Makalah
Globalisasi Politik
Untuk memenuhi tugas ujian tengah semester
Mata kuliah Sosiologi Politik
Oleh:
Kukuh Napaki Muttaqin
NIM:125120501111005
Pogram Studi Ilmu Poltik
Kelas B.POL.2
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2013
i
Kata Pengantar
Assalammu’alaikum, Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rizki, hidayah serta
inayahnya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan alam baginda
Muhammad SAW yang safa’atnya kita nantikan di akhir zaman.
Alhamdulillah, pembuatan paper tugas ujian tengah semester untuk mata kuliah
Sosiologi Politik ini selesai sudah. Saya mengucapkan banyak ucapan terima kasih terhadap
Bapak Dosen Pengampu selaku pembimbing dalam proses pembuatan paper ini. Juga kepada
teman dan sahabat – sahabat dekat saya yang telah memberikan kritik serta sarannya.
Semoga paper ini bermanfaat kedepannya dan bisa menjadi rujukan penelitian yang
selanjutnya.
Wassalammu’alaikum, Wr. Wb
Malang, 8 April 2013
Penyusun
ii
Daftar Isi
Kata pengantar………………………………………………………………………………… i
Daftar isi…………………………………………………………………………...…………. ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………..……………...…………… 1
1.1 Latar belakang masalah........................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah……………………………………………...…………………. 1
BAB II PEMBAHASAN....…………………………………………………………………... 2
2.1 Pengertian Globalisasi dan Politik………………………...…………………...… 2
2.2 Pengertian Globalisasi Politik……………………………………………….…… 3
2.3 Proses Globalisasi………………………………………………………………… 3
2.4 Kedudukan Globalisasi Politik Saat Ini………………………………………...… 4
2.5 Globalisasi Politik Pada Negara Dunia Ketiga…………………………………… 6
2.6 Globalisasi dan Politik Identitas………………………………………………….. 9
2.7 Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Indonesia…………….………………… 10
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….…… 12
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….... 12
Daftar pustaka…...................................................................................................................... 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Globalisasi bidang politik membawa pengaruh besar terhadap kehidupan politik di
dumia, termasuk Indonesia. Dengan adanya globalisasi, perkembangan politik telah merujuk
pada system konglomerasi antara negara-negara maju, Negara berkembang dan Negara-
negara terbelakang. Di Indonesia, perkembangan politik ditandai dengan semakin besarnya
tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk mewujudkan keterbukaan, kebebasan dan
demokrasi. Gobalisasi mendorong terwujudnya pemerintahan yang demokratis, terbuka,
bersih, dan berwibawa.
Selanjutnya rakyat dapat merasa semakin memiliki kebebasan untuk menyampaikan
semua aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah. Selain itu, dengan berlangsungnya era
globalisasi, perhatian pemerintah terhadap penegakan HAM semakin meningkat, hal ini
dikarenakan isu HAM merupakan isu penting yang menjadi sorotan di dunia internasional.
Tenaga kerja dibawah umur, kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan merupakan contoh
permasalahan yang seharusnya mendapatkan ruang agar segera diperhatikan oleh pemerintah
dan mendapatkan cara untuk mengatasinya meskipun dalam praktiknya hal tersebut belum
dapat dituntaskan malahan pemerintah seperti tidak peduli dan lebih mementingkan masalah
mereka sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas penulis ingin merumuskan:
1. Apa pengertian globalisasi dan globalisasi politik ?
2. Bagaimana proses globalisasi?
3. Dimana kedudukan Globalisasi Politik?
4. Apa dampak negatif dan positif yang ditimbulkan dari gobalisasi politik?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Globalisasi dan Politik
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working
definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan
kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat. Dan Globalisasi juga merupakan suatu proses yang
mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya
batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga
terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam
bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak
mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Pengertian politik sendiri adalah, politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis”yang
artinya Negara kota.Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan
dalam Negara/kehidupan Negara. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata
cara pemerintahan ,dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik
pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya
menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikattentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3
2.2 Pengertian Globalisasi Politik
Globalisasi politik adalah proses masuknya suatu pola atau nilai-nilai yang diterima
secara menyeluruh Karen amembawa pembaharuan dan menguntungkan di bidang politik,
seperti kerja sama-kerja sama politik antar Negara dengan membentuk suatu organisasi
internasional multilateral. Globalisasi politik disebut juga global governance.
2.3 Proses Globalisasi
Dimulai ketika Vasco da Gama dan Christopher Columbus dari Eropa 500 tahun lalu
untuk berdagang, namun hal ini menjadi awal munculnya kehndak menguasai wilayah bangsa
lain untuk menghisap kekayaan bangsa lain ( kolonialisme), maka saat itulah sudah mulai
tertanam benih-benih yang namanya Globalisasi. Oleh karena itu globalisasi merupakan
kelanjutan darai kolonialisme. Era kolonialisme merupakan juga era perkembangan paham
kapitalisme di Eropa. Paham kapitalisme dikembangkan oleh Adam Smith, kapitalisme
adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan
jasa.
Proses berikutnya dilanjutkan dengan era pembangunan, yang ditandai dengan
penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang berpusat pada negara sendiri.
Ketika era pembanguna mengalami krisis maka dunia masuk pada era baru yaitu globalisasi.
Pada era globalisasi ini negara-negara didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan
ekonomi global. Aktor utamanya bukan lagi negara sebagai mana di era
pembangunan,melainkan perusahaan-perusahaan transnasional (Trannational Corporations,
TNCs) dan bank-bank transnasional (Transnational Banks, TNBs), Bank Dunia dan IMF
(International Monetary Fund) atau dana moneter internasional, WTO, APEC (Asia Fasific
Economic Cooperation), dll. Semua proses globalisasi digerakkan oleh idiologi
neoliberalisme.
Globalisasi bisa dalam berbagai hal, seperti dibidang Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada
di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga
masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-
aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek
4
kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat
dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah
satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem
dari kebudayaan.
2.4 Kedudukan Globalisasi Politik Saat Ini
Pembicaraan mengenai globalisasi adalah pembicaraan mengenai topik yang amat
luas yang meliputi aspek mendasar kehidupan manusia dari budaya, politik, ekonomi dan
sosial. Konsep globalisasi adalah suatu obyek yang nyata untuk ideologi karena seperti
modernisasi yang muncul sebagai pembenaran dari penyebaran kebudayaan barat dan
kapitalis. Ide-ide globalisasi akhirnya mengerucut kepada konsep pembangunan.
Dengan bahasa lain dikatakan bahwa globalisasi adalah konsekuensi dari ekspansi
penyebaran kebudayaan eropa yang dipaksakan kepada dunia ketiga. Kedaulatan negara
merupakan ide dari proses transformasi bentuk negara di dunia. Ide ini dimulai dari tingkatan
non politik, hubungan antar masyarakat sampai kebutuhan untuk mengeksiskan sumberdaya
di sebuah negara dan kemungkinan pergantian konsep pemerintahan. Peningkatan hubungan
ekonomi dan kebudayaan antar negara mengurangi kekuasaan dan keaktifan pemerintah pada
tingkat negara-bangsa dan pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak dapat lagi
menghegemoni pemikiran dan bentuk-bentuk perekonomian pada wilayahnya. Akhirnya
instrumen-instrumen yang telah dibangun pemerintah menjadi tidak efektif. Kekuatan
demokrasi (yang dipahami sebagai kekuatan massa) memakai media partai sebagai corong
pembelaan ideologinya. Partai sendiri mencoba untuk mengatur kesejahteraan anggota
partainya masing-masing. Untuk itu perlu stabilitas politik yang mantap. Konsep stabilitas
politik yang mantap, bukan hanya trade mark penganut Rostowian, fenomena negara-negara
komunis pun menunjukkan hal yang serupa.
Sebagai langkah taktis maka negara telah membuat beberapa kerangka
kebijakan.Kebijakan tersebut dijabarkan oleh Waters (1995) menjadi pertama pembangunan
kapasitas negara itu sendiri, sehingga pemberdayaan swasta menjadi sektor yang penting. Di
titik ini negara hanya berperan untuk mancerdaskan masyarakatnya dengan melakukan
pendidikan politik. Kedua tempat atau kekuasaan negara menjadi tersembunyi dibalik
kekuasaan para birokrat. Ketiga intervensi dari negara cenderung merusak kestabilan dan
5
mekanisme pasar. Keempat negara tidak mampu lagi memberikan kemanan seperti terorisme,
sindikat obat-obatan, AIDS dan lingkungan.
Dengan persekutuan internasional, negara menjadi lebih berbahaya dari keamanan.
Hal ini membagi dunia kepada permusuhan dimana komitmen pengadaan teknologi militer
mempunyai satu tujuan. Globalisasi politik ini menjadikan negara mengalami disetisasi atau
pelemahan negara. Kelompok pendukung negara mulai melokal. Komunitas perdagangan
menjadi mengecil dan digantikan oleh kepentingan lokal dan menjadi inisiatif warga negara.
Akibat globalisasi, ada beberapa masalah yang dulu dianggap lokal menjadi masalah
global. Isu masalah ini sangat sensitif dan krusial, sehingga sering kali mengundang
intervensi dari suatu negara ke negara lain. Padahal setiap negara mempunyai hak yang
absolut untuk menentukan otonomi dari suatu negara.
Masalah hak-hak manusia (atau disebut dengan etatocentric) akan membawa dan
mengangkat kemampuan manusia untuk melawan kedaulatan negara. Pelembagaan
etatosentrik dari legal secara politik sampai kepada ekonomi telah memberikan kesempatan
kepada porsi nilai-nilai kemanusiaan dalam pembangunan. Dalam posisi ini negara harus
tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya dalam
konvensi hak PBB. Implikasinya, sebuah negara harus bersikap demokratis dan siap untuk
merubah beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik
lebih cenderung mengambarkan keberpihakan politik negara maju kepada negara dunia
ketiga.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’
negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek
rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam
mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang)
luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk
demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini menjadikan negara
dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik negara masing-
masing.
Kebutuhan akan agenda dan masalah bersama di antara negara-negara di dunia
mengerucut kepada ide untuk membentuk organisasi internasional. Konsensus dari organisasi
internasional ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa negara tehadap permasalahan
6
yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan dengan perbedaan
budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu negara terhadap sikap sosial, politik, ekonomi,
budaya sampai pertahanan dan kemanan.
Komunitas professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi
traktat atau konvensi yang diberikan oleh PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih
mudah untuk digunakan dari pada kemampuan kekuatan diplomatik antara negara.
Fenomena cukup menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada
model hubungan internasional, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis,
sosialis maupun dunia ketiga) dapat bersatu. Perang dingin telah menjadi sejarah, dan
kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan bersama. Pertama
pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya kekuatan super power (pasca
Soviet). Kedua Kemenangan USA dalam perang dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di
Afghan) merupakan kombinasi antara negara adi daya militeristik dengan negara yang kuat
pendanaan. Ketiga kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi model
hubungan internasional
Analisis budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai
dan budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang
dalam memahami hubungan antar negara. Implikasinya setiap negara kembali menguatkan
tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.1
2.5 Globalisasi Politik Pada Negara Dunia Ketiga
Dalam kasus beberapa negara, terlihat bahwa globalisasi mau tidak mau akan
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap negara-negara di dunia ketiga.
Masalah pembangunan adalah isu sentral dalam globalisasi. Perdebatan tentang globalisasi
ini dapat dilihat dalam Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai konsep keluarga.
Dalam konteks budaya Giddens, mencontohkan pergeseran tradisi karena
modernisasi. Tradisi adalah hasil dari proses penciptaan manusia dimana faktor kekuasan
sangat memegang peran terhadap perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan
pemuka agama menciptakan tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun
legitimasi bagi kekuasaannya. Realitas dunia melahirkan beberapa kombinasi antara tradisi
1 Sujianto, Muhlisin. (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan. Jakarta. Ganeca Exact
7
dengan ilmu pengetahuan. Banyak kasus seperti di India pada tahun 1995. Pada saat itu
dibangun opini bahwa para dewa juga meminum susu implikasinya adalah pada hari itu dan
hari kemudian terjadi sebuah fenomena dimana banyak orang yang mempersembahkan susu
dihadapan patung atau gambar dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama
menjadikan ketika fenomena pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.2
Dalam kebijakan dan teori ekonomi pembangunan, dapat dilihat implikasi teori
pembangunan terhadap negara dunia ketiga atau negara-negara selatan.Implikasi kebijakan
pembangunan ini dapat dipetakan secara lebih mikro untuk ukuran benua. Negara-negara di
Amerika Latin termasuk negara-negara yang memiliki hutang besar pada bank-bank
internasional, kondisi ini disebabkan kebijakan penguasa yang tidak menghasilkan
peningkatan kapasitas produktif. Negara-negara Amerika Latin lebih cenderung untuk
berhadapan dengan kondisi internalnya sendiri, seperti masalah demokratisasi yang
berhadapan dengan diktator militer. Setelah kediktatoran hancur, dilema baru datang yaitu
kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan kebijakan politik. Sehingga negara-negara ini
membutuhkan “dokter” yang dapat menyembuhkan mereka, dokter itu adalah IMF.
Implikasi dari industrialisasi membuat negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan
devisa negara. Rostowian telah membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan.
Sehingga anggaran negara lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan militer.
Untuk itu banyak negara-negara di Afrika yang menggenjot industrialisasi dan mencoba
membangun ketahanan pangan. Revolusi hijau telah membuat keberhasilan semu dalam
peningkatan jumlah pangan. Keberhasilan dari industrialisasi dan modernisasi (plus
stabilisasi) membuat negara-negara Afrika ‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa. Namun,
kondisi ini ternyata menyempitkan jumlah petani dan eksplorasi tanah. Industrialisasi dan
modernisasi telah memakan korbannya kembali
Kasus di Asia banyak sekali permasalahan pangan dan hutang negara. Fenomena yang
paling mendasar selain kedua masalah di atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti
di Sri Lanka, Tibet, Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut. Paradigma
pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan dari ekonomi non
dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan penguasa pada salah satu etnis
menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus ini memicu disintegrasi sosial, sehingga
dibutuhkan kembali identifikasi etnis, jati diri bangsa dan teritorial. ASEAN komponen
2 Giddens, Anthony. 2001 (Edisi Terjemahan). Runaway World.. Jakarta : Gramedia.
8
organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara
mempunyai hubungan politik, geografis dan budaya. Masalah etnis dan hutang negara telah
menjadi maslaha bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah antara etnis dengan penguasa
negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Melayu dan India di Singapura,
Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam kawasan Indonesia. Penyikapan masalah hutang
negara juga sangat berbeda. IMF sangat bermain kuat di Indonesia dan Thailand, padahal
kesadaran arus bawah terhadap perilaku IMF yang merugikan negara ini sudah jelas. Rezim
Thailand yang baru sudah berani untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke
identitas nasional dan menolak secara halus IMF.
Globalisasi di bidang politik juga memberikan dampak terhadap perubahan
perpolitikan dunia, khususnya akhir akhir ini seperti diberitakan oleh para media
internasional yakni kasus demonstrasi yang menuntun pemerintah Tiongkok untuk
memberikan kemerdekaan kepada rakyat Tibet yang berujung pada sebuah demonstrasi
berdarah.
Implikasi dari adanya globalisasi politik yang dalam hal ini melibatkan negara Mao
Zedong yaitu munculnya tuntutan kebebasan demokrasi pada tahun 1989. Peristiwa berdarah
yang dikenal dengan “Peristiwa Tiananmen” tersebut berakhir dengan bentrokan dengan
aparat keamanan yang menewaskan ribuan mahasiswa dan pemuda.Pemberontakan ini sedikit
membawa angin demokratisasi sehingga membuat China saat ini dapat dikatakan sebagai
negara Super Power baru.
Di Filipina, rakyat melakukan gerakan sosial (people power) dan berhasil
menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Pada tahun 1991, politik
apartheid dihapuskan di Afrika Selatan. Perubahan yang sama juga terjadi di Eropa Timur,
rakyat melakukan demonstrasi menggulingkan rezim komunis yang berkuasa. Kasus serupa
juga terjadi di Indonesia, yaitu dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun
1998.
Sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat satu isu yang amat menarik
untuk dianalisa. Adanya demonstrasi beberapa masyarakat di wilayah Timur Tengah yang
mengundang perhatian masyarakat dunia dikarenakan gelombang demonstrasi ini menyambar
ke beberapa negara bukan hanya melibatkan satu negara saja. Bahkan akhir akhir ini timbul
istilah “Arab Spring“ yang mengacu kepada adanya gelombang demonstrasi beberapa negara
9
Timur Tengah yang menuntut diberlakukannya sistem pemerintahan yang demokrasi yang
memperhatikan hak hak kaum sipil. Dan yang lebih menarik lagi faktor pendorong secara
eksternal berseminya “Arab Spring“ adalah peran dari globalisasi dalam tekhnologi yang
makin hari semakin dikuasai orang banyak.
Demonstrasi besar besaran masyarakat Mesir tak lepas dari adanya peran globalisasi
tekhnologi sehingga berdampak pada globalisasi politik. Rakyat Mesir melakukan
demonstrasi menuntut ditegakkannya demonstrasi di negeri para Firaun karena telah
mengetahui berhasilnya aksi demonstrasi rakyat Tunisia yang menuntut dijatuhkannya rezim
Ben Ali. Karena peran media massa seperti internet dan televisi, rakyat Mesir bersatu untuk
melakukan aksi serupa dengan turun ke jalan jalan khususnya ke daerah Tahrir Square di
mana konsentrasi massa berkumpul untuk menuntun diturunkannya Husni Mubarak dari
jabatanya yang hampir genap 30 tahun. Berhasilnya aksi yang dilancarkan rakyat Mesir
mengundang simpati masyarakat dunia namun juga mengundang rasa kesadaran masyarakat
dunia bahwa globalisasi khususnya dalam bidang politik memudahkan ideologi demokrasi di
dunia ini. Akibat dari aksi rakyat Mesir , beberapa negara seperti Libya,Yaman, Bahrain dan
Suriah juga turut melakukan aksi serupa demi ditegakkannya demokrasi di wilayah Timur
Tengah.
2.6 Globalisasi dan Politik Identitas
Globalisasi telah memfasilitasi kemunculan dari ‘politik identitas’ yang sejak tahun
1960-an telah melemahkan posisi dari negara-bangsa sebagai struktur sosial utama di
masyarakat dan juga ikut meningkatkan munculnya beragam framework alternatif akan
struktur sosial. Pada prosesnya, bangunan dari identitas kolektif bergerak untuk menjadi
semakin multidimensi dan tidak pasti. Scholte melihat identitas kolektif menjadi ‘penanda’
bagi sejumlah gerakan sosial.3
Untuk menemukan kedekatan interaksi pada saat teknologi globalisasi telah membuka
ruang keterbatasan akan jarak, benda, tempat, gagasan yang nampaknya tidak mencapai
sasaran (Scholte 1996 : 55).
3 Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Adhe Nuansa Wibisono, Kajian
Terorisme FISIP UI (Jakarta : 2012)
10
Dalam perspektif ini, mobilisasi akan identitas kultural dilihat sebagai upaya untuk
mendekatkan seseorang secara personal dan kultural kepada komunitasnya. Mungkin saja
perspektif ini ada benarnya, gerakan indigenous people juga berupaya untuk melakukan
perlawanan terhadap relasi kekuasaan yang mengancam eksistensi keberadaan mereka,
dengan persenjataan yang tidak berimbang, baik melalui dominasi dan kekerasan seperti
genosida budaya (Maiguashca 1994).
Pada awalnya Globalisasi dinilai telah membantu munculnya ‘politik identitas’ yang
juga ikut menggeser peran dari kedaulatan negara sebagai struktur sosial utama di
masyarakat. Gerakan sosial kemudian muncul sebagai respon dari keterbukaan globalisasi
dan memungkinkan munculnya ragam framework alternatif akan struktur sosial di
masyarakat (Scholte : 1996). Tetapi kehadiran gerakan sosial ini bisa saja tidak hanya dilihat
dari bergersernya peran kedaulatan negara tetapi sebagai konsekuensi dari kebijakan negara.
Linklater (1998) mencoba menjelaskan akan adanya upaya negara untuk melakukan
pemisahan antar individu melalui batas-batas negara, warganegara domestik, warganegara
asing kemudian juga terjadi cara pandang terhadap kelompok minoritas yang dianggap
sebagai ‘internal other’, minoritas yang berbeda yang dimarjinalkan. Jika Scholte melihat
kondisi ini sebagai awal munculnya kelompok minoritas untuk memunculkan suatu ‘politik
identitas’ di dalam negara, maka Linklater bergerak lebih jauh dengan berbicara tentang
‘politik pengakuan’ yang menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan
kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat terkait
komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187)
2.7 Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Indonesia
Globalisasi politik telah masuk ke Indonesia. Kedaulatan negara hari ini menjadi
sebuah wacana yang tidak akan pernah habis diperbincangkan. Disintegrasi nasional di
beberapa tempat seperti Aceh, Poso, Ambon, lepasnya Timor Timur. Rekayasa politik global
(factor ekstern) yang dikombinasikan dengan ekonomi membuat pemerintah Indonesia
menjadi bulan-bulanan di dunia Internasional. Masalah HAM, AIDS, cyber crime (kejahatan
siber), pengelolaan negara yang serba KKN, ketidakberanian menghadapi IMF. Kejatuhan
pemerintahan Suharto pada tahun 1998 yang diikuti ketidakstabilan politik, menjadikan
Indonesia merosot dari segi GNP, kemampuan pemerintah untuk mengelola kecerdasan
bangsa dan yang paling fatal adalah krisis identitas dan jati diri bangsa.
Kebijakan otonomi daerah, agar daerah menjadi terberdayakan telah menjadi senjata
makan tuan. Keinginan beberapa daerah untuk memerdekakan diri dan meminta otonomi
seluas-luasnya dianggap mengganggu kedaulatan negara. Kematian Theys di Jayapura
11
menjadi indicator bahwa pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menjaga keselamatan diri
warga negara. Pembantaian massal di Ambon, Poso, Aceh menjadi sebuah ironi dari
keinginan negara yang hendak mewujudkan masyarakat madani dan supremasi hukum.
Proses penyelesaian masalah telah membuat kesadaran pemerintah dan warga negara
agar mampu memanfaatkan lobi di dunia internasional. Namun, sampai hari ini Indonesia
masih menjadi negara yang paling tidak stabil di kawasan ASEAN. Isu-isu lokal seperti
pengelolaan hutan, pengelolaan hutang luar negeri menjadikan Indonesia momok di dunia
Internasional baik di lingkungan LSM Internasional dan PBB.
Implikasi sangat teknis terjadi dalam sector kebijakan ekonomi dan perdagangan.
Indonesia yangmenjadi negara eksportir nomor dua terbesar untuk karet mentah, ternyata
tidak mampu untuk mengelola perdagangan karet mentah sampai barang jadi berupa ban
mobil. Terjadi diskriminasi oleh negara barat terhadap Indonesia. Indonesia sampai hari ini
tidak boleh mengimpor mesin pembuat bahan baku karet, sehingga untuk membuat ban
mobil, Indonesia harus mengekspor dulu ke Inggris kemudian mengimpor lagi ban mobil dari
Inggris.[18] Kebijakan untuk mendirikan pabrik pembuat bahan dasar seperti Texmaco dan
pengaplikasian ekonomi kerakyatan mendapat tentangan dari IMF. IMF bahkan mengancam
tidak akan memberikan bantuan hutang luar negeri, jika Indonesia masih memperbolehkan
Texmaco beroperasi dan mencoba menggulirkan ekonomi kerakyatan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Globalisasi politik ternyata hanya menguntungkan negara-negara pertama, atau
negara kapitalis. Kebijakan politik negara-negara dunia ketiga, ternyata harus memenuhi
standar dan kualifikasi dari negara-negara utara. Konsekuensinya, Indonesia sebagai negara
berkembang harus meningkatkan kualitas bernegara dan berhati-hati agar tidak menjadi
negara yang dimusuhi oleh dunia barat.
Keberanian Indonesia untuk menghadapi hegemoni barat hanyalah menjadi mimpi
sampai pada hari ini. Sehingga keinginan Indonesia untuk melakukan pemerataan dalam
pembangunan, menjadi tidak nyata. Pada gilirannya warga negara harus menghadapi nasib
yang sangat tragis. 2003, pada masanya globalisasi, Indonesia harus menjadi negara jajahan
baru kaum kapitalis dengan model penjajahan yang baru, penjajahan ekonomi dan penjajahan
politik.
13
Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. 2001 (Edisi Terjemahan). Runaway World.. Jakarta : Gramedia.
Nuansa Wibisono, Adhe. Kajian Terorisme FISIP UI (Jakarta : 2012)
Nur Fuad, Ahmad. Sekulerisasi Politik; Pengalaman Amerika Serikat dan Dunia Islam
Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009
Sujianto, Muhlisin. (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan. Jakarta. Ganeca Exact
Globalisasi, Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas,
id.wikipedia.com/globalisasi/?refid.php (didownload 3 April 2013)
Globalisasi dan Politik Identitas, opini.kompasiana.com/globalisasi-dan-politik-
identitas/?refid-php (didownload 7 April 2013)
Wacana Globalisasi Politik, politik.kompasiana.com/wacana-globaisasi-politik/?refid:
(didownload 7 April 2013)
Top Related