GAYA BAHASA PERBANDINGAN DALAM
KUMPULAN CERPEN MURJANGKUNG CINTA YANG
DUNGU DAN HANTU-HANTU KARYA AS LAKSANA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Ihda Auliaunnisa
NIM. 1110013000111
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
GAYA BAHASA PERBANDINGAN DALAM
KUMPULAN CERPEN MURTANGKUNG CINTA YANG
DUNGU DAN HANTU.HANTUKARYA AS LAKSANA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAIIASA DAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Dajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbi-vah dan Keguruan untuk Memenuhi S-varat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Ihda AuliaunnisaNrM. 1110013000111
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
F'AKULTAS ILMU TARBTYAII DAN KEGURUAN
I]NIYERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATUI]LAH
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul "Gaya Bahasa Perbandingan. dalam Kumpulan CerpenMurjangkung Cinta ysng Dungu dan Hantu-hantu Karya AS Laksana danImplikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA", disusunoleh Ihda Auliaunnisa, NIM 1110013000111, diajukan kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan telah dinyatakan LULUS dalam ujian munaqosah pada tanggal 9 Juni 2016 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelarSarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Jakarta, 9 Juni 2016
Tanda TanganP anitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia (Ketua JurusanlProdi)
Makyun Subuki. M. Hum.NIP.19800305 200901 1 01s
Sekretaris Jurusan
Dona Aii Karunia Putra. M.A.NIP. 19840409 20tt0t I 01s
Penguji 1
Ahmad Bahtiar. M. Hum.NrP. 197601182009L2 I 002
Penguji 2
Novi Diah Harvanti. M. Hum.NrP. 19841126 20ts03 2 007
Tanggal
13 1,*t; aaL
19 tw; Aorc
tO tr., Lr }.tL....(./.........
l3 )ul^ zotc
engetahui,
KEMENTE.RIAN AGAMA.@) Im{JAKARTA
'@i rTHT*"*,r, cisrat ri4t?rnexwro
FORM (FR)
No. Dolqmen : FITK-FR-AKD-089
Tgl.Terbit : lMaret2OlONo- Revisi: : 01
Hal vtSURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama 'Ihrlo Arrliq.rnnica
TempalTgl.Lahir : Bekasi, 24 Juli 1992
NIM :1110013000111
Jurusan / Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murj angkung C int a yang Dungt dan H antu-hantu Karya AS
Laksana dan Impilikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di SMA
Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya huat benar-benar hasil ktrytsendiri
dan saya bertanggungjawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
iswa Ybs.Jakarta, Mei 2016
i
ABSTRAK
Ihda Auliaunnisa. 1110013000111. Skripsi. “Gaya Bahasa Perbandingan dalam
Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS
Laksana dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing:
Rosida Erowati, M. Hum. 2016.
Kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS
Laksana ini menampilkan kekhasan gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam
memperkuat penyajian sebuah cerita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta
yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana, serta implikasi penggunaan gaya
bahasa perbandingan tersebut terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis isi,
sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan stilistika. Teknik penelitian
yang digunakan adalah teknik simak catat yakni membaca kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, kemudian mencatat hasil temuan
gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 168 data dari tiga jenis gaya bahasa
perbandingan yang paling dominan, antara lain gaya bahasa: 1) perumpamaan 81
kalimat, 2) metafora 43 kalimat, dan 3) personifikasi 44 kalimat. Gaya bahasa yang
terdapat dalam keseluruhan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu berfungsi memperkuat penyampaian struktur naratif. Gaya bahasa
perbandingan dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu karya AS Laksana dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia kelas X semester 1 dengan kompetensi dasar menganalisis
keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Cerita Pendek, Gaya Bahasa Perbandingan, Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu
ii
ABSTRACT
Ihda Auliaunnisa. 1110013000111. Thesis. “The Comparison of Language Style
in the Collection of Short Stories Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu Written by AS Laksana and Its Implication towards Language and
Literature Learning in the Senior High School”. Indonesian Language and
Literature Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati, M. Hum.
2016.
The collection of short stories Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu
written by AS Laksana shows a characteristic language style that is used by an author
to strengthen the address of story. This research aims to determine the using of
language style comparison in the short story collection Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu written by AS Laksana as well as the consequence of the
use of language style comparison towards the learning of language and literature in
the senior high school.
The method used in this study is a qualitative content analysis, while the approach
used is a stylistic approach. The research technique used is a look-through and note-
technique which means reading the short story collection Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu, then writing down the results of language style comparison
in the set of short stories.
Based on the results of research, it is found 168 data from three types of the most
dominant of the language style comparison, such as: 1) 81 sentences of parables, 2)
43 sentences of metaphor, and 3) 44 sentences of personification. The language style
contained in the whole short story of Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu worked to strengthen the address of narrative structure. Language style
comparison in the collection short stories of Murjangkung Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu written by of AS Laksana can be implemented into the language and
literature learning in the first-semester of the 10th
grade with the basic competence to
analyze the correlation of the intrinsic aspects of short stories and the daily activities.
Keywords: Short Story, Language Style Comparison, Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan
rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penyelesaian penelitian yang berjudul “Gaya Bahasa Perbandingan
dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu
Karya AS Laksana dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di
SMA, penulis banyak menerima bantuan, petunjuk, saran, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
3. Dona Aji Putra, M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
4. Rosida Erowati, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan banyak waktu, memberikan arahan dan motivasi, serta
membimbing penulis dengan sabar.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selama ini
membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.
6. H. Endang Supratmansyah dan Hj. Saodah Hamzein selaku orang tua,
kakak, adik, dan keponakan-keponakan yang lucu dan selalu dirindu,
serta keluarga besar H. Muhammad Zein yang selalu mendoakan setiap
saat untuk keberhasilan penulis, memberikan dorongan, baik moral
maupun materi, dan memotivasi penulis dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
iv
7. Kak Naila Mufidah, Nurfayerni, Rahma Dzul Prihatini yang telah
menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan banyak
memberi motivasi serta bantuannya kepada penulis. Naila Saadah,
Nurfitria Harnia, Anggraini Prastikasari, Lia Kholilah dan Bahtar
Piliang yang telah menjadi orang-orang terdekat bagi penulis selama
ini dan selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-teman PBSI angkatan 2010, Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Ciputat, kelompok Tari Saman Pojok Seni Tarbiyah, Persatuan
Mahasiswa Bekasi Jakarta Raya, keluarga besar HMJ PBSI, keluarga
besar SMP-SMK Madinatul ‘Ilmi, dan keluarga besar Teater el Na’ma
Indonesia yang telah banyak memberikan pengalaman luar biasa
kepada penulis.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih
atas partisipasinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih atas doa, semangat, bantuan, serta
bimbingannya kepada penulis. Semoga Allah swt membalas kebaikan
kalian. Penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun
terhadap skripsi ini. Penulis juga berharap karya tulis ini dapat
memberikan sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, Mei 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………….. i
ABSTRACT……………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR …………………………………………... iii
DAFTAR ISI……………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………... 1
B. Identifikasi Masalah………………………………………. 6
C. Pembatasan Masalah………………………………………. 6
D. Rumusan Masalah…………………………………………. 7
E. Tujuan Penelitian………………………………………….. 7
F. Manfaat Penelitian…………..…………………………….. 7
G. Metode Penelitian……………………………………......... 8
BAB II LANDASAN TEORI……………………………………. 12
A. Hakikat Stilistika………………………………………….. 12
1. Pengertian Stilistika………………………………....... 12
2. Pendekatan Stilistika………………………………….. 14
B. Hakikat Gaya Bahasa……………………………………... 16
1. Pengertian Gaya Bahasa……………………………… 16
2. Jenis-jenis Gaya Bahasa……………………………… 18
3. Gaya Bahasa Perbandingan…………………………… 19
C. Hakikat Cerpen……………………………………………. 21
1. Pengertian Cerpen…………………………………….. 21
vi
2. Ciri-ciri Cerpen……………………………………...... 23
3. Unsur Intrinsik Cerpen……………………………...... 25
D. Pembelajaran Sastra………………………………………. 30
E. Penelitian yang Relevan…………………………………... 31
BAB III PROFIL AS LAKSANA……………………………….. 35
A. Biografi AS Laksana………………………………………. 35
B. Karya AS Laksana………………………………………… 36
C. Pemikiran AS Laksana……………………………………. 43
BAB IV HASIL TEMUAN DAN
PEMBAHASAN…………………………………………………. 45
A. Struktur Naratif dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS
Laksana…………………………………………………… 45
B. Gaya Bahasa Perbandingan yang terdapat dalam Kumpulan
Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu
Karya AS Laksana………………….……………………… 118
C. Analisis Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya
AS Laksana………………………………………………… 197
D. Fungsi Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya
AS Laksana………………………………………………… 199
E. Implikasi………………………………………………........ 202
BAB V PENUTUP………………………………………………... 205
A. Simpulan…………………………………………………… 205
B. Saran………………………………………………………... 206
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… 207
LAMPIRAN………………………………………………………... 211
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gaya bahasa merupakan perangkat estetik utama dalam bercerita. Ia
mengemban tugasnya dalam memperkuat penyajian sebuah cerita.
Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra sebenarnya telah banyak
diteliti. Pendekatan stilistika yang menjadi payung dalam penelitian gaya
bahasa di antaranya telah dilakukan oleh Mujiyanto pada tahun 20071 dan
Handayani pada tahun 20102. Secara garis besar hasil penelitian tersebut
mengungkapkan penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya serta fungsi
dan makna yang terkait dengan gaya bahasa tersebut. Dalam penelitian
tersebut dinyatakan bahwa gaya bahasa sebagai sarana pengarang
menyampaikan gagasan dalam sebuah cerita. Ia juga berperan penting dalam
menciptakan fungsi puitik dan estetik dalam sebuah karya. Penelitian
mengenai gaya bahasa ini masih berpeluang untuk terus dilakukan seiring
terus berkembangnya karya sastra guna mengungkap fungsi puitik dan
estetik dalam sebuah karya serta mengetahui gaya khas dari pengarang itu
sendiri.
Gaya bahasa lahir dari ide atau gagasan pengarang yang kemudian
memberikan keindahan dalam sebuah tulisan. Tulisan tersebut kemudian
diolah oleh pengarang sehingga menghasilkan efek tertentu yang
menjadikan sebuah tulisan menjadi khas. Sebuah karya dengan gaya bahasa
yang variatif membuat sebuah cerita menjadi lebih kuat dan kaya makna.
Penggambaran objek yang konkret juga didapat dari pemilihan gaya bahasa
yang tepat. Hal itulah yang membuat gaya bahasa menjadi pokok penting
bagi sebuah karya dalam menghidupkan cerita serta menggambarkan
1 Yant Mujiyanto, “Pemanfaatan Gaya Bahasa dalam “Sesobek Buku Harian Indonesia”
Antologi Puisi Emha Ainun Najib (Studi Stilistika)”, Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
2007, tidak dipublikasikan. 2 Retno Dwi Handayani, “Stilistika Novel Sirah Karya Ay Suharyana”, Skripsi,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
2
peristiwa secara lebih imajinatif lagi, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut:
Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di
penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir
sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang
dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit
tembang pilu mirip lolong. (Kiriman Laut yang Terlambat — Beni
Setia)
Bayangkan saja wujudnya sebagai perpaduan antara sosok
mahasiswa teladan dan penari sirkus yang menakjubkan. Maksudku,
jika ia diam ia akan tampak seperti mahasiswa teladan, jika ia
bergoyang kau akan sepakat bahwa ia sesegar penari di sirkus-sirkus
oriental; ia mampu meliukkan pinggulnya dengan getar yang
meringkus nyali para istri setengah baya dan mengundang simpati
para suami setengah buaya. (Cerita Untuk Anak-Anakmu — AS
Laksana)
Kedua kutipan di atas berasal dari pengarang yang berbeda. Pada
kutipan pertama memperlihatkan kemampuan pengarang dalam memilih
gaya bahasa yang padat yang tidak hanya mampu membawa pembacanya
lebih imajinatif tetapi juga membuat penggambaran cerita menjadi lebih
kuat. Pilihan diksi yang menggabungkan majas personifikasi, klimaks, dan
metafor membuat suasana yang digambarkan kian terasa nyata. Pembaca
akan dibawa merasakan kesunyian malam pesisir pantai yang dingin diiringi
ratapan tangis dari kejauhan yang muncul di tengah malam yang kian pekat.
Pada kutipan kedua memperlihatkan gaya yang khas, lucu, menggelitik,
tampak mengejek, dan juga seperti tidak ada jarak antara pengarang dan
pembaca. Pilihan diksi sehari-hari, ditambah struktur kalimat yang
sederhana, terasa mengalir ketika membacanya. Dengan pemilihan gaya
bahasa yang tepat, penggambaran tokoh yang dipilih pengarang menjadi
lebih kuat.
Apabila dikaitkan dengan pembelajaran di sekolah, siswa dituntut
untuk bisa membaca sekaligus menganalisis sebuah karya sebagai bentuk
apresiasi karya sastra. Dalam mengkaji unsur intrinsik, misalnya,
pembelajaran gaya bahasa mampu memotivasi minat siswa untuk membaca,
3
sehingga lama kelamaan siswa juga memiliki ketertarikan untuk menulis.
Dalam hal ini, gaya bahasa berperan penting untuk meningkatkan
keterampilan berbahasa siswa dalam membaca dan menulis serta melatih
daya imajinasinya dalam menggambarkan peristiwa-peristiwa pada sebuah
cerita.
Salah satu sastrawan kontemporer yang dikenal dengan
kemahirannya meramu bahasa adalah AS Laksana. Ia piawai menceritakan
kisah-kisahnya sehingga terasa lucu sekaligus ironis. Dalam bercerita,
Laksana sering menggunakan teknik mendongeng, yang kemudian melekat
sebagai gaya tulisannya. Setidaknya dua hal yang menjadi ciri khas cerpen-
cerpen AS Laksana yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpennya yang
pertama, Bidadari yang Mengembara. Dua hal itu adalah (permainan)
intertekstualitas dan kuatnya parodi.3 Kekhasan lainnya dalam hal pemilihan
diksi sehari-sehari dan main-main, susunan kalimatnya yang sederhana
namun tetap terasa mengalir dan mengena menjadi keunikan pengarang.
Dalam khasanah sastra Indonesia, kemampuan Laksana dapat
dibandingkan dengan sastrawan angkatan sebelumnya, Hamsad Rangkuti.
Cerpen-cerpen Hamsad dikenal dengan kepadatan berceritanya. Dengan
imajinasinya yang liar, Hamsad seringkali menampilkan peristiwa sehari-
hari yang disulap menjadi cerita yang apik. Hal itu juga terasa dalam cerpen-
cerpen Laksana. Selain menampilkan imajinasi yang liar, gaya bercerita
kedua sastrawan berbeda angkatan ini terasa begitu mengalir. Pilihan diksi
sehari-hari yang digunakan mampu mengajak pembaca menikmati rangkaian
cerita yang dibangunnya. Kemampuan keduanya dalam menggabungkan
berbagai gaya bahasa seperti asosiasi, metafora, maupun perumpamaan
dalam sebuah cerita menjadikan karya-karya mereka berkesan. Akan tetapi,
yang membedakan keduanya adalah kekuatan interteks yang menjadi
kekhasan dalam karya-karya Laksana. Kekuatan interteks inilah yang
membuat pembaca menjadi begitu dekat dengan cerita-cerita yang
3 A. Zaim Rofiqi, “Cerita-Cerita yang Mengembara”, dalam Jurnal Kalam vol. 22,
(Jakarta: Yayasan Kalam, 2005), h. 197-205.
4
dihadirkan pengarang karena berbagai tradisi sastra yang ada dapat
dijumpai, seperti kisah nabi, mitos, sejarah, maupun dongeng yang
ditabrakkan dengan kondisi kekinian dan dengan cara parodi.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan sastrawan seangkatannya,
misalnya Agus Noor, Laksana memiliki keunikan tersendiri. Membaca karya
Agus Noor, kita seperti membaca realitas sosial dalam teks fiksi. Lain
halnya ketika membaca karya-karya Laksana yang banyak mengisahkan
peristiwa kehidupan sehari-hari hingga kehidupan dunia fantastis yang
mencengangkan. Realitas sosial memang menjadi garis jelas dalam karya-
karya Agus Noor. Dunia yang dibangun lewat bahasa yang digunakan
pengarang angkatan 2000 ini berhasil menciptakan suasana yang suram dan
memprihatinkan. Selain itu, sarkasme dan diksi kekerasan selalu muncul di
beberapa tema kekerasan yang diangkatnya. Pada beberapa cerpen yang lain,
Agus Noor juga banyak bermain dengan nada satir dan pertanyaan-
pertanyaan segar. Hal itu berbanding terbalik dengan karya-karya Laksana
yang jika dilihat hampir semua cerpennya bersentuhan dengan daerah abu-
abu antara mitos dan sejarah. Begitupula kekhasan bahasa yang ia
digunakan, terasa ringan dan mudah dicerna pembaca. Humor yang pekat,
menyengat, dan sinis merupakan unsur penting dari gaya bercerita Laksana.
Pilihan diksi sehari-hari yang digunakan pengarang juga mampu
memberikan makna yang berbeda dari bahasa sehari-hari sehingga pembaca
dapat mengungkapkan pesan dalam cerita dengan gaya yang variatif dan
lebih mengena. Dalam hal ini, Laksana tidak hanya mampu menceritakan
kisah dengan bahasa yang sederhana tetapi juga piawai mengolah itu semua
menjadi hiburan dan perenungan.
Murjangkung kembali memperagakan kepiawaian Laksana sebagai
pendongeng yang mahir meramu humor dan tragedi, memadukan sikap
serius dan main-main, mengocok nalar dan kegilaan, memadukan keajaiban
dan keremehan, mengacluk kenyataan dan khayalan, Walhasil, tergelarlah
5
sederet kisah yang tidak hanya amat menghibur, tapi juga memercikkan
bunga api pemikiran kritis. Renyah, tapi tetap mendalam.4
Berkaitan dengan pembahasan yang penulis ambil, fokus dari
penelitian ini adalah gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana dan
implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra di SMA. Secara
sederhana, penelitian ini berupaya mendeskripsikan penggunaan gaya
bahasa perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen yang diterbitkan
oleh GagasMedia pada awal 2013. Karya ini memuat 20 cerpen, antara lain;
(1) Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, (2)
Otobiografi Gloria, (3) Dongeng Cinta yang Dungu, (4) Perempuan dari
Masa Lalu, (5)Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya, (6)
Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri, (7)Teknik Mendapatkan Cinta
Sejati, (8) Dua Perempuan di Satu Rumah, (9) Bukan Ciuman Pertama, (10)
Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis, (11) Kisah Batu
Menangis, (12) Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa, (13) Lelaki
Beristri Batu, (14) Efek Sayap Kupu-Kupu, (15) Ibu Tiri Bergigi Emas, (16)
Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan, (17) Malam Saweran, (18) Cerita
Untuk Anak-Anakmu, (19) Kuda, dan (20) Peristiwa Kedua, Seperti Komidi
Putar.
Dalam penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan isi pesan atau
makna dari gaya bahasa yang terdapat dalam data kalimat dan hasil analisis
tersebut digunakan untuk menggambarkan struktur naratif cerita. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan stilistika serta teori gaya
bahasa dari Henry Guntur Tarigan yang difokuskan pada gaya bahasa
perbandingan yang paling dominan yaitu perumpamaan, metafora, dan
personifikasi serta fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut dalam
penyampaian struktur naratif cerita.
4 Arif Reza Prasetyo, “Laksana Menulis Sejarah Hantu”, dalam Majalah Tempo, edisi 5
Mei 2013, h. 90.
6
Melalui penelitian ini, pembelajaran yang dapat diterapkan di SMA
adalah pemahaman mengenai gaya bahasa sebagai salah satu unsur
pembangun dalam cerpen. Selain itu, siswa juga bisa mengaplikasikan
pemahamannya mengenai penggunaan gaya bahasa tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian
ini diberi judul “Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Gaya bahasa merupakan perangkat bercerita yang memiliki peranan
penting dalam sebuah karya.
2. Pembelajaran gaya bahasa berperan penting dalam meningkatkan
keterampilan berbahasa siswa.
3. Karya-karya AS Laksana memiliki gaya bahasa yang khas sehingga
perlu penelitian yang lebih mendalam.
4. Belum adanya penelitian sastra mengenai gaya bahasa yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu karya AS Laksana.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka untuk menghindari
pembahasan yang terlalu luas penulis akan memfokuskan pembahasan pada
penggunaan gaya bahasa berupa gaya bahasa perbandingan (gaya bahasa
perumpamaan, metafora, dan personifikasi) yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS
Laksana. Oleh karena itu, penulis dapat mengangkat permasalahan tersebut
menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Gaya Bahasa Perbandingan dalam
Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta Yang Dungu Dan Hantu-Hantu
7
Karya AS Laksana dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra di SMA”.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS
Laksana?
2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
SMA?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS
Laksana.
2. Mengetahui implikasi penggunaan gaya bahasa perbandingan tersebut
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah
ilmu pengetahuan studi sastra Indonesia, khususnya mengenai penggunaan
gaya bahasa perbandingan dan pembelajaran sastra di SMA.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah
yang dirumuskan. Selain itu, dapat menjadikan motivasi bagi penulis
untuk mengadakan penelitian lain yang lebih baik.
b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan
untuk mengadakan penelitian mengenai kajian tentang gaya bahasa.
Tidak hanya dalam kajian ilmu sastra, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu yang lain.
8
c. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan acuan
dalam pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya mengenai gaya bahasa
perbandingan dalam cerpen.
d. Bagi institusi, hasil penelitian ini sebagai sumbangan penelitian
mengenai gaya bahasa perbandingan dan diharapkan dapat menjadi
pedoman atau acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode merupakan cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat
berikutnya.5 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Dalam metode deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-
kata, gambar, dan bukan angka-angka.6 Dengan demikian, laporan penelitian
akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut.
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk
kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-
cara penafsiran yang menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Tujuan dari
penelitian kualitatif ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta
hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Sementara itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mengkaji wujud
keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa yang digunakan dalam karya
sastra. Jadi, pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang cocok dan
dapat digunakan pada saat seorang peneliti menganalisis berbagai masalah
yang berkaitan dengan gaya bahasa.
5 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 34. 6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009), h. 11.
9
Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu analisis isi.
Menurut Ratna, metode analisis isi ini menekankan pada isi pesan. Dasar
penafsiran dalam metode kualitatif memberikan perhatian pada situasi
alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan
perhatian pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan
dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra, misalnya,
dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.7
Jadi, dalam penelitian ini penulis menggunakan bentuk penelitian
deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Penelitian ini berupaya
mendeskripsikan isi pesan gaya bahasa perbandingan serta fungsinya dalam
penyampaian struktur naratif cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana.
Kemudian hasil analisis tersebut diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa
dan sastra di SMA.
2. Objek Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek penelitian ini
adalah “Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA”
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan
dasar kajian (analisis atau kesimpulan).8 Data merupakan penguat yang
nyata dalam sebuah kajian atau analisis. Data dicari dan dikumpulkan
untuk mendapatkan jawaban terhadap masalah yang dikaji. Data
penelitian ini berupa kutipan kalimat yang terdapat dalam kumpulan
7 Ratna, op. cit., h. 49.
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5.1
10
cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS
Laksana.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu yang diterbitkan pada 2013 oleh PT
GagasMedia, Jakarta, dengan tebal 216 halaman. Sementara itu, data
sekunder adalah data pelengkap dalam penelitian. Data sekunder dalam
penelitian ini yaitu buku, artikel, dan penelitian-penelitian sebelumnya
yang terkait dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah:
1. Membaca dan memahami secara cermat kumpulan cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana;
2. Mencatat kalimat yang termasuk dalam gaya bahasa perbandingan;
3. Hasil poin 2 digunakan sebagai data untuk menganalisis gaya bahasa
perbandingan dan fungsi dalam penyampaian struktur naratif yang
terdapat dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu karya AS Laksana;
4. Hasil poin 3 digunakan untuk mengimplikasikan gaya bahasa
perbandingan dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu
dan Hantu-Hantu karya AS Laksana pada pembelajaran bahasa dan
sastra di SMA.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan penulis adalah:
1. Data dibaca
Penulis melakukan pembacaan teks sastra secara terus menerus dari awal
hingga akhir hingga memahami isi cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana.
2. Data ditandai
11
Setelah melakukan pembacaan, penulis menandai ha-hal yang
berhubungan langsung dengan penelitian yang dipilih, yakni mengenai
jenis-jenis gaya bahasa yang terkandung dalam cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana.
3. Data dikelompokkan
Setelah melakukan penandaan, penulis mengelompokkan data gaya
bahasa perbandingan dalam cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu karya AS Laksana.
4. Data dianalisis
Setelah melakukan pengelompokkan, penulis menganalisis data terkait
gaya bahasa perbandingan dalam cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana. Hasil analisis tersebut
digunakan untuk menggambarkan fungsi dalam penyampaian struktur
naratif cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta
yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana. Kemudian penulis
menjabarkan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
SMA.
5. Penyajian
Setelah data dianalisis, penulis menyajikan uraian mengenai gaya bahasa
perbandingan dalam cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu karya AS Laksana dan implikasinya terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra di SMA.
6. Data disimpulkan
Setelah melakukan penyajian, penulis menyimpulkan hasil penelitian
mengenai gaya bahasa perbandingan dalam cerpen Murjangkung Cinta
yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana dan implikasinya
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
35
BAB III
PROFIL AS LAKSANA
A. Biografi AS Laksana
AS Laksana adalah salah satu sastrawan kontemporer yang telah banyak
menghasilkan karya, terutama cerpen. Pria yang sering disapa Sulak ini lahir di
Semarang, Jawa Tengah, 25 Desember 1968. Laksana menamatkan sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas di Semarang, lalu hijrah ke Yogyakarta untuk
kuliah di jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada. Setelah lulus, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di tabloid Detik.
Namun, Detik diberedel pemerintah pada 21 Juni 1994. Ia mengkaji peristiwa itu.
Menurutnya, Detik diberedel karena memberi ruang pada orang-orang yang tidak
disukai pemerintah, seperti Petisi 50. Ada wawancara dua halaman dengan orang-
orang semacam ini. Ketika diberedel, laporan utama Detik justru mengupas
tentang mie instan beracun, yang jauh dari politik dan aktivitas menentang
pemerintah. Setelah Detik berakhir, Laksana bekerja berturut-turut di dua
media, Detak dan Tabloid Investigasi, dan akhirnya memilih tidak terikat penuh
di media mana pun.1 Pernah pula Laksana bekerja pada PT Ekapraya Film. Juga ia
pernah mendirikan dan memimpin Yayasan Akubaca yang antara lain
menerbitkan sejumlah buku terjemahan dari karya sastra dunia.2
Sewaktu korannya masih hidup, hampir setiap minggu Laksana menulis
kolom di koran yang dikelolanya, Podium. Ketika korannya dilarang terbit,
kolom-kolomnya kemudian dibukukan dengan judul Podium, dan diberi
pengantar oleh sesama korban pemberangusan: penyair Goenawan Mohamad.
Tahun 2004, bersama tiga kawannya, Laksana memelopori pendirian
Sekolah Menulis Jakarta School. Menurutnya, sekolah semacam ini perlu ada
karena di sekolah formal murid-murid tidak pernah benar-benar mendapatkan
pelajaran menulis. Padahal menulis adalah cara terbaik untuk memperbaiki cara
1 Linda Christanty, “Metafor Kehidupan AS Laksana”, dalam Majalah Dewi, edisi Mei
2013, h. 122. 2 Hawe Setiawan, “Menggambar Sulak”, dalam Harian Republika, edisi Minggu, 15
Agustus 2004.
36
berpikir, menurutnya. Ketika menulis, orang menggunakan seluruh proses berpikir
seperti mengingat, mengamati, menilai, berlogika, dan sebagainya. Mungkin
belum banyak orang yang menyadari perlunya belajar menulis, tetapi jika ada
orang yang ingin belajar menulis, mereka tahu ke mana harus menghubungi.3
Laksana juga aktif mengajar di kelas-kelas menulis yang diselenggarakan
berbagai lembaga di Jawa dan di luar Jawa. Sejumlah anak muda yang mengikuti
kelas menulisnya kini membentuk generasi penulis baru di Indonesia.
Selain menulis, Laksana juga mendalami Ericksonian Hypnosis.
Menurutnya, menulis dan hypnosis adalah wilayah yang berhimpitan. Keduanya
bersandar pada kekuatan kata. Latar belakang sebagai penulis cerita memudahkan
Laksana mendalami Ericksonian Hypnosis. Sebaliknya, mendalami Ericksonian
Hypnosis membuatnya benar-benar memahami kekuatan cerita.4 Laksana
menyematkan teknik hipnosis itu ke dalam karya-karyanya.
Sejak 2009, Laksana rutin mengisi halaman surat kabar Jawa Pos. Ia
menulis tentang apa saja, termasuk “Surat kepada Presiden” yang menuai
tanggapan terbanyak dari pembaca. Ada yang mendukung kritiknya terhadap
kepala negara, ada pula yang tidak senang. Kolomnya yang muncul setiap
minggu dan bertajuk „Ruang Putih‟ itu merupakan kolom media terpopuler di
Indonesia.
B. Karya AS Laksana
Selain menulis karya fiksi, mantan wartawan yang juga penekun
Ericksonian Hypnosis ini juga menulis esai, skenario, kolom, karya nonfiksi, dan
terjemahan. Karya-karyanya tersebut antara lain Podium DeTIK (Sipress, 1995),
kumpulan kolom yang ia tulis tiap minggu di tabloid DeTIK (1993-1994), Skandal
Bank Bali (Detak, 1999), Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004), Cinta
Silver, novel adaptasi dari film Cinta Silver (GagasMedia, 2005), Creative
Writing : Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), 101 Hal
3Jakarta School, “Tentang Pengajar AS Laksana”,http://jakartaschool.com/pengajardetail,
diakses pada13 Juni 2015, pukul 14.25 WIB. 4 AS Laksana, Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, (Jakarta: GagasMedia,
2013).
37
yang Wajib Diketahui untuk Mahir Menulis (2012), Medan Perang (cerita
bersambung di Koran Tempo), Ular di Tapak Tangan (cerita bersambung di
Suara Merdeka), Pola Sugesti dan Strategi Terapi Milton Erickson, Literature
Ericksonian Hypnosis (tranceFormasi, 2010), Keajaiban di Ujung Jari Anda
(tranceFormasi, 2010), The Art of Ericksonian Hypnosis: Prinsip-Prinsip
Mendasar dan Penerapannya (tranceFormasi, 2012). Karyanya yang terbaru Si
Janggut Mengencingi Herucakra diluncurkan awal September 2015.
Karya-karya terjemahannya antara lain: Snow Country (Daerah Salju)
(terjemahan Yasunari Kawabata, GagasMedia, 2009), Hati yang Meracau
(terjemahan Edgar Allan Poe, Akubaca, 2002), Setan Angka: Sebuah Petualangan
Matematika (terjemahan Hans Magnus Enzensberger, Transmedia, 2007) The
Godfather (terjemahan skenario Francis Ford Coppola dan Mario Puzzo,
Akubaca, 2003), Dunia yang Bahagia (terjemahan Kahlil Gibran), Yakuza Moon:
Memoar Putri Yakuza (terjemahan Shoko Tendo, GagasMedia, 2004), After The
Affair (terjemahan Janish Abrahms Spring dan Michael Spring, Transmedia,
2006), Menulis Skenario dalam 21 Hari (terjemahan Viki King).
Cerpennya pernah dimuat dalam antologi Anjing-Anjing Menyerbu
Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997 (1997), dan Derabat: Cerpen Pilihan
Kompas 1999 (1999).5 Tiga cerpennya Seorang Ibu yang Menunggu (1996),
Menggambar Ayah (1998), dan Dua Perempuan di Satu Rumah (2010) terpilih
dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas. Dua cerpennya Sumur Keseribu Tiga
dimuat dalam buku Kumpulan Cerita Terbaik Pena Kencana (2008), dan cerpen
Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis dimuat dalam buku yang
sama edisi 2009.
Buku pertama yang ia tulis, Bidadari yang Mengembara, berhasil
memukau Majalah Tempo sehingga terpilih sebagai buku sastra terbaik pada tahun
2004. Karya ini dipuji berbahasa cemerlang. Sang penulis disebut mahir
berakrobat dengan tata bahasa, piawai meramu humor, kelisanan, dan budaya
massa dalam prosa. Buku ini telah mengantarkan Laksana dalam deretan cerpenis
Indonesia yang cukup berpengaruh.
5 Tim Penyusun, Ensiklopedi Sastra Indonesia Edisi Revisi, (Bandung: Titian Ilmu, 2009), h. 105.
38
Tahun 2006 Laksana pernah membacakan cerpen Burung di Langit dan
Sekaleng Lem, yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bidadari yang
Mengembara, di Festival Sastra Winternachten, Den Haag, Belanda. Ia juga
pernah menulis skenario untuk sinetron serial Laksamana Cheng Ho (Episode di
Tanah Jawa), satu skenario yang difilmkan oleh sutradara Malaysia.6 Sempat pula
ia menjadi asisten sutradara untuk film dokumenter Sakura di Bumi Nusantara
garapan Eros Djarot yang bekerja sama dengan NHK Jepang.7
Sejak kumpulan cerpen pertamanya, Bidadari yang Mengembara, terbit
pada 2004, Laksana cukup lama tak menerbitkan buku fiksi. Di awal 2013,
Laksana menerbitkan kumpulan cerita baru, Murjangkung, Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu. Salah satu cerpennya, Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota
dan Mati Sakit Perut pernah dimuat di koran Tempo dan merupakan petikan
novel yang belum rampung, Kisah Murjangkung Menguasai Separuh Dunia dari
Batavia. Murjangkung juga terpilih sebagai nominasi karya fiksi dan masuk lima
besar dalam Khatulistiwa Literary Award 2013.
Cerpen-cerpen lain dalam Murjangkung kembali memperagakan
kepiawaian Laksana sebagai pendongeng yang mahir meramu humor dan tragedi,
memadukan sikap serius dan main-main, mengocok nalar dan kegilaan,
memadukan keajaiban dan keremehan, mengacluk kenyataan dan khayalan,
Walhasil, tergelarlah sederet kisah yang tidak hanya amat menghibur, tapi juga
memercikkan bunga api pemikiran kritis. Renyah, tapi tetap mendalam.8
Selain dikenal sebagai cerpenis, Laksana juga dikenal sebagai esais. Selain
piawai berbahasa dengan cerpen, ia juga piawai berbahasa dengan esai. Cara
berbahasanya di beberapa bagian nyaris serupa. Hal terpenting yang perlu
dipahami dari cerpen-cerpennya adalah teknik (men)dongeng sebagai gaya khas
Laksana. Membaca karya-karya Laksana, kita seperti berada di dalam dunia
dongeng. Dunia yang jauh dari bayangan nyata kehidupan sehari-hari. Seolah-olah
6 Jakarta School, op. cit.
7 Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo,
2000), h. 164. 8 Arif Reza Prasetyo, “Laksana Menulis Sejarah Hantu”, dalam Majalah Tempo, edisi 5
Mei 2013, h. 90.
39
tak ada jarak antara pengarang dan pembaca, Laksana menempatkan dirinya
seperti pendongeng yang pandai memikat pembacanya. Meskipun pada saat
bersamaan pembaca mengetahui bahwa cerita yang dihadirkan pengarang
barangkali hanya bualan atau tak akurat. Sebagaimana umumnya dongeng, kita
dapat menemukan amanat dan nasihat yang disampaikan secara tersirat. Melalui
karya-karyanya, Laksana menyibak peristiwa-peristiwa masa lampau yang
memberikan pesan moral bagi kehidupan sekarang.
Dalam cerita-ceritanya, kepiawaian dan kemahirannya sebagai
pendongeng berhasil meramu antara humor dan tragedi dengan kemampuan
berbahasanya yang sudah terjaga. Bahasa Laksana yang ringan dan mudah
dilumat dalam pikiran pembaca membuat cerita-ceritanya mengalir dan mengena.
Pilihan diksi sehari-hari dan main-main yang digunakan pengarang mampu
memberikan makna yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Susunan kalimatnya
yang sederhana memudahkan pembaca memahami maksud pesan yang terdapat
dalam sebuah cerita. Tak luput, pengarang juga memperhatikan hal detail,
mengenai betapa ia menciptakan “kedekatan” dengan pembaca, sehingga Laksana
mengisahkan cerita dengan menjadikan kata aku sebagai perantara orang pertama.
Hal ini terbukti membuat pembaca lebih menjiwai apa yang ingin dihidupkan
pengarang dalam karyanya.9 Selain itu, Laksana juga memperlihatkan
kemampuannya dalam menulis dengan cara sinis dan satir yang membuat
pembaca bisa tersenyum sekaligus berpikir. Ia piawai menceritakan kisah yang
sangat sederhana, namun mampu membuatnya menjadi bahan perenungan.
Dalam karya-karyanya, Laksana menampilkan tokoh-tokoh yang biasa
menghiasi kehidupan kita. Tokoh-tokoh ganjil dengan sebutan-sebutan
antonomasia, seperti si cacing, kadal, belatung, kondom dan sebagainya. Tokoh
dalam cerita digambarkan dengan tragis, ganjil, penuh dendam, dan kebencian
terhadap sesama. Karakter tokoh yang diciptakan pengarang dibangun bukan
berdasarkan ciri fisiknya melainkan melalui prilaku ataupun kecenderungan
9 Umar Fauzi Ballah, “Dongeng dan Bahasa AS Laksana”, dalam Harian Kompas, edisi
30 Maret 2014, h. 19.
40
psikologisnya. Karena tokoh merupakan penyampai ide cerita, Laksana membuat
karakter tokohnya kuat dan melekat di hati pembacanya.
Cerita-cerita Laksana mengungkap sosok-sosok yang berada di tepi
peristiwa penting atau momen sejarah, atau para pemain utama yang tidak terdiri
dari orang-orang mulia atau semacam pahlawan, melainkan sosok-sosok tragis-
jenaka dan kelabu, yang biasa menghiasi keseharian kita. Menurutnya, nama
Murjangkung sering ia dengar dari orang-orang waktu Laksana masih kecil.
Mereka menyebut Jan Pieterzon Coen itu Murjangkung. Ia mendirikan kota
Batavia dan gubernur jenderal VOC (Vereniging Ost Indische Compagnie). Kota
ini menjadi pusat pengendalian seluruh koloni VOC di seluruh dunia.10
Permainan intertekstualitas merupakan salah satu unsur yang cukup
menonjol dalam karya-karya Laksana. Seperti yang terlihat dalam Bidadari yang
Mengembara, permainan intertekstualitas juga banyak ditemukan dalam
Murjangkung. Beberapa cerita dalam dua kumpulan cerpen tersebut memaksa
pembaca bergerak bolak-balik dari teks yang sedang dibaca ke jaringan luas teks-
teks lain yang telah ada dalam tradisi sastra dunia.
Sebagai misal dapat dilihat Seorang Ibu yang Menunggu yang terdapat
dalam Bidadari yang Mengembara. Bila dikaitkan dengan teks-teks lain dari
pelbagai tradisi lain, misalnya konsep kompleks Oedipus dalam tradisi Freudian.
Kisah Oedipus dalam Yunani Kuno menceritakan pengembaraan dan akhirnya
kepulangan sang tokoh yang dengan tanpa kesengajaannya mengawini ibunya
sendiri. Tampak siratan makna dalam teks itu dengan “Seorang Ibu yang
Menunggu”. Sang anak “mengembara” selama berminggu-minggu dan pulang
hanya untuk melihat “jalan” dimana bayi keluar dan masuk. Kecenderungan
Oedipus yang diidap oleh sang anak dalam cerita ini semakin terasa ketika di
akhir cerita ia bersikeras melihat “jalan” itu meski sang Ibu menolak.11
Dalam
cerpen berjudul Otobiografi Gloria yang terdapat dalam Murjangkung, Laksana
menyisipkan (setidaknya) dua kisah yang familiar bagi kita, yakni kisah tentang
Nabi Isa AS dan kisah tentang Nabi Ibrahim AS. Kisah kelahiran Nabi Isa dalam
10
Christanty, op. cit. h. 122. 11
Rofiqi, op. cit. h. 90.
41
sejarah kenabian yang sampai saat ini masih menjadi ingatan kuat. Isa lahir dari
seorang ibu tanpa suami. Ketika itu, malaikat mendatangi Maryam dan
menitipkan benih ke rahimnya. Hal itu tampak pada cerita Otobiografi Gloria. Si
Cacing, perempuan lajang yang hamil mengandung Gloria. Dengan gigih, ibu
Gloria menolak untuk menyebutkan nama ayah dari janin yang dikandungnya. Ia
berkilah bahwa dulu ada perempuan yang melahirkan bayi tanpa suami dan si
anak tumbuh menjadi nabi. Namun, si Cacing meragukan siapa yang
mendatanginya ketika itu, seorang lelaki ataukah mungkin malaikat. Kisah
lainnya yang begitu melekat kuat dalam ingatan kita adalah peristiwa
penyembelihan Ibrahim terhadap anaknya, Ismail. Hal itu tampak pada bagian
pembunuhan Gloria, anak haram yang baru berusia satu bulan. Namun, tidak
seperti yang terjadi pada Ismail, ketika itu nyawa Gloria tidak dapat ditukar
dengan hewan apa pun hingga nyawanya terbang jauh ke surga.
Permainan yang disuguhkan Laksana dalam beberapa ceritanya semata-
mata tidak hanya menyisipkan kisah-kisah itu tetapi juga melakukan sesuatu
terhadapnya. Apa yang dilakukannya itu biasanya adalah berupa penyelewengan,
pengganjilan, dan hal itu dapat dipahami sebagai sebuah olok-olok (atau guyonan)
Laksana terhadap kisah-kisah (yang disisipkannya) itu. Laksana
menjungkirbalikkan ingatan pembacanya tentang sejarah, mitos, hingga kebenaran
kitab suci yang sudah ada. Ironisnya, Laksana menjadikan hal itu sebagai sebuah
ejekan.
Lewat permainan intertekstualitas, Laksana mengutip, menyindir,
meledek, mengembangkan, menyelewengkan, atau menjungkirbalikkan sejarah
klasik (kolonialisme) dan mitos lama (kisah nabi-nabi, cerita rakyat, reinkarnasi,
legenda, klenik) ataupun sejarah kontemporer (pembantaian preman era Orde
Baru 1980-an, militerisme) dan mitos modern (buku motivasi, kejamnya ibu tiri,
spekulasi ilmiah, teknologi informasi, spiritualitas ala new age).12
Unsur lain yang cukup menonjol sekaligus dapat dianggap sebagai ciri
khas gaya bercerita Laksana adalah kuatnya parodi. Jika pada umumnya parodi
ditunjukkan untuk mengguncang posisi mapan seorang penulis atau aliran
12
Prasetyo, op. cit. h. 90.
42
penulis13
, dalam Bidadari yang Mengembara parodi ditunjukan pada cerita-cerita
yang sudah mapan. Hampir semua cerita dari luar yang diintegrasikan,
diparodikan untuk kemudian dikuliti dari “amanat luhur” yang mereka emban.
Cerita-cerita dalam Bidadari yang Mengembara berkembang sedemikan rupa
sehingga pembaca kesulitan menemukan pesan yang biasanya melekat pada
cerita-cerita yang diparodikan.14
Demikian halnya yang terjadi pada cerpen-cerpen
lainnya, Laksana “mengejek” lewat tema-tema yang diangkatnya—yang
umumnya menggarap tema-tema kelam dan tragis: riwayat konyol penguasa
kolonial (Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut), anak
haram (Otobiografi Gloria), perselingkuhan suami-istri (Seto Menulis Peri,
Pelangi, dan Para Putri), aib syahwat wakil rakyat (Cerita Untuk Anak-anakmu),
hubungan gelap antara majikan dan pembantu rumah tangga (Peristiwa Kedua
dan Seperti Komidi Putar), keyakinan beragama (Teknik Mendapatkan Cinta
Sejati), banci (Dua Perempuan di Satu Rumah), drama asmara cengeng (Kisah
Batu Menangis)—dengan gaya humornya yang sinis.
Humor yang pekat, menyengat, cenderung gelap, dan sinis merupakan
unsur penting dari gaya literer khas dan unik karya fiksi Laksana. Humor Laksana
dilandasi pikiran kritis. Itu sebabnya, kelucuan cerpen-cerpennya sering muncul
dari komentar tentang suatu keadaan atau kejadian yang disuarakan oleh narator
atau tokoh cerita. Ia cukup jeli menangkap segi-segi yang terasa lucu sekaligus
ironis dari hidup kita. Daya khayal Laksana cenderung liar. Adakalanya kisah-
kisah yang dituturkannya seperti meneruskan keliaran dongeng purba.15
Dengan kekhasannya itu, Laksana mampu membuat para pembaca
terhenyak sekaligus berpikir kembali saat membaca cerita-cerita yang
disajikannya. Ia menceritakan kisah yang sangat sederhana, namun tetap bisa
menjadi renungan untuk kita bersama. Laksana juga berusaha mempertemukan
antara pembaca dan cerita yang disampaikannya dengan bahasanya yang indah.
13
The New Encyclopedia Britannica dalam Jurnal Kalam vol. 22, (Jakarta: Yayasan
Kalam, 2005), h. 205. 14
Rofiqi, op. cit., h. 205. 15
Setiawan, op. cit.
43
C. Pemikiran AS Laksana
Laksana banyak mengisahkan tema-tema sederhana yang diangkat dari
peristiwa kehidupan sehari-hari hingga kehidupan dunia fantastis yang sulit
dipercaya. Berkat kemahirannya, tema-tema tersebut diolah menjadi sebuah cerita
yang selalu bisa dinikmati. Membaca karya-karya Laksana, kita bisa melihat
gagasan-gagasan ingin disuarakannya. Hal itu kemudian menjadi ciri khas karya-
karyanya. Dalam hal ini, Laksana ingin membuktikan tesis kreatifnya bahwa
dalam menulis cerita kita bisa memetik gagasan apa pun dan dari manapun, yang
terpenting adalah bagaimana mengolah gagasan-gagasan tersebut menjadi cerita
yang menarik. Menurutnya, gagasan klise pun bisa menarik jika diolah dengan
baik. Begitu pula sebaliknya, gagasan cemerlang akan terasa hambar jika
diceritakan dengan gaya yang biasa-biasa saja.
Berbekal kekuatan imajinasi dan daya nalar kritisnya, Laksana
menggerakkan cerita agar gagasan seklise apa pun tak menjadi kisah klise, supaya
komedi tak berhenti sebatas lelucon, dan tragedi tak sekadar mengumbar
keharuan. Di tangannya, klise tak lagi membosankan karena selalu menyentilkan
kejutan segar, humor tak jatuh menjadi banyolan dangkal karena senantiasa
menyisakan gaung renungan.16
Dengan gaya ungkap yang ringan dan lincah tapi bertenaga dan terjaga
bahasanya, Laksana memetik dan mengolah gagasan cerita dari mana saja:
riwayat konyol penguasa kolonial, drama asmara cengeng, anak haram,
perselingkuhan suami-istri, aib syahwat wakil rakyat, hubungan gelap antara
majikan dan pembantu rumah tangga, keyakinan beragama, kemiskinan, banci,
tsunami, dan sebagainya.17
Prinsip kreatif Laksana ketika menulis cerita diisyaratkan dalam cerpen
Cerita untuk Anak-Anakmu. Di sela-sela narasi berbau gosip infotainmen perihal
retaknya rumah tangga seorang biduanita dangdut bersosok ”perpaduan antara
mahasiswa teladan dan penari sirkus oriental” dengan lelaki anggota DPR ”yang
kalem dan tampan meski ada bekas-bekas cacar air di wajahnya”, narator cerita ini
16
Prasetyo, op. cit. h. 90. 17
Ibid.
44
sempat menyitir kiat populer buku-buku teknik menulis bahwa “apa saja bisa
ditulis” dan “gagasan untuk sebuah cerita bisa berasal dari mana pun”. Lalu
“urusan selanjutnya adalah bagaimana menggerakkan cerita”. Sebab, “gagasan
yang klise pun, konon, akan menjadi cerita yang menarik jika diolah secara
baik”.18
Melalui karya-karyanya, Laksana ingin membuktikan bahwa yang
terpenting dalam menulis sebuah cerita bukanlah isi ceritanya itu sendiri,
melainkan cara menceritakannya. Pesona cerita tidak ditentukan oleh apa
kisahnya, tapi bagaimana kisah itu dituturkan.
Cerpen-cerpen dalam Murjangkung tak berpretensi untuk genit dan kaya
aksesori. Murjangkung tidak berniat menjadi film dalam teks. Murjangkung ingin
mengatakan bahwa: teks fiksi sebaiknya membuka kran imajinasi para pembaca
untuk memiliki dunia dan atmosfer cerita yang khas, sesuai dengan warna yang ia
hadirkan dalam kanvas pembacaannya yang murni. Murjangkung (hanya)
menawarkan tema, konflik, dan tokoh-tokoh sebagai gerbang imajinasi dalam
kerangka yang sumir, termasuk dialog-dialog yang dibangunnya.19
Karya sastra, sebagaimana fungsinya, yakni menghibur sekaligus
mengajarkan sesuatu. Dalam karya-karyanya, Laksana mampu menarik itu semua.
Ia menebar banyak imajinasi yang luar biasa. Ia juga memberi ruang kepada
pembaca untuk menafsirkan apa yang dihadirkan pengarang dalam sebuah cerita.
Cerita-ceritanya tidak hanya amat menghibur tetapi juga memberi banyak
pelajaran sekaligus bahan perenungan bagi pembacanya.
18
Prasetyo, op. cit. h. 90. 19
Benny Arnas, “Murjangkung dan Bisikan AS Laksana”, dalam Harian Jawa Pos, edisi
Minggu, 31 Maret 2013.
45
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Naratif dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
Di bawah ini akan dipaparkan analisis struktur naratif dari dua puluh
cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu
dan Hantu-Hantu karya AS Laksana.
1. Cerpen Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit
Perut (kode : C1)
Cerpen Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit
Perut menarik secara penyajiannya karena cerpen ini bercerita tentang
dongeng para penjajah. Plot yang digunakan dalam cerita berjalan maju
secara kronologis. Tema penjajahan yang menjadi gagasan utama cerpen
ini disampaikan dengan unik dengan pemilihan alur yang cermat. Tema
tersebut terlihat sejak pembukaan cerita.
Ini cerita tentang para pemabuk, tetapi kau bisa
membacanya dengan pikiran tenang menurut caramu sendiri. (h.1)
Mereka datang 243 tahun sebelum negeri mereka
menemukan kakus. Mula-mula mereka singgah untuk mengisi air
minum dan membeli arak dari kampung Pecinan di tepi barat sungai;
lima tahun kemudian mereka kembali merapatkan kapal mereka ke
pantai dan menetap di sana seterusnya. Tuan Murjangkung, raksasa
berkulit bayi yang memimpin pendaratan, membeli dari Sang
Pangeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai. (h. 2)
Pada kutipan di atas, terdapat dua narator yang bercerita; orang
pertama dan orang ketiga maha tahu. Kehadiran narator “aku” di awal
cerita berperan semacam dalang cerita, sosok narator yang
memperkenalkan diri, tapi tak ada hubungannya dengan cerita: ia tak
menjadi tokoh atau punya keterkaitan dengan jalannya kisah. Narator
menempatkan posisinya sebagai pendongeng dalam cerita sehingga
46
pembaca atau pendengar menjadi tidak berjarak bahkan menjadi begitu
dekat dengan cerita.
Tokoh Murjangkung merupakan tokoh utama cerita ini. Ia
digambarkan sebagai pemimpin pendaratan yang kaku dan taat beribadah.
Namun, di mata musuhnya, Sang Pangeran, Murjangkung dianggap lucu
karena perawakannya yang tinggi besar namun kulitnya merah seperti
bayi. “Tak perlu khawatir terhadap bayi-bayi itu itu,” katanya. “Kulit
mereka saja masih merah” (h. 3). Penggambaran tokoh ini seperti sebuah
ejekan penulis terhadap karakter Murjangkung. Sebagai pemimpin
pendaratan, Murjangkung tidak takut kepada siapapun, termasuk kepada
Sang Pangeran.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah Pangeran. Tokoh
Pengeran digambarkan sebagai penguasa tanah dan rawa-rawa serta
penduduk yang tinggal di atas tanah dan rawa-rawa itu. Sebagai penguasa
ia tidak takut kepada siapa pun, termasuk Murjangkung dan pengikutnya
yang menetap di tempat kekuasaannya. Ia juga penguasa yang licik. Untuk
menghancurkan Murjangkung yang ternyata tak selucu dugaannya, ia
bersekutu dengan pendatang baru yang singgah di tempatnya, bajak laut
tua dan sepupunya. Penggambaran tokoh pangeran ini dibuat mirip dengan
penggambaran penguasa-penguasa yang licik, yang ingin memeras dan
mengusik ketenangan pendatang baru yang ingin menetap di daerah
kekuasannya. Sang Pangeran hanya bisa berani mengejek lawannya,
namun ketika perang dimulai dan meriam pun mulai ditembakkan, tanpa
sekutu di barisannya ia tidak mampu melawan dengan kekuatannya
sendiri.
Latar waktu yang digunakan dalam cerita ini terjadi 243 tahun
sebelum negeri mereka (para pendatang) menemukan kakus (h. 2). Latar
tempatnya adalah Kampung Pecinan di tepi sungai tepi timur dan tepi
barat sungai (h. 2). Tempat tersebut awalnya hanya tanah dan rawa-rawa
kemudian menjadi sebuah kota yang banyak dihuni oleh penduduk dari
berbagai macam ras. Melalui penggambaran latar ini, terlihat sebab akibat
47
yang jelas dari penggambaran alur cerita. Akibat pertempuran antara
Murjangkung dan Sang Pangeran, maka Murjangkung pun keluar sebagai
pemenang dan menjadi penguasa di kota baru yang ia dirikan. Hal itu
digambarkan dengan latar sebuah kota yang dirancang Murjangkung,
dimana kota tersebut ia digunakan untuk mengendalikan separuh dunia.
Latar sosial yang menjadi penting dalam cerita ini adalah masa penjajahan
Belanda ketika VOC datang ke Batavia untuk membangun sebuah
pemerintahan di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen (h. 2-5). Dalam
cerita ini, Murjangkung disebut sebagai penggambaran gubernur jenderal
VOC tersebut.
Dan, di antara dua kelompok yang saling mencaci itu,
seciprat ludah sudah cukuplah untuk mengobarkan pertempuran. Ini
bukan kiasan, sebab perintah penghancuran, yang dikeluarkan oleh
Murjangkung konon disebabkan oleh semburan ludah yang
melayang dari seberang sungai dan hinggap tepat di dahinya. (h. 5)
Kota berjalan tertib dan, terus terang saja, menjemukan. Di
dalam pagar, kau tahu, hanya ada beberapa gelintir perempuan. Para
pemabuk yang tinggal di sana merasa sangat kesepian dan
menunjukkan gejala-gejala mengkhawatirkan. Untuk mengatasi
berjangkitnya perilaku ganjil di kalangan anak-anak buahnya,
Murjangkung mempesembahkan kepada mereka sebuah gereja. (h. 8)
Kutipan di atas menunjukkan adanya dua konflik yang terjadi dalam
cerita. Pertama, tahapan konflik yang terjadi antara Murjangkung dan
Pangeran yang disebabkan semburan ludah yang hinggap di dahi
Murjangkung dan akhirnya Murjangkung berhasil menghancurkan
lawannya. Kedua, tahapan konflik setelah Murjangkung menjadi penguasa
di kota yang ia dirikan. Masalah muncul dari penduduk kota dalam pagar
yang tinggal di dalamnya. Mereka resah karena Murjangkung
menghendaki didirikannya rumah ibadah padahal mereka menginginkan
rumah bordil untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka. Narator
menggambarkan kesepian yang dirasakan para pemabuk sudah
menunjukkan perilaku yang ganjil. Murjangkung pun akhirnya membuat
kanal agar para penghuni dalam pagar bisa plesiran dan mencari
perempuan di luar pagar untuk mereka jadikan nyai. Namun ternyata
48
pembuatan kanal itu menambah masalah baru. Penduduk kota yang
semakin banyak dan perilaku penduduk yang jorok dengan membuang
sampah dan tahi di kanal membuat kota menjadi sarang bau dan penyakit.
Klimaksnya banyak orang di dalam pagar yang mati oleh malaria,
termasuk Murjangkung sendiri akhirnya mati terserang disentri.
Pada pengaluran ini terlihat pola pemunculan solusi dalam cerita.
Konflik yang terjadi setelah Murjangkung menjadi penguasa adalah
penduduk kota dalam pagar yang kesepian lantaran hanya ada beberapa
gelintir perempuan. Konflik meningkat setelah kota tersebut terserang
berbagai macam penyakit akibat perilaku penduduk kota yang jorok
hingga banyak merenggut banyak korban termasuk Murjangkung sendiri.
Yang tidak mudah ia tangani justru sampah dan tahi yang dibuang di
kanal oleh anak-anak buahnya sendiri. Kota segera menjadi sarang
bau dan penyakit. Banyak orang di dalam pagar yang mati oleh
malaria, terutama opsir-opsir muda yang baru datang dari negeri
mereka. Beberapa yang lain sempoyongan dihajar disentri dan beri-
beri. (h. 11)
Kehadiran Murjangkung Jr. sebagai pengganti Murjangkung
sekaligus menjadi solusi bagi keberlangsungan kota tersebut. Situasi
genting ini selesai ketika Murjangkung Jr., karena takut terserang disentri,
memindahkan pusat pemerintahan ke tempat lain dan membuat sebuah
patung untuk mengenang jasa Murjangkung.
Dalam cerita ini, seringkali narator berusaha mengajak dan
berinteraksi secara langsung kepada pembaca atau pendengar dengan
penggunaan klausa “kau tahu”. Klausa ini juga seringkali muncul pada
cerpen lain. Narator sekaligus berperan sebagai tukang cerita. Pembaca
pun mudah terbawa dengan cerita yang dihadirkan, namun akan susah
masuk ke dalam dunia rekaan yang diciptakan pengarang, sebab pembaca
akan tersadar bahwa kisah cerita ini hanya dongeng dari sang narator.
49
2. Cerpen Otobiografi Gloria (kode: C2)
Cerpen Otobiografi Gloria menarik secara penyajiannya karena
berkisah tentang dunia surealis. Arwah Gloria sebagai tokoh utama
menceritakan kembali kehidupan keluarganya sebelum ia dilahirkan hingga ia
mati dibunuh kakeknya sendiri. Ketidaksiapan menerima takdir merupakan
tema yang menjadi gagasan utama dalam cerita ini yang disampaikan dengan
pemilihan pengaluran yang apik. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan dan
pertengahan cerita.
Setelah malam itu, kau tahu, nenekku harus menjalani lagi
seluruh hal yang ia sendiri sudah bosan melakukannya dan ia
menjalaninya sendirian karena kakekku sudah tidak lagi
menemaninya. Lelaki itu masih hidup, tetapi ia tidak mungkin
meninggalkan kerangkeng yang mengurungnya. (h. 13)
Aku akan mundur ke masa tiga tahun sebelum aku lahir.
Pada waktu itu anak kedua sudah tujuh tahun menikah dan ia tidak
pernah hamil, sementara keinginan Bob dan Leli untuk memperoleh
cucu makin tak tertahankan. Karena tidak bisa hanya menunggu, Bob
dan Leli kemudian rajin mengunjungi rumah orang-orang sakti dan
senang bertandang ke tempat-tempat keramat. Di rumah-rumah
orang sakti mereka mendapatkan pelbagai mantra dan nasihat tentang
apa yang harus dimakan oleh anak mereka yang tidak kunjung hamil;
di tempat-tempat keramat mereka memanjatkan doa. (h. 15)
Tokoh Gloria merupakan tokoh utama cerita ini. Ia digambarkan
sebagai seorang anak hasil hubungan gelap yang belum sempat menghirup
udara bebas (h. 16). Tokoh ini mati dibunuh kakeknya sendiri sebulan
setelah kelahirannya. Dalam cerita, tokoh Gloria tidak banyak memiliki
karakter khusus karena kemunculannya yang hanya di akhir cerita.
Namun, dalam posisi inilah ia melihat, mengalami, dan menceritakan
banyak peristiwa yang terjadi dalam keluarganya. Penggambaran tokoh
Gloria ini berhubungan dengan pola penceritaan yang muncul pada akhir
cerita. Gloria menyebutkan bahwa ia merasuki dan meminjam tangan si
pengarang, AS Laksana, untuk menuliskan kisah ini (h. 22). Hal inilah
yang menjadi kelemahan cerita, posisi pencerita menjadi bias. Siapa
sesungguhnya yang menjadi narator dalam cerita, Gloria ataukah si
pengarang itu sendiri.
50
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah Bob. Tokoh Bob
digambarkan sebagai kakek yang merindukan kehadiran seorang cucu (h.
13). Bersama istrinya, Leli, ia mempunyai kebiasaan mengunjungi tempat
keramat dan rumah orang sakti agar anak keduanya, yang sudah tujuh
tahun menikah, dikaruniai momongan. Tokoh ini dapat dikatakan tidak
bisa menerima takdir. Ia membunuh cucu pertama dari anaknya yang
hamil tidak wajar. Bob merupakan tokoh utama tambahan, namun bisa
dibilang kemunculannya selalu ada dari awal hingga akhir cerita.
Tokoh tambahan lainnya adalah Leli, paman, bibi, dan ibu Gloria.
Tokoh Leli digambarkan sebagai nenek yang pantang menyerah (h. 21).
Bahkan setelah Bob dipenjara, ia tetap mengunjungi tempat keramat dan
rumah orang sakti sendirian. Paman Gloria, anak pertama Bob dan Leli,
digambarkan seorang gali yang terus membujang sampai di hari
kematiannya (h.14). Tidak seperti kedua orangtuanya, paman Gloria
adalah tokoh yang bisa bersikap wajar dan menerima kenyataan yang
terjadi. Terbukti ketika ibu Gloria hamil, ia menerima dengan senang hati
calon kemenakan yang dikandung adiknya itu. Tokoh lainnya adalah Bibi
Gloria, anak kedua Bob dan Leli. Ia digambarkan sebagai harapan kedua
orangtuanya yang dapat memberikan mereka cucu. Ia tidak pernah hamil
meskipun telah lama menikah (h. 14). Ibu Gloria, anak ketiga Bob dan
Leli, digambarkan sebagai anak yang lugu dan polos. Tokoh ini belum
pernah menikah hingga usia dua puluh delapan tahun dan seterusnya (h.
14). Ia hamil tanpa suami. Ibu Glorialah yang membuat Bob kalap dan
murung karena sampai hari kelahiran Gloria, ia tidak memberitahu siapa
lelaki yang telah menghamilinya. Pada penggambaran tokoh tidak ada
perubahan yang signifikan, tetapi hal itu justru terlihat pada penggambaran
latar.
Latar tempat dalam cerita terjadi di lereng bukit Semarang yang
merupakan tempat tinggal Bob dan Leli (h. 13). Sementara itu latar waktu
yang digunakan dalam cerita ini berawal dari Bob, kakek Gloria, dipenjara
karena membunuh cucunya. Namun, Leli, istrinya, dengan harapan suatu
51
hari anaknya akan hamil, tetap gigih menjalani aktivitas yang ia sendiri
sebenarnya sudah bosan melakukannya. Setelah itu, cerita mundur tiga
tahun sebelum Gloria lahir. Secara keseluruhan cerita mundur tiga belas
tahun setelah Gloria dilahirkan. Hal itu terlihat di akhir cerita, “Namaku
Gloria (itu nama yang kupilih sendiri karena ibuku belum sempat
menemaniku), kini tiga belas tahun, seorang remaja cantik yang tumbuh
sedih di tempatku” (h. 22-23).
“Coba tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada
yang mau menikah dengan si Cacing,” kata Bob kepada pamanku.
Betapa kalapnya kakekku. Memasrahkan ibuku kepada kawan-
kawan pamanku berarti menyerahkan nasibnya dan nasibku kelak, di
tangan gali. (h. 16)
Aku menyaksikan paras dengki beberapa orang ketika
melihat aku lahir dengan wajah cantik. Mungkin mereka berharap
menyaksikan sesuatu yang menggemparkan di hari kelahiranku;
kurasa mereka akan lebih suka jika aku lahir sebagai seekor kura-
kura atau bajing. Hal itu akan membuat mereka makin gigih
menggunjingkan dosa keluargaku. Sebetulnya ingin kukatakan
kepada mereka, “Kalian tidak usah dengki,” tetapi aku bisa menahan
diri. (h. 19-20)
Narator menggambarkan kondisi yang terjadi dengan teknik
penggambaran tidak langsung, di mana narator menunjukkan bagaimana
tokoh itu berbicara tentang dirinya, perilaku tokohnya, serta gambaran
lingkungan kehidupannya. Dari kutipan di atas pun dapat terlihat
lingkungan kehidupan keluarga Gloria yang memandang bahwa hamil di
luar nikah merupakan dosa besar dan dalil tersebut sering digunakan untuk
menggunjingkan perilaku orang-orang yang telah melenceng dari norma
agama. Dalam hal ini, pengarang berusaha menyisipkan pesan itu melalui
tokoh Gloria.
Kutipan di atas juga merupakan tahapan memasuki konflik.
Penyebab konflik terjadi pada saat si Cacing, ibu Gloria, hamil dan tidak
mau menyebutkan siapa lelaki yang telah menghamilinya. Bob kalap dan
sesungguhnya tidak siap menerima gunjingan dari tetangganya. Namun
akibatnya membuat Bob putus asa bahkan ia mengurung diri di kamar
hingga sebulan ketika Gloria lahir. Konflik semakin meningkat ketika
52
akhirnya Bob tidak siap menerima takdir yang sudah digariskan untuknya
hingga ia pun membunuh Gloria, cucu pertamanya yang baru berusia satu
bulan namun tak pernah diharapkan kehadirannya.
Aku memahami apa yang ia lakukan; kakekku hanya
menjalankan sebuah ilham. Tapi aku mati malam itu, sebab ia bukan
nabi dan karena itu tak ada malaikat yang datang ke pekarangan
untuk menukar tubuhku dengan kambing atau kelinci atau binatang
apa pun. Nyawaku terbang ke langit dengan membawa satu
keinginan: menceritakan kisah ini kepadamu. (h. 21)
Pada pengaluran ini juga terlihat pola kemunculan solusi dalam
cerita. Matinya Gloria sekaligus menjadi solusi bagi Bob. Ia yang telah
membunuh cucunya sendiri akhirnya merasa bahwa inilah takdir yang
harus diterimanya. Ia sangat mengharapkan kehadiran seorang cucu tetapi
tidak dengan cara yang demikian. Maka untuk menyelesaikan masalah itu
ia akhirnya membunuh Gloria. Di akhir cerita Bob dipenjara akibat
perbuatannya, namun Leli masih tetap terus mendatangi tempat keramat
dan orang sakti. Paman Gloria mati enam bulan setelah Gloria lahir akibat
penembakan misterius sedangkan ibu Gloria mati tujuh tahun setelah
Gloria dibunuh. Tokoh Gloria muncul di akhir cerita untuk meluruskan
cerita tentang keluarganya karena orang-orang menganggap neneknya gila.
Untuk itu ia menuliskannya dengan merasuki dan meminjam jemari AS
Laksana.
Dalam cerita ini, anak merupakan proyeksi sebuah harapan. Setiap
anak yang dilahirkan adalah suci. Ia tidak pernah memilih untuk dilahirkan
tetapi takdirlah yang memilihnya. Begitupun ketika sudah tumbuh besar,
takdirlah yang akan menentukan akan menjadi apa dan siapa anak itu
nantinya.
3. Cerpen Dongeng Cinta yang Dungu (kode: C3)
Cerpen Dongeng Cinta yang Dungu ini menarik secara penyajian
karena berkisah tentang dongeng dengan alur cerita yang absurd dan
surealis. Plot yang digunakan berjalan maju secara kronologis. Tema
53
percintaan yang rumit sekaligus dungu yang menjadi gagasan utama dalam
cerpen ini disampaikan dengan unik dengan pemilihan pengaluran yang
terkadang tidak masuk akal. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan dan
pertengahan cerita ini.
Fira ingin menyelinap keluar rumah dari pintu belakang dan
melakukan apa yang sudah direncanakannya. Ia ingin berjalan-jalan
sendiri siang itu, karena itulah ia mengambil cuti tiga hari. Selama
tiga hari, ia ingin melakukan hal-hal yang disukainya, membebaskan
diri sejenak dari gunjingan di kantor yang mulai menjemukan. Si
belatung, orang tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja dan
sekaligus menantu orang yang mendirikan perusahaan, terus
membelitnya dan tak rela membiarkanya sendirian di ruang kerjanya.
(h. 26)
Sampai beberapa jam ia seperti itu dan, ketika lewat tengah
malam, tiba-tiba ia merasa dirinya terangkat pelan-pelan, makin
tinggi menembus langit-langit dan atap rumah. Pada saat itu atap
rumah tampak bening di matanya sehingga, ketika ia sudah melayang
tinggi di atas atap rumanya, matanya tetap bisa mengamati tubuhnya
yang sedang pulas di tempat tidur. Di udara terbuka, Fira menjadi
seperti capung yang bisa mengambang di tempat dan melesat tiba-
tiba, hinggap dari dahan ke dahan dan piknik ke gumpal-gumpal
awan. Ini pakansi yang menyenangkan. (h. 28)
Dalam cerita ini narator berusaha menggambarkan tokoh-tokohnya
dengan teknik penggambaran tidak langsung, di mana narator
menunjukkan karakteristik dan perilaku tokohnya, jalan pikirannya, serta
gambaran lingkungan kehidupannya. Dari kutipan di atas dapat terlihat
karakteristik tokoh Fira dan si Belatung atau Pak Abu. Dengan demikian,
penggambaran ini dapat membangkitkan imajinasi pembaca tentang tokoh-
tokoh yang hadir dalam cerita.
Tokoh Fira merupakan tokoh utama cerita ini. Ia digambarkan
sebagai karwayan yang bekerja di salah satu perusahaan. Ia membenci
bosnya karena sering mengganggu kehidupan pekerjaan maupun
kehidupan pribadinya (h. 26). Untuk itu, ia selalu menghindar, namun
bosnya selalu menemukan celah untuk mengganggu kehidupannya.
Penggambaran tokoh seperti ini terasa wajar bagi seorang karyawan
perempuan.
54
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah si Belatung, bos tokoh
Fira. Si Belatung digambarkan sebagai bos yang mata keranjang. Ia cinta
lokasi pada Fira, bawahannya di tempat mereka bekerja. Tokoh ini sering
mendatangi ruang kerja Fira dan melibatkannya dalam urusan mengada-
ada bahkan tidak penting sama sekali (h. 26). Tokoh Belatung ini
digambarkan sebagai tokoh yang menjengkelkan, terutama bagi tokoh
utama. Tokoh ini adalah gambaran lelaki hidung belang yang tidak tahu
malu.
Latar waktu yang digunakan dalam cerita tidak digambarkan secara
detil dan tidak ada perubahan yang signifikan. Sebaliknya, penggambaran
latar tempat yang dipilih pengarang terlihat sangat imajinatif. Selain
tempat seperti ruang kerja di kantor, di kamar, pemilihan latar tempat yang
begitu imajinatif terlihat pada bagian berupa udara terbuka di mana tokoh-
tokohnya dapat bermain-main di atas dahan pohon hingga berpiknik dan
bersembunyi di balik gumpalan awan-awan menimbulkan imajinasi bagi
pembaca (h.28). Hal itu diperkuat dengan roh tokoh Fira, yang mengalami
kejadian aneh saat itu, ia digambarkan bisa terbang, melesat tiba-tiba, dan
melayang-layang di atas ketinggian. Bahkan, roh tokoh Fira pun bisa
melihat jasadnya yang tengah terbaring dan mengelilingi kampung dari
atas ketinggian (h. 28 dan 31).
Dari penggambaran latar yang sudah dijelaskan sebelumnya, terlihat
sebuah alur sebab akibat yang jelas melalui gambaran latar ini. Akibat
tokoh Fira tertidur pulas dan saat itu terjadi peristiwa aneh; tubuhnya
terangkat pelan-pelan, makin tinggi menembus langit-langit, dan roh Fira
keluar dari jasadnya. Pada saat yang sama, si Belatung memasuki jasad
Fira yang ditinggal rohnya. Maka terjadilah pertukaran antara roh Fira
dengan jasad si Belatung dan roh si Belatung dengan jasad Fira, yang
digambarkan dengan perubahan kebiasaan hidup sehari-hari mereka.
Benar-benar Fira tidak menyangka bahwa malam itu
nyawanyalah yang terbang meninggalkan tubuhnya. Kau tahu,
rencana Fira berantakan siang itu sehingga ia tak jadi berjalan-jalan
sendiri semaunya. “Aku datang ke ruanganmu dan kau tidak ada,”
55
kata si belatung yang datang kepadanya. “Kutanyakan pada
sekretaris, katanya kau cuti. Aku tahu bahwa urusan kantor mungkin
membuatmu jenuh. Karena itulah aku kemari untuk menemanimu
jalan-jalan ke mana pun kau suka.” (h. 27-28)
Keputusan itu membuat mereka selalu berdua ke mana-
mana; makan siang atau makan mala; menonton bioskop atau
sekedar jalan-jalan ke mal. Jika tidak ada acara ke mana pun, ia
selalu mengantarnya pulang, sekadar memastikan bahwa tubuhnya
selamat sampai di rumah. Pernah suatu siang ia begitu kangen
kepada tubuhnya dan ingin kembali ke tubuh lamanya. Maka
dipeluklah tubuh itu dari belakang saat ia sedang bekerja di depan
komputer. (h. 33-34)
Kutipan di atas merupakan penghantar memasuki tahapan konflik.
Peristiwa pertukaran antara roh Fira dengan si Belatung akibat Fira
menghindari si Belatung yang dianggap terus mengganggu hingga segala
sesuatunya berbalik dan tidak lagi seperti sediakala. Fira harus hidup
serumah dengan istri si Belatung dan menggantikan posisi bosnya di
kantor. Sedangkan si Belatung menggantikan posisi Fira sebagai karyawan
di perusahaannya. Peristiwa pertukaran roh itu membuat Fira merasakan
kerinduan yang mendalam terhadap tubuhnya sendiri, karena itu pada
setiap kesempatan ia selalu mendatangi ruangan di mana tubuh aslinya
bekerja. Konflik semakin meningkat setelah istri si Belatung mengajukan
gugatan cerai karena merasa suaminya telah berselingkuh dan sudah tak
lagi memberikan nafkah batin terhadapnya (h. 34). Pada tahapan ini
terlihat pola cerita yang berjalan sangat absurd dan bahkan tidak masuk
akal. Hal itu juga didukung dari gagasan utama yang diusung dalam cerita
yakni sebuah dongeng percintaan yang dungu. Dalam dunia nyata, cerita
ini sudah keluar dari nalar manusia namun pengarang mampu
menghadirkan dunia rekaan yang penuh dengan berbagai kemungkinan
sehingga pembaca merasakan beragam sensasi yang dapat dilihat dari
tokoh, deskripsi, maupun akhir cerita yang tak mesti merupakan mata
rantai yang utuh dan padu.
Timbulnya rasa cinta dari pertukaran kedua jasad tersebut sekaligus
menjadi solusi bagi kedua tokoh. Situasi genting yang dialami si Belatung
56
adalah gugatan cerai istrinya dan pemecatannya sebagai bos karena
perusahaan yang dipimpinnya adalah milik mertuanya. Situasi ini selesai
ketika dongeng cinta yang dungu antara Fira dan si Belatung berakhir
manis bahkan menggelikan, yang lelaki selalu tampil dengan gaya
perempuan, yang perempuan selalu bergaya lelaki (h. 35). Mereka
kemudian menikah untuk menyatukan jasad mereka yang tertukar.
Dalam cerita ini, pembaca dihadapkan dengan sebuah dongeng yang
isinya hanya bualan, atau setidaknya, pengarang secara jelas menunjukkan
bahwa cerita yang dituturkannya tidak sepenuhnya akurat. Akan tetapi,
justru pada titik itulah terlihat karakteristik pengarangnya. Pengarang
betul-betul menguasai apa yang akan ditulisnya dan menjadikannya
sebagai humor yang bisa dinikmati.
4. Cerpen Perempuan dari Masa Lalu (kode: C4)
Cerpen Perempuan dari Masa Lalu menarik secara penyajian, karena
cerita ini masuk dalam golongan realisme tetapi dibangun dengan
sejumlah kebetulan—sesuatu yang seringkali dianggap “haram”
terkandung dalam sebuah fiksi. Tema tentang bayangan masa lalu yang
menjadi gagasan utama dalam cerpen ini disampaikan dengan unik dengan
pemilihan pengaluran yang cermat. Tema tersebut terlihat sejak
pembukaan cerita ini.
Mengikuti anjuran sebuah buku, Seto mengunci diri di
dalam kamar, memejamkan mata, dan membayangkan adegan-
adegan yang bisa jadi adalah kehidupan masa lalunya. “Mungkin
Anda adalah gadis kecil yang terjatuh dari pohon atau mati terbenam
di kolam,” kata buku itu. “Atau Anda, di masa prasejarah, adalah
anggota dari suku yang gemar menyiksa orang tua yang sakit-sakitan
dan suka mengorbankan orang-orang cacat pada dewa kegelapan.”
(h. 37)
Setelah beberapa kali mengunci diri dan membayangkan
adegan yang itu-itu juga, Seto bertemu pada suatu sore dengan
perempuan di halte Palbatu. Ini bukan halte yang ia biasa gunakan
untuk menunggu bis kota dari rumah ke tempat kerja atau
sebaliknya; ia di halte itu karena baru pulang dari rumah teman.
Perempuan itu baru sekali dilihatknya, tetapi Seto merasa sangat
kenal. Dan, catatlah satu hal, mereka bertemu di halte, sebuah tempat
57
serupa dangau di kehidupan lalu. Dengan orang-orang lain di halte
yang sama, Seto juga baru sekali itu bertemu dan ia tetap merasa
tidak kenal. (h. 38)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa plot dalam cerita ini berjalan
maju secara kronologis. Narator menceritakan pertemuan Seto dengan
perempuan yang diyakininya sebagai kekasih di masa lalu, yang serba
kebetulan.
Tokoh Seto merupakan tokoh utama cerita ini. Nama Seto ini
seringkali dijadikan tokoh di beberapa cerpen lain. Tokoh ini digambarkan
memiliki kepriadian yang aneh. Penggambaran tokoh Seto terasa seperti
dibuat-buat. Kebiasaannya membaca buku-buku ternyata berpengaruh
pada pola pikirnya. Tokoh Seto menjadi lebih sering berimajinasi, bahkan
sering membayangkan hal-hal yang bersifat fantastis dan tidak masuk akal.
Tokoh Seto seringkali membayangkan adegan-adegan yang bisa jadi
adalah kehidupan masa lalunya yang secara kebetulan terjadi dalam
kehidupannya yang sekarang (h. 37-38).
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah tokoh perempuan. Tokoh
perempuan digambarkan sebagai kekasih di kehidupan masa lalu tokoh
utama. Tokoh perempuan ini merupakan perempuan biasa yang ditemui
Seto di sebuah halte dan mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
Penggambaran tokoh ini terlalu dipaksakan karena sebagai perempuan
yang bertemu lelaki yang baru dikenalnya tentunya akan bersikap biasa
dan wajar. Namun, dalam cerita tokoh ini tak sungkan memberikan alamat
rumahnya kepada Seto, orang yang baru ditemuinya di halte (h. 40). Di
akhir cerita, tokoh ini muncul sebagai seorang pelacur yang kemudian
bercinta dengan Seto.
Dua hari kemudian, dengan niat merebut kembali
kekasihnya, Seto melacak rumah perempuan itu sesuai alamat yang
diberikan kepadanya dan ia menemukan sebuah rumah yang
kelihatannya telah menjadi sarang nasib buruk sepanjang waktu. Di
terasnya ada tiga anak kecil yang tampak kurang sehat dan mungkin
kurang mandi; mereka sedang menggelesor di lantai. Butir-butir nasi
berceceran di lantai dan semut-semut berbaris mengangkuti butir-
58
butir nasi tersebut—sebentar lagi binatang-binatang itu mungkin
akan mengangkut ketiga anak itu ke liang mereka. (h. 40-41)
Ia meninggalkan rumah itu, tidak membeli rokok dan tidak
kembali lagi. Dua jam mencari alamat, dan disambut oleh orang-
orang yang meruapkan bau tahi kelelawar, Seto merasa semangatnya
padam untuk mengulangi kehidupan masa lalunya. Tiba-tiba ia
ikhlas jika perempuan itu tidak menjadi kekasihnya—toh hanya
perempuan yang ia temui di halte. Kebetulan saja ia iseng
menyampaikan bahwa di kehidupan lalu mereka adalah sepasang
kekasih. (h. 41)
Latar waktu yang digunakan dalam cerita tidak digambarkan secara
detil dan tidak ada perubahan yang signifikan. Sementara itu,
penggambaran latar tempat terlihat lebih detil, di mana pengarang
menggambarkan tempat-tempat yang sudah umum seperti halte, terminal,
dan rumah kumuh. Pada penggambaran ini terlihat bahwa pengarang
menempatkan tokoh-tokohnya pada level masyarakat rendah, seperti
gambaran lingkungan rumah yang kumuh, bau, dan tidak sedap dipandang
yang ditempati ketiga anak dan seorang perempuan tua (h. 40-41) atau
tokoh Seto yang sering menggunakan fasilitas umum seperti halte dan
terminal. Dari penggambaran latar ini terlihat sebuah alur, yakni sebab
akibat yang jelas. Akibat pertemuan tokoh Seto dengan perempuan yang
diyakininya sebagai kekasih di masa lalu di sebuah halte, maka timbullah
rasa penasaran Seto hingga ia pun mencari alamat rumah perempuan yang
baru pertama kali ditemuinya itu.
Pada kutipan di atas juga merupakan tahapan memasuki konflik.
Penyebab peristiwa pertemuan tokoh Seto dengan tokoh perempuan yang
diyakininya sebagai kekasihnya di masa lalu itu berujung pada rasa
penasaran tokoh Seto terhadap perempuan yang baru pertama kali
ditemuinya itu. Dari pertemuan itu, Seto melacak alamat rumah yang
diberikan langsung oleh perempuan itu. Seto hanya menemukan tiga anak
kecil dan perempuan tua yang tinggal dalam sebuah rumah kumuh dan tak
terurus. Tokoh Seto yang merasa bahwa ia telah masuk ke dalam sarang
nasib buruk akhirnya kecewa karena tidak menemukan perempuan itu.
59
Bagi Seto, pertemuan dengan perempuan itu merupakan bagian dari
tahapan konflik. Namun, peristiwa utama yang dialami Seto adalah
peristiwa penyadaran itu sendiri. Pada kutipan di atas terlihat bahwa tokoh
Seto kembali tersadar bahwa apa yang sedang dilakukannya merupakan
sebuah kebetulan saja. Ia pasrah dan merasa tak perlu lagi menaklukkan
rasa penasarannya kepada perempuan itu. Ia hanya mencoba mengulangi
kehidupan masa lalunya namun pasrah dengan kenyataan yang ia hadapi.
“Kenapa kau tidak kembali lagi” Tanya gadis itu pada suatu
sore dalam perjumpaan yang tak terduga. O, apa yang terjadi di
kehidupan lalu mungkin memang akan selalu mengubermu di
kehidupan sekarang. Kau tahu, Seto benar-benar ingin melupakan
gadis itu, tetapi ia bertemu lagi dengannya di deretan kakus umum
terminal Lebak Bulus. Ia hendak kencing dan perempuan itu juga
dan pertemuan itu sungguh tak terhindarkan.
“Aku tiba-tiba pusing,” kata Seto.
“Aku menunggumu hingga malam,” kata perempuan itu. (h. 42)
Pada kutipan di atas terlihat bahwa konflik semakin meningkat
ketika Seto bertemu kembali dengan perempuan itu secara tak sengaja di
sebuah terminal. Tokoh Seto yang sudah bertekad membuang jauh-jauh
bayangan perempuan itu harus memutar kembali adegan bersama kekasih
di masa lalunya yang sekarang bertemu kembali dengannya. Pertemuan
yang kebetulan itu membuat kedekatan di antara mereka kian akrab.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Munculnya kesadaran ini sekaligus menjadi solusi bagi tokoh Seto.
Konflik Seto adalah bertemu dengan perempuan itu di sebuah halte dan
mereka kemudian berpisah. Konflik meningkat setelah Seto bertemu
kembali di sebuah terminal dan mereka pun kian akrab setelah mencoba
saling mengenal satu sama lain. Situasi ini selesai ketika Seto akhirnya
mengulang apa yang terjadi di masa lalu dengan bercinta dengan
perempuan itu (h. 43). Setelah mengulang apa yang terjadi di masa
lalunya, Seto tersadar, pertemuan tak sengaja dengan perempuan itu
membuat Seto berpikir bahwa perempuan pelacur seperti itu akan selalu
ada ketika dibutuhkan.
60
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa cerita ini bermula
dari sebuah kebetulan dan pengaluran ini pun seringkali tidak masuk akal,
namun tetap bisa dinikmati oleh pembaca. Barangkali karena kejadian-
kejadian di dalam cerita bersifat fantastis dan jauh dari bayangan
kehidupan sehari-hari. Seperti beberapa cerpen lainnya, dalam cerpen ini
pun banyak ditemukan rangkaian peristiwa yang tak terduga, nyeleneh,
dan susah dipercaya—karena bisa dianggap cerita ini dibangun dalam
dunia surealis.
5. Cerpen Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya (kode:
C5)
Cerpen Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya
menarik secara penyajian karena pembaca dapat menemukan cerita di
dalam cerita. Cerita yang bertemakan tentang seorang yang berprofesi
sebagai pencerita ini disampaikan dengan unik dengan pemilihan
pengaluran yang apik. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan cerita.
Setiap tukang cerita pastilah berniat memukau orang sejak kalimat
pertama. Itu pula niatku meski pada akhirnya hanya bisa kudapatkan
kalimat pertama yang amat sepele: Kata sahibul hikayat, orang-orang
Cina menyukai hujan lebat di tahun baru. Dan konon mereka akan
meratap setahun penuh jika hujan lebat tidak turun di awal tahun.
Mereka menanam prasangka baik pada hujan awal tahun. Air yang
jatuh deras dari langit mereka bayangkan sebagai uang berlimpah,
mengguyur atap rumah dan membeceki pekarangan. (h. 45)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa sudut pandang yang digunakan
adalah orang pertama sebagai tokoh utama. Narator menceritakan kisahnya
sebagai seorang pencerita dengan menggunakan plot yang berjalan maju
secara kronologis.
Latar tempat yang digunakan di cerita ini terjadi di beberapa tempat
di antaranya di rumah keluarga tokoh Aku, pekarangan, dan di depan
kantor pos. Latar waktu yang digunakan dalam cerita ini tidak
digambarkan dengan detil dan tidak ada perubahan yang signifikan.
Perubahan signifikan justru terlihat pada penggambaran tokoh.
61
Tokoh Aku merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Ia digambarkan
sebagai seorang pewaris cerita turun-temurun dari keluarganya. Tokoh ini
adalah pencerita yang cerdas. Ia satu-satunya penerus yang menjadikan
tradisi turun-temurunnya itu sebagai sumber penghasilan (h. 53).
Penggambaran tokoh ini terasa apa adanya dan seperti tak dibuat-buat.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah tokoh ayah, Tokoh
ayah digambarkan sebagai orang yang selalu bersungguh-sungguh (h. 50).
Tokoh ini digambarkan memiliki banyak cerita. Ia mampu memikat
banyak orang dengan cerita-ceritanya namun ia tidak pernah mendapat
pekerjaan.
Tokoh tambahan lainnya adalah tokoh kakek dan nenek. Tokoh
kakek digambarkan sebagai seorang tukang kayu yang memiliki banyak
cerita (h. 53). Kebalikan dari anaknya, ia tidak mampu memikat orang-
orang. Tokoh ini hanya seorang PKI. Sementara itu, tokoh nenek
digambarkan sebagai orang yang paling sabar di antara keluarga tokoh
Aku. Ia suka menanam apa saja termasuk pohon jambu. Tokoh ini
dianggap galak oleh teman-teman tokoh Aku terutama jika ada anak yang
memanjat pohon jambunya (h. 47). Penggambaran tokoh-tokoh ini terasa
unik namun tetap terasa wajar. Dalam hal ini perubahan signifikan terlihat
pada penggambaran tokoh. Melalui penggambaran tokoh ini pengarang
menggariskan alur sebab akibat yang jelas. Akibat tokoh Aku yang sering
menertawakan cerita temannya yang gagap, maka tokoh Aku pun merasa
prihatin terhadap apa yang dialami ayahnya. Orang-orang yang datang
mendengarkan cerita ayahnya tampak senang di depannya namun tokoh
aku tahu bahwa di belakang ayahnya mereka tertawa. Seperti apa yang ia
lakukan terhadap si gagap.
Kami tertawa meskipun ia tidak keliru. Guru agama kami juga
mengatakan begitu; dulu ada bayi yang bisa bicara begitu ia keluar
dari rahim ibunya. Kami percaya pada guru agama tetapi tidak pada
si gagap dan kami tertawa-tawa mendengar cerita tentang ayahnya
yang sudah bicara sejak lahir dan kini menjadi gagap karena dililit
hantu. (h. 49)
62
Aku kerap mendengar ia menceritakan itu semua kepada orang-orang
yang datang ke rumah kami sehabis magrib; mereka tampak senang
di depannya, tetapi aku tahu bahwa di belakang ayahku mereka
tertawa. Itu seperti kami meminta si gagap bercerita dan kemudian
menertawainya. Kadang-kadang aku ingin menyuruh ayahku
berhenti bercerita dan mengatakan bahwa orang-orang itu, yang
tampaknya senang mendengar ceritanya, sesungguhnya suka
meledek di belakang punggung. (h. 50)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Konflik tokoh
Aku adalah selalu menertawai temannya yang bercerita dengan cara yang
gagap. Walaupun cerita itu sudah sering didengar tokoh Aku, namun ia
senang lalu menertawainya temannya sesudah ia menyelasaikan ceritanya.
Konflik semakin meningkat setelah tokoh Aku merasakan sendiri ketika
ayahnya bercerita di depan orang-orang yang datang ke rumahnya. Tokoh
Aku merasa bahwa apa yang dilakukan orang-orang itu sesungguhnya
sama dengan apa yang ia lakukan terhadap temannya yang gagap. Di situ
tokoh Aku merasa prihatin karena tak bisa mengatakan kepada ayahnya
bahwa orang-orang itu memang terlihat senang mendengarkan ceritanya,
namun sesungguhnya di belakang ayahnya mereka tertawa-tawa.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh Aku adalah perbuatannya sendiri yang sering
menertawakan temannya yang gagap ketika sedang bercerita. Konflik
meningkat setelah tokoh Aku merasa prihatin terhadap ayahnya yang
mendapat perlakukan yang sama seperti apa yang ia lakukan terhadap
temannya yang gagap itu. Munculnya ide cemerlang untuk memanfaatkan
warisan cerita yang ia dapat dari pendahulunya sekaligus menjadi solusi
tokoh Aku. Tokoh aku mencoba menuntaskan masalahnya dengan
bercerita warisan turun-temurun itu kepada temannya. Ketika ia tertarik
menulis puisi dan menggambar, tokoh Aku pun menggabungkan keduanya
untuk mendapatkan uang berlimpah dari sana. Plot berakhir ketika tokoh
Aku merangkum semua cerita yang telah ia ceritakan dan ia pun meminta
upah dari hasil kerjanya kepada lawan bicaranya (pembaca).
63
6. Cerpen Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri (kode: C6)
Cerpen Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri disampaikan
dengan menarik dengan pemilihan pengaluran yang apik. Plot yang
digunakan dalam cerita adalah pola sorot balik. Tema yang menjadi
gagasan utama cerita ini adalah cara untuk menjadi anak emas. Tema
tersebut terlihat sejak pembukaan cerita.
Pada suatu hari, ketika segala hal menjadi terang, dan
begitu pun matamu, kau bisa mendapati seorang mayor bertingkah
mencurigakan di rumahnya sendiri. Di rumah Mayor itu Seto pernah
datang sebagai juru selamat; ia membebaskan seorang berandal
tanggung, anak si Mayor, dari keroyokan para bajingan depan
losmen gara-gara urusan perempuan. “Tinggallah di sini,” kata Pak
Mayor ketika Seto mengantar pulang si anak yang lebam. (h. 55)
Selain menjadi anjing kampung seminggu sekali, ia
mencuci mobil Pak Mayor setiap pagi dan mengawal si berandal
setiap malam. Tak sampai sebulan menemani si berandal, Seto tahu
persis bahwa anak kedua Pak Mayor ini memang doyan kelayapan ke
tempat pelacuran dan selalu mengatakan kepada ayahnya bahwa ia
belajar di rumah teman. Anak pertama si Mayor kuliah di Bandung,
tak ada urusan untuk disinggung-singgung di sini. Anak ketiga
seorang perempuan kelas satu SMA, Tari namanya, suka mendekam
di kamar, dan belum waktunya disinggung di sini. Lagi pula ini
cerita tentang bagaimana cara si berandal menjadi anak emas Pak
Mayor. (h. 56)
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa plot menggunakan pola
sorot balik. Narator orang ketiga maha tahu menggambarkan tokoh Seto
yang pernah datang sebagai juru selamat di keluarga si Mayor. Kedatangan
tokoh Seto sekaligus sebagai pengantar memasuki cerita tentang keluarga
si Mayor. Ia berperan sebagai tokoh yang melihat dan menyaksikan
peristiwa yang terjadi di rumah si Mayor.
Tokoh Mayor merupakan tokoh utama di cerita ini. Ia digambarkan
sebagai suami sekaligus jenderal berpangkat yang suka main perempuan
(h. 57). Di depan anak istrinya, ia adalah ayah yang tegas. Namun setelah
anaknya, Pramono, mengetahui kisah perselingkuhannya, ia menjadi
sering salah tingkah di depan istrinya atau dapat dikatakan takut kalau
64
rahasianya terbongkar. Penggambaran karakteristik tokoh ini terasa wajar
dan kuat dari segi psikologisnya.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah Pramono. Tokoh
Pramono digambarkan sebagai anak emas dalam keluarga si Mayor.
Seperti ayahnya, sejak SMA Pramono sudah suka kelayapan dan sering
mengunjungi tempat-tempat pelacuran, bahkan ia sudah dua kali terkena
sipilis (h. 56-57). Semenjak mengantongi rahasia perselingkuhan ayahnya,
ia menjadi berandal yang licik dan suka memeras ayahnya agar
mendapatkan perlakuan istimewa di keluarga itu. Penggambaran tokoh ini
terasa berlebihan bagi seorang anak ingusan, namun tetap terasa natural.
Tokoh tambahan lainnya adalah Seto dan Suhartini. Seto
digambarkan sebagai tokoh yang melihat langsung keadaan yang terjadi
dalam keluarga Pak Mayor. Ia adalah gali yang menjadi juru selamat (h.
56). Tokoh ini tinggal di rumah si Mayor setelah menyelamatkan anak si
Mayor dari keroyokan preman gara-gara urusan perempuan. Posisi Seto
sebagai orang yang berjasa bagi keluarga Mayor membuat ia mengikuti
semua yang diminta keluarga itu, termasuk menemani si Mayor lari pagi
dan mengawal Pramono setiap malam (h. 56). Dapat dikatakan, kehadiran
tokoh ini hanya sebagai pengantar dan penutup cerita. Namun, mempunyai
peran penting karena dari posisinyalah semua masalah yang terjadi dalam
keluarga Mayor dapat terlihat. Sementara itu tokoh Suhartini digambarkan
sebagai istri yang cemburuan dan suka menuduh (h. 59-60). Tokoh ini
digambarkan sebagai istri yang mudah tersulut emosi, terlebih ketika anak
dan suaminya bersikap tidak wajar dan aneh di depannya. Penggambaran
tokoh Suhartini ini terasa wajar dan kuat karakternya dari awal hingga
akhir cerita.
Latar tempat yang sering muncul dalam cerita adalah Semarang dan
rumah Pak Mayor. Sementara itu, latar waktu dalam cerita terjadi lima
bulan selama Seto berada di rumah keluarga Pak Mayor (h. 64). Namun,
peristiwa terciumnya kisah perselingkuhan si Mayor sudah terjadi dua
tahun sebelum Seto tinggal di rumah keluarga Mayor (h. 59). Dari
65
penggambaran latar inilah, pengarang menggariskan sebuah alur sebab
akibat yang jelas. Akibat rahasia tokoh utama yang berselingkuh dengan
perempuan lain tercium anaknya, maka terjadilah sebuah rencana yang
disusun Pramono untuk menjadikannya anak emas di rumah itu.
Dari tempat yang tak mereka ketahui, ada sepasang mata
berandal tanggung yang terus menguntit. Ketika mereka pulang
dengan mobil masing-masing, Pramono mengikuti perempuan itu
sampai ke pagarrumahnya di Kaligarang. Peristiwa itu terjadi dua
tahun sebelum Seto tinggal di rumah Pak Mayor. Saat itu si berandal
baru beberapa bulan masuk SMA dan sudah suka kelayapan. (h. 59)
Itu serbuan tak terduga di hari Minggu malam, sehari
setelah kencan pertama. Si Mayor mengatakan sesuatu tetapi tak
jelas dan ia seperti buru-buru menelan kembali setiap kata yang ia
keluarkan.
“Kau ngomong apa?” Tanya Suhartini
“Aku memang suka bernyanyi, kau tahu itu,” jawab si Mayor.
“Aku tidak tahu itu.”
“Jadi kau mencurigaiku?”
“Tingkahmu mencurigakan.” (h. 60)
Kutipan di atas masuk ke dalam tahapan konflik. Peristiwa
pembuntutan yang dilakukan Pramono terhadap ayah dan wanita
selingkuhannya berlanjut pada terjadinya ancaman dan pemerasan
Pramono agar ia menjadi anak emas di rumah itu. Hal itu semakin
diperparah ketika Suhartini, istri si Mayor, mulai curiga dengan tingkah
aneh suaminya dan menuduh bahwa si Mayor tengah kasmaran. Si
berandal pun memanfaatkan keributan itu untuk memeras ayahnya.
Namun, peristiwa utama yang dialami si Mayor adalah peristiwa
perselingkuhannya yang telah tercium anaknya. Jika rahasia si Mayor
terbongkar, maka akan semakin memperburuk keadaan. Konflik semakin
meningkat ketika Pramono dengan licik terus memancing dan memeras si
Mayor dengan semakin gencar memperlihatkan kepada ayahnya betapa
dekat ia dengan ibunya (h. 62). Hal itu membuat si Mayor ketar-ketir dan
semakin naik pitam, namun ia tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk
menghalangi itu.
66
“Sudah lama tidak kudengar Ayah bernyanyi-nyanyi lagi,”
katanya. “Ibu terlalu berlebihan, sih.”
O, bajingan anak ini! Pak Mayor seperti ada cecak pada
cangkir kopi yang diseruputnya. Suhartinni seperti disulut dan tiba-
tiba suhu tengkuknya naik dan ia merasakan lagi dorongan untuk
mengamuk. (h. 63)
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Tokoh Seto muncul dan membeberkan situasi akhir yang terjadi di rumah
keluarga Mayor sebelum ia pergi meninggalkan rumah itu. Dengan
menjadikan Pramono sebagai anak emas di rumah itu sekaligus menjadi
solusi bagi si Mayor. Situasi genting yang dialami oleh si Mayor adalah
ketakutannya sendiri terhadap istri akan rahasia perselingkuhannya yang
bisa saja dibongkar anaknya. Situasi ini selesai ketika Pramono benar-
benar berhasil menjadi anak emas di rumah itu dan si Mayor tetap bisa
main perempuan. Tidak hanya Pramono, Seto pun menjadi anak emas istri
si Mayor (h. 64). Plot berakhir ketika Seto pergi meninggalkan rumah itu
dan dan meninggalkan buku catatan puisi, peri dan pelangi.
Cerpen ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya di awal cerita
pengarang menggunakan persona ketiga “dia” maha tahu, namun ada
narator lain yang muncul di akhir cerita sebagai “aku”, yang besar
kemungkinan adalah Seto. Mungkin saja kehadiran tokoh Seto yang
awalnya sebagai pengantar narator memasuki cerita tentang keluarga si
Mayor ingin menyuarakan apa yang disaksikannya di rumah itu sebelum ia
pergi dan mengakhiri cerita tentang keluarga si Mayor, atau mungkin ini
memang pola pengarang saja yang kebetulan menggunakan narator lain.
Dalam cerita ini, tokoh Pramono, sebagai anak, merupakan proyeksi
si Mayor, sebagai ayah. Keberadaan keluarga dalam cerita ini penting
sebagai gambaran bahwa sifat dan tabiat seorang anak merupakan
cerminan orang tuanya.
67
7. Cerpen Teknik Mendapatkan Cinta Sejati (kode: C7)
Cerpen Teknik Mendapatkan Cinta Sejati menarik secara
penyajiannya karena disampaikan dengan pemilihan pengaluran unik dan
plot yang digunakan berjalan maju secara kronologis. Cerpen ini masih
mengangkat tema percintaan yang menjadi gagasan utama. Tema tersebut
terlihat sejak pembukaan cerita ini.
Jika harus membenci orang yang sangat kau cintai, apa yang
akan kau lakukan? Pertanyaan itu datang Senin pagi ketika Seto baru
bangun tidur. Masih samar benda-benda, masih remang pikirannya,
dan tampang dungu adiknya bercokol di depan mata. Seto tahu
bahwa adiknya akan tampak seperti itu kapan saja, dan mungkin
selamanya. (h. 65)
Kalau saja adiknya sedikit berakal, Seto merasa akan
gampang menjawab pertanyaan yang diajukannya pagi itu. Ia akan
bilang, “Pindah agama saja.”
Itu bukan jawaban main-main. Seto pernah berpindah agama
tiga kali sejak berhenti kuliah: semua agama baik, kau tahu. Dengan
berpindah agama, kau sekadar berpindah dari suatu kebaikan ke
kebaikan lain. Lagi pula semua agama bisa dijalankan begitu-begitu
saja. Ia tak perlu ke masjid ketika Islam, tidak pernah ke gereja
ketika Kristen, tidak pernah bertapa ketika menganut kepercayaan.
(h. 66)
Pada kutipan di atas menujukkan bahwa sudut pandang yang
digunakan adalah “dia” maha tahu namun seperti cerpen lainnya,
pengarang menunjukkan kekhasannya dengan menyapa pembaca dengan
penggunaan klausa “kau tahu”. Posisi penceritaan seperti ini seringkali
menjadi kelemahan, yang seolah menggunakan sudut pandang orang
ketiga, menjadi batal karena kehadiran “kau” yang tidak lain disapa sang
narator, pendongeng, sebagai “aku” yang tersembunyi.
Tokoh Seto merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh Seto
digambarkan sebagai lelaki 36 tahun yang memiliki kepribadian yang
aneh. Sejak berhenti kuliah, ia sering berpindah agama untuk sekadar
berpindah dari satu kebaikan ke kebaikan lain (h. 66). Hal lain yang
membuat ia pindah agama adalah karena soal perempuan. Hal itu untuk
membuktikan bahwa cintanya ditolak karena berbeda agama bukan oleh
68
sebab yang lain (h. 74). Tokoh ini juga pernah memeluk tiga agama
sekaligus karena terinspirasi dari sebuah novel. Ia digambarkan
mempunyai penyakit yang seringkali kumat. Penggambaran tokoh ini
terasa sangat aneh dan seperti dibuat-buat. Tokoh ini digambarkan sering
menulis makalah untuk bahan diskusi (h. 70), sehingga dapat dikatakan
bahwa ia adalah orang yang memiliki wawasan terbuka. Namun, semenjak
putus kuliah lalu berpindah-pindah agama dengan alasan-alasan yang tidak
masuk akal membuat tokoh ini seperti memiliki kejiwaan yang tidak
waras.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah Sasi. Bagi kakaknya,
Seto, umurnya 19 tahun, tapi 22 tahun menurut akta kelahiran (h. 66).
Tokoh Sasi ini digambarkan sebagai gadis lugu yang sering melontarkan
pertanyaan berbelit-belit kepada kakaknya, sehingga ia dianggap bodoh
bahkan dijuluki si Kerbau oleh Seto. Sasi begitu menyayangi kakaknya.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, ia rela membatalkan rencana
studinya ke luar negeri demi merawat kakaknya. Penggambaran tokoh ini
terasa natural bagi seorang gadis lugu sekaligus seorang adik perempuan.
Pengarang mampu menggambarkan karakter tokoh ini dengan kuat.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita tidak digambarkan dengan
detil dan tidak ada perubahan yang signifikan. Sedangkan penggambaran
latar waktu dalam cerpen ini berhubungan dengan alur. Walaupun alur
berjalan maju secara kronologis, pengarang sesekali menceritakan masa
lalu para tokohnya, seperti masa kecil Sasi atau masa lalu Seto yang
memutuskan berpindah-pindah agama, dan kemudian kembali lagi pada
pola pengaluran semula. Melalui gambaran latar ini, pengarang
menggariskan sebab akibat yang jelas. Akibat pertanyaan Sasi mengenai
apa yang harus ia lakukan ketika harus membenci orang yang sangat
dicintainya, maka jawaban Seto agar adiknya pindah agama saja membuat
ia terperangkap karena adiknya terus mengejarnya sampai ia mendapatkan
jawaban yang membuatnya puas.
69
Si kerbau melanjutkan, “Sebenarnya aku sendiri sudah tahu
apa yang harus kulakukan. Tapi kau kakakku, aku ingin tahu
pendapatmu. Ayah bilang ia orang yang tidak baik. Apakah aku
keliru mencintai orang yang tidak baik?”
“Lakukan saja yang harus kau lakukan,” kata Seto sedikit melunak.
“Sebenarnya aku rela menjadi istri kedua,” kata adiknya, “tetapi
agamanya tidak membolehkan ia beristri dua.”
Kurasa di sinilah letak persoalannya. Seto kembali
mengeras. Baru saja si kerbau membuatnya bungkam dan agak
terharu ketika mengatakan, “Kau kakakku, kan?” Tetapi sebentar
kemudian anak itu sudah mengeluarkan pernyataan yang terdengar
bebal. (h. 72)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Peristiwa
ketika Sasi menanyakan kepada kakaknya perihal apa yang dilakukannya
ketika harus membenci orang yang sangat dicintainya berlanjut pada
pernyataan Seto yang dijawab sekenanya agar adiknya pindah agama saja.
Dalam tahapan ini, konflik utamanya terdapat dalam diri Seto. Ia merasa
bahwa dirinya menjadi bulan-bulanan adiknya yang bebal itu. Keadaan
semakin runyam ketika ia terus dikejar pertanyaan sampai adiknya benar-
benar menemukan jawaban. Konflik semakin meningkat setelah Seto
menyesali jawabannya pindah agama yang ia sampaikan sambil lalu. Si
Kerbau itu rupanya tak mampu membedakan salah benar. Peristiwa
penyesalan Seto kemudian mengingatkan ia dengan masa lalunya ketika
berpindah agama untuk menghindari penolakan dari perempuan karena
perbedaan agama, bukan karena sebab yang lain. Seto kembali
membayangkan bahwa masalah adiknya sebenarnya sama dengan apa
yang pernah dialaminya. Hanya saja, untuk menghindari penolakan, Seto
memilih untuk berpindah-pindah agama. Seto pun menyayangkan adiknya
yang sedikit berakal.
Kalau saja adiknya tidak bebal….
Mestinya urusan itu bisa menjadi diskusi yang menarik. Seto bisa
menjelaskan dengan amat jernih mengenai pindah agama dan alasan-
alasan pendukungnya. Ia akan memberikan alasan yang valid dan
realistis, di luar kenyataan bahwa semua agama baik, dengan contoh
kasus dirinya sendiri. Memang harus diakui bahwa keputusan Seto
untuk berpindah-pindah agama mulanya didasari oleh peristiwa yang
70
sangat remeh. Itu gejala yang lazim dalam munculnya berbagai
bentuk pencerahan. (h. 73)
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal Seto adalah pertanyaan adiknya yang dijawabnya sambil lalu
membuat ia terus dikejar. Konflik meningkat setelah Sasi terus-menerus
mengejarnya dengan pertanyaan yang berbelit-belit hingga penyesalan
Seto atas jawaban yang sudah terlanjur dikeluarkannya itu. Pelajaran dari
masa lalu Seto sekaligus menjadi solusi bagi Seto Sendiri. Pengalaman
Seto tersebut ternyata mampu menjadi jawaban yang cukup melegakan
bagi Sasi. Plot berakhir ketika narator mengisahkan sedikit tentang tokoh
Sasi yang rela meninggalkan kehidupannya demi merawat sang kakak
yang sakit-sakitan.
8. Cerpen Dua Perempuan di Satu Rumah (kode: C8)
Cerpen Dua Perempuan di Satu Rumah menarik secara penyajiannya
karena cerpen ini menggunakan pola sorot balik yang diceritakan oleh dua
narator; “aku” sebagai tokoh tambahan dan “aku” sebagai tokoh utama.
Tema keluarga broken home yang menjadi gagasan utama disampaikan
dengan menarik dan dengan pemilihan alur yang cermat. Tema tersebut
terlihat sejak pembukaan dan pertengahan cerita.
Sampai tiba hari kematiannya, Oktober 1984, Seto sudah
melakukan enam perbuatan tak pantas, memecahkan tempurung lutut
anak buahnya yang berkhianat, dan menulis 37 puisi yang
menyedihkan. Ia ditembak mati pada dini hari dan mayatnya dibuang
di dekat petak-petak tambak di pesisir utara Semarang dan
kelihatannya sengaja ditaruh di tempat yang mudah dilihat orang.
Ketika hari terang, tiga orang yang berangkat mengail menemukan
mayat Seto terbungkus karung. Umurku 5 tahun ketika
pemberantasan misterius berlangsung dan ibuku 26 tahun. Sebulan
setelah melewati usia 30, ibuku meninggal, sebagian karena sedih
dan sebagian karena penyakit parah di tenggorokannya. (h. 77)
Kurasa ibuku menganggap urusan-urusan yang demikian
itu sangat penting dan sepertinya Ayah tidak beranggapan begitu.
Karena itulah mereka kadang-kadang ribut. Tetapi mereka tetap
pasangan yang baik dan seterusnya tetap berpasangan secara baik
meskipun ayahku kemudian mengubah dirinya dan aku bingung
71
harus memanggilnya apa. Ia masuk ke rumah sakit suatu hari, setelah
berhasil menjual tanah warisan orang tuanya, dan pulang ke rumah
sebagai perempuan. Ia tak pernah berpikir itu akan memberiku
banyak kesulitan. (h. 80)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerita berjalan mundur atau
sorot balik. Pada bagian pembuka, narator pertama menceritakan
kehidupan Seto yang berakhir tragis. Seto mati karena menjadi korban
penembakan misterius. Kemudian memasuki masa kecilnya Seto, narator
kedua yang juga tokoh utama mengisahkan perjalanan hidupnya hingga ia
menjadi kepala preman yang kasar.
Latar tempat dalam cerita digambarkan terjadi pada beberapa tempat
seperti tambak pesisir utara Semarang, rumah Seto, sekolah, rumah sakit,
dan tempat mangkal banci. Sedangkan latar waktu dikisahkan telah terjadi
25 tahun setelah kematian Seto. Hal itu dikisahkan oleh narator pertama.
Seto mati pada Oktober 1984, ketika itu usia Seto 30 tahun. Ketika
peristiwa pemberasan misterius terjadi anak Seto berusia 5 tahun dan baru
menuliskan cerita kehidupan Seto ketika berusia 30 tahun. Narator kedua,
menceritakan kehidupan Seto kecil hingga menjadi kepala preman yang
kasar. Latar sosial yang menjadi fakta dalam cerita adalah peristiwa
pemberantasan misterius yang terjadi pada tahun 1984.
Tokoh Seto merupakan tokoh utama cerita ini. Ia digambarkan
sebagai seorang anak korban broken home. Seto kecil begitu membenci
ibunya yang cerewet (h. 79). Oleh sebab itu, ia tidak pernah merasa dekat
dengan ibunya. Sebaliknya, ia lebih dekat dengan ayahnya yang
penyayang dan lemah lembut. Tokoh ini tinggal dalam keluarga yang tidak
harmonis dan hal itu berpengaruh bagi pertumbuhannya. Setelah ayahnya
menjadi perempuan Seto berubah menjadi anak yang pemarah bahkan ia
menjadi perokok yang congkak sejak SMP. Hingga dewasa, ia sering
membuat keributan di tempat mangkal para banci (h. 85). Seto yang juga
kepala preman, mati pada usia 30 tahun setelah tewas ditembak dalam
peristiwa pemberantasan misterius. Penggambaran tokoh ini terbilang kuat
72
dan dalam, pengarang mampu menggambarkan karakteristik seorang anak
yang lugu dan polos yang kemudian berubah menjadi anak yang brutal.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah ayah Seto. Tokoh ayah
Seto digambarkan sebagai ayah yang penyayang dan lemah lembut. Tidak
seperti istrinya, ayah Seto selalu berbicara dengan nada yang lebih rendah.
Ayah Seto adalah orang terdekat Seto di rumah. Namun tanpa sebab yang
pasti, tokoh ini memutuskan menjadi perempuan dan semenjak itulah
kedekatannya dengan Seto semakin jauh. Penggambaran tokoh ini terasa
natural, pengarang juga mampu memberikan karakter yang kuat pada
tokoh ini.
Tokoh tambahan lainnya adalah ibu Seto, Aku, dan istri Seto. Tokoh
ibu Seto digambarkan sebagai ibu Seto sekaligus istri. Penggambaran
tokoh seperti ini hampir sama di beberapa cerpen lainnya. Tokoh ini
digambarkan sebagai ibu dan istri yang cerewet namun tokoh ini berubah
menjadi seorang yang pendiam dan tidak pedulian setelah sang suami
memutuskan menjadi perempuan. Sementara itu tokoh Aku digambarkan
sebagai anak Seto. Tokoh ini muncul sebagai narator di awal cerita yang
menceritakan akhir kisah hidup ayahnya. Ketika pemberantasan misterius
terjadi, tokoh Aku baru berusia 5 tahun. Sedangkan tokoh istri Seto tidak
banyak digambarkan dengan detil. Ketika Seto mati dalam pemberantasan
misterius, ia berusia 26 tahun. Istri Seto meninggal dalam usia 30 karena
memendam kesedihan atas meninggalnya Seto dan karena penyakit di
tenggorokannya. Penggambaran ketiga tokoh di atas terasa wajar dan
terasa seperti tidak dibuat-buat sehingga pembaca dengan mudah
mengenali setiap karakter tokohnya.
Perubahan signifikan terjadi pada pola penggambaran tokoh-
tokohnya. Melalui gambaran tokoh ini, pengarang menggariskan sebuah
alur sebab akibat yang jelas. Akibat ayah Seto berubah menjadi
perempuan, membuat Seto mengalami konflik batin. Ia tidak lagi
menemukan sosok ayah di rumahnya, ibunya pun menjadi pendiam dan
73
tidak lagi peduli, maka Seto semakin jauh dengan ayahnya dan tumbuh
menjadi anak yang pemarah, liar, dan kasar.
Di awal-awal perubahannya, aku masih sering keliru
memanggilnya ayah. Tetapi sebutan itu tak cocok lagi untuknya dan
aku tak menemukan sebutan baru. Aku menjauhinya karena tak
menemukan sebutan yang tepat untuknya. (h. 80-81)
Empat hari aku menginap di rumah sakit.
“Kenapa Ayah menjadi banci?” tanyaku kepada Ibu ketika ia
menjengukku. Aku sudah pernah menanyakan hal yang sama
sebelumnya tetapi Ibu hanya menyodorkan suara getirnya dan itu
bukan jawaban.
Tanyakan sendiri padanya. (h. 84)
Sejak SMP aku bergaul dengan teman-teman yang suka
merokok dengan congkak di rumah. Ibuku tidak peduli apa yang
kulakukan. Ia benar-benar sudah mencabut semua larangan. Ayahku
mengingatkan bahwa belum saatnya aku merokok. Kukatakan
padanya, “Kau bukan ayahku. Apa pedulimu?
Ia tak bisa apa-apa.” (h. 85)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Peristiwa
berubahnya ayah Seto menjadi perempuan menjadi penyebab Seto
mengalami konflik batin. Ia tidak lagi mempunyai orang terdekat di
rumahnya yang selama ini diwakili ayahnya. Ia bingung dan tak
menemukan sebutan yang pantas untuk ayahnya. Ibunya pun menjadi
pendiam dan tidak mampu memberi alasan mengapa ayahnya menjadi
banci. Konflik dalam diri Seto meningkat setelah ia sering dikucilkan
teman-temannya di sekolah karena ayahnya berbeda. Semenjak itu, ia
menjadi anak yang pemarah dan semakin menjauhi ayahnya. Seto pun
tumbuh sesukanya. Ia sering merokok dengan congkak di rumahnya.
Bahkan ibunya sendiri tidak peduli dan ayahnya tak bisa berbuat apa-apa.
Konflik semakin meningkat setelah Seto menjadi preman dan suka
membuat keributan dan melakukan kekerasan di tempat mangkal banci.
Dan seterusnya ia tak bisa melakukan apa-apa ketika aku tumbuh
sesukaku dan mulai mabuk dan membuat keributan di tempat
mangkal para banci. Ada dua alasanku untuk melakukan hal ini.
Pertama, para banci itu akan melengking-lengking berisik sekali.
Aku senang mendengar mereka berisik karena ibuku tak lagi berisik
dan aku merindukan keberisikannya. Kedua, aku mau ayah
menjauhiku. (h. 85)
74
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik dalam diri Seto adalah pergolakan batin dalam dirinya karena
perubahan ayahnya. Konflik dalam diri Seto memuncak setelah
lingkungan di rumah dan di sekolahnya berubah. Perubahan sikap Seto
menjadi anak yang pemarah dan liar sekaligus menjadi solusi bagi Seto
sendiri. Seto menuntaskan solusi yang ia temukan dengan perubahan
perilakunya. Situasi ini selesai ketika Seto menjadi kepala preman yang
suka membuat keributan dan melakukan kekerasan di tempat mangkal para
banci.
Dalam cerita ini, terlihat bagaimana pengaruh lingkungan hidup bagi
pertumbuhan seorang anak. Keberadaan keluarga bagi seorang anak
menjadi model pertama yang akan ditiru anak. Bagaimanapun, setiap
keputusan yang diambil orang tua, baik maupun buruk, pasti akan
memberikan dampak pada anak.
9. Cerpen Bukan Ciuman Pertama (kode: C9)
Cerpen Bukan Ciuman Pertama menarik secara penyajiannya karena
disampaikan dengan apik dan dengan pemilihan alur yang cermat. Tema
yang diusung adalah misteri ciuman lelaki dengan sebelah mata mengatup
menjadi gagasan utama cerita ini. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan
dan pertengahan cerita.
Kami berpapasan di tikungan dekat rumah dan saling
bertatapan sebentar—mata kanannya tidak membuka. (h. 87)
Istriku sudah menulis daftar segala tindakan yang tidak
boleh dilakukan baik oleh perempuan hamil maupun oleh lelaki yang
istrinya sedang hamil, dan setiap saat daftar itu bisa bertambah
panjang sebab ia menyimak apa saja omongan orang. Tapi aku tak
sengaja berpapasan dengan orang itu di tikungan sebelum rumah, dan
tak pernah menyangka akan bertemulagi dengannya kurang lebih
satu jam kemudian. (h. 87-88)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerita dikisahkan narator “aku”
sebagai tokoh utama. Cerpen ini menggunakan plot yang berjalan maju
secara kronologis.
75
Latar tempat yang digunakan di cerita ini terjadi di tikungan jalan
dan di rumah tokoh Aku. Sementara itu latar waktu yang digunakan dalam
cerita terjadi dalam satu hari ketika tokoh Aku bertemu dengan lelaki
dengan sebelah mata mengatup itu hingga beberapa bulan sampai anak
keempat tokoh Aku lahir. Perubahan signifikan bukan pada penggambaran
latar tapi justru terlihat pada penggambaran tokoh.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama di cerita ini. Tokoh ini
digambarkan memiliki kepribadian yang tidak masuk akal. Tokoh ini suka
membaca buku-buku motivasi dan efek bacaan tersebut ternyata
mempengaruhi pola pikirnya (h. 92). Ia menjadi sering berimajinasi dan
berpikir liar, sehingga seringkali tokoh ini mempunyai masalah dengan
jalan pikirannya sendiri, seperti menilai negatif apa yang tidak sesuai
dengan dirinya. Penggambaran tokoh ini terasa unik, namun pengarang
tetap mampu menggambarkan karakter serta jalan pikiran tokoh dengan
kuat.
Tokoh utama tambahan cerita ini adalah lelaki dengan sebelah mata
mengatup dan istri. Tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup
digambarkan sebagai tokoh yang misterius. Tokoh ini dianggap sedang
menjalani laku tertentu yang bisa memberikan nasib baik kepada bayi
sejak hari pertama dilahirkan (h. 93-94). Ia kemudian mendatangi rumah-
rumah untuk bisa mengusap serta mencium perut perempuan yang sedang
hamil. Penggambaran tokoh ini terasa unik namun tetap terlihat wajar.
Walaupun sosoknya misterius tetapi karakteristik tetap terasa kuat.
Sementara itu tokoh istri dalam cerita ini tidak digambarkan dengan detil.
Tokoh ini digambarkan sebagai perempuan yang percaya terhadap mitos-
mitos, terutama saat dirinya hamil (h. 87-88).
Melalui penggambaran tokoh inilah, terutama penggambaran jalan
pikiran tokoh utama, pengarang menggariskan sebuah alur sebab akibat
yang jelas. Akibat pola pikir tokoh Aku yang sering berimajinasi dan liar,
maka tokoh Aku pun jadi sering menghubung-hubungkan ajaran atau
pesan buku yang ia baca dengan kehidupannya.
76
Orang yang datang kepadaku, aku sangat yakin, adalah
orang yang cenderung berbelit-belit. Matanya yang terpejam sebelah
menunjukkan bahwa ia dijauhi nasib baik sejak lahir. Segala yang
melekat padanya membuatku lekas menarik kesimpulan bahwa dia
bukan orang yang dimaksudkan oleh bab tiga. (h. 92)
Anakku yang keempat lahir dengan mata kiri terpejam. Ia
dan orang itu seperti bayangan masing-masing cermin—yang satu
mata kiri, yang satu mata kanan. Aku benci sekali kepada istriku dan
kepada orang itu. Aku tidak mau percaya bahwa bayi itu anakku.
“Jadi kau pikir ini anak siapa?” istriku melengking.
“Bukan anakku. Aku tak percaya ia anakku.”
“Kau gila.” (h. 95)
Kutipan di atas menunjukkan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik utama tokoh Aku adalah jalan pikirannya sendiri. Peristiwa
pertemuan tokoh Aku dengan tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup
membuat ia terus berpikir liar. Ia selalu mempercayai serta menghubung-
hubungkan pesan buku yang ia baca dengan kehidupannya. Tokoh Aku
menganggap bahwa tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup yang
mendatanginya adalah penyakit. Seperti ajaran dari buku yang ia baca
bahwa sebuah penyakit harus segera dibasmi dan dijauhi. Konflik
meningkat ketika tokoh Aku terus berprasangka buruk terhadap lelaki itu.
Kedatangan lelaki itu dianggap punya maksud lain, bahkan lelaki itu
dianggap penjual jimat dan tukang hipnotis. Tokoh Aku sejujurnya tidak
menyukai lelaki itu tetapi istrinya justru mengizinkannya mengusap dan
mencium perutnya. Konflik semakin meningkat setlah anak keempat itu
lahir dan dan semakin lama semakin mirip dengan si lelaki dengan sebelah
mata mengatup. Saat itulah, tokoh Aku semakin yakin bahwa
prasangkanya selama ini benar, sehingga ia menyimpulkan:
Lama-lama aku tahu mereka sendirilah yang gila. Mereka berdua
pasti sudah main gila di belakangku. Aku berpikir untuk
meninggalkan rumah ketika anak keempat itu makin lama makin
mirip dengan orang yang mengelus dan mencium perut istriku. (h.
96)
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh Aku adalah pola pikirnya sendiri. Efek bacaan
77
membuat ia berpikir liar dan seringkali ajaran dari buku yang ia baca
dihubung-hubungkan dengan kehidupannya. Konflik meningkat setelah
tokoh aku terus berprasangka buruk terhadap lelaki dengan sebelah mata
mengatup mengelus dan mencium perut istrinya yang tengah hamil.
Munculnya prasangka dan dugaan-dugaan baru tentang lelaki itu dan
istrinya sekaligus menjadi solusi bagi tokoh Aku. Setelah anaknya terlahir
dan semakin lama semakin mirip dengan lelaki itu, tokoh Aku terus
mengungkung dirinya dengan prasangka dan dugaan-dugaan bahwa ia
telah dikhianati istrinya. Adegan-adegan si lelaki mengelus dan mencium
perut istrinya membuat tokoh Aku semakin yakin bahwa itu bukan usapan
pertama dan ciuman pertama (h. 96).
Pengaluran yang dibangun dari jalan pikiran tokoh utama ini
membuat cerita ini menarik secara penyajiannya. Dari awal hingga akhir
cerita, pengarang mampu menggambarkan bagaimana jalan pikiran tokoh
utama yang mudah sekali terpesona dan percaya pada ajaran buku yang ia
baca. Hal itu rupanya mempengaruhi pola berpikirnya terhadap sesuatu
hingga ia pun seringkali menghubung-hubungkan dengan kehidupannya.
10. Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis (kode:
C10)
Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis
menarik secara penyajiannya karena disampaikan dengan unik dan
pemilihan pengaluran yang apik. Cerpen ini mengusung tema tentang
perlawanan terhadap takdir menjadi gagasan utama dalam cerita ini. Tema
ini terlihat sejak pembukaan cerita ini.
Fakta pertama, gadis itu cantik dan itu membuat Alit kikuk
dan membuatnya tiba-tiba menyadari betapa pentingnya bakat. Fakta
berikutnya, para penjual motivasi selalu mengatakan kepadamu
bahwa untuk menjadi ini dan itu kau tidak memerlukan bakat. Alit
pernah meyakininya ketika ia memutuskan belajar sulap, tetapi
belakangan ia tidak terlalu percaya pada bujukan itu. Ia kembali
yakin pada bakat. “Jika bakatmu adalah pawang kera,” katanya, “kau
pasti akan lebih beruntung menjadi pawang kera ketimbang
memaksakan diri menjadi penulis atau menjadi tukang ketik. (h. 96)
78
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerpen ini dikisahkan dengan
narator “dia” maha tahu. Dalam cerpen ini dan seperti beberapa cerpen
yang lain narator terkadang menyapa pembaca dengan sapaan “kau” yang
merupakan salah satu pola pengarang untuk mewakili dialog tokoh dan
kemudian narator kembali lagi pada pola penceritaan semula. Kutipan di
atas juga menunjukkan bahwa plot yang digunakan berjalan maju secara
kronologis.
Tokoh Alit merupakan tokoh utama cerita ini. Nama Alit ini
seringkali dijadikan tokoh beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen ini.
Tokoh ini digambarkan sebagai pesulap yang kemudian berubah haluan
menjadi pawang hujan karena seorang gadis. Tokoh ini digambarkan
sebagai lelaki yang tidak percaya diri. Ia terobsesi pada perempuan sejak
ia menjadi pesulap hingga menjadi pawang hujan yang berbakat. Sejak
gadis itu masih ingusan hingga tumbuh menjadi gadis matang. Namun ia
tidak pernah berani mengungkapkan cintanya hingga gadis itu jatuh ke
pelukan si bandot tua. Tokoh ini pada akhirnya yang menentang dan
melawan takdir Tuhan karena kekecewaannya terhadap keputusan-Nya.
Penggambaran tokoh ini terasa unik. Dalam penggambaran tokoh ini
pengarang mampu menggambarkan setiap perubahan karakter tokoh
dengan kuat dan dalam.
Tokoh tambahan dalam cerita ini adalah si gadis kusam. Tokoh gadis
kusam ini digambarkan sebagai tokoh yang lugu dan polos. Setelah
beranjak dewasa, tokoh ini berubah menjadi perempuan cantik dan
semakin pandai memikat perhatian lelaki. Penggambaran tokoh ini
terkesan dipaksakan. Dari penggambaran fisik maupun penampilan tokoh
ini biasa saja dan jauh dari kesan cantik, namun pengarang seolah
menggambarkan si gadis kusam ini mempunyai sejuta pesona yang dapat
meluluhkan hati setiap lelaki yang melihatnya.
Tokoh tambahan lainnya adalah pawang hujan dan tokoh Aku.
Tokoh pawang hujan digambarkan sebagai guru Alit yang sakti dan sudah
79
tua. Setelah mewarisi ilmu kepawangannya kepada Alit, tokoh ini
meninggal. Sementara itu tokoh Aku digambarkan tidak mempunyai
hubungan dengan jalannya cerita. Ia hanya muncul di akhir cerita dan
menyelesaikan plot dari tokoh utama. Perubahan signifikan tidak terlihat
pada penggambaran tokoh-tokohnya, tetapi justru terlihat pada
penggambaran latar.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di beberapa
tempat, antara lain di markas tentara, di rumah pawang hujan, tempat
pemakaman, dan di sungai. Latar tempat digambarkan dengan detil oleh
pengarang, seperti gambaran ketika Alit gagal melakukan atraksi sulapnya
di markas tentara (h. 98-99) dan gambaran ketika Alit mengusir kumpulan
awan yang mendatangi pemakaman gurunya (h. 101). Tidak hanya itu,
pengarang juga mampu menggambarkan suasana ketika Alit melakukan
atraksi sulapnya di depan para prajurit. Dalam atraksinya Alit mendapati
siksaan selama satu jam yang terasa seperti bertahun-tahun tanpa
ditertawai atau ditepuki tangan. Di pemakaman pun suasana yang
digambarkan terasa sangat menegangkan ketika Alit bertarung
menghadapi kumpulan awan yang menyesaki pemakaman gurunya. Pada
penggambaran inilah terlihat imajinasi pengarangnya tentang peristiwa
yang terjadi pada tokoh Alit.
Latar waktu dalam cerita terjadi selama beberapa tahun. Saat berusia
24 tahun, Alit jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis kusam—
usianya baru tiga belas—yang menonton pertunjukannya. Ketika
menginjak usia yang ke 32, Alit menyadari bahwa usia gadis itu sudah
hampir 21. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa waktu dalam
cerita berlangsung kurang lebih 11 tahun, selama itu pula Alit memendam
cintanya terhadap gadis itu. Pengarang menggariskan sebuah alur yang
jelas melalui penggambaran latar ini. Akibat ketidakpercayaan diri tokoh
utama dalam mengutarakan cintanya kepada si gadis kusam, maka gadis
itu pun jatuh ke pangkuan si bandot tua. Obsesi dan rasa cinta tokoh utama
80
itu membuat ia kecewa dan menganggap bahwa Tuhan telah membuat
keputusan yang keliru, karena itu ia ingin melawan keputusan-Nya.
Ia ingin sekali mendatangkan hujan deras semalaman untuk
menggagalkan pesta pernikahan gadis itu. Tentu saja ia tidak
melakukannya; itu akan menyalahi sumpahnya sebagai pawang
hujan dan itu bukan tindakan terpuji. Tetapi apa gunanya
mempertahankan sumpah dan tindakan terpuji jika gadis itu jatuh ke
tangan duda tua? (h. 102)
Tuhan telah menyakitinya dalam urusan perjodohan, maka
Alit memutuskan bertarung dengan Tuhan di wilayah lain yang Dia
merasa paling berkkuasa—soal kematian. Ia bersumpah tak akan
pernah membiarkan kematiannya menjadi urusan Tuhan; ia hanya
mau mati karena ia sendiri yang menghendaki kematiannya. Karena
itu pada suatu malam ia terjun dari jembatan, menenggelamkan diri
di sungai keruh. Dan ia tidak mati. (h. 104-105)
Kutipan di atas menunjukkan tahapan memasuki bagian konflik.
Penyebab konflik tokoh utama adalah ketika Alit diminta mengusir hujan
pada pesta pernikahan gadis pujaannya dengan duda tua. Bagi tokoh Alit,
tugas yang harus ia lalui itu membuatnya sadar bahwa bakat
kepawangannya adalah bakat keliru yang diberikan Tuhan. Bakatnya itu
tak mampu memikat hati gadis pujaannya. Konflik semakin meningkat
setelah Alit semakin kecewa terhadap Tuhan karena dianggapnya telah
memberikan keputusan yang keliru dengan menjodohkan gadis itu dengan
bandot tua. Maka, Alit pun melawan Tuhan dan keputusan-Nya yang
keliru dengan menghendaki kematiannya sendiri. Ia terjun dan
menenggelamkan diri ke sungai. Namun ia tidak mati dan menganggap
bahwa Tuhan telah bertindak curang dengan mendatangkan pengemis
untuk menyelematkan nyawanya.
Setelah pertarungan yang remis itu, Alit tidak pernah lagi
berniat mencabut nyawa sendiri. Dua hari ia dirawat oleh si
pengemis. Pada hari ketiga ia meninggalkan sang utusan itu dan
berjalan sepanjang sungai ke arah hulu dan di sebuah dataran tinggi
ia merencanakan lagi pertarungan berikutnya. (h. 105)
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik utama Alit adalah kekecewaannya terhadap gadis itu karena lebih
81
memilih si bandot tua daripada dirinya dan Alit pun menyesali bakat
kepawanganannya. Konflik meningkat setelah Alit menyadari bahwa
Tuhan telah membuat keputusan yang keliru, maka ia pun memutuskan
bertarung dengan Tuhan namun pertarungan itu berakhir remis.
Munculnya rencana-rencana baru untuk melawan Tuhan sekaligus menjadi
solusi bagi Alit. Situasi genting setelah pertarungan yang remis itu, Alit
tetap ingin melawan Tuhan dan keputusan-Nya yang keliru dengan
membuat sebuah rencana untuk pertarungan berikutnya. Situasi ini selesai
ketika narator lain muncul di akhir cerita dan mengakhiri cerita Alit dan
perlawanannya dengan Tuhan.
Pada pola penceritaan ini mengandung beberapa kelemahan,
misalnya, narator yang muncul di akhir cerita, tiba-tiba saja muncul dan
menutup cerita. Tokoh Aku yang tidak ada hubungannya dengan jalannya
cerita menjelaskan bahwa dirinya hanya tukang sulap yang tidak berbakat
dan sama sekali tidak mengusai tipuan untuk menurunkan hujan. Namun
tetap mendukung rencana Alit dan masih tetap menunggu kadatangannya.
Tokoh Aku yang muncul di akhir ini bisa jadi hanya tokoh tambahan yang
memang sengaja dihadirkan pengarang untuk menuntaskan solusi tokoh
utama. Pada titik ini cerita berakhir tidak padu. Namun, seperti beberapa
cerpen lainnya, pengarang tetap mampu memberikan akhir cerita yang
tidak harus sesuai dengan mata rantai yang padu.
11. Cerpen Kisah Batu Menangis (kode: C11)
Cerpen Kisah Batu Menangis menarik secara penyajiannya karena
bercerita tentang sebuah dongeng yang disampaikan oleh narator “aku”
sebagai tokoh utama. Cerpen ini disampaikan dengan menarik dan dengan
pemilihan pengaluran yang apik. Tema yang diusung dalam cerpen ini
adalah ketabahan dan kerelaan seorang suami. Tema tersebut terlihat sejak
pembukaan dan pertengahan cerita.
Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah batu
yang menangis. Ia mungkin menyampaikan cerita agar kau lebih
berhati-hati. Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika
82
suatu saat burung penguinmu ditonton orang di mana-mana dan
dijadikan bahan ketawaan. (h. 107)
Sebetulnya aku merasa sakit hati setiap kali ia mengutuk
bekas suaminya itu. Sebetulnya aku merasa sakit hati setiap kali ia
mengutuk bekas suaminya itu. Menurutku ia tak pantas terus
menerus membicarakan lelaki itu di depanku, apa pun alasannya.
Bagaimanapun, sekarang akulah suaminya. Dan kemarahan
perempuan itu, yang tak pernah reda, membuatku merasa tak berarti.
Aku merasa bahwa ia tak sopan terus menyebut-nyebut lelaki itu di
hadapanku, tetapi ia berkali-kali melakukannya. (h. 113)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa plot dalam cerita ini
menggunakan pola campuran. Dongeng ini bermula saat narator
menceritakan sebuah kisah batu yang bisa menangis. Kisah tersebut
merupakan kisah nyata dari pengalaman hidup tokoh utama, narator itu
sendiri. Kemudian sesuai dengan plot yang digunakan, seringkali narator
bolak-balik menceritakan masa lalu tokoh istri maupun tokoh Aku hingga
akhirnya mereka menikah dan cerita berakhir.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di dua tempat,
yakni peristiwa atraksi mesum antara si lelaki dengan pasangannya yang
terjadi di rumah makan dan peristiwa menyelinapnya tokoh Aku setelah
meninggalkan istrinya dan ia menangis sepanjang malam dalam sebuah
gua di kaki bukit. Sementara itu, latar waktu yang digunakan dalam cerita
ini terjadi kurang lebih sepuluh tahun sejak tokoh Aku menikah.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh Aku
digambarkan mempunyai kepribadian yang lemah. Tokoh ini digambarkan
sebagai suami yang lemah jika berhadapan dengan istrinya. Ia selalu tabah
ketika istrinya terus-menerus menyakitinya. Tokoh ini digambarkan
mengalami konflik batin. Perjalanan hidupnya digambarkan dengan tragis.
Selama menikah dengan perempuan itu, tokoh Aku tidak pernah
merasakan kebahagiaan dan ketentraman. Ia hanya mengalami konflik
batin yang terus-menerus.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah istri dan si lelaki.
Tokoh istri digambarkan sebagai perempuan sundal yang juga pasangan
atraksi penguin si lelaki (h. 111). Ia kemudian dinikahi sebagai istri ketiga
83
setelah si lelaki menceraikan istri keduanya. Mereka pun bercerai setelah
si lelaki berselingkuh. Tokoh istri ini digambarkan terus-menerus meracau,
mengumpat, dan mengutuk pengkhianatan yang dilakukan bekas suaminya
sampai ia menikah lagi dengan tokoh Aku. Penggambaran tokoh ini terasa
kuat dalam dari segi psikologisnya. Sementara itu tokoh lelaki
digambarkan sebagai pegawai negeri kecil-kecilan yang suka selingkuh
dan melakukan atraksi penguin dengan beberapa perempuan. Tokoh ini
telah empat kali menikah, dan menceraikan ketiga istrinya yang
sebelumnya. Penggambaran tokoh ini terasa wajar dan seperti tak dibuat-
buat.
Perubahan signifikan justru terlihat pada pola penggambaran tokoh.
Melalui penggambaran tokoh ini, pengarang menggariskan sebuah alur
sebab akibat yang jelas. Akibat tokoh istri yang terus-menerus meracau,
mengumpat, dan mengutuk bekas suaminya membuat tokoh Aku
mengalami konflik batin. Ia merasa sakit hati setiap kali istrinya mengutuk
bekas suaminya dan kemarahan perempuan itu karena pengkhianatan
bekas suaminya, membuat tokoh Aku merasa tak berarti. Ia tak mampu
melawan dan berbuat apa-apa untuk menghentikan kicauan istrinya.
Tentang istri ketiganya, orang yang kuketahui riwayatnya, ia
masih mengamuk bertahun-tahun setelah kejadian itu, bahkan
bertahun-tahun setelah mereka bercerai. Perempuan itu terus
menyambar-nyambar dengan mulutnya yang tak terkendalikan. Aku
mendengar setiap amukannya sebab ia kemudian menjadi istriku dan
terus meracau, mengutuk bahwa setiap lelaki tak ada bedanya. Ketika
atraksi pejabat dan penyanyi dangdut itu menyebar, ia juga menyalak.
“Pejabat atau kere sama saja,” katanya. “Istri pejabat itu munafik-fik-
fik-fik!” (h. 112)
Enam tahun setelah peristiwa tersebut, aku bertemu lagi
dengan perempuan yang kucintai. Ia tampak menyedihkan tetapi
kepada perempuan itu aku membuktikan bahwa rasa cinta bisa abadi.
Aku hampir menangis bertemu lagi dengannya di sebuah rumah
makan dan kami menikah dua bulan kemudian. Kami menjalani
rumah tangga dengan cara tersendat-sendat dan aku selalu ingin
menangis sepanjang sembilan tahun sejak pernikahan setiap kali
mendengar ia mencaci maki bekas suaminya. (h. 115-116)
84
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik batin tokoh utama adalah isteri yang dicintainya terus mengutuk
bekas suaminya di hadapannya selama mereka menikah. Bagi tokoh Aku,
ia tidak lagi mempedulikan masa lalu istrinya namun kemarahan istrinya
yang tak pernah reda itu membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun
merasa tak berarti karena tak mampu membahagiakan perempuan yang
sangat dicintainya. Konflik semakin meningkat setelah tokoh Aku tak
mampu lagi menahan bahwa dirinya pun tersakiti oleh sikap istrinya itu.
Selama sembilan tahun menikah, tokoh Aku terus menangis dan tak
pernah menemukan kebahagiaan ataupun ketenteraman dalam hidupnya.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh Aku adalah ketidakberdayaaannya menghadapi
istrinya yang terus-menerus mengungkit masa lalu di hadapannya dengan
mulut yang tidak terkendalikan. Konflik semakin meningkat setelah tokoh
Aku terus menangis selama kurang lebih sepuluh tahun pernikahan dan
selama itu pula ia tidak pernah mendapat kebahagiaan. Penderitaan yang
terjadi selama bertahun-tahun itu membuatnya mengalami konflik batin
yang terus meningkat hingga klimaks, sehingga ia menyimpulkan:
Pernikahan kami sudah hampir sepuluh tahun, dan umurku
sebentar lagi 65. Sudah saatnya aku memikirkan ketenteraman seperti
resi-resi zaman dulu, menghabiskan air mata di tempat yang sunyi.
Maka aku menyelinap malam-malam ke selatan, ke sebuah gua di
kaki bukit. (h. 116)
Munculnya keputusan untuk mengakhiri penderitaan dan pergi untuk
mencari ketenteraman sekaligus menjadi solusi bagi tokoh Aku. Setelah
menjalani pernikahan hampir sepuluh tahun, barulah tokoh Aku
menuntaskan solusi yang telah ia temukan. Plot berakhir ketika keinginan
tokoh Aku terkabul. Ia terus menangis sepanjang malam di dalam gua dan
ketika terbangun keesokan harinya ia berubah menjadi sebongkah batu
berbentuk kelinci yang terus menangis.
Pada pengaluran ini, terlihat kemampuan pengarang dalam
menghadirkan gambaran kisah klise perselingkuhan pejabat publik yang
85
diceritakan narator pada pembukaan cerita, yang kurang lebih memiliki
hubungan dengan masa lalu tokoh istri. Kisah perselingkuhan publik figur
ini sekaligus pengantar bagi narator untuk menceritakan konflik utama
yang terjadi pada tokoh utama dengan tokoh lainnya.
Dalam cerita ini, tokoh Aku merupakan gambaran sebuah
penerimaan. Sedangkan, tokoh istri merupakan gambaran sebuah
ketidakbersyukuran. Menarik untuk dilihat bahwa cinta sebenarnya bisa
hadir dan tumbuh jika satu dan yang lainnya saling menerima kekurangan
maupun kelebihan yang sudah melekat dalam diri pribadi masing-masing.
12. Cerpen Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa (kode: C12)
Cerpen Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa menarik
secara penyajiannya karena dibangun dengan alur cerita yang tidak masuk
akal. Tema tentang kekecewaan terhadap masa lalu yang menjadi gagasan
utama cerpen ini disampaikan dengan apik. Tema tersebut terlihat sejak
pembukaan cerita.
Akhirnya bisa kusampaikan kabar ini, kabar baik yang
tertunda sekian lama, kabar baik mengenai pekerjaan besar yang
tertunda sekian lama. Kau tahu, setiap pekerjaan besar memang
selalu menuntut kesabaran dan ia bisa dimulai dari peristiwa yang
amat sepele: sebuah pertemuan tak sengaja dengan teman lama—
teman baik di waktu lalu, yang agak menjemukan setelah beberapa
tahun tak ketemu. (h. 117)
Setelah pertemuan itu, aku beberapa kali ke Jakarta untuk
urusan pekerjaan tetapi tidak pernah mampir ke rumah Seto
meskipun ia memberiku alamat. Aku benci nama kampungnya; ia
seperti memberi perasaan tidak enak yang aku sendiri susah
menjelaskannya. Kuceritakan hal ini kepada Jiwo, si mungil yang
dipanggil Kadal ketika kami SMP dan tetap mungil ketika kami
sama-sama kuliah di Yogya. Oleh teman-teman di kampusnya ia
dipanggil Kondom; aku tidak sekampus dengannya dan tetap
memanggilnya Kadal. Kadal kembali ke Semarang tanpa
menamatkan kuliah; ia memanjangkan rambutnya dan menjadi
cenayang di Kampung Kali. Sekarang orang-orang memanggilnya
Simbah. (h. 118)
86
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerita ini menggunakan sudut
pandang persona pertama, “aku” sebagai tokoh utama. Plot dalam cerita
ini berjalan maju secara kronologis.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama di cerita ini. Ia digambarkan
memiliki kepribadian yang sulit ditebak. Tokoh ini digambarkan sebagai
tokoh yang seringkali menilai sikap dan gerak-gerik teman-teman lamanya
yang sudah lama tak dijumpainya, termasuk Seto dan si Kadal. Tokoh ini
digambarkan begitu mencintai kampung halamannya, walaupun Semarang
tidak banyak memberikan kebahagiaan tetapi ia tetap tak bisa
meninggalkannya (h. 123). Penggambaran tokoh ini terasa aneh dan
terkadang tidak masuk akal, namun tetap terasa natural.
Tokoh utama tambahan di cerita ini Jiwo alias si Kadal. Tokoh Jiwo
alias si Kadal digambarkan sebagai teman lama tokoh Aku yang bertubuh
mungil. Ia adalah seorang cenayang yang dipanggil Simbah di
kampungnya. Tokoh ini digambarkan tidak waras karena seringkali
berbicara seperti orang yang mengigau. Penggambaran tokoh ini dibuat
begitu tragis namun karakternya tetap terasa natural.
Tokoh tambahan lainnya adalah tokoh Seto dan nenek. Tokoh Seto
digambarkan sebagai teman lama tokoh Aku yang selalu tampak runyam
dan membosankan. Mereka bertemu lagi 22 tahun kemudian di salah satu
toko buah. Sementara itu tokoh nenek digambarkan sebagai nenek tokoh
Aku yang mulai sakit-sakitan. Ia hidup sebatang kara dan dirawat cucunya
sendiri. Penggambaran tokoh di atas terasa unik dan terkadang
digambarkan dengan tragis namun pengarang tetap mampu memberikan
karakteristik yang kuat bagi tokoh-tokoh di atas. Perubahan signifikan
bukan pada penggambaran tokoh, tetapi justru terlihat pada penggambaran
latarnya.
Latar waktu terjadi setelah pertemuan tokoh Aku dengan teman
lamanya, Seto, 22 tahun kemudian. Peristiwa pertemuan itu, berlanjut pada
pertemuan-pertemuan lain antara Seto dan Jiwo alias si Kadal, hingga
cerita berakhir. Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di
87
beberapa tempat, di antaranya: peristiwa pertemuan antara tokoh Aku
dengan Seto di toko buah dekat Pekojan (h. 117), peristwa kunjungan
tokoh Aku ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, (h. 118), peristiwa saat
tokoh Aku teringat kota kelahirannya, Semarang (h. 122), dan peristiwa di
bus kota dalam perjalanan menuju Lebak Bulus (h. 125). Melalui
gambaran latar ini pengarang menggariskan sebuah alur sebab akibat yang
jelas. Akibat pertemuan tokoh Aku dengan teman lamanya, si Kadal,
dendam di masa lalunya tiba-tiba membangkitkan ingatannya, maka
terjadilah peristiwa pengirisan telinga salah satu anak jalanan yang tengah
beraksi di bus kota sebagai balas dendam untuk mengobati rasa pedih
berabad-abad silam.
“Aku merasa di masa lalu aku adalah tentara Mongol,”
kataku sekenanya. “Aku benci kepada Raja Jawa yang telah mengiris
hidungku.” (h. 120)
Ia menyarankan aku agar segera meninggalkan tanah Jawa.
Sebab, katanya, tempat ini memberikan kenangan buruk kepadaku
dan mungkin ada dorongan dalam diriku untuk selalu membenci
orang Jawa—sebuah dorongan yang lahir begitu saja karena
pengalaman buruk di kehidupan masa laluku. (h. 121)
Aku benci pada si juru deklamasi. Aku benci pada si
penadah uang. Aku benci pada si pengasah sembilu; orang ini
membuatku rusuh. Demi segala yang tak masuk akal tentang
kehidupan lalu atau apa pun, mau apa dia? Tanpa sadar aku meraba
hidungku, merasakan bangkitnya kengerian yang sepertinya sudah
kupendam sangat lama. Aku merasakan hawa dingin merambat naik
dari bokong ke kepala dan membekukan otakku. Entah aku utusan
itu atau bukan, entah ia Kertanegara atau siapa pun, tak akan
kubiarkan ia mengiris cuping hidungku. Tidak untuk kali kedua. (h.
126)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik awal tokoh Aku adalah peristiwa pertemuannya dengan si Kadal
membuatnya harus meladeni kegilaan temannya itu. Ucapan tokoh Aku
bahwa di masa lalu ia adalah tentara Mongol ditanggapi sungguh-sungguh
oleh si Kadal. Hal itu membuat si Kadal menyarankan agar tokoh Aku
meninggalkan tanah Jawa, karena tempat itu banyak memberikan
kenangan buruk. Bagi tokoh Aku, saran itu merupakan sebuah
88
kemusykilan karena Semarang adalah kampung halamannya. Ia tak
mungkin meninggalkan tempat itu. Konflik semakin meningkat setelah
tokoh Aku pergi memenuhi undangan Seto dan dalam perjalanan, tiga
orang yang mengaku sebagai bajingan yang baru dibebaskan dari penjara
meminta-minta kepada penumpang bus. Perbuatan ketiga anak jalanan itu
membuat tokoh Aku merasakan dendam di masa lalunya kembali
membangkitkan kengerian yang sepertinya sudah dipendamnya sejak
lama.
Demi keadilan seharusnya kupotong hidungnya, tetapi kau akan sulit
melakukannya di bis kota. Daun telinga lebih gampang dan itu pun
lumayan untuk mengobati rasa pedih berabad-abad. Dengan
sepotong telinga di genggamanku, kini aku bisa tenteram pulang ke
tempat asalku. O, tidak! Bagaimanapun hidung dibalas hidung. Tetap
harus kupotong sebanyak-banyaknya hidung orang Jawa. (h. 126)
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh Aku adalah pertemuannya dengan si Kadal. Konflik
meningkat setelah perbuatan ketiga anak jalanan yang meminta-minta di
depan penumpang bus tiba-tiba membangkitkan kemarahan tokoh Aku. Ia
teringat dendam di masa lalunya yang belum sempat terbayarkan.
Munculnya ingatan akan masa lalu tokoh Aku yang dianggapnya tidak
masuk akal itu sekaligus menjadi solusi baginya. Setelah teringat dengan
masa lalunya yang tidak masuk akal itu, barulah tokoh Aku menuntaskan
solusi yang telah ia temukan. Plot berakhir ketika akhirnya tokoh Aku
melampiaskan kemarahannya dengan mengiris telinga satu di antara ketiga
anak jalanan itu. Ia pulang dengan luka yang sedikit telah terobati, namun
ia tetap menginginkan keadilan dan membalaskan rasa dendam sakit
hatinya.
Pengaluran ini memiliki beberapa kelemahan yang membuat cerita
terkesan kurang padu atau utuh, karena cerita memiliki fokus yang
penceritaan yang berbeda. Misalnya dari sisi pemunculan peristiwa di
akhir. Dengan alasan yang tak masuk akal, tokoh Aku tiba-tiba merasa
seperti seorang utusan yang mempunyai kehidupan masa lalu yang
89
mengerikan. Padahal di awal cerita, tokoh Aku hanya membual kepada si
Kadal bahwa di kehidupan lalu ia adalah tentara Mongol dan benci kepada
Raja Jawa yang telah mengiris hidungnya. Hal itu yang membuat cerita
seolah seperti tidak masuk akal dan berakhir tidak padu jika dilihat dari
konflik utama di awal cerita.
13. Cerpen Lelaki Beristri Batu (kode: C13)
Cerpen Lelaki Beristri Batu menarik secara penyajiannya karena
cerita ini dikisahkan oleh dua narator yakni “aku” tokoh utama dan “dia”
maha tahu. Cerpen ini disampaikan dengan apik dengan pemilihan alur
yang cermat. Tema yang menjadi gagasan utama cerpen ini adalah cinta
berbalas pengkhianatan. Tema ini terlihat sejak pembukaan dan
pertengahan cerita.
Aku tahu banyak tentangnya. Salah satunya, ia pernah
menyimpan rajah penghasilan Nabi Sulaiman, penguasa jin dan
semut-semut, di bawah bantalnya. Tetapi mereka pasti menertawaiku
jika aku menceritakan apa yang sesungguhnya dan aku tidak suka
menjadi bahan tertawaan orang. Sampai sekarang aku terus
mengunci mulutku, meski aku tak akan berkeberatan menyampaikan,
jika ada yang bertanya, apa yang telah terjadi pada suatu siang ketika
pengkhianat itu datang lagi menemuinya. (h. 129)
“Maafkan aku,” kata orang itu saat kembali dari khianat
pertamanya.
Sebuah klise, kau tahu, tetapi terdengar seperti nyanyian
top hit di telinganya.
Dan ia menjawabnya dengan cara yang klise: dengan
anggukan kepala, dengan paras sayu yang penuh rasa syukur, dengan
air mata haru dan penerimaan yang ternyata keliru? (h. 131)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerpen ini dikisahkan dengan
dua narator. Narator pertama “aku” sebagai tokoh utama digunakan pada
bagian awal dan akhir cerita, selebihnya narator “dia” maha tahulah yang
mengambil alih cerita. Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa plot
menggunakan pola sorot balik.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini banyak terjadi di
rumah tokoh Aku. Sedangkan latar waktu yang digunakan dalam cerita
90
terjadi beberapa waktu (tidak digambarkan dengan detil perkiraan
waktunya) setelah peristiwa kematian tokoh Aku dan ditemukannya dua
patung batu: satu perempuan dewasa dan satu gadis kecil (h. 136).
Tokoh lelaki merupakan tokoh utama cerita ini. Ia digambarkan
memiliki kepribadian yang lemah. Ia juga digambarkan sebagai suami
yang pemaaf dan tidak punya prinsip. Hal itu terbukti setelah berkali-kali
dikhianati istrinya, ia tetap memaafkan, bahkan ia tak tahu harus
menjawab ya atau tidak ketika si pengkhianat itu meminta maaf kepadanya
(lihat h. 132). Penggambaran tokoh ini dibuat sangat tragis. Walaupun
posisinya sebagai suami, namun tokoh Aku sendiri seringkali pasrah dan
tidak mempunyai sikap dalam mengambil keputusan. Di akhir cerita,
tokoh lelaki ini mati pada usia lima puluh dua dan ia terlahir kembali
menjadi aku, seorang gadis bernama Utari yang cantik seperti ibunya (h.
137). Menarik untuk dilihat bahwa tokoh Aku inilah yang muncul di awal
cerita sebagai narator yang membuka cerita dan di akhir cerita ia muncul
lagi dan menjelaskan jati dirinya yang sebenarnya.
Jika dicermati, tokoh Aku yang muncul di akhir ini mungkin saja
tokoh istri, si pengkhianat. Ia mengatakan bahwa bertahun-tahun setelah
kelahirannya ia dipikat seorang pemuda namun kemudian ia dikhianati dan
ia membayangkan pemuda itu menjadi batu (lihat h. 137). Bisa jadi,
bukan hanya si lelaki yang dikhianati, tetapi juga sang istri atau mungkin
saja kematian si lelaki pun sama seperti istri dan anaknya yang berubah
menjadi patung batu, walaupun di cerita ini tidak digambarkan penyebab
kematian si lelaki, atau bisa jadi pengarang menciptakan tokoh Aku ini
yang kebetulan saja bernasib sama, dikhianati pasangannya. Di akhir cerita
ini tokoh Aku berusaha meluruskan cerita keliru tentangnya yang sudah
terlanjur beredar di masyarakat.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah si pengkhianat. Ia
digambarkan sebagai istri sekaligus pengkhianat yang telah berkali-kali
meninggalkan suaminya dan berkali-kali datang untuk meminta maaf.
Penggambaran tokoh ini dibuat begitu memuakkan bagi tokoh utama. Kata
91
maaf yang terlontar dari mulutnya sudah seperti sebuah klise. Perubahan
signifikan justru terjadi pada pola penggambaran tokoh-tokohnya. Melalui
penggambaran latar ini pengarang menggariskan sebuah alur sebab akibat
yang jelas. Akibat pengkhianatan yang sudah berkali-kali diterima oleh
tokoh Aku, maka ia pun menjadi tidak berdaya lantaran pengkhianatan itu
sudah begitu menyakitkannya, hingga ia pun melampiaskan dengan
meminum alkohol terus-menerus.
Siang itu, ketika si pengkhianat datang lagi kepadanya
untuk kali kedua, ia mencoba menguatkan hati lempungnya dan
menganggap bahwa orang itu tidak pernah ada. Hanya saja,
bagaimanapun, orang itu ada dan melangkah makin dekat kepadanya
dan sekali lagi meminta maaf. Kepalanya nyaris mengangguk lagi,
tetapi ia terus menguatkan batang lehernya.
“Kau tak sudi memaafkan aku?” tanya orang itu lagi.
(h.131-132)
Maka ia menjadi pemabuk yang menuangkan alkohol ke
kerongkongannya tiap hari dan membiarkan alkohol itu mengobati
luka hatinya. Anaknya terjatuh dua kali di jalanan, mula-mula
terseret sepeda motor dan kemudian tertubruk becak yang melaju di
turunan, dan luka-lukanya menjadi koreng yang tidak sembuh
berminggu-minggu kemudian. (h. 135)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik tokoh si lelaki adalah pengkhianatan yang telah berkali-kali
dilakukan istrinya namun si pengkhianat itu masih berani datang untuk
meminta maaf kepadanya. Pada pengkhianatan yang pertama, tokoh Aku
terpedaya oleh permintaan maaf si pengkhianat itu. Ia mencoba
menumbuhkan rasa cinta di hatinya, namun untuk kali kedua dan
seterusnya ia mencoba menguatkan hatinya agar tidak lagi terpedaya dan
menganggap bahwa perempuan itu tidak pernah ada. Si pengkhianat pun
berkali-kali datang kembali kepada si lelaki untuk mendapatkan maaf
darinya. Pada titik inilah, tokoh lelaki terlihat tidak mempunyai sikap
terhadap masalah yang dihadapinya. Ia tidak tahu harus menjawab ya atau
tidak, ia bahkan tidak sanggup memandang ke arah mata si pengkhianat
itu. Konflik semakin meningkat, setelah pengkhianatan yang berkali-
berkali itu membuat tokoh lelaki berubah menjadi pemabuk untuk
92
mengobati luka di hatinya. Akibatnya, puteri semata wayangnya juga
menjadi korban. Anak itu terlantar dan tak terurus.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh lelaki adalah cintanya dibalas pengkhianatan yang
bertubi-tubi dilakukan si pengkhianat. Rasa sakit hatinya membuat tokoh
lelaki yang lemah itu tak tahu harus menerima atau menolak permintaan
maafnya. Konflik meningkat setelah pengkhianatan yang berkali-kali itu
membuat si lelaki menjadi sering mabuk-mabukan. Ketidakberdayaannya
terhadap pengkhianatan yang berkali-kali diterimanya membuat tokoh Aku
mengalami konflik batin yang terus meningkat hingga klimaks, hingga ia
pun menyerah.
“Aku minta maaf kepadamu, entah kau sudi memaafkan
aku atau tidak,” kata orang itu.
Leher yang kaku melemah. Hati yang seperti lempung tak
pernah mampu menyangga kepala agar tetap mendongak. Lelaki itu
akhirnya masuk ke dalam rumah dengan kepala merunduk.
Perempuan itu, si pengkhianat yang pulang lagi, melangkah tersendat
mengikuti lelaki yang merunduk dan dia tak pernah pergi lagi sejak
itu. (h. 136)
Munculnya rasa pasrah dan menyerah ini sekaligus menjadi solusi
bagi tokoh lelaki. Ia mengunci si pengkhianat dalam sebuah kamar
bersama puterinya. Plot berakhir ketika pada hari kematian tokoh lelaki,
orang-orang menemukan dua patung batu di kamar pembantu yang
tergembok. Setelah plot si lelaki berakhir, muncullah tokoh Aku yang
tidak lain adalah tokoh lelaki itu sendiri. Tokoh Aku muncul di akhir dan
meluruskan cerita keliru yang terlanjur beredar di masyarakat. Ia
mengungkapkan bahwa cerita yang sesungguhnya adalah lelaki itu mati
dan terlahir menjadi Aku, gadis cantik bernama Utari. Ia menjelaskan
bahwa pengkhianat itu dikurungnya dan dibayangkannya menjadi batu
agar tidak bisa lari darinya, dan ia menjadi batu. Tokoh Aku pun
mengalami hal yang sama, setelah bertahun-tahun kelahirannya, ia dipikat
seorang pemuda namun kemudian ia dikhianati dan ia membayangkan
pemuda itu menjadi batu.
93
Dalam cerita ini, menarik untuk dilihat bahwa persoalan cinta
seringkali menjadi masalah yang kompleks. Tokoh lelaki merupakan
proyeksi sebuah kesetiaan sedangkan tokoh perempuan merupakan
proyeksi sebuah pengkhianatan. Dalam hal ini, untuk menumbuhkan rasa
cinta di hati sesungguhnya bukan perkara mudah. Sekali saja dikhianati,
rasa itu tidak akan kembali lagi seperti semula.
14. Cerpen Efek Sayap Kupu-Kupu (kode: C14)
Cerpen Efek Sayap Kupu-Kupu menarik secara penyajian karena
disampaikan dengan apik dan dengan pemilihan pengaluran yang cermat.
Tema yang menjadi gagasan utama dalam cerita ini adalah efek dari
peristiwa atau sesuatu serta dampak yang menyertainya. Tema tersebut
terlihat sejak pembukaan cerita ini.
[…]
Dan, karena perkawananku dekat sekali dengan Alit, aku jadi
teringat dengan peristiwa lima tahun lalu. Ketika itu, pukul dua dini
hari, Alit sempoyongan keluar dari tempat minum yang baru pertama
kali dikunjunginya. Dua jam kemudian, ayahnya meninggal di
sebuah kontrakan empat ratus kilometer jauhnya dari kamar
kontrakan Alit. Kurasa efek kupu-kupu bekerja juga pada peristiwa
dini hari itu. Dan adegan kematian itulah yang nanti akan mengakhiri
cerita ini, yang dimulai hari Rabu malam lima bulan sebelumnya.
[…]
Pada hari Rabu malam itu polisi meringkus seorang germo di sebuah
mal di Jakarta. Alit membaca beritanya Kamis pagi dengan kepala
lunglai di sandaran kursi bambu di teras kamar kontrakan; mulutnya
menguap berkali-kali. Kau tahu, Alit masih senormal bertahun-tahun
sebelumnya, dengan perangkat yang menegang di pagi hari, dan
tetap melakukan kerajinan tangan setiap pagi sembari
membayangkan ayahnya merengek-rengek didatangi malaikat yang
siap mencabut nyawa dengan cara sesakit-sakitnya. Itu sebuah siasat
untuk dua tujuan: (1) agar ia bisa menikmati pekerjaan tangannya
lebih lama dan (2) karena ayahnya pantas diperlakukan seperti itu.
(h. 140)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa plot menggunakan pola sorot
balik. Dalam cerpen ini narator “aku” tidak terlibat dalam cerita. Ia hanya
menceritakan peristiwa secara mundur yakni lima bulan sebelum kematian
94
ayah Alit. Narator seperti ini beberapa kali hadir dalam cerpen yang lain,
dimana narator hanya muncul di awal dan akhir cerita.
Tokoh Alit merupakan tokoh utama di cerita ini. Tokoh ini
digambarkan tidak menyukai ayahnya. Hal itu dibuktikan dengan
kebiasaannya melakukan kerajinan tangan setiap pagi sambil
membayangkan ayahnya merengek kesakitan ketika malaikat pencabut
nyawa datang kepadanya. Selain itu, tokoh ini digambarkan sebagai
seorang kakak yang awalnya cuek namun berubah menjadi kakak yang
begitu peduli terhadap adiknya. Penggambaran tokoh ini terasa wajar dan
terasa natural.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah Ambar. Tokoh
Ambar adalah adik dari tokoh Alit. Tokoh Ambar digambarkan sebagai
germo yang cerdas dan keras kepala. Germo yang masih duduk di kelas
dua SMA memiliki prinsip hidup yang jelas (h. 144-145), bahkan
kehidupannya pun selalu menjadi perhatian banyak orang. Penggambaran
tokoh ini begitu kuat dan dalam. Pengarang mampu menggambarkan
kekuatan karakter tokoh ini dengan detil namun tetap seperti tidak dibuat-
buat.
Tokoh tambahan lainnya adalah Aku, ayah Alit, polisi, dan
wartawan. Tokoh Aku merupakan kawan dekat Alit. Ia berperan sebagai
narator yang menceritakan tentang peristiwa yang terjadi pada Alit,
ayahnya, Ambar. Walaupun ia tidak terlibat dalam cerita, tetapi posisinya
menjadi penting karena dari sudut pandang tokoh Aku inilah cerita
dipaparkan. Sementara itu, tokoh ayah Alit dalam cerita ini tidak
digambarkan dengan detil ia begitu dibenci anaknya, Alit. Tokoh ini
kemudian mati tanpa sebab yang pasti. Adapun tokoh polisi digambarkan
sebagai polisi yang detil dan juga teliti. Sedangkan tokoh wartawan
digambarkan sebagai pemburu berita yang selalu dapat menemukan celah
dalam mengorek informasi dari sumbernya.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di beberapa
tempat, antara lain di teras kamar, warung, penjara, kampung dekat
95
pelabuhan, dan di rumah besar di Jalan Jambu. Latar waktu dalam cerita
sudah terjadi lima tahun yang lalu, namun dalam fakta cerita terjadi lima
bulan sebelum kematian ayah Alit. Perubahan signifikan justru terlihat
pada penggambaran latar ini. Pengarang menggariskan sebuah alur sebab
akibat yang jelas melalui penggambaran latar ini. Akibat kasus yang
menimpa Ambar, maka tokoh Alit pun bisa bertemu kembali dengan
adiknya yang sudah lama terpisah. Pertemuan itu juga yang membuat Alit
tahu kabar tentang ayahnya.
Dunia yang sempit, kau tahu, hanya akan membawa seseorang
berkisar di antara orang-orang yang itu-itu juga. Dan itu membuat
kehidupan kadang terasa sebagai sebuah telenovela, dengan
persoalan yang silang susup di situ-situ juga, atau seperti film-film
India. Germo bernama AMB itu adik Alit. Satu-satunya adiknya
yang hidup; dua adiknya yang lain meninggal pada tahun terjadi
gerhana. (h. 143)
“Untukmu, dari ayah,” kata Ambar. “Ia datang dua minggu lalu,
pagi-pagi, dan langsung pulang sorenya. Sebelum pulang Ayah
bilang, “Katakan pada Alit, kalau ia datang lagi menjengukmu,
bahwa aku sehat sampai sekarang, meskipun setiap hari ada orang
yang mengirimkan kepadaku seekor makhluk bersayap yang
mencoba merampas nyawaku. Aku bisa merasakan itu dan aku masih
kuat menghadapinya. (h. 148)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Peristiwa
ditangkapnya Ambar karena telah memasarkan sembilan bunga seruni di
mal yang ditonton Alit di televisi berlanjut pada kerinduan yang tiba-tiba
dirasakan Alit terhadap adiknya yang sudah lama terpisah. Bagi Alit, ia
merasa menyesal karena tidak dekat dengan adiknya sejak dulu namun ia
bangga dengan adiknya sekarang. Walau hanya seorang germo, tetapi
jawaban dari wawancaranya membuktikan bahwa adiknya sangat cerdas.
Bagi Alit, peristiwa penangkapan itu membuat ia bisa bertemu kembali
dengan adiknya. Hingga ia pun bisa mengetahui kondisi dan keberadaan
ayahnya yang tinggal secara terpisah dengan anaknya. Pada bagian ini
konflik meningkat setelah pesan dari ayahnya yang disampaikan melalui
Ambar membuat Alit terus memikirkannya. Ternyata apa yang ia
bayangkan—ayahnya merengek-rengek didatangi malaikat yang siap
96
mencabut nyawanya dengan cara sesakit-sakitnya (h. 140)—pada setiap
pagi itu betul-betul mendatangi ayahnya. Bagi Alit, peristiwa penangkapan
Ambar hingga ia bisa bertemu dengan adiknya itu merupakan bagian dari
tahapan konflik, sedangkan peristiwa yang dialami oleh Alit adalah
ketakutannya sendiri terhadap apa yang ia bayangkan pada setiap pagi
merupakan tahapan dari klimaks.
Pada pengaluran ini juga terlihat pola kemunculan solusi dalam
cerita. Konflik awal Alit adalah ia bisa bertemu lagi dengan adiknya yang
sudah lama terpisah, hingga ia tahu kondisi dan keberadaan ayahnya
melalui pertemuan itu. Konflik meningkat setelah Alit terus memikirkan
pesan ayahnya yang ia dengar dari adiknya, Ambar. Munculnya rasa takut
dalam diri Alit membuat ia mengalihkan rasa takutnya dengan
menghabiskan waktu malamnya di tempat minum. Hal itu sekaligus
menjadi solusi bagi Alit. Situasi ini selesai ketika tiba-tiba saja muncul
dalam diri Alit rasa bersalah dan ia membayangkan bisa meminta maaf
kepada ayahnya disertai ribuan malaikat turun dari langit menaburkan
bunga-bunga kepada ayahnya itu. Plot Alit berakhir setelah Alit
meninggalkan tempat minum itu dan di tempat yang lain, ayahnya benar-
benar pergi untuk selamanya.
Pada pengaluran ini mengandung beberapa kelemahan, misalnya alur
cerita yang sempat terfokus di tokoh Ambar namun disadari narator sendiri
hingga kemudian fokus cerita kembali lagi pada tokoh Alit. Dalam hal ini,
narator secara terang-terangan menyebutkan bahwa ia telah melantur dan
mengembalikan fokus cerita seperti semula.
15. Cerpen Ibu Tiri Bergigi Emas (kode: C15)
Cerpen Ibu Tiri Bergigi Emas secara penyajiannya menggunakan
plot yang berjalan mundur atau sorot balik. Tema tentang kepergian Alit
yang dirahasiakan yang menjadi gagasan utama disampaikan dengan apik
dan dengan pemilihan pengaluran yang cermat. Tema tersebut terlihat
sejak pembukaan cerita.
97
Aku bertandang ke rumah Alit pada hari Minggu dua bulan
setelah ia meninggalkan Semarang dan menemukan di rumah itu
seorang lelaki muram tengah membaca surat yang tampaknya sudah
ia baca berulang-ulang. Punggungnya merosot di sandaran kursi dan
ia seperti sudah duduk di sana beberapa waktu sebelum wahyu
pertama diturunkan. Pukul sebelas istrinya datang dari pasar
menjinjing barang-barang belanjaan. Perempuan itu bukan ibu Alit.
Ia datang belakangan dan menjadi nyonya rumah menggantikan ibu
Alit yang pergi pada hari Jumat dan berjanji akan pulang pada hari
Senin namun tidak pernah kembali pada hari apa pun. (h. 151)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pola penceritaan yang
digunakan dalam cerita ini adalah pola sorot balik. Narator “aku” yang
tidak mempunyai keterkaitan dengan jalannya cerita menceritakan masalah
yang terjadi antara Alit dan ayahnya.
Tokoh Alit merupakan tokoh utama di cerita ini. Ia digambarkan
sebagai anak yang polos dan lugu. Sebagai anak kecil, ia selalu bergantung
pada ibunya. Sejak ditinggal ibunya pergi, setiap malam tokoh Alit
menjadi sering takut dengan hantu-hantu (h. 158). Penggambaran tokoh ini
terasa wajar dan seperti tidak dibuat-buat. Hal itu menunjukkan kedekatan
pengarang dengan dunia anak.
Tokoh utama tambahan lainnya di cerita ini adalah ayah Alit. Tokoh
ayah Alit digambarkan memiliki kepribadian yang tertutup. Tokoh ini
merupakan suami yang temperamental. Ia sering memukul istrinya
terutama setelah anak keempatnya mati disusul anak keduanya (h. 156).
Tokoh ayah Alit ini juga digambarkan sebagai ayah yang tidak peduli
dengan kondisi anaknya. Setelah istrinya pergi meninggalkan rumah, Alit
sering meminta agar ia menjemput ibunya namun ayah Alit tak pernah
mendengarkan permintaan anaknya itu.
Tokoh tambahan lainnya adalah ibu Alit, ibu tiri, dan tokoh Aku.
Tokoh ibu digambarkan sebagai istri yang penurut. Ia juga digambarkan
sebagai ibu yang penyayang sekaligus percaya terhadap mitos. Tokoh ini
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya sendiri (h.
156-157). Ibu Alit dianggap sebagai penyebab kematian kedua anak
98
mereka. Tokoh ini akhirnya pergi meninggalkan rumah dan posisinya
digantikan dengan ibu tiri bergigi emas. Sementara itu tokoh ibu tiri
bergigi emas digambarkan sebagai istri kedua ayah Alit. Ia digambarkan
sebagai ibu yang baik dan juga penyayang terhadap anak tirinya, Alit.
Tokoh ini yang kemudian menggantikan posisi ibu Alit membacakan
cerita setiap malam sebelum Alit tidur namun karena sering menemani
anak tirinya tidur, terutama di saat suaminya tidak ada atau pergi ke luar
kota, tokoh ini pun kemudian memiliki hubungan khusus dengan anak
tirinya (h. 160). Tokoh lainnya adalah tokoh Aku. Tokoh tambahan
sekaligus narator ini digambarkan sebagai seseorang yang dekat dengan
Alit. Tokoh ini memposisikan diri sebagai saksi cerita yang meceritakan
kepergian Alit yang misterius itu. Tokoh ini muncul di awal dan di akhir
cerita dan menjelaskan bahwa ia tidak tahu penyebab kepergian Alit dan
isi surat yang ditinggalkan Alit untuk ayahnya. Perubahan signifikan
dalam cerita ini bukan pada penggambaran tokoh, tetapi justru terlihat
pada penggambaran latar.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di beberapa
tempat. Banyak peristiwa dalam cerita yang terjadi di rumah Alit, selain
itu juga terjadi di perjalanan dari Purwodadi menuju Semarang, di
kampung dekat pelabuhan, dan di perempatan di ujung kampung. Latar
sosial dalam fakta cerita adalah peristiwa gerhana matahari yang kemudian
dihubung-hubungan dengan mitos kelahiran dan kematian seorang bayi.
Dalam cerita ini juga disinggung soal peristiwa pemberantasan misterius
yang terjadi beberapa bulan setelah peristiwa gerhana. Dalam fakta
sejarah, pada tahun 1983 memang terjadi gerhana matahari yang
bertepatan dengan peristiwa pemberantasan misterius pada masa orde
baru. Sementara itu latar waktu dalam cerita mundur dari Alit kecil hingga
ia lulus SMA dan pergi meninggalkan rumah dengan sepucuk surat untuk
ayahnya. Melalui penggambaran latar ini pengarang menggariskan sebuah
alur sebab akibat yang jelas. Akibat ibu Alit pergi meninggalkan rumah,
maka Alit pun menjadi sering ketakutan dimakan hantu-hantu. Ia terus
99
memimpikan ibunya kembali ke rumah, namun ibunya tak pernah
kembali. Ibu tirinyalah yang menggantikan posisi ibunya hingga ia
memutuskan pergi meninggalkan rumah.
“Kenapa kau membawa pakaian banyak sekali?”
“Hanya pakaian-pakaian kotor. Aku tak sempat mencucinya di
rumah, jadi akan kucuci di rumah nenek.”
“Biasanya kau tak membawa pakaian kotor kalau ke rumah
nenek.”
“Alit melihat tas menggembung dan air matanya makin deras
melihat tas itu menelan semua pakaian ibunya. Tapi air mata anak
kecil itu tidak sanggup menahan kehendak ibunya untuk pergi. (h.
157)
“Jemputlah ibu agar hantu-hantu tidak memakanku,” kata Alit pada
ayahnya.
Ketika Alit naik keas empat, ayahnya menjemput dan membawa
perempuan lain, yakni perempuan bergigi emas.
“Sejak hari ini aku ibumu,” kata perempuan itu. (h. 159)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik Alit adalah kepergian ibunya yang disebabkan perlakuan kasar
ayahnya. Bagi tokoh Alit, ibunya adalah tempatnya bergantung. Posisi
ibunya melebihi ayahnya yang dapat melindunginya terutama ketika
menjelang malam. Konflik semakin meningkat setelah Alit semakin sering
merasa ketakutan karena tak ada ibu di sampingnya. Berkali-kali ia
membujuk ayahnya agar menjemput ibunya pulang namun tak pernah
ditanggapi, hingga akhirnya ayahnya justru membawa perempuan lain
yang tidak lain adalah ibu tiri Alit. Upaya perempuan itu untuk
menggantikan posisi ibu Alit rupanya berhasil namun kedekatan mereka
bukan karena Alit menganggap perempuan itu ibu tirinya, tetapi karena hal
lain yang lebih dari itu. Mereka ternyata mempunyai hubungan khusus,
sebab itulah ibu tiri Alit sering menemani Alit tidur ketika suaminya tidak
di rumah.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik awal tokoh Alit adalah ketakutannya karena kepergian ibunya
yang tak pernah kembali. Konflik meningkat setelah Alit meminta
ayahnya membawa ibunya pulang namun tak pernah ditanggapi, di situlah
100
Alit semakin sering ketakutan dimakan hantu-hantu. Dari konflik inilah,
Alit menjadi dekat dengan ibu tirinya. Setiap malam ibu tirinya menemani
dan mendongenginya sebelum tidur ketika suaminya tak di rumah. Di sini
terlihat bahwa keduanya seperti memiliki hubungan khusus.
Beberapa bulan setelah lulus SMA, Alit meninggalkan
rumah. Aku tak tahu apakah sampai lulus SMA Alit selalu tidur
dengan ibu tirinya setiap kali ayahnya sedang di luar kota. Ia pamit
kepadaku sehari sebelum pergi dan hanya mengatakan bahwa ia
harus pergi. “Perempuan itu orang baik,” katanya, “dan ia istri
ayahku.” (h. 160)
Kepergian Alit sekaligus menjadi solusi bagi Alit sendiri. Ia pergi
meninggalkan rumah setelah beberapa bulan lulus SMA dan dari
kepergiannya itu ia meninggalkan sepucuk surat untuk ayahnya. Di sinilah
baru terlihat kelemahan cerita. Di awal cerita, sang narator, “aku” maha
tahu setelah meriwayatkan kehidupan keluarga Alit secara rinci, di akhir
cerita justru mengaku tidak tahu tentang masalah penting yang membelit
hubungan antara Alit dan ayahnya.
Dalam cerita ini, sosok ibu hadir dengan kelemahlembutannya dan
kasih sayangnya. Seorang anak laki-laki sudah pasti membutuhkan kasih
sayang dari seorang ibu untuk membangun karakter mentalnya.
16. Cerpen Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan (kode: C16)
Cerpen Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan secara penyajiannya
mengusung tema tentang kekeliruan yang menjadi sebuah kebenaran yang
menjadi gagasan utama. Cerpen ini disampaikan dengan pemilihan alur
yang cermat. Tema tersebut sudah terlihat sejak pembukaan cerita.
Harus kukatakan kepadamu sejak awal bahwa ini bukan
cerita yang kukarang sendiri. Aku hanya berusaha menyelam ke
dalam diri seseorang yang tak kukenal dan mencoba menuturkan
kisahnya menurut apa yang kurasakan. Ingatkan aku jika ada bagian-
bagian yang meleset, sebab orang itu sudah mati. Orang-orang
menemukan mayatnya menelungkup di gundukan makam anak dan
istrinya. Aku tentu saja berharap bahwa apa yang kututurkan ini
tidak mengandung kekeliruan. Sebab, aku tidak ingin melakukan
kekeliruan kepada orang yang sudah mati. Satu hal lagi yang perlu
101
kusampaikan, jika selanjutnya kau menemukan sebutan “aku” pada
tuturan ini maka sebutan itu kugunakan untuk mewakili orang itu….
(h. 161)
Kudengar kabar itu ketika aku sedang menunggui istriku di
kamar bersalin. Pagi-pagi hanya kabar tentang gempa yang tak
terlalu merisaukanku. Kubayangkan orang-orang sempoyongan
sebentar karena tanah yang mereka pijak menjadi sedikit goyah, tapi
setelah itu segalanya akan kembali seperti semula. Malamnya
kudengar kabar tentang air laut yang tumpah ke daratan; sederas
ketuban yang pecah dari rahim perempuan. Tapi keduanya berbeda.
(h. 162)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa plot yang digunakan dalam
cerita ini menggunakan pola sorot balik. Ada dua narator yang hadir dalam
cerita. Pertama, narator “aku” yang tidak mempunyai hubungan dengan
jalannya cerita. Kedua, narator “aku” sebagai tokoh utama dalam cerita.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengantar cerita dikisahkan narator
pertama dan setelah itu cerita dikendalikan oleh narator kedua yang juga
tokoh utama.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh Aku
digambarkan sebagai seorang keturunan Aceh yang menikah dengan gadis
Jawa. Tokoh yang juga digambarkan sebagai ayah satu anak yang
mempunyai hubungan yang tidak baik dengan ayahnya. Tokoh ini
digambarkan juga membenci tetangganya yang mempunyai kebiasaan
aneh. Di akhir cerita, tokoh Aku dianggap mati sambil memeluk gundukan
dengan nisan bertuliskan nama anak dan istrinya, padahal yang mati
adalah tetangganya. Hal itu kemudian menjadi cerita yang keliru di
masyarakat. Penggambaran tokoh terasa wajar dan terasa seperti tidak
dibuat-buat.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah tokoh tetangga.
Tokoh tetangga digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai kebiasaan
aneh (h. 168). Ia pernah menanam sesuatu di pekarangan rumah dan
menancapkan nisan di kedua ujungnya. Tokoh ini digambarkan sebagai
tetangga yang membosankan. Di akhir cerita tokoh ini digambarkan mati
telungkup memeluk kedua gundukan dengan nisan bertuliskan nama istri
102
dan anak tokoh Aku, hingga orang-orang pun beranggapan bahwa tokoh
Akulah yang meninggal.
Tokoh tambahan lainnya adalah tokoh lelaki tua, tokoh ibu, tokoh
Ayah, serta tokoh Farah dan Faridah. Tokoh lelaki tua digambarkan
sebagai seorang suami dengan empat orang istri. Tokoh ini digambarkan
sedang menanti-nanti kelahiran anak pertama dari istri keempatnya saat
usianya menginjak sekitar enam puluh tahun, namun seperti sudah delapan
puluh (h. 164). Tokoh lainnya adalah tokoh ibu. Tokoh ibu yang
digambarkan sebagai orang tua tokoh Aku yang ramah dan perhatian.
Setelah tokoh Aku sekolah di Yogja dan menikah dengan orang Jawa,
tokoh ibulah yang sering memberikan perhatian terhadap anak lelaki satu-
satunya itu. Sementara itu tokoh ayah digambarkan kebalikan dari tokoh
ibu. Ia orang yang sangat rapi (h. 170) dan sedikit bicara, terutama sejak
tokoh Aku sekolah di Yogja hingga menikah dengan gadis Jawa. Tokoh
ini kecewa dengan keputusan anaknya itu hingga tidak sudi menginjakkan
kaki di tanah Jawa. Tokoh Farah dan Farida digambarkan sebagai adik
tokoh Aku. Kedua tokoh ini digambarkan sebagai gadis yang periang dan
penurut. Penggambaran tokoh-tokoh ini terasa wajar dan natural.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini terjadi di beberapa
tempat, di antaranya di klinik bersalin, rumah tokoh Aku, dan pekarangan
rumah. Latar waktu yang digunakan dalam cerita ini adalah pada saat
terjadi peristiwa tsunami Aceh. Perubahan signifikan terjadi pada
perubahan latar. Melalui penggambaran latar ini pengarang menggariskan
sebuah alur sebab akibat yang jelas. Akibat rasa sebal tokoh Aku terhadap
tetangganya yang membosankan itu, maka ketika tetangganya itu mati,
kesebalannya pun semakin meningkat karena ulahnya yang aneh itu
membuat orang-orang menceritakan hal-hal yang keliru mengenai dirinya.
Aku sudah lama tak bicara dengan ayah. Tapi setiap aku
menelepon ke rumah, Ibu selalu menyampaikan pesan di akhir
percakapan kami. Aku tahu apakah itu hanya upaya Ibu untuk
memberi kesan bahwa Ayah tetap menaruh perhatian padaku atau
memang Ayah benar-benar berbicara padaku melalui Ibu. (h. 166)
103
Tetanggaku ini betah membicarakan apa saja dan aku tidak
betah mendengarkan omongannya, tapi aku tahu bahwa pernyataan
seperti itu tidak mungkin disampaikan langsung di depan orangnya.
(h. 169)
Ia meninggal. Orang ini memang menyebalkan baik ketika
hidup maupun setelah mati. Aku baru tahu saat itu bahwa rupanya ia
menuliskan nama anak dan istriku pada masing-masing nisan yang ia
tancapkan di gundukan. Nama anakku untuk gundukkan tempat ia
menanam kepala kerbau. Nama istriku untuk gundukan tempat ia
menanam kambing hidup-hidup. Apa maksudnya? (h. 172-173)
Kutipan di atas menunjukkan adanya dua konflik yang terjadi dalam
cerita. Pertama, konflik tokoh Aku dengan ayahnya; kedua, konflik tokoh
Aku dengan tetangganya. Konflik yang terjadi antara tokoh Aku dan
ayahnya adalah saat tokoh Aku kembali teringat dengan keluarganya
setelah kejadian tsunami Aceh. Hal itu juga yang membuat tokoh Aku
mengingat konfliknya dengan ayahnya. Ayahnya tak mau lagi bicara
dengannya semenjak ia kuliah di Yogya dan menikahi perempuan Jawa.
Konflik antara tokoh Aku dan ayahnya merupakan konflik bawahan.
Sedangkan konflik utama tokoh Aku adalah dengan tetangganya sendiri.
Tokoh Aku tidak menyukai tetangganya yang mempunyai kebiasaan aneh
yang dibawanya dari kampung. Tokoh Aku menganggap tetangganya
bukan hanya membosankan tetapi juga menyebalkan bahkan hingga ia
meninggal. Konflik semakin meningkat setelah tokoh tetangga yang
mempunyai kebiasaan aneh itu mati telungkup memeluk dua gundukan
tanah yang dibuatnya. Kematian tokoh tetangga itu membuat orang-orang
menceritakan hal yang keliru sebab mereka menganggap tokoh Akulah
yang mati memeluk kedua gundukan dengan nisan bertuliskan nama istri
dan anaknya.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita.
Konflik utama tokoh Aku adalah ia sebal dengan tetangganya yang
memiliki kebiasaan aneh. Konflik semakin meningkat setelah tokoh Aku
semakin sebal ketika mengetahui tetangganya mati telungkup sambil
memeluk kedua gundukan dengan nisan bertuliskan nama istri dan
104
anaknya. Semenjak itu orang-orang menceritakan hal yang keliru tentang
tetangganya yang meninggal itu.
Orang-orang kembali menceritakan hal-hal yang keliru mengenai
tetanggaku yang meninggal. Selain itu, kurasa mereka pun tak
mampu mengenali orang secara benar. Mereka mengira aku yang
meninggal. Bagaimana mungkin? (h. 173)
Munculnya ketidakpedulian dalam diri tokoh Aku sekaligus menjadi
solusi baginya. Ia memasrahkan cerita keliru yang telah beredar luas di
masyarakat. Ia dinggap mati karena rentetan peristiwa yang menimpanya.
Mulai dari tsunami yang menimpa tanah kelahirannya, disusul kematian
anak dan istrinya, dan hilangnya keluarga tokoh Aku dalam peristiwa
tsunami itu. Plot tokoh Aku berakhir ketika ia memilih pergi mengantar
keluarganya ke tempat penampungan daripada merawat jenazah
tetangganya.
17. Cerpen Malam Saweran (kode: C17)
Cerpen Malam Saweran mengangkat tema tentang suami yang
kesepian yang menjadi gagasan utama. Cerita ini diceritakan dengan apik
dan dengan pemilihan pengaluran yang cermat. Tema ini terlihat sejak
pembukaan cerita ini.
[…]
Silakan. Di sini aku hanya ingin menyampaikan apa yang kutahu dan
meyakinkanmu bahwa tidak semua laporan itu hasil karangan si
wartawan. Setidaknya ada satu yang aku yakin ditulis berdasarkan
kejadian, yakni tulisan ke-11 yang berjudul Nonton Penari Bugil,
Nyawer Lima Juta. Kau tahu, akulah si penyawer yang dirahasiakan
nama dan jabatannya oleh wartawan itu.
[…]
Kau boleh membenciku dengan segala alasan yang terpikirkan
olehmu, tetapi aku bisa menjelaskan apa yag kulakukan. Aku
menjadi penyawer karena gagal menjadi suami yang bahagia dan
karena itu gagal membuat istriku bahagia. Perempuan yang kucintai
selalu menyakitiku dan ia membuatku kesepian dengan menyalak tak
putus-putus. (h. 176)
105
Kutipan di atas menunjukkan bahwa plot yang digunakan dalam
cerita ini menggunakan pola sorot balik. Narator sebagai tokoh utama
menceritakan kisah pengalamannya menjadi penyawer hingga masalah
rumah tangganya yang menjadi penyebab ia menjadi seorang penyawer.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini tidak digambarkan
dengan detil. Sedangkan latar waktu yang digunakan dalam cerita mundur
sejak hasil laporan wartawan mengenai tokoh Aku diturunkan, tepatnya
sejak tokoh Aku menjalani hampir dua puluh satu tahun pernikahan.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama di cerita ini. Tokoh Aku
digambarkan sebagai penyawer yang nama dan jabatannya dirahasiakan
oleh wartawan. Tokoh ini digambarkan sebagai suami yang mengalah jika
ribut dengan istrinya. Tokoh ini selalu merasa telah gagal membuat
istrinya bahagia. Oleh sebab itulah ia sering pergi ke tempat hiburan
malam karena merasa kesepian. Penggambaran tokoh suami dengan nasib
yang tragis seperti ini mirip dengan beberapa tokoh di cerpen lain, seperti;
kesepian, tidak bahagia, lemah, tidak berani melawan istri, dan
sebagainya.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah tokoh istri. Tokoh istri
digambarkan sebagai istri yang cerewet dan selalu menuduh suaminya
dengan prasangka buruk sejak putrinya berusia dua tahun dan tumbuh
menjadi perempuan yang tidak sewajarnya. Anak itu tampak kelaki-lakian
hingga usianya menginjak dua puluh satu tahun. Penggambaran tokoh ini
pun seringkali muncul dalam cerpen lain, seperti; istri yang cerewet,
cemburuan, suka menyakiti dan menuduh suami, dan selalu membuat
suami tidak betah. Perubahan signifikan justru terlihat pada penggambaran
tokoh ini. Melalui penggambaran tokoh ini pengarang menggariskan
sebuah alur sebab akibat yang jelas. Akibat tokoh istri yang berubah
menjadi cerewet dan sering menuduhnya dengan keji, maka tokoh Aku
pun merasa kesepian. Ia merasa telah gagal dalam membahagiakan
istrinya. Untuk itu, ia pun mencari kebahagiaan lain dengan mendatangi
tempat-tempat hiburan malam.
106
Terus terang, aku ingin menjahit mulutnya.
Tentu tak bisa kusampaikan keinginanku ini kepadanya. Tak
bisa kusampaikan apa pun. Karena itu aku lebih suka pulang larut
malam atau dini hari ketika ia sudah tidur. Itu caraku mengalah dan
selama ini aku lebih suka diam menerima lolongannya, tetapi justru
ia menganggapku orang yang ribut. Aku tidak habis pikir bagaimana
ia bisa menyuruhkan tidak usah berpanjang lidah; kupikir aku tidak
pernah mengulurkan lidahku di hadapannya. Dan kapan aku
mengajukan dalih-dalih? (h. 177)
Anak kami lahir pada waktunya. Perempuan. Agak
menyalahi isyarat yang dipercaya orang, tetapi tidak sepenuhnya
begitu: sejak berumur dua tahun, kau tahu, ia tampak kelaki-lakian.
Aku tidak terganggu oleh hal ini, namun istriku risau pada tabiat
anak kami. Ketika anak itu delapan tahun, istriku seperti orang
bangun tidur dan ia tidak melamun lagi; ia berubah menjadi seorang
penuduh dan mulai bicara bukti-bukti. Ia tekun menyerangku dan
semakin sengit ketika anak kami berumur dua puluh satu tahun dan
tetap kelaki-lakian. (h. 182-183)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik yang terjadi pada tokoh Aku adalah peristiwa pertengkaran yang
disebabkan anak perempuan mereka yang semakin hari tumbuh menjadi
kelaki-lakian. Sejak itu, tokoh istri berubah menjadi cerewet dan sering
menuduhnya dengan tuduhan yang keji. Hal itu membuat tokoh Aku
mengalami konflik batin. Bagi tokoh Aku, peristiwa pertengkaran hingga
membuatnya mengalami konflik batin merupakan tahapan konflik. Konflik
semakin meningkat setelah tokoh Aku mengalami konflik batin yang
terus-menerus hingga klimaks. Bagi tokoh Aku, diam dan mengalah
merupakan jalan terbaik daripada terus ribut dengan istrinya namun hal itu
membuatnya kesepian. Alasan itulah yang membuat tokoh Aku
mendatangi tempat-tempat hiburan malam hingga pulang dini hari karena
ia merasa gagal membahagiakan istri dan dirinya sendiri.
Pada pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi. Konflik awal
tokoh Aku adalah istrinya yang cerewet terus menyudutkan dan
menuduhnya dengan tuduhan yang keji. Konflik meningkat setelah tokoh
Aku mengalami konflik batin karena kesepian dan gagal membahagiakan
dirinya dan istrinya. Munculnya kesadaran untuk membahagiakan dirinya
107
sekaligus menjadi solusi bagi tokoh Aku dengan pergi ke tempat hiburan
malam (h. 184). Plot tokoh Aku berakhir ketika laporan soal nyawer
muncul di koran dan tokoh Aku diam-diam menginginkan istrinya
membaca laporan khusus yang memuat dirinya itu lalu ia berharap istrinya
menyerangnya dengan sengit.
18. Cerpen Cerita untuk Anak-Anakmu (kode: C18)
Cerpen Cerita untuk Anak-Anakmu menarik secara penyajiannya
karena bercerita tentang dongeng picisan belaka, berisi kisah cinta
penyanyi dangdut yang menikah dengan seorang anggota DPR lalu
meminta cerai. Cerita ini dikisahkan narator “aku” tokoh utama yang
sekaligus berperan sebagai pendongeng. Tema kecantikan dan kekuasaan
yang menjadi gagasan utama disampaikan dengan unik dan dengan
pemilihan pengaluran yang apik. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan
dan pertengahan cerita.
Kuharap anak-anakmu menyukai cerita ini. Aku sudah
mengubah banyak sehingga ia tidak sama dengan apa yang
kupikirkan semula. Kau tahu, dulu aku tegang sekali melihat anak-
anakmu khusyuk mengunyah televisi. Aku menganggap benda itu
keparat dan kau justru menyuruh anak-anakmu bersahabat
dengannya.
[…]
Maka janganlah menaruh curiga pada apa yang sebentar lagi
kututurkan kepada mereka; aku sudah mempertimbangkan cerita ini
matang-matang dan yakin bahwa ia tidak akan mengacaukan isi
kepala anak-anakmu. Anggap saja ini upaya tulusku untuk mendekati
mereka dan merangkul mereka. (h. 185-186)
Anak-anak sekalian, perempuan itu memang pantas
dijadikan istri oleh siapa saja. Dan, sebaliknya, tak siapa saja pantas
menjadikannya istri. Namun politisi yang memiliki kursi adalah
orang yang juga bernasib baik dan selalu pantas melakukan apa aja.
Tak sulit baginya untuk melamar penyanyi dangdut sebagai istri. Tak
sulit juga bagi penyanyi dangdut untuk mendapatkan politisi. Kalian
tahu, saat itu adalah masa kejayaan penyanyi dangdut di panggung
politik. (h. 188)
Kutipan di atas menunjukkan adanya dua plot yang mengisahkan dua
tokoh berbeda. Plot pertama mengisahkan tokoh Aku sekaligus
108
pendongeng yang menggerakkan dongeng yang ia ciptakan. Plot kedua
mengisahkan dongeng tokoh penyanyi dangdut dan anggota DPR. Plot
pertama berjalan maju secara kronologis. Sedangkan pada plot kedua
menggunakan pola campuran. Berbeda dengan cerpen lainnya, hanya di
cerpen ini pendongeng menyapa pembacanya dengan sapaan “kalian tahu”
yang memang tepat karena narator sedang mendongeng kepada anak-anak.
Namun ternyata, tetap muncul klausa “kau tahu” pada paragraf yang lain.
Hal ini tentunya menjadi kekhasan tersendiri bagi pengarang.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama di cerita ini. Ia digambarkan
sebagai pendongeng sekaligus penggerak dalam cerita dongeng yang
diciptakan. Sebagai tokoh yang menggerakkan dongeng, di sela-sela cerita
tokoh ini pun membeberkan proses kreatif dari dongeng yang ia ciptakan.
Penggambaran tokoh ini terasa unik. Tidak seperti cerpen lainnya, dalam
cerpen ini pendongeng mempunyai hubungan dengan jalannya cerita.
Latar yang digunakan dalam cerita ini berbeda. Dalam plot tokoh
Aku, latar waktu maupun latar tempat tidak digambarkan dengan detil dan
tidak ada perubahan signifikan. Begitu pula dengan penggambaran latar
tempat yang digunakan dalam plot tokoh penyanyi dangdut dan anggota
DPR juga tidak digambarkan dengan detil dan tidak ada perubahan
signifikan. Sedangkan latar waktu yang digunakan terjadi setelah
pemilihan umum berlangsung. Pasangan tersebut menikah namun bercerai
setelah enam bulan bersama.
Tokoh utama tambahan dalam cerita ini adalah penyanyi dangdut
dan anggota DPR. Tokoh penyanyi dangdut juga merupakan tokoh ciptaan
si pendongeng. Ia digambarkan memiliki paras yang cantik dan tubuh
yang molek. Tokoh ini sudah menyanyi sejak umur tiga belas tahun, mulai
dari panggung-panggung dangdut hingga layar televisi. Tokoh ini juga
digambarkan bernasib baik karena mendapatkan jodoh anggota DPR yang
baru memenangi jatah kursi namun dalam tempo enam bulan mereka
bercerai tanpa sebab yang pasti. Sementara itu tokoh anggota DPR
merupakan tokoh ciptaan si pendongeng. Ia adalah lelaki yang kalem dan
109
tampan meski ada bekas-bekas cacar air di wajahnya. Tokoh ini
digambarkan sebagai politisi yang bernasib baik karena telah memenangi
jatah kursi dalam pemilihan umum dan kemudian jatuh hati pada seorang
penyanyi dangdut.
Perubahan signifikan justru terlihat pada penggambaran tokoh.
Melalui penggambaran tokoh ini, pengarang menggariskan sebuah alur
sebab akibat yang jelas. Akibat kegamangan tokoh Aku mengenai karakter
dongeng yang ia ciptakan, maka akhirnya ia menemukan pencerahan dari
sebuah pertanyaan yang ia temukan dari buku teknik menulis. Bagi tokoh
Aku, kalimat-kalimat itu membuatnya teguh dan memutuskan bahwa
dongeng perselisihan antara penyanyi dangdut dan anggota DPR layak
dijadikan dongeng untuk anak-anak.
Maka, didukung suratan takdir dan pandangan yang jernih,
kedua orang yang sama-sama bernasib baik itu pun menikah.
Setengah tahun utuh tak ada berita tentang mereka dan pada bulan
ketujuh perempuan itu mengumumkan perbuatan tak baik yang
dilakukan oleh suaminya. (h. 189)
“Sebetulnya saya ragu-ragu memutuskan menikah
dengannya,” perempuan itu memberikan pengakuan lain tetapi tetap
tanpa penjelasan yang memadai tentang apa yang membuatnya ragu-
ragu. Sesungguhnya saya pun ragu-ragu menceritakan dongeng anak
seperti ini. Sebuah dongeng tanpa peri dan putri, dan hanya
menyodorkan tokoh utama anggota DPR dan penyanyi dangdut,
apakah ia bisa menjadi dongeng yang menidurkan anak-anakmu? (h.
190)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik dari kedua
plot utama: plot milik tokoh Aku dan milik si penyanyi dangdut dan
anggota DPR. Konflik awal tokoh Aku adalah keraguannya sendiri
terhadap dongeng yang ia ciptakan. Tokoh yang ia ciptakan, yakni tokoh
penyanyi dangdut dan anggota DPR membuatnya ragu, apakah tokoh-
tokoh tersebut benar-benar bisa dijadikan dongeng untuk anak-anak.
Sedangkan konflik tokoh penyanyi dangdut adalah perceraiannya dengan
suami yang menikahinya selama enam bulan pernikahan. Dalam
keraguannya inilah tokoh Aku sempat putus asa karena tokoh anggota
DPR yang ia ciptakan kurang menarik simpati dan baginya profesi ini
110
tidak enak dituliskan apalagi dijadikan tokoh utama dalam sebuah cerita.
Namun, pertanyaan yang ia temukan dalam buku teknik menulis—“Apa
saja bisa ditulis”, “Gagasan untuk sebuah cerita bisa berasal dari mana
pun.” (lihat h. 190)—membuatnya tercerahkan sehingga ia pun
memutuskan bahwa kedua tokoh yang ia ciptakan layak dijadikan dongeng
untuk anak-anak tergantung bagaimana ia menyampaikan cerita tersebut
kepada pembaca atau pendengar.
Bagi tokoh Aku, keraguan dan keputusasaan yang ia rasakan hingga
menemukan pencerahan merupakan bagian dari tahapan konflik dan
klimaks. Pada plot tokoh penyanyi dangdut dan anggota DPR, narator
lebih dulu mengisahkan klimaks mereka berdua. Peristiwa pengakuan tak
tahan di depan wartawan yang dilakukan tokoh penyanyi dangdut
merupakan bagian tahapan klimaks yang dijadikan pembuka cerita.
Sedangkan perceraiannya dengan anggota DPR masuk ke tahapan konflik
yang muncul pada pertengahan cerita.
Pada pengaluran ini juga terlihat pola kemunculan solusi dalam
cerita. Konflik awal tokoh Aku adalah keraguannya dalam memutuskan
karakter tokoh dongeng yang ia ciptakan. Konflik pun meningkat setelah
tokoh Aku menemukan pencerahan dari buku yang ia baca. Sedangkan
konflik awal si penyanyi dangdut dan anggota DPR adalah perceraiannya.
Konflik meningkat setelah tokoh istri membuat pengakuan di depan
wartawan sehingga si pendongeng pun mencoba mengakhiri dongeng
picisan antara penyanyi dangdut dan dengan anggota DPR dengan
menyimpulkan akhir kisah hidup mereka:
Dari hamparan pelbagai kemungkinan itu, anak-anakku sekalian, aku
tetap memilih merangkul kalian. Seluruh upayaku untuk mengolah
anggota DPR dan penyanyi dangdut ini semata-mata kutujukan demi
menyelami isi kepala kalian. Dan akan kulanjutkan sedikit lagi agar
kalian bisa tidur pulas setelah ini.
Munculnya sebuah harapan dari dongeng yang ia ciptakan sekaligus
menjadi solusi bagi tokoh Aku. Pencerahan yang ia temukan, membuatnya
tersadar bahwa gagasan klise pun bisa diolah menjadi segala kemungkinan
111
agar cerita tetap menarik. Plot tokoh Aku berakhir ketika ia mengharapkan
agar dongeng yang ia ciptakan bisa menyelami isi kepala pembacanya,
dalam hal ini anak-anak. Plot si penyanyi dangdut dan anggota DPR
selesai ketika tokoh Aku menutup dan menuntaskan akhir dari dongeng
yang ia ciptakan. Seperti dalam dongeng anak-anak, dongeng antara
penyanyi dangdut dan anggota DPR itu pun berakhir bahagia.
Dalam cerpen ini, menarik untuk dilihat bahwa kita dapat
menemukan cerita di dalam cerita dan dongeng di dalam dongeng. Sang
narator sempat menyitir kiat populer buku-buku teknik menulis bahwa
”apa saja bisa ditulis” dan ”gagasan untuk sebuah cerita bisa berasal dari
mana pun”. Lalu ”urusan selanjutnya adalah bagaimana menggerakkan
cerita”. Sebab, ”gagasan yang klise pun, konon, akan menjadi cerita yang
menarik jika diolah secara baik”.
19. Cerpen Kuda (kode: C19)
Cerpen Kuda menarik secara penyajiannya karena disampaikan
dengan menarik dan dengan pemilihan alur yang cermat. Cerpen ini
mengangkat tema tentang seorang penjudi yang tanpa sadar jatuh cinta
kepada seorang pelacur. Tema tersebut terlihat sejak pembukaan cerita.
“Perempuan itu menyebutnya kuda. Maka ia merasa dirinya
sebagai kuda berbulu putih, kuda yang biasa ditunggangi oleh
tokoh utama dalam film-film koboi: agak jinak, tapi pada saatnya
bisa berlari tak kenal letih untuk menopang sang penunggang yang
harus menyelesaikan tugas berat menghabisi para perampok dan
lelaki-lelaki kasar. Ia menyukai gambaran diri yang seperti itu.
“Naiklah ke punggungku katanya,”katanya. (h. 195)
Lelaki itu penjudi yang baik dan ia segera membuat
beberapa orang bangkrut. Lalu perempuan itu muncul, mengenakan
gaun yang terbuka hingga ke bagian lembah kedua gunungnya, dan
ia merangkul lelaki itu. Alit merasakan napasnya berat. Perempuan
itu menyebut dirinya kuda dua pekan lalu dan Alit kembali ke
tempat itu tetap membayangkan diri sebagai kuda, tetapi
perempuan itu seperti tidak melihatnya. (h. 197)
112
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerpen ini dikisahkan oleh
narator ketiga maha tahu. Sementara itu plot yang digunakan berjalan maju
secara kronologis.
Tokoh Alit merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Ia digambarkan
sebagai seorang penjudi yang bangkrut. Sebagai orang yang bernasib sial,
ia sinis pada si pemenang judi. Ia sinis karena kalah di meja judi sekaligus
kalah mempertahankan perempuan pelacur yang akhirnya jatuh ke pelukan
si pemenang judi itu. Penggambaran tokoh ini terasa begitu tragis. Dari
awal hingga akhir cerita tokoh Alit mengalami konflik batin karena
cintanya terhadap perempuan pelacur itu.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah tokoh perempuan pelacur
dan tokoh lelaki kaya. Tokoh perempuan digambarkan sebagai seorang
pelacur (h. 197). Sebagai wanita penghibur, mangsa yang sering
digodanya adalah lelaki hidung belang dan para pemenang judi. Sementara
itu tokoh lelaki digambarkan sebagai lelaki kaya sekaligus pemenang judi.
Penampilannya yang mewah disertai ketiga para penjilatnya membuat
tokoh ini begitu memuakkan di mata tokoh Alit (h. 196). Penggambaran
tokoh-tokoh ini terasa wajar dan terasa seperti tidak dibuat-buat.
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini banyak terjadi di
tempat judi. Sedangkan latar waktu yang digunakan dalam cerita ini terjadi
hampir dua puluh tahun sejak pertama kali tokoh Alit bertemu dengan
perempuan pelacur itu di tempat judi. Perubahan signifikan justru terlihat
pada penggambaran latar. Melalui penggambaran latar ini pengarang
menggariskan sebuah alur sebab akibat yang jelas. Akibat kebangkrutan
tokoh Alit di meja judi, maka perempuan pelacur yang pernah
dikencaninya pun berpaling ke lelaki kaya, si pemenang judi. Tokoh Alit
tak bisa berbuat apa-apa karena kebangkrutannya dan ia hanya bisa
mengutuki perempuan pelacur itu yang telah pergi meninggalkan dirinya
di saat dirinya kalah dan tak berdaya.
Situasi peperangan merambat pelan-pelan di ruangan,
merambat di dada yang sesak. Alit mendengar ringkik setan di
telinganya. Ia ingin sekali menjambak perempuan itu atau menarik
113
pakaiannya hingga perempuan itu telanjang bulat. Perempuan itu
tampaknya bangga dengan gunung-gunung yang menjulang di
dadanya, dan ia suka sekali menggeser-geserkan puncak gunungnya
ke lengan atau punggung si lelaki kaya, dan jari-jarinya terus memijit
bahu lelaki itu. (h. 197)
Dorongan yang bertentangan itu membuat kaki-kakinya
mengeras dan hawa dingin terasa menjalar dari kakinya, merambati
tulang belulangnya, dan merasakan kaki-kakinya seperti batang besi
yang berkarat, kaku dan ngilu.
[…]
Ia mengutuki pikiran yang mengada-ada. Ia mengutuki
perempuan itu dalam hatinya. Belum lama perempuan itu
menggelayuti tangannya, tetapi perempuan itu sepertinya tidak punya
kenangan sama sekali. Hanya berselang dua pekan dan perempuan
itu menyebutnya kuda pada pertemuan pertama mereka. (h. 199-200)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Penyebab
konflik tokoh utama adalah kebangkrutannya di meja judi. Tokoh Alit
mengalami konflik batin setelah dirinya kalah. Ia kalah dalam judi
sekaligus kalah mempertahankan perempuan pelacur yang terlanjur
dicintainya itu. Alit tidak pernah menduga bahwa ia akan dilupakan
secepat itu oleh perempuan pengkhianat yang baru dikencaninya dua
pekan sebelumnya. Konflik semakin meningkat setelah perempuan itu
semakin membuat perasaan Alit tersiksa. Di hadapan Alit ia terus
menggelendot si pemenang judi dan menunjukkan gelagat yang membuat
Alit tak berdaya. Namun dalam batinnya, Alit hanya bisa mengutuki
perempuan sundal itu.
Pada pengaluran ini juga terlihat pola kemunculan solusi dalam
cerita. Konflik awal tokoh Alit adalah perempuan pelacur yang terlanjur
dicintainya itu meninggalkan dirinya di saat ia bangkrut. Konflik
meningkat setelah Alit terus mengutuki pikiran yang mengada-ada sambil
terus memperhatikan tindak-tanduk perempuan itu dari kejauhan.
Dengan langkah yang payah, ketika pemandangan di depannya
makin tak tertahankan, Alit akhirnya keluar dari tempat itu. Ia datang
lagi besoknya, namun perempuan itu tak ada. Ia keluar tak lama
kemudian dengan mulut terkunci rapat-rapat, tetapi hatinya terus
meracau. Sebetulnya ia ingin berteriak dan memaki nama perempuan
114
itu sebelum keluar, tetapi tidak melakukan apa yang ia inginkan. (h.
200-201)
Munculnya keputusan untuk pergi meninggalkan tempat judi itu
sekaligus menjadi solusi bagi tokoh Alit. Alit tak tahan melihat
pemandangan di depannya sehingga ia pun menyerah, walaupun
sesungguhnya ia ingin sekali memaki perempuan itu. Plot berakhir ketika
Alit masih terus mengunjungi tempat judi itu, namun ia tidak menemukan
perempuan itu. Hingga hampir dua puluh tahun sejak pertemuan
pertamanya itu, Alit masih tetap mengunjungi tempat itu namun tak
pernah menemukan perempuan itu.
Dalam cerita ini, menarik untuk dilihat bahwa siapa pun berhak jatuh
cinta kepada orang yang dicintainya, termasuk tokoh Alit yang terlanjur
mencintai perempuan pelacur. Melihat bahwa seorang pelacur pada
dasarnya tidak pernah menyangkut-pautkan soal hati dan perasaan ke
dalam profesi atau pekerjaannya, maka seharusnya seorang lelaki bijak
dalam mencintai seseorang.
20. Cerpen Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar (kode: C20)
Cerpen Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar menarik secara
penyajianya karena cerita ini masuk dalam kategori surealisme. Cerpen ini
disampaikan dengan menarik dan dengan pemilihan alur yang cermat.
Tema tentang seorang pembantu yang menjadi korban hasrat seksual
majikan menjadi gagasan utama dalam cerpen ini. Tema tersebut terlihat
sejak pembukaan cerita.
Dua tahun sebelum si pemimpin dilahirkan, seseorang
melintasi pekarangan dalam gerak mengambang, seperti hantu atau
orang kelelahan. Rumah itu agak terpencil dari rumah-rumah lain
dan perempuan itu seperti tiba-tiba ada di sana. Ia seperti muncul
begitu saja dari balik pohon. Umurnya paling banter 26 tahun,
namun, dengan pakaian amat tua, ia seperti datang dari masa silam.
(h. 203)
Maka, begitulah, dua hari kemudian perempuan itu kembali datang
di waktu magrib dan diterima bekerja dan bersetubuh dua tahun
kemudian dengan lelaki yang membukakan pintu untuknya. (h. 204)
115
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cerpen ini dikisahkan oleh
narator orang ketiga maha tahu. Narator menceritakan kisah ini dengan
menggunakan plot yang berjalan mundur atau sorot balik.
Tokoh perempuan merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh
perempuan digambarkan sebagai seorang pembantu yang bekerja di rumah
majikannya yang sekarang. Tokoh ini digambarkan terlahir kembali
sebagai perempuan berusia 26 tahun, usianya ketika melahirkan anak
lelakinya dan mati beberapa jam setelah persalinan (h. 210). Tokoh ini
digambarkan sebagai korban hasrat seksual majikannya. Sebelumnya, ia
pernah bekerja di rumah majikan yang pertama, ayah majikan lelaki yang
sekarang, lalu ia disetubuhi hingga hamil dan ia harus kehilangan nyawa
setelah melahirkan anak itu. Setelah terlahir kembali menjadi perempuan
26 tahun, ia pun kembali menjadi korban yang sama. Ia disetubuhi hingga
hamil oleh anaknya sendiri, majikan lelaki yang sekarang. Tokoh ini pun
mati sembilan bulan kemudian setelah melahirkan anak kedua yang juga
cucunya sendiri. Penggambaran tokoh ini terasa tidak masuk akal dan
terkesan dibuat-buat. Dalam hal ini, tokoh yang sudah mati dihidupkan
kembali oleh pengarang. Walaupun terasa tidak masuk akal namun
pengarang tetap mampu memberikan karakteristik yang kuat pada tokoh
ini.
Tokoh utama tambahan di cerita ini adalah majikan lelaki dan
majikan perempuan. Tokoh majikan lelaki digambarkan memiliki
kepribadian yang pemurung (h. 207). Dibanding istrinya, ia selalu
berbicara dengan nada suara yang lebih rendah. Sementara itu tokoh
majikan perempuan digambarkan sebagai istri sekaligus wanita yang gila
kerja (lihat. h. 206). Dibanding suaminya, ia juga lebih cerewet dan selalu
berbicara dengan nada yang lebih tinggi, termasuk kepada suaminya.
Penggambaran tokoh ini terasa seperti tidak dibuat-buat, namun
karakternya terasa kuat.
116
Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini banyak terjadi di
rumah. Sedangkan latar waktu yang digunakan terjadi 2 tahun sebelum si
pemimpin, anak sekaligus cucu tokoh pembantu dilahirkan. Perubahan
signifikan justru terlihat pada penggambaran latar. Melalui penggambaran
latar inilah pengarang menggariskan alur sebab akibat yang jelas. Akibat
persetubuhannya dengan majikan lelaki yang sekarang, maka hal itu
membuat tokoh pembantu mengalami konflik batin. Peristiwa
persetubuhan itu membangkitkan ingatannya tentang kejadian waktu
silam. Ketika melihat foto masa kecil majikan lelaki yang sekarang, ia
kembali teringat dengan majikan lelaki yang pertama, ayah majikan lelaki
yang sekarang, yang juga pernah menyetubuhinya berkali-kali hingga
hamil.
Rambut lelaki itu, kau tahu, terlalu cepat beruban. Itu
seperti rambut ayahnya, majikan lama yang meninggal tiga tahun
lalu, yang dulu mengetuk pintu kamarnya pada malam kedua istrinya
dirawat di rumah sakit. Dan ia mengetuk lagi pada malam
berikutnya, dan mengetuk lagi. Ketukan berakhir ketika istrinya
pulang setelah sepuluh hari dirawat. (h. 207-208)
Perempuan itu tidak bisa mengatakan kepada majikan lelaki
yang sekarang bahwa ia ibunya. Ia ingin mengatakannya, tetapi pada
saat yang sama ia tidak bisa melakukannya. Ia datang ke rumah itu
sebagai perempuan 26 tahun—usianya ketika ia melahirkan anak itu
dan mati beberapa jam setelah persalinan. Bagaimana ia bisa
menyampaikan kepada lelaki 40 tahun bahwa ia ibunya? Bahkan
ketika lelaki itu di puncak birahi, perempuan itu tetap tidak bisa
mengatakan bahwa ia ibunya. Ia tidak mau menjadi ibu yang tak tahu
diri, yang datang menemui anaknya hanya untuk menceritakan
bahwa ia hasil hubungan gelap seorang majikan dengan
pembantunya. (h. 210)
Kutipan di atas merupakan tahapan memasuki konflik. Peristiwa
persetubuhan tokoh pembantu dengan majikan lelaki yang sekarang terjadi
setelah tokoh pembantu bekerja di rumah itu. Peristiwa inilah yang
membuat tokoh pembantu mengalami konflik batin. Tokoh pembantu
kembali teringat kejadian masa silam. Anak itu adalah hasil hubungan
gelapnya bersama majikan lelaki yang pertama, lelaki yang memberikan
perhatian padanya namun tidak mungkin menikahinya. Konflik semakin
117
meningkat setelah tokoh pembantu merasa sedih karena ia tidak bisa
menjelaskan majikan lelaki yang sekarang bahwa ia ibunya. Pada
pengaluran ini terlihat pola kemunculan solusi dalam cerita. Konflik awal
tokoh pembantu adalah persetubuhannya dengan anaknya sendiri. Konflik
meningkat setelah peristiwa persetubuhannya itu mengingatkannya dengan
majikan lelaki yang pertama, yang juga pernah menyetubuhinya hingga
hamil.
Maka ia hanya diam ketika majikan lelaki menanggalkan
pakaiannya dan mencucup putingnya. Pembantu itu memejamkan
mata, ia merasa sedang menyusui bayinya, anak yang tak pernah
menjadi miliknya. Dan dengan mata terpejam ia melihat majikan
lama, lelaki yang memberi perhatian kepadanya namun tidak
mungkin menikahinya. Ia merasa majikan yang pertama itulah yang
sedang memasukinya. (h. 211)
Munculnya kembali ingatan tentang majikan pertamanya sekaligus
menjadi solusi bagi tokoh pembantu. Persetubuhannya dengan anaknya
sendiri, membuat tokoh pembantu seolah seperti menjalani kewajibannya
kepada anak yang tak pernah menjadi miliknya. Tokoh pembantu merasa
bahwa saat itu majikan pertamalah yang memasuki majikan lelaki yang
sekarang. Plot berakhir ketika tokoh majikan perempuan mencium
kejanggalan di dalam rumahnya. Si pembantu pergi pun meninggalkan
rumah itu sebelum perutnya semakin membesar dan perempuan itu mati
sembilan bulan setelah melahirkan anak kedua yang juga cucunya.
Cerpen ini merupakan sebuah cerita yang akhirnya membuat
pembacanya menjadi benar-benar menjadi „dungu‟. Dimana pengarang
menghadirkan kisah akhir zaman tentang para budak yang melahirkan
majikannya sendiri yang tercantum dalam dalil kitab suci. Cerita tersebut
mampu dihadirkan pengarang dengan kondisi sekarang ini. Penggambaran
ini seperti tidak dibuat-buat.
Dalam cerita ini, menarik untuk dilihat bahwa dampak hubungan
gelap sealu berimbas pada anak, salah satunya anak tidak mengetahui
identitas diri dan orangtuanya. Orang tua tak pernah tahu kelak akan
seperti apa nasib dari anak hasil hubungan gelap ini. Bisa jadi, kelak
118
mungkin anak itu akan menjadi seorang pemimpin seperti yang terjadi
dalam cerita ini.
B. Gaya Bahasa Perbandingan yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
Berikut ini akan dipaparkan analisis penggunaan gaya bahasa
perbandingan dari dua puluh cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu karya AS Laksana.
1. Metafora
1.1. “Tuan Murjangkung, raksasa berkulit bayi yang memimpin pendaratan
membeli dari Sang Pangeran tanah enam ribu meter persegi di tepi timur
sungai.” (C1, h. 2)
Ungkapan metaforis tersebut orisinal kreasi pengarang dan tidak
ada pada karya sastra yang lain. Bentuk “raksasa berkulit bayi” dengan
gaya metaforis pada data di atas merupakan pelukisan tokoh
Murjangkung sebagai pemimpin pendaratan yang berbadan tinggi dan
besar namun kulitnya merah seperti kulit bayi. Ungkapan tersebut tentu
berbeda efeknya jika dilukiskan dengan kalimat biasa, misalnya “Tuan
Murjangkung berbadan tinggi dan besar namun kulitnya merah seperti
bayi”. Dalam ungkapan “raksasa berkulit bayi” terdapat unsur “ejekan”
yang dilekatkan pada tokoh Tuan Murjangkung. Jika dilihat, dalam
metafora tersebut pengarang terkesan memutarbalikkan karakter
pemimpin yang seram, yang bertujuan untuk diparodikan sehingga terasa
ada kesan lucu dan satir bagi pembaca. Penggambaran tokoh
Murjangkung yang digunakan pengarang disebut sebagai penggambaran
Jan Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC yang pada saat itu
memiliki daerah kekuasaan di Batavia. Gaya metaforis di atas
sekaligus berfungsi mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh
Murjangkung yang disamakan dengan “raksasa berkulit bayi”.
119
1.2. “Setelah memenangi pertempuran, Murjangkung segera memeriksa
pembukuan dan menghukum anak-anak buahnya yang menjadi lemah
akal selama dalam pengepungan.” (C1, h. 7)
Pada data di atas, metafor “anak buah” digunakan untuk
melukiskan anggota kelompok yang berada di bawah seorang pemimpin
dan “lemah akal” digunakan untuk melukiskan kondisi dimana
seseorang terganggu pertumbuhan daya pikirnya. Dengan gaya bahasa
“anak buah” dan “lemah akal”, pembaca dapat membayangkan lebih
jelas gambaran anggota kelompok yang dalam kondisi terganggu
pertumbuhan daya pikirnya. Jika dilihat, makna yang ditimbulkan dari
metafora tersebut masih berkaitan dengan data sebelumnya, di mana
tokoh Murjangkung yang digambarkan sebagai “raksasa berkulit bayi”
namun pada kenyataannya memiliki pasukan yang lemah akal, sehingga
kesan yang ditimbulkan bagi pembaca adalah rasa miris terhadap
kenyataan tersebut. Fungsi ungkapan metaforis pada kalimat di atas
adalah menghidupkan penggambaran karakter tokoh Murjangkung
yang seram namun ternyata memiliki pasukan yang lemah akal.
1.3. “Jadi lebih baik kubangun rumah bordil ketimbang rumah Tuhan?”
hardik Murjangkung.” (C1, h. 8)
Metafor “rumah bordil” diartikan sebagai rumah pelacuran
sedangkan “rumah Tuhan” diartikan sebagi gereja atau tempat ibadah.
Data di atas melukiskan kemarahan tokoh Tuan Murjangkung karena
keinginan anak buahnya itu dianggapnya tidak masuk akal. Mereka
merasa kesepian dan menginginkan adanya para perempuan di gedong
itu, namun Tuan Murjangkung rupanya tidak mengerti, yang mereka
kehendaki justru bukanlah tempat ibadah melainkan rumah pelacuran.
Makna yang terkandung dalam gaya metafora di atas dapat diartikan
sebagai upaya seorang pemimpin yang berusaha memberikan solusi
terhadap masalah anak buah (rakyatnya), yakni dengan memenuhi
kebutuhan rohani mereka. Namun yang terjadi sebaliknya, yang mereka
inginkan adalah terpenuhinya kebutuhan biologis mereka. Kebutuhan
120
rohani bagi mereka tidak bisa dijalankan jika tidak diimbangi dengan
kebutuhan biologis, sehingga upaya tersebut sia-sia karena sang
pemimpin tidak mampu memahami apa yang dibutuhkan anak buahnya.
Penggunaan gaya metaforis pada kalimat di atas sekaligus berfungsi
menghidupkan penggambaran watak tokoh Murjangkung yang
sedang marah dengan anak buahnya.
1.4. “Dua hari kemudian, dengan niat merebut kembali kekasihnya, Seto
melacak rumah perempuan itu sesuai alamat yang diberikan kepadanya
dan ia menemukan sebuah rumah yang kelihatannya telah menjadi
sarang nasib buruk sepanjang waktu.” (C4, h. 40)
Ungkapan “sarang nasib buruk” yang digunakan pada kutipan di
atas orisinal kreasi pengarang. Makna “sarang nasib buruk” dengan gaya
metaforis pada data di atas menyiratkan tentang kondisi tempat yang
kumuh dan tidak terurus, tempat yang diisi orang-orang kurang sehat,
dan tidak enak dipandang, bahkan terkesan menjijikan. Penggunaan gaya
metafora tersebut akan berbeda efeknya jika tanpa menggunakan variasi
bahasa dengan gaya bahasa metaforis. Jika ungkapan “sarang nasib
buruk” disubtitusikan dengan makna sebenarnya, misalnya “… tempat
yang kumuh dan tidak terurus, tempat yang diisi orang-orang kurang
sehat, dan tidak enak dipandang”, maka pembaca tidak akan menemukan
nilai estetis dalam tuturan tersebut. Gaya metafora pada data di atas
berfungsi mengabstrakkan penggambaran latar tempat dalam
cerita yakni sebuah rumah yang kumuh dan menjijikan yang
diabstrakkan dengan “sarang nasib buruk”.
1.5. “Lihatlah, ketika jauh dari rumahnya, ketika tak ada manusia-manusia
kelelawar yang merusak mata, perempuan itu benar-benar kekasih yang
menggembirakan, baik di kehidupan lalu atau sekarang.” (C4, h. 42)
Pada data tersebut, yang dimaksud ungkapan “manusia-manusia
kelelawar” adalah orang-orang yang hidup atau mencari makan di
malam hari. Makna gaya metafora di atas menyiratkan bahwa orang
yang sedang jatuh cinta akan selalu bergembira ketika bertemu dengan
121
orang yang dicintainya, terlebih jika tidak ada yang menggangu
keintiman mereka berdua. Melalui gaya metaforis di atas pengarang
terkesan menggambarkan kegembiraan hati tokoh Alit karena bertemu
kembali dengan perempuan, kekasih dari kehidupan masa lalunya. Gaya
metaforis dalam kalimat tersebut juga berfungsi menghidupkan
gambaran perasaan tokoh Alit yang sedang berbahagia karena
bertemu kembali dengan kekasih dari kehidupan masa lalunya.
1.6. “Seorang temanku pernah dibelit oleh lidah panjang yang tinggal di
pohon-pohon nangka.” (C5, h. 48)
Ungkapan pengarang “lidah panjang” merujuk pada makna hantu
atau siluman. Makna ungkapan metaforis tersebut menyiratkan
kepercayaan orang terdahulu yang mempercayai bahwa hantu atau
siluman biasanya menghuni pohon-pohon tertentu di kampung mereka.
Pelukisan hantu atau siluman dengan ungkapan “lidah panjang”
mempunyai kesan lebih konkret daripada hanya dilukiskan dengan
makna sebenarnya. Melalui gaya metafora tersebut, suasana
digambarkan pengarang juga mampu membuat pembaca merasakan
imaji suasana yang menyeramkan tentang bayangan makhluk dengan
lidah yang menjulur yang dipercayai tinggal di pohon-pohon tertentu
seperti pohon nangka. Dapat dikatakan bahwa fungsi gaya bahasa
metafora dalam kalimat tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran imaji suasana menyeramkan yang dirasakan oleh
pembaca.
1.7. “Kadang-kadang aku ingin menyuruh ayahku berhenti bercerita dan
mengatakan bahwa orang-orang itu, yang tampaknya senang mendengar
ceritanya, sesungguhnya suka meledek di belakang punggung.” (C5, h.
50)
Metafor “belakang punggung” merujuk pada arti tidak mau
melihat. Makna ungkapan metaforis di atas menyiratkan tentang sindiran
pengarang terhadap perilaku orang-orang yang berpura-pura manis di
hadapan seseorang namun suka mengejek dan menertawai di belakang
122
tanpa sepengetahuan orang tersebut. Melalui metafor tersebut, terasa ada
kesan miris yang ingin ditampilkan pengarang dari penggambaran batin
tokoh Aku yang merasa bahwa perbuatan orang-orang terhadap ayahnya
itu merupakan “karma” baginya karena ia juga seringkali mengejek si
gagap, temannya, ketika sedang bercerita. Fungsi gaya bahasa
metafora dalam kalimat tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran batin tokoh Aku yang prihatin terhadap apa yang
telah dilakukan orang-orang terhadap ayahnya.
1.8. “Di rumah Mayor itu Seto pernah datang sebagai juru selamat; ia
membebaskan seorang berandal tanggung, anak si Mayor, dari
keroyokan para bajingan depan losmen gara-gara urusan perempuan.”
(C6, h. 55)
Makna gaya metaforis di atas menyiratkan tentang seseorang yang
telah berjasa karena menjadi penyelamat bagi nyawa orang lain. Melalui
metafor tersebut, pengarang berusaha melukiskan karakter tokoh Seto
yang gagah berani karena telah menyelamatkan nyawa Pramono,
sehingga pelukisan tersebut pun menjadi lebih kuat. Ungkapan “juru
selamat” yang digunakan pengarang menjadi berbeda dan lebih menarik
daripada hanya menggunakan makna sebenarnya, misalnya “…
penyelamat”. Dengan demikian, fungsi ungkapan metaforis pada
kalimat di atas adalah mengkonkretkan penggambaran karakter
tokoh Seto yang gagah berani.
1.9. “Selain menjadi anjing kampung seminggu sekali, ia mencuci mobil
Pak Mayor setiap pagi dan mengawal si berandal setiap malam.” (C6, h.
56)
Ungkapan “anjing kampung” merujuk pada arti anjing yang tidak
dipelihara secara khusus, namun dalam metafora di atas menyiratkan
sebuah ejekan yang ditujukan pengarang terhadap tokoh Seto. Pengarang
menggambarkan tokoh Seto yang selalu bersikap sopan namun
diperlakukan seperti pembantu oleh Pak Mayor, walaupun sesungguhnya
ia bukanlah pembantu di rumah itu. Hal itulah yang menimbulkan kesan
123
miris bagi pembaca. Penggunaan gaya bahasa metafora pada kalimat
di atas berfungsi mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh
Seto yang selalu bersikap sopan kepada Pak Mayor.
1.10. “Lagi pula ini cerita tentang bagaimana cara si berandal menjadi anak
emas Pak Mayor.” (C6, h. 56)
Bentuk ungkapan “anak emas” dengan gaya metaforis pada data di
atas melukiskan tentang tokoh Pramono yang menjadi anak kesayangan
ayahnya. Makna ungkapan metaforis ini menyiratkan tentang seorang
anak yang menjadi kesayangan bukan lantaran anak tersebut memiliki
prestasi atau mempunyai kelebihan dibanding anak lainnya. Akan tetapi,
lantaran anak itu memegang kunci rahasia milik ayahnya sehingga
terkesan ada sebuah ironi yang digambarkan pengarang terhadap tokoh
Pramono. Dengan ungkapan metaforis “anak emas” pembaca akan
menemukan kesan yang berbeda dari penggambaran tokoh tersebut.
Pemilihan ungkapan tersebut tentu akan berbeda efeknya jika hanya
diekspresikan dengan kalimat biasa, misalnya “… anak kesayangan”.
Fungsi gaya bahasa metafora dalam kutipan tersebut adalah
mengabstrakkan penggambaran karakter tokoh Pramono sebagai
anak berandal.
1.11. “Tentara setengah tua itu beberapa kali mendengar ucapan temannya
bahwa seorang lelaki, jika tidak menjadi raja di rumahnya sendiri,
niscaya akan menjadi setan di jalanan.” (C6, h. 57)
Ungkapan orisinal kreasi pengarang pada metafor “raja di rumah
sendiri” diartikan sebagai penguasa tertinggi sedangkan ungkapan “setan
di jalanan” berarti orang yang berperangai buruk. Gaya metaforis ini
bermaksud menyiratkan tentang sifat seorang lelaki yang sewaktu-waktu
dapat berperilaku dan bersifat seperti raja dan setan. Di rumah, seorang
lelaki bisa saja seperti raja yang memiliki sifat berwibawa, bijaksana,
dan tegas di mata anggota keluarga lainnya. Namun ketika di luar rumah,
ia bisa juga menjadi orang yang sangat berbeda bahkan bisa saja
melakukan hal buruk seperti gampang menggoda perempuan lain. Hal
124
itulah yang ditampilkan pengarang lewat karakter Pak Mayor. Pengarang
menggunakan ungkapan “raja di rumahnya sendiri” dan “setan di
jalanan” sebagai bahan olok-olok bagi karakter si Mayor. Penggunaan
gaya bahasa metafora di atas berfungsi mengkonkretkan
penggambaran karakter tokoh Pak Mayor yang seringkali terlihat
baik-baik namun sebenarnya ia menyimpan kebohongan.
1.12. “Dari sini kau bisa tahu mengapa para pemburu gosip mudah sekali
mendapatkan mangsa.” (C6, h. 60)
Bentuk “pemburu gosip” diartikan sebagai pencari gosip. Makna
ungkapan metaforis di atas melukiskan tentang alasan mengapa para
pencari gosip mudah sekali mendapatkan mangsanya karena yang
mereka butuhkan hanyalah menaruh kecurigaan-kecurigaan pada
narasumber mereka. Ungkapan tersebut berfungsi menghidupkan
karakter tokoh Suhartini yang mudah menaruh rasa curiga kepada
suaminya. Penggunaan ungkapan “pemburu gosip” yang dipilih
pengarang terasa lebih hidup daripada hanya diekspresikan dengan
kalimat biasa, misalnya “… pencari gosip”.
1.13. “Rahang Pak Mayor menegang. Ia ingin menampar kutu busuk itu,
tetapi tangannya tak bergerak.” (C6, h. 62)
Ungkapan “kutu busuk” diartikan sebagai orang yang tidak tahu
diri. Makna ungkapan metaforis di atas menyiratkan tentang watak
seorang anak yang tidak sedikitpun memiliki rasa takzim kepada
ayahnya. Dalam hal ini sebenarnya Pramono merupakan cerminan
ayahnya, Pak Mayor, yang suka main perempuan sehingga karakter
tersebut melekat pada diri Pramono hingga akhirnya ia pun tidak
memiliki rasa hormat kepada ayahnya sendiri. Dengan penggambaran ini
pembaca dapat merasakan sebuah sindiran yang sengaja ditampilkan
pengarang melalui kedua tokoh ayah dan anak tersebut. Adapun gaya
bahasa metafora pada kalimat di atas sebenarnya berfungsi
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh Pak Mayor yang
naik pitam karena merasa dipermainkan anaknya sendiri.
125
1.14. “Sasi tak pernah sampai hati meninggalkan kakaknya sendirian—
beberapa kali Seto pingsan di kamar mandi.” (C7, h. 75-76)
Bentuk ungkapan “sampai hati” memiliki arti tega. Makna gaya
metaforis di atas menyiratkan sifat kasih sayang adik terhadap kakak
lelakinya. Hal itu digambarkan pengarang melalui tokoh Sasi yang
dengan kerelaannya mengorbankan masa depannya demi merawat
kakaknya yang sakit-sakitan. Pengarang mengibaratkannya dengan
ungkapan “sampai hati”. Demikian jujur pelukisan ketulusan hati
seorang adik kepada kakaknya dengan gaya metafora tersebut. Gaya
bahasa metafora di atas berfungsi menghidupkan penggambaran
watak tokoh Sasi yang begitu menyanyangi kakaknya.
1.15. “Ibu menjaga tertib di rumah kami dengan mulut yang ribut.” (C7, h.
78)
Metafor “mulut yang ribut” memiliki arti cerewet. Makna
ungkapan di atas menyiratkan tentang seorang ibu yang cerewet dan
berisik ketika mengatur segala urusan dan tata tertib yang ada di
rumahnya. Karakter yang dipilih pengarang ini seolah menunjukkan
bahwa ibu seringkali dilekatkan dengan karakternya yang cerewet, suka
mengatur, dan sebagainya. Gaya metaforis di atas sekaligus berfungsi
mengkonkretkan penggambaran watak tokoh ibu yang cerewet.
Penggunaan ungkapan “mulut yang ribut” ini tentu terasa lebih konkret
daripada hanya menggunakan kalimat biasa, misalnya “… cerewat atau
berisik”.
1.16. “Bahkan ada kemungkinan, ketika kau berhasil menjadikan dirimu
magnet uang, kau akan bisa menyadap kepeng-kepeng yang sudah
terpendam berabad-abad di perut bumi.” (C9, h. 90)
Ungkapan “magnet uang” mengandung arti sumber kesuksesan.
Makna ungkapan metaforis di atas menyiratkan bahwa jika seseorang
memiliki banyak uang atau dapat dikatakan seseorang itu berhasil dalam
hal tertentu maka hal itu akan menimbulkan daya tarik bagi orang lain.
Gaya metaforis yang digunakan pengarang di atas berfungsi
126
mengkonkretkan penggambaran batin tokoh aku yang terpengaruh
dengan ajakan dari buku yang ia baca. Pemilihan ungkapan di atas
yang terasa lebih konkret dan memberi nilai estetis daripada hanya
menggunakan kalimat biasa, misalnya “…sumber kesuksesan”.
1.17. “Yang ada di tanganku sekarang ini adalah buku lain yang mengajariku
menjauhi kemurungan dan kegelapan pikiran—keduanya adalah
penyakit menular.” (C9, h. 92)
Makna “penyakit menular” dengan gaya metaforis pada data di
atas bermaksud menyiratkan tentang kebiasaan buruk yang bisa
mempengaruhi yang lain. Melalui ungkapan di atas pengarang berusaha
menunjukkan bahwa sebuah buku atau bacaan mampu mempengaruhi
cara berpikir seseorang termasuk berpikir sesat sekalipun. Hal itulah
yang ditampilkan pengarang lewat tokoh Aku. Di mana tokoh Aku
menjadi sering berpikir liar bahkan seringkali terpengaruh dengan ajakan
dari buku-buku motivasi yang ia baca. Pelukisan dengan metafora di atas
mampu menimbulkan kesan lebih mengena bagi pembaca. Fungsi gaya
bahasa metafora pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran batin tokoh Aku yang terpengaruh dengan ajakan
dari buku yang ia baca.
1.18. “Mereka berdua sudah main gila di belakangku.” (C9, h. 96)
Metafor “main gila” bermaksud menyiratkan tentang perbuatan
selingkuh yang dilakukan pasangan yang tidak sah. Jika dilihat, makna
ungkapan metaforis ini masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya. Melalui gaya metaforis, pengarang melukiskan batin tokoh
Aku yang marah karena merasa telah dibohongi istrinya. Ia menganggap
bahwa istrinya telah berselingkuh dengan si lelaki dengan sebelah mata
mengatup setelah anaknya yang keempat lahir mirip dengan lelaki itu.
Pemilihan ungkapan “main gila” tentu akan berbeda efeknya jika tanpa
menggunakan variasi bahasa dengan gaya bahasa metaforis. Jika
ungkapan “main gila” ini disubtitusikan dengan makna sebenarnya,
maka pembaca tidak akan menemukan nilai estetis dan kesan yang lebih
127
hidup dalam tuturan tersebut. Fungsi gaya bahasa metafora pada data
tersebut adalah menghidupkan penggambaran batin tokoh Aku
marah merasa telah dibohongi istrinya.
1.19. “Fakta berikutnya, para penjual motivasi selalu mengatakan kepadamu
bahwa untuk menjadi ini dan itu kau tidak memerlukan bakat.” (C9, h.
97)
Bentuk “penjual motivasi” dengan gaya metaforis di atas
merupakan pelukisan khas tentang seorang motivator yang memberi
motivasi kepada orang lain. Ungkapan ini merupakan bentuk sindiran
pengarang terhadap profesi motivator yang saat ini sedang menjamur.
Ungkapan yang dipilih pengarang ini terasa miris karena jika melihat
fenomena di masyarakat, seorang motivator seringkali menjadikan
ucapannya sebagai barang jualan untuk mempengaruhi pembaca atau
pendengarnya agar bertindak melakukan sesuatu. Adapun penggunaan
gaya bahasa metafora di atas berkaitan dengan penggambaran tokoh Alit.
Di mana pengarang berusaha menghidupkan penggambaran
karakter tokoh Alit yang mudah percaya dengan bujukan “para
penjual motivasi”. Ungkapan pengarang ini terasa lebih mengena bagi
pembaca daripada hanya menggunakan kalimat biasa.
1.20. “Tetapi apa gunanya mempertahankan sumpah dan tindakan terpuji jika
gadis itu jatuh ke tangan duda tua?” (C10, h. 102)
Maksud metafora pada data di atas melukiskan tentang kondisi
dimana seseorang tidak bisa mempertahankan apa yang dimilikinya.
Dalam hal ini pengarang berusaha melukiskan perasaan tokoh Alit yang
pasrah dan hanya bisa menyesal karena sekuat apa pun ia
mempertahankan sumpahnya sebagai pawang hujan, gadis yang
dicintainya itu tetap akan menikah dengan duda tua. Penggambaran
perasaan tokoh Alit dengan gaya metafora ini terasa begitu miris
digambarkan pengarang. Ungkapan “jatuh ke tangan” tentu berbeda
efeknya jika kalimat tersebut hanya dilukiskan dengan kalimat biasa,
misalnya “… dirampas duda tua”. Fungsi gaya bahasa metafora di
128
atas adalah menghidupkan penggambaran perasaan tokoh dalam
cerita.
1.21. “Dan keduanya, baik politisi maupun bandot sangatlah mudah jatuh
cinta, namun Alit tidak percaya bahwa bidadarinya akan jatuh cinta pada
bandot tua yang mendekatinya.” (C10, h. 104)
Metafor “bandot tua” merupakan pelukisan khas tentang lelaki tua
yang masih gemar perempuan. Gaya metaforis di atas mengandung
makna tersirat yang sengaja digunakan pengarang sebagai bentuk
sindiran terhadap sifat seorang politisi yang tidak ada bedanya dengan
bandot tua yakni sama-sama gemar perempuan. Gaya metaforis tersebut
juga berkaitan dengan penggambaran batin tokoh Alit yang sinis dan
tidak suka dengan duda tua yang sedang mendekati gadis yang
dicintainya. Jika ungkapan “bandot tua” disubtitusikan dengan makna
sebenarnya, yaitu lelaki tua yang masih gemar perempuan, maka
ungkapan tersebut tidak akan terasa mengena bagi pembaca. Fungi gaya
bahasa metafora pada data tersebut adalah menghidupkan
penggambaran batin tokoh dalam cerita.
1.22. “Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika suatu saat burung
penguinmu ditonton orang di mana-mana dan dijadikan bahan
ketawaan.” (C11, h. 107)
Burung penguin merupakan burung laut yang pandai berenang
tetapi tidak dapat terbang, namun pada kalimat di atas sebenarnya
ungkapan di atas menyiratkan persamaan burung penguin dengan
kemaluan laki-laki. Dalam hal ini pengarang ingin menunjukkan sifat
lelaki hidung belang yang mudah sekali tergoda dengan perempuan lain.
Pengarang mengibaratkannya dengan “burung penguin”. Adapun
penggunaan gaya bahasa metafora di atas berkaitan dengan
penggambaran tokoh lelaki yang sering melakukan atraksi mesum
dengan beberapa perempuan. Di mana pengarang berusaha
mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh lelaki yang
digambarkan sebagai lelaki hidung belang. Penggambaran yang
129
dipilih pengarang ini terkesan satir namun metafor yang digunakan
membuat penggambaran karakter tokoh menjadi lebih konkret.
1.23. “Dengan kegemaran menyelam yang tak terkendalikan itu, suatu saat
atraksi penguinmu bisa menjadi tontonan banyak orang.” (C11, h. 108)
Bentuk “atraksi penguin” dengan gaya metaforis di atas
menyiratkan tentang pertunjukan mesum yang dilakukan pasangan yang
tidak sah. Ungkapan yang dipilih pengarang ini terkesan menyindir
perilaku pejabat atau publik figur yang seringkali meresahkan
masyarakat yang ditampilkan pengarang melalui kejadian rekaman
mesum yang tersebar di berbagai media. Ironisnya potret sosial yang ada
di masyarakat itu digambarkan oleh pengarang dengan humor dan satir
yang menusuk. Gaya metaforis yang digunakan pengarang ini tentu akan
efeknya berbeda jika hanya dilukiskan dengan kalimat biasa, misalnya
“…pertunjukan mesum”. Fungsi gaya bahasa metafora di atas juga
masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya yakni
mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh lelaki sebagai
lelaki hidung belang.
1.24. “Sampai sekarang aku terus mengunci mulutku, meski aku tak akan
berkeberatan menyampaikan, jika ada yang bertanya, apa yang telah
terjadi pada suatu siang ketika pengkhianat itu datang lagi menemuinya.”
(C13, h. 129)
Bentuk “mengunci mulut” merujuk pada arti tidak dapat berkata-
kata. Makna ungkapan dengan gaya metaforis di atas menyiratkan
tentang seseorang yang mengetahui sebuah rahasia orang lain dan
berusaha menutup rahasia tersebut. Metafor tersebut menggambarkan
batin tokoh Aku yang tidak ingin membongkar rahasia orang lain kecuali
jika ada bertanya kepadanya. Ungkapan “mengunci mulut” yang
digunakan pengarang tentu mempunyai efek yang lebih konkret jika
tanpa menggunakan variasi bahasa dengan gaya bahasa metaforis. Jika
ungkapan tersebut dilukiskan dengan makna yang sebenarnya, misalnya
“… tidak dapat berkata-kata” maka pembaca tidak akan merasakan
130
kesan lebih konret pada tuturan tersebut. Fungsi gaya bahasa metafora
pada data tersebut adalah mengkonkretkan penggambaran batin
tokoh dalam cerita.
1.25. “Dan ia menelan bulat-bulat sanjungan itu.” (C13, h. 131)
Ungkapan “menelan bulat-bulat” diartikan sebagai menerima
sesuatu bulat-bulat tanpa memikirkannya lebih dahulu. Gaya metaforis
pada data di atas bermaksud menyiratkan seseorang yang mudah sekali
terpedaya dengan ucapan orang lain. Hal itu ditampilkan pengarang
lewat tokoh Aku yang gampang sekali terpedaya oleh ucapan maaf yang
keluar dari mulut tokoh pengkhianat. Melalui gaya metaforis ini
pengarang juga menggambarkan tokoh Aku yang tidak bisa bersikap
tegas dalam menyelesaikan sebuah masalah. Variasi bahasa dengan gaya
metaforis di atas tentunya terasa lebih hidup bagi pembaca daripada
hanya dilukiskan dengan kalimat biasa. Fungsi gaya bahasa metafora
pada kalimat di atas adalah menghidupkan penggambaran karakter
tokoh aku yang tidak mempunyai sikap tegas.
1.26. “Kurasa efek kupu-kupu bekerja juga pada peristiwa dini hari itu.”
(C14, h. 140)
Ungkapan “efek kupu-kupu” ialah metafor yang diciptakan Edward
Lopez, seorang pakar meteorologi yang sering melakukan eksperimen.
Makna ungkapan “efek kupu-kupu” dengan gaya metaforis di atas
menyiratkan tentang sebuah kejadian kecil di suatu tempat yang dapat
menimbulkan efek besar di tempat lain yang sangat jauh. Dalam
penggambaran ini, pengarang berusaha menggambarkan batin Aku yang
merasakan firasat bahwa peristiwa dini hari yang terjadi pada tokoh Seto
dan kematian ayahnya saling memiliki keterkaitan. Ungkapan “efek
kupu-kupu” ini tentunya mempunyai efek yang lebih menarik dan hidup
bagi pembaca daripada tidak menggunakan variasi bahasa dengan gaya
bahasa metaforis. Penggunaan gaya bahasa metafora pada data
tersebut berfungsi menghidupkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
131
1.27. “Germo yang dibacanya itu—wartawan menyebutnya AMB—mengelola
dan memasarkan sembilan bunga seruni di mal tempat ia ditangkap.”
(C14, h. 140)
Maksud ungkapan “bunga seruni” dengan gaya metaforis pada data
di atas menyiratkan tentang gadis-gadis belia yang menjajakan dirinya
sebagai pelacur. Ungkapan yang digunakan pengarang ini menyiratkan
tentang kecantikan serta keindahan gadis-gadis belia yang dipasarkan
tokoh Ambar yang diibaratkan dengan “bunga seruni”. Adapun
penggunaan gaya bahasa metafora di atas berkaitan dengan
penggambaran tokoh Ambar. Di mana gaya bahasa metafora ini
digunakan pengarang untuk menghidupkan penggambaran
karakter tokoh Ambar sebagai germo yang cerdas dan memiliki
prinsip hidup yang jelas.
1.28. “Namun wartawan kriminal itu tetap bisa menulis berita dengan baik
sekalipun tak berhasil menemui kunci-kunci peristiwa.” (C14, h. 141)
Bentuk “kunci peristiwa” merujuk pada arti seseorang yang dapat
membongkar rahasia atau yang menjadi sumber informasi. Makna
kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang yang menjadi sumber
informasi utama terkait masalah yang melibatkannya. Adapun pada
perumpamaan ini pengarang sebenarnya ingin menggambarkan karakter
tokoh wartawan yang mampu memanfaatkan setiap peristiwa yang
terjadi di sekitarnya untuk dijadikan berita. Ungkapan yang digunakan
pengarang ini terasa lebih hidup bagi pembaca. Hal ini tentu akan
berbeda efeknya jika ungkapan tersebut hanya dilukiskan dengan kalimat
biasa, misalnya “… menemui orang yang menjadi sumber informasi”.
Fungsi gaya bahasa metafora pada data tersebut adalah
menghidupkan penggambaran karakter tokoh dalam cerita.
1.29. “Lima masih sebesar kutu dan tiga sudah menjadi kucing liar.” (C15, h.
154)
Bentuk “kucing liar” pada gaya metafora di atas melukiskan
tentang seorang anak yang nakal. Melalui ungkapan “kucing liar”
132
pengarang terkesan ingin menggambarkan potret sosial kehidupan
orang-orang kampung yang memiliki banyak anak, yang jarak antara
anak satu dengan yang lainnya begitu dekat sehingga tumbuh kembang
mereka dibiarkan tidak terurus dengan baik. Penggambaran yang dipilih
pengarang ini terasa lebih konkret dan metafor “kucing liar” ini mampu
menumbuhkan imajinasi bagi pembaca. Hal ini tentu akan berbeda
efeknya jika penggambaran tersebut tidak menggunakan gaya bahasa
metaforis. Fungsi gaya bahasa metafora pada data tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran latar sosial dalam cerita.
1.30. “Ia menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta dan pulang setahun sekali
setiap lebaran, membawa selusin pakaian baru, memamerkan bahasa
Jawa yang tersendat-sendat dan lebih senang menggunakan bahasa
Jakarta yang kocar-kacir di ujung lidahnya.” (C15, h. 154)
Ungkapan “kocar-kacir” pada data di atas merujuk pada arti tidak
beraturan. Makna gaya metaforis di atas menyiratkan tentang seorang
pembantu yang bangga menggunakan bahasa Jakarta yang ala kadarnya.
Seperti data sebelumnya, pada perumpamaan ini pengarang terkesan
menggambarkan potret sosial kehidupan masyarakat desa, di mana
sekarang banyak pemuda-pemudi yang lebih memilih merantau ke kota
bahkan ke luar negeri daripada meneruskan pekerjaan orangtua mereka
di kampung. Penggunaan ungkapan “kocar-kacir” ini terasa lebih
menarik dan hidup bagi pembaca daripada hanya dilukiskan dengan
kalimat biasa, misalnya “… yang tidak beraturan”. Fungsi gaya bahasa
metafora pada data tersebut adalah menghidupkan penggambaran
latar sosial dalam cerita.
1.31. “Sesuatu yang mencemaskan terjadi ketika bayi keempat memasuki usia
tiga bulan dalam kandungan. Matahari dimakan raksasa.” (C15, h. 154)
Bentuk “matahari dimakan raksasa” merupakan pelukisan khas
tentang peristiwa gerhana matahari. Melalui gaya metafora di atas,
pengarang berusaha menggambaran kepercayaan di masyarakat bahwa
peristiwa gerhana matahari menyebabkan seorang ibu yang mengandung
133
akan melahirkan bayi yang kelak akan menjadi raksasa. Dengan
ungkapan “matahari dimakan raksasa” ini, pembaca akan memperoleh
kesan lebih hidup mengenai peristiwa gerhana matahari yang saat itu
begitu ditakuti masyarakat, terutama para ibu yang sedang mengandung.
Gaya bahasa metafora pada data tersebut terutama berfungsi
menghidupkan penggambaran latar peristiwa gerhana matahari
dan juga menghidupkan penggambaran latar sosial mengenai
kepercayaan masyarakat terhadap peristiwa gerhana matahari
dengan kelahiran seorang bayi.
1.32. “Ia berkali-kali banting setir membawa pembicaraan ke hal-hal yang
tidak saling berhubungan.” (C16, h. 169)
Bentuk “banting setir” dengan gaya metaforis di atas merujuk pada
arti berubah haluan. Ungkapan di atas menyiratkan tentang seseorang
yang sebal dengan lawan bicaranya yang selalu berbicara apa saja namun
ia sendiri tidak betah mendengarnya. Melalui metafor ini, pengarang
menggambarkan kedongkolan dalam batin tokoh Aku yang sebenarnya
tidak betah mendengar omongan tetangganya hingga akhirnya obrolan
mereka menjadi tersendat-tersendat. Jika ungkapan di atas hanya
diekspresikan dengan kalimat biasa, misalnya “…berubah haluan” maka
lukisan dengan gaya metafora tersebut tentunya tidak akan menarik bagi
pembaca. Fungsi gaya bahasa metafora di atas adalah
mengkonkretkan penggambaran batin tokoh Aku yang dongkol dan
tidak betah berbicara dengan tetangganya.
1.33. “Kau tak perlu mengelak. Tak perlu berdalih. Tak perlu berpanjang
lidah.” (C17, h. 177)
Bentuk “panjang lidah” dengan gaya metafora di atas merujuk pada
sifat seseorang yang suka mengomel atau mengadukan hal kepada orang
lain. Gaya metaforis yang digunakan pengarang ini terkesan
menggambarkan watak tokoh istri yang berubah setelah ia menikah. Ia
menjadi sering menuduh dan menyudutkan suaminya dengan mengomel
terus-menerus. Ungkapan “lidah panjang” ini tentu akan berbeda
134
efeknya jika tanpa menggunakan variasi bahasa dengan gaya bahasa
metaforis. Jika ungkapan tersebut disubtitusikan dengan makna
sebenarnya maka pembaca tidak akan merasakan kesan yang lebih
konkret dari penggambaran tokoh di atas. Fungsi gaya bahasa
metafora pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran watak tokoh istri yang suka mengomel terus-
menerus.
1.34. “Ketika lelaki menjadi binatang pengerat, setiap orang menyalahkan
istrinya.” (C17, h. 183)
Ungkapan “binatang pengerat” pada gaya metaforis di atas
merujuk pada arti aib atau cela. Makna ungkapan di atas masih memiliki
keterkaitan dengan data sebelumnya yakni menyiratkan tentang watak
seorang istri yang berubah setelah ia menikah. Melalui metafor di atas,
pengarang melukiskan watak tokoh istri yang cerewet, sering menuduh
suaminya dengan tuduhan yang keji bahkan menganggap suaminya telah
menjadi aib bagi keluarganya. Selain memberikan daya pikat tersendiri
bagi pembaca, pemilihan ungkapan di atas juga mampu membuat
pembaca merasakan kesan lebih konkret mengenai penggambaran tokoh
di atas. Gaya bahasa metafora pada data tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran watak tokoh dalam cerita.
1.35. “Seusai pemilihan umum, setelah beberapa orang yang mengurusi
penyelenggaraan pemilihan itu digiring ke sel-sel penjara, perempuan itu
mendapatkan jodoh di hari berikut—seorang anggota DPR yang baru
memenangi jatah kursi jatuh hati kepadanya.” (C18, h. 187-188)
Bentuk “jatah kursi” merujuk pada arti jabatan. Ungkapan
metaforis di atas bermaksud menyiratkan tentang seorang perempuan
yang tidak hanya cantik namun juga memiliki nasib baik. Melalui gaya
metaforis “jatah kursi” ini, pengarang terkesan menyindir bahwa
perempuan cantik cenderung memiliki nasib yang lebih baik daripada
perempuan buruk rupa. Hal itulah yang ditampilkan pengarang lewat
tokoh penyanyi dangdut yang tidak sukar mendapatkan jodoh seorang
135
politisi yang baru saja mendapatkan jatah kursi. Ungkapan yang dipilih
pengarang ini terasa lebih hidup dan mengena bagi pembaca daripada
hanya menggunakan kalimat biasa, misalnya “… memenangi jabatan”.
Gaya bahasa metafora pada data tersebut terutama berfungsi
menghidupkan penggambaran fisik tokoh serta berfungsi
menghidupkan penggambaran latar waktu dalam cerita.
1.36. “Ia tidak menyeruduk suaminya dengan semua rinci tentang apa saja
yang membuatnya mengibarkan bendera putih hanya dalam tempo
enam bulan pernikahan.” (C18, h. 189)
Ungkapan “bendera putih” merupakan bentuk gaya metafora yang
diartikan sebagai tanda menyerah. Kutipan di atas bermaksud
menggambarkan karakter tokoh penyanyi dangdut yang terus membuka
aib suaminya sendiri kepada wartawan karena perbuatan tidak baik yang
dilakukan kepadanya hingga akhirnya ia meminta cerai. Penggunaan
gaya metafora ini tentu memiliki efek yang berbeda dan terasa lebih
konkret daripada hanya dilukiskan dengan kalimat biasa, misalnya
“…mengibarkan tanda menyerah”. Fungsi gaya bahasa metafora pada
data tersebut adalah mengkonkretkan penggambaran karakter
tokoh dalam cerita.
1.37. “Alit berharap nyala korek api membakar bibir empal lelaki itu. Dan
kemudian lelaki itu marah lalu menghantamkan apa saja yang
dipegangnya ke paras para penjilat yang menyertainya.” (C19, h. 196)
Bentuk “bibir empal” diartikan sebagai dower atau berbibir tebal
sedangkan metafor “penjilat” adalah orang yang suka berbuat sesuatu
untuk mencari muka. Kutipan tersebut menyiratkan tentang tokoh lelaki
kaya yang datang ke sebuah tempat judi dengan lagak yang menyebalkan
serta dikelilingi para penjilatnya. Melalui metafora ini pengarang
sebenarnya ingin menggambarkan batin tokoh Alit yang jijik dan sinis
terhadap lelaki kaya serta ketiga penjilatnya yang datang ke tempat judi.
Ia membayangkan keempat orang itu bisa menjadi tontonan yang bagus
di tengah arena judi. Penggunaan gaya metafora “bibir empal” dan
136
“penjilat” di atas terasa lebih konkret dan berbeda efeknya daripada
hanya dilukiskan dengan kalimat biasa. Fungsi gaya bahasa metafora
pada data tersebut adalah mengkonkretkan penggambaran batin
tokoh dalam cerita.
1.38. “Lalu perempuan itu muncul, mengenakan gaun yang terbuka hingga ke
bagian lembah kedua gunungnya, dan ia merangkul lelaki itu.” (C19, h.
196)
Ungkapan “lembah kedua gunung” merujuk pada arti belahan
payudara perempuan. Makna ungkapan dengan gaya metaforis di atas
menyiratkan tentang seorang perempuan yang memakai gaun dengan
belahan dada yang sangat rendah sehingga tampak belahan payudaranya.
Gaya metafora yang digunakan ini berfungsi mengkonkretkan
penggambaran tokoh perempuan pelacur yang mengenakan
pakaian yang terbuka yang digunakan untuk menggoda para
tamunya. Pengarang mengibaratkannya dengan “lembah kedua
gunungnya”. Begitu jelas penggambaran yang dipilih pengarang tersebut
sehingga terasa lebih konkret dan mengena bagi pembaca.
1.39. “Perempuan itu tampaknya bangga dengan gunung-gunung yang
menjulang di dadanya, dan ia suka sekali menggeser-geserkan puncak
gunungnya ke lengan atau punggung si lelaki kaya, dan jari-jarinya
terus memijit bahu lelaki itu.” (C19, h. 197)
Metafor “puncak gunung” merupakan pelukisan khas tentang
payudara perempuan. Kutipan di atas menyiratkan tentang sikap seorang
pelacur ketika menggoda tamu atau pelanggannya dengan menggeser-
geserkan payudaranya ke lengan atau punggung lelaki kaya. Melalui
metafor di atas, pengarang sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana
batin tokoh Alit yang sinis dan cemburu melihat pelacur yang pernah
dikencaninya itu melayani laki-laki lain. Ungkapan “puncak gunung”
yang digunakan pengarang ini berfungsi mengkonkretkan
penggambaran batin tokoh sehingga pembaca akan memperoleh
kesan yang lebih jelas dan mampu menumbuhkan imajinasinya.
137
1.40. “Ia lari darimu dan menusuk punggungmu justru pada saat kau
bangkrut dan tak berdaya.” (C19, h. 198)
Bentuk “menusuk punggung” diartikan sebagai perbuatan
menyakiti perasaan orang lain. Makna gaya metafora pada data di atas
manyiratkan tentang seseorang yang dikhianati oleh teman kencannya.
Dalam hal ini, pengarang berusaha menggambarkan perasaan tokoh Alit
yang menderita setelah jatuh bangkrut dan ia pun harus merasakan sakit
hati karena ditinggal perempuan pelacur yang pernah dikencaninya.
Pengarang mengibaratkannya dengan “menusuk punggung”, sehingga
terasa oleh pembaca kesan yang lebih konkret dari penggambaran
tersebut. Fungsi gaya bahasa metafora pada data tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
1.41. “Lelaki yang bangkrut, kau tahu, sering membangun dunia yang
muram.” (C19, h. 198)
Bentuk “membangun dunia yang muram” dengan gaya metaforis
pada data di atas menyiratkan tentang seseorang yang baru saja bangkrut
di meja judi dan dikhianati oleh perempuan yang pernah dikencaninya.
Melalui metafor tersebut, pengarang menggambarkan paras dan perasaan
tokoh Alit yang menjadi sering bersedih dan tampak murung sejak
bangkrut di meja judi dan ditinggal perempuan pelacur yang pernah
dikencaninya. Dengan ungkapan “membangun dunia yang muram”,
pembaca akan memperoleh kesan lebih hidup dan mampu
membayangkan dengan lebih jelas bagaimana kesedihan tokoh Alit
tersebut. Hal itu tentu berbeda efeknya jika ungkapan tersebut dilukiskan
dengan kalimat biasa, misalnya “… tidak terlihat gembira”. Fungsi gaya
bahasa metafora pada data tersebut adalah menghidupkan
penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
1.42. “Perempuan itu mengikik dan membekap mulut lelaki ingusan yang
baru sekali itu bertemu dengannya.” (C19, h. 200)
Ungkapan “lelaki ingusan” merupakan pelukisan khas tentang
lelaki yang belum berpengalaman. Ungkapan yang digunakan
138
pengarang tersebut berfungsi mengkonkretkan penggambaran
tokoh Alit yang tak berdaya di hadapan perempuan pelacur yang
sedang dilanda berahi. Penggunaan variasi bahasa dengan gaya
metaforis di atas terasa lebih berkesan bagi pembaca. Jika ungkapan
“lelaki ingusan” disubtitusikan dengan makna sebenarnya, yaitu lelaki
yang belum berpengalaman, maka pembaca tidak akan merasakan efek
estetis dalam tuturan tersebut.
1.43. “Kau tahu, ia tidak menyiapkan sarung taji pengaman.” (C19, h. 204)
Bentuk “sarung taji pengaman” dengan gaya metaforis merujuk
pada sesuatu yang digunakan untuk melindungi diri. Kutipan tersebut
menyiratkan tentang seseorang yang berani mengambil risiko atas
perbuatanya. Dalam ungkapan tersebut juga pengarang sebenarnya ingin
menggambarkan tokoh majikan lelaki yang dengan beraninya mengajak
pembantunya bercinta walaupun dengan cara yang tidak berterus terang.
Deng an ungkapan “sarung taji pengaman” ini tentunya terasa lebih
mengena dan memberikan efek yang lebih hidup bagi pembaca daripada
hanya dilukiskan dengan kalimat biasa. Fungsi gaya bahasa metafora
pada data di atas adalah menghidupkan penggambaran karakter
tokoh majikan lelaki yang berani mengambil risiko atas perbuatan
yang ia lakukan.
Simpulan
Gaya bahasa metafora yang terdapat dalam kumpulan cerpan
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu karya AS Laksana
berfungsi mengkonkretkan, menghidupkan, dan mengabstrakkan
penggambaran tokoh dan latar dalam cerita. Gaya bahasa metafora terdapat 23
fungsi mengkonkretkan, 18 fungsi menghidupkan, dan 2 fungsi
mengabstakkan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi yang paling banyak
digunakan adalah mengkonkretkan dan dengan adanya fungsi seperti ini
memberi penguatan pada penyampaian struktur naratif cerita.
139
2. Perumpamaan
2.1. “Dan ketika kau menemukan tempat setenang kakusmu, kau bisa
menarik napas panjang dan merasa lega.” (C1, h. 1)
Pada data perumpamaan di atas, ketenangan dalam sebuah tempat
disamakan dengan ketenangan ketika berada di dalam kakus. Kakus
tidak hanya tempat seseorang untuk buang air kecil maupun besar, tetapi
suasana tenang dan lega seketika hadir ketika seseorang secara tuntas
melepaskan seluruh tenaga untuk membuang sampah yang sudah
menumpuk di perutnya. Pengarang mengibaratkannya dengan setenang
kakus. Pengibaratan tersebut tentu lebih menarik sehingga memiliki daya
pikat bagi pembaca. Makna tersirat dari gaya perumpamaan tersebut
dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang bisa dilakukan jika seseorang
mungkin membutuhkan ketenangan ketika hendak membaca sebuah
cerita. Gaya bahasa perumpamaan di atas juga berfungsi
mengkonkretkan penggambaran latar suasana dalam cerita yakni
ketenangan yang muncul ketika menghindari kebisingan agar bisa
menikmati sedikit waktu. Ketenangan dalam sebuah tempat
menjadi lebih konkret ketika dibandingan seperti ketenangan ketika
berada di kakus.
2.2. “Mereka menikmati arak kampung Pecinan yang jika dibubuhi kismis
dan disimpan beberapa hari akan berubah warnanya menjadi serupa
anggur bangsa Portugis.” (C1, h. 2)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “serupa” yang
menunjukkan bahwa warna arak kampung Pecinan disamakan dengan
anggur bangsa Portugis. Makna yang terdapat dalam gaya perumpamaan
di atas bermaksud menggambarkan kebiasaan tokoh Murjangkung dan
rombongannya—sejak kedatangan mereka ke negeri-negeri timur—yang
suka berpesta foya dengan menikmati arak kampung Pecinan.
Penggunaan gaya perumpamaan di atas juga berfungsi
menghidupkan penggambaran karakter tokoh dalam cerita yakni
140
karakter Murjangkung dan anak-anak buahnya yang suka mabuk-
mabukan.
2.3. “Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi tinggi sekali,” kata Sang Pangeran
setelah Murjangkung dan beberapa pemabuk datang menemuinya di hari
pendaratan.” (C1, h. 3)
Pada perumpamaan di atas, Sang Pangeran menyamakan bentuk
fisik rombongan Tuan Murjangkung dengan bayi yang lucu-lucu tapi
tinggi sekali. Melalui pemanfaatan citraan visual, pembaca mampu
mengimajinasikan dengan jelas bagaimana penggambaran tokoh dengan
penggunaan gaya bahasa tersebut. Hal itu juga semakin konkret dengan
ditambahkannya “mereka lucu-lucu” dan “tapi tinggi sekali”, yang
memperjelas citraan pembaca. Makna dalam gaya bahasa tersebut masih
berkaitan dengan ejekan yang sengaja dilekatkan pengarang kepada
tokoh Murjangkung dan rombongannya. Hal itu dapat diartikan sebagai
penjungkirbalikkan karakter seorang pemimpin yang seram. Dalam hal
ini, Murjangkung (sosok yang disebut sebagai penggambaran JP Coen),
sengaja diparodikan oleh pengarang sehingga karakter tersebut tidak
lagi menimbulkan kesan menakutkan akan tetapi menjadi lebih lucu.
Gaya perumpamaan di atas juga berfungsi mengkonkretkan
penggambaran fisik tokoh Murjangkung serta rombongan dengan
bayi tapi tinggi sekali.
2.4. “Ia mengusap cairan di dahinya dan mencium bau bacin pada cairan itu
dan, seperti mendapatkan perintah langsung dari Tuhan, Tuan Mur
seketika menyerukan komando, “Tembakkan meriam!”. (C1, h. 5)
Perumpamaan pada kalimat di atas menggunakan kata “seperti”
yang menunjukkan bahwa perintah Tuan Murjangkung kepada
pasukannya disamakan dengan perintah Tuhan. Gaya perumpamaan
tersebut dapat diartikan sebagai bentuk kemarahan seseorang karena
diperlakukan tidak sepantasnya oleh lawannya. Hal itulah yang memicu
terjadinya sebuah pertempuran hingga akhirnya Murjangkung
menyerukan perintah kepada anak buahnya untuk menembakkan meriam
141
ke musuhnya. Pengarang memanfaatkan citraan visual dan perasaan
untuk menguatkan penggambaran kemarahan tokoh Murjangkung,
sehingga pembaca pun akan memperoleh kesan hidup dan mampu
membayangkan dengan jelas melalui penggambaran tersebut. Hal itu
juga semakin konkret dengan ditambahkannya “Tembakkan meriam!”,
yang memperjelas citraan pembaca. Penggunaan gaya perumpamaan
di atas berfungsi menghidupkan watak tokoh Murjangkung yang
sedang marah.
2.5. “Dulu, ia pernah berpacaran dengan penari balet, seorang perempuan
setinggi galah yang mampu berdiri dengan satu ujung kaki dalam waktu
beberapa lama.” (C2, h. 18)
Kata “setinggi” pada perumpamaan di atas digunakan pengarang
untuk membandingkan tinggi perempuan penari balet dengan galah yang
biasa digunakan untuk menjolok buah-buahan. Makna yang terkandung
dalam metafora tersebut menyiratkan sebuah ejekan pengarang terhadap
tokoh Bob. Ejekan tersebut berupa kisah masa lalu Bob yang pernah
berpacaran dengan seorang penari balet. Bagaimana bisa seorang penari
balet bertemu bahkan jatuh cinta dengan lelaki yang sejak lama
mendekam di pelosok selatan Semarang? Sehingga hal itu pun terasa
seperti olok-olokan pengarang terhadap tokoh Bob. Gaya
perumpamaan di atas sekaligus berfungsi mengkonkretkan
penggambaran latar sosial yakni kehidupan tokoh Bob yang berasal
dari level masyarakat kelas rendah.
2.6. “Kakekku mendekam saja di kamarnya, seperti pertapa-pertapa yang
mengubur diri dalam gua menunggu mukjizat diturunkan.” (C2, h. 19)
Gaya bahasa di atas pun termasuk ke dalam gaya bahasa
perumpamaan yang menyamakan tokoh kakek dengan pertapa-pertapa
yang mengubur diri di dalam gua. Kutipan di atas melukiskan kondisi
tokoh Bob yang mendekam di dalam kamar dalam waktu yang lama.
Makna gaya perumpamaan pada data tersebut menyiratkan sosok
manusia yang tidak siap menerima takdir dan cara demikian (mengubur
142
diri) ternyata tidak akan bisa menyesaikan masalah yang dihadapinya.
Hal itulah yang menimbulkan kesan ironi bagi pembaca. Fungsi gaya
perumpamaan di atas adalah mengkonkretkan penggambaran
watak tokoh kakek yang tidak siap menerima takdir yang sudah
digariskan untuknya.
2.7. “Nenekku orang yang paling tahan di dalam keluarga kami, kami tetap
memelihara keinginannya untuk punya cucu. Seperti seorang
pengkhianat yang memikul kutuk, sampai hari ini ia terus mendatangi
tempat-tempat keramat dan dukun-dukun dan ia melakukannya sendirian
karena kakekku tidak bisa menemaninya.” (C2, h. 22)
Data di atas menunjukkan gaya bahasa perumpamaan yang
menyamakan watak dan perilaku tokoh nenek dengan seorang
pengkhianat yang memikul kutuk. Makna gaya perumpamaan di atas
menyiratkan tentang seseorang yang tegar dan tetap bertahan menjaga
keinginannya agar bisa tercapai, walaupun sebenarnya ia sudah bosan
menjalaninya dan tidak tahu kapan hal itu bisa tercapai. Pengarang
mengibaratkannya “seperti pengkhianat memikul kutuk”. Pelukisan
tokoh nenek dengan perumpamaan tersebut terkesan ironis dan tragis.
Penggunaan gaya bahasa perumpamaan di atas berfungsi
mengkonkretkan penggambaran watak tokoh nenek yang tegar dan
terus berusaha mewujudkan apa yang diinginkannya.
2.8. “Gadis itu merasakan kulit kepalanya seperti mau mengelupas dan
otaknya mengeras seketika.” (C3, h. 25)
Pada data di atas tokoh Fira menyamakan kulit kepalanya seperti
akan mengelupas. Perumpamaan tersebut menyiratkan tentang luapan
kekesalan seseorang karena suatu hal yang membuat segala rencana
yang sudah diaturnya menjadi berantakan. Dengan perumpamaan di atas,
pembaca akan merasakan kesan yang lebih konkret yang ditimbulkan
dari perbandingan eskplisit yang digunakan pengarang. Gaya
perumpamaan di atas juga berfungsi mengkonkretkan gambaran
perasaan tokoh Fira yang kesal yang dapat dilihat dari
143
pengibaratan yang digunakan pengarang yakni “seperti mau
mengelupas”.
2.9. “Namun tentu saja Fira tidak sembarangan mengatakan kepada
atasannya itu agar jangan jatuh cinta kepadanya. Itu akan tampak seperti
lelucon dan ia akan kelihatan seperti gadis tolol yang gampang
berprasangka.” (C3, h. 26)
Gaya bahasa di atas juga termasuk perumpamaan. Pada data
tersebut tokoh Fira menyamakan perasaan yang dirasakannya terhadap
bosnya dengan sebuah lelucon dan gadis tolol. Gaya perumpamaan
tersebut bermaksud menyiratkan narsisme seseorang yang merasa bahwa
pesona yang ada pada dirinya telah membuat orang lain tergila-gila
padanya. Perumpamaan di atas berfungsi mengkonkretkan
gambaran batin tokoh Fira yang mengatakan bahwa ia tidak akan
sembarangan mengatakan sesuatu kepada bosnya termasuk agar
jangan jatuh cinta padanya. Dengan memanfaatkan citraan perasaan,
apa yang dirasakan dalam batin tokoh Fira menimbulkan kesan yang
lebih konkret bagi pembaca.
2.10. “Di udara terbuka, Fira menjadi seperti capung yang mengambang di
tempat dan melesat tiba-tiba, hinggap dari dahan ke dahan dan piknik ke
gumpal-gumpal awan.” (C3, h. 28)
Capung adalah serangga bersayap. Namun pada perumpamaan di
atas tokoh Fira membandingkan dirinya dengan capung. Gaya
perumpamaan tersebut bermaksud menyiratkan sebuah tempat yang
berada dalam dunia surealis. Di mana manusia bisa terbang, melayang,
bahkan hinggap dari dahan ke dahan hingga ke gumpal-gumpal awan.
Hal yang tidak mungkin terjadi pada kehidupan manusia yang
sesungguhnya namun digambarkan oleh pengarang dengan sangat
imajinatif sehingga terkesan begitu nyata bagi pembaca. Penggunaan
gaya perumpamaan di atas berfungsi menghidupkan latar tempat
dalam cerita. Dengan pemanfaatan citraan visual, pembaca pun akan
144
memperoleh kesan lebih hidup dan dapat mengimajinasikan dengan
lebih jelas tempat peristiwa dalam cerita.
2.11. “Tubuh itu sedang berbaring di tempat tidur, bersebelahan dengan
istrinya, seorang perempuan dengan muka mengkilat dan alis seperti
kawat yang melengkung tipis sekali.” (C3, h. 32)
Pada perumpamaan di atas, pengarang menggunakan
perumpamaan dengan benda yang terbuat dari logam yang berbentuk
tipis sekali. Makna perumpamaan tersebut menyiratkan gambaran
seorang istri yang gemar merias diri. Hal itu terlihat dari gambaran fisik
tokoh yang menimbulkan kesan bahwa wajas asli tokoh istri yang tanpa
riasan akan terlihat ketika ia sedang tidur. Fungsi gaya bahasa
perumpamaan yang digunakan pada kutipan di atas adalah
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh istri yang ditekankan
pada perbandingan alis tokoh dengan sebuah kawat. Penggambaran
tokoh yang dipilih pengarang tersebut terasa lebih konkret karena
pembaca mampu membayangkan dengan jelas bagaimana bentuk alis
tokoh dengan perumpamaan di atas.
2.12. “Dan, catatlah satu hal, mereka bertemu di halte, sebuah tempat serupa
dangau di kehidupan lalu.” (C4, h. 38)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan serupa
dangau di kehidupan lalu karena pengarang berusaha menyamakan
sebuah tempat yakni halte dengan dangau di kehidupan masa lalu tokoh.
Gaya perumpamaan di atas bermaksud menyiratkan bahwa sebuah halte,
tempat yang biasanya digambarkan sebagai tempat umum dengan
kebisingannya yang mampu memekakkan telinga namun disamakan oleh
pengarang dengan sebuah tempat yang begitu tenang seperti dangau
yang jauh dari suasana keriuhan. Penggunaan gaya perumpamaan di
atas berfungsi mengkonkretkan penggambaran latar tempat
maupun suasana dalam cerita yakni sebuah halte yang
dibandingkan dengan sebuah dangau. Dengan memanfaatkan citraan
145
visual, penggambaran latar tempat dan suasana dalam cerita menjadi
lebih konkret sehingga mampu membangkitkan imajinasi pembaca.
2.13. “Rambut mereka jarang dan bau tubuh mereka sesengit bau gua-gua
lembab di mana kekelawar bersarang dan membuang tahi.” (C4, h. 41)
Kata “seperti” pada perumpamaan di atas digunakan pengarang
untuk menyamakan aroma tubuh ketiga anak dengan bau gua lembap
tempat kelelawar bersarang dan membuang tahi. Gaya perumpamaan
pada data di atas bermaksud menyiratkan tentang lingkungan kehidupan
masyarakat kelas rendah yang ditampilkan pengarang melalui tokoh
ketiga anak yang kurang terawat itu. Fungsi gaya perumpamaan di
atas adalah mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh ketiga anak
yang kotor dan bau. Dengan gaya metafor ini, pembaca akan
memperoleh kesan lebih konkret dan mampu membayangkan dengan
jelas penggambaran tokoh ketiga anak tersebut dengan memanfaatkan
citraan penglihatan dan penciuman.
2.14. “Setiap pagi kami seperti sekawanan burung yang terbang gugup
mencari tempat hinggap di kakus umum. Kau harus mengantungi kerikil
jika mulasmu tidak tertahankan; dengan begitu sampah di perutmu tidak
akan bobol di jalanan. Ini seperti arak-arakan yang menyedihkan. Aku
tak ingin setiap pagi mengikuti arak-arakan itu.” (C5, h. 46)
Pada perumpamaan di atas, tokoh Aku menyamakan ia dan
keluarganya dengan sekawanan burung dan kegiatan yang mereka
lakukan setiap paginya disamakan dengan arak-arakan yang
menyedihkan. Jika dilihat, makna gaya perumpamaan di atas
menyiratkan tentang ironi kehidupan keluarga miskin. Hanya untuk
membuang tahi mereka sekeluarga harus menyusuri perjalanan jauh
untuk mencari tempat hinggap di kakus umum. Gaya perumpamaan di
atas digambarkan pengarang dengan begitu ironis sehingga terasa bagi
pembaca penderitaan yang dirasakan tokoh-tokohnya. Perumpamaan
pada kutipan di atas terutama berfungsi menghidupkan
penggambaran latar suasana, di samping penggambaran latar
146
waktu dan tokoh dalam cerita. Pengarang memanfaatkan citraan visual
dan perasaan untuk menghidupkan latar waktu maupun suasana sehingga
pembaca pun akan merasa miris dengan kondisi tokoh Aku dan
keluarganya yang setiap paginya harus berjalan jauh sambil menahan
mulas demi mencari kakus yang nyaman untuk mereka pakai.
2.15. “Kate-kate itu mengatakan bahwa mereka adalah saudara tua, tapi tabiat
mereka seperti saudara tiri yang bengis dalam cerita-cerita mengharukan
yang pernah kudengar.” (C5, h. 51)
Pada perumpamaan di atas, pengarang menyamakan tabiat saudara
tua dengan saudara tiri. Kutipan tersebut menggambarkan cerita turun-
temurun yang diwariskan keluarga kepada tokoh Aku. Di mana cerita
tersebut mengisahkan tentang kekejaman dan kebengisan para tentara
kate yang menginjakkan kaki di kampung mereka. Namun sebenarnya
kutipan tersebut menyiratkan tentang tentara-tentara Jepang yang pada
masa pendudukan Jepang mengaku sebagai saudara tua orang Indonesia
namun pada kenyataannya tabiat mereka berkebalikan dengan sifat
seorang saudara. Adapun gaya perumpamaan pada kalimat di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran batin tokoh Aku yang
tidak suka dengan cerita tentang para kate yang menginjakkan kaki
di kampungnya dan membentak-bentak orangtua tokoh Aku.
2.16. “Pak Mayor hanya berlari setiap Minggu pagi dan Seto, demi kesopanan,
membuntutinya seperti anjing kampung.” (C6, h. 56)
Data di atas pun termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan
yang menyamakan sikap tokoh Seto dengan anjing kampung. Jika
dilihat, makna perumpamaan di atas masih berhubungan dengan data
sebelumnya yakni menyiratkan sebuah ejekan yang ditujukan pengarang
terhadap tokoh Seto. Pembaca pun dapat merasakan sebuah ironi di sini
ketika pengarang menggunakan perumpamaan seperti anjing kampung.
Dengan pemanfaatan citraan visual, pembaca dapat mengimajinasikan
dengan jelas bagaimana sikap tokoh Seto terhadap Pak Mayor sehingga
penggambaran tersebut mampu memberikan kesan yang lebih konkret.
147
Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh Seto.
2.17. “Si Mayor mengatakan sesuatu tetapi tak jelas dan ia seperti buru-buru
menelan kembali setiap kata yang ia keluarkan.” (C6, h. 59-60)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “seperti” yang
menunjukkan bahwa sikap tokoh Mayor disamakan dengan orang yang
buru-buru menelan kembali setiap kata yang telah dikeluarkan. Kutipan
di atas bermaksud menyiratkan tentang seseorang yang
menyembunyikan kebohongannya. Ketika sebuah pertanyaan yang
menjurus dengan hal yang disembunyikannya itu dilontarkan kepadanya,
maka ia pun langsung kaget dan bersikap kikuk. Hal itulah yang
ditampilkan pengarang melalui karakter Pak Mayor. Perasaan tokoh
Mayor digambarkan begitu kaget terhadap pertanyaan yang dilontarkan
istrinya, sehingga terasa begitu menohok. Melalui pemanfaatan citraan
visual dan perasaan, pembaca mampu membayangkan dengan jelas
bagaimana ekspresi tokoh Mayor yang kaget dan berbicara dengan
kalimat yang terburu-buru. Penggunaan gaya bahasa perumpamaan
di atas berfungsi menghidupkan penggambaran perasaan tokoh Pak
Mayor yang kaget dan takut yang berlebihan.
2.18. “Si Mayor merasa seperti keledai tua yang ditunggangi pencoleng kecil
tetapi ia tidak bisa apa-apa.” (C6, h. 62)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
keledai tua karena pengarang berusaha menyamakan si Mayor dengan
keledai tua. Makna kutipan di atas masih berkaitan dengan data
sebelumya. Pada kutipan di atas pengarang menyiratkan kondisi
seseorang yang sedang berada di ujung tanduk. Betapa tidak berdayanya
tokoh Mayor di hadapan anak kesayangannya sendiri lantaran ia takut
rahasia perselingkuhannya tercium oleh istrinya. Dengan perumpamaan
tersebut, pembaca akan memperoleh kesan yang lebih konkret tentang
kondisi si Mayor saat itu yang tidak mampu berbuat apa-apa di hadapan
anaknya. Gaya bahasa perumpamaan dalam data tersebut terutama
148
berfungsi mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh Mayor
yang naik pitam karena dipermainkan anaknya namun ia tak bisa
bisa berbuat apa-apa.
2.19. “Suhartini seperti disulut dan tiba-tiba suhu tengkuknya naik dan ia
merasakan lagi dorongan untuk mengamuk.” (C6, h. 63)
Pada perumpamaan di atas, emosi tokoh Suhartini disamakan
seperti disulut oleh panasnya api. Perumpamaan di atas bermaksud
menyiratkan tentang perasaan seseorang yang terpancing emosi.
Penggambaran perasaan tokoh Suhartini yang terbakar emosi tersebut
terasa lebih kuat karena pembaca dapat membayangkan dengan lebih
jelas bagaimana tokoh Suhartini terpancing oleh ucapan anaknya.
Fungsi gaya bahasa perumpamaan di atas selain mengkonkretkan
penggambaran perasaan tokoh Suhartini yang sedang terbakar
emosi.
2.20. “Pak Mayor duduk tegak dan waswas dan melipat tangan, seperti murid
sekolah menyembunyikan ujung kuku hitamnya di hari Senin ketika
guru berkeliling dengan penggaris besar.” (C6, h. 63)
Data di atas menunjukkan gaya bahasa perumpamaan yang
menyamakan sikap tokoh Mayor dengan murid sekolah yang
menyembunyikan ujung kuku hitamnya di hari Senin ketika guru
berkeliling dengan penggaris besar. Makna gaya perumpamaan di atas
menyiratkan tentang ketakutan seseorang kalau rahasianya terbongkar
dan ia pun takut menghadapi akibatnya jika rahasianya benar-benar
terbongkar. Hal itu digambarkan pengarang lewat kekhawatiran tokoh
Pak Mayor saat istrinya mulai mencium kecurigaan dari pembicaraan ia
dengan anaknya. Peristiwa tersebut terasa lebih menegangkan ketika
digambarkan dengan gaya perumpamaan di atas. Gaya bahasa
perumpamaan pada kalimat tersebut terutama berfungsi
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh Mayor yang was-
was dan juga mengkonkretkan suasana tegang yang muncul akibat
ketakutan yang berlebihan.
149
2.21. “Ketika bangun untuk kali kedua, dilihatnya si kerbau masih duduk
seperti duduk semula, seperti batu tua, seperti kutukan dari masa
prasejarah.” (C7, h. 67-68)
Pada perumpamaan di atas, pengarang menyamakan kondisi duduk
Sasi yang mematung dengan batu tua dan kutukan dari masa prasejarah.
Perumpamaan pada kutipan di atas bermaksud menyiratkan keengganan
seseorang menjawab pertanyaan dari seorang yang dianggap
menyebalkan. Dalam hal ini, Seto menjadi bulan-bulanan adiknya, Sasi.
Sasi terus meminta jawaban dari kakaknya tentang apa yang harus
dilakukannya ketika ia harus membenci orang yang sangat dicintainya.
Dari penggambaran ini terlihat bahwa Seto merasa jengkel karena
memiliki adik yang bodoh, gigih, sekaligus menyebalkan, sehingga
terkesan bahwa perumpamaan yang dipilih pengarang ini memandang
rendah tokoh Sasi. Penggunaan gaya perumpamaan di atas berfungsi
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh Seto yang jengkel
terhadap tingkah adiknya yang menyebalkan.
2.22. “Sehari sebelumnya ia seperti hidup tanpa tulang. Pada suatu pagi,
ketika ia kencing, ia merasa lantai kamar mandinya goyah dan debur
jantungnya meracau dan kepalanya seperti kesemutan.” (C7, h. 68)
Data di atas pun termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan
yang menyamakan kondisi tubuh tokoh Seto dengan hidup tanpa tulang
dan sakit di kepalanya disamakan dengan kesemutan. Makna gaya
perumpamaan di atas menyiratkan tentang pengalaman seseorang yang
pernah merasakan kekuatan tubuhnya berada di titik paling rendah. Hal
itulah yang digambarkan pengarang pada kondisi tubuh tokoh Seto yang
seringkali lemas. Melalui pemanfaatan citraan visual dan perasaan,
pembaca akan memperoleh kesan lebih konkret serta mampu
mengimajinasikan dengan lebih jelas bagaimana rasa sakit yang dialami
tokoh Seto saat itu dengan gaya perumpamaan ini. Fungsi gaya bahasa
perumpamaan pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran fisik tokoh Seto yang lemah dan sakit-sakitan.
150
2.23. “Kau bisa mengatakan bahwa Sasi kini menjalani hidup serupa perawan
suci, dengan satu-satunya anak lelaki yang usianya 14 tahun lebih tua
darinya.” (C7, h. 76)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “serupa” yang
menunjukkan bahwa tokoh Sasi disamakan dengan perawan suci.
Perumpamaan pada data di atas bermaksud menyiratkan tentang seorang
gadis yang masih bersih namun memilih mengorbankan masa depannya
demi merawat seseorang yang bukan anaknya. Pelukisan tersebut
ditampilkan pengarang melalui tokoh Sasi yang dengan segenap kasih
sayangnya memilih jalan untuk tidak menikah demi merawat kakaknya
yang sakit-sakitan. Gaya perumpamaan yang dipilih pengarang terasa
jujur dan apa adanya sehingga pembaca pun akan memperoleh kesan
yang seperti tidak dibuat-buat dari penggambaran tokoh tersebut. Dapat
dikatakan bahwa gaya perumpamaan di atas berfungsi
mengkonkretkan penggambaran watak tokoh Sasi yang rela
mengorbankan kebahagiannya demi orang yang disayanginya.
2.24. “Dalam dua tahun terakhir hidupnya, ia tidak bisa bicara dan tampak
seperti cacing.” (C8, h. 78)
Pada perumpamaan di atas kondisi tubuh tokoh istri disamakan
dengan seekor cacing. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan tentang
penderitaan yang dialami seseorang hingga membuat kehidupannya
berakhir tragis. Penggambaran tokoh ibu ini digambarkan pengarang
dengan tragis karena penderitaan yang dialaminya tidak hanya membuat
dirinya sakit tetapi juga tubuhnya makin lama makin kurus sehingga
terasa begitu mengenaskan. Dengan mengaktifkan citraan visual,
penggambaran tokoh ibu mampu membuat pembaca menimbulkan kesan
yang lebih konkret. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada kalimat
tersebut adalah mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh ibu
yang sakit dan makin lama makin kurus.
151
2.25. “Ayahku orang baik dan ia bilang ibuku orang baik, tetapi kadang
mereka ribut juga—biasanya ibu memulai: kenapa kau tidak menelepon?
Kenapa makan pagimu tadi seperti anak cacingan?” (C8, h. 80)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
anak cacingan karena pengarang berusaha menyamakan cara makan
tokoh ayah dengan anak cacingan. Makna gaya perumpamaan di atas
bermaksud menggambarkan cara makan yang dilakukan tokoh ayah
yang seperti orang bermalas-malasan dan tidak berselera. Namun dibalik
makna di atas, pengarang sebenarnya ingin memperlihatkan watak tokoh
ibu yang sesungguhnya. Ia tidak hanya cerewet terhadap anaknya tetapi
juga kepada suaminya. Gaya perumpamaan di atas berfungsi
menghidupkan penggambaran watak tokoh ibu yang cerewet.
2.26. “Di sana aku merasa seperti berada di dalam kepungan kuku-kuku
hantu.” (C8, h. 81)
Gaya bahasa di atas juga termasuk perumpamaan. Pada data
tersebut pengarang menyamakan sebuah rumah dengan sebuah tempat
yang menjadi kepungan kuku-kuku hantu. Perumpamaan di atas
bermaksud menyiratkan tentang sebuah tempat yang dianggap memiliki
aura mistis. Dengan perumpamaan di atas, pengarang menghadirkan
imaji suasana angker dan menyeramkan yang diwakili oleh sebuah
tempat yang menjadi kepungan kuku hantu. Penggunaan gaya bahasa
perumpamaan pada data tersebut berfungsi mengkonkretkan
penggambaran suasana angker dan menyeramkan sehingga terasa
lebih nyata bagi pembaca.
2.27. “Ayahku hampir setinggi ambang pintu dan kini ia tampak seperti
perempuan raksasa.” (C8, h. 82)
Kata “setinggi” pada perumpamaan di atas digunakan pengarang
untuk menyamakan postur tubuh tokoh ayah dengan tinggi ambang pintu
dan kata “seperti” digunakan untuk menyamakan penampilan tokoh ayah
dengan perempuan raksasa. Makna perumpamaan di atas menyiratkan
tentang kebingungan seorang anak ketika melihat ayahnya berubah
152
menjadi perempuan. Melalui penggambaran ini, terasa ada sebuah ironi
yang ditampilkan pengarang bahwa seorang anak seringkali menjadi
korban dari setiap keputusan yang diambil orangtua. Dalam hal ini,
tokoh ayah yang memilih berubah menjadi perempuan membuat Seto
bingung harus memanggil apa kepada ayahnya yang secara fisik berubah
total. Adapun penggunaan gaya bahasa perumpamaan di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh ayah yang
disamakan dengan perempuan raksasa.
2.28. “Kaca depan jendela penuh debu, juga meja plastik di teras dan daun-
daun tanaman dalam pot, dan istriku sedang tiduran di ruang tamu ketika
aku masuk rumah—ia tampak seperti sudah berumur 38 atau 39 tahun
meskipun sesungguhnya belum 34 tahun.” (C8, h. 88)
Gaya bahasa di atas termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan
yang menyamakan usia tokoh istri yang baru 34 namun seperti berumur
38 atau 39 tahun. Gaya bahasa di atas bermaksud menyiratkan tentang
wajah seorang istri yang sedang hamil namun tampak lebih tua dari usia
yang sebenarnya karena efek remang cahaya sore yang memantul ke
wajahnya. Dengan gaya bahasa perumpamaan di atas, pembaca dapat
mengimajinasikan dengan lebih konkret penggambaran tokoh istri
melalui pemanfaatan citraan visual. Penggunaan gaya bahasa
perumpamaan pada kalimat tersebut berfungsi mengkonkretkan
penggambaran fisik tokoh istri yang terlihat lebih tua dari umur
yang sebenarnya.
2.29. “Seperti wabah, kata bab tiga, keberhasilan adalah sesuatu yang
menular. Begitu juga pikiran gelap dan kemurungan.” (C9, h. 89)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “seperti” yang
menunjukkan bahwa keberhasilan disamakan seperti wabah. Lebih dari
itu, makna perumpamaan di atas menyiratkan bahwa kata atau kalimat
motivasi yang menggebu-gebu seringkali dijadikan para motivator agar
pembacanya terdorong untuk menjalani hidup dengan lebih semangat
dan dengan gairah yang tak pernah padam. Melalui penggambaran ini
153
pengarang terkesan menyindir fenomena tersebut. Penggunaan gaya
bahasa perumpamaan pada data di atas masih memiliki keterkaitan
dengan data sebelumnya yakni mengkonkretkan penggambaran
batin tokoh Aku yang terpengaruh dengan ajakan dari buku
motivasi yang ia baca.
2.30. “Buku semacam itu benar-benar seperti kaus lapuk yang akan membuat
pikiranmu adem.” (C9, h. 90)
Gaya bahasa di atas merupakan gaya perumpamaan yang
menyamakan buku motivasi dengan kaus lapuk. Kutipan di atas
menggambarkan batin tokoh Aku yang merasakan ketenteraman setelah
membaca buku-buku motivasi yang berisi tentang keberhasilan orang-
orang sukses. Makna perumpamaan yang terkandung pada kutipan di
atas melukiskan bahwa pesan atau ajaran dalam buku motivasi seringkali
memikat pembacanya dengan kata-kata atau kalimat-kalimatnya yang
menyihir. Melalui penggambaran ini, pengarang seolah ingin
menunjukkan bahwa dalam kenyataannya kata-kata atau kalimat
motivasi hanyalah sebuah ilusi. Ia tidak bisa menjanjikan atau mengubah
kondisi seseorang menjadi lebih baik sehingga terkesan ada sebuah ironi
yang ingin disampaikan pengarang. Dapat disimpulkan bahwa gaya
bahasa perumpamaan pada data tersebut berfungsi
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh Aku yang menjadi
lebih tentram setelah membaca buku motivasi.
2.31. “Aku terus menunduk. Tetapi wajahnya, dengan sebelah mata mengatup,
seperti ada di lantai teras.” (C9, h. 94)
Penggunaan gaya perumpamaan di atas mengumpamakan
bayangan wajah tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup seperti
berada di lantai teras. Melalui perumpamaan ini pengarang sebenarnya
ingin menyindir perilaku orang-orang yang mudah sekali menilai orang
lain hanya dari penampilan luarnya saja, padahal penampilan luar tidak
menentukan kebaikan atau keburukan sifat atau perilaku seseorang. Hal
itu ditampilkan tokoh Aku yang takut ketika bertemu dengan tokoh
154
lelaki dengan sebelah mata mengatup padahal ketakutan tersebut berasal
dari pikirannya sendiri yang kerap berpikir negatif kepada orang lain.
Fungsi gaya bahasa perumpamaan di atas adalah mengkonkretkan
karakter tokoh dalam cerita.
2.32. “Aku merasa sudah menghindar. Mata kanannya seperti mengapung di
mana-mana.” (C9, h. 95)
Gaya bahasa di atas juga termasuk perumpamaan. Tokoh Aku
menyamakan mata kanan si lelaki dengan sebelah mengatup seperti
mengapung di mana-mana. Makna pada kutipan di atas juga masih
berhubungan dengan data sebelumnya. Di mana ketakutan yang
dirasakan tokoh Aku itu timbul akibat gelapnya pikiran tokoh Aku
terhadap si lelaki dengan sebelah mata mengatup sehingga semakin
membuat hatinya gelisah. Melalui pemanfaatn citraan visual dan
perasaan, pembaca dapat membayangkan dengan jelas bagaimana
ketakutan dan ekspresi tokoh Aku ketika berusaha menghindar dari
tatapan lelaki itu. Dapat dilihat bahwa fungsi gaya bahasa
perumpamaan di atas adalah mengkonkretkan penggambaran
perasaan tokoh Aku yang ketakutan dan gelisah ketika dibayang-
bayangi wajah tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup.
2.33. “Aku tak bisa menjawab. Mata kanannya seperti terus melekat di
pelupukku.” (C9, h. 95)
Gaya bahasa di atas juga termasuk gaya perumpamaan yang
membandingkan mata kanan tokoh lelaki dengan sebelah mata mengatup
seperti terus melekat di pelupuk tokoh Aku. Makna kutipan di atas juga
masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Pengarang melalui
gaya perumpamaan di atas juga menggambarkan perasaan tokoh Aku
yang terus dihantui rasa takut hingga ia sendiri tidak mampu menjawab
pertanyaan yang dilontarkan istrinya. Melalui pemanfaatan citraan
visual, pembaca dapat merasakan dengan lebih konkret bagaimana
perasaan tokoh Aku yang saat itu benar-benar ketakutan dengan tokoh
lelaki dengan sebelah mata mengatup. Gaya bahasa perumpamaan
155
pada data di atas juga berfungsi mengkonkretkan penggambaran
perasaan tokoh Aku yang ketakutan.
2.34. “Ia dan orang itu seperti bayangan masing-masing di cermin—yang satu
mata kiri, yang satu mata kanan.” (C9, h. 95)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
bayangan masing-masing cermin karena pengarang berusaha
menyamakan anak tokoh Aku dengan lelaki dengan sebelah mata
mengatup. Gaya perumpamaan di atas bermaksud menyiratkan
gambaran batin seseorang yang benci sekaligus marah karena merasa
telah dikhianati. Jika dilihat, makna gaya perumpamaan tersebut masih
berkaitan dengan data sebelumnya. Efek bacaan membuat tokoh Aku
seringkali terpengaruh bahkan menghubung-hubungkan anaknya yang
lahir dengan sebelah mata mengatup dengan tokoh lelaki dengan sebelah
mata mengatup yang telah mengusap dan mencium perut istrinya.
Fungsi gaya perumpamaan di atas juga mengkonretkan gambaran
batin tokoh Aku yang benci dan marah karena merasa telah
dikhianati istrinya.
2.35. “Kecantikan gadis itu bertahan di pelupuk mata Alit hingga bertahun-
tahun kemudian dan Alit yakin bahwa kecantikan seperti halnya bakat,
adalah anugerah Tuhan.” (C10, h. 98)
Gaya perumpamaan pada data di atas menyamakan kecantikan
dengan bakat. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan tentang seseorang
yang terus menyimpan rasa kagumnya terhadap gadis pujaannya
bertahun-tahun lamanya hingga setiap kali bertemu, ia tetap merasa
kikuk di hadapan gadis itu. Dengan gaya perumpamaan ini pengarang
juga menggambarkan bagaimana perasaan tokoh Alit yang sedang jatuh
cinta sehingga penggambaran tersebut terasa lebih hidup. Gaya
perumpamaan pada data di atas adalah menghidupkan
penggambaran perasaan tokoh Alit yang sedang jatuh cinta.
156
2.36. “Selama pertunjukkan, yang berlangsung satu jam namun terasa seperti
bertahun-tahun, para prajurit terus memasang tampang kaku seperti
ketika mereka sedang berbaris.” (C10, h. 99)
Gaya bahasa di atas merupakan gaya perumpamaan yang
menyamakan waktu satu jam seperti bertahun-tahun dan tampang kaku
para prajurit disamakan seperti sedang berbaris. Makna kutipan di atas
menyiratkan sebuah ironi di mana seorang pesulap yang berusaha
mempertontonkan atraksi terbaiknya tetapi justru penampilannya tidak
menghibur sama sekali di hadapan penonton. Lebih dari itu, pengarang
melalui gaya perumpamaan di atas juga menggambarkan perasaan tokoh
Alit yang malu dan kecewa karena trik sulapnya tidak menghibur sama
sekali. Hal itulah yang menimbulkan rasa miris bagi pembaca. Melalui
citraan visual dan perasaan, pembaca pun dapat membayangkan dengan
jelas bagaimana perasaan tokoh Alit dengan perumapaan ini. Gaya
bahasa perumpamaan pada data di atas terutama berfungsi
mengkonkretkan penggambaran latar waktu. Selain latar waktu,
perumpamaan di atas juga mengkonkretkan penggambaran
perasaan tokoh Alit yang malu dan kecewa karena atraksi sulapnya
tidak menarik bagi penonton.
2.37. “Lelaki itu menatap anak muda di depannya, seperti memeriksa susunan
tulang belulang rangkanya.” (C10, h. 99)
Pada perumpamaan di atas, pengarang membuat perbandingan
tatapan tokoh pawang hujan seperti sedang memeriksa susunan tulang
belulang rangka manusia. Kutipan di atas bermaksud mengungkapkan
tentang reaksi seorang guru ketika pertama kali bertemu dengan calon
muridnya. Fungsi perumpamaan di atas adalah mengkonkretkan
penggambaran karakter tokoh pawang hujan yang mengamati
penampilan Alit saat pertemuan pertama mereka. Dengan
mengaktifkan citraan visual, pembaca dapat mengimajinasikan dengan
jelas penggambaran karakter tokoh pawang hujan dengan perumpamaan
yang dipilih pengarang ini.
157
2.38. “Alit percaya pada kata-katanya: ia pawang sakti dan, kau tahu,
tampangnya seperti setan.” (C10, h. 100)
Kata “seperti” pada perumpamaan di atas digunakan pengarang
untuk menyamakan tampang tokoh guru Alit dengan setan.
Perumpamaan pada data di atas melukiskan tentang tampang seseorang
yang terlihat sangat menyeramkan. Perumpamaan di atas merupakan
lukisan penggambaran wajah tokoh pawang hujan yang dianggap tokoh
Alit seperti setan. Penggambaran yang dipilih pengarang ini terasa ada
kesan ejekan yang sengaja dilekatkan pada tokoh pawang hujan. Dengan
memanfaatkan citraan visual, pengarang berusaha
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh pawang hujan dengan
kata “seperti setan” sehingga efek bagi pembaca menjadi lebih jelas.
2.39. “Ia akan membuat awan-awan saling cakar seperti anak-anak kucing
atau melengok selucu banci.” (C10, h. 100)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
anak-anak kucing dan selucu banci karena pengarang berusaha
menyamakan pertunjukan awan-dengan anak-anak kucing yang saling
cakar atau mampu melengok selucu banci. Makna gaya perumpamaan di
atas menyiratkan tentang imajinasi seseorang yang ingin melakukan
sebuah pertunjukan luar ruang ketika kelak ia menjadi pawang hujan
sakti. Gaya perumpamaan ini juga berfungsi menghidupkan latar
suasana yang akan terjadi jika kelak pertunjukan luar ruang itu
memang benar-benar bisa dikendalikan oleh tokoh Alit sehingga
terasa bagi pembaca kesan yang lebih hidup. Melalui pemanfaatan
citraan visual, penggambaran tersebut juga mampu menumbuhkan
imajinasi pembaca.
2.40. “Kau tahu, mereka seperti kaum usiran yang kembali untuk merayakan
kematian orang yang selama hidup telah mencampakkan mereka.” (C10,
h. 101)
Gaya bahasa di atas juga termasuk perumpamaan. Pada data
tersebut pengarang menyamakan kumpulan awan dengan kaum usiran.
158
Gaya perumpamaan di atas bermaksud menyiratkan sebuah ironi yang
ditampilkan pengarang lewat tokoh pawang hujan. Di mana hujan
merupakan karunia Tuhan yang diturunkan sebagai bentuk kasih
sayangnya kepada alam termasuk manusia, namun dalam hal ini
pengarang sesungguhnya ingin menyampaikan bahwa pawang hujan
digambarkan sebagai simbol perlawanan terhadap takdir Tuhan.
Menolak hujan berarti melawan takdir Tuhan dan itu sama halnya
dengan mengkufurkan nikmat Tuhan. Adapun dari perumpamaan di atas,
pengarang sebenarnya ingin menggambarkan suasana ketika proses
pemakaman pawang hujan yang diiringi kerumunan awan yang akan
menjadi hujan. Penggambaran suasana dengan perumpamaan tersebut
menjadi lebih hidup dan terasa lebih nyata bagi pembaca. Fungsi gaya
bahasa perumpamaan pada kutipan tersebut adalah menghidupkan
latar suasana dalam cerita.
2.41. “Alit sudah hampir 32 saat itu dan pada hari Sabtu sore ia melihat si
gadis, usianya sudah hampir 21, tampak seperti bidadari yang dijatuhi
kutukan.” (C10, h. 101-102)
Gaya perumpamaan di atas menyamakan tokoh gadis yang telah
menginjak dewasa dengan bidadari yang dijatuhi kutukan. Makna
kutipan tersebut melukiskan tentang seorang gadis yang telah beranjak
dewasa namun ironis ia lebih memilih duda tua untuk dijadikan
suaminya sehingga terkesan ada sebuah olok-olok atau ejekan yang ingin
disampaikan pengarang. Gaya perumpamaan pada kalimat di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran tokoh gadis kusam yang
bernasib malang.
2.42. “Pada saat penguinnya menyelam, lelaki itu tetap menampilkan paras
muka seperti orang yang sedang makan.” (C11, h. 111)
Pada perumpamaan di atas paras lelaki yang sedang melakukan
atraksi penguin disamakan dengan orang yang sedang makan. Gaya
bahasa tersebut melukiskan tentang seseorang yang begitu menikmati
atraksi mesumnya di tempat makan yang menyediakan dangau-dangau
159
untuk para pengunjung. Metafor ini terkesan menyindir perilaku orang-
orang yang tidak punya malu ketika berbuat sesuatu yang melanggar
norma di masyarakat. Ironisnya hal itulah yang ditampilkan pengarang
lewat tokoh lelaki yang juga seorang pegawai negeri. Ia digambarkan
melakukan atraksi mesum dengan beberapa perempuan yang bukan
istrinya di tempat umum sehingga terasa ada sebuah sindiran halus yang
diselipkan pengarang dari penggambaran tersebut. Fungsi gaya bahasa
perumpamaan pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran paras tokoh lelaki yang terlihat begitu menikmati
atraksi mesumnya.
2.43. “Apa sebenarnya salah saya?” tanyanya, seperti bayi baru lahir yang
dikutuk oleh nasib buruk pada hari pertama ia dilahirkan, seperti orang
suci yang dihukum karena mengajarkan kebenaran.” (C11, h. 112)
Pada perumpamaan di atas, pengarang menggunakan perbandingan
sebuah pertanyaan dengan bayi baru lahir yang dikutuk oleh nasib buruk
pada hari pertama ia dilahirkan, dan orang suci yang dihukum karena
mengajarkan kebenaran. Kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang
yang hanya bisa meratapi nasib buruknya ketika perbuatan tak pantasnya
diketahui banyak orang. Melalui perumpamaan di atas, pengarang
berusaha mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh lelaki yang
hanya bisa meratapi nasib buruknya ketika atraksi penguinnya jadi bahan
tontonan di muka umum. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada
kutipan di atas adalah mengkonkretkan penggambaran perasaan
tokoh dalam cerita.
2.44. “Istriku terus mencaci. Aku seperti tenggelam dalam pusaran yang keruh
dan membuatku sulit bernapas.” (C11, h. 113)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
tenggelam dalam pusaran yang keruh dan membuatku sulit bernapas
karena pengarang berusaha menyamakan tokoh Aku seperti jatuh ke
dalam penderitaan yang bertubi-tubi. Kutipan di atas menyiratkan
tentang kondisi seorang suami yang sudah tidak berdaya ketika istrinya
160
terus-menerus mencacinya. Melalui perumpamaan tersebut pengarang
menggambarkan ketidakberdyaan tokoh Aku atas perlakuan istrinya
yang seringkali menyakiti hatinya. Gaya perumpamaan ini berfungsi
mengkonkretkan penggambaran batin tokoh Aku begitu menderita
sehingga jika pembaca mengaktifkan citraan perasaan maka
pembaca akan merasa kesan yang lebih konkret terhadap
penderitaan yang dialami tokoh Aku.
2.45. “Sudah saatnya aku memikirkan ketenteraman seperti resi-resi zaman
dulu, menghabiskan air mata di tempat sunyi.” (C11, h. 116)
Pada perumpamaan di atas ketenteraman yang diinginkan tokoh
Aku disamakan seperti resi-resi zaman dulu. Perumpamaan di atas
bermaksud menyiratkan tentang seseorang yang sudah menyerah dengan
masalah yang membelenggu dirinya. Melalui perumpamaan tersebut
pengarang juga menggambarkan kondisi batin tokoh Aku yang ingin
terbebas dari semua masalah yang selama ini telah merenggut
kebahagiannya. Hal tersebut merupakan bentuk perlawanan tokoh Aku
yang digambarkan selama ini hanya bisa menerima dan pasrah dengan
penderitaan yang dialaminya. Fungsi gaya bahasa perumpamaan di
atas adalah mengkonkretkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
2.46. “Mungkin aku tertidur 300 tahun seperti orang-orang dari cerita lama.”
(C11, h. 116)
Kata “seperti” pada perumpamaan di atas digunakan pengarang
untuk melukiskan tokoh Aku yang tertidur di gua selama 300 tahun. Hal
itu disamakan dengan orang-orang dari cerita lama. Makna kutipan di
atas bermaksud menyiratkan tentang seseorang yang ingin mencari
ketenangan di dalam gua namun sesuatu yang aneh terjadi setelah ia
bangun dari tidurnya. Melalui perumpamaan ini pengarang juga
menggambaran batin tokoh Aku yang keget karena tiba-tiba segala
sesuatunya berubah setelah ia bangun dari tidur panjangnya sehingga
terasa oleh pembaca kesan yang lebih hidup dari peristiwa yang dialami
161
tokoh Aku. Fungsi bahasa perumpamaan pada kalimat di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
2.47. “Nenekku batuk-batuk dan bertingkah seperti orang ngidam; ia minta
dibelikan mangga matang pohon.” (C12, h. 118)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “seperti” yang
menunjukkan bahwa tingkah tokoh nenek disamakan dengan orang
ngidam. Makna kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang yang
bersikap lebih manja dari biasanya ketika sedang sakit. Penggambaran
tokoh nenek dengan pengibaratan tersebut terkesan lucu karena biasanya
ngidam itu melekat dengan perempuan yang hamil muda. Dengan
memanfaatkan citraan visual pembaca pun dapat mengimajinasikan
dengan jelas bagaimana tingkah tokoh nenek yang saat itu yang seperti
orang ngidam. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada tersebut
adalah mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh nenek yang
manja.
2.48. “Aku benci nama kampungnya; ia seperti memberi perasaan tidak enak
yang aku sendiri susah menjelaskannya.” (C12, h. 118)
Gaya bahasa di atas juga termasuk gaya perumpamaan yang
membandingkan nama sebuah kampung seperti memberi perasaan tidak
enak. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan tentang kebencian
seseorang yang tiba-tiba muncul tanpa alasan yang jelas. Perumpamaan
ini juga berfungsi mengkonkretkan penggambaran batin tokoh Aku
yang merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Ia benci ketika
mendengar nama kampung tempat tinggal Seto, padahal ia belum pernah
mengunjungi kampung itu. Penggambaran tersebut terasa lebih mengena
bagi pembaca dan pembaca pun akan memperoleh kesan lebih konkret
mengenai gambaran batin tokoh Seto melalui gaya perumpamaan di atas.
2.49. “Ia menyambutku seperti orang yang hidup lagi sehabis mati dan kami
bercakap-cakap hingga dini hari. Ia tampak seperti orang mengigau.”
(C12, h. 122)
162
Pada perumpamaan di atas, tokoh Aku menyamakan temannya
seperti orang yang hidup lagi sehabis mati dan seperti orang mengigau.
Makna gaya perumpamaan di atas melukiskan seseorang yang bertindak
aneh dan tidak wajar ketika bertemu dengan teman lamanya. Melalui
gaya perumpamaan tersebut, pengarang juga menggambarkan batin
tokoh Aku yang merasa aneh dengan tingkah tokoh Kadal yang tidak
seperti biasanya. Penggunaan gaya bahasa perumpamaan pada
kutipan di atas berfungsi mengkonkretkan penggambaran batin
tokoh dalam cerita.
2.50. “Sebuah klise, kau tahu, tetapi terdengar seperti nyanyian top hit di
telinganya.” (C13, h. 131)
Data di atas termasuk gaya bahasa perumpamaan. Pengarang
menyamakan sebuah klise yang terdengar seperti nyanyian top hit.
Makna perumpamaan di atas menyiratkan tentang seseorang yang sudah
muak terhadap tingkah maupun ucapan yang keluar dari mulut seorang
pengkhianat. Dari perumpamaan tersebut, pengarang terkesan
menggambarkan batin tokoh Aku yang sudah muak terhadap permintaan
maaf dari istri yang telah berkali-kali mengkhianatinya. Penggunaan
gaya bahasa perumpamaan pada kutipan tersebut berfungsi
mengkonkretkan penggambaran batin tokoh dalam cerita.
2.51. “Di waktu-waktu lain, ia menciptakan adegan setampan kartu pos.”
(C13, h. 132)
Pada perumpamaan di atas pengarang menyamakan sebuah adegan
setampan kartu pos. Data di atas bermaksud menyiratkan tentang tokoh
Aku yang berusaha menumbuhkan rasa cinta di dalam hatinya dengan
membayangkan sejumlah melodrama setelah pengkhianatan pertama
yang dilakukan oleh istrinya. Melalui perumpamaan ini pengarang
berusaha menggambarkan bagaimana perasaan tokoh Aku yang
sebenarnya sakit hati namun ia berpura-pura tegar dan terus meyakinkan
dirinya bahwa hanya dialah sebaik-baik tempat pulang bagi istrinya.
Penggambaran yang terkesan ironis ini dipilih pengarang untuk
163
mengkonretkan penggambaran karakter tokoh Aku yang lemah dan
tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.
2.52. “Hati yang seperti lempung tak pernah mampu menyangga kepala agar
tetap mendongak.” (C13, h. 136)
Pengarang menggunakan gaya perumpamaan di atas untuk
menyamakan hati dengan lempung. Makna kutipan di atas masih
memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya, di mana pengarang
berusaha menggambarkan karakter tokoh Aku yang lemah dan tidak
tegas dalam bersikap. Melalui perumpamaan ini pula pengarang terkesan
menyindir karakter tokoh Aku sebagai suami yang tidak memiliki
prinsip. Dengan tangan terbuka, tokoh Aku yang berkali-kali dikhianati
itu tetap menerima kepulangan si pengkhianat. Penggambaran yang
dipilih pengarang tersebut terasa lebih konkret dan mengena bagi
pembaca. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut
adalah mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh dalam
cerita.
2.53. “Mereka hidup seperti itu selamanya, sampai lelaki itu mati pada usia
lima puluh dua, tetapi kelihatan sudah sangat renta dan seperti orang
yang mati pada usia enam puluh sembilan.” (C13, h. 136)
Gaya bahasa di atas juga termasuk perumpamaan yang
menyamakan tokoh lelaki yang terlihat sangat renta dan mati pada usia
lima puluh dua namun disamakan dengan orang yang mati pada usia
enam puluh sembilan. Makna gaya perumpamaan di atas menyiratkan
tentang seseorang yang mati dalam usia yang relatif tua namun kondisi
tubuhnya terlihat sudah sangat renta. Melalui perumpamaan di atas,
pengarang berusaha menggambarkan kondisi fisik tokoh Aku yang
kelihatan sudah sangat renta dari umur yang sebenarnya. Penggunaan
gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut berfungsi
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh dalam cerita.
2.54. “Semuanya ranum dan “pas susunya” seperti bunyi sebuah iklan.” (C14,
h. 140)
164
Pada kalimat di atas, pengarang menggunakan perumpamaan
seperti bunyi sebuah iklan karena pengarang berusaha menggambarkan
bunyi “pas susunya” dengan bunyi sebuah iklan. Jika dilihat, makna
perumpamaan di atas masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya yakni menyiratkan tentang kematangan usia gadis-gadis
pelacur yang dipasarkan tokoh Ambar. Melalui penggambaran ini,
pengarang sebenarnya ingin melukiskan karakter tokoh Ambar sebagai
germo belia yang cerdas dan mampu memasarkan gadis-gadis belia yang
cantik. Penggambaran yang dipilih pengarang ini terasa lebih hidup dan
mampu membangkitkan imajinasi pembaca. Fungsi gaya bahasa
perumpamaan pada data tersebut adalah menghidupkan
penggambaran karakter tokoh dalam cerita.
2.55. “Si polisi, dengan kepekaannya pada detail, menerima kartu wartawan
yang disodorkan dan membolak-baliknya beberapa kali seperti sedang
menggangsir sebuah rahasia yang disembunyikan.” (C14, h. 141)
Gaya perumpamaan di atas menyamakan tingkah tokoh polisi
dengan orang yang sedang menggangsir sebuah rahasia yang
disembunyikan. Melalui perumpamaan di atas, pengarang
menggambarkan karakter tokoh polisi yang teliti dan penuh kehati-hatian
ketika mengamati sebuah benda, dalam hal ini memeriksa kartu seorang
wartawan. Dengan mengaktifkan citraan visual, gaya perumpamaan di
atas membuat pembaca dapat membayangkan dengan jelas bagaimana
tokoh polisi melakukan tugasnya sehingga penggambaran tersebut terasa
lebih konkret bagi pembaca. Penggunaan gaya bahasa perumpamaan
pada kalimat tersebut berfungsi mengkonkretkan penggambaran
karakter tokoh dalam cerita.
2.56. “Dunia yang sempit, kau tahu, hanya akan membawa seorang berkisar di
antara orang-orang yang itu-itu juga. Dan itu membuat kehidupan
kadang terasa sebagai sebuah telenovela, dengan persoalan yang silang
susup di situ-situ juga, atau seperti film India.” (C14, h. 143)
165
Pada perumpamaan di atas, dunia yang sempit disamakan seperti
sebuah telenovela atau film India. Kutipan di atas bermaksud
menyiratkan bahwa persoalan hidup yang hanya bergerak disitu-situ juga
dan dengan orang yang itu-itu juga membuat hidup terasa sempit dan
membosankan. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada kalimat di
atas sebenarnya adalah mengkonkretkan penggambaran perasaan
tokoh Alit yang kangen dan tidak menyangka bahwa ia bisa melihat
Ambar, adik satu-satunya di stasiun televisi setelah bertahun-tahun
berpisah. Penggambaran yang dipilih pengarang tersebut terasa lebih
konkret dan memiliki daya pikat yang lebih menarik lagi bagi pembaca.
2.57. “Sampai mereka berpisah, Alit masih melihat bekas luka di bawah
rambut tipis adiknya karena pukulan centong nasi, seperti bekas luka di
kepala Sangkuriang.” (C14, h. 143)
Pada perumpamaan di atas, pengarang membuat perbandingan
bekas luka di kepala tokoh Ambar dengan bekas luka di kepalanya
Sangkuriang. Perumpamaan di atas menyiratkan tentang bekas luka di
pelipis tokoh Ambarwati akibat pukulan centong nasi yang dilakukan
Seto dulu sebelum mereka berpisah. Melalui gaya perumpamaan ini,
pengarang terkesan menggambarkan fisik tokoh Ambar yang memiliki
bekas luka di pelipis. Dengan mengaktifkan citraan visual, pembaca
akan memperoleh kesan yang lebih kongkret lagi. Gaya bahasa
perumpamaan pada kalimat tersebut berfungsi mengkonkretkan
penggambaran fisik tokoh yang memiliki bekas luka di pelipis.
2.58. “Punggungnya merosot di sandaran kursi dan ia seperti sudah duduk di
sana beberapa waktu sebelum wahyu pertama diturunkan.” (C15, h. 151)
Kalimat di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa perumpamaan
karena terdapat kata pembanding seperti, sebab membandingkan dua hal
secara langsung yaitu posisi punggung yang merosot di sandaran kursi
seperti sudah duduk di sana beberapa waktu sebelum wahyu pertama
diturunkan. Dalam penggambaran ini, pengarang terkesan ingin
menggambarkan posisi punggung yang merosot di sandaran kursi
166
menandakan bahwa seseorang telah duduk dalam waktu yang lama.
Adapun gaya perumpamaan yang digunakan pengarang ini
berfungsi mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh ayah
yang tetap setia menunggu kedatangan anaknya yang pergi
meninggalkan rumah dan sepucuk surat untuknya. Perumpamaan
yang digunakan pengarang ini memberikan kesan yang lebih hidup
daripada hanya dilukiskan dengan kalimat biasa.
2.59. “Di kampung baru mereka, anak-anak tetangga tumbuh seperti kutu:
kecil-kecil dan jumlahnya banyak sekali. […] Lima masih sebesar kutu
dan tiga sudah menjadi kucing liar.” (C15, h. 154)
Kutu merupakan serangga parasit tidak bersayap yang mengisap
darah binatang atau manusia namun pada gaya perumpamaan di atas
anak-anak masih kecil dan tumbuh dalam jumlah yang banyak
disamakan oleh pengarang seperti kutu. Jika dilihat, makna kutipan di
atas masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Di mana
sebenarnya pengarang ingin menggambarkan potret sosial kehidupan
orang-orang kampung yang miskin, berpendidikan rendah, menikah pada
usia muda, bahkan memiliki banyak anak yang jarak antara satu dan
lainnya begitu dekat. Penggambaran tersebut mampu membuat pembaca
memperoleh kesan yang lebih konkret dan pembaca pun dapat
mengimajinasikan dengan jelas bagaimana potret sosial yang
ditampilkan pengarang dengan mengaktifkan citraan visual.
Penggunaan gaya bahasa perumpamaan pada kalimat tersebut
berfungsi mengkonkretkan penggambaran latar sosial dalam cerita.
2.60. “Mayat-mayat itu seperti hujan deras yang jatuh dari langit, tercampak
di selokan, nyelip di sela alang-alang, atau tercabik-cabik di ujung
gang.” (C15, h. 155)
Gaya perumpamaan di atas menyamakan mayat-mayat yang
berjatuhan dengan hujan deras. Melalui perumpamaan di atas pengarang
berusaha menggambarkan suasana saat terjadi peristiwa pemberantasan
misterius. Saat peristiwa itu terjadi, mayat-mayat berserakan di mana-
167
mana. Mereka bergelimpangan di setiap sudut tempat bahkan berjatuhan
seperti hujan deras yang tidak dapat ditahan ataupun dihitung jumlahnya.
Penggambaran tersebut terasa lebih nyata sehingga pembaca pun dapat
mengimajinasikan dengan jelas bagaimana penggambaran suasana saat
peristiwa itu terjadi. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada data
tersebut adalah menghidupkan penggambaran latar suasana ngeri
dan menyeramkan yang muncul akibat banyaknya korban yang
jatuh dalam peristiwa pemberantasan misterius.
2.61. “Malamnya kudengar kabar tentang air laut yang tumpah ke daratan;
sederas ketuban yang pecah dari rahim perempuan.” (C16, h. 162)
Pada gaya perumamaan di atas pengarang menyamakan dua hal
secara eksplisit dengan kata “sederas”. Air laut yang tumpah disamakan
dengan ketuban yang pecah dari rahim perempuan. Makna
perumpamaan tersebut menyiratkan peristiwa gelombang tsunami Aceh
yang begitu dahsyat. Dahsyatnya gelombang air laut saat itu berhasil
menghancurkan tanah Aceh. Penggambaran dengan gaya perumpamaan
di atas mampu membuat pembaca memperoleh kesan lebih konkret
sehingga dapat membayangkan dengan jelas bagaimana derasnya
gelombang air saat peristiwa tsunami Aceh terjadi. Fungsi gaya
perumpamaan pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran latar peristiwa gelombang tsunami Aceh yang begitu
dahsyat.
2.62. “Seperti gabus yang menari-nari di pucuk-pucuk gelombang, ia akhirnya
terseret ke sebuah pantai dan menonjok dagu orang pertama yang
menggendongnya.” (C16, h. 163)
Data di atas dikategorikan sebagai gaya perumpamaan sebab
membandingkan dua hal secara eksplisit yaitu seorang bayi dengan
gabus. Perumpamaan di atas menggambarkan seorang bayi yang terseret
dan terombang-ambing oleh gelombang laut tsunami. Pengarang melalui
penggambaran tersebut terkesan menggambarkan peristiwa tsunami
Aceh yang saat itu menelan banyak korban. Hal itu ditampilkan lewat
168
terombang-ambing dan terseretnya korban dalam arus gelombang
tsunami yang begitu dahsyat. Penggambaran tersebut membuat pembaca
merasakan kesan yang lebih konkret dan dapat mengimajinasikan
peristiwa tersebut dengan lebih jelas sehingga seolah-olah terasa nyata.
Fungsi gaya perumpamaan pada data tersebut juga
mengkonkretkan penggambaran latar peristiwa dalam cerita.
2.63. “Langit gelap, sehingga memang tampak seperti hari Minggu yang tidak
cerah.” (C16, h. 167)
Pada perumpamaan di atas langit mendung pada hari Senin
disamakan seperti hari Minggu yang tidak cerah. Melalui perumpamaan
di atas, pengarang menggambarkan suasana mendung yang saat itu
terjadi pada hari Senin sehingga terasa seperti hari Minggu yang tidak
cerah. Dengan mengaktifkan citraan visual, pembaca dapat
membayangkan dengan jelas bagaimana suasana yang digambarkan
pengarang sehingga mampu membuat pembaca memperoleh kesan yang
lebih nyata. Penggunaan gaya perumpamaan pada data tersebut
berfungsi menghidupkan penggambaran latar suasana dalam cerita.
2.64. “Ibu datang dari barat ketika matahari sudah sangat rendah. Seperti di
film-film yang kau tonton, ia berjalan dengan latar belakang warna
jingga.” (C16, h. 169-170)
Data di atas dikategorikan sebagai gaya perumpamaan sebab
membandingkan dua hal secara eksplisit yaitu kedatangan tokoh ibu
ketika senja dengan adegan sebuah film. Gaya perumpamaan pada data
di atas menyiratkan tentang sebuah rumah yang berada di ujung lorong
buntu yang jalan masuknya dari barat. Adapun sebenarnya pengarang
ingin menggambarkan suasana ketika tokoh ibu dengan keluarganya
memasuki lorong buntu menuju rumah anaknya. Gaya perumpamaan
di atas juga berfungsi mengkonkretkan penggambaran latar
suasana dan waktu yang terjadi saat senja hadir dengan latar
berwarna jingga. Melalui pemanfaatan citraan visual, penggambaran
169
tersebut terasa lebih konkret dan mampu menumbuhkan imajinasi
pembaca.
2.65. “Dan gadis itu, dalam gerak yang seperti melamun, selalu kubawa ke
mana pun aku pergi dan aku menggandeng tangannya ketika kami
melintas di antara teman-teman.” (C17, h. 182)
Pada data di atas pengarang menggunakan perbandingan “seperti”
yang menunjukkan bahwa tingkah tokoh istri disamakan seperti orang
yang melamun. Jika dilihat, makna kutipan di atas masih memiliki
keterkaitan dengan data sebelumnya. Melalui perumpamaan ini,
pengarang terkesan menggambarkan watak tokoh istri yang pendiam
sebelum dipersunting oleh suaminya bahkan ia juga bertingkah seperti
orang yang tidak sadarkan diri. Dengan mengaktifkan citraan visual
pembaca akan memperoleh kesan lebih konkret dari penggambaran
tersebut. Gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut berfungsi
mengkonkretkan penggambaran watak tokoh dalam cerita.
2.66. “Ketika anak itu delapan tahun, istriku seperti orang bangun tidur dan ia
tidak melamun lagi; ia berubah menjadi seorang penuduh dan mulai
bicara bukti-bukti.” (C17, h. 183)
Kutipan di atas juga termasuk gaya perumpamaan. Kata “seperti”
digunakan pengarang untuk menyamakan tingkah tokoh istri dengan
orang yang bangun tidur. Makna kutipan di atas juga masih memiliki
keterkaitan dengan data sebelumnya. Gaya perumpamaan di atas yang
dipilih pengarang ini terkesan menggambarkan watak tokoh istri yang
berubah drastis menjadi seorang penuduh dan cerewet setelah anaknya
tumbuh dengan tingkah yang kelaki-lakian. Penggambaran yang dipilih
pengarang di atas terasa lebih konkret bagi pembaca. Fungsi gaya
bahasa perumpamaan pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran watak tokoh dalam cerita.
2.67. “Maksudku, jika ia diam ia akan tampak seperti mahasiswa teladan, jika
ia bergoyang kau akan sepakat bahwa ia sesegar penari di sirkus-sirkus
oriental; ia mampu meliukkan pinggulnya dengan getar yang meringkus
170
nyali para istri setengah baya dan mengundang simpati para suami
setengah buaya.” (C18, h. 187)
Kutipan di atas juga termasuk gaya perumpamaan. Kata “seperti”
digunakan pengarang untuk menyamakan diamnya tokoh penyanyi
dangdut dengan mahasiswa teladan dan kata “sesegar” digunakan
pengarang untuk menyamakan goyangan tokoh penyanyi dangdut
dengan segarnya penari di sirkus-sirkus oriental. Gaya perumpamaan di
atas menggambarkan kecantikan dan kemolekan tubuh tokoh penyanyi
dangdut. Pengarang mengibaratkannya seperti mahasiswa teladan dan
sesegar penari sirkus oriental. Begitu konkret penggambaran tokoh
penyanyi dangdut dengan gaya perumpamaan tersebut sehingga terkesan
ada sebuah paradoks yang berusaha ditampilkan pengarang lewat
penggambaran tokoh di atas. Gaya bahasa perumpamaan pada
tersebut berfungsi mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh
dalam cerita.
2.68. “Parasnya menjadi mulus dan ia tampak seperti pangeran yang baru
lepas dari cengkraman sihir.” (C18, h. 193)
Data di atas dikategorikan sebagai gaya perumpamaan sebab
membandingkan dua hal secara eksplisit yaitu paras tokoh lelaki yang
disamakan seperti pangeran yang baru lepas dari cengkraman sihir.
Kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang yang baru saja
melakukan operasi bekas cacar di wajahnya. Dalam hal ini, pengarang
berusaha menggambarkan paras tokoh anggota DPR yang menjadi
tampan kembali setelah melakukan operasi bekas cacar di wajahnya.
Penggambaran tersebut terasa lebih konkret dan mengena sehingga
membuat pembaca dapat mengimajinasikan dengan jelas bagaimana
paras si tokoh setelah melakukan operasi bekas cacar dengan
mengaktifkan citraan visual. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada
tersebut adalah mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh dalam
cerita.
171
2.69. “Perempuan itu beringsut, merapatkan dirinya, seperti kucing
menggesekkan bulu-bulunya ke kaki majikan.” (C19, h. 195)
Data di atas dikategorikan sebagai gaya perumpamaan sebab
membandingkan dua hal secara eksplisit yaitu tingkah tokoh perempuan
pelacur dengan kucing. Kutipan di atas menyiratkan tentang seorang
perempuan yang dilanda birahi. Pada perumpamaan ini pengarang juga
menggambarkan bagaimana tokoh perempuan pelacur yang sedang
dilanda berahi itu menunjukkan rasa berahinya dengan menggesekkan
tubuhnya ke tubuh tokoh Alit. Gaya perumpamaan di atas juga
berfungsi mengkonkretkan penggambaran tokoh perempuan
pelacur yang sedang dilanda berahi. Dengan memanfaatkan citraan
visual, perumpamaan tersebut mampu menimbulkan imajinasi bagi
pembaca.
2.70. “Angin dari baling-baling ruangan seperti menghembuskan panas yang
menyiksa.” (C19, h. 198)
Pada data di atas angin baling-baling diumpamakan seperti
menghembuskan panas yang menyiksa. Gaya perumpamaan di atas
bermaksud menyiratkan perasaan seseorang yang cemburu dan begitu
tersiksa setelah melihat perempuan yang pernah dikencaninya berkhianat
dengan lelaki lain. Gaya perumpamaan pada kalimat di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran suasana memanas yang
muncul akibat cemburu buta tokoh Alit terhadap perempuan
pelacur yang mengkhianatinya yang pada akhirnya membuat
dirinya tersiksa. Penggambaran suasana yang ditampilkan pengarang
ini tentunya terasa lebih konkret bagi pembaca sehingga dengan
memanfaatkan citraan perasaan pembaca mampu menumbuhkan
imajinasinya mengenai suasana yang digambarkan tersebut.
2.71. “Dorongan yang saling bertentangan itu membuat kaki-kakinya
mengeras dan hawa dingin terasa menjalar dari kakinya, merambati
tulang belakangnya, dan ia merasakan kaki-kakinya seperti batang besi
yang berkarat, kaku dan ngilu.” (C19, h. 199)
172
Data di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa perumpaman
karena terdapat kata pembanding seperti sebab membandingkan dua hal
secara langsung yakni kaki tokoh Alit dengan batang besi yang berkarat.
Makna kutipan di atas menyiratkan perasaan seseorang yang tidak
berdaya setelah perempuan yang pernah dikencaninya memperlihatkan
gerak-gerik mesum dengan lelaki lain di hadapannya. Pada
perumpamaan ini pengarang berusaha menggambarkan bagaimana
perasaan tokoh Alit yang mencoba menahan rasa cemburunya namun
pada akhirnya ia tidak berdaya setelah perempuan pelacur itu ternyata
semakin memperlihatkan kenakalannya dengan si lelaki kaya pemenang
judi. Dengan mengaktifkan citraan perasaan dan gerak, penggambaran
tersebut terasa lebih konkret dan mampu membuat pembaca merasakan
apa yang dirasakan tokoh Alit saat itu. Fungsi gaya bahasa
perumpamaan pada data tersebut adalah mengkonkretkan
penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
2.72. “Dua tahun sebelum si pemimpin dilahirkan, seseorang melintasi
pekarangan dalam gerak mengambang, seperti hantu atau orang yang
kelelahan.” (C20, h. 203)
Data di atas dikategorikan sebagai gaya bahasa perumpaman
karena terdapat kata pembanding seperti. Sebab membandingkan dua hal
secara langsung yaitu langkah tokoh perempuan dengan hantu atau orang
kelelahan. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan tentang seseorang
yang kelelahan setelah berjalan menyusuri jalanan kampung. Pada
perumpamaan di atas, pengarang berusaha menggambarkan latar waktu
dalam cerita. Di mana dua tahun sebelum tokoh perempuan dihamili dan
melahirkan seorang anak dari majikan lelakinya, ia diterima bekerja dan
bersetubuh dengan majikan lelakinya. Perumpamaan yang dipilih
pengarang tersebut terasa lebih konkret bagi pembaca serta mampu
membuat pembaca membangkitkan imajinasinya dengan mengaktifkan
citraan visual. Gaya bahasa perumpamaan pada kutipan tersebut
173
berfungsi mengkonkretkan penggambaran latar waktu dalam
cerita.
2.73. “Umurnya paling banter 26 tahun, namun, dengan pakaian amat tua, ia
seperti datang dari masa silam.” (C20, h. 203)
Data di atas juga termasuk gaya bahasa perumpamaan yang
menyamakan tokoh perempuan seperti datang dari masa silam. Makna
kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang yang terlihat lebih tua dari
umur yang sebenarnya karena pakaian yang dikenakannya.
Perumpamaan yang digunakan pengarang ini berfungsi
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh perempuan terlihat tua
karena pakaian yang dikenakannya. Walaupun sebenarnya ia
memang datang dari masa lalu dan terlahir kembali menjadi perempuan
26 tahun. Dengan memanfaatkan citraan visual, penggambaran tersebut
terasa lebih konkret dan mampu menumbuhkan imajinasi bagi pembaca.
2.74. “Suaranya murung, seperti gerimis yang gagal menjadi hujan.” (C20, h.
203)
Pada data di atas, pengarang menggunakan perumpamaan seperti
suara murung burung puter karena pengarang berusaha menggambarkan
suara murung burung puter dengan suara gerimis yang gagal menjadi
hujan. Penggunaan perumpamaan ini terutama berfungsi
mengkonkretkan penggambaran batin tokoh perempuan yang tidak
suka mendengar suara murung yang dihasilkan burung puter serta
mengkonkretkan suasana sunyi di jalanan yang terjadi setelah
gerimis menjelang malam. Selain memberikan kesan yang lebih
konkret, penggambaran suasana yang dipilih pengarang tersebut
membuat pembaca dapat merasakan suasana yang dihadirkan dalam
cerita.
2.75. “Usia lelaki itu 40 tahunan, seusia dengan pakaian yang dikenakan
perempuan pengetuk pintu.” (C20, h. 204)
Data di atas juga termasuk gaya bahasa perumpamaan yang
menyamakan usia tokoh majikan lelaki dengan pakaian yang dikenakan
174
tokoh pembantu. Kutipan di atas menyiratkan tentang seorang lelaki
yang sudah memasuki usia lanjut. Penggunaan gaya perumpamaan ini
juga membuat penggambaran penampilan tokoh majikan lelaki terasa
lebih hidup dan memberikan efek yang lebih mengena lagi bagi
pembaca. Gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh dalam cerita.
2.76. “Kelak kau akan tahu bahwa pembantu lama itu sebetulnya berniat
kembali, tetapi ia seperti lupa jalan.” (C20, h. 204)
Pada gaya bahasa perumpamaan di atas, pembantu lama yang
sebetulnya berniat kembali disamakan dengan orang yang lupa jalan.
Kutipan di atas menyiratkan tentang seseorang pembantu yang pulang ke
kampung halamannya namun hingga bertahun-tahun kemudian ia tidak
pernah kembali lagi ke rumah di tempatnya bekerja. Pengarang
mengibaratkannya seperti lupa jalan. Melalui perumpamaan di atas,
pengarang menggambarkan latar waktu dalam cerita saat pertama kali
tokoh perempuan mendatangi rumah tokoh majikan lelaki untuk mencari
pekerjaan. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut
adalah mengkonkretkan penggambaran latar waktu dalam cerita.
2.77. “Majikan perempuan selalu bernada tinggi, seperti memerintah, bahkan
pada saat ia tidak menyebut-nyebut iblis dalam pembicaraannya.” (C20,
h. 205)
Pada perumpamaan di atas pengarang menyamakan nada suara
tokoh majikan perempuan dengan nada suara orang memerintah. Makna
perumpamaan di atas menyiratkan tentang karakter seseorang yang
cerewet dan selalu berbicara dengan nada yang tinggi. Hal itulah yang
ditampilkan pengarang lewat tokoh majikan perempuan yang sering
berbicara dengan nada tinggi kepada suaminya. Perumpamaan yang
digunakan di atas berfungsi mengkonkretkan penggambaran
karakter tokoh dalam cerita sehingga terasa bagi pembaca kesan
yang lebih nyata.
175
2.78. “Ia tetap orisinil: melengking dan memerintah dan bicara kepada suami
seperti seorang pelatih kepada anak asuhannya.” (C20, h. 205)
Gaya bahasa di atas juga termasuk gaya perumpamaan yang
menyamakan nada bicara tokoh majikan perempuan seperti seorang
pelatih kepada anak asuhannya. Makna kutipan di atas juga masih
memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya yakni menggambarkan
karakter seseorang yang cerewet dan selalu berbicara dengan nada yang
tinggi. Penggunaan gaya bahasa perumpamaan pada data tersebut
berfungsi mengkonkretkan penggambaran karakter tokoh majikan
perempuan yang selalu berbicara dengan nada yang tinggi.
2.79. “Perempuan itu mendekap foto seperti mendekap anak yang tak pernah
menjadi miliknya.” (C20, h. 207)
Perumpamaan pada data di atas menggunakan kata “seperti” yang
menunjukkan bahwa cara tokoh perempuan mendekap foto disamakan
seperti mendekap seorang anak yang tak pernah menjadi miliknya. Gaya
perumpamaan di atas bermaksud menyiratkan tentang kerinduan seorang
ibu kepada anak yang tak pernah menjadi miliknya. Penggunaan
perumpamaan di atas juga menggambarkan perasaan tokoh perempuan
yang sedih karena ia begitu merindukan anaknya namun ia tidak bisa
mengatakan pada anaknya bahwa ia ibunya. Dengan mengaktifkan
citraan perasaan, penggambaran tersebut terasa lebih konkret dan
mampu membuat pembaca mengimajinasikan kesedihan yang dirasakan
tokoh dalam cerita. Gaya bahasa perumpamaan di atas berfungsi
mengkonkretkan penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
2.80. “Sekarang, pada usia 40-an, lelaki itu tampak seperti orang yang selalu
merenung. Tepatnya, ia selalu seperti sedang memikirkan sesuatu yang
membuat wajahnya tampak murung.” (C20, h. 207)
Pada perumpamaan di atas pengarang menyamakan tokoh lelaki
seperti orang yang selalu merenung dan seperti orang yang memikirkan
sesuatu. Makna yang terkandung dalam kutipan di atas menyiratkan
tentang seseorang yang memiliki raut wajah murung, diam, dan tidak
176
bergairah sehingga terlihat seperti orang yang banyak pikiran.
Penggunaan gaya perumpamaan ini juga berfungsi
mengkonkretkan gambaran kepribadian tokoh majikan lelaki yang
seringkali tampak murung sehingga pembaca akan memperoleh
kesan lebih mengena dari penggambaran tersebut.
2.81. “Rambut lelaki itu, kau tahu, terlalu cepat beruban. Itu seperti rambut
ayahnya, majikan lama yang meninggal tiga tahun lalu, yang dulu
mengetuk pintu kamarnya pada malam kedua istrinya dirawat di rumah
sakit.” (C20, h. 207-208)
Kutipan di atas juga termasuk gaya perumpamaan. Kata “seperti”
digunakan pengarang untuk menyamakan rambut tokoh majikan lelaki
yang seperti rambut ayahnya. Kutipan di atas menyiratkan tentang
kemiripan antara anak dan ayah. Gaya perumpamaan ini digunakan
pengarang untuk menggambarkan fisik tokoh majikan lelaki yang
memiliki rambut yang cepat sekali beruban seperti ayahnya.
Penggambaran tersebut terasa lebih konkret bagi pembaca sehingga
dengan mengaktifkan citraan visual, pembaca dapat membayangkan
dengan jelas bagaimana kemiripan keduanya dengan perumpamaan di
atas. Fungsi gaya bahasa perumpamaan pada tersebut adalah
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh dalam cerita.
Simpulan
Gaya bahasa perumpamaan yang terdapat dalam kumpulan cerpan
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu karya AS Laksana
berfungsi mengkonkretkan dan menghidupkan penggambaran tokoh dan latar
dalam cerita. Gaya bahasa perumpamaan terdapat 69 fungsi mengkonkretkan
dan12 fungsi menghidupkan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi yang paling
banyak digunakan adalah mengkonkretkan dan dengan adanya fungsi seperti
ini memberi penguatan pada penyampaian struktur naratif cerita.
177
3. Personifikasi
3.1. “Mereka lalu mengikhlaskan nasib pada angin muson yang mendorong
kapal mereka menyusuri pantai negeri-negeri timur dan memikat hati
para penduduk di tempat-tempat mereka singgah.” (C1, h. 3)
Pada personifikasi di atas angin muson dianggap memiliki
kemampuan seperti manusia yang dapat mendorong sebuah kapal.
Kutipan tersebut melukiskan awal mula perjalanan Murjangkung dan
rombongannya yang telah bangkrut di negeri mereka sendiri hingga
akhirnya nasiblah yang membawa mereka berlayar mengikuti ke mana
perginya angin. Gaya bahasa di atas menyiratkan tentang bagaimana
awal mula para penjajah dari Barat yang singgah di Indonesia hingga
akhirnya mereka menempati suatu wilayah dan mendirikan sebuah
pemerintahan. Penggunaan gaya personifikasi pada data di atas juga
berfungsi menghidupkan penggambaran latar waktu yakni ketika
Murjangkung dan rombongan memulai perlayarannya ke negeri
seberang.
3.2. “Pertanyaan itu menabraknya tanpa diduga.” (C4, h. 43)
Berdasarkan personifikasi di atas pertanyaan dianggap bisa
melakukan tindakan menabrak, padahal tindakan tersebut hanya bisa
dilakukan oleh benda hidup atau bernyawa seperti manusia. Makna gaya
personifikasi di atas menyiratkan perasaan seseorang yang kaget dengan
pertanyaan tak terduga yang dilontarkan kepadanya sehingga ia hanya
diam dan tak bisa berkata apa-apa. Penggunaan gaya bahasa tersebut
sekaligus berfungsi menghidupkan gambaran perasaan tokoh Seto
yang kaget karena sebuah pertanyaan dari keluar dari mulut tokoh
perempuan, kekasih di kehidupan lalunya. Penggambaran yang
dipilih pengarang ini mampu memberi efek estetis dan kesan lebih hidup
berupa pemilihan kata yang digunakan pengarang yaitu “pertanyaan itu
menabraknya”. Hal itu tentu akan berbeda efeknya jika dilukiskan
dengan kalimat biasa, misalnya “pertanyaan itu membuatnya kaget”.
178
3.3. “Sebab cinta memang cenderung memamerkan dirinya sendiri, kadang
di depan orang yang tidak tepat.” (C6, h. 60)
Cinta merupakan benda abstrak namun pada data di atas dianggap
bisa memiliki sifat seperti manusia yang bisa memamerkan dirinya
sendiri. Makna kutipan di atas menyiratkan tentang kondisi seseorang
yang sedang jatuh cinta yang tanpa terasa sering mengumbar rasa
bahagianya di depan orang lain sehingga orang lain pun dapat dengan
mudah menebak apa yang sedang dialaminya. Pengarang dengan
personifikasi di atas menggambarkan bagaimana perasaan si Mayor
yang sedang kasmaran sehingga tanpa sengaja ia pun sering
menunjukkan gelagat yang tidak biasa yang menimbulkan kecurigaan
bagi istrinya. Penggambaran tersebut terasa lebih hidup bagi pembaca
karena pembaca dapat merasakan bagaimana perasaan yang dialami
tokoh Mayor saat itu. Penggunaan gaya personifikasi di atas
berfungsi menghidupkan gambaran perasaan tokoh Mayor yang
sedang dimabuk cinta.
3.4. “Aku sedang membaca puisi-puisi murungnya di kamarku dan tidak
bisa tidur hingga larut malam dan merasakan desakan takdir untuk
menuliskan cerita ini.” (C8, h. 78)
Puisi merupakan teks sastra yang bahasanya terikat oleh rima,
irama, matra, serta penyusunan larik dan bait tetapi pada kalimat di atas
puisi diberi sifat insani seolah-olah mempunyai sifat murung. Gaya
personifikasi di atas bermaksud menyiratkan tentang kegelisahan
seorang anak setelah membaca kisah hidup orangtuanya yang sangat
mengenaskan. Kisah hidup tokoh Seto yang mengenaskan itu ditulis
dalam puisi yang membuat tokoh Aku merasakan perasaan yang tak
tenang setelah membaca puisi-puisi peninggalan ayahnya. Selain mampu
memberi efek estetis berupa pemilihan kata yang dipilih pengarang, gaya
personifikasi di atas mampu memberikan kesan yang lebih hidup karena
puisi seolah bisa mengundang kesedihan. Penggunaan gaya
personifikasi di atas berfungsi menghidupkan penggambaran
179
perasaan tokoh Aku yang gelisah setelah membaca puisi
peninggalan ayahnya.
3.5. “Buku-buku semacam itu tidak mengajarimu keganasan.” (C9, h. 90)
Buku adalah benda mati yang tidak bisa bertindak seperti manusia
tetapi pada data di atas buku diberi ciri insani seolah-olah bisa mengajar.
Makna gaya personifikasi di atas menggambarkan bahwa buku-buku
motivasi selalu berisi tentang ajaran atau pesan agar pembacanya
tergerak melakukan sesuatu yang positif. Melalui gaya bahasa di atas
pengarang juga berusaha menggambarkan perasaan tokoh Aku yang
bergelora setelah membaca pesan dari buku motivasi yang ia baca
sehingga penggambaran tersebut mampu membuat pembaca
menumbuhkan imajinasinya. Fungsi gaya bahasa personifikasi di atas
adalah menghidupkan penggambaran batin tokoh Aku yang
terpengaruh dengan ajakan buku motivasi yang ia baca.
3.6. “Jadi kau tidak perlu berpayah-payah memburu ke mana perginya uang;
uang itu sendirilah yang akan mengubermu tanpa kenal letih ke mana
kau pergi.” (C9, h. 90)
Pada personifikasi di atas benda mati seperti uang diberi ciri insani
sehingga seolah-olah bisa menguber seperti manusia. Makna kutipan di
atas masih berkaitan dengan kutipan sebelumnya, di mana uang atau
keberhasilan mampu menjadi daya tarik bagi orang lain. Gaya
personifikasi di atas juga masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya yakni berfungsi menghidupkan penggambaran batin
tokoh Aku yang terpengaruh setelah membaca pesan yang ia baca
dari buku motivasi. Dengan gaya personifikasi tersebut, cerita yang
ditampilkan pengarang menjadi lebih hidup dan kaya makna.
3.7. “Daging, tulang-belulang, dan penampilanku tetap tidak bisa memikat
segerombolan uang untuk berebut datang kepadaku.” (C9, h. 90)
Kutipan di atas juga termasuk gaya bahasa personifikasi.
Pengarang memberi ciri insani pada kata “uang” yang merupakan benda
mati, sehingga seolah-olah bisa berebut seperti halnya manusia. Jika
180
dilihat, makna yang terkandung pada gaya personifikasi di atas masih
berkaitan dengan data sebelumnya. Kutipan tersebut bermaksud
menyiratkan bahwa penampilan bukanlah penentu keberhasilan
seseorang. Gaya bahasa personifikasi di atas juga berfungsi
menghidupkan penggambaran batin tokoh Aku yang terpengaruh
dengan pesan dari buku motivasi yang ia baca. Melalui gaya
personifikasi ini, pembaca akan merakasan kesan yang lebih hidup.
Begitupula dengan diksi yang dipilih pengarang mampu menimbulkan
efek estetis dalam kalimat tersebut.
3.8. “Memang pernah juga kubaca buku yang mengajariku bahwa kita
berbuat baik kepada orang-orang yang tidak membalas kebaikan kita,
maka alam yang akan membalas kebaikan kita itu.” (C9, h. 92)
Alam yang terdiri dari tumbuhan, hewan, dan benda mati dianggap
memiliki sifat insani seperti manusia. Makna kutipan di atas masih
berkaitan dengan data sebelumnya di mana pesan dalam sebuah bacaan
atau buku mampu mempengaruhi cara berpikir seseorang. Gaya
personifikasi di atas juga berfungsi menghidupkan penggambaran
batin tokoh Aku yang merasa bahwa pesan dari buku lama yang ia
baca ternyata tidak relevan lagi dengan kehidupannya sekarang.
Dengan penggunaan gaya personifikasi di atas, penggambaran batin
yang digunakan pengarang terasa lebih hidup dan juga mampu
menumbuhkan imajinasi bagi pembaca.
3.9. “Tetapi sejak anak keempat itu lahir mirip dengannya, adegan di pintu
itu semakin mengangguku.” (C9, h. 96)
Berdasarkan personifikasi di atas, pengarang menjadikan kata
“adegan” seolah-olah mampu bertindak seperti manusia yang bisa
mengganggu. Kutipan di atas menyiratkan tentang ingatan seseorang
akan suatu kejadian yang tidak mengenakkan. Penggunaan gaya
bahasa personifikasi di atas berfungsi menghidupkan
penggambaran batin tokoh Aku yang kecewa dan marah karena
merasa telah dikhianati istrinya. Efek pemilihan gaya personifikasi di
181
atas mampu membuat gambaran batin tokoh Aku menjadi lebih jelas dan
terasa lebih hidup.
3.10. “Tidak sulit jika kau punya bakat,” kata orang tua itu, suaranya
menyusup dari celah-celah gusi yang sudah gundul.” (C10, h. 99)
Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia tetapi
pada kalimat di atas dianggap bisa menyusup seperti manusia. Makna
personifikasi di atas menyiratkan tentang penggambaran tokoh pawang
hujan yang mempunyai susunan gigi yang ompong. Dengan gaya
personifikasi, penggambaran yang dipilih pengarang tersebut terasa lebih
hidup dan tuturan tersebut pun mampu menimbulkan efek estetis bagi
pembaca. Dengan mengaktifkan citraan gerak, pembaca pun dapat
mengimajinasikan bagaimana suara itu menyusup di antara celah gusi
tokoh pawang hujan yang sudah gundul. Fungsi gaya bahasa
personifikasi di atas adalah menghidupkan penggambaran fisik
tokoh pawang hujan yang memiliki susunan gigi yang ompong.
3.11. “Maka penampilan kelima Alit adalah bertarung menghadapi awan-
awan yang datang menyesaki pemakaman gurunya.” (C10, h. 101)
Berdasarkan personifikasi di atas awan diberi ciri insani yakni bisa
datang menyesaki proses pemakaman seperti manusia. Ungkapan di atas
masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Dalam hal ini
pengarang ingin menggambarkan bagaimana suasana saat pemakaman si
pawang hujan yang diiringi dengan datangnya kumpulan awan-awan
sehingga terasa oleh pembaca kesan lebih hidup yang ditimbulkan dari
pertarungan Alit yang melawan kumpulan awan yang akan menjadi
hujan di pemakaman gurunya. Dengan mengaktifkan citraan visual,
penggambaran tersebut terasa lebih nyata dan mampu menumbuhkan
imajinasi bagi pembaca. Gaya personifikasi di atas berfungsi
menghidupkan penggambaran latar suasana dalam cerita.
3.12. “Pertarungan berlangsung alot dan Alit akhirnya mampu mengusir
barisan awan yang datang untuk membenamkan jenazah si pawang
tua.” (C10, h. 101)
182
Kutipan di atas juga termasuk gaya bahasa personifikasi. Pada data
di atas kumpulan awan diberi ciri insani seolah-olah seperti manusia
yang bisa datang untuk membenamkan jenazah manusia. Jika dilihat
makna pada gaya perseonifikasi di atas masih memiliki keterkaitan
dengan data sebelumnya. Melalui pemanfaatan citraan visual, pembaca
pun akan lebih mudah mengimajinasikan gambaran suasana yang
dihadirkan pengarang dalam cerita. Penggunaan gaya bahasa
personifikasi pada kalimat di atas juga berfungsi menghidupkan
penggambaran latar suasana dalam cerita.
3.13. “Sungguh Tuhan telah memberinya bakat yang tidak berguna, bakat
yang tak mampu menarik hati gadis pujaannya, bakat yang tak
mampu menyelamatkan gadis itu dari pesona si bandot.” (C10, h. 104)
Berdasarkan personifikasi di atas pengarang menjadikan kata
“bakat” seolah-olah bisa bertindak yakni mampu menarik hati seorang
gadis dan tak mampu menyelamatkan seorang gadis dari godaan duda
tua. Makna yang terkandung pada gaya personifikasi di atas melukiskan
tentang kekecewaan seseorang terhadap Tuhannya karena ia merasa
telah diberikan bakat yang keliru. Hal itulah yang ditampilkan pengarang
lewat perasaan tokoh Alit yang kecewa kepada Tuhannya karena
kegagalannya merebut hati gadis yang sangat dicintainya. Gaya
personifikasi di atas berfungsi menghidupkan penggambaran
perasaan tokoh Alit yang kecewa dengan keputusan Tuhannya.
3.14. “Cukup baginya menurunkan hujan lebat dua hari di hulu sungai dan
banjir akan menyapu kolong jembatan dan menyeret pengemis utusan
Tuhan ke lautan. Cukup pula baginya jika banjir itu menghajar bandot
tua dan gadis pesulap yang sedang berbulan madu.” (C10, h. 105)
Kutipan di atas termasuk gaya bahasa personifikasi. Banjir sebagai
peristiwa alam dianggap bisa melakukan aktivitas manusia seperti
menyapu, menyeret, dan menghajar. Makna kutipan di atas masih
memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Dalam hal ini pengarang
berusaha menggambarkan bagaimana perasaan tokoh Alit yang saat itu
183
sedang kacau dan kecewa sehingga ia pun berkeinginan untuk melawan
takdir Tuhan. Gaya personifikasi di atas terutama berfungsi
menghidupkan penggambaran perasaan tokoh. Selain tokoh, gaya
personifikasi di atas juga berfungsi menghidupkan penggambaran
latar peristiwa yakni peristiwa banjir yang dahsyat yang
dibayangkan tokoh Alit sehingga penggambaran tersebut terasa
lebih hidup bagi pembaca.
3.15. “Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah batu yang
menangis. Ia mungkin menyampaikan cerita agar kau lebih berhati-
hati.” (C11, h. 107)
Batu merupakan benda mati tetapi pada kalimat di atas batu
dianggap mempunyai ciri insani seperti manusia yang bisa menangis dan
menyampaikan cerita. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan cerita
tentang batu menangis yang bisa menyampaikan pesan kepada siapa pun
agar berhati-hati dan berpikir sebelum mengambil tindakan. Gaya
personifikasi pada kalimat di atas berfungsi menghidupkan batin
tokoh Aku yang menjadi waspada setelah mendengar pesan yang
didapatnya dari batu menangis. Penggunaan gaya personifikasi di atas
mampu memberikan nilai estetis dalam tuturan tersebut sehingga
penggambaran batin tokoh yang dilukiskan pengarang terasa lebih hidup.
3.16. “Ia menyarankan aku agar segera meninggalkan tanah Jawa. Sebab,
katanya, tempat ini memberikan kenangan buruk kepadaku dan
mungkin ada dorongan dalam diriku untuk selalu membenci orang
Jawa—sebuah dorongan yang lahir begitu saja karena pengalaman buruk
di kehidupan masa laluku.” (C12, h. 121)
Pada data di atas pengarang menginsankan sebuah tempat yakni
tanah Jawa yang seolah-olah bisa memberi kenangan buruk. Kutipan di
atas bermaksud menyiratkan tentang ucapan orang yang tidak waras
yang membuat orang yang mendengarnya terus memikirkan ucapan
tersebut. Gaya personifikasi yang digunakan pengarang ini berfungsi
menghidupkan penggambaran batin tokoh Aku yang menganggap
184
teman lamanya, si Kadal, telah gila. Alasannya si Kadal agar ia
meninggalkan kampung halamannya dianggap tidak masuk akal.
Penggambaran dengan menggunakan gaya personifikasi ini terasa lebih
hidup dan mengena bagi pembaca dan pilihan diksi yang digunakan
pengarang juga mampu memberikan efek keindahan pada tuturan
tersebut.
3.17. “Semarang tidak memberiku pacar yang memuaskan dan penghasilan
yang baik tetapi aku tidak bisa meninggalkannya.” (C12, h. 123)
Pada data di atas pengarang menginsankan kata “Semarang” yang
merupakan nama sebuah kota tetapi pada data di atas seolah-olah bisa
memberikan pacar yang memuaskan. Kutipan di atas menggambarkan
batin tokoh Aku yang tengah gundah gulana karena teringat dengan
saran teman lamanya, si Kadal. Tokoh Aku benar-benar mencintai tanah
kelahiranny. Bahkan dalam kondisi apa pun ia tidak akan pernah
meninggalkannya. Penggambaran tokoh Aku yang begitu mencintai
tanah kelahirannya itu digambarkan pengarang dengan jujur dan apa
adanya sehingga terasa menyentuh bagi pembaca. Gaya bahasa
personifikasi di atas memberi efek estetis berupa pemilihan kata yang
dipilih pengarang serta mampu menumbuhkan imajinasi bagi pembaca.
Gaya personifikasi di atas berfungsi menghidupkan penggambaran
batin tokoh dalam cerita.
3.18. “Namun aku sudah lama sekali berada di kota ini dan langit malam
tidak kunjung menurunkan kepadaku mukjizat itu.” (C12, h. 125)
Data di atas menunjukkan bahwa langit malam seolah-olah bisa
menurunkan mukjizat, padahal mukjizat hanya bisa diturunkan Tuhan
kepada manusia pilihan-Nya. Makna kutipan di atas menyiratkan tentang
batin tokoh Aku yang tengah gundah gulana karena merindukan
kehadiran seorang kekasih di kehidupannya. Penggunaan personifikasi
di atas berfungsi menghidupkan penggambaran batin tokoh Aku yang
tengah gundah gulana sehingga pembaca mampu memperoleh kesan
yang lebih hidup dari kegalauan yang dialami tokoh Aku. Fungsi gaya
185
bahasa personifikasi di atas adalah menghidupkan penggambaran
batin tokoh dalam cerita.
3.19. “Aku merasakan hawa dingin merambat naik dari bokong ke kepala
dan membekukan otakku.” (C12, h. 126)
Pada gaya personifikasi di atas hawa dingin seolah-olah bisa
melakukan aktivitas gerak seperti benda hidup yakni merambat naik.
Personifikasi di atas bermaksud menyiratkan tentang perasaan tokoh
Aku yang tersulut amarahnya karena ulah anak-anak jalanan yang
meminta-minta sambil mengasah sembilu di hadapan para penumpang
bus. Melalui citraan gerak, penggambaran luapan emosi si tokoh yang
tengah naik pada kalimat di atas terasa lebih hidup bagi pembaca. Gaya
bahasa personifikasi di atas berfungsi menghidupkan
penggambaran perasaan tokoh Aku yang sedang tersulut
marahnya.
3.20. “Daun telinga lebih gampang dan itu pun lumayan untuk mengobati
rasa pedih berabad-abad.” (C12, h. 126)
Pada data di atas pengarang menginsankan daun telinga sehingga
seolah-olah bisa mengobati rasa pedih. Makna gaya personifikasi di atas
menyiratkan perasaan seseorang yang merasa puas setelah berhasil
menuntaskan masalah yang selama ini mengganggunya. Kutipan di atas
juga menggambarkan batin tokoh Aku yang merasa puas karena ia telah
menebus dendam masa lalunya dengan memotong daun telinga seorang
anak jalanan. Personifikasi yang dipilih pengarang di atas terasa lebih
konkret dan hidup karena dengan penggambaran tersebut pembaca
mampu membayangkan dengan lebih jelas bagaimana gambaran batin
yang dirasakan tokoh Aku saat itu. Gaya bahasa personifikasi di atas
berfungsi mengkonkretkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
3.21. “Aku tahu bagaimana pengkhianat itu datang kepadanya dengan langkah
tersendat dan aku tahu ketika itu angin mengantarkan debu-debu dan
bau kandang ke teras rumah.” (C13, h. 129)
186
Berdasarkan personifikasi di atas angin seolah-olah bisa melakukan
aktivitas seperti manusia yakni mengantarkan. Jika dilihat, makna
kutipan di atas masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Di
mana pengarang berusaha menggambarkan suasana memanas yang saat
itu muncul akibat kedatangan seorang pengkhianat yang ingin
mengucapkan permintaan maaf kepada suaminya setelah berkali-kali
mengkhianatinya. Selain memberi efek estetis, pemilihan kata yang
dipilih pengarang tersebut terasa lebih hidup dan mampu membuat
gambaran peristiwa terasa lebih nyata. Gaya bahasa personifikasi di
atas berfungsi menghidupkan penggambaran latar suasana dalam
cerita.
3.22. “Ia pun tidak akan tergerak untuk menolong jika hari itu sebuah mobil
angkutan umum, yang jalannya selalu pecicilan, menyerempet orang
itu dan membuatnya terlempar ke got dengan tulang patah-patah.” (C13,
h. 130)
Sifat pecicilan yang melekat pada sifat manusia pada personifikasi
di atas dilekatkan pada mobil angkutan umum. Pengarang menginsankan
mobil angkutan dengan sifat pecicilan. Kutipan di atas bermaksud
menyiratkan tentang kebencian seseorang terhadap orang yang telah
mengkhinatinya berulang kali. Gaya personifikasi di atas berfungsi
menghidupkan penggambaran perasaan tokoh Aku yang sudah
muak dan tidak sudi melihat kehadiran si tokoh pengkhianat di
hadapannya. Gaya personifikasi yang dipilih pengarang ini juga
terkesan membuat cerita menjadi lebih hidup dan menimbulkan efek
estetis dalam tuturan tersebut.
3.23. “Bayangkanlah hasil akhir,” nasihat itu tak pernah ia baca pada sebuah
buku yang mengabarkan keajaiban demi keajaiban di tiap lembar
halamannya.” (C13, h. 132)
Buku merupakan benda mati tetapi pada kalimat di atas buku
seolah-olah bisa mengabarkan keajaiban seperti aktivitas yang dilakukan
manusia. Makna gaya personifikasi di atas bermaksud menyiratkan
187
tentang keadaan tokoh Aku yang tetap berusaha menumbuhkan rasa
cinta ketika kali pertama ia dikhianati istrinya. Pesan dalam sebuah buku
yang pernah ia baca membuatnya bangkit dan berusaha melupakan
pengkhianatan pertama yang dilakukan kepadanya. Dalam hal ini,
pengarang sebenarnya ingin menggambarkan watak tokoh Aku yang
tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya telah mengkhianatinya.
Untuk itu ia berusaha dan berpura-pura tegar untuk melupakan rasa sakit
hatinya. Pemilihan kata dalam gaya personifikasi di atas membuat
tuturan tersebut terasa lebih hidup dan efeknya menjadi lebih berkesan
bagi pembaca. Fungsi gaya bahasa personifikasi di atas adalah
menghidupkan penggambaran watak tokoh dalam cerita.
3.24. “Maka ia menjadi pemabuk yang menuangkan alkohol ke
kerongkongannya tiap hari dan membiarkan alkohol itu mengobati luka
hatinya.” (C13, h. 135)
Pada personifikasi di atas alkohol diinsankan seperti manusia yang
dapat melakukan aktivitas mengobati. Makna kutipan di atas
menyiratkan tentang seseorang yang melampiaskan rasa sakit hatinya
dengan meminum alkohol. Pada perumpamaan ini, pengarang
menggambarkan perasaan tokoh Aku yang hancur dan kecewa karena
pengkhianatan yang telah berulang kali diterimanya. Melalui
pemanfaatan citraan perasaan, penderitaan yang digambarkan pengarang
terasa lebih hidup dan mampu menumbukan imajinasi pembaca.
Penggunaan gaya bahasa personifikasi pada kalimat di atas
berfungsi menghidupkan penggambaran perasaan tokoh dalam
cerita.
3.25. “Hari sebelumnya kursi tua di teras rumahnya berkhianat.” (C13, h.
135)
Berdasarkan personifikasi di atas, kata “kursi tua” yang merupakan
benda mati diinsankan seperti memiliki sifat manusia. Gaya
personifikasi di atas menyiratkan tentang kursi yang digunakan tokoh
Aku yang patah sehari sebelum kedatangan si pengkhianat. Tokoh Aku
188
tidak menganggap patahnya kaki kursi tersebut sebagai firasat buruk
bahwa si pengkhianat akan datang besoknya. Melalui gaya personifikasi
ini pengarang terkesan ingin menggambarkan kemalangan nasib tokoh
Aku yang tidak hanya dikhianati istri tetapi juga kursi di rumahnya.
Gaya personifikasi yang dipilih pengarang ini tidak hanya membuat
tuturan menjadi lebih hidup tetapi juga mampu menumbuhkan imajinasi
pembaca. Fungsi gaya bahasa personifikasi di atas adalah
menghidupkan gambaran penokohan dalam cerita.
3.26. “Pertanyaan ini meloncat dari pikiran Edward Lopez, si peramal cuaca
yang tekun melakukan percobaan, pada tahun 1960.” (C14, h. 139)
Pada personifikasi di atas pengarang menginsankan sesuatu yang
abstrak yaitu sebuah pertanyaan yang seolah-olah bisa meloncat. Adapun
gaya personifikasi di atas terkesan menggambarkan batin tokoh Aku
yang tertarik dengan berita-berita politik dan menemukan salah satu
pertanyaan gila dari buku yang ia beli di tukang loak mengenai
percobaan Edward Lopez. Gaya personifikasi yang dipilih pengarang ini
memiliki efek estetis berupa pemilihan kata yang dipilih pengarang serta
membuat penggambaran batin tokoh menjadi lebih hidup. Fungsi gaya
bahasa personifikasi di atas adalah menghidupkan penggambaran
batin tokoh dalam cerita.
3.27. “Di musim hujan, air jatuh dari langit dan tak lari ke mana-mana.”
(C15, h. 154)
Data di atas termasuk gaya personifikasi karena kata yang
acuannya bukan manusia tetapi diberi ciri insani. Berlari merupakan
tindakan yang dilakukan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya
namun pada data di atas air diibaratkan seperti manusia yang bisa berlari.
Gaya bahasa personifikasi di atas digunakan pengarang untuk
menghidupkan penggambaran kondisi sebuah kampung yang
menjadi tempat tinggal baru keluarga Alit, yang selalu terandam air
di musim apa pun. Selain memberi efek keindahan, penggambaran latar
189
tempat dengan gaya personifikasi di atas terasa lebih hidup bagi
pembaca.
3.28. “Ia merasakan air mata yang merambat pelan-pelan di pipinya.” (C15,
h. 157)
Data di atas juga termasuk gaya bahasa personifikasi. Air mata
merupakan air yang keluar dari mata namun pada gaya personifikasi di
atas seolah bisa merambat seperti benda hidup. Pada kutipan di atas,
gaya personifikasi berfungsi menghidupkan penggambaran
perasaan sedih yang mendalam yang dirasakan tokoh Alit ketika
melihat ibunya mengemas pakaian. Ketika melihat ibunya itu seolah
Alit akan ditinggal selamanya oleh ibunya. Dengan gaya personifikasi di
atas, perasaan tokoh digambarkan pengarang terasa lebih hidup dan juga
menimbulkan efek estetis dalam tuturan tersebut.
3.29. “Alit melihat tas ibunya menggembung dan air matanya makin deras
melihat tas itu menelan semua pakaian ibunya.” (C15, h. 157)
Pada data di atas pengarang menginsankan benda mati yakni
sebuah tas yang bisa melakukan tindakan menelan seperti manusia.
Maksud personifikasi di atas menyiratkan tentang sebuah tas yang bisa
dimasukkan pakaian dalam jumlah yang banyak. Pengarang melalui
gaya personifikasi di atas juga menggambarkan perasaan tokoh Alit yang
begitu sedih melihat ibunya akan pergi meninggalkannya. Fungsi gaya
bahasa di atas adalah menghidupkan penggambaran perasaan
tokoh dalam cerita.
3.30. “Ketuban yang pecah di kamar bersalin mengabarkan awal
kehidupan, sedangkan air laut mengirimkan bau kematian.” (C16, h.
162)
Pada personifikasi di atas ketuban dan air laut dianggap bisa
melakukan aktivitas seperti manusia yakni memberi kabar dan
mengirimkan sesuatu. Makna gaya personifikasi di atas menyiratkan
tentang hubungan antara air ketuban yang pecah dengan air laut.
Walaupun sama-sama air, tapi keduanya menandakan hal berbeda. Air
190
ketuban yang pecah menandakan kelahiran nyawa seseorang yang
disimbolkan dengan kebahagiaan, sedangkan peristiwa tsunami
menandakan sebuah bencana yang disimbolkan dengan kesedihan.
Melalui penggambaran ini, terasa ada sebuah paradoks yang ingin
ditampilkan pengarang lewat peristiwa persalinan seorang ibu dan
gelombang tsunami Aceh. Di mana, setelah kelahiran akan ada kematian.
Begitupula sebaliknya, akan ada suka dan duka yang selalu menghiasi
kehidupan manusia. Penggunaan gaya metafor di atas sebenarnya
berfungsi menghidupkan penggambaran latar peristiwa yakni
peristiwa gelombang tsunami Aceh yang bersamaan dengan
persalinan istri tokoh Aku.
3.31. “Ia mendadak saja mengirimkan gelombang besar yang menyapu tanah
kelahiranku.” (C16, h. 162)
Data di atas merupakan gaya personifikasi yang memberi ciri
insani pada kata “gelombang besar”. Menyapu merupakan tindakan yang
dapat dilakukan manusia untuk membersihkan lantai atau halaman
rumah yang kotor namun pada data di atas gelombang besar diberi ciri
insani seperti manusia. Kutipan di atas bermaksud menyiratkan tentang
batin seseorang yang tidak mampu menerima cobaan berat yang
dibebankan oleh Tuhan kepadanya. Melalui penggambaran ini,
pengarang berusaha menggambarkan batin tokoh Aku yang merasa risau
dan pasrah atas peristiwa tsunami yang menghantam kampung
halamannya. Dalam personifikasi ini, diksi yang dipilih pengarang
memberikan efek estetis dalam tuturan tersebut dan membuat cerita
menjadi lebih hidup. Gaya bahasa personifikasi di atas berfungsi
menghidupkan penggambaran batin tokoh dalam cerita.
3.32. “Ia hanya ingin mempertahankan sebuah wilayah agar tidak lepas,
kadang dengan rundingan, sering dengan peluru, namun lalai bahwa air
laut suatu ketika bisa mengamuk dan menyapu tanah yang
diperebutkan.” (C16, h. 164-165)
191
Berdasarkan gaya personifikasi di atas air laut seolah-olah bisa
bertindak seperti manusia yang bisa mengamuk dan menyapu. Makna
kutipan di atas masih menyiratkan peristiwa tsunami yang terjadi di
Aceh. Melalui gaya personifikasi ini pengarang terkesan menyindir
pemerintah yang hanya ingin mempertahankan wilayah kedaulatannya
namun seringkali abai dan tidak siaga ketika bencana datang
menghantam salah satu wilayahnya seperti tsunami yang terjadi Aceh.
Pemilihan gaya personifikasi di atas terasa lebih mengena karena
penggambaran peristiwa yang ditampilkan pengarang terasa lebih nyata.
Dengan mengaktifkan citraan visual, pembaca juga akan merasakan
kesan yang lebih hidup dari penggambaran tersebut. Gaya bahasa
personifikasi di atas berfungsi menghidupkan penggambaran latar
peristiwa dalam cerita.
3.33. “Ikan-ikan mengecoh semua orang ketika laut susut,” kata Farida.
“Mereka menggelepar-gelepar menggoda kami dan bersekongkol
dengan takdir untuk menarik kami sampai jauh sekali ke tepi air. (C16,
h. 171)
Data di atas merupakan gaya personifikasi karena ditemukan kata
yang acuannya bukan manusia tetapi diberi ciri insani. Ikan yang
merupakan binatang yang hidup di air tetapi pada data di atas dianggap
seperti manusia yang bisa mengecoh, menggoda, dan bersekongkol.
Gaya personifikasi di atas sebenarnya menggambarkan latar suasana
sesaat sebelum tsunami menghantam tanah Aceh. Pengarang
menggambarkan suasana air laut yang tiba-tiba susut kemudian disusul
dengan naiknya ikan-ikan ke permukaan pantai. Dengan memanfaatkan
citraan visual, pembaca akan memperoleh kesan lebih hidup dan lebih
jelas dari peristiwa yang digambarkan pengarang. Fungsi gaya bahasa
personifikasi di atas menghidupkan penggambaran latar suasana
keriuhan orang-orang yang turun memunguti ikan ketika laut susut
sebelum gelombang tsunami mengamuk tak lama setelah itu.
192
3.34. “Anakku lahir pada hari Minggu saat air laut melumat tanah
kelahiranku.” (C16, h. 173)
Pada gaya personifikasi di atas, air laut dianggap bisa melakukan
tindakan atau aktivitas manusia seperti melumat. Jika dilihat, makna
kutipan di atas masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya
yakni menggambarkan latar peristiwa tsunami di Aceh yang terjadi pada
hari Minggu. Gaya personifikasi yang digunakan pengarang ini
sebenarnya menggambarkan kedongkolan batin tokoh Aku terhadap
tetangganya yang menceritakan hal-hal yang keliru tentangnya termasuk
mengira bahwa dirinya meninggal karena rentetan peristiwa yang
membuatnya murung hingga akhirnya meninggal. Efek pemilihan gaya
personifikasi di atas terasa lebih bernyawa sehingga pembaca akan
merasakan kesan yang lebih hidup dari pemanfaatan gaya bahasa
tersebut. Fungsi gaya bahasa personifikasi di atas adalah
menghidupkan penggambaran batin tokoh dalam cerita.
3.35. “Apa lagi yang hendak kau katakan?” itu satu contoh bagaimana ia
menyalak. “Bukti-bukti sudah bicara.” (C17, h. 176)
Berdasarkan personifikasi di atas bukti-bukti yang merupakan
benda abstrak diberi ciri insani sehingga dianggap bisa berbicara. Jika
dilihat, makna kutipan tersebut masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya, yakni menyiratkan tentang watak seorang istri yang
berubah setelah ia menikah. Gaya bahasa personifikasi di atas
berfungsi menghidupkan penggambaran tokoh istri yang wataknya
berubah menjadi sering menuduh suaminya setelah anak
perempuannya tumbuh menjadi anak yang kelaki-lakian. Selain
memberikan efek estetis berupa pemilihan katanya, gaya personifikasi
yang digunakan pengarang ini juga terasa lebih hidup bagi pembaca.
3.36. “Kau tahu, pencerahan memang tak terjadi seketika; ia merambat pelan-
pelan ke batok kepala seperti serangga sampai akhirnya kau menyadari
bahwa kau tidak perlu menjadi eksentrik untuk merebut seorang
perempuan dari lelaki yang dipacarinya.” (C17, h. 179-180)
193
Data di atas merupakan gaya personifikasi karena ditemukan kata
yang acuannya bukan manusia tetapi diberi ciri insani. Pencerahan
seolah-olah dianggap seperti makhluk hidup yang bisa merambat.
Kutipan di atas bermaksud menyiratkan seseorang yang mendapatkan
inspirasi ketika melakukan sebuah perjalanan. Melalui personifikasi di
atas, pengarang terkesan menggambarkan batin tokoh Aku yang merasa
bahagia setelah mendapatkan pencerahan untuk bisa merebut hati
seorang perempuan dari lelaki yang dipacarinya. Melalui pemanfaatan
citraan gerak, penggambaran yang dipilih pengarang tersebut terasa lebih
hidup bagi pembaca. Penggunaan gaya personifikasi pada kalimat di
atas berfungsi menghidupkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
3.37. “Seluruh dunia kurasa memanjatkan puji syukur karena gadis cantik
itu akhirnya mencampakkan lelaki yang cuma pas-pasan.” (C17, h. 180)
Pada gaya personifikasi di atas, dunia dan seisinya diberi ciri insani
sehingga seolah-olah seperti manusia yang bisa memanjatkan puji
syukur kepada Tuhannya. Gaya personifikasi di atas mengandung makna
tersirat yang sengaja digunakan pengarang sebagai bentuk sindiran
kepada orang-orang yang sering tertawa di atas penderitaan orang lain.
Hal itulah yang ditampilkan pengarang lewat tokoh Aku yang merasa
puas dan bangga setelah berhasil menyingkirkan lelaki pas-pasan dari
gadis cantik yang dipacarinya dengan bantuan seorang dukun. Gaya
bahasa personifikasi di atas berfungsi menghidupkan
penggambaran batin tokoh Aku yang puas dan bangga setelah
berhasil merebut hati seorang gadis dari kekasihnya.
3.38. “Alit merasa bahwa rumah judi itu tidak menyenangkan ketika malam
kian larut.” (C19, h. 196)
Pada gaya personifikasi di atas rumah dianggap memiliki sifat
insani yakni memiliki sifat tidak menyenangkan. Makna gaya
personifikasi di atas menyiratkan tentang batin seseorang yang
merasakan firasat buruk saat berkunjung ke rumah judi untuk kali kedua.
194
Pada personifikasi ini, pengarang menggambarkan batin tokoh Alit yang
merasakan firasat buruk saat berkunjung ke tempat judi untuk kali
kedua. Tokoh Alit merasakan bahwa seorang lelaki kaya, pendatang baru
di rumah judi itu, akan segera membuat beberapa penjudi lainnya
bangkrut. Pemilihan diksi dalam gaya personifikasi di atas mampu
memberikan kesan yang lebih hidup bagi pembaca. Gaya personifikasi
di atas berfungsi menghidupkan penggambaran batin tokoh dalam
cerita.
3.39. “Situasi peperangan merambat pelan-pelan di ruangan, merambat di
dada yang sesak.” (C19, h. 197)
Pada personifikasi di atas situasi peperangan dianggap seperti
makhluk hidup yang bisa merambat. Makna kutipan di atas sebenarnya
masih memiliki keterkaitan dengan data sebelumnya. Pada personifikasi
di atas, pengarang ingin menggambarkan bagaimana perasaan tokoh Alit
yang memanas dan tersulut emosi setelah melihat perempuan pelacur
yang pernah dikencaninya berpaling saat dirinya bangkrut dan memilih
lelaki kaya pemenang judi. Melalui pemanfaatan citraan gerak,
penggambaran perasaan yang dialami tokoh Alit terasa lebih hidup bagi
pembaca. Fungsi personifikasi di atas adalah menghidupkan
penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
3.40. “Lukisan jelek yang konon bisa mendatangkan rezeki berlimpah di
ruangan itu. Ia merasakan semak-semak tumbuh di dadanya, ia
merasakan rumput-rumput liar dan tanaman berduri menyakiti
jantungnya.” (C19, h. 197)
Pada data di atas, lukisan merupakan benda mati yang diberi ciri
insani sehingga seolah-olah bisa mendatangkan rezeki dan tanaman
berduri seolah-olah dianggap bisa melakukan aktivitas manusia seperti
menyakiti. Jika dilihat, makna gaya personifikasi di atas masih memiliki
keterkaitan dengan data sebelumnya. Kutipan di atas juga berfungsi
menghidupkan penggambaran perasaan tokoh Alit yang semakin
tersiksa setelah melihat perempuan pelacur yang pernah
195
dikencaninya sedang asyik bercumbu dengan lelaki kaya pemenang
judi. Penggambaran yang dipilih pengarang ini terasa lebih hidup dan
juga mampu membuat pembaca membayangkan dengan jelas apa yang
dirasakan tokoh Alit dengan mengaktifkan citraan perasaan.
3.41. “Alit merasakan tarian serigala di pelupuk matanya, mungkin tarian
para jahanam yang mengejeknya.” (C19, h. 198)
Berdasarkan gaya personifikasi di atas tarian diberi ciri insani
sehingga seolah-olah bisa mengejek seperti manusia. Makna kutipan
tersebut sebenarnya masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya. Melalui personifikasi ini, pengarang ingin melukiskan
perasaan tokoh Alit yang sedang dibakar cemburu. Gerak-gerik mesum
si perempuan pelacur dan si lelaki kaya pemenang judi itu seolah
mengejak kebangkrutan tokoh Alit. Fungsi gaya personifikasi di atas
menghidupkan penggambaran perasaan tokoh dalam cerita.
3.42. “Dan ia menyukai lagu-lagu nostalgia, yakni jenis lagu yang tidak
pernah bisa menyingkirkan kemurungan pada wajahnya.” (C20, h.
207)
Lagu adalah ragam suara yang berirama tetapi pada personifikasi di
atas lagu memiliki sifat insani yang seolah bisa menyingkirkan
kemurungan. Kutipan di atas masih memiliki keterkaitan dengan data
sebelumnya, yakni menyiratkan tentang seseorang yang memiliki raut
wajah murung, diam, dan tidak bergairah sehingga terlihat seperti orang
yang banyak pikiran. Penggambaran tokoh di atas digunakan pengarang
untuk menggambarkan bahwa lagu-lagu nostalgia yang disukai tokoh
majikan lelaki akan membuat wajahnya semakin terlihat murung.
Penggunaan gaya bahasa personifikasi di atas terasa lebih mengena bagi
pembaca serta mampu membuat penggambaran tokoh menjadi lebih
hidup. Fungsi gaya bahasa personifikasi di atas menghidupkan
penggambaran kepribadian tokoh dalam cerita.
3.43. “Nyala lilin menaikkan birahi. Lelaki itu tampak menggigil dalam
cahaya lilin dan burung puter di teras memperdengarkan suara
196
dengkurnya yang menyedihkan—suara yang memanggil hantu-hantu
datang.” (C20, h. 210)
Pada personifikasi di atas lilin yang merupakan benda mati diberi
ciri insani seolah bisa menaikkan berahi. Sementara itu, burung puter
diberi ciri insani seolah bisa mengeluarkan suara dengkur yang
menyedihkan dan bisa memanggil hantu-hantu datang. Makna gaya
personifikasi di atas menyiratkan tentang keadaan tokoh majikan lelaki
yang sedang berada di puncak berahi. Selain itu, gaya bahasa
personifikasi di atas yang digunakan pengarang terkesan
menggambarkan suasana sunyi dan suhu ruangan tiba-tiba berubah
menghangat akibat lampu padam dan kondisi di luar rumah hujan deras
disertai petir. Penggambaran tersebut terasa menjadi lebih hidup dan
berkesan bagi pembaca karena pembaca mampu menumbuhkan
imajinasinya tentang kondisi tokoh serta suasana yang digambarkan
dalam cerita. Gaya bahasa personifikasi pada kalimat di atas
terutama berfungsi menghidupkan penggambaran tokoh dan latar
suasana dalam cerita.
3.44. “Perempuan itu merasakan pikirannya lumpuh sesaat.” (C20, h. 211)
Data di atas merupakan gaya personifikasi karena ditemukan kata
yang acuannya bukan manusia tetapi diberi ciri insani. Pikiran adalah
akal atau ingatan manusia namun pada data di atas seolah bisa lumpuh
seperti manusia. Pada kutipan di atas, pengarang berusaha
menggambarkan jalan pikiran tokoh perempuan yang menghadapi
kebuntuan setelah secara tidak langsung majikannya meminta
dihangatkan olehnya. Pengarang menggambarkan bagaimana
kekhawatiran si tokoh perempuan menghadapi situasi sulit seperti itu.
Walaupun ia sendiri sebenarnya tahu cara menghadapi majikan lelaki
yang kedinginan dan ia tahu cara menghangatkannya namun ia tidak
pernah berpikir bahwa ia akan melakukan cara itu kepada anaknya
sendiri. Melalui gaya personifikasi ini, penggambaran jalan pikiran
tokoh terasa lebih kuat dan mengena bagi pembaca serta pemilihan kata
197
yang dipilih pengarang mampu menimbulkan efek estetis. Fungsi gaya
bahasa personifikasi pada kalimat di atas adalah menghidupkan
penggambaran tokoh dalam cerita.
Simpulan
Gaya bahasa perumpamaan yang terdapat dalam kumpulan cerpan
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu karya AS Laksana
berfungsi mengkonkretkan dan menghidupkan penggambaran tokoh dan latar
dalam cerita. Gaya bahasa perumpamaan terdapat 1 fungsi mengkonkretkan
dan 43 fungsi menghidupkan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi yang paling
banyak digunakan adalah menghidupkan dan dengan adanya fungsi seperti ini
memberi penguatan pada penyampaian struktur naratif cerita.
C. Analisis Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
Berdasarkan hasil analisis data-data yang diuraikan sebelumnya,
diperoleh sebanyak 168 data berupa kalimat yang menyatakan gaya bahasa
perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana. Masing-masing rincian jumlah
data kalimat dari tiap jenis gaya bahasa perbandingan sebagai berikut:
1. Metafora berjumlah 43 kalimat.
2. Perumpamaan berjumlah 81 kalimat.
3. Personifikasi berjumlah 44 kalimat.
Hasil analisis gaya bahasa di atas dapat dilihat dengan jelas melalui
tabel berikut ini.
Distribusi Frekuensi dan Persentase Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan
dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu
Karya AS Laksana
198
No. Gaya Bahasa
Frekuensi
Penggunaan
Data (x)
Frekuensi
Relatif
X/ΣX
Persentase
X/ΣX x
100%
1. Metafora 43 0,256 25,6%
2. Perumpamaan 81 0,482 48,2%
3. Personifikasi 44 0,262 26,2%
Jumlah 168 100%
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa gaya bahasa perbandingan
yang banyak digunakan dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana adalah gaya bahasa
perumpamaan. Gaya bahasa tersebut paling banyak mendominasi dalam
keseluruhan cerpen dengan hasil 48,2 % atau sebanyak 81 data kalimat.
Adapun gaya bahasa dominan lainnya secara berurutan meliputi metafora
dengan hasil 25,6% atau sebanyak 43 data kalimat, dan personifikasi dengan
hasil 26,2% atau sebanyak 44 data kalimat. Perumpamaan dalam cerpen ini
terkesan menyamakan dan membandingkan sesuatu yang sama dengan hal
yang lain dengan pengetahuan luas yang dimiliki oleh pengarang. Hal tersebut
yang menjadi ciri khas dari AS Laksana.
Dari ketiga jenis gaya bahasa perbandingan, terlihat gaya bahasa
perumpamaan tampil paling dominan dalam cerpen ini. Pemanfaatan gaya
bahasa perumpamaan dalam cerpen ini bertujuan agar sebuah tuturan menjadi
lebih hidup dan komunikatif, mengkonkretkan hal-hal yang bersifat abstrak,
memperjelas makna yang disampaikan oleh pengarang, serta mampu
menciptakan gambaran yang jelas dalam imajinasi pembaca.
Adapun gaya bahasa metafora dalam cerpen ini bertujuan untuk
memberikan daya tarik pada sebuah cerita melalui lambang dan simbol yang
dihadirkan pengarang. Gaya bahasa metafora juga turut menumbuhkan
imajinasi bagi pembaca sehingga citraan dan lambang yang digunakan tidak
hanya mewakili perasaan dan gagasan pengarang, tetapi juga dapat
199
menciptakan daya pikat dan kedalaman makna yang dapat menghidupkan
cerita.
Sementara itu, penggunaan gaya personifikasi dalam cerpen ini
bertujuan untuk menciptakan efek estetis dalam cerita serta untuk mengiaskan
benda-benda mati bertindak, berbuat, dan berbicara seperti manusia sehingga
menambah nilai keindahan dalam cerita. Selain itu, efek estetis yang
ditimbulkan dari kehadiran gaya bahasa personifikasi ini turut membuat
suasana dalam cerita menjadi lebih hidup serta mampu membangkitkan
imajinasi pembaca.
D. Fungsi Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
Bahasa beserta unsur-unsurnya, baik intrinsik maupun ekstrinsik,
merupakan dua unsur yang saling berkaitan dan saling membangun. Pemilihan
gaya bahasa yang tepat, indah, dan bervariasi, berfungsi menguatkan
penyampaian struktur naratif cerita sehingga memudahkan pembaca
memahami isi atau pesan dalam sebuah karya. Itulah sebabnya gaya bahasa di
sini tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh efek atau motif tertentu
tetapi juga memudahkan pembaca memahami isi atau cerita yang ditampilkan
pengarang melalui unsur-unsur pembangun di dalamnya. Analisis fungsi gaya
bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana dapat dilihat dengan jelas melalui
tabel berikut.
Distribusi Frekuensi dan Persentase Fungsi Penggunaan Gaya Bahasa dalam
Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya
AS Laksana
No. Fungsi Gaya Bahasa
Frekuensi
Penggunaan
Data (x)
Frekuensi
Relatif X/ΣX
Persentase
X/ΣX x
100%
1. Mengkonkretkan 100 0,595 59,5%
200
2. Mengabstrakkan 2 0,011 1,20%
3. Menghidupkan 66 0,392 39,2%
Jumlah 168 100%
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa AS Laksana banyak
menggunakan fungsi mengkonkretkan dalam kumpulan cerpen Murjangkung
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu. Fungsi mengkonkretkan inilah yang
paling banyak mendominasi dengan hasil 59,5% dari data kalimat atau
sebanyak 100 data kalimat. Selanjutnya secara berurutan fungsi yang paling
dominan lainnya dalam keseluruhan cerpen ini adalah fungsi menghidupkan
dengan hasil 39,2% atau sebanyak 66 data kalimat, dan fungsi
mengabstrakkan dengan hasil 1,20% atau sebanyak 2 data kalimat.
Dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu, terdapat tiga gaya bahasa perbandingan yang digunakan AS
Laksana. Ketiga gaya bahasa tersebut memberi peranan penting dalam
penyampaian struktur naratif cerita, khususnya tokoh dan penokohan serta
latar dalam sebuah cerita. Untuk mengenalkan tokoh beserta wataknya dengan
cara khusus, pengarang menggunakan gaya bahasa yang dimaksudkan untuk
membangkitkan daya imajinatif pembacanya. Begitupula dengan
penggambaran latar akan menjadi lebih hidup dan terasa nyata menggunakan
gaya bahasa. Gaya bahasa perbandingan dalam keseluruhan cerpen ini
berfungsi mengkonkretkan, mengabstrakkan, dan menghidupkan unsur-unsur
pembangun yang terdapat di dalamnya.
Gaya bahasa perumpamaan dalam cerpen ini menempati posisi yang
paling dominan. Gaya bahasa perumpamaan dalam cerpen ini turut
memberikan peranannya dalam penyampaian struktur naratif cerita. Pada
contoh berikut memperlihatkan bahwa gaya bahasa perumpamaan mampu
mengkonkretkan penggambaran fisik tokoh dalam sebuah cerita seperti dalam
kalimat, “Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi tinggi sekali,” kata Sang
Pangeran setelah Murjangkung dan beberapa pemabuk datang menemuinya di
201
hari pendaratan”.1 Pemakaian gaya perumpamaan dalam menggambarkan fisik
tokoh pada kalimat tersebut mampu menciptakan gambaran yang konkret
dalam imajinasi pembaca. Ada sebuah ejekan yang ingin disampaikan
pengarang dalam karakter tokoh sehingga menimbulkan kesan lebih lucu bagi
pembaca.
Adapun gaya bahasa metafora dalam cerpen ini tidak hanya
memberikan daya tarik melalui variasi bahasa yang digunakan pengarang
tetapi juga mengandung kedalaman makna melalui simbol yang ditampilkan
pengarang sehingga cerita yang disajikan terasa lebih hidup. Seperti halnya
gaya bahasa perumpamaan, pemanfaatan lambang-lambang metafora pada
contoh kalimat berikut ini juga memberikan peranan dalam mengabstrakkan
penggambaran latar tempat dalam cerita, seperti dalam kalimat, “Dua hari
kemudian, dengan niat merebut kembali kekasihnya, Seto melacak rumah
perempuan itu sesuai alamat yang diberikan kepadanya dan ia menemukan
sebuah rumah yang kelihatannya telah menjadi sarang nasib buruk sepanjang
waktu.”2 Ungkapan yang menyiratkan tentang kondisi tempat yang kumuh dan
tidak terurus, tempat yang diisi orang-orang kurang sehat, dan tidak enak
dipandang, bahkan menjijikan ini terasa lebih abstrak jika dibandingkan
dengan metafor “sarang nasib buruk”.
Personifikasi dalam cerpen ini mampu menciptakan efek estetis
dengan ragam kalimat yang lebih indah dan bervariatif sehingga cerita yang
disajikan lebih menarik dan tidak monoton. Misalnya ketika menggambarkan
latar peristiwa gelombang tsunami yang terjadi di Aceh, pengarang
menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk menghidupkan penggambaran
latar cerita sehingga peristiwa yang digambarkan terasa lebih nyata, seperti
dalam kalimat berikut, “Ia hanya ingin mempertahankan sebuah wilayah agar
tidak lepas, kadang dengan rundingan, sering dengan peluru, namun lalai
1 Ibid., h. 3.
2 Ibid., h. 40.
202
bahwa air laut suatu ketika bisa mengamuk dan menyapu tanah yang
diperebutkan.3
Dari keseluruhan cerpen, masing-masing gaya bahasa mempunyai
makna yang berbeda, akan tetapi memiliki fungsi yang sama yaitu
memperkuat penyampaian struktur naratif cerita. Efek motif tertentu yang
dihasilkan dari gaya bahasa memberikan kekuatan pada isi cerita sehingga
memudahkan pembaca dalam memahami maksud atau gagasan yang ingin
disampaikan pengarang. Kaitannya dengan pembelajaran gaya bahasa,
pemakaian gaya bahasa yang menarik dan variatif akan mendorong siswa
lebih kreatif dalam keterampilan bahasa dan sastra Indonesia.
E. Implikasi
Sastra dalam pembelajaran erat hubungannya dengan pembelajaran
bahasa. Sastra membantu meningkatkan empat komponen keterampilan
berbahasa siswa yaitu, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Melalui
sastra pula, siswa mampu mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta
kemampuan lainnya yang didapat setelah membaca karya sastra.
Pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan karya sastra
akan tampak lebih menyenangkan. Hal itu tentunya didukung oleh
kemampuan guru dalam menciptakan strategi pengajaran yang baik dan juga
didorong oleh minat guru sebagai pengajar terhadap sastra. Seorang guru yang
mampu menyampaikan pengajaran sastra dengan komunikatif dan
menyenangkan akan merangsang minat baca siswa terhadap sastra sehingga
siswa mampu mengaitkan dan menerapkan nilai-nilai kehidupan yang
diperoleh setelah membaca karya sastra. Demikian pula harapannya agar
peningkatan pemahaman siswa tidak hanya dalam bidang bahasa atau sastra,
namun juga terhadap ilmu-ilmu interdisipliner lain yang terkait.
Dari berbagai macam judul cerpen yang sudah ada, kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana bisa
menjadi salah satu pilihan bahan ajar dalam pembelajaran cerpen. Kompetensi
3 Ibid., h. 164-165.
203
dasar yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra adalah menganalisis
unsur intrinsik dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran unsur intrinsik ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi karya sastra yang bertujuan meningkatkan proses penalaran dan
daya imajinasi siswa, serta melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Pembahasan mengenai gaya bahasa perbandingan yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu
karya AS Laksana ini berkaitan erat dengan analisis terhadap unsur
pembangun lainnya yang terdapat dalam cerpen. Maksud berkaitan erat di sini
adalah gaya bahasa bertujuan dalam menggambarkan keseluruhan isi cerita.
Adapun pembahasan gaya bahasa ini tidak hanya berhenti sampai pada
analisis terhadap unsur intrinsik cerita, tetapi juga siswa dapat menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kegiatan menganalisis unsur intrinsik cerpen, pembelajaran
gaya bahasa ini dapat melatih siswa dalam meningkatkan keterampilan
berbahasa seperti membaca dan menulis. Dalam kegiatan membaca, gaya
bahasa menjadi sarana penting agar siswa bisa memahami isi cerita yang
disampaikan oleh pengarang. Dengan memahami gaya bahasa dalam sebuah
karya, berguna untuk menambah wawasan dan melatih cara berpikir serta daya
imajinasi siswa dalam menganalisis sebuah karya dengan lebih seksama
sehingga keterampilan membaca dan menulis siswa dapat terlatih secara
bersamaan. Tidak hanya itu, minat siswa pun diharapkan akan terdorong untuk
membaca karya sastra yang lebih bervariatif lagi, sehingga diharapkan pula
dapat meningkatkan pemahaman akan gaya bahasa dalam sebuah karya serta
kehalusan rasa berbahasa siswa.
Pembelajaran gaya bahasa yang dikemas dengan menarik tidak
hanya membuat pengetahuan siswa semakin luas tetapi juga meninggalkan
kesan yang tak terlupakan bagi siswa sehingga penerapannya akan lebih
mudah dalam kehidupan sehari-hari siswa. Terkait dengan hal itu, penggunaan
gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang
Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana ini dapat digunakan sebagai salah
204
satu referensi tambahan dalam materi gaya bahasa dalam pembelajaran sastra
sebagai salah satu unsur pembangun cerpen.
205
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana, maka
diperoleh hasil simpulan sebagai berikut:
1. Dalam keseluruhan kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu karya AS Laksana diperoleh sebanyak 168 data berupa
kalimat yang menyatakan penggunaan bahasa. Kalimat-kalimat tersebut
mencakup tiga jenis gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa tersebut di
antaranya (a) metafora berjumlah 43 kalimat, (b) perumpamaan berjumlah
81 kalimat, (c) personifikasi berjumlah 44 kalimat. Dari ketiga gaya
bahasa perbandingan tersebut, gaya bahasa yang paling dominan
digunakan oleh pengarang adalah gaya bahasa perumpamaan sebanyak 81
data kalimat atau 48,2% data kalimat dari keseluruhan cerpen. Dengan
banyaknya penggunaan gaya perumpamaan oleh pengarang, dapat
disimpulkan bahwa gaya penceritaan AS Laksana memliki kekhasan
dalam menyamakan sesuatu dengan hal lain. Adapun gaya bahasa yang
digunakan pengarang berfungsi memperkuat penyampaian struktur naratif
cerita seperti penggambaran tokoh dan penokohan maupun latar dalam
cerita.
2. Implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana ini
dapat diterapkan dalam pembelajaran gaya bahasa pada siswa kelas X
semester 1 dalam aspek membaca, dengan standar kompetensi memahami
wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen, dan
kompetensi dasar menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen
dengan kehidupan tersebut. Dengan kompetensi tersebut, siswa diharapkan
mampu mengidentifikasi unsur intrinsik dalam cerpen (khususnya gaya
bahasa) serta mampu mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari, seperti
206
melatih proses berpikir, menumbuhkan gagasan, serta membangkitkan
kehalusan rasa bahasa siswa yang dihasilkan melalui kegiatan membaca.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, ada beberapa saran
yang diajukan oleh penulis sebagai berikut.
1. Diharapkan kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu karya AS Laksana ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra,
terutama gaya bahasa. Hal ini bertujuan agar siswa dapat mengetahui
fungsi gaya bahasa dalam karya sastra khususnya cerpen.
2. Penelitian terhadap gaya bahasa dalam cerpen ini diharapkan dapat
menambah perbendaharaan materi guru mengenai kajian tentang gaya
bahasa dan juga menjadi pedoman atau acuan dalam pembelajaran bahasa
dan sastra di sekolah.
3. Penulis mengharapkan agar penelitian tentang gaya bahasa dapat terus
dilakukan secara kontinu agar dapat mengetahui karakteristik atau ciri
khas seorang sastrawan yang satu dengan yang lain. Selain itu penelitian
ini juga diharapkan dapat dilakukan secara berkesinambungan agar dapat
lebih mendalami dan mengetahui keterkaitan antara gaya bahasa secara
umum dengan keseluruhan inti cerita.
207
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru,
1988.
. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. Cet. Ke-1.
Barry, Peter. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Cet. Ke-3.
Coupland, Nikolas. Style: Language Variation and Identity. New York:
Cambridge University Press, 2007.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa, 2000.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2002.
Handayani, Retno Dwi. “Stilistika Novel Sirah Karya Ay Suharyana”,
Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Surakarta: 2010. Tidak
dipublikasikan.
Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel: an Introduction. New York: Great
Britain, 1989.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1982.
Laksana, AS. Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu. Jakarta:
GagasMedia, 2013.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
208
Mujiyanto, Yant. “Pemanfaatan Gaya Bahasa dalam “Sesobek Buku
Harian Indonesia” Antologi Puisi Emha Ainun Najib (Studi
Stilistika)”. Tesis. pada Universitas Sebelas Maret. Surakarta:
2007. Tidak dipublikasikan.
Nurgiyantoro, Burhan. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2014.
. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005.
Oktaviani, Uhtia Fajrihati. “Makna Keluarga dalam Balutan Cerita
Fantastik Pada Kumpulan Cerpen Bidadari Yang Mengembara
Karya AS Laksana”. Skripsi pada Universitas Airlangga. Surabaya:
2012. Tidak dipublikasikan.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.
Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012.
Purwaningrum, Ayuningtyas. “Tokoh dalam Kumpulan Cerpen Bidadari
yang Mengembara Karya AS Laksana dan Kelayakannya Sebagai
Bahan Ajar di SMA”. Skripsi pada Universitas Lampung.
Lampung: 2015. Tidak dipublikasikan.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Rampan, Korrie Layun. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
PT Grasindo, 2000.
Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sasra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Cet. 1.
. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988.
. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa, 1990.
Siswanto,Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
209
Sudjiman, Panuti. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1993.
Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa, 2008.
. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1985.
. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Sastra Indonesia Edisi Revisi. Bandung: Titian
Ilmu, 2009.
Waridah, Ernawati. EYD & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta:
Kawan Pustaka, 2010.
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung: UPI Press, 2006.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka,
1994.
Jurnal
Rofiqi, Zaim A. “Cerita-Cerita yang Mengembara”. Kalam vol. 22.
Jakarta: Yayasan Kalam, 2005.
Majalah dan Surat Kabar
Arnas, Benny. “Murjangkung dan Bisikan AS Laksana”. Harian Jawa Pos,
31 Maret 2013.
Ballah, Umar Fauzi. “Dongeng dan Bahasa AS Laksana”. Harian Kompas,
30 Maret 2014.
Christanty, Linda. “Metafor Kehidupan AS Laksana”. Majalah Dewi, Mei
2013.
Prasetyo, Arif Reza. “Laksana Menulis Sejarah Hantu”. Majalah Tempo, 5
Mei 2013.
210
Setiawan, Hawe. “Menggambar Sulak". Harian Republika, 15 Agustus
2004.
Sumber Internet dan lainnya
Jakarta School. “Tentang Pengajar AS Laksana”,
http://jakartaschool.com/pengajardetail, diakses pada 13 Juni 2015.
Khuratul Aini, “Kepercayaan Rakyat yang terdapat dalam Kumpulan
Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya
AS Laksana”, http://ejournal-s1.stkip-pgri-sumbar.ac.id/, diakses
pada 5 Mei 2015, pukul 12.30 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.5.1
211
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 1
Sinopsis 20 Cerita dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu
dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
1. Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut
Cerpen ini mengisahkan dongeng para pemabuk yang singgah ke
negeri seberang setelah bangkut di negeri mereka sendiri. Murjangkung, si
raksasa berkulit bayi, bersama pemabuk lainnya memutuskan untuk menetap
dan mendirikan sebuah rumah gedong di tanah yang dibelinya dari Sang
Pangeran, penguasa tanah dan rawa-rawa di tepi sungai barat. Di tahun
berikutnya, Murjangkung memancing keributan atas tanah yang ditempatinya.
Sang Pangeran marah dan mereka saling melempar caci maki dari gedong
yang saling berseberangan. Perang pun tidak dapat dihindarkan. Hingga
akhirnya Murjangkung menang dan menjadi penguasa di kota baru yang ia
dirikan. Seiring berjalannya waktu, penduduk kota itu semakin banyak dan
akibat perilaku penduduk kota yang jorok, kota tersebut menjadi bau dan
diserang penyakit. Murjangkung sendiri akhirnya mati lantaran terserang
disentri. Murjangkung Jr., pengganti Murjangkung, karena takut terserang
disentri kemudian memindahkan pusat pemerintahan kota ke tanah lapang. Di
sana, ia mendirikan monumen patung untuk mengenang jasa Murjangkung.
2. Otobiografi Gloria
Dikisahkan, Gloria adalah bayi yang hanya sempat menghirup
oksigen di dunia dalam waktu sekejap. Nenek dan kakeknya sangat rindu
hadirnya bayi dan terobsesi ingin memiliki cucu. Mereka pun akhirnya
mendatangi orang sakti dan tempat-tempat keramat. Anak pertama adalah
bujang lapuk, dan hidup membujang hingga ia mati. Anak kedua menikah
dengan pria yang agak berumur, sudah 7 tahun menikah tetapi belum
dikaruniai anak. Sedangkan anak ketiga, belum menikah namun hamil tanpa
suami. Kakek Gloria, kalap dan semakin putus asa karena anak ketiga, si
Cacing, tetap tutup mulut mengenai lelaki yang telah menghamilinya. Setelah
anak haram itu lahir, si kakek membunuh cucu pertama karena menjalani
sebuah ilham. Bahkan anak itu pun belum sempat diberi nama. Saat kakek dan
ibunya meninggal, mereka tidak bertemu di dunia lain.
3. Dongeng Cinta yang Dungu
Dongeng ini bermula dari kebencian Fira terhadap si Belatung,
bosnya di tempat ia bekerja. Ia mulai mengganggu Fira di kantor, bahkan
kehidupannya di luar kantor. Pada suatu hari, ketika ia sedang tidur, Fira
merasakan roh dalam tubuhnya terpisah dari jasadnya. Ia terbang ke awan dan
menemukan si Belatung. Fira bersembunyi di balik awan agar tak diganggu
bosnya, namun rupanya si Belatung menemukan jasad Fira yang tengah
terbaring lalu memasukinya. Mereka pun bertukar sepasang tubuh, hingga
akhirnya mereka menikah agar dapat menyatukan jasad dan roh mereka yang
tertukar. Sebuah percintaan yang membingungkan, antara harus mencintai
jasadnya sendiri atau mencintai seseorang yang berada dalam jasad tersebut.
4. Perempuan dari Masa Lalu
Berawal dari kebiasaannya membayangkan setiap adegan di masa
lalu, pada suatu hari di sebuah halte, Seto bertemu dengan perempuan yang
baru sekali dilihatnya, tetapi ia merasa sangat kenal. Hingga kejadian itu terus
berulang, dan untuk ketiga kalinya ia bertemu perempuan di sebuah halte yang
ia yakini sebagai kekasihnya di masa lalu, keduanya berbincang meskipun lalu
terpisah. Pada suatu hari, secara tak sengaja Seto bertemu perempuan itu di
sebuah terminal. Di sebuah kamar sewaan mereka pun bercinta. Mereka pun
kembali mengingat-ingat kejadian yang pernah mereka alami berdua di masa
lalu.
5. Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya
Cerpen ini mengisahkan tokoh Aku yang mewarisi bakat
keluarganya sebagai pencerita. Aku adalah satu-satunya keturuanan yang
menjadikan tradisi keluarganya itu sebagai sumber penghasilan. Aku
mengumpulkan berbagai cerita secara turun-temurun dari keluarganya, di
antaranya seperti kisah tentang Cina dan hujan, tentang kakus dan neneknya,
tentang siluman dan jin Sulaiman, tentang kompeni yang bermain ayunan dan
tentang kakek Aku yang tidak menjadi nabi.
6. Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri
Seto menjadi juru selamat bagi keluarga Pak Mayor, sebab ia telah
menyelamatkan nyawa anaknya, Pramono, pada suatu peristiwa
pengkroyokan. Ia diminta tinggal di rumah keluarga itu. Si Mayor memiliki
tiga orang anak, namun hanya Pramonolah yang menjadi anak emasnya. Si
berandal itu ternyata mengetahui perselingkuhan ayahnya dengan perempuan
lain. Semenjak itu, Pramono menjadi anak liar dan suka main perempuan
seperti ayahnya. Bahkan, ia pernah dua kali terkena sipilis. Seto kerap kali
mengikuti kegiatan Mayor dan sering diajak mengikuti kehidupan malam
Pramono. Hingga Seto tau apa yang tejadi dalam keluarga Mayor berpangkat
itu—runyam dan baik-baik saja. Ia pergi dari rumah itu dan meninggalkan
catatan puisi tentang peri, pelangi, dan para putri.
7. Teknik Mendapatkan Cinta Sejati
Seto tidak pernah memimpikan akan memiliki adik yang sangat
dungu, Sasi, si Kerbau maha tidak tahu dan ia pemburu yang pantang
menyerah. Suatu pagi, Sasi bertanya mengenai apa yang harus ia lakukan
untuk mendapatkan cinta dari pria yang telah beristri dan berbeda keyakinan
pula dengannya. Seto menjawab sambil lalu “Pindah agama saja!”, namun
jawaban asbunnya ternyata ditanggapi serius oleh adiknya. Tiap saat ia
dilempari pertanyaan yang membuatnya semakin tidak nyaman. Sayangnya
adiknya sedikit berakal. Menurutnya, jawaban apapun yang ia keluarkan tak
akan mampu membuat adiknya paham. Hingga akhirnya Seto menjelaskan
tentang pengalamannya berpindah-pindah agama untuk menghindari
penolakan dari seorang perempuan. Namun adiknya ternyata tetap saja dungu.
Berbeda dengan Seto, Sasi begitu menyayangi kakaknya. Ia rela meninggalkan
bangku kuliahnya dan menghabiskan sisa hidupnya demi merawat Seto yang
sakit-sakitan.
8. Dua Perempuan di Satu Rumah
Seto lahir dari keluarga broken home. Kehidupan masa lalunya yang
pahit membuat ia tumbuh menjadi gali yang ganas dan ia harus mati
mengenaskan. Ayahnya memutuskan menjadi perempuan sejak ia kecil. Di
sekolah, Seto selalu diejek karena ayahnya berbeda dengan ayah teman-
temannya. Sejak itu, Seto semakin menjauhi ayahnya meskipun ia tidak
pernah membencinya. Seto tumbuh sesukanya. Ia menjadi anak liar dan suka
mabuk-mabukan. Ibunya, yang dulu cerewet menjadi pendiam dan tidak
peduli. Begitupun ayahnya yang tak mampu berbuat apa-apa terhadap
perubahan sikap Seto. Namun mereka tetap hidup dalam satu atap. Seto
semakin sering membuat keributan dan melakukan kekerasan di tempat
mangkal para banci lantaran lengkingan suara banci membuat ia merindukan
ibunya yang dulu, yang selalu cerewet, dan sebab itu ia juga berharap agar
ayahnya menjauhi dan membencinya.
9. Bukan Ciuman Pertama
Cerpen ini mengisahkan tentang Aku yang sering membaca buku-
buku motivasi. Ia begitu meyakini pesan yang ia baca dari buku-buku tentang
keberhasilan orang-orang sukses. Pada suatu hari, seorang lelaki dengan
sebelah mata mengatup mendatangi rumahnya dan meminta izin kepadanya
agar ia bisa mengusap dan mencium perut istrinya yang sedang hamil anak
keempat. Lelaki itu mengaku sedang menjalani laku tertentu demi
menyelamatkan nyawa bayi yang akan lahir. Namun, buku yang ia baca
mengajarkannya agar menjauhi penyakit seperti lelaki dengan sebelah mata
mengatup yang mendatangi rumahnya hingga Aku pun terus berprasangka
buruk terhadap lelaki itu karena ia meyakini pesan dari buku yang ia baca.
Akan tetapi sang istri akhirnya mengizinkan lelaki itu mencium dan mengusap
perutnya. Setelah anak keempat mereka lahir dan mirip dengan lelaki itu, Aku
pun semakin meyakini firasat yang selama ini menghantuinya bahwa istrinya
telah main gila dengan lelaki itu.
10. Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis
Alit, pesulap yang merasa gagal karena seringkali kikuk ketika
berhadapan dengan gadis kusam yang sering menonton atraksi sulapnya. Ia
memutuskan meninggalkan bakat sulapnya dan menemukan bakat lain sebagai
pawang hujan. Namun di tengah perjalanannya sebagai pawang hujan, ia
merasa Tuhan telah memberikan bakat yang salah terhadapnya. Bakat yang
tidak mampu menarik hati gadis pujaan hatinya. Alit kecewa kepada gadis
kusam itu karena menikah dengan si bandot tua. Tuhan dianggapnya telah
melakukan keputusan yang keliru, hingga ia memutuskan untuk bertarung
dengan Tuhan. Namun pertarungan berakhir remis. Alit tidak mati atas
kehendaknya sendiri, Tuhan pun menggagalkan upayanya untuk bunuh diri.
11. Kisah Batu Menangis
Cerpen ini mengisahkan tokoh Aku yang harus merasakan
penderitaan sepanjang kehidupan perkawinannya. Sang istri terus memaki,
mencaci, dan mengutuk bekas suaminya selama mereka menjalani kehidupan
rumah tangga. Kemarahan perempuan itu tak pernah reda dan membuat tokoh
Aku merasa tak berarti. Perempuan itu dulunya pernah menikah dan
perkawinan mereka bubar setelah suaminya berselingkuh. Selama sembilan
tahun menikah Aku selalu ingin menangis. Aku pun memilih pergi dan
mencari ketenteraman di usianya yang semakin senja. Lalu Aku pun
menyelinap ke sebuah gua dan sepanjang malam ia terus menangis, namun
segalanya berubah ketika Aku terbangun keesokan harinya. Aku menjadi
sebongkah batu kecil berbentuk kelinci yang meneteskan air mata sepanjang
hari.
12. Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa
Aku adalah lelaki yang selalu berpikir liar. Aku memiliki beberapa
teman lama seperti Seto dan Jiwo alias Kadal. Seto dianggap sebagai teman
yang membosankan sedangkan Kadal, teman ketika mereka SMP, dianggap
tidak waras. Suatu kali Aku berkata sekenanya pada si Kadal bahwa di masa
lalu ia adalah tentara Mongol dan ia membenci raja Jawa. Namun, si Kadal
ternyata menanggapi omongannya dengan menyuruhnya meninggalkan tanah
Jawa. Namun, Aku tak pernah meladeninya. Semarang adalah tanah
kelahirannya, bagaimanapun Aku tetap tak bisa meninggalkan tempat yang
sudah memberikannya banyak kenangan. Dalam sebuah perjalanan bis menuju
Jakarta ada tiga anak jalanan yang meminta-minta sambil mengasah sembilu.
Tiba-tiba Aku teringat akan kekecewaannya di masa lalu. Aku pun tak mampu
menahan amarahnya, lalu memotong telinga kanan salah satu di antara mereka
untuk mengobati rasa pedih yang sudah dipendamnya sejak lama.
13. Lelaki Beristri Batu
Cerpen ini mengisahkan tentang cinta seorang suami (Aku) yang
berbalas pengkhianatan dari istrinya. Ketika pertama kali dikhianati, tokoh
Aku berusaha memaafkan kesalahan itu, namun setelah pengkhianatan
seterusnya tokoh Aku sudah muak permintaan maaf yang keluar dari mulut si
pengkhianat itu. Untuk mengobati luka hatinya itu, Aku menjadi pemabuk
yang sering menuangkan alkohol dan putrinya pun menjadi tidak terurus.
Pengkhianat itu datang kembali untuk meminta maaf dan tak pernah pergi lagi
sejak itu, namun rasa kasih Aku sudah ludes terhadap perempuan itu. Pada
hari kematian lelaki itu, orang-orang menemukan perempuan itu beserta
anaknya menjadi dua buah patung batu di kamar pembantu yang tergembok.
14. Efek Sayap Kupu-Kupu
Cerpen ini mengisahkan tokoh Alit yang tidak menyukai ayahnya.
Setiap pagi ia membayangkan ayahnya merengek-rengek didatangi malaikat
yang siap mencabut nyawa dengan cara sesakit-sakitnya. Penangkapan
Ambar, germo yang baru duduk di kelas dua SMA, yang tersiar di salah satu
stasiun televisi merupakan sebuah kebetulan yang akhirnya membawa Alit
bertemu dengan adiknya yang telah lama terpisah. Pertemuan Alit dengan
Ambar pun membuat Alit tahu kondisi dan keberadaan ayahnya. Apa yang ia
bayangkan setiap pagi itu ternyata benar-benar mendatangi ayahnya. Sudah
berapa kalikah? Alit pun ketakutan dan memikikirkan hal itu hingga pada
suatu pagi setelah ia keluar dari tempat minum, ayahnya meninggal di tempat
lain yang jauh sekali. Efek kupu-kupu pun bekerja pada peristiwa dini hari itu.
15. Ibu Tiri Bergigi Emas
Kepergian Alit yang dirahasiakan menyisakan tanda tanya besar. Ia
pergi dari rumah dan meninggalkan sepucuk surat untuk ayahnya. Sejak SD ia
harus kehilangan kasih sayang seorang ibu. Ibunya pergi dari rumah setelah
menerima ribuan tamparan dari ayahnya. Penyebabnya adalah kematian kedua
adik Alit yang dianggap sebagai kesalahan ibunya. Hingga SD, Alit terus
mengharapkan ayahnya membawa ibunya kembali, namun bukan ibunyalah
yang dibawa pulang melainkan perempuan bergigi emas. Perempuan itu
adalah ibu tiri Alit yang menggantikan posisi ibunya mendongengkan cerita
sebelum ia tidur. Hingga ia SMA, ibu tirinya terus mendongeng ketika
ayahnya tidak ada atau di luar kota. Setelah lulus SMA, Alit pergi dari rumah
tanpa alasan yang pasti. Isi surat yang ditinggalkan itulah yang menjadi
rahasia yang hanya dipegang Alit dan ayahnya.
16. Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan
Cerpen ini mengisahkan tentang tokoh Aku yang dianggap telah mati
oleh para tetangganya karena rentetan peristiwa yang menimpanya. Salah satu
tetangganya memiliki kebiasaan aneh yang ia bawa dari kampungnya. Ia
membuat dua buah gundukan seperti kuburan. Pada gundukan pertama, ia
menanam kepala kerbau dan pada gundukan kedua ia menanam kambing
hidup-hidup. Suatu hari, orang itu meninggal dengan telungkup memeluk dua
gundukan dan tokoh Aku baru menyadari bahwa tetangganya menancapkan
nisan atas nama istri dan anaknya di kedua gundukan itu. Hal itu membuat
orang-orang menceritakan hal-hal yang keliru mengenai tetangganya yang
meninggal. Mereka mengira tokoh Akulah yang meninggal.
17. Malam Saweran
Cerpen ini mengisahkan kehidupan perkawinan tokoh Aku yang
kemudian kecewa karena ia merasa telah gagal membahagiakan istrinya.
Setelah anak perempuan mereka tumbuh dan tampak kelaki-lakian, istrinya
berubah menjadi seorang penuduh. Ia selalu meracau dan mengungkung
dirinya dengan berbagai prasangka yang ada di pikirannya. Hal itu membuat
tokoh Aku kesepian. Untuk mengisi kesepiannya itu, ia sering mendatangi
tempat hiburan malam dan menjadi penyawer untuk membahagiakan dirinya.
18. Cerita untuk Anak-Anakmu
Cerpen ini mengisahkan sebuah dongeng kehidupan anggota DPR
dan penyanyi dangdut. Pasangan ini bertemu dalam satu panggung kampanye.
Setelah si politisi memenangkan jatah kursi, ia menyatakan cinta dan melamar
si penyanyi dangdut karena jatuh cinta pada pinggulnya yang indah. Mereka
pun menjadi pasangan yang saling melengkapi di panggung-panggung
kampanye. Namun dalam tempo enam bulan, perempuan itu minta cerai tanpa
sebab yang pasti. Melalui kuasa hukumnya politisi itu menangkis semua
pertanyaan wartawan tentang penyebab perceraian mereka. Dongeng pun
berakhir. Mereka akhirnya bercerai dan masing-masing hidup bahagia
selamanya.
19. Kuda
Alit, penjudi yang bangkrut, yang tanpa sadar jatuh cinta kepada
seorang pelacur. Perempuan pelacur yang menyebut dirinya kuda itu
meninggalkannya setelah ia bangkrut di meja judi. Alit terbakar cemburu
melihat perempuan itu menggelendot manja dengan si lelaki kaya pemenang
judi. Perempuan itu memperlihatkan gerak-gerik mesum di hadapan Alit
namun ia tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang di depan mata yang
berkhianat kepadanya. Alit terus mengutuki perempuan itu dalam hatinya
namun ia tetap menaruh harapan kepada perempuan itu. Setelah beberapa
minggu, ia mendatangi lagi rumah judi itu, namun ia tak menemukan
perempuan itu. Hingga hampir dua puluh tahun setelah pertemuan pertamanya
di rumah judi itu, Alit tetap tak menemukan perempuan itu.
20. Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar
Cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang pembantu yang menjadi
korban hasrat nafsu majikannya. Majikan lelaki di tempatnya bekerja sekarang
adalah anaknya. Anak itu adalah hasil hubungan gelap dengan majikan yang
terdahulu, ayah dari majikannya saat ini. Perempuan itu datang ke rumah itu
sebagai perempuan muda 26 tahun—usianya ketika ia melahirkan anak itu dan
mati beberapa jam setelah persalinan. Majikan lelakinya yang saat ini
melakukan hal sama seperti majikannya terdahulu. Ia meniduri pembantunya,
ibunya sendiri, saat istrinya bekerja di luar kota hingga hamil. Namun istrinya
rupanya mencium kejanggalan yang terjadi di rumahnya. Sebelum
menunjukkan gejala mual-mual, perempuan itu pergi dari rumah itu dan
melahirkan anak kedua yang juga cucunya.
Lampiran 2
Kartu Data Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Murjangkung Cinta
yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana
Gaya Bahasa Kalimat Halaman
1. Cerpen Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut
Metafora Tuan Murjangkung, raksasa berkulit bayi yang
memimpin pendaratan membeli dari Sang Pangeran
tanah enam ribu meter persegi di tepi timur sungai.
2
Setelah memenangi pertempuran, Murjangkung
segera memeriksa pembukuan dan menghukum anak-
anak buahnya yang menjadi lemah akal selama
dalam pengepungan.
7
“Jadi lebih baik kubangun rumah bordil ketimbang
rumah Tuhan?” hardik Murjangkung.
8
Perumpamaan Dan ketika kau menemukan tempat setenang
kakusmu, kau bisa menarik napas panjang dan merasa
lega.
1
Mereka menikmati arak kampung Pecinan yang jika
dibubuhi kismis dan disimpan beberapa hari akan
berubah warnanya menjadi serupa anggur bangsa
Portugis.
2
“Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi tinggi sekali,”
kata Sang Pangeran setelah Murjangkung dan
beberapa pemabuk datang menemuinya di hari
pendaratan.
3
Ia mengusap cairan di dahinya dan mencium bau
bacin pada cairan itu dan, seperti mendapatkan
perintah langsung dari Tuhan, Tuan Mur seketika
5
menyerukan komando, “Tembakkan meriam!”
Personifikasi Mereka lalu mengikhlaskan nasib pada angin muson
yang mendorong kapal mereka menyusuri pantai
negeri-negeri timur dan memikat hati para penduduk
di tempat-tempat mereka singgah.
3
2. Cerpen Otobiografi Gloria
Perumpamaan Dulu, ia pernah berpacaran dengan penari balet,
seorang perempuan setinggi galah yang mampu
berdiri dengan satu ujung kaki dalam waktu beberapa
lama.
18
Kakekku mendekam saja di kamarnya, seperti
pertapa-pertapa yang mengubur diri dalam gua
menunggu mukjizat diturunkan.
19
Nenekku orang yang paling tahan di dalam keluarga
kami, kami tetap memelihara keinginannya untuk
punya cucu. Seperti seorang pengkhianat yang
memikul kutuk, sampai hari ini ia terus mendatangi
tempat-tempat keramat dan dukun-dukun dan ia
melakukannya sendirian karena kakekku tidak bisa
menemaninya.
22
3. Cerpen Dongeng Cinta yang Dungu
Perumpamaan Gadis itu merasakan kulit kepalanya seperti mau
mengelupas dan otaknya mengeras seketika.
25
Namun tentu saja Fira tidak sembarangan mengatakan
kepada atasannya itu agar jangan jatuh cinta
kepadanya. Itu akan tampak seperti lelucon dan ia
akan kelihatan seperti gadis tolol yang gampang
berprasangka.
26
Di udara terbuka, Fira menjadi seperti capung yang
mengambang di tempat dan melesat tiba-tiba, hinggap
28
dari dahan ke dahan dan piknik ke gumpal-gumpal
awan.
Tubuh itu sedang berbaring di tempat tidur,
bersebelahan dengan istrinya, seorang perempuan
dengan muka mengkilat dan alis seperti kawat yang
melengkung tipis sekali.
32
2. Cerpen Perempuan Dari Masa Lalu
Metafora Dua hari kemudian, dengan niat merebut kembali
kekasihnya, Seto melacak rumah perempuan itu sesuai
alamat yang diberikan kepadanya dan ia menemukan
sebuah rumah yang kelihatannya telah menjadi sarang
nasib buruk sepanjang waktu.
40
Lihatlah, ketika jauh dari rumahnya, ketika tak ada
manusia-manusia kelelawar yang merusak mata,
perempuan itu benar-benar kekasih yang
menggembirakan, baik di kehidupan lalu atau
sekarang.
42
Perumpamaan Dan, catatlah satu hal, mereka bertemu di halte,
sebuah tempat serupa dangau di kehidupan lalu.
38
Rambut mereka jarang dan bau tubuh mereka sesengit
bau gua-gua lembab di mana kekelawar bersarang dan
membuang tahi.
41
Personifikasi Pertanyaan itu menabraknya tanpa diduga. 43
3. Cerpen Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya
Metafora Seorang temanku pernah dibelit oleh lidah panjang
yang tinggal di pohon-pohon nangka.
48
Kadang-kadang aku ingin menyuruh ayahku berhenti
bercerita dan mengatakan bahwa orang-orang itu,
yang tampaknya senang mendengar ceritanya,
sesungguhnya suka meledek di belakang punggung.
50
Perumpamaan Setiap pagi kami seperti sekawanan burung yang
terbang gugup mencari tempat hinggap di kakus
umum. Kau harus mengantungi kerikil jika mulasmu
tidak tertahankan; dengan begitu sampah di perutmu
tidak akan bobol di jalanan. Ini seperti arak-arakan
yang menyedihkan. Aku tak ingin setiap pagi
mengikuti arak-arakan itu.
46
Kate-kate itu mengatakan bahwa mereka adalah
saudara tua, tapi tabiat mereka seperti saudara tiri
yang bengis dalam cerita-cerita mengharukan yang
pernah kudengar.
51
4. Cerpen Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri
Metafora Di rumah mayor itu Seto pernah datang sebagai juru
selamat; ia membebaskan seorang berandal tanggung,
anak si mayor, dari keroyokan para bajingan depan
losmen gara-gara urusan perempuan.
55
Selain menjadi anjing kampung seminggu sekali, ia
mencuci mobil Pak Mayor setiap pagi dan mengawal
si berandal setiap malam.
56
Lagi pula ini cerita tentang bagaimana cara si berandal
menjadi anak emas Pak Mayor.
56
Tentara setengah tua itu beberapa kali mendengar
ucapannya bahwa seorang lelaki, jika tidak menjadi
raja di rumahnya sendiri, niscaya akan menjadi setan
di jalanan.
57
Dari sini kau bisa tahu mengapa para pemburu gosip
mudah sekali mendapatkan mangsa.
60
Rahang Pak Mayor menegang. Ia ingin menampar
kutu busuk itu, tetapi tangannya tak bergerak.
62
Perumpamaan Pak Mayor hanya berlari setiap Minggu pagi dan Seto, 56
demi kesopanan, membuntutinya seperti anjing
kampung.
Si Mayor mengatakan sesuatu tetapi tak jelas dan ia
seperti buru-buru menelan kembali setiap kata yang ia
keluarkan.
59-60
Si Mayor merasa seperti keledai tua yang ditunggangi
pencoleng kecil tetapi ia tidak bisa apa-apa.
62
Suhartini seperti disulut dan tiba-tiba suhu
tengkuknya naik dan ia merasakan lagi dorongan
untuk mengamuk.
63
Pak Mayor duduk tegak dan waswas dan melipat
tangan, seperti murid sekolah menyembunyikan ujung
kuku hitamnya di hari Senin ketika guru berkeliling
dengan penggaris besar.
63
Personifikasi Sebab cinta memang cenderung memamerkan
dirinya sendiri, kadang di depan orang yang tidak
tepat.
60
5. Cerpen Teknik Mendapatkan Cinta Sejati
Metafora Sasi tak pernah sampai hati meninggalkan kakaknya
sendirian—beberapa kali Seto pingsan di kamar
mandi.
75-76
Perumpamaan Ketika bangun untuk kali kedua, dilihatnya si kerbau
masih duduk seperti duduk semula, seperti batu tua,
seperti kutukan dari masa prasejarah.
67-68
Sehari sebelumnya ia seperti hidup tanpa tulang. Pada
suatu pagi, ketika ia kencing, ia merasa lantai kamar
mandinya goyah dan debur jantungnya meracau dan
kepalanya seperti kesemutan.
68
Kau bisa mengatakan bahwa Sasi kini menjalani
hidup serupa perawan suci, dengan satu-satunya anak
76
lelaki yang usianya 14 tahun lebih tua darinya.
6. Cerpen Dua Perempuan di Satu Rumah
Metafora Ibu menjaga tertib di rumah kami dengan mulut yang
ribut.
78
Perumpamaan Dalam dua tahun terakhir hidupnya, ia tidak bisa
bicara dan tampak seperti cacing.
77
Ayahku orang baik dan ia bilang ibuku orang baik,
tetapi kadang mereka ribut juga—biasanya ibu
memulai: kenapa kau tidak menelepon? Kenapa
makan pagimu tadi seperti anak cacingan?
80
Di sana aku merasa seperti berada di dalam kepungan
kuku-kuku hantu.
81
Ayahku hampir setinggi ambang pintu dan kini ia
tampak seperti perempuan raksasa.
82
Personifikasi Aku sedang membaca puisi-puisi murungnya di
kamarku dan tidak bisa tidur hingga larut malam dan
merasakan desakan takdir untuk menuliskan cerita ini.
78
7. Cerpen Bukan Ciuman Pertama
Metafora Bahkan ada kemungkinan, ketika kau berhasil
menjadikan dirimu magnet uang, kau akan bisa
menyadap kepeng-kepeng yang sudah terpendam
berabad-abad di perut bumi.
90
Yang ada di tanganku sekarang ini adalah buku lain
yang mengajariku menjauhi kemurungan dan
kegelapan pikiran—keduanya adalah penyakit
menular.
92
Mereka berdua sudah main gila di belakangku. 96
Perumpamaan Kaca depan jendela penuh debu, juga meja plastik di
teras dan daun-daun tanaman dalam pot, dan istriku
sedang tiduran di ruang tamu ketika aku masuk
88
rumah—ia tampak seperti sudah berumur 38 atau 39
tahun meskipun sesungguhnya belum 34 tahun.
Seperti wabah, kata bab tiga, keberhasilan adalah
sesuatu yang menular. begitu juga pikiran gelap dan
kemurungan.
89
Buku semacam itu benar-benar seperti kaus lapuk
yang akan membuat pikiranmu adem.
90
Aku terus menunduk. Tetapi wajahnya, dengan
sebelah mata mengatup, seperti ada di lantai teras.
94
Aku merasa sudah menghindar. Mata kanannya
seperti mengapung di mana-mana.
95
Aku tak bisa menjawab. Mata kanannya seperti terus
melekat di pelupukku.
95
Ia dan orang itu seperti bayangan masing-masing di
cermin—yang satu mata kiri, yang satu mata kanan.
95
Personifikasi Buku-buku semacam itu tidak mengajarimu
keganasan.
90
Jadi kau tidak perlu berpayah-payah memburu ke
mana perginya uang; uang itu sendirilah yang akan
mengubermu tanpa kenal letih ke mana kau pergi.
90
Daging, tulang-belulang, dan penampilanku tetap
tidak bisa memikat segerombolan uang untuk
berebut datang kepadaku.
91
Memang pernah juga kubaca buku yang mengajariku
bahwa kita berbuat baik kepada orang-orang yang
tidak membalas kebaikan kita, maka alam yang akan
membalas kebaikan kita itu.
92
Tetapi sejak anak keempat itu lahir mirip dengannya,
adegan di pintu itu semakin mengangguku.
96
8. Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis
Metafora Fakta berikutnya, para penjual motivasi selalu
mengatakan kepadamu bahwa untuk menjadi ini dan
itu kau tidak memerlukan bakat.
97
Tetapi apa gunanya mempertahankan sumpah dan
tindakan terpuji jika gadis itu jatuh ke tangan duda
tua?
102
Dan keduanya, baik politisi maupun bandot sangatlah
mudah jatuh cinta, namun Alit tidak percaya bahwa
bidadarinya akan jatuh cinta pada bandot tua yang
mendekatinya.
104
Perumpamaan Kecantikan gadis itu bertahan di pelupuk mata Alit
hingga bertahun-tahun kemudian dan Alit yakin
bahwa kecantikan seperti halnya bakat, adalah
anugerah Tuhan
98
Selama pertunjukkan, yang berlangsung satu jam
namun terasa seperti bertahun-tahun, para prajurit
terus memasang tampang kaku seperti ketika mereka
sedang berbaris.
99
Lelaki itu menatap anak muda di depannya, seperti
memeriksa susunan tulang belulang rangkanya.
99
Alit percaya pada kata-katanya: ia pawang sakti dan,
kau tahu, tampangnya seperti setan.
100
Ia akan membuat awan-awan saling cakar seperti
anak-anak kucing atau melengok selucu banci.
100
Kau tahu, mereka seperti kaum usiran yang kembali
untuk merayakan kematian orang yang selama hidup
telah mencampakkan mereka.
101
Alit sudah hampir 32 saat itu dan pada hari Sabtu
sore ia melihat si gadis, usianya sudah hampir 21,
tampak seperti bidadari yang dijatuhi kutukan.
101-102
Personifikasi “Tidak sulit jika kau punya bakat,” kata orang tua itu,
suaranya menyusup dari celah-celah gusi yang
sudah gundul.
99
Maka penampilan kelima Alit adalah bertarung
menghadapi awan-awan yang datang menyesaki
pemakaman gurunya.
101
Pertarungan berlangsung alot dan Alit akhirnya
mampu mengusir barisan awan yang datang untuk
membenamkan jenazah si pawang tua.
101
Sungguh Tuhan telah memberinya bakat yang tidak
berguna, bakat yang tak mampu menarik hati gadis
pujaannya, bakat yang tak mampu menyelamatkan
gadis itu dari pesona si bandot
104
Cukup baginya menurunkan hujan lebat dua hari di
hulu sungai dan banjir akan menyapu kolong
jembatan dan menyeret pengemis utusan Tuhan ke
lautan. Cukup pula baginya jika banjir itu menghajar
bandot tua dan gadis pesulap yang sedang berbulan
madu.
105
9. Cerpen Kisah Batu Menangis
Metafora Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika
suatu saat burung penguinmu ditonton orang di
mana-mana dan dijadikan bahan ketawaan.
107
Dengan kegemaran menyelam yang tak terkendalikan
itu, suatu saat atraksi penguinmu bisa menjadi
tontonan banyak orang.
108
Perumpamaan Pada saat penguinnya menyelam, lelaki itu tetap
menampilkan paras muka seperti orang yang sedang
makan
111
“Apa sebenarnya salah saya?” tanyanya, seperti bayi 112
baru lahir yang dikutuk oleh nasib buruk pada hari
pertama ia dilahirkan, seperti orang suci yang
dihukum karena mengajarkan kebenaran.
Istriku terus mencaci. Aku seperti tenggelam dalam
pusaran yang keruh dan membuatku sulit bernapas.
113
Sudah saatnya aku memikirkan ketenteraman seperti
resi-resi zaman dulu, menghabiskan air mata di tempat
sunyi.
116
Mungkin aku tertidur 300 tahun seperti orang-orang
dari cerita lama.
116
Personifikasi Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah
batu yang menangis. Ia mungkin menyampaikan
cerita agar kau lebih berhati-hati.
107
10. Cerpen Seorang Utusan Memotong Telinga Raja Jawa
Perumpamaan Nenekku batuk-batuk dan bertingkah seperti orang
ngidam; ia minta dibelikan mangga matang pohon.
118
Aku benci nama kampungnya; ia seperti memberi
perasaan tidak enak yang aku sendiri susah
menjelaskannya.
118
Ia menyambutku seperti orang yang hidup lagi
sehabis mati dan kami bercakap-cakap hingga dini
hari. Ia tampak seperti orang mengigau.
122
Personifikasi Ia menyarankan aku agar segera meninggalkan tanah
Jawa. Sebab, katanya, tempat ini memberikan
kenangan buruk kepadaku dan mungkin ada
dorongan dalam diriku untuk selalu membenci orang
Jawa—sebuah dorongan yang lahir begitu saja karena
pengalaman buruk di kehidupan masa laluku.
121
Semarang tidak memberiku pacar yang memuaskan
dan penghasilan yang baik tetapi aku tidak bisa
123
meninggalkannya.
Namun aku sudah lama sekali berada di kota ini dan
langit malam tidak kunjung menurunkan kepadaku
mukjizat itu.
125
Aku merasakan hawa dingin merambat naik dari
bokong ke kepala dan membekukan otakku.
126
Daun telinga lebih gampang dan itu pun lumayan
untuk mengobati rasa pedih berabad-abad
126
13.Lelaki Beristri Batu
Metafora Sampai sekarang aku terus mengunci mulutku, meski
aku tak akan berkeberatan menyampaikan, jika ada
yang bertanya, apa yang telah terjadi pada suatu siang
ketika pengkhianat itu datang lagi menemuinya.
129
Dan ia menelan bulat-bulat sanjungan itu 131
Perumpamaan Sebuah klise, kau tahu, tetapi terdengar seperti
nyanyian top hit di telinganya.
131
Di waktu-waktu lain, ia menciptakan adegan
setampan kartu pos.
132
Hati yang seperti lempung tak pernah mampu
menyangga kepala agar tetap mendongak.
136
Mereka hidup seperti itu selamanya, sampai lelaki itu
mati pada usia lima puluh dua, tetapi kelihatan sudah
sangat renta dan seperti orang yang mati pada usia
enam puluh sembilan
136
Personifikasi Aku tahu bagaimana pengkhianat itu datang
kepadanya dengan langkah tersendat dan aku tahu
ketika itu angin mengantarkan debu-debu dan bau
kandang ke teras rumah.
129
Ia pun tidak akan tergerak untuk menolong jika hari
itu sebuah mobil angkutan umum, yang jalannya
130
selalu pecicilan, menyerempet orang itu dan
membuatnya terlempar ke got dengan tulang patah-
patah.
“Bayangkanlah hasil akhir,” nasihat itu tak pernah ia
baca pada sebuah buku yang mengabarkan keajaiban
demi keajaiban di tiap lembar halamannya.
132
Maka ia menjadi pemabuk yang menuangkan alkohol
ke kerongkongannya tiap hari dan membiarkan
alkohol itu mengobati luka hatinya.
135
Hari sebelumnya kursi tua di teras rumahnya
berkhianat.
135
14. Cerpen Efek Sayap Kupu-kupu
Metafora Kurasa efek kupu-kupu bekerja juga pada peristiwa
dini hari itu.
140
Germo yang dibacanya itu—wartawan menyebutnya
AMB—mengelola dan memasarkan sembilan bunga
seruni di mal tempat ia ditangkap.
140
Namun wartawan kriminal itu tetap bisa menulis
berita dengan baik sekalipun tak berhasil menemui
kunci-kunci peristiwa.
141
Perumpamaan Semuanya ranum dan pas “susunya” seperti bunyi
sebuah iklan.
140
Si polisi, dengan kepekaannya pada detail, menerima
kartu wartawan yang disodorkan dan membolak-
baliknya beberapa kali seperti sedang menggangsir
sebuah rahasia yang disembunyikan.
141
Dunia yang sempit, kau tahu, hanya akan membawa
seorang berkisar di antara orang-orang yang itu-itu
juga. Dan itu membuat kehidupan kadang terasa
sebagai sebuah telenovela, dengan persoalan yang
143
silang susup di situ-situ juga, atau seperti film India.
Sampai mereka berpisah, Alit masih melihat bekas
luka di bawah rambut tipis adiknya karena pukulan
centong nasi, seperti bekas luka di kepala
Sangkuriang.
143
Personifikasi Pertanyaan ini meloncat dari pikiran Edward Lopez,
si peramal cuaca yang tekun melakukan percobaan,
pada tahun 1960.
139
15. Cerpen Ibu Tiri Bergigi Emas
Metafora Lima masih sebesar kutu dan tiga sudah menjadi
kucing liar
154
Ia menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta dan
pulang setahun sekali setiap lebaran, membawa
selusin pakaian baru, memamerkan bahasa Jawa yang
tersendat-sendat dan lebih senang menggunakan
bahasa Jakarta yang kocar-kacir di ujung lidahnya.
154
Sesuatu yang mencemaskan terjadi ketika bayi
keempat memasuki usia tiga bulan dalam kandungan.
Matahari dimakan raksasa.
155
Perumpamaan Punggungnya merosot di sandaran kursi dan ia seperti
sudah duduk di sana beberapa waktu sebelum wahyu
pertama diturunkan.
151
Di kampung baru mereka, anak-anak tetangga tumbuh
seperti kutu: kecil-kecil dan jumlahnya banyak sekali.
[…] Lima masih sebesar kutu dan tiga sudah menjadi
kucing liar.
154
Mayat-mayat itu seperti hujan deras yang jatuh dari
langit, tercampak di selokan, nyelip di sela alang-
alang, atau tercabik-cabik di ujung gang.
155
Personifikasi Di musim hujan, air jatuh dari langit dan tak lari ke 154
mana-mana.
Ia merasakan air mata yang merambat pelan-pelan di
pipinya.
157
Alit melihat tas ibunya menggembung dan air
matanya makin deras melihat tas itu menelan semua
pakaian ibunya.
157
16. Cerpen Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan
Metafora Ia berkali-kali banting setir membawa pembicaraan
ke hal-hal yang tidak saling berhubungan.
169
Perumpamaan Malamnya kudengar kabar tentang air laut yang
tumpah ke daratan; sederas ketuban yang pecah dari
rahim perempuan.
162
Seperti gabus yang menari-nari di pucuk-pucuk
gelombang, ia akhirnya terseret ke sebuah pantai dan
menonjok dagu orang pertama yang
menggendongnya.
163
Langit gelap, sehingga memang tampak seperti hari
Minggu yang tidak cerah.
167
Ibu datang dari barat ketika matahari sudah sangat
rendah. Seperti di film-film yang kau tonton, ia
berjalan dengan latar belakang warna jingga.
169-170
Personifikasi Ketuban yang pecah di kamar bersalin
mengabarkan awal kehidupan, sedangkan air laut
mengirimkan bau kematian.
162
Ia mendadak saja mengirimkan gelombang besar
yang menyapu tanah kelahiranku.
162
Ia hanya ingin mempertahankan sebuah wilayah agar
tidak lepas, kadang dengan rundingan, sering dengan
peluru, namun lalai bahwa air laut suatu ketika bisa
mengamuk dan menyapu tanah yang diperbutkan.
164-165
“Ikan-ikan mengecoh semua orang ketika laut
susut,’ kata Farida. “Mereka menggelepar-gelepar
menggoda kami dan bersekongkol dengan takdir
untuk menarik kami sampai jauh sekali ke tepi air.
171
Anakku lahir pada hari Minggu saat air laut melumat
tanah kelahiranku.
173
17. Cerpen Malam Saweran
Metafora Kau tak perlu mengelak. Tak perlu berdalih. Tak perlu
berpanjang lidah.”
177
Ketika lelaki menjadi binatang pengerat, setiap orang
menyalahkan istrinya.
183
Perumpamaan Dan gadis itu, dalam gerak yang seperti melamun,
selalu kubawa ke mana pun aku pergi dan aku
menggandeng tangannya ketika kami melintas di
antara teman-teman.
182
Ketika anak itu delapan tahun, istriku seperti orang
bangun tidur dan ia tidak melamun lagi; ia berubah
menjadi seorang penuduh dan mulai bicara bukti-
bukti.
183
Personifikasi “Apa lagi yang hendak kau katakan?” itu satu contoh
bagaimana ia menyalak. “Bukti-bukti sudah bicara.
176
Kau tahu, pencerahan memang tak terjadi seketika; ia
merambat pelan-pelan ke batok kepala seperti
serangga sampai akhirnya kau menyadari bahwa kau
tidak perlu menjadi eksentrik untuk merebut seorang
perempuan dari lelaki yang dipacarinya.
179-180
Seluruh dunia kurasa memanjatkan puji syukur
karena gadis cantik itu akhirnya mencampakkan lelaki
yang cuma pas-pasan.
180
18. Cerpen Cerita Untuk Anak-anakmu
Metafora Seusai pemilihan umum, setelah beberapa orang yang
mengurusi penyelenggaraan pemilihan itu digiring ke
sel-sel penjara, perempuan itu mendapatkan jodoh di
hari berikut—seorang anggota DPR yang baru
memenangi jatah kursi jatuh hati kepadanya.
187-188
Ia tidak menyeruduk suaminya dengan semua rinci
tentang apa saja yang membuatnya mengibarkan
bendera putih hanya dalam tempo enam bulan
pernikahan.
189
Perumpamaan Maksudku, jika ia diam ia akan tampak seperti
mahasiswa teladan, jika ia bergoyang kau akan
sepakat bahwa ia sesegar penari di sirkus-sirkus
oriental; ia mampu meliukkan pinggulnya dengan
getar yang meringkus nyali para istri setengah baya
dan mengundang simpati para suami setengah buaya.
187
Parasnya menjadi mulus dan ia tampak seperti
pangeran yang baru lepas dari cengkraman sihir.
193
19. Cerpen Kuda
Metafora Alit berharap nyala korek api membakar bibir empal
lelaki itu. Dan kemudian lelaki itu marah lalu
menghantamkan apa saja yang dipegangnya ke paras
para penjilat yang menyertainya.
196
Lalu perempuan itu muncul, mengenakan gaun yang
terbuka hingga ke bagian lembah kedua gunungnya,
dan ia merangkul lelaki itu.
196
Perempuan itu tampaknya bangga dengan gunung-
gunung yang menjulang di dadanya, dan ia suka sekali
menggeser-geserkan puncak gunungnya ke lengan
atau punggung si lelaki kaya, dan jari-jarinya terus
memijit bahu lelaki itu.
197
Ia lari darimu dan menusuk punggungmu justru pada 198
saat kau bangkrut dan tak berdaya.
Lelaki yang bangkrut, kau tahu, sering membangun
dunia yang muram.
198
Perempuan itu mengikik dan membekap mulut lelaki
ingusan yang baru sekali itu bertemu dengannya.
200
Perumpamaan Perempuan itu beringsut, merapatkan dirinya, seperti
kucing menggesekkan bulu-bulunya ke kaki majikan.
195
Angin dari baling-baling ruangan seperti
menghembuskan panas yang menyiksa.
198
Dorongan yang saling bertentangan itu membuat kaki-
kakinya mengeras dan hawa dingin terasa menjalar
dari kakinya, merambati tulang belakangnya, dan ia
merasakan kaki-kakinya seperti batang besi yang
berkarat, kaku dan ngilu.
199
Personifikasi Alit merasa bahwa rumah judi itu tidak
menyenangkan ketika malam kian larut.
196
Situasi peperangan merambat pelan-pelan di
ruangan, merambat di dada yang sesak.
197
Lukisan jelek yang konon bisa mendatangkan rezeki
berlimpah di ruangan itu. Ia merasakan semak-semak
tumbuh di dadanya, ia merasakan rumput-rumput liar
dan tanaman berduri menyakiti jantungnya.
197
Alit merasakan tarian serigala di pelupuk matanya,
mungkin tarian para jahanam yang mengejeknya.
198
20.Cerpan Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar
Metafora Kau tahu, ia tidak menyiapkan sarung taji pengaman. 204
Perumpamaan Dua tahun sebelum si pemimpin dilahirkan, seseorang
melintasi pekarangan dalam gerak mengambang,
seperti hantu atau orang yang kelelahan.
203
Umurnya paling banter 26 tahun, namun, dengan 203
pakaian amat tua, ia seperti datang dari masa silam.
Suaranya murung, seperti gerimis yang gagal menjadi
hujan.
203
Usia lelaki itu 40 tahunan, seusia dengan pakaian
yang dikenakan perempuan pengetuk pintu.
204
Kelak kau akan tahu bahwa pembantu lama itu
sebetulnya berniat kembali, tetapi ia seperti lupa jalan.
204
Majikan perempuan selalu bernada tinggi, seperti
memerintah, bahkan pada saat ia tidak menyebut-
nyebut iblis dalam pembicaraannya.
205
Ia tetap orisinil: melengking dan memerintah dan
bicara kepada suami seperti seorang pelatih kepada
anak asuhannya.
205
Perempuan itu mendekap foto seperti mendekap anak
yang tak pernah menjadi miliknya.
207
Sekarang, pada usia 40-an, lelaki itu tampak seperti
orang yang selalu merenung. Tepatnya, ia selalu
seperti sedang memikirkan sesuatu yang membuat
wajahnya tampak murung.
207
Rambut lelaki itu, kautahu, terlalu cepat beruban. Itu
seperti rambut ayahnya, majikan lama yang
meninggal tiga tahun lalu, yang dulu mengetuk pintu
kamarnya pada malam kedua istrinya dirawat di
rumah sakit.
207-208
Personifikasi Dan ia menyukai lagu-lagu nostalgia, yakni jenis lagu
yang tidak pernah bisa menyingkirkan kemurungan
pada wajahnya.
207
Nyala lilin menaikkan birahi. Lelaki itu tampak
menggigil dalam cahaya lilin dan burung puter di
teras memperdengarkan suara dengkurnya yang
210
menyedihkan—suara yang memanggil hantu-hantu
datang.
Perempuan itu merasakan pikirannya lumpuh sesaat. 211
Lampiran 3
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NAMA SEKOLAH SMA.......................
MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER X (sepuluh) / 1 (ganjil)
ASPEK PEMBELAJARAN Membaca
STANDAR KOMPETENSI Memahami wacana sastra melalui kegiatan
membaca puisi dan cerpen
KOMPETENSI DASAR Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik dengan
kehidupan sehari-hari
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Mampu mengidentifikasi unsur-
unsur intrinsik (tema, penokohan,
gaya bahasa, amanat) dari cerita
pendek yang telah dibaca.
Mampu mengaitkan unsur intrinsik
(tema, penokohan, gaya bahasa,
amanat) dengan kehidupan sehari-
hari.
Kreatif
Bersahabat/
komunikatif
Gemar membaca
Tekun
Tanggung jawab
Rasa hormat dan
perhatian
Keorisinilan
Kepemimpinan
ALOKASI WAKTU 4 x 45 menit (2 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik (tema, penokohan,
gaya bahasa, amanat) dari cerita pendek yang telah dibaca.
Mampu mengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, gaya bahasa,
amanat) dengan kehidupan sehari-hari..
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN Pengertian cerpen
Unsur-unsur intrinsik dalam cerpen
Cara menentukan unsur-unsur intrinsik (tema, penokohan, gaya
bahasa, amanat) serta implementasinya dengan kehidupan sehari-hari
METODE PEMBELAJARAN
Tanya jawab
Ceramah
Diskusi kelompok
CTL (Contextual Teaching and Learning)
Penugasan dan resitasi
SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk SMA/MA kelas X karya Sri
Utami, dkk., terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional tahun 2008 halaman 51-56.
Kumpulan cerpen Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-
Hantu karya AS Laksana terbitan gagasMedia tahun 2013.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra karya Aminuddin terbitan
Sinar Baru tahun 1988.
Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah karya Mursal Esten
terbitan Angkasa tahun 2000.
Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, terbitan
Grasindo tahun 2008.
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan
Gajah Mada University Press tahun 2013.
Pengajaran Gaya Bahasa karya Henry Guntur Tarigan terbitan
Angkasa tahun 1985.
Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf terbitan Gramedia
Pustaka Utama tahun 2010.
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA ALOKASI
WAKTU
Pertemuan ke 1
PEMBUKA
Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru memberikan
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah
pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
10 menit
INTI Eksplorasi
Guru membuka schemata
peserta didik mengenai
materi cerpen yang akan
menjadi fokus
pembahasan:
Masih ingatkah
kalian dengan tugas
sebelumnya yakni
membaca cerpen
Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut
karya AS Laksana?
“Apa yang terlintas di
Peserta didik diharapkan
menjawab dengan
antusias.
Peserta didik menyimak
penjelasan dari guru.
Peserta didik mencatat
hal-hal penting dari
penjelasan guru mengenai
beberapa unsur intrinsik
yaitu tema, penokohan,
gaya bahasa, dan amanat
cerita yang akan menjadi
fokus pembahasan.
Peserta didik membentuk
kelompok diskusi dengan
15 menit
pikiran kalian ketika
mendengar kata
Murjangkung?”
“Kalau Murjangkung
adalah seorang tokoh,
kira-kira bagaimana
gambaran karakter
atau ciri khas
fisiknya?
“Kira-kira seperti apa
cerita yang ada dalam
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut
karya AS Laksana
ini?
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
peserta didik.
Guru menjelaskan secara
lebih mendetail beberapa
unsur-unsur intrinsik
yaitu tema, penokohan,
gaya bahasa, dan amanat
cerita yang akan menjadi
fokus pembahasan.
Guru memfasilitasi
peserta didik untuk
membentuk kelompok
diskusi dengan memilih
potongan kertas berwarna
dan bernomor.
Elaborasi
Guru membantu peserta
didik untuk
mengelaborasi informasi
yang didapat dengan
memberi tugas secara
berkelompok:
untuk menjelaskan
unsur intrinsik (tema,
penokohan, gaya
bahasa, amanat) pada
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana yang telah
mengambil potongan
kertas berwarna dan
bernomor.
Tiap kelompok
diharapkan fokus dalam
berdiskusi dan
memastikan anggota
kelompok dapat
mengerjakan tugas yang
diberikan:
menjelaskan unsur
intrinsik (tema,
penokohan, gaya
bahasa, amanat) pada
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
40 menit
dibaca dengan bukti
kutipan yang
meyakinkan.
untuk mengidentifikasi
keterkaitan antar unsur
intrinsik (tema,
penokohan, gaya
bahasa, amanat) pada
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana yang telah
dibaca.
Guru memberitahu waktu
pengerjaan tugas
kelompok dan
mengingatkan agar tepat
waktu dalam
menyelesaikannya.
Konfirmasi
Guru menanyakan kepada
tiap kelompok kendala
apa saja yang didapat saat
proses penyelesaian
tugas.
AS Laksana yang
telah dibaca dengan
bukti kutipan yang
meyakinkan.
mengidentifikasi
keterkaitan antar unsur
intrinsik (tema,
penokohan, gaya
bahasa, amanat) pada
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana yang
telah dibaca.
Tiap kelompok dapat
mengatur proses
penyelesaian tugas
dengan tepat waktu.
Tiap kelompok
mengemukakan kendala
yang didapat saat proses
penyelesaian tugas.
10 menit
PENUTUP
Guru menyimpulkan hasil
pembelajaran dan
mengingatkan tugas untuk
pertemuan selanjutnya
yakni mempresentasikan
hasil diskusi.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
simpulan hasil
pembelajaran dan
informasi tugas untuk
pertemuan selanjutnya.
Peserta didik berdoa.
10 menit
Pertemuan ke 2
PEMBUKA Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru memberikan
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah
pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
10 menit
INTI
Eksplorasi
Guru membuka schemata
peserta didik mengenai
pelajaran sebelumnya
dengan memberi
pertanyaan:
“Masih ingatkah kalian
dengan pelajaran
sebelumnya tentang
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana?”
“Unsur-unsur apa saja
yang kalian temukan
dalam cerpen tersebut?”
“Cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana bertemakan
apa? Bagaimana cara
menentukan tema dalam
sebuah cerpen?”
“Masih ingatkah kalian
dengan karakter tokoh
Murjangkung?
Bagaimana cara
menentukan tokoh dan
penokohan dalam
sebuah cerpen?”
“Menarikkah gaya
Peserta didik diharapkan
menjawab dengan
antusias.
Peserta didik diharapkan
menyimak penjelasan
dari guru.
10 menit
bahasa yang digunakan
pengarang dalam cerpen
Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana?
Bagaimana cara
menentukan gaya
bahasa dalam sebuah
cerpen?”
“Seperti apa pesan atau
pelajaran yang bisa
kalian ambil dalam
cerpen Bagaimana
Murjangkung
Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya
AS Laksana? Dan
bagaimana cara
menentukan amanat
dalam sebuah cerpen?”
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
peserta didik.
Elaborasi
Guru meminta peserta
didik untuk berkumpul
dengan kelompok yang
telah ditentukan pada
minggu sebelumnya.
Guru memanggil salah satu
nomor peserta didik di
setiap kelompok.
Guru memberikan nilai,
ulasan dan tanggapan atas
setiap hasil presentasi
kelompok.
Konfirmasi
Guru meminta peseta didik
mengungkapkan manfaat
yang dapat diambil dari
pembelajaran hari ini.
Peserta didik berkumpul
dengan kelompok
masing-masing.
Secara bergantian, nomor
yang dipanggil
melaporkan hasil
diskusinya.
Kelompok lain diberi
kesempatan untuk
memberikan tanggapan.
Peserta didik
mengungkapkan manfaat
yang dapat diambil dari
pembelajaran hari ini
dengan aktif.
40 menit
10 menit
PENUTUP
Guru memberikan “Kuis
Uji Kecocokan” untuk
mengukur pemahaman
mengenai konsep-konsep
Peserta didik menjawab
“Kuis Uji Kecocokan”
untuk mengukur
pemahaman mengenai
10 menit
yang telah dipelajari.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
konsep-konsep yang telah
dipelajari.
Peserta didik berdoa.
PENILAIAN
TEKNIK
DAN
BENTUK
Tugas:
Peserta didik diminta membaca cerpen Bagaimana Murjangkung
Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut karya AS Laksana dua minggu
sebelum materi pembelajaran.
Peserta didik diminta berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik (tema,
penokohan, gaya bahasa, amanat) pada cerpen Bagaimana Murjangkung
Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut karya AS Laksana
Secara kelompok peserta didik diminta untuk mengidentifikasi dan
menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (tema, penokohan, gaya bahasa,
amanat) pada cerpen Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan
Mati Sakit Perut karya AS Laksana serta implementasinya dengan
kehidupan sehari-hari.
Observasi kinerja/Demontrasi:
Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian.
Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap hasil presentasi
kelompok.
Tes tulis:
Peserta didik menjawab “Kuis Uji Kecocokan” untuk mengukur
pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.
Jakarta, 25 Mei 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
........................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
Uraian Materi
A. Hakikat Cerpen
1. Pengertian Cerpen
Cerpen termasuk ke dalam prosa fiksi. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah
kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan,
latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi
pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.1
Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi,
berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu
kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe dalam
1 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 66.
Nurgiyantoro berpendapat bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca
dalam sekali duduk, kira-kira berkisar dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin
dilakukan sebuah novel.2
2. Unsur Intrinsik Cerpen
Mengidentifikasi tema, penokohan, gaya bahasa dan amanat dalam cerpen
yang dibaca:
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari cerita.3 Menurut Esten, tema adalah sesuatu
yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang. Tema
merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra.4 Mengutip
pendapat Aminuddin dalam Siswanto tentang pengertian tema yakni:
Seorang pengarang memahami cerita yang akan dipaparkan sebelum
melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat
memahami tema bila mereka telah selesai memahami tema bila mereka telah
selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut,
menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan
dengan tujuan penciptaan pengarangnya.5
Dengan demikian, tema menjiwai seluruh bagian cerita. Dalam menentukan
tema, harus menyimpulkan keseluruhan cerita sehingga menghasilkan gagasan yang
menopang sebuah cerita.
b. Tokoh dan penokohan
Tokoh cerita (character) menurut Abrams dalam Nurgiyantoro adalah orang-
orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakannya.6 Sedangkan
dalam Siswanto, Sukada dan Aminuddin menyebutkan bahwa tokoh adalah pelaku
yang mengemban peristiwa dalam prosa rekaan, sehingga peristiwa tersebut menjalin
suatu cerita. Sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.7
Tokoh dan penokohan merupakan unsur intrinsik yang saling terikat. Keduanya
saling berkaitan dan kehadirannya menjadi penting dalam sebuah prosa naratif.
Dalam penokohan, dikenal dua cara atau metode yang digunakan pengarang
untuk menggambarkan tokoh cerita yaitu:8
1) Metode diskursif atau metode analitik
Metode pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberi deskripsi,
uraian, atau penjelasan secara langsung.
2) Metode dramatis atau metode tidak langsung
2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 10. 3 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161..
4 Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung; Angkasa, 2000),
cet. ke-3, h. 20. 5 Siswanto, op. cit., h. 161.
6 Nurgiyantoro, op. cit., h. 165.
7 Siswanto, op. cit., h. 142.
8 Nurgiyantoro, op. cit., h. 194.
Metode pelukisan tokoh cerita dilakukan secara tak langsung yakni dengan
beberapa teknik antara lain: (a) teknik cakapan, (b) teknik tingkah laku, (c) teknik
pikiran dan perasaan, (d) teknik arus kesadaran, (e) teknik reaksi tokoh, (f) teknik
reaksi tokoh lain, (g) teknik pelukisan latar, dan (h) teknik pelukisan fisik.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan), tokoh
komplementer (tambahan). Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, dapat
dibedakan atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Dilihat dari watak yang dimiliki oleh
tokoh, dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis.9
c. Gaya Bahasa
Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah serta harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.10
Stile, (style, gaya bahasa), adalah
cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai dengan ciri-ciri
formal kebahasaan seperti pilihan kata, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan
kohesi dan lain-lain.11
Jika dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.12
Gaya bahasa memungkinkan seseorang dapat menilai pribadi, watak, dan
kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gayanya,
semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa
seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.
Tarigan, membagi jenis gaya bahasa menjadi empat macam, yaitu (1) gaya
bahasa perbandingan yang meliputi perumpamaan, metafora, personifikasi,
depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme atau tautologi, perifrasis, antisipasi atau
prolepsis, dan koreksio atau epanortosis; (2) gaya bahasa pertentangan yang meliputi
hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma dan silepsis,
satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau
inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, serta sarkasme;
3) gaya bahasa pertautan yang meliputi metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme,
eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelism, elipsis, gradasi, asindeton, serta
polisindeton, dan 4) gaya bahasa perulangan yang meliputi aliterasi, asonansi,
antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis,
epanalepsis, serta anadiplosis.13
d. Amanat
Amanat adalah gagasan yang melandasi karya sastra; pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.14
Pesan yang terkandung
dalam karya sastra mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
biasanya tertuang secara tersirat.
9 Siswanto, op. cit., h. 143.
10 Aminuddin, op. cit., h. 72.
11 Nurgiyantoro, op. cit., h. 276.
12 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.
113. 13
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6. 14
Nurgiyantoro, op.cit., h. 162.
Lembar Kerja Siswa
(LKS)
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Analisislah unsur tema, tokoh dan penokohan, gaya bahasa, dan amanat dari cerpen
Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut Karya AS Laksana:
No. Unsur
Intrinsik Jawaban Bukti
1.
2.
3.
4.
Tema
Tokoh dan
penokohan
Gaya Bahasa
Amanat
Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS)
No. Unsur
Intrinsik Jawaban Bukti
1.
2.
Tema
Tokoh dan
penokohan
a)
Murjangkung
Penjajahan yang dilakukan
seorang penguasa hingga ia bisa
mendirikan sebuah kota
pemerintahan di tanah
jajahannya.
Pengarang menggambarkan
tokoh utama sebagai pemimpin
pendaratan yang dijuluki
raksasa berkulit bayi.
Tuan Murjangkung
digambarkan sebagai pengrajin
perak yang bangkrut. Tokoh ini
bertabiat kaku dan taat
beribadah, sehingga ia
dipercaya memimpin pelayaran
Mereka datang 243 tahun sebelum
negeri mereka menemukan kakus.
Mula-mula mereka singgah untuk
mengisi air minum dan membeli arak
dari kampung Pecinan di tepi barat
sungai; lima tahun kemudian mereka
kembali merapatkan kapal mereka ke
pantai dan menetap di sana
seterusnya. Tuan Murjangkung,
raksasa berkulit bayi yang memimpin
pendaratan, membeli dari Sang
Pangeran tanah enam ribu meter
persegi di tepi timur sungai. (h. 2)
Tuan Murjangkung, raksasa berkulit
bayi yang memimpin pendaratan,
membeli dari Sang Pangeran tanah
enam ribu meter persegi di tepi timur
sungai. (AS Laksana, h. 2)
Murjangkung sendiri adalah pengrajin
perak yang jatuh melarat sebelum
usianya tua. Karena bertabiat kaku
dan taat ke gereja, ia dipercaya
maskapai untuk memimpin pelayaran
yang diawaki oleh para saudagar
b) Pangeran
para saudagar yang bangkrut di
negeri mereka dan berlayar ke
negeri seberang.
Pengarang menggambarkan
Murjangkung sebagai sosok
pemimpin yang seram dan tidak
selucu julukannya “raksasa
berkulit bayi”.
Pengarang juga
menggambarkan sosok
pemimpin yang berusaha
memenuhi segala kebutuhan
rakyatnya, baik kebutuhan
rohani maupun biologis.
Pangeran digambarkan sebagai
penguasa tanah dan rawa-rawa
serta penduduk yang tinggal di
atas tanah dan rawa-rawa itu.
Pangeran digambarkan tidak
takut kepada siapa pun.
Pangeran juga digambarkan
pengarang sebagai sosok
penguasa yang selalu
meremehkan orang lain.
Pangeran juga digambarkan
sebagai tokoh tambahan yang
licik, yang selalu memancing
keributan dengan tokoh utama.
putus asa itu. (AS Laksana, h. 3)
“Kau membuatku kesal,” kata
Murjangkung. Dan dia mengarahkan
pucuk-pucuk meriamnya ke istana
kayu Sang Pangeran. (AS Laksana, h.
4)
“Mereka kesepian, Tuan Mur,” kata
salah seorang anak buahnya.
“Aku tahu,” kata Murjangkung.
“Karena itulah kuhadirkan Tuhan bagi
mereka.”
“Mereka menghendaki perempuan.”
“Jadi lebih baik kubangun rumah
bordil ketimbang rumah Tuhan?”
hardik Murjangkung. (AS Laksana, h.
8)
Sang pangerang—penguasa tanah luas
dan rawa-rawa dan nyawa beberapa
ribu penduduk yang tinggal di atas
tanah dan rawa-rawa itu—sungguh
tidak menyimpan gentar secuil pun
terhadap Murjangkung dan para
pemabuk yang mengiringinyaa. (AS
Laksana, h. 3)
“Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi
tinggi sekali,” kata Sang Pangeran
setelah Murjangkung dan beberapa
pemabuk datang menemuinya di hari
pendaratan. Beberapa orang
kepercayaan Sang Pangeran
mengingatkan agar ia berhati-hati
menghadapi rombongan itu, tetapi
Sang Pangeran tertawa. “Tak perlu
khawatir terhadap bayi-bayi itu,”
katanya. “Kulit mereka saja masih
merah.” (AS Laksana, h. 3)
Maka, ia dan Murjangkung membuat
pemufakatan yang berjalan mulus
pada mulanya dan memancing
keributan pada tahun berikutnya.
“Aku sudah membeli tanah ini dan
tidak perlu membayar apa-apa lagi
kepadamu,” kata Murjangkung.
3.
Gaya Bahasa
Metafora
Ungkapan “raksasa berkulit
bayi” dengan gaya metaforis
pada data di atas merupakan
pelukisan tokoh Murjangkung
sebagai pemimpin pendaratan
yang berbadan tinggi dan besar
namun kulitnya merah seperti
kulit bayi.
Dalam ungkapan “raksasa
berkulit bayi” terdapat unsur
“ejekan” yang dilekatkan pada
tokoh Tuan Murjangkung. Jika
dilihat, dalam metafora tersebut
pengarang terkesan
memutarbalikkan karakter
pemimpin yang seram, yang
bertujuan untuk diparodikan
sehingga terasa ada kesan lucu
dan satir bagi pembaca.
Pada data tersebut, metafor
“anak buah” digunakan untuk
melukiskan anggota kelompok
yang berada di bawah seorang
pemimpin dan “lemah akal”
digunakan untuk melukiskan
kondisi dimana seseorang
terganggu pertumbuhan daya
pikirnya.
Pada data di atas, metafor “anak
buah” digunakan untuk
melukiskan anggota kelompok
yang berada di bawah seorang
pemimpin dan “lemah akal”
digunakan untuk melukiskan
kondisi dimana seseorang
terganggu pertumbuhan daya
pikirnya.
Metafor ini masih berkaitan
dengan penggambaran tokoh, di
Sang pangeran tidak senang. “AKu
hanya menyewakan tanah ini,’
balasnya. “Sekarang kau harus
membayar lagi uang sewanya untuk
setahun mendatang atau
kuperintahkan orang-orangku untuk
membongkar rumah gedongmu.” (AS
Laksana, h. 4)
Tuan Murjangkung, raksasa berkulit
bayi yang memimpin pendaratan
membeli dari Sang Pangeran tanah
enam ribu meter persegi di tepi timur
sungai. (AS Laksana, h. 2)
Setelah memenangi pertempuran,
Murjangkung segera memeriksa
pembukuan dan menghukum anak-
anak buahnya yang menjadi lemah
akal selama dalam pengepungan. (AS
Laksana, h. 7)
Perumpamaan
mana tokoh Murjangkung yang
digambarkan sebagai “raksasa
berkulit bayi” namun pada
kenyataannya memiliki pasukan
yang lemah akal, sehingga
kesan yang ditimbulkan bagi
pembaca adalah rasa miris
terhadap kenyataan tersebut.
Metafor “rumah bordil”
diartikan sebagai rumah
pelacuran sedangkan “rumah
Tuhan” diartikan sebagi gereja
atau tempat ibadah.
Makna yang terkandung dalam
gaya metafora tersebut dapat
diartikan sebagai upaya seorang
pemimpin yang berusaha
memberikan solusi terhadap
masalah anak buah (rakyatnya),
yakni dengan memenuhi
kebutuhan rohani mereka,
namun yang terjadi sebaliknya,
yang mereka butuhkan justru
kebutuhan biologis.
Kata setenang pada data
tersebut digunakan untuk
mendeskripsikan ketenangan
sebuah tempat.
Makna tersirat dari gaya
perumpamaan tersebut dapat
diartikan sebagai sebuah upaya
yang bisa dilakukan jika
seseorang mungkin
membutuhkan ketenangan
ketika hendak membaca sebuah
cerita. Tenang dalam konteks
ini menyangkut ketenangan
dalam pikiran maupun suasana.
Perumpamaan pada data
tersebut menggunakan kata
“serupa” yang menunjukkan
bahwa warna arak kampung
Pecinan disamakan dengan
anggur bangsa Portugis.
Makna yang terdapat dalam
gaya perumpamaan tersebut
bermaksud menggambarkan
“Jadi lebih baik kubangun rumah
bordil ketimbang rumah Tuhan?”
hardik Murjangkung. (AS Laksana, h.
8)
Dan ketika kau menemukan tempat
setenang kakusmu, kau bisa menarik
napas panjang dan merasa lega. (AS
Laksana, h. 1)
Mereka menikmati arak kampung
Pecinan yang jika dibubuhi kismis
dan disimpan beberapa hari akan
berubah warnanya menjadi serupa
anggur bangsa Portugis. (AS Laksana,
h. 2)
4.
Personifikasi
Amanat
kebiasaan para pemabuk—sejak
kedatangan mereka ke negeri-
negeri timur—yang suka
berpesta foya menjalani
kehidupan dengan menikmati
arak kampung Pecinan.
Pada perumpamaan tersebut,
Sang Pangeran menyamakan
bentuk fisik rombongan Tuan
Murjangkung dengan bayi yang
lucu-lucu tapi tinggi sekali.
Perumpamaan tersebut dapat
diartikan sebagai
penjungkirbalikkan karakter
seorang pemimpin yang seram.
Dalam hal ini, Murjangkung
sengaja diparodikan oleh
pengarang sehingga karakter
tersebut tidak lagi menimbulkan
kesan menakutkan akan tetapi
menjadi lebih lucu.
Perumpamaan pada kalimat
tersebut menggunakan kata
“seperti” yang menunjukkan
bahwa perintah Tuan
Murjangkung kepada
pasukannya disamakan dengan
perintah Tuhan.
Gaya perumpamaan tersebut
dapat diartikan sebagai bentuk
kemarahan seseorang karena
diperlakukan tidak sepantasnya
oleh lawannya.
Pada data personifikasi tersebut
angin muson dianggap memiliki
kemampuan seperti manusia
yang dapat mendorong sebuah
kapal. Gaya bahasa tersebut
menyiratkan tentang bagaimana
awal mula para penjajah dari
Barat yang singgah di Indonesia
hingga akhirnya mereka
menempati suatu wilayah dan
mendirikan sebuah
pemerintahan.
Melakukan penjajahan atau
“Mereka lucu-lucu, seperti bayi tapi
tinggi sekali,” kata Sang Pangeran
setelah Murjangkung dan beberapa
pemabuk datang menemuinya di hari
pendaratan. (AS Laksana, h. 3)
Ia mengusap cairan di dahinya dan
mencium bau bacin pada cairan itu
dan, seperti mendapatkan perintah
langsung dari Tuhan, Tuan Mur
seketika menyerukan komando,
“Tembakkan meriam!”. (AS Laksana,
h. 5)
Mereka lalu mengikhlaskan nasib
pada angin muson yang mendorong
kapal mereka menyusuri pantai
negeri-negeri timur dan memikat hati
para penduduk di tempat-tempat
mereka singgah. (AS Laksana, h. 3)
Begitulah riwayat ringkas
penghancuran dengan kekuatan
senjata ternyata lebih mudah
daripada mendidik perilaku atau
mental seseorang.
penghancuran dan bagaimana
Murjangkung akhirnya menjadi
penguasa di kota baru yang ia dirikan.
(AS Laksana, h. 5)
Yang tidak mudah ia tangani justru
sampah dan tahi yang dibuang di
kanal oleh anak-anak buahnya sendiri.
Kota segera menjadi sarang bau
penyakit. Banyak orang di dalam
pagar yang mati oleh malaria,
terutama opsir-opsir muda yang baru
datang dari negeri mereka. Beberapa
orang dihajar disentri dan beri-beri. .
(AS Laksana, h. 11)
Penilaian Kelompok
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Kelas :
Tanggal penilaian :
No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai
A B C D
1. Antusiasme peserta kelompok dalam
penyusunan tugas.
2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4. Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5. Tingkat perhatian pada kelompok lain yang
sedang mempresentasikan hasil diskusi.
Petunjuk:
Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan
mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap
sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai
berikut:
Baik sekali (A) : skor 81-90
Baik (B) : skor 71-80
Cukup (C) : skor 61-70
Kurang (D) : skor 51-60
“Kuis Uji Kecocokan”
Pengertian Tema
Perbedaan Tokoh
dan Penokohan
Jenis-jenis Gaya
Bahasa
Metode yang
Digunakan untuk
Menentukan Tokoh
Cerita
Pengertian Amanat
Jawaban “Kuis Uji Kecocokan”
Pedoman penskoran:
Jumlah benar x 20 = 100
Pengertian Tema
Perbedaan Tokoh
dan Penokohan
Jenis-jenis Gaya
Bahasa
Metode yang
Digunakan untuk
Menentukan
Tokoh Cerita
Pengertian
Amanat
1) Gaya bahasa pertautan
2) Gaya bahasa perbandingan
3) Gaya bahasa perulangan
4) Gaya bahasa pertentangan
1) Metode diskursif atau metode analitik
2) Metode dramatis atau metode tidak langsung
Pesan dalam karya sastra yang mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang ingin disampaikan
kepada pembaca atau pendengar.
Ide atau gagasan dalam sebuah cerita yang berisi
berbagai persoalan yang diungkapkan pengarang
dalam sebuah karya sastra.
Tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara
pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai
penokohan.
IIJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian dengan .ludul "GAYA
BAHASA PERBANDINGAN DALAM KLMPULAN CERPEN
llllf)LtLl1-'L, It^f/t /''l\r'i'7 Er.{l!&-, t\T!\!/af r nr\r TI ,l^-t'IITT TT)l^-f.T.T z IzAT)\r,|ittLJil,J,lrYUJ\t-JiY\J L.ljYJr'1 -Ir'1jl(J 1-lt,.,-ir\/(_r tJjaj\ 1]1'7;V 1 \-t-jlt1;\ j l; 1\-a-1-t\ t fL
AS LAKSANA DAN IMPLIKASINYA TERFLADAP PEMBELA.IARAN
BAHASA DAN SASTRA DI SMA" yang disusun oleh lhda Auliaunnisa,
NIM 1110013000111, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas llmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas lslam Negeri Syarif
Hidayatullah .Iakarta, telah disetujui kebenarannya oleh dosen pembimbing
skripsi pada 2016.
1030 200801 2 00
LIJI REFERENSI
Nama : ihda Auliaunnisa
NIrv{ :11t00t3000111
Fakultas : Ilmu Tarbiyah datr Keguruan
Judul Skripsi . Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan
Cerpen il{urjangkuttg Cinta l,ang Dungu dan Hanta-
Hantu Karya AS Laksana dan Implikasinya
terhadap Pembelaiaran Bahasa dan Sastra di S1\f4,
Dosen Pembimbing . Rosida Erowati, M. Hum.
No. Judul BukuPar*f
Pembimbing.l Amiarrr{rlia Danoantn*,1an,tt'i,rti Y,zn,t, Qaclr",r
r 1c{r -t
!.
Bandung: Sinar Baru, 1988. s2. St ilist ika P erugantur l",femohami Bahttsu
detlum Kawa S.a,r'rrre Semarang: IKIP Semarang
Press, 1995 Cet 1
J- Barr-v- Peter. Penganttu' Komprelrcnsil' Teori
S*stra rktn Buduyu. Yogyakarta: Jalasstra, 201 0. 4,+ Chaer, Abdul. Lingui.sf ik {Jtnmt. Jakarta: Rineka
Crpta, ;UI,)'|. L:et. Ke-j At
5 Coupland, Nikolas. Sry,/e; Language L'uriulion
untl ldenlitv. Nerv York; Carnbridge University
Press, 2007.
6. Esten, Mursal. KesususlroLtn Pengmztttr I'eori
-J-=== o -: -* -7- E)-* l--*---- A -,-1-^--,' /).trlr\
uLd{t |}{fL[t ac/J. L}.Ltr(}tlrrH. -srrul!dt)(t, rri^^i.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: ,$
Muhamrnadiyah University Press, 2A02 -
8 Handayani, Retno Dwi. "Stilistika Novel Siralt
Karya Ay Suharyana", Skrip,ti, Universitas
Sebelas Maret. Surakarta: 2010. Tidak
iiipubiikasikan. &9. Ha*.thorn, Jeremy. Stutly'ing the Arore/: afl
Intt"oductirtn. Nerv York: Great Britaiil, 1989. 410. Kera-f. Gorys. Diksi dan Ga,t;tt Buhasu. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama, 2010. &.l
1 Ir-ri dal a.l:s.ar.a. If ari m *Jti - K *n *:: !. i * gt : i.:: : i k E d i,l. i
Keempat. .Jakarta. Gramedia Pustaka Utam4
1982.
12. I-aksana, LS- |t4urjangkung {)inm vang Dungu
d*n Huntu-Hcmltt. Jakarta: GagasMedia, 2013.
\\of
13. Minderop. Albertine. l,letodc Kurakterisctsi
'l'eluah P:iksi- .lakarta. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 201 I.
ir+ Moieong, Lexy J. *ietotioiogt Patrcirttun
Kualrtutil, Bandring: PT Remaja Rosdakarya,
2009
15. Mujiyanto, Yant. '-Pemanfaatan Gaya Bahasa
dalam "Sesohek Buku Harinn Indone,sin"
A-+^l^; D,,;-; E.*L^ !\if.,- \r^iil. /Q+,,,1;Jlrrrulusl a HJa lirlrlu r lrirurl r !d-llL, 1u1uur
Stilistika)". Iesr.t. pada Universitas Sebelas
Maret. Surakarta: ?007 . Tidak dipublikasikan.
16. Nurgi-vantoro. Burhan. Stilistiku. Yogyakarta:
Gadiah Mada University Press, 2Aru.
t7 Teori Peng,kajian Flktr Yogyakarta: $
Gadjah hdada University Press, 2005.
18. Oktaviani, Uhtia Fa.jrihati. "Makna Keluarga
dalarn Balutan Cerita Fantastik Pada Kurnpulan
Cerpen Bitlatlari Yang il,{engembaru Karya AS
Lal'saita". iikrip,ri pada Univsrsitas Airiatgga.
3012 tidak dipublikasikan.
19 Priyatni, Endah Tri. Alembaca Sastro tlengtn
Anc*ngmt Littra,si Kritrs'. Jakarta: Bumi Aksara,
2010. &20. Prrrhe Anf.ilan \ttclyrt lnrlnnoritt K-t*tlptunrn pr
Yogyakarta: Graha Ilmu, ZAD.
2t Punvaningrum. Ayuningtyas. "Tokoh dalarn
Kumpulan Cerpen Biladari ydmg ln'lengemharct
Karya AS Laksana dan Kelayakannya Sebagai
Bahan Aiar di SMA", Skripsi pada Unil.ersitas
Lampung. 201 5. tidak dipublikasikan.
?1 Rahnranto, B. A,'{etode Pengaiuran Sa,r/ra,
Yog-_vakana. Kanisius. i 98 8. s23 Rampan, Korrie Layun. Angkufan 2{)00 clalunt
.\'asfrcr lnclrsnes'itt. Jakarta. PT Grasindo. ?000. +1A:-a - Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika Kajiun I'tritiktt
Bahusct, Srz,srrr, clan Buclayu. Yogyakarta:
D,:ctot-a Doloi^. 1AOO {--+ 11 r.JHns ! vjuJsr L ua. l .
s25. .l-cori, l,'{etode, dan I'eknik l'enalitiutt
Sustrn. Yogl,akarta: Pustaka Pelajar, 2007. )i-26, Serni, N{. Atar. ,4nntonti .\.a,sfru. Padang:
Angkasa Raya. 1988.
27. lt{etode Penelilintt .Sa.ilra. Banduns:C
Aagkasa, 1990.
28- Sisrvanto,Wahl.udi. Pengantor I'ectri Sustru.
Jakarta: Grasindo. 2008. d29. Sudjiman. Panuti. Bungu Rmnpui Stilistika.
iaka*ii: Fustutku Uiama Graf-rti, i99i, 430. Tarigan, Henry Guntur. !'fembaca Seltagai Suultt
Ketertnnpiltn Berbulrusa. Bandung: Angkasa,
2008.
31. P enga-i urun (iulitt Bahu.Ett. Bandung:
Anrl'-oca l QR{
32.
-'l _) .
Prinsiyt-prin.rip L)asar .\ilslru
Bandung: Angliasa" 201 L
Teeurv, A. ,Sa.rlra tluz llrnu Suslt'tt Pengunlar
I.eori Sct:;trrz. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
34. Tirr Pem,usutn. En,siklopedi Sctstru Intlone,sict
Etli,si Ret,i.sl. Bandung. Titian llmu, 2009. 435. Waridah" Ernawati. tiYL) & Seputar Kehahosa-
I rttlont s ittttru. J akarta, Kawan Pustaka" ZU t U. A36. Widjojoko dan Endang Hidayat. l'ertri dun
Seiuruh Scr,sfrrr Indone,sict. Bandung. IIPI Press,
?006. &5t. Zaidan, Abdul Rozak, dkk. Karzu's l.stilah Scr.stru.
I ^l--J^- Tl^1- : Tf---^r^l-^ 1 {}{-\,1J(ll\(ltl.r- tfdl{tt r ta5t.tl\<l, .l 77't. }
38 Rofiqi, Zaim A. Cerita-Cerita yang
Mengembara. Kulam vol. 22. Jakarta: Yayasan
Katam,2005.&
39. Arnas, Benny. Mu4angkung dan Bisikan AS
I a,ksana- ,Ilwq f)os.31 1421s1 ?01i &
&
40. Ballah, Umar Fauzi. Dongeng dan Bahasa AS
Lalisana. Kornpas" 30 Maret 2014. 441. Christanty, Linda. Metafor Kehidupan AS
Laksana. Dewi,Mei 201 3. B+t Frase'r_yo, Arii R.ei.a. Laksana ivlenuiis Sejarah
Hantu, Tentpo, 5 lr,{ei 20 13.
43 Setiau'an, Hawe. Menggambar Sulak, Republika,
l-5 Agustus 2004 d,-44. Jakarta School. "Tentang Pengajar AS Laksana",
hff n. 1..'i ql-o rf * onhnn.l nnm,.rcn ra r or Acf q il - rf i a_t:SgS
pada 13 Juni 2015.
45 Khuratul Aini, "Kepercayaan Raki,at yang
terdapat dalam Kumpulan Cerpn l'lurjungktmg
Cinfu yutrg Dt.ltgu dnn Hantu-HanIz.r Karya AS
L ak sana".http. /Eiqlrrr}a]: s 1 .stkip:p.eri -
sumbar.ac.idl, diakses pada 5 Mei 2015.
$46. Kurnu,s Be.s'ar Buhus'a Indonesiu AlJline 1.5.1 )-
KEMENTERIAN AGAMAUlN JAKARTAFITKJl. lr H. Juanda No 95 Ciputat 1912 lndonesia
FoRM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
No. Revisi: : 01
Ha 111
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI
Nomor : Un.0 l/F. I lKM .0l.3l ........1 ........Lamp. :.......,...,...Hal : Bimbingan Skripsi
Nama
NIM
Jurusan
Semester
Judul Skripsi
Tembusan:l. Dekan FITK2. Mahasiswa ybs.
Jakarta, I Maret 2014
Kepada Yth.
Rosida Erowati, M. Hum.Pembimbing SkripsiFakultas Ilmu Tarbiyah dan KeguruanUIN Syarif HidayatullahJakarta.
As s alamu' alaikum wr.wb.
Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing VII(materi/teknis) penulisan slcipsi mahasiswa:
Ihda Auliaunnisa
1110013000111
Pendidikan Bahasa dan Sastra lndonesia
8 (delapan)
"Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen
Murjanglamg Cinla yang Dungu dan Hantu-Hantu Karya AS Laksana fl6 Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA"
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 03 Maret 2014,abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judultersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungiJurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapatdiperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu' alailatm wr.wb.
dan Sastra
ZA.,M.Pd.
a.n. Dekan
t99703 2 001
BIODATA PENULIS
Ihda Auliaunnisa lahir di Bekasi, 24 Juli 1992. Masa-masa
kecil hingga remajanya dilaluinya di Bekasi. Pendidikan
formal pertamanya ditempuh di TK Attaqwa 07 Wates,
Bekasi pada tahun 1997-1998. Kemudian pada tahun 1998-
2004 mengenyam pendidikan di MI Attaqwa 16 Wates dan MTs Attaqwa 05
Wates pada tahun 2004-2007. Setelah itu, pada 2007-2010 penulis berhasil
menyelesaikan pendidikannya di MAN 1 Kota Bekasi. Hingga akhirnya, menjadi
mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sejak kuliah, penulis pernah berkecimpung di dunia keorganisasian
(beberapa masih digeluti oleh penulis) di antaranya Himpunan Mahasiwa Islam
Ciputat, kelompok tari saman Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR), Persatuan
Mahasiswa Bekasi Jakarta Raya, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis juga pernah beberapa kali terlibat dalam
pementasan teater yang diproduksi oleh Teater el Na’ma Indonesia yang berlokasi
di Ciputat.
Penulis pun sejak masih kuliah pernah menimba pengalaman menjadi
pelatih Tari Saman di beberapa sekolah di Jakarta dan Ciputat. Beberapa kali juga
pernah menjadi guru privat dan sekolah di SMP-SMK Madinatul ‘Ilmi Legoso,
Ciputat. Banyak pengalaman berharga yang penulis dapatkan di bidang
pendidikan ini. Oleh sebab itu, penulis pun bercita-cita menjadi penebar ilmu di
manapun penulis berada kelak. (email: [email protected])
Top Related