Makalah
FARMAKOTERAPI
Studi Kasus
Diabetes Mellitus
Kelompok : 2
Anggota :
Yeni Nuraeni 260110110010
Dike Novalia Anggraini 260110110011
Wafa Mufiedah Maulany 260110110012
Pevi Yuliani 260110110013
Cithra Fithri Annisa 260110110014
Annisa Rana Riovani 260110110015
Maretha Vien Hapsari 260110110016
Fitria Devi Moris 260110110017
FARMAKOTERAPI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
A. DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dan ditandai
oleh hiperglikemik yang merupakan hasil dari gangguan pada sekresi insulin,
resistensi insulin atau keduanya. Hiperglikemik kronis dari DM dihubungkan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai macam
organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Greenspan dan
Garner, 2004). Diabetes mellitus juga merupakan gangguan metabolisme ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau
penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi
kronis, mikrovaskuler, makrovaskuler dan neuropati (Sukandar, 2008). Gangguan
metabolisme ini secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi
berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Prince dan Wilson, 2005). Menurut
Tjokroprawiro tahun 1996, diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang
bersifat herediter sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif (DM tipe 2) dan
insulin absolut (DM Tipe 1) (Tjokroprawiro, 1996).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes
melitus berdasarkan perawatan dan simtoma:
1. Diabetes tipe 1 yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta
di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas dan
bersifat idiopatik. Diabetes melitus dengan patogenesis yang jelas, seperti
fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria tidak termasuk pada penggolongan
ini.
2. Diabetes tipe 2 yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin yang
seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin
3. Diabetes gestasional yang meliputi Gestational Impaired Glucose Tolerance
(GIGT) dan Gestational Diabetes Mellitus (GDM).
Sedangkan menurut tahap klinis dibagi menjadi:
1. Insulin requiring for survival diabetes seperti pada kasus defisiensi peptida C.
2. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin
endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak
disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
3. Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (insulin-
dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan
anggota klasifikasi NIDDM (non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan
NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature
of Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of
Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus (MRDM) tidak lagi
digunakan karena malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes,
hingga saat ini belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein
dapat menyebabkan diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic
diabetes mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih dianggap sebagai bentuk
malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes melitus dan memerlukan penelitian lebih
lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous Pancreatic Diabetes (FCPD)
diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous
pancreatopathy yang menginduksi diabetes melitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance (IGT) kini didefinisikan sebagai
tahap dari cacat regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe
kelainan hiperglisemis. Namun tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia (IFG) diperkenalkan sebagai
simtoma rasio gula darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang
normalnya, tetapi masih di bawah rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa
diabetes.
Jenis – Jenis Diabetes secara umum antara lain :
a) Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (childhood-onset
diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus,
IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin
dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada
pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-
anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat
disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang
baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada
penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1
adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya
infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe
1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian
insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa
menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan
juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga).
Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan
pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk
pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang
telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari
insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga
untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak
akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang
cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan
pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien
diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120
mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150
mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka
yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di
atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak
nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga
menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l)
biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke
ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut
hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
b) Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 (adult-onset diabetes, obesity-
related diabetes, non-insul in-dependent diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes melitus yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan
merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi
pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β,
gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin
yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor
hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada
hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang
menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut
sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom
terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio
RBP4 dan hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju
metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati,
penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi
esterifikasi pada hati. NIDDM juga dapat disebabkan oleh
dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah
berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan
meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat
diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa
dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun
semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.
Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan
mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral
diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap
insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines itu
merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90%
dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing
manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga,
walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai
untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil
diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara
perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini
dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika
kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di
sekitar 5 kg (10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di
deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya,
perawatan dengan lisan (antidiabetic drugs). produksi hormon
insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan
(sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan
untuk meningkatkan produksi hormon insulin (sulfonylureas) dan
mengatur pelepasan yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati
dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu
(metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon
insulin (thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan
hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal
atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang
tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak
kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil
kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut
sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai
pengobatan diabetes melitus tipe 2. Seperti zat penghambat
dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka
peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM
pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam
mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya, hormon tri-iodotironina
menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan
sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas
sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi
oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif, sedang hormon
melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam
mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain,
terutama pada kompleks I, III dan IV. Bersama dengan insulin,
ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi
oksidatif mitokondria di dalam otot lurik. Di sisi lain,
metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan
mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang
dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah
dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari
peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum
dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan
kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis
glukosa.
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung
senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:
1. peningkatan mRNA glukokinase,
2. peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
3. peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
4. peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin
5. penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
6. penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada
hati
7. penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara
lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme
reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
8. penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas
karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis
glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat
fosfohidrolase
9. meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju
lintasan glukoneogenesis
Sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA
fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di
dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak
ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak
ditemukan pada buah jenis anggur.
c) Diabetes melitus tipe 3
Diabetes melitus gestasional (gestational diabetes, latent
autoimmune diabetes of adults, LADA) atau diabetes melitus
yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah
melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif
C pada lintasan patogenesisnya. GDM mungkin dapat merusak
kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita
penderita GDM bertahan hidup.
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5%
dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat
meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat
disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang
cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani
dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang
ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia
(berat bayi yang tinggi diatas normal), penyakit jantung bawaan
dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka.
Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi
surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan
pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel
darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran
dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi
plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi
kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi
plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa
janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang
berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
B.PATOFISIOLOGI
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan
hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid. Sebagai
contoh, timbulnya IGT dan diabetes melitus sering disebut terkait oleh akromegali
dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering
berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma
hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit
kardiovaskular dan berakibat kematian.
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan
menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah
dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan
kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada
akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin,
oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian
banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi
ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang
menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah
pada hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin,
stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor
hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-
iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi
glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa
yang disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah
pankreas, feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu
tipe 1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α,
dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.
Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL, dan atau hipersekresi
molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8-
dan CD4-.
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus yaitu :
a) Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
b) Polidipsia (peningkatan rasa halus) akibat volume urin yang sangat besar
dan keluarnya air menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke plasma yang hipertronik
(sangat peka). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH
(antidiuretik hormone) dan menimbulkan rasa haus.
c) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien
diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian
besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
d) Polifagia (peningkatan rasa lapar)
e) Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan
pembentukan antibodi, peningkatan dan konsentrasi glukosa disekresi
mucus, gangguan fungsi umum, dan penurunan aliran darh pada penderita
diabetes kronik.
f) Kelainan kulit : gatal-gatal, bisul
Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi di daerah ginjal. Lipatan
kulit seperti di ketiak dan di bawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya
jamur.
g) Kelainan ginekologis
Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida.
h) Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati.
Pada penderita diabetes mellitus regenerasi sel persarafan mengalami
gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang erasal dari unsur
protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama perifer mengalami
kerusakan.
i) Kelemahan tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energy metabolic yang
dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara
optimal.
j) Luka/ bisul yang tidak sembuh-sembuh
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan
unsure makanan yang lain. Pada penderita diabetes mellitus bahan protein
banyak diformulasikan untuk kebutuhan energy sel sehingga bahan yang
dipergunakan untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan.
Selian itu luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan
mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes mellitus.
k) Pada laki-laki terkadang-terkadang mengeluh impotensi
Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan produksi hormoon
seksual akibat kerusakan testosterone dan system yang berperan.
l) Mata kabur
Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa
oleh hipergliemia, mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum
m) Mengalami gejala klasik DM seperti kadar glukosa plasma sewaktu ≥200
mg/dL, kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL, kadar gula plasma 2 jam
setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200 mg/dL dan pemeriksaan
HbA1C ≥ 6.5% (Riyadi, 2008).
D.DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah permeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM.
Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien, serta murah sehingga pemeriksaan
ini dianjurkan untuk diagnosis DM.
Ketiga, dengan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO
dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, tetapi memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktik sangat
jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu) tergantung dari hasil yang diperoleh.
TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-190
ml/dl (7,8-11,0 mmol/l).
GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l).
Banyak individu dengan TGT biasanya euglikemik pada kehidupan sehari-
hari dan dapat memiliki kadar hemoglobin terglikosilasi yang normal atau
mendekati normal. Subjek-sbujek ini juga memiliki kadar glukosa plasma puasa
dalam rentang normal (<100mg/dl/ 6,1 mmol/l) dan seringkali gangguan
metabolisme glukosa ini bermanifestasi hanya ketika diberikan tes toleransi
glukosa oral.
a) Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/l).
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
b) Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM, tetapi tidak menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM,
TGT, maupun GDPT sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan
tahapan sementara menuju DM. Keuda keadaan tersebut merupakan faktor risiko
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu
faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosadarah puasa. Apabila pada pemeriksaan
penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.
E.TERAPI
Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekomposisi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemi dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien (Perkeni, 2002)
Yang dimaksud pengobatan medis adalah pengobatan dengan disiplin
kedokteran. Obat medis dapat dibagi dalam beberapa golongan:
a) Biguanid
Obat golongan biguanid bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan
tubuh terhadap insulin yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Obat ini tidak
merangsang peningkatan produksi insulin sehingga pemakaian tunggal tidak
menyebabkan hipoglikemia.Obat golongan biguanid dianjurkan sebagai obat
tunggal pada penderita diabetes mellitus dengan obesitas (BBR> 120%). Untuk
penderita diabetes mellitus yang gemuk (BBR> 110%) pemakaiannya dapat
dikombinasikan dengan obat golongan sulfonilunea.Efek samping yang sering
terjadi dari pemakaian obat golongan biguanid adalah gangguan saluran cerna
pada hari-hari pertama pengobatan. Untuk menghindarinya, disarankan dengan
dosis rendah dan diminum saat makan atau sesaat sebelum makan. Wanita hamil
dan menyusui tidak dianjurkan memakai obat golongan ini.
b) Acarbose
Acarbose bekerja dengan cara memperlambat proses pencernaan
karbohidrat menjadi glukosa. Dengan demikian kadar glukosa darah setelah
makan tidak meningkat tajam. Sisa karbohidrat yang tidak tercerna akan
dimanfaatkan oleh bakteri di usus besar, dan ini menyebabkan perut menjadi
kembung, sering buang angin, diare, dan sakit perut.Pemakaian obat ini bisa
dikombinasi dengan obat golongan sulfonilurea atau insulin, tetapi bila terjadi
efek hipoglikemia hanya dapat diatasi dengan gula murni yaitu glukosa atau
dextrose. Gula pasir tidak bermanfaat.Acarbose hanya mempengaruhi kadar gula
darah sewaktu makan dan tidak mempengaruhi setelah itu. Obat ini tidak
diberikan pada penderita dengan usia kurang dan 18 tahun, gangguan pencernaan
kronis, maupun wanita hamil dan menyusui. Acarbose efektif pada pasien yang
banyak makan karbohidrat dan kadar gula darah puasa lebih dari 180 mg/dl.
c) Meglitinid dan turunan fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinid ini merupakan obat
hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan
sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja
meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya
senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinid dan turunan fenilalanin ini
dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya
(natur,2010)).
Efek samping berupa nyeri perut, diare, konstipasi, mual, muntah,
hipoglikemia, reaksi hipersensitif termasuk pruritis, kemerahan, urtikaria dan
gangguan penglihatan (natur,2010)
d) Sulfonilurea
Golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan
cara merangsang keluarnya insulin dari sel b Pankreas. Dengan demikian bila
pankreas sudah rusak dan tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat ini
tidak dapat digunakan. Karena itu obat ini tidak berguna bagi penderita diabetes
millitus tipe I. Namun, akan berkhasiat bila diberikan pada pasien diabetes
millitus tipe II yang mempunyai berat badan normal.Penggunaan obat golongan
sulfonilurea pada yang gemuk dan obesitas harus hati-hati. Karena mungkin kadar
insulin dalam darah sudah tinggi (hiperinsulinemia). Hanya saja insulin yang ada
tidak dapat bekerja secara efektif. Pada penderita diabetes mellitus dengan
obesitas, pemberian obat golongan ini akan memacu pankreas mengeluarkan
insulin lebih banyak lagi. Akibatnya keadaan hiperinsulmnemia menjadi lebih
tinggi. Ini berbahaya karena dapat menimbulkan berbagai macam penyakit.
e) Inhibitor α-glukosidase
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim α-
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase
(maltamase, isomaltamase, glukomaltamase, dan sukrase) berfungsi untuk
menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini
secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan
absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial
penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α
amylase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida didalam lumen usus
halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-
600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan
kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl (natur,2010)
Insulin diinjeksikan sebagai obat untuk menutupi kekurangan insulin
tubuh (endogen) karena kelenjar sel b pankreas tidak dapat mencukupi kebutuhan
yang ada. Pengobatan dengan insulin berdasarkan kondisi masing-masing
penderita dan hanya dokter yang berkompeten memilih jenis serta dosisnya.
Untuk itu insulin digunakan pada pasien diabetes millitus tipe I. Penderita
golongan ini harus mampu meyuntik insulin sendiri.
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan
dan lama kerja yang berbeda:
1. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling
sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20
menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai
bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam
dan bekerja selama 18-26 jam.
Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan
selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan
sepanjang malam.
3. Insulin kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan.
Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.Kontrol yang
lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis insulin, yaitu insulin
kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan pada saat makan
malam atau ketika hendak tidur malam.
Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja
cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin
kerja cepat tambahan pada siang hari.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
Kadar Glukosa
Preparat laboratorium
Bukan DM Belum Pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Plasma vena <100 100-199 ≥200Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
Plasma vena <100 100-125 ≥126Darah kapiler <90 90-99 ≥100
Catatan:
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkankelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukansetiap 3 tahun.
Tes Toleransi Glukosa Oral
TTGO jarang diindikasikan karena dalam keseharian lebih sering
digunakan kadar glukosa plasma puasa untuk diagnosis (lebih murah, cepat,
nyaman, dan lebih diterima oleh pasien, dapat diperbanyak, dan murah).
Pengambilan sampel untuk TTGO saat ni direkomendasikan hanya memerlukan
puasa semalam dan pengambilan pada saat 2 jam setelah pemberian beban
glukosa 75 gram. Sampel pada 30, 60, dan 90 menit tidak dibutuhkan lagi.
Jika kadar glukosa plasma puasa di antara 110 dan 126 mg/dl (glukosa
darah puasa terganggu), TTGO dapat dilakukan, terutama pada laki-laki dengan
disfungsi ereksi atau perempuan yang telah melahirkan bayi dengan berat badan di
atas 4,1 kg atau mengalami infeksi jamur pada vagina yang rekuren.
Cara pelaksanaan TTGO:
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa. Untuk mengoptimalisasi sekresi dan efektivitas insulin,
minimum 150-200 gram karbohidrat per hari harus dimasukkan dalam
menu makanan selama tiga hari ini.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250-300 ml dan diminum dalam waktu 5
menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Interpretasi
Toleransi Glukosa Normal
Toleransi Glukosa Terganggu
Diabetes Mellitus
Glukosa plasma puasa (mg/dl)
<100 100-125 ≥126
Dua jam setelah beban glukosa (mg/dl)
<140 ≥140-199 ≥200
Hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien malnourished pada saat tes,
bedridden, atau terserang infeksi atau stress emosional parah. Hasil positif palsu
juga dapat disebabkan oleh diuretik, kontrasepsi oral, glukokortikoid, thyroxine
berlebihan, fenitoin, asam nikotinat, dan beberapa obat psikotropik.
Pemeriksaan Kadar Insulin
Untuk mengukur kadar insulin selama tes toleransi glukosa, serum atau
plasma harus dipisahkan dalam 30 menit setelah pengambilan spesimen atau
dibekukan sebelum penilaian.
Kadar insulin immunoreaktif normal adalah 5-20 µU/ml pada saat puasa,
mencapai 50-130 µU/ml pada satu jam, dan biasanya kembali ke kadar di bawah
30 µU/ml dalam 2 jam.
Kadar insulin jarang memliliki kegunaan klinis selama tes toleransi
glukosa karena: ketika kadar glukosa puasa melebihi 120 mg/dl, sel-sel β secara
umum responsnya akan berkurang terhadap derajat hiperglikemi lebih lanjut
(diabetes tipe apa pun). Ketika kadar glukosa di bawah 120 mg/dl,
hiperinsulinemia lambat dapat terjadi sebagai hasil resistensi insulin pada diabetes
tipe 2. Namun, hal itu juga dapat terjadi dalam bentuk ringan pada fase awal
diabetes tipe 1 ketika pelepasan insulin awal yang lambat pada hiperglikemia
lanjut yang dapat menstimulasi sekresi insulin berlebih dalam 2 jam.
Tes Toleransi Glukosa Intravena
Tes ini dilakukan dengan memberikan infus cepat glukosa diikuti dengan
pengukuran glukosa plasma berkelanjutan untuk menentukan laju menghilangnya
glukosa per menit. Laju menghilangnya ini mencerminkan kemampuan pasien
dalam mendisposisikan beban glukosa.
Penggunaannya paling luas adalah untuk screening saudara kandung pada
risiko diabetes tipe 1 untuk menentukan apakah destruksi autoimun dari sel-sel β
telah mengurangi respon insulin puncak (pada 1-5 menit setelah bolus glukosa)
pada kadar di bawah batas bawah 40µU/ml. Tes ini juga digunakan untuk
mengevaluasi toleransi glukosa pada pasien dengan abnormalitas gastrointestinal
(seperti malabsorpsi). Tes ini relatif tidak sensitif dan kriteria yang cukup untuk
diagnosis diabetes belum ada untuk berbagai kelompok usia.
Persiapan tes sama seperti TTGO.
Prosedur :
Akses intravena dibuat dan pasien diberikan bolus 50 g glukosa per 1,7 m2
luas permukaan tubuh (atau 0,5 g/kg berat badan ideal) dalam bentuk
larutan 25% atau 50% selama 2-3 menit.
Waktu pengukuran dimulai dengan injeksi. Sampel untuk menentukan
glukosa plasma diambil dari jarum pada lengan yang lainnya pada 0, 10,
15, 20, dan 30 menit.
Nilai glukosa plasma diplot pada kertas grafik semilogaritmik terhadap
waktu.K yang merupakan suatu konstanta laju yang mencerminkan laju
penurunan kadar glukosa darah dalam persen per menit dikalkulasikan
dengan menetukan waktu yang diperlukan agar konsentrasi glukosa turun
menjadi setengah dan menggunakan persamaan berikut:
Interpretasi
Nilai K rata-rata pada pasien nondiabetik sekitar 1,72% per menit.
Nilai ini berkurang seiring usia, tetapi tetap berada di atas 1,3% per menit.
Pasien dengan diabetes hampir selalu mempunyai nilai K kurang dari 1%
per menit.
Perhatian dan kehati-hatian diperlukan pada akses vena, sebab
kebocoran atau infiltrasi larutan hipertonik ini ke jaringan subkutan dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman yang dapat berlangsung selama beberapa
hari.
Pemeriksaan Lain
Kadar hemoglobin A1c (HbA1c) dapat diukur, tetapi tidak direkomendasikan
untuk diagnosis diabetes. Alasannya adalah karena belum adanya standardisasi
penilaian untuk HbA1c dan korelasi yang tidak sempurna antara HbA1c dan FPG
dan kadar glukosa plasma 2 jam. Namun, HbA1c dapat menjadi metode efektif
untuk memonitor efektivitas tatalaksana diabetes.
Diagnosis Banding Diabetes Mellitus
Kondisi Autoantibodi Islet
Genetik Komentar
Diabetes tipe 1A
Autoantibodi positif >90%
30%50% DR3 and DR490% DR3 or DR4<3%
Anak-anak: 90% non-Hispanic kulit putih tipe 1A 50% kulit hitam tipe 1A 50% Hispanic American
DQB1*0602 tipe 1ADiabetes tipe 1B
Autoantibodi negatif
Tidak diketahui Tipe 1B jarang pada kulit putih
Diabetes tipe 2
Autoantibodi negatif
Tidak diketahui Jika Ab + LADA (latent autoimmune diabetes adults) dan HLA yang serupa dengan tipe 1 A
Bentuk lain diabetes mellitus
Autoantibodi negatif
Mutasi MODY, sindrom lainnya
Keterangan:
Ab, antibody; HbA1c , hemoglobin A1c ; HLA, human leukocyte antigen;
MODY, maturity-onset diabetes of youth.
Desired Outcome
Hasil yang diinginkan dari terapi DM yaitu untuk meringankan gejala dari
hiperglikemia, mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi, dan memperbaiki
kualitas hidup.
F.PENANGANAN
a) Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengurangi resiko untuk komplikasi penyakit
mikrovaskuler dan makrovaskuler, untuk memperbaiki gejala, mengurangi
kematian dan meningkatkan kualitas hidup.
1. Terapi Non Farmakologi
a) Diet
Terapi pengobatan nutrisi adalah direkomendasikan untuk semua
pasien diabetes mellitus, terpenting dari keseluruhan terapi nutrisi adalah hasil
yang dicapai untuk hasil metabolik optimal dan pemecahan serta terapi dalam
komplikasi. Individu dengan diabetes mellitus tipe 1 fokus dalam pengaturan
administrasi insulin dengan diet seimbang. Diabetes membutuhkan porsi
makan dengan karbohidrat yang sedang dan rendah lemak, dengan fokus pada
keseimbangan makanan. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 sering
memerlukan pembatasan kalori untuk penurunan berat badan.
b) Aktivitas
Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan kontrol gula pada
mayoritas individu dan mengurangi resiko kardiovaskuler kontribusi untuk
turunnya berat badan atau pemeliharaan.
2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan terapi non farmakologi.
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :
1. Sulfonilurea
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat
pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan
berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis
sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan
pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Absorpsi senyawa-
senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan
per oral.
Senyawa sulfonilurea dibagi menjadi dua golongan atau generasi
senyawa. Golongan pertama senyawa sulfonilurea mencakup tolbutamida,
asetoheksamida, tolazamida, dan klorpropamida. Sedangkan generasi
kedua meliputi glibenklamida (gliburida), glipizida, glikazida,dan
glimepirida. Obat-obat generasi kedua lebih kuat dibandingkan senyawa
sebelumnya.
2. Biguanid
Satu-satunya senyawa biguanid yang masih dipakai sebagai obat
hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Obat ini mempunyai efek
utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping
juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penderita diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung).
3. Glinid
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: repaglinid dan
nateglinid. Umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat
antidiabetik lainnya.
4. Tiazolidindion
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas l-lV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion tidak digunakan sebagai
obat tunggal.
5. Penghambat Alfa Glukosidase (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia.
Indikasi pemakaian Obat Hipoglikemik Oral :
a.Diabetes sesudah umur 40 tahun.
b.Diabetes kurang dari 5 tahun.
c.Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari.
d.Diabetes mellitus tipe 2, berat normal atau lebih
b) Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes mellitus
tipe 1. Pada diabetes mellitus tipe 1, sel-sel β langerhans kelenjar pankreas
penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita diabetes mellitus tipe 1 harus mendapatkan insulin
eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak
memerlukan insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan insulin disamping
terapi hipoglikemik oral.
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, Stroke)
8) Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan terapi gizi medis
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
c) Terapi Kombinasi
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah. Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat diberikan
kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral dari kelompok yang berbeda, atau
kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih
terapi dengan kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral. (Wulandari,A. 2009)
G. STUDI KASUS
1. Kasus
Tuan JK, umur 42 tahun, berat badan 65 kg datang ke klinik diabetes untuk
memeriksakan perkembangan penyakitnya. Tuan JK sudah menderita dm tipe 2
selama 14 tahun. Pada awalnya Tuan JK kurang mengontrol kadar gula darahnya.
Namun akhir-akhir ini lebih memperhatikan perkembangan penyakitnya dan
setelah berkunjung ke dokter ternyata menurut dokter didapatkan proteinuria dan
tekanan darahnya 165/95 mmHg.
Diagnosa : Diabetes Mellitus tipe 2, hipertensi, nefropathy.
Data lab pasien :
Cl Cr 70 ml/menit
Sr Cr 1,8 mg/dl
Proteinuria + 1
HbA1c 7,6 %
Glukosa darah postprandial 220 mg/dl
Glukosa darah puasa 150 mg/dl
Riwayat pengobatan : sebelumnya Tuan JK telah diterapi menggunakan OHO
(Glikazid + rosiglitazon) akan tetapi kadar gula darahnya masih belum dapat
dikendalikan.
4. Gejala Penyakit
Gejala penyakit diabetes mellitus tipe 2, meliputi:
1. Peningkatan buang air kecil, terutama pada malam hari
2. Peningkatan nafsu makan
3. Peningkatan rasa haus
4. Penurunan berat badan
5. Kelelahan
6. Luka yang tidak kunjung sembuh
7. Penglihatan kabur
8. Dalam beberapa kasus tidak terjadi gejala (http://www.heart.org).
5. Tanda Penyakit
Tanda penyakit pada pasien Nilai normal
Cl Cr 70 ml/menit 85-135 ml/menit
Sr Cr 1.8 mg/dl 0.7-1.3 mg/dl
Proteinura +1
HbA1c 7.6 % 4.0-6.0 %
Glukosa darah postprandial 220
mg/dl
<200 mg/dL
Glukosa darah puasa 150 mg/dl < 126 mg/dL
Tekanan Darah 165/95 mmHg < 120/80 mmHg
6. Tujuan Terapi
Tujuan terapi untuk penderita diabetes mellitus antara lain:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006).
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes, antara lain:
1. HbA1c < 7.0%
2. Pre-prandial CBG 70-130 mg/dl
3. Peak postprandial CBG < 180%
4. Blood Presure < 130/80 mmHg
7. Terapi
Algoritma terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 (www.nice.org.uk/guidance/CG87)
Algoritma terapi hipertensi pada pasien dengan DM tipe 2
(www.nice.org.uk ).
Terapi Farmakologi:
1. OHO:
Sistagliptin 50mg 2x sehari
Metformin 500mg 2x sehari
(Dipiro, J.T., Talbert, L.R., Yees, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey,
L.M., 2008).
2. Antihipertensi:
Enalapril 20mg/hari
(Nathaniel Winer MD et.al,2007).
Mekanisme aksi Sistagliptin :
Sitagliptin memperpanjang aktivitas protein yang meningkatkan
pelepasan insulin setelah gula darah naik, seperti setelah makan.
Sitagliptin merupakan inhibitor selektif enzim dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4), yang memetabolisme hormon incretin alami glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) dan glukosa-dependent insulinotropic polipeptida
(GIP) mengakibatkan peningkatan sekresi insulin yang tergantung
glukosa dari pancreas dan menurunkan produksi glukosa hati
(Dinesh K. Badyal, jasleen Kaur, 2008).
Mekanisme aksi Metformin:
Meskipun ini turunan biguanide telah digunakan selama lebih dari 50
tahun, mekanisme kerjanya belum sepenuhnya dijelaskan. Mekanisme
metformin meliputi: penurunan penyerapan glukosa di usus kecil,
peningkatan transportasi glukosa ke dalam sel, penurunan plasma
konsentrasi asam lemak bebas dan penghambatan glukoneogenesis
(Grzybowska M, Bober J, Olszewska M.,2011).
Mekanisme aksi Enalapril:
Secara fisiologis sistem Renin angiotensin melibatkan hormon hormon
seperti Angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotensin I
dengan bantuan Renin. Angiotensin I ini dengan adanya enzim ACE
berubah menjadi Angiotensin II. ACE ini selain berperan dalam
perubahan tersebut juga berperan dalam metabolisme bradikinin.
Angiotensin II aktif setelah tertangkap oleh reseptor reseptornya antara
lain AT1 dan AT2. Sampai saat ini reseptor yang paling banyak
ditemukan adalah AT112. Setelah Angiotensin II pada reseptor AT1,
maka akan terjadi proses yang sangat komplek pada organ organ seperti
otak, pembuluh darah, Jantung, dan ginjal. Pada otak akan terjadi stoke,
sedangkan pada dinding pembuluh darah akan terjadi aterosklerosis,
vasokontriksi, hipertrofi vaskuler, serta disfungsi endotel, selanjutnya
mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Pada Organ jantung akan
terjadi Hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, serta proses remodeling
terganggu sehingga terjadi gagal jantung ataupun infark miokard 12.
Reseptor AT1 yang menangkap Angiotensin II pada organ ginjal akan
mempengaruhi Laju Filtrasi Ginjal menurun, terjadi proteinuria,
pelepasan aldosteron, serta sklerosis glomerular. Keadaan ini akan terus
berlangsung sehingga menimbulkan gagal ginjal terminal. Terdapat hal
yang menarik tentang aksi ACE maupun ACE inhibitor. Dengan adanya
penghambat ACE maka Angiotensin II akan menurun, Bradikinin
meningkat yang selanjutnya akan meningkatkan Nitrit oxide. Adanya
peningkatan Nitrit okside ini maka terjadi peningkatan vasodilatasi serta
peningkatan transport glukosa pada sel sel otot. Dengan demikian
Penghambat ACE mempengaruhi resistensi insulin melalui dua proses
yaitu pada hemodinamik dan metabolisme gulkosa. Adanya mekanisme
tersebut, Penghambat ACE dapat menjadi pilihan utama pada penderita
dengan keadaan resistensi insulin
(Permana Hikmat, 2008).
Terapi non-farmakologi :
1. Mengontrol asupan makanan, meliputi:
• makan karbohidrat dari buah, sayuran, biji-bijian dan kacang-
kacangan
• makan produk susu rendah lemak dan minyak ikan
• mengontrol asupan makanan yang mengandung lemak jenuh dan
asam lemak trans (www.nice.org.uk/guidance/CG87).
2. Melakukan aktivitas fisik setidaknya 150 menit / minggu dengan
intensitas sedang seperti aerobic (Diabetes care, Volume 33, Suplemen
1, January 2010).
8. Monitoring
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
2. Pemeriksaan tekanan darah
3. Pemeriksaan laboratorium untuk fungsi ginjal (Diabetes care, Volume 33,
Suplemen 1, January 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Diabetes care, Volume 33, Suplemen 1, January 2010.
Dinesh K. Badyal, jasleen Kaur. 2008. Sitagliptin: a New Class of Oral Drug for
Type 2 Diabetes. Vol.10 No.2, April.Terdapat pada www.jkscience.org.
Diakses pada tanggal 27 Maret 2013.
Dipiro, J.T., Talbert, L.R., Yees, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh
Edition. New York: MCGRAW-HILL Medical Publishing Division.
Diakses pada tanggal 27 Meret 2013.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
German MS. Pancreatic hormones and diabetes mellitus. In: Gardner DG,
Shoback D. Greenspan’s basic and clinical endocrinolog. 8th ed. New
York: McGraw-Hills; 2007
Greenspan F. S., Gardner D. G. Basic and Clinical Endocrinology. 7th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies; 2004 (660-675).
Grzybowska M, Bober J, Olszewska M. 2011. Metformin - mechanisms of action
and use for the treatment of type 2 diabetes mellitus. 6;65:277-85.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses pada tanggal 28 Maret
2013.
Homenta, H. 2012. Diabetes Mellitus Tipe I. Available online at
http://aulanni.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/MAKALAH-DIABETES-
MELITUS-TIPE-I.pdf [diakses 3 Maret 2014].
Indriyani, D. P. 2006. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan dengan
Kepatuhan Diit pada Penderita Diabetes Tipe II di Poli Gizi RS Dr.
Kariadi Semarang. Availeble online at
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-dwipramudy-
5263-3-bab2.pdf [diakses 3 Maret 2014].
Larsen PR, Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS. Williams textbook of
endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.1429
Nathaniel Winer MD et.al. 2007. Effect of Fixed-Dose ACE-Inhibitor/Calcium
Channel Blocker Combination Therapy vs. ACE-Inhibitor Monotherapy
on Arterial Compliance in Hypertensive Patients With Type 2 Diabetes.
Official Journal of The American Society for Preventive Cardiology.
Diakses pada tanggal 29 Maret 1013.
Permana Hikmat.2008. Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadajaran.
Price S. A., Willson L. M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Penerjemah: Brahm U. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2005 (1259-1271).
Riyadi, S, dkk., 2008. Asuhan Keperwatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Subekti I, Pranoto A, Arsana PM, et al.
Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
indonesia 2006. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PB PERKENI); 2006.p5-8
Sukandar E.Y., Andrajati R., Sigit J.I., Adnyana I.K., Setiadi A.A.P., Kusnandar.
ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan; 2008.
Tjay Hoan Tan, Kirana R. 2007. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-efek Sampingnya. Jakarta: Gramedia.
Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi III.
Jakarta : Gramedia Pustaka; 1996.
Top Related