BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebab lazim nyeri abdomen akut dapat diabagi ke dalam tiga
kelompok patologi utama : (1) lesi peradangan, (2) lesi obstruktif, dan (3)
kelainan vascular. Appendisitis akut merupakan kasus lesi peradangan
intra abdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan
pada negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait
dengan diet yang kurang serat pada masyarakat modern (perkotaan) bila
dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup banyak mengkonsumsi
serat. Appendisitis dapat menyerang orang dalam berbagai umur,
umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 30 tahun, khususnya
antara 8 sampai 14 tahun, sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun.
Dalam bentuk tanda dan gejala fisik, appendisitis merupakan suatu jenis
penyakit yang berlanjut dengan peradangan, obstruksi, dan iskemi dalam
jangka waktu yang bervariasi. Gejala pasien mencerminkan proses
penyakit dalam perjalanan waktu penyakit.
Sampai saat ini, diagnosis pasti untuk appendisitis masih
susah ditegakkan karena gejalnya yang sangat umum sehingga diagnosis
bandingnya menjadi sangat luas. Sejak tahun 1960, angka kematian pada
penderita appendisitis yang dilakukan appendiktomi telah menurun tajam.
Hal ini disebabkan oleh diagnosa yang tepat secara dini, persiapan pre-
operasi dan anestesi yang lebih baik.
Periappendikular infiltrat merupakan komplikasi dari
appendisitis akut, sebagai usaha pertahanan tubuh yang terjadi bila
appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses. Jika tidak terbentuk abses, appendisitis akan
sembuh dan periappendikular infiltrat akan mengecil secara lambat.
Angka mortalitas sekitar 5% dalam kasus komplikasi periappendikular
infiltrat. Periappendikular Infiltrate merupakan tahap patologi
1
apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikular.
1.2 SEJARAH
Terdapat bukti pada beberapa literatur sekitar tahun 1500,
dikenalisuatu penyakit yang secara klinis diasosiasikan dengan peradangan
akut di daerah sekal, yang disebut “perityphlitis”. Operasi appendiktomi
yang pertama kali berhasil dilaporkan pada tahun 1736, yang dilakukan
oleh Claudius Amyant pada saat operasi hernia inguinal. Kemudian
Reginal.H dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa appendiks
secara histopatologi dari hasil operasi. Sejarah modern appendisitis
dimulai dari tulisan klasik Charles McBurney (Profesor bedah Universitas
Columbia) pada tahun 1889, yang dipublikasikan dalam jurnal New York
Surgical Society pada13 November 1889. McBurney menunjukkan bahwa
pentingnya dari tindakan operasi dini pada appendisitis akut yang mana
McBurney mendeskripsikan inflamasi akut di kuadran kanan bawah
biasanya disebabkan oleh appendisitis. McBurney menemukan titik tekan
maksimal pada abdomen akut, yaitu dengan meletakkan satu jari pada
sepertiga dari jarak antara Spina Iliaca Anterior Superior dengan
Umbilikus, titik ini kemudian dikenal dengan titik McBurney.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Angka mortalitas yang tinggi dari appendisitis akut mengalami
penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus
appendisitis akut pada periode 1933 -1937 dengan 1943 -1948. Angka
mortalitas pasien appendisitis akut dengan peritonitis lokal menurun dari
5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien appendisitis akut dengan
peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1977,
mortalitas pasien dengan appendisitis akut tanpa perforasi 0,1 % - 0,6%
2
dan dengan perforasi 5%. Di Amerika terdapat penurunan jumlah kasus
dari 100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1975
– 1991.
Appendisitis merupakan penyebab laparotomi tersering pada anak
dan dewasa. Angka kejadian pada bayi dan anak sampai usia 2 tahun
adalah < 1% - 1%. Anak usia 2 – 3 tahun terdapat 15% dan frekuensi
mulai meningkat pada usia diatas 5 tahun dan mencapai puncaknya pada
kisaran usia 9 – 11 tahun.
Angka kejadian appendisitis pada orang dewasa tertinggi pada
kelompok usia 20 – 30 tahun, setelah itu menurun. Angka kejadian pada
pria dan wanita umumnya sebanding, kecuali pada usia 20 – 30 tahun,
angka kejadian pada pria lebih tinggi.
1.4 MAKSUD DAN TUJUAN
Sebagai pembelajaran bagi dokter muda agar lebih mengetahui
dengan baik tentang Periappendikular Infiltrate sehingga nantinya dapat
mendiagnosa secara dini kasus-kasus PAI (Periappendikular Infiltrate)
beserta komplikasinya berdasarkan anamnesa, gejala klinik, pemeriksaan
fisik dan penunjang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 APPENDIKS VERMIFORMIS
2.1.I EMBRIOLOGI
Appendiks disebut juga sebagai umbai cacing. Istilah usus bantu
yang di kenal masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu
3
yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini
sering menimbulkan maslah kesehatan. Peradangan akut pada appendiks
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.
Appendiks pertama kali tampak selama minggu ke-8 kehamilan
sebagai kelanjutan ujung inferior caecum, yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Appendiks mengalami rotasi ke posisi akhirnya pada
bagian posteromedial dari caecum, sekitar 2 cm di bawah valvula bauhini
pada akhir masa kanak-kanak. Variasi yang terjadi pada rotasi ini
menyebabkan berbagai macam kemungkinan posisi akhir dari appendiks.
Pada 65% kasus appendiks terletak intraperitoneal, Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada 30% kasus ujung dari
appendiks berada di dalam pelvis, pada 65% kasus berada di belakang
caecum, dan pada 5% kasus berada ekstraperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolon asendens, Pada kasus malrotasi atau situs
inversus, appendiks yang malposisi dapat menyebabkan tanda-tanda
inflamasi pada lokasi yang tidak biasa.(4) Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks. (2)
Jenis posisi :(6)
Promontorik Ujung appendiks menunjuk ke
arah promontoriun sacri
Retrocolic
appendiks berada di belakang
kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
Antecaecal appendiks berada di depan
caecum.
Paracaecal appendiks terletak horizontal
di belakang caecum.
Pelvic descenden appendiks menggantung ke
4
arah pelvis minor
Retrocaecal intraperitoneal atau
retroperitoneal; appendiks
berputar ke atas ke belakang
caecum. (6)
Perkembangan caecum yang terganggu menyebabkan hipoplasi
atau agenesis appendiks. Duplikasi appendiks dilaporkan terjadi pada 4
dari 100.000 kasus. Duplikasi appendiks mungkin sebagian (bifid
appendiks) atau total dan kedua appendiks tersebut mungkin memiliki
orifisium yang sama atau terpisah, dengan caecum yang mungkin juga
mengalami duplikasi.(4)
2.1.II ANATOMI
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10 cm (kisaran 3-15 cm). Letak basis appendiks berada pada
posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm
dibawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior yang
digunakan sebagai penanda untuk mencari basis appendiks. Basis
5
appendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding
abdomen terletak di kuadran kanan bawah yang disebut titik McBurney.
Kira-kira 5% penderita mempunyai appendiks yang melingkar ke belakang
sekum dan naik (kearah kranial) pada posisi retropritoneal dibelakang
kolon ascenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi normal mungkin
appendiks bisa terletak dimana saja di dalam kavum abdomen.
Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm.(1) Diameter appendiks
berkisar atara 5 – 10 mm.(4) Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal.(1)
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer
patch (analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk
immunoglobulin.(2) Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk
seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction
terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks
terdapat valvula appendicularis (Gerlachi).
6
Graphic illustration of appendiceal position. (Adapted from Decker GAG, Du
Plessis DJ. Lee McGregor's Synopsis of Surgical Anatomy 12th ed). Bristol:
Wright, 1986; with permission.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal
appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara
umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(3) Pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia itu.(2)
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks
(mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada
daerah ileum Terminale. Mesenteriolum berisi a.Apendikularis (cabang
a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. (5,8)
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
7
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan
appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan
elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara
Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu
lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner
circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh
pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks.
Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks. (5)
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral
pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus. (2)
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis, cabang
dari a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren. (2)
2.1.III HISTOLOGI
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama
8
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular
submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah
dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang
terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi
satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka
appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.
Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.
Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum
viscerale.(7)
2.1.IV FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis appendisitis. (2)
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan
bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. (2)
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60
tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi
lumen apendiks komplit. (6)
9
2.2 APPENDISITIS
2.2.I DEFINISI
Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (2)
2.2.II ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis, yaitu
sekitar 20% pada anak dengan apendisitis akut dan 30-40% pada anak
dengan perforasi appendiks. Fekalit merupakan penyebab tersering dari
obstruksi apendiks. Adanya fekalit dapat ditemukan secara radiologis.
Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium
dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk
ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat
mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat
menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. (6,9)
Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Hiperplasia folikel limfoid sering
menyebabkan obstruksi lumen, dan angka kejadian apendisitis pararel
10
dengan jumlah jaringan limfoid yang ada. Penyebab dari reaksi jaringan
limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mucus. Tumor karsinoid juga dapat
mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di
sepertiga proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asing seperti pin,
biji sayuran, dan batu cherry dihubungkan dalam terjadinya apendisitis.
Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya
apendisitis
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu.(7)
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli
Viridans streptococci
Pseudomonas aeruginosa
Enterococcus
Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros
Bilophila species
Lactobacillus species
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah
terjadinya apendisits akut.(2)
2.2.III PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
11
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.(10)
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas
lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.(6)
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak.(4) Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe,
terjadi ulserasi mukosa, oedem yang lebih hebat. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena
terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.(10,11) Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang
mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi
invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan
leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik, bakteri dan sel darah putih.(4) Gangren dan perforasi khas
dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda
setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. (10,11)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat.(10) Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
12
khususnya di titik Mc Burney's. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran
kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks
retrocaecal atau pelvic, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya
rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat
muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau
vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine.(4) Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.(10)
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.(10) Perforasi appendiks akan menyebabkan
terjadinya abses lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada
kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
dan menampung isi dari appendiks yang pecah. Tanda perforasi appendiks
mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik.
Apendisitis yang mengalami perforasi dan yang belum mengalami
perforasi dapat merupakan suatu kesatuan yang berbeda. Resolusi spontan
dari appendisitis dapat terjadi. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa terjadinya
perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan
peningkatan risiko perforasi. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus
sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka
waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abses pelvis.(4)
Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya
13
massa pada pemeriksaan fisik.(5)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa
local yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Apabila proses diatas berjalan cepat
dapat menyebabkan terjadinya perforasi.(10)
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum,
usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.
Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Apabila abses ruptur, dapat terjadi fistula antara
apendiks dan buli-buli, usus halus, kolon sigmoid atau caecum. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (2)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah. (10)
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar
istirahat (bedrest). (5)
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
14
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.(2)
2.2.IV EPIDEMIOLOGI
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya. Risiko seseorang menderita appendisitis selama
hidupnya adalah 9% pada laki-laki dan 7% pada perempuan. Sekitar
sepertiga pasien berusia kurang dari 18 tahun, terutama terjadi pada anak
usia 6-10 tahun.(4) Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasian
lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.(1)
Insidensi Apendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.(6)
Meskipun apendisitis jarang terjadi pada bayi, kelompok usia ini
memiliki komplikasi yang tinggi dikarenakan oleh diagnosis yang
tertunda.(4)
2.2.V GEJALA KLINIS
Apendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkn abses setelah 2-3 hari.(5) Meskipun demikian, gambaran
klinis yang bervariasi dapat menyebabkan dilakukannya laparotomi yang
pada akhirnya tidak ditemukan adanya apendisitis. Pengalaman dan
kemajuan metode pencitraan telah meningkatkan akurasi diagnosa.
15
(4)Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain:
Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan
sebagai nyeri di daerah periumbilical. Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium
atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap
di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.(2)
Mual muntah
Biasanya pada fase awal. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.
Muntah biasanya tidak berat. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum
nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Nafsu makan menurun.
Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Demam
Terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering
diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.(2)
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik
Apenditis mukosa nyeri tekan kanan bawah
16
(rangsanganan automik)
Radang di seluruh ketebalan dinding nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah
Apendisitis komplet radang
Peritoneum parietale appendiks
Rangsangan peritoneum lokal
(somatik) nyeri pada gerak aktif dan
pasif, defans muskuler lokal
Radang alat/jaringan yang
Menempel pada appendiks
demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis
Perforasi demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis
Pendindingan (Infiltrat)
Tidak berhasil
Berhasil
Abses
demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Demam remiten, keadaan umum
toksik, keluhan dan tanda setempat
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi. (2)
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan
trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan
lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (2)
Pada awalnya pasien mengeluhkan gejala saluran pencernaan yang
ringan sebelum terjadinya nyeri perut seperti berkurangnya nafsu makan,
ketidaksanggupan mencerna, atau perubahan pada frekuensi buang air
besar, Anoreksia adalah gejala yang penting, terutama pada anak-anak,
17
karena anak yang lapar jarang memiliki appendisitis. Adanya gejala
saluran pencernaan yang berat yang mendahului nyeri perut
mengindikasikan diagnosis yang lain. (4)
Semakin muda usia anak, semakin tinggi terjadi apendisitis yang
berkomplikasi karena ketidakmampuan memberikan anamnesa yang
akurat. Gejala paling sering pada anak-anak prasekolah adalah muntah
yang diikuti dengan demam dan nyeri perut, perforasi hampir selalu
ditemukan pada laparotomi dan pasien mungkin menunjukkan gejala
obstruksi usus kecil akibat sekunder dari inflamasi ileum terminal dan
caecum yang ekstensif.(4)
Tanda fisik yang biasa didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien
periappendikular infiltrate adalah nyeri tekan lokal (local tenderness),
nyeri tekan lepas (rebound tenderness), defans muscular, hiperestesia
kutaneus, nyeri tekan daerah pelvis pada pemeriksaan colok dubur, tanda
psoas, tanda obturator, serta terabanya massa pada kuadran kanan bawah
(regio iliaca dextra). Periappendicular infiltrate dapat menyebabkan suhu
tubuh penderita meningkat hingga mencapai 39 C. Defans muskular
menunjukkan adanya rangsangan pada peritoneum parietal.
2.2.VI PEMERIKSAAN FISIK
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C.
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi
perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat
pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat
dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.(2)
Palpasi
Setelah memperoleh riwayat klinis, tanya anak tersebut untuk
18
menunjuk dengan satu jari lokasi dari nyeri perut. Hiperestesia
kutan yang berasal dari akar saraf T10 dan L1 sering merupakan
tanda awal appendisitis, meskipun tidak konsisten. Menyentuh
pasien secara ringan menyebabkan rasa tidak nyaman. (4)
Apabila perforasi terjadi, peritonitis terjadi. Pola dari nyeri
tergantung dari lokasi appendiks. Titik McBurney adalah lokasi nyeri
paling sering. Perforasi dapat juga menyebabkan meredanya rasa nyeri dan
distensi viskus untuk beberapa waktu. (4)
Tanda-tanda dari apendisitis yaitu : (30,31)
Nyeri tekan di Mc. Burney.
Nyeri lepas (rebound tenderness)
Peritonitis dicerminkan oleh Defans muskuler lokal. Defans
muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal.
Obturator sign
Rovsing's sign. Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri. Dengan
lutut dibengkokkan untuk relakssasi otot abdomen, lakukan
palpasi secara gentle pada area LLQ abdomen menghasilkan
sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum (Rovsing's sign). Sering positif tapi tidak spesifik.
Blumberg's sign. Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba.
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas
dalam, berjalan, batuk (Dunphy's sign), mengedan.
Ten Horn Sign. Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatik kanan.
Kocher (kosher)'s sign. Nyeri pada awalnya pada daerah
epigastrium atau sekitar pusat kemudian berpindah ke kuadran
kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)'s sign. Nyeri yang semakin bertambah
pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada
19
sisi kiri.
Bartomier-Michelson's sign. Nyeri yang semakin bertambah
pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi
kiri dibandingkan dengan posisi telentang.
Aure-Rozanova's sign. Bertambahnya nyeri dengan jari pada
petit triangle kanan. (Akan positif Shchetkin-Bloomberg's sign)
Psoas Sign adalah nyeri pada saat paha kanan
pasiendiekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa
meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan
pada pinggul / pangkal paha kanan.(12) Dasar anatomi dari tes
psoas adalah apendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver
(pemeriksaan).(12)
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat
paha gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. Obturatorius internus di rongga
pelvis. (12) Dasar anatomi dari tes obturator adalah
peradangan apendiks di pelvis yang kontak dengan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.(12)
20
Uji psoas dan obturator mengindikasikan iritasi akibat apendisitis
yang retrosekum.(2) Pada apendiks letak retroperitoneal, defans
muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang pada
pertengahan antara tulang iga ke-12 dan spina iliaka posterior
superior.
Pada appendiks yang mengalami malrotasi dapat terjadi tenderness
yang sesuai dengan lokasi dari penyaluran eksudat dari appendiks yang
mengalami inflamasi.(4)
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan
pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas
sewaktu dilakukan colok dubur.(2) Penggunaan colok dubur dalam
diagnosis appendisitis masih diperdebatkan. Nyeri yang terjadi pada saat
colok dubur tidak spesifik untuk appendisitis. Jika tanda-tanda lain telah
mengarah pada appendisitis, pemeriksaan colok dubur tidak diperlukan.
Akan tetapi, colok dubur mungkin merupakan manuver diagnostik yang
penting ketika dicurigai appendisitis pelvika, abses atau kondisi patologis
pada uterus dan adneksa.(4)
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok
dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
21
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m.psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di
m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Adanya kasus apendisitis yang kronik atau rekuren telah menjadi
perdebatan selama beberapa dekade. Literatur terkini berpendapat bahwa
appendisitis yang kronik mungkin dapat terjadi dan harus dipertimbangkan
dalam diagnosa banding nyeri perut bawah. Inflamasi dari appendiks tidak
selalu berakhir dengan perforasi, resolusi yang spontan dapat terjadi.
Pendeteksian terjadinya resolusi dapat berkontribusi dalam mengurangi
jumlah appendektomi.(4)
Jika appendisitis tidak ditangani, peritonitis difus dan syok akan
terjadi atau infeksi menjadi terisolasi dan abses akan terbentuk. Peritonitis
difus lebih sering terjadi pada bayi karena tidak adanya lemak omentum.
Pada anak yang berusia lebih tua dan remaja lebih mungkin terbentuk
abses. Pada pemeriksaan akan ditemukan masa yang nyeri dan boggy pada
daerah diatas abses. (4)
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.(2) Auskultasi abdomen tidak memiliki banyak nilai guna, akan
tetapi auskultasi thorax berguna, sebab pneumonia lobus kanan
bawah dapat menyerupai appendisitis.
Perkusi
Apabila terjadi perforasi, terdapat udara bebas pada rongga perut,
maka pada perkusi, daerah pekak hepar akan hilang.
Skor Alvarado
Pada mayoritas anak yang dicurigai appendisitis, kombinasi dari
riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium seharusnya
memberikan data yang cukup untukmembuat diagnosis. Akan tetapi
kesalahan diagnosis yang menyebabkan dilakukannya appendektomi tanpa
hasil berkisar antara 10% sampai 30% kasus. (4)
22
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan
hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya
komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah
pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif
sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan
cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya
adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem
skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang
invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun
1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda
dan dua temuan laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk
menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini
menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan
atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas
tekan, temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%.
Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan
keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan
faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6.
Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis:
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
23
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan
0-4 : Kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : Bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : Kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : Hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor
>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. (12)
Sensitivitas dari sistem skoring alvarado berkisar antara 76%
sampai 100% dengan spesifitas antara 79% sampai 87%. (4)
2.2.VII PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari
90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada
24
penderita appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3.
Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan
jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis.
Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan
appendicitis.
Sensitivitas dari leukositosis berkisar antara 52% sampai
96%, sedangkan sensitivitas dari shift to the left berkisar 39%
sampai 96%. Shift to the left memiliki nilai diagnostik yang lebih
baik dibanding lekositosis. Spesifisitas dan sensitivitas yang lebih
baik dilaporkan dengan menggunakan rasio netrofil-limfosit yang
lebih dari 3,5.(4)
Pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein meningkat.
Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat. Nilai positif
C-reaktif protein dan LED berguna, tetapi nilai yang negatif tidak
berarti menyingkirkan diagnosa appendisitis, sehingga pengukuran
C-reaktif protein dan LED memiliki nilai klinis yang terbatas.
Dulholm melaporkan bahwa nilai hitung leukosit, persentase
neutrofil dan C-reaktif protein yang normal dapat menyingkirkan
diagnosa appendisitis dengan akurasi 100%. Akan tetapi nilai yang
abnormal tidak berartik diagnostik untuk appendisitis. (4)
Pemeriksaan Urin
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan apendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Fekalit ditemukan pada 10% sampai 20% pasien dan
merupakan indikasi pembedahan meskipun gejalanya ringan. Pola
25
gas yang abnormal pada kuadran kanan bawah, dan obliterasi dari
psoas shadow atau fat stripe pada daerah kanan juga dapat
membantu diagnosis. X-ray thorax untuk menyingkirkan
pneumonia mungkin diperlukan. (4)
3. USG
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu
pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien
dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari
90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis
appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari
salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga
usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
4. Barium enema
Merupakan suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan
barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya
dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi
yang rendah, dan sebaiknya digunakan untuk diagnosis nyeri
abdomen yang nonspesifik. Pada appendicogram kasus
appendisitis akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, lumen appendiks yang ireguler, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.(4)
5. CT Scan
Dalam dekade terakhir computed tomography (CT)
digunakan secara luas untuk diagnosis appendisitis. (4)CT Scan
26
merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi
abses. Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pada
pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan
curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai
pilihan test diagnostik.
Diagnosis apendisitis dengan CT Scan ditegakkan jika
appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya, penebalan
dinding appendiks (>1 mm), periappendiceal fat stranding, dan
periappendiceal wall enhancement.
Perbandingan antara USG dan CT Scan menunjukkan
bahwa CT scan memiliki sensitivitas yang lebih baik sedangkan
USG memiliki spesifisitas yang lebih baik. Hanya saja CT scan
dan USG sebaiknya digunakan apabila diagnosis masih tidak jelas.
Meskipun beberapa penelitian melaporkan penggunaan X-ray
abdomen, CT scan, dan USG memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan fisik tunggal, pemeriksaan fisik
serian adalah metode diagnostik yang paling aman dan akurat. (4)
6. Laparoskopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic
yang dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan
secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi
umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendiks.
7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah gold standard untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria
27
gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak
ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak
dilakukan operasi. Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis
histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan
ahli bedahnya.
Definisi histopatologi apendisitis akut:
1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di
lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke dalam
lapisan epitel.
4 Sel granulosit diatas lapisan serosa appendiks dengan abses
apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut
tetapi periapendisitis
2.2.VIII Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendisitis dapat bervariasi tergantung
dari usia dan jenis kelamin.
Pada anak-anak balita
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak
berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis meckel jarang terjadi jika dibandingkan
Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan
Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah
periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya
28
inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah
gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip
dengan appendicitis, yakni diare, demam mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses. Pada gastroenteritis, mual - muntah
dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak
berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.(2)
Biasanya gastroenteritis disebabkan oleh virus dan merupakan self
limiting disease. (4)
Infeksi saluran kemih juga menyebabkan demam, mual dan
muntah. Urinalisis harus dilakukan jika terdapat gejala saluran
kemih.
Pada anak-anak usia sekolah
Gastroenteritis, konstipasi, infark omentum, limfadenetis
mesenterika, DHF.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip
dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis.
Konstipasi merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen
pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Pada
konstipasi dapat ditemukan gejala mual, muntah, dan nyeri perut
yang biasanya persisten tetapi tidak progresif.
Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan
gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark
omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak
berpindah.
Limfadenitis mesenterik biasanya didahului oleh enteritis
atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar
terutama disebelah kanan, demam dan disertai dengan perasaan
mual-muntah, tetapi nyeri tidak dapat dilokasikan seperti
apendisitis.(2) Pada pemeriksaan darah lengkap mungkin ditemukan
29
limfositosis.(4)
Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut yang
mirip peritonitis. Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat
trombositopeni, leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.(2)
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda
adalah Crohn's disease, kolitis ulserativa, epididimitis dan batu
ureter atau ginjal.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu
menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien
merasa sakit pada skrotumnya.
Pada batu ureter atau batu ginjal, riwayat kolik dari
pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.(2)
Pada wanita usia muda
Diagnosis apendisitis pada wanita usia muda paling rendah
akurasinya karena banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi
ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing.
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks.
Radang kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut
salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis
penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih
tinggi daripada appendisitis, terdapat discharge yang keluar dari
vagina dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai
dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka
akan terasa nyeri.(2)
Pada kista ovarium yang terpuntir timbul nyeri mendadak
dengan intensitas tinggi dan teraba masa dalam rongga pelvis pada
30
pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok rektal. Tidak terdapat
demam.(2)
Pada kehamilan ektopik ada riwayat terlambat menstruasi
dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau
abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik.
Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di
cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.(2)
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk
didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok
usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran
reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri,
tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika
terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan
sukar dibedakan dengan gejala-gejala apendisitis.(2)
Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya
muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi
ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak
berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih
berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.
2.2.IX Komplikasi
1. Appendicular abscess
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus,
atau usus besar.
31
2. Perforasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2) Perforasi dapat menyebabkan
timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Akibat
lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya abses
pelvik, abses subfrenik atau abses intra peritonal lokal.(5)
3. Peritonitis
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan
kematian.(15)
4. Syok septik
5. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
6. Gangguan peristaltik
7. Ileus
32
BAB 3
PENATALAKSANAAN
Pada penderita dengan periappendikular infiltrat penatalaksanaan
yang pertama dilakukan berdasarkan pada proses radang yang terjadi,
dimana proses radang tersebut masih aktif ato telah mereda. (11)
1. Periappendikular infiltrat dengan proses radang yang masih aktif,
ditandai dengan :
Keadaan umum pasien yang masih terlihat sakit, dan disertai
suhu tubuh yang masih tinggi.
Pemeriksaan fisik lokal pada abdomen kuadran kanan bawah
masih jelas terdapat tanda–tanda peritonitis.
Pemeriksaan laboratorium masih terdapat leukositosis dan pada
hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah
penderita dipersiapkan, karena dikhawatirkan terjadi abses
appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih
tinggi daripada pembedahan pada appensitis sederhana tanpa
perforasi.
2. Periappendikular infiltrat dengan proses radang yang telah mereda,
ditandai dengan :
Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
33
abdomen
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan
suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap
ada tetapi lebih kecil dibanding semula.
Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
3.1 TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Penggunaan antibiotik untuk terapi appendisitis
jelas menguntungkan. Regimen antibiotik terbaik dan durasi
penggunaan antibiotik masih merupakan subjek yang
kontroversial. Kombinasi ampicillin, gentamycin,dan clindamycin /
metronidazol secara intravena merupakan gold standard selama 10
hari merupakan untuk terapi apendisitis yang berkomplikasi.
Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat,
termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Sejak antibiotik generasi baru tersedia, kombinasi lain
seperti Cefotaxime dan Clindamycin, Cefotixin, Clindamycin
dan Amikacyn, Clindamycin dan Astreonam, atau Cefepime dan
Metronidazole, Ticarcilline dan Clavulanate, Piperacillin dan
Tazobactam sama efektifnya.(4)
Akhir-akhir ini ada kecenderungan kearah pengurangan
durasi penggunaan antibiotik. Durasi yang dianjurkan dapat secara
single dose atau sampai mencakup 48 jam. Penelitian terakhir
menganjurkan pemberian antibiotik sesedikitnya selama 48 jam
adalah cukup pada apendisitis dengan komplikasi. Penelitian lain
menganjurkan antibiotik dilanjutkan sampai hari kelima, dengan
menggunakan nilai hitung lekosit dan demam sebagai penanda
34
untuk memperpanjang penggunaan antibiotik.(4)
Pada apendisitis tahap awal, hanya antibiotika preoperatif
yang diperlukan. Pemberian antibiotika preoperative dengan
antibiotika broadspectrum untuk gram negative dan anaerob efektif
untuk menurunkan terjadinya infeksi post operasi. Standar terapi
antibiotik preoperatif yang digunakan adalah cefotixim untuk
pasien dengan suspek apendisitis akut, dan kombinasi ampicillin,
gentamycin dan clindamycin untuk apendisitis yang berkomplikasi. (4)
2. Pemberian cairan infus, dilakukan observasi terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolit yang diperiksa setiap harinya.
3. Observasi pasien dengan melakukan pencatatan denyut nadi dan
suhu.
4. Penderita bed rest dengan posisi Fowler, yaitu posisi terlentang,
kepala ditinggikan 18-20 inchi, kaki diberi bantal, lutu ditekuk.
Pada daerah McBurney dikompres dengan air dingin.
Konservatif dilakukan sampai stadium tenang, yaitu massa
mengecil atau menghilang, tidak nyeri tekan, tidak febris dan
jumlah leukosit normal. Penderita diperbolehkan pulang dan
appendiktomi elektif dapat dilakukan 2-3 bulan kemudian, agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
35
3.2 TERAPI OPERATIF
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah. Kebanyakan ahli bedah anak melakukan apendiktomi dalam 8
jam setelah masuk rumah sakit.(4)
Operasi dapat dilakukan:
Cito : akut, abses & perforasi
Elektif : kronik
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis
sederhana tanpa perforasi. (14)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila
dalam perawatan terjadi abses dengan ataupun tanpa peritonitis umum.(14)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya. (2)
36
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular
infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.
Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala
menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan
appendiktomi. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap
hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila
massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase. (5)
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi gridiron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar
dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk
mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.(5)
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6
minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
Bila LED telah menurun kurang dari 40
Tidak didapatkan leukositosis
Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang
massa sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa
Apakah penderita sudah bed rest total.
37
Pemakaian antibiotik penderita.
Kemungkinan adanya sebab lain.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat
atau tidak ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa
periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.(5)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai
melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan
pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa
apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu,
1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. M. Transversus
3. Fascia Scarpa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
3.3 PROGNOSIS
Kemajuan dalam pra dan pasca operasi, penekanan perawatan
terutama penggantian cairan sebelum operasi telah mengurangi angka
kematian penderita appendisitis. Angka kematian appendisitis dengan
komplikasi (Periappendikular Infiltrat) telah berkurang secara drastis
menjadi 2-5%. (1) Meskipun demikian infeksi pasca bedah masih saja
terjadi sekitar 30%.(5) Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien,
keadekuatan persiapan pra bedah, serta stadium penyakit pada waktu
intervensi bedah. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan
intervensi pembedahan lebih dini.(1)
38
BAB 3
KESIMPULAN
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja
Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya
sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul
muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala
yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendisitis.
39