i
STRATEGI MENGAJARKAN ANAK MENGENDALIKAN EMOSI DALAM KEGIATAN SOSIALISASI USIA TK
TUGAS AKHIR
Disusun Dalam Rangka Penyelesaian Studi Diploma II Untuk Memperolah Gelar Ahli Madya
Disusun Oleh Nama : Diyah Rosa Wd. Nim : 1403204055 Program : D2 PGTK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU TAMAN KANAK-KANAK 2006
ii
PENGESAHAN
Tugas akhir yang berjudul “Strategi Mengajar Anak Mengendalikan Emosi Dalam
Kegiatan Sosialisasi Usia TK”. Penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan pada program Diploma II Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Disahkan di Semarang pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui : Ka. Prodi PGTK
Dra. S.S. Dewanti. H, M.Pd NIP : 131 413 200
Dosen Pembimbing
Wulan Adiarti. S,Pd NIP. 132 307 559
Dosen Penguji Yuli Kurniawati S, S.Psi NIP. 132 316 164
iii
MOTTO
- Kekuatan terbesar tidak di dapat dari kekuatan melainkan ketekunan.
- Jangan menyerah meskipun mengalami kegagalan berkali-kali.
- Masalah tidak diselesaikan dengan kekerasan melainkan dihadapi dengan
kesabaran.
PERSEMBAHAN
Tugas akhir ini penulis persembahkan untuk :
- Orang tua yang selalu saya hormati, kakak dan adik yang tersayang.
- Dosen pembimbing.
- Teman-teman seperjuangan D2 PGTK UNNES CABANG SEMARANG
TAHUN AJARAN 2004.
- Semua pihak yang terlibat, dan tidak mungkin penulis sebutkan satu
persatu.
- Pembaca yang budiman.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas selesainya penyusunan Tugas Akhir ini, Penulis
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya. Semoga susunan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya orang tua dan guru taman kanak-kanak, walaupun hanya dalam bentuk
yang sangat sederhana. Sebagai calon dan guru taman kanak-kanak perlu
memahami strategi mengendalikan emosi anak dalam bersosialisasi, karena
penting untuk mengetahui perkembagan seorang anak, khususnya anak yang
Anxiety Prone children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas).
Dalam penulisan Tugas Akhir ini memuat hal-hal secara alamiah dan
praktis mengenai strategi mengendalikan emosi anak dalam bersosialisasi usia TK
yaitu mengenai beraneka ragam sifat-sifat anak, pola asuh orang tua yang
diterapkan. Semoga dengan susunan penulisan tugas akhir ini dapat menunjang
dan membantu untuk mencapai keberhasilan program kegiatan belajar mengajar di
taman kanak-kanak, rumah dan di masyarakat.
Tersusunnya Tugas Akhir ini berkat adanya bimbingan, bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Siswanto Sebagai Dekan FIP UNNES.
2. Dra. Sri .S. Dewanti Wulan Adiarti S.Pd.
v
3. Dosen Pembimbing Wulan Adiarti .S.Pd.
4. Kedua orang tua yang selalu membimbing dan mendo’akan.
Terima kasih.
Semarang, Juli 2006
Penulis
vi
i
ii
iii
iv
vi
1
3
4
5
5
7
8
10
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................
Halaman Pengesahan ...........................................................................................
Motto dan Persembahan ......................................................................................
Kata Pengantar .....................................................................................................
Daftar Isi ..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ....................................................................................
I.2 Perumusan Masalah ............................................................................
I.3 Pembahasan Masalah ..........................................................................
I.4 Tujuan Peneletian ...............................................................................
I.5 Manfaat Peneletian .............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Pengendalian Emosi
1. Pengertian Pengendalian Emosi .......................................................
2. Ciri Khas Emosi Anak .....................................................................
3. Mengenal Gangguan Emosi Anak ...................................................
B. Hakikat Perkembangan Sosial
1. Teori Belajar Sosial ......................................................................... 15
2. Dasar Bagi Perilaku Sosial .............................................................. 17
vii
C. Perkembangan Emosi dan Sosial Anak Usia TK
1. Kondisi yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi ...................... 19
2. Sosialisasi Pada Masa Kanak-kanak Awal ...................................... 20
BAB III METODE DAN SISTEMATIKA PENULISAN
A. Metode Penulisan ............................................................................... 23
B. Sistematika Penulisan ......................................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN MASALAH
A. Strategi Pengendalian Gangguan Emosi Dalam Bersosialisasi .......... 25
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 31
B. Saran .................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebanyakan anak didik di taman kanak-kanak sangat susah dan sulit untuk
mengendalikan diri, dominan anak dikuasai oleh emosi yang tinggi dan
kurang stabil. Hal itu kurang baik untuk perkembangan dan bekal
bersosialisasi anak, kita sebagai orang dewasa berkewajiban mendidik dan
memberi pengarahan yang baik untuk mempersiapakan generasi muda dan
penerus bangsa yang handal. Maka dari itu seorang guru harus dapat
merangsang bagaimana caranya atau strategi yang cocok diberikan untuk
perkembangan emosi anak, itu harus di rancang sebelumnya.
Sejumlah kegiatan dan permainan juga dapat meningkatkan ketrampilan
emosional dan ketrampilan anak, oleh karena itu guru beserta orang tua
dapat memberikannya dengan memperhitungkan kebaikannya terhadap diri
anak. Kegiatan-kegiatan yang diberikan dapat juga membatu anak-anak
dalam mecahkan kesulitan belajar selama lebih dari dua puluh tahun.
Dengan kegiatan anak dapat memperoleh manfaat dari ketrampilan
emosional yang mereka pelajari, tidak hanya anak-anak yang di tangani
karena mempunyai masalah tertentu, tetapi semua anak diberikan dan
diperlakukan kegiatan yang sama.
ix
Ada pandangan yang beranggapan bahwa mempunyai emosi tinggi
setidak-tidaknya sama pentingnya dengan mempunyai intelegensi tinggi.
Penelitian demi penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan
ketrampilan emosional lebih bahagia, lebih percaya diri, dan lebih sukses di
sekolah. Ketrampilan-ketrampilan yang diberikan oleh guru, orang tua, dan
masyarakat (pengalaman) menjadi fondasi bagi anak-anak untuk menjadi
orang dewasa yang bertanggung jawab, peduli kepada orang lain, dan
produktif. Dan yang terpenting dengan pengendalian emosi bagi anak adalah
anak sanggup menatap dan menghadapi segala masalah di era globalisasi di
masa dewasanya yang sudah menunggu.
Semua perkembangan emosi anak sudah diramalkan dan dipersiapkan
dengan pola-pola tertentu, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan. Anak memang sudah dibekali dengan hal-hal yang positif,
kegiatan-kegiatan yang meningkatkan dan mengarah kepada ketrampilan
emosi anak tetapi semua berbalik arah. Memang mula-mula anak mengikuti
semua yang diberikan tetapi lama kelamaan anak memberontak, merasa
dirinya di kekang, dibatasi semua kegiatan dan rasa keingintahuannya,
sehingga anak memberontak yang disertai dengan memuncaknya emosi dan
menghentikan kegiatan yang telah diberikan.
Memang dengan mengatasi dan memberikan bimbingan kepada anak
sangat susah, karena anak kurang dapat memahami suatu kejadian dan
peristiwa. Anak selalu memaksakan keinginannya tanpa memikirkan apa
yang akan terjadi pada orang lain, yang terpenting hanya tercapai semua
x
keinginan itu akan membuat anak meresa menang dan senang. Ini sudah
terjadi pada setiap anak di setiap keluarga, jika dibiarkan berlangsung lama
maka anak-anak tidak dapat diandalkan oleh bangsa, karena sudah dikuasai
oleh emosinya. Emosi yang sudah menguasai anak maka sulit untuk anak
merubahnya, mungkin saja emosi itu akan di bawa sampai dewasa nanti.
Kebanyakan anak di TK masih menggunakan kekuatan dan emosi dalam
menghadapi suatu masalah dalam bersosialisasi, misal anak memukul,
menendang, menggigit, melempar benda, dan lainnya. Anak tidak mau
menyelesaikannya dengan kepala dingin dan tangan terbuka, karena anak
merasa kalah apabila mengalah dan diam saja, dan itu akan membuat anak
meresa dipermalukan di depan teman-temannya. Guru dan orang tualah
yang mengawasi serta mengingatkan apabila melihat kejadian-kejadian yang
menyimpang jalur perkembangan emosi anak dan memberikan arahan-
arahan yang positif, serta memberikan stimulasi yang tidak bertentangan
dengan orang lain. Maka guru dan orang tua harus tepat dalam memberikan
pelajaran agar tidak terjadi seperti apa yang tidak diinginkan pada anak.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis akan merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi mengendalikan emosi anak dalam sosialisasi usia
TK?
xi
2. Bagaimana perkembangan anak terjadi?
3. Cara orang tua, guru, dan masyarakat mengenai gangguan emosi pada
anak?
4. Bagaiman pola asuh yang baik dan tepat untuk anak?
5. Hakikat teori belajar sosialisasi yang diterapkan pada anak?
6. Bagaimana strategi mengendalikan gangguan emosi dalam sosialisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Bagaimana anak-anak memandang peran meraka dalam kehidupan dan
posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada
mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu akan bahagia. Orang dewasa
menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi dan apa saja emosi
yang dominan. Perilaku orang dewasa yang didasarkan atas penilaian
tersebut merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri.
Pola emosi anak umum yang tahapan yang diramalkan, reaksi ledakan
amarah (temper tantrums) mencapai puncaknya pada usia antara 2 sampai 4
tahun dan kemudian di ganti dengan pola ekspresi kemarah yang lebih
matang, seperti cemberut dan sikap bengal. Dengan meningkatnya usia
anak, reaksi emosional anak menjadi berkurang menyebar, kurang
sembarangan dan lebih dapat berhati-hati serta membedakan. Perkembangan
kelenjar endokrin pentign untuk mematangkan perilaku emosional, kelenjar
endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional, kelenjar itu akan
xii
membesar pesat saat anak lahir sampai anak berusia 5 tahun, pembesarannya
melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi
sampai anak berusia 16 tahun, dan pada usia16 tahun kelenjar tersebut
mencapai kembali ukuran semula seperti pada saat anak lahir, ini sangat
peting terhadap keadaan emosional pada masa kanak-kanak.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis ingin mengetahui hal-hal
sebagai berikut:
1. Perkembangan emosi anak.
2. Pola asuh orang tua.
3. mengenal gangguan emosi pada anak.
4. Hakikat teori belajar sosialisasi.
5. strategi mengendalikan gangguan emosi dalam sosialisasi.
xiii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Pengendalian Emosi
1. Pengertian Pengendalian Emosi
Pada saat anak memasuki TK, TK dapat menjelma taman bermain
yang teramat indah, bagi si anak, tetapi bisa juga bermakna suatu penjara
bagi si anak. Tergantung bagaimana orang tua mempersiapkannya. Anak
yang pemalas, anak yang suka ngambek, mudah marah, gampang
menangis dan mudah putus asa, ini memang sifat dasar yang dimiliki anak
itu sendiri. Menurut Direktur (Edutranco Training and consultant), (Hepi
Andi, 2003 : h. 121), sebenarnya watak dasar tersebut sangat dimaklumi
karena anak-anak yang selama ini berada dekat dengan orang tuanya harus
berpisah sementara maka kecemasan, khawatir dan takut tentu akan
mereka alami.
Sigmund Freud (Emotional Intelligence, 1997 : h. 291)
menyatakan bahwa belajar mengendalikan emosi merupakan tanda
perkembangan kepribadian yang menentukan apakah seseorang sudah
beradab. Freud percaya bahwa kepribadian seorang anak yang sedang
tumbuh di bentuk oleh dua faktor kekuatan besar, pertama untuk mencari
kesenangan, kedua untuk berusaha menghindari rasa sedih dan rasa tidak
nyaman. Makin tinggi kesadaran seorang anak dan makin mampu anak
xiv
menimbang berbagai pilihan, makin besar kemungkinan sukses yang akan
diperolehnya dalam mencapai sarana melalui kompromi.
Dari definisi atau teori di atas dapat di ketahui bahwa belajar
mengendalikan emosi mempunyai makna penting bagi perkembangan
anak usia TK karena melalui mengendalikan emosi anak akan
memperlihatkan sifatnya melalui tingkah laku yang nampak, dengan
tingkah laku itu akan terlihat apakah anak sudah beradab (baik) atau
belum. Tingkah laku itu ditunjukkan anak untuk mencari kesenangan,
kepuasan dan menghindari hal-hal yang di rasa tidak nyaman. Makin
dapat mengendalikan emosi anak akan lebih mudah di terima orang-orang
disekitarnya.
2. Ciri khas emosi anak (Elizabeth B. Hurlock, 1978 : h. 214)
a. Emosi yang kuat
Anak yang bereaksi dengan intensitas yang sama, baik terhadap
situasi yang remeh maupun yang serius.
b. Emosi seringkali tampak
Anak seringkali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan
mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sengkali mengakibatkan
hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang
membangkitkan emosi.
xv
c. Emosi bersifat sementara
Peralihan yang tepat pada anak kecil dari ketawa kemudian
menangis, dari marah ke tersenyum, dari cemburu ke sayang. Itu akibat
dari 3 faktor, emosi yang terpendam dikeluarkan dengan terus terang,
ketidak matangan kurang pemahaman terhadap situasi dan pengalaman
yang terbatas dan rentang perhatian yang pendek sehingga perhatian itu
mudah dialihkan.
d. Reaksi mencerminkan individualitas
Semua anak yang baru lahir pola reaksinya sama secara bertahap
dengan adanya pengaruh faktor belajar dan lingkungan. Misal tindakan
anak yang ketakutan akan berbeda-beda.
e. Emosi berubah kekutannya
Pada usia tertentu emosi yang sangat kuat berkurang kekuatannya,
sedangkan emosi lainnya yang tadi lemah berubah menjadi kuat. Ini
disebabkan oleh perubahan dorongan, perkembangan intelektual dan
perubahan minat dan nilai.
f. Emosi dapat di ketahui melalui gejala prilaku
Anak mungkin tidak memperlihatkan reaksi emosinya secara
langsung, tetapi secara tidak langsung melalui kegelisahan, melamun,
menangis, kesukaran berbicara, tingkah yang gugup, menggit kuku dan
menghisap jempol. Sigmund Freud seorang tokoh psikologi mengatakan
bahwa setiap pola sikap menusia di bentuk dan di tentukan pada masa
xvi
kecil. Anne Roe juga tokoh psikologi mengatakan bahwa pengalaman
masa kanak-kanak mempengaruhi pola kebutuhan pada masa dewasa.
Kedua tanggapan tokoh di atas maka orang tua dan guru harus
peka terhadap tingkah laku anak, apakah ada anak yang menunjukan
gejala tingkah laku yang menyimpang dari yang diharapkan karena
gejala itu akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak. Pengalaman
yang salah maka akan membentuk kepribadian yang salah juga.
3. Mengenal ganguan emosi anak
Beberapa ahli yang menyamakan antara gangguan emosi dengan
gangguan perilaku, menurut model medis memandang bahwa gangguan emosi
dan mental adalah penyakit yang bersifat fisik. Kondisi medis melihat sebagai
bagian dari diagnosa secara menyeluruh dari seorang anak. Menurut Thomas
Szasz (Triyanto Pristiwaluyo, 2005) seorang dokter dan psikiater di dalam
bukunya “The Myth Of Mental Illness”, Ia mengatakan bahwa apa yang
secara khas dipertimbangkan sebagaimana gangguan emosi harus di lihat
bukan sebagai penyakit tetapi sebagai perilaku yang mencerminkan
permasalahan hidup dan komunikasi.
Menurut teori di atas memang gangguan emosi bukanlah suatu
penyakit, tetapi gangguan emosi adalah suatu luapan tekanan yang berasal
dari dalam diri anak, untuk menunjukan keinginannya melalui perilaku emosi,
luapan itu dapat ditunjukan dengan suara keras, menangis, melempar barang,
xvii
lari, menggigit dan lain-lain. Anak melakukan itu dengan mencari kepuasan
dan suatu ketidak sukaannya atau suatu sikap memberontak.
Tanggung jawab yang utama untuk mendidik dan menangani
individu yang mengalami gangguan emosi diletakkan pada sistem
persekolahan publik, hingga saat ini tidak ada difinisi yang dapat diterima
secara umum tentang anak-anak yang mengalami gangguan emosi. Umumnya
para ahli merasa bebas untuk mengungkapkan definisi yang cocok untuk
tujuan mereka sendiri, secara umum anak yang mengalami gangguan emosi
dapat di kenali dari perilaku mereka. Seperti suka marah, suka menyendiri dan
sebagainya. Misal Andin tampak murung dan suka menyendiri karena baru
saja putus cinta, dan Rudi marah-marah karena dia tidak bisa mengerjakan PR
yang diberikan gurunya, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa anak yang
suka marah-marah dan menyendiri tidak semuanya mengalami gangguan
emosi.
Hallahan dan kaufman (1982) (Triyanto Pristiwanto, 2005 : h .55)
mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempersulit mengidentifikasi
gangguan emosi paada anak.
1.) Ketiadaan suatu definisi kesehatan mental yang cukup.
Pada ahli kesehatan mental berpendapat bahwa anak secara mental
sehat dia akan bahagia, dapat membangun hubungan sosial positif,
mempunyai persepsi yang akurat terhadap kenyataan, dapat
mengkoordinasikan pemikiran, dapat mencapai prestasi dengan potensi
xviii
yang dimiliki, mempunyai pandangan baik pada diri sendiri, dan bertindak
seperti yang diinginkannya.
Menurut pendapat para ahli di atas, saya kurang setuju karena tidak
hanya dengan mengenali karakteristik mental yang ditunjukan dengan
tingakh lakuk sehat dan tidak sehat, tidak cukup untuk menentukan apakah
anak itu secara emosional sehat atau secara mental tidak sehat.
2.) Adanya perbedaan antara model konseptual tentang gangguan emosi
Model perawatan dan program pendidikan khusus untuk anak yang
mengalami gangguan emosi didasarkan beberapa model yang berbeda.
1. Biologis : Pandangan yang berorientasi pada aspek prilaku.
2. Psikoanalisa : Untuk menemukan dasar penyebab emosi dengan
rangsangan.
3. Psikoedukatif : Perilaku anak yang dikerjakan diperoleh dari
kegiatan, penyebabnya dapat ditelusuri lewat
kegiatan yang dilakukan.
4. Humanistik : Gangguan prilaku merupakan gejala yang
berhubungan dengan diri dan perasaan anak
sendiri.
5. Ekologis : Gangguan emosi diakibatkan oleh miskinnya
sosialisasi di lingkungannya.
6. Behavioral : Perilaku itu dipelajari, maka gangguan emosi
menunjukkan belajar yang tidak sesuai.
xix
3.) Adanya berbagai kesulitan dalam mengukur emosi dan perilaku
Tidak ada norma atau kriteria tertentu yang dapat dijadikan dasar
untuk menentukan bahawa anak yang memperlihatkan suatu perilaku pada
frekuensi tertentu mengalami gangguan emosi, misal: Eko suka
mengganggu temannya 75% waktunya, sering mencubit atau memukul
temannya dengan pengukuran, perilaku anak kita tidak dapat berkata
bahwa Eko mengalami gangguan emosi karena tidak ada penyimapangan
perilaku.
4.) Adanya variasi dalam emosi dan perilaku anak yang normal
Suatu kenyataan bahwa semua orang mempunyai emosi yang tidak
stabil, ada kalanya emosi turun dan naik. Anak yang di anggap mengalami
gangguan emosi tidak hanya di lihat dari perilaku yang ditampilkan, tetapi
tergantung pada usia, jenis kelamin dan keadaan yang menyertainya.
Misal: Ali anak laki-laki 16 tahun menangis meronta-ronta setelah
gurunya mengajukan pertanyaan di kelas dan Nina anak perempuan usia 4
tahun menangis berteriak-teriak karena di tinggal ibunya.
Menurut kenyataan di atas dapat di lihat bukan hanya usia anak
tetapi tingkat perkembangan dan keadaan tertentu yang melingkupi
tindakan anak, serta emosi anak yang khas haru diperhitungkan dalam
mengelompokkan anak ke dalam kategori mengalami gangguan emosi dan
sosial. Karena hampir setiap orang dan anak memunculkan emosi yang
tinggi seperti yang ditunjukkan oleh sikap Nina dan Ali di atas, ada
xx
kalanya anak melakukan tindakan tertentu yang tidak biasa, tetapi hal itu
masih di anggap normal.
5.) Hubungan antara gangguan emosi dan kondisi yang lain yang menghalangi
Ada beberapa anak yang mengalami gangguan emosi sekaligus
mengalami kelainan (Handicaped) yang lain, meskipun melalui cara yang
berlainan. Dalah satunya adalah anak yang mengalami gangguan emosi
sekaligus retardasi mental, kesulitan belajar dan mengalami gangguan
emosi.
6.) Perbedaan fungsi lembaga-lembaga sosial yang menggolongkan dan
melayani anak-anak gangguan emosi
Lembaga sosial yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
anak (sekolah, polisi, pejabat pengadilan anak, psiolog klinis, dan tenaga
ahli mental lainya), cenderung untuk memandang perlaku menurut jasa
layanan yang mereka berikan kepada anak dan keluarga. Definisi yang di
bangun oleh pejabat pengadilan akan memusatkan pada kegagalan di
sekolah, dan definisi para ahli kesehatan mental klinik akan menyoroti
problem psikologi. Maka definisi anak mengalami gangguan sering kali
tumpang tindih, sebab definisi tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan
untuk memenuhi tujuan identifikasi anak berdasarkan pertimbangan dan
kepentingan masing-masing ahli.
7.) Perbedaan tuntutan sosial dan budaya mengenai perilaku
Perilaku anak yang dapat menyesuaikan diri dengan pola yang
diharapkan oleh kelompok sosial atau budaya anak, di dalam kultur yang
xxi
sama ada tuntutan yang berbeda dalam kelas sosial yang berbeda. Jelas
bahwa tuntutan sosial dan budaya harus diperhitungkan dalam
mendefinisikan gangguan emosi, tetapi harus ada standar tuntutan jelas.
Dari identifikasi Hallahan dan Kauffman ke tujuh nomor di atas
dapat disimpulkan memang sulit mengidentifikasikan gangguan emosi
pada anak, karena kesehan mental yang kurang untuk menjelaskan,
perawatan dan program pendidikan yang berbeda-beda menurut dengan
tujuan dan kesalahan atau model yang berbeda, adanya berbagai kesulitan
dalam mengukur emosi dan perilaku karena tidak adanya norma atau
kriteria yang dijadikan dasar, adanya variasi dalam emosidan perilaku
sehungga sulit untuk membedakan antara anak yang mengalami gangguan
emosi dan anak normal, adanya kondisi lain (kelainan) yang menghalangi,
perbedaan fungsi lembaga sosial yang menangani masalah anak, seta
perbedaan tuntutan sosial dan budaya mengenai perilaku, semua itu
mempersulit untuk mengidentifikasi gangguan emosi anak.
B. Hakikat perkembangan sosial. (Triyanto Pristiwaluyo,2005)
1. Teori belajar sosial
Teori belajar sosial (social learning theory) adalah seperangkat
konsep terpadu dan hipotesis yang membentuk pandangan umum bahwa
sebagian besar perilaku manusia dipelajari melalui pengamatan dan
interaksi dengan orang lain (Bruno 1989 : 277). Bandura juga menyatakan
teori belajar sosial merupakan teori belajar yang menekankan peranan
xxii
pengamatan dalam pembelajaran dan dalam proses-proses kognitif yang
tidak dapat di amati, misal berfikir dan mengetahui. Bandura berpendapat
bahwa apa yang diketahui oleh mata manusia dapat lebih banyak dari pada
apa yang dapat diperlihatkan.
Meurut teori Bruno dan Bandura di atas jelas bahwa teori belajar
sosial menyatakan “sudah pasti manusia itu sadar, dan tentu saja manusia
belajar melalui pengamatan dan ide-ide yang diperoleh melalui
pengamatan. Konsep penting menurut saya tentang teori belajar sosial
adalah penguat dari dalam, karena manusia mempunyai kehidupan mental
yang sadar dan memiliki imajinasi. Umumnya manusia memuji dirinya
sendiri, mendapat kepuasan dalam pekerjaannya, merasa bangga dan
sebagainya, itu semua sebagai penguat dari dalam dan penghargaan sendiri
atas perilakunya.
Ada dua jenis belajar melalui pengamatan (Observational Learning).
1. Melalui kondisi yang di alami oleh orang lain (Vicarious Conditioning).
2. Melalui suatu model (Modeling).
Muhammad Nur (Rusda Koto Sutadi, 1994) menyatakan belajar
melalui pengamatan terjadi melalui pengkondisian yang di alami orang
lain dan peniruan atas model berstatus tinggi serta melibatkan pemberian
perhatian, penyimpangan informasi atau kesan, pemproduksian perilaku,
dan pengulangan perilaku melalui penguatan dan motivasi. Dari
pernyataan di atas anak belaar melakukan hubungan sosial dan bergaul
dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, mereka belajar
xxiii
menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam kegiatan bermain karena
adanya model. Sikap dan perilaku sosial yang terbentuk pada usia dini
biasanya menekan dan hanya mengalami perubahan sedikit, hubungan
sosial yang dilakukan anak biasanya, dengan teman sebaya, aktifitas soial
anak yang terbatas dengan anggota keluarga dan anak-anak dari
lingkungan tetangga terdekat akan cenderung akan menghambat
perkembangan sosial anak.
Keuntungan pendidikan prasekolah adalah bahwa pusat pendidikan
tersebut memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan para guru
yang terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang
menyenangkan dan berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan
yang mungkin menyebabkan mereka menghindari hubungan sosial.
2. Dasar bagi perilaku sosial (Elizabeth B. Harlock,1978 : h. 260)
1. Meniru
Anak menjadi bagian dari kelompok sosial dengan cara menirukan
anak lain, pertama-tama mereka menirukan ekspresi wajah, kemudian
isyarat dan gerakan, selanjutnya suara berbicara dan berbicara.
2. Perilaku kekekalan (attachment behavior)
Anak mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kasih
sayang dengan ibu mereka atau pengganti ibu, kesenangan yang diperoleh
dari hubungan ini mendorong mereka untuk berusaha membina hubungan
yang bersahabat dengan orang lain.
xxiv
3. Ketergantungan
Semakin anak di asuh oleh seseorang, semakin bergantung anak
kepada orang tersebut. Anak memperlihatkan ketergatungannya dengan
bergayut kepada orang yang mengasuhnya, menangis apabila ditinggalkan
bersama orang lain dan menuntut dilayani sekalipun ia mampu melakukan
sendiri.
4. Menerima otoritas
Anak akan belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan orang yang
mempunyai otoritas atas dasar mereka. Hal ini kbergantung pada pengaruh
orang yang mempunyai otoritas untuk memaksakan kehendaknya, sikap
yang permisif mendorong anak untuk menolak otoritas.
5. Persaingan
Persaingan berkembang dalam hubungan dengan orang lain, hal ini
terlihat pada anak yang berusaha merenggut mainan atau bendaq dari anak
lain. Bukan karena menghendakinya tetapi karena hal itu menimbulkan
kesenangan untuk menyatakan keunggulannya.
6. Kerjasama sosial
Kerjasama dalam permainan antara anak dengan anak lain atau
orang dewasa biasanya berhasil, karena orang dewasa bersikap
memberikan lebih banyak. Kerjasama sosial dengan teman sebaya tidak
mau mengalah.
xxv
7. perilaku melawan
Anak memperlihatkan perilaku melawan dengan menegangkan
badan, menangis, atau menolak patuh. Bila anak tidak diberi kesempatan
untuk bebas, perilaku melawan biasanya menimbulkan sikap negatif.
C. Perkembangan Emosi dan Sosial Anak Usia TK
1. Kondisi yang mempengaruhi perkembangan emosi (Elizabeth B Harlock,
1978 : h. 213)
a. Faktor Pematangan
Dengan bertambahnya usia anak perkembangn emosi anak
semakin matang dan mampu memahami makna yang sebelumnya tidak
dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yag lebih
lama dan memusatkan ketegangan emosi pada satu objek kemampuan dan
menduga juga mempengaruhi reaksi emosi.
b. Peran Belajar
Dari segi perkembangan, anak harus siap untuk belajar sebelum
tiba saatnya masa belajar, misal : bayi yang lahir tidak mampu
mengekspresikan sikap kenarahan kecuali dengan menangis. Dengan
pematangan anak mengembangkan potensi untuk berbagai macam reaksi,
pengalaman belajar mereka akan menentukan reaksi potensi mana yang
akan mereka gunakan untuk menyatakan kemarahan.
Jean. Jacques Rousseau (1712-1778) dan pengikutnya menganggap
bahwa pada dasarnya anak adalah baik, kebaikan adalah potensi bawaan
anak, masyarakat dan lingkunganlah yang merubah karakter seorang anak.
xxvi
Konsep tentang anak di atas benar,lingkunganlah yang membentuk
karakter itu, baik dan buruk emosi anak tumbuh dan berkembang hasil
interaksi panjang. Emosi adalah perilaku yang bisa diupayakan, bukan
perilaku bawaan. Oleh karena itu, emosi tumbuh dan berkembang dalam
diri anak secara bertahap dan melewati perkembangn panjang, komplek,
dan menyatu dengan perkembangan psikologis anak
2. Sosialisasi Pada Masa Kanak-kanak Awal (Elizabeth B. H. 1978 : h. 261)
Usia 2-6 tahun anak belajar melakukan hubungan sosial dan
bergaul dengan orang diluar rumah, terutama dengan anak sebayanya. Mereka
belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Sikap
dan perilaku sosial yang terbentuk pada usia dini biasanya menetap dan hanya
mengalami perubahan sedikit.
Masa kanak-kanak awal disebut “ usia pragang” (pregang age).
Masa ini hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain meningkat
dan ini menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial mereka.
Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian sosial
yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan
prasekolah. Alasannya mereka dipersiapkan secara lebih baik untuk
melakukan partisipasi yang aktif dalam kelompok.
a. Hubungan Dengan Orang Dewasa
Anak kurang bergaul dengan orang dewasa karena sedikit
mendapatkan kepuasan atau kesenangan, anak lebih suka bergaul dengan
teman sebayanya karena akan memperolaeh kesenangan. Dengan
xxvii
berkembangnya keinginan terhadap kebebasan, anal mulai melawan otoritas
orang dewasa. Walaupun ingin mandiri anak masih berusaha memperoleh
perhatian dan penerimaan dari orang dewasa. Jika anak memperoleh
kepuasan dari perilakunya anak akan terus berusaha membina hubungan
yang bersahabat dengan orang lain, walaupun begitu orang tua dan guru
bertanggung jawab memberi contoh bagi perkembangan sikap sosial,
menentukan arah sikap sosial dan toleran.
b. Hubungan Dengan Anak Lain
Anak lebih suka melakukan hubungan dengan orang lain terutama
teman sebaya, anak akan bermain dengan dua atau tiga anak untuk
melakukan interaksi sosial yang sangat sedikit. Hubungan mereka terutama
terdiri atas meniru atau mengamati satu sama lain atau berusaha mengambil
mainan anak lain. Setelah usia 3-4 tahun anak mulai bermain bersama dalam
kelompok, berbicara, dan memilih dari anak yang hadir untuk di ajak
bermain.
Karakteristik Perkembangan Emosi dan Sosial Anak
A. Karakteristik Sosial Emosional Anak Usia 3-5 tahun
1. Anak lebih mudah mengerti dan dimengerti lingkungannya.
2. Mulai melakukan interaksi sosial denga teman sebayanya.
3. Mampu memilih teman sebayanya untuk bermain.
4. Mulai mengenal bermain kelompok.
5. Anak mulai memperhatikan rasa keprihatinan kepada temannya.
xxviii
6. Anak mampu membagi milik dan mainannya dengan orang lain.
7. Lebih suka bermain dengan teman sebayanya daripada orang dewasa.
8. Anak lebih meniru kegiatan yang dilakukan orang dewasa.
9. Mampu mengekspresikan emosi melalui kata-kata dan tindakan.
10. Menunjukkan rasa sayang kepada saudara dan teman.
B. Karakteristik Sosial Emosional Anak Usia 6-8 tahun
1. Belajar bergaul dengan teman sebayanya.
2. Belajar memecahkan masalah secara sosial.
3. Anak mudah cepat marah dan rewel bila anak sedang sakit.
4. Suka membantu pekerjaan orang dewasa.
5. Anak dapat menerima dan menghargai kelainan pada temannya.
6. Anak menunjukkan rasa setia kawan yang kuat terhadap teman.
7. Belajar menyukai atau menyayangi orang disekitarnya.
8. Anak dapat berkomukasi dengan orang dewasa.
9. Bermain meniru seseoarang yang menjadi idola agar diterima dalam
kelompok sosial.
xxix
BAB III
METODE DAN SISTEMATIKA PENILAIAN
A. Metode Penulisan
1. Metode Pengumpulan Data
Metode penumpulan data yang dipergunakan adalah studi pustaka.
Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang bersumber
dari bahan pustaka. Studi kepustakaan ini digunkaan untuk membahas
tentang pengendalian emosi dalam kegiatan sosialisasi usia TK. Bahan
pustaka tersebut berupa buku-buku refernsi, artikel, tabloid, majalah,
koran, buku-buku ilmiah populer.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskripsi, yaitu untuk menggambarkan keadaan
sesatu. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan alasan pentingnya strategi
mengajarkan anak akan mengendalikan emosi dalam kegiatan sosialisasi
usia TK.
B. Sistematik Penulisan
Sistematik penulisan tugas ini, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan
masalah, dan manfaat penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
xxx
Berisi teori-teori tentang pengertian, gangguan emosi, dan
perkembangan emosi anak.
BAB III : METODE DAN SISTEMATIKA PENULISAN
BAB IV : PEMBAHASAN MASALH
Berisi tentang pola asuh orang tua yang tepat diberikan kepada
anak, mengenal gangguan emosi pada anak, hakikat teori belajar
sosial dan strategi mengendalikan gangguan emosi dalam
bersosialisasi.
BAB V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
xxxi
BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH
A. Strategi Pengendalian Gangguan Emosi Dalam bersosialisasi
Mengajar anak dengan memberikan teladan akan lebih berhasil
daripada memberitahukan segala peraturan dan nasehat tanpa memberi contoh
atau model. Seorang ibu akan gagal mendidik anaknya jika isi perkataannya
bertentangan dengan kehidupannya, keceriaan yang merekah bisa menjadi
kesedihan yang mendalam manakala buah hati tidak mau sekolah dan suka
marah-marah terhadap teman sebayanya.
Adapun beberapa kiat praktis untuk mengatasinya, yaitu :
1. Tetap menekan pentingnya sekolah
Mengharuskan anak tetap berangkat ke sekolah setiap hari, dengan
mengingatkan tidak mengganggu teman, tidak menangis, mendengarkan
guru dan sebagainya, anak harus mencoba menghadapi berbagai masalah
secara langsung. Karena lambat laun keluhannya akan semakin berkurang
dengan adanya pengalaman bersosialisasi.
2. Berusaha untuk tegas dan konsisten menghadapi keluhan anak
Karena pusing mendengar keluhan-keluhan anak yang
mengkhawatirkan kesehatan anak, orang tua selalu mewujudkan permintaan
anak. Tindakan ini tidak benar, karena itu akan membuat anak semakin
manja, sikap menjadi-jadi dan pemalas. Dengan begitu emosi anak akan
tinggi jika suatu saat permintaan dan keinginannya tidak terpenuhi, itu
diakibatkan ketergantungan anak kepada orang tua dan orang lain. Perlu
xxxii
diingat jangan menjanjikan hadiah jika anak mau melakukan apa yang
diperntah yang sudah menjadi tugas seorang anak, karena akan menjadi
kebiasaan yang tidak baik dan anak tidak akan mempunyai kesadaran
sendiri.
3. Konsultasi Masalah Kesehatan Anak Pada Dokter
Apabila anak sering mengeluh, pusing, suka marah-marah dan lain-
lain orang tua langsung membawanya ke dokter. Siapa tahu anak mengalami
gangguan emosi atau baru menghadapi suatu masalah.
4. Bekerjasama Dengan Guru
Hampir setiap sekolah ada murid yang suka marah-marah atau
mengalami gangguan emosi, sebaiknya orang tua dan guru saling bekerja
sama dalam menghadapi emosi dan segala masalah anak, semua dilakukan
semaksimal mungkin untuk perkembangan perilaku dan emosi anak di masa
mendatang, karena semua yang akan dilakukan anak dimasa mendatang
tergantung pendidikan yang diberikan di usia dini.
5. Luangkan Waktu Untuk Bicara Dengan Anak
Sebagai Orang Tua dan guru sebainya meluangkan awaaktunya
untuk mendiskusikan apa yang membuat anak marah, takut, cemas, dan
enggan bersosialisasi. Hindari sikap mendesak dan tidak percaya kata-kata
anak karena akan membuat anak makin tertutup, sebagai Orang tua dan guru
harus bersedia mendampingi mengatasi kecemasan anak. Selain itu
berbincang dengan anak untuk pemahaman suatu peristiwa yang anak belum
mengerti jelas, bekerjasama mengembangkan potensi pada diri anak,
xxxiii
mengendalikan ego yang termasuk pemahaman, perencanaan, dan kepekaan
terhadap orang lain.
6. Lepaskan Anak Secara Bertahap
Permasalahan di rumah dan di sekolah tentu mendatangkan
kecemasan bagi anak, terutama di rumah yang selalu mewarnai semua
rangsangan tindakan anak, kedua di sekolah yang masih asing, tak heran
kalau anak mudah tersinggung, malu-malu, marah-marah hingga emosinya
memuncak apabila ada salah satu temannya yang mengganggu
ketenangannya. Anak harus di beri kesempatan untuk belajar menyesuaikan
diri di lingkungan sekolah, jika anak merasa aman dan nyaman dengan
lingkungan sekolah akan tampak senang bersama teman-temannya dalam
sosialisasi dan tidak suka marah-marah.
7. Konsultasikan Pada Psikolog Atau Konselor Jika Masalah Terjadi Berlama-
Lama
Jika masalah anak tidak mampu di atasi dlaam jangka panjang, ini
menandakan adanya faktor problema psikologis yang perlu ditangani secara
profesional oleh ahlinya. Apa bila mengenai emosi anak, itu yang akan
membawa dan menentukan masa mendatang anak dalam membawa dirinya
menghadapi segala masalah yang harus di lalui.
B. Pola Asuh Orang Tua (Sarumpaet, 1984 : h. 77)
Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa sikap pola asuh yang
diterapkan pada anak ikut menyumbangkan terbentuknya ketergantungan
xxxiv
(dependecy), rasa kurang percaya diri anak dan kekhawatiran yang berlebihan.
Jika anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan orang tua,
anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan
bantuan orang tua, penakut, cengeng, mudah putus asa dan tidak mampu
memecahkan masalahnya sendiri dan itu dilakukan karena orang tua anak
tanpa sadar membuat ketergantungan terus menerus, dengan tujuan agar orang
tua meresa selalu dibutuhkan sekaligus teman dekat. Dedi Martoni
mengungkapkan “kalau anak ingin mandiri di sekolah, sejak usia II bulan anak
harus di kenalkan dengan orang lain selain orang tua.”
Datri ungkapan di atas penulis setuju karena anak nanti akan
berhadapan dengan orang banyak, maka anak harus mulai dikenalkan dengna
orang-orang, supaya nanti anak tidak merasa takut dan merasa berani
menghadapi orang-orang yang di anggap asing / baru di kenal, hal ini harus
mulai diterapkan pada anak sejak dini.
Seorang sudah mulai proses belajar sejak dalam kandungan, hal itu
akan terus berlanjut sampai besar. Pola asuh orang tua yang terlalu menekan
dan memaksa (otoriter) itu tidak baik diberikan kepada anak, mulanya
memang anak sanggup memenuhi keinginan orang tua, tetapi lambat laun bisa
saja anak menjadi malas belajar karena merasa di paksa tidak keinginannya
sendiri. Oleh karena itu orang tua tidak hanya memaksakan kehendaknya,
seharusnya setiap orang tua memberikan kebebasan (Demonstrasi) kepada
anak untuk memilih dan berkreatifitas karena ktu akan membuat kesuksesan
xxxv
anak untuk masa depan, dengan kebebasan anak anak menunjukan bakat yang
dimilikinya dan yang paling mengerti adalah anak itu sendiri.
Berbagai kesalahan orang tua dalam mendidik anak, teguran kita
pada anak sebaiknya tidak dengan marah-marah, atau suara keras apabila anak
melakukan kesalahan, banyak kesalahan orang dewasa dilakukan karena
dorongan oleh cinta terhadap anak yang padahal merusak jiwa anak
bersangkutan.
1. Menuruti segenap kemauan anak akan menjadikan manja.
2. Mematahkan kemauan anak berarti kalah sebelum bertempur
3. Membicarakan kesalahan anak dihadapan orang lain akan membuat anak
merasa terhina, malu, putus asa dan dendam. Apabila kebaikan yang
dibicarakan anak menjadi sombong dan merasa tidak perlu perbaikan lagi,
sebaiknya jangan bicarakan apa bila anaknya hadir.
4. Menhukum anak dengan menyuruh anak bekerja, belajar dan tidur.
5. Mengatakan anak jahat.
6. Memberikan uang untuk foya-foya.
7. Menakut-nakuti anak, misal kalau nakal akan di tangkap polisi.
8. Suara terlalu keras, sebaiknya suara bersifat menenangkan.
9. Bertengkar dengan anak, karena perasaan dendam akan terpendam.
10. Menghina anak karena dianggap mencemooh, menghina dan
menertawakan.
11. Berbicara terlalu banyak, karena akan membuat bosan.
xxxvi
12. Terlalu banyak menggunakan kata “Jangan” karena anak meresa dongkol
dan mengganggu kesenangan anak (merasa di batasi).
13. Tidak melatih anak bekerja karena nanti menjadi pemalas.
xxxvii
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan yang awal sekali diberikan kepada anak selama 8 tahun
pertama (lahir sampai TK) harus diutamakan, karena anak belum memiliki
kestabilan emosi. Pola asuh Orang Tua yang diterapkan pada anak ikut
menyumbang terbentuknya perilaku anak, apa lagi anak yang mengalami
gangguan emosi anak membutuhkan perhatian yang lebih. Pengkondisian anak
sangat penting maka di taman kanak-kanak bertujuan memberikan anak
pendidikan bukan dengan kepala dan tangan, tetapi denga hati. Karena anak
berada dalam taraf perkembangan memerlukan berbagai stimulus dan
kesempatan untuk belajar dan di ajar, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
perkembangan.
Pengamatan yang cermat dan objektif dari hari ke hari harus
dilakukan orang tua, guru, masayarakat dan orang yang dekat dengan anak
untuk mengenali perilaku anak. Selain itu harus ada timbal balik antara orang
dewasa dan anak akan selalu membawa perkembangan dan pengaruh bagi kedua
pihak.
B. SARAN
Kepada calon dan guru TK, orang tua dan pembaca, tanamkanlah
sikap perilaku yang baik pada anak karena anak ibarat kertas putih apa yang
xxxviii
tercoret atau melekat akan membekas dan susah di hapus, berilah contoh sikap
perilaku yang baik pada anak. Agar tidak terjadi penyimpangan perilaku dan
emosi pada anak sebaiknya dari pihak sekolah (guru) serta orang tua saling
bekerja sama dengan masyarakat.
xxxix
DAFTAR PUSTAKA
Andi, Hepi. 2003. Metodik Khusus Program Pembentukan Perilaku di Taman
Kanak-kanak. Jakarta : Dekdikbud.
Hurlock B. Elizabeth. 1978. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta : Erlangga.
Pristiwaluyo, Triyanto, dan M. Sodiq. 2005 Pendidikan Anak Gangguan Emosi.
Jakarta: Depdiknas.
Sarumpaet, R. I. 1984. Rahasia Pendidikan Anak. Bandung: Indonesia Publishing
House.
Shapiro E. Lourece. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Sutadi, Koto Rusda dan Deliana, Maryati Sri. 1994. Permasalahan Anak Taman
Kanak-kanak. Jakarta : Depdiknas
Top Related