilakukan. Mari berkumpul sambil menyusun materi
mengenaskan di tahun berikutnya. Oh iya, acara ini disponsori toko buku Cak
Sam, dan kabarnya beliau membawa yang 'ena ena' untuk kita minum
8
Daftar Konten
Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma (10)
Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern (19)
Bring me, horizon of postmodernism! (27)
Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif :
Sebuah Cocoklogi Ekstrem (33)
Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme (43)
Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme (47)
2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme (60)
Kesempurnaan adalah Utopia (73)
9
10
Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma
Abdul Haris Wirabrata
Ditulis sebagai cemilan setelah kuliah publik : Mengintip Horizon
Posmodernisme di “Tiang Bendera” Institut Sosial Humaniora, jumat 18
Desember 2015.
“In his Conflict of Faculties written in the mid 1790s, Immanuel Kant addresses a
simple but difficult question: is there a true progress in history? (He meant ethical
progress in freedom, not just material development.) Kant conceded that actual
history is confused and allows for no clear proof: think how the 20th century brought
unprecedented democracy and welfare, but also holocaust and gulag…” [1]
Kutipan diatas sekiranya dapat menjadi gambaran awal keadaan yang
dibawa Choirul Mutaqqien dalam Fenomenologi Heidegger dan Pijar-pijar
Postmodernisme [1.5], dimana kita menyoalkan narasi besar yang dalam
perjalanannya menemukan kontradiksi dan penolakan yang tak terjelaskan.
Kontradiksi dan penolakan (negativitas — negativity) [2] lewat fakta historis
yang telah dialami ini sejak dulu merupakan masalah yang dihadapi manusia
terkhusus dalam ranah filsafat. Formulasi sebuah meta-narasi atau gagasan
universal, untuk mencerap keberagaman bentuk yang kita lihat, setidaknya
tetap menemui kebuntuannya sendiri. Sejak manusia melihat impotensi
dalam mengikutkan pengalaman dan peristiwa yang material dan mewaktu
pada kapal gagasan universal yang abadi (dipandang dapat membawa umat
11
manusia ke pulau yang lebih baik), kita melemparkan pandangan curiga pada
setiap upaya penyatuan menyeluruh dunia yang begitu kaya akan perbedaan.
Sejak plato, metafisika mempersoalkan kemungkinan dan
ketidakmungkinan manusia mencerap pengetahuan tentang yang partikular
ke dalam sebuah gagasan menyeluruh.
[…] as if Ideas form another, even more substantial and stable order of “true”
reality.
Plato sampai sebelum kant berpendapat bahwa penampakan
(appearance) dipahami sebagai ilusi atau cara pandang yang cacat tentang
yang berada di luar alam pikiran kita sehingga tugas filsafat ialah
menyediakan jalan untuk melampaui yang cacat tersebut hingga
mendapatkan the way things really are.Dengan kata lain ide tentang realitas
objektif berada ada diluar sana, diluar pikir dan cara kita untuk sadar.
Kant kemudian me-radikal-kan pembedaan dalam schein (appearance as
illusion) dan erscheinung (appearance as phenomena). Dalam Kant, Alam tidaklah
hal yang berada diluar kita sejak ia menunjukkan bahwa susunan gagsan,
sistem, dan gambaran tentang dunia bergantung pada kategori-kategori.
Proyek utama filsafat Kant yaitu menunjukkan bagaimana metafisik atau
pengetahuan filsafat mungkin. Sistem filsafatnya tidak mendekati langsung
tatanan ontologis tentang realitas melainkan melihat pengetahuan sebagai
jaringan kompleks pengetahuan kategoris. Seperti yang diutarakan Choirul,
Inti dari subjektivitas modern ialah bahwa manusia membedakan antara ciri-
ciri benda dan makna yang kita berikan padanya. Motif utama filsafat Kant
kemudian ialah yang metafisis, bukan thing-in-itself, yaitu untuk kritik
seluruh kemungkinan kategoris metafisis itu sendiri. Menurut Kant, filsafat
yang sukses bukanlah lagi mengenai penjelasan yang mengandung kebenaran
tentang keseluruhan dari yang ada (being), melainkan filsafat yang
12
mengikutkan ilusi-ilusi (mengapa ia perlu, tak terhindarkan, dan bukanlah
kebetulan. [3]
Peninjauan kritis dan teliti memiliki peran penting dalam mengikut
sertakan ilusi yang diperlukan tadi. Namun sistem tersebut masih dapat
melahirkan kesimpulan kontradiktif, paradox. Dimana gagasan yang
menuntut konsistensi dan sistem yang koheren mengikutsertakan
kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Menurut hegel, sistem tersebut tetap
saja mengantarkan kita pada penerimaan dan penolakan suatu gagasan
filsafat. Digambarkan bahwa pengetahuan filsafati bergerak seperti
pertumbuhan kuncup -bunga-buah. Dimana saat bunga hadir di dunia,
kuncup yang berupa perwujudan awal hilang ditolak. Seperti dikatakan di
awal, penolakan tersebut merupakan kontradiksi atau negativitas. Hegel
melihat cara pandang tersebut tidak dapat membawa kita dalam mencerap
isu sebenarnya. Pengetahuan filsafat, tidak seperti pengetahuan lain seperti
ilmu alam yang memiliki kemapanan dalam mengelola kontradiksi, dimana
error menunjukkan kebenaran bahwa pengetahuan tersebut salah. Bila filsafat
terus menolak dan menerima gagasan-gagasan yang muncul — karena bahkan
landasan filsafat masih perlu dipertanyakan — ia tak akan pernah menjadi
pengetahuan yang meng-aktual dan efektif dipinjam sebagai cara kita melihat
dunia.
Dalam phenomenology, hegel berupaya membangun keterkaitan antara
yang pengetahuan awal yang dicari dan negativitasnya. Baik adanya bila kita
mengintip sedikit tentang bagaimana gagasan berperan dalam menunjukkan
jurang besar tak tertambal antara yang universal dan partikular. Roh (spirit)
dilihat sebagai hubungan subjek dengan dirinya sendiri. Hegel membagi
tahapan manusia sebagai pertumbuhan anak-remaja-dewasa.[4] Remaja
dilihat sebagai fase dimana ia menemukan kontradiksi antara gagasan-
tentang-dirinya dan kontradiksi yang ia lihat pada dirinya-dalam-kehidupan.
13
Seperti saat ia dikatakan sebagai seorang yang baik, namun merasa masih
pernah melakukan kejahatan sekaligus juga sedikit-banyak membagikan cinta
pada manusia dan makhluk yang partikular. Ada yang kurang dalam atribut
religius tersebut, ia tidak benar-benar baik namun tidak pula pantas disebut
jahat. Hegel melihat ini sebagai sebuah keterbelahan diri (subjek) dengan
yang universal. Pernah sebelum menyadari kontradiksi tersebut, saat fase
anak-anak, ia tidak menyoalkan kategori tersebut. Keterbelahan melempar
remaja ini pada betapa terpisahnya dunia ini dengan berbagai kekayaannya
yang majemuk kemudian membimbing remaja ini untuk meraih dirinya yang
utuh juga sekaligus menolaknya terus menerus. Keterbelahan dipandang
sebagai proses aufhebung, pembatalan yang melahirkan negativitas.
Sistem Kant mengatakan, proses dalam metafisik berada dalam luas
lingkaran pengetahuan kita yang tidak lagi melirik pada ‘realitas noumenal’
sebab ia tetap external. Hegel disini berbeda dengan Kant, dimana hegel
menjamah kembali the-thing-in-itself yang dihindari Kant. Hegel
mengikutsertakan fasepre-reflexive ground, dari anak-anak ke remaja, momen
keterbelahan antara yang universal dan partikular, atau sebelum metafisik
dan upaya menjelaskan diri dan dunia ini muncul. Selain itu, Hegel
memandang keterbatasan kita menjelaskan realita — dengan kontradiksi di
dalamnya — adalah yang dapat menunjukkan ketidakmampuan the-thing-in-
itself menjelaskan keutuhannya. Itu cukup menunjukkan pada kita betapa
realita di luar diri kita memang terpecah dan terbelah dalam dirinya sendiri.
Ingat bagaimana proyek manusia dalam merumuskan masa depan tidaklah
mungkin tanpa mengikutsertakan trauma masa lalu. Sehingga pencarian yang
absolut bukanlah usaha untuk mendapatkan realitas yang lebih objektif.
Penjelasan objektif oleh berbagai domain pengetahuan ada di luar sana,
namun perlu kita ikutkan ilusi subjektif sebagai kondisi yang diperlukan
untuk kita memiliki pengetahuan objektif tersebut. Mengutip Zizek,
14
Hegel’s famous critique of Kantian skepticism — we can only get to know
the Absolute if the Absolute already in advance wants to be bei uns (with
us) — through his interpretation of parousia as the epochal disclosure of being:
parousia names the mode by which the Absolute (Hegel’s name for the Truth
of Being) is already disclosed to us prior to any active effort on our part, i.e.
the way this disclosure of the Absolute grounds and directs our very effort to
grasp it — or, as mystics and theologians put it, you wouldn’t have been
searching for me if you had not already found me. [5]
Keterbelahan tersebut menunjukkan negativitas, yang mana ia bukan
merupakan yang muncul dari ketiadaan. Negativitas, kontradiksi, trauma,
dan luka dipandang sebagai hal yang memungkinkan terbukanya positivitas
yang baru. Namun negativitas tidak boleh dilepas dari aspek subjektif
pengetahuan awalnya yang berdiri sebagai appearance as phenomena sebelum ia
dipandang sebagai ilusi, mengutip heidegger,
Hegel’s notion of negativity lacks a phenomenal dimension (i.e., Hegel fails to
describe the experience in which negativity would appear as such). Hegel never
systematically exemplifies or makes appear the differences between the terms rejection,
negation, nothing, is not, and so forth.[6]
Heidegger awas terhadap hegel tentang negativitas tersebut. Negativitas
sendiri selalu berada dibawah kerja yang menghasilkan negativitas tersebut
yaitu subjektivitas. Setiap penyangkalan dan kontradiksi terhadap tesis awal
selalu kalah saat posisi subjektif lebih strategis (dalam artian foucauldian).
Lewat Heidegger, jelaslah bahwa di hadapan pertumbuhan pengetahuan
manusia, ada manusia lain yang diperbudak. Dasein pengemuka negativitas
tercerabut dari landasan ‘natural’ keberadaannya yang unik dan kayaan pada
keterkaitan dirinya dan dunia.
15
Logika yang diperbudak tersebut mau tidak mau mesti patuh pada
logika positif yang sedang berkuasa. Ilustrasi (rendering) logika tuan positif
tersebut berlanjut terus — menerus sampai mencapai absolute knowledge, yang
pada hakikatnya merupakan penindasan tanpa akhir. Sejak itu, logika positif
dan narasi besar yang menjanjikan kebaikan bagi umat manusia — yang
menjadi landasan tiap tindakan revolusioner, bersifat techne, dan usaha
perwujudan visi zaman — ditolak mentah-mentah. Alih-alih memberikan
peluang emansipasi, ia tetap berada dalam payung totalitarianisme. Lahirlah
pandangan yang kita sebut postmodernisme, dekonstruksi tiada akhir,
pertarungan kekuatan antar diskursus, memberi peluang hidup bagi logika
yang diperbudak, dan merayakan perbedaan dan demokrasi. Hanya dua jalan
keluar yang ditawarkan (tanpa kekerasan), yaitu membiarkan mereka yang
unik pada dirinya sendiri. Kedua, bila terjadi persinggungan, rekonsiliasi
mungkin diambil.
Tidakkah menarik bila kita sadar bahwa luka, derita, sakit yang dialami
manusia merupakan negativitas yang menampakkan dirinya untuk
membelah kembali ilusi yang dibuat oleh logika positif, ia menyadarkan
anak-anak tadi bahwa ia tidak benar-benar baik dan bukan benar-benar untuk
mengabdi pada gagasan kemanusiaan yang tidak mampu menampung
negativitas dalam dirinya sendiri. Ketidakcukupan gagasan negativitas yang
dilihat oleh heidegger dapat kita cerap sebagai upaya narasi besar
emansipatoris yang melahirkan kontradiksi dan penolakan yang dialami oleh
manusia. Mari kita lihat beberapa tragedi kemanusiaan yang mana dalam
ilustrasi gagasan pada relalitas yang dihidupi menemukan dirinya ditolak
oleh pengalaman pahit. Pengalaman yang menyakitkan dalam domain
kemanusiaan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai kejadian
temporal yang dialami dan sebagai text masa lalu (diluar kepentingan
teleologis, dalam artian contingent materialist process) yang dapat dibaca.
16
Proses pembacaan kejadian lampau yang traumatik mestilah menyebutkan
perbudakan narasi materialis pada pengalaman subjektif yang diemban
pelaku pada kejadian tersebut. [7]
Sejak subjektivitas berperan penting dalam proses dialektik, kita perlu
melihat gagasan Lacan yang akan lebih baik dijelaskan oleh Fauzi Rahman.
Sekilas saja, individu manusia memiliki masalah dalam menjelaskan
identitasnya. Seperti kasus si anak baik, penggambaran selalu kurang atau
terlalu berlebihan dalam menjelaskan identitas subjek. Oleh sebab itu
perlumirror stage yang bergerak dalam tatanan realitas simbolik (bahasa ibu,
figur, tokoh panutan, bahkan fiksi yang dianggap keren). Cermin yang
disediakan realitas simbolik memiliki master signifier dimana kita sebagai
subjek mengapropiasi tiap detail sang tuan lewat penanda yang self-
reproducing.Bayangan di hadapan kita saat berada di depan cermin bukanlah
kita namun nampak seperti kita. Suatu waktu ia akan nampak
sebagai appearance as phenomena namun dalam prosesnya kita temukan diri
kita tercerabut kembali, bahwa kita bukan bayangan tersebut, bukan sekali-
kali figur tersebut. Tetapi perlu diikutkan juga bahwa perubahan
penampakan dari fenomena ke ilusi ditandai dengan betapa miripnya kita
dengan gambar tersebut. Subjek melihat bahwa ‘identik yang penuh’
memiliki banyak kontradiksi tak terjelaskan — yang subjek unik dan selalu
tidak cukup ini — hilang. Lantas itu menjadi sebuah trauma, yang mana
negativitas menjadi penolakan yang begitu kuat. Tidakkah ini kita lihat dalam
perubahan subjek diri sebagai individu, bahkan sebagai bangsa dimana
sebuah tragedi memaksa kita keluar dari cermin tersebut.
Keluar dari tatanan simbolik berarti menolak setiap inci karakter dan
bentuk yang dimilikinya. Subjek mengapropriasi sebuah gagasan ideal lain
yang lebih baik dari sumber lain. Namun Lacan tidak melihat demikian,
penolakan tersebut dapat dibaca sebagai aufhebung yang melahirkan
17
negativitas dan proses ini terikat pada tatanan simbolik awal yang
diapropriasi. Negativitas sebagai ideal baru pun mereproduksi kembali
dirinya sendiri dan pada suatu saat meruntuhkan dirinya sendiri. Pada
akhirnya, dalam artian sempit, terjadi pengembalian subjek dalam tatanan
simbolik. Lebih dari itu, pengembalian subjek pada tatanan simboliknya tidak
dilihat sebagai hal yang sama. Proses ini disebut sebagai dialectical
reversaldimana tatanan simbolik kepayahan menjaga dirinya di tatanan real
subjek. Dengan memberikan lapangan paling luas untuk suatu identitas
mengeluarkan potensinya yang paling besar, subjek dapat menelanjangi
tatanan simbolik yang penuh kontradiksi dan penolakan diri. [8]
Proses ini dapat kita lihat pada film trilogi feminis oleh Lars Von Trier,
Dogville (2003), dimana heroineyang keluar dari tatanan simbolik ayahnya
tentang temporalitas kejahatan dan kebaikan malah menemukan kontradiksi
dalam ideal barunya di sebuah desa Dogville. Setelah mengalami berbagai
kekerasan, perbudakan dan pelecehan di desa tersebut, Grace ditawari sang
ayah untuk memberi pelajaran dengan menggantung mayat seekor anjing
desa tersebut di tower balai desa. Grace menolak dengan memutuskan untuk
menghilangkan desa beserta manusia di dalamnya. Dalam pembacaan film
tersebut dengan cara pandang lacanian act, Grace tidak kembali pada tatanan
simbolik melainkan menemukan tatanan baru yang meskipun terkait,
berbeda dari yang awal dan bagian negativinya. [9]
Mungkin cukup brutal bila membuat hubungan paralel berbagai tragedi
yang pernah terjadi dalam kehidupan individu maupun kolektif kita, namun
pembacaan tersebut setidaknya perolehan terbaik yang didapat dari sebuah
tragedi, dimana kita dapat memandang peristiwa 65 terjadi agar berbagai
buku dapat ditulis. Jelas cara pandang seperti ini memiliki masalah besar
terkait penghilangan manusia sebagai upaya pemusnahan suatu ideologi atau
identitas. Tetapi, tidakkah lewat reformasi, ’65, revolusi terpimpin, konflik
18
horizontal, dan vertikal, kita menemukan berbagai sisi baik dimana suatu cara
dan gagasan menemukan impotensinya dalam mengawal sekaligus masalah
dan kontradiksi pada gagasan awal kita tentang hidup berbangsa dan
bernegara. Perolehan absolut kita adalah perluasan horizon kegagalan yang
pernah diusahakan bangsa ini dan bagaimana ia membuka peluang-peluang
emansipatoris lain. Namun tetap saja, kita tetaplah asing dengan masa depan.
Referensi
[1] Zizek, The Three Events of Philosophy, Zizekian Studies Volume Seven
Number One
[1.5] Choirul Mutaqqien, Fenomenologi Heidegger dan Pijar-pijar
Postmodernisme
[2] Hegel, Phenomenology of Spirit (translasi Miller), Oxford University Press
[3] Zizek, Less than Nothing, Introduction, Verso
[4] Malabou, The Future of Hegel, Chapter Hegel on Man, Routledge
[5] Zizek, Heidegger versus Hegel, e-flux journal no 32
[6] Ibid.
[7] Zizek, lecture on German Idealism and Psychoanalysis with Slavoj Zizek,
Alenka Zupancic, Mladen Dolar, Deutsches Haus, Youtube
[8] Zizek,Cunning of reason : Lacanian reading of hegel,
[9] Denny, david, Signifying Grace: a reading of Lars Von Trier’s Dogville,
Žižek and Cinema — IJŽS Vol 1.3
19
Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern
Choirul Muttaqien
Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam banyak bidang dengan
meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi
kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode
intelektual yang dangkal dan kosong. Awalan “post” pada istilah postmodern
seringkali menimbulkan banyak perdebatan. Apakah “post” itu berarti
pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan? Atau
sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan? Apakah
segala hal yang modern itu sedemikian ideologis? Jangan-jangan
postmodernisme itu justru bentuk radikal dari kemodernan itu sendiri, yaitu
kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Atau justru wajah arif kemodernan
yang telah sadar diri atau sekedar tahap dari proyek modernism yang
memang belum selesai?
Dalam bidang filsafat sendiri istilah “postmodern” diperkenalkan oleh
Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, dan sejak saat itu menjadi locus classicusuntuk diskusi-diskusi
tentang postmodernisme dibidang filsafat kini. Pemikiran Lyotard berkisar
tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khsusunya tentang cara ilmu
dilegitimasikan melalui yang disebutnya, “narasi besar” seperti Kebebasan,
Kemajuan, Emansipasi kaum proletar, dll. Dengan kata lain, dalam abad
ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi
tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme,
dan pluralisme “permainan-bahasa”pun merajalela. Ini baginya tidak jadi
soal, sebab disisi lain ini menunjukkan juga kepekaan baru terhadap
20
perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme,
yang memang perlu. Sehingga postmodernisme dirumuskan sebagai suatu
periode dimana segala sesuatu itu dilegitimasikan dan akhirnya
postmodernisme adalah initifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya
untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-
menerus.
Posmodernisme dalam ranah filsafat
Bila kita bicara dari sudut filsafat, maka karakter yang khas dalam
modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala
pengetahuan (epstemé, Wissenschaft) tentang “apa”nya realitas, dengan cara
kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis
maupun transendental). Di sana diharap ditemukan kepastian mendasar bagi
pengetahuan kita tentang realitas itu, realitas yang biasanya dibayangkan
sebagai “realitas luar”. Kepastian itu persisnya terdapat dalam hukum logika.
Jadi, kalau saja kita bisa mengorganisasikan gagasan-gagasan secara logis
tepat, maka langsung pula kita dapatkan “representasi” yang benar atau
keserupaan “objektif” dengan enyataan. Demikian fondasionalisme dan
representasionalisme telah menjadi sebutan bagi paham yang berkembang
sejak Descartes hingga filsafat analitik abad keduapuluh.
Dalam peristilahan Heidegger, karakteristik kemodernan yang menonjol
adalah bahwa dunia menjadi semacam gambar atau representasi, sekaligus
manusia menjadi subjek di antara lautan objek. Atau dalam peristilahan
Merleau-Ponty, manusia menjadi kosmotheoros, alias penonton murni, dan
pada saat yang sama dunia menjadi le Grand Objet.
21
Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang
bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni, yang
satu sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah
mencari fondasi segala pengetahuan, dan tugas pokok subjek adalah
mempresentasikan kenyataan objektif. Demikian maka klaim-klaim dari
kaum posmodernis tentang “berakhirnya modernisme” biasanya
dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang
“subjek” dan “dunia objektif” tadi, dunia yang seolah sepenuhnya mandiri
menanti subjek yang akan membuat representasi mental tentangnya saja. Lalu
posmodernisme dimengerti sebagai upaya-upaya untuk mengungkapkan
segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu beserta metafisika
tentang fondasioanlisme dan representasionismenya. Awal yang
menyakinkan dari tumbangnya modernisme kiranya adalah justru pada saat
fenomenologi dari Edmund Husserl tampil dan naik daun. Sejarah tentang
posmodernisme betatapun juga tak bisa melewati tahap ini, tentu dengan
menyiangi unsur-unsur mana pada Husserl yang betul-betul baru dan yang
termasuk kuno. Teks kunci dalam hal ini terutama adalah The Idea of
Phenomenology.
Menurut Lyotard, istilah posmodern merupakan suatu pemutusan
hubungan total (diskontinuitas) dengan kultur modern dan bukan sekedar
koreksi atas berbagai pemikiran dan kultur modern. Posmodernisme
diartikan sebagai ketidakpercayaan pada berbagai bentuk meta-narasi (anti-
fondasionalisme), ketidakpercayaan pada klaim kebenaran ilmu pengetahuan
objektif–universal. Ketidakpercayaan pada klaim kebenaran objektif–
universal itu didasarkan atas kesadaran akan adanya keterbatasan dan
ketidakmampuan dalam melihat realitas dari perspektif dan paradigma
tertentu. Penolakan terhadap meta-narasi berarti berakhirnya penjelasan yang
bersifat universal tentang tingkah laku dalam rasionalitas instrumental.
22
Postmodernisme menolak ide bahwa realitas objektif dan cerita rasional
tunggal bisa dicapai. Hal ini menerima eksistensi suatu realitas, tapi tidak
pernah bisa secara akurat diketahui.
Melalui persepsi dan bahasa, dunia/realitas secara sosial dikonstruksi
oleh komunitas. Perspektif tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari
Nietzsche digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan
yang universal dan total. Baginya, teori merupakan konstruksi. Tidak ada
perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak
memiliki akses untuk mengobservasi dunia sebagaimana nyatanya, anggapan
dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia dan sesat. Kebutuhan dan
keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu pengetahuan sesungguhnya
hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada wacana yang berhasil dan
bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu
bersifat provisional dan perspektivis. Prinsip dasar posmodernisme bukan
benar-salah, namun apa yang oleh Lyotard disebut paralogy membiarkan
segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif terhadap perbedaan-
perbedaan. Postmodernisme cenderung melihat kebenaran dikaitkan dengan
asas kegunaannya (pragmatis) di semua bidang, baik sosial-budaya, politik,
seni, pendidikan dan lain-lain. Hal ini berlaku pada semua bidang, baik
social-budaya, politik, seni, pendidikan dan lain-lain.
Heidegger dan Postmodernisme
Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, Martin Heidegger
(1889-1976) juga dipandang sebagai perintis posmodernisme. Heidegger
sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah
segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya
memikirkan dan merumuskan hal ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia “ada
23
dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata
hubungan intelektual, subjek memahami objek.
Kondisi modernisme, adalah sebuah kondisi relasi keterpisahan
ontologik. Manusia dikonsepkan sebagai subjek yang terpisah dari alam objek
(metafisika subtansi). Manusia berdiri dan memiliki jarak, bahkan secara
sadar mengambil jarak atas objek. Sebuah titik archimedes untuk menemukan
objektivikasi metode. Segala ukuran kebenaran bertumpu pada manusia.
Pada Descartes legitimasi objektif selain berdasarkan pada rasio cogito melalui
eksperimen matematik yang jernih dan terpilah-pilah, juga berdasar atas
eksistensi tuhan.
Argumentasi Cartesian yang menjadikan manusia sebagai titik sentral
dalam pemecahan masalah dunia. Sebenarnya penuh dengan kekaburan dan
pertentangan dalam argumen-argumenya. Di satu pihak ada penyanjungan
akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka.
Hal tersebut merupakan titik awal keterputusan manusia dari tuhan, akan
tetapi dilain pihak konsep rasionalitascogito justru dijadikan Descartes sebagai
perangkat pembuktian eksistensi tuhan. Implikasi dari cara berfikir ini adalah
metafisika substansi, usaha memahami ada dengan menyingkirkan aksiden-
aksiden, sebuah kehendak untuk menguasai relaitas dengan reduksi.
Kondisi modernisme yang dijiwai semangat konsep cogito dari Descartes
dengan metafisika substansialistik pada babagan selanjutnya mendapatkan
banyak kritikan. Kritik terhadap modernisme dilontarkan dari dua arah
pertama kritik diri yang menghendaki proyek modernisme dilanjutkan. Pada
posisi ini kita bisa menyebut barisan pemikir dari sekolah frangkfrut
Habermas, Adorno, Hokhaimer dan lain-lain. Pada arah kedua adalah yang
menghendaki modernisme ditinggalkan. Pada titik kedua ini diawali oleh
24
kerja Heidegger dan Nietzsche, yang selanjutnya diteruskan oleh para
pemikir pos-strukturalis.
Pandangan dualitas Cartesian yang menghidupi gaya berfikir
modernisme mendapatkan kritik dari Heidegger. Kritik Heidegger inilah
nantinya yang akan memulai titik awal masuk gerbang postmodernisme.
Melalui fenomenologi eksistensial Heidegger mengawali pemikiranya dengan
menganalisis posisi aku subjek dengan dunia yang tidak
terpisahkan. Dasein adalah konsep yang dilahirkan Heidegger untuk
memahami posisi aku sebagai ada dalam dunia. Dasein adalah konsep yang
yang mengantikan subjek, aku, kesadaran yang popular dalam modernisme.
Melalui Dasein Heidegger mengidealkan hubungan manusia dan dunia
bukanlah hubungan yang epistemologis antara subjek yang mengetahui
dengan objek yang diketahui, akan tetapi hubungan ontologis.
Manusia tidak difahami secara substansialitik, yang menunjukkan
keterpecahan antara substansi dan aksidensi. Sebuah hubungan oposisi biner.
Dengan pemahaman atas realitas sebagai sebuah keseluruhan hubungan yang
saling kait mengkait, dan menolak manusia sebagai titik sentral. Bahwa
adanya manusia selalu hanya bisa difahami jika dikaitkan dengan ada-ada
sebelum keberadaanya, dalam suatu interaksi yang saling kait secara linear
tidak hierarkis oposisi biner.
Bagi Heidegger kondisi postmodernitas adalah kondisi pengumpulan
ada dengan segala diemnsinya yang telah dipecah-pecah oleh tradisi
metafisiks substansi. Kembali pada ada adalah terlepasnya manusia dari
faham humanisme rasional modernisme. Bagi Heidegger manusia tidak dapat
lagi dianggap sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, yang tanpa toleransi
sama sekali terhadap perbedaan.
25
Pemikiran Heidegger tersebut kemudian mempengaruhi para pos-
strukturalis dengan gagasan mereka masing-masing. Pemahaman atas
keseluruhan faktisistas kehidupan secara tidak langsung menolak gaya narasi
besar subtansialistik dalam metafisika kehadiran. Dalam ranah metafisika
gagasan Heidegger disambut oleh seruan untuk kembali pada narasi-narasi
kecil dari J.F Lyotard. Dalam epistemologi dan nilai melalui titik awal
penolakan posisi manusia sebagai ukuran mutlak kebenaran, lahir anything
goes, Paul Fayerabend. Fayerabend bersama dengan Thomas Khun menolak
objektivikasi universal. Puncaknya pada Derrida dengan semangatnya untuk
merusak segala bangunan pemikiran yang telah mapan, melalui penyelidikan
hermeneutik dekontruksi yang lagi-lagi menolak universalitas kebenaran
pada diri manusia.
Penutup
Gerakan posmodernisme merupakan gerakan transformasi kultural yang
muncul untuk merespon kegagalan kaum modernis untuk memenuhi
janjinya. Dalam banyak bidang, termasuk ilmu sosial, diskursus modernis
telah didekonstruksi oleh posmodernis. Sehingga, asumsi yang secara historis
terkondisi dan titik buta yang dibawa oleh Grand Narrative kaum modernis
mengenai objektivitas-scientific yang bebas nilai dan perkembangan
komulatif telah diidentifikasi.
Banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh
pasca modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan pasca
modernisme kenyataanya dia ada dan keberadaanya harus diakui.
Postmodernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat
cerita-cerita kecil. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tidak
bisa bicara apa-apa. Disini akan mudah terjadi kesewenang-wenangan dan
26
yang menjadi korban sudah tentu masyarakat bawah atau kecil.
Postmodernisme menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar
perlu didekonstruksi. Namun, pasca modernisme tidak mampu melakukan
itu. Dekonstruksi yang sebenarnya, kata Franz Magnis Suseno adalah
menganalis dengan teliti.
Postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dipercaya asal ia tidak
memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip pihak lain.
Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan, apakah ia benar berjuang demi
menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar, serta sifat
saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala
keunikan dan keberagamannya. Pasca modernisme memberikan hak untuk
menyuarakan pendapat dan terus menjalankan sifat emansipatoris.
Referensi
[1] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge
[2] J. F. Lyotard. The Postmodern Condition: A Report of Knowledge,
(Manchester:University of Manchester, 1982) hlm. Xi
[3] St. Watson. Kant and Foucault: on the ends Man
[4] Vincent Descombes, Foucault: A Critical Reader
[5] Suyoto, dkk, Postmodernisme Dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta:
Aditya media, 1994.
[6] Ernest Gellner, Menolak Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1994).
[7] The Re-enchanment of Science: Postmodern Proposal (Albany: State University
of New York, 1988).
27
Bring me, horizon of postmodernism!
Okie Fauzi Rachman
Sesungguhnya, manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang
tidak pernah selesai didefinisikan. Manusia dengan keistimewaannya bukan
saja binatang yang berfikir, tapi juga merasa. Dia bukan saja makhluk yang
dapat mengurai argumen dengan logis, melainkan juga dapat mencintai
keindahan. Dia bukan saja membutuhkan hal-hal materil seperti sandang dan
pangan, melainkan juga membutuhkan hal-hal abstrak seperti nilai dan cinta.
Kompleksitas akan pengertian manusia ini pada akhirnya mewarnai
sejarah peradaban manusia yang tidak pernah selesai. Manusia mulai
mengorganisir diri, mulai dalam bentuk keluarga, kelompok berburu, sampai
menjadi sebuah negara, semua hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia
yang kompleks tersebut.
Itu juga yang membuat pada zaman dahulu kala setiap orang terbiasa
untuk hidup holistik. Holistik dalam bentuk diri seseorang yang mesti punya
beragam keterampilan, mulai dari sains, seni, filsafat, hingga agama.
Contohnya dapat kita lihat dalam diri Leonardo Da Vinci yang sangat jenius.
Seorang dokter, seniman, saintis, arsitek dan lain sebagainya. Hal ini
mensyaratkan satu hal, bahwa sebenarnya manusia memerlukan semua aspek
dalam hidup. Tidak hanya berpikir, tetapi juga merasa. Tidak hanya
mengetahui melalui panca indra, tetapi juga memerlukan penalaran.
Namun seiring berkembangnya waktu, semua bidang-bidang itu
akhirnya semakin otonom karena setiap bidang mulai terspesialisasi dalam
medan jelajah yang lebih dalam. Maka, mungkin, akhirnya kita dapat
28
menemukan apa yang disebut dengan profesi, seperti seniman, filsuf,
ilmuwan, dan teknisi yang berfungsi untuk melengkapi kebutuhan manusia
lainnya yang lepas karena dia harus menghabiskan waktunya dalam satu
bidang saja. Sehingga fungsi seorang filsuf dalam masyarakat adalah
memenuhi kebutuhan akan kontemplasi dari anggota masyarakat lainnya dan
fungsi seorang agamawan adalah memenuhi kebutuhan akan nutrisi batin
untuk manusia lainnya. Dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat
merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri, sehingga organ-organ di
dalam masyarakat merupakan organ-organ dari manusia itu sendiri.
Akhirnya dapat kita katakan bahwa sejarah dunia ternyata merupakan
sejarah akan kebutuhan manusia itu sendiri. Ketika kebutuhan yang satu
mendominasi kebutuhan lainnya, maka seorang manusia tidaklah menjadi
utuh, atau dalam konteks masyarakat akan terjadi ketidakseimbangan yang
menghasilkan kekacauan. Hal ini dapat kita terawang dari sejarah dunia yang
telah terjadi. Ketika kebutuhan akan hubungan dengan Tuhan menghegemoni
kebutuhan lainnya, maka yang muncul adalah masa kegelapan atau The Dark
Ages. Dalam masa kegelapan, kebutuhan manusia akan berpikir secara
rasional dan ilmiah diberantas, maka kebutuhan tersebut akhirnya mengebu-
gebu untuk memberontak dan membalas dendam dengan cara
mengaklamasikan diri sebagai sebagai penentu kebenaran di era selanjutnya.
Lahirlah masa reinassance atau era Modern.
Era Modern ditandai dengan pemutarbalikan akan dasar kebenaran dari
agama menuju rasionalitas dan science. Salah satu penanda zaman ini adalah
revolusi industri di abad ke 18 yang menggagas bahwa dengan menggunakan
instrumen rasionalitas, umat manusia dapat mencapai kemajuan yang akan
berakhir pada kesejahteraan manusia. Oleh karena rasionalitas adalah sama
bagi semua manusia, maka wacana-wacana berbau universal sangatlah
disukai di zaman ini. Berbagai teori dilahirkan dengan keyakinan bahwa teori
29
tersebut dapat diterapkan bagi seluruh wilayah tempat umat manusia hidup.
Salah satu instrumen teori yang paling handal bagi umat manusia dilahirkan
di abad ini, yaitu kapitalisme. Kapitalisme yakin bahwa jika kita membiarkan
setiap manusia dengan bebas mengejar kebutuhannya sendiri, maka suatu
tatanan masyarakat yang ideal akan terbentuk.
Horizon Postmodern : Merayakan Kemerdekaan Perbedaan
Namun seperti yang terjadi pada zaman kegelapan, kepercayaan
manusia terhadap akal pikirannya ternyata telah menutup kebutuhan
lainnya. Dan setelah rasionalitas memberontak, kini giliran kebutuhan akan
kebenaran yang lain yang mengkudeta rasionalitas. Kebenaran lain ini
mengukuhkan dirinya sebagai paradigma umum masyarakat yang
termanifestasi dalam proyek zaman baru kita : era Postmodern. Era
Postmodern adalah era yang ditandai dengan proyek-proyek yang tidak
homogen : dari kritik terhadap modernitas sampai kepada proyek
melanjutkan modernitas itu sendiri. Tidak seperti sains atau agama yang
memberontak dengan cara mengeser koordinat definisi kebenaran,
postmodern mendistribusikan kebenaran kedalam kebenaran-kebenaran
partikular kecil.
Tema-tema yang diemban dalam era modern berangkat dari paradigma
sains, bahwa kebenaran itu dapat dijelaskan dalam fenomena yang tidak
hitam putih, sehingga berlaku universal. Namun disisi lain hal ini sudah tidak
mumpuni lagi di zaman kita. Utopia-utopia besar seperti kapitalisme ternyata
hanya meghasilkan kesenjangan sosial dan kerusakan alam. Realitas ternyata
lebih kompleks dari sekedar rumus-rumus ekonomi dan tidak dapat begitu
saja diformulasikan oleh matematika.
30
Era modern yang merayakan logika dan rasionalitas ternyata
menyeragamkan umat manusia dalam satu tipe dan memberangus kebutuhan
lainnya, yaitu kebutuhan untuk diakui secara partikular dan personal, yang
termanifestasikan akan kebutuhan akan seni, sehingga akhirnya kali ini
senilah yang mengukuhkan diri sebagai paradigma utama masyarakat.
Paradigma yang dipakai oleh seni dapat kita tinjau dari fungsi seni itu
sendiri. Bambang Sugiharto, seorang fisuf dari Universitas Katolik
Parahyangan, pernah menjelaskan bahwa fungsi seni adalah sama dengan
sains, yaitu memperlihatkan atau menunjukan realitas. Namun perbedaanya
adalah yang diperlihatkan oleh seni adalah sisi lain dari realitas itu sendiri,
yaitu kompleksitas dan misterinya. Seni bermain dalam tataran qualia atau
reaksi-reaksi yang sangat personal dalam hidup. Maka jika sains bermain
dalam ranah logika konseptual yang disistematisasi, seni bermain dalam
ranah imaji dan logika, yang akhirnya menyentuh rasa setiap orang, sesuatu
yang diabaikan oleh modernitas. Dengan kata lain seni berfungsi untuk
menciptakan persepsi baru atas realitas, yang akhirnya menjadi paradigma
utama dalam tema-tema postmodern.
Hal ini dapat kita lihat dari salah satu filsuf yang disebut-sebut sebagai
inspirator dari gerakan postmodern : Friedrich Nietzche. Berbeda dengan
filsuf lain yang memaparkan hasil pemikirannya dalam deskripsi-deskripsi
esai dengan logika yang rigid, Nietzche malah membuat tulisan yang
dipenuhi dengan kata-kata puitis yang cukup sulit untuk ditangkap
maksudnya, yang menurut Romo Setyo Wibowo sebenarnya menceritakan
kisah hidupnya yang pelik.
Lebih jauh lagi menurut Romo Setyo, Nietzche adalah salah seorang
filsuf yang sebenarnya dengan sengaja menutup-nutupi maksud dari tulisan-
tulisannya sendiri, karena jika hal itu dapat dimengerti, berarti sang penafsir
31
memiliki masa lalu yang sama kelamnya dengan Nietzche. Nietzche ternyata
telah mengajarkan sesuatu yang penting kepada kita, bahwa hidup adalah
lebih kompleks dari rumus-rumus yang kita bayangkan, dan idée fixe-idée fixe
yang telah menempel di dalam otak kita tidak kuasa untuk menjelaskannya.
Namun hal tersebut dapat kita pahami melalui perasaan.
Atau kita dapat kita lihat dari fenomena-fenomena politik kontemporer,
dimana pemimpin politik dengan ide-ide utopis nan besar kini sudah tidak
lagi populer. Pemimpin-pemimpin sederhana, yang walaupun tidak bervisi
besar, namun dapat menyentuh hati masyarakatnya dengan menghembuskan
harapan akan hidup yang lebih baiklah yang memperoleh popularitas yang
tinggi di masyarakat. Dan tentu saja kita semua tahu siapa yang tengah saya
bicarakan.
Seni dan postmodern kini telah menjadi logika publik yang baru, yang
mengukuhkan kemenangannya atas paradigma lama. Namun setelah melihat
sejarah secara lebar, yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah akan
ada lagi zaman dan paradigma yang mendobrak postmodern? Karena pada
saat zaman modern pun August Comte yakin bahwa paradigma saintifik
adalah paradigam puncak bagi umat manusia dan Francis Fukuyama yakin
bahwa demokrasi liberal tempat kapitalisme bernaung adalah akhir dari
sejarah.
Referensi
[1] Kuliah “Pengantar ke Pemikiran Nietzche” oleh A. Setyo Wibowo dalam
Studia Humanika :Nietzche, Pemikir Yang Sering Disalahpahami, BPP Salman
ITB, 2013.
32
[2] Kuliah “Seni dan Dunia Manusia” oleh Bambang Sugiharto dalam
Extension Course Filsafat dan Budaya : Filsafat Seni : Perspektif Kontemporer,
Fakultas Filsafat Unpar, 2014.
[3] Kuliah “Seni Sebagai Bahasa Peradaban” oleh Acep Iwan Saidi dalam
Extension Course : Bahasa dan Peradaban, Forum Studi Kebudayaan ITB, 2013.
33
Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan
Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem
Asra Wijaya
34
Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif :
Sebuah Cocoklogi Ekstrem
“ Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu
ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”
-Nietzsche-
Apa itu postmodernisme?
Sebuah anekdot lucu berpendapat. Postmodernisme adalah ketika kau
bermain bola di lapangan dan terserah mau membuat gol ke gawang
siapa(sebab modernisme hanya menginginkan kau untuk membuat gol
sebanyak-banyaknya ke gawang lawan).
Jangan dikacaukan dengan : Bermain bola di lapangan tapi terserah ingin
memainkan apa. Entah itu menulis puisi, bermain skak atau sholat dhuha.
Sekilas begitulah postmodernisme.
Barangkali ada lagi anekdot menarik. Jika modernisme mengartikan
postmodernisme, maka modernisme akan berkata : dia (postmodernisme)
terdiri atas 2 akar kata post, modern (isme tidak dimasukkan). Post berarti
setelah dan modern berarti modern. Postmodernisme berarti isme setelah
modern. Sementara postmodernisme sendiri dapat memperkenalkan diri :
“Saya adalah kata yang tersusun atas huruf-huruf p,o,s,t,m,d,e,r,n,i,. Atau, Saya
adalah apapun yang kau pikirkan tentang Saya, sekaligus apa yang tidak kau pikirkan
tentang Saya.”
Sudah jelas bukan?
35
Biar sedikit bingung. Agar supaya tidak terlalu bercanda, mari kita
menyimak beberapa pandangan dari berbagai sumber berikut, dibawah ini :
Lyotard dan Geldner : Postmodernisme merupakan lawan dari
modernismeyang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia
modern. Postmodern adalah pemutusan secara total dari modernisme.
Derrida, Foucault dan Baudrillard : Postmodern adalah bentuk radikal dari
kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-
teori.
David Graffin : Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari
moderinisme.
Giddens : Postmodern adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri
dan menjadi bijak.
Habermas : Postmodernisme merupakan satu tahap dari modernisme
yang belum selesai.
Jacques Derrida
Beliau dapat disebut seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi. Derrida
konon dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme—sebuah ajaran
yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga
bahasa—Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata
lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida juga
dikabarkan sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21.
Beberapa kata kunci filsafatnya yang terpenting adalah dekonstruksi dan
differance.
36
Dekonstruksi
Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan
Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika
Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk
melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari
konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida
sebut sebagai logosentrisme. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat
yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkanbahwa filsafat
barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi
mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
Differance
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan
bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih
tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri
(presence-to- self)—yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan
atau ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-
tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya
merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda,
namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua
tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak
habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah
pengertian“tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan
istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika
tentang tanda.
Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda)
sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat
dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan
37
telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa”
daripada ujaran.Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur
bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-
menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan
kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas
tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si
empunya kaki (yang kita anggap sebagaimakna yang mau dicari). Proses
berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut
Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan
pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata
differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena
pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak
keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa
tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna
absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh
De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida,
penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), dimana
apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu
berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara
penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat
pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran”
ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan
begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu
kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun
yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan
pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus
ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain
38
bebasdengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan
posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Postmodern dan Positivisme
Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik
pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte, subyek (manusia-
red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat
diindra, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche, manusia tidak
tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk
menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68).
Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa
mengetahui. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi
dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran
universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna
final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST.Sunardi,1999:180) sehingga bagi
Nietzsche, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk
mempertahankan arus hidup.Tanggapan Terhadap Postmodern Konsepsi
epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang
cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap
orangmempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-
beda). Dalam perpektif,subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun
bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain. Jika pada masa Modern,
manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada
masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.
Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (–
isme) yang merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran
absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci apapun,
yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang
memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran,
39
dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci yang
diwahyukannya.
Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada
sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi
menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna.
Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam
proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap
orang bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas.
Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna
baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga,
demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti
lagi. Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan
tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan
rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya,
maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenarantunggal dan sistem mekanis.
Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga
agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam
kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh
kepada ekstrim.
Mekanika Kuantum
Mekanika kuantum lahir atas keisengan-keisengan. Segelintir manusia
mengamati fenomena atom dan sub-atom sehingga muncullah spekulasi
seperti : mengukur berarti mengganggu. Mengukur berarti menciptakan
benda dll.
Mekanika Newton diruntuhkan Einstein lalu determinasi Laplace
diruntuhkan Born-Heisenberg lewat Interpretasi Copenhagen.
40
Ada yang menarik apabila mekanika kita klasifikasikan. Dia seolah akan
menjadi tiga dalam satu : Mekanika Newtonian, Mekanika Relativistik, dan
Mekanika Kuantum.
Mekanika Newtonian berpangku pada beberapa hukum Newton.
Hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Mekanika Relativistik
bergantung pada kerangka relativitas umum dan khusus. Sedangkan
Mekanika Kuantum berspekulasi pada kemungkinan dan fungsi gelombang
Schrodinger.
Beberapa diktum dari mekanika kuantum :
1. Tidak ada realitas selama ‘ia’ belum diukur.
2. Tidak ada pengukuran yang dapat menghasilkan nilai yang pasti.(Asas
ketidakpastian Heisenberg).
3. Segalanya adalah fungsi probabilitas. Seseorang boleh menyatakan
sebuah objek sebagai apa saja tetapi harus bertanggung jawab terhadap
tingkat kemungkinan objek tersebut (Fungsi gelombang Schrodinger).
Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yaitu dunia yang
mekanis dan dapat diramalkan. Teori Kuantum berpendapat bahwa kita tidak
bisa memprediksi gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun sub-
atom yang kita amati. Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya
sampai tahap probabilitas.
Dunia ternyata lebih indah. Apa yang kita lihat bukanlah dunia yang
sebenarnya, apa yang kita rasa adalah bukan yang sebenarnya, sebab dalam
yang sebenarnya selalu terkandung komponen imajiner yang mengandung
tidak sebenarnya.
41
Jodoh Objektif
Tentang jodoh yang tidak bisa dijelaskan secara sains dan objektif. Jika
pun hanya bisa dibuat analisis-analisis yang singkat yang mencoba meraba
apa yang terjadi sebenarnya. Jangan-jangan istilah jodohnya itu adalah tidak
berjodoh merupakan sebuah penjelasan juga.
Ada kalimat bertuliskan, Al-Haqqu Minallah. Lalu apa kaitannya dengan
jodoh? Saya akan mencoba mencocoklogikan secara radikal melalui tulisan
ini. Kebenaran itu datangnya dari Allah. Saya berkeyakinan bahwa kebenaran
ilahi, kebenaran objektif itu : tiada akses, tiada jalan menuju ke sana. Tiada
kesempatan untuk mengkonfirmasi kebenaran ilahi. Akan tetapi, ada
semacam alternatif : kebenaran subjektif. Mengutip sang melankoli garis abadi
Soren Aabye Kierkegaard, hakikat kebenaran objektif itu tidaklah menjadi hal
yang utama. Yang utama adalah relasi dengan kebenaran subjektif sendiri.
Seberapa kuat ia digenggam dan dipeluk. Nah dengan jodoh, adakah jodoh
objektif, jodoh yang memang ditakdirkan dari surga, diutus untuk dirimu
wahai pembaca yang khusyuk ? tidak ada akses, tidak ada jalan dan semacam
alat konfirmasi tentang itu. Pada ujungnya, ya, jodoh subjektif-lah yang ada
dan seberapa intim dan seberapa kuat kau mempertahankannya.
Lebih Lanjut tentang Filsafat Jodoh:
http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsfafat-jodoh-bagian-pertama.html
http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-kedua-
mendegar.html
http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-ketiga.html
42
2 Puisi Untuk Suplemen
Giliran
Ada yang datang ada yang pergi
Ada yang hilang ada yang mengganti
Narasi menjadi metanarasi
Sementara Tuhan masih tetap sendiri
Bandung, 2015
puisi mekanika kuantum erwin schrodinger
Aku kini kucing dalam kardus
Dan kau adalah materi radioaktif meluruh di sekitarku
Pilihanku cuma menunggu
Sesiapa Tuhan siap membuka
Aku ada atau tiada
Bandung, 2015
Diolah dari berbagai sumber, mohon maaf bagi yang merasa tulisannya saya
copas, sila dicopas lagi kalau tidak setuju.
43
Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme
Fauzan Anwar
Mungkin sebagian dari kita masih merasa asing dengan gagasan
postmodernisme atau postradisionalisme. Pada dasarnya kedua gagasan
tersebut lahir sebagai respon atas kegelisahan dan kegamanganya terhadap
paham modernisme. Postmo dan postra memeliki kesamaan namun juga
memiliki perbedaan yang khas. Postmodern pertama kali muncul di Prancis
sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik
arsitektur, memang harus kita akui kata postmodern itu sendiri sebenarnya
muncul sebagai bagian dari modernitas. Namun peluasan makna dan
pemahamanya menjadikan postmo liyan bagi paham modernisme. Charles
44
Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern”. Architecture (1975)
menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya
arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Ada kejadian unik di
bulan juli tahun 1972, sebuah bangunan yang melambangkan
kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini oleh
sebahagian pemikir dianggap sebagai kematian modern dan menandakan
kelahiran postmodern.
Bertitik tolak dari hal tersebut postmodern mulai memasuki ranah
umum. Pemikiran dan gagasan postmodern ini mulai mempengaruhi
berbagai bidang kehidupan termasuk filsafat. Kata ‘post’ sebenarnya tidak
dimaksudkan sebagai sebuah periode akan tetapi lebih merupakan sebuah
konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern atau beyond
modernity. Postmodern ini lahir sebagai kritik atas realitas modern yang
dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Ajaran utama
dari gagasan posmodern adalah penolakanya atas narasi-narasi besar yang
muncul pada dunia modern. lalu memberikan tempat bagi narasi kecil yang
tersebar dan beraneka ragam untuk menampakkan eksistensinya. Dari sini
dapat diambil kesimpulan bahwa hal-hal dibanggakan oleh pikiran modern
itu untuk diragukan dan apa yang dulu dianggap rendah justru dihargai dan
dilakukan pemekaran terhadapnya.
Pendekatan postmodernisme sangat didasarkan pada subjektivitas. Salah
satu pemikiran postmo yang paling kentara akan gagasan subjektivitas ini
adalah Jaques Derida. Dalam pemikiranya Derrida memperkenalkan istilah
Dekontruksi. Dekontruksi adalah sebuah metode hermeneutika yang
menjelaskan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal teks adalah benda yang mati sehingga dapat
dibangun kembali pondasinya. Jacques Derrida mengatakan bahwa kita
selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Sehingga banyak
45
kebenaran yang diangap final. Hal Inilah yang Derrida sebut sebagai
logosentrisme. Yaitu,kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika
tertentu.
Postmodernisme juga berusaha menciptakan bias makna serta
mempertanyakan kembali gagasan-gagasan besar yang telah menghegemoni
umat manusia dewasa ini. Michael Foucault berpendapat bahwa melalui
gagasan postmodernisme, realitas akan menampakan fenomena sejati
hubungan antara ilmu dan kekuasaan. Paham postmo ini sangatlah pelik.
Berbagai macam ‘tren’ pemikiran lahir dari pondasi berfikir postmodernisme.
Salah satu tren yang lahir akibat efek dari postmodernisme ini adalah gagasan
postradisionalisme.
Paham Post-tradisionalisme “postra” adalah sebuah konstruk intelektual
yang berpijak dari kebudayaan dari dalam bukan tekanan dari luar. Gagasan
postra ini sejatinya adalah sub bagian dari gagasan postmodernisme. Gagasan
Post-tradisionalisme bertitik tolak dari transformasi sebuah tradisi dalam
upaya pembentukan tradisi baru yang berakar pada keberadaan kebudayaan
sendiri yang masih bias. Sepengetahuan penulis gagasan Post-tradisionalisme
mulai mencuat ke permukaan oleh para intelektual muda Nahdatul ulama
(NU) yang dipengaruhi oleh para pemikir islam modernis seperti Fazlur
Rahman ,Abed al jabiri, Mohamed Arkoun ,Nasr hamid abu zayd dll. NU
yang bernafaskan islam mengagas pemikiran post-tradisionalisme Islam ini
dengan pondasi kebudayaan lokal. Sehingga dalam tahap perkembanganya
‘tren’ bahwa Islam itu identik dengan arab mulai dikritisi dari akar-akarnya.
Tujuanya adalah untuk menampakan Islam secara hakikat yang tidak
terbentur dalam suatu kontruks kebudayaan tertentu.
Gerakan Post-Tradisionalisme ini adalah semacam “lompatan tradisi”.
Yang berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha
46
memperbaharui dirinya sendiri dengan cara mendialogkan dengan
modernitas. Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa kemunculan post
tradisionalisme Islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks
pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya,
penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam
konteks fiqih, teologi dan tasawwuf) dan lain sebagainya. Post-
tradisionalisme sangat kental dengan nuansa kultural,teologis antroposentrik,
dan filosofis-sosiologis. Berbeda dengan paham postmo yang bersifat lebih
universal.
Persamaan antara postmo dan postra terletak pada kritiknya terhadap
paham modern. Namun berbeda dalam upaya pengembanganya. Gagasan
Postra lebih terkukung dengan sebuah kontruks teologis dan budaya tertentu.
Penulis menyimpulkan bahwa gagasan postra sejatinya adalah sub bagian
dari paham postmodernisme yang lebih cantik. Karena jika kebudayaan yang
ada di setiap negara dikembangkan oleh gagasan postra,penulis yakin akan
terjadi dinamika sejarah yang bersifat harmonis.
Dewasa ini jika kita berfikir berdasarkan paham postmodernisme dan
postradisionalisme maka sejarah ilmu pengetahuan dapat dilacak
pergerankanya sehingga terhindar dari keterpengaruhan paradigma-
paradigma yang bersifat eksploitasi positivistik.
Semoga Bermanfaat.
47
Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme
Uruqul Nadhif Dzakiy
Abstrak
Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam
perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah,
mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan
nasional seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru.
Gerakan mahasiswa diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang
sasarannya adalah para pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus
gelombang baru dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai
akibat dari arus informasi yang terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan
mencapai klimaksnya di dekade awal 2000-an dimana arus postmodernisme
mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang
membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang tak lagi sebagai gerakan
utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan rasional, populis, dan
anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait bagaimana gerakan
politik mahasiswa menyikapi arus besar postmodernisme ini.
Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa
48
Pendahuluan
Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga
pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya.
Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian sebagai penuntut ilmu (hard skill),
mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus. Berorganisasi
adalah salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui
organisasi, mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan
juga belajar tentang masalah sosial dan politik.
Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait
berbagai permasalahan mulai dari masalah internal organisasi sampai dengan
masalah bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent of
social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini berdiri,
mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan
oleh penguasa. Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi
penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang
dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa
dan politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan.
Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini
terutama arus untuk bersuara yang semula dibungkam pada masa orde Baru.
Sejak masa ini, keran informasi seolah dibuka secara total dan tak terbendung.
Puluhan partai politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan
akbar Pemilihan Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh
penguasa berlomba-lomba memberikan informasi secara gamblang atas
kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi kebangsaan lainnya. Media-
media massa baru juga bermunculan. Mahasiswa bersorak-sorai karena kini
mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara langsung ke
49
pemerintah tanpa harus melewati serangkaian tembakan bayonet, gas air
mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi 98 silam.
Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan
masyarakat. Gelombang arus informasi sebagai dampak dari reformasi
menjadi semakin tak terbendung sejak internet masuk ke tanah air yang
mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan
kemudahan akangadget terutama smartphone yang memfasilitasi berbagai
jejaring sosial yang mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus
informasi tak hanya hadir dari satu arah (media massa). Kini setiap orang
bebas untuk menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya itu, kualitas
liputan jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating dan kecepatan dan
juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia perpolitikan
nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi semakin bias.
Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang
semakin meluas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan mahasiswa tak lagi berbicara
politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang
menjadikannya semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin
beragam jenisnya mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan
sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Gerakan
yang lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di
kalangan mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis
diasosiakan sebagai gerakan wacana yang peminatnya semakin meredup.
Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar pragmatis dan tidak
memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan
memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan
50
dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang
mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini.
Pertanyaan Riset
Makalah ini akan menjawab dua pertanyaan mendasar terkait dengan
gerakan sosial-politik mahasiswa di era postmodernisme ;
1. Bagaimana sebaiknya gerakan mahasiswa di era postmodernisme ?
2. Bagaimana mempertahankan idealisme visi-misi gerakan sosial-politik
mahasiswa di tengah arus postmodernisme ?
Metodologi
Makalah ini menyajikan pembahasan terkait dengan bentuk gerakan
mahasiswa yang ada saat ini berdasarkan pengalamatan penulis yang telah
berkecimpung di dunia kemahasiswaan selama lebih dari lima tahun sejak
2009 dengan dibenturkan dengan berbagai literatur yang ada terkait dengan
konsep postmodernisme. Penulis memakai buku karangan Bambang
Sugiharto berjudul Postmodernisme ; Tantangan terhadap Filsafat terbitan PT.
Kanisius sebagai referensi utama, ditambah dengan literatur lain yang
relevan.
Pembahasan Literatur
Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut
Hassan dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis
51
pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a
Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam
modernisme. Kemudian di bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study
of History (1947). Sebenarnya benih penggunaan positif awalan "post" telah
terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika ia menggunakannya
dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male, post-white" dsb.
Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul memproklamirkan
diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan label ini
pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam
arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala digunakan
oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage,
Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak
modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian
Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni
pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an.[1]
Postmodernisme katanya adalah logika kultural yang membawa
transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-
tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme
dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat postmodernisme
ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas,
wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah,
penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini
dipelihara terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide
Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme,
upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan
revolusi kehidupan terus-menerus. Lebih lanjut, postmodernisme diartikan
sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar ; penolakan
52
filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang
mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun.[2]
Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti
pasca, setelah, sesudah, dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba
saklek, mekanis, dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme
tidak lagi berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa
modernisme. Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi
relevan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini.
Mereka pun meninggalkan doktrin modernisme yang serba pasti, sentral, dan
prosedural menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah muncul konsep
kombinasi berbagai aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai
contoh ideologi. Warga negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang
menjadi ciri khas politik totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam
menjalani roda pemerintahan (politik) suatu negara. Orang cenderung
antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas zaman modern
seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa ideologi-
ideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini orang
cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik ideologis. Bagi
mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas ekonomi
negara yang lebih penting.
Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus
besar postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik
modernis yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan
modern. Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno
dan klasik namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga
merambah ke dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar
untung-rugi semata melainkan memberikan perhatian lebih pada lingkungan.
Seringkali kita mendengar istilah "green economy", "sustainability", dan
53
konsep-konsep lain sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan
kata lain, postmodernisme menjadi gelombang baru di berbagai sendi
kehidupan termasuk juga gerakan sosial-politik mahasiswa.
Diskusi dan Analisis
Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal
sebagai gerakan sosial politik yang didalamnya seringkali mengkritisi
kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Gerakan
dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan
yang ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa
dicitrakan sebagai entitas yang mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada
gelombang demontrasi besar-besaran untuk menumbangkan rezim Orde
Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan
memberikan bantuan logistik dan dukungan moral lainnya.
Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa
bermetamorfosa menjadi berbagai macam gerakan. Gerakan politik masih
ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada gerakan politik,
gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
yang tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode
gerakan turun ke jalan menjadi satu hal yang semakin tidak populer.
Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan lebih kepada cara-cara
pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat
simpati dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati
gerakan paraf petisi di situs change.org, infografis di berbagai jejaring sosial,
#save di twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan sama
dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut
serta menginginkan perubahan yang lebih baik.
54
Gerakan Konvensional Gerakan Postmoderninme
Utopis Rasional
Narasi Besar Narasi kecil
Elite Populis
Ideologis Anti-Ideologis
Konflik Anti-konflik
Kaku Fleksibel
Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme
Mahasiswa
Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau
Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak lagi menjadi mercusuar gerakan.
Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan bentuk gerakan.
Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama
sekali tidak berada di payung universitas seperti halnya himpunan dan unit.
Sebagai contoh Rakapare. Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok
mahasiswa lintas universitas yang memiliki kepedulian untuk menyelesaikan
konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi yang berdiri
di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk
selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan
audiensi berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke
jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu ikut serta bersama petani
Karawang untuk memperjuangkan hak atas tanah yang beralih
kepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota
organisasi ini membantu masyarakat dalam merancang strategi agar status
kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani. Transfer pengetahuan ke petani
dan juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani memiliki
bekal yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka
55
Gerakan Mahasiswa
Konvensional
Gerakan mahasiswa
postmodern
menyusun gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah
yang menjadi akar masalah. Melalui akar masalah ini, solusi digali secara
cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada dibawah atap kampus,
gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif dari kalangan
mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang cukup
besar.
Selaian berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa
lain mewujud dalam gerakan diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang
berbeda. Sebagai contoh, kolaborasi antarunit pendidikan di ITB yakni
Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP),
Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu
Kemasyarakatan (PSIK), dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut
menyusun kajian pekanan yang terjadwal dengan tema-tema khusus.
Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor pada
Arus postmodernisme
Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik mahasiswa
Gerakan mahasiswa postmodern berbasiskan nilai
56
unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara
masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit
sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit lain. Hasil
diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian yang
apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya
konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada
massa kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan
fokus pada produk.
Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS
memainkan peran ganda disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk
selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga mengadakan
pertunjukan-pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu
kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang
dilakukan di hari Valentine. Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup,
melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di teras
CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas
mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara
nonton bareng film spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa
(LFM) ITB yang diadakan di lapangan cinta depan CC Timur ITB. Dari sini
terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini tak hanya fokus
pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan
pada khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini
merupakan gejala postmodernisme.
Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional
perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka yang dipandang sebagai aktivis
mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar demonstrasi, aktif diskusi
membahas karya-karya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut malam
dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran
57
gerakan lain yang cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat
dimaknai sebagai aktivis. Gerakan-gerakan yang digandrungi merupakan
gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang
menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang
masih berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98
akan ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik harus mampu
menyadari arus besar postmodernisme ini.
Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme
dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-
metode yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme
seperti halnya terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas
penyampaian ke publik dengan menggunakan media yang
sedang hits dikalangan anak muda seperti halnya jejaring sosial, infografis,
dan sebagainya, dan meramu strategi gerakan yang lebih dapat berdampak
langsung kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi dikarenakan
gerakan politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun
dengan mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan
politik konvensional akan membuat perubahan yang diinginkan menjadi
seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti pragmatis dengan
melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan bagaimana
mengejahwantahkan visi-misi menjadi tindakan yang diterima oleh
masyarakat luas dan berdampak secara langsung.
Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus
modernisme yang telah berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan
arus modernisme dalam gerakan politik seolah mempertahankan status quo
dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang ditiupkan.
Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba
fleksibel, tidak jelas arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi
58
arus postmodernisme berbasiskan nilai. Mungkin dengan ini akan
memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai. Gerakan
politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut.
Kesimpulan
Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika
gerakan politik mahasiswa. Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan
hingga akhir orde baru ditandai dengan gerakan yang berbasis politik yang
kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru gerakan
mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal 2000-an dimana
gelombang postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa.
Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar turun ke jalan menuntut banyak
hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakan-gerakan baru yang inklusif
dengan marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah gerakan
postmodernisme dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka yang
sibuk berdiskusi permasalahan politik bangsa hingga larut malam serta
gemar demonstrasi turun ke jalan.
Gerakan politik mahasiswa harus menyadari betul arus besar
postmodernisme dengan tak lagi beromantika dengan gerakan politik pada
pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98
silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini
lebih bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat
mustahil untuk membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa
harus menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan gerakan politik mahasiswa
harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan gerakan harus
luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa
harus inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara
59
luas. Dengan mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai
visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan
postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilai-
nilai yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.
Daftar Pustaka
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat
Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014
[1] Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka
Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014
[2] Sugiharto, I. Bambang, ibid
60
2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme
Anton Kurniawan
(Tulisan ini ditulis pada 4 Januari 2014. Walaupun sudah lama, isinya tetap
bermakna)
Memasuki tahun 2014, persiapan pertandingan politik lewat Pemilihan
Umum (Pemilu) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Berbagai pihak,
entah itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang mempunyai
hajat hingga partai politik termasuk di dalamnya calon legislatif melakukan
jurus-jurus untuk meraih simpati publik. Bagi mereka, seolah tidak ada
kesempatan kedua, sekarang waktunya, tidak ada kesempatan lain. Buat
kontestan yang memiliki kantong tebal, pemasangan iklan jelas bukan
masalah besar. Hanya saja, menjadi problema bagi kontestan berdana pas-
pasan. Jangankan iklan, pemasangan baliho atau spanduk saja sudah
membuat dompet kian menipis. Namun, semua tetap dilakukan. Mutlaklah
pepatah: “Tak kenal maka tak sayang”. Berbagai cara dilakukan untuk
meningkatkan elektabilitas diri maupun partai. Bakti sosial lebih sering
ditemui, perbaikan jalan kampung, kerja bakti pembenahan saluran drainase,
61
hingga yang paling primitif, panggung kesenian diselingi dengan kocokan
hadiah juga mewarnai langkah-langkah jelang 9 April 2014.
Semua itu wajar, pengorbanan maksimal biasanya selaras dengan hasil
optimal. Hanya perlu diingat, masyarakat Indonesia semakin cerdas akhir-
akhir ini. Pengalaman “ditipu” pada 1999, 2004, dan 2009, membuat mereka
semakin hati-hati dalam memilih. Lebih lanjut, sebagian yang merasa ditipu
maksimal cenderung pasif, ogah memilih lagi karena merasa hidup tetap
akan sama, siapapun yang mewakili aspirasi mereka. Terjadilah pergulatan
sengit untuk memenangkan hati rakyat seperti ini. Kontestan berlomba
dengan gaya masing-masing agar jangan sampai suara potensial hanya
menjadi kertas kosong tanpa coblosan.
Masyarakat Indonesia memang masih dikenal sebagai masyarakat yang
sangat terpengaruh dengan pemberitaan media, baik media massa berupa
cetak maupun elektronik ataupun media sosial yang menjadi candu zaman
ini. Masyarakat seolah dapat melupakan dosa-dosa manusia di masa lalu
dengan citra yang baik di media. Sebaliknya, masyarakat bisa mengutuk
habis-habisan seseorang yang menjadi si jahat di media tanpa mengetahui
duduk perkara sebenarnya.
Pencitraan, Solusi Jitu Masyarakat Telenovela
Telenovela, drama yang pernah meledak di Indonesia era 2000-an
merupakan representasi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
menggemari tayangan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat yang waktu itu
menonton, merasa punya keterkaitan dengan bintang telenovela. Masalah
kompleks, entah percintaan beda kasta, ekonomi, dan konflik dengan orang
tua seolah mengajak penonton ikut hidup di dalamnya. Pemirsa diundang
62
untuk berjuang bersama tokoh, menonton dari perspektif berbeda perjuangan
hidup masing-masing yang kala itu masih dibayangi krisis moneter 1998.
Faktor wajah menawan dari bintang kian menarik mata yang dahulu jenuh
dengan percaturan politik di Senayan dan Istana Negara untuk menikmati
telenovela.
Tahun 2014 yang dikenal juga sebagai tahun kuda kayu dalam hitung-
hitungan fengshui China ternyata menunjukkan fenomena masyarakat
telenovela kembali. Berbagai survei yang digelar oleh lembaga independen
menampilkan hasil mengejutkan. Tokoh-tokoh lama dalam perpolitikan
Indonesia digeser oleh satu sosok yang seperti datang dari langit, Joko
Widodo ‘Jokowi’. Gubernur DKI Jakarta yang sebenarnya tidak memilii
perawakan pemimpin, entah bagaimana mampu meraih simpati masyarakat.
Masyarakat ibukota yang sudah gerah dengan tiga masalah krusial namun
abadi, yakni banjir, kemacetan, dan tata kota seolah mempunyai harapan
baru. Tokoh-tokoh lama, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf
Kalla, hingga empunya partai Jokowi, Megawati Soekarnoputri dilangkahi
oleh pria asal Solo ini. Pemberitaan luar biasa dari media semakin menambah
kesan baik dalam diri eks Walikota Solo tersebut. Bayangkan saja, apabila kita
yang merasakan kekecewaan saat banjir lalu melihat pemimpin kita ikut jalan
kaki, melepas atribut mewah dan protokoler sambil mencoba menghibur kita
di dinginnya genangan air. Walaupun tidak memberi dampak apa-apa waktu
itu, seolah ada harapan tumbuh. Pemimpin gue banget tampak dalam diri
Jokowi. Masyarakat akar rumput yang telah muak dengan birokrasi berbelit
seperti memiliki napas kedua untuk percaya dengan pemerintah. Apabila
Jokowi maju dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden, tampaknya
kemenangan mutlak akan diraih. Namun, diamnya Megawati Soekarnoputri
sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) patut
ditunggu. Beranikah ia membiarkan sekaligus merelakan seseorang yang
63
tidak bertrah Soekarno untuk menasbihkan diri sebagai presiden di negeri
yang dimerdekakan oleh ayahnya?
Lantas, kemana saja tokoh-tokoh lama bangsa? Aburizal Bakrie yang
telah dibaptiskan menjadi calon presiden Partai Golongan Karya seperti
terhambat dengan citranya sebagai pengusaha yang turut bertanggungjawab
dengan kasus lumpur Lapindo Brantas. Ada anekdot dimana sampai lumpur
terus mengalir, maka ARB, inisial baru Aburizal Bakrie, tetap akan tenggelam
dalam lumpur kekalahan. Prabowo Subianto, masih dikejar masyarakat soal
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur (Timor Leste
saat ini). Untung saja, partai Gerindra yang ia arsiteki memberi gambaran
jelas mengenai visi ke depan: Indonesia Macan Asia. Masyarakat yang rindu
kemandirian ekonomi dan kebanggaan berbangsa cenderung memilih
Prabowo apabila Jokowi tidak maju menjadi calon presiden pada April
mendatang. Jusuf Kalla, sosok yang pernah menjadi wakil presiden Republik
Indonesia seperti sudah kehilangan momentum. Dalam survei, namanya
selalu muncul ke permukaan, namun, peran guru bangsa seperti sudah
melekat kepadanya. Akan tetapi, dalam politik, yang pasti adalah
ketidakpastian. Kita tunggu saja, bukan tidak mungkin Partai Demokrat yang
sudah berdarah-darah akibat dikerjai kadernya sendiri dalam kasus korupsi
menjadi kendaraan Jusuf Kalla.
Masyarakat telenovela sebenarnya tidak ingin macam-macam. Harga
pangan terjangkau, biaya kesehatan dan pendidikan yang masuk akal, dan
ketersediaan sumber daya macam Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan air
secara konsisten sudah menyenangkan. Masyarakat telenovela tidak peduli
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yang mereka peduli, lebih soal
negara tidak menambah repot kehidupan mereka yang sudah dipusingkan
dengan konflik di dalam rumah tangga, maupun masalah klasik seperti
telenovela.
64
Memasuki tahun 2014, pembangunan citra akan menjadi hal yang
digembor-gemborkan tiap kontestan. Masyarakat Indonesia harus benar-
benar hati-hati dengan yang satu ini. Memperhatikan dengan seksama,
apakah calon atau pemimpin benar-benar tulus untuk bekerja buat rakyat
atau dirinya sendiri menjadi obat penangkal pencitraan semu. Jangan sampai,
kita tertipu lagi seperti yang sudah-sudah. Apakah baik benar-benar baik atau
justru menutup borok-borok masa lalu? Apakah sungguh tulus ataukah
hanya ingin mengembalikan fulus ke kantong mereka? Media juga, jangan
dilupakan, berada di pihak mana mereka saat ini? Siapa pemiliknya dan apa
kepentingannya? Masyarakat telenovela biasanya sudah tahu jawabannya
hanya belum mau menjawabnya. Nanti saja, di surat suara tanggal 9 April
2014!
Selamat Datang Post-modernisme!
Post-modernisme tampaknya sudah merasuki bangsa Indonesia di 2014.
Post-modernisme sendiri merupakan tahap dinamika kehidupan setelah era
modernisme. Modernisme ditandai dengan penggunaan teknologi informasi
menggeser tradisionalisme yang selama ini melekat. Post-modernisme adalah
sebuah antitesis dari kegerahan modernisme. Post-modernisme dapat
diklasifikasi menjadi tiga ciri, yaitu dekonstruksi, simulasi, dan hiper-realitas.
Pertama, dekonstruksi dimaknai sebagai pembangunan kembali makna dari
sesuatu. Sebagai contoh, latar belakang seperti suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) seperti tidak terlalu penting saat ini. Semakin banyak
di Indonesia pernikahan antaragama, antarsuku, hingga antarbangsa. Batas-
batas kedaerahan semakin pudar, bahkan hilang di kota-kota metropolitan.
Faktor seperti itu dianggap tidak terlalu penting. Mulai timbul kenyamanan
melihat manusia sebagai manusia tanpa vonis alami dari Tuhan seperti warna
65
kulit dan suku. Kalaupun ada gesekan horizontal akibat agama, itu lebih
banyak dihasilkan dari pertikaian individu yang kebetulan beda agama lalu
merambat seolah ada pertentangan antaragama.
Dewasa ini, Indonesia juga semakin akrab dengan hal-hal yang dahulu
tabu, seperti seks dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Film
yang ada di bioskop dan pasaran semakin vulgar, kasus pelecehan kian
menjadi-jadi, dan mulai ada suara untuk mengesahkan pernikahan homogen
alias sesama jenis. Dalam hal ini, agama menjadi benteng terakhir. Secara
manusia, memang tidak ada yang salah dengan percintaan sesama laki-laki
atau perempuan. Namun, secara agama, Indonesia masih cukup kolot dengan
belum melegalkan pernikahan sesama jenis. Kasus transgender yang dulu
selalu mengundang perhatian pun kini biasa saja terjadi. Memang, masih ada
sentimen miring terhadap pelaku, namun permisifnya masyarakat telenovela
memungkinkan hal itu. Kontestan dalam Pemilu 2014 ini harus hati-hati
benar dalam menghadapi hal ini.
Kedua, simulasi semakin gencar terjadi di Indonesia. Masyarakat ingin
mudah, praktis, dan tidak repot-repot. Fenomena teknologi informasi menjadi
idola saat ini. Media sosial memakan sebagian waktu kita yang biasa
digunakan untuk perbincangan tatap muka. Lebih muda memakai Global
Positioning System (GPS) saat ini dibandingkan bertanya dengan mulut untuk
mencari alamat. Fenomena permainan di dalam komputer dan tablet juga
menggandrungi anak-anak. Permainan yang mengandalkan fisik semakin
dipinggirkan terutama bagi anak-anak di kota besar. Seolah ada kebanggaan
apabila berjaya di dunia simulasi walaupun dalam kehidupan nyata
melempem.
66
Dikaitkan dengan politik 2014, calon pemimpin potensial seperti Anies
Baswedan, Dahlan Iskan, dan Gita Wirjawan masuk dalam bagian ini. Anies
Baswedan, sosok intelektual yang merupakan rektor Universitas Paramadina
tampil meraih simpati masyarakat lewat tajuk klasik “Melunasi Janji
Kemerdekaan”. Jawaban-jawaban cerdas dalam setiap forum, termasuk
mengapa mau ikut konvensi Partai Demokrat memukau banyak pihak. Salah
satu rekam jejak paling baik yang ia torehkan adalah program “Indonesia
Mengajar”, program untuk mengirimkan mahasiswa ke pelosok daerah untuk
berbagi kecerdasan dengan anak-anak yang masih tertinggal. Selain itu, aksi
#turuntangan cukup meraih simpati publik di media sosial. Sebuah ungkapan
menarik pernah ia lontarkan, “Bila yang baik berdiam diri saja, maka sama
saja membiarkan yang jahat duduk di kursi kekuasaan”.
Dahlan Iskan, sosok menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini
meraih simpati publik lewat aksi yang cenderung nekat. Ia mengganti direksi
BUMN yang dianggap kurang kompeten, mendukung program mobil
nasional, sekaligus tampil dengan tampilan sederhana, yakni kemeja putih
dan sepatu kets. Beberapa mungkin masih ingat, saat ia menggeser portal di
gerbang tol di Jakarta. Kala itu, semua gempar. Maklum saja, masyarakat
telenovela biasanya alergi dengan hal semacam itu. Namun, dengan aksi
sederhana itu, terlihat perbedaan. Mulai ada perbaikan di sistem pembayaran
jalan tol. Citra positifnya ditambah dengan iklan obat masuk angin yang ia
bintangi. Ia cenderung kandidat calon presiden alternatif yang biaya
kampanyenya dibantu oleh produk, salah satu efek post-modernisme.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan juga bermain
di lapangan yang sama dengan Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Sosok
muda, tampan, dan intelektual menjadi idola masyarakat. Jawaban cerdas
serta kemampuannya dalam bermain musik menambah baik penilaiannya.
Dalam konvensi Demokrat, ia menjadi sosok yang diunggulkan. Maklum saja,
67
Susilo Bambang Yudhoyono, presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai
Demokrat saat ini, sudah tidak dapat maju dan memilih jalan paling aman
untuk mengerek kembali popularitas Partai Demokrat yang telah tiarap.
Kemungkinan besar, ia memilih Gita Wirjawan, sosok muda untuk maju
menjadi citra Partai Demokrat bagi masyarakat. Wibawa yang ia miliki kira-
kira hampir sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Ketiga
nama yang disebut memang berlomba dalam konvensi calon presiden Partai
Demokrat. Bukan masalah apabila mereka gagal, namun ada sebuah
fenomena baik dimana pemimpin sungguh datang dari masyarakat. Yang
menjadi pertanyaan, apakah itu cukup untuk menutup kebobrokan Partai
Demokrat akibat dibunuh kadernya sendiri? Apakah pemenang konvensi
Demokrat ini cukup tangguh menghadapi Jokowi dan Prabowo Subianto, dua
sosok paling populer saat ini? Waktu akan menjawab.
Hiper-realitas menjadi ciri terakhir post-modernisme di Indonesia. Ada
pelebih-lebihan dalam berbagai peristiwa akhir-akhir ini. Media jelas menjadi
motor terbesar. Masyarakat disuguhkan oleh berita-berita keras seperti
korupsi, terorisme, dan narkotika. Ketika ada berita baik, masyarakat heboh,
gempar dan senang, walaupun berlebihan. Fenomena ini tampak saat Tim
Nasional Sepakbola U-19 berhasil juara Piala AFF di Jawa Timur pada 2013
kemarin. Kehebohan dimana-mana terjadi. Selain karena kerinduan juara,
memang ada harapan baru di tengah kemerosotan prestasi Indonesia di
dunia. Tanggapan sensasional terjadi lagi saat Evan Dimas dkk. sukses
menekuk Korea Selatan. Indonesia seperti sudah juara dunia waktu itu.
Padahal jalan masih panjang. Belum ada gangguan dunia hiburan dan pesan
politik yang sudah-sudah, semoga juga tidak.
Hal-hal mendasar seperti ideologi tidak terlalu penting saat ini. Yang
dinilai sungguh hanya individu. Ada fenomena melebih-lebihkan dari
masyarakat yang sudah terlanjur rindu kemajuan. Partai sesungguhnya
68
menjadi nasionalis murni, hanya figur yang membedakan. Kalaupun ada
pemilih setia, itu dapat disebabkan latar belakang dan lingkungan yang
mendukung. Maka dari itu, gagasan Soekarno dapat muncul kembali ke
permukaan dalam perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Indonesia
niscaya akan maju apabila memiliki satu partai saja, partai nasional. Orang-
orang terbaik dari berbagai golongan, faksi, dan ideologi bergabung dalam
satu partai, tidak terpisah seperti saat ini. Meskipun gagasan ini dianggap
kuno, dengan kondisi hiper-realitas saat ini justru dapat terjadi. Tidak akan
ada persaingan kekuasaan untuk tokoh-tokoh potensial melainkan saling
mendukung untuk negara ini. Tidak ada lawan politik, yang ada hanya
kawan politik. Gagasan ini sangat mungkin terjadi apabila Pemilihan Umum
2014 gagal melahirkan pemimpin yang merepresentasikan kebutuhan rakyat.
Ide ini dapat pula terjadi saat pencitraan semakin menjengkelkan, semua
memakai topeng dan tidak tampil apa adanya.
Masyarakat Indonesia benar-benar dalam kegentingan politik pada 2014.
Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena
post-modernisme akan memenangkan hati rakyat. “Sajak Sebatang Lisong”
karya almarhum W.S. Rendra yang dibacakan di Institut Teknologi Bandung
pada 19 Agustus 1977 akan menutup tulisan ini.
---------------------------------------
Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
69
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
70
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
71
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
72
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
73
Kesempurnaan adalah Utopia
Kurnia Sandi Girsang
Dalam keilmuan teknik industri, efisien berkaitan erat dengan variabel
input pada suatu sistem. Misal, suatu sistem produksi massal mobil memiliki
variabel input raw material berupa besi. Sistem tersebut dapat dikatakan
efisien jika jumlah besi yang digunakan optimum, atau biasanya dengan
parameter minimasi jumlah besi. Selain keefisienan, suatu sistem juga
memiliki aspek lain yang dikenal dengan keefektifan.
Konsep keefisienan selalu berkaitan dengan konsep keefektifan, kedua
hal tersebut sulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Jika keefisienan
membicarakan tentang variabel input, keefektifan membahas tentang variabel
output dari suatu sistem. Analoginya seperti ini, masih menggunakan contoh
dalam sistem manufaktur mobil. Misal, suatu sistem produksi massal mobil
memiliki variabel output berupa jumlah mobil yang dapat dihasilkan pada
suatu kurun waktu tertentu. Sistem tersebut dapat dikatakan efektif jika
dengan berbagai variabel produksi yang ada, nilai output dari produksi mobil
dapat meningkat.
Kedua konsep tersebut bagai dua mata koin yang tidak dipisahkan, atau
dalam bahasa ekonominya konsep ini dikenal melalui prinsip: dengan usaha
yang sekecil-kecilnya untuk untung yang sebesar-besarnya. ‘Usaha yang
sekecil-kecilnya’ di sini adalah tentang keefisienan sebab hal tersebut
merupakan variabel input, sedang ‘untung yang sebesar-besarnya’ tentang
variabel output yang identik dengan keefektifan.
. . .
74
Menurut saya, kesempurnaan adalah hal yang sangat relatif sebab sangat
bergantung dari cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Saya membagi
kesempurnaan menjadi dua aspek berdasarkan pada asal dan tujuannya:
Kesempurnaan dari Tuhan dan Kesempurnaan dari Manusia.
Saya membagi menjadi dua aspek sebab seringkali dalam perilaku di
kehidupan sehari-hari orang mencampuradukkan antara dua perspektif yang
berbeda tersebut. Misal, saya berbicara kepada si A tentang kesempurnaan.
Tentu sejak awal kami berdua harus menyamakan persepsi tentang
kesempurnaan apa yang kita maksud. Jika itu kesempurnaan dari manusia,
berarti yang kita bicarakan adalah tentang suatu utopia yang terus
diperjuangkan untuk dicapai yang berimplikasi pada pemakluman-
pemakluman pada hal-hal yang diluar dari control kita.
Kesempurnaan dari manusia di dunia sains dikenal dengan istilah
‘pendekatan’ atau ‘faktor koreksi’. Semua persamaan saintifik di dunia ini
adalah pendekatan yang dibuat oleh para ahli, tidak ada satupun yang benar-
benar sempurna. Untuk itulah dalam beberapa persamaan digunakan faktor
koreksi. Nah, jika pandangan ini tidak menjadi dasar pikiran memandang
suatu kesempurnaan, tentu akan banyak sekali variabel ‘tidak penting’ yang
dimasukkan untuk mencapai definisi kesempurnaan tersebut.
Contohnya begini, kita awali dari pertanyaan kenapa suatu rumah tidak
bisa bertahan dari gempa? Rumah tersebut tidak bisa bertahan dari gempa
sebab fondasinya tidak kokoh dan bahan baku semen yang digunakan
bermutu jelek, hal itu karena orang tersebut memiliki kondisi finansial yang
buruk, hal itu karena cara bersikap ia di dunia kerjanya tidak bagus, hal itu
karena istrinya yang sedang hamil terlalu banyak menuntut, hal itu karena
kantor tidak memberikan tunjangan kehamilan untuk keluarga, hal itu karena
keuangan perusahaan tersebut tidak dalam kondisi baik, hal itu karena
75
negara mempunyai kebijakan pajak tinggi, hal itu karena….. dan seterusnya.
Jika tidak dihentikan, alasan-alasan terhadap penyebab ‘rumah yang tidak
tahan gempa’ akan tidak berhingga, begini ilustrasi dalam gambar:
Gambar: Kesempurnaan dari Tuhan
Kepala dari bagan di gambar tersebut adalah suatu kejadian, sedangkan
lingkaran yang mengikuti di belakangnya adalah penyebab dari berbagai
variabel atau disiplin ilmu tertentu. Pencampuradukan antara dua sudut
pandang kesempurnaan ini menurut saya dalam filsafat dikenal dengan
fenomena gejala postmodernis dan poststrukturalis. Gejala tersebut dapat
dilihat dari manusia sekarang yang memandang suatu kebijakan dari luar
batasan sistem yang dapat dikontrol oleh manusia lainnya (ia menggunakan
sudut pandang kesempurnaan Tuhan). Menyikapi fenomena tersebut
seharusnya orang lain paham bahwa tidak mungkin suatu hal dapat
sempurna tepat seratus persen.
Contoh, Bu Risma walikota Surabaya menutup komplek lokalisasi Gang
Dolly tentu dengan batasan sistem kesempurnaan tertentu yang dalam hal
adalah aspek moralitas warga Surabaya. Di sisi lain ada pihak-pihak tertentu
76
yang menggunakan retorika dari sudut pandang kesempurnaan lain yang
menuntut bahwa kebijakan walikota Surabaya tersebut dapat mengakibatkan
masalah perekonomian.
Inilah fenomena kesempurnaan manusia di jaman pasca rasionalitas saat
ini, ini adalah bahasa lain dari gejala postmodernisme dan poststrukturalis.
Ini merupakan konsep yang sangat absurd, jika suatu koloni masyarakat telah
menggunakan pandangan postmodernisme, menurut saya hal tersebut akan
berbahaya pada tatanan kebenaran/kebaikan dari masyarakat tersebut.
Akhirnya akan timbul istilah ‘terserah melakukan apa asal jangan
mengganggu ketenangan orang lain’. Hal ini jelas bebas nilai. Hasilnya bisa
dilihat dari kebijakan Mahkamah Agung AS yang melegalkan LGBT.
Fenomena kesempurnaan Tuhan yang dilihat dari kacamata
kesempurnaan manusia ini, atau menurut saya bahasa lainnya adalah
postmodernisme, sangat di tentang dalam kehidupan ilmiah di kota
Manchester, Inggris. Menurut saya hal tersebut bagus, artinya mereka masih
memiliki nilai yang diperjuangkan sebagai seorang ilmuwan. Salah satu tokoh
terkenal yang membenci konsep ‘bebas nilai’ ini adalah Noam Chomsky.
Untuk contoh kasus kebijakan penutupan lokalisasi Gang Dolly,
sungguh sangat berbahaya jika prinsip ‘kebebasan nilai’ dijunjung. Artinya
tidak ada satu sudut pandang kesempurnaan apapun yang dapat melukai
sudut pandang kesempurnaan lainnya. Tidak ada urgensi dari suatu hal
dibanding dengan hal-hal lainnya. Dalam kasus tersebut urgensi yang
diperjuangkan Bu Risma adalah moralitas, bukan urgensi lain semisal
perekonomian yang menjadi diksi pihak lain untuk menolak. Jika bebas nilai,
Gang Dolly akan terus jalan, perekonomian jalan, moralitas juga jalan tetapi di
tempat lain. Lalu, sebuah pertanyaan pun timbul, dimanakah letak
kepedulian jika sudah sampai ke hal tersebut?
77
Pencampuradukkan antara kesempurnaan dari Tuhan dan dari manusia
akan berimplikasi pada kebebasan nilai. Atau mungkin agar tidak tercampur
aduk, bisa digunakan definisi absolut: kesempurnaan hanya ada pada Tuhan.
Oleh karena itu, menurut saya kesempurnaan adalah utopia yang terus
diperjuangkan oleh manusia. Definisi kesempurnaan tersebut akan membawa
kita pada pemakluman untuk menyisihkan variabel lain yang tidak sesuai
dengan nilai apa yang sedang diperjuangkan. Proses pemilahan atau
eliminasi dan verifikasi variabel-variabel yang dikira lebih diprioritaskan
dalam bahasa lain dikenal dengan keefisienan (dan pasti akan berdampak
pada keefektifan sebab output biasanya adalah tujuan dari melakukan
perubahan).
. . .
Kesempurnaan seperti apa yang akan diperjuangkan untuk diraih?
Jawaban dari pertanyaan ini berbeda-beda tergantung dari konteks situasi
dan urgensi saat itu. Tentu berbeda antara tujuan kesempurnaan dari si A dan
si B. Kesempurnaan menurut si A adalah IPK tinggi, sedangkan
kesempurnaan menurut si B adalah pengalaman organisasi.
Setelah didapatkan maksud dari kesempurnaan apa yang akan
diperjuangkan, tahap selanjutnya adalah proses menuju hal tersebut yang
kaitannya dengan keefektifan dan keefisienan. Dalam memilih variabel efektif
tak bisa dipungkiri seseorang akan mengeliminasi hal-hal lain yang tidak
sesuai untuk diperjuangkan. Misal, si A pingin IPK tinggi. Variabel input
adalah banyak belajar. Bukan malah PDKT sebab ini adalah variabel input
untuk jodoh.
78
Referensi
Hasil wawancara dengan Muhammad Elvandi, mahasiswa jurusan Filsafat di
University of Manchester
Bahagia, Senator Nur. Pengantar Teknik Industri. Penerbit ITB
Chomsky, Noam. How The World Works. Penerbit Bentang
Sarup, Madan. Pengantar Postmodernisme dan Postrukturalis. Penerbit
Kanisius
79
Semoga konsistensi ini tak pernah terhenti!
Karena hanya mati yang dapat menghentikan kami
Salam Pembebasan
Top Related