Download - DVT

Transcript
Page 1: DVT

DVT (Deep Venous Thrombosis)

(Tinjauan Pustaka Dan Laporan Kasus)

Oleh :

Endro Ri Wibowo

Pembimbing :

dr. Wahyu Wiryawan, SpB, Sp. BTKV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012

Page 2: DVT

BAB I

A. PENDAHULUAN

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena

dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan

perivena 1. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan

gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow 2,3,4

Gejala klinis yang muncul adalah adanya pembengkakan pada ekstremitas yang terlibat

dan adanya rasa nyeri. Gejala ini sering tidak spesifik bahkan bisa tidak muncul. Akan tetapi

hal ini tidak ditangani dengan baik, trombus bisa terfragmentasi dan bermigrasi untuk

menyumbat aliran arteri yang menuju paru-paru. Jika hal ini terjadi maka akan muncul emboli

paru yang sangat mematikan 5.

DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner

arteri dan stroke. Di Inggris, 1 dari 1000 orang menderita penyakit ini setiap tahun. Angka ini

diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dan menigkatnya

paparan terhadap factor resiko, hal ini terbukti dengan meningkatnya insiden 30 kali lipat pada

dekade sekarang dibandingkan sebelumnya 6. Insiden DVT meliputi separuh lebih dari insiden

penyakit tromboembili vena secara keseluruhan, dimana angka kejadian tromboemboli vena

pertahun sendiri mencapai 0,1% (dari 0,01% pada dewasa muda sampai mendekati 1% pada

usia diatas 60 th) 7. Insiden tahunan. DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000

populasi/tahun 2.

Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang

lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome,

vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan),

kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) 2,3,8 Meskipun

DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa

etiologi yang jelas (idiopathic DVT) 4,9. Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru

diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat

terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan

Page 3: DVT

antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang

tepat sangat diperlukan 4,9

B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Vena pada ekstremitas diklasifikasikan menjadi vena superficial yang terletak diatas

fasia dan vena dalam (deep veins) yang terletak dibawah fasia. DVT adalah thrombosis vena

yang terjadi pada vena dalam, sedangkan yang tejadi pada vena superfisila disebut sebagai

tromboplebitis 2 . DVT yang terjadi dengan adanya factor resiko yang jelas disebut sebagai DVT

sekunder, sedangkan jika faktor resikonya tidak jelas disebut DVT primer atau idiopatik 10. DVT

pada pelvis dan ekstremitas inferior diklasifikasikan menjadi DVT sentral (terjadi DVT diatas v.

poplitea) dan DVT perifer (terjadi DVT pada v.poplitea dan vena di distalnya). Berdasarkan

gejala, tanda dan tingkat keparahan gangguan drainase aliran darah, DVT dibagi menjadi akut

dan kronis 2

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyebab secara umum dari terjadinya trombus pada vena adalah disfungsi dari dinding

endotel vena, hiperkoagulobilitas, dan gangguan aliran pada vena tersebut atau yang lebih

terkenal sebagai trias Virchow. Perkembangan Trias Virchow akan dipengaruhi oleh berbagai

factor resiko.

Faktor resiko VTE (Venous Thromboembolism) pada umumnya dan DVT pada khususnya

dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : factor demografi atau lingkungan, proses/ keadaan

patologi, dan akibat dari suatu tindakan medis tertentu. Lebih jelasnya dapat dilihat ada tabel

dibawah ini 2 :

Page 4: DVT

Faktor resiko DVT

Faktor resiko

1. Faktor demografi /

lingkungan

2. Keadaan patologi

3. Tindakan medis

Usia tua, duduk lama (perjalanan jauh, saat situasi bencana)

a. Trauma : fraktur ekstremitas inferior, cedera medulla spinalis

b. Keganasan

c. Hiperkoagulobilitas congenital : Coagulation inhibitor

deficiencies

d. Hiperkoagulobilitas dapatan : pasca pembedahan jantung

e. Inflamatory bowel disease, antifosfolipid syndrome, vaskulitis,

systemic lupus erythematosus

f. Varises pada ekstremitas inferior

g. Dehidrasi, polycytemia

h. Obesitas, kehamilan, post partum

i. Congenital iliac bands and webs, penekanan v. iliaka oleh a.

iliaka

j. Riwayat thrombosis sebelumnya : thrombosis vena, embol

paru

a. Pembedahan : orthopaedi, bedah saraf, bedah digestive

b. Obat obatan : hormon wanita, kortikosteroid, hemostatik

c. Kateterisasi pembuluh darah

d. Bed rest lama

Kira-kira 47% pasien dengan DVT memiliki paling tidak sattu factor resiko, kejadian VTE

meningkat seiring semakin banyaknya factor resiko yang dimiliki. Dikatakan bahwa resiko

terkena DVT meningkat dari 2,4 pada orang dengan satu faktr resiko menjadi 20 pada orang

dengan tiga factor resiko 10.

Kasus DVT pada ekstremitas inferior lebih sering terjadi. DVT berkembang disebabkan

oleh adanya tekanan pada v. iliaka, penggunaan kateter vena sentral pada pada v. femoralis,

Page 5: DVT

atau bed rest lama. DVT juga bisa terjadi pada vena lainnya seperti pada leher dan ekstremitas

superior dimana biasanya penyebabnya iatrogenik karena pemasangan kateter vena sentral

pada v. subclavia, penggunaan kateter pacemaker, thoracic outlet syndrome 2. DVT juga bisa

terjadi pada system sinus cerebral dan pada organ viscera 11.

D. PATOGENESIS

Venous Thrombogenesis

Proses trombogenesis pertama kali dikemukakan oleh Rudolf Ludwig Karl Virchow (seorang

dokter dari Jerman) dimana dia menjelaskan mengenai tiga factor utama yang menyebabkan

berkembangnya thrombosis vena atau yang lebih terkenal disebut sebgai trias Virchow :

1. Perubahan aliran darah (stasis, turbulensi)

2. Ketidaknormalan dinding pembuluh darah/cedera endotel

3. Hiperkoagulobilitas darah

Walaupun perkembangan ilmu memperlihatkan bahwa penyebab DVT adalah multifaktorial,

tetapi komponen trias Virchow tetap menjadi elemen penting dari pathogenesis trombosis.

Pada tahun 1970, Gwendylen Stewart mengemukakan teori baru mengenai hubungan antara

thrombosis dan proses inflamasi. Stasis aliran darah, meskipun penting, tidak cukup untuk

memicu terbentuknya trombus, tetapi memerlukan factor tertentu untuk memulai proses

trombogenesis.

Endotel normal pada pembuluh vena bersifat antitrombotik dengan berbagai

mekanisme : 1. memproduksi trombomodulin dan kemudian mengaktifkan protein C, 2.

Mengeluarkan heparin sulfat dan dermatan sulfat yang akan mempercepat aktifitas

antitrombin dan aktifitas heparin cofactor, 3. mengatur ekspresi tissue factor pathway inhibitor

(TFPI), dan 4. memproduksi tissue pl asminogen activator (tPA). Sebagai tambahan, gabungan

kerja antara NO, prostacylin dan interleukin (IL)-10 yang diatur oleh endotel, menghambat

adhesi dan aktivasi leukosit. Sebaliknya, ketika terjadi gangguan pada endotel, baik gangguan

fisik (trauma) atau fungsional (sepsis), endotel justru bersifat protrombotik dan proinflamasi.

endotel akan mengeluarkan plat elet activating factor (PAF) dan endothelin-1 yang memicu

vasokonstriksi, Von Willebrand factor (vWF), tissue factor (TF), plasminogen activator inhibitor

Page 6: DVT

(PAI)-1, dan factor V yang akan memperbesar proses thrombosis. Endotel juga akan

mengekspresikan P-selectin atau E-selectin pada permukaannya yang akan memicu adhesi dan

aktivasi leukosit 10.

Sel yang sedang mengalami inflamasi tidak saja mampu untuk menginisiasi thrombosis

tetapi juga mampu untuk meningkatkan proses thrombosis. Interleukin-1 (IL-1) dan tumor

necrosis factor (TNF) akan memicu deposisi fibrin melalui mekanisme ekspresi prokoagulan dan

depresi fibrinilisis endotel. TNF juga melakukan downregulation terhadap ekspresi

trombomodulin, akhirnya akan mengubah endotel yang bersifat antitrombotik menjadi

prokoagulan.Disini dapat dilihat bahwa trias Virchow terjadi tetapi pada tingkat molekuler 10.

Kebanyakan trombus terjadi pada vena dengan aliran yang lambat. Dibandingkan

dengan aliran yang berdenyut, aliran lambat dan statis akan berubungan dengan terjadinya

hipoksia pada endotel di katup vena dan akan memicu cedera endotel tersebut. Keadaan

hipoksia juga merangsang produksi cytokine dan ekspresi molekul yang merangsang adhesi

leukosit. Selanjutnya, keadaan stasis aliran darah memungkinkan terjadinya akumulasi factor-

faktor pro koagulan dan berkurangnya factor antitrombisis 10.

Kombinasi antara stasis aliran darah dengan kerusakan endotel baik pada tingkat makro

maupun mikro, tanpa adanya aktivasi system koagulasi tidak bisa memulai proses

trombogenesis. Aktivasi system koagulasi sendiri tanpa adanya dua factor lainnya diatas tidak

akan bisa memulai proses thrombosis. Faktor koagulasi yang sudah teraktivasi, pada kondisi

normal akan cepat larut dalam aliran darah, tetapi jika hal ini terlokalisassi pada daerah stasis

maka proses trombosisi akan dengan cepat terjadi.

E. DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaaan fisik

Pasien dengan DVT memmiliki gejala yang tidak khas dan bisa ditemukan pada kelainan

lainnya. Kira-kira hanya 25% dari pasien yang didiagnosa DVT terbukti benar-benar DVT pada

memeriksaan objektif 4 . Sumber lain mengatakan bahwa pada pasien dengan diagnose DVT

secara klinis yang dilakukan pemeriksaan USG, hanya 12%-31% yang memberikan hasil (+),

sedangkan dengan pemeriksaan venography hanya 46% yang (+), lebih lanjut, ada 50% orang

Page 7: DVT

dengan DVT tidak memberikan gejala dan tanda yang spesifik. Disini dapat disimpulkan bahwa

diagnose DVT tidak bisa ditegakan hanya dengan pemeriksaan klinis, diperlukan suatu

pemeriksaan penunjang untuk memastikannya 10

Gejala klinis dari DVT bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai edema massive dan

sianosis dengan ancaman gangrene vena (phlegmasia cerulean dolens). Gejala dan tanda yang

muncul disebabkan karena obstruksi pada vena dan inflamasi perivaskuler 4. Tanda dan gejala

yang sering muncul adalah nyeri, edema, eritema, nyeri tekan, demam, venektasi, nyeri saat

dorsofleksi pedis (Homans’ sign), dan sianosis perifer. Gejala gejala ini sangat bervariasi dan

memiliki nilai sensitivitas dan spesifitas yang luas. Sebagai contoh, nyeri pada cruris mempunyai

nilai sensitifitas 75% sampai dengan 91% dengan nilai spesifitas 35 sampai 87%, edema pada

cruris nilai sensitifitasnya 35% sampai 97% sedangkan spesifitasnya 8% sampai 88%. Edema

adalah gejala tersering yang muncul dimana gejala ini ditemukan pada 83% pasien, nyeri

merupakan gejala kedua tersering, ditemukan pada 51% pasien 10.

Selain menayakan dan memeriksa tanda dan gejala diatas, hal penting lain yang harus

digali dari pasien adalah kemungkinan adanya factor resiko yang mengarah untuk terjadinya

DVT. Adanya riwayat bed rest lama, operasi sebelumnya, adanya penyakit keganasan yang

diderita atau riwayat DVT atau emboli paru sebelumya harus ditanyakan kepada pasien. bed

rest lama ditemukan pada 40% penderita DVT, keganasan meningkatkan kemungkinan

terjadinya DVT sampai tiga kali lipat. Dari semua penderita DVT, 80% memiliki minimal 1 faktor

resiko, 40% dua dan 10% memiliki tiga factor resiko 10. Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk

mengetahui adanya emboli paru atau adanya emboli paru juga harus digali 2.

Walaupun tidak ada tanda dan gejala DVT yang khas, tetapi dengan temuan klinis ini

bisa dilakukan suatu system scoring yang berguna untuk memprediksi seseorang menjadi

kemungkinan DVT atau tidak (DVT likely atau DVT non likely). Lebih dari 14 penelitian telah

membuktikan manfaat dari system ini. Pasien dengan gejala DVT dengan satu faktor resiko

memiliki probabilitas 85% untuk menjadi DVT, sedangkan jika tidak ada factor resiko hanya 5% 2, 4, 11

Sistem scoring prediksi DVT / Well score 11

Page 8: DVT

Klinis Score

1. Kanker aktif (Sedang pengobatan, pengobatan dalam 6 bln

terakhir, paliatif)

2. Parese, paralisis, pemasangan gips pada ekstremitas inferior

3. Bed rest > 3 hr, bedah mayor yang menggunakan anastesi

umum atau regional dalam 12 minggu terakhir

4. Nyeri tekan (tenderness) di sepanjang distribusi system vena

dalam

5. Bengkak

6. Bengkak pada betis dengan selisih > 3 cm disbanding

kontralateral yang sehat (diukur pada 10 cm dibawah

tuberositas tibia)

7. Pitting edema

8. Collateral superficial veins (nonvaricose)

9. Diagnose lainnya selain DVT yang mungkin atau lebih mungkin

1

1

1

1

1

1

1

1

-2

≥ 2 : Likely DVT, <2 : Unlikely DVT

Pemeriksaaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang penting dalam penegakan diagnose DVT adalah

pemeriksaan D-dimer. D-dimer adalah fragmen protein produk degadasi dari fibrin.. Selain pada

kasus DVT, kadar D-dimer juga akan meningkat pada kondisi perdarahan, paska operasi besar,

trauma, kehamilan atau suatu proses keganasan.. Pemeriksaan ini cukup sensitive tetapi tidak

spesifik, sehingga dalam penegakan diagnosis DVT, nilai yang bermanfaat adalah jika hasilnya

adalah negative untuk menyingkirkan kemungkinan DVT terutama pada pasien yang dengan

sistem scoring prediksi DVT adalah unlikely 4.11.

Pemeriksaan USG vena

Pemeriksaan USG adalah pemeriksaan terpilih pada pasien dengan suspek DVT.

Diagnosis DVT ditegakan jika pada USG didapatkan vena femoralis komunis atau vena poplitea

atau kedua duanya tidak kompresibel. Untuk menegakkan diagnose DVT proksimal,

pemeriksaan ini memiliki nilai sensitifitas 95% dan spesifitas 96%. JIka dalam pemeriksaan klinis

Page 9: DVT

mengarah ke DVT (likely DVT) dan hasil USG positif maka diagnose DVT tegak, demikian juga

jika secara klinis tidak mengarah ke DVT (unlikely DVT) dan USG negative ,maka diagnose DVT

dapat disingkirksn. Kelemahn pemeriksan ini adalah berkurangnya akurasi untuk memeriksa

vena distal, diamana untuk menegakan diagnose DVT distal (isolated calf vein thrombosis) v

nilai sensitifitasnyahanya 60% dan spesifitasnya hanya 70% 2, 4,7,11

Pemeriksaan Venograpy

Awalnya pemeriksaan venography adalah pemeriksan gold standar pada kasus DVT.

Lebih dari 50% pasien yang secara klinis didiagnosa dengan DVT, setelah dilakukan pemeriksaan

venograpy hasilnya (-). Pemeriksan inidilakukan dengan cara membuat akses vena dari daerah

pedis. Setelah kontras dimasukan, dilakukan foto pada dengan proyeksi lateral dan oblique

pada ekstremitas inferior yang terkena. Adaya filling defects pada vena yang sudah diberi

kontras memberikan hasil yang positif. Kerugiannya adalah lebih invasive dengan harus

dilakukan pemasangan kateter vena dan resiko alergi terhadap bahan radiokontras atau

yodium. Saat ini pemeriksaan ini dilakukan jika dengan pemeriksaan lainnya diagnose DVT

masih membingungkan, misalnya jika secara klinis tampak adanya edema tetapi pada

pemeriksaan USG negative. Hal ini biasanya terjadi karena adanya thrombosis pada vena diatas

vena femoralis seperti pada vena iliaka yang bisa terjadi pada kasus kehamilan, keganasan

didaerah pelvis atau pasca pembedahan daerah pelvis 2,4,10,11.

Algoritma diagnosis DVT

Dalam menegakan diagnose DVT, penggunaan algoritma berdasarkan scoring gejala dan

tanda klinis (well’s score), pemeriksaan d-dimer dan USG telah terbukti efktif dan efisien.

Pasien dengam score well <2, dilakukan pemeriksaan d-dimer, jika hasilnya negative maka DVT

dapat disingkirkan, tetapi jika positif maka dilanjutkan dengan pemeriksaan USG. Pada pasien

dengan scor well ≥ 2, maka langsung dilakukan pemeriksaan USG. Jika hasilnya positif maka

diagnose DVT tegak, tetapi jika hasilnya negative maka diperlukan pemeriksaan d-dimer. Jika

hasil pemeriksaan d-dimer memberikan hasil negative maka DVT dapat disingkirkan, tetapi jika

positif maka dilakukan pemeriksaan USG serial 4,11.

Page 10: DVT

F. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan DVT dapt dibagi menjadi dua 2,4 :

Tujuan jangka pendek, yaitu :

Menghentikan bertambahnya thrombus

Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombilisis)

Mencegah terjadi emboli paru

Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah:

Mempertahankan patensi vena dan fungsi katup

Mencegah terjadinya post trombotik syndrome

Mencegah rekurensi

Page 11: DVT

Dalam penatalksanaan DVT harus mempertimbangkan penyebab dari DVT tersebut dan factor

resiko yang menyertai. Selain itu tentunya ondisi klinis dari pasien juga akan sangat

mempengaruhi pemilihan terapi yang diberikan. Berdasarkan jenisnya, terapi DVT dapat dibagi

menjadi 2 :

1. Terapi farmakologis :

a. Anti koagulan :

Unfractionated Heparin (UFH)

Low Molecular Weight heparin (LMWH)

Derivat kumarin: Warfarin

b. Trombolitik :

Urokinase

Rekombinan Tissue Plasminogen Activator (R-Tpa)

Streptokinase

Alteplase

2. Terapi non farmakologis

a. Physical Therapy (Exercise and Compression)

b. Catheter Interventions (Thrombolysis, Aspiration Thrombectomy, Stenting)

c. Surgical Thrombectomy

Berdasarkan waktu pemberian terapi, terapi DVT dibagi menjadi terapi inisial dan terapi jangka

panjang.

TERAPI INISIAL

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin

luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya

sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan

drug of choice DVT 9,12.

Unfractionated Heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan

secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk

menginaktivasi faktor Xa dan trombin. Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan

Page 12: DVT

dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang

disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang

diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,5 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda

pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein

sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya

perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan

antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.

Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warf

arin jika target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari

2,0 9, 12.

Sumber lain menyebutkan cara pemberian UFH dengan bolus 80 U/KgBB, dilanjutkan

maintenance 18 U/KgBB, dilakukan pemeriksaan aPTT atau heparin activity level setelah 6 jam

pemberian. Jika aPTT dibandingkan dengan aPTTK <1,5 maka dosis maintenance dinaikan 20%,

jika >2,5 maka dosis diturunkan 20%. Cek ulang aPTT sampai didapatkan nilai yang diinginkan

dua kali berturut turut, lalu dilakukan monitoring dengan pemeriksaan aPTT, heparin activity

level, hematocrit dan trombosit setiap 24 jam 5.

Page 13: DVT

Low Molecular Weight heparin (LMWH)

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa

melalui ikatan dengan antitrombin. LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa

keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu

paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang

tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH

sebagai antikoagulan 4.

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding

penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke

perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi

abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH

pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk

memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien

dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru

saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta

yang berat 4,9,12. LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan

fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH 4.

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat

sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin

mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.

Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari.

Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari

dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175

IU/kgBB/hari 12. Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah

pentasakarida sinteti k yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin . Dapat digunakan

sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-

100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari .

Page 14: DVT

TERAPI JANGKA PANJANG

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan

pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan 9.

Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang

menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan

terhadap enzim vitamin K epoxide reductase . Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari

pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR

berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan

kondisi malnutrisi 4,9.

Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala

diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya

diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali

perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan

akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal 4,9.

Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki

beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost

effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset

dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien

kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi

kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus

diberikan subkutan disamping harganya yang mahal 4,9.

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain

onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis

obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat.

Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk

menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai

profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan

dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada

DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara

Page 15: DVT

lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan

parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru

adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga

penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh

lebih mahal dari warfarin 4,9.

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan

rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH

kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual

case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT

kurang lebih 5% 4. Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral

vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian DVT

sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang cukup

signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan). Terapi antikoagulan yang

inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik

Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor

resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3

bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan

memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan

ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien

dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi 4,9

Page 16: DVT

TERAPI TROMBOLITIK

Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi

vena lebih cepat daripada antikoagulan 9 . Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau

lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT

dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) 13 . Serine

protease inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-

TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik

dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih

memilih menggunakan alteplase. Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara

cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan

menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori

seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan 9 .

Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding

penggunaan heparin 9. Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko

tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi

kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6

bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis. Kontraindikasi

trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ

(infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan,

Page 17: DVT

trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi

dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg)2

CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya

komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah. Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat

pada table dibawah ini

Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,

penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada

tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,

penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan

antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus

melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus 9, 14. Pemasangan stent endovaskular pada

saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang

mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis

ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah.

Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma

arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus 14. Aspiration thrombectomy juga dapat

Page 18: DVT

dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah

tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus 2, 14

TERAPI NON FARMAKOLOGIS

Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan dan

compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya post

thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun

dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS. Peranan

compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam mencegah PTS

belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas.

Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang

memiliki fungsi vena yang jelek 2,9,13

TROMBEKTOMI

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat

kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy,

lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang

dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah

dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus

dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch bandage.

Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan

pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari

setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang

maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT.

Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi

kompartemen dan perbaikan sirkulasi 2

G. KOMPLIKASI

EMBOLI PARU 2

Emboli paru akut terjadi karena adanya sumbatan aliran arah paru yang disebabkan oleh

adanya trombus yang tebentuk pada pembuluh darah vena atau pada jantung yang beredar

Page 19: DVT

dalam system sirkulasi. Sumber utama trombus pada emboli paru adalah dari ekstremitas

inferior atau perlvis, dimana hal ini ditemukan pada > 90 % kasus.

Manifestasi dari emboli paru akut adalah terjadinya hipertensi pulmonal yang

tiba-tiba dan hipoksemia. Tingkat keparahan dari emboli paru yang terjadi dapat dilihat pada

table berikut ini :

Di Jepang, angka mortalitas embili paru akut mencapai 14%, dedangkan di eropa dan

USA mencapai 30% jika kasus ini tidak terdiagnosa dan tertangani dengan baik, tetapi jika

ditangani dengan baik angka mortalitasnya bisa turun sampai 2-8%. Disini dapat disimpulkan

bahwa diagnose dini dan penanganan yang tepat bisa mengurangi angka mortalitas secara

bermakna

Jika trombus yang menyumbat aliran darah paru hanya mengenai pembuluh darah kecil,

maka yang akan terjadia adalah emboli paru yang kronis. Dikatakan terjadi emboli paru kronis

jika telahterjadi gangguan aliran darah paru dalam kurun waktu > 6 bulan. Gejala klinis yang

muncul adalah : sesak/dispnue dan nyeri dada. Gejala lain yang bisa muncul adalah batuk

kering, sinkope, batuk darah atau bahkan bisa terjadi demam. Jika mulai terjadi gagal jantung

kanan maka bisa muncul distensi abdomen, penurunan BB, dan edema pada ekstremitas

inferior.

POSTTHROMBOTIC SYNDROME (PTS)

Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari

pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena 13.

Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa

Page 20: DVT

kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada

aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena

hipertensi vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular

vena 13. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena,

hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on Control of Anticoagulation

of the Scientific and Standardization Committee of the International Society on Thrombosis and

Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression

Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan

PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya 13

Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk

mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS

simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala

jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk

ulkus vena 13. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko

tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis

dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah

diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara

jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut 13

Page 21: DVT

BAB II

LAPORAN KASUS

WANITA 43 TAHUN DENGAN DVT (DEEP VENOUS THROMBOSIS)

V. FEMORALIS SINISTRA SAMPAI DENGAN V. POLITEA SINISTRA

IDENTITAS PENDERITA

Nama

Umur

Jenis Kelamin

Alamat

Agama

Suku

No. Reg

:

:

:

:

:

:

:

Ny. NI

43 tahun

Wanita

Tahunan, Jepara

Islam

Jawa

7104215

DAFTAR MASALAH

No Problem Aktif Tanggal Problem Pasif Tanggal

1. DVT v. femoralis sinistra sampai

dengan v. Poplitea sinistra

10-11-2012

ANAMNESIS

Pada hari Sabtu, 10 November 2012 pukul 06.00 WIB, dilakukan autoanamnesis terhadap

pasien dan alloanamnesis dengan anak pasien.

KELUHAN UTAMA

Bengkak pada tungkai bawah kiri.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Sekitar 1 bulan SMRS, pasien mengeluh bengkak pada tungkai bawah kiri. Bengkak perlahan

mulai dari kaki lalu menjalar keatas sampai pangkal paha, terasa kaku, sulit digerakan, nyeri (+),

kebiruan diujung kaki (-), kesemutan (-), pasien masih bisa merasakan jika diraba, lalu pasien

Page 22: DVT

berobat ke dokter penyakit dalam, dikatakan ada sumbatan membuluh darah, pasien diberi

obat minum. Setelah minum obat selama 1 minggu bengkak agak berkurang, nyeri berkurang,

lalu karena pasien merasa belum sembuh total, pasien berobat ke RSDK.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya

Pasien sudah 2 bulan menderita gangguan jiwa, pasien banyak tidur, berobat

dengan psikiater, minum obat teratur.

Riwayat sakit keganasan disangkal.

Riwayat penggunaan KB pil, suntik, dan susuk disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat DM (-)

RIWAYAT KELUARGA

Tidak ada keluarga yang menderita kelainan seperti ini

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

Sebelum sakit, pasien bekerja berjualan di pasar, sejak 3 bulan pasien tidak berdagang lagi,

suami bekerja sebagai petani. Biaya kesehatan dengan Jamkesda.

Kesan: sosial ekonomi kurang

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik Pada hari Sabtu, 10 November 2012 pukul 06.00 WIB

Keadaan Umum : Baik, Karnofsky score : 60

Kesadaran : Komposmentis

Tanda Vital : Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit, isi dan tegangan cukup.

RR : 20 x/menit.

Suhu : 37.30C

Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor kulit cukup

Kepala : Mesocephal

Page 23: DVT

Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor 3 mm, reflek

cahaya +/+

Telinga : kelainan anatomis (-/-), discharge (-/-)

Hidung : discharge (-/-)

Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)

Leher : simetris

Thorax

Pulmo :

I : pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

Pa : sonor di seluruh lapangan paru

Pe : stem fremitus kanan dan kiri sama

Au : Suara dasar paru vesikuler, suara tambahan (-).

Jantung :

I : ikhtus kordis tidak tampak

Pa : ikhtus kordis teraba di SIC 4 -5 sinistra

Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal

Au : bunyi jantung I-II normal bising (-)

Abdomen :

I : datar

Pa : supel, hepar/lien tak teraba, DM (-), NT (-)

Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), pekak hepar (+)

Au : BU (+) normal

Ekstremitas : Superior Inferior

Akral dingin (-/-) (-/-)

Sianosis (-/-) (-/-)

Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”

Page 24: DVT

Status Lokalis : ekstremitas inferior sinistra

I :

Tampak edema dari pedis sampai dengan pangkal femur, warna kulit sama dengan sekitar,

venektasi (-), sianosis (-), eritema (-).

Pa :

Kulit lebih hangat dibanding kontralateral, akral hangat, cap. refill < 2 detik, nyeri tekan (+),

pitting edema (+), pulsasi a. dorsalis pedis, a. tibialis posterior, a. poplitea sulit dinilai, humans

sign (-), diameter cruris dx: 31 cm, sin: 32 cm

Klinis Score

1. Kanker aktif (Sedang pengobatan, pengobatan dalam 6 bln

terakhir, paliatif)

2. Parese, paralisis, pemasangan gips pada ekstremitas inferior

3. Bed rest > 3 hr, bedah mayor yang menggunakan anastesi

umum atau regional dalam 12 minggu terakhir

4. Nyeri tekan (tenderness) di sepanjang distribusi system vena

dalam

5. Bengkak

6. Bengkak pada betis dengan selisih > 3 cm dibanding

kontralateral yang sehat (diukur pada 10 cm dibawah

tuberositas tibia)

7. Pitting edema

8. Collateral superficial veins (nonvaricose)

9. Diagnose lainnya selain DVT yang mungkin atau lebih

mungkin

0

0

1

1

1

0

1

-

-

Total 4

DIAGNOSIS SEMENTARA

Suspek DVT sentral sinistra.

Page 25: DVT

INITIAL PLAN

IP Dx : S : -

O : Cek laboratorium (d-dimer, darah rutin, PPT, aPTTk, GDS, ureum , creatinin,

elektrolit (Na,K, Cl) ) EKG, USG ekstremitas inferior sinistra, X foto Thorak AP

Ip Rx : -

Ip Mx : -

Ip Ex : Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang diagnose penyakit dan rencana

tindakan yang akan dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (12-11-12):

D-dimer : tidak diperiksa

Hb : 13 gr% PPT : 10,8/10,6 dtk Cr : 0,87 mg/dl

Ht : 40,2 % aPTTk : 36,3/34,3 dtk Na : 144 mmol/L

Leu : 8.300 /mmk GDS : 95 mg/dl K : 3,8 mmol/L

Trombo : 233.000/mmk Ur : 27 mg/dl Cl : 99 mmol/L

EKG (10-11-12) : NSR

X foto thorak AP (7-11-12)

Kesan :

dbn

USG Doppler Exstremitas Inferior sinistra ( 5-11-2012 )

Tampak edema kutis dan subkutis region ekstremitas inferior sinistra

Tampak trombus pada common femoral vein sampai poplitea vein. Pada

pemeriksaan dengan kompresi, vena tampak inkompresibel

V. Tibialis anterior dan posterior sulit dinilai (edema)

Page 26: DVT

Before compression (cm) With Compression (cm)

CFV 1,25 0,63

Upper FV 0,76 0,54

Lower FV 1,02 0,74

Poplitea V 1,17 0,96

Kesan : Gambaran trombus pada v. Femoralis hingga poplitea sinistra

DIAGNOSIS

DVT v. femoralis sinistra sampai dengan v. Poplitea sinistra

VII. INITIAL PLAN

IpDx : S : -

O : -

Ip Rx : Embolektomi

Ip Mx : Keadaan umum, tanda vital, tanda emboli paru

Ip Ex : Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita pasien.

Menjelaskan tindakan operasi yang akan dilakukan terhadap pasien

Page 27: DVT

BAB III

ANALISIS KASUS

Pada kasus, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan penghitungan wells score,

didapatkan angka 4, sehingga permasuk dalan likely DVT.

Klinis Score

1. Kanker aktif (Sedang pengobatan, pengobatan dalam 6 bln

terakhir, paliatif)

2. Parese, paralisis, pemasangan gips pada ekstremitas inferior

3. Bed rest > 3 hr, bedah mayor yang menggunakan anastesi

umum atau regional dalam 12 minggu terakhir

4. Nyeri tekan (tenderness) di sepanjang distribusi system vena

dalam

5. Bengkak

6. Bengkak pada betis dengan selisih > 3 cm dibanding

kontralateral yang sehat (diukur pada 10 cm dibawah

tuberositas tibia)

7. Pitting edema

8. Collateral superficial veins (nonvaricose)

9. Diagnose lainnya selain DVT yang mungkin atau lebih

mungkin

0

0

1

1

1

0

1

-

-

Total 4

Sesuai algoritma, maka pada pasien ini dilakukan pemeriksaan USG Doppler.

Hasil USG Doppler :

USG Doppler Exstremitas Inferior sinistra ( 5-11-2012 )

Tampak edema kutis dan subkutis region ekstremitas inferior sinistra

Tampak trombus pada common femoral vein sampai poplitea vein. Pada

pemeriksaan dengan kompresi, vena tampak inkompresibel

V. Tibialis anterior dan posterior sulit dinilai (edema)

Page 28: DVT

Before compression (cm) With Compression (cm)

CFV 1,25 0,63

Upper FV 0,76 0,54

Lower FV 1,02 0,74

Poplitea V 1,17 0,96

Kesan : Gambaran trombus pada v. Femoralis hingga poplitea sinistra

Dari sini maka diagnose DVT menjadi tegak

Mempertimbangkan bahwa kejadian dari DVt sudah 1bulan, dimana kemungkinan sudah terjadi

organisasi dari trombus maka terapi yang dipilih adalh trombektomi, dilanjutkan dengan

pemberian anti aggregasi trombosit

Page 29: DVT

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Wakefield T, Myers D, Henke P (2008). Mechanisms of venous thrombosis and

resolution. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 28:387-91

2. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of

pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-

1281

3. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in women.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88

4. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood, 99: 3102-

3110

5. Patel Kaushal (Kevin) (2012). Deep Venous Thrombosis. available in :

www.emedicine.com

6. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indications for catheter-directed thrombolysis

in the management of acute proximal deep venous thrombosis. Arterioscler Thromb

Vasc Biol, 30: 669-674

7. -

8. Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated thrombosis.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:316-20

9. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-

77

10. Meissner Mark H, Strandness Eugene (2005). Pathophysiology and natural history of

acute deep venous thrombosis. in: Rutherford Vascular Surgery 6 th ed. Elsevier

Saunders. Philadelphia: P. 2124-2156

11. Scarvelis D, Wells P (2006). Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis. CMAJ,

175:1087-92

12. Ramzi D, Leeper K (2004). DVT and pulmonary embolism: part II. treatment and

prevention. Am Fam Physician, 69:2841-48Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer

antigen: current concepts and future prospects. Blood, 113:2878-87

Page 30: DVT

13. Kahn S (2009). How I treat postthrombotic syndrome. Blood, 114:4624-4631

14. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indications for catheter-directed thrombolysis

in the management of acute proximal deep venous thrombosis. Arterioscler Thromb

Vasc Biol, 30: 669-674