perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA
Skripsi
Oleh :
MOHAMMAD FAROKH PURBOYO
X4406009
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA
Oleh :
MOHAMMAD FAROKH PURBOYO
X4406009
Skripsi
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Januuari 2011
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dra.Sutiyah,M.Pd,M.Hum Drs. Djono, M. Pd NIP. 19590708 198601 2 001 NIP. 19630702 199003 1 005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari : Rabu
Tanggal : 02 Februari 2011
Tim Penguji Skripsi :
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ( ) NIP. 19541129 198601 2 001
Sekretaris : Drs. Leo Agung Sutimin, M. Pd ( ) NIP. 19560515 198203 1 005
Anggota I : Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum ( ) NIP. 19590708 198601 2 001
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ( )
NIP. 19630702 199003 1 005
Disahkan oleh,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Mohammad Farokh Purboyo. PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Januari 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Struktur pakeliran gaya Surakarta, (2) Nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa, (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem, (4) Bentuk pertunjukan wayang kulit modern.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dokumen, buku-buku, surat kabar dan majalah yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka, dan memanfaatkan internet. Sample yang digunakan bersifat purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu interaksi antara pengumpulan data dengan tiga komponen pokok, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data melalui proses siklus. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi. Untuk menguji keabsahan data penulis menggunakan trianggulasi sumber (data) dan trianggulasi metode.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat menyimpulkan bahwa: (1) Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan dhodhogan/keprakan. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als. Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. (2) Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian periode pertunjukan (pathet) bentuk semalam, yang dimulai dari pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan. (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem adalah pertunjukan wayang kulit yang berpegang terhadap naskah lakon pewayangan. Dalam perkembangannya pakem lakon wayang mengalami perubahan. Pakem lakon yang digunakan kebanyakan berasal dari Pustaka Raja Purwa dan Serat Pedalangan Ringgit Purwa yang di dalamnya merupakan cerita sempalan/carangan yang berasal dari kitab Mahabarata dan Ramayana. (4) Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran padat dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk semalam, pakeliran padat tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari pakeliran bentuk semalam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Mohammad Farokh Purboyo. THE TRANSITION OF THE WAYANG KULIT THEATRE IN SURAKARTA. Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, January 2011.
This study has an aims to know: (1) The Surakarta wayang kulit theatre structure, (2) The philosophical values of the wayang kulit purwa theatre, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules, (4) The modern wayang kulit theatre.
This study used qualitative method. The data source used informant, events, or activity, place or spot, documents, literatures, newspaper and magazine that relevance with the study. The data collecting used are interview, field observation, study literature, and internet. The study used purposive sampling in gaining the data from the sample. The technique of analysis used was qualitative with interactive analysis model, the interaction between data collecting with three main components that are data reduction, data serving, and conclusion withdrawal/data verification through cycle process. Checking the validity of data used triangulation. To analyze the data, the researcher used triangulation of the resource data and triangulation method.
Based on the results of data analysis and discussion in this study, can concluded that: (1) In the Surakarta wayang kulit theatre, there are standard rules in puppets theatre which it must be followed. The rules are about scene division in pathet, using gendhing for each scene, sulukan, and dhodhogan/keprakan. That rules have been arranged and setled in Serat Tuntunan Pedalangan part I-IV by Nojowirongko Al. Atmotjendono. He is an abdi dalem in Kasunanan Surakarta palace. (2) Wayang kulit theatre contains pictures of ancestor life which can be example for our life, and purpose of education process from it born until die. It can be seen period division performance (pathet) whole night form (type), which it is stared from pathet nem, pathet sanga, and pathet manyura. Besides that, it contains doctrines, advices, example, and purpose of relation between god and human, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules is wayang kulit theatre which hanging on the puppets lakon manuscript. On its development, puppets pakem lakon had change. The puppets pakem lakon that usually use coming from Pustaka Raja Purwa and Serat Pedalangan Ringgit Purwa which its load is a sempalan/carangan stories that coming from Kitab Mahabarata and Ramayana (4) The modern form of wayang kulit theatre is pakeliran padat. Pakeliran padat is a renewal on pakeliran. Pakeliran padat was defined by Humardani. Even though it is different with whole night’s wayang kulit theatre. The pakeliran padat not totally release traditional unsure from whole night’s wayang kulit theatre.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
”Allah meninggikan orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri
ilmu pengetahuan, beberapa derajat”( QS. Al-Mujadalah : 11 )
Katakanlah : “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui ?” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran ( QS Az-Zumar : 9 )
“Setiap generasi tidak akan puas dengan hanya mewariskan pusaka (budaya) yang
diterimanya dari masa lalu, tetapi akan berusaha untuk membuat sumbangannya
sendiri” ( Maurice Duverger )
“Posisikanlah dirimu menjadi seseorang yang hebat saat dirimu memilih sesuatu dan
jadikanlah kekuranganmu menjadi kelebihanmu” ( Penulis )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan kepada:
� Bapak dan Ibu yang tercinta, semoga Allah senantiasa
meridhoi serta adik yang aku sayang Dwi Retno
Fatmawati
� Sahabat terbaikku yang senantiasa menyemangatiku
� My best friend Dian Nursiwi, An Nuur Sakha H.P.,
Anggi Permatasari, Wenda Widyo S., dan Sri Wahyuni
� Rekan-rekan seperjuangan Pendidikan Sejarah
Angkatan 2006
� Almamater FKIP UNS Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulisan Skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan di Program Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penulisan Skripsi ini,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi.
Oleh karena itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2. Ketua Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Dra. Sariyatun, M. Pd, M. Hum Selaku Pembimbing Akademis yang telah
membantu menyelesaikan studi ini
5. Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum Selaku Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing dalam penyusunan Skripsi ini
6. Drs. Djono, M. Pd Selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dalam
penyusunan Skripsi ini
7. Bapak & Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS.
8. Semua informan yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Penulis menyadari bahwa dalam Skripsi ini masih ada kekurangan. Namun
demikian, penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan penelitian pendidikan.
Surakarta, Februari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ v
HALAMAN ABSTRACT .............................................................................. vi
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR .............................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
1. ManfaatTeoritis ..................................................................... 8
2. Manfaat Praktis ..................................................................... 8
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10
1. Pagelaran Wayang Kulit ....................................................... 10
B. Kerangka Berfikir ...................................................................... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 26
1. Tempat Penelitian ................................................................. 26
2. Waktu Penelitian ................................................................... 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 27
1. Bentuk Penelitian .................................................................. 27
2. Strategi Penelitian ................................................................. 28
C. Sumber Data .............................................................................. 29
1. Informan ................................................................................ 29
2. Tempat dan Peristiwa ........................................................... 29
3. Arsip dan Dokumen .............................................................. 30
D. Sampling .................................................................................... 30
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 31
1. Wawancara Mendalam ......................................................... 31
2. Observasi ............................................................................... 31
3. Analisis Dokumen ................................................................. 32
F. Validitas Data ............................................................................. 33
G. Teknik Analisis Data ................................................................ 34
H. Prosedur Penelitian ................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Struktur Pakeliran Gaya Surakarta .......................................... 37
B. Nilai-nilai Filosofis dalam Pertunjukan Wayang Kulit .......... 41
1. Simbol Kehidupan Masa Kanak-kanak (Pathet Nem) ........ 41
2. Simbol Kehidupan Masa Dewasa (Pathet Sanga) .............. 43
3. Simbol Kehidupan Masa Tua (Pathet Menyura) ................ 44
C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem .................. 48
1. Garap Catur ........................................................................... 48
2. Garap Sabet ........................................................................... 56
3. Garap Iringan ........................................................................ 57
D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern ......................................... 67
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................ 77
B. Implikasi .................................................................................... 78
1. Implikasi Metodologis .......................................................... 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
2. Implikasi Teoritis .................................................................. 78
3. Implikasi Praktis ................................................................... 79
B. Saran ........................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80
GLOSARI ........................................................................................................ 84
LAMPIRAN .................................................................................................... 91
JURNAL INTERNASIONAL ........................................................................ 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel dan Gambar Halaman
2.1. Gambar Bagan Kerangka Pemikiran ........................................................ 23
3.1. Tabel Waktu Penelitian.............................................................................. 27
3.2. Skema Analisis Data Model Interaktif ..................................................... 35
3.3. Gambar Bagan Prosedur Penelitian .......................................................... 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Wilayah Surakarta .............................................................. 92
Lampiran 2 : Foto Pertunjukan Wayang Kulit Ki Anom Suroto ................... 93
Lampiran 3 : Foto Adegan Goro-goro ............................................................. 94
Lampiran 4 : Cerita Lakon Ramayana dan Mahabarata ................................. 95
Lampiran 5 : Macam Lakon dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa ........... 100
Lampiran 6 : Daftar Informan .......................................................................... 138
Lampiran 7 : Surat Ijin Menyusun Skripsi dan Penelitian .............................. 139
Lampiran 8 : Jurnal-jurnal ................................................................................ 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah kasenian yang adiluhung, pertunjukan wayang kulit
purwa merupakan sebuah hasil budaya masyarakat Jawa yang masih dapat
bertahan sampai sekarang dibandingkan dengan kesenian sejenis. Di masa lampau
pernah hidup dan berkembang wayang madya, wayang gedog, wayang krucil,
wayang klitik, wayang dupara, wayang makripat, wayang kuluk, wayang suluh,
wayang kancil, wayang beber, wayang bible, wayang wahyu, wayang warta, dan
wayang sadat. Sebagian besar wayang-wayang itu tinggal dikenal namanya saja,
wujud pertunjukannya sudah tidak dikenal lagi dan/atau jarang dipentaskan
(Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1). Pertunjukan wayang kulit yang sering
disebut dengan sebutan pakeliran ini banyak terkandung nilai di dalamnya seperti
sistem kepercayaan, filsafat, pandangan hidup, adat istiadat, ’unggah-ungguh’.
Wayang kulit juga dapat berfungsi sebagai perangkat upaya tradisi dan
kebudayaan, wahana pendidikan yang didalamnya tercakup penerangan dan
dakwah, penyampaian kritik sosial dan budaya (Karsono H. Saputro 1987 : 10).
Selain itu secara luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani
berbagai kepentingan masyarakat, di antaranya untuk peringatan peristiwa -
peristiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam
kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau
kepercayaan); untuk peringatan hari-hari besar kenegaraan atau keagamaan; untuk
kepentingan sosial; untuk sarana penyampaian ide-ide dan pesan pemerintah atau
kelompok masyarakat; serta untuk tontonan dan tuntunan (Soetarno, Sarwanto,
Sudarko 2007: 6).
Sebagai sebuah pertunjukan tradisi, wayang kulit merupakan media
untuk kongkow-kongkow bagi penggemarnya. Masyarakat selain menikmati
pertunjukan wayang kulit yang syarat akan makna juga dijadikan sebagai sarana
untuk bertemu dengan tetangga di lain desa maupun sanak saudara yang jarang
bertemu satu sama lain. Fungsi pertunjukan kesenian mulai mengalami
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pergeseran. Pertunjukan wayang menjadi wahana soldaritas sosial masyarakat
(Sarworo Suprapto 1994 : t.h.).
Dalam kaitannya wayang kulit sebagai sebuah tindakan kesenian sudah
sejak lama dapat diketahui dengan adanya sebuah karya sastra Jawa Kuna
Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa yang ditulis pada abad XI masa
pemerintahan maharaja Airlangga antara tahun 1019-1042 Masehi seperti
tercantum dalam kakawin Arjunawiwaha bait 59 yang berbunyi :
“Hanonton ringgit manangis asekel muda hadepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresning wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan kahaning bahwa siluman.”(Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1) “Ada orang yang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihatnya itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja” (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1).
Wayang kulit memiliki filosofi yang sangat tinggi terhadap kehidupan
manusia. Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami
banyak sekali parubahan yang sangat signifikan. Baik dalam pementasan, jalan
cerita, maupun hal yang lain terkait dengan pertunjukan itu sendiri.
Sebagai sebuah kesenian tradisi, pakeliran gaya Surakarta telah memberi
pengaruh yang cukup besar terhadap dunia pewayangan di Jawa. Pakeliran gaya
Surakarta telah menyebar luas sampai ke daerah Pantura dan Jawa Timur.
Pengaruhnya meliputi daerah – daerah : Purwokerto, Purwodadi, Pati, Semarang,
Boyolali, Wonogiri, Sragen, Ngawi, Nganjuk, Surabaya, Malang, Kediri, Blitar,
dan Tulung Agung (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 261).
Kesenian pada hekekatnya merupakan tindak komunikasi, baik
komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal yang disublimasikan
sedemikian rupa berdasarkan kaidah-kaidah estetika sehingga tidak tampak
vulgar. Sebagai media komunikasi, suatu bentuk kesenian akan lahir, tumbuh, dan
berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat dimana kesenian tersebut
menampakkan eksistensinya. Adanya kesatuan antara corak kesenian dan jaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Sebaliknya suatu bentuk kesenian akan punah dengan sendirinya apabila tidak
mampu lagi manampung aspirasi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu
hanya kesenian yang memiliki elastisitas tinggi dalam arti mampu berkomunikasi
sepanjang jaman, akan langgeng sekalipun harus mengalami inovasi, modivikasi,
atau transformasi (Karsono H. Saputro 1987 : 10).
Pada awal tahun 90-an di Jawa Tengah muncul pertunjukan wayang
purwa dengan menggunakan dua kelir/layar atau lebih dikenal dengan nama
pakeliran Pantap yang merupakan bentuk pembaruan yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah di Jawa Tengah. Pakeliran ini berfungsi sebagai alat propaganda
partai politik Golkar masa Orde Baru. Selain itu dalam pergelarannya juga
terdapat perbedaan dengan bentuk pertunjukan wayang kulit semalam yaitu :
pertama, pertunjukan dilakukan oleh dua orang dalang dengan dua layar yang
dilakukan secara bersamaan ataupun bergantian; kedua, ada penambahan pelaku
pertunjukan, yaitu pemusik, pelawak, pemain wayang orang, dan penyanyi.
Masuknya lawak, penyanyi, bintang tamu, penonton ke panggung
wayang kulit menjadikan suasana sakral, magis, dan mistik lenyap. Dengan
demikian dunia wayang menjadi lebih dekat dengan penonton karena penggunaan
bahasa sehari-hari tidak hanya terbatas pada adegan gara-gara maupun Limbuk-
Cangik, tetapi kapan saja dan pada adegan manapun yang dikehendaki dalang
(Soetarno 2004 : 178). Selain itu Penghadiran bintang tamu hanya akan
mencerminkan ketidakmampuan dalang yang bersangkutan menampilkan
jatidirinya secara utuh (Antonius Darmanto, 1995 : 11).
Media pertunjukan pada era Orde Baru diharapkan dapat menyampaikan
pesan-pesan pembangunan. Hampir semua pertunjukan harus mampu
menyampaikan pesan-pesan pembangunan dengan cara menyisipkan pesan-pesan.
Pesan-pesan tersebut berupa filsafat umum, 1. Pancasila, 2. GBHN, 3. Pelita, dan
pemikiran-pemikiran lain yang sehubungan dengan budi daya memasyarakatkan
ketiga hal tersebut. Pertunjukan apa saja merupakan media massa. Media pentas
yang dilaksanakan secara tatap muka atau face to face antara pemain sebagai
komunikator dan penonton sebagai audience merupakan sarana yang sangat
efektif. Selain itu pengolahan pesan yang sedemikian rupa tidak akan membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
audience merasa sakit hati walaupun mereka tersindir (S. Darmoatmodjo 1987 :
12-13).
Pada era Orde Baru, penguasa Orde Baru melakukan suatu perubahan
besar dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat
Jawa pada khususnya, membentuk satu tata kehidupan ekonomi masyarakat
Indonesia yang hampir sepenuhnya kapitalis. Dengan demikian, Orde Baru telah
menciptakan sebuah iklim bagi pakeliran yang membuatnya ke arah
kecenderungan materialisasi dan ekonomisasi wayang kulit.
(http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010)
Dalam rangka memperingati lima puluh tahun kemerdekaan RI, kota
Surakarta mengadakan Festival Gregat Dalang (FGD) yang diselenggarakan
selama 18 hari dari tanggal 15 Juli – 2 September 1995 yang diikuti oleh 49
dalang muda se-Jawa (DKI, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) dengan bentuk
pakeliran semalam tradisi gaya Surakarta. Melalui FGD ini diharapkan dapat
memacu kreativitas dalang muda dalam bingkai pakeliran tradisi gaya Surakarta
(2007 : 275).
Pada pertengahan tahun 1990-an, dalang Warseno Slenk memasukkan
beberapa intrumen musik (non gamelan) sebagai sarana pendukung dalam
pertunjukannya. Intrumen musik yang digunakan antara lain keyboard, drum, bass
gitar elektrik dan gitar rithym.
Sekitar tahun 1998 kehadiran campursari merebak dan digemari
masyarakat. Sebagai dalang mengerti selera pasar, Warseno Slenk menyajikan
pertunjukan wayang kulit dengan tambahan sajian lagu-lagu campusari setiap
pementasan wayangnya. Biasanya lagu-lagu campursari dimasukkan dalam
adegan Limbuk Cangik dan gara-gara. Ki Warsena banyak melakukan
eksperimen kreatif dengan memadukan beberapa aliran musik seperti rock, punk,
rap yang dipadukan dengan gamelan. Hasilnya adalah musik gamelan yang
kolaboratif yang digandrungi kawula muda (http://cetak.kompas.com di unduh
tanggal 08 Juni 2010).
Ki Manteb yang lihai dalam hal sabetan (memainkan wayang)
mementaskan pertunjukan wayang bersama dengan pelawak, penyanyi dangdut,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dan penyanyi campursari. Beliau bahkan membolehkan pelawak dan penyanyi
dangdut beraksi di pangung wayangan kulit dengan berdiri dan berjoget di antara
para pemain gamelan dan dalang yang duduk bersimpuh. Di sisi lain dalang papan
atas seperti Ki Anom Soeroto yang setia di jalur pakem, pada akhirnya juga tidak
menolak kehadiran bintang tamu dalam pentas wayang kulit. Ki Anom, yang
dijuluki sebagai dalang “bersuara emas”, memberi tempat para pelawak seperti
Timbul, Kirun, dan Ranto Edi-Gudel (almarhum) menyemarakkan panggungnya.
Beliau juga mau menerima kehadiran penyanyi campursari dan keroncong seperti
Waldjinah di pentasnya, tetapi Ki Anom menolak apabila bintang tamunya berdiri
di atas pentas. Dalam soal pakem pakeliran, Ki Anom dan Ki Manteb sama-sama
masih setia pada pakem. Dua dalang kondang ini berusaha memadukan fungsi
wayang sebagai tuntunan (pembawa pesan moral) dan wayang sebagai tontonan
alias hiburan. (http://anugerahadiwarta.org di unduh tanggal 08 Juni 2010)
Garapan lakon para seniman dalang di masa Orba adalah lakon yang ada
hubungannya dengan peristiwa sekarang. Lakon-lakon yang dipilih merupakan
kemasan baru antara lain: lakon Ontran-ontran Winatha, Semar Babar Jatidiri,
Wahyu Ketentraman, Semar Bangun Kayangan, Pilihan Senapati, Wahyu Ringin
Kencana, Wahyu Purbeng Kayun, Wisanggeni Kridha dan sebagainya
(http://www.j-harmonia.com di unduh tanggal 22 April 2010).
Tahun 1997 tidak terkecuali, krisis melanda dunia seni. Terutama seni
yang berbasis idealisme dan tidak bisa menembus pangsa pasar. Vakumnya
pementasan teater dan sepinya tanggapan wayang adalah fenomena krisis
kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul
faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti
wayang telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop,
band adalah contohnya (http://www.bentarabudaya.com di unduh tanggal 08 Juni
2010).
Tahun 1998 merupakan tahun dimana runtuhnya rezim Orde Baru dan
dimulainya Orde reformasi. Era reformasi membawa dampak yang cukup
signifikan dalam jagad pedalangan. Dengan adanya krisis yang berkepanjangan
menambah kompleksitas masyarakat urban untuk bekerja lebih keras agar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
terpenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak jarang mereka membuat keputusan yang
cepat tanpa melalui perencanaan yang matang. Situasi yang demikian berdampak
terhadap kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.
Dalam perjalanannya pertunjukan wayang kulit cenderung berkembang
menjadi bentuk-bentuk hiburan dan sebagai komoditas dagangan (komersial).
Keindahan pakeliran lebih cenderung untuk memenuhi selera dan memadai
permintaan massa. Garapan tokoh-tokohnya dalam lakon yang disajikan
menunjukkan antihero dengan mempresentasikan tokoh-tokoh gambaran manusia
biasa seperti tokoh : Limbuk, Cangik, Petruk, dan Bagong. Selain itu bentuk
pakeliran ini lebih mementingkan aspek komunikasi daripada mempertahankan
sastra pedalangannya (2004 : 169-170).
Cara penggarapan baru bermunculan. Kadang-kadang jauh menyimpang
dari pola pengadegan buku yang sudah ada, namun kadang-kadang tetap
manggunakan kerangka acuan klasik dengan memberi warna yang berbeda.
Alasan untuk manyajikan pakeliran yang modern yaitu : Pertama, untuk
menarik minat generasi muda. Kedua, untuk memodernisasi sajian. Ketiga,
mengikuti tuntutan jaman (Ki Edy Suwondo 1995 : 9).
Sebagai contoh Ki Enthus Susmono seorang dalang dari kabupaten
Tegal, ia memfungsikan panggung secara maksimal. Fungsi panggung tidak
hanya untuk mengakomodasi peralatan pakeliran akan tetapi juga digunakan
sebagai arena penampilan penyanyi, penari, pelawak, bahkan dalang secara
teatrikal. Pada atraksi perang, ia sering melibatkan diri sebagai pelaku lakon.
Selain itu ia tidak segan-segan bernyanyi ataupun berorasi saat adegan Limbukan
dan/atau gara-gara. Kabebasan berekspresi membuat gaya pakeliran Ki Enthus
Susmono lebih disukai daripada gaya pakeliran Ki Manteb Soedarsono yang
mengandalkan sabet maupun Ki Anom Suroto yang mengandalkan pakeliran
tradisinya. Kedua orang dalang ini merupakan dalang yang banyak menerima job
pada masa Orde Baru (2007 : 277).
Pada setiap penampilan Ki Enthus selalu mempertunjukkan sebuah
pertunjukan wayang kulit yang lebih daripada dalang yang lain. Sebagai contoh
dalam pertunjukannya yang mengambil lakon “Rahwana Gugur”. Lakon yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
penuh dengan adegan peperangan ini semakin menarik karena Ki Enthus piawai
memainkan wayang. Sesekali Ki Enthus membuang wayang yang dipegangnya ke
samping kanan atau kiri untuk menggambarkan efek perkelahian yang dahsyat.
Narasi yang diucapkan Ki Enthus pun sering memancing gelak tawa para
penonton. Kata-kata vulgar dan umpatan dalam bahasa Jawa kerap meluncur dari
mulut Ki Enthus dan semakin membuat penonton terpingkal
(http://majalah.tempointeraktif.com di unduh tanggal 08 Juni 2010). Melihat hal
seperti ini unsur tontonan lebih banyak terlihat daripada unsur tuntunannya.
Pada kenyataannya sebagian besar dari penonton tidak paham akan
pesan-pesan moral yang disampaikan oleh dalang, baik yang disampaikan dalam
adegan Limbukan maupun dalam adegan Gara-gara, terlebih dalam sanggit lakon.
Oleh karena itu, sebagian besar pakeliran mengarah pada bentuk hiburan,
walaupun ada beberapa dalang tetap menyampaikan pesan-pesan moral dan kritik
sosial (http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010).
Jagad pakeliran pada beberapa waktu terakhir mengalami banyak
perubahan pola pentas. Terlihat dari keseluruhan durasi pentas semalam suntuk,
adegan gara-gara berlangsung berkepanjangan sehingga alur utama wayang justru
tidak tergarap secara intensif. Hal seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari
penonton. Penonton bukan ingin melihat alur cerita wayang namun sekadar
menonton gara-gara. Begitu adegan gara-gara usai penonton segera bubar.
Bagaimanapun wayang diputarbalikkan, dipengaruhi akan tetap berjalan
pada intinya yaitu berjalan atas dasar klasik tradisional adiluhung. Ide pokok
cerita pakeliran bentuk semalam tetap bertumpu pada kitab Ramayana dan
Mahabarata (Sri Mulyono 1982 : 292) Berdasarkan latar belakang masalah di atas
maka diambil judul ”Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur pakeliran gaya Surakarta?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2. Bagaimana nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa?
3. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan
pakem?
4. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit modern?
C. Tujuan Penelitian
Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka
penelitian ini bertujuan :
1. Menjelaskan struktur pakeliran gaya Surakarta.
2. Menjelaskan nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa.
3. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan
pakem.
4. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit modern.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna
dalam rangka pengembangan ilmu sejarah khususnya yang berkaitan
dengan Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.
b. Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada peneliti
khususnya dan pembaca umumnya tentang Perubahan Pagelaran
Wayang Kulit di Surakarta.
c. Menjadi salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang
sama diwaktu-waktu mendatang.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana
kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Pendidikan Ilmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
b. Melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan, Khususnya
mengenai Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.
c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan
Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pagelaran Wayang Kulit
Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dan kebudayaan yang
beranekaragam dan berbeda satu dengan yang lainnya, yang kesemuanya itu turut
memperkaya khasanah kebudayaan di tanah air ini. Demikian pula Seni
pertunjukan wayang kulit Jawa yang merupakan salah satu bentuk kesenian
tradisional yang sarat akan filosofi dan kebijaksanaan.
a. Pagelaran (pergelaran) / Pakeliran
1) Pengertian
Pergelaran adalah suatu kegiatan dalam pertunjukan hasil karya seni kepada
orang banyak pada tempat tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pada dasarnya
pergelaran adalah merupakan kegiatan konsumsi secara tidak langsung antara pemain
dengan penonton untuk mencapai kepuasan masing-masing (baik penonton maupun
pemain). Baik tidaknya suatu pergelaran dapat di ukur dengan melihat bagaimana
respon dan tanggapan serta perhatian penonton selama pergelaran itu berlangsung.
Kadang-kadang ada suatu pergelaran yang di tinggalkan oleh penonton ini
menandakan bahwa pergelaran itu tidak dapat berkomunikasi dengan penontonnya
(Trio Nugraha. http://www.blogspot.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).
Pergelaran/Pementasan adalah kegiatan memperkenalkan atau menunjukkan
hasil karya seni seperti: musik, tari, teater/drama dan lainnya kepada masyarakat
luas. Pergelaran merupakan cara untuk melakukan komunikasi antara pencipta karya
dan penikmat karya. Pergelaran bersifat Dinamis/bergerak seperti: Pergelaran musik,
pergelaran tari, pergelaran busana dan pergelaran wayang (Zakki.
http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).
Pakeliran adalah bentuk pertunjukan wayang dalam bingkai kelir atau geber,
pada pertunjukan wayang kulit. Peranan kelir dalam pertunjukan wayang kulit pantas
diperhitungkan dan ikut menentukan pertimbangan estetis, tetapi jika untuk jenis
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
pertunjukan wayang golek yang tanpa geber dapat saja disebut pakeliran golek
sebagaimana istilah STSI Surakarta (Poniman Sumarno, 2001: 1).
Manfaat Pergelaran : Melatih mengapresiasi karya, melatih tanggung jawab,
melatih mengevaluasi karya, membangkitkan motivasi dan melatih kegiatan bersama
serta melatih mandiri. Tujuan Pergelaran : Menawarkan karya kepada masyarakat,
berkomunikasi dengan masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat dan
melatih masyarakat untuk berapresiasi. Fungsi Pergelaran : Sarana apresiasi, sarana
rekreasi, sarana edukasi/pendidikan dan sarana ajang prestasi (Zakki.
http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).
2) Syarat-syarat Pakeliran
Pakeliran memiliki tiga syarat yaitu :
a) Dalang
Dalang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan wayang dan pada
umumnya pria dikarenakan pekerjaan sebagai dalang memang amat berat. Dalang
harus duduk bersila semalam suntuk untuk melaksanakan pertunjukan wayang, dan
juga memimpin yang lain seperti seniman-seniwati yang duduk di belakangnya
dengan aba-aba tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang diselipkan
dalam cariyos atau narasinya, berupa gerak-gerik wayang, berupa nyanyian, berupa
dodogan dan kepyakan (Pandam Guritno 1988: 33-34).
Kewajiban dan pantangan yang harus ditaati para dalang, di samping
keharusan menguasai macam-macam keahlian seperti pandai memainkan wayang-
wayang dengan terampil, mampu menyarakan sedikitnya tiga puluh macam suara
para tokoh wayang yang masing-masing memiliki wataknya yang khas, pandai
memukau para hadirin dengan suaranya yang merdu, menguasai seni sastra dan
filsafat (Pandam Guritno 1988: 35). Selain itu seniman dalang dituntut memiliki
kreativitas yang tinggi dan matang dalam hal mengkolaborasikan intrumen musik
sehingga pada setiap penyajian pertunjukan wayangnya dapat memanfaatkan
intrumen-instrumen baru dengan komposisi gendhing yang baru (Soetarno, Sarwanto
dan Sudarko 2007: 54).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Secara tradisional ada beberapa kelas dalang, yakni : (1) mereka yang baru
dapat mendalang, (2) yang sudah pandai mendalang, (3) yang telah menguasai semua
teknik pedalangan, (4) yang telah menguasai isi pedalangan, dan (5) ‘dalang sejati’,
yaitu dalang yang telah menguasai semua isi pedalangan dan juga dapat memberi
suri tauladan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif,
bijaksana, dan patut dihormati (Pandam Guritno 1988: 36).
b) Niyaga atau wiyaga (di Jawa Barat dinamakan nayaga)
Niyaga merupakan sebutan bagi para penabuh gamelan dan biasanya pria.
Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit, jumlah niyaga itu sedikitnya sepuluh
orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan gamelan. Jadi ada beberapa
orang yang mampu merangkap memainkan beberapa peralatan gamelan, jika jumlah
niyaga kurang dari lima belas orang.
Untuk mengiringi bebagai lakon pertunjukan wayang kulit secara lengkap
sesuai ketentuan tradisional diperlukan lebih dari seratus enam puluh gending klasik.
Melihat hal tersebut pengetahuan dan kemampuan suatu kelompok niyaga ikut
menentukan pilihan gending-gending yang dimainkan. Apabila niyaga hanya terbatas
memainkan macam-macam gendingnya, maka dalang pun hanya terbatas sekali
dalam pemilihannya, dan pertunjukannya tidak dapat bermutu tinggi (Pandam
Guritno 1988: 37).
Kebanyakan peralatan yang dimainkan adalah peralatan pukul yang cara
membunyikannya dengan dipukul seperti : jenis gender, gambang beberapa jenis
saron, kempyang, kathuk, kenong, kempul, gong, dan bonang. Selain peralatan
gamelan pukul ada juga yang di tabuh seperti beberapa jenis kendang, peralatan
berdawai seperti rebab dan kadang-kadang juga siter, dan alat-alat tiup berupa suling
(Pandam Guritno 1988: 37). Untuk membantu para niyaga menyesuaikan dengan
perkembangan jaman, ada pula yang memasukkan alat-alat musik modern seperti
keyboard, drum, bass gitar elektrik dan gitar rithym yang dipadupadankan dengan
gamelan tradisi.
Posisi terpenting dari semua niyaga adalah penabuh kendang (pengendang),
karena dialah yang biasanya menangkap isyarat dan perintah dalang, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
meneruskannya kepada niyaga yang lain, terutama untuk melirihkan atau
mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau memperlambat irama gending,
memulai dan menghentikannya. Pengendang juga harus menghidupkan pagelaran
karena bunyi kendang-kendangnya yang mengiringi gerak-gerak wayang di pentas
sungguh merupakan ilustrasi yang menghidupkan suasana (Pandam Guritno 1988:
37-38).
c) Pesinden atau penyanyi wanita
Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama di kenal di kalangan seni di
pulau Jawa, tetapi para pesinden dikenal sebagai bagian dari pagelaran wayang kulit
baru pada tahun 1925-an. Hingga kini pagelaran wayang kulit dianggap tidak wajar
apabila pesinden tidak ada. Para pesinden memiliki nama lain yaitu waranggana,
widuwati, dan suarawati (Pandam Guritno 1988: 39). Nyanyian para pesinden
kebanyakan dari jenis macapat meskipun pada perkembangannya pesinden juga
menyanyikan musik campursari.
Jumlah suarawati sebaiknya 2 (dua) orang, meskipun juga dapat dilakukan
1 orang. Jumlah pesinden tidak boleh terlalu banyak agar suaranya tidak
mengganggu jalannya pagelaran. Sebaiknya pesinden tidak lebih dari 5 (lima) orang
(Sri Mulyono 1982: 129). Akan tetapi pada perkembangannya jumlah suarawati
yang mengiringi pagelaran banyak yang lebih dari 5 orang dan kadang-kadang
mencapai 10 orang tergantung event yang ada.
3) Jenis-jenis Pakeliran
a) Wayang Gedhog
Wayang gedhog memiliki fungsi akspresif atau penghayatan estetis dan
sebagai fungsi hiburan bagi para abdi dalem selama raja berada di luar keraton.
Selain itu memiliki fungsi lain yaitu sebagai alat pendidikan dan sebagai pengukuh
kedudukan raja (alat legitimasi raja). Wayang gedog tidak berkembang di masyarakat
karena ada faktor interen dan faktor eksteren. Faktor interen bahwa garap pakeliran
wayang gedog lebih sulit dari wayang kulit purwa. Faktor eksteren bahwa wayang
gedog di lingkungan keraton berfungsi untuk mengukuhkan kedudukan dan kekusaan
raja. Teknis pertunjukan wayang gedog berbeda dengan wayang kulit purwa, sang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dalang harus menguasai repertoar cerita panji yang berupa seluk beluk keraton secara
seksama. Dan biasanya ditampilkan dalam keraton (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko
2007: 135-137).
b) Wayang Golek
Wayang golek adalah salah satu jenis wayang diantara berbagai jenis
wayang yang ada di jawa. Wayang golek masih hidup sampai sekarang dan tersebar
diberbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, dan di Jawa Barat. Wayang
golek bonekanya berbentuk tiga dimensi, terbuat dari bahan kayu jaranan, kayu
kemiri atau kayu mentaos. Kata golek berarti anak – anakan, patung kecil, cari
mencari. Timbulnya wayang golek menurut tradisi lisan yang dikutip oleh soetarno,
sarwanto, sudarko, (2007) bahwa pada tahun 1659 keraton Kartosura membangun
serta menyempurnakan berbagai seni pertunjukan istana. Sedangkan di masyarakat,
banyak seni pertunjukan yang datang dari daerah pesisir, yaitu wayang golek purwa.
Sedangkan seni pertunjukan yang datang dari Kudus adalah wayang golek menak.
Hadirnya wayang golek itu membuat para ulama tidak senang dan menolak karena
wayang golek itu mirip gambar manusia maka dianggap karam, sehingga di Jawa
Tengah wayang golek tidak berkembang. Bentuk boneka wayang ini bulat. Wayang
golek berupa balutan kayu yang diukir dan dipahat serta terbagi atas: kepala, badan,
tanganan dengan tuding (tongkat kecil) (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 142).
c) Wayang Madya
Pertunjukan wayang madya pada dasarnya tidak berbeda dengan wayang
kulit purwa. Wayang Madya lebih muda daripada wayang kulit purwa. Wayang
madya tidak dapat berkembang dengan baik dikarenakan: (1) masyarakat telah
mendarah daging terhadap wayang purwa; (2) wayang madya jarang dipergelarkan
diluar dan biasanya hanya dipertunjukan di dalam istana; (3) kerena gineologi
wayang madya tidak dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak disukai. Isi cerita
wayang madya kurang lebih sama dengan wayang purwa dengan pembagian tiga
tataran, yaitu: (1) Purwa carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet nem; (2)
Madya carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet sanga; (3) Wasana carita,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
sesuai dengan iringan dalam pathet manyura, sebagai inti cerita wayang semalam
suntuk (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 158-159).
4) Kelengkapan
Kelengkapan yang harus ada pada suatu pakeliran :
a) Boneka Wayang
Satu kothak wayang kulit purwa berisi sekitar 200 buah boneka atau wayang
yang terbuat dari belulang dan kulit kerbau, dan dapat pula dibuat dari kulit lembu
(Pandam Guritno 1988 : 40).
Boneka-boneka wayang kulit tidak menggambarkan manusia-manusia
secara wajar, demikian pula boneka-boneka yang digunakan dalam wayang-wayang
jenis lainnya. Yang digambarkan adalah watak berbagai tokoh dalam dunia
pewayangan. Setiap boneka/wayang kulit melukiskan watak tertentu dalam keadaan
batin tertentu (Pandam Guritno 1988: 42).
Dalam pertunjukan semalam suntuk yang mulai sekitar pukul 21.00 dan
berakhir pada saat matahari terbit keesokan harinya, dalang biasanya hanya
menggunakan antara 50-60 buah wayang. Wayang-wayang yang lain hanya
ditancapkan berjajar di kanan dan kiri panggung, sebagian masih diletakkan dalam
kothak, sebagian lainnya diletakkan di sisi kanan dalang, di atas tutup kothak.
Semuanya dilakukan menurut aturan-aturan tertentu sehingga dalang mengetahui
betul di mana wayang-wayang yang dibutuhkannya (Pandam Guritno 1988: 42-43).
b) Kelir (layar dari katun)
Sebagai permainan bayangan, wayang kulit purwa memerlukan layar yang
dinamakan kelir (Pandam Guritno, 1988: 49). Kelir adalah selembar tabir yang
terbuat dari kain putih, pada umumnya terbuat dari kain blacu, dan di sekeliling kelir
dengan kain merah atau hitam, dengan ukuran lebar 1 1/2 – 2 meter, dan panjang 3- 3 1/2 meter. Kelir dalam pertunjukan wayang merupakan peralatan yang penting sekali,
karena yang direntangkan dengan bingkai gawangan yang terbuat dari kayu atau
bambu. Kelir pada umumnya berwarna putih, karena ada kaitannya dengan
pengertian bahwa kelir merupakan lambang semesta alam. Dalam perkembanganya
kelir dewasa ini terbuat dari kain mori prima putih, sekelilingnya dihias dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
bludru hitam (biru) dan dihias dengan benang emas, serta dibingkai gawangan yang
terbuat dari kayu jati yang penuh dengan ukiran dengan ukuran panjang 25 meter dan
lebar 2 1/2 – 3 meter.
Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto dan Sudarko (2007: 40) istilah kelir
dalam pagelaran wayang telah muncul sejak abad XII, seperti tercantum dalam Serat
Wreta Sancaya, dalam bait 93, Sekar Mandraka antara lain berbunyi :
”Lwir mawayang tahen ganti mikang wukir kineliran himarang anipis/ bungbung ikang petung kapawanan, jateka tudungan ja munya ngarangin/ paksi ketur selundingan ika kinang syani pamungsal ing kidang alon/ mandrakala sabda ing mrak alano sawang pangidungnya mangrai hati” Dalam pertunjukan wayang kulit fungsi kelir adalah tempat untuk
mempergelarkan/ memainkan wayang di samping juga sebagai tempat untuk
meletakkan simpingan wayang. Kecuali itu gawangan kelir dipakai untuk
meletakkan sesaji (sajen) seperti padha, kain, pohon tebu yang merupakan
perlengkapan (sesaji) dalam pertunjukan wayang (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko
2007: 40).
Kelir selalu digunakan dalam pagelaran wayang kulit purwa sejak dahulu
kala, lain halnya dengan pertunjukan wayang golek, menunjukkan bahwa wayang
kulit purwa merupakan pertunjukan bayangan (Pandam Guritno 1988: 51).
c) Blencong (lampu)
Blencong merupakan lampu minyak kelapa yang digunakan dalam
pertunjunkan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat dari logam (perunggu)
bentuknya menyerupai burung dengan sayap-sayapmengepak dan ekornya terangkat.
Kedua sayap dan ekornya berfungsi sebagai reflektor yang memantulkan cahaya
lampu pada kelir. Sebagai sumbu lampu minyak kelapa digunakan lawe, yaitu
benang-benang kapas yang keluar dari paruh burung yang menyerupai garuda
(Pandam Guritno 1988: 53). Pesatnya perkembangan teknologi di masa kini, pada
pertunjukan wayang kulit tidak lagi menggunakan blencong tetapi dengan lampu
penerangan listrik yang menggunakan sistem cahaya/lighting, yang berwarna-warni
(Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 44-45).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
d) Dhebog (batang pisang)
Untuk pertunjukan wayang kulit purwa biasanya diperlukan tiga sampai
empat batang pisang yang cukup panjang dan padat (batang pisang raja). Ukuran
dhebog sangat tergantung dengan ukuran gawangan kelir, yang normal dhebog yang
berada di sebelah kanan dan kiri sekitar 3,5 m, sedangkan yang ditengah dua buah
dengan panjang 2 m dan dipilih dhebog yang masih segar, sehabis ditebang
(Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 41). Dari dhebog tersebut dibuat bertingkat
dua yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dhebog atas merupakan bagian pentas
untuk menancapkan tokoh-tokoh wayang yang dalam adegan berstatus tinggi
sedangkan dhebog lapisan bawah berfungsi seperti lantai tempat untuk duduk
bawahan. Kedua lapisan dhebog bertumpu pada penyangga-penyangga dari kayu
yang dinamakan tapak dara, sedang bagian atas sligi-sligi dan blandar diikat pada
kayu-kayu melintang yang menghubungkan tiang-tiang rumah (Pandam Guritno
1988: 52).
e) Kothak wayang
Sebuah kothak yang terbuat dari kayu nangka atau kayu suren dengan
ukuran panjang sekitar 55 cm. Kothak untuk menyimpan boneka wayang setelah
selesai pertunjukan. Dalam pertunjukan kothak diletakkan pada sisi kiri dalang
sedangkan tutup kothak diletakkkan pada sebelah kanan dalang (Soetarno, Sarwanto
dan Sudarko 2007: 42). Pada bibir kothak digantungkan kepyak, yang saat waktu
pertunjukan dibunyikan dengan jejakan-jejakan ujung kaki kanan dalang. Kothak
tersebut juga dipukul-pukul dalang dengan menggunakan cempala-cempala (Pandam
Guritno 1988: 56).
f) Cempala (pemukul kothak)
Cempala merupakan alat pemukul yang dipukulkan pada kothak wayang
untuk menimbulkan suara/efek tertentu sesuai dengan kebutuhan dalang. Cempala
biasanya terbuat dari kayu galih asem atau kayu kemuning atau kayu sambi. Dalam
pedalangan terdapat dua cempala yaitu cempala ageng dan cempala alit (Soetarno,
Sarwanto dan Sudarko 2007: 43). Dalam pertunjukan cempala alit dijepit oleh jari
kaki kanan dalang dan dapat diketukkan pada tepi luar kothak ataupun pada kepyak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
sebagai ganti dari cempala ageng saat dalang sedang memainkan wayang
menggunakan kedua tangannya (Pandam Guritno 1988: 56-57).
g) Kepyak atau keprak
Pada pedalangan gaya Surakarta kepyak terdiri dari lembaran-lembaran
logam, biasanya besi atau perunggu, dengan ukuran kira-kira 10 x 15 cm dan tebal
sekitar 1 mm, biasanya berjumlah tiga lembar (Pandam Guritno 1988: 58).
Permainan kepyak menurut tradisi pedalangan Keraton Surakarta mulai dibunyikan
dalam pertunjukan wayang pada adegan budhalan menjelang adegan jaranan.
Dengan demikian mulai adegan jejer sampai dengan adegan seban jawi kepyak
belum dibunyikan untuk mengiringi tokoh tertentu (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko
2007: 44).
h) Gamelan (alat-alat musik)
Gamelan merupakan alat musik tradisional yang kebanyakan merupakan
instrumen pukul dan biasanya terbuat dari perunggu. Gamelan yang digunakan untuk
mengiringi pertunjukn wayang kulit purwa meliputi: kendang (besar, sedang, kecil
atau ketipung), rebab (instrumen gesek), gender, demung (semacam gender besar),
gambang, suling, siter, kempyang atau kemong, kethuk, kempul, kenong, saron,
peking (saron kecil), slenthem (saron besar), bonang dan gong (Pandam Guritno
1988: 58).
b. Wayang Kulit Purwa
1) Pengertian
Pertunjukan baying-bayang pada mulanya bersifat upacara agama, tetapi
kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang purwa yang bersifat pertunjukan
duniawi. Pada perkembangannya pertunjukan purwa menjadi popular dan
mengharukan kalbu penonton. Akan tetapi pokok pertunjukan wayang masih tetap
memiliki kesan sifat magis-religius (Sri Mulyono 1982: 147).
Wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanannya pengertian wayang
berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan penggung atau teater yang
memiliki padanan kata dengan aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam
pertunjukan wayang dikenal sebagai dalang. Wayang kulit purwa merupakan
pertunjukan wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabarata dan
Ramayana (Pandam Guritno 1988: 11).
Purwa semula adalah bahasa Sansekerta yang berarti ‘ pertama’, yang
terdahulu, ‘yang dahulu’. Jaman purwa berarti ‘dulu’. Wayang purwa berarti wayang
jaman dulu, atau wayang yang mempertunjukkan cerita jaman dulu (Sri Mulyono
1982: 149).
Perkataan paruwa oleh Dr. Brandes yang dikutip Sri Mulyono (1982)
menganggap “salah satu mata- rantai antara perkataan parwa, yang kemudian
menjadi purwa, yang dipakai dalam pengertian wayang purwa”.
Jadi nama “wayang purwa” adalah karena jenis-jenis cerita yang
dipertunjukkan (parwa) dan bukan karena suatu sifat teknis sarana pentasnya
ataupun boneka-bonekannya (Sri Mulyono, 1982: 150).
2) Jenis cerita
Wayang kulit purwa merupakan jenis pertunjukan wayang kulit yang paling
terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya (Pandam Guritno
1988: 15). Pada pertunjukan wayang kulit purwa kebanyakan lakon-lakonnya pada
awal mulanya bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India, yaitu: Ramayana
dan Mahabarata. Berbagai jenis wayang menurut sumber ceritanya antara lain
wayang kulit, sumber ceritanya mengambil cerita dari serat Ramayana dan
Mahabarata; wayang madya sumbar lakonnya dari serat Pustaka Raja Madya;
wayang gedog dari serat Panji; wayang klitik dari Damarwulan; wayang golek dari
Serat Menak; wayang beber dari Serat Panji; wayang kancil mengambil cerita
tentang binatang atau dari Serat Kancil Kridamartana; wayang dupara mengambil
cerita dari babad; wayang suluh dengan cerita perjuangan dalam mengusir penjajah
Belanda; wayang wahyu mengambil cerita dari serat perjanjian lama; wayang sadat
mengambil cerita tentang Wali Sanga, wayang buda ceritanya adalah tokoh
Sutasoma; wayang sandosa ceritanya Serat Mahabarata (Soetarno, Sarwanto dan
Sudarko 2007: 133-134).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Secara rinci, pakem wayang yang berupa naskah berbahasa Jawa dapat
dibedakan dalam lima kelompok yaitu (a) lakon atau cerita dalam syair tembang, (b)
lakon wayang dalam bentuk cerita prosa atau lazim disebut gancaran, (c) cerita
wayang dalam bentuk lakon wayang, (d) ikhtisar tentang rangkaian lakon wayang,
(e) cerita wayang dalam bentuk balungan lakon wayang (Ensiklopedi Wayang
Indonesia)
Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil
epos Ramayana dan Mahabharata yang merupakan karya sastra yang berasal dari
India. Keduanya digubah dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X
pada masa raja Dyah Balitung (898-910 Masehi) dan raja Dharmawangsa Teguh
(991-1007 Masehi) (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 58). Pada zaman Surakarta
sejak Paku Buwana II sampai dengan raja Paku Buwana X, kesenian berkembang
dengan pesat. Begitu pula untuk seni pedalangan, muncul karya sastra yang
digunakan untuk pedoman cerita dalam pertunjukan wayang diantaranya Serat
Pustaka Raja Purwa, Serat Putaka Raja Madya yang merupakan sumber lakon
wayang kulit purwa dan lakon wayang madya (Soetarno 2004: 105).
Untuk lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk
daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A.
Mangkunegara VII (1916-1944). Pakem Serat Pedalangan Ringgit Purwa terdiri dari
37 jilid yang berisi 177 lakon yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu cerita dewa-dewa,
siklus Arjuna Sasrabahu, siklus Rama, dan siklus Pandawa. Lakon yang terdapat
dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya Mangkunegara VII terdiri dari lakon
baku, lakon sempalan, dan lakon carangan. Lakon baku adalah suatu lakon yang
ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja atau tradisi resmi. Lakon
carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau disadur yang lepas dari cerita
pokok. Contoh dari lakon carangan yang ditampilkan dalang saat ini adalah lakon
banjaran, seperti banjaran bima dan banjaran durna. Lakon Banjaran mengisahkan
tokoh dalam pewayangan sejak lahir sampai matinya. Sedangkan untuk masa kini
dalang-dalang tenar dan pemula jarang menggunakan lakon-lakon yang bersumber
dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa, mereka cenderung menampilkan lakon
carangan (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 59-60).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
3) Nilai-nilai yang terkandung di dalam wayang kulit
Wayang mempunyai nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya,
wayang purwa, disebut juga “Ringgit Purwa”. Ringgit beraal dari 2 kata: Miring dan
Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Untuk
memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya harus memproyeksikan
kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara
keselurhan Ringgit berarti: diciptakan dalam bentuk yang miring.
Istilah wayang sendiri telah memberikan petunjuk bahwa yang disaksikan
itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang
sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya
harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh
segi kehidupan, untuk mengetahuinya harus membuka tabir yang menyelubungi
makna yang sebenarnya.
Wayang ditancapkan pada pohon pisang saat pertunjukan wayang
berlangsung. Pisang dalam bahasa Jawa disebut “Gedang”. Kata-kata ini berasal dari
“Geged” dan “Padang”. Geged berarti gigit, artinya, apabila menggigit atau
mencernakan apa yang disaksikan di dalam pagelaran wayang, dalam arti tidak
menelannya begitu saja, akan tercapailah keadaan “Padang” (terang). Keadaan ini
tercapai apabila betul-betul mengerti dengan jalan mengupas kulit pembungkusnya
dan dicerna sampai halus kemudian barulah ditelan sebagai suatu pengertian yang
“menerangi”.
Itulah sebabnya wayang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mereka semua mendapat suguhan sesuai dengan pengertiannya. Yang muda terpikat
oleh karena kepahlawanannya. Sebagian yang lain terpikat oleh karena
kehumorannya. Ada juga yang terpikat oleh keasyikan ceritanya (Ki Wahyu Pratista.
http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).
Boneka-boneka wayang tidak menggambarkan manusia secara utuh,
demikian juga boneka yang digunakan pada jenis wayang yang lain. Boneka wayang
menggambarkan watak berbagai tokoh dalam dunia pewayangan. Setiap boneka
menampilkan watak tertentu dalam keadaan tertentu. Setiap pola bentuk wayang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
menggambarkan suasana batin tokoh wayang dinamakan wandha (Pandam Guritno
1988: 42)
4) Cara pagelaran wayang kulit
Setiap pertunjukan wayang kulit semalam dibagi ke dalam tiga bagian
pathet yang masing-masing mempunyai struktur internal yang sama dalam setiap
pathet, yang terdiri dari tiga bagian yaitu: jejer, adegan dan perang. Masing-masing
bagian memiliki struktur yaitu deskripsi, dialog dan tindakan. Ketiga struktur intern
tersebut masih didukung oleh unsur iringan seperti sulukan, keprakan dan gendhing-
gendhing iringan adegan (Soetarno 2007: 107).
Pakeliran tradisi gaya Surakarta semalam dengan struktur lakon pakeliran
yang lebih terperinci sebagai berikut :
a) Pathet Nem: (1) Jejer; (2) Babak Unjal; (3) Bedhol jejer; (4) Gapuran; (5) Kedhatonan; (6) Paseban jawi; (7) Budhalan; (8) Kapalan; (9) Pocapan kreta/gajah; (10) Perang ampyak; (11)Adegan sabrang; (12) Budhalan; (13) Perang gagal
b) Pathet Sanga: (14) Gara-gara; (15) Adegan pertapan atau tengah hutan; (16) Alas-alasan; (17) Perang kembang; (18) Adegan sintren; (19) Perang sintren
c) Pathet Menyura: (20) Adegan menyura; (21) Perang sampak menyura; (22) Adegan perang brubuh; (23) Tayungan; (24) Tancep kayon (Soetarno 2007: 111).
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan
ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar
untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya Untuk mementaskan pertunjukan
wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai
penabuh gamelan merangkap wiraswara. Pertunjukan dalam satu malam adalah 7
sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi dan pada siang hari
pertunjukan dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan
wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak (Ki Demang
Sokowaten http://www.sutresnajawa.com diunduh tanggal 18 Maret 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
B. Kerangka Berfikir
Keterangan :
Sebagai sebuah kesenian tradisi, pertunjukan wayang kulit purwa
merupakan hasil karya budaya masyarakat Jawa yang memiliki kedudukan yang
cukup tinggi.
Sebagai salah satu gaya pedalangan, pedalangan gaya Surakarta merupakan
gaya pedalangan yang cukup luas persebarannya. Dengan luasnya persebarannya ini
membuat khasanah pedalangan gaya Surakarta menjadi lebih bervariasi.
Sebagai sebuah kesenian keraton, pertunjukan wayang kulit purwa gaya
Surakarta memiliki aturan-aturan yang harus di penuhi. Di lain pihak adanya
penambahan unsur hiburan seperti banyolan dan campursari dan unsur politik dari
pemerintah seperti pesan-pesan pembangunan merupakan sebuah perubahan dari
pola dasar pakeliran keraton. Dengan ini unsur hiburan mulai muncul. Pergeseran-
pergeseran mulai intensif terlihat. Munculnya dalang-dalang dari kalangan biasa
Wayang Kulit
Pagelaran
Gaya Surakarta Nilai Filosofi
Struktur
Pertunjukan
Modern Pakem
Pesan-pesan pemerintah
Hiburan
Kreasi baru
Budaya Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
yang terkenal membuat pakeliran gaya Surakarta mendapat tambahan-tambahan
unsur garapan.
Banyak dalang-dalang baru bermunculan. Baik yang berasal dari sekolah-
sekolah seni maupun yang belajar secara otodidak. Kebanyakan dari dalang ini
melakukan banyak perubahan pada struktur lakon pakeliran yang telah ada.
Kebanyakan dari dalang-dalang ini mengurangi beberapa adegan dalam struktur
lakon pakeliran semalam dan lebih menekankan pada unsur hiburan seperti dalam
adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro. Selain itu penekanan pada segi hiburan telah
jelas terlihat dengan penambahan waktu pada adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro
yang pada akhirnya membuat alur cerita pertunjukan wayang tidak jelas pada
akhirnya.
Berkurangnya adegan-adegan dalam pertunjukan wayang kulit semalam
pada akhirnya akan mengurangi nilai-nilai dari sebuah pertunjukan kesenian tradisi.
Sebagai contoh hilangnya adegan kedhatonan yang merupakan gambaran tentang
pelukisan permaisuri raja, serta keindahan kedhaton (tempat istri raja), yang sedang
menanti raja kembali dari siniwaka (pertemuan di sitihinggil). Selain adegan
kedhatonan masih terdapat adegan yang lain yang dihilangkan untuk memperpanjang
waktu untuk adegan goro-goro.
Sebenarnya tidak semua lakon menampilkan adegan goro-goro akan tetapi
adegan ini pulalah yang mampu menarik daya kreasi dalang untuk menarik penonton
dan juga pemerintah untuk merangkul para dalang dengan pesan-pesan
pembangunannya.
Perubahan demi perubahan memberi banyak sekali dampak yang kurang
baik terhadap kehidupan wayang bektuk tradisi. Penambahan waktu untuk adegan
gara-gara dan limbuk cangik membuat alur dalam setiap pementasan wayang kulit
menjadi bias. Keterbukaan panggung untuk menampilkan pelawak dan penyanyi
membuat situasi sakral sebuah pagelaran wayang menjadi luntur.
Lunturnya budaya tradisi dalam sebuah kesenian yang dibarengi dengan
berkembangnya budaya baru membuat budaya tradisi menjadi tergeser.
Metamorfosis yang tidak sempurna yang terjadi dalam kebudayaan tradisi ini
membuatnya terlihat baru akan tetapi dengan adanya hal tersebut membuat budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
ini menjadi tidak ada artinya lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak mengikuti
kaidah yang yang ada sehingga penambahan-penambahan yang terjadi membuat
kesenian menjadi lebih menduniawi. Pada hakekatnya kesenian merupakan budaya
tradisi yang merupakan hasil cipta karya nenek moyang kita dan patut kita jaga dan
pelihara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian.
1. Tempat Penelitian.
Tempat penelitian sangat menentukan diperolehnya informasi untuk
menyampaikan kebenaran dari suatu penelitian. Penulis mengadakan penelitian
dengan mengambil lokasi:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan ISI Surakarta
f. Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran.
g. Perpustakaan Daerah Kota Surakarta
h. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
i. Library Center Jogja
2. Waktu Penelitian.
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui
pembimbing yaitu bulan Februari 2010 sampai dengan November 2010 (sepuluh
bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber, melakukan
kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling
berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil
penelitian.
Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut :
26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
NO
JENIS KEGIATAN
Bulan
Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov
1 Pengajuan Proposal
2 Pengumpulan data dan
analisa data
3 Penyusunan
Laporan penelitian
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian.
Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Deskriptif Kualitatif, karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, yang
memiliki arti dan makna daripada sekedar angka atau frekuensi. Penelitian Kualitatif
adalah bentuk penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang menggunakan data
diskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dengan orang-orang atau perilaku
yang dapat diamati terhadap status kelompok orang, suatu obyek, dan suatu
kelompok kebudayaan (Laxy J. Moleong, 1990: 3).
Ciri-ciri pokok metode Diskriptif adalah : a) Memusatkan perhatian pada
masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau
masalah yang aktual, b) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki
sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional (Hadari Nawawi, 1995:
64).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian deskriptif
adalah metode penilitian yang digunakan untuk meneliti peristiwa yang terjadi
sekarang atau masih aktual, dengan cara interpretasi rasional dengan fakta-fakta
sebagaimana adanya, data-data yang didapatkan berupa data diskriptif berupa kata-
kata atau lisan terhadap suatu obyek tertentu.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian diskriptif sebagai berikut
: (a) memilih masalah yang diteliti, (b) merumuskan dan mengadakan pembatasan
masalah. Kemudian berdasarkan masalah tersebut diadakan studi pendahuluan yang
menghimpun data dasar menyusun teori, (c) membuat asumsi atau anggapan yang
menjadi dasar perumusan hipotesis, (d) merumuskan hipotesis, (e) merumuskan dan
memilih teknik pengumpulan data, (f) mengumpulkan dan mengategorikan data
untuk megklasifikasi data. Menetapkan teknik pengumpulan data yang akan
digunakan, (g) melaksanakan penelitian atau pengumpulan data untuk menguji
hipotesis, (h) mengadakan analisis data (menguji hipotesis), (i) menarik kesimpulan
atau generalisasi, dan (j) menyusun dan mempublikasikan Laporan Penelitian
(Mohammad Ali, 1982: 20)
2. Strategi Penelitian.
Ditinjau dari masalah yang diangkat, teknik serta alat yang digunakan maka
dapat digunakan strategi penelitan studi kasus. Studi kasus adalah salah satu metode
penelitian ilmu-ilmu sosial, studi kasus adalah inkuiri empiris yang menyelidiki
fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena
dan konteks tak tampak dengan tegas dan di mana multi sumber di manfaatkan.
Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok
pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila peneliti hanya
memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diselidiki dan
bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di
dalam konteks kehidupan nyata (K. Yin, 1997: 1-18).
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terpancang
tunggal. Penelitian ini disebut terpancang karena sasaran yang akan diteliti adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
perubahan bentuk pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan disebut tunggal
karena hanya meneliti pada satu tempat yaitu di Surakarta.
Sesuai dengan pengertian di atas bahwa penilitian ini membahas tentang
fenomena dalam konteks kehidupan nyata dan sudah ditentukan fokus penelitianya
yaitu tentang perubahan pagelaran wayang di Surakarta.
C. Sumber Data
Menurut Sutopo (2002) bahwa “Dalam penelitian kualitatif, sumber datanya
dapat berupa manusia, tingkah laku, dokumen dan arsip atau benda lain”. Sedangkan
menurut Lofland, “ Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen”. (Lexi J. Moleong,
2001). Dalam penelitian ini sumber data diperoleh melalui :
1. Informan
Informan yaitu individu-individu tertentu yang dapat memberikan
keterangan dan data atau informasi untuk berkepentingan penelitian. “Dalam
penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting
perannya sebagai individu yang memiliki motivasinya” (H.B. Sutopo, 2002:50).
Narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan yang diminta peneliti tetapi bisa
lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang dimilikinya.
Lexy J. Moleong (2001: 45) mengatakan bahwa ”yang disebut informan
adalah “Orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan
kondisi latar belakang penelitian”. Dalam penelitian ini orang yang dianggap tahu
dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data serta mengetahui permasalahan yang
akan dikaji adalah dalang dan juga dosen dari ISI Surakarta serta dalang diluar
institusi pendidikan (dalang non-akademis).
2. Tempat dan Peristiwa
Sumber data lain adalah tempat dan peristiwa. Informasi mengenai kondisi
dari lokasi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya baik
yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Sebagai sumber data, tempat dan
peristiwa yang diambil merupakan tempat di mana pertunjukan wayang dilaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
sedangkan peristiwanya berupa pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta.
Tempat yang diambil sebagai sumber data adalah pendopo ISI Surakarta dan Taman
Budaya Jawa Tengah karena ditempat tersebut sering digunakan sebagai tempat
pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta.
3. Dokumen dan Arsip
Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan sebagai
sumber data yang dijadikan sumber informasi, dokumen-dokumen yang digunakan
tentu saja yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari saat ini. Sutopo
(2002: 54) mengemukakan bahwa “Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang
sering sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif. Terutama bila sasarannya
terarah pada latar belakang dengan kondisi peristiwa yang terkini yang sedang
dipelajari”. Dokumen yang digunakan berupa naskah pertunjukan wayang semalam
suntuk yang digunakan oleh dalang nara sumber dan juga hasil dari menganalisis dari
beberapa karangan dari Pandam Guritno dengan judul Wayang, Kebudayaan
Indonesia dan Pancasila, Karangan dari Soetarno dengan judul Wayang Kulit:
Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, dan karangan dari Sri Mulyono dengan judul
Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya.
D. Sampling
Bertolak dari sumber data, maka dalam penelitian ini bentuk sampling yang
digunakan adalah purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan
yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. “Dalam
purposive sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang
dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap” (Sutopo, 2002: 56). Selain
menggunakan purposive sampling dalam penelitian ini juga menggunakan snowball
sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang pada mulanya
jumlahnya kecil tetapi makin lama makin banyak berhenti sampai informasi yang
didapatkan dinilai telah cukup.
Dalam pengambilan sumber data, peneliti memilih waktu yang tepat untuk
melakukan penelitian di lapangan. Untuk pengambilan data observasi di lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
seperti melihat pertunjukan wayang, peneliti memilih waktu yang sesuai yaitu untuk
pertunjukan wayang di TBS pada malam Jumat Kliwon tiap bulan dan even-even
tertentu yang menampilkan pertunjukan wayang.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk
memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi sempurna
dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan
adalah sebagai berikut :
1. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (indepth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan informan atau yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakann pedoman (guide) wawancara, di
mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Menurut Bungin (2003: 62) wawancara mendalam bersifat terbuka. Moleong (2001:
35) mendefinisikan wawancara adalah “Percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan dengan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu”. Untuk lebih mendapatkan hasil yang tepat wawancara
ini digunakan untuk menutup kekurangan dari hasil analisis data sumber yang berupa
dokumen, arsip maupun buku. Sebagai penunjang penulisan yang dijadikan adalah
dosen dari ISI Surakarta yang memiliki profesi sebagai dalang. Selain itu juga
mewawancarai dalang yang berasal dari non-akademis yang masih menggunakan
pedalangan gaya Surakarta.
2. Observasi
Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi ini dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Observasi langsung dilakukan
terhadap obyek di tempat berlangsungnya kegiatan, sehingga observer berada
bersama obyek yang diteliti (Hadari Nawawi, 1993). Bungin (2007:115)
mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian
kualitatif, yaitu obeservasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi
kelompok tidak berstruktur. Dengan observasi dapat memudahkan bagi peneliti
untuk mendapatkan data secara mendalam, sebab peneliti sudah melihat sendiri
bagaimana keadaan obyek tersebut. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan
jalan melihat pertunjukan wayang secara langsung di pendopo ISI Surakarta maupun
Taman Budaya Jawa Tengah.
3. Analisis Dokumen
Untuk memperjelas dari pada wawancara dan observasi digunakan
dokumentasi. Dokumen merupakan sumber data yang sangat penting dalam
penelitian kualitatif, memanfaatkan suatu dokumen yang padat isinya biasanya
menggunakan teknik tertentu, teknik yang paling umum digunakan yaitu Content
Analysis atau kajian isi. Kajian isi menurut Burhan Bungin (2007: 155) yaitu teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru, dan sah dengan
memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi
komunikasi. Melalui dokumen dapat mempermudah peneliti untuk membandingkan
antara gaya pertunjukan para dalang tradisi maupun modern.
Menurut Suharsini Arikunto (2002: 206), metode dokumentasi mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan transkip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Teknik analisis
dokumen ini dengan cara menganalisa sumber-sumber atau dokumen-dokumen yang
relevan dengan obyek penelitian sebab tidak semua obyek dapat diteliti.
Menurut Koentjaraningrat (1997: 63-65), ada empat keuntungan
menggunakan teknik tersebut, yaitu : (a) memperdalam pengetahuan dengan
menggunakan masalah yang diteliti, (b) menegaskan teoritis yang akan dijadikan
landasan pemikiran, (c) mempertajam konsep yang digunakan sehingga
mempermudah perumusan kesimpulan, dan (d) menghindari pengulangan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dokumen yang digunakan berupa video-video dokumentasi pertunjukan
wayang Ki Manteb Sudarsono, Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, dan dalang-dalang
yang lain.
F. Validitas Data
Validitas data adalah kebenaran dalam kancah penelitian, dimana kebenaran
data dalam penelitian itu sangat diperlukan agar hasil penelitian tersebut benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode trianggulasi data dan
review informan dalam menguji keabsahan data. Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
Trianggulasi data adalah melakukan recheck dan cross chek informasi dan
data yang diperoleh dari lapangan dengan informan lain untuk memehami
kompleksitas fenomena sosial ke sebuah esensi yang sederhana, langkah-langkah
triangulasi, yaitu ; (a) Trianggulasi sumber data, (b) Trianggulasi penyidik, (c)
Trianggulasi metode, dan (d) Trianggulasi teori.
Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi sumber data, review informan,
dan trianggulasi metode. Teknik trianggulasi data yaitu mengarahkan peneliti agar di
dalam mengumpulkan data, ia wajib menggunakan beragam sumber data yang
tersedia, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila
digali dari beberapa sumber data yang berbeda (Sutopo. 2002: 79). Triangulasi
metode adalah penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang
dengan metode observasi pada saat wawancara dilakukan. Dalam menggunakan
trianggulasi sumber, peneliti mengumpulkan data menggunakan informan dan
sumber lapangan yaitu tempat dan peristiwa, serta menggunakan arsip dan dokumen.
Narasumber yang menjadi informan adalah dalang yang melakukan pertunjukan
wayang kulit semalam gaya Surakarta. Untuk arsip dan dokumen yang dipakai
adalah membandingkan dari berbagai buku serta naskah pertunjukan wayang dari
dalang yang di wawancara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Review Informan yaitu mengadakan pengecekan data dengan cara
mengadakan diskusi dengan para narasumber data di lapangan guna memeriksa
ulang atas informasi yang telah diberikan sebelumnya. Dengan kata lain peneliti akan
mencocokkan data yang sudah diperoleh dengan narasumber yang berada di
lapangan.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (2001: 103), pengertian analisis data adalah “Proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam bentuk suatu pola kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan hipotesa kerja
seperti yang disarankan oleh data”.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif
merupakan analisis data yang didasarkan pada hubungan antara fakta satu dengan
fakta yang lain secara hubungan sebab akibat untuk menerangkan suatu peristiwa.
Analisis kualitatif yang digunakan adalah teknik analisis interaktif yang merupakan
proses siklus yang bergerak diantara ketiga komponen pokok yaitu reduksi atau
seleksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.
Adapun skema model analisis interaktif menurut Miles dan Huberman
(1992: 20) yaitu sebagai berikut :
Gambar Skema Analisis Data Model Interaktif
Sumber: Miles, B. Mathew & Huberman, A. Michael, 1992: 20
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data Penelitian Kesimpulan
atau Verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Keterangan :
1. Pengumpulan Data
Langkah pengumpulan data ini sesuai dengan teknik pengumpulan data yang
telah diuraikan, yang terdiri atas wawancara, observasi, dan dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan penelitian pada
penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-
catatan tertulis dilapangan untuk diolah lebih lanjut sehingga dapat disajikan
sebagai laporan.
3. Penyajian Data
Penyajian data adalah mengorganisasikan informasi secara sistematis untuk
mempermudah penelitian dalam mengembangkan dan merangkai keterikatan
antar data dalam menyusun penggambaran proses dan fenomena yang ada pada
objek penelitian.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan rangkaian pengolahan data penyusunan
catatan, pola dan arahan sebab akibat dilakukan secara teratur.
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian
dari awal sampai akhir. Adapun langkah-langkah prosedur penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Penulisan proposal pengurusan perijinan
Setelah judul penelitian disetujui atau ditentukan dilanjutkan dengan penulisan
proposal yang berisi garis besar penelitian. Langkah selanjutnya mengadakan
langkah pelaksanaan yaitu dengan mengurus perijinan penelitian.
2. Pengumpulan data dan analisis awal
Pengumpulan data dilakukan di lokasi penelitian termasuk dalam hal ini
mengadakan wawancara dengan informan dan mengadakan observasi terhadap
sumber-sumber tertulis yang ada kaitannya dengan topic dalam penelitian
sebagai data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Analisis akhir dan penarikan kesimpulan
Data yang sudah tersusun rapi merupakan bagian dari analisis awal, maka
kegiatan selanjutnya merupakan analisis akhir dengan mengorganisasikan dan
mengurutkan data pola dalam uraian dasar sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan.
4. Penulisan laporan dan perbanyakan laporan
Dari data yang sudah disusun berdasarkan pedoman penelitian kualitatif, maka
akan dapat diambil sebuah laporan penelitian sebagai karya ilmiah, yang
sebelumnya melalui proses pengujian terlebih dahulu.
Dari uraian di atas, maka dapat digambarkan skema prosedur penelitian
sebagai berikut :
Skema 2. Prosedur Penelitian
Penarikan Kesimpulan Penulisan
Proposal
Persiapan Pelaksanaan
Pengumpulan Data dan
Analisis Awal
Analis Akhir
Penulisan Laporan
Perbanyak Laporan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Struktur Pakeliran Gaya Surakarta
Dalam dunia pedalangan struktur dalam pakeliran semalam merupakan
tuntunan bagi calon dalang untuk berlatih dalam pengasaan materi. Adapun garis
besar struktur pakeliran semalam gaya Surakarta antara lain :
1. Pathet Nem terdiri atas : Jejer, Adegan babak unjal, Adegan bedhol jejer, Adegan
gapuran, Adegan kedhatonan, Adegan paseban jawi, Adegan budhalan paseban
jawi, Adegan kapalan, Pocapan kreta/gajah, Adegan perang ampyak, Adegan
sabrang, Adegan budhalan sabrang, Adegan perang gagal (Atmotjendono, 1958:
(I) 68-84).
a. Jejer, berisi pambuka, pelukisan keadaan kerajaan, kemakmuran kerajaan,
nama raja yang memerintah, keadaan sitihinggil, patih dan sentana yang
menghadap raja, dan situasi di pasewakan. Gendhing-gendhing yang
digunakan yaitu (1) jejer Khayangan (Bathara Guru) dan Negara Amarta
menggunakan Ketawang Gendhing Kawit berbentuk kethuk loro kerep
minggah ladrang, laras slendro pathet menyura; (2) jejer Negara Astina
dengan raja Duryudana menggunakan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk
kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, larasa slendro pathet nem;
(3) jejer negara selain yang telah disebutkan tadi menggunakan Gendhing
Karawitan berbentuk kethuk papat kerep minggah ladrang, laras slendro
pathet nem (Nojowirongko, 1958: 33-35; Sudarko, 2003: 19)
b. Babak unjal adalah deskripsi atau pelukisan tamu agung atau urusan dari
kerajaan lain yang akan menghadap raja. Gendhing-gendhing yang digunakan
yaitu (1) Ladrang Mangu, laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh
Puntadewa; (2) Ladrang Kembang Pepe, laras slendro pathet menyura untuk
mengiringi tokoh Nakula dan Sadewa; (3) Ladrang Srikaton, laras slendro
pathet menyura untuk mengiringi tokoh Janaka; (4) Ladrang Remeng,
Sobrang, dan Daradimeta laras slendra pathet nem untuk mengiringi tokoh
Baladewa (Nojowirongko, 1958: 35-36; Sudarko, 2003: 19).
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
c. Bedhol jejer adalah raja masuk kembali ke istana dalam atau kedhaton dan
patih atau perdana menteri membubarkan pasewakan.
d. Gapuran adalah pelukisan raja pada waktu menuju ke tempat permaisuri,
berhenti sejenak di pintu gerbang guna menikmati keindahan gapura.
e. Kedhatonan adalah pelukisan permaisuri raja, serta keindahan kedhaton
(tempat istri raja), yang sedang menanti raja kembali dari siniwaka
(pertemuan di sitihinggil). Gendhing-gendhing yang digunakan yaitu (1)
Gendhing Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep minggah kethuk wolu
laras slendro pathet menyura untuk mengiringi Dewi Banuwati; (2)
Gendhing Titipati berbentuk kethuk loro kerep minggah kehuk papat laras
slendro pathet nem untuk mengiringi Dewi Jembawati (Nojowirongko, 1958:
37; Sudarko 2003: 19).
f. Paseban jawi adalah gambaran para sentana, bupati dan prajurit hadir di
alun-alundan di pagelaran, menanti kedatangan patih. Gendhing-gendhing
yang digunakan yaitu (1) Gendhing Kedhatonbentar berbentuk kethuk loro
kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh
Samba dan Setyaki; (2) Gendhing Semukirang berbentuk kethuk loro kerep
minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh
Dursasana (Nojowirongko, 1958: 38-39;Sudarko 2003: 19-20).
g. Budhalan paseban jawi adalah perjalanan para bupati, sentana dan prajurit
menuju tempat kerajaan yang telah ditentukan.
h. Kapalan adalah perjalanan para sentana dengan menaiki kuda. Gendhing-
gendhing yang digunakan yaitu (1) Lancaran Kebogiro laras slendro pathet
sanga; (2) Lancaran Manyarsewu laras slendro pathet menyura
(Nojowirongko, 1958: 39; Sudarko 2003: 20).
i. Pocapan kreta atau gajah adalah pelukisan sentana raja dan patih yang
sedang berada di kereta atau sedang naik gajah untuk menuju tempat kerajaan
yang telah ditentukan.
j. Perang ampyak adalah pelukisan perjalanan para prajurit yang mendapatkan
kesulitan di tengah perjalanan dilanjutkan perbaikan jalan oleh para prajurit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
k. Adegan sabrang adalah pelukisan raja, tempat kerajaan, nama raja dalam
suatu kerajaan yang mempunyai maksud bertentangan dengan keinginan raja
yang tampil pada jejer. Gendhing-gendhing yang digunakan yaitu (1)
Gendhing Majemuk berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras
slendro pathet nem untuk mengiringi raja raksasa muda; (2) Ladrang
Babatkenceng laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan binatang
di hutan (Nojowirongko, 1958: 39-40; Sudarko 2003: 20).
l. Budhalan sabrang adalah perjalan para prajurit dan patih menuju tempat/
kerajaan yang diinginkan.
m. Perang gagal adalah perkelahian/peperangan antara prajurit dari kubu yang
tampil pada jejer dan prajurit dari raja sabrang. Dalam adegan perang ini
belum ada korban yang jatuh (mati).
2. Pathet Sanga terdiari atas : Adegan Gara-gara, Adegan pertapan atau tengah
hutan, Adegan Alas-alasan, Adegan perang kembang, Adegan sintren, Adegan
perang sintren (Atmotjendono, 1958: (II) 3-76).
a. Adegan gara-gara, dalam pakeliran gaya Surakarta hanya terdapat dalam
lakon tertentu yang sedang dalam keadaan sedih, misalnya Palasara,
Ciptaning, Manumaya. Jadi tidak semua lakon menampilkan adegan gara-
gara.
b. Adegan pertapan adalah melukiskan pertapa dan situasi pertapaan, serta
cantrik yang menghadap, demikian pula menyebutkan ksatria yang sedang
menghadap. Sedangkan adegan di tengah hutan, melukiskan ksatria sedang
berada di hutan dalam keadaan sedih diiringi panakawan (abdi). Gendhing-
gendhing yang digunakan yaitu (1) Gendhing Kalunta berbentuk kethuk loro
kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga; (2) Gendhing
Bondhet berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro
pathet sanga (Nojowirongko, 1958: 40-41; Sudarko 2003: 20).
c. Alas-alasan mendiskripsikan ksatria yang sedang masuk ke tengah hutan
belantara, yang diikuti para panakawan.
d. Perang kembang adalah perkelahian seorang ksatria dengan raksasa yang
diakhiri dengan terbunuhnya para raksasa dari negara seberang. Gendhing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
yang digunakan diantaranya untuk mengiringi raksasa menjelang perang
kembang misalnya Lancaran Jangkrik Genggong laras slendro pathet sanga
untuk mengiringi adegan danawa prepatan (raksasa). Gendhing-gendhing
sesudah perang kembang misalnya (1) Gendhing Kencengbarong berbentuk
kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga untuk
mengiringi adegan Astina (Raja Duryudana); (2) Gendhing Rondhon
berbentuk kethuk papat arang minggah kethuk wolu laras slendro pathet
sanga untuk mengiringi adegan Dwarawati (Nojoworongko, 1958: 41-42;
Sudarko 2003: 20).
e. Adegan sintren adalah melukiskan adegan di kerajaan tertentu dalam pathet
sanga.
f. Perang sintren adalah peperangan antara prajurit/senapati dari kerajaan yang
tempil dalam adegan sintren dengan tentara/prajurit dari negara lain.
3. Pathet Manyura terdiri atas : Adegan menyura, Adegan perang sampak menyura,
Adegan perang brubuh, Tayungan, Tancep kayon (Atmotjendono, 1958: (III &
IV) 3-71). Gendhing-gendhing untuk adegan pathet menyura untuk mengiringi
adegan Dwarawati dan Amarta misalnya Gendhing Kutut Manggung berbentuk
kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura. Gendhing
Montro berbentuk kethuk papat laras slendro pathet menyura untuk mengiringi
adegan putrid (Nojowirongko, 1958: 42-43; Sudarko 2003: 20).
a. Adegan menyura adalah pelukisan kerajaan, nama raja, wibawa raja,
kesaktian raja, serta tokoh yang hadir.
b. Perang sampak menyura adalah peperangan antara tokoh senapati yang baik
dan terjadi pembunuhan atau ada korban tokoh atau senapati jahat.
c. Perang brubuh adalah peperangan antara raja jahat melawan tokoh yang baik
(raja yang baik) dan kemenangan di pihak yang baik. Sedangkan tokoh yang
jahat mati terbunuh atau dilempar dengan kekuatan angin (dibalang barat).
d. Tayungan adalah terian tokoh yang baik atas kemenangan perang dan
biasanya tokoh Bima dan Petruk yang menari.
e. Tancep kayon adalah adegan akhir pertunjukan yang menampilkan tokoh
yang baik ditutup dengan menancapkan figur kayon di tengah layar, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
sebagai tanda bahwa pertunjukan selesai. Gendhing-gendhing yang
digunakan untuk mengiringi adegan tancep kayon (penghabisan) misalnya (1)
Gendhing Lobong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras
slendro pathet menyura; (2) Gendhing Boyong berbentuk Kethuk loro kerep
minggah ladrang ikaras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 43;
Sudarko 2003: 21)
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan dari beberapa pertunjukan
wayang semalam suntuk yang diamati terdapat unsur-unsur dalam pakeliran yang
sering dihilangkan seperti: gapuran, kedhatonan, adegan perang ampyak, adegan
paseban jawi sabrang, adegan pertapan menjadi adegan gara-gara, adegan sintren,
dan adegan menyura 2 dan hal tersebut terjadi pada dalang non-akademis dan dalang
pejabat karena penyaji kebanyakan tidak menguasai unsur-unsur sabet dalam bentuk
pakeliran semalam, kecenderungannya lebih menekankan Limbuk Cangik dan Gara-
Gara.
B. Nilai-nilai Filosofi Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa dalam pertunjukan wayang kulit
purwa merupakan gambaran tata kehidupan nenek moyang yang patut diambil suri
tauladan. Selain itu, masyarakat Jawa juga meyakini di dalam pertunjukan wayang
terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat
dalam pembagian periode pertunjukan (pathet) semalam suntuk, yang dimulai dari
pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan
dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan oleh dalang,
terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan,
dan juga makna tentang hubungan manusia dengan alkhalik-Nya (Soetomo, 2005:
(II) 1).
Pembabagan proses pendidikan dari lahir hingga mati secara terperinci
yaitu:
1. Simbol Kehidupan Masa Kanak-kanak (Pathet Nem)
Periode yang berlangsung mulai pukul 21.00-24.00 ini melambangkan masa
kanak-kanak. Sesuai dengan suasana ini, maka gamelan dan lagu dalam pathet nem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
ini ditandai dengan kayon (gunungan) ditancapkan cenderung ke kiri. Periode pathet
nem ini dibagi menjadi 6 adegan (jejeran) yaitu:
a) Jejeran raja yang dilanjutkan dengan adegan kedhatonan. Setelah selesai
bersidang raja diterima permaisuri untuk bersantap bersama. Jejeran ini
melambangkan bayi yang mulai diterima diasuh kembali ke ibunya.
b) Adegan paseban jawi, melambangkan seorang anak yang sudah mengenal dunia
luar.
c) Adegan jaranan (pasukan binatang, gajah, babi hutan). Adegan itu
melambangkan watak anak yang belum dewasa dan biasa mempunyai sifat
seperti binatang. Anak itu tidak memperhatikan aturan yang ada tetapi hanya
memikirkan diri sendiri.
d) Adegan Perang ampyak (menghadapi rintangan) melambangkan perjalanan
seorang anak yang sudah beranjak dewasa yang mulai menghadapi banyak
kesukaran dan hambatan, namun dapat dilaluinya dengan aman.
e) Adegan sabrangan (raksasa), melambangkan anak yang sudah dewasa tetapi
watak-wataknya masih banyak didominasi oleh keangkaraan, emosi dan nafsu.
f) Adegan Perang gagal, suatu perang yang belum diakhiri suatu kemenangan,
kekalahan, hanya berpapasan saja, atau masing-masing mencari jalan lain.
Adegan ini melambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam fase ragu-
ragu, belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti.
Mengenai pathet nem ini, R. Ng. Ranggawarsita menjelaskan dalam Serat
Wedhapurwaka demikian :
Pathet nenem rasaning dumadi, saking soko rongron, kadhaton yoiku tegese, rahsa kumpul neng gwa garba wibi, gya paseban jawi, iku tegesepun. Jabang bayi wus lahir neng Jawi, sabrang cariyos, bay iwis tumangkar kersane, darbe mosik sabarang kepingin, prang gagal kang arti, tumangkaring nafsu, (Padmosoekotjo, 1995: 22) Pathet nem rasa kehidupan, dari dua pihak, kedhaton yaitu maknanya, rahsa kumpul dalam kandungan ibu, segera paseban jawi, itu maknanya, bayi lahir di luar, sebrangan diceritakan, bayi sudah berkembang pikirannya, punya ulah segala kehendak, perang gagal artinya, berkembang nafsu.
Wulangan yang diterapkan pada pathet nem ini merupakan ajaran yang
bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin,
tetapi gambaran alam benda dan alam biologis di dalam janturan jejeran yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
berupa penggambaran keadaan kerajaan, kemakmuran kerajaan, nama raja yang
memerintah, keadaan sitihinggil, patih dan sentana yang menghadap raja, dan situasi
di pasewakan.. Pada penggambaran keadaan alam ini diharapkan selalu mengingat
kesatuan hidup, meliputi manusia, alam sekitarnya dan kekuasaan Tuhan.
Tata laku dalam alam manusia atau masyarakat disesuaikan dengan tata
susila yang berlaku dalam suatu budaya. Namun di sini juga diingat latar belakang
kesatuan hidup dan usaha mencari kesempurnaan. Lingkungan hidup alam batin
diambil ajaran-ajaran yang membawa manusia dari rasa nafsu naluri dan rasa
keakuan meningkat ke dalam rasa kesusilaan dan pengalaman dalam masyarakat
(Abdullah Ciptoprawiro 1986: 89). Pathet nem dengan posisi kayon sedikit miring ke
kanan melambangkan iman manusia yang harus dipelihara sebaik-baiknya.
2. Simbol Kehidupan Masa Dewasa (pathet sanga)
Pathet sanga, periode ini berlangsung pada pukul 24.00-03.00 dengan
ditandai gunungan yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai
pergelaran. Pathet sanga ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu:
a) Adegan bambangan, yaitu adegan seorang satria berada di tengah hutan atau
sedang menghadap pendeta. Adegan ini melambangkan manusia yang sudah
mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.
b) Adegan Perang Kembang, yaitu adegan perang antara raksasa Cakil berwarna
kuning, Rambut Geni berwarna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiuk
berwarna hijau, melawan seorang satria yang diiringi panakawan. Adegan ini
melambangkan suatu tataran manusia yang sudah mulai mampu dan berani
mengalahkan nafsu angkara murka (sufiah, lawamah, amarah dan mutmainah).
c) Adegan Jejer Sintren, yaitu suatu adegan seorang satria yang sudah menetapkan
pilihannya dalam menempuh jalan hidupnya (Sri Mulyono 1989: 112-113).
Serat Wedhapurwaka menerangkan demikian:
… Sabubare prang gagal pathete Salin Sanga prapteng tengah wingi… Gya pandhitan wayah tengah wengi lire yuswaning wong ya wus tengah tuwuh ing wancine ya ing kono barang kang kinapti rarase wus salin sarwo awas emut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dyan prang kembang wus ana pepati tegese lamun wong wus kuwawa nayuti nafsune pan wis bangkit amateni pancaindriya kang mrih durlaksaneng kalbu (Padmosoekotjo, 1995: 23) …setelah perang gagal pathetnya ganti sanga sampai tengah malam… segera adegan pendhita saat tengah malam ibarat umur manusia ya sudah tengah baya waktunya ya disitu segala kehendak iramanya sudah berganti serba awas waspada Sedang perang kembang telah ada kematian artinya kalau manusia sudah mampu mengendalikan nafsu memang telah bisa meredam panca indera yang hendak mengotori hati
Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh
dewa, pendeta, pertapa, Semar atau pinisepuh lainnya. Wejangan berisikan kesadaran
dalam ngudi kasampurnaan.
a) Dari lingkungan hidup batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai
kemampuan rasa jati.
b) Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui darma atau kewajiban dengan
memperoleh kesaksian atau jaya kawijayan.
c) Wejangan tentang manunggal, kesempurnaan (Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89)
3. Simbol Kehidupan Masa Tua (pathet menyura)
Pathet manyura, Periode ini berlangsung dari pukul 03.00-06.00, ditandai
dengan gunungan (kayon) condong ke kanan. Pathet manyura ini dibagi menjadi tiga
jejeran yaitu:
a) Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah berhasil dan mengetahui dengan
jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu yang dicita-
citakan.
b) Adegan Perang Brubuh. Yaitu suatu adegan yang diakhiri dengan suatu
kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan ini melambangkan suatu tataran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala hambatan hingga berhasil
mencapai tujuannya.
c) Tancep Kayon. Penutup pergelaran wayang ini, diadakan tarian Bima atau Bayu
yang berarti angina tau nafas. Kemudian gunungan (kayon) ditancapkan di
tengah-tengah kelir lagi.
Adegan yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan
alam fana dan menuju kepada kehidupan alam baqa, kekal, abadi. R. Ng.
Ranggawarsita dalam Serat Wedhapurwaka menerangkan:
Dupi prapteng wanci lingsir wengi rasane ginantos ingaranan pathet manyura lah ing kono upamane janmi wus anandhang sakit aperak ing lampus Wancinira wus prapteng byar enjing bubar tancep kayon iya iku kulup umpamane wong wus krasa sanget kang sesakit praptil sakaratil katerak reridhu Gora godha sasring pati ngrayah angreroyok yen kalipyan tan tekeng kajaten ya Sang Banyusiwi tegese puniku Banyusiwi iku angin cilik mungguh angining wong ya napas wuwus pradikane yo ing kono jroning sakaratil napas kang mungkasi neneng tamah lampus (Padmosoekotjo, 1995: 23). Saat sudah sampai lewat tengah malam iramanya berganti disebut pathet menyura nah disitu ibarat manusia telah terkena sakit mendekati kematian Waktunya sudah menginjak pagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
bubar tancep kayon yaitulah ibaratnya orang telah merasa sakit sekali tiba saat maut terkena cobaan Aneka unjian menuju kematian mengeroyok mengepung jika lupa tak sampai kesejatian Bratasena yang mengakhiri perang artinya begini Banyusiwi itu angin kecil padahal angin manusia yaitu napas jantung tempatnya di situ dalam sakaratul maut napas yang mengakhiri diam lalu meninggal
Wedharan pada pathet menyura berupa nasihat atau pernyataan pada jejeran
menjelang perang brubuh. Setelah mendapatkan pengetahuan dan penghayatan dari
wejangan pathet sanga seorang satria lalu memperlihatkan kemampuannya untuk
memberantas dur angkara. Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa pamrih
yang melihat pada dirinya.
Melalui uraian yang telah dijelaskan bahwa pergelaran wayang semalam
suntuk itu sebagai lambang keberadaan manusia secara ontologis-metafisis, yaitu
dari tiada menjadi ada dan kemudian melaksanakan lakon, maut dan kembali
menjadi tiada lagi. Semua sudah diatur menurut jadwal yang sudah ditentukan pada
waktu sebelum hidup (pergelaran), yaitu di Lauh Mahfudz atau surat dan ilahi.
Setelah paripurna pergelaran wayang semalam suntuk itu, maka semua wayang
beserta perlengkapannya dikukut sedemikian rupa, sehingga pendapa menjadi kosong
atau suwung. Kemudian barulah Sang Dalang bertemu dengan yang kuasa untuk
menerima pahala sebagai berkah usahanya. Pathet Menyura yang ditandai dengan
posisi kayon sedikit miring ke kiri melambangkan bahwa manusia harus beramal,
sehingga kehidupannya akan berbuah kebahagiaan (Purwadi, 2005: (VII)11).
Iman-ilmu-amal yang padu akan mengantarkan diri manusia yang ihsan.
Ibarat orang berdagang, pada akhirnya harus mendapat untung, namun tidak
selamanya untung harus berupa harta. Dalam pemahaman orang Jawa terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
konsep tentang untung rugi, yakni tuna sathak bathi sanak ‘rugi harta untung
mendapat saudara’.
Penggambaran perjalanan hidup manusia dari pagi sampai sore atau lahir
sampai meninggal dunia juga dapat dilihat melalui judul tembang-tembang macapat
seperti yang tercantum dalam makalah konggres pewayangan yang disusun oleh
Purwadi (2005: (VII)12) berikut ini:
1. Mijil : miyos, metu, lahir melambangkan seorang bayi lahir dari guwa garba
(rahim) ibunya.
2. Sinom : pupus (daun muda) melambangkan seorang bayi sudah mulai
berkembang/bagaikan daun yang bersemi.
3. Maskumambang : mas = perhiasan, kumambang = kelihatan, melambangkan
perkembangan seorang bayi /anak yang semakin terlihat keindahannya bagaikan
emas.
4. Asmarandana : asmara = asmara, dana = member, melambangkan
perkembangan seorang anak mulai mengenal dan saling mengasihi kepada lain
jenis. Dalam kitab Smaradahana juga diceritakan tentang api asmara.
5. Dhandhanggula : dandang = hitam, gula = legi atau manis, melambangkan anak
yang telah menemukan gula hitam atau madu manisnya asmara.
6. Kinanthi : diajak, dibawa atau bersama-sama untuk menikmati manisnya atau
harmonisnya rumah tangga.
7. Gambuh : sudah sangat cocok, selaras, serasi, dan seimbang, melambangkan
kehidupan rumah tangga benar-benar mencapai kebahagiaandan kemuliaan
hidup di dunia.
8. Durmo : dur = mundur, mo = momor, mundur dari kebahagiaan duniawi untuk
mempersiapkan diri mencapai kebahagiaan ukhrawi.
9. Pangkur : mungkur atau meninggalkan diri dari kesenangan-kesenangan
duniawi, melambangkan bahwa manusia telah meninggalkan perbuatan-
perbuatan yang menjadi larangan agama, dan selalu berbuat sebaik-baiknya serta
meningkatkan amal ibadahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
10. Megatruh : megat = misah atau pisah, ruh = nyawa atau jiwa, melambangkan
behwa manusia telah usai melaksanakan tugas-tugas di dunia dan kembali
pulang ke alam baka (akhirat atau jaman kelanggengan).
11. Pocung : pocong, tata cara agama yang dilaksanakan oleh umat islam, orang
yang telah meninggal dunia sebelum dimakamkan atau dikubur terlebih dulu
dimandikan dan di pocong dengan kain kafan yang berwarna putih.
C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem
Sebagai salah satu bentuk kesenian yang multi lapis, pertunjukan wayang
merupakan jalinan dari berbagai perabot atau unsur, baik yang bersifat fisik maupun
non fisik. Perabot fisik merupakan berbagai unsur nir kasat mata yang berperan
dalam sajian pakeliran sebagai sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang,
gawang, kelir, kothak. Sedangkan perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak
kasat mata yang berupa ide atau gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan
medium yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu,
wacana, gerak. Pada dasarnya antara perabot fisik dengan unsur-unsur garap
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perabot garap berperan
sebagai sarana ekspresi dari unsur-unsur garap, sedangkan unsur-unsur garap akan
berarti apabila diungkapkan melalui bentuk-bentuk ekspresi sesuai dengan tuntunan
suasananya (Suyanto 2003: 23-24).
Ditinjau dari jenisnya unsur-unsur garap pakeliran terdiri dari 3 (tiga) jenis
yaitu:
1. Garap Catur
Catur adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang
di dalam pakeliran (Bambang Murtiyoso 1981: 6). Selain itu catur adalah semua
bentuk ekspresi dalang lewat wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh dalam
pakeliran (Suyanto 2003: 28). Pada prinsipnya catur adalah kemampuan dalang
dalam berbahasa untuk mengekspresikan pengalaman dan perasaannya dalam
pakeliran.
Dalam pemilihan catur, seniman dalang biasanya tinggal memilih mana
yang akan digunakan karena pada umumnya catur yang digunakan sudah ada dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
pada umumnya memiliki struktur isi dan pola yang telah membeku (narasi, dialog,
dan monolog). Sebagai contoh: (1) untuk bentuk narasi seperti janturan jejer,
janturan gapuran, janturan kedhatonan, pocapan gajah, dan pocapan kreta; (2)
bentuk dialog seperti bage-binage, tantangan, bantah, dan wejangan (Sudarko, 2003:
102).
Catur pakeliran bentuk semalam pada umumnya menggunakan kalimat-
kalimat panjang. Selain itu pakeliran bentuk semalam juga sering menggunakan
catur-catur klise dikarenakan adanya suatu hubungan yang erat antara lama waktu
pertunjukan dengan kebutuhan caturnya. Pada umumnya dalang yang menyajikan
pakeliran bentuk semalam harus mempunyai perbendaharaan catur yang banyak
serta lengkap. Jika tidak demikian ia akan kehabisan bahan. Selain itu bentuk
susunan catur klise dirasa masih cocok digunakan oleh para pendukung pakeliran
bentuk semalam (Sudarko 2003: 107-108).
Pengulangan dalam bentuk catur dapat terjadi baik dalam janturan,
pocapan, maupun dialog. Pengulangan sering terjadi dalam hal isi dan kosakata.
Misalnya narasi yang berisi deskripsi tentang perang yang sebetulnya perang ini telah
dingkapkan melalui sabet, atau dalam bentuk dialog dapat berupa dialog tokoh
mengutarakan suatu masalah tertentu kemudian diulangi oleh tokoh lain baik
langsung maupun tidak langsung (Sudarko 2003: 109).
Di dalam pakeliran gaya Surakarta, catur dapat digolongkan menjadi tiga
jenis, yaitu:
a. Janturan
Janturan adalah cerita yang diutarakan / diungkapkan oleh dalang dalam
pertunjukan wayang yang diringi dengan suara gamelan yang dibunyikan secara
lirih. Janturan memiliki fungsi pokok yaitu untuk memberitahu penonton mengenai
dimana tempat adegan, siapa-siapa saja yang ada di pentas, sketsa watak dari tokoh
wayang, dan apa yang akan dijadikan pokok pembicaraan dalang (Pandam Guritno
1988: 67).
Dalam buku Bahan Ajar Teori Pedalangan 1 yang disusun oleh Suyanto
(2003: 28) disebutkan bahwa “janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
suatu adegan yang sedang berlangsung, mencakup suasana tempat (negara), tokoh,
dan peristiwa dengan diiringi gendhing sirepan”.
Dilihat dari aspek kesusastraan yang digunakan, janturan mempunyai ciri
khas sebagai berikut: (1) bentuk bahasanya prosa liris; (2) banyak menghadirkan
leksikal arkhais (Bahasa Kawi); dan (3) terdapat jalinan harmonis antara suasana dan
lagu iringan (Suyanto, 2003: 28).
Dalam pakeliran tradisi gaya Surakarta, bentuk dari janturan menurut
proporsi pengungkapannya terbagi menjadi dua macam yaitu: Janturan Ageng dan
Janturan Alit. Janturan Ageng adalah janturan yang proporsi pengungkapannya
cukup panjang, biasanya digunakan dalam adegan pertama atau yang disebut jejer.
Misalnya: Jejer Ngastina, Jejer Dwarawati, Jejer Khayangan Suralaya, dan
sebagainya. Sedangkan Janturan Alit adalah janturan yang proporsi ungkapannya
relative pendek dan biasanya digunakan dalam adegan-adegan setelah jejer pertama.
Misalnya: adegan kedhatonan, adegan paseban jawi, adegan sabrangan
(Yaksa/bagus), adegan magak, adegan pertapan (sanga sepisan), adegan alas-
alasan, adegan menyura sepisan, dan sebagainya.
Contoh Janturan Ageng dan Janturan Alit:
1) Janturan Ageng (Jejer Ngastina dalam lakon Wahyu Makhuta Rama)
Swuh rep data pitana, anenggih negari pundi ta ingkang kaeka adi dasa purwa, eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan, sanadyan kathah titahing bathara ingkang kasangga ing pratiwi, kaungkulan ing akasa, kahapit samodra laya, saha kathah ingkang samya anggana raras; nanging datan kadyan gelaring negari Nastina, ya Hastinapura, Gajahoya, Limanbenawi, ya Kurujanggala. Marma dadya bebukaning carita awit pranyata pinunjul ing jagad. Bebasan ngupaya nagari satus datan antuk kalih, sanadyan sewu datan jangkep sedasa. Dasar negara kang panjang, punjung, pasir, wuklir, loh jinawi, gemah, ripah, karta tur raharja. Nagari kang ngungkuraken pareden, nengenaken benawi, ngeringakaen pasabinan, ngayunaken bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang samya tinuku, gemah kang samya lampah dagang layar surya ratri tan ana kendhate labet tan ana sansayaning marga. Ripah kathah janma manca ingkang samya bebara miwah samya bebadra, bebasan jejel pipit, aben cukit wisma nira, papan wiyar katingal rupak labet saking rejaning praja. Karta lebih saking parangmuka, raharja gesanging para nara prajasamya sahiyek saeka praya, senadyan para kamwula dasih samyaguyup rukun lebih saking hambeg dursila juti myang cecengilan. Ingon-ingon raja kaya, pitik iwen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
datan samya kinandhangan, yen siang aglar ing pangonan, lamun ratri bali mring kandhanging sowang-sawang tan ana kang ghothang sawiji. Dhasar nagari Ngastina kasusra kajanapriya, mila winastan nagari kang gedhe obore, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, amba leladane. Boten ngemungaken ing tanah jawi kewala, senadyan para bupati ing tanah sabrang kathah ingkang samya sumuyut sumawita tan karana ginebanging prah pupuh, labet hamung kayungyun kapiluyu ing pepoyaning kautaman. Saben hari kalamangsa samya asok bulu bekti glondhang pangareng-areng, peni-peni raja peni, guru bakal guru dadi, pinangka tandha panungkul. Lah sinten ta ingkang ngasta pusaraning Negari Ngastina?, wenang den ucapna jejuluking sang bumi nata nenggih prabu Duryudana, Suyudana, Kurupati, Jakapitana, Jayapitana, Sang Gendarisuta, Dhestharastraatmaja, ya Sang Kurawaendra. Marma ajejuluk Prabu Duryudana nerendra kang awrat sanggahing aprang, Suyudana prajuritlinangkukng, Kurupati narendraning bangsa Kuru, Jakapita nggenya jumeneng nata maksih jejaka, Jayapitana nerendra kang rosa ing pamuja, Gendarisuta linahirake dening Dewi Gendari, Dhestharastraatmaja pinutrakake dening adipati Dhestharastra, Kurawaendra narendraning para kadang. ............................................................................. (Suyanto, 2003: 30-32).
2) Janturan Alit (Janturan Kedhatonan Dwarawati) Hanenggih kang cinerita, ing Kenyopuri Praja nDwarawati. Sang sri supadniwara tetiga, kang sepuh kekasih Dewi Jembawati. Dhasar wanodya endah ing warna, karengga ing busana, atmajaning pandhita tuwuk winulang ing darma; marma katingal wingit pasemone, ngenguwung tejane. Wimbuh ginarwa narendra binathara, kalangkung sinihan, labet wignya hanuju prana. Nadyan wus peputra tiga, parandene sapisan dereng nate karengon. Garwa ingkang panenggak putri saking Kumbina, kekasih Retnaning Dyah Dewi Rukmini. Galak ulat raga karana, gonas-ganes lelewane milangoni. Liringing netra tumanen nala, tembeling lathi handudut ati. Garwa ingkang katiga putri saking Lesanpura, kekasih Dewi Setyaboma. Endahing suwarna tan pae kadya widadari tumurun; wimbuh lebda ngadi sarira, marma hanggung sinihan ing sri nata. Kacarita sang prameswari tetiga saben sang nata miyos sinewaka, samya lenggah aneng prabasuyasa kaleres pananggap ingkang sisih ler wetan; den-ayap para dyah ingkang samya ngampil upacara garwaning nata; ing ngandap andher para parekan cethi. Sinambi mriksani ajaran bedhayasrimpi; pradangga munya hangrangin keplok imbal hangudasih, senggakan rebut wirama. Nuju suwuking pradangga munya tengara konduring nata. Sang dayinta gya mirantos tirta pawijikan ing sangku. Gupuh prameswari tiga, samya methuk konduring nata (Tim, 2006: 25-26).
b. Pocapan
Pocapan adalah wacana dalang berupa narasi yang pada umumnya
menceritakan peristiwa yang sudah, sedang dan akan berlangsung, tanpa iringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
gedhing sirepan (Suyanto, 2003: 33). Menurut Soetarno (2004: 129), pocapan adalah
suatu deskripsi suatu adegan atau peristiwa menjelang atau sesudah adegan.
Dilihat dari bentuk bahasanya pocapan dalam pakeliran gaya Surakarta
terdapat dua macam bentuk yaitu: pocapan baku dan pocapan blangkon. Pocapan
baku adalah suatu bentuk narasi yang menceritakan suatu peristiwa berupa bahasa
bebas yang berkaitan langsung dengan konteks lakon. Seperti: pocapan peralihan
adegan, pocapan suasana tokoh (marah, sedih, emeng). Sedangkan pocapan
blangkon adalah bentuk narasi yang menceritakan suatu keadaan berupa bahasa klise
yang berlaku umum dan tidak terkait dengan konteks lakon. Misalnya: pocapan
padupan, pocapan pathet kedhu, pocapan abur-aburan Gathutkaca, pocapan Gara-
gara (Suyanto 2003: 34).
Contoh pocapan baku dan pocapan blangkon
1) Pocapan Baku
Lah ing kana wau, untaping wadya-bala saking nagari Ngastina lir pindah sela blekithi, anglur selur data nana pedhote kadi semut gumreget ing sela. Abra busananing wadya lir pendah panjrahing puspita. Gebyaring busana cawuh lan klebeting bandera lelayu kelaping kakandha pedhang tameng mawur lan kelaping paying agung, sinawung saking mandrawa pindha wredu angga sasra. Wredu lintah angga banyu sasra sewu, kaya lintah sewu aneng banyu bareng kumerlap. Rame swaraning janma, cawuh lan kriciking kendhali kropyaking watang gathik, pengeriking kuda myang pangepreting dwipangga, barung lan swaraning poksur tambur gong beri wurahan, jajah warsa kinteki. Warsa udan kinteki alas pajaten, kaya udan nrajang wana pajaten. Nyarangaping langkap bedhil tombak landheyan pindha jati ngarang. Prajurit sajuru-jurudatan kena carob wor. Kang busana putih kumpul padha seta, tinon saking mandrawa pindha kontul aneba. Kang busana Kresna kumpul padha langking, kadi dhandhang areraton. Kang busana rekta kumpul padha abang, tinon saking mandrawa abra markata pindha wukir kawelagar. Kang busana ijo kumpul padha wilis, katon riyo-riyo kadi tanem nedhenging gumadhung. Baleduging lampah, peteng angampak-ampak, katon angendanu pindha mendhung (Siswoharsojo yang dikutip Soetarno, 2004: 129).
Terjemahan:
Demikianlah keberangkatan prajurit dari kerajaan Astina seperti batu, terus mengalir tidak henti-hentinya seperti semut sedang berjalan di batu. Warsa-warni busananya para prajurit seperti bunga yang sedang berkembang. Gemerlapnya busana yang bercampur dengan berkibarnya bendera serta mengkilapnya senjata pedang tameng dan warsa-warni paying, kalau dilihat dari kejauhan seperti lintah seribu dalam air. Gemuruh suaranya menusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
bersama dengan suara kereta dan kuda, serta suara gajah yang ditambah dengan suara tambur dan gong beri seperti hujan yang menerjang hutan jati. Prajurit yang berbusana putih berkumpul dengan yang memakai busana putih seperti burung kuntul di sawah, yang berpakaian warsa hitam berkumpul dengan yang berbusana hitam seperti burung gagak. Yang berseragam merah bersama dengan yang berbusana merahseperti hutan terbakar. Prajurit yang berseragam hijau berkumpul dengan hijau seperti tanaman padi masih muda. Debu di jalan tampak tebal dan gelap seperti awan.
2) Pocapan Blangkon
Lah ning kana ta wau, Nata ing Dwarawati wus manjing jroning sasana busana, lukar busana keprabon ngrasuk busana kapandhitan; sigra laju manjing sanggar pamelengan. Ing mriku wus samapta uparengganing sesaji. Sela gengnya samustaka, liman, winor lan ratus, kayu garu rasamala, miwah cendhana sari. Tinumpangaken ing bagni makantar-kantar, kukusing dupa kumelun yayah sundhul ngantariksa. Sang katong murwani denira semedi, sendhakep asta suku juga, nutupi bah-bahan nawa sanga, meper dayaning pancadriya sekawan kang binengkas sajuga kang sinidikara pinangka nut laksitaning subrata. Mandeng pucaking grana, ngeningaken wijiling bajra hirawana. Bawaning narendra kang sembada pralebdeng patrap mangulah lenging subrata, bebasan mung sakedheping netra wus gambuh mring panguwasaning Widhi.gemblengng pangesti maharani pratitising pamawas. Ancasing sedya wus melok datanpa aling-aling, kang ngalingi wus kelingling. Syekti katarima panedhaning sang nata, apa ta tandhane? jroning palanggatan ana riris manda linuting maruta midit angganda arum. Mesem jroning werdaya sang nata, sigra wudhar denira mangsah semedi. Neng na wau genti kang kinocap tan kandya ingkang wonten ing pagelaran jawi, solahing wadya bala ing madyaning alun-alun tinon saking mandrawa kaya robbing jalanidhi (Suyanto 2003: 34-35).
c. Ginem
Di dalam dunia pedalangan istilah ginem mempunyai pengertian khusus
yaitu ucapan dalang yang mengekspresikan wacana tokoh, baik dalam bentuk
monolog maupun dialog (Suyanto 2003: 35). Pada perkembangannya dalang-dalang
populer telah mempersiapkan sendiri dialog tokoh wayang berdasarkan situasi aktual
dan telah meninggalkan basa pinathok (bahasa yang klise). Dengan demikian, ginem
dalam adegan tertentu telah berubah dan kebanyakan telah menyimpang dari esensi
pembicaraan arau keluar dari pakeliran. Dialog yang sering dipersiapkan oleh dalang
biasanya dalam adegan limbuk-cangik dan adegan goro-goro (Soetarno 2004: 131-
133).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Jika dilihat dari bentuknya, ginem dapat digolongkan menjadi dua macam
yaitu: ginem blangkon dan ginem baku. Ginem blangkon adalah wacana yang berupa
bahasa klise yang dikemas secara konvensional. Untuk isi dari wacananya, tidak
berkaitan langsung dengan jalan cerita. Sedangkan ginem baku adalah wacana
wayang yang berkaitan langsung dengan isi atau permasalahan dalam lakon. Untuk
bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter tokoh yang akan ditampilkan
(Suyanto 2003: 36).
Contoh ginem blangkon dan ginem baku
1) Ginem Blangkon Jejer Dwarawati
Kresna : Kulup [kuluuup] Samba, kaya ora dadi guguping atinira, sira ingsun timbali marak ana ngarsaningsun?
Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sareng nampi dhawuh timbalanipun Kanjeng Dewaji, sanget guguping manah. Nalika wonten ing njawi raosing manah kados sinamber ing gelap tuna, tinubruk ing simo lepat; upami sumerep gebyaring caleret, mboten sumerap dhawahing gelap. Dhahat kumepyar kados kados panjang putra dhumawah ing sela kumalasa. Upami kambengan salamba kapanjer madyaning alul-alun, katiyup ing samirana, sakalangkung kejot kumitir carub maras. Nanging sareng dumugi ing ngarsa Nata asreping manah pindha siniram toya wanci enjing, mboten pisan yen ta darbeya manah maras. Kawula nuwun [nuwuun], nuwun.
Kresna : Apa mulane nalika ana ing njaba banget kuwatir, nanging bareng prapta ngarsaningsun datan darbe rasa maras?
Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Mila nalika wonten ing njawi dhahat sumelanging manah, sareng wonten ing ngarsa Nata mboten darbe raos maras; upami pun Samba nandhanga dosa sakit Sinuhun ingkang nyakitana, yen hanandhang dosa pejah Sinuhun ingkang hamejahana. Sampun ingkang siyang, sanadyan dalu pejah-gesangipun pun Samba sumangga ing asta kekalih; tembang tadhah wadana, suka kakurepna ing abahan, kapanduka warastra ingkang lungit. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun.
Kresna : Kulup [kuluuup], kejeron panampa. Koyo wong nandang dedosan, ngaturake pati-urip. Iya sadurung lan sawise banget ing panarimaningsun, awit anggonira hanjunjung kapraboningsun. Ana bebasan sak galak-galake macan ora kolu mangsa marang anake dhewe. Apa maneh panjenenganinsun kaya durung tau kelakon hangukum wong kang tanpa dosa. Tumrape marang sira kaya maksih akeh parimarmaning karaton. Sapa ta kang kawongan ing Praja nDwarawati pantes ngobori pepeteng, hambabadi rerungkut, kajaba hamung sira. Marma haywa kaduk ati bela panampa; aja katenta ingsun piji nampani gnjaran mas sesotya sarwa retna,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
myang busana adi endah; ora pisan bebasan adoh lintang waluku sinawat ing baling kayu, cepak cupete-tangeh kenane.
Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sadrahing angin pinara sapta, sarekma pinara sasra, yen tilema kula mboten supena hangajeng-ajeng ganjaran. Tebih sampun tuwuk, celak mboten kuwawi nampi rumentahing ganjaran, ingkang prasasat mboten wonten kandhatipun pindha ilining toya narmada. mBoten langkung kawula hamung nyenyadhang dhawuhing Nata, suka kakarsakna nggayuh ingkang tebih, ngrangsang ingkang inggil. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun (Sugeng Nugroho, dkk, 2006: 20-22).
2) Ginem baku (Jejer Dwarawati dalam lakon Parta Krama)
Kresna : Kaka Prabu Mandura kawistingan sumengka pengawak prapta wonten ing negari Dwarawati esmu mengku wigatos, menawi ta tanpa sangsaya saha kengaing kawedhar ing akathah mugi ri paduka enggal kababarana sejati.
Baladewa : Mangkene yayi prabu, abot-abote pun kakang pinutra mantu tinemu tuwa dening Rama Prabu Salyapati. Telung dina kepungkur aku mertuwi marang marang negara Mandaraka. Kanjeng rama Prabu Salya apadene Kanjeng ibu Satyawati kawistara suntrut pasemone labet menggalihake pamothane si Burisrawa nggone adreng kepingin dhaup kalawan kadangmu si Rara Ireng. Ringkesing rembug Rama Prabu nuding pun kakang bab prakara Burisrawa dipasrahake sawutuhe marang aku. Oh yayi abot sangganing atiku. Aku pinangka kadang wredha dadi wakile Sudarma, mesthine aku metu mikirake kabgyaning kadangku siji si Rara Ireng. Mangka pitungkasing Kanjeng Rama Suwangi, Rara Ireng kuwi ginadhang dadi jodhoning Premadi, lan kuwi tak rasa wis trep. Nanging bareng ngadepi lelekon kang kaya mangkene pun kakang dadi kodheng, yen nganti aku ora bisa ngusadani larane Burisrawa, iba ingsemku ana ngarsaning Kanjeng Rama maratuwa. Mula yayi tekaku ing kene muhung pasrah bongkokan marang si adhi, mara lungguhna pun kakang iki kudu kepriye yayi? (Suyanto, 2003: 37-38).
Di dalam adegan pakeliran tradisi semalam, peralihan antara ginem
blangkon dengan ginem baku biasanya ditandai dengan singgetan suluk pendek
(pathetan jugag), baik pada jejer pertama, adegan kedua dan seterusnya. Hal ini
digunakan untuk membedakan suasana dialog pengantar kemudian masuk pada
ginem wigati, sehingga nampak jelas peningkatan suasana suatu adegan (Suyanto,
2003: 37).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
2. Garap Sabet
Pengertian sabet di dalam pakeliran adalah semua bentuk penampilan di
dalam pakeliran, termasuk di dalamnya cara memegang wayang, tanceban,
bedholan, solah, dan entes-entesan (Soetrisno: 1976). Menurut Sudarko (2003: 117)
sabet adalah gerak wayang dari awal pertunjukan sampai akhir, termasuk perhatian
dalang terhadap bayangan pada kelir (layar), serta pengaturan wayang di luar kelir.
Jadi sabet merupakan semua bentuk ekspresi dalang lewat gerak wayang dalam
pakeliran, baik dalam bingkai kelir maupun tidak yang dilaksanakan dalang dari
awal pertunjukan sampai akhir.
Dalam hal sabet, gerak wayang merupakan bahasa ungkap yang dapat
dimanfaatkan oleh seniman dalang untuk mengungkapkan kesan tertentu.
Sehubungan dengan konsep yang dikemukakan di dalam hal menyusun gerak harus
mempertimbangkan sudah atau belum tercapainya kesan yang diharapkan. Parameter
mangenai hal ini memeng sulit, tetapi pada umumnya setiap dalang sudah memiliki
kepekaan, sehingga hal ini tidak menjadi masalah baginya (Sudarko 2003: 115).
Di dalam pakeliran bentuk semalam terjadi kebiasaan menggunakan waktu
yang longgar dalam pementasannya. Waktu untuk menampilkan sabet sangat
longgar, sehingga untuk mengisinya dalang mengulang gerak-gerak yang sudah
ditampilkan sebelumnya serta memperbanyak tokoh yang tampil. Misalnya di dalam
gerak perang, perbendaharaan-perbendaharaan gerak seperti ancap-ancapan,
tubrukan, prapatan, anteman, bantingan, dugangan, membuang, dan sebagainya
selalu diulang-ulang. Pengulangan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak tetapi oleh
kedua pihak yang berperang. Pertama-tama yang melakukan tokoh sebelah kiri
kemudian diulangi oleh tokoh pihak kanan. Dalam gerak kiprahan yang sedikitnya
terdiri atas tujuh jenis sekaran: (a) ogekan pacak gulu, (b) ogekan tawing, (c) trap
jamang, (d) ngudhal rikma, (e) nimbang, (f) tumpang tali, dan (g) nebak bumi,
semuanya ditampilkan dengan mengulang-ulang masing-masing sekaran. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pakeliran bentuk semalam pamer kekayaan vokabuler
merupakan salah satu unsur yang dominan (Sudarko 2003: 115-116).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
3. Garap Iringan pakeliran.
Pada pakeliran bentuk semalam iringan yang digunakan berupa gendhing,
tembang, sulukan, dhodhogan/keprakan, dan sindenan. Fungsi dari iringan untuk
mendukung suasana dan/atau membuat suasana tertentu. Iringan dalam pakeliran
bentuk semalam kurang menyatu dengan unsur yang lain. Hal ini membari kesan
bahwa iringan merupakan medium bantu dalam pakeliran bentuk semalam (Sudarko
2003: 119).
Di dalam pemilihan vokabuler iringan, seniman dalang memiliki kebebasan
untuk mamanfaatkan unsur-unsur iringan dari gaya-gaya pakeliran lain. Pakeliran
gaya Surakarta tidak ditabukan memanfaatkan iringan gaya Mataram, Banyumas,
Jawa Timuran, dan sebagainya. Pemanfaatan iringan gaya lain ini di populerkan oleh
Ki Nartasabda. Pemanfaatan iringan ini lebih cenderung sebagai variasi untuk
menunjukkan bahwa beliau menguasai unsur iringan gaya lain (Sudarko 2003: 120).
Pada tanggal 1 April 1969 Ki Nartasabda mendirikan perkumpulan
karawitan dengan diberi nama “Condong Raos”, dan beliau menjadi pemimpinnya.
Condong Raos merupakan perkumpulan karawitan professional dan semua
anggotanya sudah terlatih menggarap gendhing-gendhing klenengan, iringan tari dan
pedalangan. Kemampuan Ki Nartasabda dengan dukungan karawitan Condong Raos
dengan pengrawitnya yang berbobot menyebabkan popularitasnya sebagai dalang
semakin menanjak (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 263).
Di dalam pakeliran gaya Surakarta yang termasuk dalam unsur garap
iringan pakeliran adalah sebagai berikut:
a. Karawitan Pakeliran (gendhing dan tembang)
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa sekarang ini pada umumnya diiringi
dengan gamelan yang berlaras slendro dan pelog bahkan sering juga ditambah
dengan beberapa instrumen non gamelan seperti keyboard, symbal, bass, drum. Pada
zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820) di lingkungan keraton gamelan
laras slendro instrumennya terdiri atas : rebab, gender, saron dua rancak, kendhang,
gambang, suling, kecer, kethuk, kenong laras lima dan laras nem, kempul laras lima
dan laras nem, dan gong suwukan. Memasuki zaman kekuasaan Paku Buwana X
(1893-1939) instrumen gamelan mengalami penambahan antara lain adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
penambahan rincikan sehingga jumlah rincikan untuk gamelan wayangan terdiri atas
: gender barung, gender penerus, rebab, kendhang wayangan, slenthem, saron
barung dua buah, saron penerus, gambang, suling, kecer, kethuk dan kempyeng,
kenong lima, kenong nem, kempul nem, kempul barang serta gong suwukan
(Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 48-49).
Terjadi perubahan pada penggunaan laras gamelan antara dalang keraton
dengan dalang kerakyatan. Dalam lingkungan keraton gamelan yang digunakan
kebanyakan berlaras slendro sedangkan yang berkembang di luar keraton gamelan
yang digunakan tidak hanya berlaras slendro tetapi para dalang kerakyatan juga
memakai gamelan berlaras pelog. Hal ini terjadi karena penggunaan gamelan
berlaras slendro dan pelog digunakan untuk keperluan peristiwa hidup (rites de
passage). Perubahan perangkat gamelan yang digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang kulit purwa disebabkan fungsi dari kerawitan wayang sangat
penting dan dapat mendukung suasana adegan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007:
49).
Karawitan wayang atau gendhing-gendhing wayangan dalam tradisi
wayang gaya keraton Surakarta telah disusun oleh Warsodiningrat bersama-sama
dengan Nojowirongko dan telah dibukukan seperti yang tertulis dalam buku Serat
Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi (1954). Sebagai contoh
gendhing-gendhing untuk jejer, misalnya (1) jejer Khayangan (Bathara Guru) dan
Negara Amarta menggunakan Ketawang Gendhing Kawit berbentuk kethuk loro
kerep minggah ladrang, laras slendro pathet menyura, (2) jejer Negara Astina
dengan raja Duryudana menggunakan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk kethuk
loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, larasa slendro pathet nem. (3) jejer
negara selain yang telah disebutkan tadi menggunakan Gendhing Karawitan
berbentuk kethuk papat kerep minggah ladrang, laras slendro pathet nem
(Atmotjendono, 1958: (I) 68-84).
Gendhing-gendhing untuk mengiringi babak unjal (tamu dalam adegan
pertama) misalnya (1) Ladrang Mangu, laras slendro pathet nem untuk mengiringi
tokoh Puntadewa, (2) Ladrang Kembang Pepe, laras slendro pathet menyura untuk
mengiringi tokoh Nakula dan Sadewa, (3) Ladrang Srikaton, laras slendro pathet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
menyura untuk mengiringi tokoh Janaka. (4) Ladrang Remeng, Sobrang, dan
Daradimeta laras slendra pathet nem untuk mengiringi tokoh Baladewa
(Nojowirongko, 1958: 35-36; Sudarko, 2003: 19).
Gendhing-gendhing untuk mengiringi kedhatonan misalnya (1) Gendhing
Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep minggah kethuk wolu laras slendro pathet
menyura untuk mengiringi Dewi Banuwati, (2) Gendhing Titipati berbentuk kethuk
loro kerep minggah kehuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi Dewi
Jembawati (Nojowirongko, 1958: 37; Sudarko 2003: 19).
Gendhing-gendhing untuk mengiringi paseban jawi misalnya (1) Gendhing
Kedhatonbentar berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro
pathet nem untuk mengiringi tokoh Samba dan Setyaki, (2) Gendhing Semukirang
berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk
mengiringi tokoh Dursasana. Gendhing-gendhing untuk mengiringi kapalan
misalnya (1) Lancaran Kebogiro laras slendro pathet sanga; (2) Lancaran
Manyarsewu laras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 38-39;Sudarko
2003: 19-20).
Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan sabrangan misalnya (1)
Gendhing Majemuk berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro
pathet nem untuk mengiringi raja raksasa muda, (2) Ladrang Babatkenceng laras
slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan binatang di hutan. Gendhing-
gendhing untuk mengiringi adegan pendeta misalnya (1) Gendhing Kalunta
berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga, (2)
Gendhing Bondhet berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro
pathet sanga (Nojowirongko, 1958: 39-42; Sudarko 2003: 20).
Gendhing untuk mengiringi raksasa menjelang perang kembang misalnya
(1) Lancaran Jangkrik Genggong laras slendro pathet sanga untuk mengiringi
adegan danawa prepatan (raksasa). Gendhing-gendhing sesudah perang kembang
misalnya (1) Gendhing Kencengbarong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk
papat laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Astina (Raja Duryudana),
(2) Gendhing Rondhon berbentuk kethuk papat arang minggah kethuk wolu laras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Dwarawati (Nojoworongko, 1958:
42-43; Sudarko 2003: 20).
Gendhing-gendhing untuk adegan pathet menyura untuk mengiringi adegan
Dwarawati dan Amarta misalnya Gendhing Kutut Manggung berbentuk kethuk loro
kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura. Gendhing Montro
berbentuk kethuk papat laras slendro pathet menyura untuk mengiringi adegan putri.
Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan tancep kayon (penghabisan) misalnya
(1) Gendhing Lobong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras
slendro pathet menyura, (2) Gendhing Boyong berbentuk Kethuk loro kerep minggah
ladrang ikaras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 43; Sudarko, 2003:
21)
Meskipun pembakuan ini tidak selalu tepat untuk membeberkan seluruh
lakon yang ada dalam pakeliran, pada umumnya semua dalang berusaha mengikuti
secara ketat. Akibat dari keketatan mengikuti pembakuan (pakem) ini, perhatian
dalang tidak lagi kepada isi lakon, tetapi bagaimana menyesuaikan lakonnya dengan
urutan adegan yang telah dibakukan itu. Dipandang dari kesan rasa gendhing
kaitannya dengan suasana adegan, aturan penggunaan gendhing ini sering tidak
sesuai, misalnya untuk adegan Negara Astina baik negara itu dilanda konflik, dalam
suasana menderita, dalam suasana perang, atau dalam suasana damai, dalam
pakeliran gaya Surakarta selalu digunakan iringan Ketawang Gendhing Kabor
berbentuk kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, laras slendro pathet
nem. Demikian juga penggunaan gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan-
adegan yang lain (Sudarko 2003: 22).
Pada perkembangannya di luar tembok keraton, dalang kerakyatan kurang
mentaati gendhing-gendhing yang telah disusun oleh Nayawirangka. Dalang
kerakyatan menyesuaikan pemakaian gendhing dengan repertoar gendhing yang di
kuasai. Misalnya untuk adegan kedhatonan Dwarawati diiringi dengan ladrang
Asmarandana, adegan paseban jawi digunakan ladrang Moncer, adegan sabrang
digunakan ladrang Remeng. Untuk penggunaan gendhing-gendhing laras pelog
pengunaannya terbatas pada adegan tertentu seperti adegan budhalan dan jaranan
dengan menggunakan gendhing Tropongbang. Pada adegan ksatria (Arjuna) ditengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
hutan digunakan gendhing Onang-onang, adegan perang kembang digunakan srepeg
Kemuda, dan adegan menyura digunakan gendhing Bandilori. Dengan demikian
gendhing-gendhing laras pelog yang dipergunakan untuk mengiringi adegan sangat
terbatas atau pada adegan tertentu saja (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 49-50).
Kehadiran Nartasabda di jagad pedalangan sekitar tahun 1960 mambawa
perubahan yang sangat hebat terhadap wujud penyajian karawitan pedalangan gaya
Surakarta. Dalam sajiannnya, beliau menyusun gendhing-gendhing khusus untuk
keperluan adegan tertentu. Sebagai contoh gendhing untuk budhalan bambangan
atau ksatria dari pertapan, beliau menyusun gendhing khusus yaitu Ketawang Ibu
Pertiwi laras pelog pathet nem. Untuk mengiringi gugurnya Kumbakarna pada
waktu membela kerajaan Alengka beliau menyusun Ketawang Layu-layu slendra
sanga, sedangkan untuk adegan gara-gara, beliau menyusun gendhing-gendhing
dolanan seperti: Gambang Suling, Praon, Saputangan, Sarung Jagung, mBokyo
Mesem, Ayo Guyu, Mimpi, Tukang Cukur dan sebagainya. Selain itu Ki Nartasabda
juga mencoba memasukkan idom-idiom gendhing bedhayan, musik keroncong,
langgam Jawa, bahkan musik pop dangdut ke dalam garap karawitannya (Soetarno,
Sarwanto, Sudarko 2007: 50-51; 262).
Perubahan gendhing-gendhing adegan juga diikuti oleh Anom Suroto. Hal
ini dapat dilihat pada gendhing adegan kedhatonan, gendhing adegan gara-gara dan
gendhing bedholan. Untuk adegan bedholan, Anom Suroto menggunakan Ketawang
Tumedhak Slendro Manyura. Adegan kedhatonan dihilangkan dan hanya
menampilkan Limbuk dan Cangik. Hal ini dilakukan oleh Anom Suroto karena beliau
ingin menonjolkan segi hiburan. Untuk gendhing-gendhing yang disajikan dalam
adegan tersebut di antaranya: Mijil Kethoprak. Dandhanggula Temanten Anyar, lagu
Mubeng Jawa Tengah, dan Sinom Parijatha. Pada adegan gara-gara, Anom Suroto
menyajikan gendhing-gendhing dolanan dan gendhing non gamelan antara lain:
Lagu Ela-elo, Es Lilin, Suruling Njot-njotan, Sinom Grandhel, dan Dhendang
Semarang (dokumentasi video pertunjukan wayang Anom Suroto dalam lakon
Harjunasasra Lahir di Alun-alun utara Surakarta, tanggal 15 Juli 1995 milik pribadi
sanggar wayang Gogon).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
b. Sulukan
Sulukan adalah vokal yang dibawakan oleh dalang untuk mendukung
suasana tertentu di dalam pakeliran. Sulukan menurut Poniran Sumarno (2001: 20)
adalah nyanyian dalang yang terdiri dari tiga jenis suluk, yaitu patetan, sendon, dan
ada-ada. Pada setiap jenis suluk mewakili suasana yang terjadi pada adegan dalam
pertunjukan wayang. Untuk pathetan memberikan kesan suasana wibawa (regu),
tenang, mantap, dan lega. Pathetan ini diiringi oleh instrumen: rebab, gender, barung
gambang, suling, dan pada bagian-bagian tertentu disertai dengan kempul dan gong,
serta kendang. Pada sendhon mempunyai kesan suasana sendu, haru, susah, tangis,
cemas, dan ada satu sendhon yang bersuasana romantik yaitu sendhon Kloloran.
Suluk jenis ini sekilas hampir sama dengan pathetan, akan tetapi sangat berbeda.
Perbedaan ini dapat dilihat dari tempo penyuaraan, tekanan, dan instrumen yang
mengiringi. Sendhon menggunakan tempo penyuaraan pendek-pendek, tekanan
ringan, iringan seperti pathetan namun tanpa rebab. Sedangkan ada-ada adalah jenis
suluk yang memiliki suasana tegang, greget, dan tergesa-gesa. Instrumen yang
mengiringi adalah grimingan gender barung yang disertai dengan kempul, gong,
kendang, dan pada bagian-bagian tertentu dimantapkan dengan rangkaian dhodhogan
dan keprakan (Poniran Sumarno 2001: 20; Suyanto 2003: 64).
Seperti halnya dalam gendhing, pembakuan aturan dalam pakeliran juga
berlaku dalam sulukan. Sebagai misal Sulukan Pathet Nem Ageng khusus digunakan
untuk adegan pertama (jejer); Sulukan Pathet Menyura Ageng digunakan untuk
adegan Kedhatonan Astina; Sendhon Kloloran digunakan untuk mengiringi bedholan
kedhatonan; Sendhon Penanggalan digunakan untuk mengiringi menjelang tamu
datang dalam adegan pertama. Pathet Sanga Ngelik digunakan untuk emngiringi
sesudah gendhing dalam adegan pendeta; Pathet Sendhon Bimanyu digunakan untuk
mengiringi bedholan sesudah perang kembang; Sendhon Rencasih digunakan untuk
mengiringi setelah pathet sanga dalam adegan Amarta. Ada-ada Palaran digunakan
untuk mengiringi prajuritraksasa dalam keadaan payah karena perang dengan ksatria;
Ada-ada Wrekudara Mlumpat digunakan untuk mengiringi Wrekudara melompat;
Ada-ada Astakuswala Sanga dilanjut Jineman Srimartana serta srepegan laras
slendro pathet sanga digunakan untuk mengiring ksatria memanah di dalam perang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
kembang; Sendhon Sastradatan digunakan untuk mengiringi adegan Amarta sesudah
gendhing selesai di dalam pathet menyura; Sendhon Kagok Ketanon untuk nyanyan
semar di dalam adegan gara-gara (Nojowirongko, 1958: 13-27; Sudarko, 2003: 21).
Mengambil contoh gaya sulukan dari Anom Suroto pada dokumentasi
pertunjukan wayang kulit di alun-alun utara Surakarta pada tanggal 15 Juli 1995
dalam lakon Harjunosasra Lahir. Sulukan yang digunakan Anom Suroto sebagian
besar masih menggunakan sulukan tradisi pakeliran gaya keraton Surakarta. Hal ini
dapat dilihat dalam beberapa adegan seperti pada jejer, suluk yang digunakan adalah
pathet Nem Ageng, menjelang budhalan dengan Ada-ada Hastakuswala, sebelum
adegan sabrang dengan pathet Kedhu, pathet Sanga Wantah, dan pathet Menyura
Wantah. Sedangkan sulukan yang tidak digunakan dalam lakon adalah pathetan
Menyura Ageng, Lindur, Jingking, Sendhon, Sastradatan, Rancasih, Kagog Ketanon,
Ada-ada Manggalan, Bima Mlumpat, dan ada-ada Tlutur Sanga (koleksi video milik
pribadi sanggar wayang Gogon).
Untuk sumber syair atau cakepan sulukan kebanyakan diambil dari tembang
(Kakawin), baik sekar ageng, sekar tengahan, maupun sekar macapat (Suyanto
2003: 63).
1) Macam Sekar Ageng : Sekar Ageng Salisir, Sekar Ageng Saliran, Sekar Ageng
Raketan, dan Sekar Ageng Denda
2) Macam Sekar Tengahan : Sekar Tengahan Kuswarini, Sekar Tengahan Kulante,
Sekar Tengahan Palugon, Sekar Tengahan Kuswaraga, Sekar Tengahan
Sumekar, Sekar Tengahan Palugongso, Sekar Tengahan Kenyokediri, Sekar
Tengahan Pranasmara, Sekar Tengahan Pangajabsih, Sekar Tengahan
Srimartana, Sekar Tengahan Jurudemung, Sekar Tengahan Wirangrong, Sekar
Tengahan Balabak, Sekar Tengahan Girisa, Sekar Tengahan Gambuh, dan
Sekar Tengahan Megatruh.
3) Macam Sekar Macapat : mijil, maskumambang, kimanti, sinom, asmarandana,
durma, gambuh, dandanggula, pangkur, megatruh, dan pocung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
c. Kombangan
Kombangan adalah vokal dalang yang dibawakan pada saat gendhing
berbunyi dalam suasana tertentu dengan nada dan lagu yang menyesuaikan jalannya
gendhing (Suyanto, 2003: 66).
Syair atau cakepan kombangan biasanya diambil dari syair suluk atau
Kakawin. Contoh kombangan dalam inggah Ladrang Sekar Lesah:
- 3 - 5 - 6 - 5
Leng-leng ramyaningkang
- 3 - 6 - 5 - 3
O-------- sasangka kumenyar
- 5 - 2 - 3 - 2
O-------- mangrengga rum ing pun
- 3 - 5 - 3 - (2)
O-------- halep nikang umah…(Suyanto, 2003: 66)
d. Dhodhogan/Keprakan
Dhodhogan adalah bunyi atau suara dua instrumen antara kotak dan
cempala. Sedangkan keprakan adalah bunyi atau suara dua instrumen kothak dan
keprak (kepingan logam perunggu yang digantung pada kothak). Fungsi dari
keprakan dan dhodhogan adalah untuk memberi isyarat kepada niyaga terutama
untuk mempercepat, melambatkan atau menghentikan gendhing. Yang membedakan
antara keprakan dan dhodhogan adalah cara memainkannya. Untuk keprakan
dimainkan dengan kaki sedangkan dhodhogan menggunakan tangan (Pandam
Guritno 1988: 72-73, Suyanto 2003: 67).
Untuk bentuk dari dhodhogan/keprakan menurut Suyanto (2003: 67) ada 8
bentuk, yaitu:
1) Lamba adalah suara dhodhogan-keprakan tunggal yang berbunyi dog atau creg.
Dhodhogan atau keprakan ini digunakan untuk isyarat dalang saat akan
melagukan suluk pathetan ataupun sendhon, tanda akan ulat-ulatan sirepan
gendhing, dan isyarat janturan selesai atau sirepan gendhing udhar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2) Geter/ganter adalah dhodhogan-keprakan dengan suara mengalir
dogdogdog…… atau cegcegceg…… dan seterusnya. Dhodhogan ini biasanya
digunakan untuk sesegan gendhing menjelang sirep dan mengiringi suluk ada-
ada.
3) Minjal adalah dhodhogan-keprakan dengan suara ganda de-dog atau ceg-ceg.
Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk sasmita srepeg pinjalan (tempo
lambat) dan sasmita srepeg nem, sanga, menyura (tempo cepat).
4) Rangkep adalah dhodhogan-keprakan dengan bunyi rangkep derodog atau
crecegceg. Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk tanda jeda antara wacana
tokoh satu dengan lainnya dalam dialog, tanda akhir sasmita gendhing, tanda
sirep gendhing, dan isyarat akhir dari sulukan.
5) Banyutumetes adalah dhodhogan yang berupa suara ganda dengan tempo stabil
(ajeg), bunyinya dog-dog-dog dan sebagainya. Dhodhogan ini digunakan untuk
mengiringi pocapan dalam suasana sereng, dan isyarat kepada pengrawit untuk
bersiap-siap menabuh gendhing srepegan atau sampak.
6) Manyar ngloloh adalah bunyi keprak yang lagunya seperti anak burung manyar
yang sedang disuapi oleh induknya. Suaranya kurang lebih: cer-
crecegcegcegceg-cer…… dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan
untuk mengiringi gerak-gerak penampilan wayang (solah) dan entas-entasan.
7) Nyisir adalah suara keprakan ganda dengan tempo stabil (ajeg). Bunyinya cer-
cer-cer-cer dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan untuk mengisi
kekosongan di sela-sela gerak wayang dalam iringan gendhing srepeg atau
sampak.
8) Gejogan adalah suara keprakan tunggal yang sangat keras. Keprakan ini
biasanya digunakan untuk mengiringi adegan perang atau jatuhnya gerakan-
gerakan tertentu dalam penampilan adegan perang.
Dalam aturan dodogan/keprakan pakeliran bentuk semalam dikenal adanya
vokabuler-vokabuler dhodhogan seperti dhodhogan singget yang antara lain
digunakan sebagai sekat pembicaraan antara tokoh satu dengan yang lain;
dhodhogan sirep dan suwuk untuk bentuk-bentuk gendhing kethuk loro arang,
gendhing kethuk loro kerep, ketawang gendhing, ladrang, ketawang, ayak-ayakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
srepeg, dan sampak. Selain itu untuk vokabuler dhodhogan suwuk sedikitnya ada dua
jenis yakni suwuk gropak (cepat) dan suwuk alus (Sudarko, 2003: 21-22).
e. Sindenan
Pemakaian sinden pada sejarah kemunculannya merupakan sebuah unsur
tambahan dalam partunjukan wayang kulit purwa. Adanya pesinden difungsikan
untuk menciptakan suasana indah yang diperlukan melalui nyanyiannya, baik dalam
bentuk solo maupun dalam koor. Akan tetapi pada perkembangannya pesinden mulai
dipakai dan seakan tidak lengkap jika suatu pertunjukan wayang kulit tidak memakai
pesinden. Sebagai contoh pada era Nartasabda, jumlah pesinden yang digunakan
dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa sebanyak 5 pesinden dengan harapan
suasana dalam pertunjukan wayang sajian Ki Nartasabda terasa lebih hidup.
Gebrakan inilah yang menjadi panutan dalang-dalang lain (Soetarno, Sarwanto,
Sudarko 2007: 51). Selain itu Ki Nartasabda juga merubah konvensi posisi penataan
gamelan serta tempat duduk pesinden. Sebelum era Ki Nartasabda, para pesinden
jumlahnya maksimal tiga orang dan biasanya duduk di sebelah pengrebab atau
pengendang menghadap ke arah dalang, setelah itu jumlah pesinden lebih dari tiga
orang serta duduk di samping kanan dalang dan tetap menghadap ke arah dalang
(Bambang Murtiyoso, dkk, 1998: 29-32).
Untuk isi dari sindenan sendiri biasanya diambil dari syair-syair karya sastra
Jawa baru, bukan berasal dari Kakawin. Dalam perkembangannya musik yang
digunakan lebih disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
Pada pakeliran bentuk semalam, banyak terjadi pengulangan pada tiap
adegan. Pengulangan ini sering ditemukan dalam catur, sabet, dan iringan.
Pengulangan yang terjadi saling silang yaitu: sudah dikemukakan melalui catur
diulangi melalui sabet ataupun sebaliknya; telah dikemukakan melalui sabet diulangi
melalui iringan atau sebaliknya; serta telah dikemukakan melaui catur diulangi
melalui iringan dan sebaliknya. Pengulangan-pengulangan dalam pakeliaran bentuk
semalam tidak menjadi masalah, karena hal ini justru memberi kesempatan penonton
yang datang kemudian dapat mengetahui secara utuh keseluruhan lakon. Misalnya
orang yang ingin melihat pakeliran bentuk semalam datang tepat pada adegan
paseban jawi, berarti ia tidak mengetahui penyajian adegan-adegan sebelumnya. Ia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
tetap akan mengetahui lakon ini secara lengkap karena isi penbicaraan pada adegan
sebelumnya biasanya diulangi lagi pada adegan paseban jawi (Sudarko 2003: 108-
109).
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa pemilihan-pemilihan lakon dalam pementasan pertunjukan
wayang kulit semalam suntuk bukan berasal dari cerita pakem akan tetapi berasal
dari cerita carangan. Pakem merupakan sebuah cerita wayang atau lakon yang
bersumber dari epos Ramayana dan Baratayuda. Tetapi yang berkembang di
Surakarta adalah sebuah lakon pewayangan yang berpedoman dari Kitab Pustaka
Raja, baik itu Pustaka Raja Purwa maupun Pustaka Raja Puwara. Walaupun begitu
beberapa dalang menyebutkan Kitab Pustaka Raja merupakan cerita lakon pakem.
Pemilihan cerita dalam pertunjukan wayang semalam suntuk kebanyakan
bersumber dari kitab Mahabarata karena masyarakat pada umumnya tinggal di desa
dan membenci keangkaramurkaan. Untuk pemilihan cerita dalam lakon sendiri
masyarakat lebih menyukai cerita wahyu, lahir, dan krama. Dikarenakan cerita-cerita
ini lebih cocok untuk masyarakat. Untuk cerita wahyu kebanyakan dimainkan dalam
acara khitanan. Hal ini dikarenakan dalam cerita wahyu menceritakan tentang
pembelokan wahyu yang dilakukan oleh Pandhawa kepada keluarganya. Untuk cerita
lahir dan krama kebanyakan dimainkan dalam acara pernikahan (wawancara dengan
Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010)
D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern
Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami
banyak perkembangan dan perubahan. Terdapat beberapa bentuk baru dalam
pementasannya seperti pertunjukan Wayang Sandosa, pakeliran layar panjang,
pakeliran Pantap, pakeliran bentuk ringkas dan pakeliran padat.
Penelitian ini mengambil bentuk pakeliran padat dikarenakan pakeliran
bentuk ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan beberapa
bentuk pertunjukan wayang purwa yang lain. Hal ini dapat dilihat pada waktu
pementasan, cerita yang dibawakan, iringan yang digunakan, dan pola
pertunjukannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Kehadiran pakeliran padat tidak dapat lepas dengan keberadaan Humardani
selaku pencetus ide timbulnya pakeliran padat. Timbulnya ide ini bukan tanpa sebab,
tetapi dimungkinkan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Sedikitnya ada
faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa ide tentang pakeliran padat
merupakan sebuah hasil kreatif dari Humardani, namun demikian sekali tidak
terlepas dari vokabuler-vokabuler pakeliran tradisi yang telah ada. Faktor ekstern
dapat dijelaskan dengan menelusuri latar belakang kehidupan Humardani dalam
keluarga, pendidikan, dan berkesenian (Sudarko 2003: 10).
Pakeliran Padat adalah bentuk pakeliran wayang kulit purwa yang
mengIndonesia, yang memiliki arti pengungkapan di dalamnya bukan hanya nilai-
nilai budaya Jawa saja tetapi juga nilai-nilai manusia Indonesia pada masa sekarang.
Nilai-nilai isi yang menjadi sasaran penggarapan pakeliran padat dapat dilihat
melalui unsur-unsur pakeliran seperti: sabet, antawacana, pocapan, karawitan, dan
sulukan. Dalam pakeliran padat diusahakan tidak ada wadah yang kosong dan tidak
ada isi yang melebihi dari daya tampung wadahnya sehingga antara wadah (narasi
dalang, sabet, sulukan, karawitan, cerita) dan isi (nilai yang disampaikan) seimbang
(Soetarno 2004: 163; Sudarko 2003: 52).
Padat dalam pakeliran tidak berarti bentuk dan isinya tetap akan tetapi
sebagai sebuah karya seni pakeliran padat memberi arahan pada kebebasan bentuk
serta kebebasan menuangkan isi ke dalam bentuk yang dipilih. Dengan pengertian
seperti ini tentu saja membawa konsekuensi yang mendasar. Konsekuensi ini
terutama berkaitan dengan konsep pakeliarannya. Dilihat dari bentuknya, pakeliran
padat memiliki perbedaan dengan pakeliran semalam. Pakeliran semalam bentuknya
telah dibatasi dengan waktu, yaitu semalam antara pukul 21.00 sampai dengan pukul
05.00 pagi. Selain itu juga dibatasi dengan kerangka-kerangka tertentu, seperti
kerangka adegan, pathet, dan kerangka iringan yang telah mengkristal sehingga
berubah menjadi semacam aturan dasar. Keterikatan terhadap kerangka-kerangka itu
membuat kreativitas dalam pakeliran bentuk semalam menjadi tidak leluasa.
Keterbatasan keleluasaan kreatif ini dalam pakeliran padat diusahakan untuk
dihindari. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mencoba
membebaskan diri dari ikatan-ikatan itu antara lain dengan jalan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Pakeliran padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang
diungkapkan melalui lakon (cerita). Untuk lama waktu penyajian, pakeliran padat
tidak dapat ditentukan secara pasti karena bergantung pada permasalahan-
permasalahan yang ada dalam lakon. Namun demikian berdasarkan pengalaman
pementasan pakeliran padat biasanya memakan waktu antara satu setengah sampai
dua jam. Singkatnya waktu yang diperlukan merupakan akibat dari penggarapan
secara padat. Dengan kata lain tidak ada sedikit pun waktu kosong yang tidak relevan
(Sudarko 2003: 43-44).
Penyusunan pakeliran padat berorientasi pada permasalahan lakon sehingga
dalam penyusunan kerangka adegan sesuai dengan kemampuan dan kreativitas
pribadi penyusun naskah. Hal ini tidak berarti bahwa pakeliran padat tidak
menggunakan kerangka adegan yang telah ada. Seandainya dalam pakeliran padat
masih menggunakan sebagian kerangka adegan yang ada, bukan berarti terikat pada
struktur yang telah ada tetapi kerangka yang digunakan itu memang relevan untuk
ditampilkan (Sudarko 2003: 44).
Pakeliran padat tidak harus mempertimbangkan masalah pathet. Hal ini
berarti dalam pakeliran padat dapat tidak mengikuti urutan pathet serta tidak harus
menggunakan ketiga pathet seluruhnya. Dengan demikian dapat terjadi pakeliran
padat menggunakan dua pathet, atau menggunakan tiga pathet dengan tidak
berurutan. Seandainya menggunakan tiga pathet serta dengan urutan seperti pada
pakeliran bentuk semalam, bukan berarti pakeliran padat mengikuti kerangka yang
telah ada, malainkan dalam rangka lakon tertentu urutan pathet itu masih dirasa
relevan (Sudarko 2003: 46).
Pakeliran Padat lebih mementingkan cerita dan iringan karena dalam
pementasannya tidak baku seperti pakeliran bentuk semalam (wawancara dengan
Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010). Dalam iringan pakeliran
padat tidak harus terikat dengan gendhing yang telah dibakukan. Penyusunan
pakeliran padat bebas memilih gendhing agar rasa gendhing yang dipilih sesuai
dengan suasana adegan yang didukungnya. Pemilihan gendhing tidak harus terbatas
pada gendhing-gendhing satu gaya tertentu. Sulukan yang digunakan dalam
pakeliran padat tidak harus terikat oleh aturan sulukan yang terdapat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
pakeliran benntuk semalam telah ada seperti sulukan Pathet Nem Ageng untuj jejer
pertama, Pathet Menyura Ageng untuk adegan Kedhatonan Astina, Sendhon
Kloloran untuk bedhol kedhatonan, Sendhon Pananggalan untuk suasana ragu-ragu,
Sanga Wantah untuk peralihan pathet, dan sebagainya. Hal ini dengan pertimbangan
bahwa yang dipentingkan adalah keksuaian rasa sulukan dengan suasana adegan
yang didukungnya. Dengan demikian tidak selalu setiap jejer pertama harus
menggunakan sulukan Pathet Nem Ageng, demikian juga untuk adegan-adegan yang
lain. Di samping itu yang dipentingkan adalah tercapainya rasa (suasana yang
dibutuhkan), sehingga seandainya menggunakan salah satu bentuk sulukan untuk
mengiringi suatu adegan tertentu, tidak selalu harus digunakan seluruhnya, tetapi
dapat digunakan sebagian asalkan rasa yang dikehendaki sudah tercapai. Sebagai
contoh suluk Pathet Nem Jugag yang digunakan sebagian sebagai berikut.
6 6 6 6 6 6 6 6 ` ` ` ` ` ` ` `
han- jrah ing - kang pus - pi - ta rum, 6.12 2 2 2 2 2 2 2 12 ` Ka- si - lir - ing sa - mi - ra - na mrik, 1 2 . 16 . 53 ` ` ̀ O . . . , O . . .
Seperti halnya dalam gendhing dan sulukan, penggunaan dhodhogan dan
keprakan juga tidak harus mengikuti pola-pola tradisi yang sudah ada. Semua
bergantung pada kebutuhan suasana yang akan dihadirkan. Selain itu pengunaan
gaya dhodhogan juga tidak terbatas pada salah satu gaya, bergantung kemantapan
masing-masing seniman dalang (Sudarko 2003: 49).
Salah satu lakon wayang pakeliran padat yang digarap oleh Tim ASKI
Surakarta adalah lakon “Rama”. Lakon ini dipersiapkan untuk misi pertunjukan
wayang kulit ke Eropa tahun 1977. Penggarapan pakeliran padat pertama ini
memakan waktu hampir satu tahun dengan kerja secara intensif dan kontinu yang
dilaksanakan dua kali seminggu, setiap latihan memakan waktu dua jam. Dalam
penggarapan lakon “Rama”, kematian Kumbakarna dalam tradisi pakeliran semalam,
dibunuh dengan cara tubuhnya dipotong-potong oleh panah sakti Rama.
Pembunuhan yang demikian itu tidak dilakukan dalam pakeliran padat dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
alasan bahwa garap yang keji itu justru melemahkan karakter kejiwaan tokoh Rama
sebagai titisan Wisnu. Di samping juga ada kesan bahwa orang yang menang dapat
berbuat sewenang-wenang sehingga tidak manusiawi. Contoh lain lakon “Alap-
alapan Sukeksi”, dalam pakeliran semalam percintaan Wisrawa dan Sukeksi adalah
pengaruh dari Guru dan Uma. Dalam garap pakeliran padat, percintaan kedua tokoh
ini adalah kemauan pribadi bukan kehendak dewa. Jika semua peristiwa atas
kehendak dewa, maka manusia berbuat jahat bukan karena kesadaran pribadinya, ia
akan bersandar kepada dewa sehingga manusia dituntut pertanggungjawaban moral
(Soetarno, 2004: 164; Sudarko 2003: 53).
Kerja keras Humardani membuahkan hasil, terbukti setelah ia meninggal
tahun 1983 cantrik-cantriknya telah berhasil menyusun naskah-naskah pakeliran
padat sebagai berukut: (1) lakon “Rama” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; (2)
lakon “Sutasoma” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; (3) lakon “Wibisana
Tundhung” susunan Bambang Suwarno tahun 1980; (4) lakon “Anoman Obong”
susunan Bambang Suwarno tahun 1978; (5) lakon “Ciptaning” susunan Bambang
Suwarno tahun 1979; (6) lakon “Jayengrana Racun” susunan Bambang Suwarno
tahun 1976; (7) lakon “Bedhah Glagahero” susunan Bambang Suwarno tahun 1980;
(8) lakon “Majapahit” atau “Menakjingga Lena” susunan Bambang Suwarno tahun
1976; (9) lakon “Srikandhi Maguru Manah” susunan Bambang Suwarno tahun 1980;
(10) lakon “Dewaruci” susunan Bambang Suwarno tahun 1982; (11) lakon “Alap-
alapan Sukeksi” susunan Sumanto tahun 1980; (12) lakon “Bisma Gugur” susunan
Sumanto tahun 1980; (13) lakon “Sutasoma” susunan Sumanto tahun 1981; (14)
lakon “Wibisana Suwita” susunan Suratno tahun 1980; (15) lakon “Dewaruci”
susunan Sudarko tahun 1980; (16) lakon “Anoman Obong” susunan B. Subono tahun
1980; (17) lakon “Palguna-Palgunadi” susunan Bambang Murtiyoso tahun 1980. Dan
dari lakon-lakon yang telah dihasilkan dapat diketahui bahwa penggarapan pakeliran
padat pada dasarnya berpangkal pada tema dasar, garap lakon, garap adegan, garap
catur (wacana), garap sabet (gerak wayang), dan garap iringan (Sudarko, 2003: 67-
69).
Tema dasar merupakan gagasan atau cita-cita si seniman mengenai sesuatu
yang ingin disampaikan kepada penonton melalui perwujudan pakeliran padat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Sebagai pusat garapan unsur-unsur menunjukkan bahwa unsur-unsur garapan
pakeliran padat yaitu garap lakon, garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap
sabet, dan garap iringan harus berorientasi pada tema dasar. Dengan demikian tema
dasar dapat dikatakan lebih bersifat ide pokokbukan sebagai pokok persoalan
(Sudarko 2003: 69).
Penyusunan pakeliran padat dalam menentukan tema bebas memilih dan
bebas menentukan sesuai keinginan masing-masing dalang. Mengingat tujuan
pakeliran padat ingin mengembalikan fungsi pakeliran pada fungsi utama yakni
menggarap masalah rohani yang wigati (wawancara dengan Anom Sukatno pada
tanggal 17 Desember 2010). Karena tema dasar adalah sebagai pusat garapan unsur-
unsur pakeliran, sudah selayaknya sebelum menyusun suatu bentuk pakeliran padat,
tema dasar harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu dijabarkan ke dalam unsur-
unsurnya, sehingga berbentuk menjadi pakeliran padat (Sudarko 2003: 69-70)
Menurut Humardani (1983) tema dasar dapat dijabarkan lebih luas dalam
bentuk gagasan pokok. Dari gagasan pokok ini diharapkan dapat ditangkap apa yang
menjadi tema dasar sebuah lakon pakeliran padat. Gagasan pokok merupakan
peleburan dari tema dasar. Dengan kata lain melalui gagasan pokok sudah dapat
terungkap tema dasarnya. Contoh dari tema dasar lakon-lakon pakeliran padat
susunan para cantrik diantaranya yaitu: gagasan pokok lakon “Duryudana Gugur”
adalah salah satu cirri manusia adalah bercita-cita baik untuk diri sendiri maupun
keluarga. Jalan mencapai cita-cita sangat beragam. Jika cita-cita itu diperjuangkan
melalui licik penuh tipu muslihat serta bengan mengorbankan seluruh harta dan
keluarganya, namun pada akhirnya ia justru terkubur dengan cita-citanya itu; gagasan
pokok lakon “Gathutkaca Gugur” adalah bagaimana kuat jiwa seorang pejuang
penegak keadilan dan kebenaran ia tetap manusia, sehingga pada suatu saat akan
mengalami goncangan yang dapat melemahkan semangat juangnya. Untuk
mengembalikan api semangatnya diperlukan cara yang bijaksana. Namun demikian
ketika semangatnya telah pulih kembali dia dihadapkan dengan permasalahan baru
yang muncul dari pihak keluarga, baik dari istri maupun orang ua yang
mengkhawatirkan keselamatannya. Dengan tetap setia kepada janji serta kewajiban
ia rela gugur demi tegaknya keadilan dan kebenaran (Sudarko 2003: 70-71).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Garap lakon dalam pakeliran padat adalah gambaran secara garis besar dari
perwujudan keseluruhan lakon yang akan ditampilkan. Untuk mendapatkan
gambaran garis besar lakon, terlebih dahulu harus ditentukan sanggit lakon yaitu
kerangka dasar lakon. Kerangka ini berisi berbagai tokoh dan peristiwa dalam lakon
serta berbagai jalinannya antara masing-masing peristiwa dan tokohnya. Dalam
penentuan tokoh, peristiwa dan jalinannya harus berorientasi pada tema dasar dan
harus mempertimbangkan konsep kepadatan. Contoh garap lakon pakeliran padat
sebagai berikut: Garap lakon “Bisma Gugur” yang meliputi didalamnya (1)
Bagaimana menggarap persidangan Astina, sehingga akhirnya Bisma tampil sebagai
senapati; (2) Bagaimana menggarap Bisma, sehingga tanpa disadari mau memberi
gambaran kepada Salya tentang keinginan menjadi senapati; (3) Bagaimana
menggarap Seta dan adik-adiknya dalam tugas sebagai senapati Pandhawa sehingga
ketika terjadi peperangan melawan Bisma dapat mendukung penampilan tokoh
Bisma; (4) Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika menghadapi Kresna yang
sedang triwikrama; dan (5) Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika berperang
melawan Srikandhi sampai dengan dudurnya (Sudarko 2003:79-80).
Adapun jalinan peristiwa yang tampak dari garap lakon “Bisma Gugur”
antara lain: (1) persidangan Astina sampai diputuskannya Bisma sebagai senapati;
(2) peristiwa Bisma membeberkan latar belakang keinginannya menjadi senapati
kepada Salya; (3) peristiwa Seta dengan adik-adiknya maju ke medan perang
melawan Bisma; (4) peristiwa Bisma menghadapi kemarahan Kresna; dan (5)
peristiwa Bisma berperang melawan Srikandhi sampai Gugur (Sudarko 2003: 82).
Penentuan garap adegan untuk pakeliran padat memiliki hubungan erat
dengan garap lakon karena saat penyusunan garap lakon sudah dapat ditentukan pula
adegan yang akan ditampilkan. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah dengan
mempertanyakan perlu tidaknya adegan itu ditampilkan. Jika adegan tersebut masih
relevan untuk ditampilkan dan tidak mengganggu kesatuan lakon, penggarapan
tokoh, atau dalam mengungkapkan tema dasar maka tetap digunakan. Dan apabila
dirasa mengganggu maka adegan tersebut tidak digunakan. Contoh dari penggunaan
adegan dalam pakeliran padat pada lakon “Ciptoning” karya Bambang Suwarno
tahun 1979 dengan tema dasar ‘keseimbangan antara kesempurnaan lahiriah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
kesempurnaan batiniah, duniawi dan ukhrawi’. Lakon ini dapat diawali dengan jejer
Dwarawati, membicarakan kepergian Arjuna. Pembicaraannya berkisar tentang
kegelisahan Kresna serta tindak lanjutnya mencari Arjuna. Meskipun pembicaraan
ini baik, tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan tema dasar yang telah
ditentukan, sehingga tidak ditampilkan (Bambang Suwarno 1984: 3-6)
Garap tokoh dalam pakeliran padat diusahakan untuk menampilkan
perkembangan sikap batin tokoh agar terwujud melalui tindakan lahir. Tindakan lahir
ini terungkap di dalam peristiwa-peristiwa lakon yang mengandung permasalahan
tokoh. Penokohan dalam pakeliran padat tidak harus mengikuti penokohan tradisi.
Seniman mempunyai kebebasan sesuai dengan kedalaman menyelami masalah-
masalah kemanusiaan. Penokohan dalam pakeliran padat memberlakukan tokoh
sebagai manusia biasa, ini menyebabkan tidak selalu menempatkan tokoh pada posisi
merah dan putih atau baik dan buruk atau salah dan benar. Setiap tokoh selalu dilihat
dalam konteks permasalahan dan kedudukannya dalam permasalahan itu. Berpangkal
dari situasi itu penokohan dalam pakeliran padat berusah menampilkan tokoh sebagai
manusia secara utuh dengan berbagai liku-liku serta renik-renik kejiwaannya.
Penentuan alur cerita dalam pakeliran padat tidak harus dengan ditampilkan dengan
penokohan wayang secara utuh akan tetapi dapat dibentuk melalui pocapan gendhing
(wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).
Garap catur dalam pakeliran padat menekanka isi secara padat melalui
ungkap bahasa untuk mencapai kaliamt yang padat penggarap menempuh dengan
berbagai jalan antara lain menyingkiri catur klise, menghindari pengulangan,
memadatkan kalimat (Sudarko 2003: 101). Dalam setiap perpindahan adegan ke
adegan yang lain tidak menggunakan suluk maupun iringan karena dalam pakeliran
padat terdapat penekanan dalam menggunakan narasi cerita pakeliran bukan
berdasarkan naskah lakon seperti pada pakeliran bentuk semalan (wawancara dengan
Sabini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).
Garap sabet padat yang dipentingkan adalah tercapainya kesan atau isi yang
dimaksud melalui ungkapan gerak-gerak wayang. Penyusunan sabet pakeliran padat
harus selalu mempertimbangkan konsep yang melandasinya, yang diantaranya adalah
menyampaikan sesuatu secara padat. Dalam pakeliran padat diharapkan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
menggarap gerak-gerak wayang seperti berbicara menyampaikan kesan-kesan
tertentu. Kemantapan sabet tidak bergantung pada ruwetnya gerak tetapi
terungkapnya rasa gerak sebagai misal gambaran api berkobar, peristiwanya dalah
kebakaran. Dalang harus mampu melukiskan suasana itu dengan kedua kayon
(gunungan) supaya tampak api berkobar sehingga terasa hidup dan terkesan
kebakaran. Contoh lain ‘menghantam’ bagaimana cara dan sikap yang saling
memukul itu sehinggga pukulannya terasa mantap serta yamg dipukul tampak
merasakan beratnya pukulan. Gerak karakter satu dengan yang lain berbeda
meskipun dalam kelompok jenis yang sama, misalnya sama-sama dalam suasana
gembira volume gerak tokoh Gathutkaca tidak sama dengan tokoh Boma meskipun
keduanya termasuk tokoh gagah (Sudarko 2003: 114-119).
Garap iringan dalam pakeliran padat menyatu dengan unsur-unsur lainnya,
seperti catur dan sabet. Dalam pengambilan iringan tidak harus menggunakan sekar
ageng akan tetapi gendhing disesuaikan dengan adegan tokoh yang dimainkan.
Sebagai contoh dalam adegan kasar menggunakan sekar dirada metha dan moncer
sedangkan untuk adegan halus menggunakan sekar peksi kuwung dan gendhing-
gendhing ladrang (wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28
November 2010). Penyusunan iringan pakeliran padat meliputi pemilihan vokabuler
iringan dan penentuan perangkat gamelan atau ricikan yang digunakan. Dalam
pemilihan vokabuler iringan seniman tidak hanya dibatasi pada satu gaya saja
mereka bebas memilih vokabuler yang mereka inginkan. Contoh penggunaan unsur
gaya lain adalah sebagai berikut:
a. Suluk Plencung Jugag gaya Yogyakarta digunakan untuk mengiringi
keberangkatan Begawan Wisrowo ke alengka melamar Dewi Sukeksi.
b. Sampak Kebumen untuk mengiringi perang Bisma melawan Srikandhi
dengan mengunakan senjata panah.
c. Ayak-Ayak Songo Mataram untuk mengiringi Salya menjelang naik
kereta.
d. Sampak Jek Dong (Jawa Timuran) digunakan untuk mengiringi
perkelahian prajurit Astina melawan Pandhawa yang menggambarkan
rampangan perang dengan rampongan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
e. Pancer Lima (Yogyakarta) untuk mengiringi larinya Puntadewa ketika
melihat kedua adiknya yakni Nakula dan Sadewa dikejar Candhabirawa.
f. Galong (Yogyakarta) untuk mengiringi Candhabirawa melawan
Puntadewa.
g. Ada-ada Sanga Klatenan untuk mengiringi kedatangan Gagarmayang
dan Leng-lengmandanu ketika akan menggoda Ciptaning.
Berdasarkan pengamatan peniliti dilapangan dengan didukung melalui video
pakeliran padat, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pakeliran
padat ini muncul dan berkembang dari institusi pendidikan pedalangan yang
dimotori oleh Humardani selaku katua ASKI Surakarta kala itu. Sebagai sebuah
model pakeliran bentuk baru, pakeliran padat sering ditampilkan untuk acara
tertentu seperti fastival, penyambutan tamu, peringatan hari besar maupun untuk
menarik turis atau wisatawan. Tetapi pakeliran ini lebih sering dipentaskan oleh
mahasiswa dan dosen ISI jurusan pedalangan daripada dalang pada umumnya. Hal
ini dikarenakan kesulitan dalam penyajian yang memerlukan proses yang cukup lama
dan juga pemilihan-pemilihan unsur-unsur garap didalamnya. Untuk pemilihan lakon
dalam pakeliran padat kurang lebih sama dengan pakeliran bentuk semalam, lebih
banyak memakai cerita atau lakon yang ada dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa
susunan Mangkunegara VII.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam
pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian
adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan
dhodhogan/keprakan. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat
Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als.
Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
2. Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan
nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung
makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam
pembagian periode pertunjukan (pathet) bentuk semalam, yang dimulai dari
pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses
pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan
oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran,
petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan.
3. Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem sebagai salah satu
bentuk kesenian yang multi lapis, merupakan jalinan dari berbagai perabot atau
unsur, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Perabot fisik merupakan
berbagai unsur nir kasat mata yang berperan dalam sajian pakeliran sebagai
sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang, gawang, kelir, kothak. Sedangkan
perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak kasat mata yang berupa ide atau
gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan
kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu, wacana, gerak. Dan
kesemuanya itu telah diatur dalam sebuah naskah lakon maupun cerita
pewayangan.
4. Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran
padat dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk
77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
semalam, pakeliran padat tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari
pakeliran bentuk semalam.
B. IMPLIKASI
1. Implikasi Metodologis
Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengamati perubahan-perubahan yang
terjadi dalam pakeliran gaya Surakarta.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan melalui tiga
cara yaitu wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Pada awalnya wawancara
yang dilakukan menyangkut hal-hal umum, namun tetap berkisar pada permasalahan
yang diteliti, kemudian wawancara difokuskan pada masalah-masalah khusus lebih
mendalam. Peneliti juga mengadakan observasi yaitu melihat pertunjukan wayang
secara langsung di Taman Budaya Surakarta (TBS) maupun di pendopo ISI
Surakarta. Selain itu peneliti juga mengadakan analisis dokumen yang berupa video
pertunjukan. Metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal dengan
meneliti dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Secara metodologis hasil penelitian ini ada bagian yang dapat berlaku di
daerah lain dan ada bagian yang hanya berlaku pada lokasi penelitian saja. Dalam
penelitian ini, peneliti terjebak dalam subyektivitas sehingga emosi, perasaan, dan
pemikiran peneliti ikut masuk dalam analisis atau hasil penelitiannya. Selain itu juga
adanya kesulitan untuk memilih informan yang tepat sehingga mempengaruhi
peneliti untuk menganalisis permasalahan, konsekuensinya analisa peneliti kurang
tajam dan kurang obyektif.
2. Implikasi Teoritis
Menambah referensi materi yang berkaitan dengan budaya lokal khususnya
mengenai pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, sehingga dapat digunakan untuk
meneliti lebih detail terkait perkembangan dan perubahan mengenai seni budaya
Jawa sebagai bahan pelengkap materi pelajaran. Dengan demikian akan memberi
dorongan untuk meneliti bagian yang lebih rinci tentang wayang kulit yang berkaitan
dengan pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
3. Implikasi Praktis
Dalam dunia pendidikan, khususnya di Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP UNS dengan mengetahui lebih banyak tentang pertunjukan wayang kulit
purwa Jawa yang mempunyai banyak nilai dan tuntunan bagi kehidupan, mahasiswa
akan lebih aktif terhadap berbagai event yang menampilkan wayang kulit sehingga
dapat diaplikasikan dalam diri pribadi masing-masing.
C. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut:
1. Bagi dosen agar dapat menambahkan materi wayang kulit dalam kajian budaya
lokal.
2. Bagi mahasiswa Prodi Sejarah mau membaca referensi terkait wayang kulit purwa
Jawa, agar bisa mengetahui nilai-nilai yang terdapat di dalam wayang kulit
sehingga mahasiswa Prodi Sejarah dapat mengambil hal-hal baik yang terdapat di
dalamnya.
3. Bagi pemerintah daerah Surakarta agar dapat memberdayakan masyarakat kota
Surakarta untuk dapat ikut melestarikan dan menjaga kebudayaan lokal khususnya
pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.
Top Related