FRAKTUR FEMORIS SUPRAKONDILER
1. Pendahuluan
Fraktur adalah hilangnya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur distal femur terjadi hanya pada 6% kasus dari
semua fraktur femur. Pada umumnya terjadi akibat trauma energi tinggi pada pasien yang lebih
muda dan proses osteoporotik pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang muda juga biasanya
terjadi sebagai akibat dari trauma multipel seperti kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Area
supracondylar dari femur didefinisikan sebagai zona antara condylus femoral dan hubungan
antara metafisis dan batang femoral1.
Walaupun kasus yang terjadi tidak banyak seperti fraktur hip ataupun batang femur,
penanganan fraktur distal femur menjadi suatu tantangan. Adanya kerusakan jaringan lunak,
komunitif, fraktur intraartikular yang meluas, dan kerusakan pada otot quadriceps menyebabkan
hasil yang tidak memuaskan pada beberapa kasus. Sebelumnya, fraktur femur suprakondilar
diterapi dengan traksi skeletal dengan durasi yang bervariasi dan diikuti dengan cast ataupun
brace imobilisasi. Adanya komplikasi akibat penanganan secara tertutup dari fraktur ini
menyebabkan dipilih metode alternatif yaitu internal fiksasi. Pada tahun 1996, Stewart dan pada
tahun 1967, Near dan beberapa kasus fraktur distal femur diterapi dengan metode terbuka dan
tertutup. Sebagian besar ahli bedah merawat pasien dengan menyarankan imobilisasi yang lama.
Hal ini kemudian memperkuat untuk direkomendasikan dilakukannya manajemen tertutup2,3.
2. Epidemiologi
Fraktur suprakondylar femur pada dewasa terjadi pada 7% kasus dari semua kasus fraktur
femur yang terjadi, tapi karena gaya hidup yang modern dan transportasi berkendaraan tinggi,
kejadian fraktur ini meningkat frekuensinya. Pada usia muda, trauma ini biasanya terjadi sebagai
suatu trauma multipel dengan kecepatan tinggi dan energi tinggi seperti kecelakaan dan jatuh
dari ketinggian. Kecelakaan merupakan penyebab utama pada trauma ini di usia 17 - 30 tahun.
Pada pasien yang lebih tua, fraktur yang terjadi sebagai akibat trauma yang ringan contohnya
gagal untuk melakukan fleksi pada lutut, hal ini biasanya diakibatkan adanya proses
osteoporotik2.
3. Anatomi
Femur merupakan tulang yang paling panjang dan paling berat dalam tubuh manusia.
Panjangnya kira-kira 1/4 sampai 1/3 dari panjang tubuh. Pada posisi berdiri, femur meneruskan
gaya berat badan dan pelvis menuju ke os tibia. Terdiri dari corpus, ujung proximal dan ujung
distal. Pada ujung proximal terdapat caput ossis femoris, collum ossis femoris, trochanter major
dan trochanter minor. Pada ujung distal terdapat condylus medialis dan condylus lateralis. Pada
posisi Anatomi kedua ujung condylus medialis dan condylus lateralis terletak pada bidang
horizontal yang sama4.
Caput ossis femoris berbentuk 2/3 bagian dari sebuah bulatan (bola), letak mengarah ke
cranio-medio-anterior. Pada ujung caput femoris, di bagian caudo-posterior dan titik sentral,
terdapat fovea capitis, yang menjadi tempet perlekatan dari ligamentum teres femoris. Collum
femoris terletak di antara caput dan corpus ossis femoris, ukuran panjang 5 cm, membentuk
sudut sebesar 125 derajat. Pada bayi dan anak-anak sudut tersebut lebih besar dan pada wanita
lebih kecil4.
Trochanter major adalah sebuah tonjolan ke arah lateral yang terdapat pada perbatasan
collum dan corpus ossis femoris. Pada facies anteriornya melekat m.gluteus minimus. Pada
permukaan lateral melekat m.gluteus medius. Pada sisi medial dari trochanter major terdapat
fossa trochanterica, tempat melekat m.obturator externus4.
Trochanter major berada 10 cm di sebelah caudal dari crista iliaca, dan dapat dipalpasi
pada sisi lateral tungkai. Pada posisi berdiri trochanter major berada pada bidang horizontal yang
sama dengan tuberculum pubicum, caput femoris dan ujung os coccygeus. Trochanter minor
merupakan suatu tonjolan berbentuk bundar (konus), terletak mengarah ke medial dan berada di
bagian postero-medial perbatasan collum dengan corpus ossis femoris. Di antara trochanter
minor dan trochanter major, pada permukaan posterior terdapat crista intertrochanterica, tempat
melekat m.quadratus femoris4.
Corpus ossis femoris melengkung ke ventral, membentuk sudut sebesar 10 derajat dengan
garis vertical yang ditarik melalui caput femoris, garis tersebut merupakan axis longitudinalis
dari articulatio coxae. Axis longitudinalis dari corpus ossis femoris dengan axis longitudianlis
dari collum ossis femoris membentuk sudut inklinasi, yang bervariasi menurut usia dan sex.
Apabila sudut inklinasi mengecil maka kondisi ini dinamakan coxa valga4.
Bentuk corpus ossis femoris di bagian proximal bulat dan makin ke distal menjadi agak
pipih dalam arah anterior-posterior. Pada facies dorsalis terdapat linea aspera, yang terdiri atas
labium laterale dan labium mediale. Ke arah superior labium laterale membentuk tuberositas
glutea dan labium medial menjadi linea pectinea sampai pada trochanter minor. Ke arah inferior
labium laterale berakhir pada epicondylus lateralis dari labium mediale mencapai epicondylus
medialis femoris. Di antara kedua ujung distal labium laterale dan labium mediale terdapat
planum popliteum. Pada linea aspera melekat mm.adductores, m.vastus medialis, m.vastus
lateralis dan caput breve m.biceps femoris4.
Gambar 1.
Anatomi Femur
(dikutip dari
kepustakaan 5)
Distal femur terdiri
dari area supracondylar
dan area condylar.
Area supracondylar
dari femur didefinisikan
sebagai zona antara
condylus femoral dan
hubungan antara
metafisis dan batang
femoral. Daerah ini
biasanya 9 cm dari distal
femur, diukur dari permukaan artikular. Hal ini penting untuk membedakan fraktur
suprakondylar dengan fraktur diafisial dari distal femur karena metode penanganan dan
prognosisnya berbeda. Pada distal femur, terdapat dua condylus. Pada bagian anterior, condylus
menyatu dan berlanjut menjadi batang femur. Pada bagian posterior, keduanya berpisah oleh
fossa intercondylar1.
Gambar 2. Pembagian dari distal femur
(dikutip dari kepustakaan 6)
Ujung distal corpus ossis femoris membentuk dua buah tonjolan yang melengkung,
disebut condylus medialis dan condylus lateralis. Daerah di antara kedua condylus itu, di bagian
posterior dan caudal disebut fossa intercondyloidea. Di bagian ventral, kedua condylus tersebut
membentuk facies patellaris, yang dibagi oleh sebuah alur menjadi dua bagian yang tidak sama
besar, pars lateralis lebih besar dan kurang menonjol dibandingkan dengan pars medialis. Pars
lateralis mengadakan persendian dengan facies articularis lateralis patellae. Facies medialis lebih
kecil dan lebih menonjol ke distal, mengadakan persendian dengan facies articularis patellae4.
Bagian distal condylus lateralis secara relatif lebih besar dan terjal, sedangkan condylus
medialis lebih kecil dan melengkung. Facies medial dari condylus medialis femoris konveks dan
kasar, dan bagian yang paling menonjol disebut epicondylus medialis. Bagian yang paling
menonjol pada facies lateralis condylus lateralis femoris disebut epicondylus lateralis femoris,
bentuknya lebih kecil daripada yang medial4.
Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang
karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal menyebabkan
pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring mendesak bagian proksimal
sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas bawah6..
Gmbar 3. Anatomi
distal femur. (a) aspek anterior. (b) Aspek lateral. Batang femur berada segaris dengan sebagian
dari bagian anterior condylus lateral. (c) aspek axial. Distal femur berbentuk trapezium. Bagian
anterior melandai turun dari lateral ke medial, bagian dinding lateral cendering membentuk sudut
100 dan dinding medial cenderung membentuk sudut 250
(dikutip dari kepustakaan 6)
4. Etiologi
Etiologi dari fraktur suprakondyler femur adalah :7
Usia muda : trauma energy tinggi (contoh : kecelakaan dan jatuh dari ketinggian)
Usia tua : trauma energy rendah (contoh : gagal melakukan fleksi pada lutut)
Sebagai komplikasi dari arthtoplasty total pada lutut (jarang terjadi)
Pada pasien anak-anak, trauma yang terjadi mengakibatkan fraktur pada daerah metafisis
pada sisi kompresi, menyebabkan fraktur Salter Harris tipe II
5. Patofisiologi
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus
mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memutar
(shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama
tekanan membengkok, memutar, dan tarikan3.
Trauma bisa bersifat3 :
Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
Trauma tidak langsung. Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa3 :
Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau
fraktur dislokasi
Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya pada
badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak
Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan menyebabkan
fraktur oblik atau fraktur Z
Fraktur oleh karena remuk
Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian tulang
Gambar 4. Mekanisme Trauma
(a) berputar (b) kompresi (c) fragmen triangular butterfly (d) tension
(dikutip dari kepustakaan 8)
Never et al (1967) menemukan bahwa mekanisme fraktur supracondylar berhubungan
dengan kehebatan pada waktu melakukan fleksi lutut. Hal ini terbagi menjadi1 :
Minor . Jatuh pada saat jalan di rumah (pukulan ringan pada fleksi lutut), sering terjadi
pada medial ke aksis femur, menyebabkan deformitas ringan berupa valgus,
mengakibatkan fraktur tidak bergeser. Hal ini umum terjadi pada pasien dengan usia tua
dan mengalami proses osteoporotic.
Mayor. Hal ini terjadi karena kecelakaan pada dash-board atau jatuh dari ketinggian,
Tenaga dipergunakan untuk melakukan fleksi lutut dan derajat kegagalan dan pergeseran
dari fragmen distal femur berdasarkan besar serta arah dari gaya yang ditimbulkan.
Ekstrem. Biasanya terjadi pada aspek anterior dari fleksi lutut dikarenakan jatuh dari
ketinggian dan kecelakaan mobil ataupun motor. Hal ini akan menimbukan kominusi
yang parah pada area supracondylar dan condylar. Hal ini biasanya melibatkan bagian
bawah dari batang femur. Fraktur supracondylar terjadi ketika gaya varus atau valgus
yang berat ditambah dengan beban aksial serta gaya memutar.
Beberapa tekanan atau gaya memiliki peranan pada pergeseran fraktur. Otot mengambil
alih peran sebagai penjaga keseimbangan terhadap pergeseran yang terjadi setelah terjadinya
fraktur. Hal ini terjadi akibat dari perubahan arah dan aksis dari aktifitas otot gastrocnemius,
quadriceps, dan adductors. Hal ini penting untuk diketahui bahwa otot ini menjaga agar
pergeseran tidak bertambah hingga fraktur menyatu. Berat tungkai dan gravitasi adalah factor
lain yang member peran pada pergeseran. Semua factor ni akan saling mempengaruhi untuk
menentukan derajat pergeseran fraktur yang terjadi1.
Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang
karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal menyebabkan
pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring mendesak bagian
proksimal sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas bawah. 6
Gambar 5. Pada aspek lateral menunjukkan perlengkatan otot dan me babkan gaya
deformitas. Hal ini menghasilkan pergeseran dan angulasi pada sisi fraktur.
(dikutip dari kepustakaan 6)
6. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi yang dapat digunakan pada fraktur supracondylar adalah1 :
Klasifikasi Neer. Klasifikasi ini disusun berdasarkan arah pergeseran dari fragmen
distal. Hal ini disusun untuk dapat mengidentifikasi mekanisme kerusakan dan pola
jaringan lunak serta terapi yang akan diberikan.
GGambar 6. Klasifikasi Neer.
(dikutip dari kepustakaan 1)
I : minimally displaced < 1 cm
II : medial displacement of the condyles > 1 cm
III : lateral displacement of the condyles > 1 cm
IV : conjointed supracondylar and shaft fracture
Klasifikasi Hall. Klasifikasi ini berdasarkan stabilitas fraktur setelah dilakukan
reduksi dan menunjukkan cedera musculoskeletal yang terjadi. Pada klasikasi ini,
dikelompokkan fraktur supracondylar dan fraktur intercondylar pada 4 kelompok
yaitu :
I : fraktur supracondylar stabil
II : fraktur supracondylar tidak stabil
III : fraktur intercondylar stabil
IV : fraktur intercondylar tidak stabil
Klasifikasi by AO (Muller and colleagues. Klasifikasi ini paling banyak digunakan
dalam kasus fraktur supracondylar. Pada klasifikasi ini, diidentifikasi tiga tipe dari
fraktur supracondylar dengan tiga subtype berdasarkan gambaran radiologi.
Grup A : fraktur extra-artikular
A1 : simple
A2 : metafisis irisan
A3 : metafisial kompleks
Grup B : fraktur articular parsial
B1 : condylus lateral (sagital)
B2 : condylus medial (sagital)
B3 : condylus lateral atau medial (coronal)
Grup C : fraktur artikular total
C1 : articular simple, metafisis simple
C2 : articular simple, metafisis multifragmen
C3 : articular multirgamen
Gambar 7. Klasifikasi AO (Muller and colleagues)
(dikutip dari kepustakaan 1)
7. Diagnosis
Fraktur pada supracondylar terjadi pada pasien yang memiliki trauma multiple dengan
karakteristik adanya trauma pada kepala, dada, dan abdomen, dan system skeletal lainnya.
Penilaian secara cepat dan mengatasi masalah yang mengancam nyawa dan menjamin stabilitas
cardiovascular adalah hal yang harus dilakukan. Walaupun fraktur ini jarang mengancam jiwa,
namun dapat memberikan peran dalam hemodinamik tubuh serta menyangkut struktur
neurovascular2.
a. Anamnesis
Pada anamnesis, didapatkan adanya nyeri ataupun ketidakmampuan untuk
berjalan. Anmnesis penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami trauma dengan
energy besar atau tidak. Kecelakan motor, jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan
ditabrak dengan kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme trauma
dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu ditanyakan adalah factor-faktor
komorbid dari pasien yang akan berpengaruh pada terapi ataupun prognosis. Pasien
dengan penyakit penyerta seperti penyakit arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun
diabetes tidak terkontrol memiliki resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera
yang terjadi1,.
b. Pemeriksaan Fisis 1,3
1. Inspeksi
Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi,
perpendekan atau perpanjangan).
Edema ataupun hematom.
2. Palpasi
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Pada lutut, didapatkan hemaarthrosis berupa edem dan nyeri pada lutut.
3. Range of Movement (ROM)
- Pergerakan dapat dinilai dengan mengajak penderita untuk menggerakaan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pasien fraktur akan terasa nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun
pasif.
4. Neurovaskular Distal (NVD) :
Hal-hal yang dinilai pada neurovascular distal adalah pulsus arteri, pengembalian
darah ke kapiler (capillary refil time), sensasi motorik dan sensorik. Pada fraktur
supracondylar, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap arteri popliteal yaitu diantara
proksimal dari adductor hiatus dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervus
peroneal.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi harus menunjukkan keseluruhan femur pada aspek anterior-
posterior dan lateral termasuk panggul dan sendi lutut. CT scan dan MRI dibutuhkan untuk
menilai fraktur patologis dan diagnosis adanya kerusakan jaringan1.
Gambar 8. Gambaran radiologi pada fraktur suprakondilar femur
(dikutip dari kepustakaan 9)
8. Penatalaksanaan
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan
pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangat
penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini
dikenal sebagai initial assessment yang secara garis besar terdiri dari primary survey dan
secondary survey3.
a. Primary survey. Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis
perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Tanda vital dinilai secara cepat dan
efisien.
Airway
Pada evaluasi awal penderita trauma, yang pertama kali harus dinilai adalah jalan
nafas. Penilaian ini untuk mengetahui adanya obstruksi saluran nafas seperti benda
asing, adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea yang dapat mengakibatkan
obstruksi jalan nafas. Usaha untuk membebaskan jalan nafas dapat dengan cara jaw
thrust ataupun chin lift. Proteksi vertebra servikalis merupakan hal penting.
Breathing
Perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan daerah thoraks untuk menilai
ventilasi. Jalan nafas yang bebas bukan berarti ventilasi cukup. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Dada penderita
dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Perkusi untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga dada. Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Bila ada gangguan atau instabilitas kardiovaskuler, respirasi, atau gangguan
neurologis, kita harus melakukan ventilasi dengan bantuan alat pernafasan.
Circulation
Sirkulasi dan control perdarahan meliputi dua hal yaitu :
Volume darah dan output jantung
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada trauma. Ada tiga tanda
klinis yang dengan cepat dapat menunjukkan adanya tanda-tanda hipovolemik
yaitu kesadaran, warna kulit, dan nadi.
Perdarahan
Perdarahan luar harus diatasi dengan balut tekan. Jangan melakukan pengikatan
dengan bahan seperti karet, verban, dan sebagainya karena dapat menyebabkan
kematian anggota gerak.
Disability
Disability merupakan evaluasi neurologis secara cepat setelah satu survey awal.
Dengan evaluasi ini kita dapat menilai tingkat kesadaran, besar, dan reaksi pupil.
Evaluasi ini menggunakan metode AVPU yaitu :
A : alert, sadar
V : vocal, respon terhadap stimuli vocal
P : painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
U : unresponsive, tidak ada respon sama sekali
Exposure
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita harus dilepas, selain itu
perlu dihindari terjadinya hipotermi
b. Secondary survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan
ABC nya penderita dipastikan membaik. Survey sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai
kaki (head to toe examination) , termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital. Pada survey
sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap termasuk mencatat skor GCS bila
belum dilakukan dalam primary survey. Prosedur khusus seperti laboratorium dan radiologis
dapat dilakukan.
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitive, prinsip
pengobatan pada fraktur ada empat (4R) yaitu : 3
Recognition yaitu penilaian dan diagnosis fraktur.
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis
dan pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan :
Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan
Reduction yaitu reduksi fraktur apabila perlu.
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima.
Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari. Posisi yang baik adalah :
Aligment yang sempurna
Aposisi yang sempurna
Angulasi < 50 pada tulang panjang anggota gerak bawah dapat diterima. Terdapat
kontak sekurang-kurangnya 50% dan over riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur
femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi fraktur.
Retention artinya imobilisasi fraktur.
Rehabilitation artinya mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
Terapi pada fraktur suprakondyler dapat berupa operatif dan non-operatif.
a. Terapi non-operatif 1
Manajemen non operatif termasuk reduksi tertutup, traksi skeletal, dan imobilisasi
cast. Metode ini membutuhkan kenyamanan di tempat tidur, waktu yang lama, mahal,
dan tidak cocok pada pasien dengan kerusakan multiple serta pasien yang tua. Studi
comparative mengenai fraktur suprakondylar melaporkan hasil yang baik pada 54%
pasien yang diterapi dengan metode tertutup dan memberikan hasil yang baik pada 84%
yang diterapi bedah.
Walaupun resiko pembedaham dihindari dengan metode tertutup, namun
kesalahan alligment dan kekakuan pada lutut dapat juga terjadi. Beberapa masalah pada
terapi traksi dapat diatasi dengan menggunakan metode brace. Nicke et al menjelaskan
masa rawat inap yang pendek, ambulasi yang cepat, dan menopang tubuh memberikan
hasil pergerakan lutut yang lebih baik dan menurunkan insidens non-union.
Indikasi dari terapi non-operatif adalah :
Fraktur yang tidak bergeser dan incomplete
Pasien berusia tua dnegan kominusi yang berat atau osteopeni atau keduanya
Fraktur non-intraartikular pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa muda
Fraktur terbuka yang terkontaminasi (tipe IIIB)
Osteoporosis
Beberapa fraktur dapat direduksi dengan traksi yang melewati distal femur atau
proksimal tibia. Walaupun demikian, pemasangan dari pin pada distal femur bisa menjadi
sulit dikarenakan adanya pembengkakan jaringan lunak, hemaarthrosis, dan fraktur
kominusi.
Gambar 9. (a) Titik masuk dari pin adalah 2 cm dibawah dan dibelakang dari tibial tuberosity.
(b) pin Steinman dimasukkan dari lateral ke medial. (c) Pin terpasang parallel terhadap aksis dari
sendi lutut
(dikuti dari kepustakaan 1)
Sementara traksi, pasien dianjurkan untuk mengurangi pergerakan fleksi dari lutut.
Setelah pembengkakan akut dari jaringan lunak mereda dengan nyeri tekan minimal pada
daerah fraktur dan foto x-ray menunjukkan formasi callus, pasien dapat menggunakan
brace. Brace digunakan selama 3 hingga 6 minggu setelah trauma. Alat ini harus
digunalan dengan tungkai dalam keadaan ekstensi, eksternal rotasi, dan valgus minimal.
Gejala klinis dan radiologi harus diperiksa kembali pada 1, 2, dan 3 minggu setelah
pemasangan brace.
b. Terapi operatif 8,10
Terapi operatif dengan internal fiksasi dapat secara akurat menjadi cara reduksi
fraktur, khususnya pada permukaan sendi dan pergerakan yang lebih awal. Jika fasilitas
dan kemampuan tersedia, terapi ini merupaka suatu pilihan yang baik. Pada pasien yang
lebih tua, imobilisasi yyang lebih cepat merupakan hal penting dan fiksasi internal
merupakan suatu yang wajib dilakukan. Kadang-kadang, keadaan tulang yang
osteoporotic, pasien yang tua dengan tulang yang rapuh membuat mobilisasi sulit atau
beresiko tinggi, namun perawatan di tempat tidur membuat lebih mudah dan pergerakan
lutut dapat dimulai lebih cepat. Beberapa alat-alat yang dapat digunakan adalah :
Locked intramedullary nail. Alat ini cocok untuk fraktur tipe A atau tipe C
Gambar 10. Locked Intramedullary Nail
(dikutip dari kepustakaan 11)
Plat yang dipasang pada permukaan lateral dari femur. Alat ini cocok untuk fraktur tipe
A dan tipe C. Pada fraktur kominusi yang berat (tipe C), rancangnan plat dengan screw
yang terkunci dapat disarankan. Hal ini akan menyebabkan stabilitas yang adekuat,
bahkan pada keadaan yang osteoporotic, tapi penopang tubuh yang tidak terlilndungan
sebaiknya dihindari hingga terjadi union.
Gambar 11. Plat yang dipasang pada permukaan lateral femur
Lag screw yang sederhana. Alat ini cocok untuk fraktur tipe B dan dipasang parallel
dengan kepala screw terkubur di dalam cartilage sendi untuk menghindari pengelupasan
dari permukaan sendi. Alat ini juga digunakan untuk menjaga condylus femoral pada
fraktur tipe C sebelum intramedullary nail atau plat lateral digunakan untuk menjaga
kerusakan supracondylar.
Gambar 12. Lag screw sederhana
(dikutip dari kepustakaan 12)
Gambar 10. Terapi pada fraktur supracondylar fractue. (a) fraktur condylar dapat direduksi dengan open dan Kirschner wire (b) pemasangan screw (c) fraktur yang berbentuk T atay Y baik
jika diterapi dengan plat dan screw condylar(dikutip dari kepustakaan 8)
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur supracondylar adalah1,8 :
a. Dini
Kerusakan arteri. Insidensi terjadinya kerusakan vaskular pada fraktur suprakondylar
femur yaitu sekitar 2% hingga 3%. Oleh karena itu, insidensi kerusakan arteri
popliteal setelah trauma sangat rendah. Hal ini terjadi karena kumpulan vaskular
tertambat secara proksimal pada hiatus dari adductor magnus dan secara distal pada
arkus soleus. Kerusakan vaskular dapat disebabkan oleh laserasi langsung atau
kontusio dari arteri atau vena oleh fragmen fraktur atau secara tidak langsung oleh
pemanjangan tunika intima. Pemeriksaan secara menyuluruh dan hati-hati meliputi
tungkai dan denyut perifer, walaupun gambaran radiologik menunjukkan hanya
terjadi pergeseran yang minimal.
b. Lanjut
Kekakuan sendi lutut. Hal ini hampir tak dapat dihindari. Diperlukan masa latihan
yang lama, tetapi gerakan penuh jarang diperoleh kembali
Non-union. Hal ini dapat disertai kekakuan lutut dan mungkin sesungguhnya
diakibatkan oleh gerakan lutut yang dipaksakan terlalu awal. Fraktur sulit diterapi dan
kecuali kalau dilakukan dengan amat cermat, batas rentang gerakan lutut mungkin
lebih sedikit daripada rentang gerakan saat terjadi fraktur.
Malunion. Fiksasi internal pada kasus ini sangat sulit dan malunion (biasanya varus)
kadang terjadi. Osteotomi dibutuhkan pada pasien yang masih melakukan aktifitas
fisik untuk melakukan koreksi terhadap malunion yang terjadi.
10. Prognosis
Prognosis dari fraktur suprakondylar femur adalah7 :
Prognosis dari kasus ini tergantung dari tipe serta tingkat keparahan fraktur (semakin
kompleks fraktur yang terjadi semakin jelek prognosisnya)
Pada umumnya, terapi yang sesuai akan memberikan hasil yang baik pada pasien
Terapi dengan intramedullary nail memberikan hasil yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamel Kasem. Management of Supracondylar Fracture of The Femur. Department of
Orthopaedic Surgery & Traumatology Faculty of Medicine Minia University. 2004. p52-
65,89-97
2. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition. Lippincolt William
& Wilkins. 2001. p710-5.
3. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar.
P355-60
4. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.p12-3
5. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders Elseiver.
6. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William & Wilkins.
2006.p356-40
7. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt William
& Wilkins. 2007.p222-3
8. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.p687-90, 870-2.
9. C.R. Wheeless MD. Wheeless Text Book Orthopaedic. American Academy of
Orthopaedic Surgeon. 1996
10. Brown Austin,dkk. Internal Fixation for Supracondylar Fracyure of The Femur In The
Elderly Patient. Journal of Bone and Joint Surgery. 2005
11. Welch Fossum, Theressa. Femoral diaphyseal and supracondylar fractures. [cited : 6
Desember 2012) . Available from: http://veterinarymedicine.dvm360.com
12. Gebhard Florian, dkk. Distal Femur. [cited : 6 Desember 2012]. Available from :
https://www2.aofoundation.org.
Top Related