i
ii
iii
JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN
DEWAN REDAKSI
Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL
Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas
Redaktur : drg. Yossy Agustina, MH.Kes
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Dr. Lukman Hakim
Dyah Prabaningrum, SKM
Penyunting/Editor : dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes
Dr. Suwito , SKM, M.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Ahmad Abdul Hay, SKM
Design Grafis/ Fotografer : Eriana Sitompul
Bukhari Iskandar, SKM
Devi Nurdiansyah, Amd
Sekretariat : Dewi Nurul Triastuti, SKM
Risma, SKM
Putri Kusumawardani, ST
Aditya Pratama, SI.Kom
Indah Nuraprilyanti, SKM
Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta 10560
Telepon/Faks: (021) 4223451
email: [email protected]
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
iv
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini dapat diterbitkan demi memenuhi
kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan lingkungan di Indonesia.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 3 yang terbit
di penghujung tahun 2013. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil
penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang
ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.
Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2013
v
Daftar Isi
Halaman
Efektivitas Bacillus Thuringiensis Varian Israelensis Serotipe H-14 Dalam Mematikan Larva Aedes Aegypti pada Skala Lapangan ............................ 1 - 3 Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah Sakit kanker Dharmais Jakarta ............................................................................... 4 - 8 Pengembangan Dispeneser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan Nyamuk Demam Berdarah Dengue ........................................................................ 9 - 12 Pelatihan dalam Impelementasi Sistem Skoring TB Anak di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta ......................................................... 13 - 15 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta .............................................................................................................. 16 - 23 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta..................................... 24 - 28 Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah Tahun 2013 ..................................................................................... 29 - 31 Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung ............................. 32 - 34 Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto ............................................. 35 - 39 Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013 ............................ 40 - 44
1
Efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis Serotipe H-14 dalam Mematikan Larva Aedes aegypti pada Skala Lapangan
Suwito
1, Achmad Farich
2, Winarno
1, Budi Santoso
1
1Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP dan PL,
2Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati
Bandar Lampung Abstrak. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Upaya
pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala
lapangan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-Maret 2012 di Kota Tanjung Karang, Provinsi Lampung dengan desain rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 3 populasi kelompok perlakuan. Bti yang digunakan serotipe H-14 formulasi cair mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10
9 CFU, dengan dosis 2 tetes per 5 liter air. Kelompok populasi perlakuan I diberikan
sekali aplikasi Bti terhadap semua media perairan yang ada, kelompok populasi perlakuan II diberikan aplikasi Bti setiap minggu, sedangkan kelompok populasi perlakuan III adalah kelompok kontrol dengan placebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekali pemakaia Bti di lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti selama 3 minggu, sedangkan pada aplikasi setiap minggu menunjukkan hasil yang efektif dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk. Kata kunci: Bti serotipe H-14, Efikasi, Larva Ae. Aegypti
Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL. Tep. 081379729578, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013). Angka kesakitan dan kematian DBD yang masih tinggi disebabkan oleh banyak faktor antara lain restistensi vektor. Penggunaan insektisida dalam pengendalian, rumah tangga dan pertanian secara terus-menerus dapat memicu terjadinya resistensi vektor (Ponlawat et all., 2005).
Upaya pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pemutusan mata rantai penularan, yaitu dengan melakukan pengendalian vektor. Berdasarkan Permenkes Nomor 374 Tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor, dapat dilakukan secara fisik, biologi dan kimiawi.
Penggunaan bahan pengendali Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 merupakan bagian dari pengendalian vektor secara biologi. Bti menghasilkan kristal protein yang disukai larva nyamuk. Kristal protein yang dimakan/termakan oleh larva menempel pada permukaan sel epitel usus, sehingga membentuk pori atau lubang pada usus
yang pada akhirnya larva akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.
Kelebihan pengendalian vektor secara biologi antara lain tidak menimbulkan resistensi dan residu lingkungan yang berbahaya. Penelitian skala laboratorium Bti telah terbukti mematikan larva Aedes, Culex dan Anopheles. Aplikasi efikasi Bti skala lapangan diperlukan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam membunuh larva nyamuk pada skala lapangan dan penurunan kasus DBD.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui efektivitas Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan; dan 2) Mengetahui jangka waktu Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan.
BAHAN DAN CARA
Waktu dan Tempat
Penelitian efikasi dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilaksanakan di kelurahan paling tinggi kasus DBD, yaitu Kelurahan Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Bahan
Bahan yang diuji adalah Bti serotipe H-14 formulasi cair yang mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10
9
CFU, dengan dosis pemakaian dua tetes per lima liter air.
2
Gambar 1. Penetesan Bti Desain
Penelitian efikasi menggunakan desain eksperimen metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 8 ulangan. Pengambilan Sampel Rumah
Populasi sampel adalah seluruh rumah yang ada di tiga rukun tetangga (RT), yaitu RT 7, RT 5 dan RT 8. Populasi sampel di RT 7 dengan sekali perlakuan Bti (kelompok I), populasi sampel di RT 5 dengan perlakuan Bti setiap minggu (kelompok II), sedangkan populasi sampel di RT 8 sebagai kontrol (kelompok III). Pengamatan Larva Nyamuk
Sebelum dilakukan pengujian, setiap media perairan diamati keberadaan larva Ae. aegypti. Kemudian pengamatan larva nyamuk dilakukan 24 jam pertama setelah perlakuan, selanjutnya setiap minggu selama tujuh minggu. Selain pengamatan larva Ae. aegypti, juga dilakukan pengamatan jenis habitat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Analisis
Analisis efikasi menggunakan panduan WHO (2003), sebagai berikut: - Bti serotipe H-14 dinyatakan efektif apabila
kematian larva≥80%, dan dinyatakan tidak efektif apabila kematian larva <80%.
- Apabila kematian larva kontrol sebanyak 5-20%, maka kriteria efikasi berdasakan rumus Abbot:
KL = % KP - % KK
x 100 100 - % KK
KL=Kematian Larva, KP=Kematian Perlakuan, KK=Kematian Kontrol
- Apabila kematian larva kontrol lebih dari 20%, maka pengujian dianggap gagal dan harus diulang lagi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pengamatan awal, jumlah seluruh kontainer sebanyak 1.034 buah, terdiri dari 529 positif larva Ae. aegypti dan 505 negatif. Pada kelompok I dengan sekali perlakuan Bti yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 153 kontainer dan negatif 197 kontainer. Pada kelompok II dengan perlakuan Bti setiap minggu yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 172 kontainer dan negatif 88 kontainer. Pada kelompok III sebagai kontrol yang positif larva Ae. aegypti sebanyak 204 kontainer dan negatif 220 kontainer (Gambar 2).
Gambar 2. Pengamatan awal kondisi kontainer di wilayah uji 1. Habitat Perkembangbiakan Ae. aegypti
Jenis kontainer yang positif larva Ae. aegypti berturut-turut dari yang tertinggi hinggi terendah, yaitu bak mandi 40,2%, sumur 16,8%, ember 12,8%, gentong 8,6%, ban 4,1%, kolam ikan 3,7%, dispenser 3,4%, gelas 2,6%, drum 1,9%, kaleng 1,5%, aquarium 1,3%, pot bunga 0,9%, kulkas 0,6%,
toples 0,4% dan lain-lain 1,3% (Gambar 3). Gambar 3. Persentase Kontainer Positif Larva Ae. aegypti
3
2. \Efektivitas Bti
Berdasarkan pengamatan pada kelompok I, pada awal pengamatan didapatkan 153 kontainer positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24 jam, 97,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama sebesar 85% kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua 80,4%, minggu ketiga 80,4%, minggu keempat 75,3%, minggu kelima 76,4%, minggu keenam 80% dan minggu ketujuh 72,7% (Gambar 4).
WHO (2003) menyatakan bahwa sebuah metode
pengendalian dikatakan efektif apabila dapat mematikan ≥80% vektor/serangga sasaran. Artinya, pada sekali pemakaian Bti pada skala lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti hingga tiga minggu. Pada minggu keenam terjadi peningkatan hingga 80% dikarenakan perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) masyarakat yang membaik setelah dikunjungi oleh petugas, bukan karena efektivitas Bti. Gambar 4. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada sekali
pemakaian dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan
Berdasarkan pengamatan pada kelompok II setiap
minggu perlakuan Bti, pada awal pengamatan didapatkan 172 kontainer positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24 jam, 99,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama sebesar 81,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua 93%, minggu ketiga 98,3%, minggu keempat 99,3%, minggu kelima 100%, minggu keenam 100% dan minggu ketujuh 100% (Gambar 5). Pada pemakaian Bti tiap minggu menunjukkan hasil yang sangat efektif dalam mematikan larva Ae. aegypti (kematian di atas 80%), bahkan mulai minggu kelima kematian mencapai 100% (Gambar 5).
Gambar 5. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada pemakaian tiap minggu dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala lapangan
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae.
aegypti hingga 3 minggu dalam sekali pemakaian di lapangan.
2. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae. aegypti setiap minggu dalam pemakaian setiap minggu di lapangan dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor.
Kementerian Kesehatan RI, 2013. Tabulasi Kasus
DBD di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ponlawat, A., Scott, J.G., Harrington, L.C., 2005.
Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and
Aedes albopictus across. Thailand. J. Medical
Entomol. Bangkok.
World Health Organization, 2003. Entomology and Vector Control Trial Edition. Genewa.
4
Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta
Sorta Rosniuli
1, Teguh Aryandono
2
1Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI,
2Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
Abstrak. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Upaya deteksi dini atau
penemuan kasus secara dini (early diagnosis) dan pengobatan segera (prompt treatment) akan mempengaruhi ketahanan
hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
pasien kanker payudara stadium awal (0-IIB), perbedaan antara 0-IIA dan IIB, dan faktor luar yang berperan dalam
mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal diamati sejak mulai operasi sampai mengalami kematian atau sampai
batas akhir pengamatan dengan menggunakan data sekunder yang direkap dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara
dan Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009. Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup
(survival analysis). Populasi penelitian adalah pasien kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah
Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien kanker payudara yang mendapat
tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009.
Kata kunci: Ketahanan hidup, Kanker payudara stadium awal
Koresponden: Sorta Rosniuli, Direktorat PPTM,
Ditjen PP dan PL, Telp.081383920228,
email:[email protected]
PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia. Setiap tahun terdapat 12 juta
orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6
juta diantaranya meninggal dunia. Jika tidak dilakukan
pengendalian yang memadai, maka pada tahun
2030 diperkirakan 26 juta orang akan menderita
kanker dan 17 juta diantaranya akan meninggal
dunia. Kejadian ini akan terjadi lebih cepat
khususnya di negara miskin dan berkembang (UICC,
2009).
Pasien biasanya datang ke rumah sakit sudah
dalam keadaan stadium lanjut. Hukom, (2002)
menemukan bahwa dari 447 pasien kanker
payudara yang berobat ke Rumah Sakit Kanker
Dharmais (RSKD), hampir setengahnya merupakan
stadium lanjut. Keadaan ini dapat terjadi, karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya melakukan deteksi dini, jarak tempuh ke
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang jauh,
sehingga pasien terlambat datang ke fasyankes untuk
memeriksakan diri atau mendapatkan pengobatan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
hidup pasien kanker payudara adalah dengan
melakukan deteksi dini dan pengobatan segera.
Berdasarkan Kepmenkes No. 796/Menkes/SK/VII/2010
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker
Payudara, upaya pengendalian kanker payudara
antara lain dengan melakukan pemeriksaan USG
pada umur<40 tahun dan mammography pada
umur>40 tahun. Pendidikan tinggi, pengetahuan
yang baik, metode yang tepat untuk deteksi dini,
dan pengobatan yang memadai sangat diperlukan
untuk meningkatkan hasil penanganan kanker
payudara (Park et al., 2008). Selain itu peningkatan
peran petugas kesehatan di tingkat pelayanan dasar
sangat efektif dalam penemuan kanker payudara
pada stadium awal (Gorey et al., 2010).
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal
2. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup kanker payudara stadium awal (0-IIB)
3. Mengetahui faktor luar yang berperan mempengaruhi ketahanan hidup kanker payudara stadium awal
5
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal
diamati secara retrospektif sejak mulai operasi di
Rumah Sakit Dharmais sampai mengalami kematian
(event/out come) atau sampai batas akhir pengamatan
dengan menggunakan data sekunder yang direkap
dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara dan
Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009.
Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup (survival analysis). Populasi penelitian adalah penderita kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah penderita kanker payudara yang mendapat tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009.
Jumlah sampel minimal dihitung sesuai dengan
rumus untuk penelitian kohort uji hipotesis terhadap risiko relatif (Lameshow et al., 1990) sebagai berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal sebanyak 98 orang dengan masing-masing kelompok stadium yang akan diuji
sebanyak 49 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien kanker payudara stadium awal yang datang ke RSKD adalah stadium 0-IIA, yaitu 119 orang (69,59%). Dari data karakteristik 178 orang pasien kanker payudara stadium awal, 123 orang (69,1%) diantaranya stadium 0-IIA, sedangkan 55 orang (30,9%) stadium IIB. Dari pasien-pasien kanker payudara stadium awal tersebut, jumlah yang meninggal sebanyak 12 orang (6,7%) dan yang hidup sebanyak 166 orang (93,3%) (Bagan).
Bagan
Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup kanker payudara dengan stadium klinis
(p=0,02). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA
dan stadium IIB, ditemukan rerata ketahanan hidup
(mean survival life) pada stadium IIB selama 93,63
bulan (CI 95%: 69,91-117,35), sedangkan pada
stadium 0-IIA selama 162,79 bulan (CI 95%:
151,86-173,72) dan median survival life 95 bulan (CI
95%:55,09-134,91) (Gambar).
Kanker Payudara Stadium Awal Tahun 1995 – 2009
n=178
Stadium 0-IIA
n=123
Stadium IIB
n=55
Hidup
119 (96%)
Meninggal
4 (4%)
Hidup
47 (84,7%)
Meninggal
8 (16,3%)
6
Gambar
Dari hasil analisis secara multivariate cox proportional hazard, terlihat jelas perbedaan ketahanan hidup kanker payudara stadium awal stadium 0-IIA dibandingkan IIB. Perbedaan ini dibuktikan dengan uji log rank yang secara statistik berbeda bermakna dengan p=0,008. Hasil analisis multivariat dengan Cox Proportional Hazard, nilai HR=5,22 kali (1,55-17,55), artinya risiko kematian pada pasien kanker payudara stadium IIB adalah 5,22 kali lebih tinggi dibandingkan dengan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan variabel kovariat (Tabel).
Tabel model akhir faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara
stadium awal di RSKD Jakarta (analisis Cox Proportional
Hazard)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup pasien kanker payudara dengan stadium klinis (p=0,008). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA dan stadium IIB, rerata ketahanan hidup (mean survival life) pada stadium IIB lebih rendah, yaitu 93,63 bulan (95% CI: 69,91-117,35), sedangkan stadium 0-IIA 162,79 bulan (95% CI: 151,86-173,72)
dan median survival life 95 bulan (95% CI:55,09-134,91).
Risiko kematian pada pasien kanker payudara stadium IIB 5,22 kali (95% CI: 1,55-17,55) lebih tinggi dibandingkan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan variabel kovariat lainnya.
Letak tumor, umur, status perkawinan, pendidikan, estrogen reseptor, progesteron reseptor, status p-53, ukuran tumor, status kelenjar, HER-2, dan kelengkapan terapi mempunyai hubungan terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal, namun dalam penelitian ini setelah dibuktikan secara statistik hasilnya tidak bermakna.
Saran
Kepada pasien Untuk menginformasikan dengan jelas dan tepat
tentang tempat tinggal, nomor telepon (baik tetap maupun sementara), dan keluarga yang bisa dihubungi dari tempat asal atau yang tinggal di Jakarta, diharapkan mempunyai inisiatif untuk menyampaikan kepada petugas RSKD jika pindah alamat dan atau mengganti nomor telepon.
Untuk semua perempuan, agar melaksanakan deteksi dini, dan bagi yang sudah terdiagnosis kanker payudara stadium awal, agar segera mengikuti prosedur penanganan dan perawatan yang lebih baik, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan ketahanan hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik. Pengobatan lebih awal telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan hidup.
Dianjurkan untuk selalu melakukan kontrol ke rumah sakit, sehingga dapat terus terpantau dan dapat segera diketahui jika penyakitnya kambuh lagi.
B SE p
Adjusted HR*
(95%CI**)
Sta-
dium 1,652 0,619 0,008 5,22 (1,55-17,55)
**Hazard Ratio, **Confidence Interval
Follow -up(bulan)
200150100500
Ketah
anan
Hidup
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Log Rank=8,804, p=0,003
II B-censored (41)
0 - II A-censored (95)
II B (8)
0 - II A (4)
Stadium
7
Kepada keluarga pasien
Agar keluarga memberikan dukungan dan perhatian
kepada pasien dalam menjalani pengobatan.
Berdasarkan studi ini pasien yang memiliki pasangan
hidup ketahanan hidupnya lebih baik dibandingkan
pasien yang tidak memiliki pasangan hidup.
Kepada masyarakat
Agar melakukan pemeriksaan deteksi dini dengan teratur dan lebih meningkatkan wawasannya tentang gejala dan tanda kanker payudara yang sering tidak nyata. Apabila ada keluhan seringan apapun, agar segera memeriksakan diri, sehingga meskipun pada akhirnya didiagnosis sebagai kanker payudara stadium awal, maka berdasarkan hasil penelitian ini ketahanan hidup akan jauh lebih baik dan berkualitas.
Bagi pengelola program pengendalian penyakit
kanker
Baik di tingkat pusat maupun daerah, agar memfasilitasi akses layanan deteksi dini, memperbaiki sistem rujukan, meningkatkan akses layanan konseling agar masyarakat mau untuk deteksi dini secara sukarela.
Kepada tenaga medis dan paramedis
Disarankan agar lebih memperhatikan kelengkapan rekam medik pasien, karena hanya dengan catatan yang akurat dapat digunakan untuk rekomendasi pengobatan yang tepat pada pasien kanker payudara. Diharapkan juga turut mencatat faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara.
Bagi rumah sakit sebagai manajemen data rekam
medik RS Kanker Dharmais.
Diharapkan agar pengelolaan pencatatan dan
pelaporan rekam medik dilakukan lebih baik lagi,
sehingga informasi data rutin dapat lebih lengkap,
missing data dapat diminimalkan dan tidak terjadi
kesulitan dalam menemukan rekam medik terutama
bagi pasien yang sudah meninggal.
Bagi peneliti lain, dianjurkan melakukan penelitian lebih lanjut seperti:
Penelitian kohort dengan waktu pengamatan yang lebih lama dengan jumlah sampel yang lebih besar yang dilakukan di populasi.
Menilai kekambuhan dari pasien kanker payudara stadium awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan.
Menilai faktor prognostik lain yang berkaitan dengan ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal seperti kegemukan, comorbidity, dan faktor genetik.
Menilai perbedaan ketahanan hidup pasien yang dari awal diagnosis langsung mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais dibandingkan pasien yang setelah didiagnosa, lebih dahulu mendapatkan pengobatan di tempat lain dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kanker Dharmais.
DAFTAR PUSTAKA
Aryandono T, 2006. Faktor Prognosis Kanker Payudara
Operabel di Yogyakarta. Disertasi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Clark GM, 2000. Prognostic and Predictive Factors.
Dalam:Harris JR, Lippmann, Morrow M, Osborne
CK, 2000. Disease of the Breast. second edition.
Lippincot. Philadelphia. 467-479.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
Pedoman Kanker Nasional. Direktorat Jenderal
PP dan PL. Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara
dan Leher Rahim. Direktorat Jenderal PP dan
PL. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Jakarta.
T.S. Dabakuyo, F.Bonnetain, P.Roignot, M.L.Poillot,
G.Chaplain, T.Altwegg, G.Hedelin, and P.Arveux,
2007. Population Based Study Of Breast Cancer
Survival In Cote D’or (France):Prognostic Factors
And Relative Survival. Annals of Oncology
19:276-283.
Zhang BN, Shao ZM, Qiao XM, Li B, Jiang J, Yang
MT, Wang S, Song ST, Zhang B, Yang HJ,
2005. A Prospective Multicenter Clinical Trial Of
8
Breast Conserving Therapy for Early Breast
Cancer in China. Chinese Academy of Medical
Sciences. Peking Union Medical College. Beijing.
9
Pengembangan Dispenser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan Nyamuk Demam Berdarah Dengue
Suwito
Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Tahun 2012 jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816
orang. Salah satu upaya pengendalian DBD adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk DBD. Penelitian dilaksanakan di Bogor Jawa Barat dengan jumlah responden sebanyak 20 keluarga yang mempunyai dispenser sebagai sarana air minum keluarga. Jenis penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak lengkap. Responden diberikan perlakuan penyuluhan dan pemasangan stiker anti nyamuk. Kepadatan nyamuk diamati sebelum dan setelah perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dispenser anti nyamuk efektif menurunkan populasi nyamuk di atas 80% setelah pemakaian minggu ketujuh.
Kata Kunci: Dispenser Anti Nyamuk, Kepadatan Nyamuk
Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PP dan PL. Telp. 081379729578, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia. Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2012 terdapat 497 kabupaten/kota terserang DBD, dengan total penderita sebanyak 90.245 orang dan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013).
Pengendalian DBD yang efektif, yaitu pemutusan rantai penularan dengan cara pengendalian vektor (Aedes). Salah satu metode pengendalian vektor adalah dengan cara modifikasi dan manipulasi lingkungan dan tempat perkembangbiakan vektor (Ditjen PP dan PL, 2012).
Metode pengendalian secara fisik ini merupakan alternatif utama sebelum dipilih metode secara kimiawi. Banyak cara pengendalian secara fisik, antara lain menggunakan ovitrap. Ovitrap adalah perangkap telur nyamuk berupa media yang berisikan air untuk memancing nyamuk meletakkan telurnya. Sebelum tumbuh menjadi nyamuk dewasa, air di media ovitrap harus dibersihkan.
Tempat pembuangan air pada dispenser merupakan tempat yang disukai nyamuk untuk meletakan telur (Suwito, 2012), sehingga dispenser dapat digunakan sebagai ovitrap, dengan syarat air pada dispenser harus dibuang setiap minggu sebelum masa pra dewasa tumbuh menjadi nyamuk dewasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik mengembangkan dispenser anti nyamuk sebagai bahan pengendali nyamuk. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk antara sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk.
2. Mengetahui efektivitas (efikasi) dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk.
Metode Penelitian 1. Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan di perumahan di wilayah Cinangneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perlakuan dan pengambilan data dilaksanakan selama delapan minggu pada bulan Maret dan April 2013.
2. Sampel penelitian Sampel diambil secara purposive sebanyak 20 rumah yang mempunyai dispenser sebagai fasilitas minum keluarga.
3. Rancangan penelitian Merupakan penelitian ekperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
4. Proses penelitian a) Memberikan penyuluhan kepada ibu rumah tangga
pada 20 rumah yang terpilih sebagai sampel, dengan pokok materi penyuluhan bahwa penampungan air buangan pada dispenser harus diisi air dan harus dibersihkan setiap hari minggu.
b) Melakukan penempelan stiker pada dispenser bertuliskan “Dispenser anti nyamuk, penampungan air buangan dispenser harus diisi dan harus dibersihkan setiap hari minggu”.
c) Sebelum diberikan penyuluhan dan pemasangan stiker dilakukan penangkapan nyamuk berupa penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding, baju, lemari dan lainnya menggunakan aspirator.
d) Setelah dilakukan penyuluhan dan pemasangan stiker dilakukan penangkapan nyamuk yang hinggap di dalam rumah menggunakan aspirator setiap minggu.
10
5. Analisis data Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk dianalisis menggunakan uji F. Adapun untuk mengetahui efekasi dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk dihitung menggunakan rumus WHO (2003), yaitu dispenser anti nyamuk dinyatakan efektif apabila dapat menurunkan kepadatan nyamuk hingga minimal 80%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
Sebelum dilakukan perlakuan dispenser anti nyamuk didapatkan kepadatan nyamuk rata-rata 6,85 per rumah per hari. Adapun setelah diberikan perlakuan dispenser anti nyamuk berupa penyuluhan dan
pemasangan stiker didapatkan penurunan rata-rata kepadatan nyamuk pada setiap minggu pengamatan, yaitu: 6,1 per rumah per hari pada pengamatan minggu I, 5,05 minggu II, 4,35 minggu III, 3,85 minggu IV, 3,1 minggu V, 2,55 minggu VI, 1,35 minggu ke VII, dan 1,1 minggu VIII (Tabel 1).
Terjadinya penurunan kepadatan nyamuk, karena dispenser merupakan tempat potensial sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk, bilamana setiap minggu (7 hari sekali) dispenser dikuras dan dibersihkan maka jentik nyamuk tidak akan tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Beaty dan Marquardt (1996), bahwa periode pra dewasa mulai telur, jentik hingga pupa membutuhkan waktu 10-12 hari.
Tabel 1. Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
No sampel rumah
Kepadatan nyamuk per rumah per hari
Sebelum perlakuan
Setelah perlakuan
Mgg I Mgg II Mgg III Mgg IV Mgg V Mgg VI Mgg VII Mgg VIII
1 8 6 5 5 4 4 3 2 1
2 6 6 5 4 4 4 2 2 2
3 8 7 6 5 5 3 3 2 0
4 9 8 6 5 4 4 3 0 1
5 6 6 6 4 4 3 2 0 0
6 7 6 5 4 3 3 2 2 1
7 8 7 5 5 5 3 3 1 1
8 6 6 5 4 3 3 2 1 1
9 6 5 4 4 4 4 3 0 1
10 4 5 7 6 5 3 3 0 0
11 8 7 5 4 4 3 3 3 2
12 6 6 5 4 3 2 2 2 2
13 7 7 5 4 4 3 2 2 2
14 6 6 4 4 3 2 2 2 1
15 3 4 3 2 3 2 1 0 0
16 7 6 5 4 3 2 2 2 2
17 4 3 3 2 2 3 3 1 0
18 9 7 5 6 4 3 3 1 2
19 7 6 6 5 5 4 3 2 1
20 12 8 6 6 5 4 4 2 2
Rata-rata 6,85 6,1 5,05 4,35 3,85 3,1 2,55 1,35 1,1
11
Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dengan setelah perlakuan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan
nyamuk per rumah per hari antara sebelum dan setelah perlakuan pada pengamatan minggu pertama tidak berbeda sacara signifikan. Perbedaan secara signifikan setelah pengamatan pada minggu kedua, ketiga dan seterusnya (Tabel 2).
Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik pemakaian dispenser anti nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian pada minggu ke dua dan seterusnya.
Tabel 2. Hasil uji beda kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
Pengamatan kepadatan nyamuk p (α=0,05) Keterangan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 1 0,441 Tidak signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 2 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 3 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 4 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 5 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 6 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 7 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 8 0,000 Signifikan
Efektivitas dispenser anti nyamuk sebagai bahan pengendali nyamuk
Efikasi (efektivitas membunuh/menurunkan kepadatan nyamuk) dari dispenser anti nyamuk menunjukan peningkatan pada setiap minggu pengamatan. Pada minggu I penurunan kepadatan nyamuk sebesar 10,9%, minggu II 26,3%, minggu III 36,5%, minggu IV 43,8%, minggu V 54,7%, minggu VI 62,8%, minggu VII 80,3% dan minggu VIII 83,9% (Tabel 3 dan Gambar).
Sebuah bahan atau peralatan dapat direkomendasikan menjadi bahan pengendali
nyamuk apabila bahan atau peralatan tersebut memenuhi standar efikasi minimal 80% (WHO, 2003). Berdasarkan hasil penelitian perlakuan dispenser anti nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk di atas 80% mulai pemakaian minggu ke VII. Hal ini menjelaskan bahwa pemakaian dispenser anti nyamuk secara terus menerus, maka mulai pemakaian minggu VII akan efektif sebagai bahan pengendali nyamuk.
Tabel 3. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk
Gambar 1. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk
Sebelum perlakuan
Setelah perlakuan
Mgg I Mgg II Mgg III Mgg IV
Mgg V Mgg VI
Mgg VII
Mgg VIII
Jumlah nyamuk 137 122 101 87 77 62 51 27 22
Efikasi (%) 10,9 26,3 36,5 43,8 54,7 62,8 80,3 83,9
12
KESIMPULAN
Dispenser anti nyamuk dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengendali nyamuk, karena hasil penelitian menunjukkan 80% menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian tujuh minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Beaty BJ, Marquardt WC. 1996. The Biology of Diesease Vectors. Corolado, The University Press of Colorado.
Ditjen PP dan PL. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. Jakarta.
Service MW. 2000. Medical Entomology for Students. United Kingdom, Cambridge University Press.
Subdit Pengendalian Arbovirosis. 2013. Laporan Penderita DBD Indonesia. Jakarta.
Suwito. 2012. Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Laporan Penelitian. Jakarta.
Taboada O. 1966. Medical Entomology. Maryland Bethesda, Naval Medical School, National Naval Medical Center.
WHO. 2003. Malaria Entomology and Vector Control Trial Edition. Genewa.
13
Pelatihan dalam Implementasi Sistem Skoring TB Anak di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta
Nastiti Kaswandani
1, Wahyuni Indawati
1, Ida Kurniawati
2, Hanif Sri Utami
2, Retno Budiati
3
1RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta,
3Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Indonesian Childhood TB Working Group telah mengembangkan sistem skoring yang diadopsi oleh Program TB
Nasional sebagai kebijakan nasional tahun 2008. Tidak terdapat data mengenai implementasi sistem skoring di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, terutama performa dokter umum di puskesmas yang menggunakan skoring ini serta akurasinya dalam mendiagnosis TB anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tenaga kesehatan di puskesmas, pengetahuan dan praktik dokter umum mengenai sistem skoring pada TB anak, dan akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di Puskesmas DKI Jakarta. Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai melalui dengan menggunakan kuesioner. Dokter umum dilatih selama 2 hari dan diberikan pedoman teknis penggunaan sistem skoring TB anak. Dua puluh tiga dokter umum dari 12 puskesmas diikutsertakan pada penelitian ini dengan rentang usia 27-57 tahun (median 38.5). Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai kurang optimal, setelah 2 hari pelatihan, pengetahuan dokter umum tersebut meningkat. Pasien anak dengan TB yang diikutsertakan pada penelitian ini adalah 105 pasien, terdiri dari 56 (53.3%) laki-laki dan 49 (46.7%) perempuan. Usia pasien 6 bulan hingga 13 tahun (median 3 tahun 8 bulan). Akurasi diagnosis TB oleh dokter umum dibandingkan dokter spesialis anak adalah 73.3%, dengan sensitivitas 85.0% dan spesifisitas 66.2%. Disimpulkan bahwa pengetahuan dasar dan praktik sistem skoring oleh dokter umum kurang optimal. Akurasi dan sensitivitas diagnosis TB oleh dokter umum di Puskesmas dibandingkan dengan dokter spesialis anak pada rumah sakit pusat rujukan, masuk kategori cukup atau sedang. Ketidaksesuaian terendah pada poin skoring adalah pada poin status gizi, batuk kronik, serta foto polos dada. Sesuai hasil pernelitaian, maka perlu peningkatan implementasi sistem skoring melalui pelatihan, dan pedoman teknis yang lebih fokus pada poin akurasi terendah pada sistem skoring tersebut. Kata kunci: TB anak, skoring, Dokter umum, Dokter spesialis anak
Koresponden: Nastiti Kaswandani, Departemen Anak, RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Telp. 08159416858; Retno B, Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597
PENDAHULUAN
Penegakan diagnosis TB pada anak lebih sulit dibandingkan pada dewasa, karena gejala klinis kurang spesifik dan konfirmasi diagnosis secara bakteriologis sangat terbatas. Kelompok kerja TB anak telah membuat sistem skoring yang telah diadopsi oleh Subdit TB, Ditjen PP dan PL sebagai kebijakan nasional. Belum ada data, seberapa optimal implementasi sistem skoring di puskesmas dan bagaimana akurasi sistem skoring untuk diagnosis TB anak. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik, pengetahuan, dan perilaku dokter umum di puskesmas terhadap sistem skoring pada TB anak, serta menentukan akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di puskesmas.
BAHAN DAN CARA
Studi potong lintang dan uji diagnosis dilaksanakan untuk mendeskripsikan implementasi sistem skoring dan akurasinya di puskesmas di DKI Jakarta. Dokter umum yang melakukan penegakan diagnosis TB anak diminta mengisi kuesioner tentang pengetahuan dan perilakunya terhadap pelaksanaan sistem skoring. Dokter mendapat pelatihan skoring selama 2 hari
termasuk pelatihan melakukan uji tuberculin. Observasi lapangan dilakukan untuk menilai perilaku dokter dalam mendiagnosis TB dan fasilitas yang tersedia untuk menunjang sistem skoring. Diagnosis TB menggunakan skoring oleh dokter umum di puskesmas dinilai dengan baku emas diagnosis oleh konsultan pulmonologi anak di RSCM dan pemantauan kemajuan klinis setelah 3 bulan penegakan diagnosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dokter umum yang menggunakan sistem skoring
sebanyak 23 dokter umum dari 12 puskesmas di 5
wilayah DKI:
- Rentang usia 27-57 (median 38.5) tahun
14
- Telah bertugas antara 1-10 tahun sebanyak 11 orang, 11-20 tahun 8 orang dan lebih dari 20 tahun 4 orang
- Hanya 2 dari 23 dokter yang telah mendapat pelatihan skoring. Untuk menentukan akurasi diagnosis sistem skoring,
sebanyak 105 pasien tersangka TB (usia 6 bulan-13
tahun) dievaluasi oleh dokter umum maupun dokter anak
konsultan paru.
Ketepatan
Akurasi Diagnosis TB anak oleh dokter Puskesmas
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Akurasi diagnosis TB anak oleh dokter puskesmas
Diagnosis Akurasi (%)
Komponen Sistem Skoring
Foto Toraks 62.8
Status Gizi 66.7
Batuk kronik 66.7
Pembesaran Kelenjar Getah Bening
70.5
Demam 75.2
Kontak TB 85.7
Sistem Skoring secara keseluruhan
73.3
Analisis
- Kesalahan paling tinggi pada foto toraks dipengaruhi oleh pembacaan hasil foto toraks dari ahli radiologi yang tidak mengetahui kondisi klinis.
- Penelitian lain pun menunjukkan besarnya variasi pembacaan radiologi sehingga terjadi over diagnosis jika menggunakan foto toraks sebagai alat diagnosis.
- Penilaian status gizi yang tidak tepat disebabkan oleh penilaian berat badan sesuai usia, padahal seharusnya menggunakan berat badan berdasarkan tinggi badan atau kesalahan menggunakan grafik pertumbuhan.
- Pendekatan gejala batuk kronik sering menjadi over diagnosis karena dokter kurang menggali gejala batuk secara cermat, seperti menanyakan durasi, intensitas batuk dari waktu ke waktu, faktor pencetus batuk, riwayat alergi dan kemungkinan penyebab batuk selain TB.
- KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Meskipun dalam kesehariannya dokter puskesmas menyatakan menggunakan skoring, namun hasil evaluasi mengenai pengetahuan dan sikap yang tepat untuk menggunakan skoring masih kurang optimal.
2. Dengan baku emas diagnosis oleh konsultan (yang dikonfirmasi dengan kemajuan klinis pada pemantauan setelah 3 bulan), akurasi diagnosis TB oleh dokter puskesmas dengan menggunakan skoring adalah 73.3%.
3. Komponen skoring yang memiliki kesalahan atau ketidaksesuaian paling tinggi adalah penilaian foto toraks, batuk kronik dan penilaian status gizi.
4. Penerapan sistem skoring tanpa disertai pelatihan dan ketersediaan fasilitas penunjang dapat menyebabkan berkurangnya akurasi sistem skoring di pelayanan kesehatan primer.
5. Implementasi sistem skoring yang baik dapat mengurangi over/under diagnosis TB anak serta meningkatkan kualitas laporan di puskesmas.
Saran 1. Penegakan diagnosis TB anak dengan menggunakan
sistem skoring akan optimal jika disertai dengan pelatihan terutama pada penilaian status gizi anak, penilaian batuk kronik, dan penggunaan foto toraks.
2. Dokumentasi/pencatatan kasus TB anak sebaiknya dibuat secara khusus untuk meningkatkan penggunaan skoring dan pelaporan kasus.
3. Setiap puskesmas seyogyanya memiliki fasilitas penunjang diagnosis TB anak yang nilai skoringnya besar, yaitu uji tuberkulin.
4. Foto toraks tidak direkomendasikan sebagai satu-satunya penunjang diagnosis TB anak, karena memiliki akurasi yang rendah.
5. DAFTAR PUSTAKA
Coulter JBS. Diagnosis of pulmonary tuberculosis in
young children. Annals of Tropical Paediatrics.
2008; 28: 3-12.
15
Filho JCC, MA Caribe, SCC Caldas, EM Netto. Is
tuberculosis difficult to diagnose in childhood and
adolescence? Journal Brasileiro de Pneumologia. 2011;
37(3): 288-93.
Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World
Health Organization. Introduction and diagnosis of
tuberculosis in children. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 2006; 10(10):
1091-7.
Swaminathan S, B Rekha. Pediatric tuberculosis:
global overview. Clinical Infectious Disease.
2010; 50(S3): S184-94.
Theart AC, J Marais, RP Gie, AC Hesseling, N Beyers.
Criteria used for the diagnosis of childhood
tuberculosis at primary health care level in a high-
burden, urban setting. The International Journal
od Tuberculosis and Lung Disease. 2005; 9(11):
1210-4.
16
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta
Lili Junaidi
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi memiliki risiko untuk tertular dan meningkatkan jumlah kasus infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS karena tukang ojek mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan atapun dia sendiri sebagai klien dari Pekerja Seks Komersial (PSK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks multipartner pada tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi pasar kembang (Sarkem)
Kota Yogyakarta. Jenis penelitian adalah explanatory research dengan pendekatan belah lintang (cross sectional). Tehnik
sampling yang digunakan exhausting sampling dan diperoleh sampel sebanyak 67 responden dimana terdapat 43 responden yang multipartner. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tukang ojek berperilaku seks multipartner berisiko. Variabel yang paling berpengaruh
adalah lama bekerja responden tukang ojek, sedangkan kemampuan diri merupakan variabel protektif terhadap perilaku seks berisiko. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya, baik melalui diskusi yang diprakarsai pemimpin paguyuban atau penyuluhan yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS. Begitu juga penyuluhan tentang bahaya perilaku seks berisiko oleh institusi resmi atau lembaga sosial masyarakat kepada para tukang ojek. Diharapkan upaya ini dapat meningkatkan kemampuan diri tukang ojek dalam rangka memperkecil risiko dan melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan IMS dan HIV/AIDS. Kata kunci: Tukang ojek, Perilaku seks multipartner, Sarkem Yogyakarta
Koresponden: Lili Junaidi, KKP Semarang, Ditjen PP dan PL, Telp. 081, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Di Indonesia kasus HIV dari Januari sampai dengan
bulan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus baru, dimana persentase kasus HIV tertinggi pada golongan usia produktif 25-49 tahun (75,4%) dan persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (46,6%). Sedangkan kasus AIDS dari Bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 551 kasus. Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,2%) dengan persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual sebanyak 77% (Ditjen PP dan PL, 2012).
Perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Yogyakarta semakin meningkat, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 45 kasus HIV dan 8 kasus AIDS, Pada akhir tahun 2009 terdapat 56 kasus HIV dan 73 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun, kelompok umur yang ditemukan positif HIV selalu tinggi pada kelompok umur 20-44 tahun, dan 60% diantaranya adalah laki-laki, 31 persen perempuan dan sisanya tidak diketahui jenis kelaminnya. Angka ini dinilai cukup tinggi dibandingkan dengan target nasional angka penderita HIV/AIDS perempuan tahun 2015, yakni 25%. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta, dari tahun 2004 sampai dengan Juli 2010, persentase faktor risiko tertinggi kasus HIV/AIDS adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (Shinta, 2011).
Pria yang potensial menjadi pelanggan Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pria yang suka bepergian dalam jangka waktu lama dan pisah dengan pasangan seks utamanya, seperti pelaut dan anak buah kapal, nelayan, serta sopir dan kernet truk. Termasuk pula di dalam kelompok pria yang potensial menjadi pelanggan PSK adalah tenaga kerja bongkar muat barang di pelabuhan, dan tukang ojek yang mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan ataupun dia sendiri sebagai klien dari PKS (Depkes RI, 2008). Pola pergaulan antara tukang ojek dengan PKS menunjukkan hal yang spesifik, yaitu keduanya bukan lagi berdasarkan materiil tapi ada beberapa yang bahkan menjalin hubungan sebagai pacar. Artinya bahwa dalam hubungan seksual mereka tidak lagi harus membayar karena saling membutuhkan. Selain itu, sebagai penghasilan tambahan tukang ojek memberikan pelayanan kepada konsumen/ pelanggannya yang meminta informasi tentang PSK, sehingga mengakibatkan penularan HIV pada pelanggan semakin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan Urbanski, menunjukkan bahwa tukang ojek yang mangkal di sekitar warung-warung teh poci simpang lima Semarang mempunyai tiga bentuk hubungan dengan PSK yang mangkal di warung-
17
warung teh poci, yaitu: 1)sebagai pacar dari PSK tersebut; 2)mengantarkan PSK (nama lain yang terkenal di Semarang selain PSK adalah Ciblek) ke hotel untuk berhubungan seks dengan konsumennya; dan 3)melarikan ciblek ketika ada operasi dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau lainnya. Inilah yang menjadikan posisi tukang ojek mempunyai peran yang unik dalam laju penularan HIV/AIDS (Urbanski, 2006).
Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi prostitusi mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV/AIDS, karena pada dasarnya pekerjaan dan tempat bekerja mereka dekat dengan kehidupan malam dan pekerja seks, sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk menularkan IMS/HIV. Hasil penelitian di Peruvian Amozon, 99% tukang ojek berhubungan seks dengan Wanita Pekerja Seks (WPS), dimana hanya 21% yang selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan WPS dan 62% dari mereka pernah menderita IMS. Penelitian di Kota Benin, Nigeria juga menunjukkan bahwa tukang ojek mempunyai risiko tinggi tertularnya HIV/AIDS. Dari 66% tukang ojek yang berhubungan seks dengan WPS, hanya 45% diantaranya yang menggunakan kondom secara konsisten (Postgrad, 2005).
Di sekitar Lokalisasi Sarkem, Kecamatan Gedong Tengen Yogyakarta, banyak tukang ojek yang mangkal. Keberadaan tukang ojek tersebut merupakan kondisi dimana mereka berada di tempat yang terpapar yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus menerus ini akan mendorong pada perilaku yang berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan terjangkitnya HIV/AIDS. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tukang ojek yang multipartner yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Kota Yogyakarta.
BAHAN DAN CARA
Metode Desain, Sampel, dan Sampling
Penelitian ini termasuk penelitian penjelasan (explanatory research) dengan desain penelitian cross sectional. Sebanyak 67 tukang ojek yang berada di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta dijadikan sebagai sampel dengan teknik exhausting sampling, yaitu peneliti menggunakan seluruh populasi sumber, karena seluruh populasi dalam penelitian ini merupakan populasi berisiko. Kemudian dari sampel
tersebut terdapat 43 orang yang multipartner. Penelitian dilakukan pada bulan September 2011. Cara pengukuran
Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara. Variabel dependen (perilaku seks multipartner) dikategorikan 2 sub, yaitu perilaku seks multipartner berisiko dan tidak berisiko. Dikatakan “berisiko” apabila melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tidak konsisten (tidak/tidak selalu) menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap. Sedangkan “tidak berisiko” apabila konsisten (selalu) menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap. Variabel independen meliputi karakteristik sosio-demografi, persepsi kerentanan IMS dan HIV/AIDS, persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS, pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap tentang perilaku seks berisiko, kemampuan diri untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS, sikap pemimpin kelompok tentang perilaku seks berisiko, serta frekuensi akses media informasi tentang pornografi, IMS dan HIV/AIDS. Instrumen penelitian telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
Analisis data
Data dianalisis secara univariat, bivariat menggunakan uji chi square dengan alpha 5% dan multivariat menggunakan uji analisis regresi logistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pasar Kembang atau Sarkem berdiri sejak 1818, itu artinya, sejak zaman penjajahan Belanda sudah ada. Keberadaan Sarkem ini juga mendapat legalisasi pemerintah Belanda. Jika seluruh buruh pembuat jalan kereta api sudah menerima upah dari hasil keringatnya, maka diharapkan mereka menghabiskan gajinya ke "Sarkem" yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Sehingga, perputaran uang tetap kembali lagi ke pemerintah Belanda di Yogyakarta.
Pada saat ini, di lokalisasi Sarkem terdapat 45 bangunan dengan jumlah PSK 315 orang dan sistem pengelolaan lokasi berada dalam satu Rukun Warga (RW), dimana keberadaannya di perkampungan tengah perkotaan. Bentuk praktiknya secara terbuka berada di sekitar jalanan Sarkem/ Stasiun Tugu Yogyakarta dan tertutup berbentuk salon kecantikan dan rumah indekost sebagai tempat-tempat prostitusi yang menyediakan layanan pekerja seks. Di lokalisasi ini masih belum ada peraturan lokal kondom 100%, namun masih dalam tahap sosialisasi. Karakteristik Sosio-Demografi
18
Sebagian besar responden adalah laki-laki berumur 41-61 tahun dan telah menikah. Kelompok ini merupakan populasi berisiko dimana dari hasil wawancara beberapa responden mengatakan bahwa mereka jauh dari keluarga (istri) dan tinggal di pangkalan ojek. Tingkat pendidikan lanjutan (tamat SLTP) lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan dasar. Selain itu, lama bekerja sebagai tukang ojek lebih dari 6 bulan menyebabkan paparan yang lebih sering terhadap lingkungan prostitusi (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi karakteristik sosio-demografi tukang ojek
Variabel Frekuensi Persentase
Kelompok umur 23-40 tahun 41-61 tahun
26 41
38.8 61.2
Total 67 100
Tingkat pendidikan
SD 23 34.3 SMP 44 65.7 Total 67 100 Status menikah Belum Nikah 5 7.5 Menikah 62 92.5 Total 67 100 Lama bekerja ≤ 6 Bulan 15 22.4 > 6 Bulan 52 77.6 Total 67 100 Aktifitas di waktu luang
Tdk Berisiko 28 41.8 Berisiko 39 58.2 Total 67 100
Sebagian besar (58,2%) tukang ojek memiliki
aktifitas waktu luang berisiko. Hal ini ditunjukkan dari jawaban kuesioner responden yang mempunyai kebiasaan kadang-kadang menginap di luar rumah sebanyak 19 (28,4%) dan merokok 28 (41,8%) serta kadang-kadang minum minuman keras sebanyak 20 (29,9%). Umur
Hasil penelitian secara univariat menunjukkan persentase umur responden. Hasil penelitian menunjukkan distribusi umur responden yang paling banyak adalah kelompok umur antara 41- 61 tahun, yaitu 41 responden (61,2%).
Secara bivariat menunjukkan bahwa pada kelompok umur 41-61 tahun, dari 41 responden sebanyak 28 responden (68,3%) berperilaku seks multipatner. Sedangkan pada kelompok umur 23-40, dari 26 responden, sebanyak 15 (57,7%) yang berperilaku seks multipatner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,378, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perbedaan usia mempengaruhi karakteristik individu baik dari segi fisik, psikososial maupun perkembangan kognitifnya. Ciri dari usia dewasa awal adalah masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya (Hurlock, 1973). Usia dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan fisik dan psikologi (Hurlock, 1980). Pada usia itu terjadi masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive trantition) serta peran sosial (social role transtition) (Santrock, 2011). Semakin dewasa seseorang, maka akan semakin meninggalkan serotip belasan tahunnya dan seseorang tersebut akan memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, salah satunya yaitu perilaku seksual (Hurlock,1980).
Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden mempunyai pendidikan tingkat lanjut (tamat SLTP). Dari 67 responden, sebanyak 44 responden (65,7%) tamat SLTP. Sedangkan responden yang tidak tamat SLTP atau tamat SD sebanyak 23 responden (34,3%).
Secara bivariat, responden yang mempunyai tingkat pendidikan lanjutan mempunyai perilaku seks multipartner lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan dasar (tidak tamat SLTP), yaitu 13 responden (29,5%) dari 44 responden.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,138, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku
tukang ojek yang multipartner.
Status Menikah
Secara univariat hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah, yaitu 62 (92,5%) dari 67 responden. Sedangkan yang belum menikah sebanyak 5 responden (7,5%). Secara bivariat, dari 62 responden yang sudah menikah, 21 (33,9%) diantaranya berperilaku multipartner, sedang responden yang belum menikah, sebanyak 2 (40%) yang berperilaku multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,241, maka dapat disimpulkan
19
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status pernikahan dengan perilaku seks tukang ojek multipartner.
Responden yang telah berpengalaman secara seksual akan mempunyai sikap terhadap seksualitas (sexual attitude) yang lebih bebas daripada mereka yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Temuan penelitian ini juga menunjukkan adanya keberagaman standar norma individu dari batasan tradisional yang melarang penuh (jangan melakukan hubungan seks multipartner/PSK) sampai sikap yang lebih permisif terhadap perilaku hubungan seks multipartner/PSK.
Lama Bekerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (77,6%) dari 67 responden telah bekerja lebih dari 6 sebagai tukang ojek. Sedangkan 15 responden (22,4%) bekerja kurang dari 6 bulan. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa sebanyak 36 (69,2%) dari 52 responden yang bekerja lebih dari 6 bulan berperilaku yang multipartner. Sedangkan 7 (46,7%) dari 15 responden yang lama bekerjanya kurang dari 6 bulan berperilaku yang multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,108, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja responden dengan perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perilaku seseorang dapat terbentuk melalui observational learning. Adanya contoh perilaku seksual yang didengar dari keseharian berinteraksi dengan teman sebaya maupun PSK dapat membuat seseorang penasaran untuk mencoba dan mencontoh perilaku tersebut. Pengaruh stimulus seksual terhadap individu baik terhadap faktor fisiologis, afeksi dan kognisi pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku seksual. Individu yang membaca/melihat hal-hal yang negatif akan disuguhi dengan berbagai macam materi porno yang dapat menimbulkan rangsangan seksual yang kuat. Individu yang telah terbiasa mengkonsumsi materi porno, menganggap bahwa perilaku seksual merupakan perilaku yang wajar dan menimbulkan kesenangan bagi individu yang melakukannya.
Aktifitas di Waktu Luang
Dari 67 responden, sebanyak 39 orang (58,2%) melakukan aktifitas yang berisiko di waktu luang. Sedangkan responden melakukan aktifitas yang tidak berisiko di waktu luang sebanyak 28 (41,8%). Secara bivariat dari 39 responden yang beraktifitas berisiko di waktu luang, 22 (56,4%) berperilaku seks multipartner. Sedangkan dari 28 responden yang beraktifitas tidak berisiko di waktu luang, 21 (75%) berperilaku seks multipartner. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,118, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara aktifitas di waktu luang dengan perilaku seks tukang ojek yang multipartner.
Beyth-Marom membuktikan bahwa remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability (Beyth,1993). Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable pada remaja dan orang dewasa adalah sama.
Persepsi Kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden, sebagian besar (58,2%) mempunyai persepsi kerentanan rendah. Hal ini karena adanya persepsi yang salah dari responden tentang cara penularan dan cara menghindarkan IMS dan HIV/AIDS, yaitu sebanyak 86,6% responden mempunyai persepsi setia pada pasangan tetap akan tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Selain itu masih adanya persepsi bahwa jika menggunakan kondom pada saat berhubungan seks multipartner, maka tidak akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS. Sebanyak 26,9% responden mempunyai persepsi bahwa jika memilih pasangan tidak tetap yang berpenampilan bersih, maka mereka tidak akan tertular IMS dan HIV/AIDS, sedangkan sebanyak 25,4% responden mempersepsikan bahwa hubungan seks multipartner tidak akan menularkan IMS dan HIV/AIDS (Tabel 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tukang ojek sebagai klien potensial WPS mempunyai kerentanan yang cukup tinggi untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Walaupun 86,6% tukang ojek mengetahui bahwa hubungan seks multipartner akan berisiko mudah tertular IMS dan HIV/AIDS, tetapi ternyata masih banyak di antara tukang ojek masih melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Hal ini menggambarkan bahwa tukang ojek yang mangkal di sekitar lokalisasi mempunyai persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS yang cukup baik, namun belum bisa mempengaruhi perilaku seks mereka.
Persepsi Kegawatan IMS dan HIV/AIDS
Sebagian besar (77,6%) tukang ojek mempunyai persepsi kegawatan yang rendah terhadap penyakit IMS HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari masih banyaknya responden yang miskonsepsi berkaitan dengan kegawatan IMS dan HIV/AIDS. Dari 67 responden, 31,3% mempunyai persepsi bahwa HIV tidak akan berkembang menjadi AIDS, 41,8% mempunyai persepsi penderita HIV/AIDS tidak selamanya harus minum ARV, 43,3% mempunyai persepsi AIDS tidak akan
20
menyebabkan kematian, 44,8% mempunyai persepsi AIDS sama dengan penyakit lainnya karena bisa disembuhkan.
Pemahaman/persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Dari 67 responden yang berperilaku multipartner dan tidak multipartner, 34 (65,4%) yang mempunyai persepsi
kegawatan IMS dan HIV/AIDS rendah, berperilaku multipartner. Persepsi kegawatan yang rendah dikarenakan persepsi yang keliru tentang IMS dan HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan mereka merasa tidak khawatir tertular IMS dan HIV/AIDS, karena penyakit tersebut tidak berbahaya.
Tabel 2. Persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS
Faktor Personal Faktor personal yang mempengaruhi perilaku
seks multipartner adalah pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap tukang ojek terhadap perilaku seks berisiko, dan kemampuan diri (self efficacy) terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden, 33 orang (67,3%) dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/AIDS rendah berperilaku multipartner. Sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/ AIDS tinggi, 10 orang (55,6%) berperilaku multipartner. Pengetahuan yang masih rendah tersebut menimbulkan anggapan yang salah pula tentang penularan HIV/AIDS. Ditemukan beberapa miskonsepsi terutama tentang cara penularan IMS dan HIV/AIDS, yaitu 44,8% responden menjawab HIV dapat ditularkan melalui alat minum, 44,8% menjawab onani dapat menularkan HIV, 47,8% menjawab HIV ditularkan melalui berenang bersama penderita, dan 53,7% menjawab berganti-ganti pasangan seks tidak menularkan HIV. Tabel 3. Distribusi faktor personal tukang ojek
Variables Frequencies Percent Pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS
Rendah 49 73.1
Tinggi 18 26.9 Total 67 100 Sikap perilaku seks berisiko
Tdk Permisif 27 40.3 Permisif 40 59.7 Total 67 100 Self efficacy untuk mencegah IMS, HIV/AIDS
Rendah 43 64.2 Tinggi 24 35.8 Total 67 100
Sikap tukang ojek (31,3%) yang multipartner merupakan tindakan untuk mencari kesenangan, masih adanya kesalahan sikap tukang ojek (25,4%) yang menyatakan bahwa berhubungan seks multipartner jika hanya sekali tidak akan tertular IMS dan HIV/ AIDS, boleh melakukan hubungan seks multipartner dengan tidak berganti-ganti pasangan (43,3%) serta apabila sudah mengenal lama pasangan multipartnernya tidak perlu memakai kondom ketika berhubungan seks (29,9%).
Self efficacy tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS sebagian besar tergolong rendah.
Pertanyaan berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS
Ya Tidak N % N %
Persepsi Kerentanan • Setia pada pasangan tetap tidak berisiko 58 86,6 9 13,4
• Selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks multiparner tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS
45 67,2 22 32,8
• Memilih pasangan multipartner yang kelihatan bersih tdk akan tertular IMS dan HIV/AIDS 18 26,9 49 73,1
• Berhubungan seks dengan pasangan multipatner tdk akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS 50 74,6 17 25,4
Persepsi Kegawatan • Semua orang yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS 46 68.7 21 31.3
• Orang yang menderita HIV/AIDS memerlukan pengobatan ARV selamanya. 39 58.2 28 41.8
• AIDS tidak akan menyebabkan kematian karena sudah ada obatnya 29 43.3 38 56.7
• AIDS adalah sama dengan penyakit yang lainnya karena bisa diobati. 30 44.8 37 55.2
21
Diungkapkan bahwa terdapat 43,3% responden yang bisa menahan diri ketika berhubungan seks meski tanpa membayar, dan terdapat keyakinan diri bisa menghindarkan diri berhubungan seks dengan tidak memakai kondom (64,2%).
Faktor Lingkungan
Tabel 4. Distribusi faktor lingkungan tukang ojek
Variables Frequencies Percent Sikap pemimpin komunitas tentang perilaku seks berisiko
Tdk Permisif 22 32.8 Permisif 45 67.2 Total 67 100
Variables Frequencies Percent Frekuensi mengakses media tentang IMS dan HIV/AIDS
Rendah 32 47.8 Tinggi 35 52.2 Total 67 100 Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar sikap
dari pemimpin paguyuban tukang ojek yang permisif terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner. Dari 67 responden, 67,2% menyatakan pemimpin komunitas tidak setuju hubungan seks multipartner bisa menularkan penyakit kelamin, 8% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju bahwa penyakit AIDS tidak berbahaya karena dapat disembuhkan, 59,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju hubungan seks dengan beberapa pasangan tidak tetap merupakan hal yang biasa, dan 56,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju hubungan seks multipartner tidak memalukan asal tidak berganti-ganti pasangan.
Sebanyak 81,2% responden yang mempunyai frekuensi mengakses media informasi rendah akan berpeilaku seks multipartner. Sebanyak 44,8% tukang ojek mengakses media elektronik berupa film/VCD pornografi beradegan seks, dan 40,3% tukang ojek sering melihat dan membaca gambar bertemakan pornografi. Ini artinya bahwa tukang ojek yang mengakses informasi yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS berbanding lurus dengan perilaku seks mereka.
Perilaku Seks Tukang Ojek
Sebagian besar 64,2% responden memiliki pasangan seks lebih dari satu (multipartner). Dari 43 responden yang multipartner, 37 responden (86%) berhubungan seks multipartner. Dari 37 responden, 35 (81,4%) tidak konsisten menggunakan kondom ketika berhubungan seks multipartner.
Uraian diatas mengungkapkan bahwa mayoritas tukang ojek yang multipartner di dekat lokalisasi memiliki perilaku seks berisiko. Dimana kriteria utama adalah tidak konsisten dalam menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan multipartnernya. Tabel 6. Distribusi seks berisiko dengan pasangan multipartner
Variabel Frekuensi Persentase Perilaku Berisiko
Berisiko 35 52.2 Tidak Berisiko 8 47.8
Total 43 100
Berikut ini adalah hasil analisis bivariat untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
Tabel 7. Analisis statistik hubungan Variabel Independen dan Variabel Dependen
Variabel Independen
Variabel Dependent
P value Hasil
Umur
The multipartner sex behavior
0,388 Tidak signifikan
Tingkat pendidikan 1,000 Tidak
signifikan Status pernikahan
0,341 Tidak signifikan
Lama bekerja 0,028 signifikan Aktifitas di waktu luang 0,270 Tidak
signifikan Persepsi kerentanan
0,356 Tidak signifikan
Persepsi Kegawatan 1,000 Tidak
signifikan Pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS
1,000 Tidak signifikan
Sikap perilaku seks berisiko 0,270 Tidak
signifikan Self efficacy untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS
0,037 signifikan
The attitude of the community leader 1,000 Tidak
signifikan Media access to information 0,692 Tidak
signifikan
22
Tabel 8. Hasil uji regresi logistik antara variabel independen dengan perilaku tukang ojek yang multipartner di dekat Lokalisasi Sarkem Yogyakarta.
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp (B)
Lama Bekerja 2,450 1,237 3,944 1 0,047 11,65
Kemampuan diri -2,450 1,160 4,459 1 0,035 2,086
Constant -0.967 0,547 3.202 1 0.074 0.376
Hasil analisis statistik multivariat tersebut menunjukkan bahwa terdapat 2 variabel bebas, yaitu lama bekerja dan kemampuan diri responden dalam melakukan pencegahan penularan HIV/ AIDS secara bersama-sama signifikan berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner. Variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner adalah lama bekerja tukang ojek dengan nilai OR=11,655.
Lama bekerja responden sebagai tukang ojek dengan p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Ini berarti bahwa responden yang bekerja lebih dari 6 bulan sebagai tukang ojek, maka akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku seks multipartner jika dibandingkan dengan tukang ojek yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta. Sedangkan kemampuan diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS dengan p=0,035 (<0,05) dan OR (Exp B) =2,086 dan nilai B=-2,450. Nilai B negatif menunjukkan bahwa variabel kemampuan diri merupakan variabel protektif (pencegah). Hal ini berarti bahwa kemampuan diri dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS tinggi, maka kemungkinan tidak berperilaku seks multipartner berisiko sebesar 2,086 kali dibandingkan dengan tukang ojek yang mempunyai kemampuan diri rendah dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS.
DISKUSI
Perilaku seksual adalah bersifat personal akan
tetapi pada umumnya akan selalu berkaitan dengan social framework. Dimana hubungan terjadi antara perilaku seksual di kalangan kelompok berisiko tinggi, yaitu antara client dan WPS terhadap penularan HIV/AIDS dan konteks sosial di kalangan mereka serta bagaimana masing-masing saling mempengaruhi. Masalah integrasi individu dan struktur sosial di satu sisi, dan agensi dan kultur budaya di sisi yang lain.
Perilaku seksual yang erat hubungannya dengan keberhasilan program HIV/AIDS adalah konsistensi memakai kondom ketika berhubungan multipartner. Perilaku ini merupakan salah satu indikator utamanya, dimana mencerminkan perilaku berisiko rendah di samping tidak melakukan hubungan seks (abstinence) dan setia kepada pasangan seksnya (faithful). Secara nasional, pemakaian kondom dalam seks komersial masih rendah, yaitu kurang dari 20%. Demikian juga dengan penggunaan kondom untuk keperluan keluarga berencana (kontrasepsi) masih tergolong rendah.
Tukang ojek di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta yang multipartner (64,2%) lebih banyak dibandingkan yang single partner (35,8%). Sebagian besar tukang ojek yang multipartner mempunyai perilaku seks berisiko. Hal ini dikarenakan mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dengan berganti-ganti pasangan (86%) dan tidak konsisten memakai kondom ketika berhubungan seks dengan PSK (81,4%).
Perilaku seks tukang ojek yang berisiko terjadinya penularan IMS dan HIV/AIDS adalah perilaku yang multipartner dengan tidak menggunakan kondom. Dari 41 responden (95,3%) yang berstatus sudah menikah dan multipartner, 34 responden (82,9%) mempunyai perilaku seks multipartner berisiko. Artinya bila dilihat potensi penularan HIV, maka kelompok berisiko yang berstatus menikah atau mempunyai pasangan tetap, akan mempunyai peluang menularkan ke pasangan tetapnya/istrinya. Selain itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bayi yang dikandung oleh istri/pasangan tetap mereka tertular HIV/AIDS.
Pola pergaulan antara tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem Kodya Yogyakarta dengan PSK dalam hal hubungan seks, bahwa hubungan keduanya bukan lagi berdasarkan materil, mereka tidak lagi harus membayar karena saling membutuhkan. Ada pula tukang ojek mendapatkan pelayanan berupa hubungan seks dari pasangan tidak tetapnya (PSK) dari mereka yang mengantarkan PSK ke suatu tempat, dimana pada saat itu PSK sedang tidak mempunyai uang karena “sepi” pelanggan. Selain itu di lokalisasi Sarkem Yogyakarta, belum ada peraturan lokal 100% kondom. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tingkat risiko penularan IMS dan HIV/AIDS dikalangan tukang ojek tinggi. Karena PSK tidak mampu menolak partner seks dalam hal ini tukang ojek untuk berhubungan seks walaupun tidak menggunakan kondom.
Kondisi lingkungan tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi Sarkem tersebut merupakan kondisi dimana mereka berada di tempat yang terpapar, yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus
23
menerus akan mendorong pada perilaku yang berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK.
KESIMPULAN
Perilaku seks tukang ojek yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta adalah sebagian besar mempunyai pasangan seks multipartner. Variabel yang berpengaruh terhadap perilaku seks multipartner adalah lama bekerja dan kemampuan diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Variabel yang paling berpengaruh adalah lama bekerja dengan p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Hal ini berarti bahwa tukang ojek yang bekerja lebih dari 6 bulan akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku seks multipartner dibandingkan dengan yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan. BPS. 2007. Surveilans terpadu
biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan 1. In: RI D, ed. Jakarta.
Hurlock.1990. Psychology for child, Adolescence and Adult. In: McGraw-Hill, ed. Psychology Centrum. Boston. Polo alto University.
Hurlock EC. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Vol Edisi Ke-5. Jakarta: Erlangga.
Paris MM, MPH Gotuzzo, Eduardo MD. Motorcycle Taxi Drivers and Sexually Transmitted Infections in a Peruvian Amazon City. PUBMed. January 2001;28(1):11-13.
Postgrad N. 2005. Sexual behaviour, perception of HIV/AIDS and condom use among commercial motorcylists in Benin City. Medline.12:262.
Shinta. Para Istri di Kota Yogyakarta Berisiko Tertular HIV/AIDS. www.aids-ina.org.modules. Accessed 10 Maret 2011.
Urbanski C. 2006. Peningkatan Dan Penurunan Persekutuan Antara Penjual Teh Poci dan Pelacuran Di Kawasan Simpang Lima Semarang. Australian Consortium For In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Desember.
24
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai
Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta
Diah Handayani1, Windi Novriani
1, Ahmad Fuady
2, Winarto
3, Tjatur Kuat Sagoro
4, Erlina Burhan
1,
Sumanto Simon5, Chatarina Umbul Wahyuni
6
1Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2RS Persahabatan Jakarta,
3Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur,
4Unika Atmajaya, Jakarta,
5Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak. Tuberkulosis kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam
pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR. Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan pengobatan pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan Agustus 2012-Agustus 2013 dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder. Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki-laki, kelompok umur 31-40 tahun, pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program yang berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2 minggu.
Kata kunci: Tuberkulosis kebal obat, Keterlambatan pengobatan
Korespondensi: Diah Handayani, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta. Telp. 081315431753. email: [email protected]
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan utama dalam kelompok penyakit infeksi dan TB kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR. Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat.
Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap keterlambatan pengobatan. Pengobatan TB MDR membutuhkan persiapan dan manajemen yang baik, karena membutuhkan waktu yang lama,
mencapai 20-24 bulan dengan obat yang banyak dan harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat, sehingga pasien harus datang setiap hari ke fasilitas kesehatan untuk TB MDR.
Waktu menuju terapi merupakan salah satu indikator utama program pengobatan TB MDR, karena keterlambatan pengobatan akan mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit. Berbagai hambatan untuk menjangkau pengobatan TB dapat dipengaruhi oleh hambatan ekonomi, kondisi geografi seperti jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan, hambatan sistem pelayanan kesehatan termasuk kurangnya tanggung jawab pemberi layanan kesehatan dan juga desentralisasi. Penelitian ini mendapatkan beberapa faktor sosio-ekonomi dan
25
geografik yang diduga terkait dengan pengobatan TB MDR.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan pada Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan dengan melihat data pasien TB MDR di RS Persahabatan, dilanjutkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah divalidasi untuk melihat pengetahuan pasien dan data demografi dan sosial terkait pengobatan TB MDR. Setiap pasien yang diwawancarai telah mendapatkan penjelasan dan menandatangani informed consent. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis statistik yang digunakan adalah Kaplan Meyer untuk melihat hubungan antara waktu keterlambatan pengobatan dengan faktor demografis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di RS Persahabatan hingga Juli 2011 terdapat 233 kasus TB MDR, tetapi 73 (31,33%) tidak diobati dengan alasan 22 pasien menolak, 6 pasien tidak dapat dihubungi dan 4 pasien tidak memenuhi kriteria klinis untuk diobati, 13 pasien meninggal dan 28 pasien dalam persiapan terapi, sehingga
terdapat 160 pasien dalam pengobatan. Pada penelitian ini tidak semua pasien dapat diambil kuesioner karena menolak atau tidak dapat dihubungi atau ditemui untuk wawancara sehingga kuesioner diambil dari 82 pasien.
Hasil demografi menunjukkan jumlah yang seimbang baik laki-laki maupun perempuan, dengan median umur adalah 38 tahun. Tingkat pendidikan pasien baik (63% SMA atau lebih). Kondisi ekonomi pasien umumnya adalah rendah dengan median penghasilan keluarga adalah Rp 1.500.000 (Rp 1.224.162-Rp 2.000.000) jika dibandingkan dengan upah minimal regional untuk provinsi DKI dan Jabodetabek dan kebutuhan biaya transportasi sekitar Rp 450.000 dan status pekerjaan mengalami perubahan, karena pasien harus berhenti bekerja untuk mendapatkan pengobatan. Sebelum pengobatan, sebanyak 55 orang (67,1%) pasien bekerja, sedangkan setelah pengobatan sekitar 37,8% pasien kehilangan pekerjaan, karena menjalani pengobatan TB MDR. Jarak dari rumah ke RS sekitar 10 km, dan pasien menggunakan kendaraan umum, kendaraan pribadi dan ojek dengan biaya sekitar Rp 15.000 dan waktu tempuh sekitar 30 menit, karena banyak yang menggunakan motor sebagai kendaraan pribadi. Dukungan keluarga terhadap pasien umumnya baik. Karakteristik pasien TB MDR dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Sosio-ekonomi pasien TB MDR
Variabel Kriteria Frekuensi/median Persentasi/ 95%CI
Waktu menuju terapi Median (days) 27 15-52
Jarak (km) (n=75) < 10
11-30
> 30
43
18
14
57,3
24
18,7
Biaya transportasi ke fasyankes Median (IDR/$US) 15.000/1,5 10000/1,1-20.000/2,1
Pekerjaan Bekerja
Tidak bekerja
Menjadi tidak bekerja
30
21
31
36,6
25,6
37,8
Penghasilan keluarga (juta rupiah) < 1
1-3 juta
26
31
34,7
41,3
26
> 3 18 24
Sarana transportasi Jalan kaki
Kendaraan pribadi
Kendaraan umum
Ojek
5
34
40
3
6,1
41,4
48,8
3,7
Dukungan keluarga (n=81) mendukung
sangat mendukung
18
63
22,2
77,8
Pindah mendekati fasyankes Ya
Tidak
16
62
20,5
79,5
Hambatan untuk berobat (n=81) Ya
Tidak
39
42
48,2
51,8
Pengetahuan tentang TB MDR
(n=75)
Baik
Sangat baik
23
52
30,7
69,3
Persepsi pasien terhadap pengobatan menunjukkan bahwa 70% pasien merasa obatnya terlalu banyak dan waktu terlalu lama.
Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki- laki, kelompok umur 31-40 tahun, dan pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Hasil analisis Kaplan Mayer dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1.Hubungan keterlambatan pengobatan dengan kepindahan pasien
Diskusi
Keterlambatan pengobatan terkadang tidak dapat dicegah apabila sumber penularan tidak dapat diidentifikasi dan pemeriksaan kultur dan resistensi tidak dilakukan secara rutin.
Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program yang dapat berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2 minggu, dan pasien harus tinggal di wilayah Jakarta Timur, sehingga beberapa pasien harus menyiapkan tempat tinggal di sekitar RS atau masih dalam wilayah Jakarta Timur, tetapi hal ini telah berubah sejak tahun 2010 sehingga semakin banyak pasien yang dapat menjalani pengobatan. Hal lain adalah dilakukan verifikasi data pasien oleh petugas puskesmas untuk memastikan tempat tinggal pasien. Hal lain yang harus dipersiapkan dalam pengobatan TB MDR adalah memeriksa
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
0 50 100 150 200analysis time
moved Not moved
Kaplan-Meier survival estimates Moved with Time to treat
27
kondisi klinis pasien secara keseluruhan, meliputi pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, kardiovaskular, hormon tiroid dan audiometri. Pemeriksaan hormon tiroid membutuhkan waktu minimal 1 minggu atau 7 hari kerja dan pemeriksaan audiometri hanya dilakukan pada sore hari menunggu pasien non- TB MDR selesai menjalani pemeriksaan, sehingga pasien TB MDR harus menunggu jadwal pemeriksaan audiometri untuk mendapatkan data dasar fungsi pendengaran.
WHO menetapkan beberapa indikator spesifik untuk program TB MDR meliputi deteksi, inklusi, analisis interim dan luaran akhir. Inklusi pasien dalam pengobatan meliputi jangkauan pengobatan kepada semua pasien yang telah terdiagnosis TB MDR, dan waktu untuk memulai pengobatan. Waktu memulai pengobatan juga merupakan hal yang penting dalam inklusi, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Strategi pengobatan TB MDR sangat kompleks, karena biaya tinggi , durasi yang panjang serta keharusan pasien datang ke pelayanan kesehatan setiap hari untuk menelan obat dengan pengawasan langsung (directly observed treatment, DOT). Hal ini membutuhkan persiapan dari sisi pemberi layanan maupun pasien, sehingga berdampak pada waktu memulai pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu menuju terapi adalah 27 hari (15-52). Lamanya memulai pengobatan berpotensi untuk menambah jumlah pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, sehingga terus menjadi sumber penularan di masyarakat.
Sebuah penelitian di Cape Town mendapatkan bahwa keterlambatan memulai pengobatan TB MDR sekitar 5-6 minggu. Hal yang menyebabkan keterlambatan tersebut dapat disebabkan oleh faktor provider, sistem dan pasien. Faktor pasien yang berperan pada keterlambatan mencari pengobatan diantaranya adalah stigma masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis itu sendiri. Rerata waktu mulai timbulnya gejala sampai pasien datang ke fasilitas kesehatan adalah 6,41 minggu pada pasien yang masih mempercayai stigma TB, sedangkan yang tidak mempercayai stigma TB waktunya lebih pendek yaitu 4,99 minggu. Penelitian di Kwazulu mendapatkan hanya sekitar 25% pasien yang memulai pengobatan tanpa keterlambatan, sedangkan 75% pasien mengalami keterlambatan pengobatan sampai dengan 22 minggu. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan penularan karena sekitar 90% pasien mempunyai gejala batuk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waktu menuju terapi adalah 27 hari 2. Pengobatan TB MDR membutuhkan biaya
transportasi cukup besar, lebih dari sepertiga median penghasilan keluarga pasien TB MDR
3. Sebagian pasien harus pindah rumah untuk mendekatkan diri ke Rumah Sakit
4. Pengobatan TB MDR mempengaruhi pekerjaan pasien, terdapat 37,8% pasien kehilangan pekerjaan selama menjalani pengobatan TB MDR.
5. Waktu menuju pengobatan lebih singkat pada pasien perempuan, pasien yang pindah untuk mendekatkan diri ke RS, pasien yang didukung penuh oleh keluarga serta pasien yang tidak bekerja.
Saran
1. Mempersingkat waktu pengobatan akan menekan morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit dan pada akhirnya meningkatkan cakupan pasien TB MDR yang diobati.
2. Mempersingkat waktu pengobatan menghindari ancaman TB XDR dan TDR.
3. Strategi pengobatan TB MDR perlu disesuaikan untuk mempermudah pasien dan tidak menimbulkan dampak sosio-ekonomi yang tinggi dengan cara menyediakan sarana pelayanan TB MDR yang dekat, waktu yang fleksibel.
4. Desentralisasi ke RS terdekat dipercepat dengan meningkatkan kualitas RS satelit TB MDR.
DAFTAR PUSTAKA
Bamford CM, Taljaard JJ. Potential for nosocomial transmission of multidrug-resistant tuberculosis (MDR TB) in a South African hospital. SAfr Med
J. 2010;100(7):438-441.
Johnson R, Warren G, van der Spuy N, et al. Drug-resistant tuberculosis epidemic in the Western Cape driven by a virulent Beijing genotype strain. Int J Tuberc Lung Dis. 2010; 14:119-121.
Kurspahić-Mujčić A, Hasanović A, Sivić S. Tuberculosis related stigma and delay in seeking care after the onset of symptoms associated with tuberculosis. Med Glas (Zenica). 2013 Aug;10(2):272-7.
28
Narasimooloo R, Ross A. Delay in commencing treatment for MDR TB at a specialised TB treatment centre in KwaZulu-Natal. S Afr Med J.
2012;102(6):360-362.
Qazi F, Khan U, Khowaja S, Javaid M, Ahmed A, Salahuddin N, et al. Predictors of delayed culture conversion in patients treated for multidrug-resistant tuberculosis in Pakistan. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(11):1556–1559
Schaaf HS, Shean K, Donald PR. Culture confirmed multidrug resistant tuberculosis: diagnostic delay, clinical features, and outcome. Arch Dis
Child. 2003;88:1106–1111.
WHO. Global Tuberculosis Report. 2013
WHO. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. 2011 update.
WHO. Multidrugresistant Tuberculosis (MDR-TB) Indicators. A minimum set of indicators for the programmatic management of MDR-TB in national tuberculosis control programmes. 2011.
29
Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah Tahun 2013
Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy Cintya Dewi, Ridwan Rahmadi
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang
Abstrak. Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan pelayanan dan perlindungan yang
sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman dan jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Pemerintah melalui kementerian kesehatan berupaya untuk melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan pada jamaah haji, baik pada saat persiapan, operasional ibadah haji dan setelah penyelenggaraan ibadah haji melalui kewaspadaan terhadap penularan penyakit yang terbawa oleh jamaah haji. Upaya yang dilakukan pada saat persiapan adalah upaya penyehatan lingkungan melalui pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji, yaitu kegiatan pemeriksaan, pemantauan, kajian dan rekomendasi. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap kondisi sanitasi asrama pada saat sebelum digunakan, sehingga bisa diketahui kekurangan yang ada. Dari hasil pemeriksaan akan muncul rekomendasi terhadap kekurangan yang yang ada dengan harapan dapat dilakukan perbaikan, sehingga saat opersional, asrama haji layak untuk digunakan. Pemeriksaan pendahuluan ini menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia. Dari kegiatan yang telah dilakukan terdapat beberapa rekomendasi antara lain perlu adanya saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry,
pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain, pemisahan jenis sampah dan tindakan penyehatan air (berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin).
Kata Kunci: Pemeriksaan pendahuluan, Sanitasi asrama haji
Koresponden: Anas Ma’ruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy, Telp 081384216822, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Undang-Undang RI No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji.
Di dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia disebutkan bahwa prioritas penyehatan lingkungan adalah pengendalian vektor penular penyakit, penyediaan kamar tidur, air mandi dan air minum di asrama embarkasi/debarkasi, pondokan di Arab Saudi dan di tempat-tempat pelayanan jemaah haji.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji. Kegiatan yang dilaksanakan 3 bulan sebelum operasional haji ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi lingkungan asrama, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji digunakan. Obyek yang diperiksa meliputi: kesehatan lingkungan asrama haji (kamar tidur, kamar mandi, dapur, saluran air
limbah, ruang makan, poliklinik, masjid), penyehatan sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor dan jasa boga.
Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan agar dapat diketahui kondisi sanitasi
asrama haji, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji digunakan. Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang telah melaksanakan pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji tahun 2013 pada tanggal 18 Juni 2013 dengan tim pemeriksaan yang berasal dari; Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI, KKP Kelas II Semarang, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, BBTKL-PP Yogyakarta, Balai Labkes Provinsi Jawa Tengah, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, DPPAD Provinsi Jawa Tengah serta Unit Pendapatan Pengelolaan dan Pemberdayaan Aset Daerah (UP3AD) Surakarta selaku Pengelola Asrama Haji.
BAHAN DAN CARA
Kegiatan pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji dilakukan di Asrama Haji Donohudan Boyolali selama satu hari, menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia dari Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan. Kuesioner tersebut memuat antara lain tentang persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji, penyehatan sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor dan pemeriksaan jasa
30
boga. Nantinya hasil dari kegiatan pemeriksaan pendahuluan akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi acuan untuk pemeriksaan lanjutan I dan II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan secara langsung terhadap kondisi sanitasi dan keadaan bangunan asrama haji adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji, salah satunya dengan melakukan pengukuran air bersih dan fisik ruangan dapur. Hasil yang didapat yaitu: a. sisa chlor: 0 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, sisa chlor air bersih ≥ 0,2 mg/l)
b. pH: 8,8 (Baku Mutu Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990, pH air bersih 6,5-9,0)
c. TDS: 147 (Baku Mutu Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990,TDS air bersih <1500 mg/l)
d. Suhu: 28,50C (Baku Mutu Permenkes RI
No. 416/Menkes/Per/IX/1990, suhu ± 30C)
e. Kelembaban: 76% (40 – 70 %) f. Pencahayaan: 410 lux
Keadaan umum bangunan asrama haji Donohudan Boyolali sudah cukup memadai, namun masih diperlukan perbaikan-perbaikan di beberapa bagian (langit-langit ruang pantry, saluran air limbah, exhauser dapur) dan penambahan sarana prasarana (penyediaan tempat sampah tertutup) untuk menunjang operasional haji.
2. Penyehatan sanitasi air, dengan melakukan pemeriksaan fisika dan kimia terbatas terhadap kualitas air di asrama haji dengan parameter yang diukur meliputi: bau, warna, rasa, sisa khlor, pH, TDS, temperatur dan TDS. Sedangkan untuk pemeriksaan secara bakteriologis belum dilakukan.
3. Belum tersedia sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sarana pengolahan limbah medis.
4. Pengendalian vektor akan dioptimalkan saat operasional haji, meliputi kegiatan pemberantasan nyamuk dan lalat.
Secara umum kondisi sanitasi asrama haji Donohudan Boyolali sudah cukup baik, sudah ada penambahan ruang pengambilan spesimen dahak di poliklinik. Untuk menunjang kelancaran operasional penyelengaraan ibadah haji masih diperlukan adanya perbaikan saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry, pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain,
penyediaan tempat sampah tertutup, pemisahan jenis sampah dan tindakan penyehatan air berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara umum keadaan sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali sudah cukup baik dan siap digunakan.
2. Telah dilakukan perbaikan untuk menunjang kegiatan haji, antara lain penambahan ruang untuk pengambilan spesimen dahak di poliklinik dan penambahan lift di gedung Mekkah.
3. Perlunya dilakukan pembersihan rutin terhadap sarana penunjang ibadah (alas sholat).
4. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali dalam pengolahan limbah medis selama operasional penyelenggaraan haji.
Saran
1. Bagi Pengelola Asrama Haji: a. Pembersihan karpet/alas sholat secara rutin
dan penambahan keset di tempat yang kontak dengan air.
b. Perbaikan langit-langit yang rusak pada ruang pantry (penyiapan makanan) di gedung Mekkah dan Madinah.
c. Pembuatan saluran instalasi pengolahan air limbah.
d. Pemasangan jeruji besi pada saluran pembuangan air limbah.
e. Tindakan penyehatan air bersih secara rutin berupa chlorinasi.
f. Penyediaan tempat sampah tertutup dan pemisahan jenis sampah kering dan basah.
g. Perlu disediakan pula tempat sampah untuk rokok dan pesan larangan merokok pada area tertentu.
2. Bagi Lintas Sektor terkait (Dinas Kesehatan): Kerjasama dalam pengolahan limbah medis yang dihasilkan selama kegiatan operasional haji.
3. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan: Tindakan pemberantasan vektor baik sebelum maupun pada saat operasional haji.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
31
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/SK/IX/90 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
32
Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung
Yovita Hartantri1, Bony Wiem Lestari
2, Intan Meilana
1, Dedi Suyanto
3, Basti Andriyoko
1, Annyk
4, Rudi
Wisaksana1, Bachti Alisjahbana
1, Ari Probandari
5, Retno Budiati
6
RS Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung1, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung2, RS Hasan Sadikin
3, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
4, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta5, Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL
6
Abstrak. Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan membentuk mekanisme kolaborasi, menurunkan kejadian TB pada
penderita HIV melalui program 3 I’s dan menurunkan kejadian HIV pada penderita yang diduga TB. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam kolaborasi TB-HIV di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian action research, terbagi menjadi tahap diagnosis (assessment), perencanaan dan intervensi serta evaluasi. Data kualitatif diperoleh dari observasi, notulensi rapat dan wawancara secara mendalam, dan diskusi kelompok terarah pada para penentu kebijakan serta pelaksana unit layanan. Data kuantitatif diperoleh dari laporan bulanan dan triwulan TB-HIV, serta perhitungan proporsi variabel-variabel kolaborasi sebelum dan sesudah intervensi. Hasil tahap assessment, ada perbedaan persepsi kolaborasi, akibatnya prioritas program masing-masing unit berbeda. Kurang koordinasi disebabkan kurangnya komunikasi, tidak ada pertemuan, serta tidak ada monitoring dan evaluasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disosialisasikan, sehingga tidak jelas alur layanan pasien-pasien ko-infeksi TB-HIV. Pada tahap perencanaan dan intervensi dilakukan upaya advokasi, pertemuan, dan pelatihan untuk menyamakan persepsi dan tujuan layanan, melakukan komunikasi dan koordinasi, serta membuat kesepakatan alur layanan dan perbaikan SOP. Pada tahap evaluasi, data kualitatif maupun kuantitatif belum memperlihatkan adanya perubahan walau sudah dilakukan advokasi dan pertemuan. Masih ditemukan adanya kendala, terutama masalah kehadiran dalam pertemuan dan komitmen. Di samping itu karena terbatasnya waktu dalam menilai fase evaluasi, perhitungan indikator kolaborasi TB-HIV belum terlihat perbedaan yang nyata. Masih diperlukan intervensi tambahan untuk memperbaiki kolaborasi TB-HIV. Walaupun telah diidentifikasi beberapa faktor penghambat, tetapi masih rendahnya komitmen mematuhi hasil yang diinginkan, mungkin diperlukan adanya intermediary actor yang akan memediasi kedua unit layanan. Aktor tersebut diharapkan bukan merupakan bagian dari kedua unit layanan TB atau HIV, namun mengerti mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV dan mampu mengintegrasikan dua unit layanan tersebut. Kata Kunci: Kolaborasi TB-HIV, RS Hasan Sadikin Bandung
Koresponden: Yovita Hartantri, RS Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Telp. 08124807131; Retno B, Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian utama pada penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus). Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang potensial untuk terjadinya TB. TB dan HIV bekerja secara sinergi meningkatkan angka kematian dan angka kesakitan di masyarakat. Untuk mengatasi infeksi ganda TB-HIV, WHO (2004) memberikan panduan yang disebut 3 I’s, yaitu Intensifikasi penemuan kasus TB, pengobatan pencegahan TB dengan isoniazid, dan pengendalian infeksi terhadap TB. Di Indonesia, strategi kolaborasi TB-HIV mulai dilaksanakan di seluruh rumah sakit sejak 2007. Data lapangan menunjukkan bahwa pencapaian indikator kolaborasi TB-HIV di Indonesia masih di bawah target. Indikator kegiatan kolaborasi TB-HIV beserta targetnya adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator kolaborasi TB-HIV
Indikator Target (%)
Pasien TB yang ditawarkan tes HIV 15
Pasien TB-HIV yang mendapat ART 60
Pasien TB-HIV yang mendapat CPT 80
Pasien HIV yang diskrining TB 80
Pasien TB-HIV yang mendapat OAT 80
Pencegahan INH NA
Sumber: Kemenkes, 2012
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin
di Kota Bandung merupakan pusat rujukan tertinggi di Jawa Barat. Jumlah kasus HIV di Jawa Barat hingga September 2012 sebanyak 6.640 dengan prevalensi TB sebesar 81,11 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan beban ko-infeksi TB-HIV cukup besar di Jawa Barat.
Pada tahun 2012 penderita TB yang menjalani pemeriksaan HIV di klinik DOTS hanya 2,2% (22 dari 1.041 penderita), masih jauh di bawah target nasional. Program kolaborasi TB-HIV sendiri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung telah diimplementasikan sejak tahun 2008, namun hingga saat ini penerapannya belum optimal.
33
Tujuan • Mengidentifikasi masalah-masalah pada pelaksanaan
program kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin. • Mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk
meningkatkan program kolaborasi TB-HIV. • Mendesain suatu bentuk strategi atau intervensi
yang efektif untuk meningkatkan program kolaborasi TB-HIV.
BAHAN DAN CARA Untuk mengoptimalkan integrasi kolaborasi TB-
HIV di RSUP Dr. Hasan Sadikin, maka dilakukan action research untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam kolaborasi ini serta mendesain intervensi yang sesuai untuk pencapaian target indikator yang ditetapkan. Tahapan action research yang dikerjakan meliputi tahap diagnosis atau assessment, planning and taking action serta evaluasi.
Untuk menjawab hambatan kolaborasi TB-HIV di lapangan, digunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan analisis dokumen terkait kegiatan kolaborasi TB-HIV dari fasilitas pelayanan TB maupun HIV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
• Fase Assesment Hambatan Pemegang Kebijakan - Perbedaan persepsi dan prioritas program - Pembagian wewenang pemberian terapi - Komitmen Hambatan Sistem Organisasi RS - Struktur Organisasi - Infrastruktur–SDM, SPO, sarana prasarana - Pengendalian infeksi - Integrasi pencatatan dan pelaporan Hambatan Tenaga Kesehatan - Kurang pengetahuan dan pelatihan TB-HIV - Kurang sosialisasi tentang TB-HIV - Kurang koordinasi antara unit TB dan unit HIV - Tidak ada pengakuan sebagai konselor
• Fase Perencanaan dan Intervensi
- Perbaikan sistem rujukan internal dan SPO - Pelatihan TB-HIV bagi tenaga kesehatan - Perbaikan prosedur diagnostik - Advokasi pada direksi Rumah Sakit - Pertemuan rutin tim TB-HIV - Monitoring dan evaluasi internal
• Fase Implementasi
Waktu Kegiatan yang dilakukan TW2 2012
- Keluarnya SK Tim TB-HIV RSUP Dr. Hasan Sadikin
- Perbaikan alur diagnostik dan layanan
TW3 2012
- Pelatihan PITC - Pembuatan SPO
TW4 2012
- Pembuatan SPO
TW1 2013
- Sosialisasi SPO
TW2 2013
- Sosialisasi SPO - Pelatihan TB-HIV - Monitoring dan evaluasi TB-HIV
TW3 2013
- Monitoring dan evaluasi TB-HIV - Advokasi ke direktur RSUP Dr. Hasan
Sadikin
• Fase Evaluasi
Terdapat peningkatan jumlah penderita HIV yang diskrining TB dengan adanya perbaikan alur diagnostik dan alur layanan sejak triwulan 2 tahun 2012.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan • Hambatan kolaborasi TB-HIV yang ditemukan
adalah kurangnya komitmen para pemegang kebijakan, karena perbedaan persepsi tentang kolaborasi TB-HIV dan prioritas program, belum ada model kolaborasi TB HIV yang solid, dan sistem pencatatan dan pelaporan yang belum terintegrasi antara fasyankes TB dan HIV.
• Implementasi kegiatan kolaborasi dimulai pada triwulan ke-2 tahun 2012 dengan diterbitkan SK Tim TB-HIV. Selanjutnya dilakukan perbaikan alur diagnostik dan layanan (SPO) di unit TB dan HIV. Setelah dilakukan perbaikan dan penyusunan ulang SPO alur layanan, dilanjutkan dengan sosialisasi.
• Pelatihan PITC diberikan bagi petugas unit TB di rawat jalan dan rawat inap. Pelatihan tentang TB-HIV juga diberikan kepada petugas di unit TB maupun unit HIV.
• Monitoring dan evaluasi dilakukan secara rutin dengan melihat indikator kolaborasi TB-HIV. Advokasi ke direktur Rumah sakit juga dilakukan agar turut mendukung keberhasilan program.
Saran 1. Diperlukan pihak ketiga sebagai aktor perantara
untuk menjembatani komunikasi fasyankes TB dan HIV di rumah sakit
34
2. Pencatatan dan pelaporan TB-HIV harus dilakukan dalam kerangka cohort yang sama untuk mengoptimalkan kolaborasi
3. Pelatihan berkala bagi tenaga kesehatan 4. Pertemuan rutin untuk membangun team work
dan advokasi ke pihak manajemen 5. Pentingnya monitoring dan evaluasi 6. Manajemen pasien TB-HIV sebaiknya dilakukan
dalam satu unit layanan 7. Perlu perhatian terhadap pengendalian infeksi.
DAFTAR PUSTAKA WHO. 2011. Guidelines for Intensified Tuberculosis
Case-Finding and Isoniazid Preventive Therapy for People living with HIV in resource-constrained settings. Geneva, Switzerland : WHO Press.
World Health Organization (WHO) HIV/TB Facts 2011.
Teratai Clinic. 2011. Teratai Clinic Report. Bandung: Hasan Sadikin Hospital.
WHO. 2012. Policy on Collaborative TB/HIV Activities. Guidelines for National Programmes and Other Stakeholders. Geneva, Switzerland: WHO Press.
WHO. 2010. Priority Research Questions for TB/HIV in HIV-prevalent and resource-limited settings. TB/HIV Working group. Stop TB Partnership. Geneva, Switzerland: WHO Press.
WHO Three I's Meeting. 2008. Intensified Case Finding (ICF), Isoniazid Preventive Therapy (IPT) and TB Infection Control (IC) for people living with HIV. Report of a Joint World Health Organization HIV/AIDS and TB Department Meeting. Geneva, Switzerland.
WHO. 2004. Guidelines For HIV Surveillance Among Tuberculosis Patients. 2 ed. Geneva, Switzeland: WHO Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV. Ditjen PP dan PL. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2011. Rencana Aksi Nasional TB-HIV. Pengendalian Tuberkulosis 2011-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kemenkes RI. 2011. Manajemen Kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Dirjen PP dan PL.
Kemenkes RI. 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV. Dirjen PP dan PL.
Janssen W. 2008. Tuberculosis in HIV/AIDS patients in Indonesia. 2008 (unpublished report)
Ganiem AR, Parwati I, Wisaksana R, et al. 2009. The Effect of HIV Infection on Adult Meningitis in Indonesia: a prospective cohort study. AIDS; 23 (17) : 2309-16.
Klinik DOTS. 2011. Laporan klinik DOTS. Bandung: Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Kiprah dan pengabdian. 2009. RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung 1923-2009. Bandung.
Guidelines for HIV surveillance among Tuberculosis patients. WHO-UNAIDS. 2nd edition. 2004.
Bradley EH, Curry LA, and Devers KJ. Qualitative Data Analysis for Health Services Research: Developing Taxonomy, Themes and Theory. Health Research and Educational Trust 2007.
Njozing, BN, Edin, KE, Sebastian, MS, Hurtig, AK. 2011. Voices from the frontline: counsellors’ perspectives on TB-HIV collaborative activities in the Northwest Region, Cameroon. BMC Health Services Research. 11:328.
Friendland G, Harries A, Coetzee D. 2007. Implementation Issues in TB/HIV Program Collaboration and Integration: 3 Case Studies. JID. 196: S114-23.
Wandwalo W, Kapalata N, Tarimo E, Corrigan CB, Morkve O. Collaboration between the national TB programme and a non governmental organization in TB/HIV care at a district level: experience from Tanzania. African Health Sciences Vol 4 No.2 August 2004.
35
Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto
Totok Subianto, Denny S.S, Suryati Ria dkk
Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto, Jawa Barat
Abstrak. Hasil Evaluasi Pasca Pelatihan (EPP) Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan yang dilaksanakan oleh Balai
Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto (BBPK) tahun 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar (56,3%) alumni peserta latih berumur 30-39 tahun, kesesuaian bidang kerja sebesar 56%, dan yang sudah diangkat sebagai tenaga fungsional entomolog kesehatan sebesar 34%. Jika dirinci menurut tempat kerja alumni, maka sebagian besar yang telah diangkat adalah yang bekerja di Kabupaten/Kota sebesar 40%, sedangkan yang bekerja di Propinsi belum ada yang diangkat. Propinsi dengan seluruh alumni bekerja sesuai bidang adalah Aceh, Maluku Utara dan Yogyakarta, sedangkan yang seluruh alumni telah diangkat dalam jabatan fungsional adalah Aceh dan Yogyakarta. Rata-rata dan median nilai kognitif pada saat post test meningkat sedangkan lamanya waktu setelah pelatihan sangat berpengaruh terhadap penurunan kognitif. Menurut kompetensi alumni peserta latih, diketahui bahwa sebesar 35% kompeten, sedangkan 65% tidak kompeten. Kompetensi yang paling banyak belum dikuasai oleh alumni adalah kemampuan dalam melaksanakan penyelidikan vektor dan serangga pengganggu. Terdapat hubungan antara kognitif dengan kompetensi alumni peserta latih dengan pola positif dengan kekuatan hubungan sedang (r=0,452), artinya jika kognitif meningkat maka kompetensi alumni peserta latih juga meningkat. Isi materi pelatihan secara umum telah sesuai dan dapat diterima oleh alumni peserta latih karena hanya 3,3% yang menyatakan tidak sesuai. Untuk materi dengan alokasi waktu yang kurang adalah, penyusunan karya tulis dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan untuk metode pelatihan, sebanyak 97,1% alumni menyatakan telah sesuai. Hambatan dan kendala dalam penerapan hasil pelatihan adalah masih banyaknya alumni peserta latih yang bekerja tidak sesuai bidang, tugas rangkap sebagai pemegang program lain, komitmen atasan dan pengambil kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung serta di beberapa daerah merasa khawatir tidak adanya penilai angka kredit di daerahnya. Berdasarkan uraian di atas disarankan agar lebih meningkatkan advokasi kepada pengambil kebijakan dan sosialisasi kepada pelaksana program. Penyelenggara diklat disarankan untuk memperketat seleksi peserta masa berlakunya sertifikat jabatan fungsional entomolog kesehatan.
Kata Kunci: Jabatan Fungsional Entomolog, BBPK
Koresponden: Totok Subianto, BBPK Ciloto, Telp.087873122369, email: [email protected]
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi seperti Tuberkulosis, dan Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol dan perlu upaya keras untuk dapat mencapai target MDGs. Selain itu, penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian vektor.
Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada pengendalian vektor terpadu melalui suatu pendekatan dengan menggunakan satu atau kombinasi beberapa metode. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaaan agen biotik, dan kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perkembangbiakannya dan atau perubahan perilaku masyarakat.
Pengendalian vektor yang dilaksanakan dengan menggunakan bahan-bahan kimia harus dilakukan oleh tenaga terlatih yang telah mengikuti pelatihan pengendalian vektor yang dibuktikan dengan sertifikat dari lembaga pendidikan dan pelatihan.
Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 2012 BBPK Ciloto telah menyelenggarakan pelatihan Jabatan Fungsional (Jabfung) Entomolog Kesehatan. Selama pelaksanaan pelatihan tersebut BBPK Ciloto belum pernah melakukan evaluasi terhadap alumni dalam mengetahui efektivitas pelatihan dan bagaimana alumni melaksanakan kompetensinya sebagai Fungsional Entomolog Kesehatan di tempat kerjanya. Oleh karena itu, BBPK Ciloto pada tahun 2013 menyelenggarakan Evaluasi Pasca Pelatihan (EEP) Jabfung Entomolog Kesehatan terhadap alumni peserta latih tahun 2012. Tujuan Pelaksanaan
Tujuan umum pelaksanaan EPP adalah untuk mengetahui efektifitas dan hubungan pelaksanaan diklat Jabfung Entomolog Kesehatan dari segi kognitif, afektif dan psikomotor dalam penerapan tugas di tempat kerja. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) diketahuinya gambaran identitas alumni peserta latih; 2) diketahui perbedaan kognitif antara sebelum, setelah dan retensi pasca pelatihan; 3) diketahuinya capaian kompetensi alumni; 4) diketahuinya hubungan antara retensi kognitif dengan kompetensi; 5) diketahuinya efektifitas pelatihan dan manfaat pelatihan bagi alumni; dan 6) diketahuinya hambatan
36
dan kendala dalam penerapan hasil pelatihan di tempat kerja.
Metode Pelaksanaan
Pelaksanaan EPP Entomolog Kesehatan dilaksanakan dengan desain cross sectional dan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi pada penelitian adalah seluruh alumni peserta Pelatihan Entomolog Kesehatan Tingkat Ahli yang dilaksanakan oleh BBPK Ciloto pada bulan September tahun 2012. Sampel yang digunakan adalah total populasi. Untuk perbandingan hasil pengukuran kompetensi alumni, dilakukan tri angulasi hasil pengukuran kepada 2 orang rekan dan 1 orang atasan.
Kegiatan pengumpulan data dilaksanakan di 12 provinsi tempat kerja alumni pada bulan April sampai dengan Mei 2013.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan soal-soal test pada saat pre test dan post test dan wawancara terhadap alumni peserta latih untuk mengetahui kompetensi, respon terhadap materi pelatihan (isi, metode dan waktu), manfaat pelatihan serta hambatan dan kendala. Untuk mengecek keabsahan jawaban alumni dilakukan wawancara terhadap 2 orang rekan dan 1 orang atasan alumni dengan tujuan untuk melakukan tri angulasi jawaban alumni.
Pengumpulan data dilakukan oleh pejabat struktural dan staf terkait di BBPK Ciloto serta widyaiswara yang terlibat. Sebelum pelaksanaan kegiatan pengumpulan data terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan serta teknik-teknik pengumpulan data.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data terdiri dari lembar soal yang digunakan untuk mengukur kognitif pada saat pre test dan post test, kuesioner untuk mengukur kompetensi dan kesesuaian materi dengan skala guttmen, kuesioner untuk mengukur manfaat pelatihan bagi alumni dengan skala likert serta kuesioner dengan pertanyaan terbuka untuk mengetahui kendala dalam penerapan hasil pelatihan.
Untuk mengecek keabsahan jawaban alumni dilakukan wawancara terhadap rekan dan atasan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner pernyataan dan kegiatan alumni dibuat dengan jawaban skala likert sedangkan saran dibuat dengan pertanyaan terbuka.
Setelah pengumpulan data, dilakukan pengeditan atau penyuntingan dan penabulasian data. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan aplikasi spss v.19 dan analisis deskriptif dengan melihat nilai proporsi, nilai rata-rata, persentase pada seluruh alumni peserta latih dan alumni yang
bekerja sesuai bidang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Analisis kualitatif dilakukan dengan memilih tema dan deskripsi serta menyampaikan hasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Alumni Peserta Latih Kelompok umur alumni peserta latih terbanyak
adalah 30-39 tahun, yaitu sebesar 40,6% (13 orang). Instansi tempat kerja terdiri dari kabupaten/kota sebesar 56,3% (18 orang), instansi pusat sebesar 34,4% (11 orang) dan instansi propinsi sebesar 9,4% (3 orang). Sebanyak 56,3% (18 orang) bekerja sesuai bidang, yaitu sebagai pengendali vektor dan hanya 34% (11 orang) yang sudah diangkat sebagai tenaga fungsional entomolog kesehatan. Untuk provinsi yang semua alumni peserta latihnya bekerja sesuai bidang adalah Aceh (2 orang), Maluku Utara (1 orang) dan Yogyakarta (1 orang), sedangkan yang semua alumninya bekerja tidak sesuai bidang adalah Batam (1 orang), Maluku (1 orang) dan Sulawesi Selatan (1 orang). Provinsi yang semua alumni peserta latihnya telah di angkat sebagai tenaga jabatan fungsional adalah Aceh (2 orang) dan Yogyakarta (1 orang), sedangkan yang sudah di angkat sebagai fungsional entomolog kesehatan terdiri dari instansi pusat sebesar 27,3% (3 dari 11 orang) dan instansi kabupaten/kota sebesar 44,4% (8 dari 18 orang). Di instansi provinsi belum ada yang diangkat sebagai fungsional entomolog kesehatan.
Hasil Evaluasi Kognitif Alumni Peserta Latih
Evaluasi kognitif alumni peserta latih dilakukan dengan cara membandingkan hasil pre test dan post test pada saat pelatihan dengan hasil test pada saat dilakukan evaluasi pasca pelatihan. Perbandingan hasil evaluasi dapat dilihat pada tabel (Tabel 1).
Dari tabel diketahui bahwa rata-rata dan median nilai post test peserta latih meningkat bila dibandingkan saat pre test. Dengan Uji T sampel berpasangan (32 sampel) maka df=31 dan nilai t adalah -18,875 (nilai mutlak). Bila dilihat dari tabel t tabel=2,042, t hitung jauh lebih kecil dari t tabel dengan p-value=0,000. Karena p-value lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak. Jadi ada perbedaan signifikan dari rata-rata nilai pre test dengan nilai post test. Artinya pelatihan entomologi kesehatan berhasil meningkatkan kemampuan kognitif peserta pelatihan secara bermakna.
37
Tabel 1. Perbandingan hasil evaluasi kognitif alumni
Variabel
Alumni Sesuai bidang
Pre test (X1)
Post test (X2)
Post test (X3)
Retensi (X4)
Selisih (X4-X3)
N 32 32 17 17 0 Mean 63,41 82,28 82,4 74,6 9,5 Median 67,50 83,00 83,0 75,0 9,6 Standar deviasi(SD) 9,435 4,685 4,501 10,241 - 6,24 Range (rentang) 47 17 15 40 -25 Minimal 30 73 75 45 30 Maximal 77 90 90 85 5
Untuk pengukuran retensi (penurunan daya recall) dilakukan pengukuran selisih nilai hasil post test dengan nilai hasil EPP bagi alumni yang bekerja sesuai bidang (17 orang). Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata turun sebesar 9,5 dan median turun sebesar 9,6. Dengan Uji T sampel berpasangan (17 sampel) maka df=16 dan nilai t adalah 3,173 (nilai mutlak). Bila dilihat dari t table=2,12, t hitung jauh lebih kecil dari t table dengan p-value=0,032. Karena p-value lebih
kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Jadi ada perbedaan secara signifikan dari rata-rata nilai post test dengan nilai retensi. Artinya kognitif peserta semakin lama akan mengalami penurunan secara bermakna.
Hasil Evaluasi Kompetensi Alumni Peserta Latih Berdasarkan pengolahan data hasil pencapaian
indikator kompetensi alumni peserta latih (17 orang) diketahui bahwa capaian kompetensi responden dapat dilihat pada gambar.
Gambar capaian indikator kompetensi
Dari gambar di atas diketahui bahwa rata-rata capaian indikator kompetensi dari 17 orang alumni peserta latih yang bekerja sesuai bidang sebesar 62,5%. Kompetensi yang paling banyak dikuasai oleh alumni adalah “mampu menjelaskan tentang siklus bionomik nyamuk” sebesar 94,1%, sedangkan kompetensi yang paling tidak dikuasai oleh alumni peserta latih adalah “mampu melaksanakan penyelidikan vektor dan serangga pengganggu” sebesar 30,4%. Hasil penilaian keabsahan jawaban terhadap atasan menyatakan 74,5% setuju dan
17,3% sangat setuju. Sedangkan rekan alumni menyatakan 68,2% setuju dan 16,5% sangat setuju terhadap kompetensi alumni peserta latih.
Hasil Evaluasi Respon Alumni terhadap Kesesuaian Materi Pelatihan
Berdasarkan hasil evaluasi respon terhadap kesesuaian materi pelatihan dari 17 orang alumni yang bekerja sesuai bidang meliputi kesesuaian isi, metode dan waktu pelatihan, maka didapatkan hasil sebagai berikut:
38
a. Kesesuaian isi dengan rata-rata penilaian sebesar 99,4%. Secara umum dapat dinyatakan bahwa isi materi telah selesai dan dapat diterima oleh peserta latih karena hanya 3,3% yang menyatakan tidak sesuai yaitu untuk kemampuan: 1) teknologi tepat guna; 2) menyusun karya tulis; dan 3) pemberdayaan masyarakat.
b. Kesesuaian waktu pelatihan, untuk materi pelatihan dengan kategori kurang terbesar adalah tentang pemberdayaan masyarakat, karya tulis/ilmiah, morfologi dan anatomi nyamuk serta morfologi serangga pengganggu, sedangkan kategori lebih terbesar adalah: 1) identifikasi genera nyamuk; dan 2) identifikasi genera jentik.
c. Kesesuaian metode pelatihan secara rata-rata capaiannya sebesar 97,2%, dengan capaian terbesar untuk kategori tidak sesuai adalah: 1) pemberdayaan masyarakat; dan 2) karya tulis/ilmiah masing-masing sebesar 9,4%.
d. Penguasaan materi fasilitator, sebagian besar (76,1%) menyatakan baik, dengan persentase terkecil adalah materi tentang: 1)pengamatan vektor dan serangga pengganggu; dan 2)manajemen data entomologi.
Diharapkan kepada penyelenggara diklat entomolog kesehatan untuk memperbaiki kesesuaian materi (isi, waktu dan metode) sebagaimana tersebut di atas. Hasil Evaluasi Manfaat Pelatihan Bagi Alumni Peserta Latih
Berdasarkan hasil evaluasi manfaat pelatihan bagi alumni dengan menggunakan pertanyaan dengan skala likert diketahui bahwa terdapat 50,7% pernyataan sangat setuju, 38,2% pernyataan setuju, 7,4% pernyataan ragu-ragu, 3,7% pernyataan kategori tidak setuju dan tidak ada (0%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Penilaian terbesar alumni adalah: 1) bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan; dan 2) bermanfaat untuk meningkatkan ketrampilan sebagai entomolog kesehatan. Sedangkan hasil penilaian terkecil adalah pelatihan jabatan fungsional entomolog sudah memenuhi kebutuhan sebagai entomolog kesehatan.
Hubungan Antara Nilai Kognitif dengan Nilai Kompetensi
Untuk mengetahui hubungan antara nilai kognitif dengan nilai kompetensi alumni peseta latih, maka dilakukan uji korelasi pearson. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji hubungan nilai kognitif dengan kompetensi
Nilai Kognitif
Nilai kompetensi
Nilai Kognitif
Pearson Correlation Sig(2-tailed)
N
1 -
17
0,452 0,068
17
Nilai Kompetensi
Pearson Correlation Sig(2-tailed)
N
0,452 0,68
17
1 -
17
Dari hasil di atas diperoleh nilai r=0,452 dan nilai
p-value=0,068. Kesimpulan dari hasil tersebut adalah hubungan kognitif dengan kompetensi peserta menunjukkan pola positif dengan kekuatan hubungan yang sedang. Artinya meningkatnya kemampuan kognitif alumni peserta latih disertai dengan peningkatan kompetensi.
Kendala dalam Penerapan Hasil 1. Masih terdapat 44% alumni peserta latih yang
bekerja tidak sesuai dengan bidang kerjanya, sehingga kompetensi yang didapat tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya.
2. Alumni peserta latih selain bertugas sebagai pengendali vektor juga merangkap tugas-tugas lain di kantor, sehingga fokus kerja untuk menerapkan hasil pelatihan berkurang.
3. Komitmen pengambil kebijakan belum sepenuhnya mendukung penerapan Jabatan Fungsional Epidemiologi Kesehatan sehingga usulan alumni tidak direspon.
4. Terbatasnya pembiayaan untuk operasional kegiatan pengendalian vektor di lapangan, sehingga dikhawatirkan setelah menjadi tenaga entomolog akan kesulitan mengumpulkan angka kredit (DUPAK).
5. Kekhawatiran alumni akan tidak adanya penilai angka kredit di daerahnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Terdapat 44% alumni peserta latih yang bekerja
tidak sesuai bidang, hanya 34% alumni yang diangkat sebagai fungsional entomolog kesehatan. Provinsi yang semua alumni peserta latihnya bekerja sesuai bidang adalah Aceh, Maluku Utara dan Yogyakarta, sedangkan yang semua alumninya telah diangkat sebagai jabfung entomolog adalah Aceh dan Yogyakarta.
2. Hasil evaluasi nilai rata-rata dan median kognitif alumni peserta latih pada saat post test meningkat jika dibandingkan dengan saat pre test, sedangkan lamanya waktu sangat berpengaruh terhadap penurunan kognitif.
3. Menurut batasan yang digunakan oleh Lembaga Administrasi Negara ( ≥70, kategori kompeten), diketahui bahwa 35% alumni peserta latih yang
39
kompeten, sedangkan 65% tidak kompeten. Kompetensi yang paling banyak belum dikuasai alumni adalah “kemampuan melaksanakan penyelidikan vektor dan serangga pengganggu”.
4. Terdapat hubungan antara kognitif dengan kompetensi alumni peserta latih dengan nilai Pearson Correlation sebesar 0,452, hubungan tersebut berpola positif dengan kekuatan hubungan sedang. Artinya jika kognitif meningkat, maka kompetensi alumni peserta latih juga meningkat.
5. Kesesuaian isi materi pelatihan secara umum telah sesuai dan dapat diterima oleh alumni peserta latih karena hanya 3,3% yang menyatakan tidak sesuai. Untuk materi dengan alokasi waktu yang kurang adalah pemberdayaan masyarakat, karya tulis/ilmiah, morfologi dan anatomi nyamuk serta morfologi serangga pengganggu, untuk metode 97,2% alumni menyatakan telah sesuai sedangkan penguasaan materi fasilitator 76,1% alumni menyatakan baik.
6. Hambatan dan kendala dalam penerapan hasil pelatihan adalah masih banyaknya alumni peserta latih yang bekerja tidak sesuai bidang, merangkap tugas sebagai pemegang program, komitmen atasan dan pengambil kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung serta di beberapa daerah merasa khawatir tidak adanya penilai angka kredit di daerahnya.
Saran 1. Mengingat kebijakan Kemenkes RI tentang
pengangkatan Jabfung Entomolog belum sepenuhnya direspon oleh UPT pusat dan daerah, disarankan untuk lebih meningkatkan advokasi kepada pengambil kebijakan dan sosialisasi kepada pelaksana program di daerah dan UPT pusat .
2. Mengingat masih banyak alumni peserta latih yang bekerja tidak sesuai bidang, maka disarankan kepada bidang penyelenggara diklat untuk lebih memperketat seleksi peserta diklat agar sesuai dengan kriteria serta kepada pemangku kepentingan dalam melakukan mutasi pegawai mempertimbangkan kepelatihan yang pernah diikuti pegawai tersebut.
3. Mengingat semakin lama kognitif alumni peserta latih semakin menurun seiring dengan waktu, maka disarankan untuk memberikan masa berlakunya sertifikat Jabfung Entomolog untuk bisa diangkat sebagai Tenaga Fungsional Entomolog Kesehatan.
4. Mengingat masih terdapat alumni yang tidak kompeten pada pokok bahasan tertentu maka disarankan:1) memperbaiki beberapa materi pelatihan (isi, waktu dan metode) dari beberapa materi yang diberikan; dan 2) memperbaiki metode pengumpulan data EPP khususnya menyamakan persepsi dari kuesioner yang menjadi alat bantu pengumpulan data agar tidak terjadi bias.
DAFTAR PUSTAKA
Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, Pedoman
Teknis Evaluasi Paska Pelatihan, Jakarta, Pusdiklat Kesehatan Depkes RI, 2005;
Blanchard, P, Nick, et.all, “Effective Training System, Strategis and Practice”, Chapter 6, Evaluation of Training;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Modul Entomolog Malaria, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2006;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Modul Entomologi Malaria, Depatemen Kesehatan RI, Jakarta, 2006;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Kunci Identifikasi Nyamuk Culex, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Pedoman Pengendalian Lalat di Pelabuhan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Pedoman Pengendalian Tikus, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008;
Kirkpatrick, Donal, “Evaluating Training Programs” Berrett-Kochler Publishers Inc, San Francisco, 1998;
Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, Evaluasi Diklat, Bahan Diklat Bagi Pengelola Diklat, Jakarta; LAN RI, 2003;
Priyo Hastomo, Sutanto, Analisis Data Kesehatan, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Suparman, Prof, Dr, Alwi, et.all, Evaluasi Program Diklat, Jakarta; STIA LAN, 1999,
Trihendradi, C, Langkah Praktis Menguasai Statistik Untuk Ilmu Sosial dan Kesehatan, Penerbit Andi Yogyakarta.
40
Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013
Nuri Handayani
Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Kasus keracunan pangan yang terjadi di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat merupakan
kasus keracunan pangan yang terjadi di pesta pernikahan. Kejadian bermula ketika salah seorang warga menggelar
acara pernikahan pada tanggal 9 Februari 2013 yang dimulai pukul 09.00 WIB. Jumlah tamu yang diundang sekitar 400
orang. Makanan yang dihidangkan, yaitu: ayam, semur bebek, sop, sambal kentang buncis, sayur labu, bihun, daging
kambing, daging sapi dan mie. Makanan disajikan secara prasmanan dan tiap keluarga dibekali dengan 1 dus makanan
dengan menu yang sama. Sekitar Pukul 16.00 WIB pada hari yang sama, beberapa warga mulai mendatangi fasilitas
kesehatan terdekat dengan keluhan mual, muntah, diare, pusing dan mulas. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukabumi, hingga 11 Februari 2013, total kasus yang tercatat 359 orang. Berdasarkan laporan tersebut,
dilakukan investigasi Kasus Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
epidemiologi, etiologi dan sumber keracunan pangan. Investigasi dilakukan menggunakan desain studi kasus kontrol
dengan melakukan antara lain wawancara kepada tamu yang hadir dalam pesta, penjamah makanan dan tuan rumah
yang mempunyai hajat menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil wawancara dengan 35 orang tamu, diperoleh
informasi bahwa 28 orang diantaranya menderita sakit dan 7 orang tidak menderita sakit. Setelah dilakukan analisis
lebih lanjut, diketahui bahwa masa inkubasi terpendek adalah 5 jam dan masa inkubasi terpanjang 40 jam. Berdasarkan
hasil analisis tersebut, maka etiologi KLB Keracunan Pangan yang memungkinkan adalah E. coli dan V.
Parahaemoliticus. Makanan yang paling berisiko menyebabkan keracunan adalah ayam (OR=11,5; 95%CI=1,714-
77,178; p value=0.012). Hasil ini didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya bakteri E.coli
pada ayam.
Kata kunci : Keracunan Pangan, Faktor Risiko
Koresponden: Nuri Handayani, Subdit HSP,
Direktorat PL, Telp. 085640038863, email:
PENDAHULUAN
Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan
adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang
atau lebih yang menderita sakit dengan gejala
yang sama atau hampir sama setelah
mengkonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis
epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai
sumber keracunan (Permenkes No.2 Tahun 2013).
Kejadian keracunan pangan dapat terjadi dalam
bentuk:
1. Kasus sporadis tanpa asosiasi yang jelas dengan kejadian lainnya.
2. Kejadian keracunan pangan dalam keluarga. Menimpa dua orang atau lebih dalam satu
keluarga. Biasanya yang menjadi sumber
keracunan adalah makanan yang dibuat di
rumah-rumah penduduk yang mungkin
dipersiapkan tanpa memperhatikan segi
kebersihannya.
3. Kejadian keracunan pangan di masyarakat umum. Keracunan pangan yang menimpa sekelompok
orang yang makan di tempat-tempat umum
seperti restoran, kantin, lembaga (rumah sakit,
panti asuhan, panti jompo, pondok pesantren,
penjara, kantor, perusahaan atau pabrik, dan
lain-lain) atau keracunan pangan yang menimpa
sekelompok orang yang makan makanan
tercemar yang diperoleh dari toko pengecer
atau grosir makanan yang sama, atau jasa
boga/ catering yang melayani pesanan untuk
pesta-pesta, rapat, penataran, dan lain-lain.
(Eley, 1994)
Di Indonesia, kasus keracunan pangan dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Provinsi
Jawa Barat sejak tahun 2011-2013 menempati
posisi tertinggi dalam KLB keracunan pangan,
seperti digambarkan dalam grafik tren KLB
keracunan pangan (Grafik 1).
41
Sumber: Subdit Surveilans dan Respon KLB
Grafik 1. Tren KLB keracunan pangan sampai
dengan bulan Mei 2013
Adapun KLB keracunan pangan yang seringkali
terjadi berasal dari pangan olahan rumah tangga,
umumnya dalam bentuk acara hajatan/pesta.
Pada tahun 2010, 44% KLB keracunan pangan
berasal dari pangan olahan rumah tangga; pada
tahun 2011, 45,31% KLB keracunan pangan
tertinggi berasal dari pangan olahan rumah
tangga dan pada tahun 2013 sampai dengan Bulan
Mei, 70% KLB keracunan pangan berasal dari
pangan olahan rumah tangga (Data Subdit
Surveilans dan Respon KLB).
Kasus keracunan pangan yang terjadi di Desa
Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
merupakan salah satu kejadian keracunan pangan
di pesta pernikahan, dimana makanan yang
disajikan berasal dari pangan olahan rumah
tangga. Kejadian bermula ketika salah seorang
warga menggelar acara resepsi pernikahan yang
dilaksanakan pada Sabtu, 9 Februari 2013 pukul
09.00 WIB sampai dengan selesai. Jumlah tamu
yang diundang dalam
acara pernikahan tersebut sekitar 400 orang.
Ada beberapa makanan yang dihidangkan
dalam acara resepsi pernikahan tersebut, yaitu
ayam, semur bebek, sop, sambal kentang buncis,
sayur labu, bihun, daging kambing, daging sapi
dan mie. Makanan disajikan secara prasmanan
dan ketika hendak pulang, masing-masing
keluarga dibekali dengan 1 dus makanan dengan
menu yang sama.
Sabtu sore, sekitar pukul 16.00 WIB beberapa
warga mulai mendatangi fasilitas kesehatan terdekat
dengan keluhan gejala yang hampir sama, seperti
mual, muntah, diare, pusing, dan mulas.
Berdasarkan laporan dari Dinkes Kabupaten
Sukabumi, hingga Senin, 11 Februari 2013, total
kasus yang tercatat sebanyak 359 orang.
Berdasarkan laporan tersebut, maka dilakukan
investigasi KLB keracunan pangan yang bertujuan
untuk mengetahui gambaran epidemiologi, etiologi
dan sumber keracunan.
BAHAN DAN CARA
Investigasi kejadian luar biasa keracunan pangan
di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi
dilakukan menggunakan desain studi kasus kontrol
dengan wawancara kepada tamu yang hadir
dalam pesta, penjamah makanan dan tuan rumah
42
yang mempunyai hajat dengan menggunakan
kuesioner, observasi ke lokasi kejadian,
mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data,
serta membuat laporan investigasi keracunan pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga
yang menghadiri acara pesta pernikahan tersebut,
diperoleh responden sebanyak 35 orang, yang
terdiri dari 28 orang menunjukkan gejala
keracunan dan 7 orang tidak menunjukkan gejala
keracunan.
Grafik 2. Distribusi frekuensi menurut masa
inkubasi
Berdasarkan Grafik 2 di atas, masa inkubasi
terpendek adalah 5 jam dan masa inkubasi
terpanjang 40 jam.
Grafik 3. Distribusi frekuensi menurut gejala
Berdasarkan Grafik 3 di atas, gejala yang paling
banyak dialami penderita adalah diare (24%),
mual (23%) dan muntah (23%). Adapun diagnosis
banding berdasarkan gejala tersebut yang
memungkinkan adalah Escherichia coli, V.
parahaemoliticus, Bacillus cereus, dan Salmonella.
Tabel 1. Daftar agent penyebab KLB keracunan
pangan menurut masa inkubasi terpendek
N
o
Agent
penyebab
Masa
inkubasi
terpendek
Masa
inkubasi
terpendek
kasus
Agent
penyakit
disingkirkan
1 E. coli 5 jam
5 jam
Belum
2 V.
parahaemoli
ticus
2 jam Belum
3 Bacillus
cereus
8 jam Disingkirkan
4 Salmonella 6 jam Disingkirkan
Berdasarkan daftar agent penyebab KLB
Keracunan Pangan menurut masa inkubasi
terpendek, diketahui bahwa agent penyebab yang
masih memungkinkan adalah E. coli dan V.
parahaemoliticus
Tabel 2. Daftar agent penyebab KLB keracunan
pangan menurut masa inkubasi terpanjang
No Agent
penyebab
Masa
inkubasi
terpanjang
Masa
inkubasi
terpanjang
kasus
Agent
penyakit
disingkirkan
1 E. coli 48 jam 40 jam
Belum
2 V.parahae
moliticus
48 jam Belum
Berdasarkan masa inkubasi terpanjang 40 jam,
maka etiologi KLB Keracunan Pangan yang
memungkinkan adalah E. coli dan V.
Parahaemoliticus.
Hipotesis ini dapat dijadikan sebagai bahan
acuan dalam melakukan pemeriksaan penunjang
(laboratorium) terhadap sampel pangan yang
berhasil diamankan. Hal ini bertujuan untuk
43
menghemat biaya di dalam melakukan
pemeriksaan sampel, yaitu lebih spesifik merujuk
terhadap kedua agent yang dicurigai sebagai
penyebab KLB Keracunan Pangan yang terjadi
dalam pesta pernikahan tersebut. Adapun hasil
dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa etiologi KLB Keracunan Pangan di Desa
Bantargadung adalah bakteri Escherichia coli.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menurut Makanan
yang Berisiko
OR p
value
95% CI
Ayam 11,5 0,012 1,714-77,178
Semur bebek 0,462 0,499 0,036-5,966
Sop 1,304 1 0,127-13,372
Sambal
Kentang
buncis
1 1 0,188-5,332
Sayur labu 0,462 0,499 0,036-5,966
Bihun 0,462 0,499 0,036-5,966
Daging
kambing
0,462 0,499 0,036-5,966
Daging sapi 1,636 1 0,164-16,345
Mie 2,167 0,672 0,358-13,110
Berdasarkan Tabel 3 diatas, dapat disimpulkan
bahwa makanan yang berisiko menjadi sumber
keracunan adalah ayam (OR = 11,5; 95%CI=1,714-
77,178 dan p value = 0,012). Hipotesis ini didukung
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan bahwa ayam merupakan sumber
keracunan karena di dalamnya mengandung
bakteri pencemar Escherichia coli.
Menurut referensi yang ada, bakteri Escherichia
coli banyak dijumpai pada produk daging dan
hasil olahannya. Di samping itu, penjamah
makanan yang merupakan carrier, proses
pendinginan bahan pangan yang tidak tepat,
proses pemasakan yang tidak sempurna,
pembersihan dan sanitasi peralatan yang tidak
tepat, makan daging mentah atau tidak matang juga
turut berkontribusi terhadap masuknya bakteri E.
coli ke dalam makanan (Imari, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara kepada penjamah
makanan dalam acara pesta pernikahan tersebut,
diperoleh informasi bahwa acara pesta dilaksanakan
pada Sabtu pagi pukul 09.00 WIB, proses
memasak makanan dilakukan sejak pukul 04.00
WIB, sedangkan belanja bahan pangan dilakukan
satu hari sebelumnya yaitu pada Jum'at, begitu
pula dengan ayam. Sampai di rumah ayam tidak
segera dimasak, melainkan akan diolah pada
Sabtu subuh agar ketika dihidangkan masih tetap
segar. Ayam-ayam tersebut setelah dibeli
kemudian dibersihkan dan dipotong-potong
sesuai ukuran kemudian dibumbui dan disimpan.
Di dalam proses penyimpanan bahan pangan
inilah kemungkinan bakteri E.coli masuk, sebab
lemari pendingin yang tersedia sangat terbatas,
sedangkan bahan pangan yang dibeli sangat
banyak dan beraneka ragam yang kesemuanya
membutuhkan tempat penyimpanan yang aman
dan bebas dari pembusukan. Banyaknya jenis
makanan yang disimpan inilah sehingga suhu di
dalam lemari pendingin tidak lagi bekerja secara
optimal sehingga bakteri mudah tumbuh dan
berkembang biak.
Di samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan terhadap kualitas air bersih dan air minum
yang digunakan warga sekitar sebab berdasarkan
hasil observasi ke lapangan diketahui bahwa
sumber air yang digunakan berasal dari air sumur
yang kondisinya kotor dan secara fisik kurang
memenuhi persyaratan kesehatan. Kebersihan
penjamah makanan juga perlu diperhatikan, sebab
menyediakan makanan dalam porsi besar dan
untuk orang banyak harus memperhatikan prinsip
higiene dan sanitasi pangan, yang meliputi tempat,
peralatan, penjamah makanan maupun bahan
pangan mulai dari persiapan, penyimpanan bahan
mentah, proses pengolahan, penyimpanan
pangan matang, pengangkutan dan penyajian.
Oleh karena itu, ketika proses penyelidikan
epidemiologi ini dilakukan, dibangun jejaring
kemitraan antar Petugas Pamong Praja, Ibu Lurah,
petugas puskesmas dan Tim Gerak Cepat dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi agar
melakukan penyuluhan kemanan pangan kepada
warga yang melapor akan menyelenggarakan
sebuah hajatan/ pesta agar KLB Keracunan
Pangan dapat dihindari.
44
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa gejala yang paling banyak dialami penderita adalah diare (24%), mual (23%) dan muntah (23%).
b. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut diketahui bahwa masa inkubasi terpendek adalah 5 jam dan masa inkubasi terpanjang 40 jam, maka etiologi KLB Keracunan Pangan yang memungkinkan adalah E. coli dan V. Parahaemoliticus
c. Makanan yang berisiko menyebabkan keracunan adalah ayam (OR = 11,5; 95%CI=1,714-77,178 dan p value = 0,012).
d. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya bakteri pencemar E.coli pada ayam.
Saran
a. Perlu dibangun jejaring kemitraan lintas program dan lintas sektor dalam hal pencegahan dan penanggulangan KLB Keracunan Pangan.
b. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan keamanan pangan kepada warga yang akan melaksanakan hajatan/pesta agar kejadian luar biasa keracunan pangan tidak terjadi.
c. Perlu adanya pemeriksaan lanjutan untuk kualitas air bersih dan kualitas air minum yang digunakan oleh warga Desa Bantargadung, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, sebab apabila diketahui sejak dini bahwa kualitas air minum dan air bersih dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan dapat dilakukan tindakan pencegahan terhadap munculnya penyakit bawaan air.
d. Pemeriksaan lanjutan untuk kualitas air minum yang digunakan ini didukung dengan hasil laboratorium yang menunjukkan bahwa air minum yang digunakan positif mengandung nitrit serta berdasarkan observasi di lapangan, kondisi air minum yang digunakan secara fisik tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan, 2013. Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. Direktorat
Penyehatan Lingkungan.Jakarta.
Eley, Adrian R, 1994. Microbial Food Poisoning.
London. Chapman and Hall.
Imari, Sholah, dkk. 2012. Penyelidikan Epidemiologi
Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan.
Jakarta.
45
Top Related