II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BAHAN PANGAN UTAMA YANG DIGUNAKAN DALAM
PENELITIAN
2.1.1. JAGUNG Menurut Rukmana (1998), tanaman jagung termasuk keluarga Gramineae. Produksi tanaman
semusim ini menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Penyebarannya cukup luas karena
tanaman ini mudah beradaptasi pada daerah tropis atau subtropis. Jagung memiliki tujuh varietas atau
jenis berdasarkan bentuk asli yaitu jagung gigi kuda (Zea mays identata), jagung mutiara (Zea mays
indurata), jagung manis (Zea mays saccharata), jagung berondong (Zea mays everta), jagung pod
(Zea mays tunicate), jagung ketan (Zea mays certain), dan jagung tepung (Zea mays amylacea). Di
antara tujuh jenis jagung tersebut, jagung mutiara dan jagung manis yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Meskipun demikian, dari bentuk jenis asli tersebut telah ditemukan jenis jagung baru
seperti jagung hibrida dan aneka macam varietas ataupun kultivar (Rukmana 1998).
Jagung mengandung glukosa yang jumlahnya tergantung dari jenisnya. Kandungan glukosa
jagung relatif menurun selama proses penyimpanan karena diubah menjadi pati. Selain glukosa,
jagung juga mengandung β-karoten terutama pada jagung yang berwarna kuning (Ronzio 2003).
Kandungan gizi setiap 100 g jagung dan turunannya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi jagung dan turunannya per 100 g bahan
Komposisi
Jumlah
Jagung Kuning
pipil baru
Tepung Jagung
Kuning
Kalori (Kal) 307 335
Protein (g) 7.90 9.20
Lemak (g) 3.40 3.90
Karbohidrat (g) 63.60 73.70
Kalsium (mg) 9.00 10.00
Fosfor (mg) 148.00 256.00
Zat besi (mg) 2.00 2.00
Vitamin A (SI) 440 510
Vitamin B1 (mg) 0.30 0.40
Vitamin C (mg) 0.00 0.00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (2004)
Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 cukup tinggi yaitu sebanyak 17,629,033 ton
dengan produktivitas 45.65 ku/ha (BPS 2012) yang menurun dari tahun sebelumnya (18,327,636 ton).
Produksi jagung terbanyak pada tahun 2011 berada di provinsi Jawa Timur dengan total produksi
5,43,705 ton dengan produktivitas 45.21 ku/ha. Provinsi lain seperti Jawa Tengah dan Lampung juga
banyak membudidayakan tanaman jagung dengan total produksi mencapai 2,772,575 ton
3
dan1,817,906 ton. Selain digunakan di dalam negeri, menurut UN Comtrade (2012) jagung yang
diproduksi di Indonesia juga diekspor dengan jumlah ekspor pada tahun 2010 sebanyak 41,954,096
kg.
2.1.2. UBI JALAR Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong tanaman semusim (berumur pendek).
Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu tanaman mati. Tanaman ubi jalar
tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai tiga meter,
tergantung pada varietasnya (Juanda dan Cahyono 2009). Umbi ubi jalar ini sangat bervariasi dalam
ukuran, bentuk, warna, tekstur, dan rasanya. Kulit umbi warnanya ada yang merah, merah keungu-
unguan, kuning, putih, dan coklat muda. Warna daging umbi ada yang putih, kuing terang, jingga,
ataupun ungu. Bentuknya ada yang bulat, bulat lonjong, lonjong memanjang, ada rata atau
bergelombang dengan ukuran beragam mulai dari yang kecil, sedang, dan besar (Hanifa dan Lutfheni
2006)). Tanaman ubi jalar secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Concolvulales, famili Convolvulaceae, genus
Ipomoea, dan spesies Ipomoea batatas L. Sin batats edulis choisy. Sebagai keluarga kangkung-
kangkungan (Convolvulaceae), ubi jalar memiliki cukup banyak kerabat dekat dengan kangkung,
antara lain kangkung air (Ipomea aquatica Forsk), kangkung darat (Ipomea reptans L. Poir),
kangkung pagar atau kangkung hutan (Ipomoea crassicaulus sin. I fistulosa Marf) (Juanda dan
Cahyono 2009).
Menurut Suprapti (2003), ubi jalar (Ipomoea batatas) atau ketela rambat merupakan salah satu
palawija yang berasal dari Amerika bagian tengah. Diperkirakan pada abad ke-16, tanaman ubi jalar
tersebut mulai tersebar ke negara-negara tropis di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyebarannya
meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namanya bermacam-macam menurut daerahnya, antara
lain telo rambat (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan huwi bolet (Jawa Barat, Sunda). Pada umumnya,
umbi ini dimanfaatkan sebagai makanan selingan seperti direbus, dibakar, dipanggang, atau digoreng
(Hanifa dan Lutfheni 2006). Selain itu, ubi jalar dijadikan makanan pokok bagi sebagian masyarakat
seperti di Maluku dan Papua (Soenardi & Wulan 2009).
Ubi jalar mengandung cukup banyak karbohidrat, vitamin, dan mineral. Warna daging
umbinya beraneka ragam dan menunjukkan komponen bioaktif yang bermacam-macam sesuai dengan
warna dagingnya. Daging umbi berwarna kuning, oranye hingga jingga menunjukkan adanya β-
karoten sebagai provitamin A. Daging umbi yang berwarna ungu mengandung antosianin yang
berperan sebagai antioksidan (Soenardi & Wulan 2009). Kandungan gizi setiap 100 gram ubi jalar
ditunjukkan pada Tabel 2.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2012), produktivitas tanaman ubi jalar di Indonesia pada
tahun 2011 mencapai 123.26 (ku/ha) dengan total produksi sebesar 2,192,242 ton. Jumlah produksi
tersebut menurun dari tahun sebelumnya dengan total produksi mencapai 2,051,046 ton. Produksi ubi
jalar terbanyak berada di daerah Jawa Barat sebanyak 426,177 ton pada tahun 2011. Selain di Jawa
Barat, ubi jalar juga banyak dihasilkan di daerah Papua dan Jawa Timur yaitu sebanyak 348,438 ton
dan 217,545 ton pada tahun 2011. Selain untuk kepentingan dalam negeri, ubi jalar yang dihasilkan
juga di ekspor. Pada tahun 2010, Indonesia mengekspor ubi jalar dengan total ekspor 7,083,483 kg.
4
Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar
Komposisi Jumlah
Ubi Putih Ubi Merah Ubi Kuning
Kalori (Kal) 123.00 123.00 114
Protein (g) 1.80 1.80 0.80
Lemak (g) 0.70 0.70 0.50
Karboidrat (g) 27.90 27.90 26.70
Kalsium (mg) 30.00 30.00 51.00
Fosfor (mg) 49.00 49.00 47.00
Zat besi (mg) 1.00 1.00 0.90
Vitamin A (SI) 60.00 7700.00 0.00
Vitamin B1 (mg) 0.100 0.10 0.10
Vitamin C (mg) 22.00 22.00 22.00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (2004)
2.1.3. TEPUNG KOMPOSIT Menurut Djuwardi (2009), tepung komposit merupakan tepung yang tersusun atas campuran
beberapa tepung dengan formula tertentu. Tepung komposit dapat terbuat dari campuran tepung
jagung dan tepung ubi jalar. Tepung komposit tersebut digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan produk makanan berbahan tepung seperti kukis, kue basah, dan sebagainya. Tepung
jagung dan tepung ubi jalar masing-masing terbuat dari jagung dan ubi jalar yang digiling. Menurut
SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung
yang baik dan bersih. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 ditunjukkan pada Tabel
3.
Menurut Suprapti (2003), tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan
sebagian kadar airnya. Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang
dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan
(digiling) dengan tingkat kehalusan ± 80 mesh. Tepung jagung dan tepung jalar sudah lama dikenal
dan dimanfaatkan baik sebagai bahan makanan pokok maupun bahan pengganti tepung terigu.
Menururt Suprapti (2003), di India dan Afrika, tepung ubi jalar digunakan sebagai bahan campuran
dalam pembuatan kue dan roti tepung terigu. Di Indonesia, pemanfaatan tepung ubi jalar masih
kurang dibandingkan tepung jagung. Tepung jagung pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan mi jagung, beras tiruan, atau produk makanan ringan. Pada umumnya masyarakat lebih
sering mengkonsumsi ubi yang dimasak daripada memanfaatkan tepungnya.
2.1.4. KONTRIBUSI TEPUNG PADA KUKIS Pembuatan kukis khususnya corn flake cookies membutuhkan tepung terigu dengan
kandungan protein yang rendah. Tepung terigu yang digunakan pada umumnya mengandung protein tidak lebih dari 10% (9-10%) agar dihasilkan kukis yang garing, renyah, dan tidak terlalu padat (Respati 2008). Kandungan protein yang rendah juga dimiliki oleh tepung jagung dan ubi jalar. Menurut Antarlina (1998), tepung jagung mengandung protein sebesar 6.57% sedangkan tepung ubi jalar mengandung protein sebesar 2.11%. Jika kedua tepung tersebut dicampur, akan menghasilkan tepung komposit dengan kadar protein sekitar 9-10%. Oleh karena itu, penggunaan kedua tepung tersebut secara komposit diharapkan dapat menggantikan tepung terigu dalam pembuatan kukis khususnya corn flake cookies.
5
Tabel 3. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995
Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Normal
Benda-benda asing - Tidak boleh ada
Serangga dalam bentuk
stadia dan potong-potongan - Tidak boleh ada
Jenis pati lain selain pati
jagung - Tidak boleh ada
Kehalusan
Lolos ayakan 80 mesh % Min. 70.00
Lolos ayakan 60 mesh % Min. 99.00
Air % b/b Maks. 10.00
Abu % b/b Maks. 1.50
Silikat % b/b Maks. 0.10
Serat kasar % b/b Maks. 1.50
Derajat asam ml NaOH 0.1 N/100 g Maks. 4.00
Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.00
Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.00
Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.00
Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05
Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0.50
Cemaran mikroba
Angka lempeng total koloni/gr Maks. 1×106
E.coli APM/gr Maks. 1×101
Kapang koloni/gr Maks. 1×104
2.2. CORN FLAKE COOKIES
2.2.1. KARAKTERISTIK Menurut Manley (2000), istilah ‘cookie’ merupakan sinonim dari biskuit yang banyak
digunakan di USA sedangkan istilah biskuit banyak digunakan di UK. Menurut SNI 2973:2011,
kukis adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan lunak, renyah dan bila dipatahkan penampangnya
bertekstur kurang padat. Syarat mutu biskuit ditunjukkan pada Tabel 4. Menurut Suryani (2006),
kukis merupakan kue kering yang memiliki bentuk beraneka ragam, berukuran kecil, dan umumnya
memiliki rasa manis. Menurut Manley (2001), kukis termasuk ke dalam short dough biscuits, yaitu
adonan dengan ekstensibilitas dan elastisitas yang kurang. Kurangnya ekstensibilitas dan elastisitas
ini disebabkan oleh sedikitnya jaringan gluten yang terbentuk karena tepung yang digunakan adalah
jenis tepung yang rendah protein.
Salah satu jenis kukis adalah corn flake cookies (Gambar 1). Kukis ini terbuat dari tepung
terigu berprotein rendah, margarin, gula, kuning telur, baking powder, corn flakes, dan kacang
cincang (Bogasari Baking Center 2004). Jumlah masing-masing bahan ditunjukkan pada Tabel 5.
6
Langkah pembuatannya ditunjukkan pada Gambar 2. Margarin dan gula halus dicampur kemudian
dikocok sehingga terbentuk krim. Adonan krim kemudian dicampur dengan kuning telur. Adonan
krim kemudian dicampur dengan tepung dan baking powder. Adonan kemudian dicampur dengan
corn flakes dan kacang cincang. Adonan dicetak, ditaburi dengan corn flakes, dan dipanggang pada
suhu 150°C selama 20 menit. Kukis kemudian didinginkan dan disimpan dalam toples.
Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan kukis corn flake atau corn flake
cookies. Menurut Respati (2008), tepung terigu yang digunakan pada pembuatan kukis memiliki
kandungan protein yang rendah atau sedang (tidak lebih dari 10%) agar dihasilkan kukis yang garing,
renyah, dan tidak terlalu padat. Margarin dapat ditambahkan agar tekstur kukis lebih kokoh dan lebih
lezat. Gula digunakan untuk menambah rasa manis dan meningkatkan warna kukis. Kuning telur
mengandung zat pengemulsi dan merupakan pengembang alami. Kemampuan pembentukan emulsi
disebabkan oleh adanya lesitin pada kuning telur. Menurut Manley (2000), lesitin memiliki struktur
phospolipid yang dapat menyatukan lemak dan air sehingga lemak dapat tersebar lebih merata pada
adonan dan menghasilkan kukis yang lebih lembut. Menurut Manley (2000), pada kuning telur segar
terkandung lesitin sebesar 8-10%. Menurut Matz (1992), baking powder mengandung natrium
bikarbonat yang merupakan pengembang kimia (chemical leavening agent) dan bahan-bahan lain
seperti pati dan garam fosfat. Corn flake dan kacang cincang merupakan bahan pelengkap.
Gambar 1. Corn flakes cookies (Clara 2009)
7
Tabel 4. SNI biskuit (SNI 2973:2011)
Parameter Nilai
Keadaan (bau, rasa, warna) Normal
Kadar air (% b/b) Maksimum 5.00
Protein (N x 6.25) (% b/b) Minimum 5.00
Minimum 4.50*)
Minimum 3.00**)
Asam lemak bebas (sebagai asam
oleat) (% b/b)
Maksimum 1.00
Abu (% b/b) Maksimum 2.00
Cemaran logam
Timbal (mg/kg) Maksimum 0.50
Kadmium (mg/kg) Maksimum 0.20
Timah (mg/kg) Maksimum 40.00
Merkuri (mg/kg) Maksimum 0.05
Arsen (mg/kg) Maksimum 0.50
Cemaran mikroba
Angka lempeng total (koloni/g) Maksimum 1x104
Coliform (APM/g) 20
E.coli (APM/g) < 3
Salmonella sp. Negatif/ 25 g
Staphylococcus aureus (koloni/g) Maksimum 1×102
Bacillus cereus (koloni/g) Maksimum 1×102
Kapang dan khamir (koloni/g) Maksimum 2×102
Catatan: *) untuk produk biskuit yang dicampur dengan pengisi dalam adonan **) untuk produk biskuit yang diberi pelapis atau pengisi (coating filling) dan pai
Tabel 5. Jumlah bahan-bahan corn flakes cookies (modifikasi dari resep Bogasari Baking Center (2004))
Bahan Jumlah (g)
Tepung terigu berprotein rendah 233.40
Gula 200.00
Margarin 166.67
Kuning telur 38.00
Baking powder 6.67
Corn flake 66.67
Kacang cincang 66.67
8
2.2.2. PARAMETER PROSES Seperti yang telah dijelaskan di awal, corn flake cookies terbuat dari tepung terigu berprotein
rendah, margarin, gula, kuning telur, baking powder, corn flakes, dan kacang cincang (Bogasari
Baking Center 2004). Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur (mixing), dicetak, dan dipanggang.
Menurut Manley (2000), pencampuran (mixing) adonan memiliki tiga fungsi utama yaitu (1)
mencampur dan membasahi bahan-bahan adonan, (2) mengembangkan adonan, dan (3) memerangkap
udara ke dalam adonan. Menurut Manley (2000), proses pencampuran pada pembuatan kukis terdiri
atas dua bagian utama yaitu pencampuran atau mixing untuk membentuk krim dan pencampuran
tepung dan bahan lainnya. Tujuan pembuatan pencampuran pada pembuatan krim adalah melarutkan
gula, pembentukan emulsi dengan lemak, dan aerasi atau pemasukan udara dalam adonan. Proses
pencampuran pertama ini dilakukan dengan kecepatan mixer yang tinggi dan diakhiri saat diperoleh
krim berwarna putih dan dilanjutkan dengan pencampuran yang kedua. Pencampuran yang kedua
dilakukan untuk mendispersikan bahan-bahan kering seperti tepung, baking powder, dan bahan
pelengkap (dalam hal ini kacang dan corn flake). Proses pencampuran ini dilakukan dengan
kecepatan mixer yang rendah dan tidak terlalu lama. Pencampuran kedua ini diakhiri saat diperoleh
adonan yang homogen. Namun, menurut Manley (2000), proses pencampuran atau mixing tidak
terlalu kritis pada proses pembuatan kukis.
Adonan yang sudah diperoleh selanjtnya dicetak dan dipanggang. Pencetakan dilakukan
dengan alat cetakan manual dengan bentuk tertentu misanya bentuk hati. Pemanggangan dilakukan
pada suhu 150-180 selama 15-30 menit (Stewart 2008). Menurut Dobraszczyk (2006),
pemanggangan adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk produksi produk berbasis
serealia seperti roti, biscuit, cakes, pizza, dan sebagainya. Tujuan dari proses pemanggangan adalah
meningkatkan karakteristik sensori makanan, meningkatkan palatabilitas, dan membuat berbagai
macam produk yang memiliki berbagai rasa, aroma, tekstur dari bahan baku yang sama (Fellows
2009). Selain itu, selama pemanggangan juga terjadi perusakan enzim dan mikroorganisme
pengkontaminan. Oleh karena itu, umur simpan produk dapat lebih panjang.
Menurut Fellows (2009), proses pemanggangan melibatkan transfer panas kepada produk
pangan secara simultan dan penghilangan kelembaban melalui evaporasi dari produk pangan ke udara
di sekitar. Selama proses pemanggangan, panas menyebabkan kelembaban pada permukaan produk
menguap dan udara panas menciptakan perbedaan tekanan uap yang menyebabkan perpindahan
kelembaban dari dalam produk pangan ke permukaan. Perpindahan tersebut dapat melalui aliran
kapiler atau difusi uap melewati saluran pada produk pangan. Ketika laju kehilangan kelembaban
pada permukaan melebihi laju perpindahan dari dalam produk, daerah penguapan merambah ke
dalam, permukaan mengering, suhu permukaan meningkat hingga mencapai suhu udara panas dan
crust terbentuk. Crust yang terbentuk dapat meningkatkan eating qualities dan mencegah keluarnya
kelembaban pada produk pangan yang bulky. Saat crust mengering, konduktifitas termal turun dan
laju penetrasi panas melambat. Pada produk pangan yang membutuhkan kadar air yang rendah seperti
biskuit dan crackers, pembentukan crust tersebut dihindari agar air pada adonan yang dioven dapat
menguap hingga tercapai kadar air 5%. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan suhu
pemanggangan yang tidak terlalu tinggi.
Menurut Manley (2000), pada saat pemanggangan terjadi tiga perubahan utama pada adonan.
Perubahan tersebut adalah (1) penurunan densitas produk terkait dengan pengembangan struktur
berpori, (2) penurunan kadar air, dan (3) perubahan warna permukaan. Pengembangan struktur terjadi
akibat terbentuknya gelembung gas dan uap air yang mengembang dan menyebabkan penurunan
densitas adonan. Gas tersebut dilepaskan dari bahan pengembang. Uap air yang terbentuk dari
penguapan air adonan mengembang sehingga membuat adonan mengembang. Penurunan kadar air
9
terjadi akibat dari pemanasan adonan oleh udara panas selama pemanggangan. Perubahan warna yang
terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti reaksi Maillard dan karamelisasi gula. Reaksi Maillard
atau reaksi pencoklatan nonenzimatik merupakan reaksi kimia antara gula pereduksi dan asam amino
bebas atau gugus amino dari suatu asam amino suatu protein. Rekasi ini menghasilkan warna gelap
pada produk panggang atau produk yang dipanaskan seperti pada kecap kedelai dan permukaan roti
(Fennema 1996). Reaksi karamelisasi merupakan reaksi kompleks yang terjadi akibat adanya
pemanasan terhadap karbohidrat (sukrosa dan gula pereduksi) tanpa adanya komponen yang
mengandung nitrogen. Reaksi ini menghasilkan senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang
menyerap warna sehingga produknya berwarna gelap. Reaksi ini banyak terjadi pada proses
pembuatan produk panggang, sirup, permen, dan minuman (Fennema 1996).
2.3. RESPONSE SURFACE METODOLOGY (RSM) Proses optimasi formula dan proses produksi pada penelitian ini menggunakan peranti lunak
(software) Design-Expert 7.0.0. Peranti lunak ini menyediakan fasilitas mixture design (D-optimal)
dan response surface design (central composite design). Mixture design atau desain campuran
digunakan untuk mendapatkan formula yang optimum. Response surface design atau desain
permukaan respon digunakan untuk mendapatkan parameter proses yang optimum. Baik mixture
design maupun response surface merupakan metode yang menggunakan prinsip response surface
methodology.
Menurut Montgomery (2001), Response Surface Methodology (RSM) atau metodologi
permukaan respon adalah kumpulan teknik-teknik statistik dan matematika yang berguna untuk
memodelkan dan menganalisis masalah-masalah dimana responnya dipengaruhi oleh beberapa
variabel. Menurut Box dan Draper (2007), Response Surface Methodology (RSM) meringkas sebuah
kelompok teknik statistik untuk membangun model empiris dan eksploitasi model. Metode ini
menghubungkan sebuah respon atau variabel keluaran (output) dengan data masukan (input) yang
mempengaruhinya. Jika suatu daerah dengan respon optimum ditemukan maka dibuat suatu model
untuk menghubungkan ke daerah tersebut sehingga analisis dapat dilakukan untuk mencapai daerah
optimal tersebut. Menurut Myers et al (2009), pengaplikasian (RSM) membutuhkan model perkiraan
untuk mendapatkan permukaan respon yang benar. Model tersebut adalah model empiris yang
biasanya menggunakan model multipel regresi. Model regresi yang sederhana adalah model regresi
linear yang ditunjukkan pada persamaan (1).
y=β +β x +β x +… β x ε (1)
Persamaan (1) merupakan sebuah model regresi linear multipel dengan dua variabel bebas.
Variabel bebas ini sering disebut dengan variabel pemprediksi (predictors) atau regresor. β
merupakan intersep dengan nilai yang tetap. β dan β merupakan koefisien regresi parsial dimana
β mengukur perubahan y setiap perubahan unit x dan β mengukur perubahan y setiap perubahan
unit x . Model yang lebih kompleks ditunjukkan pada persamaan (2). Persamaan tersebut
mencantumkan interaksi antara kedua regresor.
y=β +β x +β x +β + β +β x x +ε (2)
10
Menurut Montgomery (2001), RSM merupakan prosedur yang berurutan. Ketika suatu
kejadian fisik berada jauh dari titik optimum ( Gambar 2) maka model yang pertama (persamaan 1)
digunakan. Model ini akan mendekatkan atau menunjukkan peneliti pada daerah optimum melalui
jalur pengoptimasian atau path of improvement. Ketika suatu daerah optimum ditemukan maka model
yang lebih kompleks seperti model kedua (persamaan 2) digunakan. Selanjutnya proses analisis
permukaan respon dilakukan untuk untuk mendapatkan titik optimum.
Gambar 2. Ilustrasi proses optimasi dengan RSM (Montgomery 2001)
Analisis permukaan respon dilakukan dengan menggunakan permukaan respon yang cocok.
Jika permukaan yang cocok merupakan perkiraan dari fungsi respon yang sesungguhnya maka analisis
permukaan yang cocok ini akan sebanding dengan analisis sistem yang sesungguhnya. Parameter
modelnya dapat diperkirakan secara efektif jika desain eksperimental yang tepat digunakan untuk
mengumpulkan data. Desain untuk mencocokkan permukaan respon disebut response surface design
atau desain permukaan respon (Montgomery 2001). Pencocokkan model pertama (persamaan 1)
menggunakan orthogonal first model design atau simplex. Pencocokkan model dengan persamaan
yang kompleks atau persamaan (2) dapat menggunakan central composite design (CCD). Pada tahap
optimasi proses, peneliti menggunakan CCD.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mixture design digunakan karena dapat membantu dalam
menentukan formula dengan hasil (dalam hal ini respon organoleptik) yang optimum dari beberapa
faktor (dalam hal ini ada tiga faktor: tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar). Menurut
SAS Institute (2010), nilai sebuah faktor dalam mixture design menunjukkan proporsi faktor tersebut
di dalam sebuah campuran yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. Jumlah proporsi seluruh faktor pada
suatu campuran adalah 1 (100%). Menurut Montgomery (2001), faktor pada mixture experiments
merupakan komponen atau ingridient yang tidak independen. Faktor ini akan menentukan ruang
desain atau design space atau lebih mudahnya disebut dareah uji. Daerah uji dengan tiga faktor akan
berbentuk segitiga seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah uji ini akan mempengaruhi titik
uji (dalam hal ini formula yang diujikan). Daerah uji dengan batasan tertentu (titik maksimum dan
titik minimum) atau constraint akan berbentuk tidak standar (tidak seperti Gambar 3). Daerah uji
pada kasus tersebut akan disesuaikan dengan batasan yang ditentukan. Contoh daerah uji dengan
batasan tertentu ditunjukkan pada Gambar 4. Daerah berwarna gelap merupakan daerah diluar daerah
11
uji (diluar batasan) sedangkan daerah berwarna putih merupakan daerah uji. Berdasarkan daerah uji
tersebut, peranti lunak komputer (dalam hal ini Design-Expert 7.0.0) akan menentukan titik uji
(formula yang akan diujikan). Titik-titik uji dipilih berdasarkan beberapa titik utama sehingga
kurang-lebih akan menghasilkan permukaan respon yang tepat. Design-Expert 7.0.0 akan
menggunakan the vertices, the edge centers, the overall centroid, dan the check runs sebagai titik-titik
ujinya. The vertices merupakan titik ujung faktor (berada di pojok segitiga) dan memiliki dua faktor
dengan nilai terendah. The edge centers adalah titik yang bersebrangan dengan the vertices dan
merupakan titik dengan proporsi terendah salah satu faktor. The overall centroid merupakan titik
tengah ketiga faktor. The check runs merupakan titik yang berada di pertengahan the vertices dan the
overall centroid. Penentuan titik-titik ini mempertimbangkan batasan uji atau contraints. Beberapa
titik akan diulang atau replicated untuk mendapatkan nilai pure error yang akan berguna pada analisis
ragam. Respon yang didapatkan akan digambarkan oleh sebuah plot kontur atau contour plot.
Contour plot atau plot kontur berperan penting dalam studi permukaan respon. Dengan membuat plot
kontur, bentuk permukaan dapat dikarakterisasi dan titik optimum dapat dicapai dengan presisi yang
tinggi. Data respon akan dimodelkan oleh sebuah model matematika tertentu. Model untuk mixture
design atau desain campuran ada empat yaitu linear, kuadratik, kubik, dan kubik spesial.
Gambar 3. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (Montgomery 2001)
Gambar 4. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor (crosslinker, resin, dan monomer) dengan
batasan tertentu pada kasus optimasi formula cat mobil (Montgomery 2001)
The edge centers
The check runs
the overall centroid
the vertices
12
Model yang baik sebaiknya memenuhi beberapa kriteria yaitu signifikansi model, signifikansi
lack of fit, adjusted R-square, dan predicted R-square. Kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada
analisis ragam atau ANOVA. Signifikansi model dilihat dari nilai probabilitas atau Prob>F.
Probabilitas merupakan peluang atau probability nilai F. Nilai probabilitas tersebut didapatkan dari
tabel probabilitas pada derajat bebas error dan derajat model tertentu yang menunjukkan letak nilai F.
Nilai F merupakan hasil perhitungan dari mean square atau rataan kuadrat dibagi dengan rataan error
kuadrat atau residual mean square. Jika nilai probabilitas kurang dari nilai α (5%) maka dapat
dikatakan faktor berpengaruh nyata atau signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5%.
Lack of fit menunjukkan ketidaksesuaian model dengan data. Jika nilai lack of fit kurang dari
nilai α (5%) atau signifikan maka model dikatakan tidak sesuai dengan data yang ada. Model yang
baik memiliki nilai lack of fit yang tidak signifikan atau lebih dari nilai α (5%). Hal tersebut
menunjukkan bahwa model yang didapatkan sesuai dengan data yang ada atau dapat memodelkan
data secara tepat.
Adjusted R-square dan predicted R-square merupakan R-square atau R2. R-square atau R2
menunjukkan variasi data disekitar rataan data yang dijelaskan oleh model dalam hal ini model atau
persamaan masing-masing respon sensori. Jika nilai R-square atau R2 tinggi (mendekati 1) maka data
tidak terlalu bervariasi atau sedikit pencilan (outlier). Adjusted R-square adalah R-square hitung
berdasarkan data yang diperoleh sedangkan predicted R-square adalah R-square prediksi. Design
Expert 7.0.0 memberikan toleransi selisih antara kedua R2 dengan nilai 2. Jika selisih nilai kedua R2
kurang atau sama dengan 2 maka dikatakan data in reasonable agreement yang berarti tidak banyak
data pencilan atau nilai respon prediksi sesuai dengan nilai respon aktual sehingga model yang
diperoleh dapat memodelkan data dengan baik. Nilai Predicted R-square dan Adjusted R-square
diperoleh dari persamaan berikut.
1-PRESS
total SS
1-
SS error
SS model + SS error
df model + df error
PRESS atau Predicted Residual Sum of Squares merupakan jumlah kuadrat residu prediksi
yang digunakan untuk memperkirakan jumlah kuadrat residu setiap titik uji. Total SS atau sum of
square merupakan total jumlah kuadrat deviasi yang diperoleh pada analisis ragam. Jika nilai PRESS
lebih besar dari nilai total SS maka nilai predicted R-square menjadi bernilai negatif (-). Hal tersebut
secara tidak langsung menunjukkan data yang diperoleh lebih tidak bervariasi dari prediksi. SS error
adalah jumlah kuadrat deviasi residu. SS model adalah jumlah kuadrat deviasi model. df merupakan
derajat bebas.
Selain keempat kriteria tersebut, ada kriteria tambahan yaitu Adeq Precision. Adeq Precision
atau adequate precision merupakan ukuran rentang nilai respon prediksi yang dihubungkan dengan
error. Nilai Adequate Precision menunjukkan presisi data. Nilai adeq Precision yang baik adalah
lebih dari 4 yang berarti presisinya baik.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mixture design memiliki beberapa jenis model
polinomial yaitu mean, linear, quadratic, special cubic, dan cubic (Montgomery 2001). Pemilihan
model ini didasarkan kriteria-kriteria tersebut terutama nilai probabilitas atau Prob>F dan lack of fit.
Jika nilai probabilitas modelnya kurang dari nilai α (5%) maka model tersebut signifikan yang berarti
13
faktor dalam model atau pesamaan tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap respon pada taraf
signifikansi 5% sehingga model tersebut dipilih untuk memodelkan respon tersebut. Jika model
memiliki probabilitas lebih dari α (5%) disarankan untuk mengganti model hingga diperoleh
probabilitas yang signifikan. Hal yang sama dilakukan jika nilai probabilitas lack of fit-nya kurang
dari nilai α (5%) atau signifikan.
Seperti yang disebutkan di awal bahwa pada tahap optimasi proses peneliti menggunakan
central composite design (CCD). CCD dipilih karena memiliki rotatability atau pada semua titik x
yang berada pada jarak yang sama dari titik tengah desain akan memiliki nilai (y(x)) yang sama. Hal
ini penting karena tujuan dari RSM adalah untuk optimasi dan lokasi yang optimal tidak diketahui
sehingga dibutuhkan suatu desain yang menyediakan presisi perkiraan yang tinggi di semua arah.
CCD rotatable dengan adanya α. Nilai α tergantung dari jumlah titik pada bagian faktorial
desainnya. Pada umumnya, α= (nf)1/4 dimana nf adalah jumlah titik uji yang digunakan pada bagian
faktorial desain. Namun, jika jumlah faktor hanya dua maka nilai α= √k dimana k adalah jumlah
faktor sehingga nilai α= 1.4142. Nilai α ini akan mempengaruhi pada titik uji yang akan diuji. Titik
uji yang disarankan diambil berdasarkan titik-titik pada Gambar 5. Nilai +1 merupakan nilai
maksimum batasan uji yang ditentukan untuk masing-masing faktor (x1 dan x2). Nilai α pada Gambar
5 diperoleh dari persamaan dibawah ini. Sama seperti pada mixture design, titik-titik uji yang terpilih
pada CCD merupakan titik uji yang dianggap akan menghasilkan permukaan respon yang tepat untuk
mendapatkan titik optimum. Data respon yang diperoleh dimodelkan oleh model matematika yang
sesuai. CCD memiliki beberapa model yaitu mean, linear, 2FI, quadratic, dan cubic (aliased).
Kriteria pemilihan model respon sama seperti pada mixture design.
α=(nilai +1 – nilai -1)
21.4142 + 1)
Gambar 5. Titik uji central composite design (CCD) (Montgomery 2001)
Setelah dihasilkan model yang tepat maka langkah selanjutnya adalah optimasi untuk
mendapatkan titik optimum (baik parameter proses atau formula). Penentuan titik optimum dilakukan
berdasarkan kriteria-kriteria yang diinginkan. Contoh kriteria yang ditetapkan pada penelitian ini
ditunjukkan pada Tabel 13. Pada tabel tersebut, komponen atau respon yang diminimize berarti saat
dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk mendekati jumlah terkecil atau batas bawah. Komponen atau
14
respon yang dimaximize berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk mendekati jumlah tertinggi
atau batas atas. Komponen atau respon yang in range berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan
untuk berada di daerah antara batas atas dan batas bawah. Importance berarti seberapa penting
komponen atau respon tersebut untuk dioptimasi dibandingkan komponen atau respon lainnya.
Semakin tinggi nilai importance (mendekati 5) semakin penting komponen atau respon tersebut.
Kriteria-kriteria tersebut akan menentukan titik optimum dengan nilai desirability tertentu.
Desirability menunjukkan seberapa terpenuhi keinginan (yang ditunjukkan pada kriteria) oleh titik
optimum. Semakin tinggi nilai desirability (mendekati nilai 1) semakin terpenuhi kriteria yang
ditetapkan. Titik optimum yang baik memiliki nilai desirability yang tinggi.
Top Related