IDENTIFIKASI EKTOPARASIT PADA IKAN LELE DUMBO
(Clarias gariepinus Burchell, 1822) YANG DIBUDIDAYAKAN DI
CIBUBUR, JAKARTA TIMUR
AJI PRASETYO
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
ii
IDENTIFIKASI EKTOPARASIT PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias
gariepinus Burchell, 1822) YANG DIBUDIDAYAKAN DI CIBUBUR,
JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
AJI PRASETYO
11160950000083
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
iii
IDENTIFIKASI EKTOPARASIT PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias
gariepinus Burchell, 1822) YANG DIBUDIDAYAKAN DI CIBUBUR,
JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
AJI PRASETYO
11160950000083
Menyetujui :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Narti Fitriana, M.Si. Emei Widiyastuti, S.Pi, M.Si.
NIDN. 0331107403 NIP. 19810502 200502 2 009
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si.
NIP. 19750526 200012 2 001
iv
v
vi
ABSTRAK
Aji Prasetyo. Identifikasi ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus
Burchell, 1822) yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur. Skripsi.
Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Dibimbing oleh Narti Fitriana dan
Emei Widyastuti.
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu ikan air tawar yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur dengan media kolam terpal.
Permasalahan dalam membudidayakan ikan lele adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi ektoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi,
mengkategorikan tingkat prevalensi, intensitas, dominansi ektoparasit serta
mengetahui hubungan faktor fisika-kimia air dengan keberadaan ektoparasit pada
ikan lele dumbo. Penelitian dilaksanakan pada bulan November - Desember 2020
di Laboratorium BUSKIPM Jakarta menggunakan metode survei. Pengambilan
sampel menggunakan metode purposive sampling berdasarkan ukuran berkisar
antara 25-30 cm dengan total sampel sebanyak 30 individu yang berasal dari tiga
kolam berbeda. Pemeriksaan ektoparasit dilakukan dengan cara pengerokkan di
bagian permukaan tubuh dan insang. Ektoparasit kelompok jamur diperoleh secara
konvensional dengan mengisolasinya dari luka di permukaan tubuh ikan, dibiakkan
pada media Sabouraud Dextrose Agar serta diidentifikasi. Ektoparasit yang
berhasil diidentifikasi tergolong ke dalam filum Protozoa yaitu Trichodina, filum
Platyhelminthes, kelas Monogenea yaitu Quadriacanthus, filum Nemathelminthes,
kelas Chromadorea yaitu Spiroxys, dan filum Ascomycota, kelas Eurotiomycetes
yaitu Aspergillus dan Penicillium. Prevalensi tertinggi ditemukan pada Trichodina
dengan kategori infeksi sangat sering dan Aspergillus kategori infeksi parah.
Intensitas tertinggi dan ektoparasit yang mendominasi adalah Trichodina. Analisis
korelasi Spearman menggunakan menunjukkan adanya korelasi positif antara
amoniak, pH, dan DO terhadap keberadaan Trichodina, Quadriacanthus, dan
Spiroxys.
Kata kunci: Clarias; dominansi; ektoparasit; intensitas; korelasi; prevalensi
vii
ABSTRACT
Aji Prasetyo. Identification of Ectoparasites on Catfish (Clarias gariepinus
Burchell, 1822) cultivated in Cibubur, East Jakarta. Undergraduate Thesis.
Department of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised by Narti Fitriana and
Emei Widyastuti.
African catfish (Clarias gariepinus) is a freshwater fish that is cultivated in
Cibubur, East Jakarta using tarpaulin ponds. The problem in cultivating catfish is
a disease caused by ectoparasite infection. This study aims to identify, categorize
the level of prevalence, intensity, the dominance of ectoparasites and to determine
the relationship between physico-chemical factors of water and the presence of
ectoparasites in African catfish. The research was conducted in November -
December 2020 at the BUSKIPM Jakarta Laboratory using a survey method.
Sampling using purposive sampling method based on sizes ranging from 25-30 cm
with a total sample of 30 individuals from three different pools. Ectoparasite
examination is carried out by scraping the surface of the body and gills. The
ectoparasites of the fungal groups were conventionally obtained by isolating them
from wounds on the surface of the fish, cultured on Sabouraud Dextrose Agar
medium, and identified. The ectoparasites that have been identified belong to the
phylum Protozoa, namely Trichodina, phylum Platyhelminthes, class Monogenea
namely Quadriacanthus, phylum Nemathelminthes, class Chromadorea namely
Spiroxys, and phylum Ascomycota, class of Eurotiomycetes namely Aspergillus and
Penicillium. The highest prevalence was found in Trichodina with very frequent
infection and Aspergillus with severe infection. The highest intensity and the
dominating ectoparasite is Trichodina. The Spearman correlation analysis using
showed a positive correlation between ammonia, pH, and DO on the presence of
Trichodina, Quadriacanthus, and Spiroxys.
Keywords; Clarias; correlation; dominance; ectoparasites; intensity; prevalence
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbil 'alamin, puji syukur
penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi yang berjudul
“Identifikasi ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell,
1822) yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur” dengan baik.
Dalam pelaksanaan pembuatan skripsi ini, penulis telah mendapatkan
pengarahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri M.Env.Stud., Selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Ir. Woro Nur Endang Sariati, M.P. selaku kepala Balai Uji Standar
Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu beserta seluruh jajarannya.
4. Narti Fitriana M.Si., selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, koreksi, masukan serta memberikan motivasi selama
penyusunan skripsi dan atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan
penelitian ini.
5. Emei Widiyastuti, S.Pi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan koreksi, pengarahan dan bimbingan
selama penyusunan skripsi ini.
6. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si., dan Dr. Priyanti, M.Si., selaku Dosen
Penguji sidang skripsi.
7. Dr. Fahma Wijayanti M.Si., dan Fahri Fahruddin, M.Si., selaku Dosen Penguji
seminar proposal dan seminar hasil.
8. Ade Nurdin, S.St.Pi., Sigit Hendra Irawan Purnomo, S.Pi., Tatik Sumirah,
A.Md., dan Tina Yunia Asri, A.Md., Yuli Nurindah, S.T., selaku pembimbing
teknis di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan dan Pengendalian
mutu serta masukkan membangun selama menjalani penelitian ini.
9. Kedua orang tua Bapak Suprayitno dan Ibu Neng Rukmana atas doa dan
dukungan kepada penulis.
10. Teman-teman Biologi 2016 yang saling mendukung dan mendoakan penulis.
ix
11. Pihak-pihak lain yang belum sempat disebutkan di atas. Terima kasih, semoga
Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, 10 Februari 2021
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3. Tujuan ........................................................................................................... 3
1.4. Manfaat ......................................................................................................... 3
1.5. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ............. 5
2.2. Habitat Ikan Lele Dumbo ............................................................................. 5
2.3. Parasit Pada Ikan .......................................................................................... 6
2.3.1. Monogenea............................................................................................. 7
2.3.2. Protozoa ................................................................................................. 8
2.3.3. Jamur ...................................................................................................... 9
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ...................................................................................... 12
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................ 12
3.3. Teknik Sampling ......................................................................................... 12
3.4. Cara Kerja ................................................................................................... 12
3.4.1. Pengambilan Sampel ....................................................................... 12
3.4.2. Preparasi Sampel ............................................................................. 13
3.4.3. Pemeriksaan Parasit ........................................................................ 13
3.4.4. Isolasi dan Identifikasi Jamur.......................................................... 14
3.4.5. Pengukuran Faktor Fisika-Kimia Air .................................................. 14
3.5. Analisis Data ............................................................................................... 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Genus Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang
Dibudidayakan di CIbubur, Jakarta Timur ................................................. 17
4.1.1. Trichodina ........................................................................................... 18
4.1.2. Spiroxys ............................................................................................... 19
4.1.3. Quadriacanthus ................................................................................... 21
4.1.4. Aspergillus........................................................................................... 22
4.1.5. Penicillium .......................................................................................... 24
4.2. Prevalensi dan Intensitas Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo .................... 25 4.3. Dominansi Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo .......................................... 27
4.4. Faktor Fisika-Kimia Air di Kolam Ikan Lele Dumbo yang Dibudida-
yakan di Cibubur, Jakarta Timur ................................................................ 28
4.5. Hubungan Faktor Fisika-Kimia Air Dengan Keberadaan Ektoparasit
Pada Ikan Lele Dumbo yang Dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur .. 30
xi
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................................. 32
5.2. Saran ............................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33
LAMPIRAN .......................................................................................................... 38
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan lele dumbo ................................ 15
Tabel 2. Kriteria prevalensi infeksi parasit (Williams & Williams, 1996) ......... 15
Tabel 3. Kriteria intensitas infeksi parasit (Williams & Williams, 1996) .......... 15
Tabel 4. Prevalensi dan intensitas ektoparasit pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ............................................ 26
Tabel 5. Prevalensi jamur pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di
Cibubur, Jakarta Timur ......................................................................... 27
Tabel 6. Hasil rata-rata pengukuran faktor fisika-kimia air di kolam ikan
lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ................ 28
Tabel 7. Hasil analisis korelasi faktor fisika-kimia terhadap keberadaan
ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibu-
bur,JakartaTimur....................................................................................30
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian ............................................................. 4
Gambar 2. Morfologi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .............................. 5
Gambar 3. Quadriacanthus clariadis .................................................................. 8
Gambar 4. Trichodina fundulii ............................................................................ 9
Gambar 5. Isolat Aspergillus flavus ................................................................... 10
Gambar 6. Isolat Penicillium chrysogenum ....................................................... 11
Gambar 7. Genus ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ........... 17
Gambar 8. Morfologi Trichodina ...................................................................... 18
Gambar 9. Morfologi Spiroxys .......................................................................... 20
Gambar 10. Morfologi Quadriacanthus .............................................................. 21
Gambar 11. Morfologi koloni Aspergillus ........................................................... 23
Gambar 12. Pengamatan mikroskopis Aspergillus .............................................. 23
Gambar 13. Koloni jamur Aspergillus yang berasal dari isolasi pakan yang
digunakan untuk ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur,
Jakarta Timur ................................................................................... 24
Gambar 14. Morfologi koloni Penicillium .......................................................... 25
Gambar 15. Pengamatan mikroskopis Penicillium .............................................. 25
Gambar 16. Dominansi (%) ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudida-
yakan di Cibubur, Jakarta Timur ..................................................... 28
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ..................................... 38
Lampiran 2. Jamur ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ..................................... 39
Lampiran 3. Prevalensi ektoparasit tiap kolam pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ..................................... 40
Lampiran 4. Hasil pengukuran faktor fisika-kimia air kolam lele dumbo
yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ............................ 41
Lampiran 5. Hasil uji korelasi faktor fisika-kimia air dengan keberadaan
ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibu-
bur, Jakarta Timur ......................................................................... 42
Lampiran 6. Penggunaan tanaman eceng gondok pada kolam ikan lele
dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur ................ 43
Lampiran 7. Gejala klinis pada ikan lele dumbo yang terinfeksi ektoparasit .... 44
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2018) jumlah
produksi ikan lele tahun 2016 adalah 800.000 ton, dan mengalami kenaikan dua
kali lipat di tahun 2017 dengan produksi mencapai 1,7 juta ton. Hal ini
membuktikan ikan lele memiliki prospek yang menjanjikan untuk segi permintaan
maupun penjualannya. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus Buchell, 1882)
merupakan salah satu jenis ikan lele unggul yang dibudidayakan untuk dikonsumsi
masyarakat sebagai sumber protein hewani.
Budidaya ikan lele dumbo digemari oleh kalangan masyarakat karena
membutuhkan lahan yang tidak besar dan dengan keterbatasan sumber air dapat
memiliki kepadatan populasi yang tinggi. Selain itu teknologi yang digunakan
sederhana dan pakan untuk budidaya mudah didapatkan oleh masyarakat.
Pembudidaya ikan di Cibubur memelihara ikan lele dumbo secara monokultur
dengan menggunakan media kolam terpal yang berukuran 4 m2. Berdasarkan hasil
wawancara dengan pemilik kolam budidaya ikan lele dumbo di Cibubur hasil
produksi yang dicapai pada panen sebelumnya tidak maksimal karena tingkat
kematian dari benih hingga masa panen mencapai 50% dengan masa pemeliharaan
3-4 bulan. Ikan lele yang mati menunjukkan adanya luka pada permukaan tubuh,
sirip menjadi geripis, dan warna insang yang menjadi pucat.
Kendala utama bagi pembudidaya ikan lele dumbo adalah kerugian akibat
penyakit. Penyakit ikan disebabkan oleh kontaminasi dari luar tubuh yang bersifat
infeksius maupun non infeksius. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan
menyebabkan ikan mengalami stress. Dalam keadaan stress ikan menjadi lemah
dan mudah terserang penyakit yang biasanya disebabkan oleh parasit seperti cacing,
jamur, ataupun bakteri (Hernawati, 2015).
Penyakit akibat infeksi parasit dapat menyebabkan iritasi pada organ luar
seperti insang dan kulit. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya proses respirasi
dan osmoregulasi serta menurunkan imunitas ikan. Jika kondisi ini terus berlanjut,
memiliki dampak pada laju pertumbuhan yang rendah hingga kematian pada ikan.
Pada lingkungan budidaya kolam yang terbatas dan padat, akan menimbulkan
2
kerentanan pada ikan sehingga infeksi parasit Monogenea menjadi patogen yang
menyebar secara cepat dan mampu berpindah di antara ikan-ikan (Putri, Haditomo,
& Desrina, 2016). Infeksi parasit Monogenea menyebabkan luka pada tubuh ikan
yang dapat menimbulkan infeksi sekunder yang disebabkan oleh jamur, virus atau
bakteri (Rahayu, Ekastuti, & Tiuria, 2013). Penelitian yang sebelumnya dilakukan
oleh Putri et al. (2016) menunjukkan ikan lele di kolam budidaya Desa Ngrajek
Magelang memiliki prevalensi dan intensitas tertinggi pada infeksi Monogenea.
Infeksi jamur pada budidaya ikan lele dumbo dapat menyebabkan penyakit
mikosis. Penyakit ini dapat menyerang telur, benih, dan ikan dewasa. Menurut
Kusdarwati, Sudarno, dan Hapsari (2016), ikan yang terinfeksi jamur ditandai
dengan munculnya gumpalan seperti kapas pada permukaan insang atau kulit.
Infeksi jamur pada konsentrasi tinggi menyebabkan infeksi akut dan kematian yang
menyebabkan kerugian ekonomi bagi pembudidaya. Penelitian terkait jamur pada
ikan dilakukan oleh Khumaidi dan Hidayat (2018) yang mengidentifikasi adanya
infeksi jamur Aspergillus sp. pada kasus kematian massal ikan gurami di Sentra
Budidaya Ikan Gurami di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Populasi ektoparasit pada ikan di lingkungan perairan dapat dimonitor
melalui identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung prevalensi dan
intensitasnya (Mas’ud, 2011). Informasi terkait prevalensi dan intensitas parasit di
lingkungan perairan diperlukan sebagai bagian dari upaya preventif dan responsif
terhadap pengelolaan sumber daya air, khususnya budidaya ikan. Al Hasyimia,
Dewi, dan Pribadi (2016) menyatakan bahwa peningkatan intensitas parasit pada
ikan lele dumbo (var. sangkuriang) terkait dengan penurunan parameter kualitas air
di lingkungan perairan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah:
a. Apa saja genus ektoparasit yang ada pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur?
b. Bagaimana tingkat prevalensi, intensitas dan dominansi ektoparasit yang
terdapat pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur?
c. Bagaimana hubungan faktor fisika-kimia air dengan keberadaan ektoparasit
pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur?
3
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi genus ektoparasit pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur.
b. Mengkategorikan tingkat prevalensi, intensitas dan dominansi ektoparasit pada
ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur.
c. Mengetahui hubungan faktor fisika-kimia air dengan keberadaan ektoparasit
pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur.
1.4. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi kalangan para
pembudidaya dalam mewaspadai terhadap berbagai penyakit pada ikan lele dumbo
dan faktor fisika-kimia air yang berpengaruh terhadap keberadaan ektoparasit. Bagi
dinas perikanan, sebagai bahan pertimbangan dalam menangani masalah penyakit
ikan air tawar khususnya ikan lele dumbo.
1.5. Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang penelitian, salah satu faktor yang menentukan
dari keberhasilan budidaya ikan lele adalah penyakit yang bersifat infeksius
maupun non infeksius. Timbulnya penyakit disebabkan terjadinya
ketidakseimbangan interaksi antara inang, patogen, dan lingkungan. Kerangka
berpikir penelitian tersaji pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984), yaitu filum Chordata,
kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluridae, famili
Claridae, genus Clarias, spesies Clarias gariepinus. Ikan lele dumbo memiliki kulit
yang tidak bersisik, berlendir dan licin (Gambar 2). Morfologi kepala berbentuk
pipih dengan permukaan dorsal ditutupi kulit tebal sehingga tulang tidak terlihat
tapi struktur tulang terlihat jelas. Mata terletak di dorsolateral bagian kepala dengan
bentuk bulat oval (Hee & Kottelat, 2008). Mulut lebar dengan gigi berbentuk vili
form dan dilengkapi kumis sebanyak 4 pasang dengan satu pasang diantaranya
memiliki ukuran lebih panjang dan besar. Tubuh dilengkapi tiga sirip tunggal yaitu,
sirip punggung, sirip anal, dan sirip ekor serta dua buah sirip yang berpasangan
yaitu sirip perut dan sirip dada. Jumlah sirip punggung 68-79, sirip anal 50-60, sirip
dada berjumlah 9-10, dan sirip perut berjumlah 5-6 (Suprapto & Samstasfir, 2013).
Gambar 2. Morfologi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Pada ikan lele terdapat insang tambahan (arborescent) terletak di bagian
atas pada lengkung insang kedua dan ketiga. Organ ini tersusun dari membran
berlipat-lipat yang mengandung kapiler darah dan berfungsi untuk bertahan pada
kondisi lingkungan yang memiliki kadar oksigen rendah (Amri & Khairuman,
2002).
2.2. Habitat Ikan Lele Dumbo
Habitat ikan lele dumbo adalah perairan air tawar dengan arus yang pelan.
Ikan lele dumbo mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan air yang tenang
6
maupun mengalir. Dalam lingkungan budidaya, ikan lele dumbo dipelihara pada
kolam semen, kolam tanah maupun kolam terpal/plastik (Suprapto & Samstasfir,
2013)
Ikan lele dumbo merupakan hewan nokturnal yang pada siang hari akan
bersembunyi di tempat gelap dan beraktivitas mencari makan pada malam hari
(Daulay, 2010). Dalam mencari makan, ikan lele dumbo bersifat omnivora namun
cenderung karnivora dengan pakan alami seperti cacing, kutu air (Daphnia,
Copepoda, Cladocera), siput kecil, larva serangga, dan sebagainya. Dalam kolam
budidaya, ikan lele dumbo diberi pakan buatan seperti pelet atau limbah dari
peternakan. Lingkungan perairan mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi maupun
pemeliharaan ikan budidaya. Kondisi air dengan kualitas buruk akan menimbulkan
penyakit pada ikan (Amri & Khairuman, 2002).
2.3. Parasit Pada Ikan
Berdasarkan faktor penyebabnya, penyakit ikan dapat dikelompokkan
menjadi penyakit infeksius yang disebabkan oleh parasit atau mikroba patogen dan
non infeksius yang disebabkan oleh faktor lainnya seperti faktor lingkungan. Jenis
mikroba yang menyerang ikan terbagi menjadi mikroba patogen dan parasit.
Mikroba patogen adalah mikroba yang menjadikan ikan sebagai inangnya untuk
menimbulkan penyakit dan menjadi penyebab infeksi atau merusak fungsi organ
tubuh ikan. Mikroba patogen yang biasa menyerang ikan terdiri atas virus, bakteri,
dan jamur (Afrianto et al., 2015)
Parasit adalah organisme yang berada pada tubuh ikan sebagai inangnya dan
mengambil manfaat dari inang tersebut bagi aktivitas, pertumbuhan, dan
perkembangbiakannya. Parasit dibedakan berdasarkan tempat hidupnya, yaitu
ektoparasit dan endoparasit. Parasit yang ditemukan di luar tubuh ikan disebut
ektoparasit, sedangkan di dalam tubuh ikan disebut endoparasit. Parasit yang
menyerang ikan dapat berupa cacing, protozoa, udang renik, jamur, bakteri, dan
virus. Pada intensitas infeksi parasit yang tinggi dapat mengakibatkan kematian
yang menimbulkan kerugian secara ekonomi dikalangan pembudidaya. Selain itu
kondisi ketahanan tubuh inang akan menurun dan menimbulkan infeksi sekunder
yang disebabkan oleh patogen lain seperti jamur, virus, dan bakteri (Sarjito,
Prayitno, & Haditomo, 2013).
7
2.3.1. Monogenea
Monogenea merupakan parasit Platyhelminthes yang umumnya ditemukan
pada bagian kulit, insang, dan sirip ikan. Parasit ini memiliki siklus hidup langsung
tanpa memerlukan inang perantara dan berkembang dari telur, stadia larva dalam
kolom air sampai mencapai dewasa pada ikan. Sebagian besar parasit Monogenea
bersifat oviparous yaitu mengeluarkan telur dan setelah telur menetas menjadi larva
yang berenang secara aktif mencari inang. Perkembangan telur sampai menjadi
Monogenea dewasa bergantung pada suhu air. Pada air dengan suhu 22-25 °C hanya
memerlukan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan siklus hidup, sedangkan
pada suhu 1-2 C mencapai waktu hingga enam bulan (Reed, et al., 2012)
Pergerakan Monogenea bebas pada permukaan luar tubuh ikan. Pada bagian
posterior terdapat organ khusus yang disebut opisthaptor dengan pengait yang
berguna untuk melekatkan dengan tubuh inang. Opisthaptor memiliki bentuk
seperti cakram yang dilengkapi satu sampai tiga pasang kait yang disebut
anchor/jangkar. Pada tepi opisthaptor terdapat kait kecil yang disebut marginal
hooklet yang berfungsi sebagai alat penempel utama (Tripathi, Agrawal, & Pandey,
2007).
Monogenea memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini
menyebabkan jumlah parasit pada sistem budidaya melimpah dalam waktu yang
singkat terutama bila padat penebaran sangat tinggi. Penyebaran parasit ini melalui
kontak langsung dari ikan satu ke ikan lainnya sehingga mempermudah penyebaran
parasit pada ikan-ikan lainnya. Infestasi Monogenea dengan jumlah banyak pada
organ target seperti pada insang atau kulit ikan dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian massal (Klinger & Floyd, 2013). Beberapa jenis Monogenea telah
dilaporkan ditemukan pada ikan air tawar antara lain adalah Cichlidogyrus sp. dari
Oreochromis niloticus, Dactylogyrus sp. dari Cyprinus carpio, Quadriacanthus sp.
dari Clarias sp, dan Thaparocleidus sp. dari Pangasionodon hypopthalmus
(Anshary, 2016).
Quadriacanthus
Parasit Quadriacanthus adalah parasit yang umumnya menyerang ikan lele.
Parasit ini termasuk dalam famili Dactylogyridae. Memiliki ciri-ciri yaitu haptor
terdiri dari 14 buah marginal hook dengan ukuran yang berbeda-beda, haptor
8
memiliki pasangan bar dorsal dan ventral, dua pasang anchor yang bentuk dan
ukurannya berbeda-beda, dorsal bar khas yaitu membentuk trapezoid base, dan
ekstension ke arah lateral (Gambar 3). Terdapat bantalan otot posterior diantara bar.
Bintik mata bisa ada atau tidak. Ventral bar terdiri atas dua batang bar dengan
struktur seperti huruf-V (Anshary, 2016).
Gambar 3. Quadriacanthus clariadis Paperna, 1961. dorsal view (A), ventral
anchor (B), dorsal anchor (C), ventral bar (D), dorsal bar (E), hook
(pasangan 1) (F), hook (pasangan 5) (G), hook (pasangan 2, 3, dan 4)
(H), hook (pasangan 6) (I), hook (pasangan 7) (J), dan copulatory
complex (K & L) (Tripathi et al., 2007)
2.3.2. Protozoa
Parasit Protozoa merupakan kelompok parasit yang sangat beragam.
Beberapa golongan parasit ini memiliki pergerakan berupa silia maupun flagella.
Parasit ini hidup bebas di air tawar, payau, laut, daratan yang lembab ataupun
kering. Diantara parasit golongan Protozoa yang umum menginfeksi ikan adalah
Trichodina, Chilodonella, dan Ichthyophthirius (Anshary, 2016).
Trichodina
Trichodina merupakan salah satu organisme ektoparasit dalam budidaya
ikan air tawar. Parasit ini ditemukan menginfeksi pada kulit dan insang ikan.
Trichodina sp. memiliki morfologi tubuh berbentuk cakram bulat dan pada bagian
9
tengah terdapat gigi-gigi (Gambar 4). Trichodina membutuhkan inang sebagai
tempat pelekatan dan mengambil makanan yang menempel pada kulit ikan berupa
partikel-partikel organik maupun mikroorganisme lain seperti bakteri. Kait pada
cakram menyebabkan pelekatan yang kuat mengakibatkan ikan menjadi gatal-gatal
dan menggosok-gosokkan tubuhnya ke pinggir atau dasar kolam hingga
menyebabkan luka (Ali, Koniyo, & Mulis, 2013).
.
Gambar 4. Trichodina fundulii (Wang et al., 2020)
Ikan yang terinfeksi akan memproduksi lendir lebih banyak dan terjadi
penurunan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus, kondisi ini menyebabkan
ikan kelelahan dan terdapat lendir pada dinding lamella insang dalam jumlah
banyak. Hal ini mengakibatkan terganggunya sistem pertukaran oksigen. Penularan
parasit ini dapat terjadi melalui air atau penularan langsung dari ikan yang
terinfeksi. Rendahnya kualitas air pada lingkungan budidaya akan semakin
mempercepat penularan dan akan menimbulkan kerugian bagi pembudidaya
(Nurrochmah & Riwidiharso, 2016).
2.3.3. Jamur
Jamur merupakan salah satu kelompok mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit pada ikan. Ciri khas jamur adalah adanya filamen disebut hifa yang dapat
terlihat dengan jelas tanpa bantuan mikroskop. Gabungan dari beberapa hifa akan
membentuk miselium. Penyebaran jamur melalui bantuan spora. Jamur umumnya
terdapat di daerah tropis yang airnya hangat (Afrianto et al., 2015)
Sebagian besar jamur patogen, berperan sebagai infeksi sekunder. Gejala
klinis ikan yang terinfeksi jamur adalah terlihat berwarna abu-abu atau putih pada
10
permukaan tubuh. Ikan yang terinfeksi jamur menjadi tidak aktif, memisahkan diri,
dan kehilangan nafsu makan. Jamur akan menginfeksi luka yang ditimbulkan oleh
patogen Iain. Jamur dapat menginfeksi telur ikan, benih ikan, dan ikan dewasa.
Beberapa spesies jamur berpotensi bahaya bagi kesehatan makhluk hidup lainnya.
Jamur mampu menghasilkan toksin yang disebut mikotoksin tergantung dari jenis
jamur (Sarjito et al., 2013).
Aspergillus
Genus Aspergillus memiliki hifa bersekat dengan inti yang banyak,
sehingga termasuk filum Ascomycota. Memiliki struktur konidia yang berbentuk
bulat, semi bulat, atau oval. Konidia melekat pada fialid yang terletak di bagian
vesikel (Gambar 5). Identifikasi tingkat spesies meliputi perbedaan morfologi
dalam bentuk, ukuran, tekstur, dan warna pada konidia (Jawetz, Melnick, &
Adelberg, 2013).
Gambar 5. Isolat Aspergillus flavus pada media Czapek-Dox (10x10) (A) dan
mikroskopis (1000x) (B) (Hedayati et al., 2007)
Aspergillus adalah genus yang telah menyebar luas, dengan lebih dari 200
spesies. Jamur Aspergillus dapat tumbuh pada lingkungan dengan suhu 10–40 0C,
pH berkisar 5-8 dengan kelembaban 80-90%. Beberapa spesies Aspergillus antara
lain A. flavus, A. niger, A. fumigatus, A. oryzae, dan A. wentii. Jamur ini dapat
mengkontaminasi pakan ikan dengan menghasilkan mikotoksin yaitu aflatoksin.
Aflatoksin adalah hasil dari metabolisme sekunder Aspergillus. Spesies A. flavus
menghasilkan empat jenis aflatoksin yaitu AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2
(Mohebbi et al., 2014)
11
Penicillium
Genus Penicillium umumnya dicirikan berwarna hijau biru, hifa bersepta,
tidak mempunyai vesikel, memiliki konidia dan konidiofor tunggal dengan cabang-
cabangnya yang disebut penicillus (Gambar 6). Identifikasi pada Penicillium
berdasarkan warna konidia yang dimiliki (Gandjar et al., 1999). Beberapa spesies
dianggap sebagai perusak karena dapat memproduksi toksin yang
mengkontaminasi makanan atau pakan ternak sehingga menyebabkan efek
keracunan pada manusia dan binatang. Penicillium dapat menghasilkan mikotoksin
jenis okratoksin A (OTA) yang digolongkan sebagai senyawa yang nefrotoksik,
bersifat karsinogenik, imunosupresif, dan teratogenik (Hashem, 2011).
Gambar 6. Isolat Penicillium chrysogenum: Media Potato Dextrose Agar (10x10)
(A) dan mikroskopis (1000x) (B) (Ogórek, et.al., 2020)
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan November - Desember 2020.
Pengambilan sampel dilakukan di kolam budidaya yang terletak di Cibubur, Jakarta
Timur. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina
Ikan dan Pengendalian Mutu, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah jaring kecil, alat bedah (pisau bedah, scalpel,
gunting, pinset ujung runcing), papan bedah, bunsen, pemantik api, inkubator,
laminar air flow, ose, kaca objek, kaca penutup, cawan petri, gelas ukur,
Erlenmeyer, magnetic stirrer, penangas air, timbangan analitik, autoklaf, spatula,
pipet tetes, tusuk gigi, ember, penggaris, alat tulis, termometer, pH meter, dan DO
meter, kamera, mikroskop trinokuler dengan dilengkapi kamera digital yang
terhubung dengan komputer (Nikon Eclipse 501), mikroskop binokuler (Nikon YS
100). Bahan yang digunakan adalah akuades, alkohol 70%, NaCl fisiologis, minyak
cengkeh, entellan, kapas alkohol, media SDA (Sabouraud Dextrose Agar),
lactophenol blue, kutek bening, dan alumunium foil.
3.3. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan metode survei yang diawali dengan melakukan
wawancara kepada pembudidaya mengenai umur dan waktu panen ikan lele.
Teknik sampling menggunakan metode purposive sampling berdasarkan umur yang
mendekati masa panen yaitu umur 3-4 bulan dengan ukuran panjang tubuh 25-30
cm.
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Pengambilan Sampel
Sampel adalah 10% dari populasi ikan siap panen yang berusia 3-4 bulan
dengan ukuran panjang tubuh 25-30 cm. Sampel diambil dari tiga kolam dengan
berukuran 4 m2 dengan jumlah populasi ±100 ekor. Setiap kolam diambil sampel
sebanyak 10 ekor yang diambil secara bergantian. Cara pengambilan sampel ikan
13
lele dumbo dilakukan dengan cara menangkap ikan menggunakan jaring, kemudian
ikan dimasukkan ke dalam ember yang sudah berisi air dan selanjutnya dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi ektoparasitnya.
3.4.2. Preparasi Sampel
Sampel ikan diamati tingkah laku, gejala klinis, dan lesi patologisnya. Ikan
diukur panjang dan berat tubuhnya. Sebelum dinekropsi ikan dipingsankan
menggunakan larutan minyak cengkeh. Selanjutnya dilakukan nekropsi pada
permukaan tubuh dan organ insang ikan di atas papan bedah dengan menggunakan
alat bedah. Ikan yang telah dibedah kemudian dilakukan pengamatan morfologi.
3.4.3. Pemeriksaan Parasit
Pemeriksaan ektoparasit ikan dilakukan di Laboratorium Nekropsi dan
Parasit. Pemeriksaan ikan pada bagian eksternal dengan cara pengerokan
(scraping). Pemeriksaan dilakukan di bagian lendir pada permukaan tubuh ikan dan
insang. Preparasi dan preservasi parasit dilakukan mengikuti Standar Nasional
Indonesia 2332.6 (2015).
Sampel ikan yang telah diukur berat dan panjangnya, selanjutnya dilakukan
pengerokan lendir pada seluruh permukaan tubuh ikan. Lendir yang didapatkan
dipindahkan pada kaca objek yang telah dibilas dengan larutan NaCl fisiologis.
Pemeriksaan insang diawali dengan memotong operkulum insang dan filamen
insang. Selanjutnya dipindahkan ke kaca objek yang telah diberi NaCl fisiologis
lalu diamati dibawah mikroskop.
Pengamatan ektoparasit cacing dilakukan di bawah mikroskop dengan
perbesaran 20x hingga 40x dan untuk protozoa dengan perbesaran 100x. Untuk
memperjelas isi sel dan mempertajam visualisasi dalam identifikasi ektoparasit
dilakukan pewarnaan parasit. Pewarnaan cacing menggunakan metode Semichen-
Acetic Carmine. Pewarnaan protozoa menggunakan metode pewarnaan Giemsa.
Preparat diamati kembali dan didokumentasikan menggunakan kamera untuk
diidentifikasi. Identifikasi ektoparasit dilakukan dengan mencocokkan morfologi
parasit dengan gambar yang diperoleh dari buku manual identifikasi oleh Kabata
(1985) dan Hoffman (1999).
14
3.4.4. Isolasi dan Identifikasi Jamur
Isolasi dilakukan di dalam laminar air flow. Isolat jamur diperoleh dari luka
yang terdapat pada permukaan tubuh ikan lele dumbo. Organ kulit tersebut diisolasi
ke dalam media SDA (Sabouraud Dextrose Agar) yang optimum untuk
pertumbuhan jamur, lalu diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 27 C selama 3
– 4 hari.
Sampel yang telah ditumbuhkan pada media SDA sebelumnya, terdiri dari
berbagai macam koloni jamur. Untuk mempermudah identifikasi jamur maka isolat
harus dimurnikan. Proses pemurnian dilakukan dengan menginokulasikan satu
persatu jenis koloni jamur menggunakan jarum steril dari media SDA yang lama ke
media SDA yang baru dan diinkubasi pada suhu 27 C selama 2-7 hari untuk
mendapatkan inokulum jamur murni.
Jamur yang telah dimurnikan, selanjutnya dilakukan pewarnaan agar bisa
diamati. Pewarnaan jamur dilakukan dengan meneteskan larutan lactophenol blue
pada kaca objek menggunakan pipet tetes sebanyak satu tetes, selanjutnya inokulum
jamur diambil dan diletakkan pada kaca objek tersebut. Tutup menggunakan kaca
penutup dan sisa pewarnaan diserap menggunakan tisu.
Preparat yang telah dibuat kemudian diamati secara mikroskopis di bawah
mikroskop yang telah dilengkapi kamera dengan perbesaran 400x. Jamur yang
terlihat kemudian didokumentasikan untuk diidentifikasi. Identifikasi jamur
dilakukan dengan metode konvensional yang terdiri dari pengamatan secara
makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi makroskopis dilakukan dengan
mengamati warna, bentuk, dan tekstur koloni dan mikroskopis dengan mengamati
morfologi konidia, fialid, dan konidiofor mengacu pada St-Germain dan
Summerbell (1996).
3.4.5. Pengukuran Faktor Fisika-Kimia Air
Faktor fisika-kimia air yang diukur antara lain suhu air, pH, dissolved
oxygen (DO), dan amoniak. Pengukuran faktor fisika-kimia dilakukan selama
kegiatan pengambilan sampel. Hasil pengukuran faktor fisika-kimia air kemudian
dibandingkan dengan SNI 01-6484.5 (2002) tentang persyaratan kualitas air untuk
pembesaran ikan lele dumbo di kolam (Tabel 1).
15
Tabel 1. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan lele dumbo
Parameter Satuan Baku Mutu Air
Suhu °C 25-30
pH - 6,5-8
DO mg/l >3
Amoniak mg/l <0,01
3.5. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Data ektoparasit diolah
menggunakan microsoft excel 2019 yang bertujuan untuk mengetahui jumlah total
dan jumlah tiap jenis ektoparasit yang ditemukan. Rumus yang digunakan untuk
menganalisis tingkat serangan parasit, yaitu menggunakan perhitungan prevalensi,
intensitas, dan dominansi parasit menurut Kabata (1985) sebagai berikut :
Prevalensi = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒊𝒏𝒇𝒆𝒌𝒔𝒊
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒊𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒂𝒎𝒂𝒕𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
Intensitas = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊𝒕 𝑨 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒇𝒆𝒌𝒔𝒊
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒊𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊𝒕 𝑨
Dominansi = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒇𝒆𝒌𝒔𝒊 𝒊𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒑𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒇𝒆𝒌𝒔𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍𝒙 𝟏𝟎𝟎%
Hasil perhitungan prevalensi dan intensitas parasit dimasukkan dalam
kategori prevalensi dan intensitas parasit yang disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Kriteria prevalensi infeksi parasit (Williams & Williams, 1996)
No. Prevalensi (%) Kategori Keterangan
1 100 – 99 Selalu Infeksi sangat parah
2 98 – 90 Hampir selalu Infeksi Parah
3 89 – 70 Biasanya Infeksi sedang
4 69 – 50 Sangat sering Infeksi Sangat sering
5 49 – 30 Umumnya Infeksi Biasa
6 29 – 10 Sering Infeksi Sering
7 9 – 1 Kadang Infeksi Kadang
8 < 1 – 0,1 Jarang Infeksi Jarang
9 < 0,1 – 0,1 Sangat Jarang Infeksi Sangat Jarang
10 < 0,01 Hampir Tidak Pernah Infeksi Super Infeksi
Tabel 3. Kriteria intensitas infeksi parasit (Williams & Williams, 1996)
No. Intensitas (ind/ekor) Kategori
1 < 1 Sangat rendah
2 1 – 5 Rendah
3 6 – 55 Sedang
4 51– 100 Parah
5 >100 Sangat parah
6 >1000 Super infeksi
16
Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisika-kimia air dengan
keberadaan ektoparasit dilakukan analisis korelasi rank spearman menggunakan
program IBM SPSS Statistic 20. Data yang dianalisis adalah data hasil pengukuran
faktor fisika-kimia air yang diambil pada saat pengambilan sampel meliputi suhu
air, pH, DO, dan amoniak.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Genus Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) yang
Dibudidayakan di CIbubur, Jakarta Timur
Sampel ikan lele dumbo berjumlah 30 ekor yang diambil dari tiga kolam di
kolam budidaya Cibubur, Jakarta Timur. Ikan lele dumbo yang terinfeksi parasit
berjumlah 19 dari 30 ekor ikan yang diperiksa. Berdasarkan hasil identifikasi
ektoparasit pada ikan lele dumbo, didapatkan tiga genus ektoparasit yaitu
Trichodina, Spiroxys, dan Quadriacantus (Gambar 7).
Gambar 7. Genus ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Berdasarkan daerah organ ditemukannya, ektoparasit pada insang lebih
banyak ditemukan dibandingkan lendir permukaan tubuh. Pada penelitian ini
insang dari ikan lele dumbo yang terinfeksi parasit memiliki gejala klinis warna
insang menjadi pucat. Parasit Trichodina lebih banyak ditemukan pada insang ikan,
hal ini diduga karena Trichodina memakan sel darah merah dan epitel insang ikan.
Pada bagian insang, sel darah merah yang terkandung lebih banyak dibandingkan
permukaan tubuh. Menurut Irianto (2005), insang terdiri dari lamella yang menjadi
tempat pertukaran darah atau cairan sehingga insang kaya akan pembuluh darah.
Parasit Quadriacanthus lebih banyak ditemukan pada bagian insang hal ini karena
umumnya parasit ini menempelkan haptornya di antara dua lamella insang yang
berdekatan, ruang interlamelar pada insang primer dan di daerah atas (distal) dari
18
lamella insang sekunder (Mashaly & Allam, 2019). Selain pada insang, parasit
Quadriacanthus juga ditemukan pada integumen yang lunak (Anshary, 2016).
Spiroxys merupakan cacing nematoda dan umumnya menjadi endoparasit pada
ikan. Ditemukannya Spiroxys sebagai ektoparasit pada penelitian diduga berasal
dari pemberian pakan ikan lele dumbo dengan usus dari limbah ikan air tawar
konsumsi.
4.1.1. Trichodina
Parasit Trichodina termasuk kelas Ciliata; ordo Mobilina; famili
Trichodinidae; genus Trichodina. Ciri-ciri yang teramati adalah bentuk seperti
cawan, tampak adanya silia, terdapat adhesive disk, pada bagian tengah terdapat
denticulate ring dengan morfologi denticle terbagi menjadi tiga bagian yang jelas,
yaitu blade, central part dan inner thorn dengan bentuk yang khas (Gambar 7),
membran dari adoral zone berputar berlawanan dengan arah jarum jam, adoral
spiral berkisar 360º. Karakteristik morfometri yang didapat adalah adhesive disk
diameter = 5,39 µm, denticle diameter = 3,64 µm, dan jumlah radial pins = 26. Hal
ini sesuai dengan Kabata (1985) yang menyatakan Trichodina memiliki bentuk
tubuh besar agak cekung dengan adoral ciliary melingkar berukuran 50-100 μm
yang dikelilingi oleh border membran, bagian tengah adhesive disc membentuk
bulatan-bulatan, denticle blade melengkung tajam dengan meruncing pada sisi
posterior blade dan menonjol pada sisi anterior.
Gambar 8. Morfologi Trichodina (A) yang memperlihatkan; 1. Silia; 2. Radial
pins; 3. Blade; 4. Inner thorn; 5. Adhesive disc; 6. Denticulate ring dan
karakteristik morfometri dari Trichodina sp. (B) yang memperlihatkan:
add: adhesive disc diameter; dd: denticulate ring diameter; rp: radial
pins
19
Gejala yang ditunjukkan pada sampel ikan yang terinfeksi Trichodina
adalah berenang tidak menentu di pinggir kolam, warna insang menjadi pucat,
tampak adanya warna putih pada bagian permukaan kulit, dan produksi lendir yang
berlebihan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurrochmah dan Riwidiharso (2016)
bahwa gejala klinis yang terkait dengan infestasi Trichodina yaitu adanya lesi pada
kulit, perubahan warna kulit, dermatitis dan produksi mukus yang berlebih sehingga
menyebabkan ikan berwarna putih keabu-abuan. Gejala klinis lainnya dilaporkan
oleh Majumder, Panda, & Bandyopadhyay (2013) bahwa kondisi ikan yang
terinfeksi akan menjadi kurang aktif dan lamban. Ikan yang terinfeksi berat
menunjukkan penampilan kemerahan dan bintik-bintik putih muncul di permukaan
tubuh termasuk insang.
Keberadaan Trichodina dalam air meningkat pada pergantian musim dari
musim kemarau ke musim penghujan. Parasit ini berenang secara bebas,
melepaskan diri dari tubuh ikan lele dumbo dan dapat hidup lebih dari dua hari
tanpa adanya host definitif. Tubuh Trichodina terbagi menjadi dua bagian, yaitu
anterior dan posterior yang bentuknya cekung seperti mangkuk dan berfungsi
sebagai alat penempel pada host definitif.
Parasit mampu berkembang biak dengan cepat sehingga inang akan
mengalami kerusakan pada jaringan yang diakibatkan oleh aktivitas pergerakan dan
makan. Menurut Riwidiharso, Alfarisi, dan Rokhmani (2019), parasit Trichodina
menempel dan akan berputar 360o dengan menggunakan silia sehingga akan
merusak sel-sel disekitar seperti memakan sel epitel yang hancur. Hal ini
mengakibatkan iritasi pada permukaan tubuh ikan sehingga kulit mendegradasi
patogen dengan mensekresi mukus yang berlebih sebagai antibodi.
4.1.2. Spiroxys
Parasit ini termasuk filum Nemathelminthes; kelas Chromadorea; ordo
Spirurida; famili Gnathostomatidae; genus Spiroxys. Parasit Spiroxys yang
ditemukan adalah stadium larva. Morfologi larva berbentuk ramping dengan ujung
ekor meruncing, bibir trilob, dan belum tampak adanya organ reproduksi secara
sempurna (Gambar 8). Morfologi cacing dewasa berdasarkan penelitian Palumbo
et al. (2016) berbentuk ramping, dan tidak berwarna. Mulut dikelilingi oleh dua
bibir trilob dengan lapisan kutikula agak tebal yang menonjol ke anterior di setiap
20
lobus median untuk membentuk gigi tumpul, Setiap bibir mengandung satu papila
lateral dan dua papila submedian. Papila serviks terletak di posterior dari pori
ekskretoris. Ekor agak pendek pada kedua jenis kelamin, berakhir dengan ujung
yang tajam. Spikula sangat ramping dan memiliki ujung yang lentur seperti filiform.
Ciri umum genus Spiroxys adalah gubernakulum, median papilla genital pada
jantan, dan dua dorsolateral papillae di ekor betina.
Gambar 9. Morfologi Spiroxys meliputi seluruh tubuh (A), bagian posterior (B),
dan bagian anterior (C)
Keberadaan larva Spiroxys dalam penelitian ini diduga karena pemberian
pakan yang terinfeksi larva cacing Spiroxys seperti pemberian usus ikan konsumsi
air tawar yang menjadi inang definitif dari cacing ini. Siklus hidup dimulai saat
cacing Spiroxys dewasa berkopulasi di tubuh inang dan cacing betina yang
mengandung larva menuju lumen usus. Telur menetas menjadi larva stadium I yang
hidup bebas di air dan dimakan oleh inang perantara seperti cacing Tubifex,
Copepoda, Cyclops, atau insekta lainnya hingga berkembang menjadi larva stadium
II. Selanjutnya dimakan oleh inang definitif ikan dan berkembang menjadi larva
stadium III. Larva Spiroxys melekat pada lapisan muskularis mukosa dan
berkembang menjadi cacing dewasa pada ikan sebagai inang definitif. Parasit ini
menyelesaikan siklus hidupnya di lingkungan akuatik dan mencapai kematangan
seksualnya di inang akuatik (Salgado-Maldonado et al., 2020).
Spiroxys merupakan nematoda yang umumnya menginfeksi ikan dengan
menjadi endoparasit. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lucas
et al. (2006) yang menemukan Spiroxys pada saluran pencernaan Oreochromis
21
aureus. Gejala yang ditimbulkan apabila ikan terinfeksi, yaitu anemia dan
kerusakan pada usus (Rokhmani & Budianto, 2017; Santos et al., 2009). Beberapa
ikan air tawar dilaporkan telah menjadi inang bagi larva genus ini antara lain
Cyprinus carpio, Tilapia rendalli, Oreochromis aureus, dan Clarias gariepinus
(Garrido-Olvera et al, 2017; Santos et al., 2009).
4.1.3. Quadriacanthus
Parasit Quadriacanthus merupakan parasit yang umumnya ditemukan pada
genus Clarias. Parasit ini termasuk filum Platyhelminthes; kelas Monogenea;
subordo Monopisthocotylea; ordo Dactylogyrida; famili Ancyrocephalidae; genus
Quadriacanthus. Ciri yang teramati memiliki bintik mata dalam jumlah banyak,
satu haptor, haptoral memiliki dua pasang anchor yang dihubungkan oleh
transverse bar (Gambar 9). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Anshary
(2016) genus Quadriacanthus memiliki karakteristik menciri yaitu memiliki satu
haptor (organ tempel bagian posterior), mulut tidak dikelilingi oleh oral sucker,
haptoral memiliki dua pasang anchor yang bentuk dan ukurannya berbeda-beda,
anchor dihubungkan oleh transverse bar, dengan marginal hook berjumlah ± 14
buah dengan ukuran yang berbeda, ovipar dengan tampak adanya testis dan
ovarium, Pada genus Quadriacanthus memiliki bentuk anchor yang khas dan
memiliki bintik mata yang banyak.
Gambar 10. Morfologi Quadriacanthus: bagian seluruh tubuh (A), bagian
posterior (B) yang memperlihatkan: 1. Transverse bar, 2. Anchor,
bagian anterior (C) yang memperlihatkan: 1. Gland organ, 2. Bintik
mata
22
Ikan yang terinfeksi parasit ini menunjukkan gejala klinis, yaitu berenang
tidak normal dengan menggesekan badannya ke pinggir-pinggir kolam, warna
insang pucat, dan geripis pada sirip. Hal ini sesuai dengan penelitian Putri et al.
(2016) yang menyatakan ikan lele yang terinfeksi parasit Monogenea memiliki
gejala klinis sungut patah, perubahan warna insang menjadi pucat, sirip dada, sirip
punggung, dan sirip ekor geripis dan berwarna merah. Pergerakan parasit ini dapat
menyebabkan perubahan morfologi pada bagian kulit dan insang. Genus
Quadriacanthus menggunakan sklerit haptoral untuk menempel antara lamella atau
filamen insang yang menyebabkan perubahan histopatologi seperti nekrosis,
pecahnya sel darah, pembengkakan dan kerusakan jaringan lamella insang (Grano-
Maldonado et al., 2018; Mashaly & Allam, 2019). Parasit ini umumnya ditemukan
pada genus Clarias Beberapa spesies telah diidentifikasi adalah Quadriacanthus
volataensis dari ikan Clarias walkeri di Ghana Q. clariadis dari ikan C. lazera di
Israel, dan Q. kobiensis dari ikan C. batrachus di Vietnam (Kritsky & Kulo, 1988;
Molnár & Mossalam, 1985).
Ikan yang terinfeksi ektoparasit memicu terjadinya luka pada tubuh yang
memungkinkan terjadinya infeksi sekunder oleh parasit lain yang dapat
menginfeksi dengan cepat seperti jamur. Berdasarkan hasil identifikasi jamur dari
luka pada permukaan tubuh ikan lele dumbo didapatkan jamur dari filum
Ascomycota, kelas Eurotiomycetes, dan genus yaitu Aspergillus dan Penicillium.
Dari 30 individu yang diperiksa, sebanyak 22 individu ditemukan jamur.
4.1.4. Aspergillus
Berdasarkan morfologi koloni yang diamati koloni berbentuk bulat, warna
hijau kekuningan, koloni halus, tepi koloni meruncing berwarna putih, dan pada
bagian bawah koloni berwarna kekuningan hingga coklat (Gambar 10).
Pengamatan secara mikroskopis terlihat adanya konidia berbentuk bulat, susunan
konidia berbentuk rantai yang lepas, bentuk konidiofor bulat berdinding kasar
berwarna, terdapat vesikel berbentuk semi bulat (Gambar 11). Menurut St-Germain
dan Summerbell (1996), warna koloni genus Aspergillus kuning coklat, hijau
kekuningan dengan tekstur halus, secara mikroskopis terdapat konidia berukuran 4
µm berbentuk bulat berwarna hijau kebiruan dan permukaan bergerigi dengan
tangkai pendek halus berwarna kehijauan, panjang konidiofor ≤850 µm. Vesikel
23
berbentuk clavate dan bulat dengan ukuran 40 µm terdapat fialid dan sterigmata
yang menutupi setengah bagian atas dari vesikel.
Gambar 11. Morfologi koloni Aspergillus: tampak depan (A) dan tampak
belakang (B)
Gambar 12. Pengamatan mikroskopis Aspergillus yang memperlihatkan bagian:
konidia (A), fialid (B), vesikel (C), dan konidiofor (D)
Gejala yang ditimbulkan pada ikan adalah terdapat hifa yang menyerupai
kapas pada luka di permukaan tubuh. Menurut Kusdarwati et al. (2016), infeksi
jamur pada ikan dapat mengakibatkan pertumbuhan lama, berat badan berkurang
dan efek jangka panjang menyebabkan gangguan pada hati yang berakibat
tingginya mortalitas ikan. Infeksi jamur Aspergillus dapat mengakibatkan infeksi
sirip yang menyebabkan terjadinya kerusakan sirip ikan. Infeksi pada area sensitif
seperti insang dan mata dapat berakibat fatal, karena pertumbuhan hifa jamur pada
mata dapat menyebabkan kebutaan sebagian atau seluruhnya dan mengakibatkan
ikan mati (Iqbal, Sheikh, & Mughal, 2012).
Jamur Aspergillus dapat menghasilkan aflatoksin, yaitu senyawa hasil
metabolit sekunder yang bersifat karsinogenik. Salah satu jenis aflatoksin pada
24
permasalahan dalam budidaya adalah aflatoksin B1 (AFB1) (Mohebbi et al., 2014).
AFB1 termasuk jenis mikotoksin berbahaya dan ditemukan mengkontaminasi
pakan ternak di Indonesia. Kondisi iklim tropis dan tempat penyimpanan pakan
yang lembab sangat sesuai untuk pertumbuhan jamur Aspergillus dalam
memproduksi mikotoksin (Bryden, 2012).
Hasil isolasi jamur dari pakan yang diberikan pada ikan lele dumbo di
Cibubur ditemukan adanya kontaminasi jamur Aspergillus. Kontaminasi jamur
Aspergillus dari pakan ikan lele dumbo yang digunakan (Gambar 12). Sejumlah
spesies Aspergillus seperti A. flavus, A. japonicus, dan A. terreus dilaporkan
menginfeksi ikan air tawar dan diduga menyebabkan infeksi melalui pakan ikan
yang terkontaminasi (Saleem et al., 2012).
Gambar 13. Koloni jamur Aspergillus yang berasal dari isolasi pakan yang
digunakan untuk ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur,
Jakarta Timur: Tampak depan (A) dan tampak belakang (B)
4.1.5. Penicillium
Jamur Penicillium yang ditemukan memiliki ciri-ciri makroskopis warna
koloni hijau keabu-abuan dengan tekstur koloni halus, tepi koloni meruncing
berwarna putih, dan pada bagian bawahnya berwarna kekuningan sampai coklat
(Gambar 13). Pada ciri mikroskopis ditemukan adanya konidia berbentuk bulat
tersusun seperti rantai, fialid berbentuk silindris dan konidiofor panjang (Gambar
14). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar et al., (1999) bahwa koloni jamur
Penicillium memiliki permukaan halus dan berwarna hijau kekuningan hingga
kebiruan. Warna koloni akan semakin gelap seiring pertambahan umur koloni.
Struktur mikroskopis ditemukan adanya hifa hialine, bersekat, konidia, fialid, dan
konidiofor. Konidiofor berdinding halus, bercabang tingkat satu. Fialid berbentuk
25
silindris dan pada ujung fialid dilengkapi dengan konidia berwarna kehijauan yang
berbentuk bulat dan tersusun seperti rantai berdinding kasar.
Gambar 14. Morfologi koloni Penicillium: Tampak depan (A) dan tampak
belakang (B)
Gambar 15. Pengamatan mikroskopis Penicillium yang memperlihatkan bagian:
konidia (A), fialid (B), dan konidiofor (C)
Ditemukannya jamur Penicillium pada ikan lele dumbo dikategorikan oleh
Mohamed dan Kenawy (2010) sebagai mikroorganisme normal pada ikan air tawar.
Walaupun merupakan mikroorganisme normal dari ikan, namun dapat
menghasilkan penyakit karena merupakan jamur oportunistik dan banyak
diantaranya memiliki faktor virulensi yang memungkinkannya untuk menyebabkan
penyakit.
4.2. Prevalensi dan Intensitas Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo
Populasi ektoparasit pada ikan lele dumbo dapat dimonitor melalui
identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung prevalensi dan derajat infeksinya
(Mas’ud, 2011). Prevalensi adalah presentasi ikan yang terserang penyakit dibagi
26
dengan jumlah sampel ikan yang diamati. Prevalensi hanya untuk mengetahui
presentase jumlah ikan yang terserang penyakit disetiap lokasi. Sedangkan untuk
mengetahui besarnya serangan parasit pada ikan per individu dilakukan dengan cara
menghitung derajat infeksi, sehingga dapat diketahui berapa besar tingkat serangan
parasit pada setiap ikan.
Perhitungan prevalensi dibutuhkan untuk mengetahui persentase jumlah
ikan yang terinfeksi ektoparasit. Prevalensi ektoparasit tertinggi yaitu genus
Trichodina pada kolam 1 dengan persentase 70% dan termasuk kategori infeksi
sedang (Tabel 4). Intensitas tertinggi yaitu pada genus Trichodina di kolam 1 yang
mencapai 169,3 individu/ekor dan termasuk kategori sangat parah.
Tabel 4. Prevalensi dan intensitas ektoparasit pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Kolam Genus Parasit P (%) Kategori I (Ind/
ekor) Kategori
1 Trichodina 70 Infeksi sedang 169,3 Sangat parah
Quadriacanthus 30 Infeksi biasa 13,3 Sedang
2 Trichodina 60 Infeksi sangat sering 130,0 Sangat parah
Spiroxys 50 Infeksi sangat sering 8,0 Sedang
Quadriacanthus 50 Infeksi sangat sering 6,2 Sedang
3 Quadriacanthus 20 Infeksi sering 9,0 Sedang
Keterangan: P: Prevalensi I: Intensitas Ind: Individu
Parasit Trichodina memiliki tingkat prevalensi tertinggi, hal ini diduga
berkaitan dengan siklus hidup yang berlangsung cepat dalam kolam budidaya.
Trichodina mempunyai siklus hidup langsung tanpa membutuhkan inang perantara
sehingga bila kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhannya, maka parasit
akan berkembang biak lebih cepat (Haris & Asran, 2015).
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya nilai prevalensi dan intensitas
Trichodina adalah kondisi lingkungan kolam dan kepadatan ikan pada kolam
pemeliharaan. Menurut Handayani, Adiputra, dan Wardiyanto (2012), kualitas air
yang kurang baik dan kepadatan populasi ikan yang tinggi di kolam pemeliharaan
akan mempercepat penularan parasit karena terjadi gesekan antar ikan yang dapat
menimbulkan luka dan akan menyebabkan infeksi sekunder. Tingginya nilai
prevalensi Trichodina pada ikan lele dumbo juga dilaporkan oleh Sigit et al. (2019)
dengan tingkat prevalensi mencapai 64%. Intensitas Trichodina tinggi disebabkan
oleh ketidakseimbangan hubungan antara inang, parasit, dan lingkungan. Kualitas
27
air yang buruk dan pH yang tidak sesuai juga menjadi faktor pendukung tingginya
nilai intensitas
Prevalensi dan intensitas tidak berbeda secara signifikan karena parasit
dapat mencapai prevalensi dan intensitas yang tinggi dalam budidaya, sehingga
jumlah ikan yang terkena dampak dan jumlah parasit per inang meningkat, yang
membuat penyakit menjadi semakin parah (Thoney & Hargis, 1991). Prevalensi
jamur pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
menunjukkan infeksi jamur Aspergillus termasuk kategori parah pada kolam 2
(Tabel 5). Tingginya prevalensi jamur Aspergillus diduga karena kontaminasi dari
pakan yang digunakan sehingga spora jamur terdapat dalam air kolam dan
menempel pada tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Chauhan, Lone, dan Beigh (2014) diketahui bahwa Aspergillus sp. sangat
patogen terhadap ikan karena penyebaran konidia sangat cepat sehingga dapat
menyebabkan ikan terinfeksi dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pada
ikan.
Tabel 5. Prevalensi jamur pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur,
Jakarta Timur
Kolam Filum Genus Prevalensi (%) Kategori
1 Ascomycota Aspergillus 70 Infeksi sedang
2 Ascomycota Aspergillus
Penicillium
90 Infeksi parah
30 Infeksi biasa
3 Ascomycota Aspergillus 60 Infeksi sangat sering
4.3. Dominansi Ektoparasit Pada Ikan Lele Dumbo
Dominansi ektoparasit merupakan keberadaan suatu parasit tertentu yang
mendominasi di antara parasit lainnya. Parasit yang mendominasi pada kolam 1 dan
2 adalah Trichodina dan Quadriacanthus pada kolam 3 (Gambar 16). Menurut
Handayani et al., (2012), bahwa semakin besar nilai indeks dominansi maka
menunjukkan adanya kecenderungan spesies tertentu yang mendominasi.
Dominansi Trichodina diduga disebabkan karena kemampuannya dalam
berkembang biak secara cepat. Menurut Islami, Prayogo, dan Triyanto (2017),
parasit Trichodina sp. memiliki siklus hidup langsung dengan hanya memiliki satu
inang definitif tanpa memerlukan inang perantara dan berkembang biak dengan
cara pembelahan biner.
28
Pada penelitian tidak ditemukan parasit Trichodina pada kolam 3 diduga
karena kondisi faktor fisika-kimia air di kolam 3 tidak mendukung untuk
keberlangsungan hidup dari Trichodina sehingga parasit Quadriacanthus
mendominasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afifah, Abdulgani, dan
Mahasri (2014), peningkatan dan penurunan jumlah parasit Trichodina sp.
dipengaruhi oleh parameter lingkungan air seperti suhu, pH, dan DO.
Gambar 16. Dominansi (%) ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan
di Cibubur, Jakarta Timur
4.4. Faktor Fisika-Kimia Air di Kolam Ikan Lele Dumbo yang Dibudidayakan
di Cibubur, Jakarta Timur
Kondisi lingkungan perairan merupakan hal yang penting dalam budidaya
ikan terutama ikan lele dumbo, jika kondisinya kurang menguntungkan ikan akan
mengalami stress. Hal ini menyebabkan ikan mudah terserang penyakit biasanya
disebabkan oleh parasit seperti cacing atau protozoa dan memicu pertumbuhan
jamur serta bakteri (Hernawati, 2015). Hasil pengukuran faktor fisika-kimia air
pada lokasi pengambilan sampel tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil rata-rata pengukuran faktor fisika-kimia air di kolam ikan lele
dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Parameter Kolam
Baku Mutu Air I II III
Suhu (0C) 28,8 ± 0,35 29 ± 0,92 29,6 ± 0,42 25-30
pH 7,8 ± 0,04 8,3 ± 0,08 8,0 ± 0,09 6,5-8
DO (mg/L) 5,2 ± 0,17 4,2 ± 0,17 4,5 ± 0,16 >3
Amoniak (mg/L) 0,43 ± 0,08 0,69 ± 0,02 0,31 ± 0,05 <0,01
96,7 91,7
4,73,3 3,6
100
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kolam 1 Kolam 2 Kolam 3
Per
sen
tase
Trichodina Spiroxys Quadriacanthus
29
Kondisi kolam pemeliharaan ikan lele dumbo di Cibubur, Jakarta Timur
memiliki besaran luas kolam, populasi, dan umur ikan lele dumbo yang hampir
sama. Masing-masing kolam memiliki luas kolam 1 m x 4 m memiliki kepadatan
populasi ±250 ekor. Sumber air pada kolam pemeliharaan memiliki sumber air yang
sama yaitu dari air sumur dan menggunakan mesin pompa dengan air berwarna
hijau bening hal ini disebabkan karena faktor pemeliharaan kolam, yaitu frekuensi
pergantian air dilakukan setiap minggu sekali dan tidak beratap. Menurut Gunawan
(2016), kelebihan sinar matahari akan menyebabkan pertumbuhan lumut tidak
terkendali, oksigen dan kualitas air menurun, air cepat kotor. Hal ini menyebabkan
ikan menjadi stress dan lemah sehingga mudah terserang penyakit.
Faktor fisika-kimia air yang diukur menunjukkan nilai suhu 28,8 – 29,6 0C
dan nilai DO >3 hal ini sesuai dengan SNI 01-6484.5 (2002) tentang persyaratan
kualitas air untuk pembesaran ikan lele dumbo di kolam. Suhu air selama
pemeliharaan lele dumbo berkisar antara 28-30 0C hal ini diduga karena kondisi
permukaan kolam budidaya dipenuhi oleh tanaman eceng gondok (Lampiran 7).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triyatmo dan Probosunu
(2002) bahwa penggunaan tanaman air pada budidaya ikan lele dumbo sebagai
pelindung atau peneduh bagi ikan dalam kolam.
Pada kolam 3 tidak ditemukan adanya parasit Trichodina, diduga karena
suhu air pada kolam 3 mendekati 30 0C dan keberadaan parasit pada ikan
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Menurut Majumder, Panda, & Bandyopadhyay
(2013), Trichodina sp. bereproduksi dengan cara pembelahan biner dengan suhu
optimum untuk reproduksi 20 – 29 0C dan pada suhu tinggi siklus hidup parasit ini
terpengaruh atau sebagian besar tetap dalam tahap dorman.
Nilai pH cukup tinggi pada kolam 2 dan 3 yaitu, berkisar 8,0-8,3 yang
berarti melewati ambang batas ketentuan SNI, karena nilai pH yang baik untuk
pertumbuhan ikan lele dumbo di kolam pemeliharaan berkisar 6,5-8. Menurut
Supono (2015), nilai pH yang tinggi (>8) dalam lingkungan budidaya akan
meningkatkan kandungan amonia dalam air sehingga mempengaruhi proses
metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan ikan.
Kadar amoniak di kolam budidaya Cibubur adalah 0,31-0,68 mg dan
melebihi ambang batas. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan SNI bahwa kadar
30
amoniak yang baik untuk pembesaran ikan lele dumbo di kolam adalah < 0,01
mg/L. Tingginya kadar amoniak diduga karena pemberian pakan yang berlebih dan
pergantian air pada kolam yang tidak teratur. Hal ini didukung oleh pernyataan
Larasati, Mahasri, dan Kusnoto (2020), menyatakan faktor yang mempengaruhi
tingginya kadar amoniak adalah penggunaan pakan yang berlebih. Faktor lain yang
mempengaruhi tingginya amoniak adalah konsentrasi oksigen terlarut dalam air.
Semakin rendah konsentrasi kadar oksigen dalam air, maka semakin besar toksisitas
amoniak. Kadar amoniak tinggi dapat menurunkan kandungan oksigen dalam darah
yang mengakibatkan suplai oksigen yang dibutuhkan menjadi terganggu. Hal ini
dapat menyebabkan turunnya nafsu ikan dan pertumbuhan ikan menjadi terhambat.
4.5. Hubungan Faktor Fisika-Kimia Air Dengan Keberadaan Ektoparasit
Pada Ikan Lele Dumbo yang Dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Untuk mengetahui hubungan faktor fisika-kimia air dengan keberadaan
ektoparasit dilakukan analisis korelasi. Ektoparasit berkembang biak dengan cepat
pada kondisi lingkungan perairan yang buruk ditandai dengan tingginya amoniak
dan nitrit serta adanya fluktuasi pH, oksigen terlarut dan suhu. Selain perubahan
suhu, kadar oksigen terlarut yang rendah dapat menurunkan nafsu makan ikan,
akibatnya ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi oleh parasit (Amri &
Khairuman, 2002). Hubungan yang terjadi antara faktor fisika-kimia air terhadap
keberadaan ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur,
Jakarta Timur tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis korelasi faktor fisika-kimia terhadap keberadaan ektoparasit
pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Parameter Trichodina Spiroxys Quadriacanthus
Suhu (0C) (-) (-) (-)
pH (-) (+) (+)
DO (mg/L) (+) (-) (-)
Amoniak (mg/L) (+) (+) (+)
Keterangan: (+): Korelasi positif (-): Korelasi negatif
Korelasi yang terjadi antara faktor fisika-kimia air dengan keberadaan
ektoparasit Trichodina adalah korelasi negatif terhadap suhu dan pH, korelasi
positif terhadap DO dan amoniak. Hal ini menunjukkan keberadaan trichodina
dipengaruhi oleh kadar DO dan amoniak, semakin tinggi kadar oksigen terlarut dan
31
amoniak dalam air maka akan semakin meningkat juga jumlah parasit Trichodina
di lingkungan budidaya.
Korelasi antara faktor fisika-kimia air dengan keberadaan ektoparasit
Spiroxys adalah korelasi positif terhadap pH dan amoniak, korelasi negatif terhadap
suhu dan DO. Korelasi yang terjadi antara faktor fisika-kimia air dengan
keberadaan ektoparasit Quadriacanthus adalah korelasi positif terhadap pH dan
amoniak, korelasi negatif terhadap suhu dan DO. Keberadaan parasit Spiroxys dan
Quadriacanthus dipengaruhi oleh nilai pH dan amoniak di lingkungan budidaya,
semakin tinggi nilai pH dan kadar oksigen yang terlarut dalam air maka semakin
meningkat juga jumlah parasit tersebut pada lingkungan budidaya.
32
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1) Genus ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo yaitu Trichodina,
Quadriacanthus, Spiroxys, Aspergillus, dan Penicillium.
2) Prevalensi tertinggi ditemukan pada Trichodina dengan kategori infeksi
sangat sering dan Aspergillus kategori infeksi parah. Intensitas tertinggi
adalah Trichodina dengan kategori sangat parah. Ektoparasit yang
mendominasi adalah Trichodina.
3) Korelasi positif terdapat antara DO dan amoniak terhadap keberadan
Trichodina, antara pH dan amoniak terhadap keberadaan Quadriacanthus,
dan Spiroxys. Korelasi negatif terdapat antara suhu dan pH terhadap
Trichodina, antara suhu dan DO terhadap Quadriacanthus dan Spiroxys.
5.2. Saran
Perlu dilakukan pemantauan terhadap parameter fisika-kimia air secara
berkala khususnya meningkatkan efisiensi pemberian pakan untuk mencegah
tingginya amoniak agar dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan
ektoparasit.
33
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, B., Abdulgani, N., & Mahasri, G. (2014). Efektivitas perendaman benih
ikan mas (Cyprinus carpio L.) dalam larutan perasan daun api-api (Avicennia
marina) terhadap penurunan jumlah Trichodina sp. Sains Dan Seni Pomits,
3(2), E58–E62.
Afrianto, E., Liviawaty, E., Jamaris, Z., & Hendi. (2015). Penyakit ikan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Al Hasyimia, U. S., Dewi, N. K., & Pribadi, T. A. (2016). Identifikasi ektoparasit
pada ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) yang dibudidayakan di Balai
Benih Ikan (BBI) Boja Kendal. Life Science, 5(1), 1–8.
Ali, S. K., Koniyo, Y., & Mulis. (2013). Identifikasi ektoparasit pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) di Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Nike : Jurnal
Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 1(1985), 31–36. Retrieved from
https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/nike/article/download/1231/980
Amri, K., & Khairuman. (2002). Budidaya lele dumbo secara intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Anshary, H. (2016). Parasitologi ikan : Biologi, identifikasi, dan pengendaliannya.
Yogyakarta: Deepublish.
Badan Standardisasi Nasional. (2002). SNI 01-6484.5-2002 Tentang ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) : Kelas pembesaran di kolam. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2015). SNI 2332.6:2015. Tentang cara uji
mikrobiologi - Bagian 6: Penentuan parasit pada produk perikanan. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
Bryden, W. L. (2012). Mycotoxin contamination of the feed supply chain:
Implications for animal productivity and feed security. Animal Feed Science
and Technology, 173(1–2), 134–158.
https://doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2011.12.014
Chauhan, R., Lone, S., & Beigh, A. (2014). Pathogenecity of three species of
Aspergillus (A. fumigatus, A. niger & A. sydowii) on some freshwater fishes.
Life Sciences Leaflets, 48(February), 65–72.
Daulay, A. H. (2010). Pemanfaatan larva Diptera sebagai pakan tambahan pada
budidaya ikan lele dumbo dalam upaya efisiensi biaya produksi. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 16(59), 1–6.
Gandjar, I., Samson, R. ., Santosa, I., Oetari, A., & Van Den Tweel-vermeulen, A.
(1999). Pengenalan kapang tropik umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Garrido-Olvera, L., Benavides-González, F., Rábago-Castro, J. L., Pérez-
Castañeda, R., & García-Prieto, L. (2017). Endohelminths of fishes of
commercial importance from Vicente Guerrero Reservoir, Tamaulipas,
Mexico. Comparative Parasitology, 84(2), 194–200.
https://doi.org/10.1654/1525-2647-84.2.194 Grano-Maldonado, M. I., Rodríguez-Santiago, M. A., García-Vargas, F., Nieves-
Soto, M., & Soares, F. (2018). An emerging infection caused by Gyrodactylus
cichlidarum Paperna, 1968 (Monogenea: Gyrodactylidae) associated with
massive mortality on farmed tilapia Oreochromis niloticus (L.) on the Mexican
Pacific Coast. Latin American Journal of Aquatic Research, 46(5), 961–968.
https://doi.org/10.3856/vol46-issue5-fulltext-9
34
Gunawan, S. (2016). 99% sukses budidaya lele. Jakarta: Penebar swadaya.
Handayani, R., Adiputra, Y. T., & Wardiyanto. (2012). Identifikasi dan keragaman
parasit pada ikan mas koki (Carrasius auratus) dan ikan mas (Cyprinus
carpio) yang berasal dari Lampung dan Luar Lampung. Aquasains, (1), 149–
155.
Haris, A., & Asran, A. (2015). Efektivitas pemanfaatan larutan paci-paci (Leucas
lavandulaefolia) terhadap perkembangan populasi parasit (Trichodina sp)
pada ikan lele dumbo (Clarias sp). Jurnal Ilmu Perikanan Octopus, 4(2), 405–
409.
Hashem, M. (2011). Isolation of mycotoxin-producing fungi from fishes growing
in aquacultures. Research Journal of Microbiology, 6(12), 862–872.
https://doi.org/10.3923/jm.2011.862.872
Hedayati, M. T., Pasqualotto, A. C., Warn, P. A., Bowyer, P., & Denning, D. W.
(2007). Aspergillus flavus: Human pathogen, allergen and mycotoxin
producer. Microbiology, 153(6), 1677–1692.
https://doi.org/10.1099/mic.0.2007/007641-0
Hee, H. N., & Kottelat, M. (2008). The identity of Clarias batrachus (Linnaeus,
1758), with the designation of a neotype (Teleostei: Clariidae). Zoological
Journal of the Linnean Society, 153(4), 725–732.
https://doi.org/10.1111/j.1096-3642.2008.00391.x
Hernawati, R. D. (2015). Inventarisasi patogen pada ikan botia (Chromobotia
macracanthus Bleeker) di Stasiun Karantina Ikan Kelas I Supadio , Pontianak.
Jurnal Sain Veteriner, 33(1), 103–109.
Hoffman, G. L. (1999). Parasites of North American freshwater fishes (2nd ed.).
New York: Cornell University Press.
Iqbal, Z., Sheikh, U., & Mughal, R. (2012). Fungal infections in some economically
important freshwater fishes. Pakistan Veterinary Journal, 32(3), 422–426.
Irianto, A. (2005). Patologi ikan Teleostei. Yogyakarta: UGM Press.
Islami, H., Prayogo, S., & Triyanto. (2017). Inventarisasi ektoparasit pada ikan
patin (Pangasius hypophthalmus) yang diberi pakan day old chick di Sungai
Kelekar Desa Segayam. Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan Dan Budidaya Perairan,
12(2), 58–65.
Jawetz, Melnick, & Adelberg. (2013). Mikrobiologi kedokteran (25th ed.). Jakarta:
Salemba Medika.
Kabata, Z. (1985). Parasites and diseases of fish cultured in the tropics. London:
Taylor & Francis.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2018). Laporan tahunan Kementerian
Kelautan dan Perikanan tahun 2018. Jakarta.
Khumaidi, A., & Hidayat, A. (2018). Identifikasi penyebab kematian massal ikan
gurami (Osphronemus gouramy) di sentra budidaya ikan gurami, Desa Beji,
Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Journal of
Aquaculture Science, 3(2), 145–153. https://doi.org/10.31093/joas.v3i2.53
Klinger, R., & Floyd, R. F. (2013). Introduction to freshwater fish parasites (pp. 1–
12). pp. 1–12. Florida: University of Florida.
Kritsky, D., & Kulo, S. (1988). The African species of Quadriacanthus with
proposal of Quadriacanthoides gen. n. (Monogenea: Dactylogyridae).
Proceedings of the Helminthological Society of Washington, 55(2), 175–187.
Kusdarwati, R., Sudarno, & Hapsari, A. (2016). Isolasi dan identifikasi fungi pada
35
ikan maskoki (Carassius auratus) di Bursa Ikan Hias Gunung Sari Surabaya ,
Jawa Timur. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 8(1), 1–15.
Larasati, C., Mahasri, G., & Kusnoto. (2020). Korelasi kualitas air terhadap
prevalensi ektoparasit pada ikan nila (Oreochromis niloticus) di Keramba
Jaring Apung program urban farming Kota Surabaya , Jawa Timur. Journal of
Marine and Coastal Science, 9(1), 12–20.
Lucas, F., León, P., Pérez, M. M., Parasitología, L. De, Investigaciones, C. De, &
De, C. (2006). Nuevos registros de larvas de Spiroxys sp. (Nematoda:
Gnathostomidae) y Contracaecum sp . Tipo II (Nematoda: Anisakidae) para
peces de aguas interiores de Cuba. 2006, 97–105.
Majumder, S., Panda, S., & Bandyopadhyay, P. K. (2013). Effect of temperature on
the prevalence of different parasites in Cirrhinus mrigala Hamilton of West
Bengal. Journal of Parasitic Diseases, 39(1), 110–112.
https://doi.org/10.1007/s12639-013-0295-4
Mas’ud, F. (2011). Prevalensi dan derajat infeksi Dactylogyrus sp. pada insang
benih bandeng (Chanos chanos) di Tambak Tradisional, Kecamatan Glagah,
Kabupaten Lamongan. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 3(1), 27.
https://doi.org/10.20473/jipk.v3i1.11616
Mashaly, M. I., & Allam, H. E. (2019). Mode of attachment of Quadriacanthus
Spp. (Monogenea : Dactylogyridae) to the gills of the Nile Catfish (Clarias
gariepinus) and their local histopathological impacts. International Journal of
Zoology and Applied Biosciences, 4(1), 17–26.
https://doi.org/https://doi.org/10.5281/zenodo
Mohebbi, G. H., Hosseini, A., Tahmasebi, R., Mohammadi, M., & Mohebbi, G.
(2014). Aflatoxins in tissues and diets of farmed white shrimp (Litopenaeus
vannamei). Environmental Studies of Persian Gulf, 1(2), 117–125.
Molnár, K., & Mossalam, I. (1985). Monogenean parasites from fishes of the Nile
in Egypt. Parasitologia Hungarica, 18, 5–9.
Nurrochmah, H. S., & Riwidiharso, E. (2016). Kelimpahan dan variasi morfometrik
Trichodina sp. pada benih ikan gurami ( Osphronemus gouramy lac.) di Kolam
Budidaya Desa Baji Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. Seminar
Nasional Pendidikan Dan Saintek, 2016, 473–480.
Ogórek, R., Kurczaba, K., Cal, M., Apoznański, G., & Kokurewicz, T. (2020). A
culture-based ID of micromycetes on the wing membranes of greater mouse-
eared bats (Myotis myotis) from the “nietoperek” site (Poland). Animals, 10(8),
1–16. https://doi.org/10.3390/ani10081337
Palumbo, E., Capasso, S., Cassano, M. J., Alcalde, L., & Diaz, J. I. (2016). Spiroxys
contortus (Rudolphi, 1819) and Hedruris orestiae (Moniez, 1889) in
Argentine turtles. Check List, 12(6). https://doi.org/10.15560/12.6.1993
Putri, S. M., Haditomo, A. H. C., & Desrina. (2016). Infestasi Monogenea pada
ikan konsumsi air tawar di kolam budidaya Desa Ngrajek Magelang.
Aquaculture Management and Technology, 5(1), 162–170.
Rahayu, F. D., Ekastuti, D. R., & Tiuria, R. (2013). Infestasi cacing parasitik pada
insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Acta VETERINARIA
Indonesiana, 1(1), 8–14. https://doi.org/10.29244/avi.1.1.8-14
Reed, P., Floyd, R. F., Klinger, R., & Petty, D. (2012). Monogenean parasites of
fish. Florida: University of Florida.
Refai, M. ., Laila, A. M., Amany, M. K., & Shimaa, E.-S. M. . (2010). The
36
assessment of mycotic settlement of freshwater fishes in Egypt. Journal of
American Science, 6(11), 595–602.
Riwidiharso, E., Alfarisi, B., & Rokhmani. (2019). Morfologi dan intensitas
Trichodina spp . pada benih ikan nilem (Osteochilus hasselti) milik Balai
Benih Ikan Kutasari Purbalingga , Jawa Tengah. Masyarakat Biodiversitas
Indonesia, 5, 316–323. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m050231
Rokhmani, & Budianto, B. H. (2017). Parasitologi akuatik: Biologi, morfologi,
diagnosa dan pengendaliannya. Purwokerto: FGP Press.
Saanin, H. (1984). Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Bandung: Bina Cipta.
Saleem, M. J., Hannan, A., Aleem-Un-Nisa, & Qaisar, T. A. (2012). Occurrence of
aflatoxins in maize seed under different conditions. International Journal of
Agriculture and Biology, 14(3), 473–476.
Salgado-Maldonado, G., Caspeta-Mandujano, J. M., Martínez-Ramírez, E.,
Montoya-Mendoza, J., & Mendoza-Franco, E. F. (2020). Diversity of helminth
parasites of freshwater fish in the headwaters of the Coatzacoalcos River, in
Oaxaca, Mexico. International Journal for Parasitology: Parasites and
Wildlife, 12(April), 142–149. https://doi.org/10.1016/j.ijppaw.2020.05.008
Santos, M. D., Albuquerque, M. C., Monteiro, C. M., Martins, a N., Ederli, N. B.,
& Brasil-Sato, M. C. (2009). First report of larval Spiroxys sp. (Nematoda:
Gnathostomatidae) in three species of carnivorous fish from Tres Marias
Reservoir, Sao Francisco River, Brazil. Pan-American Journal of Aquatic
Sciences, 4(3), 306–311.
Sarjito, Prayitno, S. B., & Haditomo. (2013). Parasit dan penyakit ikan. Semarang:
UNDIP Press.
Sigit, M., Candra, A. Y. R., Hidayat, A. R., & Sasmita, R. (2019). Derajat infestasi
Trichodina sp. pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di Empat Kolam
Pembudidayaan Kabupaten Sumenep. Jurnal Vitek Bidang Kedokteran
Hewan, 9(November), 10–17.
St-Germain, G., & Summerbell, R. (1996). Identifying filamentous fungi : A clinical
laboratory handbook (2nd ed.). Star Publisher Company.
Supono. (2015). Manajemen lingkungan untuk akuakultur. Yogyakarta: Plantaxia.
Suprapto, N. ., & Samstasfir, L. . (2013). Biofloc-165 : Rahasia sukses teknologi
budidaya lele. Depok: AGRO 165.
Thoney, D. A., & Hargis, W. J. (1991). Monogenea (Platyhelminthes) as hazards
for fish in confinement. Annual Review of Fish Diseases, 1(1), 133–153.
https://doi.org/10.1016/0959-8030(91)90027-H
Tripathi, A., Agrawal, N., & Pandey, K. C. (2007). The Status of Quadriacanthus
Paperna, 1961 and Anacornuatus Dubey et al., 1991 (Monogenoidea:
Dactylogyridae) with Redescription of Q. kobiensis Ha Ky, 1968, new
geographical records for Q. bagrae Paperna, 1979 and <i>Q. claria.
Parasitology International, 56(1), 23–30.
https://doi.org/10.1016/j.parint.2006.10.004
Triyatmo, B., & Probosunu, N. (2002). Budidaya terpadu lele dumbo dengan
tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes), kangkung air (Ipomea aquatica)
dan kapu-kapu (Pistia stratiotes). Jurnal Perikanan Universitas Gadjah
Mada, 4(2), 30. https://doi.org/10.22146/jfs.8910
Wang, Z., Bourland, W. A., Zhou, T., Yang, H., Zhang, C., & Gu, Z. (2020).
Morphological and molecular characterization of two Trichodina (Ciliophora,
37
Peritrichia) species from freshwater fishes in China. In European Journal of
Protistology (Vol. 72). https://doi.org/10.1016/j.ejop.2019.125647
Williams, E. H. J., & Williams, L. . (1996). Parasites of offshore big game fishes
of Puerto Rico and the Western Atlantic (Sportfish). Mayagüez, PR:
Department of Marine Sciences and Department of Biology University of
Puerto Rico.
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Kolam Filum Genus Ektoparasit Organ Tubuh
Total PT I
1 Protozoa Trichodina 130 1055 1185
Platyhelminthes Quadriacanthus 12 28 40
Subtotal
142 1083 1225
2 Protozoa Trichodina 45 735 780
Nemathelminthes Spiroxys 16 24 40
Platyhelminthes Quadriacanthus 14 17 31
Subtotal
75 776 851
3 Platyhelminthes Quadriacanthus 6 12 18
Subtotal 6 12 18
Keterangan: PT: Permukaan Tubuh I: Insang
39
Lampiran 2. Jamur ektoparasit yang ditemukan pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Kolam Filum Genus Organ Tubuh
Permukaan tubuh
1 Ascomycota Aspergillus Ditemukan
Penicillium Ditemukan
2 Ascomycota Aspergillus Ditemukan
3 Ascomycota Aspergillus Ditemukan
40
Lampiran 3. Prevalensi ektoparasit tiap kolam pada ikan lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Kolam
Jumlah
ikan
yang
diperiksa
Jenis
ektoparasit
Jumlah
ektoparasit
Jumlah
ikan yang
terinfeksi
Prevalensi
(%)
1 10 Trichodina 1185
8 80 Quadriacanthus 40
Total 1225
2 10 Trichodina 780
9 90 Spiroxys 40
Quadriacanthus 31
3 10 Total 820
2 20 Quadriacanthus 18
Total 18
41
Lampiran 4. Hasil pengukuran faktor fisika-kimia air kolam lele dumbo yang
dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
Parameter Kolam 1 Kolam 2 Kolam 3
I II III I II III I II III
Suhu (0C) 28,8 28,5 29,2 28,2 28,8 30 29,3 29,5 30,1
pH 7,76 7,83 7,78 8,22 8,37 8,26 7,94 8,12 7,98
DO (mg/L) 5,31 5,00 5,28 4,15 4,31 3,97 4,28 4,53 4,58
Amoniak 0,37 0,33 0,42 0,66 0,71 0,68 0,29 0,36 0,27
Keterangan: I,II,III: Ulangan
42
Lampiran 5. Hasil uji korelasi faktor fisika-kimia air dengan keberadaan
ektoparasit pada ikan lele dumbo yang dibudidayakan di Cibubur,
Jakarta Timur Suhu pH DO Ammonia Trichodina Quadriacanthus Spiroxys
Suhu Pearson
Correlation 1 ,183 -,425 -,419 -,743 -,314 -,277
Sig. (2-
tailed) ,883 ,720 ,725 ,467 ,797 ,821
N 3 3 3 3 3 3 3
pH Pearson
Correlation ,183 1 -,967 ,816 -,794 ,876 ,894
Sig. (2-
tailed) ,883 ,163 ,392 ,416 ,320 ,296
N 3 3 3 3 3 3 3
DO Pearson
Correlation -,425
-
,967 1 -,643 ,922 -,726 -,751
Sig. (2-
tailed) ,720 ,163 ,555 ,253 ,483 ,459
N 3 3 3 3 3 3 3
Ammonia Pearson
Correlation -,888 ,290 -,039 1 ,351 ,716 ,688
Sig. (2-
tailed) ,304 ,813 ,975 ,772 ,492 ,517
N 3 3 3 3 3 3 3
Trichodina Pearson
Correlation -,743
-
,794 ,922 -,297 1 -,403 -,438
Sig. (2-
tailed) ,467 ,416 ,253 ,808 ,736 ,712
N 3 3 3 3 3 3 3
Quadriacanthus Pearson
Correlation -,314 ,876 -,7z26 ,994 -,403 1 ,999*
Sig. (2-
tailed) ,797 ,320 ,483 ,072 ,736 ,024
N 3 3 3 3 3 3 3
Spiroxys Pearson
Correlation -,277 ,894 -,751 ,989 -,438 ,999* 1
Sig. (2-
tailed) ,821 ,296 ,459 ,097 ,712 ,024
N 3 3 3 3 3 3 3
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
43
Lampiran 6. Penggunaan tanaman eceng gondok pada kolam ikan lele dumbo
yang dibudidayakan di Cibubur, Jakarta Timur
44
Lampiran 7. Gejala klinis pada ikan lele dumbo yang terinfeksi ektoparasit: Sirip
dubur dan ekor mengalami gripis (A), sirip dada berwarna
kemerahan (B), pucat pada insang (C), luka yang ditimbulkan akibat
penempelan ektoparasit (D)
Top Related