BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kematian di penjara yaitu kematian yang terjadi di penjara atau fasilitas
tahanan lainnya, termasuk kematian yang terjadi selama pemindahan/ transfer ke/
dari penjara/ fasilitas tahanan lainnya, atau difasilitas kesehatan mengikuti
pemindahan dari penjara. Penyebab kematian tahanan dan narapidana di penjara
ini bermacam-macam. Mulai dari masalah kelebihan kapasitas penjara hingga
penyakit. (Lyneham,2010)
Catatan kematian individu yang dikumpulkan oleh Death in Custody
Reporting Act of 2000 menerangkan bahwa di Amerika Serikat, antara tahun
2001-2006, penjara negara otoritas nasional melaporkan total 18,550 kematian
tahanan negara ke Deaths in Custody Reporting Program(DCRP). Dimana 82.7%
akibat kondisi medis, bunuh diri (6.3 %), pembunuhan (2%), alkohol (1%), obat
(1%), dan cedera (1%). (Mumola CJ ,2009).
Di Australia, menurui National Death in Custody Program 2008 (NDICP)
dalam periode 29 tahun dan tahun 1980-2008, 1260 kematian terjadi di prison
custody, 119 kematian terjadi dalam police custody dan custody related
operations dan 17 kematian dalam custody of juvenile justice agencies. Mayoritas
tahanan yang meninggal adalah laki-laki. Untuk periode 1980-2005 mayoritas
tahanan yang meninggal berusia 25-39 tahun Gantung diri merupakan cara
kematian yang lebih sering digunakan oleh tahanan muda. Dimana dari 340
kematian narapidana akibat gantung (hanging) 36% terjadi di dalam sel dan 13 %
terjadi pada tempat pemandian. (Lyneham,2010)
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Afiksia mekanik adalah mati
lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan
oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik). (Budiyanto A. 1997) Asfiksia
merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus
kedokteran forensik dimana asfiksia mekanik yang cukup banyak adalah
penggantungan (hanging). (Nikolic,2003)
1
Hanging adalah suatu bentuk dari penjeratan yang tekanan pada leher
dipengaruhi oleh gravitasi dari berat badan korban. (Nikolic,2003) Selain itu,
penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di banyak
negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan
penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri
atau pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan. (Ahmad M, 2010) Di
Amerika Serikat, pada tahun 2005, dilaporkan terdapat 13,920 kematian yang
disebabkan oleh asfiksia termasuk kematian akibat penggantungan, strangulasi
dan mati lemas. (Ernoehazy W, 2013)
Berdasarkan dokumen “Rekapitulasi Sebab Kematian Narapidana dan
Tahanan Seluruh Wilayah Indonesia tahun 2012” yang diterbitkan oleh Direktorat
Jendral Pemasyarakatan, di tahun 2010, angka kematian berjumlah 791; di tahun
2011 (Januari-Agustus), jumlah kematian adalah 352 dan, di tahun 2012 (Januari-
September), jumlah kematian adalah 440. Berdasarkan laporan tersebut, kematian
di tempat penahanan terkait dengan masalah kesehatan (serangan jantung,
sakitpernapasan) atau kekerasan internal di dalam penjara. Angka kematian akibat
HIV/AIDS adalah yang tertinggi dengan jumlah 204 kasus di tahun 2010, 105
kasus di tahun 2011, dan penurunan menjadi 73 kasus di tahun 2012.
(WGAT,2013)
Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena
dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan
apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman
mati dengan cara penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman dahulu.
Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terletak pada asal
tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.Dalam rutinitas
medikolegal, perbedaan keduanya penting karena kasus penggantungan
dianggap bunuh diri sampai dibuktikan sebaliknya, sedangkan kasus penjeratan
dianggap pembunuhan.2Berdasarkan data registrasi jenazah tahun 2014 di RSUP
Sanglah Denpasar terdapat 14 kasus bunuh diri dimana lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan, yaitu sebanyak 9 kasus. Berdasarkan usia, pelaku
gantung diri banyak dilakukan oleh usia 30-45 tahun. (Bagian Forensik RSUP
Sanglah, 2014)
2
Berdasarkan uraian di atas mengenai angka kematian tahanan di penjara,
maka perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan kematian tahanan dalam
penjara, mulai dari penyebab kematian, penanganan tahanan yang meninggal, dan
pemeliharaan kesehatan tahanan.
1.2 Rumusan Masalah
Pada laporan kasus ini terdapat beberapa masalah, yaitu korban
penggantungan yang merupakan seorang narpidana tiba diantarkan oleh pihak
kepolisian, kepada Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam hal ini masalah yang harus dihadapi adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan kematian di penjara/ tahanan?
2. Apakah penyebab kematian di penjara/ tahanan?
3. Apakah hak dan kewajiban tahanan?
4. Bagaimana penanganan tahanan yang meninggal didalam penjara?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah kematian didalam penjara.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi kematian di penjara
b. Mengetahui penyebab kematian tahanan penjara.
c. Mengetahui hak dan kewajiban tahanan.
d. Mengetahui penanganan tahanan yang meninggal di dalam penjara.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan laporan kasus ini adalah menambah pengetahuan dan
pengertian pembaca mengenai kematian dalam tahanan serta aspek- aspek hukum
maupun medis di dalamnya.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Jenazah merupakan serorang Narapidana Narkoba yang menjalani
kurungan penjara sejak Bulan Juni 2014. Jenazah ditemukan dalam keadaan
meninggal / gantung diri menggunakan tali plastik berwarna biru dengan panjang
sekitar 4 meter yang tergantung pada plafon di belakang sel blok H Lembaga
Permasyarakatan Kerobokan pada tanggal 7 November 2014 pukul 13.00 WITA
oleh 3 orang penghuni kamar tahanan blok B. Menurut keterangan saksi, jenazah
sempat bertengkar dengan istrinya yang jarang mengunjungi jenazah.
Jenazah adalah seorang laki- laki, umur kurang lebih tiga puluh tahun,
berat badan 64 kg, panjang badan 165 cm. Tidak ditemukan tanda-tanda
kekerasan fisik lainnya selain jejas jerat akibat jeratan yang menjadi erat karena
berat badan korban. Korban diperkirakan meninggal antara pukul 05.26 sampai
pukul 09.26 WITA tanggal 7 November 2014. Keadaan tersebut lazim terjadi
pada peristiwa gantung diri. Untuk mengetahui penyebab kematian perlu
dilakukan pemeriksaan dalam (otopsi).
Jenazah diterima di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah
Denpasar pada tanggal 7 November 2014 pukul 17.20 WITA diantar oleh pihak
yang berwenang atas nama penyidik beserta dengan surat permintaan visumnya.
Pemeriksaan luar dilakukan pada tanggal 7 November 2014 pukul 17.26 WITA
kemudian pemeriksaan dalam pada tanggal 8 November 2014 pukul 12.15 WITA
atas permintaan (SPVR) Polisi Sektor Kuta Utara.
3.1 Hasil Pemeriksaan Luar
Jenazah adalah seorang laki- laki, warga negara Indonesia, warna kulit
sawo matang, umur kurang lebih 30 tahun, berat badan 64 kg, panjang badan
seratus 165 cm, gizi cukup, zakar disunat. Jenazah tidak berlabel. Lebam mayat
pada wajah, leher, punggung warna kemerahan yang hilang pada penekanan.Kaku
mayat pada rahang, lipat siku kanan dan kiri, kedua tungkai yang sukar dilawan.
Tidak didapatkan tanda-tanda pembusukan.
4
Pada wajah ditemukan warna kebiruan. Pemeriksaan mataditemukan
selaput bening mata kanan dan kiri keruh, selaput bola mata kanan dan kiri
berwarna merah, adanya pelebaran pembuluh darah pada kedua merah dan
terdapat bintik perdarahan pada kedua mata, selaput kelopak mata kanan dan kiri
tampak merah, pelebaran pembuluh darah pada kedua mata positif dan adanya
bintik perdarahan pada kedua mata. Pemeriksaan mulut dan rongga mulutlidah
tidak tergigit, tidak terjulur, dari rongga mulut tidak keluar apa-apa. Dari saluran
kelamin keluar cairan berwarna putih kental. Dari lubang pelepasan keluar banyak
kotoran berawarna kuning.
Pada leher bagian depan terdapat luka lecet tekan berwarna coklat
kehitaman melingkar leher secara tidak penuh dengan arah dari depan bawah ke
belakang atas, sebagai berikut:
Pada bagian depan pada GPD, dua sentimeter diatas jakun, lebar luka satu
sentimeter.
Pada samping kanan, sembilan sentimeter dari GPD, delapan sentimeter
dibawah lubang telinga, luka lebar dua sentimeter.
Pada samping kiri, sepuluh sentimeter dari GPD, sembilan sentimeter
dibawah lubang telinga, lebar luka dua sentimeter.
Pada leher kanan bagian belakang samping kanan luka lecet menghilang
pada delapan sentimeter dari GPB sejajar lubang telinga ukuran nol koma
delapan sentimeter.
Pada leher bagian belakang samping kiri, luka lecet menghilang pada
enam sentimeter dari GPB sejajar lubang telinga, lebar luka nol koma
tujuh sentimeter.
Panjang seluruh luka tiga puluh tiga sentimeter.
Pada leher bagian depan kanan, tiga sentimeter dari GPD berhimpit
dengan luka nomer satu, sepuluh sentimeter sebelah kiri dari GPD, tujuh
koma lima sentimeter dibawah lubang telinga terdapat luka lecet tekan
dengan arah mendatar berukuran tiga belas sentimeter kali dua sentimeter.
Pada leher bagian depan melintang GPD terdapat luka lecet tekan dengan
arah mendatar berukuran tujuh sentimeter kali nol koma lima sentimeter.
5
3.2 Pemeriksaan Dalam
Pada kulit leher bagian dalam terdapat resapan darah.Pada jaringan otot
leher bagian depan dibawah luka diatas tulang rawan gondok terdapat memar
berbentuk garis melengkung ukuran delapan belas sentimeter kali satu sentimeter.
Pada otot leher disekitar kelenjar gondok terdapat memar ukuran dua koma lima
sentimeter kali tiga sentimeter. Pada kelenjar gondok bagian depan terdapat
memar.
Lidah berwarna ungu permukaan kasar, pada irisan berwarna
coklat.Tulang rawan gondok : Kornu mayor suspect patah disekitarnya terdapat
memar kiri dan kanan. Selaput lendir berwarna merah keunguan, licin, tidak berisi
apa- apa. Selaput lendir batang tenggorok berwarna merah, licin, berisi buih
halus.
Paru- paru kanan terdiri dari tiga baga terdapat perlengketan antar baga,
warna ungu pada perabaan kenyal, pada irisan paru- paru bewana merah
kecoklatan, pada penekanan keluar buih dan darah encer, berat 650 gram.
Pada paru kiri terdiri dari dua baga terdapat perlengketan antar baga, paru
permukaan depan atas terdapat bintik perdarahan, pada perabaan kenyal, dan pada
irisan berwarna merah kecoklatan. Pada penekanan keluar buih dan darah encer
berat 600 gram.
Di dalam jantung terdapat cairan warna merah kehitaman sebanyak dua
puluh milliliter. Sekat jantung berwarna coklat, di dinding bilik kiri terdapat
bercak - bercak perdarahan, dengan ukuran dua sentimeter kali nol koma tujuh
sentimeter dan dua sentimeter dan nol koma dua sentimeter. Pembuluh nadi
jantung kiri bagian depan dua sentimeter dan percabangan terdapat
penyempitan.Ginjal kanan dan kiri tampak pelebaran pembuluh darah, berat
masing-masing seratus gram.
Otak besar berwarna abu- abu, terdapat pelebaran pembuluh darah, pada
pengirisan pada beberapa tempat batas antara materi putih dan abu- abu tidak
jelas.Otak kecil warna abu- abu, terdapat pelebaran pembuluh darah pada
pengirisan yang berwarna putih dan abu- abu.Batang otak terdapat pelebaran
pembuluh darah, pada pengirisan terdapat bintik- bintik perdarahan. Bilik otak
berisi caian otak bening, berat otak seluruhnya 1600 gram.
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kematian Dalam Tahanan (Death On Custody)
Kematian (Death) merupakan terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem
pernapasan yang menetap atau Irreversible (Budiyanto A, 1997). Sedangkan
International Committee of the Red Cross (ICRC, 2013) menambahkan kematian
disebut alami (natural death) apabila kematian disebabkan oleh penyakit dan atau
proses penuaan. Kemudian kematian disebut tidak alami (unnatural death) apabila
disebabkan oleh penyebab- penyebab eksternal seperti perlukaan yang disengaja,
kelalaian, atau kecelakaan.
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan Custody sebagai tahanan.
Akan tetapi istilah ini perlu diperjelas lagi karena menurut Kitab Undang- Undang
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat perbedaan antara tahanan dan
narapidana. Tahanan adalah seseorang yang berada dalam penahanan.
Berdasarkan KUHAP Pasal 1 angka 21 UU no.8 tahun 1981 penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya. Tahanan yang masih dalam
proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung ditempatkan di dalam Rumah Tahanan (KUHAP
Pasal 19 PP no.27 tahun 1983). Sedangkan definisi narapidana berdasarkan Pasal
1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana sendiri diartikan sebagai seseorang yang di
pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 1 angka 6 UU 12/1995).
Jadi kematian dalam tahanan (death on custody) dapat didefinisikan
sebagai kematian seorang tahanan ataupun narapidana disuatu tempat tertentu
yang terjadi baik secara alami maupun tidak alami. Lebih spesifik lagi Royal
7
Cominision Into Aboriginal Deaths in Custody (RCIADIC) mengklasifikasikan
mati dalam penjara sebagai berikut (Leyneham, 2008):
a. Death in prison custody
Adalah kematian yang terjadi di penjara atau fasilitas tahanan lainnya,
termasuk kematian yang terjadi selama pemindahan/ transfer ke/ dan
penjara/ fasilitas tahanan lainnya, atau di fasilitas kesehatan mengikuti
pemindahan dari penjara.
b. Death in police custody
Dibagi menjadi dua kategori utama, antara lain:
a. Kategori 1
1) Kategori 1a: Kematian dalam institutional setting (misalnya
kantor polisi, mobil polisi, rumah sakit selama pemindahan dan
atau ke institusi/ mengikuti pemindahan dan institusi).
2) Kategori lb: Kematian lainnya dalam operasi polisi dimana
petugas mempunyai kontak erat, termasuk kematian yang
berhubungan dengan pengejaran dan penembakan oleh polisi.
Tidak termasuk pengepungan dengan parameter yang telah
ditetapkan tetapi petugas tidak memiliki kontak dekat dengan
orang yang dapat mengontrol tindakan seseorang.
b. Kategori 2: Kematian lain selama operasi polisi termasuk
pengepungan dan kasus dimana petugas berusaha menahan
seseorang.
Dalam laporan kasus ini dapat diketahui bahwa almarhum yang berstatus
sebagai narapidana kasus narkoba, ditemukan meninggal secara tidak wajar
dengan posisi tergantung di belakang sel blok H Lapas Kerobokan. Berdasarkan
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kasus ini merupakan kasus death in
prison custody karena almarhum meninggal pada saat sedang menjalani hukuman
kurungan di penjara.
3.2 Penyelidikan Kematian Dalam Tahanan
Kematian dalam tahanan bukanlah merupakan suatu kasus yang langka.
Kematian dalam tahanan dapat disebabkan oleh penyebab alami, namun tidak
8
jarang juga kematian dalam tahanan merupakan bentuk dari sebuah pembunuhan
diluar hukum, atau buruknya perlakuan yang diberikan kepada tahanan. Hal ini
jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu penyelidikan kematian
dalam tahanan perlu dilakukan tidak hanya demi kepentingan almarhum namun
juga kepentingan keluarga almarhum, pihak yang berwenang dan kepentingan
sosial secara keseluruhan.
Indonesia belum mempunyai pedoman baku mengenai penyelidikan
kematian dalam tahanan. Hal ini seringkali menyebabkan penyidik kesulitan
dalam melakukan penyidikan yang sesuai dengan standar. ICRC (2013)
mengemukakan delapan poin penting sebagai panduan dalam memanagemen
kematian dalam tahanan. Poin- poin tersebut adalah:
1. Semua kasus kematian dalam tahanan harus diselidiki sedini mungkin oleh
pihak independen yang terpisah sekalipun keluarga atau wali dari korban
tidak meminta dilakukannya penyelidikan lebih lanjut.
2. Tujuan utama dari penyelidikan adalah:
Memperjelas keadaan- keadaaan yang berhubungan dengan
kematian seperti penyebab kematian, cara kematian, lokasi dan
waktu kematian juga semua pihak yang bersangkutan dengan
almarhum. Hal ini pada akhirnya dapat membedakan antara
kematian wajar atau tidak wajar.
Penyelidikan ini juga berfungsi untuk:
Mengurangi trauma dan menyediakan pengobatan yang efektif
untuk keluarga yang bersangkutan. Kejelasan kematian almarhum
dapat meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan.
Apabila didapati negara yang bertanggung jawab atas
meninggalnya almarhum maka pihak keluarga almarhum dapat
mengajukan tuntutan guna mendapatkan kompensasi ganti rugi
sebagai bentuk pertanggung jawaban negara.
Mengadili dan menghukum orang yang bertanggung jawab.
Apabila kasus kematian dalam tahanan diduga kuat sebagai tindak
pidana maka penyelidikan guna menemukan pelaku sangat penting
untuk dapat diadili kemudian.
9
Mencegah berulangnya kasus kematian dalam tahanan.
3. Penyelidikan harus dilakukan dengan cermat dan menyeluruh. Beberapa
hal yang harus diketahui adalah seperti:
Mendapatkan dan menjaga temuan- temuan fisik maupun
dokumen- dokumen yang berhubungan dengan almarhum.
Mengetahui ada atau tidaknya saksi dan kemudian
mendokumentasikan keterangan yang diberikan.
Mengetahui latar belakang almarhum yang bersangkutan.
Menentukan orang- orang yang bersangkutan dengan almarhum.
Menentukan penyebab, cara, tempat, waktu kematian, dan juga
pola yang mungkin menyebabkan hal tersebut.
Membedakan antara kematian alami dengan kecelakaan, tindakan
bunuh diri atau pembunuhan.
4. Tempat ditemukannya jenazah harus diduga sebagai tempat kejadian
perkara, khususnya pada kematian yang tidak dapat diduga. Apabila
memungkinkan olah tempat kejadian perkara juga diikuti oleh ahli
kedokteran forensik.
5. Pemeriksaan dalam (autopsy) secara cermat oleh ahli kedokteran forensik
harus dilakukan khususnya pada kematian yang tidak dapat diduga.
6. Kerabat terdekat almarhum harus segera diinformasikan mengenai
kematian keluarganya dan diminta untuk bersabar dalam segala proses
penyelidikan yang berlangsung.
7. Sertifikat kematian yang lengkap dan sah harus segera diberikan kepada
kerabat terdekat setelah penyelidikan selesai menggantikan sertifikaat
kematian sementara.
8. Apabila pemeriksaan post-mortem yang dilakukan selama penyelidikan
telah selesai maka jenazah harus segera dikembalikan kepada kerabat
almarhum dengan menjunjung tinggi hormat dan martabat almarhum.
Dalam Laporan Kasus ini jenazah ditemukan pada pukul satu siang dan
kemudian pemeriksaan jenazah oleh ahli kedokteran forensik dilakukan pada sore
harinya sekitar pukul lima sore. Sedangkan otopsi dilakukan keesokan harinya
10
pada pukul dua belas. Dari hal ini dapat dilihat bahwa penyelidikan segera
dilakukan setelah ditemukannya jenazah. Akan tetapi dalam kasus ini ahli
kedokteran forensik tidak ikut serta dalam olah tempat kejadian perkara. Dalam
suatu penyelidikan, tempat kejadian perkara dapat memberikan petunjuk bagi
penyidik untuk memperkirakan suatu perkara yang terjadi. Akan tetapi disamping
TKP, tubuh atau jenasah korban sendirilah yang dapat memberi petunjuk utama
dalam membuat terang suatu perkara. Disinilah peran utama dokter forensik, jadi
sekalipun ahli kedokteran forensik tidak ikut dalam olah TKP bukan berarti
dokter forensik kehilangan fungsinya dalam suatu penyelidikan.
11
Gambar 1. Skema penyelidikan suatu tindak pidana
3.3 Hak- Hak Tahanan
Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang
berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin
martabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan
proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional
maupun internasional. Pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas
terpenuhinya hak-hak baik tahanan maupun narapidana harus mematuhi hukum
yang berlaku karena perlindungan hukum merupakan salah satu hak asasi manusia
yang harus dijunjung oleh semua pihak. (Pramesti, 2013)
Terdapat perbedaan landasan hukum yang menjelaskan mengenai
kewajiban dan hak seorang tahanan dengan narapidana. Namun secara garis besar
tahanan dan narapidana memiliki hak yang serupa dalam hubungannya dengan
hak untuk menerima dukungan kesehatan, makanan, pakaian dan kunjungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga
Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang.
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.
12
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”) sebagaimana
yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 (“PP
28/2006”), dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 (“PP 99/2012”). Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) PP 32/2009, setiap
narapidana berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah
kalori yang memenuhi syarat kesehatan. Dari segi pelayanan kesehatan,
berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP 32/2009, setiap narapidana berhak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, yang mana pada setiap Lapas
disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya
seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya.
Hak orang yang ditahan dan bagaimana seharusnya polisi memperlakukan
tersangka terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkapolri 8/2009”). Pasal 10 huruf f Perkapolri 8/2009 berbunyi:
“Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota
Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) menjamin
perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam
tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk
memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan.”
Selain itu, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf b dan c Perkapolri
8/2009, setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau
terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan dan pelecehan atau
kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam
kejahatan. Perlindungan hukum bagi tahanan juga ditegaskan pada Pasal 22 ayat
(3) Perkapolri 8/2009 yang mengatakan bahwa tahanan yang pada dasarnya telah
dirampas kemerdekaannya harus tetap diperlakukan sebagai orang yang tidak
bersalah bersalah sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
13
Ditambah lagi berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pengurusan Tahanan pada Rumah Tahanan Polri (“Perkapolri 4/2005”), setiap
tahanan pada prinsipnya berhak mendapat perawatan berupa: dukungan kesehatan,
makanan, pakaian, dan kunjungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan
dalam bentuk dukungan kesehatan dijelaskan dalam Pasal 7 Perkapolri 4/2005.
Salah satu yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah kewajiban petugas jaga
tahanan untuk meneliti kesehatan tahanan pada waktu sebelum, selama dan pada
saat akan dikeluarkan dari Rutan dengan bantuan dokter atau petugas kesehatan.
Dalam keadaan darurat atau tahanan sakit keras, seorang dokter atau petugas
kesehatan pun dapat didatangkan ke Rutan yang berada dan/atau ke rumah sakit
dengan dikawal oleh petugas kawal sesuai dengan prosedur.
3.4 Penyebab Kematian Tahanan
Penyebab kematian tahanan dapat berupa penyebab alami, bunuh diri,
kecelakaan, pembunuhan, gantung atau jerat, senjata api, luka akibat ledakan atau
kendaraan, overdosis obat, senjata tajam, senjata tumpul (Knight, 1996) Kematian
dalam tahanan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi jika (Callamard,
2000):
a. Merupakan eksekusi langsung tanpa diadili (extrajudicial execution).
b. Kematian akibat penyiksaan.
c. Kematian akibat kondisi penjara yang buruk dan pengabaian akan
kondisi kesehatan narapidana.
d. Kematian akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan
Sebaliknya kematian dalam tahanan tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap
hak asasi jika disebabkan penyebab kematian alami atau penyakit berat atau
Tahanan terbunuh akibat usaha petugas tahanan untuk melindungi diri terhadap
ancaman dari tahanan tersebut.
Beberapa penyebab kematian yang alami terkadang perlu dicurigai.
Penyebab alami, penyakit atau kecelakaan yang dapat menutupi fakta pelanggaran
hak asasi manusia. Banyak kematian “alami” di tahanan disebabkan karena
buruknya keadaan tahanan, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan, kurangnya
14
gizi yang memadai atau air bersih, dan tahanan yang terlaiu penuh. Beberapa
kondisi tersebut dapat dideskripsikan sebagai kekejaman, tidak
berperikemanusiaan atau perlakuan yang buruk.
Selain kematian alami, kematian akibat dari usaha pelarian juga perlu
dicurigai karena dapat menutupi fakta pelanggaran hak asasi manusia. Hal umum
bagi otoritas tahanan menyatakan bahwa tahanan meninggal ketika berupaya
untuk melarikan diri. Bukti forensik dan keterangan dari saksi mata dapat
digunakan untuk melawan klaim tersebut. Hal serupa juga dapat terjadi pada
tahanan yang di klaim meninggal akibat kecelakaan yang pada pemeriksaan
forensik ditemukan adanya bukti-bukti tindakan penyiksaan (Callamard, 2000).
Beberapa penyebab kematian tahanan yang sering ditemukan adalah
(Knight, 1996):
1. Asfiksia traumatik
Seringkali terjadi ketika petugas gagal dalam menguasai tahanan. Terjadi
akibat sejumlah petugas secara bersamaan melawan dan menduduki tahanan
secara brutal untuk memborgol tahanan. Ketika mereka berdiri, orang tersebut
tidak bernapas lagi dan meninggal tidak lama kemudian setelah dibawa ke rumah
sakit. Kematian akibat asfiksia traumatik disebabkan karena berat badan petugas
yang menyebabkan kompresi dada dan menghalangi gerak pernapasan.
2. Penguncian lengan dan memegang leher
Dilakukan poiisi untuk menahan seseorang adalah kematian yang sering
terjadi saat proses penangkapan penguncian lengan dilakukan di depan atau
bersamaan dengan kepala pelaku diselipkan di antara lengan polisi. Bahaya yang
terjadi adalah kompresi dan depan atau samping leher dan kematian dapat terjadi
baik karena reflek vagus atau karena iskemia serebri saat terjadi kompresi karotis,
atau asfiksia karena obstruksi jalan napas.
Menurut Reay dan Eisele, terdapat dua tipe dalam memegang leher – ‘bar
arm control’ dan ‘carotid sleeper’. ‘Bar arm control lebih berbahaya dilakukan
dengan cara lengan bawah ditarik melintang tepat di depan laring untuk menutup
jalan napas. ‘The carotid sleeper’ menggunakan dua sisi lengan untuk
memebentuk “V” yaitu lengan bawah dan lengan atas untuk mengkompresi
karotis sehingga terjadi iskeinia serebral. Kematian yang sering terjadi akibat
15
stimulasi vagal dari sinus karotikus selain itu perdarahan subaraknoid dapat terjadi
akibat kerusakan arteri vertebrobasilar karena traksi leher dan hiperekstensi.
3. Trauma tumpul
Dapat terjadi karena penggunaan kepalan tangan, siku, kaki, atau
penggunaan senjata. Cedera kepala dapat terjadi ketika tahanan membentur tanah
atau dinding. Pukulan keras pada wajah dapat menyebabkan perdarahan
nasofaring sehingga mengobstruksi jalan pernapasan, terutama pada tahanan
dalam pengaruh alcohol. Pukulan pada samping leher dapat menimbulkan refleks
cardiac arrest atau perdarahan subaraknoid akibat kerusakan pembuluh darah
vertebrobasiler. Pukulan pada perut juga dapat menimbulkan perdarahan
intraperitoneal yang terjadi karena robeknya mesentrium.
4. Kadar alkohol yang meningkat
Kadar alkohol diatas 350 mg per 100 ml darah dapat menyebabkan
peningkatan resiko koma dan depresi pusat pernapasan. Pada kadar alkohol darah
yang rendah masih dapat timbul resiko aspirasi muntah Oleh karena isi lambung.
Alkohol juga memberikan konstribusi pada kematian dalam penjara karena
kecelakaan, terutama yang menyebabkan cedera kepala karena terjatuh ke tanah
maupun dari tangga dimana orang yang mabuk akan mengalami ataksia dan
inkoordinasi. Terjatuh yang mengenai oksipitalis dan kerusakan otak contrecoup
pada frontal dan temporal pada otopsi merupakan bukti yang kuat telah terjadi
cedera deselerasi.
5. Bunuh diri
Bunuh diri di penjara adalah hal yang tidak biasa. Bunuh diri di penjara
biasanya dilakukan dengan cara gantung. Alasan tahanan untuk mengakhiri
hidupnya bisa karena mengalami kekerasan di penjara atau gangguan psikiatri.
Untuk meyakinkan benar tidaknya gantung, dapat dilakukan otopsi.
6. Kematian alami karena penyakit
Biasanya karena akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit diabetes, epilepsi,
dan asma potensial menyebabkan kematian mendadak atau tidak terduga. Untuk
memastikannya dapat dilihat dari riwayat medis dan otopsi.
Kasus kematian narapidana di dalam penjara selalu menjadi isu
pelanggaran HAM yang sensitif karena erat kaitannya dengan tingginya kasus
16
penyiksaan oleh sesama narapidana maupun oleh sipir penjara. Seperti uraian
diatas kematian narapidana juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi
jika kematian diakibatkan karena buruknya kondisi penjara, pengabaian akan
kondisi kesehatan narapidana seperti kurangnya akses pelayanan kesehatan,
kurangnya gizi dan air bersih yang memadai ditambah dengan kondisi penjara
yang terlalu penuh.
Penyelidikan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran
hak asasi manusia atas kematian korban. Hal ini penting untuk menentukan
langkah penyelidikan berikutnya. Apabila korban mati akibat dari pembunuhan
maka penyelidikan lebih lanjut akan berfokus untuk mencari pelaku pembunuhan,
namun apabila dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda- tanda penyiksaan
atau pembunuhan maka kematian korban bukanlah merupakan tindak pidana yang
memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Untuk itu peran ahli kedokteran forensik
dalam membuat sertifikat kematian yang sah sangat menentukan proses
penyelidikan berikutnya.
3.5 Penggantungan (Hanging)
Penggantungan (hanging) adalah suatu bentuk dari penjeratan yang
tekanan pada leher dipengaruhi oleh gravitasi dari berat badan korban. (Budiyanto
A, 1997)
3.5.1 Klasifikasi Penggantungan
Penggantungan seringkali di klasifikasikan menurut cara kematiannya,
posisi korban maupun letak jeratan. Berdasarkan cara kematian penggantungan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Gantung Diri (Suicidal Hanging)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian,
pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan
lain terutamanya pembunuhan.
b. Kecelakaan (Accidental Hanging)
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada
anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan
17
untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk
bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang tua.
Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada orang
dewasa yaitu ketika melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang
(Autoerotic Hanging).
c. Pembunuhan (Homicidal Hanging)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.
Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat,
alKohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian
penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur
sedemikian rupa hingga menyerupai kasus penggantungan bunuh diri.
Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan terjadi mulai dari masalah
sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial.
Sedangkan berdasarkan posisi korban penggantungan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Penggantungan lengkap (complete hanging)
Dikatakan penggantungan lengkap apabila tubuh korban tergantung di atas
lantai, kedua kaki tidak menyentuh lantai.
b. Penggantungan parsial (Partial Hanging)
Yaitu apabila sebagian dari tubuh masih menyentuh lantai. Sisa berat
badan 10 - 15 kg pada orang dewasa sudah dapat menyebabkan tersumbat
saluran nafas dan hanya diperlukan sisa berat badan 5 kg untuk
menyumbat arteri karotis. Partial hanging ini hampir selamanya karena
bunuh diri.
Penggantungan juga diklasifikasikan berdasarkan letak jeratan, yaitu :
a. Typical hanging
Titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital dan tekanan pada arteri
karotis paling besar.
b. Atypica lhanging
18
Titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher sangat miring
(fleksi lateral), yang mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan
arteri vertebralis.
3.5.2 Patofisiologi Penggantungan
Pada gantung diri kematian korban dapat disebabkan oleh asfiksia,
gangguan sirkulasi darah ke otak, vagal reflek, dan kerusakan medulla spinalis.
Pada Asfiksia Tekanan yang terus menerus pada leher selama minimal 15
– 30 detik cukup memberikan tanda – tanda kongesti / Asphixia ( Knight, 1996 ).
Pada kasus asfiksia secara umumnya pada otopsi ditemukan hal – hal seperti
perdarahan petechial, kongesti, dan sianosis. Perdarahan petechial terjadi akibat
peningkatan tekanan intrakapiler dan kenaikan permeabilitas kapiler yang
disebabkan oleh anoxia. Perdarahan dapat dilihat pada kulit, konjungtiva,
epiglotis, regio subglotis, permukaan pleura dan pericard erta permukaan organ
dalam, tetapi yang paling menonjol terlihat pada konjungtiva palpebra, kulit dahi,
dan kulit di bawah tanda jerat yang tampak sebagai bintik – bintik merah yang
menyebar. Pada orang kulit gelap untuk dapat melihatnya diperlukan bantuan kaca
pembesar. Kongesti tampak jelas pada pembuluih darah mata, septum nasi dan
membran tympani. Pada muka terlihat ungu dan sedikit bengkak. Jika terjadi
kongesti yang kuat pada paru dapat terjadi perdarahan yang biasanya terjadi
bersamaan dengan dilatasi jantung kanan Cyanosis merupakan kelainan yangtidak
spesifik, meskipum umumnya ditemukan pada asphixia. Biasanya terlihat pada
bibir dan kuku extemitas atas ataupun bawah. Intensitas cyanosis ini dapat
berubah setelah kematian.
Kemudian pada leher terdapat a. Carotis communis yang bersama –sama
dengan v. Jugularis interna dan n. Vagus membentuk seberkas neurovaskuler,
berkas ini terletak di bawah m.Sternocleidomastoidius. A. Carotis communis
setinggi os. Hyoid bercabang menjadi a. Carotis interna dan a. Carotis externa. A.
Carotis interna bersam – sama a. Vertebralis menyuplai darah ke otak. Arteri
vertebralis berjalan ke atas ( di dalam foramen transversum ) dari vertebra
cervicalis 4 menuju vertebra cervicalis 1 ( atlas ) menembus membran atlanto
occipitalis. Kedua a. Vertebralis bersatu membentuk a. Basilaris. Pada kasus
19
gantung diri akibat berat badan korban dapat terjadi jeratan pada leher yang dapat
menyebabkan tekanan pada a. Vertebralis, dan jika tekanan yang terjadi sebesar
6,6 lb (2,97 kg), maka akan menyebakan penyumbatan arteri ini. Atau jika jeratan
tadi berada setinggi os. Hyoid maka dapat menyebabkan tekanan pada a. Carotis,
yang bila tekanan ini berlangsung selama 10 menit, maka akan menyebabkan
korban kehilangan kesadarannya dan pergerakan pernafasan terhambat..
Jika hal tersebut diatas terjadi, maka akan terjadi gangguan suplai darah ke
otak yang bila korban tidak tertolong dengan segera akan menyebabkan kematian
korban.
Vagal Refleks dapat menjadi penyebab kematian pada penggantungan
karena N. Vagus mempunyai empat serabut yaitu serabut somatosensorik, viscero
sensorik, somatomotorik, dan visceromotorik. N. Vagus keluar ke leher di
belakang arteri dan vena jugularis interna. Refleks vagus dapat terjadi karena
stimulasi neural carotid kompleks dan lebih sering terjadi pada manual
strangulasi, kecuali hangging (Knight, 1996).
Kerusakan batang otak dan medulla spinalis terjadi akibat dislokasi atau
fraktur vertebrae cervicalis. Sebagai contoh pada hukuman gantung (judicial
hanging) akibat tempat pijakan diambil maka korban akan mengalami traksi yang
menyebabkan terpisahnya vertebrae cervicalis 2 (VC2) dan vertebrae cervicalis 3
( VC3 ) atau vertebrae cervicalis 3 ( VC3) dan vertebrae cervicalis 4 ( VC4 ). Hal
ini juga dapat terjadi akibat dorongan simpul besar yang berada pada sisi leher,
sehingga medulla spinalis bagian atas akan tertarik / teregang ( FKUI,1997 ).
3.6 Pemeriksaan Jenazah
Pemeriksaan post-mortal pada kasus gantung diri atau penggantungan
dipengaruhi oleh mekanisme kematiannya; mekanisme kematian yang berbeda
akan memberikan gambaran post-mortal yang berbeda. Pemeriksaan korban
dimulai dari tempat kejadian perkara, pemeriksaan luar dan kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan dalam untuk memastikan apakah korban merupakan kasus
bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan.
Tanda-tanda antemortem sebelum kematian dan tanda-tanda postmortem
harus diketahui dan dapat dibedakan dengan jelas oleh seorang dokter forensik
20
agar penyebab kematian dapat detentukan dengan pasti. Perbedaan antara tanda-
tanda penggantungan antemortem dan postmortem adalah seperti pada tabel 1. di
bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan penggantungan antemortem dan postmortem
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
1 Tanda-tanda penggantungan ante-
mortem bervariasi. Tergantung
dari cara kematian korban
Tanda-tanda post-mortem
menunjukkan kematian yang bukan
disebabkan penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa
lingkaran terputus (non-
continuous) dan letaknya pada
leher bagian atas
Tanda jejas jeratan biasanya
berbentuk lingkaran utuh
(continuous), agak sirkuler dan
letaknya pada bagian leher tidak
begitu tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal,
terdapat pada sisi leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu,
diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah
satu sisi dari jejas penjeratan.
Lebam mayat tampak di atas jejas
jerat dan pada tungkai bawah
Ekimosis pada salah satu sisi jejas
penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
Lebam mayat terdapat pada bagian
tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas
penjeratan teraba seperti perabaan
kertas perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi
Tanda parchmentisasi tidak ada atau
tidak begitu jelas
6 Sianosis pada wajah, bibir,
telinga, dan lain-lain sangat jelas
terlihat terutama jika kematian
karena asfiksia
Sianosis pada bagian wajah, bibir,
telinga dan lain-lain tergantung dari
penyebab kematian
7 Wajah membengkak dan mata
mengalami kongesti dan agak
Tanda-tanda pada wajah dan mata
tidak terdapat, kecuali jika penyebab
21
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
menonjol, disertai dengan
gambaran pembuluh dara vena
yang jelas pada bagian kening dan
dahi
kematian adalah pencekikan
(strangulasi) atau sufokasi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama
sekali
Lidah tidak terjulur kecuali pada
kasus kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai
dengan keluarnya cairan sperma
sering terjadi pada korban pria.
Demikian juga sering ditemukan
keluarnya feses
Penis. Ereksi penis dan cairan
sperma tidak ada. Pengeluaran feses
juga tidak ada
10 Air liur. Ditemukan menetes dari
sudut mulut, dengan arah yang
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem
Air liur tidak ditemukan yang
menetes pad kasus selain kasus
penggantungan.
Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan yang jelas antara penggantungan
akibat bunuh diri dan pembunuhan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan penggantungan akibat bunuh diri dan pembunuhan
No Penggantungan pada bunuh
diri
Penggantungan pada pembunuhan
1 Usia. Gantung diri lebih sering
terjadi pada remaja dan orang
dewasa. Anak-anak di bawah usia
10 tahun atau orang dewasa di
atas usia 50 tahun jarang
melakukan gantung diri
Tidak mengenal batas usia, karena
tindakan pembunuhan dilakukan oleh
musuh atau lawan dari korban dan
tidak bergantung pada usia
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya
miring, berupa lingkaran terputus
Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran
tidak terputus, mendatar, dan
22
No Penggantungan pada bunuh
diri
Penggantungan pada pembunuhan
(non-continuous) dan terletak
pada bagian atas leher
letaknya di bagian tengah leher,
karena usaha pelaku pembunuhan
untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu
simpul yang letaknya pada bagian
samping leher
Simpul tali biasanya lebih dari satu
pada bagian depan leher dan simpul
tali tersebut terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban
mempunyai riwayat untuk
mencoba bunuh diri dengan cara
lain
Sebelumnya korban tidak
mempunyai riwayat untuk bunuh diri
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh
korban yang bisa menyebabkan
kematian mendadak tidak
ditemukan pada kasus bunuh diri
Cedera berupa luka-luka pada tubuh
korban biasanya mengarah kepada
pembunuhan
6 Racun. Ditemukannya racun
dalam lambung korban, misalnya
arsen, sublimat korosif dan lain-
lain tidak bertentangan dengan
kasus gantung diri. Rasa nyeri
yang disebabkan racun tersebut
mungkin mendorong korban
untuk melakukan gantung diri
Terdapatnya racun berupa asam
opium hidrosianat atau kalium
sianida tidak sesuai pada kasus
pembunuhan, karena untuk hal ini
perlu waktu dan kemauan dari
korban itu sendiri. Dengan demikian
maka kasus penggantungan tersebut
adalah karena bunuh diri
7 Tangan tidak dalam keadaan
terikat, karena sulit untuk gantung
diri dalam keadaan tangan terikat
Tangan yang dalam keadaan terikat
mengarahkan dugaan pada kasus
pembunuhan
8 Kemudahan. Pada kasus
bunuhdiri, mayat biasanya
ditemukan tergantung pada tempat
yang mudah dicapai oleh korban
atau di sekitarnya ditemukan alat
Pada kasus pembunuhan, mayat
ditemukan tergantung pada tempat
yang sulit dicapai oleh korban dan
alat yang digunakan untuk mencapai
tempat tersebut tidak ditemukan
23
No Penggantungan pada bunuh
diri
Penggantungan pada pembunuhan
yang digunakan untuk mencapai
tempat tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian
berlangsung di dalam kamar,
dimana pintu, jendela ditemukan
dalam keadaan tertutup dan
terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh
diri
Tempat kejadian. Bila sebaliknya
pada ruangan ditemukan terkunci
dari luar, maka penggantungan
adalah kasus pembunuhan
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak
ditemukan pada kasus gantung
diri
Tanda-tanda perlawanan hampir
selalu ada kecuali jika korban sedang
tidur, tidak sadar atau masih anak-
anak.
Kedokteran forensik tidak dapat memperkirakan cara kematian namun
memiliki peran yang penting dalam membuat terang suatu perkara khususnya
kasus dugaan pidana. Dalam kasus ini kedokteran forensik memiliki peran dalam
melakukan pemeriksaan luar untuk mengetahui ada atau tidaknya tanda- tanda
kekerasan, maupun otopsi untuk mengetahui penyebab kematian, perkiraan waktu
kematian (time of death) dan untuk menentukan apakah korban mati wajar atau
tidak wajar. Temuan yang didapatkan oleh kedokteran forensik akan menjadi
suatu barang bukti yang menentukan proses penyelidikan maupun proses
peradilan berikutnya.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan luar jenasah tidak menunjukan
tanda- tanda kekerasan, dan deskripsi luka pada leher jenasah khas pada kasus
gantung diri. Hasil otopsi yang dilakukan juga memperkuat bahwa jenasah bukan
merupakan korban pembunuhan. Dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik
dapat disimpulkan bahwa jenazah bukan merupakan korban pembunuhan. Hal ini
mengarahkan penyidik untuk menghentikan penyelidikan lebih lanjut mengetahui
24
bahwa kasus ini bukan merupakan kasus pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak narapidana.
25
BAB IV
KESIMPULAN
Kematian dalam tahanan (death on custody) dapat didefinisikan sebagai
kematian seorang tahanan ataupun narapidana disuatu tempat tertentu yang terjadi
baik secara alami maupun tidak alami.Kasus kematian narapidana di dalam
penjara selalu menjadi isu HAM yang sensitif karena erat kaitannya dengan
tingginya kasus penyiksaan oleh sesama narapidana maupun oleh sipir penjara.
Dalam kasus ini kedokteran forensik memiliki peran dalam melakukan
pemeriksaan luar untuk mengetahui ada atau tidaknya tanda- tanda kekerasan,
maupun otopsi untuk mengetahui penyebab kematian, perkiraan waktu kematian
(time of death) dan untuk menentukan apakah korban mati wajar atau tidak wajar.
Temuan yang didapatkan oleh kedokteran forensik akan menjadi suatu barang
bukti yang menentukan proses penyelidikan maupun proses peradilan berikutnya.
Dalam kasus ini jenazah diperlakukan sesuai hukum yang berlaku dilihat dari
adanya pihak yang berwenang yang mengantar jenazah ke RSUP Sanglah.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan luar jenasah tidak menunjukan
tanda- tanda kekerasan, dan deskripsi luka pada leher jenasah khas pada kasus
gantung diri. Hasil otopsi yang dilakukan juga memperkuat bahwa jenasah bukan
merupakan korban pembunuhan. Dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik
dapat disimpulkan bahwa jenazah bukan merupakan korban pembunuhan. Hal ini
mengarahkan penyidik untuk menghentikan penyelidikan lebih lanjut mengetahui
bahwa kasus ini bukan merupakan kasus pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak narapidana.
26
Top Related