1
Perjanjian No : III/LPPM/2016-02/103-P
Public Diplomacy dan International Education
Disusun Oleh:
Ratih Indraswari MA (Ketua)
Yulius Purwadi Hermawan Ph.D (Pembina)
Apresian Risadi (Anggota)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan
2016
2
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB
BAB III. METODE PENELITIAN
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
3
Diplomasi Publik dan Pendidikan Internasional :
Persepsi terhadap Pendidikan Tinggi Eropa sebagai Knowledge Centre
ABSTRAK
Hubungan internasional kontemporer mengartikan bahwa hard power semata tidak dapat
digunakan sebagi instrumen utama dalam hubungan internasional. Hal ini mengembangkan
pandangan akan pentingnya Negara untuk berinvestasi pada peningkatan soft power.
Peningkatan power Negara melalui soft power dilandaskan pada adanya „ketertarikan‟ terhadap
nilai dan norma yang dikedepankan oleh Negara tersebut. Diplomasi publik merupakan salah
satu upaya yang dapat ditempuh oleh Negara untuk membentuk ketertarikan tersebut.
Peningkatan ketertarikan ini dapat ditempuh melalui mekanisme pendidikan internasional yang
mana memberikan ruang akan timbulnya mutual understanding dari hubungan people-to-people.
Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa pendidikan internasional dapat membantu untuk
meningkatkan soft power suatu Negara. Namun kemudian mencoba mengangkat asumsi tersebut
ke dalam tingkat regional dengan mencoba melihat bagaimana profil pendidikan internasional di
kawasan Eropa dan apakah persepsi akan hal tersebut memiliki potensi dalam berkontribusi
terhadap upaya pembentukan Eropa sebagai knowledge centre.
Kata Kunci: pendidikan internasional; diplomasi publik; persepsi, knowledge-centre.
4
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Urgensi Penelitian
Power secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian; hard power yang
mengasumsikan pentingnya kemampuan material serta soft power yang bergantung pada
kemampuan ideasional. Kemampuan material adalah signfikan di dalam pencapaian suatu status
negara di dalam dunia politik, namun hal tersebut tidak mengabaikan pentingnya power
ideasional di dalam mendukung status tersebut. Etika kontemporer dalam hubungan internasional
membatasi negara dalam menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi isu kontemporer.
Perang tidaklah lagi menjadi komoditas populer akibat munculnya konsep interdependensi dan
globalisasi yang menghubungkan setiap bagian dunia dan membuatnya semakin rentan dan
rapuh terhadap instabilitas. Bahkan ketika Negara tetap menjadi aktor yang berkuasa, mereka
tidak dapat mengabaikan meningkatnya aktor non-negara dalam hubungan internasional.
Kehadiran mereka dalam konteks global menciptakan perbedaan dinamika politik yang memaksa
negara untuk mengadopsi strategi baru yang sesuai di mana strategi ini merujuk pada elaborasi
lebih lanjut mengenai peran soft power di dalam dunia politik.
Soft power dicari oleh negara. Popular culture yang dikenalkan oleh Amerika Serikat
saat era Perang Dingin merupakan contoh budaya yang telah menjadi ikon nilai yang terkait erat
pada perspektif global akan modernisasi. The ‘American Dream’ yang telah dikenalkan di
berbagai budaya dan peradaban ikut menciptakan permintaan global terkait nilai-nilai Amerika.
Tren serupa dapat ditemukan di Asia, dimana Korea Selatan telah berhasil menerapkan Korean
Pop Culture melalui Hallyu Wave sementara anime Jepang serta manga telah mendapatkan
dukungan kuat dari masyarakat internasional.
Penggunaan soft power menekankan pada kekuatan dari ketertarikan yang diharapkan
dapat diraih melalui dukungan pemerintahan asing terhadap kebijakan dan status Negara maupun
melalui bentuk positif perspektif dari masyarakat publik asing. Perspektif positif dari publik
menjadi penting mengingat elit politik tidaklah kebal terhadap permintaan dari masyarakat
mereka.
Soft power diidentifikasikan melalui aktivitas diplomasi publik dalam korelasi spesifik
dengan skema pendidikan internasional in-country. Peran pendidikan in-country internasional
disinyalir sebagai sebagai suatu instrumen diplomasi publik dalam meningkatkan soft power
suatu Negara. Pendidikan internasional dipilih sebagai fokus karena dukungannya terhadap
5
interaksi langsung antara siswa asing dan masyarakat lokal. Eksposur nilai dan kultur Negara
host memperbolehkan terciptanya mutual understanding.
Negara maju telah mengadopsi pendekatan tersebut melalui pemberian bantuan
pendidikan melalui berbagai skema beasiswa. Diantaranya ialah, Beasiswa Chevening oleh
pemerintah Inggris, Fullbright oleh pemerintah Amerika, Australia Award oleh pemerintah
Australia, Mobungakusho oleh Pemerintah Jepang serta StuNed oleh pemerintah Belanda.
Berbagai kebijakan tersebut menargetkan penduduk global sebagai penerima beasiswa kendati
beberapa skema memfokuskan pada kriteria lebih spesifik seperti asal Negara (berkembang
maupun terbelakang) termasuk asal daerah di negara tersebut serta golongan pekerjaan (prioritas
umumnya diberikan kepada pegawai pemerintah dan akademisi)
Penelitian lanjutan akan mencoba melihat bagaimana persepsi masyarakat, utamanya
mahasiswa di dalam melihat Eropa sebagai knowledge centre.
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
Soft Power dan Diplomasi Publik
Nye berargumen bahwa untuk mempengaruhi perilaku orang lain, dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan. Pertama penggunaan tekanan kohersif, kedua penggunaan tekanan
ekonomi baik dalam bentuk suap maupun pembayaran dan ketiga adalah atraksi yang membuat
orang lain menginginkan apa yang kita inginkan. Soft power sebagaian besar berdasarkan pada
pendekatan terakhir karena bertujuan untuk „‟co-opts not coerce” (Nye, 2008).
Namun, penggambaran Nye mengenai soft power telah menerima banyak kritik.
Sebagaian besar kritik menunjuk pada ketidakmampuan soft power untuk masuk ke dalam
perhitungan akan power. Nilai, norma dan budaya sebagai sebuah ideational power memiliki
karakter yang berbeda dengan material power, oleh karena itu pengambil kebijakan menghadapi
posisi yang sulit untuk bergantung pada perhitungan soft power.
Kritik lainnya terhadap soft power menekankan pada arguman bahwa nilai tidaklah
bersifat universal. Apa yang dianggap sebagai nilai yang diinginkan dalam sebuah daerah tidak
berarti diterima sebagai nilai yang umum di daerah lain. Namun pada kenyataannya, tidak dapat
dipungkiri bahwa negara saling berkompetisi satu sama lain untuk mencapai persepsi positif dari
masyarakat publik melalui peningkatan soft power. Menanggapi kritik tersebut, Nye kemudian
6
mmperkenalkan konsep „smart power‟ yang menekankan kombinasi antara hard power dan soft
power di dalam formulasi strategi nasional.
Sumber daya dari soft power didefinisikan sebagai „nilai yang diekspresikan negara
dalam kulturnya‟ (Nye, 2008). Sehingga, power semacam ini bisa didapatkan dari tingkat
ketertarikan kultur, nilai politik dan kebijakan luar negeri Negara. Dalam hubungan internasional
post-modern, Negara yang menjadi menarik ialah Negara yang “ frame the issues, whose culture
and ideas are closer to the prevailing norms and whose credibility abroad is reinforced by their
values and policies’ (Nye, 2011).
Inti dari soft power sendiri bergantung pada ketertarikan; menarik bukan hanya bagi elite
pemerintah namun juga kepada para hadirin publik, dan kredibilitas menjadi hal yang sangat
penting. Persepsi negative akan menghancurkan kredibilitas dan membuat soft power bekerja
dengan tidak menguntungkan (Nye, 2011).
Soft power dicari oleh negara. Soft power menekankan pada daya tarik, sebagaimana
tujuannya adalah „lebih untuk mengajak orang daripada untuk memaksa mereka‟ (Nye 2008).
Power seperti ini dapat dibentuk dari budaya negara, nilai politik negara, dan kebijakan luar
negeri negara. Perkembangan lebih lanjut telah menunjukkan bahwa meskipun negara ingin
memperoleh soft power, hal ini tidak semata-mata hanya negara yang menggunakan soft power.
Eksistensi aktor non-negara telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan peran dalam
mendukung peningkatan soft power suatu negara, serta pada waktu yang bersamaan pula tidak
dapat dihindarkan bahwa mereka kini menjadi aktor baru yang diperhitungkan dalam hubungan
internasional. Saat ini tulisan mengenai soft power tidak dapat dipisahkan dari peran aktor non-
negara. Dengan demikian, peran dari aktor non-negara dalam meningkatkan soft power kini
dianggap cukup penting (Nye 2011).
Salah satu cara untuk menerjemahkan soft power ke dalam kebijakan Negara adalah
dengan menggunakan diplomasi publik sebagai instrumen komunikasi. Melalui diplomasi
publik, aktivitas untuk membentuk opini publik dapat dilakukan. Nye menekankan korelasi
antara soft power dan diplomasi publik sebab ‘diplomacy aimed at public opinion can become as
important to outcomes as the traditional classified diplomatic communications among leader’
(Nye, 2008).
Pemahaman umum atas diplomasi publik adalah usaha dari Negara-negara untuk
menciptakan basis dukungan di Negara asing. Sebagaimana disadari oleh Negara-negara bahwa
7
terdapat keterbasan atas penggunaan instrumen hard power, maka menjadi penting bagi mereka
untuk melakukan pendekatan yang komprehensif. Untuk menciptakan soft power, fondasi
hubungan people to people diperlukan. Masyarakat publik menjadi „target‟ yang penting di
samping pemerintahan mereka sendiri, sehingga memenangkan hati masyarakat publik
internasional menjadi kewajiban Negara.
Aktivitas diplomasi publik telah berkembang secara signifikan. Masa keemasan
diplomasi publik sendiri terjadi ketika masa Perang Dingin berlangsung. Dalam
perkembangannya diplomasi publik telah ditinggalkan pada akhir Perang Dingin dan muncul
kembali setelah serangan 9/11 yang menimpa Amerika Serikat. Perubahan ini mengakibatkan
munculnya mekanisme diplomasi publik yang berbeda dengan masa bipolar di mana sedang
berlangsung pada masa itu. Perbedaan akan konsepsi ini dimengerti dalam diskursus akan
diplomasi publik baru dan diplomasi publik lama (Gilboa, 2008)
Scondi memberikan perbandingan antara apa yang ia tekankan sebagai diplomasi publik
tradisional dan diplomasi publik pada abad ke-21 (Scondi, 2008). Sorotan dari perbedaan ini
terletak pada beberapa karakteristik, terutama pada kondisi di mana tipe diplomasi ini dapat
beroperasi. Diplomasi publik tradisional berlangsung pada saat terjadi ketegangan dan saat
perang, sedangkan diplomasi publik kontemporer beroperasi pada saat damai. Akibatnya, tujuan
dari diplomasi tradisional adalah untuk mencapai pergantian politik dengan mengubah sikap dari
Negara target, sedangkan tujuan dari diplomasi publik abad ke-21 adalah untuk mempromosikan
lingkungan positif untuk menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang kondusif. Metode
yang digunakan oleh dua tipe publik diplomasi ini pun berbeda. Diplomasi publik tradisional
menggunakan cara komunikasi satu arah, sedangkan diplomasi publik kontemporer menekankan
pada percakapan dua arah. Komunikasi diplomasi tradisional yang bersifat satu arah hanya
terbatas pada penyebaran informasi, sementara mekanisme dua arah diplomasi publik
kontemporer bertujuan untuk menbentuk dan menjaga hubungan yang erat.
Pendidikan internasional merupakan contoh dari diplomasi publik pada abad ke-21.
Diplomasi ini beroperasi pada saat masa damai dan bertujuan untuk mempromosikan lingkungan
positif pada bidang politik dan ekonomi. Hubungan „people to people‟ merupakan karakter pada
skema incountry beasiswa yang memberikan kesempatan mahasiswa asing untuk berintaraksi
dengan masyarakat host. Interaksi mereka akan melahirkan komunikasi dua arah sebagai dasar
dari terbentuknya mutual understanding.
8
Nye berargumen bahwa dimensi terakhir dari diplomasi publik adalah pengembangan
dari hubungan yang bertahan lama, di mana kuncinya adalah para aktor-aktor non-Negara.
Dimensi terakhir dari diplomasi publik ini bekerja dalam komunikasi dua arah dan merupakan
mekanisme paling efektif dalam proses internalisasi nilai dan budaya host. Oleh karena itu,
pertukaran pelajar dan interaksi langsung mereka dengan masyarakat dan nilai negara host
memiliki potensi tinggi untuk menciptakan ketertarikan pada nilai dari masyarakat negara host
tersebut.
Pendidikan internasional merupakan bagian dari model soft power oleh Nye yang melihat
bahwa peran dari aktor-aktor non-Negara dan masyarakat sipil dalam melaksanakan soft power
dianggap lebih baik (Nye, 2008). Pendidikan tinggi dalam hal ini memiliki potensi untuk
mendorong terciptanya soft power melalui aktivitas pendidikan internasional. Sebab aktivitas
tersebut memberikan kesempatan untuk terjalinnya komunikasi dua arah antara pelajar asing dan
masyarakat lokal yang menghasilkan pertukaran nilai dan penciptaan pemahaman yang sama.
Dalam usahanya untuk melibatkan dunia internasional, Uni Eropa secara luas telah
menjadi suatu contoh yang sukses dalam menggunakan soft power. Soft power tersebut dibangun
dari pemanfaatan daya tarik yang bertujuan untuk membangun persepsi positif publik. Meskipun
penggunaan soft power masih terhambat dengan adanya definisi yang belum jelas, gagasan
bahwa terdapat kebutuhan untuk mengatur opini publik di zaman yang kini memperhitungkan
keikutsertaan publik dalam pembuatan kebijakan telah disepakati secara umum.
Di antara beberapa instrumen soft power yang ada, pendidikan internasional dianggap
sebagai salah satu cara yang efektif dalam mempengaruhi gagasan positif tentang Eropa sebagai
sebuah pusat pendidikan. Dengan banyaknya jumlah beasiswa yang ditawarkan untuk belajar di
universitas ternama di Eropa, Uni Eropa telah dengan setia mendukung para pencari beasiswa di
seluruh dunia.
Usaha-usaha untuk memperkuat soft power negara dapat dilakukan dengan
penggambaran aktivitas diplomasi publik yang positif. Studi Diplomasi Publik telah berubah
seiring berjalannya waktu dan dimengerti secara lebih luas sebagai faktor yang berkontribusi
dalam perkembangan soft power (Melissen 2013 dan 2005).
Diplomasi publik awalnya dipahami sebagai aktivitas komunikasi pemerintah dengan
publik yang bertujuan untuk membawa pemahaman mengenai ide-ide dan cita-cita, konstitusi
dan budaya, yang sejalan dengan cita-cita nasional dan kebijakan saat ini (Hans Tuch).
9
Pemahaman Tuch pada aktor-aktor pemerintahan didukung oleh Potter, meskipun ia
menjabarkan pendapatnya dengan berpendapat bahwa meskipun diplomasi publik yang
dilakukan oleh pemerintah resmi, program-program yang ada tidak „‟secara khusus hanya
mengenai hubungan negara-dengan-negara” (Potter 2002). Sejak saat itu diplomasi publik telah
mengalami beberapa perubahan. Perkembangan terkini tentang konsep Diplomasi Publik dapat
dilihat ke dalam dua gambaran umum; pertama, peran dari aktor-aktor non-negara dalam
menggunakan diplomasi publik dan kedua, keikutsertaan dari para „domestic audiences’ dalam
aktivitas diplomasi publik.
Perubahan utama dalam kajian aktor hubungan internasional telah membawa sejumlah
konsepsi tentang „The New Public Diplomacy‟. Pemahaman lama mengenai diplomasi publik
dipandang tidak mencukupi dikarenakan keterbatasannya dalam memandang dunia hubungan
internasional sebagai sesuatu yang state-centric. Istilah Diplomasi Publik baru berkembang
dengan tujuan untuk menaruh lebih banyak fokus pada aktivitas aktor non-negara dalam
diplomasi publik (lihat Melissen 2013, Cooper 2008, Dieter dan Kumar 2008, Thral 2008 dan
Cull 2009). Potter berpendapat bahwa diplomasi publik bertujuan untuk penerima luar negeri
(Potter 2002). Di satu sisi, Mellisen berpikir bahwa ‘domestic audiences’ telah menjadi suatu
kesatuan dalam kebijakan luar negeri dan aktivitas diplomasi. Lebih lanjut, ia menyebutkan
bahwa demokratisasi telah menyebabkan batas di antara publik domestik dengan publik
internasional menjadi tidak jelas dalam konteks kebijakan luar negeri. Ia menggunakan sebuah
contoh pada meningkatnya peran publik dalam pembentukan kebijakan luar negeri melalui
dialog-dialog kebijakan luar negeri, masukan-masukan kebijakan, dan e-discussion mengenai
kebijakan luar negeri (Melissen 2013 dan Melissen 2005). Meskipun terdapat beberapa
pandangan yang saling tumpang tindih, diplomasi publik dibentuk atas dasar kredibilitas,
sehingga komunikasi dua jalur dan keikutsertaan seluruh pemangku kepentingan; baik publik
domestik maupun luar negeri sama-sama mempengaruhi efektivitasnya.
Pendidikan Internasional dan Soft Power
Analisis Cull mengenai aktivitas diplomasi publik menekankan pada 5 (lima) tipe
instrumen Diplomasi Publik; (1) Mendengarkan didefinisikan sebagai pengumpulan masukan
pada opini publik dan menggunakan masukan tersebut untuk membuat dan kebijakan langsung
dalam menyesuaikan dengan preferensi publik, (2) Advokasi memfokuskan pada komunikasi
10
internasional yang aktif yang bertujuan untuk mempromosikan ide-ide dan kepentingan untuk
publik luar negeri, (3) Diplomasi Budaya menggunakan budaya sebagai media untuk pendekatan
dengan publik luar negeri dengan mengirimkan contoh budaya lokal ke luar negeri, (4)
Pertukaran menekankan pada proses pengiriman budaya dengan mengirimkan warga negara dan
menerima warga luar negeri untuk mengikuti studi atau program akulturasi, (5) Penyiaran
internasional dengan menggunakan teknologi; TV, radio dan internet untuk berhubungan dengan
warga luar negeri. Ia kemudian menambahkan Psychological Warfare sebagai aktivitas pararel
keenam pada instrumen diplomasi publik yang mengarah kepada komunikasi pada masa perang
(Cull 2009).
Suatu hal yang penting namun masih jarang dikaji adalah mengenai pemanfaatan
pertukaran (exchange) sebagai sumber soft power. Instrumen ini ada untuk pemeliharaan
persepsi yang membangun tidak hanya tentang negara tertentu namun juga sebuah organisasi.
Pertukaran menyangkut aktivitas seperti pendidikan internasional, beasiswa, pertukaran pelajar,
pelatihan, seminar, konferensi dan kesempatan untuk berkolaborasi. Dalam hal ini,
mempertahankan komunikasi dua arah melalui komunikasi tatap muka merupakan mekanisme
yang paling efektif. Pertukaran pelajar dan interaksi secara langsung dengan negara penerima
dan nilai yang berlaku, memiliki pengaruh yang lebih tinggi dalam membangun ketertarikan
terhadap nilai-nilai negara penerima.
Studi mengenai Pendidikan Internasional sebagai sebuah instrumen strategi diplomasi
telah menerima sedikit elaborasi pada Ilmu Hubungan Internasional di tengah-tengah tren global
dalam peningkatan aktivitas pendidikan yang komersil. Studi mengenai pendidikan internasional
membatasi pembahasan utamanya pada perspektif manajemen. Penelitian mengkaji
internasionalisasi pada pendidikan tinggi menggunakan strategi marketing (marketization) dan
lebih jauh berpendapat sebagai bagian dari nation branding yang dapat dihubungkan lebih erat
kepada gambaran sebuah institusi di suatu negara (Abbas 2014, Khanna dan lain-lain 2014 dan
Goi, dan lain-lain 2014). Pendidikan Internasional telah dikaji dengan fokus pada in-bound
program pelajar, namun demikian integrasi pelajar out-bound, program bantuan pengembangan
pendidikan, dan kolaborasi yang menekankan pada keterhubungan manusia, mendukung
pendidikan internasional sebagai suatu model yang efektif dan berkembang dalam diplomasi
publik (Byrne & Hall 2013 dan Byrne & Hall 2014).
11
Pendidikan internasional tidak selalu berbicara mengenai aktor negara, melainkan pula
melibatkan aktor non-negara. Aktor-aktor non-negara tersebut beragam, mulai dari institusi
pendidikan tinggi, agen pendidikan, hingga pelajar internasional (lihat Hadiwinata, 2015:
Purdey, 2015: Byrne dan lain-lain, 2011)
Jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah tempat berkembangnya soft power sebagai
penyedia modal sosial di mana pertukaran dan transfer kebudayaan terjadi. Pendidikan adalah
„kendaraan‟ untuk pengiriman ide-ide dan sarana pertukaran untuk mempromosikan kepentingan
dalam menggunakan soft power. Daya tarik bertindak sebagai kunci utama dalam efektivitas soft
power. Daya tarik dalam hal ini ditemukan dalam „hasrat dan keinginan‟ mahasiswa yang
terinternalisasi dan tergambar dalam persepsi mereka. Soft power dapat dianggap sama
efektifnya dengan hard power dalam pembentukan pilihan, sejauh hal tersebut dibangun secara
objektif dan selama para mahasiswa dapat menerima dampak yang dihasilkan (Noya 2006,
Lukes 2005). Mengingat datya tarik menjadi kunci utama dari soft power, tujuan dari power ini
melalui pendidikan internasional dapat ditelusuri melalui persepsi pelajar sebagai pencari
beasiswa terkait tujuan studi mereka. Tujuan studi di sini mungkin beragam dalam hal
universitas hingga negara yang dipilih.
BAB III. METODE PENELITIAN
Pembatasan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan memfokuskan pencarian data melalui data primer
dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh melalui pengisian kuisioner survey sedangkan
data sekunder akan diperoleh dari analisa dokumen.
Tulisan ini mengambil gagasan pendidikan internasional sebagai sebuah sumber soft
power yang lebih lanjut dilakukan dengan menganalisis persepsi para pencari beasiswa. Terdapat
beberapa pembatasan masalah dalam tulisan ini; pertama, diasumsikan bahwa para pencari
beasiswa datang dari negara-negara berkembang, dengan alasan bahwa mereka sedang dalam
posisi untuk mencari kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih baik dan mendapatkan
pengalaman untuk tinggal di luar negeri. Kedua, para pencari beasiswa yang disorot adalah
mahasiswa S1 yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri,
mengingat golongan ini menduduki tingkat tertinggi dalam pasar beasiswa. Ketiga, penelitian
akan menggunakan metode survei yang ditujukan kepada kalangan mahasiswa Universitas
12
Katolik Parahyangan untuk mencoba mendapatkan gambaran atas motivasi mereka untuk
melanjutkan studi di Eropa. Analisis akan dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penting yang akan menjelaskan hubungan antara pilihan-pilihan mahasiswa dan Soft Power milik
Uni Eropa di bawah kerangka pendidikan internasional.
Terdapat dua tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perkembangan soft power dari perspektif mahasiswa melalui saluran pendidikan internasional
dan berusaha memberikan pengetahuan baru untuk tujuan strategi „internasionalisasi‟
International Office (IO) Universitas Katolik Parahyangan.
Dalam melaksanakan hal tersebut, penelitian ini perlu dilakukan dalam tiga langkah: (i)
Mengidentifikasi persepsi mahasiswa terhadap daya tarik Eropa, (ii) Menganalisis Uni Eropa
sebagai penyedia saluran pendidikan, utamanya Erasmus sebagai penyedia beasiswa, dan (iii)
Mengidentifikasi strategi internasionalisasi yang baik untuk universitas di Indonesia terkait
pemanfaatan peluang untuk mempererat hubungan Uni Eropa – Indonesia.
Sebagai langkah pertama dalam esai ini, diidentifikasi persepsi mahasiswa terhadap daya
tarik Eropa dalam konteks pendidikan internasional. Diajukan dua hipotesis dalam memahami
daya tarik Eropa terhadap mahasiswa yang ingin melanjutkan studinya. Asumsi pertama
menyoroti bahwa daya tarik utama dari Eropa merupakan lingkungan pendidikannya yang
ditawarkan kepada mahasiswa, sedangkan asumsi kedua menganggap bahwa di samping alasan
pendidikan, lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi preferensi mahasiswa.
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan informasi terkait perspektif mahasiswa
adalah survei kuantitatif terhadap 200 mahasiswa S1 Universitas Katolik Parahyangan. Jumlah
responden merepresentasikan kuota tertentu yang dialokasikan terhadap setiap fakultas
berdasarkan total seluruh mahasiswa yang tertarik untuk melanjutkan studi di Eropa. Penelitian
ini tidak menyoroti data mahasiswa yang ingin menetap di Eropa secara permanen, dengan
pertimbangan bahwa soft power Eropa utamanya ditujukan kepada warga asing. Pendidikan
internasional, dengan demikian harus dipandang sebagai satu-satunya medium untuk penanaman
norma dan nilai yang mendorong dukungan pelajar terhadap Uni Eropa. Survei yang dilakukan
mengadopsi kuesioner semi-terstruktur di mana mahasiswa diberikan serangkaian asumsi yang
telah tertulis untuk mereka pilih apakah setuju atau tidak setuju dan serangkaian pertanyaan
terbuka untuk melihat lebih jauh beberapa alasan alternatif.
13
Pembatasan dapat ditemukan dari kemungkinan biasnya sampling dikarenakan persepsi berbeda
dari mahasiswa di tiap fakultas terkait keinginan mereka untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Alasan utama dari hal ini terletak pada spesifikasi dan spesialiasi studi di Indonesia yang tidak
mengharuskan pelajar untuk mencari informasi dari luar negeri.
Target temuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini ialah untuk mengidentifikasi
persepsi mahasiswa terhadap profil pendidikan regional di kawasan Eropa serta ide mengenai
Eropa sebagai knowledge centre. Luaran yang ingin dicapai ialah artikel jurnal yang dapat
dipublikasikan dalam jurnal nasional serta menjadi acuan di dalam penelitian dan pengkajian
mengenai korelasi pendidikan regional dan diplomasi publik.
Roadmap Penelitian Diplomasi Publik
Tahun 2013 2014 2015 2016
Penelitian
Opini
Publik dan
Identitas
ASEAN
Diplomasi
Kultural
ASEAN
Publik
Diplomasi
dan Nation
Branding
(Case
ASEAN
University
Network)
Soft Power dan
International Education
(Case ASEAN – EU)
Luaran
Paper
presenter
ICIRD,
Chulalangk
orn
University
Jurnal
JIPSi
Jurnal
Intenasional
IJSSH
(International
Journal on
Social
Sciences and
Humanity)
Presentasi
dalam
Konvensi
Nasional
Asosiasi
Ilmu
Hubungan
Internasional
se-Indonesia
(AIHII)
Presentasi awal dalam
ICPSIR 2016
Lanjutan Penelitian yang
direncanakan akan
dipresentasikan dalam
Konferensi EUSA
(European Union Studies
Association) di Hongkong.
14
Publikasi Jurnal Nasional -
JENDELA, Fakultas Sosial
dan Politik, Universitas
Sains dan Teknologi
Jayapura
BAB IV. JADWAL PENELITIAN
No Aktivitas Feb Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan
rancangan penelitian
2 Presentasi di ICPSIR
2016
3 Proses penyerahan ke
LPPM Unpar untuk
dukungan internal
4 Field Work:
Interview
5 Analisa data dan
hasil interview
6 Penulisan hasil
penelitian (co-
writing)
7 Presentasi hasil
penelitian dalam
EUSA – European
Union Studies
Association
Workshop
15
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia dan Uni Eropa: Pendidikan
Berdasarkan sejarah, pendidikan Uni Eropa diprakarsai oleh Magna Carta Universitatum
pada 1988 dan The Sorbonne Declaration pada 1998. Kedua dokumen tersebut menunjukan
adanya peningkatan kesadaran pada kebutuhan integrasi dari mekanisme pendidikan Eropa.
Hanya setelah Lisbon Agenda, barulah semangat tersebut diproyeksikan menjadi fora
internasional untuk menstimulasi keikutsertaan Uni Eropa pada tingkat internasional sebagai
„Europe of Knowledge‟ (Corbett 2003).
Secara garis besar, profil mobilitas pelajar Indonesia dapat dikatakan berpeluang.
Ledakan penduduk menciptakan potensi besar terkait sumber daya manusia, jika dimanfaatkan
dengan benar akan menghasilkan suatu daya dorong yang sangat besar untuk perkembangan
Indonesia. Berdasarkan British Council Reports, Indonesia memiliki jumlah populasi pada
tingkat pendidikan tinggi berumur dari 18-22 tahun yang jumlahnya mencapai 20.691.000 pada
2013. Jumlah ini diharapkan bertambah menjadi 23.936.000 pada akhir 2024. Indonesia
diramalkan akan memiliki hingga 11 juta pendaftar mahasiswa pada tahun 2024 dan hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga terbesar dengan rata-rata perkembangan mobilitas
sarjana Nigeria dan India (British Council Report 2014). Secara umum trend pada studi di luar
negeri oleh mahasiswa Indonesia cenderung meningkat, dan sebagian didukung oleh peningkatan
kekuatan ekonomi Indonesia (British Council Report 2014) dan ketersediaan beasiswa yang ada,
baik dari luar negeri maupun dari pemerintah Indonesia.
Uni Eropa telah menjadi penyokong terlama Indonesia terkait mobilitas Pendidikan
Internasional Indonesia dengan menyediakan dukungan untuk proyek internasionalisasi
8 Perbaikan hasil
penelitian
9 Penyerahan hasil
penelitian ke LPPM
10 Publikasi Jurnal
Nasional/Internasion
al
16
pendidikan tinggi Indonesia. Sejak 2004 hingga 2013, Uni Eropa telah menyediakan beasiswa
bagi orang Indonesia untuk belajar di Eropa melalui Erasmus Mundus. Sejumlah 620 mahasiswa
Indonesia telah dikirim untuk melakukan studi di luar negeri pada program Sarjana, Master,
Ph.D, dan program pertukaran staf, dengan mencapai 80% dari mahasiswa dikirim dengan
program full master. Pada tahun 2014, program baru Erasmus Plus telah melangsungkan
penyediaan 16 juta Euro untuk mendukung pengiriman pelajar Indonesia (Delegasi Uni Eropa
untuk Indonesia dan Brunei Darussalam 2016).
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Erasmus program adalah bentuk realisasi Uni
Eropa dalam membangun daya tariknya di antara para pencari beasiswa di Indonesia. Faktor
yang dianggap mempengaruhi para pelajar merupakan pembentuk persepsi atas Uni Eropa yang
akan dijabarkan melalui studi kasus pada mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan
(UNPAR).
17
Analisis Persepsi
Daya tarik Eropa sebagai Sumber Pengetahuan diterjemahkan dalam pertanyaan seputar
fasilitas pendidikan, sedangkan persepsi terhadap Eropa sebagai tempat tinggal memasukkan
beragam variabel mulai dari fasilitas yang mendukung kebutuhan tempat tinggal hingga aspek
sosial, ekonomi, serta aktivitas budaya yang disediakan oleh masyarakat di negara terkait.
Inggris mendapatkan posisi utama sebagai destinasi yang diinginkan oleh mahasiswa, diikuti
oleh Belanda, Jerman, dan Prancis. Data ini memiliki korelasi dengan laporan British Council
tentang Postgraduate Mobility Trends 2024, di mana Inggris memiliki jumlah pelajar Indonesia
terbanyak di Eropa dan memiliki rata-rata pertumbuhan pergerakan pelajar Indonesia tertinggi ke
Eropa pada angka +9,3%.
Inggris Belanda Jerman Prancis Skandinavia
Preferensi Negara
18
Empat negara besar yang menjadi preferensi paling utama seringkali disebut sebagai
Negara Uni Eropa Bagian Barat. Keempatnya juga telah memberikan kontribusi terhadap
Indonesia melalui kerja positif dari British Council, Nuffic-Neso, Goethe Institute, dan Alliance
Francais (Institute Francais Internationale). Hal menarik yang dapat dilihat di sini adalah
rendahnya minat pelajar untuk melanjutkan studi di Belanda, di saat jika mengingat sejarahnya
Belanda memiliki hubungan yang erat dengan Indonesia.
Alasan yang mendukung Eropa sebagai destinasi pendidikan terdiri dari dua sub-kategori.
Sub-kategori pertama mengarah kepada fasilitas pendidikan yang dapat diakses oleh mahasiswa
selama periode studi mereka. Mengingat sumber soft power dapat ditemukan dalam legitimasi
sosial pelajar dengan menghadiri dan lulus dari universitas ternama (Jones 2010), sub-kategori
kedua meliputi alasan yang terkait dengan persepsi dan perasaan yang menghubungkan
kredensial akademis dengan negara asal.
19
Secara umum, didapatkan preferensi positif atas kredibilitas pendidikan Eropa.
Mahasiswa melihat kualitas pendidikan, profesor, dan lingkungan pendidikan yang mendukung
sebagai alasan yang mendorong preferensi mereka untuk menempuh studi di Eropa. Hasil negatif
terlihat dalam hal terkait biaya studi. Angka ini dapat dipahami dengan fakta bahwa mayoritas
mahasiswa ingin menempuh studi mereka di Inggris dan Belanda. Namun demikian, angka ini
mungkin juga ditemukan dari mahasiswa yang tidak mengetahui bahwa biaya pendidikan di
negara seperti Jerman dan Prancis tidaklah tinggi.
0
50
100
150
200
250
KualitasPendidikan
KualitasPengajar
BiayaPendidikanTerjangkau
Banyaknya AhliBidang Terkait
LingkunganPendidikan yang
Mendukung
InfrastrukturPendidikan
Lingkungan Pendidikan
145
150
155
160
165
170
175
180
185
Lulus dari UniversitasTernama
Meningkatkan StatusSosial Akademis
Meningkatkan PeluangBekerja Setelah Kembali
Pengetahuan untukIndonesia
Sosio Utilitarianisme
20
Dari perspektif utilitarianisme sosial, mahasiswa berpendapat bahwa lulus dari
universitas ternama dapat memberikan rasa bangga. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan
kesempatan yang lebih besar dalam melamar pekerjaan di negara asal. Hal yang penting pula
dapat terlihat dari kebanyakan mahasiswa yang memiliki pandangan bahwa pada akhirnya
mereka akan kembali ke negara asal dan menggunakan ilmu yang telah mereka dapat selama
studi untuk memajukan Indonesia.
Dalam menentukan variabel yang mempengaruhi pilihan mahasiswa untuk pindah ke
Eropa, dapat diberikan dua hal utama. Pertama, keberadaan nilai dan norma yang dilihat sebagai
daya tarik oleh mahasiswa. Adanya pegerakan bebas yang ditawarkan oleh Eropa dipandang
sebagai sesuatu yang sangat positif untuk para pencari beasiswa. Beberapa berpendapat bahwa
pergerakan bebas memberikan kesempatan yang lebih besar dan lebih baik bagi mahasiswa
untuk berpergian dan menjalin koneksi dengan orang-orang di luar batas negara. Beberapa
kelompok menyebutkan bahwa pergerakan bebas menunjukkan dinamika abad 21, di mana
internasionalisasi telah menjadi bagian dari modernitas. Generasi muda kini tinggal di dunia
yang terhubung oleh fiber optic. Mereka bekerja dalam dunia yang telah terhubung, sehingga
menciptakan keadaan yang berbeda bila dibandingkan dengan era baby boomer.
Sistem kesejahteraan merupakan norma yang menjadi daya tarik dalam masyarakat
Eropa. Ketertarikan terkait hal ini secara khusus dapat dipahami dengan adanya perbedaan
kondisi sosial yang dapat ditemukan di Indonesia. Meski demikian, ketika ditanyakan lebih jauh
terkait sistem kesejahteraan, hanya segelintir mahasiswa yang dapat memberikan penjelasan
secara detail.
0
50
100
150
200
Pergerakan Bebas Toleransi Keterbukaan Keamanan Kesejahteraan
Nilai dan Norma
21
Di samping meningkatnya pergerakan anti-imigran di Eropa, mahasiswa masih melihat
Eropa sebagai tempat yang mengedepankan nilai toleransi dan keterbukaan. Nilai ini secara
khusus menentukan kenyamanan interaksi sosial dan periode awal adaptasi. Sebagai tambahan,
mahasiswa melihat keamanan jasmani sebagai alasan menarik lainnya dari Eropa. Pertimbangan
ini datang dari kebutuhan dasar mereka untuk merasa aman dalam kondisi di mana keluarga
tidak bersama mereka.
Kedua, variabel pendukung yang mendorong preferensi mahasiswa dapat dilihat dari
kebutuhan sekunder mereka yang terdiri dari keinginan untuk melakukan wisata, keindahan
arsitektur, hingga iklim dan cuaca di Eropa.
Hasil yang menarik dapat dilihat bahwa lebih dari 25% mahasiswa terbuka dengan kemungkinan
untuk mencari pasangan di negara Eropa. Data ini menunjukkan adanya pergeseran dari budaya
tradisional Indonesia yang cenderung menikahi orang dari ras, agama, dan latar belakang
keluarga yang sepadan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa mahasiswa mudah menerima nilai
dan norma asing sebagaimana mereka menerima kemungkinan terjadinya pernikahan silang
budaya.
Salah satu penemuan penting dari survei ini menunjukkan bahwa konsep soft power dapat
dibangun melalui proses sosialisasi dan internasionalisasi. Penemuan ini mengarah kepada
pertanyaan apakah mahasiswa memiliki cita-cita untuk melanjutkan studi di Eropa sejak dulu.
Setengah dari responden menjawab bahwa ketertarikan mereka terhadap Eropa telah berkembang
seiring dengan bertambahnya pengetahuan mereka terkait ide, norma, dan informasi mengenai
Eropa.
0
50
100
150
200
DestinasiWisata
Arsitektur Kuliner Empat Musim Pusat Busana Polusi Rendah Ruang TerbukaUmum
Kebutuhan Sekunder
22
Data Preferensi Mahasiswa Unpar Terkait Studi ke Luar Negeri
Berdasarkan diagram lingkaran di atas, mayoritas responden, yaitu mahasiswa
Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) memiliki keinginan untuk melakukan studi ke luar
negeri. Terdapat perbedaan yang sangat besar di antara perbandingan mahasiswa yang
menginginkan studi ke luar negeri dan mahasiswa yang tidak menginginkan studi ke luar negeri.
Hal ini menunjukan bahwa kesempatan untuk melakukan studi ke luar negeri sangat diminati
oleh mayoritas mahasiswa Unpar.
88%
12%
Tingkat Keinginan Mahasiswa Untuk Berkuliah di Luar Negeri
Ya
Tidak
167
166
164
163
156
120
107
0 50 100 150 200
Program Budaya
Conference
Pertukaran Pelajar
Studi Master
Summer School
Riset
Simulasi Sidang PBB
Jenis Kegiatan yang Diinginkan oleh Mahasiswa
23
Berdasarkan diagram batang di atas, berbagai jenis kegiatan yang diminati oleh
responden dalam rangka studi ke luar negeri menunjukan persentase yang cukup bervariasi.
Diagram di atas menunjukan bahwa seluruh pilihan jenis kegiatan mendapatkan minat lebih dari
setengah responden. Hal yang cukup menarik di sini adalah melihat banyaknya mahasiswa yang
tertarik untuk mengikuti program-program yang terkait dengan aspek budaya. Di satu sisi,
kegiatan simulasi sidang PBB tidak terlalu menjadi pilihan favorit bagi para mahasiswa.
Diperlukan kajian dan penelitian lebih lanjut untuk menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi
hal tersebut. Namun demikian, baik jenis kegiatan yang berjangka pendek, panjang, maupun
kompetisi seluruhnya diminati oleh responden.
Diagram lingkaran di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih sumber pendanaan
untuk studi ke luar negeri dengan program beasiswa. Sebanyak 79% dari total responden
memilih untuk menggunakan pendanaan dari program beasiswa, dibanding harus menanggung
biaya sendiri. Hal ini menunjukan bahwa masih tingginya jumlah pencari beasiswa di kalangan
para mahasiswa Unpar.
79%
21%
Tingkat Preferensi Sumber Pendanaan untuk Studi di Luar Negeri
Program Beasiswa
Biaya Sendiri
24
Diagram batang di atas menunjukan adanya tingkat pengetahuan yang masih rendah dari
responden mengenai informasi umum program beasiswa Erasmus+. Masih banyak ketidaktahuan
akan informasi umum terkait beasiswa Erasmus+ di antara mahasiswa Unpar. Beasiswa
Erasmus+ diketahui oleh sebagian kecil responden sebagai beasiswa yang menyediakan sarana
untuk studi di Eropa, yaitu sebanyak 48% responden. Sementara itu sebanyak 31,5% responden
saja yang beranggapan bahwa Beasiswa Erasmus+ merupakan beasiswa yang memiliki
management yang baik. Mengenai reputasi dan sumber pendanaan pun hanya diketahui oleh
sebagian responden, yakni hanya sebesar 37,5%. Untuk pendanaan, 33% responden menyatakan
bahwa Erasmus+ memiliki dana yang mencukupi untuk pembiayaan studi ke Eropa. Sedangkan
30,5% responden mengetahui fakta bahwa beasiswa Erasmus+ bukan merupakan satu-satunya
beasiswa di Eropa. Lebih lanjut, hanya 36% responden yang mengetahui bahwa simbol program
Erasmus+ sendiri identik dengan Eropa. Terkait jangkauan program beasiswa Erasmus+, 31%
0
20
40
60
80
100
120
Tingkat Pengetahuan Mengenai Informasi Umum Beasiswa Erasmus+
Bukan Satu-satunya Beasiswa di Eropa
Dana yang Mencukupi untuk Studi di Eropa
Sarana untuk Menempuh Studi di Eropa
Memiliki Management Beasiswa yang Baik
Memiliki Reputasi yang Baik sebagai Bagiandari Pendanaan Uni Eropa
Simbol 'Erasmus' yang Identik dengan Eropa
Memiliki Beragam Pilihan Universitas
Memiliki Beragam Pilihan Negara
Memiliki Beragam Pilihan Program Studi
Terbuka untuk Berbagai Kalangan
25
responden berpendapat bahwa beasiswa Erasmus+ memiliki beragam pilihan universitas, 33,5%
berpendapat bahwa Erasmus+ memiliki berbagai pilihan negara tujuan, 32% setuju bahwa
beasiswa Erasmus+ memliki berbagai pilihan program studi, dan 44,5% berpendapat bahwa
Erasmus+ terbuka untuk berbagai kalangan.
Berdasarkan data di atas, beasiswa Erasmus+, LPDP, dan ASEAN merupakan tiga
beasiswa teratas yang paling dikenali oleh para responden. Sementara itu, beasiswa DIKTI pun
tidak kalah dikenalnya, hanya saja, beasiswa DIKTI merupakan beasiswa yang diperuntukkan
bagi para dosen/ tenaga pengajar. Beasiswa yang berasal dari pemerintah Indonesia memang
dikenal oleh para responden, misalnya LPDP, Darmasiswa, dan DIKTI, namun beasiswa dari
luar negeri pun tidak kalah terkenalnya. Beberapa program beasiswa besar lainnya seperti
Chevening, Australian Awards, dan KNB tidak diketahui oleh sebagian besar responden.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk benar-benar mengetahui sejauh mana pengetahuan
responden terkait beasiswa yang mereka kenal.
81
39
79
73
16
19
27
43
72
1
1
2
1
1
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Erasmus+
Darmasiswa
LPDP
ASEAN
KNB
Australian Awards
Chevening
Fulbright
DIKTI
Ancora
NESO
Monbukagakusho
ACUCA
JASSO
Pengetahuan Mengenai Program Beasiswa
26
Berdasarkan hasil survei, London School of Economics and Political Science merupakan
universitas yang paling diminati untuk menjadi tempat untuk melanjutkan studi ke luar negeri.
Sementara itu, University of Groningen dan University of Leiden pun menyusul di bawah LSEP,
diikuti oleh TU Dortmund, Harvard University, University of Oxford, dan University of
Cambridge. Berdasarkan hasil survei ini, dapat disimpulkan bahwa Eropa masih mendominasi
sebagai destinasi untuk melanjutkan studi, sementara Harvard University merupakan satu-
satunya universitas yang berasal dari luar Eropa.
London School of Economics and Political Science
University of Groningen
University of Leiden
TU Dortmund
University of Cambridge
University of Oxford
Harvard University
Universitas yang Diminati
27
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kegiatan di bawah naungan pemerintah tidak cukup untuk mendorong berkembangnya
persepsi positif. Usaha komprehensif diimbangi dengan pemerintah, pendidikan tinggi, agen dan
institusi pendidikan, serta pelajar internasional menjadi penentu dari suksesnya penggunaan soft
power melalui pendidikan internasional.
Preferensi mahasiswa akan studi di Eropa membuktikan bahwa Uni Eropa telah
menjangkau hati dan jiwa pelajar dengan membentuk persepsi positif atas Eropa sebagai Sumber
Pengetahuan dan memperlihatkan budaya Eropa sebagai budaya yang modern, demokratis,
terbuka, dan toleransi.
Secara pasti, sosialiasi dan internalisasi nilai serta norma atas Uni Eropa merupakan suatu hal
yang penting dalam menumbuhkan daya tarik mahasiswa. Dengan demikian, soft power
merupakan investasi jangka panjang dan dapat dikembangkan melalui pendekatan secara konstan
serta aktivitas pertukaran.
Penelitian lebih jauh terhadap Erasmus sebagai simbol utama Uni Eropa dalam branding
pendidikan internasional dianggap penting untuk dilakukan. Analisis strategi branding Uni
Eropa dalam pendidikan internasional merupakan hal yang penting untuk mengukur soft power
organisasi ini dalam sistem pendidikan Indonesia.
28
DAFTAR PUSTAKA
Anholt, S. (2009). Places: Identity, Image and Reputation. London : Palgrave
Byrne, Caitlin and Hall, Rebecca. (2011). ‘Australia’s International Education as Public
Diplomacy : Soft Power Potential’. Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of
International Relations. Clingendael.
--------. (2013). „Realizing Australia‟s International Education and Public Diplomacy‟.
The Australian Journal of International Affairs, 64 (4), 419-438.
--------. (2014). ‘International Education as Public Diplomacy’. Third (3rd
) Research
Digest IEAA (International Education Association of Australia). (International Education
Research Network (IERN)
Creswell, John W. (2003). „Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed
Method Approaches, 2nd
Edition. Sage Publications.
Cull, N. (2009).‟Public Diplomacy : Lesson from the Past‟. CPD Perspectives Los
Angeles. Figuerra Press.
d‟Hooge, Inggrid. (2007). „The Rise of China Public Diplomacy‟. Discussion Paper in
Diplomacy. Netherland Institute of International Relations. Clingaendael.
Fitzpatrick. (2012). „Defining Strategies Pubilic in a Networked World : Public
Diplomac's Challenges at Home and Abroad‟. Hague Journal of Diplomacy, 7, (4), 420-440.
Gilboa, Eytan. (2008). „Searching for a Theory of Public Diplomacy‟. The Annals of The
American Academy of Political and Social Science, Vol. 616.
Goi, M.C.L Goi & D.H Wong. (2014). Constructing a Brand Identity Scale for Higher
Education Institution. Journal of Marketing for Higher Education, 24(1) 59-74.
Hadiwinata, Bob Sugeng. (2015). „Reciprocity and Relationship Building Through
Education: The ACICIS Field Study Program in West Java., in A. Missbach & J. Purdey (Eds).
Linking People : Connection and Encounters between Australians and Indonesians.
Regiospectro Verlag Berlin. 133-150.
Khanna, M. Jacob, I & N. Yadax. (2014). Identifying and Analyzing Touchpoints for
Building a Higher Education Brand. Journal Marketing for Higher Education, 24(1), 122-143.
Melissen, J. (2005). ‟Between Theory and Practice‟ in J.Melissen (Ed), in J. Melissen
(Ed), The New Public Diplomacy : Soft Power in International Relations. New York Palgrave
Milan.
29
-------------. (2013) Public Diplomacy in P. Kerr & G Wiseman (Eds), Diplomacy in A
Globalizing World : Theories and Practices, Oxford : Oxford University Press
Nye, J.S. 2011. The Future of Power. New York : Public Affairs.
-----------.2008. “Public Diplomacy and Soft Power”. Annals of the American Academy
of Political and Social Science 616: 94-101.
Purdey, Jemma. 2015. Investing in Good Will : Australia‟s Scholarship Programs for
Indonesian Tertiary Students, 1950 – 2010. In Antje Missbach and Jemma Purdey “Linking
People : Connection and Encounters between Australians and Indonesians”. Regiospectro Verlag
Berlin. 111-132.
Scondi, Gyorgy. 2008. “Public Diplomacy and Nation Branding : Conceptual Similarities
and Differences”. Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of International
Relations „Clingendael‟. 1-42.
Top Related