41
BAB III
JANCUK SEBUAH KATA DALAM BUDAYA
Dalam bagian Bab III ini akan menjelaskan mengenai temuan data yang
telah didapatkan oleh peneliti saat berada di Semolowaru Utara Surabaya. Temuan
data yang akan dijelaskan dalam bab ini meliputi tentang asal mula kata jancuk
yang didalamnya dibahas mengenai terbentuknya kata jancuk, sebelum
menjelaskan mengenai asal mula kata jancuk itu peneliti juga menjabarkan
terlebih dahulu tingkatan bahasa jawa.
Pada sub bab kedua membahas tentang pengaruh bahasa makian itu
dikalangan anak-anak, bahasa makian jancuk saat ini memang kerap sering
terdengar dan seakan menjadi bahasa yang populer dikalangan remaja bahkan kini
anak – anak juga dapat mengucapkannya tanpa adanya perasaan ragu, dan
kemudian masuk kedalam pokok permasalahan yaitu bagaimana anak-anak dalam
memaknai kata jancuk itu sendiri.
3.1 Asal mula kata Jancuk
Jawa Timur memiliki keragaman bahasa yang sangat unik dan
bervariasi.Mayoritas seluruh penduduk di Jawa Timur menggunakan bahasa
Jawa.Tetapi pada setiap bagian wilayah di Jawa Timur memiliki ciri khas masing–
masing dalam berbahasa. Pada bahasa Jawa sendiri memiliki beberapa tingkatan,
tingkatan dalam bahasa tersebut menjadi sebuah pembeda tingkatan usia atau
golongan dalam masyarakat. Tingkatan tersebut dalam digambarkan sebagai
berikut :
42
Gambar 3.1 Tingkatan Bahasa Jawa
Sumber : Prof. Dr. Suyono, M.Pd (Ahli bahasa dan Sastra Universitas
Negeri Malang).
Dijelaskan pada susunan bahasa Jawa diatas pada tingkat paling atas
bahasa Jawa yang sangat sopan disebut kedaton berasal dari kata daton, dalam
bahasa jawa kedaton ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang jawa yang
masih memiliki keturunan darah biru. Oleh sebab itu kedaton banyak digunakan
oleh para rakyat para raja untuk berbicara dengan rajanya. Pada susunan kedua
kromo alus, hampir sama dengan kedaton, kromo alus juga digunakan saat
berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang dihormati. Selanjutnya kromo
inggil, yang membedakan kromo inggil dengan kromo alus adalah pada susunan
kata perkata yang diucapkan, seperti : Dahar/ makan (kromo alus) = kata tersebut
diperuntukan pada seorang yang berusia lebih muda saat berbicara dengan
seorang yang lebih tua, Nedho / makan = nedho yang berarti makan kata tersebut
juga digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua, namun masih
KEDATON
KROMO ALUS
KROMO INGGIL
NGOKO
KASAR
43
terbilang kasar sebab biasanya kata tersebut digunakan pada orang yang lebih tua
dalam runtutan usia yang tidak terlalu jauh dengan penutur. Ngoko lebih
menunjukkan pada tataran bahasa yang kasar namun masih biasa dikatakan pada
obrolan ringan yang dilakukan oleh penutur dengan usia yang sama. Kemudian
pada kategori selanjutnya masuk pada bahasa kasar, bahasa kasar pada bagian ini
digolongkan pada tingkat bahasa paling kasar, sebab pada bahasa kasar ini masuk
pada kata makian dan kata-kata kotor.
Menurut Prof. Dr. Suyono, M.Pd yang menjelaskan mengenai bahasa
kasar yang didalamnya terdapat berbagai kata umpatan atau makian. Dalam hal ini
merujuk pada penelitian yang dilakukan mengenai bahasa makian kota Surabaya
yaitu jancuk. Jancuk sebenarnya terbentuk dari awal kata diancuk yang kemudian
kata tersebut menyatu saat pengucapannya. Dasar kata diancuk berawal dari kata
encuk, biasanya kata tersebut mendapat kata tambahan jaran( Kuda ).Oleh karena
itu masyarakat Surabaya diancuk jaran yaitu diencuk jaran (kuda).
Sedangkan dalam bidang etnoliguistik bahasa makian digolongkan
sebagai kata tabu. Kata tabu merupakan kata yang dianggap sebagai kata yang
tidak pantas untuk dikatakan seperti kata-kata cabul dan pada umumnya bahasa
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam lingkungan masyarakat (
Dikutip dari : Bahasa dan Komunikasi bab 13 ). Karena bentuk kata yang
dianggap senonoh maka kata tersebut banyak kurang diterima oleh masyarakat,
penyebabnya kata-kata lebih banyak mengarah pada kata-kata yang berhubungan
dengan seks dan kotoran. Seperti halnya pada bahasa makian yang sejak dulu
menjadi ciri khas kota Surabaya yaitu kata Jancuk yang berarti sebuah kata yang
44
mengarah pada sebuah hubungan sexualitas manusia melakukan hubungan badan
dengan lain jenisdengan memasukan alat kelamin laki-laki kedalam kelamin
wanita yang dalam masyarakat jawa timur hal tersebut dikatakan sebagai
ngencuk(bersetubuh). Namun seiring dengan perkembangan bahasa dalam
masyarakat yang ikut pula terjadi atas kondisi suatu kebudayaan yang ada maka
kata tersebut mengalami berbagai modifikasi yang diciptakan oleh pelaku budaya
yaitu manusia. Modifikasi kata tersebut tetap memiliki makna yang sama
meskipun kata yang berbeda pengucapannya.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang antropologi
inggris Edmund Leach yang menarik sebuah hubungan yang menyolok antara
nama binatang, kata-kata makian, dan tabu kebudayaan. Leach misalnya
menemukan hubungan antara kepercayaan kebudayaan yang kuno tentang kotoran
anjing adalah suatu hinaan dalam bahasa inggris untuk menyebut seseorang itu
anjing dan kenyataan yang terjadi bahwa orang inggris tidak diperbolehkan untuk
makan daging anjing ( Antropologi : Bahasa dan Komunikasi bab 13 ). Berbagai
makna yang didapat tersebut dapat diketahui melalui sebuah dialek dimana kata
makian tersebut dapat memiliki banyak makna jika dalam dialek yang diucapkan
memilki perbedaan pada nada saat pengucapan dilakukan.
Kata makian khas Surabaya yang dikenal dengan jancuk bermula dari
gabungan dua kata dalam bahasa jawa yaitu Jalok( Minta ) dan diencuk (
bersetubuh / melakukan hubungan sexual dengan lain jenis ) kata tersebut
terdengar sangat vulgar oleh sebab itu mengapa kata ini menjadi bentuk kata kotor
yang digunakan sebagai kata umpatan maupun makian. Akan tetapi asal mula kata
45
jancuk itu sendiri banyak memiliki versi yang berbeda namun pada maknanya
tetap memiliki arti yang sama. Jancuk sudah dikenal lama oleh masyarakat
Surabaya oleh karena itu jancuk seakan menjadi bahasa khas Surabaya. Meskipun
pada umumnya kata makian itu banyak juga dimiliki oleh setiap daerah namun
kata makian asal Surabaya ini seakan lebih banyak didengar tidak hanya
diwilayah kota Surabaya saja namun juga kota sekitar Surabaya.Bahkan karena
ketenaran kata ini sampai ada beberapa musisi yang menjadikan kata tersebut
sebagai lagu.Dengan hal-hal seperti itulah kata jancuk kini tidak menjadi kata
vulgar lagi karena banyak yang sudah menganggap kata tersebut sebagai kata khas
yang banyak mengandung arti.
Terlepas dari hal tersebut jancuk teryata digunakan dalam pengobaran
semangat saat perang, dimana saat pejuang berperang melawan penjajah kata
jancuk diucapkan untuk membakar semangat saat adanya sebuah rasa kecewa, dan
amarah yang memancing emosi meledak-ledak seperti pada film perjuangan 10
November 1945.Akan tetapi tidak memungkiri bahwa jancuk tetap menjadi kata
seharusnya tidak dapat dikatakan pada sembarang tempat.Pada dasarnya jancuk
merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, penuh
perlawanan, spontanitas dan egaliter.Namun pada kenyataannya asumsi negative
tetap dibebankan pada kata jancuk yang mempengaruhi perkembangan moralitas
anak Surabaya. Namun pada pernyataan tersebut tidak dapat disalahkan juga
sebab secara harfiah memang kata jancuk mengandung sebuah arti yang tidak
layak untuk dikatakan atau sebagai kata yang ditabukan namun pada masyarakat
dalam proses interaksi social yang menganut sistem masyarakat yang bersifat
46
egaliter.System masyarakat yang egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam
sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama
dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat
sosialnya (Kellner, 2003 : 215).
Masyarakat Surabaya kini lebih banyak menggunakan kata tersebut
sebagai kata yang biasa saja digunakan.Pada remaja Surabaya sendiri jancuk
dijadikan kata wajib yang tidak lepas dari semua bentuk interaksi yang mereka
lakukan.Misalnya :Cuk nandi kon?( Cuk dimana kamu? ) kata tersebut merupakan
kata sapaan yang dilakukan oleh remaja Surabaya namun dapat memperoleh
bentuk makna yang berbeda. Sehingga jancuk sendiri memiliki makna yang
berbeda ketika dalam sebuah kondisi dan situasi yang berbeda pula. Fenomena
tersebut nampak menjadi hal biasa bagi remaja Surabaya bahkan orang dewasa di
kota Surabaya, namun bagaimana jika kata tersebut diucapkan oleh anak-anak
dibawah usia 17 tahun bahkan anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar,
fenomena tersebut memancing berbagai pertanyaan mengenai bentuk komunikasi
anak dalam lingkungannya, sehingga melibatkan adanya peran orang tua
dalamnya. Sebab meruntut dari awal kata jancuk tersebut, kata itu kebanyakan
diucapkan pada saat emosi kemarahan saja namun saat ini yang ada kata jancuk
menjadi kata yang populer di masyarakat kota Surabaya.
3.2 Popularitas KataJancuk dalam Kehidupan Mayarakat Luas hingga
Menyentuh Dunia Anak.
Surabaya, siapa yang tidak kenal dengan kota berjuta germelap dunia
anak muda. Banyak didirikan universitas yang maju sehingga mendatangkan
47
berbagai pemuda untuk turut serta belajar di kota tersebut. Kota Surabaya yang
saat ini banyak diminati untuk didatangi oleh besar masyarakat dari luar kota
untuk mengais rizeki dan memperbaiki hidup. Perubahan kota Surabaya pun
semakin nampak sehingga menjadi kota metropolitan di jawa timur dengan
menyuguhkan berbagai keunggulan kota tersebut dengan bangunan kota yang
megah serta perkantoran dan lapangan pekerjaan yang menjanjikan.
Ditelurusi lebih dalam tentang Surabaya tentu ada hal menarik dalam kota
ini, termasuk pada bahasa orang Surabaya yang khas dengan kata jancuknya.
Jancuk ini bukan lagi kata tabuh melainkan kini seakan menjadi kata yang wajar
saja jika diucapkan, jancuk kini tidak hanya di Surabaya melainkan mulai
merambah di kota-kota sekitar Surabaya bahkan diluar jawa timur jancuk sudah
dikenal.
Jancuk seakan menjadi kata popular di kota Surabaya terutama pada
kalangan remaja dan dewasa, hampir dalam setiap percakapan yang mereka
lakukan kata jancuk kerap dikatakan.
Perubahan makna kata jancuk ketika adanya sebuah hubungan yang
sudah dekat dan saling kenal sehingga menjadikan hubungan interaksi yang dekat.
Dapat berarti juga ketika menjumpai orang lain yang belum memiliki hubungan
dekat atau pertemanan yang akrab maka kata jancuk tersebut menjadi kata yang
tidak sopan dalam bertutur kata. Akan tetapi melihat kejadian yang sudah saat ini
banyak anak-anak yang mulai mengenal kata tersebut. Seperti Lina ( 6 tahun )
seorang anak perempuan yang dengan mahirnya dia dapat mengungkapkan kata
jancuk dengan lantang tidak hanya kata jancuk saja namun juga kata makian
48
lainnya seperti : taek (kotoran hewan), dia seperti sudah terbiasa mengatakan kata
– kata tersebut dalam kesehariannya. Lina merupakan anak perempuan dari
pasangan suami istri bernama Tohir dan Atik (nama samaran). Orang tua lina
bekerja sebagai buruh bangunan sedangkan ibunya membuka warung kopi didekat
rumahnya.Keseharian Lina mengikuti ibunya yang berjualan kopi di
warungnya.Di warung Lina sering bertemu dengan orang – orang yang sudah
dewasa, namun kebanyakan yang datang diwarung tersebut merupakan anak-anak
muda kampung tersebut. Menurut cerita dari salah satu teman Lina yang ditemui
saat bermain di sekitar perkampungan tersebut, Lina sering membuat onar dengan
perilaku yang kurang baik, seperti mengolok-olok temannya, melempar temannya
dengan batu, bahkan ia tak segan untuk berkata kotor didepan orang yang lebih
dewasa dari usianya. Karena perilaku yang seperti itu maka banyak teman sebaya
Lina yang menjauh darinya. Akan tetapi disisi lain Lina juga sering mendapat
ejekan dari temannya karena fisiknya kurang terawat dibandingkan dengan teman-
temanya. Dengan rambut yang acak-acakan serta kulitnya yang hitam Lina sering
dipanggil orang gila oleh teman-temanya, selain itu karena sikapnya yang arugan
serta suka berkata kotor atau mengumpat temanya tersebut Lina juga sering
dijauhi.Pada saat terjadi fenomena tersebut Lina sering berperilaku yang tidak
baik terkadang Lina mengambil batu untuk melempar temannya, mengambil
sandal temannya, bahkan juga sering meludahi teman-teman yang mengejeknya.
Dilihat dari fenomena kejadian ini bukan saja dari pihak orang tua yang
berperan namun orang disekelilingnya ikut pula memberikan peran. Karena
seringya mendapatkan ejekan dan olokan dari teman-temannya maka Lina merasa
49
marah dan terkadang ia juga merasa seperti dipermalukan. Disamping itu juga
keterkaitan orang tua untuk mendampingi anak sangat kurang.Oleh sebab itu Lina
terkadang kurang diperhatikan. Menurut Lina dia tidak merasa berbeda, dan apa
yang dia katakana selama ini juga atas kehendaknya dia juga tidak pernah
dimarahi orang tuanya apabila dia berkata kotor.
Perilaku yang ditunjukan oleh Lina memang tidak baik ditampilkan oleh
seorang anak, namun dalam hal ini peran orang tua sangat diperlukan karena
pendidikan yang baik berasal dari dalam keluarga.Pada usia 5 hingga 10 tahun
anak-anak mudah untuk menirukan seuatu hal yang dilakukan oleh orang dewasa,
sebab itu pengawasan sangat perlu dilakukan. Lina menganggap kata makian yang
dia ucapakan biasa saja karena pada saat peneliti menanyakan hal tersebut Lina
menjawab mengetahui kata tersebut adalah kata kotor namun dia tidak
mengetahui secara mendalam makna dari kata tersebut. Lina bercerita dia sering
bermain dengan teman-temannya, dia juga memiliki teman banyak disekelilinya,
namun saat bermain dia lebih sering bermain permainan disekolah taman kanak-
kanak dekat rumahnya, setiap sore dia bertemu dengan teman-temannya dan
bermain, seperti biasa anak-anak bermain dengan bergurau namun disela – sela itu
terkadang ada hal yang menyebabkan terjadinya perselisihan, namun pada saat
perselisihan itu terjadi menimbulkan sebuah kegiatan bullying. Mereka mengolok
teman satu sama lain, dan kebanyakan yang terjadi bully tersebut lebih banyak
mengarah pada diri Lina.
Lina biasa memberontak dengan ikut mengolok temannya namun tidak
banyak yang dapat dikatakan oleh Lina, maka dari itu dia sering mengatakan kata
50
jancuk dan lainnya bahkan terkadang ia juga mencari batu untuk dihatamkan ke
temannya. Kata yang sering diucapkan Lina saat marah dengan temannya adalah :
jancuk, ndasmu ( kepalamu ), mati kon ( mati kamu ), taek ( kotoran hewan ),
entotmu ( kentutmu ). Kata –kata tersebut seolah sudah melekat dipikiran Lina,
sebab dalam nada bicara Lina pun hampir mirip dengan anak laki-laki bahkan bisa
juga dikatakan selayaknya orang dewasa yang sedang marah, kata yang kasar dan
keras sering diucapkan oleh Lina, sehingga teman-teman Lina juga sering
mengolok dia “ kon iku gak wedok tapi lanang, ohhh wong lanang banci ngono
anak e minto “ artinya : “ kamu itu bukan perempuan tapi laki-laki, ohh orang
laki-laki banci anaknya masrop “. Masrop adalah banci yang namanya sudah
banyak dikenal.
Perilaku yang didapat Lina dari teman-temannya memang kurang baik
sehingga bimbingan dari orang tua pun tidak mencukupi untuk mengatur perilaku
anak dengan baik, namun dalam sebuah lingkungan yang baik maka dapat
menimbulkan perilaku yang baik pula.Lina memaparkan bahwa iasering
mendengkar kata makian tersebut juga dari para remaja yang sedang ngopi di
warung ibunya.Bahkan dia terkadang tiap malam ikut duduk – duduk dan
mendengarkan cerita para pelanggan kopi ibunya.Dari cerita yang didengar Lina
kebanyakan para remaja tersebut bercanda dan saling tertawa dengan lelucon yang
dibuat. Dalam memaknai kata jancuk tersebut bagi seorang anak mungkin masih
dalam tahap menirukan mereka tidak mengetahui dan memahami secara detail
tentang makna kata makian jancuk tersebut. Akan tetapi kepopuleran kata jancuk
tersebut semakin meluas tidak hanya pada kalangan remaja dan orang dewasa saja
51
namun juga kini anak-anak seolah fasih dalam mengucapkan kata tersebut
meskipun masih dalam kondisi dan lingkungan tertentu.
Tidak sembarangan anak kecil juga yang bisa mengucapkan kata tersebut
ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seorang anak kecil memakai kata
jancuk:
1. Faktor lingkungan, dalam lingkungan bermain dan teman sebaya anak-anak
memberikan pengaruh penting dalam pengenalan sebuah bahasa, anak-anak
dalam usia tahap belajar mereka dapat mencerna berbagai kata dan bahasa
baru dalam setiap harinya, dengan pengenalan bahasa baru tersebut maka
terkadang seorang anak memiliki berbagai pertanyaan.
2. Faktor keluarga, keluarga memiliki peran penting dalam proses pendidikan
anak, didalam keluarga yang utuh maka pendidikan anak dapat terlihat
dengan baik, proses belajar yang diberikan oleh orang tua terhadap anak dan
pengetahuan yang diajarkan membawa pengaruh besar dalam pola berpikir
anak. Didalam keluarga inilah perilaku anak dapat disaring oleh orang tua.
Dalam lingkungan bermain anak dengan teman sebaya, anak-anak lebih
mendengarkan teman yang dianggapnya paling mengerti dan berkuasa digolongan
mereka.Pada kelompok bermain anak, seperti halnya dengan orang dewasa
mereka memiliki golongan atau kelompok-kelompok bermain yang mereka pilih
sesuai dengan keinginan ketua kelompok yang pada posisi tersebut biasanya
diberikan kepada anak yang memiliki fisik besar dan ditakuti oleh anak-anak
lainnya.
52
Gambar 3.2 Aktivitas anak-anak yang sedang bermain pada malam hari
Pada gambar diatas menggambarkan aktivitas anak-anak yang sedang
bermain dengan teman sebaya mereka.Pada aktivitas bermain tersebut kata jancuk
biasa dipakai dalam komunikasi bermain mereka.Misalnya pada saat anak-anak
kalah dalam bermain mereka tidak hanya sekedar biasa saja dalam menerima
kekalahan kelompok mereka namun mereka lebih mengeluarkan argument mereka
untuk tidak menerima kekalahan dalam bermain begitu saja.Biasanya dalam
sebuah argument yang dikeluarkan oleh anak-anak terkadang tanpa mereka
sengaja, mereka mengeluarkan kata makian disela perbincangan.Apa yang telah
mereka katakana secara spontan terjadi, tanpa mereka sadari bahwa mereka
memang sudah biasa menggunakan kata tersebut. Akan tetapi pada sebuah
lingkungan bermain anak jika disekitar mereka terdapat orang yang lebih dewasa
atau orang tua, mereka tidak mudah begitu saja mengatakan kata makian tersebut,
sehingga dalam bermain mereka terdapat kontrol komunikasi anak.
53
Misalnya saja percapakan yang dilakukan oleh anak-anak pada gambar
diatas saat bermain, suara yang keras dan lantang terdengar sehingga
menimbulkan suasana yang ramai.
“ Heh kon kalah cok, ojok nakalan.”
“Arek ikilo mesti nakalan.”
( Percakapan yang biasa diucapkan oleh anak laki-laki saat bermain )
( Surabaya, 13 September 2015)
Kata–kata diatas merupakan sebagian kecil dari obrolan yang mereka
lakukan pada saat bermain. Memang bagi seorang anak laki-laki kata makian
nampak biasa saja namun disisi lain kata jancuk juga kerap diucapkan oleh anak
perempuan.Faktanya kata jancuk bukan lagi menjadi kata yang tabuh lagi
melainkan menjadi sebuah kata yang terlihat keren dan wajar saja jika dikatakan
oleh orang dewasa bahkan anak-anak.
3.3 Tentang Lina
Lina adalah gadis kecil putri pasangan Bpk. Tohir dan Ibu Atik ( nama
samaran ), Lina dibesarkan di sebuah lingkungan perkotaan tepatnya diwilayah
perkampungan padat penduduk kota Surabaya. Lina berasal dari keluarga
menengah kebawah, sang ayah yang bekerja sebagai buruh bangunan dan sang ibu
yang sebagai penjual makanan di warung miliknya. Setiap hari Lina melakukan
aktifitasnya sendiri, dia sudah terbiasa mandiri sejak kecil meskipun dia adalah
anak bungsu dari 2 bersaudara. Lina terbilang menjadi anak yang sangat aktif,
mungkin banyak yang tidak disadari bahwa keaktifan perilaku seorang anak kecil
perlu untuk diawasi oleh orang tua ataupun orang dewasa yang hidup
54
disekelilingnya.Karena kedua orang tua Lina yang sibuk dengan pekerjaan
masing-masing sehingga Lina kurang mendapat pengawasan. Lina yang sekarang
duduk di bangku sekolah dasar kelas 4 seperti anak-anak lainnya, dia juga
mencari teman dan membutuhkan teman meskipun pada kenyataannya dia sering
terlihat sendiri akan tetapi kesendirian Lina dalam bermain masih tetap ceria
seperti teman lainnya. Di tempat tinggalnya Lina memiliki 3 teman yang sering
dia ajak bermain yaitu Zahra, Amel, Kheisa dan Nur, selayaknya seperti teman
bermain yang erat Lina kerap melakukan hal yang terlalu over dalam berprilaku
dan berkata, terkadang saat dia bermain Lina juga sering melakukan hal – hal
yang kurang baik kepada teman-temannya.
Berbicara tentang Lina, tentunya banyak yang tidak kita ketahui tentang
bocah kecil tersebut. Fisik Lina dapat dikatakan kurang terawat, dengan
rambutnya yang kriting tebal, kulit sawo matang, serta bibir tebal dan badan yang
tidak terlalu tinggi Lina seperti kurang terawat, dia juga berperilaku seperti anak
laki-laki yang gemar bermain lompat-lompat, berkelahi dan berbicara kotor. Lina
kerap sekali mengatakan kalimat buruk saat bermain, kenyataannya dia terlihat
biasa saja saat berbicara seperti itu.Meskipun teman-temannya sudah memarahi
bahkan terkadang mereka menjauhi Lina dan tak jarang juga mereka mengolok
Lina seperti anak laki-laki.
Pada cerita tentang Lina ini tentunya sudah tidak asing dengan fenomena
bullying yang beberapa tahun lalu gencar dengan segala kasusnya. Nah Lina saat
ini mengalami hal tersebut, mengapa ? Saatbermain Lina kerap berbuat nakal,
meskipun dalam dunia anak-anak kenakalan seorang anak tidak dapat disebut
55
dengan kenakalan, namun sebuah interaksi perilaku anak yang dilakukan hanya
untuk mendapat perhatian dari orang sekelilingnya, termasuk Lina. Lina sering
menjahili teman-temannya, bahkan setelah mendapat perlawanan dari teman-
temannya, Lina kerap menjadi semakin nakal, dia terkadang meludahi temannya
dan tak segan dia mengambil batu untuk melempar temannya tersebut dan juga
melakukan hal lainnya yang dapat mengakibatkan sebuah kecelakaan fisik
terhadap anak-anak. Mengapa Lina seperti itu ? Lina melakukan hal tersebut
bukan tanpa alasan, dia sering diolok-olok yang berujung saling membully untuk
menghentikan bullyan temannya tersebut Lina biasanya berucap kasar sambil
melakukan hal-hal untuk mengancam agar temannya diam. Namun apa yang
dilakukan tidak sepenuhnya bias menghentikan temannya namun malah
menjadikan temannya menjauh dan pergi.
Dalam rutinitas bermain Lina, dia hanya ada waktu sekitar 15 menit saja
menjadi anak yang akrab dengan teman-temannya selebihnya Lina akan menjadi
bahan olokan karena fisiknya dan ucapannya. Kasar ?menurut penulis apa yang
dilakukan Lina tidak dapat dianggap kasar, sebab itu merupakan hal manusiawi
yang dilakukan untuk membela diri akan tetapi cara dilakukan salah, bukan salah
Lina namun lingkungan yang membawanya kearah yang salah. Lina sering
berbuat seperti layaknya anak laki-laki.
“ Hee cok menengo nyocot ae” ( “ Hee cok diam, ngomong saja “ )
“Taekmu, ndasmu tak gorok” (“ Taik kamu, kepalamu tak penggal “)
“ Hahaha…. Gilani raimu dewe koyok wedhos” ( “ Hahaa.. menjijikan mukamu kayak
kambing “)
“ Tak antem awakmu “ (“ ku lempar kamu “)
56
Kata-kata diatas merupakan kata-kata yang sering diucapkan Lina saat
melakukan perlawanan terhadap teman-temannya.Terkadang temannya menjauhi
Lina saat Lina sudah benar-benar marah karena yang dilakukan Lina kadang
sangat mengkhawatirkan.
Mengetahui hal seperti itu bagaimana dengan orang tua Lina ? Mereka
menggap itu seperti hal lelucon yang dilakukan oleh anak-anak, ibu Lina berkata :
“ jenenge arek cilik, dulinan tukaran iku yowes biasa malah lek kakean diseneni
mbarai arek iku tambah njarak “
( Namanya anak kecil, bermain lalu berkelahi itu ya sudah biasa malah kalau
kebanyakan dimarahi menjadikan anak itu makin menjadi )
Surabaya, 4 Juni 2015 : 16.23 Wib
Bukan berarti orang tua sepenuhnya tidak memperhatikan Lina, mereka
memperhatikan Lina namun memperhatikan yang dimaksut adalah hal lain yaitu
seperti tetap memberikan uang jajan, dan juga membelikan Lina baju. Bukan
memperhatikan pada bagaimana sikap anaknya tersebut di lingkungan tempat
bermainnya.
3.4 Peran Suro dan Boyo dalam Dunia Bahasa Suroboyo.
Tidak hanya pada fenomena nyata saja kata jancuk menjadi populer, tetapi
juga di media kata jancuk seolah menjadi trend yang sangat kental di kota
Surabaya. Tahukah mengenai sebuah film animasi pendek yang didalamnya
terdapat dua tokoh utama yaitu suro dan boyo. Tokoh yang digambarkan tersebut
adalah seekor hewan buaya dan ikan hiu, buaya ( Boyo ) dan ikan hiu ( Suro ).
Kedua tokoh tersebut sangat menarik untuk ditonton pola tingkahnya karena
kelucuannya, akan tetapi jika film animasi pendek tersebut diputar kemungkinan
besar bagi penonton awam akan terperangah melihat bahasa yang digunakan.
57
Bahasa yang digunakan dalam film animasi tersebut adalah bahasa jawa dengan
pisuannya yaitu Jancuk . hal tersebut menandakan bahwa bahasa makian
Surabaya memang sudah melegenda dan bahkan menjadi bahasa khas kota
tersebut.
Dalam cerita episode “ Belajar gaya bahasa Suroboyo” pada episode cerita
tersebut menunjukan bahwa seolah bahasa jancuk memang menunjukan identias
kota Surabaya. Dengan cerita mengambil pertemuan dua sahabat didalam
percakapan mereka dihitung seberapa banyak mereka mengucapkan kata jancuk
pada setiap obrolan mereka ditelepon.Hal tersebut menunjukan bahwa kata jancuk
suroboyoan sudah bisa diterima dikalangan masyarakat.
Gambar 3.3 Cuplikan adegan film animasi Suro dan Boyo
Dalam film diatas mengartikan bahwa kata makian jancuk saat ini sangat
popular, bahkan film tersebut tersebar luas di youtube. Hal tersebut menunjukan
bahwa film dengan menggunakan bahasa makian khas kota Surabaya dapat
58
dinikmati oleh siapa saja. Kepopuleran bahasa makian kota Surabaya tersebut
tidak hanya ada di Surabaya saja namun kini kota-kota lain juga asyik
menggunakan kata makian jancuk meskipun tetap pada logat pengucapannya
berbeda dengan orang asli Surabaya.
Akan tetapi kepopuleran kata jancuk tersebut tidak selalu menguntungkan
sebab pada dasarnya kata tersebut tergolong kata yang tidak baik untuk digunakan
pada saat berkomunikasi.Dulu film suro dan boyo sering diputar untuk ditonton
oleh masyarakat, karena dalam kemasan film yang lucu dan berbentuk animasi
sehingga mendorong anak-anak untuk tertarik menotonnya. Bahkan anak-anak
terkadang melihatnya dengan tertawa dan sesakali menirukan apa yang diucapkan
oleh kedua tokoh kartun tersebut.
3.5 Pengaruh bahasa makian dalam komunikasi anak
Bahasa memang menjadi hal yang sangat rawan dan dapat memicu
berbagai hal jika tidak digunakan dengan baik dan sesuai dengan kaidahnya.Kata
jancuk yang sangat ini menjadi kata makian yang popular mulai masuk dan
dibawa oleh anak-anak dibawah umur, hal tersebut memang nyata pada
kenyatannya.Anak-anak saat ini dengan mudah menggunakan kata tersebut
sebagai komunikasi keseharian mereka.Kata jancuk sangat cepat dapat masuk
dalam lingkungan dunia anak-anak sehingga membawa pengaruh buruk pada si
anak itu sendiri. Dari mana kata tersebut dapat masuk sehingga anak-anak
mengenal kata itu ? Tentu saja lingkungan serta pengamatan anak itu sendiri
terhadap orang disekitarnya. Anak-anak yang pada usia saat ini memang banyak
59
yang memahami kata tersebut hanya sekedar kata biasa tanpa mereka mengerti
tentang makna atau arti sebenarnya yang terkandung didalamnya.
“ iyo, iyo aku wero”
“ heh menengo sek talah, aku wero mbak, aku dikandani bapakku lek iku
omongan elek, aku yo gaole niru jarene ayah mbek mama, mulakno aku lek nak
omah dijiwit lek nakal ngomong ngono, dadie aku yo wedi “
“ lek aku biasa ae akeh seng ngmong ngono tapi biasa ae, alay kon iku”
Dialog diatas merupakan obrolan yang dilakukan oleh lina dan zahrah.
Perilaku yang ditunjukan oleh anak dari segi bahasa atau tutur kata dan sikap
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap bentuk sosialisasi mereka didalam
masyarakat.Akan tetapi dengan perilaku anak yang menyimpang tersebut banyak
orang tua yang memilih membiarkan saja dan seolah tidak mau tau dengan sikap
anaknya tersebut. Sehingga tidak hanya lingkungan sekitar saja akan tetapi
pengaruh dalam pembimbingan anak di keluarga sangat dibutuhkan dan berperan.
Sehingga orang tua memiliki peran penting pada pendidikan serta
pengasuhan anak, pengawasan orang tua terhadap perilaku anak sangat
diperlukan.Dalam kasus yang terjadi pada Lina sangat disayangkan.Orang tua
Lina yang bekerja sebagai buruh bangunan dan penjaga warung menjadikan
mereka kurang mengawasi perkembangan Lina, sehingga yang terjadi adalah
perilaku menyimpang seorang anak. Orang tua Lina dalam keseharianya memang
terbilang acuh dengan kondisi Lina.Ayahnya yang bekerja sebagai buruh
bangunan biasanya berada diluar kota untuk berhari-hari, dia hanya pulang pada
saat pekerjaannya sudah selesai sehingga peran seorang ayah kurang dia dapatkan,
sedangkan ibunya yang sehari-hari bekerja di warung kopi lebih banyak
60
menghabiskan waktunya untuk berjualan, warung kopi milik orang tua Lina buka
dari pukul 10 pagi sampai 12 malam bahkan bisa lebih dari 12 malam. Sedangkan
saat Lina sepulang sekolah dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
bermain diluar dan sesekali dia pergi ke warung ibunya untuk makan.Kondisi
yang terjadi pola asuh orang tua Lina sangat kurang dalam membimbing serta
memberikan waktu untuk anak. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk bekerja, dalam hal ini faktor ekonomi sebuah keluarga juga membawa
peran dalam pemberian pendidikan anak, ekonomi keluarga Lina yang terbilang
menengah kebawah ikut memberikan faktor pendorong terhadap anak dalam
proses interaksi orang tua dengan anak. Kurangnya komunikasi yang terjalin
antara anak dengan orang tua ikut serta mempengaruhi, sehingga anak yang
mendapatkan hal baru dari lingkungan luar tidak bisa ia tanyakan kepada orang
tuanya sehingga anak dapat mencari jawabannya melalui orang lain. Selain itu
kondisi orang tua yang sibuk dengan pekerjaan dan sedikit meluangkan waktunya
untuk anak – anaknya juga dapat mempengaruhi pola berpikir anak serta
berperilaku, sebab dalam keseharian kegiatan seorang anak kurang adanya sosok
yang dia tirukan didalam keluarganya. Untuk mencari contoh terkadang anak-
anak selalu melihat dilingkungan sekitar mereka.Kondisi yang terjadi saat ini pada
lingkungan rumah lina memang sangat kurang didikan orang tua serta interaksi
orang tua dengan anak juga kurang, oleh karena itu tidak dapat disalahkan jika
seorang anak menjadi tidak terkendali dalam perilaku dan perkataan.Kondisi yang
terjadi kadang banyak yang menyalah artikan perilaku anak yang menyimpang
adalah hasil dari anak yang menirukan lingkungan bermainnya, namun anggapan
61
tersebut dapat ditepis karena adanya faktor kurangan pengawasan yang dilakukan
oleh orang tua. Orang tua tidak hanya berperan sebagai pengayom saja namun
juga sebagai filter atau penyaring segala sesuatu yang didapat oleh anak dari
lingkungan luar. Pola asuh yang dilakukan oleh orang tua Lina dapat dikatakan
kurang mendukung bahkan kurang baik sebab kedua orang tua yang ada tidak
dapat menjalankan dengan baik fungsi orang tua terhadap anak.Kondisi yang
terlihat tersebut dapat lebih parah lagi jika semakin kurangnya pendidikan di
dalam keluarga.
Terkadang orang tua tidak tahu bagaimana kondisi anak pada saat bermain
dengan teman – temannya, bahkan orang tua memilih acuh, dalam hal ini peneliti
menyorot kasus yang terjadi pada Lina.Orang tua yang memilih untuk acuh dan
tidak memperhatikan perkembangan anaknya sangat disayangkan karena pada
realita yang ada saat ini Lina seakan menjadi anak yang dipojokan oleh teman-
temannya pada saat bermain sedangkan orang tua lina seakan tidak mau ambil
pusing dengan kondisi anak.Fenomena yang terlihat pada kasus lina kurang
adanya sebuah kontrol dalam keluarga sehingga seorang anak tidak mendapatkan
pendidikan mengenai nilai kesopanan dalam bertutur kata.
Menurut orang tua Lina mereka memang hampir tidak pernah berkomunikasi
dengan anaknya dikarena kesibukan, sebab baginya kehidupan kondisi ekonomi mereka
yang kurang menjadikan mereka tidak memiliki waktu yang banyak hanya untuk sekedar
melihat perkembangan anak mereka. Akan tetapimereka mengakui bahwa tidak menyukai
jika lina sering berkata kasar dan dengan mudah mengucapkan kata makian, namun
menurut penuturan ibu Lina dia tidak mengetahui bahwa anaknya gemar berkata kotor
ketika sedangan bermain dengan teman-teman sebayanya. Ketika orang tua mengetahui
62
hal tersebut terjadi padaanaknya mereka lebih sering mengatakan mengenai
ketidaktahuan kalau pada saat anak bermain selalu mengatakan kata kotor dengan
temannya. Dari penjelasan yang didapat dari orang tua maka disini orang tua tidak ingin
dipersalahkan dalam pola asuh terhadap anak.
Tanpa disadari oleh orang tua Lina bahwa kini kondisi lingkungan anaknya dapat
dikatakan salah sebab Lina tidak mendapatkan ruang untuk sekedar bertanya dengan
orang tuannya. Terkadang orang tua Lina juga tidak menyadari bahwa pengaruh kata
jancuk yang sering dikatakan oleh anaknya tersebut membawa dampak yang tidak baik
dalam sebuah komunikasi anak dilingkungan bermainnya. Mereka tidak sadar bahwa kata
jancuk tersebut banyak memberikan dampak negatif, dan juga penurunan moral anak
dikalangan masyarakat bebas. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa pendapat masyarakat
luas akan mengarah pada pemikiran negatif terhadap anak tersebut, sehingga orang atau
anak lain yang ketika itu mendengarkan ucapan anak maka tidak dapat disalahkan jika
dalam pergaulannya dikucilkan atau dihindari karena dapat membawa pengaruh tidak
baik.
Saat ditanya mengenai seberapa banyak dalam sehari Lina mengucapkan kata
jancuk, Lina enggan menjawab. Pada pertemuan pertama peneliti dengan anak yang
bernama Lina memang terbilang memiliki jarak dan Lina pun terlihat enggan mendekat,
akan tetapi ketika banyak teman-temannya yang ikut mendekat dia mulai mendekat dan
memang dia hanya perlu sebentar untuk berani bertegur sapa. Dia tidak banyak berbicara
namun dia lebih menunjukan ekspresi tingkah lakunya didepan teman-temannya.
Menurut penuturan Zahra salah satu teman Lina, Linamemang anaknya nakal tidak hanya
dilingkungan temapt tinggal saja namun juga disekolah mereka Lina tergolong anak yang
nakal meskipun dia perempuan. Di sekolah Lina sering menjadi bahan olokan karena
kenakalannya, sehingga dia jarang berbicara jika teman-temannya sedang berkumpul, dia
63
hanya melihat dan sesekali berbicara jika dia sedang diolok teman-temannya. Berbeda
dengan Lina pada saat dilingkungan tempat tinggalnya. Lina cenderung menjadi anak
kecil yang berani dan tidak punya rasa takut meskipun ada orang lebih dewasa yang
memarahinya.
Di warung orang tua Lina, dia sering menjadi bahan godaan para remaja
tanggung yang sedang ngopi disana. Terkadang saat Lina ke warung ibunya hanya
sekedar meminta makan ataupun uang Lina sering digoda, pada peristiwa tersebut
digoda yang dimaksut bukan seperti halnya menggoda genit namun lebih ke
bentuk percakapannya. Sudah banyak yang tahu bahwa Lina memang anak yang
berani apapun yang ingin dia katakan dapat keluar begitu saja dari mulutnya.
” aku sering digudo mbek mas hendro lek ngopi nak ibukku, tapi aku yo
biasa ae hendro ae kok gak wedi blas, tapi kadang yo aku meneng ae lek
digudo, aku luweh seneng nak warung soale akeh koncoe.”
Lina berbicara itu saat dia bermain di sekolah taman kanak-kanak dekat
rumahnya. Pada saat berkumpul dengan teman-temanya Lina cenderung lebih
agresif dan menunjukan bahwa dia berani, hal tersebut terlihat ketika Lina
menguasai semua permainan yang dipakai oleh teman-temanya, sikap tersebut
nampak ketika salah seorang temannya bernama adel yang sedang memainkan
permainan kincir angin, dengan cepat Lina berlari dari yang tadinya dia berposisi
di ayunan langsung berlari menuju adel dan kemudian memutarnya kencang
sampai salah satu teman lainnya berbicara untuk menyarankan agar berhenti
jangan diputar lagi. Lina memang menghentika permainan tersebut akan tetapi dia
berkata ”Oo.. cok” kata tersebut keluar sambil dia meludah.
64
Menurut penuturan Lina dia spontan berbicara seperti dan mengapa selalu
dia berkata jancuk pun dia mengatakan bahwa kata tersebut biasa saja baginya
meskipun saat ditanya mengenai arti kata tersebut dia menjawab hanya sekedar
miso ( pisuan ) saja. Untuk sebuah arti yang mendalam Lina hanya tau sekilas
itupun dia hanya tahu dari orang-orang yang berada diwarung ibunya. Dia biasa
mendengar kata jancuk seperti ini ” Jancuk cuk ngencuk ”. Itu adalah kata yang
sering dia dengar pada saat melihat para remaja tanggung yang sedang ngopi di
warung ibunya.
3.6 Pemaknaan Kata Jancuk Pada Kalangan Anak-Anak
Kata jancuk banyak dimaknai sebagai kata yang tidak layak untuk
dikatakan didepan umum sebab dalam pengartiannya kata jancuk memiliki arti
yang dapat dikatakan buruk atau tidak sepantasnya dikatakan saat berbicara
dengan orang lain. Pada lingkungan anak-anak saat ini seakan kata jancuk banyak
dijumpai namun tidak sesering seperti orang dewasa atau remaja yang
mengatakannya. Sebab anak-anak cenderung menirukan apa yang mereka lihat
dan dengar kemudian mereka aplikasikan dalam lingkungan bermain mereka.
Namun pada setiap perkataan saat mengatakan kata makian jancuk ekspresi yang
mereka keluarkan berbeda-beda. Seorang anak cenderung menggunakan kata
jancuk dalam komunikasinya yaitu untuk keinginan ekspresi yang ingin mereka
keluarkan karena rasa ingin mencoba.
Pada saat bermain anak-anak memiliki kelompok-kelompok bermain
sendiri, dalam kelompok-kelompok tersebut mereka cenderung membagi atas
65
dasar gender atau perbedaan kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Berikut
pengambaran dalam pola pengelompokan teman bermain anak-anak :
POLA PENGELOMPOKAN TEMAN BERMAIN ANAK-ANAK
Tabel 3.1 Pengelompokan bermain anak sesuai usia
Sumber: Olahan Penulis
Bagan diatas menjelaskan mengenai pola pembagian teman bermain anak-
anak berdasarkan usia, sebab anak-anak cenderung memilih teman bermain sesuai
usia mereka atau dalam hal tersebut dapat diukur dengan tingkatan sekolah
mereka. Pada saat bermain antara anak-anak laki-laki dengan anak perempuan
memiliki perbedaan yang cukup jauh, dimana anak laki-laki saat bermain mereka
cenderung membiarkan sifat mereka untuk ikut serta berbaur dengan apa adanya.
Pada saat bermain anak-anak lebih bisa mengekspresikan apa yang mereka miliki
dalam dirinya dan yang ingin mereka ketahui. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam sebuah kelompok bermain anak akan timbul atau hadirnya salah
satu anak yang menjadi dominan dalam kelompok tersebut. Sebab kebanyakan
anak-anak laki-laki memiliki sifat pemimpin yang terkadang didalamnya akan
hadir rasa untuk memimpin dan menguasai lingkungan mereka. Berbeda halnya
dengan anak perempuan yang saat bermain lebih menggunakan media atau bahan
Anak Laki - Laki
Anak laki-laki usia 6-8 tahun
Anak laki-laki usia 9-12 tahun
Anak Perempuan
Anak perempuan usia 6-8 tahun
Anak perempuan usia 9-12 tahun
66
cerita seperti : boneka, maupun menjadikan salah satu teman mereka sebagai
objek pembicaraan, tidak heran pada hal ini jika akan keluar sifat atau naluri
biologis yang memang sudah banyak terjadi dimana seorang anak perempuan
lebih cenderung gemar berbicara dan bercerita. Pada saat bercerita pun mereka
pun banyak menirukan drama-drama yang ada ditelevisi, oleh sebab itu anak-anak
terkadang lebih mahir dan mudah menyerap apa yang mereka lihat dan dengar.
Sehingga anak-anak cenderung dapat memperoleh suatu bahasa
komunikasi mereka dari apa yang mereka dengar dari obyek lainnya. Makna suatu
bahasa yang diucapkan oleh anak-anak dapat diperoleh dari keterangan yang
mereka ucapkan dan bentuk bunyi yang mereka keluarkan saat mengatakan kata
tersebut. Seperti halnya pada kata jancuk, anak-anak cenderung mengetakan kata
tersebut dari apa yang mereka dengar dari orang lain kemudian rasa keingintahuan
mereka yang besar maka akan memunculkan rasa penasaran dan mencoba
mengatakan kata jancuk. Pada kenyataanya anak-anak cenderung mengartikan
kata jancuk tersebut sebagai kata makian biasa seperti : taik, jangkrik dan lainnya,
berikut kata makian yang kerap dikatakan oleh anak-anak saat bermain :
Data kata makian yang sering diucapkan oleh anak-anak
Usia / L&P Kata Pengucapan
Sebenarnya
Pengucapan
Fakta
L : 6–8 Tahun - Jancuk
- Jankrik
- Taik
/ Jancuk /
/ Jangkrik /
/ Taik /
/ Jancok, cok /
/ Jangkrek, krek
/
/ Taek /
67
L:9–12 Tahun - Jancuk
- Jangkrik
- Asu
- Jamput
/ Jancuk /
/ Jangkrik /
/ Asu /
/ Jamput /
/ Jancok /
/ Jangkrek /
/ Assu /
/ Jampot /
P :6–8 Tahun - Jancuk
- Taik
/ Jancuk /
/ Taik /
/ Jancok /
/ Taek /
P:9–12 Tahun - Jancuk
- Taik
/ Jancuk /
/ Taik /
/ Jancok /
/ Taek /
Tabel 3.1 Data Kata Makian
Keterangan :
L = Laki – Laki
P = Perempuan
Data diatas menjelaskan mengenai kata makian yang kerap digunakan oleh
anak-anak saat ini, dan sesuai dengan data diatas kata makian yang digunakan
diambil dari lingkungan bermain mereka, kelompok – kelompok bermain mereka
yang digolongkan dari ukuran usia, kemudian menghasilkan data diatas yang
menunjukan bahwa anak-anak kerap mengatakan hal tersebut sedang bermain
biasa, sehingga makna yang dihasilkan oleh adanya pengucapak kata makian
jancuk tersebut seolah menjadi kata biasa atau kata tambahan dalam
berkomunikasi, lain lagi jika kata makian tersebut diucapkan pada situasi yang
berbeda, semisal munculnya rasa kebencian anak-anak terhadap teman
sepermainannya kemudian rasa marah dan sebagainya, maka kata tersebut
68
memiliki makna yang berbeda. Saat bermain pun anak-anak memiliki lingkungan
sendiri dan bentuk bahasa komunikasi yang berbeda, saat bermain dengan teman
sesama laki – laki maka kata makian tersebut cenderung lebih banyak memiliki
peran dalam penyambung komunikasi mereka. Faktanya anak – anak saat ini
seakan terbiasa dalam mengucapkan kata tersebut. Hal tersebut terjadi karena
adanya keterbiasaan dengan kondisi dan situasi serta lingkungan seorang anak
saat bermain. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang bermain dengan
sesama jenisnya maka yang dihasilkan adalah bentuk komunikasi ringan yang
katakan seperti halnya anak perempuan yang gemar bermain dengan mengolah
kata untuk membuat sebuah drama. Namun disisi lainnya saat dilihat saat anak
perempuan bermain dengan anak laki – laki maka betuk komunikasi yang mereka
hasilkan berbeda lagi. Mereka cenderung mengikuti situasi yang dibuat oleh anak
laki – laki , anak perempuan cenderung akan mengucapakan kata makian jika
mereka saling meledek dan bercanda terkadang juga terdapat situasi yang benar-
benar menunjukan rasa ketidaknyamanan saat bermain dilingkungan anak
perempuan. Oleh sebab itu makna kata jancuk dapat berubah – ubah sesuai
dengan kondisi dan situasi yang dibuat oleh pelaku dan juga bentuk mengucapan
mereka yang dipengaruhi oleh adanya rasa suasana hati anak-anak. Akan tetapi
dalam pengartiannya kata jancuk tetap memiliki arti yang sama namun makna
yang berbeda.
69
Top Related