i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI
NIM 1390561013
PROGRAM STUDI MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
ii
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MISRAN WAHYUDI
NIM 1390561013
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
iii
Lembaran Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 16 APRIL 2015
Mengetahui
Pembimbing I
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum.
NIP. 1946123119760110011
Pembimbing II
Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.
NIP. 195801271985031002
Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan,S.H.,M.Hum.,LLM.
NIP. 1961110119860112001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K).
NIP. 195902151985102001
iii
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Nomor : 863/UN14.4/HK/2015 Tanggal 9 April 2015
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum.
Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH.
Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS.
2. Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH.
3. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH.
iv
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Misran Wahyudi
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia
(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat
Militer III-14 Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah, maka saya bersedia menerima
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010
dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 April 2015
Yang menyatakan
Misran Wahyudi
v
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan lahir batin kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Independensi Oditur Militer Tentara
Nasional Indonesia (TNI) Dalam Menjalankan Fungsinya Di Oditurat Militer
III-14 Denpasar”. Penulisan tesis ini merupakan persyaratan mutlak dalam
memperoleh gelar lengkap Magister Hukum (MH) pada Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Bali.
Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari akan segala keterbatasan yang
dimiliki,namun dengan segala ikhtiar yang sungguh-sungguh dan disertai doa,maka
semua kendala maupun hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh sebab itu dengan
segala kerendahan hati penulis mohon bantuan berupa kritik, saran atau masukan
yang bersifat membangun dari semua pihak guna mendapatkan kesempurnaan
dalam penulisan tesis ini. Semoga dengan penulisan tesis ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, khususnya kepada pemangku
kebijakan yang terkait dalam mewujudkan sistem peradilan militer yang kredibel
dan mandiri.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan
baik tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait.
Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor
Universitas Udayana.
2. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., M.Hum., LLM selaku Kepala
Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum selaku Sekretaris
Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
vi
vii
5. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum selaku pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, sehingga dapat
berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan.
6. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya dalam penulisan tesis ini, sehingga
dapat berjalan dengan lancar.
7. Para Dosen dan Staf Administrasi Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah mendukung kelancaran kegiatan belajar
mengajar.
8. Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI di Jakarta yang telah memberikan
ijin kuliah di Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas
Udayana.
9. Kepala Dinas Pengawas Teknis Oditurat Jendral TNI Jakarta Kolonel Chk
Endro Nurwantoko, SH., MH yang telah memberikan sumbangsih berupa
pemikirannya dan data-data penunjang yang diperlukan.
10. Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar Kolonel Chk Yonavia, SH., MH
beserta staf yang telah memberikan motivasi berupa dukungan moral,
sehingga dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lancar.
11. Letkol Chk Sumantri, SH., Mayor Chk Reman, SH., MH dan Mayor Laut
(KH) I Made Adnyana, SH selaku narasumber dalam penulisan tesis ini.
12. Rekan-rekan Mahasiswa angkatan tahun 2013 Progam Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala bantuannya informasi,
sehingga tesis ini dapat selesai dengan tepat waktu.
13. Ibu Desak Karin, S.Par yang telah memberikan dukungan berupa
pemikirannya dalam menunjang penulisan tesis ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Keluarga besar penulis yang berada di Yogyakarta atas segala doa serta
motivasi yang telah diberikan sampai dengan selesainya tesis ini.
vii
viii
Permohonan maaf yang setinggi-tingginya apabila dalam penulisan tesis ini
terdapat kekurangan, karena sesungguhnya sifat manusia adalah tidak sempurna.
Namun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar segala
kekurangan tersebut tidak mempengaruhi makna dari subtansi yang sesungguhnya.
Akhirnya seraya memohon kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar
diberikan petunjuk, hidayah dan anugerah, sehingga jalan terang selalu menyertai.
Denpasar, 16 April 2015
Penulis
Misran Wahyudi
viii
ix
ABSTRAK
Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu sub
sistem dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Oditur Militer selaku penuntut
umum di lingkungan TNI memiliki fungsi utama adalah melakukan penuntutan
dalam persidangan di Pengadilan Militer berdasarkan alat bukti yang sah dengan
senantiasa memperhatikan norma-norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan
serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat
dan harus memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara. Oditur Militer
dapat menjalankan fungsinya dengan baik, jika memiliki independensi. Bertitik tolak
dengan hal tersebut, adanya kebijakan rencana tuntutan yang dikeluarkan Oditur
Jenderal TNI berpotensi dapat mempengaruhi independensi Oditur Militer selaku
penuntut umum di lingkungan TNI. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian
dengan mengambil tema “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia
(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar”.
Rumusan permasalahan pertama adalah bagaimana independensi Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur Jenderal TNI. Sedangkan
permasalahan kedua adalah upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam
mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan
militer di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat
bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang berkopeten.
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Setelah data
primer dan data sekunder lengkap kemudian dianalisis secara kualitatif
menggunakan teori hukum. Hasil analisis disajikan secara deskriptif analitis dalam
bentuk uraian-uraian sehingga mampu memberi gambaran dan kesimpulan yang
jelas.
Simpulan pembahasan tesis ini sebagai berikut : Pertama adalah Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi
tidak independen dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur
Jenderal TNI menjadikan Oditur Militer karena pada saat membuat surat tuntutan
Oditur Militer menjadi tergantung kepada keputusan atasannya. Kedua upaya-
upaya yang dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia adalah upaya-upaya
bersifat teknis yang terbagi dalam tiga bidang yaitu bidang teknis penuntutan,
bidang pengawasan dan pengendalian, serta bidang pendidikan dan pelatihan,
sedangkan upaya bersifat kelembagaan dengan menempatkan lembaga Oditurat
berada langsung di bawah kendali Panglima TNI baik secara pembinaan organisasi,
prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial.
(kata kunci : Oditur Militer, Independensi, Fungsi)
ix
x
ABSTRACT
Military Attorney is one of components in enforcing the law in the military
court of justice system. Moreover, the Military Attorney is as general prosecutor in
the Indonesian National Armed Forces. Confidently, it has major function in
demanding based on legitimating evidences in Military Court. Based on
aforementioned statement, Military Attorney consider to religious norm, humanity,
and civility. In addition, the dig law and justice are also discovered by concerning
the importance of defense and security system of the country. As well, based on its
duty, the subject of this study is about “The Independent of Military Attorney of the
Indonesian National Armed Forces (TNI) in implementing its function in Military
Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar”. Afterwards, the first problem is wheter
Military Attorney independently achieve its function in Military Prosecuting
Attorneys III-14 Denpasar by conducted the plan demans policy as of Military
General Attorneyof Indonesian National Armed Forces. Whereas, the second
problem iswhether the efforts shoud be accomplished in establishing independent
Military Attorney of Indonesian military court of justice system.
This research was conducted by empirical legal research methods.
Moreover, this study was a descriptive analysis research by using primary data
and secondary data. Primary data were obtained by conducting the interviews of
sample. Further more, purposive sampling or judgmental sampling was applied in
this research. After the primary data and secondary data were completed, a theory
was analyzed by using qualitative method. Then,the result of the analysis was
presented in descriptive analysis in the form of descriptions that were able to
givean overview and appropriate conclusions based on the research problems.
Based on this research, it can be concluded that; first, Military Attorney is
on duty as general procecutor in Military Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar
became less independent. It was occured because the implementation of the plan
demand policy by Military General Attorney. It can be stated that the demand was
only established by upper position. Finally, the judgments are not merely
according conscience. Secondly, Military Attorney attempt to independently in
military court justice system in three aspects such as technical field of prosecution,
field supervision and control, as well as education and training ; while the
institutional effort to put Military Prosecuting Attorney intitutions are directly
under control of the Commander of the Indonesian National Armed Forces of both
organization development, administrative and technical of judicial.
(keywords: Military Attorney, Independence, Functions)
xi
xi
RINGKASAN
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL
INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA
DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
Bab I sebagai awal penulisan tesis ini menguraikan tentang latar belakang
masalah, dengan rumusan masalah yaitu : Bagaimana independensi Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dan upaya-upaya apakah yang harus
dilakukan untuk mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam
sistem peradilan pidana militer di Indonesia. Latar belakang penulisan ini
berangkat dari adanya perbedaan antara das sollen dan das sein terhadap kebijakan
rencana tuntutan oleh Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI) yang diberlakukan di
seluruh Oditurat termasuk di Oditurat Militer III-14 Denpasar sejak tahun 2006,
sehingga penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitik dengan menggunakan sumber data primer yang diperoleh dengan
cara observasi secara langsung dan wawancara (intervew) secara langsung dengan
nara sumber, sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan,
yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis
dalam bentuk uraian-uraian, sehingga akan mendapatkan gambaran dan kesimpulan
yang jelas.
Bab II berisikan tinjauan umum tentang hakekat independensi, Oditur
Militer sebagai penuntut umum TNI, sistem peradilan pidana militer di Indonesia,
sistem penuntutan di lingkungan Kejaksaan dan kebijakan rencana tuntutan.
xii
xii
Bab III membahas mengenai independensi Oditur Militer dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
Adapun pembahasannya adalah Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006,
dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum
yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan
pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada
keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan
besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi
tanggung jawabnya.
Bab IV membahas mengenai upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur
Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu berupa
upaya-upaya bersifat teknis dan upaya bersifat kelembagaan. Upaya-upaya bersifat
teknis yang terbagi dalam tiga bidang yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu
bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan pengawasan, serta bidang
pendidikan dan latihan. Sedangkan upaya bersifat kelembagaan adalah dengan
melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara pembinaan organisasi
Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial berada
langsung di bawah kendali Panglima TNI dan perlunya menempatkan personel TNI
sebagai Perwira Penghubung (LO TNI) di Kejaksaan Agung guna memudahkan
koordinasi di bidang penuntutan.
xiii
xiii
Bab V adalah penutup yang berisikan simpulan dan saran.
Simpulan dalam tesis ini, Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006,
dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum
yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan
pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada
keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan
besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi
tanggung jawabnya. Selanjutnya dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer dilakukan upaya-upaya yang bersifat
teknis maupun secara bersifat kelembagaan. Upaya-upaya yang bersifat teknis
terbagi dalam 3 (tiga) bidang yang harus mendapat perhatian khusus guna
dilakukan perbaikan, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan
pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan, sedangkan upaya yang bersifat
kelembagaan adalah dengan melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara
pembinaan organisasi Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara
teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI.
Saran yang dapat diberikan adalah: Pertama agar Orjen TNI untuk mengkaji
ulang terhadap kebijakan rencana tuntutan yang telah diberlakukan sejak tahun
2006 dan terkait rencana penuntutan menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 yang
terdapat pada Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, sehingga mampu memberi
xiv
xiv
marwah bagi independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan
TNI untuk bersikap profesional, mandiri dan mampu bertanggung jawab penuh
terhadap perkara yang ditangani. Kedua agar Pimpinan TNI memperbaiki
mekanime teknis di bidang penuntutan, pengendalian dan pengawasan serta
pendidikan dan pelatihan bagi Oditur Militer, serta secara kelembagaan agar
melakukan kajian yang utuh guna menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal
TNI berada langsung dibawah Panglima TNI serta perlunya TNI menempatkan
Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung agar memudahkan
koordinasi dalam bidang penuntutan.
xv
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM TESIS ......................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER HUKUM .................... ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ............................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
ABSTRACT ...................................................................................................... x
RINGKASAN ................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR xviii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 12
1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................... 13
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................ 13
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................... 13
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 14
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................ 14
1.5.2. Manfaat Praktis .............................................................. 14
1.6. Orisinalitas Tesis ..................................................................... 14
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir ............................... 15
1.8. Hipotesis .................................................................................. 29
1.9. Metode Penelitian .................................................................... 29
1.9.1. Jenis Penelitian .............................................................. 29
1.9.2. Sifat Penelitian ............................................................... 30
1.9.3. Data dan Sumber Data ................................................... 31
xvi
xvi
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 32
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel ............................................. 33
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 34
1.9.7. Lokasi Penelitian ........................................................... 35
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENSI,
ODITUR MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI,
SISTEM PERADILAN PIDANA MILITER, SISTEM
PENUNTUTAN KEJAKSAAN, DAN KEBIJAKAN
RENCANA TUNTUTAN ................................................................
36
2.1. Hakekat Independensi .............................................................. 36
2.2. Oditur Militer SebagaiPenuntut Umum TNI ........................... 38
2.3. Sistem Peradilan Pidana Militer .............................................. 48
2.4. Sistem Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan ......................... 64
2.5. Kebijakan Rencana Tuntutan ................................................... 72
BAB III INDEPENDENSI ODITUR MILITER DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER
III-14 DENPASAR DENGAN DIBERLAKUKANNYA
KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN .........................................
77
3.1. Maksud dan Tujuan Berlakunya Kebijakan Rencana
Tuntutan ...................................................................................
77
3.2. Independensi Oditur Militer Dalam Melaksanakan Fungsinya
di Oditurat Militer III-14 Denpasar Dengan Diberlakukannya
Kebijakan Rencana Tuntutan ...................................................
80
BAB IV UPAYA-UPAYA DALAM MEWUJUDKAN ODITUR MILITER
YANG MEMILIKI INDEPENDENSI DALAM SISTEM
PERADILAN MILITER DI INDONESIA ......................................
107
4.1. Upaya-Upaya Yang Bersifat Teknis ........................................ 107
4.2. Upaya Yang Bersifat Kelembagaan ........................................ 114
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 137
xvii
xvii
5.1. Simpulan .................................................................................. 137
5.2. Saran ........................................................................................ 139
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
xix
xviii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
TABEL
Tabel 1 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012 ................................. 87
Tabel 2 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013 ................................. 89
GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Berfikir ............................................................................ 29
Gambar 2 Karakteristik Sistem Peradilan Militer ............................................. 60
Gambar 3 Siklus Mekanisme Rencana Tuntutan .............................................. 79
Gambar 4 Bagan Mekanisme Pelaksanaan Rencana Tuntutan ......................... 80
Gambar 5 Struktur Organisasi Babinkum TNI ................................................. 120
Gambar 6 Struktur Organisasi Otjen TNI ......................................................... 121
Gambar 7 Struktur Organisasi Otjen TNI Yang Ideal ...................................... 126
xx
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Pasal 30 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. TNI sebagai alat pertahanan negara
yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas TNI diperjelas
dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia, yaitu menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara.
Prajurit TNI adalah warga negara yang memenuhi persyaratan khusus
yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang
berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. Sesuai Pasal 2
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 setiap prajurit harus memiliki jati diri
sebagai :
a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga
negara Indonesia;
b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
1
2
c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas
demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan
golongan agama;
d. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi
secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang
menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
Setiap prajurit TNI dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dituntut agar bersikap profesional sesuai kewenangan dan job
description masing-masing. Kemudian di sisi lain setiap prajurit TNI wajib
menaati peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat serta menghormati nilai-nilai dasar hak asasi manusia. Paradigma
Baru TNI menekankan penegakkan hukum terhadap prajurit TNI yang
melakukan pelanggaran hukum harus dilaksanakan sesuai ketentuan hukum
yang berlaku. Dalam hal tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindak
pidana, harus diselesaikan menurut mekanisme yang berlaku tanpa
diskriminasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di atas landasan
“setiap orang diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law)”.1
Sesuai asas equality before the law, seorang pelaku suatu tindak pidana harus
dikenakan suatu akibat hukum, yang berupa hukuman pidana tanpa
membedakan baik sipil maupun militer.
Menurut Pompe hukum pidana adalah semua aturan hukum yang
menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan
1 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, h. 82.
3
apa macam pidananya yang bersesuaian.2 Hukum pidana di dalamnya
mengatur perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan
sanksi apa yang diterima oleh si pelaku yang melanggar hukum. Sedangkan
perbuatan melanggar hukum, yaitu bukan hanya suatu perbuatan atau
kelalaian yang melanggar hak orang lain, tetapi juga suatu perbuatan atau
kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang didasarkan atas hukum
(rechtsplicht).3
H.L.A. Hart menyatakan :
“The criminal law is something which we either obey or disobey and what
its rule require is spoken of as a duty”. If we disobey we are said to
„break‟ the law and what we have done is legally „wrong‟, a „breach of
duty‟, or an offence”.4
Terjemahan bebas : Hukum pidana merupakan suatu yang kita patuhi atau
tidak kita patuhi dan apa yang dituntut oleh ketentuan-ketentuannya
dikatakan sebagai kewajiban. Jika kita tidak patuh, kita dikatakan
melanggar hukum dan apa yang kita telah lakukan merupakan suatu yang
secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban atau sebuah kesalahan.
Masih menurut H.L.A. Hart terkait pemidanaan terhadap anggota
militer, ia menyatakan :
2 S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
Babinkum TNI, Jakarta (Selanjutnya disebut S.R. Sianturi I), h.14. 3 Chaidir Ali, 1978, Yuriprudensi tentang Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa
(onrechtmatige overheidaad), Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 16. 4 H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law : Second Edition, Oxford University Press, New
York, h. 27.
4
“A Military example may make the idea of tacit order as clear as it is
possible to make it. A Sergeant who him self regulary obeys his superiors,
orders his men to do certain fatiques and punishes them when they
disobeys”.5
Terjemahan bebas : Satu contoh militer bisa menerangkan ide “perintah
secara diam” ini sejelas yang dimungkinkannya. Seorang Sersan, yang dia
sendiri taat kepada atasannya, memerintahkan orang-orangnya untuk
melakukan tugas tertentu dan menghukum mereka ketika mereka tidak
patuh.
Dasar pemidanaan adalah alasan untuk membenarkan
(rechtsvaardigen) penjatuhan pidana oleh penguasa.6 Sanksi dalam hukum
nasional dapat berupa dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai
penghukuman dan sebagai eksekusi sipil.7 Kedua jenis sanksi ini berupa
sebentuk kejahatan paksa atau berupa pencabutan paksa atas suatu nilai.
Sebagai contoh dalam kasus hukuman mati yang dicabut adalah nyawa
seorang individu, sedangkan dalam dalam kasus hukuman badan berupa
pemenjaraan. Pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan untuk membentuk
suatu keseimbangan agar tumbuh budaya hukum yang dalam masyarakat.
Budaya hukum merupakan gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum
dan institusi hukum yang bersifat publik.8
5 Ibid, h. 46.
6 S.R. Sianturi I, op cit, h. 123.
7 Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, h. 124.
8 Peter De Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 7.
5
Penegakan hukum Sistem penegakan hukum pidana terpadu
(intergrated criminal justice system) merupakan bagian dari sistem
penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari
kekuasaan kehakiman.9 Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi
Arief mengatakan dalam sistem peradilan pidana terdapat empat sub sistem
kekuasaan, yaitu:
a. Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan),
b. Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan),
c. Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
d. Kekuasaan Pelaksana Pidana (Badan Eksekusi).
Sejalan dengan konsep sistem penegakan hukum pidana terpadu,
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana militer akan berjalan
dengan baik apabila aparatur penegak hukumnya bersinergi dan mampu
bersikap profesional. Aparatur penegakkan hukum dalam sistem peradilan
militer terdiri dari :
a. Penyidik di lingkungan TNI terdiri dari Atasan Yang Berhak
Menghukum (Ankum), Polisi Militer (PM) dan Oditur Militer.
b. Kekuasaan penuntutan merupakan kewenangan Oditurat,
c. Kekuasan mengadili merupakan kewenangan Pengadilan Militer di
semua tingkatan.
9 H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2012, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit :
PTIK, Jakarta, h. 36.
6
d. Kekuasaan pelaksana pidana merupakan kewenagan Lembaga
Pemasyarakatan, baik Lembaga Pemasyarakatan Militer maupun
Lembaga Pemasyarakat Umum.
Oditur Militer sebagai bagian dari aparatur penegak hukum dalam
sistem peradilan militer di Indonesia memiliki fungsi utama melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan di lingkungan TNI. Oditur Militer
dalam melakukan penuntutan harus senantiasa memegang teguh nilai-nilai
kejujuran, kebenaran dan keadilan. Selain melakukan penuntutan, tugas
Oditur Militer adalah melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan
Militer yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan
pengawasan terhadap pelaksananaan putusan pidana bersyarat, serta
melaksanakan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas perkara dari
Penyidik Polisi Militer (PM) sebelum dilimpahkan kepada pengadilan di
lingkungan peradilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum
yang berwenang disertai dengan surat dakwaan dan Keputusan Perwira
Penyerah Perkara tentang penyerahan perkara.
Oditur Militer setelah selesai melaksanakan pemeriksaan terhadap
para saksi, terdakwa dan barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan di
Pengadilan Militer, berkewajiban surat tuntutan (requsitoir). Surat tuntutan
dibuat secara tertulis dengan mencantumkan tuntutan terhadap terdakwa
berupa penghukuman berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, surat dan
keterangan terdakwa yang nantinya menjadi dasar bagi hakim untuk
7
menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut
berakibat putusan batal demi hukum.10
Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, Oditur Militer dalam melakukan penuntutan diatur hal-hal
sebagai berikut:
a. Oditur melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama
masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut
saluran hierarki.
b. Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat
bukti yang sah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
c. Dalam melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma
keagamaan, kemanusiaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-
nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara.
Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di
lingkungan TNI akan berjalan dengan baik apabila memiliki independensi.
Makna independensi adalah tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam
menentukan keputusan dan mengambil kebijakan, sehingga lembaga yang
memiliki predikat independen mempunyai kebebasan dalam menentukan misi
yang diembannya. Prinsip independensi (the principle of independence)
dihubungkan dengan fungsi Oditur Militer adalah setiap menjalankan tugas,
10
Http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas, diunduh
pada hari Sabtu, 03 Mei 2014, jam 04.00 wib.
8
wewenang dan tanggung jawabnya seharusnya harus terbebas dari berbagai
intervensi yang bersifat mempengaruhi, namun demikian bukan bebas
sebebas-bebasnya, tetapi tetap patuh dan tunduk pada aturan hukum yang
berlaku.
Bertolak belakang dengan prinsip independensi yang seharusnya
dimiliki oleh setiap Oditur Militer dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
adanya kebijakan rencana tuntutan yang diberlakukan oleh Oditur Jenderal
TNI disingkat Orjen TNI sejak tahun 2006 berpotensi mengurangi
independensi Oditur Militer dalam menjalankan tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya selaku penuntut umum. Sesuai dengan Peraturan
Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk
Administrasi Oditurat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang terdapat
dalam Bab V angka 28 h tentang tuntutan disebutkan bahwa Oditur melalui
Kepala Oditurat Militer/Kepala Oditurat Militer Tinggi harus meminta
petunjuk dan arahan Orjen TNI sebelum mengajukan tuntutan:
a) Dalam Perkara :
(1) Yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
(2) Yang sifatnya menonjol.
b) Apabila akan menuntut bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan.
Apabila mengacu Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal
27 Februari 2009 di atas, rencana tuntutan yang seharusnya diajukan kepada
Orjen TNI guna dimintakan persetujuan hanyalah perkara yang ancaman
pidananya lima tahun atau lebih, perkara yang sifatnya menonjol maupun jika
9
Oditur Militer akan menuntut bebas terdakwa. Namun dalam prakteknya
terdapat fakta yang berbeda ketentuan tersebut, yaitu terhadap perkara pidana
yang ancaman pidananya di bawah lima tahun Oditur Militer juga harus
mengajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Hal tersebut dapat dilihat
dari data rencana tuntutan Oditurat Militer pada kantor Oditurat Militer III-14
Denpasar tahun 2012, terdapat 41 perkara yang diajukan rencana tuntutan.
Dari 41 rencana tuntutan, sebanyak 2 perkara diajukan rencana tuntutan lokal
hanya kepada Kaotmil III-14 Denpasar, dan sebanyak 39 perkara diajukan
rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Selanjutnya dari 39 yang diajukan
rencana tuntutan kepada Orjen TNI terdiri dari 9 perkara yang ancaman
pidananya 5 tahun atau lebih, dan sisanya sebanyak 30 perkara ancaman
pidananya kurang dari 5 tahun, sehingga seharusnya tidak layak dimintakan
persetujuan Orjen TNI.
Keadaan demikian jika terus berlangsung akan membuat Oditur
Militer menjadi kurang profesional karena berkurangnya independensi dalam
menjalankan penuntutan. Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui
fakta-fakta hukum yang ada di persidangan secara utuh, namun saat
menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa keputusannya menjadi
tergantung atasannya. Dengan adanya kebijakan rencana yang merupakan
fungsi kontrol, namun di sisi yang lain tidak mengajari setiap Oditur Militer
untuk mandiri dan bertanggung jawab secara penuh dalam perkara yang
sedang ditanganinya. Begitu juga tidak adanya penjelasan mengenai
perbedaan besaran tuntutan yang diajukan Oditur Militer dengan besaran
10
tuntutan persetujuan Orjen TNI menjadi beban tersendiri bagi setiap Oditur
Militer. Sebagai contoh Oditur Militer yang semula hanya mengajukan
tuntutan pidana berupa pidana penjara namun setelah dimintakan persetujuan
dari Orjen TNI justru memerintahkan agar menuntut terdakwa dengan pidana
pokok berupa pidana penjara dan pidana tambahan berupa pemecatan dari
dinas militer. Selain itu dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan
akan mempengaruhi efektivitas percepatan penyelesaian perkara, seringkali
persidangan yang seharusnya dapat dilaksanakan tetapi harus tertunda karena
persetujuan rencana tuntutan belum turun.
Kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI melalui Surat Telegram
Orjen TNI Nomor : ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006, yang isinya
Oditur Militer yang hendak melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar
terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI dengan melampirkan fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan dan hal-hal yang meringankan
serta memberatkan dalam perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan. Penekanan ulang kebijakan tentang rencana
tuntutan dilakukan oleh Orjen TNI melalui Surat Telegram Nomor :
ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 yang isinya setiap Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi yang akan melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar
terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI yang dituangkan dalam
rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya dua tahun
delapan bulan dan perkara yang ancaman pidananya dua tahun delapan bulan
11
ke bawah, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan dari
dinas militer, kecuali terhadap perkara desersi in absensia.
Kemudian setelah adanya Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009
tanggal 27 Februari 2009, ternyata kebijakan rencana tuntutan tetap
dilanjutkan meski sebenarnya tidak wajib melakukan rencana tuntutan, yaitu
melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/11/2011 tanggal 28 Desember
2011, ST/04/2012 tanggal 31 Januari 2012 dan ditekankan lagi melalui Surat
Telegram Orjen TNI Nomor : ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012, yang
isinya rencana tuntutan diajukan kepada Orjen TNI terhadap perkara-perkara:
a. Perkara yang akan dituntut kurang dari tiga bulan.
b. Perkara narkotika dan psikotropika.
c. Perkara susila yang melibatkan Keluarga Besar TNI.
d. Perkara yang ancaman pidananya lebih dari dua tahun delapan bulan.
e. Perkara yang ancaman pidananya kurang dari dua tahun delapan
bulan, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan
kecuali perkara desersi in absensia.
f. Perkara yang dimintakan Petunjuk Orjen TNI untuk Tuppera atau
Kumplin dan sesuai Petunjuk Orjen tetap diselesaikan melalui
Dilmil/Dilmilti.
Selain kebijakan rencana tuntutan, hal mendasar terkait dengan
permasalahan independensi Oditur Militer adalah faktor kelembagaan
Oditurat yang terjadi tumpang tindih dalam hierarki pertanggung jawaban.
Apabila mengacu dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12
31 Tahun 1997, disebutkan pembinaan organisasi dan prosedur administrasi,
finansial Oditurat dilakukan oleh Panglima. Kemudian berdasarkan
Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, bahwa Oditur
Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan
bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut
umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan
dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada
Panglima. Jika mengacu ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan 57
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI)
selaku Badan Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI berada langsung di
bawah kendali Panglima TNI. Namun kenyataan Otjen TNI dalam pembinaan
penyelenggaraan Oditurat berada di bawah Badan Pembinaan Hukum TNI
(Babinkum TNI), dan Otjen TNI bertanggung jawab secara teknis yustisial di
bawah pengawasan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Tertinggi di Negara
Republik Indonesia melalui Panglima TNI. Dengan demikian hierarki
pertanggung jawaban Otjen TNI terjadi dualisme pengendali/kepemimpinan,
sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya tarik ulur kepentingan
terhadap lembaga Oditurat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
13
1. Bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan
fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006?
2. Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur
Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di
Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Tesis mengenai “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional
Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14
Denpasar” akan membahas dua hal, yaitu mengenai independensi Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku Penuntut Umum TNI di
Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana
tuntutan yang dikeluarkan oleh Orjen TNI sejak tahun 2006 dan upaya-upaya
apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar
memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
mengenai independensi Oditur Militer sebagai PenuntutUmum di
lingkungan TNI dalam melaksanakan fungsinya dalam sistem
paradilan militer.
14
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana
independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya
sebagai Penuntut Umum di Oditurat Militer III-14 Denpasar
dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan sebelum
melakukan penuntutan.
b. Untuk menganalisis upaya-upaya apasaja yang harus dilakukan
dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi
dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
pengembangan hukum pidana di Indonesia yang didalamnya termasuk
hukum pidana militer untuk menguatkan teori-teori yang telah ada.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi
institusi penuntutan di lingkungan TNI, sehingga dapat dijadikan
bahan pembanding dalam membuat kebijakan di bidang
penuntutan.
b. Memberikan atensi berupa gambaran kepada masyarakat
maupun praktisi hukum tentang sistem penuntutan yang ada di
lingkungan TNI dan ciri khusus yang dimilikinya.
1.6. Orisinalitas Tesis
15
Tesis ini belum ada yang menulis sebelumnnya, adapun sebagai bahan
pembanding adalah :
a. Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 oleh Mahasiswa Universitas Udayana atas nama Siti Alifah.
Tesis ini menitik beratkan pada Sistem Peradilan Militer dalam Undang-
Undang nomor 31 Tahun 1997, setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004 dan Kompetensi Peradilan Militer yang akan
datang.11
b. Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI oleh
Mahasiswa Universitas Udayana atas nama AAA. Oka Putu Dewi Iriani.
Tesis ini memfokuskan pembahasan pada kewenangan Peradilan Militer
mengadili perkara tertentu dan kewenangan Peradilan Militer dalam
mengadili Prajurit TNI yang akan datang.12
c. Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia oleh Mahasiswa
Universitas Diponegoro atas nama Supriyadi. Tesis ini membahas tentang
kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer dalam hukum positif
di Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.13
11
Siti Alifah, 2007, “Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas
Udayana, Denpasar. 12
AAA. Oka Putu Dewi Iriani, 2007, “Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili
Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.” (tesis),
Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar. 13
Supriyadi, 2004, “Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia.” (tesis),
Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
16
1.7. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir
Untuk menganalis data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian,
dan untuk menjawab pertanyaan sebagaimana dalam rumusan masalah, maka
digunakan landasan teoritis, yang terdiri dari asas-asas hukum, konsep-
konsep hukum, doktrin dan teori-teori hukum, yaitu :
1.7.1. Asas-Asas Hukum
Menurut Scholten asas hukum adalah kecenderungan-
kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kita pada hukum,
merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai
pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.14
a. Asas-Asas Sistem Peradilan Militer
Dalam hukum acara pada peradilan militer di Indonesia
sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer berpedoman pada asas-asas
yang tercantum dalam tercantum dalam Undang-Undang
Pokok Kehakiman, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri dalam
tata kehidupan militer sebagai berikut:
1) Asas kesatuan komando.
Kehidupan prajurit TNI/militer dalam struktur
organisasinya menempatkan seorang komandan dengan
kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap
kesatuan dan anak buahnya. Oleh sebab itu seorang komandan
14
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h. 5
17
diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian
perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan
sengketa Tata Usaha di lingkungan Tentara Nasional
Indonesia yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya
administrasi.
2) Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak
buahnya.
Tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Tentara
Nasional Indonesia, komandan berfungsi sebagai pimpinan,
guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus
bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak
buahnya.Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas
kesatuan komando.
3) Asas kepentingan militer.
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada
kepentingan golongan dan perorangan, namun dalam proses
peradilan pidana militer kepentingan militer selalu
diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
b. Asas-asas di bidang pengorganisasian militer yaitu :15
1) Asas komando tunggal (unity of command);
15
S.R. Sianturi, 2010, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta
(Selanjutnya disebut S.R. Sianturi II), h. 16.
18
2) Asas pembagian tugas yang serasi (homogenus
assignment);
3) Asas delegasi kekuasaan (delegation of authority);
4) Asas rentang dan penggunaan pengawasan (spanned
and spent of control);
5) Asas rantai komando (chain of command);
6) Asas kekenyalan (flexibility);
7) Asas mobilitas (mobility);
8) Asas keserhanaan (simplicity);
9) Asas pembekalan sendiri (self sufficiency).
1.7.2. Konsep-Konsep Hukum
Menurut Soerjono Soekanto konsep merupakan kumpulan dari
arti-arti yang berkaitan dengan istilah.16
a. Konsep Mengenai Independensi
Independensi atau imparsialitas lembaga peradilan
merupakan konsep dari doktrin separation of power
(pemisahan/pembagian kekuasaan) yang dikenalkan oleh
Montesquieu. Montesquieu menginginkan pemisahan
/pembagian harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang
kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi, yaitu kekuasaan
membuat undang-undang (legislative power), kekuasaan
16
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan III, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 132.
19
menjalankan undang-undang (executive power), dan
kekuasaan kehakiman (judicial power).17
Menurut Gerald Turkel, kemandirian hukum dan
pranata hukum serta personel penegaknya tidak mungkin
dipahami kecuali dalam kontek sosial.18
Dalam pandangan
Turkel, gagasan tentang kemandirian hukum dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan nilai-nilai yang sifatnya
nonhukum, di mana hubungan ekonomi, politik, kekuasaan,
stratifikasi dapat melemahkan kemandirian, sehingga
kemandirian sangat berkaitan dengan the rule of law. Jika
kadar kemandirian dan kemerdekaan pranata hukum dan
penalaran hukum tidak kuat, maka the rule of law akan runtuh
menjadi alat dari berbagai kepentingan yang kuat, sehingga
kemandirian diartikan sebagai “komitmen yang kuat untuk
melaksanakan the rule of law dalam realita”.
b. Konsep Mengenai Oditur Militer (Ormil)
Menurut kamus hukum Oditur adalah penuntut umum
pada pengadilan tentara.19
Sedangkan Berdasarkan ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, bahwa Oditur adalah pejabat fugsional yang
17
Ikahi, 2012, Varia Peradilan : Majalah Hukum Tahun XXVII No. 323 Oktober 2012,
Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Pusat, h. 32. 18
Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Penerbit BP
IBLAM, Jakarta, h. 209. 19
Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum Cetakan Pertama, Penerbit PT. Prestasi
Pustakarya, Jakarta, h. 166.
20
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan
penyidikan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan Oditur adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam
melakukan penuntutan.
Oditur Militer dalam melaksanakan tugasnya dilandasi
dengan slogan “Jujur, Benar dan Adil” yang memiliki makna
suatu kebulatan yang menggambarkan kemuliaan, tekad dan
kesungguhan hati untuk melaksanakan tugasnya, harus lurus
hati, tidak curang, tulus ikhlas dan berani mengatakan benar
itu benar dan yang salah itu salah.
1.7.3. Doktrin
Doktrin Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Tri Darma
Ekakarma yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni tri berarti tiga,
darma berarti pengabdian, eka berarti satu, dan karma berarti
perjuangan. Hakikat dari doktrin TNI adalah memberikan suatu
pengertian luhur yang merupakan pengabdian tiga matra dalam satu jiwa,
tekad dan semangat perjuangan TNI yang dilandasi oleh nilai-nilai
yang tekandung dalam Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan
Wajib TNI. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sapta Marga
1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
bersandikan Pancasila.
2. Kami Patriot Indonesia, mendukung serta pembela
Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak
mengenal menyerah.
21
3. Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan
keadilan.
4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah
Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.
5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang
teguh disiplin, patuh dan taat kepada pemimpin serta
menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.
6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan
keperwiraan didalam melaksanakan tugas, serta senantiasa
siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.
7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan
menepati janji serta Sumpah Prajurit.
b. Sumpah Prajurit
1. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin
keprajuritan.
3. Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau
putusan.
4. menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa
tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik
Indonesia.
5. Memegang rahasia segala rahasia tentara sekeras-kelasnya.
c. Delapan Wajib TNI
1. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat.
2. Bersikap sopan santun terhadap rakyat.
3. menjunjung tinggi kehormatan wanita.
4. Menjaga kehormatan diri di muka umum.
5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan
kesederhanaannya.
6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat.
7. Tidak sekali-kali manakuti dan menyakiti hati rakyat.
8. menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk
mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
1.7.4. Landasan Teori
Teori adalah bagian yang sangat penting dalam menganalisis
suatu permasalahan, sehingga akan memudahkan dalam mencari suatu
solusi pemecahannya. Radbruch mendefinisikan makna dari teori
22
hukum sebagai : “The task of legal theory is clarification of legal
values and postulates up to their ultimate philosophical foundation”.20
Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum serta
postulat-pustulatnya sampai pada landasan filosofisnya yang terdalam.
Tesis ini menggunakan beberapa teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a. Teori Sistem Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektivitas
penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum
yang mempengaruhi, yaitu struktur hukum (struktur of law),
substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal
culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,
substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan
budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang
dianut dalam suatu masyarakat.
Tentang struktur hukum Lawrence M. Friedman
menjelaskan bahwa :
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system
consist of elements of this kind: the number and size of courts;
their jurisdiction…strukture. Also means how the legislature is
organized. What procedures the police department follow, and go.
Structure is away, is a kind of crosss section of the legal system.
Akind of photograph with free the action”.
20
Jhonny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 179-180.
23
Struktur dalam sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah
dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik banding
dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti
bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian
dan sebagainya. Jadi struktur (legal structure) terdiri dari lembaga
hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat
hukum yang ada.21
Substansi hukum (substance of the law) dapat dipahami
sebagai berikut :
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is
meast the actual rules, norm, and behavioral patterns of people
inside the system …the stress here is on living law, not just rules
in law goods”.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang
dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi
substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
pedoman bagi aparat penegak hukum.22
21
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, WW. Norton and
Company, New York, h. 7. 22
Ibid
24
Sedangkan mengenai budaya hukum Friedman
berpendapat sebagai berikut :
“The third component of legal system, of legal culture. By this we
mean people‟s attitudes toward law and legal system their belief,
in other word, is the eliminate of social thought and social force
which determines how law is used aveded andavused”.
Budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya
hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun
kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya
hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara
efektif.23
b. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Menurut Barda Nawawi Arief upaya atau kebijakan untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk
bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
ini pun tdak lepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan
sosial(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya
untuk kesejahteraan sosial (social welfare polcy) dan upaya-upaya
23
Ibid
25
untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).24
Tujuan
utama dari kebijakan hukum pidana adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan dengan dengan sarana penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement yang
operasionalisasinya melalui tiga tahapan, yaitu tahap formulasi
(kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial)
dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Tahapan aplikasi memegang peranan penting dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan selain aparatur
penegak hukum. Tahapan aplikasi merupakan tahapan yang paling
strategis dari penal policy, karena apabila terjadi kesalahan dalam
tahap aplikasi justru akan dapat menjadi penghambat bagi
kemajuan sistem penegakkan hukum pidana. Selain daripada itu
pencegahan dan penanggulangan harus menunjang tujuan
kesejahteraan rakyat (social welfare) dan perlindungan
masyarakat (social defense).
c. Teori Fungsi Hukum
Menurut teori utility, Jeremy Bentham berpendapat bahwa
tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau
kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas. Hukum
dapat mengorbankan kepentingan individu perorangan demi
24
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 77.
26
kepentingan masyarakat luas terpenuhi. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan hal-hal yang bermanfaat atau berfaedah bagi orang,
dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Oleh
sebab itu apa yang bermanfaat belum tentu memenuhi nilai-nilai
keadilan.
Sedangkan fungsi hukum dalam masyarakat menurut
Roscoe Pound adalah law as a tool of social engineering25
Dalam
hal ini hukum bukan saja sebagai sekumpulan sistem peraturan,
doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dandiumumkan
oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang
mewujudkan hukum itu secaranyata melalui penggunaan
kekuasaan. Oleh karena itu hukum menjadi alat legitimasi
penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya, sehingga hukum
menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya.
Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan yang
secara sah dilindungi, dalam tiga golongan yaitu:26
1) Kepentingan-kepentingan umum (public interests);
2) Kepentingan-kepentingan sosial (social interests);
3) Kepentingan-kepentingan individu (individual interests).
Penggolongan-penggolongan kepentingan tersebut dimaksudkan
jika terjadi perselisihan kepentingan dalam proses pembangunan
25
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Penerbit P.T. Alumni, Bandung, h. 33. 26
W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum : Idealisme Filosafis & Problema Keadilan,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 141.
27
khususnya benturan kepentingan umum atau sosial dengan
kepentingan individu, maka perlu diupayakan keseimbangan atau
harmonisasi kepentingan. Harmonisasi kepentingan akan terjadi
perubahan-perubahan sosial, serta membawa kemajuan dalam
masyarakat dan peradabannya, sehingga hukum akan memilih dan
mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan
kekuasaan.
d. Teori Sistem Peradilan Pidana
Muladi mengemukakan bahwa sistemperadilanpidana
merupakan suatu jaringan (network) yang menggunakan hukum
pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksana
pidana.27
Makna integrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan
dalam :
1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar
lembaga penegak hukum.
2) Sinkronisasi subtansial (subtancial syncronization), adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
27
Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 5.
28
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
1.7.5. Kerangka Berpikir
Tesis tentang “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional
Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer
III-14 Denpasar”, dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sebagai
berikut:
29
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam
Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana independensi
Oditur Militer dalam
melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14
dengan diberlakukannya
kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI sejak tahun
2006 ?
2. Upaya-upaya apakah yang
harus dilakukan dalam
mewujudkan Oditur Militer
yang memiliki independensi
dalam sistem peradilan
pidana militer di Indonesia?
Metode Penelitian :
Jenis Penelitian
Sifat Penelitian
Data & Sumber
Data
Pengolahan dan
Analisis Data
Lokasi Penelitian
Landasan Teoritis :
Asas-Asas
Hukum
Konsep-Konsep
Hukum
Doktrin
Landasan Teori
Sasaran :
1. Mengetahui bagaimana independensi Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya
selaku penuntut umum TNI dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
2. Mencari upaya-upaya dalam mewujudkan
Oditur Militer TNI yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer
di Indonesia.
Latar Belakang Masalah
Adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak
2006 dan di sisi lain adanya dualisme wewenang kendali lembaga
Oditurat yang berpotensi mengurangi terhadap independensi Oditur
Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI
30
1.8. Hipotesis
Hipotesis-hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum diuji berkenan
dengan hubungan-hubungan di dalam kenyataan.28
Hipotesis atau jawaban
sementara rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Jika kebijakan rencana tuntutan tetap diberlakukan, maka Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar
menjadi tidak independen.
b. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer
memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu secara
teknis dengan menghapus kebijakan rencana tuntutan dan upaya secara
kelembagaan dengan menyatukan kendali Oditurat baik secara teknis
yustisial maupun secara organisasi, prosedur dan finansial di bawah
Panglima TNI.
1.9.Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersumber dari data rencana tuntutan Oditur
Militer sebelum melakukan penuntutan di Oditurat Militer III-14
Denpasaryang berhubungan dengan fungsi Oditur Militer selaku
penuntut umum di lingkungan TNI. Pada penelitian ini menggunakan
data, maka dengan sendirinya merupakan penelitian empiris.29
28
B. Arief Sidharta, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Fakultas Ilmu Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung, h. 88. 29
Mukti Fajar N.D.dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil
Komunika, Yogyakarta, h. 32.
31
Penelitian hukum empiris merupakan penelitian lapangan yang
bertitik tolak dari data primer yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas
hukum.30
Hukum pada kenyataan dibuat dan diterapkan oleh manusia
hidup dalam masyarakat, artinya keberadaan hukum tidak bisa
dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia
yang terkait dengan lembaga hukum tersebut. Kajian dalam tesis ini
adalah independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan
rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
1.9.2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan tujuan untuk
menggambarkan secara tepat terhadap suatu peristiwa, gejala dan
keadaan yang sebenarnya dari permasalahan tentang independensi
Oditur Militer Militer selaku penuntut umum TNI dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar terkait
adanya kebijakan rencana tuntutan sejak tahun 2006. Metode
diskriptif adalah metode yang bertujuan membuat diskripsi atau
gambaran faktual secara sistematis yang akurat dan faktual
mengenai data yang terperinci serta fenomena-fenomena yang
diteliti.
30
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
32
Sifat diskriptif dalam penelitian ini disesuaikan dengan metode
penelitian dalam menggambarkan tentang fenomena-fenomana yang
di teliti. Fakta-fakta yang ada dilakukan dengan suatu interpretasi,
evaluasi, dan pengetahuan umum, karena fakta tidak akan mempunyai
arti tanpa interpretasi evaluasi dan pengetahuan umum.31
1.9.3. Data dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer didapat dari observasi dan wawancara
dengan narasumbar yang berhubungan langsung dengan
permasalahan yang diteliti, yaitu hasil wawancara dengan
Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar maupun data
penunjang berupa rencana tuntutan yang ada di Oditurat
Militer III-14 Denpasar.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan bahan hukum dalam
penelitian yang diambil dari studi kepustakaan (studi
dokumentasi) yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primernya berupa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
31
I.S. Susanto, 1990, Kriminologi, Penerbit Undip, Semarang, h. 15
33
Militer, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer,
Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/5/II/2009
tentang Petunjuk Administrasi Oditurat Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana dan peraturan-peraturan
yang terkait dengan permasalahan.
2) Bahan hukum sekunder terdiri dari berbagai macam
literatur hukum, jurnal-jurnal hukum dan artikel ilmiah.
Bahan hukum sekunder ini didapat dari bacaan yang
berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis
(Juknis), Standar Operasi dan Prosedur (SOP) yang ada di
lingkungan TNI.
3) Bahan hukum tersier diambil dari kamus hukum dan
enslikopedi.
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini
dilakukan melalui observasi secara langsung dan wawancara
(intervew) baik secara tertutup (closed interview) maupun secara
terbuka (open interview) dengan narasumber yang terkait dengan
permasalahan. Wawancara merupakan proses tanya jawab yang
34
berlangsung secara lisan dan bertatap muka dengan dua orang atau
lebih guna mendapatkan informasi serta keterangan yang
dibutuhkan.32
Wawancara akan dilakukan dengan Oditur Militer
dikantor Oditurat Militer III-14 Denpasar.
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi
kepustakaan. Metode pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena
dapat dilakukan tanpa menggunakan obyek penelitian teknik studi
kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
lingkungan TNI, putusan hakim di lingkungan peradilan militer dan
publikasi ilmiah lainnya yang relevan dengan tesis ini.
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel
dengan metode non probability sampling dalam bentuk purposive
sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan sampel
berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa saja yang pantas
(memenuhi syarat) untuk dijadikan sampel. Penerapan tata cara
sampel tersebut, mempunyai beberapa keuntungan, misalnya :33
1. Tata cara ini tidak mengikuti seleksi secara random, sehingga
lebih mudah dan tidak akan banyak menelan biaya.
32
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
h. 83. 33
Soerjono Soekanto, op cit, h. 196.
35
2. Tata cara ini menjamin keinginan peneliti, untuk memasukkan
unsur-unsur tertentu ke dalam sample-nya.
Selanjutnya pengambilan sampel secara purposive sampling
dengan kriteria narasumber yang diwawancari adalah pihak yang
berkopeten dalam bidang penuntutan TNI dalam sistem peradilan
militer di wilayah Denpasar Bali, yaitu Oditur Militer di Kantor
Oditurat Militer III-14 Denpasar.
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara
kualitatif, yaitu dengan mengangkat fenomena yang terjadi di
lapangan,dengan pengkajian terhadap pemikiran secara mendalam
mengenai gejala-gejala yang menjadi obyek penelitian.34
Fenomena
yang diangkat dalam tesis ini dibahas dan dikaji menggunakan teori-
teori hukum dan diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan normatif
dengan yang ada.
Kemudian dari hasil analisis tersebut disajikan secara
deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian, sehingga mendapatkan
gambaran dan kesimpulan yang jelas dalam membahas masalah yang
dikemukakan. Menurut Bambang Sunggono bahwa deskriptif analitis
adalah permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian
yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada, sehingga
34
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.
36
memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam
pembahasan masalah.35
1.9.7. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai “Analisis Independensi Oditur Militer
Tentara Nasional Indonesia(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di
Oditurat Militer III-14 Denpasar, telah dilaksanakan di Kantor
Oditurat Militer III-14 Denpasar yang daerah hukumnya meliputi
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat.
35
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 134.
37
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENDI, ODITUR
MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI, SISTEM PERADILAN
PIDANA MILITER, SISTEM PENUNTUTAN DI LINGKUNGAN
KEJAKSAAN DAN KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN
2.1 Hakekat Independensi
Hakikat independensi ialah secara mendasar memiliki arti bahwa
orang mampu untuk menentukan sendiri secara bebas dalam mengambil
keputusan, tetapi tetap terikat oleh suatu aturan. Menurut Franz Magnis
Suseno, kebebasan di sini terbagi dalam dua jenis, yaitu kebebasan
eksistensial dan kebebasan sosial.36
Hakekat kebebasan eksistensial adalah
terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang
sifatnya positif. Maksud dari konsep kebebasan ini adalah kebebasan tidak
menekankan segi bebas dari apa, tetapi bebas untuk apa. Jadi kebebasan itu
mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan manusia yang disengaja
dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan hakekat kebebasan
sosial berarti suatu keadaan di mana manusia tidak berada di bawah paksaan,
tekanan atau kewajiban dan larangan dari pihak manusia lainnya.37
Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial merupakan satu kesatuan
utuh dari kebebasan yang dimiliki manusia. Dalam memaknai kebebasan
36
Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h.
149. 37
Ibid, h. 155.
37
38
dihubungkan dengan fungsi suatu lembaga tentunya tidak dapat dilepaskan
dari tanggung jawab yang menyertainya. Tanggung jawab merupakan sesuatu
yang membatasi kebebasan sosial agar tidak bertabrakan dengan kebebasan
orang lain yang dapat memuaskan seluruh tuntutan kebebasan eksistensial
manusia yang sesungguhnya memiliki dua dimensi. Pertama, mengandaikan
bahwa tanggung jawab merupakan bentuk aturan yang dilegitimasi oleh
lingkungan sosial manusia, dalam hal ini disebut masyarakat, untuk
menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan
kemajuan masyarakat sesuai batas wewenang masing-masing. Kedua,
tanggung jawab merupakan ungkapan sadar manusia atas kebebasan
eksistensial agar digunakan dalam batas-batas yang tidak mengganggu dan
menimbulkan kerugian pada orang lain.38
Independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku
penuntut umum di lingkungan TNI merupakan prasyarat mutlak demi
terjaminnya tegaknya hukum dan keadilan yang merupakan cita-cita dari
suatu negara hukum. Prinsip independensi atau kemandirian (the principle of
independece) terhadap Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya sebagai
penuntut umum TNI harus tercermin pada setiap mengambil keputusan,
terutama dalam melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer di
Indonesia. Independensi Oditur Militer dan Oditurat terwujud dalam
kemandirian oditurat sebagai institusi penuntutan yang berwibawa,
bermartabat dan terpercaya. Independensi terhadap peran dan fungsi Oditur
38
Ibid, h. 158.
39
Militer dalam hal ini harus terbebas dari berbagai bentuk intervensi, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang berasal dari dalam maupun luar
institusinya.
Tolok ukur atau batasan independensi Oditur Militer dikaitkan dengan
fungsi utamanya adalah melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer
di Indonesia terbebas dari pengaruh dan bebas dari paksaan maupun
rekomendasi. Jika Oditur Militer sebagai Penuntut Umum di lingkungan TNI
dalam melakukan penuntutan tidak independent, tentunya akan berdampak
kepada putusan hakim militer nantinya. Tujuan utama penuntutan oleh Oditur
Militer selaku penuntut umum adalah untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku guna menentukan
apakah orang yang didakwanya dapat dinyatakan bersalah. Oditur Militer
dalam melakukan penuntutan juga bertujuan melindungi hak asasi individu,
baik yang menjadi korban maupun pelaku tindak pidana.
2.2 Oditur Militer Sebagai Penuntut Umum TNI
2.2.1. Pengertian dan Kewenangan Oditur Militer
Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya
disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak
sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Oditur Militer adalah
40
pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dan penyidikan dilingkungan TNI. Oditur adalah satu
tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Profesi Oditur
apabila dikaitkan dengan lingkup tugas dalam dimensi penegakan
hukum (law enforcement) mempunyai tugas, wewenang dan tanggung
jawab sesuai Pasal 1 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penyidikan.
b. Pemeriksaan tambahan.
c. Penuntutan perkara pidana.
d. Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer dan peradilan umum.
Tugas wewenang dan tangung jawab Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi merupakan perpanjangan tangan dari tugas, wewenang
dan tanggung jawab Oditur Jenderal TNI. Kedudukan Oditurat
Jenderal TNI adalah suatu badan yustisi di lingkungan peradilan
militer yang secara organisasi, administrasi dan keuangan
berkedudukan dilingkungan Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI,
namun secara teknis yustisial dibawah Jaksa Agung Republik
Indonesia. Berdasarkan Pasal 47 dan pasal 48 Undang-Undang nomor
31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, susunan dan kekuasaan
Oditurat sebagai berikut:
41
a. Oditurat melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dan penyidikan dilingkungan TNI.
b. Oditurat adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan
penuntutan.
c. Pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditur
dilakukan oleh Oditur Jenderal TNI.
2.2.2. Etika Profesi Oditur Militer
Oditur Militer dalam mengemban tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang strategis dalam menegakkan hukum dan
keadilan tentunya sering harus menghadapi berbagai tantangan dan
godaan baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat
militer sendiri. Oleh sebab itu Oditur Militer harus dibekali dengan
suatu sikap ketangguhan moral berupa ethika profesi Oditur Militer.
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethikos” yang berarti moral dan dari
kata “ethos”yang berarti karakter. Etika merupakan filsafat moral
untuk mendapatkan petunjuk tentang prilaku yang baik, berupa nilai-
nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup
bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang.
Etika bertujuan agar orang hidup dengan baik dan
berkepribadian luhur (berkarakter) yang sesuai dengan etika moral
yang dianut oleh kesatuan atau lingkungan hidupnya. Etika moral ini
menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang
mencakup teori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang
42
buruk dan teori tentang perilaku “conduct” tentang perbuatan mana
yang baik dan mana yang buruk. Etika profesi merupakan etika moral
yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang
bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan
standar profesi tersendiri sesuai dengan ketentuan profesi masing-
masing demi tegaknya dan kebaikan jalannya profesi.
Etika profesi Oditur Militer mengatur tentang nilai-nilai moral,
kaedah-kaedah dalam tugas penuntutan dan aturan-aturan tentang
prilaku yang seharusnya dan seyogyanya dipegang teguh oleh setiap
Oditur Militer dalam menjalankan tugas profesinya. Tujuan akhir atau
filosofi dari etika profesi Oditur Militer adalah menegakan hukum,
kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam suatu perkara pidana sesuai
keadilan, kebenaran dan kejujuran yang terdapat dalam alam “das
sollen” harus dapat diwujudkan dalam alam “das sein” melalui nilai-
nilai etika profesi yang berisikan kode ethik untuk mencapainya.
Nilai-nilai etika profesi yang melekat pada diri seorang Oditur
Militer dapat ditemukan dalam:
a. Pancasila yang di jabarkan dalam butir-butir dalam sila-sila
pancasila.
b. Sapta Marga, khususnya marga ke-3 yang berbunyi “Kami
ksatria indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta membela kejujuran kebenaran dan keadilan”.
Artinya segenap prajurit TNI akan menegakkan kejujuran,
43
kebenaran dan keadilan yang merupakan hakekat dari hukum
dalam satu nafas dengan disiplin keprajuritan yang didasarkan
kepada ketaqwaan kepada Tuhan YME.
c. Sumpah Prajurit, khususnya butir ke-2 yang berbunyi “akan
tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin
keprajuritan”. Artinya segenap prajurit TNI dalam mengemban
tugasnya mendasarkan dan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku dan bersumpah akan patuh dan taat kepada
hukum.
d. Sumpah Perwira, seorang Oditur adalah perwira dan saat
dilantik sebagai perwira wajib mengucapkan sebagai berikut:
1) Bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan
sebaik-baiknya terhadap Bangsa Indonesia dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.
2) Bahwa saya akan menegakkan harkat dan martabat perwira
serta menjunjung tinggi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.
3) Bahwa saya akan memimpin anak buah dengan memberi
suri teladan, membangun karsa, serta menuntun pada jalan
yang lurus dan benar.
4) Bahwa saya akan rela berkorban jiwa raga untuk membela
nusa dan bangsa.
e. Kode Etik Perwira ”Budhi Bakti Wira Utama”, diantaranya
berbuat luhur dengan bersendikan:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Membela Kebenaran dan Keadilan.
3) Memiliki sifat-sifat kesederhanaan.
44
f. Sumpah Jabatan Oditur Militer, sebelum memangku
jabatannya Oditur Militer wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia
kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara, Undang-Undang
Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain
yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan
dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang oditur militer
yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan”.
g. Etika profesi Oditur Militer yang tertuang dalam pusara
Babinkum TNI “Jujur Benar dan Adil”.
Kalimat “Jujur, Benar dan Adil” adalah motto
Babinkum TNI yang dibuat dengan warna kuning emas,
melambangkan suatu kebulatan yang menggambarkan
kemuliaan tekad dan kesungguhan hati personel Babinkum
TNI untuk melaksanakan tugasnya. Selanjutnya uraian kata
“Jujur” dalam pusara tersebut mengandung arti bahwa dalam
melaksanakan tugasnya warga Babinkum TNI harus lurus hati,
45
tidak berbuat curang, tulus ikhlas dan berani mengatakan
benar jika itu benar dan yang salah jika itu salah.
h. Asas-asas dan prinsip-prinsip kepemimpinan yang berlaku
dalam lingkungan TNI.
2.2.3. Kemampuan Yang Harus Dimiliki Oditur Militer
Seorang Oditur Militer dapat melaksanakan profesinya dengan
baik jika mempunyai kemampuan sebagai berikut:
a. Kemampuan penilaian berkas perkara dengan benar dan jujur
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kemampuan penilaian berkas perkara adalah berkaitan
dengan persyaratan formal dan material dalam lingkungan
peradilan militer. Kelengkapan tersebut meliputi kelengkapan
berkas perkara (terdiri dari sampul Daftar Pemeriksaan
Pendahuluan (DPP), nomor DPP dan isi berkas perkara), status
tersangka, ada/tidaknya laporan polisi atau pengaduan, dan
barang bukti disamping persyaratan material meliputi apakah
rangkaian perbuatan tersangka sudah memenuhi unsur-unsur
tindak pidana.
b. Kemampuan menyusun Berita Acara Pendapat (BAPAT) dan
Saran Pendapat Hukum (SPH) dengan benar dan jujur sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku.
Oditur Militer setelah meneliti persyaratan formal dan
material dari suatu berkas perkara/DPP, kemudian Oditur
46
Militer melakukan pengolahan perkara yang hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara Pendapat (BAPAT). Kemudian
berdasarkan BAPAT Oditur pengolah, Kepala Oditurat Militer
membuat Saran Pendapat Hukum (SPH) berkaitan dengan
penyelesaian perkara tersangka kepada Panglima/Komandan/
Kepala Satuan selaku Perwira Penyerah Perkara yang
membawahi tersangka tersebut. Isi dari Saran Pendapat
Hukum Oditur Militer berupa saran agar perkara tersangka
tersebut diajukan kepengadilan militer atau diselesaikan
menurut hukum disiplin militer atau ditutup demi kepentingan
hukum atau disarankan kepada Perwira Penyerah Perkara
(Papera) untuk menutup perkara tersebut demi kepentingan
umum/militer.
c. Kemampuan analisis perkara secara yuridis dengan benar dan
jujur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Analisis yuridis merupakan analisis dari unsur-unsur
tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dikaitkan
dengan fakta-fakta yang terungkap dalam penyidikan. Dengan
adanya analisis yuridis tersebut dapat lebih awal diketahui dan
dipertanggung jawabkan apakah perbuatan tersangka cukup
atau tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
disangkakan kepadanya yang nantinya akan dipakai sebagai
dasar laporan Oditur Militer kepada Perwira Penyerah Perkara
47
(Papera) dalam Saran Pendapat Hukum (SPH). Apabila
perbuatan tersangka cukup memenuhi unsur-unsur tindakan
pidana, maka hal tersebut akan dipakai sebagai dasar dalam
surat dakwaan maupun tuntutan Oditur.
d. Kemampuan menyusun surat dakwaan dengan benar dan jujur
sesuai ketentuan perudang-undangan yang berlaku.
Surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh
Oditur Militer sebagai Penuntut Umum yang memuat rumusan
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang telah
dilakukan oleh terdakwa pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Surat dakwaan Oditur Militer merupakan dasar yang
digunakan hakim militer dalam memeriksa dan mengadili
suatu perkara pidana di Pengadilan Militer. Dalam dimensi
tugas penegakan hukum dalam sistem peradilan militer,
kemampuan menyusun surat dakwaan dengan cermat
merupakan tugas Oditur Militer yang paling utama.
Surat dakwaan bagi Oditur Militer merupakan dasar
untuk melakukan penuntutan perkara, pembuktian dan
pembahasan yuridis dalam tuntutan pidana (requisitoir) serta
sebagai dasar untuk melakukan upaya hukum, dan bagi hakim
merupakan dasar pemeriksaan dipersidangan pengadilan dan
putusan yang akan dijatuhkan berkaitan dengan
terbukti/tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat
48
surat dakwaan, sedangkan bagi terdakwa merupakan dasar
dalam pembelaan dan menyiapkan bukti-bukti sebaliknya dari
apa yang telah didakwakan kepadanya. Dengan demikian
seluruh isi surat dakwaan yang dapat dibuktikan dalam
persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim dalam
putusannya dan apa yang telah dinyatakan terbukti dalam
persidangan harus dapat dikemukakan kembali dalam surat
dakwaan.
e. Kemampuan melakukan tuntutan pidana dengan benar, jujur
dan adil sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Setelah semua alat bukti yang diperlukan telah
diajukan dalam persidangan, selanjutnya Oditur Militer selaku
Penuntut Umum sebagai pejabat yang memulai proses perkara
pidana tersebut akan menarik kesimpulan dari alat-alat bukti
tersebut, fakta-fakta apa yang telah terbukti kemudian
mengajukan kepada majelis hakim untuk mendapat keputusan
yang tertuang dalam bentuk tuntutan pidana (requisitoir).
Tuntutan pidana yang dibuat oleh Oditur Militer
disusun dengan sistematis sebagai berikut :
1) Pendahuluan;
2) Fakta-fakta persidangan yang terdiri dari:
a) Keterangan para saksi;
b) Keterangan terdakwa; dan
49
c) Barang bukti.
3) Fakta yuridis;
4) Analisis/pembahasan yuridis;
5) Kesimpulan;
6) Tuntutan pidana; dan
7) Penutup.
f. Kemampuan upaya hukum dengan benar dan jujur sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Upaya hukum
dimaksud meliputi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
g. Kemampuan melaksanakan pidana (eksekusi) terhadap
putusan pengadilan dengan benar dan jujur sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Terhadap putusan
pengadilan baik pengadilan militer maupun pengadilan umum
yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT), sebagaimana
dalam amar putusan yang dijatuhkan harus dapat dilaksanakan
eksekusi.
2.3 Sistem Peradilan Pidana Militer di Indonesia
Penegakan hukum (law enforcement) dalam jajaran TNI apabila
mengikuti alur berpikir criminal justice system dilaksanakan oleh sub sistem
pengadilan militer. Penyidik Polisi Militer mempunyai tugas dan wewenang
melakukan penyidikan perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer
50
atau peradilan umum, Oditur Militer mempunyai tugas wewenang melakukan
penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan perkara pidana dan
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer dan peradilan umum, hakim pengadilan militer mempunyai
tugas dan wewenang memeriksa dan memutus perkara pidana dalam
lingkungan peradilan militer, dan pemasyarakatan militer mempunyai tugas
dan wewenang menyelenggarakan pemasyarakatan militer yang merupakan
salah satu usaha yang berhubungan dengan kegiatan pembinaan narapidana
militer.
2.3.1 Sejarah Peradilan Militer di Indonesia
Peradilan Militer Belanda di Indonesia sebelum terjadi Perang
Dunia II dikenal dengan nama Krijgsraad dan Hoog Militair
Gerechtshof. Ruang lingkup peradilan ini meliputi perbuatan pidana
militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda
di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yaitu KNIL dan anggota
Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda
(KNIL) di periksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama,
sedangkan Hoog Militair Gerechtshof mengadili untuk tingkat
banding. Untuk anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di periksa
dan diadili oleh Zeekrijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof.
Daerah hukum Krijgsraad di kota Cimahi Bandung meliputi
Jawa dan Madura, Sumatra Selatan (Bengkulu, Lampung, jambi,
51
Palembang, Riau, Bangka dan Belitung. Daerah hukum Krijgsraad di
Padang meliputi Sumatra Barat, Tapanuli, Aceh dan Sumatra Timur,
sedangkan daerah hukum Krijgsraad di Makassar meliputi Sulawesi,
Manado, Maluku dan Timor.39
Sementara penguasa Belanda yang ada
di Jawa-Madura maupun di luar daerah mengadakan Temporaire
Krijgsraadatau Mahkamah Militer Sementara yang diberi wewenang
mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan militer serta
bukan di golongkan dalam bangsa Indonesia. Mahkamah Militer
Sementara dalam melakukan pemeriksaan persidangan dilakukan oleh
majelis hakim terdiri dari 3 (tiga) orang dan seorang Oditur atau Jaksa
landgerecht.
Hoog Militair Gerechtshof berkedudukan di Jakarta dan
merupakan peradilan militer yang tertinggi di Hindia Belanda.
Kekuasaan Hoog Militair Gerechtshof adalah mengadili perkara
pidana pada tingkat pertama, yang dilakukan oleh militer-militer yang
pangkatnya lebih tinggi dari pada Kapten. Sedangkan pada tingkat
banding, Mahkamah tersebut memutus tentang keputusan-keputusan
Krijgsraad yang dimintakan bandingan. Hoog Militair Gerechtshof
juga mengadili pada tingkat pertama terhadap perbuatan-perbuatan
pidana yang dilakukan oleh opsir-opsir angkatan laut berpangkat
Letnan Satu Laut ke atas.
39
R. Soepomo, 1983, Sistem Hukum di Indonesia, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 67.
52
Zeekrijgsraad merupakan peradilan pidana terhadap militer, di
luar negeri Belanda yang terdiri dari opsir-opsir angkatan laut.
Peradilan ini biasanya dilaksanakan di atas kapal di Hindia oleh
komandan angkatan laut. Pejabat Penuntut Umum pada peradilan ini
diserahkan kepada seorang opsir tata usaha angkatan laut. Terhadap
keputusan-keputusan Zeekrijgsraad dapat dimintakan banding kepada
Hoog Militair Gerechtshof.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik awal bagi Bangsa
Indonesia untuk menentukan pejalanan berbangsa dan bernegara.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahakan
sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Sesudah berdirinya
Negara Republik Indonesia, pemerintah tetap mempertahankan badan-
badan peradilan maupun peraturan-peraturan peninggalan Jepang
yang telah ada untuk mengisi kekosongan hukum yang didasarkan
pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini”.
Kemudian setelah Angkatan Perang Republik Indonesia
dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, dan kemudian peradilan
militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1946 tanggal 8 Juni 1946 tentang Peraturan mengadakan
53
Pengadilan Tentara disamping Pengadilan Biasa. Pengadilan Tentara
pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yaitu Mahkamah
Tentara dan Mahkamah Tentara Agung. Selanjutnya Pengadilan
Tentara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948 terdiri
dari :
a. Mahkamah Tentara.
b. Mahkamah Tentara Tinggi.
c. Mahkamah Tentara Agung.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 16
Tahun 1950, kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
ketentaraan dilakukan oleh :
a. Pengadilan Tentara.
b. Pengadilan Tentara Tinggi.
c. Mahkamah Tentara Agung.
Sesuai dengan perkembangan istilah dalam bidang peradilan,
yang terdapat dalam berbagai perundang-perundangan, antara lain
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka terhadap nama Pengadilan
Ketentaraan perlu diadakan penyesuaian, yaitu menjadi:
a. Mahkamah Militer (Mahmil);
b. Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti); dan
c. Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
54
Pengadilan pada era sebelum lahir Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 Peradilan Militer adalah disebut dengan Mahkamah,
tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Peradilan Militer, sebutan
Mahkamah dirubah menjadi Pengadilan. Namun pimpinannya tetap
saja disebut “Kepala”, bukan Ketua seperti di lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor :
Kep/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003 disusun sebagai berikut :
a. Pengadilan Militer(Dilmil);
b. Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti);
c. Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama); dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur).
Dalam sejarahnya peradilan militer sama seperti lembaga
peradilan yang lain, sebelumnya mempunyai dua atap yaitu secara
administrasi keuangan dan kepegawaian berada di bawah Departemen
Pertahanan, sementara secara pembinaan teknis di bawah Mahkamah
Agung. Sistem dua atap ini mulai berakhir dengan diterbitkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Jangka waktu peralihan menjadi satu
atap di bawah Mahkamah Agung adalah lima tahun sampai dengan
tahun 2004.
55
Sistem peradilan satu atap (one roof system) berawal dengan
diamandemennya Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang
Nomor 35 Tahun 1999, kemudian diamandemen lagi dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir setelah disahkannya
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman secara tegas mengatur tentang organisasi, administrasi
dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Yang dimaksud
dengan peradilan di bawahnya adalah peradilan umum, dengan
beberapa peradilan khusus di bawahnya, peradilan agama, peradilan
tata usaha negara dan peradilan militer. Peradilan militer hingga saat
ini belum mengalami perubahan dan tetap menggunakan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, berbeda
dengan lingkungan peradilan lainnya yang telah mengalami
perubahan.
2.3.2 Yurisdiksi dan Justisiabel Peradilan Militer
Yurisdiksi dan justisiabel merupakan dua istilah yang saling
melengkapi. Yurisdiksi mempersoalkan kekuasaan memeriksa dan
mengadili, sedangkan justisiabel mempersoalkan orang-orang yang
diperiksa dan diadili (orang-orang yang tunduk/ditundukkan pada
kekuasaan badan peradilan tertentu) dalam hal ini adalah peradilan
militer.Justisiabel adalah mengenai seseorang yang diperiksa dan
diadili karena suatu perkara pidana, atau merupakan subyek hukum.
56
Hubungan antara justisiabel dengan subyek hukum ialah bahwa orang
yang bersangkutan adalah pelaku (subyek) dari suatu tindak pidana
yang sekaligus merupakan justisiabel dari suatu peradilan tertentu.
Justisiabel peradilan militer berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, bahwa peradilan
dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata, dengan
tugas dan wewenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan
prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
undang-undang.
Mengenai yurisdiksi perlu diperhatikan dalam uraian-uraian
bahwa persoalan yurisdiksi meliputi kekuasaan mengadili perselisihan
antara pengadilan-pengadilan sesamanya, akan tetapi yang
diutamakan adalah orang-orang (badan hukum) pencari keadilan
dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997, susunan pengadilan di lingkungan peradilan militer
adalah sebagai berikut :
57
a. Pengadilan Militer (Dilmil)
Pengadilan Militer merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
bagi prajurit TNI yang berpangkat Kapten dan pangkat lain yang lebih
rendah dari Kapten.
b. Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)
Pengadilan Militer Tinggi menjadi Pengadilan Tingkat
Pertama bagi prajurit TNI berpangkat Mayor ke atas, melakukan
pemeriksaan tingkat banding untuk perkara yang telah diputus oleh
Pengadilan Militer, sedangkan kewenangan pemeriksaan perkara
tingkat banding untuk perkara yang telah diputus oleh Dilmilti ada
pada Pengadilan Militer Utama. Pengadilan Militer Tinggi selain
mempunyai kekuasaan seperti telah diterangkan di atas juga memiliki
kekuasaan untuk :
a. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata usaha
Militer, dalam hal ini sebagai Pengadilan Tingkat pertama.
b. Memeriksa dan memutus (pada tingkat pertama dan terakhir)
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer
dalam daerah hukumnya.
c. Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama)
Pengadilan Militer Utama menjadi Pengadilan Tingkat
banding atas perkara pidana maupun sengketa Tata usaha Militer yang
dimintakan banding, juga memiliki kekuasaan untuk memutus pada
tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili :
58
a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi yang berbeda.
b. Antar Pengadilan Militer tinggi; dan
c. Antara Pengadilan Militer Tinggi dengan Pengadilan Militer.
Selain kewenangan di atas, Pengadilan Militer Utama juga
mempunyai kekuasaan untuk memutus “perbedaan pendapat” antar
Oditur Militer sebagai Pejabat Penuntut Umum dengan Perwira
Penyerah Perkara (Papera) tentang diserahkan tidaknya suatu perkara
tindak pidana ke Pengadilan. Setelah menerima permohonan Papera,
Pengadilan Militer Utama menunjuk Majelis Hakim Militer Utama
untuk memeriksa dan memutus perbedaan pendapat itu dalam sidang
yang dihadiri oleh Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI).
Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di
daerah hukumnya masing-masing dan pengawasan terhadap tingkah
laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan lain yang dimiliki Dilmiltama adalah :
a. Untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan
dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
59
b. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang
perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Pertempuran.
c. Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan
kembali (PK), dan grasi Mahkamah Agung.
d. Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur)
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah memeriksa
dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI di daerah pertempuran.Pengadilan Militer
Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan
berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
2.3.3 Karakteristik Sistem Peradilan Militer
Karakteristik yang membedakan sistem peradilan militer
dengan peradilan lain yang ada di Indonesia adalah peradilan militer
selain tetap berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam
Undang-Undang Pokok Kehakiman, dengan tanpa mengabaikan asas
dan ciri-ciri tata kehidupan militer yang mendasar, yaitu:
a Asas kesatuan komando
Struktur organisasi dalam kehidupan militer atau ketentaraan
menempatkan posisi seorang komandan pada kedudukan sentral dan
bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh
sebab itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara
dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk
60
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia yang
diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi. Sesuai
dengan asas kesatuan komando tersebut, maka dalam sistem peradilan
pidana militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.
b Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya.
Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya
adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando, dimana
seorang komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan
pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh
terhadap kesatuan dan anak buahnya.
c Asas kepentingan militer
Dalam rangka menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada
kepentingan golongan dan perorangan, sedangkan khusus dalam
proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan
kepentingan hukum. Hukum acara pada sistem peradilan militer
disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan
berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional dengan berbagai
kekhususan yang bersumber dari asas-asas dan ciri-ciri tata kehidupan
yang belaku dalam kehidupan militer.
Penjatuhan pidana terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana yang sifatnya sangat ringan, seperti tindak pidana berupa
pelanggaran memungkinkan diselesaikan melalui hukum disiplin
61
prajurit. Mengingat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada seorang
militeradalah juga merupakan pendidikan/pembinaan baginya selama
tidak dibarengi dengan pemecatan dari dinas militer, maka wajarlah
apabila dimungkinkan penyelesaian suatu tindak pidana (yang bersifat
ringan) yang lebih mendekati “golongan pelanggaran disiplin militer”
secara hukum disiplin demi tujuan perbaikan seorang militer.40
Adapun karakteristik sistem peradilan militer dapat dilihat dalam
gambar sebagai berikut :
Gambar 2
Karakteristik Sistem Peradilan Militer
Sumber : Materi Susjab Oditur Militer tahun 2008
40
Moch. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, h. 47-48.
BADAN
PERADILA
N
KASUS
MILITER
ASAS KEP
HUKUM
ASAS KEP
MILITER
ANKUM
POM (PENAHANAN
DG SPRIN ANKUM)
ODITUR
(BAPAT HUKUM)
PAPERA
M
HAN NEG
RINGAN
SIFATNYA
TIDAK
RINGAN
SIFATNYA
SERAHKAN
ANKUM
SERAHKAN
DILMIL
PUTUSAN-EKSEKUSI
62
2.3.4 Hukum Acara Peradilan Militer
Hukum pidana militer dan hukum acara pidana militer adalah
hukum khusus, disebut hukum khusus dengan pengertian untuk
membedakan dengan hukum acara pidana umum yang berlaku bagi
setiap orang.41
Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara
yang dilakukan oleh anggota militer (anggota TNI) adalah peran
komandan satuan tidak dapat diabaikan, di samping peranan aparat
penegak hukumnya mulai dari Polisi Militer, Oditur Militer dan
Hakim Militer. Hal ini disebabkan adanya asas kesatuan komando
(unity of command) dan kesatuan penuntutan (de een ondeelbarheit
van het parket) yang berlaku dalam sistem peradilan militer.
Selain dari pada itu perlu diperhatikan, bahwa sanksi pidana
yang dijatuhkan kepada seorang militer, selama tidak dijatuhi pidana
tambahan berupa pemecatan dari dinas militer dilaksanakan di
lembaga pemasyarakat khusus militer adalah merupakan
pembinaan/pendidikan berbeda dengan pembinaan di lembaga
pemasyarakatan umum. Maksud dari pembinaan tersebut diharapkan
setelah terpidana militer selesai menjalani pidananya, mereka dapat
kembali ke kesatuannya dan menjadi anggota militer yang lebih baik.
Tahapan penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan
militer sesuai dengan Hukum Acara Pidana Militer terbagi dalam
empat tahap, yaitu :
41
Ibid, h. 30.
63
a. Tahap Penyidikan
Tahap Penyidikan dilakukan oleh Penyidik yang terdiri dari
Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer (PM) dan
Oditur Militer. Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan
yang Berhak Menghukum tidak dilaksanakan sendiri, akan tetapi
dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer maupun Oditur Militer.
Sedangkan penyelidikan sebagai salah satu tahap penyidikan
merupakan fungsi yang melekat pada komandan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer.
Apabila pada tahap penyidikan, seorang Tersangka anggota
TNI dikhawatirkan akan melarikan diri, maka Atasan yang Berhak
Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk
melakukan penahanan terhadap Tersangka yang pelaksanaan
dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan
militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah
tahanan militer. Untuk kepentingan penyidikan Ankum berwenang
melakukan penahanan paling lama 20 hari, kemudian jika penyidikan
belum selesai maka Papera berwenang melakukan perpanjangan
penahanan paling lama selama 6 kali 30 hari atau 180 hari dan
sesudah masa 200 hari belum dilimpahkan ke Pengadilan Militer,
Tersangka harus sudah dibebaskan dari tahanan demi hukum, walau
proses penyidikan belum selesai.
64
b. Tahap Penyerahan Perkara
Penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
wewenang ada pada Perwira Penyerah Perkara melalui Oditurat
Militer. Tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara,
Papera setelah menerima pendapat hukum dari Oditur Militer tentang
penyelesaian suatu perkara, maka jika Papera sependapat dengan
pendapat Oditur Militer, maka Papera mengeluarkan Keputusan
Penyerahan Perkara (Keppera) untuk menyerahkan perkara kepada
Pengadilan yang berwenang melalui Oditur Militer untuk memeriksa
dan mengadili, menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum
Disiplin Prajurit atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau
demi kepentingan umum/militer.
Kemudian jika Papera tidak sependapat dengan Saran Pendapat
Hukum (SPH) Oditurat Militer bahwa perkara akan diselesaikan di luar
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, sedangkan Oditur Militer berpendapat
bahwa untuk kepentingan peradilan perkara perlu diajukan ke
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, maka jika Oditur Militer tetap pada
pendiriannya, Papera mengajukan permohonan dengan disertai alasan-
alasannya ketidak setujuannya dengan pendapat Oditur Militer kepada
65
Dilmiltama supaya perbedaan pendapat diputuskan dalam sidang oleh
Dilmiltama.
Selanjutnya Papera wajib mengirimkan permohonan Oditur
Militer tersebut dan berkas perkara yang disertai dengan pendapatnya
kepada Dilmiltama melalui Oditurat Militer. Sesudah mendengar
pendapat Orjen TNI di persidangan Dilmiltama, dengan putusannya
Hakim yang mengadili menyatakan perkara tersebut diajukan atau tidak
diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila Dilmiltama
memutuskan perkara tersebut harus diajukan ke Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, maka Papera segera melaksanakan keputusan
Dilmiltama. Sesudah menerima Keppera dari Papera kemudian Oditur
Militer melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadilan disertai surat
dakwaan.
c. Tahap Pemeriksaan Dalam Persidangan
Pemeriksaan di dalam persidangan Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi dilakukan sesuai asasnya, yaitu
sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan
perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Dalam pemeriksaan
perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, acara
pemeriksaan cepat, acara pemeriksaan khusus, dan acara pemeriksaan
koneksitas. Acara pemeriksaan cepat dilakukan untuk memeriksa
66
perkara lalu lintas dan angkutan jalan. Acara pemeriksaan khusus
adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara
pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran yang
hanya dapat diajukan permintaan kasasi.
Hakim militer dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan
Militer, bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu.
Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali
dalam acara pemeriksaan cepat. Terhadap tindak pidana militer
tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia
yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan
kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak
hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status
hukumnya.
d. Tahap Pelaksanaan Putusan
Tahap pelaksanaan putusan pengadilan setelah putusan hakim
berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi bagi terpidana militer yang
tidak dikenakan hukuman tambahan berupa pemecatan dilaksanakaan
di Pemasyarakatan Militer, sedangkan bagi terpidana yang mendapat
hukuman tambahan berupa pemecatan eksekusinya dilaksanakan di
Lembaga Pemasyarakatan Umum. Pengawasan terhadap pelaksanaan
putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat
pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana
67
bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan,
sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana
kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak
pidana lagi.
2.4 Sistem Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan
2.4.1. Jaksa Sebagai Penuntut Umum
Sistem penuntutan dalam sistem peradilan umum di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari peran seorang Jaksa selaku Penuntut
Umum. Jaksa menurut Mr. Susanto Kartoatmojo berasal dari bahasa
Sansekerta.42
“Adhyaksa” yang berarti superitendant atau
superitendance. Dahulu “Adhyaksa” tidak pernah dihubungkan
dengan dunia penegakkan hukum, namun saat ini telah mengalami
perubahan makna, yaitu dihubungkan dengan jabatan yang
disejajarkan dengan hakim komisaris yang mempunyai tugas
melakukan penyidikan perkara, penuntutan dan melakukan tugas
sebagai hakim komisaris.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, status dan
kedudukan Jaksa diatur dalam Inslandch Reglement (S.1848 Nomor
16) dan Rechterlyke Ordonantie (S. 1848 Nomor 57). Pada Pasal 62
RO menyebutkan, bahwa pekerjaan penuntut umum di Pengadilan
Negeri (Landraat) dilaksanakan oleh jaksa. Kedudukan Jaksa pada
saat itu sesuai Pasal 325 IR, tidak mempunyai wewenang untuk
42
Djoko Prakoso, 1983, Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan, Penerbit GI, Jakarta,
h. 19.
68
menjalankan suatu putusan pengadilan (esksekusi), karena
kewenangan eksekusi ada pada Asisten Resisden. Selanjutnya dengan
berlakunya HIR (S. 1941 No. 44), kedudukan jaksa tetap sebagai alat
kekuasaan Asisten Residen. Asisten Residen sebagai penuntut umum
(magistraat), sedangkan jaksa sebagai pembantu penuntut umum
(Ajunct Magistraat). Jabatan Asisten Residen dipegang oleh orang-
orang Belanda yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur
Jenderal, dan membawahi beberapa jaksa dari kalangan bumiputra.
Perkembangan selanjutnya pada masa penjajahan Jepang di
Indonesia, maka pengadilan-pengadilan untuk golongan Eropah
dihapuskan dan jabatan Asisten Residen sebagai Magistraat juga
dihapuskan. Dalam masa pendudukan Jepang, kedudukan jaksa
mengalami perubahan yang sangat mendasar, yaitu semua tugas dan
wewenang Asisten Residen dalam bidang penuntutan perkara pidana
kepada jaksa dengan jabatan Thoo Kensatsu Kyokuko atau setingkat
Kepala Kejaksaan di Pengadilan Negeri. Pengawasan. Pengawasan
kepada lembaga Kejaksaan dilakukan oleh Koo Too Kensatsu
Kyokuko atau Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Mahkamah
Agung (Saikoo Kensatsu Kyoku). Selanjutnya dengan
diberlakukannya Osamurai Nomor 49, Kejaksaan dimasukkan ke
dalam wewenang Cianbu atau Departemen keamanan yang memiliki
tugas mencari kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara serta
menjalankan putusan hakim. Wewenang jaksa tersebut masih
69
dilaksanakan sampai dengan Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Titik tolak sejarah perkembangan kejaksaan adalah
kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu melalui Maklumat
Pemerintah RI tanggal 1 Oktober 1945 kejaksaan dimasukkan pada
Departemen Kehakiman, sedangkan Kepolisian dimasukkan pada
Departemen Dalam Negeri. Kemudian berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945, istilah
yang oleh HIR disebut “magistraat” sebagai pelaksana tugas
“Openbaar Ministerie” di setiap Pengadilan Negeri diartikan sebagai
Jaksa.Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961
tentang Pokok Kejaksaan, pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa
“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan,
ialah alat negara penegak hukum yang terutama sebagai penuntut
umum.”
Selanjutnya sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 butir 6, yang
dimaksud penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. Jaksa sebagai penuntut umum berdasarkan Pasal 14
KUHAP mempunyai wewenang sebagai berikut :
Pasal 14 KUHAP
a. menerima dan memeriksa berkas perkara pinyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
70
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidik dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,
untuk datang pada persidangan yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tantang Kejaksaan, disebutkan bahwa
tugas dan wewenang kejaksaan adalah :
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melaksnakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pemeriksaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
71
2.4.2. Prosedur Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan
Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Tindakan penuntutan oleh
penuntut umum mempunyai tujuan yang tidak dapat dilepaskan
dengan hak asasi manusia dalam negara hukum yang mempunyai sifat
universal seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Oleh sebab itu tindakan pemerintah dalam hal ini aparatur
negara agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk
terjaminnya peradilan yang bebas selalu dikaitkan dengan sandi yang
utama, yaitu terjaminnya perlindungan hak asasi manusia.
Sejalan dengan dicanangkan program reformasi birokrasi di
tubuh Kejaksaan Republik Indonesia, guna membangun kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja lembaga kejaksaan. Penyederhanakan
sistem kerja dan mekanisme penanganan perkara tindak pidana umum
yang efektif dan efisien harus dilaksanakan, dengan tetap
memperhatikan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat,
penuh kearifan dan keadilan, sehingga hasil perubahan tersebutdapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pencari keadilan.
Sesuai Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
SE-013/A/JA/12/2011 tanggal 29 desember 2011 tentang Pedoman
72
Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum, hal-hal yang berhubungan
dengan penuntutan diatur sebagai berikut :
a. Pendelegasian Kewenangan Penuntutan
Kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana terhadap
perkara tindak pidana umum pada prinsipnya didelegasikan kepada
Kepala Kejaksaan Negeri, kecuali yang akan diajukan dengan
tuntutan bebas/lepasdari segala tuntutan, pidana percobaan, pidana
seumur hidup atau pidana mati, dan terhadap perkara tindak pidana
umum tertentu dapat diambil alih pengendaliannya oleh pimpinan.
b. Faktor Memberatkan dan Meringankan Tuntutan Pidana
Faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan untuk menentukan
hal-hal yang memberatkan dan meringankan adalah perbuatan
terdakwa, keadaan diri dan dampak perbuatan terdakwa. Faktor-faktor
yang memberatkan adalah sebagai berikut :
1) Faktor-faktor yang memberatkan adalah :
a) Mengganggu stabilitas dan keamanan Negara;
b) Merusak hasil pembangunan;
c) Menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat;
d) Menimbulkan keresahan yang meluas bagi masyarakat;
e) Menarik perhatian masyarakat;
f) Menyangkut SARA;
g) Merusak pembinaan generasi muda;
73
h) Menimbulkan penderitaan yang mendalam dan
berkepanjangan bagi korban atau keluarganya;
i) Korban kehilangan nyawa, harta benda dan kehormatan;
j) Korban kehilangan mata pencaharian;
k) Pengulangan tindak pidana;
l) Perbuatan yang dilakukan secara sadis;
m) Motivasi melakukan tindak pidana;
n) Riwayat hidup terdakwa;
o) Karakter, moral, keadaan sosial dan ekonomi terdakwa;
p) Peranan terdakwa;
q) Keadaan jasmani/rohani terdakwa; dan
r) Umur terdakwa.
2) Faktor-faktor yang meringankan adalah :
a) Adanya perdamaian;
b) Terdakwa menyesali perbuatannya;
c) Terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberikan
keterangan;
d) Terdakwa belum menikmati hasil kejahatan;
e) Terdakwa mengaku terus terang;
f) Terdakwa menyerahkan diri setelah melakukan tindak
pidana;
g) Terdakwa melakukan tindak pidana karena untuk
menghidupi keluarga;
74
h) Nilai ekonomi obyek kejahatan relatif kecil;
i) Pengaruh pidana yang diajukan terhadap masa depan
terdakwa;
j) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang terjadi;
k) Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
3) Faktor-faktor dalam menuntut pidana percobaan atau pidana
bersyarat, adalah sebagai berikut :
a) Terdakwa belum cukup umur;
b) Adanya perdamaian;
c) Adanya pembayaran ganti rugi oleh terdakwa;
d) Saksi korban mencabut laporan/pengaduan; dan
e) Memperhatikan situasi keadaan, keadilan dalam masyarakat
setempat, kearifan lokal.
4) Sikap Penuntut Umum Terhadap Putusan Pengadilan
a) Dalam menempuh upaya banding, perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
(1) Apabila terdakwa mengajukan banding, maka Penuntut
Umum wajib mengajukan perlawanan banding dan
harus menyerahkan memori banding serta kontra
memori banding apabila terdakwa menyerahkan
memori banding.
75
(2) Apabila putusan hakim sekurang-kurangnya 20 tahun
penjara dari tuntutan pidana mati atau seumur hidup,
namun pertimbangan penuntut umum dalam tuntutan
pidana diambil alih sebagianatau seluruhnya sebagai
pertimbangan hakim dalam putusan, maka penuntut
umum tidak harus mengajukan banding.
(3) Apabila putusan hakim ½ dari tuntutan pidana, namun
pertimbangan penuntut umum dalam tuntutan pidana
diambil sebagian atau seluruhnya sebagai
pertimbangan atau seluruhnya sebagai pertimbangan
hakim dalam putusannya, maka penuntut umum tidak
harus mengajukan banding.
(4) Apabila putusan hakim 2/3 dari tuntutan pidana,
walaupun pertimbangan penuntut umum tidak diambil
sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim
dalam putusannya, maka penuntut umum tidak harus
mengajukan banding.
b) Upaya hukum kasasi digunakan oleh penuntut umum dalam
hal putusan hakim yang amarnya membebaskan terdakwa
ataupun lepas dari segala tuntutan hukum.
2.5 Kebijakan Rencana Tuntutan
Latar belakang keluarnya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI
yang berlaku sejak tahun 2006 adalah dalam rangka meningkatkan
76
pengendalian dan pengawasan terhadap Oditur di lingkungan TNI pada saat
melaksanakan kekuasaan pemerintah di bidang penuntutan, sehingga rencana
penuntutan merupakan satu kendali Orjen TNI. Kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI mendasarkan pada ketentuan Pasal 47 ayat (2) Undang-
Undang Nomor31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu “Oditurat
adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melaksanakan penuntutan”.
Hal ini dimaknai bahwa setiap Oditur yang bertindak sebagai penuntut umum
di persidangan pengadilan, baik yunior maupun senior, namanya adalah
public prosecutor. Dengan kata lain semua Oditur apapun pangkatnya,
apapun jabatan strukturalnya ketika menjalankan penuntutan, dia adalah Alter
Ego Oditur Jenderal TNI, dia adalah personifikasi atau perumpamaan atau
perlambangan dari Oditur Jenderal TNI. Sedangkan dari Penjelasan Pasal 47
ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang dimaksud dengan
“Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah satu landasan
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan
memelihara kesatuan kebijaksanaan di bidang penuntutan sehingga dapat
menampilkan ciri-ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata
kerja Oditurat.
Maksud dan tujuan dikeluarkan kebijakan rencana tuntutan oleh
Oditur Jenderal TNI adalah dalam rangka meningkatkan pengendalian dan
pengawasan (Dalwas) kepada setiap Oditur Militer dalam melakukan
penuntutan. Pelaksanaan kebijakan rencana tuntutan merupakan salah satu
fungsi kendali (kontrol) Orjen TNI dalam melaksanakan pengendalian dan
77
pengawasan penyelesaian perkara. Harapan dengan dikeluarkan kebijakan
rencana tuntutan adalah :
a. Terciptanya satu kesatuan komando dalam pelaksanaan penuntutan
dikarenakan Oditur Militer adalah personifikasi dari Orjen TNI.
b. Terciptanya kehormatan dan eksistensi Oditurat yang dibanggakan,
c. Terciptanya kehormatan bagi Oditur Militer dalam melaksanakan
tugas pokoknya secara jujur, benar dan adil.
d. Terciptanya penegakkan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Kebijakan rencana tuntutan dikeluarkan pertama kali melalui Surat
Telegram Orjen TNI Nomor : ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006. Dalam
Surat Telegram tersebut, Oditur Militer yang hendak melakukan penuntutan
terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI
dengan melampirkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan
dan hal-hal yang meringankan serta memberatkan terhadap perkara pidana
yang ancaman pidana penjara di atas 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.
Kemudian kebijakan rencana tututan ditekankan lagi oleh Orjen TNI
melalui Surat Telegram Nomor: ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 yang
isinya setiap Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang akan melakukan
penuntutan terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan
Orjen TNI. Permohonan Oditur Militer kepada Orjen TNI dituangkan dalam
rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya di atas dua tahun
delapan bulan dan perkara yang ancaman pidananya 2 (dua) tahun 8 (delapan)
78
bulan ke bawah, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan
dari dinas militer, kecuali terhadap perkara desersi in absensia.
Perkembangan selanjutnya mengenai pengaturan teknis penuntutan di
lingkungan TNI diatur dalam Peraturan Panglima TNI Nomor
Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk Administrasi
Oditurat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dengan keluarnya Peraturan
Panglima tersebut, diatur lebih khusus mengenai batasan perkara yang harus
dimintakan persetujuan tuntutannya kepada Orjen TNI yang terdapat dalam
Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, yaitu Oditur melalui Kepala
Oditurat Militer/Kepala Oditurat Militer Tinggi harus meminta petunjuk dan
arahan Orjen TNI sebelum mengajukan tuntutan :
c) Dalam Perkara :
(3) Yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
(4) Yang sifatnya menonjol.
d) Apabila akan menuntut bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan.
Keluarnya Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal
27 Februari 2009 ternyata Surat Telegram Orjen TNI Nomor ST/20/2006
tanggal 22 Nopember 2006 dan Surat Telegram Nomor: ST/01/2009 tanggal
18 Pebruari 2009 tetap diberlakukan di semua jajaran Oditurat walau sudah
tidak sejalan lagi dengan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27
Februari 2009. Kebijakan rencana tuntutan tetap diberlakukan dengan alasan
bahwa Oditur Militer telah di luar kendali dan tidak lazim karena banyaknya
perkara yang tidak wajib membuat rencana tuntutan yang dituntut oleh Oditur
79
Militer dengan pidana penjara di bawah 3 (tiga) bulan. Penekanan rencana
tuntutan ini melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor ST/11/2011 tanggal 28
Desember 2011 dikarenakan Oditur Militer dianggap telah di luar kendali
dengan melakukan tuntutan terhadap terdakwa di bawah 3 bulan, sehingga
perkara yang tidak wajib membuat rencana tuntutan diwajibkan membuat
rencana tuntutan. Selanjutnya melalui ST/04/2012 tanggal 31 Januari 2012
Orjen TNI mengeluarkan petunjuk untuk melaksanakan rencana tuntutan
terhadap tindak pidana minimal 3 bulan. Kemudian penekanan ulang rencana
tuntutan disampaikan oleh Orjen TNI yaitu melalui ST/26/2012 tanggal 21
Desember 2012 yang isinya bahwa rencana tuntutan diajukan kepada Orjen
TNI terhadap perkara-perkara :
g. Perkara yang akan dituntut kurang dari tiga bulan.
h. Perkara narkotika dan psikotropika.
i. Perkara susila yang melibatkan Keluarga Besar TNI.
j. Perkara yang ancaman pidananya lebih dari dua tahun delapan bulan.
k. Perkara yang ancaman pidananya kurang dari dua tahun delapan
bulan, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan
kecuali perkara desersi in absensia.
l. Perkara yang dimintakan petunjuk Orjen TNI untuk penutupan
perkara atau hukum displin dan sesuai petunjuk Orjen TNI tetap
diselesaikan melalui Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi.
80
BAB III
INDEPENDENSI ODITUR MILITER DALAM MELAKSANAKAN
FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR DENGAN
BERLAKUNYA KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN
3.1. Maksud dan Tujuan Berlakunya Kebijakan Rencana Tuntutan
Menurut pendapat Kepala Dinas Pengawas Teknis Oditurat Jenderal
TNI Kolonel Chk Endro Nurwantoko, pelaksanaan rencana tuntutan yang
diberlakukan sejak tahun 2006 dimaksudkan menjadi satu alat kendali Orjen
TNI dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan penyelesaian
perkara (sebagai fungsi kontrol) agar setiap Oditur Militer tidak berlaku
semaunya sendiri dalam menentukan besaran tuntutan. Sesuai dengan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Oditur
adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melaksanakan penuntutan. Hal
tersebut maknanya adalah semua Oditur yang bertindak sebagai Penuntut di
Persidangan Pengadilan adalah deputy public presecutor. Dengan kata lain
ketika menjalankan penuntutan dia adalah “Alter Ego” personifikasi
(perlambangan) dari Orjen TNI, sehingga harus dapat menampilkan ciri khas
yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerjanya.
Tujuan pelaksanaan rencana tuntutan adalah terciptanya kehormatan
bagi Oditur Militer dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara
jujur, benar dan adil, sehingga mampu cipta penegakan hukum di lingkungan
TNI sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan adanya pelaksanaan rencana
81
tuntutan diharapkan terciptanya kehormatan dan eksistensi Oditurat sebagai
lembaga penuntutan di lingkungan TNI yang dapat dibanggakan. Proses
pelaksanaan rencana penuntutan di jajaran Oditurat Jenderal TNI dapat dilihat
dari gambar siklus mekanisme rencana tuntutan pada gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3
Siklus Mekanisme Rencana Tuntutan
Sumber : Bahan Rakornis Babinkum TNI TA. 2012
RENTUT
ODITUR
1
2
3
4
5
6
7
ORMIL/TI PU
KAOTMIL/TI
JUK ORJEN
RAPAT RENTUT
82
Sedangkan alur pelaksanaan rencana penuntutan di jajaran Oditurat
Jenderal TNI dapat dilihat dari gambar bagan mekanisme rencana tuntutan
pada gambar 4 di bawah ini:
Gambar 3
Mekanisme Pelaksanaan Rencana Tuntutan
Sumber : Rakornis Babinkum TNI TA. 2012
ORJEN TNI
KA OTMILTI
KA OTMIL
RAPAT RENTUT
1. Pimp-Waorjen
2. Peserta :
a. Ses
b. Para Kadis
ORMILTI
ORMIL
PERSIDANGAN
83
3.2. Independensi Oditur Militer Dalam Melaksanakan Fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar Dengan Berlakunya Kebijakan
Rencana Tuntutan
Membahas tentang independensi Oditur Militer sebagai Penuntut
Umum di lingkungan TNI dalam melaksanakan fungsinya dengan berlakunya
kebijakan rencana tuntutan oleh Orjen TNI yang diberlakukan sejak tahun
2006 di seluruh jajaran Oditurat, maka penulis melakukan penelitian di
Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar (Otmil III-14 Denpasar). Daerah
hukum Oditurat Militer III-14 Denpasar meliputi Pulau Bali dan Nusa
Tenggara Barat, sedangkan tugas dan kewewenangan Otmil III-14 Denpasar
sebagai salah satu institusi penuntutan sesuai dengan ketentuan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah :
(1) Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya;
1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b
dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan”
Kapten ke bawah;
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili
oleh Pengadilan Militer;
b. melaksanakan penetapan hakim atau putusan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum;
c. melakukan pemeriksaan tambahan.
(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan.
84
Oditurat Militer III-14 Denpasar merupakan Oditurat Militer tipe “A”
yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dipimpin oleh seorang
Kepala yang berpangkat Kolonel dari korp hukum berkualifikasi Sarjana
Hukum, yang berkedudukan selaku Oditur Militer (Ormil). Kepala Oditurat
Militer III-14 Denpasar selaku penanggung jawab kebijakan dan
mengendalikan fungsi Oditurat Militer dalam bidang penuntutan dibantu oleh
Kepala Kelompok Oditur Militer, disingkat Kapok Ormil yang dijabat oleh
Pamen TNI berpangkat Letnan Kolonel korp hukum berkualifikasi Sarjana
Hukum, yang berkedudukan sebagai Oditur Militer. Kepala Kelompok Oditur
Militer dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh tiga orang anggota Pok
Ormil yang masing-masing dijabat oleh Pamen TNI berpangkat Mayor korp
hukum berkualifikasi Sarjana Hukum yang berkedudukan sebagai Oditur
Militer. Setiap Oditur Militer bertugas melakukan pengolahan perkara dan
penuntutan perkara pidana yang ditangani langsung oleh Oditurat Militer III-
14Denpasar yang nantinya dilimpahkan ke Pengadilan Militer III-14
Denpasar untuk diperiksa dan diadili.
Hasil penelitian penulis dalam mencari jawaban tentang independensi
Oditur Militer tersebut, maka penulis mewancarai beberapa narasumber yang
berhubungan langsung permasalahan yang diangkat, yaitu Oditur Militer
yang bertugas di kantor Otmil III-14 Denpasar, antara lain :
a. Letkol Chk Sumantri
Wawancara dengan Letkol Chk Sumantri yang jabatan kesehariannya
adalah Kapok Ormil Otmil III-14 Denpasar dilakukan pada hari Senin tanggal
85
8 Desember 2014 pukul 09.00 Wita. Dari hasil wawancara diperoleh
keterangan bahwa Oditur Militer Sidang yang melaksanakan sidang di
Pengadilan Militer tidak independen pada saat menjalankan fungsinya
sebagai penuntut umum, karena ketika akan menjatuhkan tuntutan pidana
harus membuat rencana tuntutan, atau setidak-tidaknya melaporkan kepada
Kepala Oditurat Militer untuk mendapat persetujuan. Dengan adanya
kebijakan rencana tuntutan yang merupakan fungsi kontrol, maka Oditur
Militer dianggap belum profesional dan belum memahami tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) dalam menjalankan tugasnya selaku penuntut umum di
lingkungan TNI.
Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta yang
terjadi di Persidangan Militer secara utuh, ketika selesai melakukan
pemeriksaan terhadap Terdakwa dan pada saat membuat tuntutan,
keputusannya menjadi tergantung kepada pimpinan, sehingga keputusan yang
diambil tidak murni darinya. Dicontohkan, ketika Oditur Militer mengajukan
rencana tuntutan, besaran tuntutan pidana yang diajukan dalam rencana
tuntutan, setelah turun tidak sama dengan rencana tuntutan dari Oditur
Militer, begitu juga terhadap besaran tuntutan naik maupun kurang dengan
tanpa diberi penjelasan. Oditur Militer sudah selayaknya diberi kebebasan
dalam menentukan tuntutan, tetapi tetap mengedepankan kebebasan
bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan. Dalam hal klasifikasi perkara
yang sifatnya menonjol harus diperjelas tolok ukurnya agar tidak menjadi
86
multi penafsiran, seperti perkara yang mendapat perhatian masyarakat dan
juga berdampak kepada kepentingan publik.
b. Mayor Chk Reman.
Wawancara dengan Mayor Chk Reman yang kesehariannya menjabat
sebagai Kasilahkara Otmil III-14 Denpasar sekaligus merangkap sebagai
Oditur Militer dilakukan pada hari Rabu tanggal 10 Desember 2014 pukul
13.00 Wita. Dalam wawancara dijelaskan bahwa pada dasarnya Oditur
Militer yang melaksanakan sidang pada saat melakukan pemeriksaan
terhadap terdakwa, saksi dan alat bukti di persidangan dilakukan secara
independen. Oditur Militer mempunyai keyakinan sendiri karena mengetahui
suasana kebatinan pada saat melakukan pemeriksaan di persidangan
Pengadilan Militer, namun dalam membuat tuntutan keputusan akhir ada pada
pimpinan. Oditur Militer sangat berbeda dengan Hakim Militer, karena
Hakim Militer terhadap putusan murni tidak bertanggung jawab pada
Kepala/Atasannya, namun secara individu langsung bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sehubungan dengan kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI, hal
ini karena tidak lepas dari asas Oditurat satu dalam melakukan penuntutan,
yaitu supaya setiap Oditur Militer tidak keluar hal-hal yang telah diatur.
Rencana tuntutan yang diajukan tidak semuanya diajukan ke Orjen TNI,
tetapi ada yang cukup kepada Kepala Oditurat setempat saja dan rencana
tuntutan tetap diperlukan untuk perkara yang besifat menonjol saja. Rencana
tuntutan yang diajukan tidak selalu beda, namun terkadang yang menjadi
87
beban adalah kalau dalam rencana tuntutan yang diajukan hanya memuat
tuntutan berupa pidana penjara, tetapi setelah turun dari Orjen TNI agar
dituntut juga dengan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.
Persetujuan rencana tuntutan nantinya menjadi dasar dalam membuat surat
tuntutan (requisitoir) yang nantinya dibacakan dalam persidangan di
Pengadilan Militer, sehingga hakim militer tetap memperhatikan tuntutan
Oditur Militer dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Begitu juga
jika hakim memutus kurang dari separo tuntutan Oditur Militer, tentunya
sesuai aturan Oditur Militer akan melakukan upaya hukum berupa banding.
c. Mayor Laut (KH) I Made Adnyana
Wawancara dengan Mayor Laut (KH) I Made Adnyana yang jabatan
kesehariannya adalah Kasi Penuntutan Oditurat Militer III-14 Denpasar
sekaligus bertindak sebagai Oditur Militer dilakukan pada hari Kamis tanggal
11 Desember 2014 pukul 09.00 Wita. Dalam wawancara dijelaskan bahwa
Oditur Militer boleh dikatakan “ya atau tidak” independen. Ketidak bebasan
harus membuat laporan ke Orjen TNI yang membuat setiap Oditur Militer
pada saat melakukan penuntutan menjadi kurang independen. Oditur Militer
yang menyidangkan perkara lebih mengetahui fakta-fakta hukum di
persidangan maupun undang-undang dan batasan minimal maupun maksimal
tuntutan, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemecatan terhadap
prajurit TNI yang dirasa sudah tidak layak dipertahankan dalam dinas
kemiliteran sesuai KUHPM. Oditur Militer mendasarkan pada pembuktian di
88
persidangan, sehingga dalam menentukan tuntutan yang dirasa tetap dalam
memenuhi rasa keadilan.
Kebijakan rencana penuntutan yang merupakan fungsi kontrol dari
atasan tidak perlu dilakukan, tetapi terhadap fungsi kontrol ini seharusnya
dilakukan oleh intelejen pengawas. Intelejen pengawas berfungsi ke dalam
adalah melakukan pengawasan secara tertutup terhadap setiap tindakan
Oditur Militer dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan fungsi keluar
intelejen pengawas adalah menelusuri rekam jejak terdakwa sejak perkaranya
masuk ke Oditurat Militer, sehingga dapat dalam menilai kehidupan terdakwa
lebih obyektif dan dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa nantinya
dapat mendekati keadilan. Namun demikian intelejen pengawas di setiap
Oditurat Militer belum ada, sehingga perlu diadakan guna mendukung tugas
Oditurat yang lebih baik di masa yang akan datang.
Menurut ketiga responden narasumber Oditur Militer yang telah
diwawancari, baik secara inplisit maupun eksplisit menerangkan dengan
adanya kebijakan rencana tuntutan yang diberlakukan oleh Orjen TNI kepada
jajaran Oditurat, akan membuat Oditur Militer menjadi tidak independen
dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Hal
ini dikarenakan setiap Oditur Militer yang lebih mengetahui fakta-fakta
hukum yang terjadi di persidangan secara utuh namun pada saat akan
membuat tuntutan, keputusannya menjadi tergantung kepada pimpinan,
sehingga keputusan yang diambil tidak murni dari hati nuraninya. Kebijakan
rencana tuntutan menjadikan Oditur Militer tidak dapat secara mandiri
89
mengambil keputusan dalam membuat tuntutan maupun bertanggung jawab
secara penuh terhadap perkara yang sedang ditangani.
Selain dari hasil wawancara dengan narasumber tersebut di atas, untuk
melengkapi ketepatan dalam menganalisis mengenai independensi Oditur
Militer, penulis menyajikan data rencana penuntutan di Oditurat Militer III-14
Denpasar sebagaimana dapat dilihat dari Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini :
Tabel 1 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012
NO
URT.
NAMA
TERDAKWA
PSL DILANGGAR
(ANCAMAN PID)
RENTUT
KAOTMIL
JUK
ORJEN
VONIS
HAKIM
1. Prada Made Rida
Hubdam IX/Udy
Ps 87 ayat (1) ke-2 jo
(2) KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 5 bln
pottah
Pjr 5 bln
pottah
Pjr 3 bln pottah
2. Sertu Yuda Candra
Ps 363 (1) ke-3 jo Ps
53 ayat (1) KUHP
(maks 6 thn)
Pjr 3 bln
pottah
Pjr 4 bln
pottah
Pjr 4 bln MP 6
bln
3. Serda Made Rudi P
Kudam IX/Udy
Ps 359 KUHP
(maks 5 thn)
Pjr 5 bln
pottah
Pjr 5 bln
pottah
Pjr 5 bln MP 7
bln
4. Sertu Winarno
Kodim 1606
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 12 bln
pottah+pecat
Pjr 12 bln
pottah+pecat
10 bln+pecat
5. Pratu Lalu Budiman
Denbek Mataram
Ps 360 ayat (2)
KUHP(maks 9 bln)
Pjr 3 bln Pjr 3 bln Pjr 3 bln MP 6
bln
6. Pratu Mastur
Lanud Rembiga
Ps 86 ke-1 KUHPM
(maks 1 thn 4 bln)
Pjr 4 bln Pjr 3 bln Pjr 2 bln
7. Pratu Yusran
Yonif 631
Ps 353 (1) jo Ps 55
(1) KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 1 thn 6
bln
Pjr 1 thn 6
bln
Pjr 11 bln
8. Pratu Nurman H.
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM (inab)
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
9. Serda Sohirin
Kodim Loteng
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM (inab)
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
10. Koptu Agus
Mulyadi
Korem 163/WSA
Ps 1 (1) UU No.12/
1951+351 (2)KUHP
(maks 5 thn)
Pjt 2
thn+pecat
Pjt 5
thn+pecat
Pjr 1 thn
3bln+pecat
11. Peltu Lukman Jafar
Denma Kodam IX
Ps 114 UU No. 35/
2009 ttg Narkotika
(6-20 thn)
Pjr 5
thn+pecat
Pjr 5
thn+pecat
+denda 1
juta
10 bln+denda 1jt
subs 3bln
12 Serma Buang
Lanud Rai
Ps 284 (1) ke-2a dan
281 ke-1 KUHP
(maks 9 bln)
Pjr 9
bln+pecat
Pjr 9
bln+pecat
Pjr 10 bln+pecat
13 Serma IN Sulandra
Kodim Tabanan
Ps 335 (1) ke-1
KUHP (maks 1 thn)
Pjr 4 bln Pjr 4 bln Pjr 3 bln,MP 6
bln
14. Prada Parenta A.
Paldam IX/Udy
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
Pjr 3 bln Pjr 3 bln Pjr 2 bln
90
(maks 2 thn 8 bln)
15. Sertu Budiman
Yonif 210
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2thn 8 bln)
Pjr 5 bln Pjr 6 bln Pjr 6 bln 20 hari
16. Serma Abdul Malik
Kudam IX/Udy
Ps 86 (1) KUHPM
(1 thn 4 bln)
Pjr 3 bln Pjr 3 bln Pjr 1 bln 15 hari
17. Koptu Made
Kardiasa
Denmadam IX/Udy
Ps 86 (1) KUHPM
(1 thn 4 bln)
Pjr 4
bln+pecat
Pjr 4
bln+pecat
Pjr 3 bln 15 hari
18. Pratu Agustinus R.
Denzipur 9/YKR
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 4 bln Pjr 3 bln Pjr 3 bln
19. Kopda Hari Supri
Lanud Rembiga
Ps 352 (1) KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 3 bln - Pjr 11 bln
20. Kopda Rifaid
Yonif 742/SWY
Ps 299 (1) KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 8 bln Pjr 12 bln Pjr 9 bln
21. Pelda IN Astika
Babiminvetcaddam
Ps 263 (1) KUHP
Ps 263 (2) KUHP
(maks 6 thn)
Pjr 10 bln Pjr 10 bln Pjr 5 bln MP 8
bln
22. Kapten Ckm
Sukoco
Kesdam IX/Udy
Ps 335 (1) ke-1
KUHP (maks 1 thn)
Pjr 4 bln Pjr 4 bln Pjr 5 bln MP 8
bln
23. Kapten Chb Ismail
Denkomlek Dps
Ps 352 (1) KUHP
(4 thn)
Pjr 4 bln Pjr 3 bln Pjr 3 bln MP 5
bln
24. Sertu Agus Arsana
Rindam IX/Udy
Ps 124 (1) KUHPM
(maks 1 thn)
Pjr 3 bln Pjr 6 bln Pjr 3 bln MP 6
bln
25. Praka IB Cunadi, Cs
Denzipur 9/YKR
Ps 335 (1) ke-1
KUHP jo 55 (1)ke-1
(maks 1 thn)
@Pjr 4 bln @Pjr 6 bln @Pjr 5 bln MP 8
bln
26. Serka Suryono
Kodim Badung
Ps 112 (1) & (2) UU
No.35/2009
(4-12 thn)
Pjr 6 thn
denda 800jt
sub 8 bln
Pjr 6 thn
denda 800jt
sub 3 bln
4 thn,denda 1jt/3
bln
27. Peltu Nurjadianto
Sandidam IX/Udy
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 7 bln Pjr 8 bln Pjr 4 bln
28. Serma IN Karyana
Kodim Bangli
Ps 351 (1) KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 5 bln Pjr 7 bln Pjr 4 bln MP 8
bln
29. Serma Usman
Pomdam IX/Udy
Ps 351 (1) KUHP jo
Ps 55 (1)ke-1 KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 6 bln - Pjr 9 bln
30. Sertu M. Ridwan
Yonif 742/SWY
Ps 352 (1) KUHP jo
Ps 55 (1)ke-1 KUHP
(4 thn)
Pjr 4 bln Pjr 4 bln Pjr 3 bln MP 5
bln
31. Sertu Y. Bengu
Kodim Loteng
Ps 352 (1) KUHP
(4 thn)
Pjr 4 bln Pjr 3 bln Pjr 3 bln MP 6
bln
32. Koptu Ahmad H.
Kodim Loteng
Ps 480 ke-1 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 6 bln Pjr 12 bln Pjr 6 bln
33. Prada Abdul Munir
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 1
thn+pecat
Pjr 7 bln+pecat
34. Kopka B. Taek
Korem 162/WB
Ps 263 (1) KUHP &
Ps 277 (1) KUHP
(maks 6 thn)
Pjr 11 bln Pjr 12 bln Pjr 3 bln
35. Serma Saiful
Kesdam IX/Udy
Ps 114 (1) UU No.
35/2009 &Ps 127(1)
(15 thn)
Pjr 6
thn,denda
800jt sub 6
bln
krngn+pecat
Pjr 6
thn,denda
800jt sub 6
bln
krngn+pecat
Pjr 3 thn+pecat
91
36. Pratu Ariyawan P.
Denmadam IX/Udy
Ps 352 (1) KUHP
(4 thn )
Pjr 3 bln Pjr 3 bln Pjr 2 bln MP 4
bln
37. Pratu Arif Rahman
H.
Yonif 742/SWY
Ps 281 ke-1 KUHP &
Ps 86 ke-KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 14 bln
+pecat
Pjr 11 bln
38. Kapten Chb Ismail
Denkomlek Dps
Ps 372 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 1 thn +pecat
39. Letda Fatchur R.
Bekangdam IX/Udy
Ps 118 (1)KUHPM &
284(1)ke-1KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 1 thn +pecat
40. Praka La Sudarmin
Yonif 900/R
Ps 281 ke-1 KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 15 bln Pjr 18 bln Pjr 11 bln
41 Pelda Herman
Yanto
Kodim Sumbawa
Ps 263 (1) KUHP
(maks 6 thn)
Pjr 8 bln Pjr 8 bln Pjr 5 bln
Keterangan : Kolom diblok adalah perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 5 tahun
Sumber : Data Rencana Tuntutan Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012
Tabel 2
Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013
NO
URT.
NAMA
TERDAKWA
PSL DILANGGAR
(ANCAMAN PID)
RENTUT
KAOTMIL
JUK
ORJEN
VONIS
HAKIM
1. Kpt Cpm Simarmata
Pomdam IX/Udy
Ps 368 KUHP &
Ps 126 KUHPM
(maks 5 thn)
Pjr 11 bln Pjr 12 bln Pjr 7 bln
2. Sertu Hendra S,Cs
Pomdam IX/Udy
Ps 170 (1)ke-3 jo (2)
KUHP
(maks 12 thn)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 11 bln
3. Ltd Inf M. Zainul E.
Korem 163/WSA
Ps 359 KUHP
(maks 5 thn)
Pjr 7 bln Pjr 10 bln Pjr 2 bln
4. Kpt Inf Muhdar,
SPd
Korem 163/WB
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 3 bln Pjr 4 bln Pjr 4 bln MP 6
bln
5. Serka Johan Suardi
Kesdam IX/Udy
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 6 bln pottah
6. Sertu Rai Winata
Korem 102/Panju
Ps 9 (1) jo 49a UU
23/2009 KDRT
(maks 3 thn)
Pjr 5 bln
pottah
Pjr 1 thn
+pecat
Pjr 11 bln pottah
7. Serma Pedes
Korem 163/WB
Ps 406 (1) jo Ps 352
(1) KUHP
(4 thn)
Pjr 8 bln Pjr 8 bln Pjr 3 bln
8. Pratu Aris Budi A.
Lanud Rembiga
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM jo Ps 88
(2 thn 8 bln)
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
9. Serda I Pt Yudanika
Rindam IX/Udy
Ps 360 (2) KUHP
(maks 9 bln)
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
10. Pelda Roesbiyanto I
Bintaldam IX/Udy
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 6 bln Pjr 10 bln Pjr 5 bln MP 3
bln
11. Pelda Roesbiyanto
II
Bintaldam IX/Udy
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 5 bln Pjr 6 bln
pottah
Pjr 4 bln pottah
12 Serma IW Narya Ps 131 (1) jo (2) Pjr 3 bln Pjr 8 bln Pjr 5 bln MP 8
92
Babinminvetcaddam KUHPM
(maks 4 thn)
bln
13 Serka Johan Suardi
Kesdam IX/Udy
Ps 372 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 1 thn Pjr 12 bln Pjr 6 bln pottah
14. Sertu A. Mujahidin
Korem 162/WB
Ps 328 KUHP
(maks 12 thn)
Pjr 7 bln Pjr 7 bln Pjr 3 bln
15. Praka Suparman
Yonif 742/SWY
Ps 480 ke-1 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 3 bln Pjr 5 bln Pjr 2 bln 15 hari
16. Serda Antonius
Toni
Kodim Lotim
Ps 378 KUHP
(maks 4 thn)
Pjr 8 bln Pjr 8 bln Pjr 4 bln
17. Praka Handoko A.P.
Kesdam IX/Udy
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 1 thn
+pecat
Pjr 1 thn
+pecat
Pjr 7 bln +pecat
18. Kopda Md Sutayasa
Yonif 742/SWY
Ps 284 (1) ke 2a
KUHP (maks 9 bln)
Pjr 7 bln
+pecat
- Pjr 8 bln
20hr+pecat
19. Kaptn Lalu
Suparman
Korem 162/WB
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 1 thn + pecat
20. Kopka Rohim
Kodim Loteng
Ps 351 (1) KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 5 bln Pjr 5 bln Pjr 4 bln
21. Pratu Jainul Abidin
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 6 bln Pjr 6 bln Pjr 7 bln+pecat
22. Serda Muslehudin
Kodim 1607
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 5 bln Pjr 5 bln Pjr 4 bln pottah
23. Pratu Chandra S.
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
24. Pratu Dadang D.
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
25. Pratu Apris S. Olla
Yonif 742/SWY
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
26. Pelda Murdali Lubis
Korem 162/WB
Ps 279(1) ke-1
KUHP (maks 5 thn)
Pjr 7 bln Pjr 7 bln Pjr 5 bln
27. Serka Wiyono
Korem 163/WSA
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln
+pecat
Pjr 10 bln +pecat
28. Serma Rui
Carvalhera
Kodim Sumbawa
Ps 281 ke-1 KUHP
(maks 2 thn 8 bln)
Pjr 3 bln
pottah
Pjr 3 bln
pottah
Pjr 6 bln pottah
29. Prada Ariyawan P.
Denmadam IX/Udy
Ps 335 (1) ke-1
KUHP (maks 1 thn)
Pjr 7 bln - Pjr 8 bln +dipecat
30. Koptu Slamet R.
Denhubdam IX/Udy
Ps 86 ke-1 KUHPM
(1 thn 4 bln)
Pjr 4 bln - Pjr 3 bln
31. Serma Km Pedes
Korem 163/WB
Ps 335 (1) ke-1
KUHP (maks 1 thn)
Pjr 4 bln - Pjr 3 bln
32. Prada To Welros T.
Rindam IX/Udy
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 11 bln Pjr 9 bln
33. Serma I Ketut W.
Paldam IX/Udy
Ps 335 (1) ke-1
KUHP(maks 1 thn)
Pjr 4 bln - Pjr 3 bln MP 6
bln
34. Prada M. Sandy Y.P
Ajendam IX/Udy
Ps 351 (2) KUHP
(Maks 5 thn)
Pjr 10 bln
pottah
Pjr 12 bln
pottah
Pjr 11 bln pottah
35. Koptu IGN Yudana Psl 114 (1) &127(1) Pjr 5 thn Pjr 5 thn Bebas
93
Korem 163/WB UU No 35/2009
(4-15 thn)
+pecat
denda 1M/6
bln
+pecat
denda 1M/6
bln
36. Kopka Ketut Kanis
Ajendam IX/Udy
Ps 263 (2) KUHP
(maks 6 thn)
Pjr 6 bln Pjr 9 bln Pjr 5 bln MP 9
bln
37. Pratu Saiful Arbangi
Bekangdam IX/Udy
Ps 281 ke-1 KUHP
(2 thn 8 bln)
Pjr 1
thn+pecat
- Pjr 8 bln+pecat
38. Serda Jainudin
Kodim Bima
Ps 281 ke-1 KUHP
(2 thn 8 bln)
Pjr 10 bln - Pjr 6 bln
39. Serda Gd Yuda P.
Rindam IX/Udy
Ps 86 ke-1 KUHPM
(1 thn 4 bln)
Pjr 3 bln - Pjr 1 bln 15 hari
40. Praka Km Kartika
Denmadam IX/Udy
Ps 335 (1) KUHP
(maks 1 thn)
Pjr 3 bln - Pjr 3 bln MP 5
bln
41 Pratu Bastian Tri K.
Denzipur 9/YKR
Ps 106 (1) KUHPM
(maks 9 thn)
Pjr 6 bln Pjr 6 bln Pjr 5 bln
42 Serka I Dewa Made
P
Pomdam IX/Udy
Psl 114 (2) &127(1)
UU No. 35/2009
(15 thn)
Pjr 10thn
+pecat
denda
1M/6bln
Pjr 7 thn
+pecat
denda 500jt
subs 6 bln
Pjr 6 thn
+pecat,denda 1
M/6 bln kurungan
43 Kopda Rifaid
Yonif 742/SWY
Ps 281 ke-1 KUHP
(2 thn 8 bln)
Pjr 10 bln
pottah
- Pjr 11 bln pottah
44 Serma Km Pedes
Korem 163/WSA
Ps 103 (1) KUHPM
(2 thn 4 bln)
Pjr 8 bln
pottah
- Pjr 5 bln+pecat
45. Serma Jainudin
Kodim Bima
Ps 87 (1) ke-2 jo (2)
KUHPM
(2 thn 8 bln)
Pjr 3 bln - Pjr 1 bln 15 hari
Keterangan : Kolom diblok adalah perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 5 tahun
Sumber : Data Rencana Tuntutan Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013
Selanjutnya dari kedua tabel di atas dapat disederhanakan tentang
pelaksanaan kebijakan rencana tuntutan yang tidak sesuai dengan Peraturan
Panglima TNI Nomor : Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 yang ada
di Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar agar mudah dipahami. Dari data
rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar tahun
2012 terdapat 41 perkara pidana yang diajukan persetujuan rencana tuntutan.
Selanjutnya dari 41 perkara tersebut sebanyak 2 perkara diajukan rencana
tuntutan lokal atau cukup kepada Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar,
dan sebanyak 39 perkara diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI.
Sedangkan dari 39 perkara yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI
94
hanya terdapat 9 perkara yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara atau
lebih dan sisanya sebanyak 30 perkara ancaman pidananya kurang dari 5
(lima) tahun.
Kemudian dari data rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat
Militer III-14 Denpasar tahun 2013 terdapat 45 perkara pidana yang diajukan
persetujuan rencana tuntutan. Dari 45 perkara tersebut sebanyak 11 perkara
diajukan rencana tuntutan lokal atau cukup kepada Kepala Oditurat Militer
III-14 Denpasar, dan sisanya sebanyak 34 perkara diajukan rencana tuntutan
kepada Orjen TNI. Sedangkan dari 34 perkara yang diajukan rencana tuntutan
kepada Orjen TNI hanya terdapat 9 perkara yang ancaman pidananya 5 (lima)
tahun penjara atau lebih dan sisanya sebanyak 25 perkara ancaman pidananya
kurang dari 5 (lima) tahun.
Sebelum menganalisis lebih lanjut menggunakan teori hukum, maka
untuk mendapatkan gambaran yang utuh penulis akan memberikan contoh
kasus yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI oleh Oditur Militer
sampai mendapat vonis dari Majelis Hakim, yaitu dalam perkara pidana atas
nama terdakwa Prada Muhamad Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388.
Pada perkara ini terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana
“Penganiayaan Berat” sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) dengan
ancaman pidana penjara lima tahun, sehingga perkara tersebut layak diajukan
permohonan kepada Orjen TNI.
95
Berikut ini adalah rencana tuntutan Oditur Militer pada Kantor
Oditurat Militer III-14 Denpasar dalam perkara terdakwa atas nama Prada
Muhamad Sandy Yudha Putra :
ODITURAT MILITER TINGGI-III
ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
Denpasar, 19 September 2013
Nomor : R/37/IX/2013
Klasifikasi : Rahasia
Lampiran : -
Perihal : Rencana tuntutan a.n. Terdakwa
Prada Muhamad Sandy Yudha
Putra NRP 31100219320388 Kepada
Yth. Orjen TNI
di
Jakarta
1. Dasar:
a. ST Orjen TNI Nomor ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006
tentang Rencana Tuntutan.
b. Keputusan Penyerahan Perkara Keputusan Penyerahan Perkara dari
Danrem 162/WB No. Kep/91/VII/2013, tanggal 9 Juli 2013.
c. Surat Dakwaan Oditur Militer Nomor: Sdak/33/K/AD/VII/2013
tanggal 17 Juli 2013, yang pada pokoknya Terdakwa telah didakwa
melakukan tindak pidana “Penganiayaan Berat”.Sebagaimana diatur dan
diancam dengan pidana dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP.
2. Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagai berikut:
a. Bahwa benar Terdakwa menjadi prajurit TNI melalui pendidikan
Secata PK Gelombang II Tahun Anggaran 2009/2010 di Rindam
IX/Udayana, setelah lulus lalu dilantik dengan pangkat Prada, selanjutnya
pada tahun 2010 mengikuti pendidikan kecabangan Ajudan Jendral di
Pusdik Ajen di Bandung, selesai pendidikan kecabangan ditempatkan di
Ajendam XII/Tanjung Pura sampai dengan kejadian yang menjadi perkara
ini masih dengan pangkat Prada NRP. 31100219320388.
b. Bahwa benar Terdakwa kenal dengan Sdri. Lilik Susanti (Saksi
VIII) pada tahun 2008 di Desa Pelambik Kec. Praya Barat Daya Lombok
Tengah. Setelah kenal kemudian menjalin hubungan pacaran selama
kurang lebih 3 (tiga) tahun sejak tahun 2010 sampai dengan 2010.
Kemudian pada tanggal 11 Nopember 2010 Terdakwa memutuskan
hubungan pacaran dengan Saksi VIII karena Terdakwa telah mempunyai
pacar/kekasih lain.
96
c. Bahwa benar kemudian sekira bulan Agustus 2012 Terdakwa
mendengar Saksi VIII (mantan pacar Terdakwa) telah mempunyai pacar
lain namun pada saat itu Saksi VIII tidak memberitahu siapa nama
pacarnya namun menjelaskan bahwa pacarnya tersebut adalah kawan dari
Sdr Nanang Satria (Saksi I).
d. Bahwa benar setelah mengetahui Saksi VIII telah mempunyai pacar
lain yang merupakan kawan dari Saksi I, maka kemudian pada bulan
Agustus 2012 Terdakwa menghubungi Saksi I menggunakan Hp lalu
meminta kepada Saksi I agar kawan Saksi I tersebut tidak usah mendekati
Saksi VIII karena Terdakwa sudah menjalin hubungan cukup lama dengan
Saksi-VIII namun Saksi I saat itu mengatakan bahwa urusan tersebut
adalah urusannya, lalu mengatakan, “Kamu jangan mentang-mentang
tentara, saya tidak takut aparat”.
e. Bahwa benar setelah Saksi I mengatakan bahwa ia tidak takut
kepada aparat maka Terdakwa lalu memaki “Kurang ajar, bangsat,
monyet kamu, kenapa tidak menghargai saya” selanjutnya Saksi I
mengatakan, “Saya memang tidak menghargai orang atau siapa-siapa,
teleninak kau (kemaluan ibu)”, selanjutnya HP langsung diputus.
f. Bahwa benar pada tanggal 26 Nopember 2012 Terdakwa
mengajukan corp raport /mengajukan cuti tahunan kepada kesatuan
dengan alasan menjenguk orang tua di Lombok Tengah Mataram NTB.
Selanjutnya berdasarkan Surat Cuti Nomor: SC/107/XI/2012 tanggal 28
Nopember 2012 Terdakwa melaksanakan cuti terhitung mulai tanggal 3
Desember 2012 sampai dengan tanggal 18 Desember 2012 di Lombok
NTB. Pada kesempatan cuti tersebut Terdakwa membawa serta pacar
barunya yang bernama Sdri. Verina Wulandari seorang Mahasiswi Untan
Pontianak yang berasal dari Kec. Batang Tarang Kab. Sanggau Kalbar.
Tujuan Terdakwa membawa serta Sdri. Verina Wulandari adalah untuk
diperkenalkan kepada orang tua Terdakwa di Lombok NTB.
g. Bahwa benar sehari menjelang cutinya habis, pada hari Senin
tanggal 17 Desember 2012 sekira pukul 22.00 wita Terdakwa dengan
berjalan kaki pergi ke rumah paman Terdakwa yang bernama Sdr Lalu
Dorahman yang beralamat di Dusun Orong Tengah Desa Pelambik, di
tengah perjalanan tepatnya di depan rumah Sdr Haji Ruslan (Saksi II)
Terdakwa secara kebetulan melihat Saksi I sedang berdiri sendirian, maka
kemudian Terdakwa langsung menghampirinya lalu bertanya, “Kenapa
kamu ngomong kasar di HP, bangsat, memang kamu tidak menghargai
orang” Saksi I menjawab, “Itu bukan urusan kamu, kamu baru cuti
jangan mentang-mentang”. Selanjutnya Saksi I memukul Terdakwa
dengan sebatang balok kayu dan pada saat Saksi I akan memukul untuk
kedua kalinya Terdakwa melihat ada sebilah parang tergeletak ditanah
dekat tembok rumah Saksi II, maka secepatnya Terdakwa mengambil
parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke arah Saksi
I namun oleh Saksi I ditangkis dengan tangan kirinya sehingga parang
97
tersebut mengenai lengan tangan kirinya dan pada saat Saksi I akan
melarikan diri maka Terdakwa langsung mengayunkan parang tersebut
sebanyak 2 (dua) kali sehingga mengenai punggung Saksi I, setelah itu
tiba-tiba datang Saksi II melerai dengan mengatakan, “Sudah-sudah sana
pulang” selanjutnya Saksi I melarikan diri masuk kedalam tempat
permainan playstation.
h. Bahwa benar setelah melihat Saksi I lari ke dalam ruangan tempat
permainan playstation maka selanjutnya dengan parang masih ditangan
Terdakwa keluar melalui pintu tembok pekarangan, setelah diluar pintu
Terdakwa melemparkan parang tersebut ke arah seberang jalan tepatnya
ke parit dekat tempat pengambilan air wudu Masjid Nurul Huda yang
berjarak kurang lebih 5 meter, kemudian Terdakwa meninggalkan
halaman tempat permainan playstation menuju rumah nenek Terdakwa.
i. Bahwa benar setelah tiba di rumah nenek Terdakwa, Terdakwa
langsung bercerita kepada keluarga bahwa Terdakwa telah membacok
Saksi I, selanjutnya keluarga menyuruh Terdakwa bersembunyi di dalam
kamar, selama Terdakwa bersembunyi di dalam kamar Terdakwa tidak
melihat atau mendengar ada orang yang datang kerumah nenek Terdakwa
untuk membicarakan masalah penganiayaan tersebut, selanjutnya pada
keesokan harinya tepatnya pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012
sekira pkl 08.00 Wita Terdakwa diantar oleh Paman Terdakwa yang
bernama Sdr Sarjono (Saksi IV) menuju Terminal Sweta Bertais.
Selanjutnya dari Terminal Sweta Bertais menuju bandara Ngurah Rai Bali
selanjutnya dari Bandara Ngurah Rai Bali menuju Jakarta oleh karena
tidak dapat tiket maka Terdakwa menginap di Bandara Sukarno-Hatta dan
pada keesokan harinya Terdakwa baru berangkat ke Pontianak. Setelah
tiba di Pontianak Terdakwa diperintahkan melapor ke Kaajendam
XII/Tanjungpura. Setelah Terdakwa menghadap Kaajendam XII/TPR,
selanjutnya Terdakwa diperintahkan menjelaskan kronologis kejadian
penganiayaan yang telah dilakukannya.
j. Bahwa benar alasan Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap
Saksi I karena Saksi I telah berani menantang Terdakwa, tidak menghargai
Terdakwa dan telah memaki Terdakwa dengan kata-kata kotor seperti
Teleninak (kemaluan ibu).
k. Bahwa benar akibat perbuatan Terdakwa tersebut di atas, maka
Saksi I mengalami luka robek di punggung kurang lebih diameter 15 (lima
belas) cm yang sudah dijahit, luka robek pada perut bagian kiri dengan
ukuran 5 x 0,5 cm dan luka terbuka pada lengan tangan kiri dengan tanda-
tanda patah tulang lengan kiri sesuai dengan Visum Et Repertum dari
RSUP Prov. NTB Nomor : 441.6/01/Rhs/RSUP-NTB/II/2013 tanggal 26
Pebruari 2013 yang dibuat dan ditangani oleh dr. Cahyo Wahyuni, Sp. Em
dokter pada RSUP Mataram.
- Dakwaan yang terbukti Pasal 351 Ayat (2) KUHP.
98
3. Hal-hal yang mempengaruhi :
a. Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah
Prajurit dan 8 Wajib TNI.
- PerbuatanTerdakwa merusak sendi-sendi disiplin prajurit TNI
- Perbuatan Terdakwa mencemarkan citra TNI dimata masyarakat.
- Perbuatan Terdakwa yang main hakim sendiri telah merusak
nama baik Kesatuannya.
b. Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum.
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya.
- Ada rekomendasi permohonan keringanan hukuman dari
Kaajendam XII/TPR No. : B/379/VIII/2013 tanggal 19 Agustus
2013, serta dukungan dari masyarakat adat setempat karena
korban sering membuat resah di masyarakat.
4. Rencana Tuntutan Oditur Militer :
Pidana Penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama Terdakwa
berada dalam penahanan sementara.
5. Tuntutan akan dibacakan pada hari Selasa tanggal 24 September 2013.
6. Demikian Rencana Tuntutan Oditur Militer, mohon persetujuan dan
petunjuk lebih lanjut.
Kepala Oditurat Militer III-14
cap/tertanda
Yonavia, S.H., M.H.
Kolonel Chk NRP 33544
Rencana tuntutan Oditur Militer dalam perkara terdakwa atas nama
Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 yang didakwa telah
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (2)
KUHP dibuat oleh Oditur Militer yang melaksanakan sidang di Pengadilan
Militer III-14 Denpasar atas nama Mayor Chk Sumantri, SH. Oditur Militer
dalam rencana tuntutan setelah memperhatikan hal-hal yang memberatkan
99
maupun hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, maka menentukan
besar tuntutan yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa adalah pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani
penahanan sementara. Setelah diajukan kepada Kepala Oditurat Militer III-14
Denpasar, Kepala Oditurat Militer III-14Denpasar sependapat dengan
OditurMiliter yang menentukan tuntutan pidana adalah pidana penjara
selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan
sementara. Oditur Militer kemudian mengirim rencana tuntutan melalui
Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar kepada Orjen TNI dengan register
Nomor : R/37/IX/2013 tanggal 19 September 2013 guna mendapat
persetujuan dari Orjen TNI. Kemudian Orjen TNI menentukan tuntutan dalam
perkara Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 adalah pidana
penjara 12 (dua belas) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani
penahanan sementara.
Berdasarkan perintah dari Orjen TNI, kemudian Oditur Militer pada
kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar yang menyidangkan terdakwa,
kemudian membuat tuntutan pidana (requisitoir) yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Mayor Chk Sumantri yang dapat dilihat dalam penggalan surat
tuntutan di bawah ini :
ODITURAT MILITER TINGGI-III
ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
T U N T U T A N
(R E Q U I S I T O I R)
Hakim Ketua dan Hakim Anggota Yth.
100
Sampailah kini pada bagian akhir dari tuntutan kami, berdasarkan
uraian di atas, kami mohon agar Pengadilan MiliterIII-14 Denpasar
menyatakan Terdakwa Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388
terbukti bersalah melakukan tindak pidana:
“Penganiayaan berat”
Sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 351 ayat
(2) KUHP.
Dengan mengingat Pasal 351 ayat (2) KUHP serta peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan, kami mohon agar Terdakwa Prada
M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 dijatuhi pidana :
Pidana Penjara selama 12 (dua belas) bulan, dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Kami mohon agar barang-barang bukti berupa :
1. Surat-surat :
a. 1 (satu) lembar Visum Et Repertum a.n. Sdr Nanang Satria dari
RSUP Prov. NTB Nomor : 441.6/01/Rhs/RSUP-NTB/II/2013
tanggal 26 Pebruari 2013.
b. 1 (satu) lembar Sket/bagan tempat kejadian perkara.
Tetap dilekatkan dengan berkas perkara.
2. Barang-barang :
a. 3 (tiga) lembar foto korban a.n. Nanang Satria.
b. 1 (satu) buah baju kaos warna biru milik korban a.n. Nanang
Satria
c. 1 (satu) buah sarung warna coklat milik korban a.n. Nanang Satria
Dikembalikan kepada Pemiliknya.
Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah).
Demikian tuntutan kami, kemudian kami serahkan kepada Pengadilan
yang bersidang pada hari ini, Selasa tanggal 24 September 2013 di Denpasar
untuk memutuskannya.
Oditur Militer
cap/tertanda
Sumantri, S.H.
Mayor Chk NRP 523050
101
Berdasarkan surat tuntutan Oditur Militer pada Oditurat Militer III-14
Denpasar tanggal 24 September 2013 yang ditandatangani oleh Mayor Chk
Sumantri, SH., maka Majelis Hakim Pengadilan Militer III-14 Denpasar
diketuai oleh Letkol Chk Apel Ginting, SH beserta Hakim Anggota yang
terdiri dari Letkol Laut (KH/W) Tuty Kiptiani, SH dan Mayor Chk Untung
Hudiyono, SH yang menyidangkan dan mengadili perkara terdakwa atas
nama Prada M Sandy Yudha Putra, kemudian memutuskan menjatuhkan
pidana terhadap terhadap terdakwa atas nama Prada M Sandy Yudha Putra
dengan pidana penjara selama 11 bulan dipotong dalam masa penahanan
sementara, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan Putusan Pengadilan
Militer III-14 Denpasar Nomor : 35-K/PM.III-14/AD/VII/2013 tanggal 8
Oktober 2013, sebagai berikut :
PENGADILAN MILITER III-14
DENPASAR
PUTUSAN
Nomor : 35-K/PM.III-14/AD/VII/2013
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Membaca, mendengar, memperhatikan, menimbang, mengingat dst tidak
ditulis.
MENGADILI
a. Menyatakan Terdakwa tersebut di atar yaitu Muhammad Sandy Yudha
Putra, Prada, NRP. 31100219320388, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana : “Penganiayaan berat”.
b. Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama
11 (sebelas) bulan. Menetapkan selama waktu Terdakwa menjalani
penahanan sementara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
c. Dst tidak ditulis.
102
Demikian diputuskan pada hari ini Selasa tanggal 8 Oktober 2013 di
dalam musyawarah Majelis Hakim oleh APEL GINTING, SH, LETNAN
KOLONEL CHK NRP. 1930005770667 sebagai Hakim Ketua serta TUTY
KIPTIANI, SH, LETNAN KOLONEL LAUT (KH/W) NRP. 11871/P dan
UNTUNG HUDIYONO, SH, MAYOR CHK NRP. 581744 masing-
masingsebagai Hakim Anggota I dan Hakim Anggota II yang diucapkan pada
hari ini dan tanggal yang sama oleh Hakim Ketua di dalam sidang yang
terbuka untuk umumdengan dihadiri oleh para Hakim tersebut di atas, Oditur
Militer SUMANTRI, SH, MAYOR CHK NRP 523050, dan Panitera SUNTI
SUNDARI, SH, KAPTEN CHK (K) NRP. 622243 dihadapan umum dan
Terdakwa. HAKIM KETUA
Ttd
APEL GINTING, S.H.
LETKOL CHK NRP. 1930005770667
PANITERA
Ttd
SUNTI SUNDARI, S.H.
KAPTEN CHK (K) NRP. 622243
Apabila dikaji lebih lanjut dari rencana tuntutan awal terhadap
terdakwa atas nama Prada Muhammad Sandy Yudha Putra yang diajukan
Oditur Militer kepada Orjen TNI adalah berupa pidana penjara 10 (sepuluh)
bulan, kemudian setelah dikirim kepada Orjen TNI menjadi 12 (dua belas)
bulan penjara. Berikutnya setelah diadili diputus oleh majelis hakim yang
memeriksa di Pengadilan Militer III-14 Denpasar menjatuhkan pidana penjara
11 (sebelas) bulan kepada terdakwa. Selisih antara rencana tuntutan awal
Oditur Militer dengan putusan hakim militer di Pengadilan Militer adalah satu
bulan, sehingga masih mendekati nilai obyektif karena selisihnya tidak terlalu
HAKIM ANGGOTA I
Ttd
TUTY KIPTIANI, S.H.
LETKOL LAUT (KH/W) NRP. 11871/P
HAKIM ANGGOTA II
Ttd
UNTUNG HUDIYONO, S.H.
MAYOR CHK NRP. 581744
103
jauh. Hal ini menunjukkan bahwa Oditur Militer di Oditurat Militer III-14
Denpasar sebenarnya sudah mampu bersikap profesional dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI.
Sesuai dengan hasil penelitian yang tersaji dalam bentuk data berupa
hasil wawancara dengan Oditur Militer dan data penunjang berupa data
rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar maupun
studi dokumen terhadap bahan hukum, maka untuk menganalisis tentang
bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan adanya kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI sejak tahun 2006, maka penulis akan mengkaji terlebih dahulu
dengan menggunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, teori
kebijakan hukum pidana oleh Barda Nawawi Arief dan teori fungsi hukum
dari Jeremy Bentham serta dihubungkan dengan asas-asas hukum yang
berlaku di lingkungan TNI.
Menurut teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, disebutkan
efektivitas penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum
yang mempengaruhi, yaitu struktur hukum (struktur of law), substansi hukum
(substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum
menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat
perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang
dianut dalam suatu masyarakat.
Unsur yang pertama dalam sistem hukum adalah struktur hukum, yang
terdiri dari jumlah, ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik
104
banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suatu badan, prosedur ada yang diikuti
oleh kejaksaan dan sebagainya. Jadi struktur terdiri dari lembaga hukum yang
ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur
hukum di lingkungan TNI sangat berbeda dengan struktur organisasi lainnya,
kerena menganut asas kesatuan komando (unity of command) dan asas rantai
komando (chain of command), artinya dari pangkat terendah sampai dengan
pangkat yang tertinggi harus dalam satu garis komando. Oleh sebab itu dalam
suatu organisasi di lingkungan TNI tidak boleh ada berjalan sendiri-sendiri di
luar kontrol atau kendali pimpinan tertinggi TNI. Dikaikan dengan kebijakan
rencana tuntutan, Orjen TNI secara struktur organisasi sebagai penerima
delegasi dalam bidang penuntutan di lingkungan TNI dari Panglima TNI
harus sesuai atau sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan oleh
Panglima selaku pemberi delegasi. Oleh karena Orjen TNI selaku penuntut
umum tertingi di lingkungan TNI tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang
bertentangan kebijakan dari Panglima TNI, sehingga kebijakan rencana
tuntutan dari Orjen TNI yang telah diberlakukan sejak tahun 2006 sudah tidak
sesuai dengan arah kebijakan TNI, karena kedudukan Orjen TNI secara
struktur organisasi berada di bawah Panglima TNI.
Unsur kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum, yaitu
berhubungan dengan aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
105
pedoman bagi aparat penegak hukum. Subtansi hukum yang mengatur tentang
petunjuk penuntutan di lingkungan Oditurat telah diatur secara jelas dalam
Bab V angka 28 huruf h Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009
tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk Adminitrasi Oditurat dalam
menyelesaikan perkara pidana, yang merupakan peraturan pelaksana Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sesuai dengan Peraturan Panglima
tersebut, Oditur Militer berkewajiban membuat rencana tuntutan terhadap
perkara yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun ke atas atau perkara bersifat
menonjol, dan ketika akan menuntut bebas terdakwa, sehingga tidak boleh
ada ketentuan lain yang kedudukannya berada di bawah Peraturan Panglima
TNI, substansinya bertentangan dengan substansi yang terdapat dalam
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009.
Oleh kerena substansi kebijakan rencana tuntutan yang terdapat dalam Surat
Telegram Orjen TNI Nomor ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006 yang
kemudian dilakukan penekanan ulang melalui ST/01/2009 tangal 18 Pebruari
2009, ST/11/2011 tangal 28 Desember 2011, ST/04/2012 tanggal 31 Janusri
2012 dan ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012 tidak sejalan dengan
substansi dari Peraturan Panglima tersebut di atas.
Unsur ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yang
merupakan sikap manusia dalam hal ini termasuk budaya hukum aparat
penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun
penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan
106
dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat,
maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Budaya hukum
dalam tata kehidupan militer yaitu selalu mengedepankan pola sikap yang
disiplin, patuh dan taat dalam menjalankan perintah dinas dari atasannya
selama perintah tersebut tidak bertentangan peraturan perundang-undangan
dan nilai-nilai hak asasi manusia. Faktor budaya hukum terkait ketaatan
aparatur penegak hukum harus mampu memberi contoh dalam konsistensi
menegakkan aturan hukum yang telah ada. Sehingga pemberlakuan kebijakan
rencana tuntutan yang dimaksudkan sebagai salah satu alat kendali Orjen TNI
kepada Oditur Militer merupakan bentuk ketidak taatan kepada aturan yang
lebih tinggi kedudukannya.
Kemudian pada tataran aspek kebijakannya, Barda Nawawi
menjelaskan dalam teori kebijakan hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan
utama dari kebijakan hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan
sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement yang
operasionalnya melalui tiga tahapan penting, yaitu tahap formulasi (kebijakan
legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan tahap eksekusi
(kebijakan eksekutif/administratif).
Selanjutnya diantara ketiga tahapan tersebut di atas, jika dikaitkan
dengan berlakunya kebijakan rencana dari Orjen TNI, maka tahapan aplikasi
memegang peranan yang paling strategis dari penal policy dalam upaya
107
pencegahan dan penanggulangan kejahatan karena apabila terjadi kesalahan
dalam tahap aplikasinya justru akan dapat menjadi penghambat dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Dalam kaitan ini kebijakan
rencana tuntutan yang dikeluarkan Orjen TNI yang mendasarkan pada asas
kesatuan penuntutan dan merupakan fungsi kontrol terhadap setiap Oditur
Militer yang akan melakukan fungsi penuntutan, namun dalam aplikasinya
menjadi penghambat terhadap pencari keadilan yang ada dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan pelaksanaan kebijakan rencana penuntutan dari Orjen TNI
yang diberlakukan, justru membuat Oditur Militer menjadi terbatas
kewenangannya. Oditur Militer yang seharusnya menjadi garda terdepan
dalam penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana militer, yang lebih
mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di Persidangan Militer secara
utuh, namun pada saat membuat tuntutan pidana sangat tergantung kepada
atasannya, sehingga tidak memiliki independensi dalam mengambil keputusan
secara mandiri dan bertanggung jawab penuh terhadap perkara yang
ditangani. Dengan tidak adanya independensi bagi aparatur penegak hukum,
khususnya Oditur Militer maka akan sangat sulit mewujudkan rasa keadilan
bagi pencari keadilan.
Kemudian dalam menentukan sejauh mana perlunya kebijakan
rencana tuntuan, mendasarkan pada teori fungsi hukum (utilititiarisme) dari
Jeremy Bentham yang menyatakan tujuan hukum adalah menjamin adanya
kemanfaatan atau untuk menjamin kebahagiaan bagi manusia, sehingga pada
hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya
108
kesenangan atau kebahagiaan bagi orang banyak. Dari sini yang melatar
belakangi keluarnya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun
2006 adalah untuk memberikan perlindungan bagi justisiabelen atau pencari
keadilan, dengan melakukan kontrol terhadap tuntutan yang dibuat oleh
Oditur Militer agar tidak keluar dari aturan. Namun demikian dari aspek
kemanfaatan berlakunya kebijakan rencana tuntutan justru membuat Oditur
Militer tidak membawa manfaat yang berarti, justru mengurangi independensi
Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di
lingkungan TNI, sehingga keputusan yang dikeluarkan dari badan yang
kurang independen akan jauh memenuhi rasa keadilan dari pencari keadilan.
Oditur Militer yang seharusnya diberikan kemandirian dalam bertindak dalam
melakukan penuntutan sehingga terbebas dari berbagai intervensi atau
penekanan dari siapapun, termasuk oleh institusinya sendiri, namun yang
membatasi independensi Oditur Militer hanyalah peraturan perundang-
undangan.
Hasil analisis mengenai independensi Oditur Militer dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
berlakunya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006
dengan menggunakan teori sistem hukum, teori kebijakan hukum pidana dan
teori fungsi hukum , yaitu kebijakan rencana tuntutan tidak sejalan dengan
unsur-unsur dalam sistem hukum yang ada di lingkungan TNI terutama asas
kesatuan komando, dan aplikasinya yang tidak tepat sesuai justru menjadi
penghambat bagi penegakan hukum sendiri dalam hal ini Oditur Militer
109
menjadi tidak profesional, sedangkan pada aspek fungsi kebijakan rencana
tuntutan aspek kemanfaatannya kontra produktif dengan independensi yang
seharusnya dimiliki setiap aparatur penegak hukum, khususnya Oditur
Militer. Dengan demikian adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI
yang berlaku di seluruh Oditurat sejak tahun 2006 menjadikan Oditur Militer
tidak memiliki independensi dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut
umum di lingkungan dikarenakan keputusannya dalam membuat tuntutan
pidana tidak dilakukan secara mandiri, namun menjadi sangat tergantung dari
keputusan atasan dari Oditur Militer, sehingga keputusan yang dihasilkan dari
lembaga yang kurang memiliki independensi akan jauh dari memenuhi aspek
keadilan bagi pencari keadilan.
110
BAB IV
UPAYA-UPAYA DALAM MEWUJUDKAN ODITUR MILITER
YANG MEMILIKI INDEPENDENSI DALAM SISTEM
PERADILAN MILITER DI INDONESIA
4.1. Upaya-UpayaYang Bersifat Teknis
Upaya dalam meningkatkan independensi Oditur Militer selaku
Penuntut Umum di Lingkungan TNI, maka diperlukan kehendak bersama
untuk melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan
yang mengarah kepada hal yang lebih baik, sehingga Oditur Militer sebagai
penuntut umum di lingkungan TNI nantinya mampu mandiri dan bertanggung
jawab penuh, serta profesional terhadap perkara yang ditanganinya. Dengan
perubahan ini sasaran utama yaitu terciptanya kehormatan bagi setiap Oditur
Militer dalam melaksanakan tugas pokoknya dengan jujur, benar dan adil,
sehingga eksistensi Oditurat dapat dibanggakan.
Roscoe Pound mengemukakan dalam teori fungsi hukum dalam
masyarakat adalah law as a tool of social engineering. Bahwa hukum adalah
keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat,
termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke
dalam kenyataan. Oleh karena itu hukum bukan saja sebagai sekumpulan
sistem peraturan, doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dan
diumumkan oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang
mewujudkan hukum itu secara nyata melalui penggunaan kekuasaan. Oleh
110
111
karena itu hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap
rakyatnya, sehingga hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap
rakyatnya. Dengan demikian maka akan terjadi perubahan-perubahan sosial,
yang membawa kemajuan dalam peradaban masyarakat, sehingga hukum
akan memilih dan mengakui kepentingan yang lebih utama melalui
penggunaan kekuasaan. Hukum sebagai alat rekayasa sosial dimaksudkan
agar perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatdapat dikontrol agar
dapat menjalankan dengan tertib dan teratur.
Sejalan dengan teori fungsi hukum, proses-proses hukum secara nyata
akan berjalan dengan baik,sehingga perlu adanya kehendak bersama sebagai
pelopor dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi harus
dimulai dari dalam (intern) lembaga Oditurat, baik prosedur penuntutan,
konsistensi dalam menerapkan aturan hukum maupun sumber daya manusia
yang mengawaki dari institusi penuntutan di lingkungan TNI tersebut. Oleh
karena itu perlu adanya rekayasa sebagai sarana perubahan dalam hal ini bagi
Oditur Militer, yaitu adanya pedoman perilaku yang benar terhadap
mekanisme penuntutan yang dijadikan pedoman demi tegaknya keadilan.
Menurut hasil wawancara dengan beberapa Oditur Militer di Oditurat Militer
III-14 Denpasar, untuk menjadikan Oditur Militer yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan pidana militer perlu adanya upaya-
upaya yang bersifat teknis perlu dilakukan perubahan/perbaikan, yaitu :
112
a. Bidang Teknis Penuntutan
Perubahan mendasar dalam bidang teknis penuntutan perlu adanya
upaya yang signifikan yang selama ini kurang memperoleh perhatian,
sehingga dapat diaplikasikan dengan baik tanpa mengurangi independensi
Oditur Militer, tetapi justru dalam rangka mendukung profesionalisme Oditur
Militer, yaitu melalui:
1) Adanya pendelegasian kewenangan pengendalian rencana tuntutan.
Pendelegasian kewenangan pengendalian tuntutan pidana dari
Orjen TNI kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi
mutlak harus dilakukan guna mengupayakan prosedur teknis yang
lebih baik bagi Oditur Militer dalam melakukan penuntutan.
Pendelegasian kewenangan sejalan dengan asas-asas pengorganisasan
di lingkungan TNI. Perkara-perkara pidana yang tetap harus
dimintakan persetujuan kepada Orjen TNI melalui rencana tuntutan
adalah perkara tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun
atau lebih, dan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya
menonjol, serta perkara yang akan diajukan dengan tuntutan
bebas/lepas dari tuntutan.
Adanya pendelegasian kewenangan pengendalian penuntutan
kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi selain
terhadap perkara tersebut di atas, yaitu terhadap perkara yang
ancaman pidananya di bawah lima tahun tidak perlu lagi dibuatkan
rencana tuntutan kepada Orjen TNI, melainkan cukup mendapat
113
persetujuan Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, sehingga
akan lebih efektif dan efisien terhadap percepatan penyelesaian
perkara pidana. Dengan demikian Orjen TNI lebih fokus melakukan
pengawasan dan supervisi terhadap kinerja jajaran yang ada di
bawahnya, yaitu Oditurat Militer maupun Oditurat Militer Tinggi.
2) Adanya pedoman yang baku mengenai tuntutan pidana.
Pedoman baku mengenai tuntutan pidana sangat penting
merupakan hal yang penting untuk dibuat oleh Orjen TNI yang
nantinya dijadikan acuan bagi setiap Oditur Militer ketika akan
menentukan besaran tuntutan pidana. Dengan adanya aturan berupa
pedoman tuntutan pidana, diharapkan setiap Oditur Militer selaku
penuntut umum di lingkungan TNI tidak akan ada keraguan dalam
menentukan tuntutan pidana. Selain dari pada itu akan memberi
pembelajaran pada diri setiap Oditur Militer dalam menjalankan
fungsinya untuk mampu mandiri dan bertanggung jawab dalam
melakukan penuntutan. Kemudian jika setiap Oditur Militer mampu
bersikap profesional dan terukur dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya, sehingga intervensi terhadap kewenangannya tidak
diperlukan lagi. Pedoman tuntutan pidana di dalamnya memuat
tentang hal-hal yang perlu diperhatikan setiap Oditur Militer dalam
melakukan penuntutan, yaitu :
114
a. Tolok ukur menentukan tuntutan pidana berupa batasan pidana
yang akan dijatuhkan secara terinci dalam pasal-pasal yang ada
dalam KUHPM, KUHP dan Undang-Undang lainnya.
b. Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan tuntutan
pidana yang dibuat secara detail dan terperinci.
c. Faktor-faktor dalam menuntut pidana percobaan atau pidana
bersyarat.
d. Sikap Oditur selaku Penuntut Umum TNI terhadap putusan
pengadilan.
b. Bidang Pengendalian dan Pengawasan
Upaya yang harus dilakukan dalam bidang pengendalian dan
pengawasan terhadap tuntutan Oditur Militer di setiap Oditurat harus
dilakukan secara maksimal oleh Kepala Oditurat yang bersangkutan
kemudian hasilnya dilaporan secara berkala kepada Orjen TNI. Dengan
mempelajari hasil laporan berkala setiap Oditurat,Orjen TNI dapat
menganalis apakah rencana tuntutan maupun tuntutan dari Oditur Militer di
jajarannya telah sesuai memenuhi stadard yang telah ditentukan atau tidak
dan dirasa cukup adil tidak sesuai perbuatan terdakwa. Kemudian apabila
ditemukan tuntutan yang diduga tidak sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan, maka dapat dilakukan eksaminasi dan evaluasi terhadap rencana
tuntutan atau tuntutan yang ditengarai di luar kewajaran,seperti menuntut
terdakwa terlalu ringan.
115
Selanjutnya jika ditemukan unsur kesengajaan maupun motivasi lain
yang dilakukan Oditur Militer dengan menuntut ringan terdakwa, maka
Oditur Militer yang bersangkuan dapat dilakukan pemeriksaan oleh bidang
pengawasan di Orjen TNI. Apabila terbukti melakukan perbuatan tercela
menyalahgunakan kekuasaannya untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain, Oditur Militer yang bersangkutan dapat dijatuhkan sanksi sesuai
kesalahannya. Oleh karena itu sudah saatnya setiap Oditur Militer harus
diberikan keleluasaan dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum
TNI, akan tetapi dengan tetap mengedepankan pertanggung jawaban Oditur
Militer, maka setiap Odtur Militer tidak akan semaunya sendiri melakukan
tuntutan di luar ketentuan. Dengan demikian Oditur Militer ke depan akan
mampu bersikap obyektif dan profesional dalam menjalankan fungsinya
selaku penuntut umum di lingkungan TNI.
c. Bidang Pendidikan dan Latihan
Pendidikan dan latihan memegang peran penting bagi upaya
menjadikan Oditur Militer yang profesional. Dalam melakukan rekruitmen
terhadap para perwira TNI yang akan dijadikan sebagai Oditur Militer dan
ditempatkan jajaran Oditurat selama ini diambil dari satuan-satuan hukum
yang ada, baik dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara
dengan pangkat minimal Kapten dengan latar belakang dari korp hukum yang
berkualifikasi Sarjana Hukum. Pada saat rekruitmen tidak sedikit para
perwira yang akan dijadikan calon Oditur Militer tidak sedikit hanya berbekal
116
Sarjana Hukum, tanpa sebelumnya mengikuti pendidikan khusus seperti
Suspa Minlahkara maupun Kursus Jabatan Oditur Militer (Susjab Ormil).
Kemudian para perwira TNI yang telah direkruit menjadi Oditur
Militer langsung dilantik dan diambil sumpah menjadi menjadi Oditur Militer
oleh Orjen TNI tanpa terlebih dahulu mengikuti pendidikan teknis fungsional
penuntutan dan langsung di hadapkan dengan tugas sebagai penuntut umum
di lingkungan TNI. Keadaan yang demikan ini tentunya menjadikan beban
tersendiri bagi setiap Oditur Militer yang baru dalam menjalankan fungsinya
sebagai penuntut umum dikarenakan tidak cukup bekal pengetahuan tentang
penuntutan, sehingga Oditur Militer yang baru dalam prakteknya harus
belajar banyak dengan Oditur Militer yang lebih dahulu menjadi Oditur.
Begitu juga setelah menjadi Oditur Militer sangat minim mendapatkan
pendidikan dan bintek-bintek tentang penuntutan, tetapi lebih mengandalkan
pengalaman dalam praktek saja.
Oleh sebab itu untuk mengatasi minimnya dalam bidang pendidikan
dan pelatihan maupun bintek-bintek tentang penuntutan yang diadakan oleh
intern TNI, maka perlu mengintensifkan kerja sama antara Mabes TNI dalam
hal ini Otjen TNI dengan Kejaksaan Agung RI guna meningkatkan
kemampuan setiap Oditur Militer dalam bidang penuntutan. Oleh sebab itu
Mabes TNI sangat perlu menempatkan Perwira Penghubung (LO) di
Kejaksaan Agung RI yang berfungsi mengkoordinasikan dalam bidang
penuntutan, sehingga mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan
teknis penuntutan bagi Oditur Militer. Dengan adanya kerjasama dan
117
koordinasi yang baik antara TNI dan Kejaksaan Agung, sehingga TNI dapat
mengirimkan Oditur Militer yang berada di bawah komandonya untuk
mengikuti setiap ada pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Badiklat
Kejaksaan Agung.
4.2. Upaya Yang Bersifat Kelembagaan
Kedudukan lembaga Oditurat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun1997 tentang Peradilan Militer, yaitu pembinaan
organisasi dan prosedur administrasi, finansial Oditurat dilakukan oleh
Panglima TNI. Kemudian sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa Oditur Militer merupakan pejabat
fungsional yang dalam melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama
masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut saluran
hierarki. Selanjutnya menurut Penjelasan Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tersebut, menyebutkan Oditur Jenderal TNI dalam
melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada
Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di negara
Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas
pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Sehingga
Orjen TNI seharusnya kedudukannya baik teknis pembinaan keodituratan
yang terdiri dari pembinaan administrasi, organisasi dan finansial maupun
secara teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI.
Namun demikan kedudukan Oditurat Jenderal TNI selaku Badan
Penuntutan TNI kenyataan justru memiliki dua jalur garis pembinaan atau
118
pertanggung jawaban, yaitu dalam pembinaan penyelenggaraan Oditurat
berada di bawah Babinkum TNI dan secara teknis yustisial di bawah
pengawasan Jaksa Agung RI melalui Panglima TNI. Sehingga Orjen TNI
selaku penuntut umum tertinggi TNI secara kelembagaan memiliki dualime
pertanggung jawaban. Kerancuan dalam hirarki pertanggung jawaban Otjen
TNI yang tidak satu garis komando, sehingga terjadi dualisme pertanggung
jawaban yang memungkinkan terjadinya tarik ulur kepentingan terhadap
lembaga tersebut. Penyebabnya tidak lain adalah secara pembinaan
organisasi, administrasi dan finansial Oditurat berada di bawah Babinkum
TNI, namun di sisi lain secara teknis yustisial Oditurat bertanggung jawab
kepada Panglima TNI.
Berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005
tanggal 10 Agustus 2005, Babinkum TNI adalah suatu Badan Pelaksana Pusat
pada tingkat Markas Besar TNI yang berkedudukan langsung di bawah
Panglima TNI bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan
pembinaan hukum dan HAM di lingkungan TNI, pembinaan
penyelenggaraan Oditurat, dan Pemasyarakatan Militer dalam lingkungan
Peradilan Militer. Babinkum TNI sebagai pembantu utama Panglima TNI
dipimpin oleh Kababinkum TNI, yang dijabat oleh seorang Pati bintang dua
dari korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum. Kababinkum TNI
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Panglima TNI, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh
Kasum TNI.
119
Babinkum TNI sebagai pembantu utama Panglima TNI mempunyai
fungsi utama sebagai berikut :
a. Pemberian dukungan hukum dalam pembinaan dan penggunaan
kekuatan TNI.
b. Penyelenggaraan penegakan hukum dan pembinaan hukum di
lingkungan TNI.
c. Penyelenggaraan penyuluhan hukum dan HAM di lingkungan TNI.
d. Pemberian bantuan dan nasehat hukum kepada Badan/Instansi/
Lembaga TNI, prajurit TNI dan keluarga.
e. Penyelenggaraan penelitian, pengkajian, evaluasi, pengembangan
hukum dan HAM.
f. Pembinaan organisasi, admistrasi dan finansial Oditurat dan
Pemasyarakatan Militer.
g. Penyelenggaraan pendidikan keahlian profesi Hakim, Oditur, Panitera
dan pelaksana teknis pemasyarakatan militer.
h. Penyelenggaraan, pengendalian dan pengawasan dalam pembinaan
organisasi, administrasi dan finansial Oditurat dan Pemasyarakatan
Militer.
i. Penyelenggaraan koordinasi dengan Direktorat Hukum/Dinas Hukum
Angkatan dalam pembinaan hukum dan pemberi direktif kepada
Perwira Hukum Komando Utama Operasional TNI.
120
j. Penyelenggaraan koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam
pembinaan personel TNI yang bertugas pada Mahkamah Agung dan
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Oditurat Jenderal TNI dalam melaksanakan tugasnya secara teknis
yustisial membawahi setiap Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi dan
Oditurat Militer Pertempuran, yang di dalamnya terdapat para Oditur
Militer/Oditur Militer Tinggi yang berfungsi sebagai Penuntut Umum di
Peradilan Militer maupun Peradilan Umum. Otjen TNI mempunyai fungsi
utama sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
pelaksanaan teknis Oditurat.
b. Perumusan kebijakan di bidang Oditurat yang berkaitan dengan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
c. Penyelenggaraan riset kriminal dan pelanggaran HAM di lingkungan
TNI dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas TNI.
d. Penyelenggaraan pelaksanaan pengawasan terhadap Narapidana
Militer yang menjalani pidana bersyarat dan yang memperoleh
pembebasan bersyarat.
e. Penyelenggaraan kooordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Polisi Militer, dan badan hukum lainnya dalam
penyelesaian tindak pidana tertentu.
f. Memberikan saran kepada Kababinkum TNI mengenai
penyelenggaraan pembinaan Oditurat.
121
Oditurat Jenderal TNI dipimpin oleh Oditur Jenderal TNI, disingkat
Orjen TNI yang dijabat oleh seorang Pati TNI bintang satu dari korp hukum
berkualifikasi Sarjana Hukum. Orjen TNI dalam kedudukannya selaku
Penuntut Umum tertinggi di lingkungan TNI, mempunyai tugas dan
kewajiban Orjen TNI adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku Penuntut
Umum Tertinggi di lingkungan TNI, bertindak untuk dan atas nama
masyarakat, pemerintah dan negara serta bertanggung jawab secara
hirarki.
b. Merumuskan kebijakan dan mengendalikan pengambilan keputusan
guna terselenggaranya fungsi Oditurat.
c. Memberikan pertimbangan kepada Presiden melalui Panglima TNI
mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan atau
rencana pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi sebagaimana
diatur dalaam ketentuan perundang-undangan.
d. Mengkoordinasikan, mengawasi, dan memberikan pengarahan atas
penyelenggaraan fungsi Oditurat.
e. Mengendalikan dan mengawasi penggunaaan wewenang penyidikan,
penyerahan perkara, dan penuntutan di lingkungan TNI.
f. Melaksanakan tugas khususyang diberikan oleh Panglima TNI.
g. Dalam kedudukannya selaku Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan
TNI, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Jaksa Agung RI selaku
122
Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui
Panglima TNI.
h. Orjen TNI bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pembinaan
penyelenggaraan Oditurat kepada Kababinkum TNI.
i. Orjen TNI dapat mengadakan hubungan dengan
Badan/Instansi/Lembaga di dalam dan di luar TNI, guna kepentingan
tugasnya di bidang teknis yustisial, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
j. Hubungan Orjen TNI selaku Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI
dengan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara
Republik Indonesia, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keadaaan mengenai mengenai dualisme hirarki pertanggung jawaban
Oditurat Jenderal TNI sesuai Lampiran I Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang Pokok-Pokok Organisasi
dan Prosedur Babinkum TNI dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :
123
Gambar 5
Struktur Organisasi Babinkum TNI
Sumber : Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005
Struktur Organisasi Oditurat sesuai Lampiran II Keputusan Panglima
TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang Pokok-
Pokok Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI) dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini :
BABINKUM TNI
WAKIL
SET
DIS
WAS DIS
GAKKUM
DIS
LUHKUM
DIS
MINRADMIL
DIS
KUMDANGHAM
DIS
BANHATKUM
ODITURAT PUSMASMIL
PANGLIMA
TNI JAKSA
AGUNG RI PANGLIMA
TNI
MENKUM
HAM RI
Catatan :
: Garis Pembinaan organisasi, administrasi dan Finansial
: Garis Pembinaan Teknis Oditurat
: Garis Koordinasi
124
Gambar 6
Struktur Organisasi Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI)
Sumber : Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005
Mengenai struktur organisasi yang baik dalam sistem peradilan pidana
sesuai teori sistem peradilan pidanayang dikemukan oleh Muladi, disebutkan
bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) yang
menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum
pelaksana pidana. Makna integrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan dalam :
4) Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga
penegak hukum.
OTJEN TNI
WAKIL
SET
DISWASNIS DIS TUT DIS RISKRIMHAM
OTMILTI OTMILPUR OTMIL
125
5) Sinkronisasi subtansial (subtancial syncronization), adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal
dalam kaitannya dengan hukum positif.
6) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserampakan
dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap
dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana.
Aspek pertama dalam sistem peradilan pidana adalah sinkronisasi
struktural yang merupakan keserampakan dan keselarasan dalam rangka
hubungan antar lembaga penegak hukum. Struktur hukum di lingkungan TNI
adalah menganut asas kesatuan komando (unity of command) dan asas rantai
komando (chain of command). Hal ini dapat dipahami bahwa dalam suatu
organisasi yang ada di lingkungan TNI hanya terdapat satu hierarkhi
komando yang memimpinnya. Oleh sebab itu tidak boleh ada kesatuan-
kesatuan dalam tubuh TNI yang memiliki garis komando yang ganda. Begitu
juga Oditurat Jendral TNI sebagai badan penuntut umum tertinggi di
lingkungan TNI hierarki pertanggung jawabannya harus dalam garis tegak
lurus ke atas, dalam hal ini adalah Panglima TNI. Oleh karena itu sudah
seharusnya aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan mliter adalah
sudah seharuskan menempatkan Otjen TNI pada posisi yang semestinya
sesuai peran dan fungsinya.Penempatan Otjen TNI yang di dalamnya
mewadahi para Oditur Militer selama ini terjadi dualisme dalam hierarki
pertanggung jawaban, yaitu garis struktur pembinaan penyelenggaraan
126
Oditurat berada di bawah Babinkum TNI sedangkan secara teknis yustisial di
bawah pengawasan Jaksa Agung melalui Panglima TNI. Ketidakselarasan
dalam penempatan struktur organisasi Oditurat akan menjadikan Oditur
Militer tidak mandiri, sehingga ke depan perlu dilakukan perubahan agar
tidak terjadi tumpang tindih, yaitu menyatukan kendali Otjen TNI di langsung
bawah Panglima TNI.
Kemudaan aspek kedua adalah sinkronisasi subtansial yang
merupakan keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Peraturan perudang-
undangan (hukum positif) yang mengatur tentang kedudukan lembaga
Oditurat dalam sistem peradilan militer di Indonesia adalah Pasal 7 ayat (1)
dan Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang peradilan militer. Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 disebutkan pembinaan organisasi dan prosedur adminitrasi
finansial oleh Panglima TNI dan Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah bertanggung jawab menurut satuan
hierarki. Sedangkan Oditur Jenderal TNI selaku Penuntut Umum tertinggi di
lingkungan TNI dalam melaksanakan tugas bidang teknis penuntutan
bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut
umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima TNI,
sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab
kepada Panglima TNI. Namun pada kenyataannya sinkronisasi subtansial
terjadi kontradiktif, Begitu juga dalam pelaksanaan tugas pembinaan
127
Oditurat, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Panglima TNI namun
kenyataannya sesuai Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005
tanggal 10 Agustus 2005, Orjen TNI berada di bawah Babinkum TNI.
Upaya untuk memecahkan permasalahan secara kelembagaan dalam
membentuk Oditur Militer yang ideal serta memiliki independensi dalam
sistem peradilan militer, dengan mengacu teori sistem peradilan pidana maka
perlu adanya suatu terobosan baru yang signifikan dengan melakukan
sinkronisasi dalam struktur organisasi Oditurat Jenderal TNI yang selama ini
terjadi tumpang tindih karena terjadinya dualisme pertanggung jawaban.
bahwa lembaga Oditurat yang yang terdiri dari Oditurat Militer, Oditurat
Tinggi, Oditurat Militer Pertempuran dan Oditurat Jenderal TNI dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya akan lebih independen jika alur
pertanggung jawabannya dalam satu garis komando.
Sesuai hasil wawancara dengan narasumber terkait, yaitu Oditur
Militer di Oditurat Militer III-14 upaya memperkuat kedudukan Oditurat
sebagai lembaga penuntut umum di lingkungan TNI, adalah dengan
melakukan perubahan struktur organisasi Babinkum TNI, sehingga Otjen TNI
beserta jajarannya sebelumnya di bawah Kababinkum TNI menjadi di bawah
kendali langsung Panglima TNI dan di sisi lain TNI perlunya menempatkan
Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung Republik Indonesia
agar memudahkan koordinasi yang berhubungan dengan tugas-tugas di
bidang penuntutan. Dengan pemisahan Otjen TNI dari Babinkum TNI,
kemudian kedudukan Otjen TNI baik secara struktural maupun finansial
128
langsung berada di bawah Panglima TNI selaku Perwira Penyerah Perkara
(Papera) tertinggi TNI, sehingga antara Babinkum TNI dan Otjen TNI
menjadi lembaga yang sederajat, namun dengan tugas pokok dan fungsi yang
berbeda. Tugas utama Babinkum TNI adalah membantu Panglima TNI dalam
meyelenggarakan pembinaan hukum dan HAM di lingkungan TNI dan
pembinaan penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer, sedangkan pembinaan
penyelenggaraan Oditurat diserahkan kepada Otjen TNI untuk melakukannya
secara mandiri.
Upaya pemisahan antara Babinkum TNI dan Otjen TNI dapat
dilakukan dengan tanpa melakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sehingga cukup dengan
melakukan perubahan terhadap Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang Pokok-Pokok Organisasi
dan Prosedur Babinkum TNI. Begitu juga dengan adanya pemisahan Otjen
TNI dari Babinkum TNI, konsekuensinya ada penambahanan beberapa dinas
atau bagian unit kerja baru di Otjen TNI, seperti contoh Sekretariat Otjen TNI
dibantu sekurang-kurangnya 6 kepala bagian, yaitu Bagpers, Baglog,
Bagprogar, Bagtaud, Bagpulahta dan Bagpenkum.
Setelah Oditurat Jenderal TNI berada langsung secara pembinaan
organisasi, administrasi dan finansial Oditurat maupun secara teknis yustisial
Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI diharapkan tidak lagi
terjadi tarik ulur kepentingan karena tidak ada lagi dualisme mekanisme
pertanggung jawaban. Setelah dilakukan penyesuaian terhadap lembaga
129
Oditurat, maka setidak-tidaknya struktur organisasi Otjen TNI ke depan dapat
dilihat dalam bagan di bawah ini :
Gambar 7
Gambaran Ideal Tentang Struktur Organisas Otjen TNI
Setelah dilakukan perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan tugas
pokok dan fungsi Oditurat, maka perangkat dari Susunan Organisasi Otjen
TNI sekurang-kurangnya terdiri dari :
a. Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI)
Orjen TNI adalah merupakan pimpinan Oditurat Jenderal TNI
yang dijabat oleh seorang Pati TNI bintang dua dari korps hukum
OTJEN TNI
WAKIL
SET
DINAS
RISKRIMHAM
OTMILTI OTMILPUR OTMIL
PANGLIMA
TNI
JAKSA AGUNG
RI
DINAS
PENGAWASAN
DINAS
PENUNTUTAN
DINAS
PEMBINAAN
Catatan :
: Garis Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial
: Garis Pembinaan Teknis Oditurat
130
berkualifikasi Sarjana Hukum, dengan tugas dan kewajiban sebagai
berikut :
1) Memberikan pertimbangan dan saran kepada Panglima mengenai
hal yang berkaitan dengan bidang tugasnya.
2) Melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab selaku
Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan TNI, bertindak untuk dan
atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung
jawab secara hierarki.
3) Menentukan kebijakan dan mengendalikan pengambilan
keputusan guna terselenggaranya fungsi Oditurat.
4) Memberikan pertimbangan kepada Presiden melalui Panglima
TNI mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati,
permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi dan
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) Mengoordinasikan, mengawasi, dan memberikan pengarahan atas
penyelenggaraan fungsi Oditurat.
6) Mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang
penyidikan, penyerahan perkara, dan penuntutan di lingkungan
TNI.
7) Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh Panglima TNI.
8) Dalam kedudukannya selaku Penuntut Umum Tertinggi di
lingkungan TNI, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Jaksa
131
Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik
Indonesia melalui Panglima TNI.
9) Orjen TNI dapat mengadakan hubungan dengan
Badan/Instansi/Lembaga di dalam dan di luar TNI, guna
kepentingan tugasnya di bidang teknis yustisial, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
10) Hubungan Orjen TNI selaku Penuntut Tertinggi di lingkungan
TNI dengan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di
Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyesuaian terhadap kepangkatan Orjen TNI harus
dilakukan, yang selama ini dijabat oleh Perwira Tinggi TNI
berpangkat bintang satu, dengan restruktirisasi Oditurat Jenderal TNI
yang sebelumnya berada di bawah kendali Babinkum TNI dan
kemudian berada langsung dibawah Panglima TNI maka Orjen TNI
setidak-tidaknya dijabat oleh Pati TNI berpangkat bintang dua. Hal ini
tidak berlebihan dan sangat rasional dikarenakan jabatan Orjen TNI
sejajar dengan jabatan Kepala Pengadilan Militer Utama
(Kadilmiltama) yang saat ini dijabat oleh Perwira Tinggi TNI
berpangkat bintang dua dari korp hukum.
Selain daripada itu mengacu pada salah satu tugas Orjen TNI
adalah mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang
penyidikan termasuk di dalamnya melantik dan mengambil sumpah
132
para Penyidik di lingkungan Polisi Militer, akan lebih ideal apabila
pejabat Orjen TNI secara kepangkatan sejajar dengan Komandan
Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Danpuspomad) yang dijabat
oleh Pati TNI AD berpangkat Mayor Jenderal TNI.
b. Wakil Oditur Jenderal TNI (Waorjen TNI)
Waorjen TNI merupakan pembantu utama Orjen TNI yang
berkedudukan selaku Oditur Militer Tinggi (Ormilti) dijabat oleh
seorang Pati TNI bintang satu dari korps hukum berkualifikasi Sarjana
Hukum, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut :
1) Memberikan pertimbangan dan saran kepada Orjen TNI mengenai
hal yang berkaitan dengan bidang tugasnya.
2) Mengkoordinasikan dan mengawasi semua kegiatan Staf serta
administrasi Otjen TNI.
3) Memelihara dan mengawasi pelaksanaan prosedur kerja di
lingkungan Otjen TNI.
4) Mewakili Orjen TNI, apabila Orjen TNI berhalangan melakukan
tugas dan kewajibannya.
c. Sekretaris Orjen TNI (Ses Otjen TNI).
Ses Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat
Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, sebagai
pembantu Orjen TNI di bidang pembinaan fungsi organik, dengan
tugas dan kewajiban sebagai berikut :
133
1) Menyelenggarakan, memelihara dan mengendalikan pembinaan
personel Orjen TNI.
2) Merencanakan dan merumuskan program pengadaan kebutuhan
logistik Otjen TNI.
3) Mengoordinasikan dan menyiapkan rencana, program kerja dan
anggaran Otjen TNI.
4) Menyelenggarakan pengumpulan dan evaluasi serta menyusun
laporan atas pelaksanaan program kerja dan anggaran Otjen TNI
5) Membina dan memelihara dokumentasi dan informasi yang
diperlukan Otjen TNI.
6) Menyelenggarakan pengamanan personel, administrasi, materiil
dan kegiatan di lingkungan Otjen TNI.
7) Melaksanakan dukungan administrasi dan urusan dalam bagi
penyelenggaraan kegiatan Otjen TNI.
8) Menyelenggarakan proses pengangkatan Oditur dan penyidik serta
penyidik pembantu.
Ses Otjen TNI dibantu oleh enam orang Kepala Bagian, yang
masing-masing dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Letnan
Kolonel, sebagai berikut :
1) Kepala Bagian Personel (Kabagpers).
2) Kepala Bagian Logistik (Kabaglog).
3) Kepala Bagian Program Kerja dan Anggaran (Kabagprogar).
4) Kepala Bagian Tata Usaha dan Urusan Dalam (Kabagtaud).
134
5) Kepala Bagian Pengumpulan dan Pengolah Data (Kabagpulahta).
6) Kepala Bagian Penerangan Hukum (Kabagpenkum).
d. Kepala Dinas Pembinaan (Kadisbin) Otjen TNI.
Kadisbin Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI
berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang
juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban
sebagai berikut :
1) Merencanakan, merumuskan kebijakan dan menyelenggarakan
kursus jabatan Oditur militer.
2) Merencanakan dan merumuskan kebijakan pembinaan dan
penegakan hukum serta mengendalikan proses penyelesaian
perkara di lingkungan Oditurat.
3) Menyiapkan, merumuskan dan memberikan petunjuk tentang
pengendalian penyelesaian perkara pada Oditurat guna percepatan
penyelesaian perkara.
4) Menyiapkan, merumuskan dan memberikan petunjuk tentang tata
laksana administrasi Oditurat.
5) Mengumpulkan dan mengevaluasi data penyelesaian perkara
sebagai bahan penyusunan program pembinaan.
Kadisbin Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala Subdinas
berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana
Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut :
135
1) Kepala Subdinas Pembinaan Pendidikan dan Latihan Profesi
(Kasubdis bindiklatprof).
2) Kepala Subdinas Pembinaan Oditurat (Kasubdis binot).
3) Kepala Subdinas Pembinaan Profesi (Kasubdis binprof).
e. Kepala Dinas Penuntutan (Kadistut) Otjen TNI.
Kadistut dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Kolonel
korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan
selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut :
1) Merumuskan dan menyiapkan petunjuk teknis bidang penuntutan
dan penyidikan.
2) Mengkoordinasikan pelaksanaan penuntutan, penyidikan, dan
pelaksanaan putusan/penetapan Hakim sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3) Menyelenggarakan pengendalian tugas Otmilti/Otmil di bidang
penyidikan, penuntutan, upaya hukum, pelaksanaan
putusan/penetapan Hakim, dan barang bukti.
4) Merumuskan dan menyelenggarakan petunjuk pengawasan dan
pengendalian atas penggunaan wewenang Atasan Yang Berhak
Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera)
dalam penyelesaian perkara di lingkungan TNI.
Kadistut Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala Subdinas
berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana
Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut :
136
1) Kepala Subdinas Pembinaan Teknis (Kasubdisbinnis).
2) Kepala Subdinas Pengolahan Perkara (Kasubdislahkara).
3) Kepala Subdinas Penuntutan (Kasubdistut).
f. Kepala Dinas Pengawasan (Kadiswas) Otjen TNI.
Kadiswas Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI
berpangkat kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang
juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan
kewajiban sebagai berikut :
1) Menyelenggarakan pengawasan terhadap pekerjaan dan kegiatan
yang bersifat teknis administratif Oditurat.
2) Menyelenggarakan pengawasan profesi Oditur
3) Menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap
pendayagunaan organisasi, administrasi dan finansial.
4) Menyelenggarakan pengawasan atas program penyelesaian
perkara serta administrasi keuangan perkara.
5) Menyelenggarakan penelitian dan pemeriksaan terhadap personel
yang diduga melakukan pelanggaran hukum.
6) Merumuskan dan menyiapkan petunjuk teknis pengawasan
keodituratan.
7) Menyelenggarakan pengawasan pelaksanaan teknis penerapan
hukum pidana materiil dan formil.
8) Menyelenggarakan pengawasan terhadap proses penyelesaian
perkara dan pelaksanaan putusan/penetapan Hakim, serta
137
pengawasan terhadap kinerja dan tingkah laku para Oditur dalam
pelaksanaan tugas.
9) Melaksanakan pengawasan terhadap narapidana militer yang
menjalani pidana bersyarat dan yang memperoleh pembebasan
bersyarat.
Kadiswas Otjen TNI dibantu sekurang-kurangnya oleh empat
orang Kepala Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum
berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil,
sebagai berikut :
1) Kepala Subdinas Pengawasan Umum (Kasubdiswasum).
2) Kepala Subdinas Pengawasan Khusus (Kasubdiswasus).
3) Kepala Subdinas Pengawasan Teknis (Kasubdiswasnis).
4) Kepala Subdinas Pengawasan Administrasi Perkara (Kasubdis
wasminkara).
g. Kepala Dinas Riset Kriminal dan Hak Asasi Manusia (Kadisriskrim-
ham) Otjen TNI.
Kadisriskrimham Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI
berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang
juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban
sebagai berikut :
1) Mengumpulkan, menyusun, dan memelihara data kriminal perkara
tindak pidana dan pelanggaran HAM di lingkungan TNI.
138
2) Menyelenggarakan penelitian, pengolahan dan pengkajian data
kriminal dan pelanggaran HAM.
3) Menyusun perumusan unsur dan tafsiran kualifikasi tindak pidana
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Kadisriskrimham Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala
Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi
Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai
berikut :
1) Kepala Subdinas Pengolahan Data Kriminal (Kasubdis
Lahtakrim).
2) Kepala Subdinas Pengolahan Data Perkara Pidana Khusus dan
Pelanggaran HAM (Kasubdis Lahkaraham).
3) Kepala Subdinas Penelitian dan Pengembangan (Kasubdis
Litbang).
h. Oditurat Militer Tinggi (Otmilti), Oditurat Militer (Otmil) dan
Oditurat Militer Pertempuran (Otmilpur) tidak mengalami perubahan
tetap disesuaikan daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti),
Pengadilan Militer (Dilmil) dan Pengadilan Militer Pertempuran
(Dilmilpur).
Sesuai dengan uraian di atas mengenai upaya bersifat kelembagaan
adalah dengan menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal TNI berada
langsung di bawah Panglima TNI baik secara pembinaan prosedur
administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial. Hal ini sangat
139
sejalan dengan asas-asas di bidang pengorganisasian militer, yaitu asas
komando tunggal (unity of command), asas pembagian tugas yang serasi
(homogenus assignment), asas delegasi kekuasaan (delegation of authority)
dan asas rantai komando (chain of command) . Dengan beralihnya pembinaan
Oditurat Jenderal TNI dari Badan Pembina Hukum TNI kepada Panglima
TNI , serta adanya Perwira Penghubung TNI (LO TNI) ditempatkan di
Kejaksaan Agung Republik Indonesia guna memudahkan koordinasi di
bidang penuntutan, diharapkan lembaga Oditurat sebagai naungan para
Oditur Militer lebih memiliki independensi daripada sebelumnya dan terbebas
dari berbagi bentuk intervensi, sehingga mampu menjalankan tugas dan
fungsi dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.
140
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab III dan bab IV
sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14
Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya kebijakan rencana
tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006, dikarenakan
Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum
yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat
membuat tuntutan pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi
sangat tergantung kepada keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga
Oditur Militer tidak dapat menentukan besaran tuntutan secara mandiri
sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia dilakukan
dengan 2 cara, yaitu :
a. Upaya-upaya yang bersifat teknis yang harus terbagi dalam 3
bidang, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan
pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan.
1) Bidang teknis penuntutan dengan adanya pedelegasian
kewenangan terhadap pengendalian rencana tuntutan dari
140
141
Orjen TNI kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer
Tinggi dalam perkara yang ancaman pidananya kurang dari 5
tahun penjara. Selain itu harus adanya peraturan tentang
pedoman tuntutan pidana dalam perkara tindak pidana yang
dijadikan acuan oleh setiap Oditur Militer dalam menentukan
besaran tuntutan pidana.
2) Bidang pengendalian dan pengawasan terhadap kinerja
Oditur Militer di setiap Oditurat dilakukan secara maksimal
oleh Kepala Oditurat yang bersangkutan, melalui laporan
berkala yang dikirimkan kepada Orjen TNI. Apabila
ditemukan tuntutan yang diduga tidak sesuai dengan
ketentuan, maka Orjen TNI dapat melakukan eksaminasi dan
evaluasi terhadap tuntutan Oditur Militer, sehingga jika
ditemukan unsur kesengajaan atau adanya motivasi lain yang
dilakukan Oditur Militer dengan menuntut ringan terdakwa,
maka Oditur Militer yang bersangkuan dapat berikan sanksi
tegas.
3) Bidang Pendidikan dan Pelatihan, guna meningkatkan
kemampuan setiap Oditur Militer dalam bidang penuntutan,
maka diperlukan kerja sama yang terpadu antara TNI dengan
Kejaksaan Agung RI, sehingga TNI dapat mengirimkan
Oditur Militer untuk mengikuti setiap ada pendidikan dan
pelatihan yang diadakan oleh Badiklat Kejagung RI.
142
b. Upaya yang bersifat kelembagaan guna menjadikan Oditur
Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan
Militer di Indonesia adalah dengan menyatukan wewenang
kendali Oditurat Jenderal TNI berada langsung di bawah
Panglima TNI baik secara pembinaan prosedur administrasi dan
finansial maupun secara teknis yustisial.
5.2. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, adapun saran yang dapat
dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Agar Orjen TNI untuk mengkaji ulang terhadap kebijakan rencana
tuntutan yang telah diberlakukan sejak tahun 2006 dan terkait rencana
penuntutan menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Panglima
TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 yang terdapat
pada Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, sehingga mampu
memberi marwah bagi independensi Oditur Militer selaku penuntut
umum di lingkungan TNI untuk bersikap profesional, mandiri dan
mampu bertanggung jawab penuh terhadap perkara yang ditangani.
2. Agar Pimpinan TNI memperbaiki mekanime teknis di bidang
penuntutan, pengendalian dan pengawasan serta pendidikan dan
pelatihan bagi Oditur Militer, serta secara kelembagaan agar melakukan
kajian yang utuh guna menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal
TNI berada langsung dibawah Panglima TNI serta menempatkan
143
Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung agar
memudahkan koordinasi dalam bidang penuntutan.
144
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdussalam, H.R. dan Desasfuryanto, Adri, 2012, Sistem Peradilan Pidana,
Penerbit PTIK, Jakarta.
Ali, Chaidir, 1978, Yurisprudensi Tentang Perbuatan Melanggar Hukum Oleh
Penguasa (Onrechtmatige Overheidaad), Penerbit Bina Cipta,
Bandung.
Ali, Ahmad, 2004, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,
Penerbit BP IBLAM, Jakarta.
Ashsofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penenggulangan Kejahatan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif
Kajian Perbandingan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Atmasasmita, Romli, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika
Aditama, Bandung.
, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontenporer, Kencana
Predana Media Grup, Jakarta.
, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Refika
Aditama, Bandung.
Bhatia, K.L., 2010, Legal Language and Legal Writing, Universal Law Publishing
Co., New Delhi India.
Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Cohen, Morris L. dan Olson, Kent C., 2000, Legal Research In A Nutshell, West
Group, ST. Paul, Minn.
Cotterrel, Roger, 2012, Sosiologi Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
145
De Cruz, Peter, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusamedia,
Bandung.
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian, Pensil Komunika,
Yogyakarta.
Friedman, Lawrence M.,1984, American Law An Introduduction, WW. Norton and
Company, New York.
Friedmann W., 1990, Teori & Filsafat Hukum ; Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum (Susunan I), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
, 1994, Teori & Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis &
Problematika Keadilan (Susunan II), PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
, 1994, Teori & Filsafat Hukum ; Hukum & Masalah-Masalah
Kontemporer (Susunan III), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harjon, Philipus M. dan Djamiati, Tatiek Sri, 2005, Argumentasi Hukum (Legal
Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hart, H.L.A, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York.
Ibrahim, Johnny, 2007, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang.
Ikahi, 2012, Varia Peradilan : Majalah Hukum Tahun XXVII No. 323 Oktober
2012, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Pusat.
Kelsen, Hans, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif,
Nusamedia, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
McCoubrey, Hilaire, and White, Nigel D., 1996, Jurisprudence, Blackstone Press
Limited, London.
Mertokusumo, Sudikno , 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Narbuko, Cholid dan Achmadi, H. Abu, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi
Aksara, Jakarta.
Ngani, Nico, 1985, Mengenal Hukum Acara Pidana, Penerbit : Liberty,
Yogyakarta.
146
Rahardjo, Satjipto, 1977, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan
Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
, 2012, Ilmu Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Salam, Moch. Faisal, 2006, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Penerbit Mandar
Maju, Bandung.
Sianturi, S.R., 2010, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Babinkum TNI,
Jakarta.
, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
Babinkum TNI, Jakarta.
, 2012, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Babinkum
TNI, Jakarta.
, 2014, Hukum Penitensia Di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta.
Sidharta, B. Arief, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Fakultas Ilmu Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
, 2004, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soepomo, R., 1983, Sistem Hukum di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Soeroso, R., 2010, Hukum Acara Khusus : Kompilasi Ketentuan Hukum Acara
Dalam Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta.
Suharto, R.M., 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta
Timur.
Sunarso, Siswanto, 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta Timur.
Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sutherland, Edwin H., 1973, On Analyzing Crime, The University Of Chicago
Press, Chicago and London.
147
Tanya, Bernard L., 2010, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta.
Widnyana, I Made, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
84).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 208).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
3).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 127).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum
Disiplin Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 257).
148
TESIS
Alifah, Siti, 2007, “Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program
Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Iriani, AAA. Oka Putu Dewi, 2007, “Wewenang Peradilan Militer dalam
Mengadili Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.” (tesis), Program Pasca Sarjana
Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Supriyadi, 2004, “Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia.”
(tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang.
ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK
Http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2, diunduh pada hari Sabtu, 27 September 2014,
jam 08.00 Wita.
Http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas,
diunduh pada hari Sabtu, 03 Mei 2014, jam 04.00 Wib.
149
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Letkol Chk Sumantri, SH.
Tempat, tanggal lahir : Klaten, 19 Agustus 1964
Jabatan : Kapok Ormil Otmil III-14 Denpasar
Alamat : Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar
2. Nama : Mayor Chk Reman, SH., MH.
Tempat, tanggal lahir : Sukoharjo, 19 Januari 1972
Jabatan : Kasilahkara Otmil III-14 Denpasar
Alamat : Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar
3. Nama : Mayor Laut (KH) I Made Adnyana, SH.
Tempat, tanggal lahir : Tabanan, 21 Juni 1970
Jabatan : Kasitut Otmil III-14 Denpasar
Alamat : Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar
Top Related