ffiUNTYERSITAS INDONESIA
DAMPAK PAPARAN BISING BAJAJ PADA PNNGEMUDIIYYA
HASIL PENELITIAN
HARI PURNAMA KERTADIKARA3191091106
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIYERSTTAS INDONESIAPROGRAM PEI{I}IDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDA}IG STUDI ILMU PEITYAKIT THT
FAKI]LTAS KEDOKTERAN UNTYERSITAS INDONESIAr997
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN INI DIKERJAKAIT DI BAGIAN ILMU PEIVYAKITTELINGA HIDT]NG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UMYf,RSITAS INDOI\IESIAJAKARTA
Jakartan 26 Nopember 1997
ProfesorDr. H. Hendarto HendaminPembimbing I Bagian THT FKUI
Dokter H. Entjep Hadjar, Spesialis THTPembimbing II Bagian THT FKUI
DAX"TAR ISI
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR TABEL DA}I GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
Ll. Latar belakang masalah
L2. Masalah penelitian
L3. Hipotesis penelitian
I.4. Tujuan penelitian
L4. 1. Umum .. , . . . . . . . . . .
L4.2. Khuzus . . . . . . . . . . . . . . .
I. 5. Manfaat penelitian
BAB tI. TINJAUAN PUSTAKA
BAB M. METODOLOGI PENELITIAN
l' Kerangka Konsep
2. Batasan Operasional 46
3, Disain dancarapenelitian 50
4. Pengumpulandata 53
5. Rancangan dan analisis data .......... 54
6. Penyusunan dan penyqiian laporan penelitian 55
7. Etika penelitian 55
8. Organisasi penelitian 56
BAB IV, HASIL PENELITIAN 57
7l
79
82
BAB V. PEMBAHASA}T
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRA}.I
l, Status Penelitian
Halaman
I
vu
I
I
4
5
5
5
5
6
7
45
45
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARA}.{
2. Tabel Induk percontoh
UCAPAN TDRIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala atas segala
rahmat dan karunia-Nya ymg dilimpatrkan kepada sayq sehingga saya dapat
menyelesaikan penelitianyang tertuang dalam karya tulis ilmiah akhir ini. Penelitian ini
dilakukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter
Spesialis-I Bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Dengan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dan dengan
keterbatasan serta kekuranganyang ada pada diri saya maka akhirnya penelitian ini dapat
diselesaikan.
Pada kesempatan yang baik ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr.H. Barnbang Hermani Sp.THT sebagai Kepala Bagian THT
FKUI/RSUPNCM yang telah mendidilq memberikan birnbrngan, dukungan serta
pengarahan sehubungan dengan pendidikan dan penelitian saya ini.
Kepada Dr.H. Masrin Munir Sp.THT yang semasa menjabat Kepala Bagran
THT FKUI/RSUPNCM telah banyak memberikan bimbingarL dorongan dan nasihat yang
amat berharg4 maka pada kesemp atankn dengan tulus hati saya sampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Kepada Profesor Dr. Hj. Nurbaiti Iskandar Sp.THT yang semasa menjabat
Kepala Bagian TI{T FKIIIIRSUPNCM telah mengizinkan saya untuk mengilarti
pendidikan spesialisasi di Bagian TIIT FKUIIRSUPNCM dan banyak memberikan
birnbingan, dorongan dan nasihat yang sangat bermanfaat, maka pada kesempatan ini
dengan rendah hati saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
t l
Kepada Profesor Dr. H. Hendarto Hendarmin Sp.THT, Ketua Program Studi
Bagian THT FKIIIIRSUPNCM merangkap Koordinator Pusat Kesehatan Telinga dan
Gangguan Komunikasi, Pembimbrng pada penelitian ini yang sejak awal telah begitu
banyak memberikan bimbingan, dorongan, dukungan, nasehat serta penguahm yang
begitu besar dan sangat berharga sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan iai, maka
pada kesempatan ini dengan rendah hati saya sampaikan terima kasih yang tidak
terhingga.
Rasa terima kasih yang setulusnya saya sampaikan pada Dr. H. Fachri Hadjat
Sp.TTIT, Sekretaris Program Studi Bagian TI{T FKUVRSUPNCM atas semua
bimbingan, arahan dan dorongan yang begitu berharga.
Rasa terima kasih yang dalam dan tak terhingga saya sampaikan pada Dr. H.
Syarifuddin Sp.THT, selaku mentor saya pada pendidikan spesialisasi ini yang selalu
memberikan bimbingan, arahan dan nasehat yang sangat berharga sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
Ucapan terima kasih yang dalam dan setulusnya saya sampaikan kepada Dr. H.
Averdi Roezin Sp.THT, selaku Koordinator Pe,nelitian Bagran TI{T FKUI/RSUPNCM
atas segala bimbingan, nasehat dan dukungan yang sangat berharga selama masa
pendidikan dan dalam manyelesaikan tugas akhir ini. Bimbingan, atahan dan nasehat
beliau pada saat saya menjadi mahasiswa Sr menimbulkan minat saya untuk mempelajari
bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok lebih dalam. Rasa terinna kasih yang
dalam saya sampaikan pula pada Dr. H. Helmi Sp.THT sebagai Sekretaris Penelitian
Bagran TI{T FKUV RSUPNCM, atas semua bimbingan, arahan serta dukungan untuk
mengembangkan diri
t i i
Ucapan terima kasih yang setulusnya saya sampaikan kepada Dr. Aswapi
Hadiwikarta Sp.THT yang semasa saya memulai pendidikan di Bagran THT FKUV
RSUPNCM menjabat sebagai Koordinator Penelitian Bagian THT FKUV RSUPNCM
dan telah banyak membimbing, memberi petunjuk, mengarahkan serta memberi nasehat
yang sangat bermanfaat selama masa pendidikan saya.
Demikian pula kepada Koordinator Pelayanan Masyarakat Bagran TI{T FKUV
RSUPNCM Dr. H. Hartono Abdurrachman Ph.D. Koordinator Administrasi dan
Keuangan Bagran THT FKUV RSUPNCM Dr. Hj Darnila Fachrudin Sp.THT,
Koordiantor Pendidikan Sr Bagian THT FKUV RSIJPNCM Dr. H, Helmi Sp.THT saya
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan nasehat yang sangat
berharga sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Kepada Kepala Subbagian Neurootologr Dr. H. Entjep Hadjar Sp.THT, terima
kasih yang tulus dan luhur saya sampaikan kepada beliau atas bimbingan, nasehat, arahan
dan dukungan yang demikian besar dan berharga sehingga saya dapat menyelesaikan
penelitian dan pendidikan. Ijin dan kesediaan beliau untuk memperbolehkan penelitian ini
dilakukan di Subbagian Neurootologi sekaligus menjadi pembimbing saya dalam
penelitian ini sungguh hanya Allah yang dapat membalasnya.
Kepada Kepala Subbagian Plastik Rekonstruksi Dr. H. Masrin Munir, Kepala
Subbagian Otologi Dr. H. Helmi Sp.TTIT, Kepala Subbagian Laring Faring Dr.H.
Bambang Hermani Sp.THT, Kepala Subbagian Rhinologi Dr,Hj. Damayanti Soetjipto
Sp.THT, Kepala Subbagian Endoskopi Dr. Hj. Mariana Yuniza{ Kepala Subbagian
Alergi Imunologi Dr. Elise Kasakeyan Sp.THT saya sampaikan terima kasih yang
sebesar-besamya atas segala bimbingan, nasehat dan arahannnya selama ini.
IV
Ucapat terima kasih yang sebesar-besamya saya sampaikan kepada seluruh staf
pengajar Bagian THT FKUI/ RSUPNCM Dr. Aswapi Hadiwikarta Sp.THT, Dr.H.
Indro Soetirto Sp.THT, Dr. H. Thamrin Mahmud Sp.THT, Dr. H. Rusmarjono Sp.THT,
Dr. Hj. Efaty Soepardi Sp.THT, Dr. H. Zanul A. Djaafar Sp.THT , Dr. Hj. Nikmah
Roesmono Sp.THT, Dr.Hj. Anida Syafril Sp.TFIT, Dr. Hj. Endang Ch. Mangunkusumo
Sp.TTIT, Dr. Hj. Nuty W. Nizar Sp.THT, Dr.Anggreini Wijono Sp.THT, Dr. H.
Sosialisman Sp.THT, Dr. Umar Said Dharmabakti Sp.THT, Dr. Ronny Suwento
Sp.THT, Dr. Alfian FH Sp.THT, Dr. Armiyanto Sp.THT, Dr. Hj. Jenny Bashiruddin
Sp.THT, Dr. ZanlMusa Sp.THT, Dr. Trimartani Sp.THT, Dr. Nina lrawati Sp.THT, Dr.
Dini Widiarni Sp.THT atas segala bimbingan, bantuarq serta kebaikan yang diberikan
kepada saya selama mengituti pendidikan. Ucapan terima kasih yang sedalamnya juga
saya sampaikan kepada almarhum Dr. H. Nusyirwan Rifki Sp.THT dan almarhum Dr. H.
Soeryadi Kartosoediro Sp.THT atas bimbingan dan nasehat yang telah diberikan. Semoga
Allah Subhanahu Wa Taala memberikan tempat yang layak disisiNya.
Khusus dalam rangka penyelesaian karya ilmiah akhir ini, saya mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof Dr. H. Hendarto Hendarmin Sp.THT dan Dr.
H. Entjep Hadjar Sp.THT atas bimbingan, dukungan serta jerih payahnya membantu
menyelesaikan penettian ini. Iuga kepada Prof Dr. Hj. Nurbaiti Iskandar Sp.THT yang
telah membantu mengoreksi penelitian ini pada tahap awal, Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnyajuga saya sampaikan padaDr. Ronny Suwento Sp.THT dan Dr. Jenny
Bashiruddin Sp.THT yang telah banyak sekali membantu mengoreksi, membimbing dan
memberi dukungan dalam penyelesaian penelitian ini, saya sungguh berhutang budi dan
hanya Allah Subhanahu Wa Taala yang dapat membalasnya.
V
Kepada DR. Dr. H. Adang Bachtiar MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam
penelitian ini, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Heru Hendarto Sp.THT, Dr. Achmad Rofii Sp.TtIT, Dr. Yasmina Alyq Dr.
Jamal Muhammad Sp.THT, Dr. Hazrul Lufti Sp.TFIT, Dr. Susyana Tamin Sp.THT, Dr.
Susilaningrum Sp.THT atas segala dukungan serta budi baik yang diberikan sehingga
saya dapat menyelesaikan peneltian inr. Khuzus kepada Dr. Heru Hendarto Sp.THT yang
sedang menuntut ilmu di Amerika, bantuan, dukungan serta rujukan ilmiah yang anda
kirimkan sungguh merupakan hutang budi yang besar bagi saya, semoga Allah Subhanahu
Wa Taala selalu memberi rahmat dan berkah bagi anda sekeluarga.
Kepada seluruh ternan sejawat Peserta Program Studi Bagian Bagian TI{T FKUV
RSIIPNCM atas segala kerja sama, bantuan, pengertiaq rasa persaudaraan serta rasa
senasib sepenanggungan yang selama ini kita bina bersamq saya ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Kepada seluruh Paramedis, Karyawan dan Karyawati Bagian THT FKUV
RSIIPNCM, saya sampaikan terima kasih atas segala bantuan dan kerja sama yang baik
selama masa pendidikan saya.
Kepada Almarhum Ayahanda dan Mendiang Ibunda yang selalu memberi
semangat, menanamkan disiplin serta memberi dorongan untuk menimba ilmu lebih
datarn, saya persembahkan hormat dan terima kasih yang tulus. Semoga Allah Subhanahu
Wa Taala memberikan tempat yang layak disisi-Nya.
vi
Kepada Isteri dan ananda Putut, Bagus dan Ayu tersayang, yang dengan rela dan
penuh pengertian berbagi suka dan duka serta selalu memberi semangat dan kegembkmn,
saya ucapkan terima kasih dengan penuh rasa sayang.
Juga kepada kakak dan adik yang selalu mendoakan dan banyak membantu demi
berhasilnya pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih.
Akhir kata, perkenankan saya memohon maaf atas segala kesalahan dan
kekhilafan saya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari selama mengikuti
pendidikan ini. Semoga semua pihak yang telah memberikan amal dan jasa baik ke'pada
saya mendapat balasan yang setimpal dari Allah zubhanhu Wa Taala. Amin.
vtl
DAFTAR TABEL I'AI\[ GAMBAR
A. Tabel
Tabel 1. Perbandingan waktu dan kesetaraan intensitas paparan 2l
Tabel 2. Besar kapasitas silinder sehubungan dengan NAB yang diperkenankan . 37
Tabel 3. Proporsi percontoh penelitian ..............57
Tabel 4. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan suku .,....... ........ 57
Tabel 5. Distribusi percontoh penelitian ternpat tinggal ..... 58
Tabel 6. Distribusi tinitus pada percontoh penelitian ......... 59
Tabel 7. Distribusi percontoh penelitian dengan tinitus berdasarkan lama paparan
paparan bis ing . . . . . . . . . . , . . . . . . . . .60
Tabel 8. Dstribusi percontoh kasus dengan tinitus dan non tinitus berdasarkan
lama paparanbising ............61
Tabel 9. Distribusi Bajaj percontoh penelitian berdasarkan tahun pembuatan .,.... 63
Tabel 10. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan jenis kelainan audiogram .. 64
Tabel 11. Distribusi TAB ADS tahap awal dan lanjut berdasarkan lama paparan... 65
Tabel 12. Rerata usia percontoh kasus dan kelola ................ 66
Tabel 13. Rerata intensitas bising Bajaj percontoh penelitian ............ .... 67
Tabel 14. Rerata lama kerja percontoh kasus dan kelola .......68
Tabel 15. Rerata lama paparan bising harian percontoh kasus dan kelola 7A
viii
B. Gambar
Gambar 1. Peningkatan ambang dengar sementara pada berbagai frekuensi pasca
paparan bising frekuensi 70AHz ...... 27
Gambar 2. Audiogram TAB dikaitkan dengan lama paparan dengan intensitas
lebih dar i 100 dB . . . . . . , . . . . .29
Gambar 3. Jangkauan audibilitas manusia dihubungkan dengan risiko
gangguan pendangaran ........,..,........ 30
Gambar 4. Audiogram TAB menunjukkan takik pada 4k}lz ................41
Garnbar 5. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan suku ......... ...... 58
Gambar 6, Distribusi percontoh penelitian berdasarkan tempat tinggal ................. 59
Garnbar 7. Distribusi tinitus pada percontoh kasus dan kelola .............. 59
Gambar 8. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan keluhan tinitus ...............,. 60
Gambar 9. Distribusi percontoh penelitian dengan tinitus berdasarkan lama
paparanbis ing . . . . , . . . . . . . . . . .61
Gambar 10. Distribusi percontoh kasus dengan tinitus dan non tinitus berdasarkan
lama paparan bising ....... 62
Gambar 11. Distribusi Bajaj percontoh penelitian berdasarkan tahun pembuatan .. 63
Gambar 12. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan jenis kelainan audiogram ..64
Gambar 13. Rerata ambang dengar kanan (a) dankiri (b) percontoh kasus ............ 65
Gambar 14. Distribusi percontoh kazus dengan TAB ADS tahap lar{ut dan awal
berdasarkan lama paparan bising ..:. 66
Garnbar 15. Rerataumur percontoh kasus dan kelola .......... 6'l
ix
Gambar 16. Rerata intensitas bising Bajaj percontoh kasus dan kelola .................. 68
Gambar 17. Rerata lama paparan kerja percontoh kasus dan kelola ..... 69
Gambar 18. Receiver operator curve lama paparan kerja (taftun) .......... 69
Gambar 19. Rerata lamapapar harian percontoh kasus dan kelola .........70
Gambar ZCI. Receiver operator curve lama papar harian ( jam ) .............71
BAB I
PENDAHULUA}I
L1. Latar belakang masalah
Gangguan pendengaran akibat paparan bising (noise induced hearing loss) atau
tuli akibat bising selanjutnya disingkat TAB, merupakan jenis tuli saraf yang paling sering
ditemukan pada pekerja industri di negara berkembang dan negara maju dengan sistem
konservasi pendengaran yang belum dilaksanakan dengan baikl. Kemajuan dalam bidang
industri dan transportasi mengakibatkan bertambah banyak sumber penyebab kebisingan
di kota besar. Kepustakaan menyebutkan di Manchester (Inggris) 25% dari penduduk
kota terpapar bising yang bersumber dari industri elektrik dan mesin, sem€ntara di daerah
pinggiran kota paparan bising berasal dari industri tenun tradisional mau pun modern,
sehingga di dapatkan 8 Yo dari penderita tuli saraf penyebabnya berasal dari paparan
bising lingkungan kerjal. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpapar oleh bising
dengan intensitas lebih dari 85 dB dan masih banyak lagi sumber bising yang berasal dari
berbagai macam bidang '. Polandia negara dengan profil industri yang hampir sama
dengan Indonesia terdapat 5 juta pekerja industri dengan 600.000 diantaranya berisiko
terpapar bising, sehingga sejak periode tahun 1991 s/d 1995 diperkirakan kekerapan TAB
sebesar 25 % darr seluruh penyakit akibat kerja3.
Di Indonesia khususnya laka*a diketahui sebagai kota dengan tingkat produksi
bising yang cukup tinggr. Jakarta dan kota satelit di sekelilingnya terdapat ratusan pabrik,
ribuan mesin industri, ratusan ribu alat angkutan dan berbagai pusat keramaian yang ikut
berperan atas terjadinya peningkatan bising lingkungan .
2
Kekerapan TAB pada berapa kota di Pulau Jawa berkisar antara 0,2 - 6 Yo dari
populasi penderita gangguan pendengaran yang berobat ke rumah sakit. Bagian THT
RSIJPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 1995 sampai Desember 1996
dikunjungi 884 penderita dengan gangguan pendengaran, sebanyak 325 orang dai'
populasi di atas menderita tuli saraf berbagai derajat dan 56 (6,3 %) di antaranya
menderita TAB. Di Jawa Timur Wiyadi dkk, mendapatkan 5303 pederita gangguan
pendengaran yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1981-1984,
dangan angka kekerapan penderita trauma akustik sebesar 247 (4,7o/o). Peneliti lain
Lukmantya mendapatkan kekerapan trauma akustik sebesar 50 (1,2%) dalam tahun 1984
yang berobat ke RS. Syaiful Anwar Malang. Di Jember Hadipero melaporkan angka
kekerapan TAB sebesw 5 (A,2To) penderita trauma akustik berobat ke RS. Dr. Soebandi
Jember datam tahun 1984 4.
Angka kekerapan TAB pada pekerja secara khusus pernah dilaporkan oleh
Hendarmin 5 sebesar 30 (50%) di Marrufacturing Plant Pertamina. Sedangkan angka
kekerapan TAB pada pengemudi kendaraan bermotor belum pernah dilaporkan di
Indonesia.
Survei tingkat kebisingan yang dilakukan Indrasukhri 6 di Thailand mendapatkan
hasil sebanyak 3.242 (30%) sepeda motor dan three cycle (kwdanar angkutan
penumpang sejenis bajaj) mempunyai tingkat produksi bising di atas nilai ambang batas
(NAB) yang diperkenanankan, tetapi tidak dilaporkan adakah pengaruh intensitas bising
di atas NAB tersebut pada pengemudinya ,
3
Iskandar dkk Tmendefinisikan TAB pada tenagakerja sebagai suatu ketulian yang
menetap pada pekerja akibat terpapar bising lingkungan kerja yang melebihi NAB
kebisingan yang diperkenankan, dalmwaktu lama dan berjatan terus menerus .
Tuli akibat bising ditandai dengan gangguan pendengaran (tuli saraf koklea)
nada tinggi, tinitus, pemeriksaan audiogram menunjukkan kelainan khas berupa takik
akustik (acoustic notch) atau C dip padafrekuensi 4000 IIz dan pada anamnesis jelas
terdapat riwayat papannbising yang berlangsung cukup lama 8'e'10.
Penurunan fungsi pendengaran dicurigai terdapat pada pengemudi Bajaj akibat
paparan bising yang bersumber dari mesin kendaraan tersebut, dalam kurun waktu yang
cukup lama dapat menimbulkan kelainan yang bersifat menetap, tidak dapat diobati serta
dapat mengakibatkan kerugian materil, penurunan kualitas sumber'daya manusia serta
membahayakan bagi diri sendiri dan pengguna jalan lainnya. Pada pemeriksaan awal,
sebanyak 5 Bajaj diperiksa tingkat kebisingan pada putaran mesin biasa dan putaran
mesin maksimal. Pada putaran mesin biasa besar intensitas kebisingan yang dihasilkan
rata-rata 86 - 98 dB (A), sedangkan pada putaran maksimal ( persneling 4) besar
intensitas bising mencapai 105 dB(A).
Beberapa faktor yang berpengaruh atau bekerja secara sinergis sehingga
mempercepat timbulnya TAB adalah, usia pada saat paparan terjadi, riwayat ketulian
secara herediter, penyakit sistemik seperti diabetes melitus, radang telinga tengah,
penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik, ras, vibrasi, ttauma kepala, profil
psikologis dan kelelahan 2'8'e'rr,
Sesuai dengan Garis Besar Haluan Negara (GBIil{) tahun 1993 yang meyebutkan
pangembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan prioritas utama Pembangunan
4
Jangka Panjang (PJP) II yang dikembangkan sejalan dengan pembangunan bidang
ekonomi. Maka berdasarkan hal di atas kesehatan indera, khususnya pendengaran
merupakan hal yang penting bagi pengembangan mutu dan sumber daya manusia dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia yang sehat secara utuh.
Dengan memperhatikan uraian masalah di atas, maka penulis bermaksud unfuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh paparan bising yang ditimbulkan oleh mesin
penggerak Bajaj pada pendengaran pengemudinya, besar gangguan pendengaran yang
ditimbulkan akibat paparan bising tersebut, setelah berapa lama terpapar bising seorang
pengernudi Bajaj akan mangalami TAB dan berapa besar rerata intensitas bising yang
dihasilkan oleh Bajaj. Dengan harapan hasil penelitian ini dapat disumbangkan pada
pemerintah daerah sebagai pertimbangan untuk tidak menggunakan Bajaj sebagai sarana
angkutan di Jakarta atau di mana pun dan memperhatikan segi produksi bising dalam
menyediakan sarana transportasi yang baru baik di Jakarta mau pun kota lain di
Indonesia.
L2. Masalah penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
l. Apakah terdapat dampak bising mesin Bajaj terhadap timbulnya gangguan
pendengaran berupa TAB pada pengemudi Bajaj ?
2. Setelah berapalama terpapar bising yang berasal dari Bajaj, seorang pengemudi Bajaj
akan menderita TAB serta berapa jarn paparan perhari yang akan menimbulkan TAB
pada pengemudi Bajaj ?.
4
Jangka Panjang (PJP) II yang dikembangkan sejalan dengan pembangunan bidang
ekonomi. Maka berdasarkan hal di atas kesehatan indera, khususnya pendengaran
merupakan hal yang p€nting bagi pengembangan mutu dan sumber daya manusia dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia yang sehat secara utuh.
Dengan memperhatikan uraian masalah di atas, maka penulis bermaksud unfuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh paparan bising yang ditimbulkan oleh mesin
penggerak Bajaj pada pendengaran pengemudiny4 besar gangguan pendengaran yang
ditimbrrlkan akibat paparan bising tersebut, setelah berapa lama terpapar bising seorang
pengernudi Bajaj akan mengalami TAB dan berapa besar rerata intensitas bising yang
dihasilkan oleh Bajaj. Dengan harapan hasil penelitian ini dapat disumbangkan pada
pemerintah daerah sebagai pertimbangan untuk tidak menggunakan Bajaj sebagai saf,ana
angkutan di Jakarta atau di mana pun dan memperhatikan segi produksi bising dalam
menyediakan sarana transportasi yang baru baik di Jakarta mau pun kota lain di
Indonesia.
L2. Masalah penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
l. Apakah terdapat dampak bising mesin Bajaj terhadap timbulnya gangguan
pendengaran berupa TAB pada pengemudi Bajaj ?
2. Setelah berapa lama terpapar bising yang berasal dari Bajaj, seorang pengemudi Bajaj
akan menderita TAB serta berapa jannpaparun perhari yang akan menimbulkan TAB
pada pengemudi Bajaj ?.
3. Berapa besar rerata intensitas bising Bajaj?
L3. Hipotesis penelitian
Bising yang dihasilkan oleh mesin Bajaj mempunyai intensitas di atas nilai arnbang
bising (NAB) yang diperkenankan dalam kurun waktu 6 tahun dapat menimbulkan
gangguan pendengaran pada pengemudinya berupa tuli saraf, terutama pada frekuensi
4000H*r,8.
I.4. Tujuan penelitian
L4.1. Tujuan Umum
Mendapatkan suatu data yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan
pertimbangan kebijakan dalam proses penyediaan sarana transportasi baik di Jakarta mau
pun di kota lainnya
L4.2. Tujuan Khusus
1. Mendapatkan bukti atau data terdapatnya gangguan pendengaran pada pengemudi
Bajaj berupa penunrnao fungsi pendengaran.
2. Mendapatkan data lama paparan kerja dan lama paparan perhari yang dapat
menimbulkan gangguan pendengaran pada pengemudi Bajaj {cat of point).
3. Mendapatkan rcrataintensitas bisins Bajaj
6
L5. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian dalam bidang pelayanan dan kesehatan masyarakat. Penelitian
ini nantinya akan disumbangkan kepada penentu kebijakan penyediaan sarana angkutan
umum dalam hal ini Pemerintah Daerah, Dinas Lalu Li$as Angkutan Jalan Raya
(DLLAJR), Sub Direktorat Kesehatan Indera Ditjen Binkesmas Departemen Kesehatan
dan organisasi profesi terkait (PERHATD.
Dalam bidang riset peningkatan zumber daya manusi4 penelitian ini mungkin
memberi sedikit manfaat bag pengembangan teknik konservasi pendengaran.
Dalam bidang akademik pertelitian ini diharapkan akan menambah jumlah
penelitian di bidang bising dan dampaknya pada pekerj4 seperti yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti pendahulu.
BAB II
TINJAUAIT PUSTAKA
Pendahuluan
Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat papilan bising lingkungan kerja
mempunyai kekerapan yang cukup tinggt, terutana di negara berkembang dan negara
industri dengan sistem konservasi terhadap indera pendengaran yang masih burukt.
Kerusakan atau penuruoan fungsi pendengaran pada tenagakeqa akibat paparan bising
yang bersumber dari mesin produksi dan alat transportasi dalam kurun waktu yang cukup
lama dapat menimbulkan kelainan yang bersifat menetap r'2'7't'e. Kelainan ini tidak dapat
diobati dan dapat mengakibatkan kerugian material serta penurunan kualitas sumber daya
manusia yang cukup besar, sehingga diperlukan tindakan khusus dalam mendeteksi dan
mengatasi masalah bising sebagai upaya penanggulangannya 8'e'r0,
Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkanrr4s. Bising mempunyai
satuan besaran intensitas yang dinyatakan dalam desibel (dB) dan jumlah getar perdetik
atau frekuensi yang dinyatakan dalam Hertz / V,rlohertz Qlzll<Ilz), serta memerlukan
waktu paparan yang cukup untuk menimbulkan penurunan fungsi pendengaran. Bising
nada tinggi dengan frekuensi antara 2000 Hz - 4000 Hz dan inte,nsitas 90 dB atau lebih"
dengan waktu paparan lebih dari 8 jam perhari atau lebih dari 40 jam perminggu selama 6
tahun atau lebih, berpotensil dapat menimbulkan kerusakan pada organ peadengaran pada
r ata-r ata m anusial'2'4 8'e.
Beberapa faktor yang dapat mempercepat terjadinya penurunan fungsi
pendengaran akibat paparan bising dapat berupa, usia, riwayat ketulian dalam keluarg4
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, pengguftmn obat atau zat ototoksik, penyakit
8
telinga tengah, kelainan kardiovaskular dan ras. Faktor lain yang diduga mernpengaruhi
penurunan fungsi pendengaran ialah kelelahan dan qtres 8'e'r0'11'1!13.
Kebisingan di tempat kerja didefinisikan sebagai semua bunyi yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari peralatan dan aktifitas produksi di tempat kerja, satuan
intensitas dinyatakan dalam desibel skala A (dBA)tu.
Fisika Bunyi
Bunyi dihasilkan oleh sesuatu bentuk fisik yang bergetar dan merambat melalui
media perantara (misal. gas, cair atau padat) sehingga dapat didargar atau deteksi oleh
telinga manusia. Media dimana gelombang bunyi itu berjalan harus mempunyai massa dan
mempunyai elastistisitas, media peradrtera padat lebih cepat menghantarkan bunyi
dibanding dengan udarars.
Bunyi merarnbat melalui udara dengan kecepatan sekitar 344 mldetrk (pada suhu
200 C) menyebabkan perubahan tekanan statik atmosfir I tekanan statik atmosfir sekitar
105 pascal : 105 Neurtons/m2 atau 14.7 lbffiz di permukaan laut pada O0 C 1lz0 f;1.
Perubahan tekanan yang terjadi dapat melalui pulsasi aliran udara, pusaran aliran udara,
renjatan gelombang atau vibrasi permukaan 15'16.
Melalui media perantara bunyi disebarkan ke berbagai arah secara radtal,
membentuk bidang gelombang dengan sumber bunyi sebagai titik pusat, tekanan
maksimum berada pada titik yang tegak lurus dengan zurnber bunyi.
Frekuensi dan intensitas mempunyai pengaruh terhadap sifat bunyi dan daya
destruksi bunvi.
9
Frekuensi ( f ) didefunsikan sebagai jurnlah getaran perdetik, dinyatakan dalam
satuan hefiz atav kilohertz W I kllz). Frekuensi secara matematis mempunyai hubungan
terbalik dengan panjang gelombang bunyi 1s't6.
Panjang gelombang bunyr merupakan jarak yang menghubungkan dua awal
gelombang pada fase yang sama, dinyatakan dalam simbol lanrbda ( '1,'). Hubungan
antara frekuensi, panjang gelombang dan kecepatan dinyatakan dalam rumus tt'tu.
?"f=c
c: kecepatanbunyi dalam m/det
Sehingga pada bunyi dengan frekuensi 100 Hz akan mempunyai panjang gelombang 3,4
m. Cepat rarnbat bunyi di udara dihitung melaui rumus tt'tu :
c:20.05 { To m/det
Te: suhu rmrtlakdalam 5< (ZZ:o +oC)
Melalui rumus di atas kita dapat menghitung kecepatan buny di udara pada suhu 210C
sebesar344m/detik
Gelombang bunyi merupakan gelombang sinus, secara matematik dinyatakan
dalam fungsi sinus: A sin 2 nf t, dengan A adalah amplitudo ,/freluensi dan t waktu
dalam detik. Tekanan yang dihasilkan oleh gelombang bunyi ( p ) membentuk
gelombang periodik, dinyatakan dalam rumus tt'tu :
p : po sn (2trfi t
p mempunyai nilai konstan disebut tekanan amplitudo
Sehingga suatu gelombang bunyi mempunyai total tekanan dinyatakan dalam :
P+p atau:
P + po sn{2nf)t
l0
Kaitan tekanan bunyi @) dengan kecepatan molekul udara (V) dinyatakan dalam
ruillrts tt :
P:R V
R merupakan suatu bilangan konstan, dapat disebut sebagai impedans dari media yang
dilewati gelombang bunyr tersebut 12.
Kemampuan bunyi untuk meneruskan energi bunyr disebut sebagai intensitas,
kaitan anatara intensitas dangan tekanan b.tny, dan kecepatan molekul bunyi dinyatakan
dalam rumus :
Intensitas = Tekanan maksimal x maksimal/ 2
Angka 2 merupakan pembagi berasal dari bentuk alamiah gelombang. Dengan
menggunakan firngsi R sebagai , besar intensitas dapat dinyatakan dalam
rumus berikut 12 :
Intensitas: (Tekanan maksimal)' I 2R
: R x (Kecepatan maksimal) 2 / 2
- Intensitas bunyi sering dinyatakan dengan arnbang tekanan bunyi (sound preswre
level) dinyatakan dalam I". Intensitas bunyi didefinisikan sebagai rasio logaritma dari
kuantitas bunyi yang dibag dengan kuantitas baku pada media yang sama, satuan
intensitas dinyatakan dalam desibel (dB). Hubungan antara ambang tekanan bunyi atau Lp
dengan tekanan bunyi (sound pressare) atau
p = kuantitas bunyi yang diberikan
p= luantitas bunyi baku
dalam rurnus tt'tu
11
Bising dan dimensi bising
Definisi bising menurut Canter bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.
Sedangkan menurut Chanlet bising adalah bunyi yang terjadi pada saat dan tempat atau
keadaan yang tidak sesuai (dikutip dari Mukono 17 ).
Hadjar dan Hendarmin r8 mendefinisikan bising sebagai bunyr yang tidak
diinginkan, mengganggu, mempunyai sumber dan menjalar melalui media perantara.
Definisi bising ini mencakup aspek fisiologik, psikologik dan mencerminkan risiko yang
dapat ditimbulkan akibat bising.
Saat ini bising juga mencakup ganggpan pada penggunaan frekuensi radio atau
terdapatnya transmisi elektrik yang tidak diinginkan pada penggunaan alat elektronik.
Bising tidak berbahaya kecuali pada intensitas tinggi 8'17.
Bising mempunyai dimensi fisik, fisiologik dan psikologik, yang masing- masing
saling berbeda. Secara fisik bising merupakan gabungan berbagai macam bunyi dengan
berbagai &ekuensi serta sebagian besar hampir tidak mempunyai periodisitas. Meskipun
demikian komponen bising dapat diukur serta dianalisa secara khusus. Secara fisiologik,
akustik dan elektronik bising adalah sinyal yang tidak mempunyai arti atau tidak berguna
dengan intensitas yang berubah secara acak setiap saat. Secara psikologik bising adalah
buny yang tidak diinginkan, mengganggu serta hampir terpisah dari bentuk gelombang
8,9,10
Bising seperti juga bunyi lain mempunyai satuan frekuensi atau jumlah getar
perdetik dituliskan dalam Hefiz atau kilo Hertz W / H{z), satuan intensitas yang
t2
Bising pada lingkungan industri tempat kerja dapat menetap terus menerus dan
luas (steady wide band noise), dapatjuga tidak begitu luas (steady rrcnrow band noise).
Bising oleh karena pukulan berlangsung kurang dari 0,1 detik (impact noise) atav
repeated impct noise. Bising dapat berasal dari suatu ledakan tunggal atau beruntun
(eksplosif noise) atavrepeated explosdnolse. Bising dapat terdengar datw (steady state
noise) atau berfluktuasi xrE.
Steady state noise merupakan bising dengan batas fluktuasi intensitas lk. 5 dB,
sedangkan bising impulsif merupakan satu atau lebih energi bunyi singkat yang terjadi
tiba-tiba, berlangsung kurang dari 0,5 detik 2'8'e.
Anatomi dan fisiologi telinga
Secara umum telinga terbagr atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar sendiri terdiri atas daun telinga, liang telinga danbagian lateral dari membran
timpani re.
Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutup oleh kulit. Ke arah
liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateraT,
dua pertiga lainnya fiang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi oleh kulit yang
melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani te. Bentuk daun telinga dengan
berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang
sekitar 2,5 a4 akan menyebabkan terdapatnya resonansi bunyi sebesar 3500IIz te :
-- kecepatan suara @ 350 m / det
,Fo =
4X2.5cm
13
Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada TAB frekuensi yang terkena
terutama pada 4000 Hz. Pada bayi sampai berumur kurang dan 2 tahun besar resonansi
telinga luar mendekati 8000 Hzre.
Daun telinga dan liang telinga juga meningkatkan gain sebesar 10-15 dB untuk
mendeteksi bunyi dengan intensitas rendah pada frekuensi 3-5 kllz re.
Berdasarkan keadaan di atas para ahli merancang bentuk alat bantu dengar
sedemikian rupa sehingga aman dan efektif bagi pemakainya.
Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagt
atas tiga baglan dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas
membran timpani, mesotimpanum disebut juga sebagai kawm timpani terletak medial dari
membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani "'to. Organ
konduksi di dalam telinga tengah ialatr membran timpani, rangkaian tulang pendengaran,
ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar rz're2o.
Membran timpani merupakan batas lateral telinga tengah, pada membran timpani
melekat manubrium maleus. Pada bagian atas manubrium maleus terdapat insersi otot
tensor timpani yang dipersarafi oleh nervus trigeminus, sedang origo otot tensor timpani
berasal dari dinding depan kavum timpani berjalan ke arah dinding medial kavum timpani
di dalam semi kanal tulang, selanjutnya otot ini akan menyeberangi kawm timpani untuk
berinsersi dengan os maleus. Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium
maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan mernbran timpani bergerak ke arah dalam,
sehingga besar energi suara yang masuk dibatasi 12'20.
t4
Otot lain yang juga berfungsi melindungi koklea adalah otot stapedius yang
dipersarafi oleh cabang stapedial dari nervus fasialis. Otot ini berorigo pada eminensia
piramidalis dan berinsersi pada leher tulang stapes. Kontraksi otot stapedius
menyebabkan foot plate stapes menjauhi tingkap lonjong, sehingga jumlah energi suara
yang diteruskan ke telinga dalam dibatasi r2're'20.
Batas depan telinga tengah berturut-turut dari atas ke bawah adalah origo otot
tensor timpani, tuba Eustachius dan arteri karotis interna yang terdapat di dalam tulang 20.
Batas medial telinga tengah terdiri dari penonjolan tulang yang berisi organ sistem
vestibuler, tonjolan yang berisi saraf dan dua buah takik. Dari atas ke bawah berturut-
turut adalah kanatis semisirkularis, kanalis fasialis pars horisontal, tingkap lonjong dan
tingkap bundar. Sebagai batas belakang dari telinga tengah adalah kanalis fasialis pars
vertikat dan aditus ad antrum 20.
Batas atas adalah tegmen timpani yang merupakan atap dari kavum timpani dan
antrum mastoid. Sebagai batas bawah dari kavum timpani adalahbulbus jugularis 20.
Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari
telinga luar ke dalam koHea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan
diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya
ungkit tu1ang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Besar gain yang
diterima akibat mekanisme di atas sekitar 253a dB le.
Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang
cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi
walaupunjntensitas buny yang diterima sampai 130 dB le.
l5
Altifitas dari otot stapedius disebut refleks stapedius, pada manusia baru timbul
pada intensitas bunyi di atas 80 dB (SPf) dalam bentuk refleks bilateral dengan sisi
homolateral lebih kuat t. Refleks otot ini berfungsi melindungi koHea, efektif pada
frekuensi fturang dad. 2 kIIz dengan masa latensi l0 mdet dengan daya redam 5-10 dB
12,19,20 .
Beberapa fimgsi lain dari kedua otot telinga tengah adalah menjaga kekuatan dan
kekakuan rantai tulang pendengararq ikut menjaga suplai darah ke rantai tulang
pendengaran, mengurangi bising fisiologis yang dihasilkan pada saat berbicua atav
menelaa, ikut memperbaiki sinyal suaf,a yang lemah dengan cara mengurangi bising latar
belakang, berfungsi meningkatkan gain secara otomatis, meningkatkan jangkauan
dinamik telinga dan menghaluskan transfer energi bunyire.
Fisiologi mendengar
Pendengaran merupakan salah satu indera terpenting, baik bagi manusia mau pun
hewan. Soetirto 2r membagi fungsi pendengaran pada manusia atas 3 bagian: LFungsi
Proteksi, penting baik pada manusia mau pun hewan, dengan keistimewaan ini manusia
dan beberapa hewan dapat dirinya dari zuatu hal yang membahayakan atau
mengancam jiwa. 2. Fungsi Komunikasi, pendengaran merupakan hal yang penting untuk
seorang ar:urk agar dapat belajar berbicara dengan baik. Gangguan pada fungsi
pendengaran menimbulkan keterlambatan berbisara serta kesulitan berkomunikasi. 3.
Kenibnatan,pada penderita tuli saraf nada trnggl dengan &ekuensi di atas 2000 I{z tidak
akan dapat menikmati orkestra dengan sempurna.
t6
Proses mendengar diawali oleh ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar yang
akan diteruskan ke telinga tengah setelah menggetarkan membran timpani. Di dalam
telinga tengah terdapat rangkaian tulang pendengaran 'ossicle' yang akan
mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tu1ang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan nemasuki telinga dalam yang selanjutnya akan diproyeksikan pada
mernbran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yaag menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari
endokoHea pada badan sel. Akibat keadaan tersebut terjadi depolarisasi sel rambut dan
penglepasan neurotransmitor ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan potensial aksi
neryus auditorius. Selanjutnya sinyal elektrik yang berisi informasi akustik akan
diteruskan melalui sinapsis transmisi ke nervus auditorius, nukleus auditorius dan akan
sampai di korteks pendengaran untuk diterjemahkan2t.
Agar lebih memahami fisiologi pendengaran lebih dalarn, perlu diketahui lebih
dulu struktur dan fungsi koHea, membran tektoria, fisiologi stereosilia dan sensitifitas
auditoris.
Koklea. Koklea membentuk tabung ulir dilapis lindungi oleh tulang dengan
panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimf dengan konsentrasi K*4 mEq/l dan
Na * 139 nrEq/l. Skala media berada dibagian tengah dibatasi oleh membran Reisner,
membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi endolimf dengan konsentrasi
K. 144 rnEq/l danNa " l3 mEq/I. Skala media mempunyai potensial aksi positif pada saat
17
istirahat sebesar (+ 80 mv) yang dihasilkan oleh pembuluh darah pada stria vaskularis
dan pompa Na-/ K. ATP ase di stria vaskularis rx22.
Organ Corti. Organ Corti terletak di atas membran basilaris lamina spiralis
tulang. Pada organ Corti terdapat beberapa komponen penting lain seperti sel rambut
dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters, Hensens, Claudius, membran tektoria dan
lamina retikularis 1e'22.
Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah
12.000, berperan dalam mengubah hanlaran suara dalarn bentuk energi akustik menjadi
impuls listrik sehingga dapat diteruskan melalui s€rat aferen yang berjurnlah 31.000,
untuk diteruskan ketingkat yang lebih tinggr, sehingga dapat diterjemahkan 22.
Serat saraf aferen tersusun membentuk spiral di dalam nervus koklearis dan
berhubungan secara sistematik dengan sel rambut di membran basilaris, sehingga serat
yang berasal dari bagian basal koklea berada di perifer, sedangkan yang berasal dari
bagian apeks koHea terletak di tengah. Satu serat saraf aferen mempunyai frekuensi dan
intensitas spesifik 22.
Serat saraf eferen berjumlah 1700- 1800 berfungsi menghambat sel rambut yang
dipersarafinya 22.
Potensial listrik koklea disebut cochlear microphonlq berupa respon listrik arus
bolak balik yang berfungsi sebagai generator amplifikasi gelombang energi akustik dan
sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar. Pada penggunaan obat ototoksik seperti
golongan streptomisin dan aminogtikosid akan terjadi penurunan cochlear microphonic
secara drastis 1x22.
18
Proses hantaran bunyi di koklea dimulai dari adanya energi akustik yang
menimbulkan gerakan tulang stapes seperti piston. Energi akustik ini diteruskan melalui
sakan perilimf pada skala vestibuli yang berhubungan dengan perilimf skala timpani
melalui helikotrema, sehingga menimbulkan pergeseran membran basilaris. Pola
pergeseran membran basilaris mernbentuk gelornbang berjalan dangan amplitudo
maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak
gelombang membran basilaris yang dihasilkan oleh bunyi dengan frekuensi tinggi (10
ktlz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus
bunyi frekuensi rendah (125 Hz) mempunyai pergescran maksimum lebih ke wah apil<arl.
Gelombang yang dihasilkan oleh bunyi frekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai
bagran apikal, sedangkan gelombang yang dihasilkan oleh frekuensi bunyi yang sangat
rendah dapat melewati bagran basal mau pun bagian apikal membran basilaris re.
Membran tektoria Membran tektoria dibentuk oleh masa gelatin, aseluler
mengandung sejumlah besar karbohidrat dalam bentuk glikoprotein. Gottstein (dikutip
dari Canlon 22) membagi membran tektoria menjadi daerah limbal, medial dan marginal.
Daerah limbal berhubungan dengan sel interdental terletak sebelah medial dan inner
sulcus, bagran medial merupakan tempat berakhirnya sel ranrbut luar dan sel . rambut
dalam dan bagian marginal terletak sebelah lateral sel rambut luar. Membran tektoria
dilingkupi cairan, permukaan atas berhubungan langsung dengan endolimf yang
mengandung banyak ion kalium. Bagian marginal membran tekloria diduga berfungsi
sebagai pemisah antara cairan subtelctorial dengan endolimf, pada keadaan tertutup rapat
konsentrasi ion yang terdapat pada cairan subtektorial akan sama dengan cairan yang
t9
terdapat pada inner sulcus. Secara umum membran tektoria berperan pentrng dalam
proses pendengaran.
Streosilia. Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran
adalah membran tektoria, stereosilia dan membran basilaris. Menurut Ter Kuile (1900)
(dikutip dari Canlon22), interaksi ketiga strukf,ur penting di atas merupakan proses penting
dalam mendengar.Padabagran apikal sel rambut sangat rigid dan terdapat penahan yang
kuat antara satu bundel dengan bundel lain, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan
terjadi gerakan yang kaku secara bersamaan. Bagian puncak stereosilia terdapat rantai
pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih
rendah sehingga pada saat terjadi defleksi bundel stereosilia akan mendorong bundel yang
lain yang akan mengakibatkan terjadinya regangan pada pada rantai yang
menghubungkan stereosilia tersebut, keadaan di atas mengakibatkan terbukanya kanal ion
pada membran sel sehinggga akan terjadi depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah
mengakibatkan regangan pada rantai tersebut menurun dan kanal ion akan menutup (
Hudspeth dan PicHes) dikutrp dari Pickles 12. Sumber energi yang menunjang terjadinya
proses di atas dihasilkan olehbiological batteries yang tersusun secaf,a seri di dalam skala
media berupa potensial endokoklea sebesar (+ S0 mv) dan potensial negatif intra seluler (
teori Davis) di*utip dari Canlon 22.
Sensitifitas auditoris. Sensitifitas mutlak telinga ditentukan oleh besarnya energi
akustik yang diperlukan untuk menimbulkan respons pendengaran. Keadaan di atas sering
disebut sebagai ambang dengar dan dinyatakan dalam dB (SPL) pada frekuensi tertentu
22
20
Berbagai macam prosedur pengukuran telah dilakukan pada hewan percobaan
untuk mendapatkaa besarnya nilai sensitifitas auditoris. Termasuk dalam pengukuran di
atas adalah cochlear microphonic, refleks otot pendengaran, potensial aksi serat saraf,
potensial aksi berkas serabut saraf dan brainstem attdiometry (BERA) re'm'2r. Pada
BERA parameter yang dianalisa adalah sensitifitas mutlak, latensi gelombang dan
amplitudo gelombang ", Beberapa ahli membandingkan pengukuran elektrofisiologis di
atas dengan behavioral auditory threshold karena nilai ini merupakan indikator
sensitifitas auditoris yang dapat dipercaya. Beberapa pengukuran yang mempunyai nilai
ambang mendekati beluvioral auditory threshold adalah potensial aksi serat saral
potensial aksi berkas serabut saraf dan BERA. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Salvi. et al, Engstrom & Borg yang dikutip dari Canlon n didapatkan bahwa refleks otot
telinga tengah timbul pada 70-80 dB di atas arnbang dengar re'20'2r.
Pengaruh bising terhadap organ pendengaran
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencari hubungan arrtara paparan bising
dan gangguan pendengaran. Pada akhirnya saat ini telah dimengerti bahwa terdapat suatu
jeda bermakna yang menghubungkan: a tara bising atau energi bunyi yang anan (safe
sound) sebagai batas bawah dengan bising atau urergi bunyi yang kuat (intense sound)
yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran mendadak sebagai batas atas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa jurnlah paparan energi yang
diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Dengan kata lain paparan
bising dengan frekuensi dan intensitas tertentu yang berlangsung dalam 8 jam akan
mempunyai derajat kerusakan yang sama dengan paparratn yang dilakukan dua kali 4 iarn
2l
atau mempunyai nilai kerusakan separuh dari paparan bising yang didapat selama 16 jam
8,9.
Perlu diketahui pula besaran intensitas bunyi (desibel) menggunakan kaidah
logaritma seperti dikemukakan oleh Burns dan Robinson dikutip dari Alberti 8, dijelaskan
peningkatan intensitas bising sebesar 3 dB akan menggandakan kekuatan bising tersebtrt,
dengan demikian bisiag dengan intensitas 93 dB kekuatan setara dengan 2
kali bising dengan intensitas 90 dB, bising 103 dB mempunyai kekuatan yang setara
dengan zkahbising dengan intensitas 100 dB 8'e.
Tabel 1. Perbandingan waktu dan kesetaran intensitas paprran
(dikutip dari Albefti E)
Lama Paparan yang LosraGB)di perbolehkan (iam)
Leq(dB)
t6
8
4
2
1
u2u4
85
90
95
100
105
110
11s
87
90
93
96
99
142
105
Standard 8 jam 90 dB A sesuai Losru dan L€q
Konsep kesetaraan energl dengan basis 3 dB dipakai di negara Eropa dikenat
dengan 'Leq', sedangkan Di Amerika memakai konsep kesetaraan energi dengan basis 5
dB dikenal dengan 'Losntr'n.
Pada koklea yang normal hanya diperlukan sejunrlah kecil energi bunyr untuk
merangsang reseptor pendengararq agu dapat dipersepsikan di korteks pendengaran.
Pada keadaan dimana telah terjadi kerusakan sel ranrbut, kehilangan sel rarnbut atau
22
degenerasi serat saraf pada wea tertentu, dibututrkan energi yang lebih besar untuk
meneruskan informasi akustik ke korteks pendengaran. Mekanisme di atas terjadi dapat
melalui rangsangan pada sel rambut yang cidera, sehingga bisa menimbulkan respons
yang memicu serat saraf yang masih 'baik', atau melalui rangsangan pada serat saraf lain
yang berdekatan lokasinya dengan sel rambut yang cidera. Pada keadaan dimana
terdapat perbedaan junrlatr energi bunyi yang dibutuhkan untuk mendengar dibanding
sebelumnya yang terjadi akibat paparar bising, disebut tuli akibat bising (noise induced
hearingloss) biasa ditulis MHLs'e .
Patologi dan loknsi kerusakan akibat bising
Haberman (dikutip dari Alberti) 8'e melakukan penelitian pada pekerja yang
berumur 75 tahun dengan paparan bising selama 20 talun. Pada paneriksaan mayrt Qtort
mortem) tampak kerusakan organ Corti berupa destruksi se1 rarnbut dengan kerusakan
terberat berasal dari bagian basal koklea. Selain itu ditemukan juga atrofi dari nervus
auditorius dan degenerasi ganglion spiralis. Hal ini sesuai dengan penelitian Guild seperti
dikutip oleh Hendarmin t yung menyatakan bahwa bagran koklea yang terdekat dengan
tingkap lonjong menerima bunyi dengan frekuensi tinggi. Kenrsakan koklea akibat
frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4000 Hz dimana keadaan ini sesuai
dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan organ Corti.
Sesuai dengan pendapat Guild, Sellick et al (dikutip dari Ward 10) menyatakan
bahwa di sekitar l0 mm dari tingkap lonjong terdapat sel ranrbut yang mernpunyai
amplitudo pating besar dan menerima energl terbesar pada paparan bising, sehingga
bagran tersebut akan mudah cidera pada paparan bising, yang disebut sebagai '4AA0 Hz
23
receptors.'. Karena hubungannya dengan serabut saraf sering juga disebut '4000 Hz nerve
fibers ' . Tempat ini merupakan lokus minoris pada organ Corti.
Beagley (dikutrp dari Alberti e) mengemukakan bahwa terdapat mekanisme
hidrodinamika pada kerusakan sel rarnbut dalam, sel rambut luar dan membran basilaris
akibat paparan bising Menurutnya gelombang bunyi yang datang akan tersebar secara
merata berbentuk ndial. Gelombang bunyi tersebut menimbulkan regangan pada partisi
koklea dan menyebabkan fleksi membran basilaris sepanjang tepi ligamentum spiralis.
Akibat dari keadaan di atas bagran tengah membran basilaris yang tidak ditopang oleh
penunjang lain akan bergetar lebih kuat dibandingkan dengan struktur lain. Pada bagian
tengah ini pula tedetak bagtran basal sel rambut luar yang mernpunyai hubungan erat
dengan pilar sel rambut dalam, sehingga mudah dimengerti mengapa sel penunjang pada
bagran tengah membran basilaris bersama sel rambut luar dan sel rarnbut dalam mudah
rusak akibat paparan bising.
Saunders dan Schneider (dikutip dari Alberti 8'e), mengemukakan terdapatnya fase
dinamik dan fase statik pada trauma akibat bising. Fase dinamik dimulai selama terdapat
stimulasi akustik, dimana terjadi perubahan fungsi dan struktur sel. Pada fase ini sel
mengalami kerusakan akibat paparan bisrng. Fase statik terjadi setelah stimulasi hilang,
dimana terjadi proses perbaikan dapat menyeluruh, sebaglan, pembentukan jaringan parut,
bahkan destruksi menetap.
Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada
besarnya intensitas, lama waktu paparan dan frekuensi bising. Peaelitian menggunakan
intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu
24
paparan l-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga
dapatdijumpai pada sel penyangga, pembuluh darahdan serat aferen 8e.
Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada
silia dan Hensen's body, sedangkan stimulasi dengan intensitas yang lebih keras dengan
waktu paparan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan pada struttur sel rarnbut
lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran Reisner e.
Paparan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya
floppy cilia'yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan
fraktur 'rootlet'silia pada lamina retikularis e.
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui mekanisme destruksi sel rambut
akibat bising menghasilkan kesimpulan bahwa, dengan intensitas bising tinggt dan waktu
paparan singkat menyebabkan kerusakan berupa gangguan mekanik sel rambut, tetapi
bising dengan intensitas yang tidak terlampau tinggi dan berlangzung cukup lama
menimbulkan kerusakan sel akibat terjadinya insufisiensi zat nutrisi sel, sehingga suplai
energi dan sintesis protein terganggu e.
Telah diketahui bahwa bising dengan intensitas yang cukup tinggt menyebabkan
perubahan pada pembuluh darah organ Corti yang akan merryebabkan kerusakan
sekunder pada jaringan seluler koklea. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Nakai 23
dorgan memberikan paparan bising pada marmut dengan intensitas 125 dB SPL dengan
frekuensi 1 kl{z mode warble atau music rock 105-125 dB selama 3 jam mendapatkan
hasil terdapataya stenosis dan dilatasi dinding lateral koHea, prominensia spiralis, spiral
arteri. Pembuluh darah dilimbus menunjukkan vasokonstriksi. Penelitian ini membuktikan
25
pengaruh bising menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah koklea yang ikut berperan
menimbulkan kerusakan organ Corti.
Penelitian pengaruh papuanbising terhadap nenus auditorius seperti yang diteliti
oleh Spoendlim (dikutip dari Alberti e'1, pada hewan percobaan pasca paparan bising
terdapat kerusakan dendrit pada akhir sinaps dengan sel rambut luar dan sel rambut dalam
yang sifatnya masih reversibel. Penelitian lain yang dilakukan oleh Morest dan Bohne
(dikutip dari Alberti ) menemukan terdapatnya kerusakan pada nukleus preauditorius,
kompleks auditorius superior serta nukleus kontralateral dari kolikulus inferior pasca
paparan bising
Perubahan biokimia yang timbul pasca paparan bising, seperti yang dikemukakan
oleh Koide seperti dikutip dari Alberti e dan Ward 10, menemukan adanya penurunan
kadar oksigen koHea serta peningkatan kandungan glukosa perilimf.
Konsep terbaru timbulnya TAB seperti dikemukakan oleh Fuel & Pujol 2a
berkaitan dengan dilepasnya glutamat (neurotransmitor yang terdapat pada sinapsis antara
sel rambut dalam dan nervus auditorius) yang berlebih pasca paparan bising. Keadaan
diatas akan menyebabkan depolarisasi berkepanjangan pada reseptor ion post sinapsis,
sehingga mengakibatkan masuknya sejunlah besar kation Cl- dan HzO kedalam struktur
post sinapsis. Hasil akhir dari mekanisme patologis diatas menyebabkan timbulnya udema
dan disrupsi serat saraf post sinapsis yaflg selanjutnya akan diikuti oleh kematian sel-sel
neuron. Penelitian invivo dengan memasukkan kintrrenat (agonis glutamat) kedalam
koklea dengan meaggunakan teknik pompa mikro osmotilg berhasil mencegah kerusakan
terminal nervus auditorius dan memperbaiki struktur post sinapsis.
Secara klinis paparan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan *'n:
1. Adaptasi
2. Peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shtft), dapat berupa:
a.reaksi lelah Qtfusiologtcal fatigue) dan b. peningkatan ambang dengar sementara
berjalan lama (pathol o gt cal fati gue)
3. Peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift)
Adaptasi atau respons kelelahan akibat rangsangan, ialah keadaan dimana
terdapat peningkatan arnbang dengar segera akibat paparan bising, Paparan bising dengan
frekuensi tertentu, intensitas di atas 90 dB SPL menimbulkan respons adaptasi pada
frekuensi yang identik.
Perluasan dampak adaptasi menunjukkan gambaran yang asimetri, dengan
pengaruh terbesar terjadi pada frekuensi di atasfotigue frequency ( gambar 1). Pemulihan
timbul secila eksponensial, pada paparan dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang
pemulihan dapat terjadi dalam 0,5 detik. Keadaan ini merupakan fenomena fisiologis yang
disebabkan oleh kelelahan pada saraftelinga yang terpapar e.
27
FREKUENSI {Ha)
700 '000
1500 2fi10 3000 6000
seo
Ea toF :lt
>GXA so-EP
Gambar L. Peningkatan ambang dengar sementara pada berbagaifrekuensi setelah t
-"ilf*il"ffi"Xffi pjsins frelnrensi 700IIz
Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan dimana ambang
dengar meningkat akibat paparanbising dengan intensitas cukup tinggi. Pemulihan terjadi
dalan beberapa menit atau jam, ixwrg terjadi pemulihan dalam satuan detik atau hari.
Seperti adaptasi kelainan ini pun bergantung pada intensitas bunyi, frekuensi bunyi dan
lama paparan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan anrbang dengar
sementara adalah profil psikologis, suhu tubuh, latihan fisik dan keadaan telinga tengah,
seperti radang telinga tengah, impedans dan refleks akustik. Keadaan ini masih
merupakan fenomena fisiologis 8'e.
Beberapa penulis membagi peningkatan ambang dengar sementara atas dua
bagtatU yaitu: l.Reaksi lelah atau physiolostcal fatigue atau short lasting temporory
threshold shift dan 2. Peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama atau
pathological fatigue atan long lasting temporary threshold shift.
q
B
{o.J
/ \
v \
/
28
Reaksi lelah atau kelelahan fisiologik menurut Larsen (dikutip dari Alberti 8'e),
merupakan penurunan aktivitas organ. Penyebabnya adalah paparan bising dengan
intensitas yang lebih kuat dari adaptasi dan waktu paparan lebih lama. Kelainan ini
rnerupakan transisi dart adaptasi ke peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama,
perubahan bentuk dari proses adaptasi ke arah reaksi lelah zulit dibedakan dengan jelas,
keduanya dapat juga timbul secara bersamaan. Respons kelelahan yang terjadi akibat
stimulasi bising mempunyai perubahan maksimum sekitar 0,5-1 oldaf di atas frekuensi
stimulus nada murni yang diberikan. Secara mudah kelelahan fisiologik ialah terdapatnya
peningkatan ambang dengar yang berlangsung lebih darr 2 menit dengan masa pemulihan
lengkap kuraag dari 16 jam. Pada pekerja pemulihan pendengaran telah terjadi sebelum
hari kerja berikut dimulai.
Peningkatan arnbang dengar sementara berjalan lama atau kelelahan patologik.
Kelainan di atas disebabkan oleh paparan bising dengan intensitas lebih kuat dan waktu
yang lebih lama dari kelelahan fisiologik Perbedaan kelainan ini dengan kelelahan
fisiologik adalah terdapatnya perpanjangan masa pemulihan dan kadang kadang
pemulihan yang terjadi tidak sempurna. Batas antara kelelahan fisiologik dengan
kelelahan patologik ialah pada intensitas 40 dB 8'e.
Peningkatan ambang dengar menetap. Paparan bising dengan intensitas
sangat tinsgr berlangsung singkat (explostfl atau intensitas cukup tinggr dan berlangsung
lama dapat menimbulkan peningkatan ambang dengar menetap. Peningkatan ambang
dengar menetap Qtermanent threshold shift) disehabkan oleh kerusakan atau perubahan
menetap pada koHea dengan letak kelainan dapat pada banyak struktur di koHea. Pada
tahap awal audiogram kelainan ini menunjukkan gambaran yang khas berupa penurunan
29
fungsi pendengaran pada frekuensi 3 kJJz, 4 kHz dan 6 K\lz, sedangkan frekuensi lain
masih normal sehiagga pada notasi audiogram akan terdapat suatu takik yang dikenal
dengan takik akustik(acoustic notch) atav 'C dip'.
Gambar 2. Audiogram TAB dikaitkan denganlama paparan dengan intensitas lebih dari f00 dB
(dikutip Aari ooUie 2)
Pada keadan lanjut atau bila paparan bising masih terus berlangsung, kerusakan
koklea makin meluas mengenai sel rambut dan saraf yang berperan untuk menghantarkan
impuls bunyr frekuensi lebih rendah ( frekuensi komunikasi ) dan frekuensi lebih tinggi,
maka akan terjadi penurunan ambang dengar beberapa frekuensi lain yang lebih rendah
atau lebih tinggi, sehingga penderita mulai merasa adanya kendala dalam mendengar 2'*'e.
Penampilan Hinis penderita akan sesuai gambaran patologis yang terjadi pada
koklea. Pada tahap awal penderita mengeluh mengalami kesulitan berkomunikasi dalam
pertemuan atau suasana yang ramai, tetapi pada keadaan lanjut penderita sulit untuk
berkomunikasi atau mendengar walaupun dalam suasana tenang 2'8'e'a (gambar 2).
-10
0
10@gfo20
930ulz
4
50
80
LAMA PAPARAN IITIN}
0,250,50 123FREKUENSI (kHz)
4
\
a \\ //
\N \/ ,
\ \ I 7\
/
30
Stirnulasi bising pada telinga menunjukkan tolerabilitas terhadap intensitas yang
berbeda pada frekuensi yang berbeda. Mills (dikutip dari Alberti 8'e), meneliti efek dari
stimulasi bising terhadap perubahan ambang dengar dan respons psikofisikal terteltu.
Menurutnya selarna paparan bising terjadi perubahan ambang dengar yang bervariasi
sestrai de+gan frekuensi dan intensitas bising. Pada frekuensi 4 kFIz maka intensitas 74 dB
rnerupakaa titik awal perubahan ambang dengar pada kebanyakan manusia.
FRH(uENAT{rE}0 125 2il 5|n 1000 2m0 '||l00 8000 16000
Reeiko Tlnggl utk. TAB & cidera
Reei o TAB cider menl{gltat t11.
2.eraiatxTta p
isingtaran
3.\ ,,_
rmlahpaparemnhhan inr tf_
/
Flac H) h. / /< ,la
\ 9. tA lihanan nxf
Tidalrada i& ek$rddLrna.l'|rj
l lt l
eaihoaitiliif TAElLatr*aa dcngenlwnilihpap6rffi
t1t t
,/
/
lnaudlble /
Gbr. 3. Jangkanan audibilitas manusia dihubungkandengrn resiko gxngguea pendelg*rrn
(dilcittlr (larl Alb€ni 8'e)
Fada titik ini peninskatan intensitas *fuesar 1 dB meny*abkan kenaikan ambang
dengar sebesar 1,7 dB E'e.
GI
E5zosC{o
OFt
?\o=
-6oo
EL II
tt5s0(aID
(9rtr
f;
3l
Frelnrensi di bawah 2 k}lz titik kritis untuk perubahan ambang dengar didapat
pada inte-nsitas 78 dB dan pada frekuensi 0,5-l kHz titik kitis tercapai pada intensitas 82
dB &e (gambar 3).
Faktor yaag berinteraksi dengan bising
Beberapa faltor yang berinterasi dengan bising adalah usia" vibrasi, obat atav zat
ototoksik, paparul bising sebelumnya, ras, gangguan telinga tengah 2'8'e'22 .
Peranan faktor usia menurut beberapa penulis merupakan faktor yang dapat
at TAB, beberapa keadaan yang mungkin ikut berperan adalah aterosklerosis,
hipertensi dan proses penu&rn z'EP'22. Menurut Ward (dikutip dari Dobie 21, dalarnmenilai
faktor aditif pada TAB perlu dipertimbangkan tiga hal yaitu : presbikusis (pengaruh
faktor usia), nosoakusis (pengaruh penyakit) dan sosioakusis (pengaruh gaya hidup
sehari-hari). Mac Rae seperti dikutip dari Dobie2 & Alberti e, Novotny dan Corso (dikutip
dari Alberti ) menyimpulkan bahwa pada keadaan TAB sedemikian buruk perlu
pertimbangan pangaruh faktor usia. The Interrnsiornl Starfurd Organization
menganjurkan untuk melakukan koreksi usia pada penilaian, bila rerata nilai ambang
dengar (NAD) lebih dari 40 dB 2.
Vibrasi adalah energi bunyr yang akan menyebabkan terjadinya perpindahan
molekul udara dari satu posisi statis pada posisi k"d"por, kenudian akan ke posisi
berlawanan sambil melewati posisi statis 15'16. Secara fisika gerak linear vibrasi
mempunyai kesamaan deagan gelombang bunyi. Vibrasi akan menarnbah besar tekanan
gelombang bunyr . Beberapa peneliti seperti Okada, Osako & Yamamoto (dikutip dari
Alberti e) membultikan bahwa vibrasi berperan dalam memperberat terjadinya TAB.
32
Shida -26 berhasil membuktikan bahwa vibrasi dapat menurunkan generator amplifikasi
koHea.
Penggunaan zat atau obat ototoksik secara langsung dapat menyebabkan
tedadinya kerusakan pada sel rambut luar, keadaan ini akan menurunkan potensi
amplifikasi sel rambut luar secara drastis 12.
Riwayat papamn bising sebelumnya seperti diteliti oleh Humes ( dikutip dari
Alberti ) pada 6 pekerja baru pada suatu industri dargan tingkat kebisingan yang cukup
tinggr Sebelum bekerja di perusahaan tersebut, pekoja di atas mempunyai riwayat
papara bising. Pada pemeriksaan lanjutan terdapat perburukan ambang dengar dengan
audiogram sesuai dangan penjumlahan paparan lama dan baru.
Pigrnen kulit ternyata merupakan faktor proteksi untuk terjadinya TAB. Pekerja
kulit berwarnatunyata lebih tahan terhadap papamn bising dibanding pekerja kulit putih
trnfeksi telinga tengah pada fase akut akan meryebabkan tidak bekerjanya refleksi
akustik yang menyebabkan koHea lebihprone terhadap paparan bising o"tz.
Bising lingkungan kerja
Kemajuan dalam bidang teknologi sqiak tiga dekade terakhir ini menyebabkan
peningkatan bahaya bising baik dalam jumlah, intensitas, kecepatan dan jwr,rlah orang
yang terpapar bising terutama di negara industri dan negara maju. Beberapa sumber
bising yang menjadi penyebab polusi adalah gemuruh mesin produksi pada beberapa
pabrik, desing mesin jet, gemuruh mesin turbin pada beberapa kapal laut, letusan senjata
genggam dan seajata panggul, bising dari alat bantu kerja seperti mesin pemotong
55
rumput, lirug alat pemecah beton atau aspal, bising alat penghisap debu elektrik sampai
pada bising dari kendaraan alat angkutan atau transportasi dengan sistem gas buang dan
suspensi yang buruk.
Paparan bising pada sarana transportasi umum ditambah bising jalan raya mungkin
merupakan salah satu penyebab cepat lelah, penurunan kewaspadaan dan dalam kurun
waktu tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada pengemudinya. Keadaan
ini bila dibiarkan, dapat menyebabkan kerugian materil, membahayakan bagt diri dan
pengguna jalan lainnya.
Pinto dan Kryter melaporkan terdapatnya gangguan pendengaran pada awak
pesawat terbang komersil, sedangkan gangguan pendengaran pada pengemudi kendaraan
umum dilaporkan oleh Nerbonne dan Picardi pada tahun 1975 (dikutip dari Williams ?7 ).
Survai yang dilakukan oleh Indrasukhri et.al 6 pada sumber kebisingan di jalan
raya kota Bangkok mendapatkan dari I l 153 sepeda motor dan kendaraat alat angkutan
umum'three cycle' sejenis Bajaj ditemukan sebanyak 7.911 sepeda motor dan Bajaj
dicurigai mempunyai derajat intensitas bising yang tinggi serta perlu diperiksa lebih lanjut,
dari jumlah di atas ternyata terdapat 3.242 kendaraan yang benar mempunyai tingkat
produksi bising di atas 85 dBA dan diharuskan membayar denda sebesar 100 Baht
perkendaraan serta boleh digunakan kembali bila intensitas produksi bising dikurangi
sesuai nilai ambang batas yang diperkenankan,
Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar,1971rE mendapatkan hasil
bising jalan raya (Jl. MH.Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk .
34
Kombinasi antara bising alat transportasi dengan sistem suspensi dan gas buang
yang buruk seperti Bajaj dan bising jalanraya menyebabkan risiko gangguan pendengaraa
pengemudi kendaraan tersebut menjadi lebih tinggi.
Weston dan Adam seperti dikutip oleh Hendarmia dan Waspodo ", mencatat
terjadinya pcnurunan prestasi kerja sebesar lTVo pada karyawan yang bekerja pada
lingkungan bising tanpa menggunakan alat pelindung telinga. Atma life insurance Co.
mendapatkan penurunan kesalahan sebesar 3A-5A% pada juru tik setelah dinding ruang
kerja dilapisi lapisan penycrap bunyi.
Survai yang dilakukan oleh Hendarmin r pada Manufacturing Plant Pertamina
dan dua pabrik es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada
50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB
pada karyawan yang telah bekerja terus menerus selama 5-10 tahun.
Dampak paparun bising pada lingkungan kerja di industri mobil di Amerika telah
diteliti oleh Lee dan Feldstein 2e, selama kurun waktu 5 tatrun pada pekerja yang
mendapat paparan bising dengan intensitas 104-110 dbA didapatkan gangguan
pendengaran pada frekuensi 2000-4000 Hz dengan besar penurunan ambang de.ngar
sekitar 3,4-6,2 dB.
Sumber bising bukan hanya dari lingkungan kerja saja akan tetapi dapat juga
berasal dari bidang hiburan, olah raga, rekreasi, bahkan lingkungan pemukiman pun dapat
terkontaminasi oleh bising. Adenan 30 melakukan penelitian pada 43 orang penduduk
yang bertempat tinggal disekitar lebih kurang 500 meter dari ujung landasan Bandara
Polonia Medan, dengan lama hunian sekitar 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun. Dari
35
hasil penelitian tersebut ditemukan sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising, pada
penduduk dengan tatatata lama tinggal 17 tahun waktu papar rtturata?2 jam/ hali.
Shida ?6 meneliti pengaruh stimulus vibrasi terhadap peningkatan ambang dengar
dengan cara mengulq,r cochlear microphonic atau ernisi otoakustik pada kelompok
marmut yang diberi paparan bising dengan intensitas bunyi 115 dbA dan frekuensi
4O0Hz, dengan kelompok lainnya mendapat paparan bising yang sama dan frekuensi
vibrasi sebesar 2A Hz. Dari hasil penelitiannya disimpulkan vibrasi meningkatkan
afe*tifi tas gangguan pendengaran.
Hutchinson et. al 3r meneliti pengaruh aktifitas kerja ringan terhadap penurunan
fungsi pendengaran akibat paparan bising Pada penelitiannya disimpulkan bahwa
aktifitas ketja ringan saja tidak mcmpercepat timbulnya peningkatan ambang dengar,
tetapi bagaimana hasilnya bila pekerja dengan aktifitas kerja yang lebih berat juga
mendapat paparan bising.
Bising pada kendaraan umrm pengangkut penumpang
Jutaan penduduk ncgara maju dan negara industri tinggal di rumah atau di dalam
apartemen yang didirikan 200 kaki dari tepi jalan yang sibuk atau tepi jalan bebas
hambatan berisiko terpapar bising lebih dari 100 dB, terutama pada jam sibuk. Bising
jalanraya yang dihasilkan oleh kendaraan lalu lintas tersebut umunnya bergantung pada
:1. jenis, junrlatt dan kecepatan kendaraan yang melintas,2. interferensi spesifik antara
kendaraan dan badan jalan dan 3. jenis lingkungan dimana jalan itu berad4 seperti
metropolitan, perkotaan biasa, setengah kota atau pun desa t'.
36
B:ritrg yang dihasilkan oleh kendaraan merupakan gabungan dari berbagai sumber.
Bising tersebut berasal dari sistem gas buang (knalpot), mesin, sistem transmisi, rem,
klakson" gesekan ban, ketegangan rantai, sekrup yang kendor dan muatan yang dibawa.
Pada umumnya makin tua usia kendaraan tersebut makin besar produksi bising yang
dihasilkan. Pemeriksaan yang dilakukan pada beberapa mobil pribadi mendapatkan
intensitas bising antara 62-85 dB pada kecepatan wfiwa48-112 krrr/ jarnz' .
Penelitian yang dilakukan oleh Priede yang dikutip oleh Burns 32, pada 15 alat
kendaraan angkutan penumpang dalam kondisi baik yang dijalankan dengan putaran
mesin maksimum didapatka4 sepertiga dari jumlah kendaraan di atas pada putaran mesin
maksimum mernpunyai NAB dalam batas yang dapat ditoleransi, sedangkan dua pertiga
lain mempunyai NAB yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Variasi antara
kendaran yang paling tenang dengan kendaran yang paling bising sekitar 15 dB, bising
frekuensi tinggi didapat pada penggunaan persneling tiga atau lebih.
Penelltian yang dilakukan oleh Nerbonne dan Accardi (dikutip dari Williams ?? )
melaporkan pada 113 pengemudi angkutan umum terdapat korelasi yang sangat
bermakna $rtara lama mengemudi dengan makin beratnya gangguan pe.ndengaran
terutama pada frekuensi 4 kFIz, ambang dengar telinga kiri lebih buruk dibanding telinga
kanan dan penekanan ambang dengar pada frekuensi 0,25-0,5 kHz. Keadaan di atas
dimungkinkan karena pengaruh bising dan vibrasi.
B6erapa negara di Eropa berupaya untuk mengurangi dampak bising dengan
mernbuat peraturan laik operasi dalam hal bising bagi kendaman yang menggunakan jalan
umum. Mereka membagi jenis angkutan atau kendaraan atas lima kategori ( tabel 2).
1V
Tabel L Besar kapasitas silinder sehubungandengan N A B yang diperk€n*nkf,n
(dihtipdari Bun$31
1 Spd motor tidak lebih dari 50 cc 77 8A2 Spd motor > 50-125 cc 86 dBA3 Spd motor jads lain 82 dBA4 Kendaraan angkut > 3rl2tm,traktor, s9 dBA
dan angkutaa p€f,lumpang kurang dari14 orang
5 Angkutan pcnumpang lain atau truk 84=85 dBAringan
Semua bising yang ditimbulkan oleh alat atau mesin atau sarana transportasi di
atas berpotensil menimbulkan dampak pada pendengaran pekerja atau operator atau
pengemudi mau pun masyarakat sccara umum. Kenaikan ambang dengar yang menetap
pada pekerja sering terjadi bila bekerja dalam bising dengan rentang waktu
antua6-15 tahun setelah melalui peningkatan ambang dengar sementara 8'e.
Menurut Iskandar 7 cacat pendengaran akibat kerja ialah suatu ketulian yang
menetap pada pekerja akibat terpapar bising yang melebihi nilai ambang batas kebisingan,
dalam waktu lama dan berjalan terus menerus. Bertagai tingkatan kecacatan yang
mungkin timbul akibat paparail bising dapat mulai dari
1. Gangguan pandengaran ringan, ambang dengar 20-40 dB,
2. Gangguan pendengaran sedang, ambang dengar 41-55 dB,
3. Gangguan pendengaran berat, anrbang dengar 56-7A dB.,
4. Gangguan pendengaran $angat berat ambang dengar 7l-90 dB dan,
5. Gangguan pendengaran total dengan arnbang deagar l€bih dari 90 dB.
38
Beberapa istilah lain yang digunakan: tuli akibat kerja, cacat pendengaran akibat
kerja, tndustrial noise induced deafuess atau stimulation deafuess atau boilermakers
deafuess atau noise induced hearing loss (NIHL).
Penampilan klinis ganEguan pendengaran ekibat bising
Penderita TAB biasanya datang dengan gangguan pendengaran yang berjalan
cukup lama dan perlahanJahan. Keluhan yang sering disampaikan adalah kesulitan dalam
menangkap percakapan terutama dalam suasana ramai, karena nya kelainan ini sering
disebut cocfuail party deafuess. Oleh karena pcnuunan ambang dengar pada frekuensi
tinggi, penderita mandapat kesulitan untuk menangkap bunyr konsonaa dan lebih mudah
mendengar butyr vokal. Pada penderita TAB sering disertai tinitus nada tinggi yang
hilang timbul, bila terjadi paparan bising ulang tinitus akan menetap. Tinitus menjadi lebih
mengganggg pada saat $uasana sunyi atau pada saat penderita akan tidur, sebagran
penderita mengeluh sukar tidur atau sulit berkonsentrasi. Sering tinitus merupakan
keluhan yang paling menonjol pada pendrritu 2'8rr'e21. Penelitian yang dilakukan oleh
Penner (1990), mendapatkan sekitar 42Yskasus TAB disertai oleh gejalatinitus. Coles
mendapatkan faktor risiko tinitus sebesar 1,7 pada pekerja yang terpapar bising, faktor
risiko akan meningkat sebesar 2,0 padapekerja berusia 40 tahun lebih 33.
Diagnosis
TAB merupakan suatu penyakit atau gangguan pendengaran yang spesifik
disebabkan papamn bising berulang dengan waktu yang cukup lama, ditandai dengan
gejala dan penemuan obyektif tertentu. Beberapa penyakit atau kelainan yang
39
mefnberikan gambaran mirip dengan TAB adalah labirintitis, ototoksik, infeksi virus,
trauma akustik, cidera kepal4 tuli herediter, presbikusis, dan neuroma akustik z8'zr'22.
Diagnosis TAB dibuat berdasarkan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan audiologik dan laboratorik.
Anamnesis harus dilakukan secerrnat mungkin, riwayat paparan bising termasuk
intensitas bising, lama paparan dalam sehari dan lama paparan dalam satu minggu serta
lama kerja dalam lingkungan bising tersebut, harus diperhatikan dengan baik. Perlu juga
diperhatikan mengenai riwayat ketulian dalam keluarg4 penggunaan zat atau obat yang
bersifat ototoksik serta trauma kepala harus selalu ditanyakan.
Pemeriksaan fisik sering kali tidak menunjukkan kelainan yang berarti, kecuali
pada penderita gangguan pendengaran yang berkaitan dengan penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus.
Pemeriksaan otoskopik telinga biasanya tidak menunjukkan kelainan. Pada uji
Weber menunjukkan lateralisasi ke telinga yang lebih baik sedangkan uji Schwabah
memberi hasil memendek.
Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan takik pada frelarensi 4000 t{2.
Bila penderita TAB masih terus menerus terpapar oleh bising akan terjadi penurunan
sensitifitas telinga pada frekuensi 1-4 kFIz. Gambaran audiogram menunjukkan penurunan
yang jelas dimulai pada frekuensi I kflz atau 2 kIIz dengan titik terendah pada frekuensi
4 t&Iz, sering diikuti reaksi pemulihan pada frekuensi I kIIz. Secara Hasik TAB akan
memberikan grafik 'V-shaped signature', atatJ'acoustic notch' atav 'C dip ' pada 4l<TIz
2'E'e lgambar 3). Kelainan ini pada umumnya mengenai kedua telinga dengan gambaran
audiogram yang hampir serupa, tetapi pada beberapa keadaan seperti posisi kerja yang
40
menetap dengan satu telinga yarLg terus menerus menerima paparar' dapat ditemui
perbedaan derajat gangguan pendengaran yang cukup besar arfiLratelinga kiri dan kanan.
Penelitian yang dilakukan oleh Marvel pada 49 operator traktor pertanian
mendapatkan hasil gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dengan telinga kiri lebih
buruk dibanding telinga kanan 34. Penelitian lain yang dilakukan Pidlia et al 35 pada
beberapa pekerja industri ditemukan gambaran gangguan pendengaran frekuensi tinsgr
dengan beberapa kasus menunjukkan audiogram yang asimetri arrtara telinga kanan dan
kiri.
Komisi Konservasi Pendengaran dan Bising dan The Americsn College of
Occupational Medicine (ACOM) membuat definisi TAB sebagai ganggoan pendengaran
yang timbul secara perlahan akibat paparan bising yang berlangsung lama (beberapa
tahun) secaf,a terus menerus atau pun terpufus, dengan gambaran karakteristik 36 :
l. Tuli sarafkoklea
2. Sebagian besar kazus bilateral dengan gambaran audiogram yang hampir serupa,
3. Hampir sebagian besar tidak menunjukkan gangguan pendengaran yang berat ( pada
frekuensi rendah sekitar 40 dB dan pada frekuensi tinggi 75 dB).
4. Bila paparan bistng hilang maka progresifitas kelainan terhenti pula.
5. Riwayat paparan sebelumnya tidak menyebabkan telinga menjadi lebih sensitif
terhadap papar an yang didapat kernudian.
6. Kerusakan awal terjadi pada frekuensi 3000,4000 dan 6000 FIz dengan takik terbesar
pada frekuensi 4000 tlz.
7. Gangguan pendengaran maksimal timbul setelah paparan berlangsung sekitar 10-15
tahun, setelah itu gambaran audiogram relatif menetap.
4I
8, Kerusakan akibat paparan bising yang terus menerus lebih berat dibanding kerusakan
akibat paparan bising yang terputus.
Frekuenel fizl5t,0 2000' '4000 Frekuensi lHzl
500 2000. '4000
Tellnga Hri
0102A3040Ear860670E80990fl}0110
0t0203040950s80 '6
70E8{' E
90t00110
I
Telinga kanan
Gambar 4. Audiogram TAB menunjukkan takik pada 4liillz,1 'C dip'1(dikutip dari Albefti e)
Pemeriksaan obyektifyang dapat dilakukan adalah audiometri impedans danbrain
evolced respons audiometry @era), untuk menilai keadaan telinga tengah dan
membedakan dengan tuli saraf lain yang letaknya retrokoHearT'36 . Polish EPIEST system
merupakan teknik pemeriksaan auditory brainstem responses yang kadang digunakan
untuk mengetahui frekuensi spesifik reseptor koHea yang terdepresi. Penelitian dan
kemajuan bidang teknologi kedokteran membawa dampak yang memudahkan para klinisi
untuk menegakkan diagnosis TAB. Dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan
teknik pemeriksaan DPOAE ( distortion pro&tct otoacoustic emissions) yang dapat
dengan jelas mengetahui informasi kelainan fungsi sel rambut luar serta reseptor koHea
secara obyektif 37.
42
?d* keadaan khusus untuk menyingkirkan kecurigaan tuli akibat tumor sudut
serebelopontin, diperlukan pemeriksaan radiologik seperti foto kepala atau mastoid dalam
posisi tertentu sefta ct scankepala atau mastoid.
Menurut Iskandar tt dalam menentukan gangguan pendengaran akibat bising pada
pekerja perlu diperiksa:
l. Keadaan sebelum bekerja meliputi umur, riwayat penyakit telinga yang pernah
diderita, pemeriksaan THT dan pemeriksaan audiometri,
2. Ambang bising di tempat kerja tidak boleh melebihi 85 dB, adanya progrrlm
penanggulangan sumber bising di tempat kerja.
3. Evaluasi secara berkala minimal tiap 6 bulan pada pekerja dengan risiko paparan
bising meliputi, lama kerja atau hari, penggunaan alat pelindung telinga dan
pemeriksaan pendengaran.
4. Pemeriksaan pendengaran yang meliputi uji berbisik, audiogram nada murni serta
pemeriksaan lain sesuai indikasi. Pemeriksaan dilakukan setelah penderita
diistirahatkan minimal I 6 jam.
Beberapa pakw dalam bidang neurotologi yang mendalami masalah bising dan
dampaknya pada pekerja berusaha membuat baku derajat kelainan TAB. Barrenas dan
Hellstrom 3e menganjurkan pengguruuln Noisescan data base, dengan penderajatan
sebagai berikut :
Derajat I : NAD kedua telinga < 20 dB pada seluruh frekuensi
DerajatZ : NAD kedua telinga pada frekuensi bicara (0.5-l-Z H{z) < 20 dB,
pada 3 H{z < 40 dB dan 4 kIIz < 65 dB.
Derajat 3 : Rerata ambang dangar frekuensi bicara < 20 dB, frekuensi lain
lebih buruk dan derajat 2.
43
Derajat 4 : Rerata ambang dengar frekuensi bicara > 20 dB.
Kriteria lain yang diusulkan oleh Suter (1978) adalah dipertimbangkan sebagai
suatu keadaan yang abnormal bila rerata NAD >20 dBze.
Diagnosis diferensial
Berbagai kelainan yang menirnbulkan tuli saraf jenis koklea dapat menjadi
diagnosis diferensial TAB seperti tuli ototoksik, presbikusis, tuli saraf herediter, tuli
karena kelainan metabolik, otosklerosis kokle4 tuli saraf mendadak, tuli akibat kelainan
atau lesi di susunan saraf pusat, sindrom Meniere dan tuli anorganik ('malingering),
infeksi virus, labirintitis, trauma akustik dan neuroma akustik 7'32'35'37.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan medikamentosa atau pun tindakan pembedahan untuk
memperbaiki atau mengobati TAB. Pada kelainan tahap awal dapat dilal$kan tindakan
untuk an pekerja terhadap paparan bising dengan memberikan alat pelindung
telinga yang baik dan tepat. Bila mungkin dapat dilakukan rotasi kerja yaitu dengan
memindalrkan pekerja ketempat yang tidak terpapax bising Dalam beberapa pustaka
menganjurkan terapi oksigen hiperbarik atau penggunaan karbogen pada tahap awal,
terutama pada kelainan mendadak 8'xro. Pada keadaan yang sudah lanjut dibutuhkan alat
bantu dengar.
Meskipun tidak dapat diobati TAB dapat dicegah dengan mengurangi papararr
terhadap bising Beberapa pendekatan yang dapat dilalarkan untuk tindakan pencegahan
seperti mengurangi produksi bising dari sumbernya, memberikan alat pelindung telinga
44
pada pekerjaya$gmempunyai risiko terhadap paparan bising dan membatasi diri terhadap
paparan bising yang tidak perlu. Secara nyata tindakan tersebut berupa penggsnaan
sumbat telinga yang baik secara benar, meredam sumber bising dengan menggunakan
ruang tersendiri baik bagi sumber bising seperti mesin atau pun bagi pek€rja, mengurangi
getaran sumber bising dengan menggunakan suspensi peredam bising, memasang filter
yang sesuai pada sistem gas buang kendaraan bermotor, mengencangkan sekrup atau baut
yang kendor dan melakukan pemeriksaan dan perbaikan secara rutin pada mesin
penggerak kendaraan bermotor.
45
BAB In
METODOLOGI PENELITIAN
I.KERANGKA KONSEP
Lamapapar>6tahun
TAB (+)
Lamapapar<6tahun
I nfek si telin g a t en g ah.
Diabaes melins
Pemakaion obat/zat
ototoksih
Hipertensi
Tuli hereditq
Lamaplprr)6tahun
TAB G)
Lamapapar<6tahun
: """"""""" - - ' - - -" ' i
i keterangan : fafuor perancu didalam kotak dengan garis terputus(italics) tidak di analisai
Intensitas
Lama pnpar
Usia
46
2. BATASAN OPERASIONAL
Z.l.Tuli akibat bising (T A B).
Delinisi : Gangguan pendengaran jenis sensorineural akibat kelainan pada kokleq
terjadi akibat paparan bising dengan intensitas di atas NAB yang diperkenankan dan
berlangsung lama. Pada pemeriksaan ditemukan penurunan ambang dengar pada
frekuensi tinggi, kebanyakan kasus menunjukkan takik akustik pada 40001422'7'8p.
AIat ukur : Anamnesis, pemeriksaan fisik, otoskopik, garpu tala dan audiometer
klinik merklnteraccoustic AC 4L,bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan BEM.
Cara uhur : Pada anamnesis jelas didapatkan riwayat paparan bising dengan
intensitas yang cukup tinggi dan berlangsung lama, pada tahap awal tidak terdapat
gangguan pendengaran yang jelas. Pemeriksaan otoskopi dengan menggunakan otoskop
merk Keeler tidak menunjukkan kelainan . Uji penala menunjukkan terdapat tuli saraf
bilateral, jarang yang unilateral. Pemeriksaan audiometri nada murni menggunakan
frekuensi 250 - 8000 Hz dan intensitas -10 s/d 110 dB, akan didapatkan penurunan fungsi
pendengaran terutama pada nada tinggi. Takik akustik pada frekuensi 4000 Hz
merupakan gambaran khas yang sering didapatkan
Hasil ukur .'Hasil pengukuran akan didapatkan gambaran audiogram dengan berbagai
macam konfigurasi, pada percontoh dengan TAB akan didapatkan garrbaran takik
akustik pada frekuensi 2000 - 6000 Hz dengan takik terbesar pada frekuensi 4000 Hz.
Rerata nilai ambang dengar (NAD) didapat dengan menjumlalrkan ambang dengar pada
frekuensi 500,100 dan 2000 Hz kemudian dibagi tiga
47
Kriteria penilaian gangguan pendengaran
ISO: 0 -25 dB
26-40 dB
41- 60 dB
61- 90 dB
>90 dB
: Pendengarannorrnal
: Gangguan pendengaran ringan
: Ganguan pendengaran sedang
: Gangguan pendengaran berat
: Gangguan pendengaran sangat berat
Pada penelitian ini dengan maksud mencari faktor risiko berdasarkan lama paparan dan
dengan memperhatikan kriteria diagnosis yang sudah dikemukakan oleh para ahli, maka
peneliti membagi TAB menjadi 2 yaifra: l. TAB tahap awal bila rerata ambang dengar
frekuensi 0.25-0.5-l-2kJlz dibawah 25 dB, dengan frekuensi 4 ktlz lebih dari 25 dB. 2.
TAB tahap lanjut bila ambang dengar frekuensi 4W{z lebih dari 40 dB dengan atau tanpa
perluasan takik pada frekuensi lain.
Hasil pengukuran dinyatakan dalam : I : pendengaran normal, 2 A= TAB tahap awal,
28: TAB tahap lanjut, 3 : tuli saraf ringa4 4: tuli saraf sedang, 5 : fiJi saraf berat, 6
: tulicampur,7:tuhkonduktif ringan danS=tulikonduktif sedang,9:presbikusis
2.2. Intensitas bising
Deftnisi .. Kecepatan rata - rata aliran energi bising melaui area tertentu pada suatu
bidang bunyi ts'16. Kebisingan alat angkutan Bajaj didefinisikan sebagai semua bunyi yartg
tidak dikehendaki yang bersumber dari mesin, sistem gas buang, kabin penumpang serta
interferensi antaf,a roda dan badan jalan. Satuan intensitas dinyatakan dalam desibel skala
A (dBA).
Alot ukur : Sound level meter, tripod dan status penelitian.
48
Cara ukur : Pengukuran intensitas dilakukan pada saat kendaraan dijalankan pada
kecepatan sehari-hari dengan menggunakan sound level meter pada skala A respon
lambat. Kendaraan atau alat angkutan umum penghasil bising yang yang dicurigai
menimbulkan gangguan pendengaran adalah Bajaj dengan kapasitas silinder 150 cc, 4
tingkat kecepatan.
Hasil ukur .' Besar intensitas bising dinyatakan dalam 8 : 1 : 85 - 90 dBA 2 : 9l -95
dBA 3 = 96 -100 dBA 4 = l0l -105 dBAb 5 = 106-l l0 dBA dan 6 - > 110 dBA
2,3. Lrma papar
Definisi .' Satuan wakfu yang menunjukkkan jurnlah lama terpapar karena
pekerjaannya sebagai pengernudi Bajaj, sering dinyatakan dalam jam lhafl ,jam / rninggu
atau dalam tahun. Pada penelitian ini lama papar dibagi atas :
1. Lama papr harian yang menyatakan lama paparan bising dalam satu hari kerja dan
dihitung dalam jam I hari dan 2, Lama paparan kerja yang menyatakan lama paparan
bising dalam pekerjaanaya sebagai penegemudi Bajaj dihitung dalam jumlah tahun kerja.
Alat uhur .'Anamnesis dan status penelitian
Cara ukur .' lama papar harian : junrlah ja:n kerja perhari dikurangi dengan lama
waktu istirahat, lama paparan kerja = 1997- tahun mulai bekerja sebagai pengemudi
Bajaj
Hosil uknr .' lamawaktupapar dinyatakan dalam: I : < 6 iarn,2: 6 - 8 jam, 3 : > 8
- 10 jam dan 4 = > 10 janq lama paparan kerja dinyatakan dalam l:2-4 talun, 2= > 4'6
tahun, 3: > 6-8 tahun, {-;.8-10 tahun dan 5: > l0 tahun
49
2.4. Usia.
DeJinisi : Adalah umur biologis dari percontoh
Alat ukur .' Anamnesis dan status penelitian
Cara akur .. Usia dihitung dengan mengurangi tahun saat diperiksa dengan tahun
kelahiran.
Hasil ukur .' Usia dinyatakan dalam : 1: < 24 talwn,2: 24 -30 tahu4 3 : 3l - 37
tahuq 4 = 38 - 44 tahun dan 4: > 44 tahun
50
3. DISAIN I}AII CARA PEI\IELITIAN
3.1. Bentuk penelitian
Penelitian ini berbentuk kasus kelola yaitu dengan membandingkan kelompok
pengemudi Bajaj yang menderita tuli akibat bising (TAB), dengan kelompok pengemudi
Bajaj yang tidak menderita tuli akibat bising CIVIAB)
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Sub.Bag.Neurotologr dan Sub.Bag THT Sosial; Bag. THT
FKUI - RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta / Pusat Kesehatan Telinga dan
Gangguan Komunikasi. Penelitian dilakukan mulai Juni 1997 s/d September 1997 atau
jumlah percontoh tercapu.
3.3. Populasi dan percontoh
Populasi penelitian adalah semua pengemudi Bajaj di Jakarta, sedangkan percontoh
adalah anggotapopulasi penelitian yang dihubungi oleh peneliti secara acak dan bersedia
ikut dalam penelitian dengan mengisi llernbar persetujuan (Informed Consent). .
3.4. Alat-alat penetitian
- Status penelitian
- Alat diagnostik: seperti lampu kepala, serumen hak, otoskop, audiometer nada
murni merklnteraccoustic AC 40, sound level meter merkRealistic cat. No 33-
2050 dengan jangkauan 50 dB s/d126 dB, sfigmomanometer merk Focal dan
Glukostik.
5l
3.5. Jumlah percontoh
Jundah percontoh mengikuti rumus :
'r : '2 : (zr-on'{6: rg ̂ [m)
( pt- pz ) '
n : junrlatr percontoh
ZralT: nilai Z (bakr distribusi normal ) pada nilai cr tertentu -+ cr:0,05
rnaka rnlatZ: 1,96.
Zr 9 : nilai Z (bafudistribusi normal ) pada nilai P tertentu -+ F : 0,2 maka
nrluz:0-842.
pr : proporsi pengemudi Bajaj yang menderita TAB dengan lama kerja > 6
tahun (TAB)
pz : proporsi pengemudi Bajaj yang tidak menderita TAB dengan lama
kerja > 6 tahun (NTAB) Menurut penelitian Hendarmina:0,5
Qz :(1 -Pz):1-0,5
= 0r5
Rasio Odd :5
Pr : rasioOdd x Pz: 5 x0,5
(rasio Odd) P2+ q, (5) 0,5 + 0,5
: 0183
gr : (1-Pr)=l-0,83
:0117
52
,n : { (1,9612x0,5x0,5 + 0,842{(0,83x0, 17) +(0,5x0,5))}2
( 0,83 - 0,5) '
= 33 percontoh
3.6.Kriteria penerimaan
Kriteria penerimaan baik pada percontoh kasus dan kelola adalah semua pengemudi
Bajaj di Jakarta dan bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menanda tangani
formulir informed consent.
Pada percontoh kazus ( sebanyak 33 percontoh ) adalah pengemudi Bajaj dengan
TAB.
Percontoh kelola ( sebanyak 33 percontoh ) pengemudi Bajaj yang tidak menderita
TAB.
3.7.Kriteria penolakan
Kriteria penolakan baik pada percontoh kasus maupun kelola adalah :
l. Tidak termasuk dalam kriteria penerimaan
2. Menderita kelainan telinga tengah
3. Riwayat menggunakan obat-obatan atau zat yang bersifat ototoksik dalam waktu
lama danberurutan.
4. Riwayat gangguan pendengaran pada usia muda dalam keluarga
5. Menderita penyakit diabetes melitus dan hipertensi.
6. Pernah dirawat di rumah sakit karena cidera kepala.
53
3.8. Pengumpulan data
3.8.l.Persiapan
3.8.1.1 Tenaga
Perneriksaan Hinis THT, penala dan pemeriksaan audiometri dilakukan oleh peneliti
dibantu oleh seorang perawat di Sub.Bagian Neurootologt Bag. TI{T RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta,
3.8.1.2. Bahan
Sebelum penelitian ini dilakukan dilakukan penelusuran kepustakaan, persiapan
administrasi berkaitan dengan surat menyurat dengan baglan atau organisasi terkait
dengan penelitian ini dan pembuatan status penelitian,
3.8.2. Proses pengumprlan data
3.8.2.1.I}ata
Data diperoleh dari :
l. Anamnesis yang dicatat oleh peneliti dalam status penelitian dengan pertanyaan yang
sudah dibuat secara baku.
2. Pemeriksaan lanjut akan dilakukan pada percontoh yang terpilih meliputi pemeriksaan
fisik, pemeriksaan otoskopi menggunakan otoskop met*" Keeler yang dilakukan oleh
peneliti sendiri dan hasilnya akan dikonfirmasi oleh seorang dokter ahti THT.
3. S€telah perneriksaan di atas selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan penala dengan
frekuensi 512, 1CI24 dan 2048 Hz dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri nada
murni dengan menggunakan audiometer Hinik merk Interaccoustic AC 40 dengan
jangkauan frekuensi dali A)25 - 8 kt{z dan intensitas dari -10 Vd 120 dB,
54
4. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan sfigmomanometer merk
Facol dan perneriksaan reduksi urin menggunakan reagen merkGlalastik.
3.8.3, Proses penjaga*n mutu data
Pros€s penjagaan mutu dara dilakukan dengan :
l Pemeriksaar audiometri dilakukan pada pagi hari.
2. DaIa yang diperoleh dieafat dalam status khusus penelitian setelah diyakini benar dan
sesuai interpretasi yang dimaksud tujuan penelitian.
3. Bila tedapat keraguan dalarn anarnnesis dan hasil pemeriksaan akan dilakukan
reanamnesis serta pemeriksaan ulang daa bila tidak berhasil, maka data percontoh
akan dikeluarkan dari peneJitian.
4. Data yang didapat dan diyakini benar akan segera dimasukkan ke dalam komputer.
3.8.4. Hsmbatan
Kendala yang mungkin terjadi adalah tidak bersedianya percontoh ikut dalam
peoelitian disebabkan waktu perneriksaan bersamaan dengan jarn kerja percontoh. Hal ini
akan dic.oba di atasi dengan melakukan pendekatan dao memberikan penjelasan mengenai
penelitian ini dilalukan serta memberikan uang pengganti kerugian waktu.
3.9. RancEngen pengolahan dan analisis data
Langkah yang akan dilakukan dalam pengolahan data yang diperoleh adalah :
l. Data mengenai kondisi pendengaran percontoh akan langsung diperoleh dat',
pemeriksaan yang dilalnrkan, melalui peralatan penunjang yang akan digunakan
55
dengan metoda pemeriksaan sebagai mana yang telah diuraikan dan akan dicatat
dalam status penelitian mau pun status khusus Sub.Bag Neurotologi.
2. Dari status penelitian, data dimasukkan ke dalan komputer dengan menggunakan
program Database, dilaktrkan pembersihan data sebelum dilakukan analisis.
Pengolahan data akan dilalilkan secara statistik. Analisis dimulai dengan univariat
yaitu dengan statistik deskriptifberupa nilai rerata, simpang baku, jangkauan dan lain-
lain. Selanjutnya untuk menjawab hipotesis dilakukan uji X2 ( Chi square test).
Kemudian dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, sehingga dapat
dihitung rasio Odd dan interval kepercayaan
3.10. Penyusunrn dan penyajian'laporan penelitian
Laporan hasil penelitian akan dituangkan ke dalam bentuk tulisan dan disajikan pada
suatu sidang ifuniah.
4. Etika penelitian
Sebelum pelaksanaan penelitian, lebih dulu akan dimintakan persetujuan Panitia
Tetap Etik Penelitian Kedokteran I Kesehatarq Falarltas Kedokteran Universitas
Indonesia / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,
5. Informcd conscnt
Walaupun penelitian ini tidak menyebabkan akibat samping pada percontolg
penjelasan yang baik dan detil serta pernyataan persetujuan bersedia ikut dalam penelitian
tetap dibuat sebagai kelengkapan dan persyaratan penelitian kedokteran / kesehatan.
56
57
BAB W
HASIL PENtrLITIAN
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Jwu 1997 s/d September 1997 di Sub,Bag
Neurotologi, Bagian THT FKUI - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,
Penelitian dilakukan pada 32 pengemudi Bajaj yang telah dipilih secara acak dan
memenuhi kriteria sebagai percontoh kasus serta pada 32 pengemudi Bajaj lain yang
dipilih dengan cara diatas dan memenuhi kriteria sebagai percontoh kelola.
l. Jumlah percontoh
Tabel 3. Proporsi percontoh penelitian
Percontoh Jumlah Persentase (7o)Kasus 32Kelola 32Total 100
2. Suku
Tabel 4. Distribusi percontoh penelitian berdasarkan suku
Suku Jumlah Perscntase (7o)
5050
JawaSundaBetawi
Makassar
431371
67.220.310.91.6
Total 100
58
3. Tempat tinggal
Gbr. 5. Diagram distribusi percontoh penelitianberdasarkan suku
Tabel 5. Distribusi percontoh penelitian berdasarkrn tempat tinggal
No. Wilayah Jumlah Persentase (7o)(kodewilayah) dOmiSili
l .z.J,
4.5.
Jakarta pusatJakwta selatanJakarta baratJakarta timurJakartautara
t24426l8
18.86.36.340.628.1
Total 100.00
59
4. Tinitus
Gbr. 6. Diagram distribusi percontoh penelitianberdasarkan tempat tinggal
Tabel 6. Ilistribusi tinitus pada percontoh penelitian
Tinitus Non tinitusJumlah o/o Jumlah Vo Total o/"
KasusKelola
42.21.5
7.848.5
27I
531
32 5032 50
Total 28 43.7 36 56.3 10064
Gbr. 7. Diagr:am distribusi tinitus padapercontoh kasus & kelola
56.30%
60
43-70o/o
Itrri'ft* IlEll,ton tinitus I
Gbr.8. Diagram distribusi tinituspadfl percontoh penelitian
Pada percontoh kasus sebanyak 27 (42.2%) percontoh disertai tinitus dan hanya 5
percontoh (7,8yo) tidak terdapat tinitus, sedangkan pada percontoh kelola hanya | (1.5%)
percontoh terdapat tinitus dan yang lainnya sebanyak 3l (48.5%) tidak terdapat tinitus
(tabel 6).
Dari data diatas terlihat jumlah percontoh yang terdapat tinitus dari seluruh
populasi penelitian sebesar 28 (43.7%), dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa
kekerapan tinitus pada populasi yang terpapar bising sebesar 43.7o/o.
Tabel 7. Distribusi percontoh penelitian dengan tinitusberdasarkrn lama paparan bising
Tinitus Non tinitusLama Dapar Jumlah Jumlah o/o
> 10 thn< l0thn
171l
26,4t7.3
12.543.8
38.961.1
2539
I28
Total 43.7 36 56.3 100
61
43.80%
Leblh darl10 thn
Kurang Idd 10frn
Gbr.9. Distribusi percontoh penelitian dengnn tinitusberdasarkan lam* paparan bising
Pada percontoh penelitian dengan lama paparan lebih dari 10 tahun sebanyak 17
(26,4%) mengeluh tinitus dan sebanyak 8 (12.5%, tidak mengeluh tinitus, sedangkan
pada percontoh dengan lama papar kurang dari atau sampai dengan l0 tahun, sebanyak
ll (17.3%) terdapat tinitus dan28 (43.8%) bebas dari tinitus (tabel 7).
Dari data diatas disimpulkan bahwa kekerapan tinitus pada populasi yang terpapar
bising, sebanyak 26.4% berasal dari percontoh yang te{papar bising lebih dari.10 tahun
dar, 17 .3Ya berasal dari percontoh yang terpapar bising kurang dari atau sampai dengan
l0 tahun.
Tabel 8. Distribusi percontoh kasus dengen tinitue berdasarkan
lama paparan bising
Tinitus Non tinitusLama papar Jumlah Vo Jumlah Vo Total Vo
>10 thn< l0 thn
t7 53.2 2t0 31.3 3
6.29.3
t9 59.413 44.6
Total 27 84.5 15.5 32 100
5:t20%
1(F20 tahur
62
< s/d 20 tahun
Gbr. 10. Distribusi percontoh kasus dengan tinifusdan non tinitus berdasarkan lama paparan bising
, Evaluasi tinitus pada percontoh kasus dibedakan atas : Percontoh kasus dengan
lama papar lebih dari 10 tahun dan percontoh kazus dengan lama papar lnrrang dari atau
sampai dengan l0 tahun. Pada percontoh kasus dengan lama papar lebih dari 10 tahun
sebanyak 17 (53.2%) percontoh mengeluh tinitus dan2 (6.2%) percontoh tidak mengeluh
tinitus, sedangkan pada percontoh kasus dengan lama papar kurang dari atau sampai
dengan 10 tahun terdapat l0 (31.3%) percontoh mengeluh tinitus dan sisanya 3 (g.3%)
percontoh bebas dari tinitus (tabel 8).
Analisa statistik didapatkan rasio Odd sebesar 2.55, dengan demikian berarti pada
penderita TAB dengan lama paptr lebih dari l0 talun fal<tor risiko untuk
timbulnya tinitus sebesar 2.5 kali dibanding kelompok penderita TAB dengan lama papar
kurang dan xu sanrpai dengan l0 tahun.
63
5. Tahun pembuatan Bajrj
Dibawah ini ditampilkan tabel tahun pembuatan Bajaj dari percontoh kasus dan
kelola.
Tabel 9. Ilistribusi Bajaj percontoh penelitian berdasarknn tahun pembuatan
Tahun pembuatan Jumlah Persentase ( 7o)r9751976r977t978l98l
28l6l36I
43,825.020.39.41.6
Total 100
Gbr. 11. Distribusi Bajaj percontoh penelitianberdssarkan trhun pembuatan
Sebanyak 28 (43.8%) Bajaj dibuat pada tahun 1975, 16 (25.U/o) Bajaj buatan
tahun 1976,13 Q0.3%) Bajaj dibuat tahun 1977,6 (9.4%) Bajaj dibuat tahun 1978 dan
sisanya I Bajaj buatan tatrun 1981 (tabel 9).
6. Pemcriksaan audiornetri nada murni
Pada saat dilakukan evaluasi terhadap hasil audiogram dilakukan pula koreksi
faktor usia terhadap percontoh yang berusia lebih dari 40 tahrn. Baik percontoh kazus
maupun kelola diperiksa arnbang dengar padatiap telinga terhadap 6 frekuensi (250II2,
64
64
500 H2,.1000 I{2, 2000 H2,4000 dan 8000 I{z), Penentuan arrbang dengar percontoh
dinilai dangan menghitung rerata 3 frekuensi nada murni 500-1000-2000 H4 evaluasi
dilakukan juga pada fekuensi 4000-8000 Hz.
Tabel 10. Distribusi percontoh penelitian berdasarharr ienis lclainan audogram
No.(KodeDA
Audiogram Jumlah Persentase (%)
Iz.
J
456
ADS normal (kelola)TAB ADS tahap awalTAB ADS tahap lanjutTAB AD tahap awal AS NormalTAB AD thp. lanjut, AS thp.awalTAB AS tahap awal, AD normal
3214122
5021.918.83.14.71.6
3I
100
EADSnornal
EITABADSawal
@TABADSlarjut
tlTABdlawalASmrmal
ITABAD lanjut AS awal
ETABAS awalAI) nornal
Gbr. 12. Distribusi percontoh penelitian berdasarkanjenis kelainan audiogram
Pada percontoh penelitian didapatkan sebanyak 26 (40.7%) percontoh inenderita
TAB simetris pada kedua telinga ( TAB ADS talnp awal & tahap lanjut ), sebanyak 3
(4.7%) percontoh menderita TAB pada kedua telinga dalam derajat berbeda dan sisanya
sebanyak 3 (4.7%) percontoh menderita TAB pada satu sisi telinga dongan telinga sisi
lain normal (tabel l0).
65
0
gtoa20
Pso
3'$
E 5{rc
G60
70
0
610!E.
3'oH30
I totso&ro
700 0.250.6 | 2 4 I
Frrloed(ksz)
Gbr. 13 a. Rerata ambang dongartelinga kanan percontoh kasus
0 0.250.5 I 2 4 IFteberdGtlz)
Gbr, 13 b. Rerata ambang dengartelinga kiri percontoh kasus
Audiogram yang dibuat dari rerata ambang dengar tiap frekuensi percontoh kasus
menunjukkan terdapat penekanan terutama pada Aekuensi rendah mulai 0.25-l k}rz,
frekuensi 2 Wiz dalam batas normal, takik jelas terlihat pada frekuensi 4 kllz dengan
telinga kanan lebih tertekan dibanding telinga kiri (gambar 13 a & b),
Evaluasi lanjut hasil audiogram terhadap lama paparan terhadap bising tampak
seperti terlihat pada tabel dan gambar berikut:
Tabel 1I. Distribusi TAB ADS tahap awol & lanjut berdasarkrn
lsmaprperrn
TAB ADS laniut TAB ADS awalLama Jumlah o/o Jumlah o/o Totel
DADATAn
o/o
> 10 thn< 10 thn
42,43,8
26.926.9
69.330.7
l l1
18I
77
Total 12 46.2 l4 53,8 26 100
6
trTotal kasusTAE AD$ lanfd
EITAB AIIS awal
> 10 tahun < sld l0 tahun
Gbr.14. Distribusi percontoh kazus dengan TABADS tahap lanjut dan awol berdasarkfln lama
paparan bising
Kelompok dengan lama paparan lebih dari 10 tahun sebanyak l l (42 4%)
percontoh menderita TAB ADS tahap lanjut dan 7 (26.9%) percontoh mendErita TAB
ADS tahap awal, kelompok lain dengan lama paparan kurang dari atau sampai dengan 10
tahun terdapat I (3.8%) menderita TAB ADS tahap lanjut dan 7 (26.9%) percontoh
menderita TAB ADS tahap awal (tabel 1l). Dari tabel diatas dapat ditarik rasio Odd
sebesar ll,
7. Usia
Tabel 12. Rerata usia percontoh kasus dan kelola
Umur Jumlah Rerata Simpanc bakuKelolaKasus
3232
35.0039.56
7.256.59
>10 tahun
67
Usia ( tahnn )
Gbr. 15. Rerata umur percontoh kasus& kelola
Dari tabel 12 tampak rcrat^ usia percontoh kasus lebih tua dibandingkan dengan
rerata usia percontoh kelola. Pebedaan rerata usia antara kelompok kazus dan kelola
sebesar - 4.56, setelah dilakukan uji t didapat nilai t = -2.63 dan nilai p: 0.01 ( CF -
8.02,-1.09). Dengan demikian terdapat perbedaan bermakna antar rerata usia, selanjutnya
dengan melakukan uji regresi logistik didapat didapat rasio Odd sebesar 1.10.
8. Intensitrs bising Bajaj
Tabel 13. Rerata intensitas bising Bajaj percontoh kasus dan kelola
Jumlah Rerata (dB) Simpang b*kuKasusKelola
32 rct.4232 98.50
2.603.17
68
Intcnsitos (dB)
Gbr.16. Rerata intensitas bising Bajajpercontoh kasus & kelola
Dari tabel 13 terlihat rcrata intensitas bising Bajaj percontoh kasus lebih besar
dibandingkan dengan intensitas bising Bajaj percontoh kelola, perbedaan rerata intensitas
sebesar -2.94. Hasi lu j i td idapatkan ni la i t : -4.05 denganni la ip<0.05 (CI:-4.39,-
1.49 ) Dari perhitungan diatas disimpulkan terdapat perbedaan bermakna afrara
intensitas bising Bajaj yang dikendarai oleh percontoh kasus dertgan percontoh kelola.
9. Lama peparan kerja
Lama paparan kerja adalah lama kerja percontoh sebagai pengemudi Bajaj
Tabel 14. Rerata lama kerja percontoh kelola dan kasus
Jumlah Rerata (thn) Simpans bakuKelolaKasus
32 8.0032 t2.37
4.764.86
69
L*m kerla {t$n}
Gbr.17. Rerata lama paparan kerjapercontoh kasus & kelola
Dari data diatas terlihat paparan kerja percontoh kasus lebih lama dibandingkan
dengan percontoh kelolq perbedaan antar rerata sebesar = - 4.37. Hasil uji t didapat nilai
t sebesar : - 3.86 dengan nilai p < 0.05 ( CI : -6.64,-2.11). Dengan demikian terdapat
perbedaan bermakna lama paparan kerja antara kasus dan percontoh kelola. Hasil analisis
multivariat dengan menggunakan regresi logistik didapat rasio Odd: 1.40.
I (t -sp€slfisitasl
Cfrr, lS. Recefu er Operaor Cunelama paparan keria (thn)
ot!E
ogoo
R/ : /
/,/
/
7A
fengan membuat daftar sensitifitas dan spesifisitas serta nilai ( 1- spesifisitas )
dimulai dengan lama papar 7 - 14 tahun, maka dapat dibuat gais Receiver Operator
Curve (ROC). Selanjutnya dengan menarik garis antara diagonal dengan titik terjauh pada
$afrkROC serta memperhatikan rasio kennrngkinan tertinggi (19.05), maka dapat a$ of
point pada lama paparan kerja 9 tahun ,
10. Lama papar harian
Lama papar harian merupakan hasil pengurargan jurnlah jam kerja perhari
dikurangi dengan jurnlah jam istirahat.
Tabel 15. Rerate lama paparan bising harirn percontoh kasus dan kelola
Jumlah Rerata Simpang bakuKasusKelola
3232
8.126.34
t.790.63
l-flia prparan harl (lirnl
Gbr.19. Rerata lama papar harianpercontoh kasus & kelola
Dari data diatas terlihat paparan harian percontoh kazus lebih lama dibandingkan
dengan percontoh kelola, perbedaan antar rerata sebesar : -1.78. Hasil uji t didapat nilai
t sebesar: - 5.31 dengan nilai p < 0.05 (CI: -2.45,-1.11). Dengan demikian terdapat
7l
perbedaan bermakna lama paparan kerja antara kasus dan percontoh kelola. Hasil analisis
multivariat dengan menggunakan regresi logistik didapat rasio Odd : 4.47.
(r -speslf,dlssl
Gbr,2O. Receiv er Operator Curvelama papar harian (iam)
Dengan membuat daftar sensitifitas dan spesifisitas serta nilai ( l- spesifisitas )
dimulai pada lama papar 6 jam perhari s/d l0 jam perhari dapat dibuat grafikROC untuk
mencari titik potong ( cut off point ) lama papar perhari yang menimbulkan TAB pada
sebagian besar populasi, Dengan memperhatikan rasio kemungkinan tertinggi, didapat
titik potong yang berterima pada lama papar 8 jam perhari.
.Dt!
otroo
RI
^I
//
/
/
#
72
BAB V
PEMBAHASAN
1. Jumlah percontoh
Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus sebanyak 32 percontoh dan
kelompok kelola sebanyak 32 percontoh dari masing-masing 33 percontoh yang
direncanakan. Serelah dikonsultasikan dan dilakukan evaluasi secara statistik ternyata
jumlah percontoh kasus dan kelola seperti diatas masih berterima untuk dilalaftan uji
hipotesis dan perhitungan statistik.
2. Suku
Berdasarkan suku secara umum pada kelompok kasus dan kelola terlihat suku
Jawa sebesar 43 {67.2%), suku zunda 13 (20.3%), su*u Betawi 7 (10.9%) dan suku
Makasar hanya 1 (1.6%). Secara statistik data ini hanya dapat ditampilkan secara
deskriptif dan tidak dapat mengganrbarkan faktor risiko apapun atau pengaruh
kerentanan apaptJn, karena penelitian ini dilakukan pada ras yang sama dengan derajat
melanisasi kulit dan mata yang sama. Humes (1984) sep€rti dikufip dari.Alberti e
menyimpulkan derajat melanisasi kulit dan mata menggambarkan faktor yang proteksi
terhadap TAB. Pendapat diatas sebelumnya telah diteliti oleh Karsai, Bergman
dan Choo pada tahun 1972 ( dikutip dari Alberti n ) y*g menyimpulkan ras kulit putih
lebih rentan terhadap paparan bising dibandingkan dengan ras kulit berwarna.
Suatu fenomena sosial yang mungkin dapat ditarik dari gambaran deskriptif diatas
adalah keberadaan sektor informal ini banyak diminati oleh sulil yang banyak tinggal di
Iakarta.
73
3.Tcmpat tinggal
Sebanyak 26 (40.6 %) percontoh kasus maupun kelola bertempat tinggal di
wilayah Jakafia timur, sejumlah 18 (28.1 %) bertempat tinggal di wilayah Jakarta utara,
12 (18.8%) bertempat tinggal di wilayah Jakarta pusat, 4 (6,3%) bertempat tinggal di
wilayah Jakarta selatan dan sisa yang lain dengan jumlah dan persentase yang sama
bertempat tinggal di Jakarta barat.
Gambaran deskriptif diatas hanya menjelaskan bahwa jenis pekerjaan ini banyak
diminati oleh pendatang yang berasal dari daerah pantai utara Jawa dan kota satelit
sekitar Jakarta.
4. Tinitus
Kekerapan tinitus pada seluruh populasi penelitian sekitar 43 %. Kekerapan
tinitus yang didapat pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian
yang didapat oleh Sandh (1935) dan Alberti (19S6) n y*g mendapatkan kekerapan tinitus
pada pekerjayaflg terpapar bising sekitar 5A-6Aoh, kekerapan diatas lurang lebih sama
bila dibandingkan dengan penelitian Penner (1990) yang mendapatkan kekerapan tinhrs
pada pekerjaya gterpaparbising sekitar 42% (n:96) t'.
Perbedaan angka kekerapan tinitus penelitian ini dengan angka kekerapan yang
didapat oleh Sandh dan Alberti disebabkan perbedaan jenis bising. Alberti (1978) e pada
penelitian sebelumnya terhadap 2 kelompok percontoh dangan gambaran audiometri yang
serupa mendapatkan kekerapan tinitus sebesar 63-70% pada kelompok percontoh yang
mendapat paparan bising impulsif ( impulse noise ), pada kelompok percontoh yang
74
mendapat bising kontinyu ( continous noise ) kekerapan tinitus yang didapatkan sebesar
47-57yo. Pada penelitian ini bising yang dihasilkan oleh Bajaj adalah jenis bising kontinyu.
Kajian lanjut pada percontoh kasus dengan lama papar sampai dengan l0 tahun
didapatkan kekerapan tinitus sebesar 313a , kekerapan meningkat menjadi 53.2o/o pada
percontoh kasus dengan lama papar lebih dari 10 tahun. Keadaan diatas hampir
mendekati hasil penelitian Mc Shane (1983) dikutip dari Ceranis t' yang mendapatkan
kekerapan tinitus sebesar 34 Yo pada pekerja dengan lama papar sampai dengan 10 tahun,
dan menjadi 50% pada pekerja dengan lama papar l1- 30 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan faktor risiko menderita tinitus sebesar 2.5 kahbila
percontoh kasus masih tetap terpapar bising lebih dari l0 tahun. Peningkatan kekerapan
tinitus sejalan dengan lama paparan kerja disebabkan oleh efek kumulasi dari total
paparan, efek adisional lain dan mungkin pengaruh proses usia.
5. Tahun pembuatan Bajaj
Sebanyak 28 (43.8o/o) Bajaj dibuat pada tahun 1975, 16 (25.V/o) Bajaj buatan
tahun 1976,13 Q0.3%) Bajaj dibuat tahun 1977,6 (9.4%) Bajaj dibuat tahun.1978 dan
sisanya 1 Bajaj buatan tahun 1981.
Sampai saat ini belum ada penelitian khusus pada mobil atau kendaraan angkut
terhadap produksi bisrng berkaitan dengan masa pakainya. Pada umumnya beberapa
penulis menyatakan makin tua usia kendaraan, makin tinggi intensitas bising yang
dihasilkan, bising yang dihasilkan merupakan gabungan dari sistem gas buang, mesin,
sistem transmisi, rem, gesekan ban, ketegangan rantai yang tidak sesuai, sekrup yang
kendor dan muatanyang dibawa 25.
75
G. ambaran deskriptif diatas hanya dapat disimpulkan usia pakai Bajaj berkisar
antara 16 tahun sld 22 tahun. Dengan kerangka yang sedemikian, penahan getar yang
minimal, sistem gas buang tanpa peredam bunyi, sekrup yang kendor, rantai transmisi
yang kendor dan penutup mesin yang tidak sempuma menyebabkan meningkatnya jumlah
dan intensitas bising. Keadaan diatas secara langsung meningkatkan risiko TAB pada
pengemudinya.
6. Hnsil pemeriksaan audiogram
Dari percontoh kasus terlihat sebanyak 14 (21.9%) percontoh menderita TAB
ADS tahap uwal, 12 (18.8olo) percontoh menderita TAB ADS tahap lanjut, 2 (3.1o/o)
percontoh menderita TAB AD tahap awal AS normal, 3 (4 7%) percontoh menderita
TAB AD tahap lanjut AS tahap awal dan sisanya | (1.6%, percontoh menderita TAB AS
tahap awal AD normal. Dari gambnan diatas terdapat kelompok dengan kelainan
asimetri, kelompok pertama adalah kelainan hanya pada satu telinga telinga yang lain
masih normal dan kelompok kedua adalah kelompok dengan kelainan pada kedua telinga
dengan derajat berbeda.
Telaah kelainan asimetri pada kelompok pertama (kelainan pada I telinga, telinga
lain normal) mempunyai rcratalatwpapw terhadap bising sekitar 9.6 tahun, nilai tersebut
lebih tinggi dari rerata lama papar kelompok kelola tapi lebih rendah dibanding rerata
lama papar kelompok kasus. Kelompok kelainan asimetri yang kedua (kelainan pada
kedua telinga dengan derajat berbeda) mempunyai rcrata lann papar lebih tinggi dari
rerata kelompok kazus, Walaupun keadaan diatas tidak dapat dievaluasi secara statistik,
tetapi perlu diingat dan diperhatikan dalarr penderita TAB yang berkaitan
76
dengan ppek medikolegal dan juga penting dalam menentukan derajat kecacatan telinga
pada pekerja. Beberapa teori yang menerangkan terjadinya fenomena diatas adalah arah
sumber bunyr, variasi biologis suseptibilitas terhadap bising antan telinga kanan dan kiri
pada seseorang dan dominasi kinan atau kidal pada seseorang ( left or right honded )
8,9,10.
Garrbaran rtr.ata ambang dengar kedua telinga pada percontoh kasus
menunjukkan terdapat sedikit penekanan pada frekuensi rendatr dimulai pada frekuensi
250-500-1000 IIz, sedangkan frekuensi 2 l<IIz terlihat kurang tefiekan. Takik jelas
terdapat pada frekuensi 4 kllz yang merupakan garrrbaran karakteristik pada TAB, takik
pada telinga kanan tampak lebih tertekan dibanding telinga kiri. Keadaan diatas berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Manrel tn y*g melakukan penelitian pada
kelompok petani pengguna traktor di Amerika dengan zumber bising ( mesin ) yang
terletak lebih dekat ke telinga kiri pengemudi, hasil penelitiannya didapatkan penekanan
pada frekuensi rendah dimulai dari frekuensi 2 kHz dan telinga kiri kelainan telinga kiri
lebih berat dibandingkan dengan telinga kanan. Kernungkinan adanya perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Marvel disebabkan bising yang dihasilkan oleh Bajaj
mempunyai spektrum frekuensi yang lebar dengan beberapa fre*uensi dominan baik pada
frekuensi tinggr maupun frekuensi rendah, Untuk membuktikan hal tersebut dapat
dilakukan porelitian lanjut yang menggunakan beberapa skala pengukuran intensitas yang
berbeda, Beberapa penyebab lain yang mungkin adalatr variabilitas alat, ruang yang
kutang kedap sehingga menyebabkan bising luar dengan frekuensi rendah dapat ditangkap
oleh percontoh.
77
Perbedaan telinga terburuk antuapenelitian ini dan penelitian Marvel yang paling
mungkin adalah telinga kanan pengemudi Bajaj lebih dekat terhadap bising tanrbahan
yang berasal dari klakson kendaraan yang akan melewati nya,
Analisa khusus terhadap derajat kelainan berdasarkan lama papar mendapatkan
nilai rasio Odd = ll, Dengan demikian percontoh kasus dengan lama paparan kerja antara
10 - 20 tahun akan sangat berisiko mordapat TAB tahap lanjut, Penelitian kohort yang
dilakukan oleh Rosenhall * y*g membandingkan 2 kelompok pekerja dengan lama papar
l-15 talun dan 15 tahun lebih, analisa statistik yang dilakukan mendapatkan risiko relatif
pada kelompok dengan lama papar 15 tahun lebih sebesar 7.5. Perbedaan besar risiko
antara penelitian ini dengan penelitian yang dila*ukan oleh Roserrhall disebabkan oleh
karena progresifitas TAB berjalan maksimal antara 10-15 tahun papmafi sEtelah itu relatif
menetap.
7. Usia
Rerata usia percontoh kasus lebih tua dibandingkan dengan rerata usia percontoh
kelola dengan simpang balcrr percontoh kasus 6.59 dan simpang ba}u percontoh kelola
7.25.Perbedaan antar rerata percontoh kelola dan percontoh kazus sebesar - 4.56, setelah
dilakukan ujit (t -test) didapatnilait: -2.63 dannilai p:0.01 (CI: - 8.02, -L09 ).
Dengan demikian terdapat perbedaan yang bermakna rerata usia percontoh kelola dan
percontoh kasus. Selanjutnya dilahrkart analisis dengan uji regresi logistik
didapat rasio Odd sebesar L l0, dengan demikian terbutsi bahwa usia bukan merupakan
faktor risiko terjadinya TAB pada penelitian ini.
78
Beberapa hal yang dapat menerangkan terjadinya keadaan diatas adalah : Pada
penelitian ini baik percontoh kelola maupun kasus menggunakan cakupan usia yang relatif
homogen. Beberapa {bktor lain yang sering berperan sebagai perancu dalam penilaian
terhadap pengaruh frktor usia seperti diabetes melitus, hipertensi, cidera kepala dan
riwayat tuli herediter telah dieliminir dari percontoh penelitian.
E.Intensitas bising
Hasil perhitungan statistik didapat perbedaan antar rerata intensitas bising Bajaj
percorrtoh kasus dan kelola sebesar - 2.94, setelah dilakukan uji t didapat nilai t : - 4.05
dengan nila p < 0.05 ( CI : -4.39, - 1.49 ). Dari perhitungan diatas disimpulkan terdapat
perbedaan bermakna antara intensitas bising Bajaj yang dikendarai oleh percontoh kasus
dengan percontoh kelola.
Pada penelitian ini pengaruh intensitas bising Bajaj percontoh kasus dan kelola
tidak dapat dianalisa karena seringnya paf,a pengemudi bertukar kendaraan, walaupun
secara statistik perbedaan intensitas bising antara Bajaj percontoh kasus dan kelola
bermakna.
9. Lama paptrran kerja
Pada penelitian ini reratalama paparan kerja pada percontoh kelola adalah 8 tahun
dan rerata lama paparan kerja pada percontoh kasus adatah 12 tahuq rasio Odd 1.4,
intensitas bising 98-100 dB didapat cut of point pada lama papar 9 tahun. Penelitian
yang dilakukan oleh Hendarmin 5 pada karyawan manufacatring ptant Pertamina dengan
lama papar antara 5-10 tahun dan intensitas bising 75-110 dB, didapatkan 50% karyawan
79
menderita TAB, Meskipun disain kedua penelitian diatas berbed4 beberapa hal seperti
lann paparan dan besar intensitas bising relatif hampir salna. Kedua penelitian diatas
sesuai dengan Ward r0 yang menyatakan bahwa, besar intensitas bising 100 dB(A)
dengan lama papar 10 tahun akan menimbulkan TAB dengan rerata ambang dengar pada
frekuensi 3-4-6 kllz sampai dengan 40 dB dan frekuensi rendah berkisar antara 15 dB.
10. Lama paper harian
Lana papar harian merupakan hasil pengurangan jumlah jam kerja perhari
dikurangi ju.lah jam istirahat. Pada penelitian ini lama papapar harian kelompok kelola
adalah 6 jam dan lama papar kelompok kasus adalah 8 janU secara statistik terdapat
perbedaan bermakna antwakedua larnapapar percontoh diatas dengan rasio Odd sebesar
4.4 dan cut off point lama papar harian 8 jam.
Secara teoritis bising dengan intensitas 98-100 dB lama paparyang diperbolehkan
dalam t haxi hanya 2 jam, sedangkan pada penelitian ini baik percontoh kasus maupun
kelola keduanya terpapar bising dengan lama papar perhari lebih dari batas lama papar
yang diperkenankan. Beberapa hal yang dapat menjelaskan ketidak sesuaian ar$ara besar
intensitas yang tercatat ,larna papar harian , lama paparan kerja dan kelainan yang
ditemukan disebabkan intensitas paparan yang dihasilkan oleh Bajaj relatif bervariasi dan
pengaruh kabin Bajaj yang terbuka sehingga relatiftidak menimbulkan reverberasi.
80
3.
4.
BAB \rI
KESIMPUI.,AN DAN SARAN
VI.l. Kesimpulan
l. Junrlah percontoh kasus dan kelola pada penelitian ini sebanyak 54 percontoh dari 66
percontoh yang direncanakan. Hasil uji hipotesis dan analisa statistik jundah ini masih
berterima untuk menggeneralisasi penelitian ini pada populasi luas.
Kelompok pengemudi suku fawa merupakan kelompok terbesar yang didapatkan
pada penelitian ini, selanjutnya diikutu oleh suku Sunda, Betawi dan Makassar.
Sebagian besar pengemudi Bajaj yang menjadi percontoh pada penelitian ini tinggal
diwilayah lakana timur, selanjutnya Jakarta utar4 Jakarta pusat, Jakarta selatan dan
Jakarta barat.
Kekerapan tinitus pada populasi terpapar bising sebesar 43%. Kekerapan tinitus pada
populasi TAB dengan lama papar kurang dari atau sampai dengan 10 tahun sebesar
3lo/o,bllalama paparan lebih dari 10 tahun kekerapan tinitus meningkat menjadr 53Yo.
Risiko populasi penderita TAB untuk mendapat tinitus sebrsar 2.5 kah . bila lama
papaxan lebih dari l0 tahun.
Usia pakai Bajaj berkisax antaf,a 16 s/d 22talrnlm..
Sebagian besar (81.2%) penderita TAB pada penelitian ini mempunyai gambaran
audiometri yang simetris yang terbagi atas TAB tahap awal dan TAB tahap lanjut,
sebagian kecrl (9.4Yo) kelainan bersifat asimetri dengan derajat berbeda antan telinga
kiri dan telinga kanan, sebagian kecil lain (9 4%) kelainanan hanya mengenai satu
telinga dengan telinga lain normal, Penderita TAB tahap awal mempunyai faktor
5.
6.
8l
risiko sebesar 11 kali untuk menderita TAB tahap lanjut bila lama paparan kerja lebih
dari 10 tahun.
7 . Pada penelitian ini usia bukan merupakan faklor risiko terjadinya TAB.
8. Terdapat perbedaan bermakna intensitas bisrng Bajaj percontoh kasus dan kelola.
Perbedaan rerata intensitas bising perntoh kelola dan percontoh kasus antar 98-101
dB.
9. Pada penelitian ini cat off point lama papariln kerja yang dapat menimbulkan TAB
adalah pada paparan kerja tahun ke sembilan.
10. Pada penelitian int cut off point lama papar harian yang berrisiko menimbulkan TAB
adalah lama papar jarn ke delapan.
11. Terdapat hubungan yang jelas antarabising yang dihasilkan oleh Bajaj dan TAB pada
pengernudinya.
VI.2.S&ran
t. Pada penelitian ini terbukti bising yang dihasilkan oleh Bajaj dapat menyebabkan TAB
pada pengemudinya, sehingga perlu dipercepat upaya untuk tidak menggunakan
sarana ini sebagai angkutan umum.
2. Dalam proses penyediaan sarana angkutan unum pengganti Bajaj perlu diperhatikan
segi produksi bising dari sarana angkutan umum pengganti tersebut.
3. Sebelum seluruh Bajaj dihentikan pengoperasiannya, saf,ana angtutan umum
pengganti tersebut bila mungkin pengoperasiannya lebih diutamakan diberikan pada
pergemudi Bajaj dengan lama kerja lebih dari 9 tahun.
4.
5.
82
Bila belum dapat dilakukan penggantian Bajaj dengan sarana angkutan umum
pengganti Bajaj yang aman dan sesuai, disarankan agar jamkerja pengemudi Bajaj
diatur sehingga lama papar harian kurang dari 8 jam.
Perlu dilakukan pemeriksaan besar intensitas bising pada kendaraan angkutan umlrm
secara reguler, baik di luar kendaraan maupun didalam kabin kendaraan. Pada
kendaraan yang mempunyai intensitas kebisingan diatas NAB yang diperkenankan
dianjurkan untuk memperbaiki atau mengurangi sampai tercapai pada tingkat NAB
yang diperkenankan. Pengukuran tingkat kebisingan dianjurkan dalan berbagai skala
( AB dan C)
Penelitian ini masih banyak kekurangannya sehingga masih diperlukan penelitian lain
mengenai rekayasa mesin dan konstruksi serta penggunaan bahan kedap penutup
mesin yang murah dan menghambat panas.
6.
83
IIL Daftar Pustaka
1. PingCW. ForensicAudiology. J Laryngol Otol, Suplement. 1986;11: 1-5.
2. Dobie RA. Noise Induced Hearing Loss. In: Bailey BJ, ed. Head and Neck Sugery
Otolaryngology, Vol.2, Philadelphia. JB Lippincot Co. 1993:l782-9L
3. Sulkowski WJ, Kowalska S, Kowalska MS et al. Incidence of Occupational Deafrress
in Poland 1991-1995. Protection Against Noise. Procedings of First European
Conference . 1996; 9l- 102.
4, Wiyadi MS, Hernomo SS, Iskandar A. Kumpulan Naskah Seminar Ketulian.
Surabaya 1985: l-17.
5. Hendarmin H. Noise Induced Hearimg Loss. Konas PERHATI IL Jakarta l97l'.224
-9.
6. Indrazukhri T, flum KS, Leowsrisok K. Enforcement A Necessary Step in The
Abatement of Air and Noise Nuisances in Bangkok. Bangkok Conunity Development
Project Kingdom of Thailand. 1985.
7. Iskandar N, Syarifuddin, Rifki N, Abdurrachman H. Diagnosis dan Penilaian Cacat
Penyakit Akibat Kerja Bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok. Simposium'Nasional
Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta 1989.
8. Alberti PW. Occupational Hearing Loss. In: Balenger JJ ed. Disease of The Ear Nose
and Throat. Ilead Neck Surgery, 14 th Ed. Philadelphia. WB Saunders. 1991: 1053-
66.
9. Alberti PW, Noise and The Ear. In: Kerr AG, ed. Adult Audiology, Scott-Browns
Otolaryngology 5th ed. London. Butterworths. 1991 :594-641.
84
10. Ward WD. Noise Induced Hearing Damage. In: Paparella MM, Schumrick DA eds.
Diseases of The Ear.Otolaryngology 3rd ed. Philadelphia. WB. Saunders Co, 1991:
1639-52.
11. Irwin J. Causes of Hearing Loss in Adults. In: Kerr AG, ed. Adult Audiology. Scott-
Browns Otolaryngology 5th ed. London. Butterworths. 1 99 I : 12'l -56.
12. Pickles JO. Physiology of The Ear. In: Kerr AG, ed, Basic Scienoes. Scott-Browns
Otolaryngology 5th ed. London. Butterworths. 1991: 47 - 77 .
13. Still H. Freeway Frenzy.In: Still H ed. In Quest and Quiet, Pennsylvania. Stackpole
Books 1970',58-64.
14, Surat Edaran Menteri Tenaga Keda, Transmigrasi dan Koperasi. No: SE
01/I\{EN/1978. Tentang Nilai Ambang Batas Untuk Kebisingan di tempat Kerja.
KumpulanNaskah Seminar Ketulian. Surabaya 1985:ll0- 2.
15. Harris CM. Sound and Sound Levels. In: Harris CM.Hand Book of Noise Control, 2
nd ed. New York, St. Louis, San Fransisco. Mc Graw- Hill Book Co. 1979: 2-l -2-
14.
16. Magrab EB. Basic Properties of Waves. In: Magrab EB. Environmental Noise
Control. New York, Sydney. John Wiley & Sons. 1975: l-27.
l7.Ivfukono J. Lingkungan Hidup Dalam Kaitannya Dengan Pendengaran. Kumpulan
Naskah Seminar Ketulian. Surabaya 1985: 83-93.
18. Hadjar E, Hendarmin H. Noise and Noise Polutions di Jakarta. Konas PERHATI II.
lakwta 1971'.230-43.
85
19, Mlls JH, Adkins WY. Anatomy and Physiology of Hearing, In:Bailey BJ ed. Head
and Neck Surgery - Otolaryngology, Vol II. Philadelphia. JB Lippincot Co.
1993:1441-61.
20. Liston SL, Duval AJ. Embryologi, Anatomy, and Physiology of The Ear, In: Adams
GL, Boies LR, Hilger PA. eds. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6 th ed.
Philadelphi4 1989: 27 -38.
21. Soetirto L Aspek Klinik dan Evaluasi Kecacatan Pada Noise Induced Hearing Loss .
Seminar Training Program Konservasi Pendengaran. lakafta 1994.
22. Canlon B. Noise Induced Permanent Trauma. In: The Effect of Acoustic Trauma on
The Tectorial Membrane, Stereocilli, and Hearing Sensitivity. Scand Audiol. 1989:7-
17.
23. Nakai Y. Sensoineural Hearing Impairement: Mcrovasculature and Vasoconstriction
in the Cochlea. Hearing International 1994; Vol.3 No.1: 8-9.
24.Puel JL, Pujol R, Noise Induced Hering Loss: Current Physiological Investigation.
Protection Against Noise. Procedings of First European Conference. 1996;l- 4.
25. Melnick W. Indutrial Hearing Conservation. In: KatzI, Gabbay W. eds. Hand Book
of Clinical Audiology 3th ed. Baltimore. William & Wilkins 19857214.
26. Shida S. Vibration and Noise Deafrress. Hearing International 1993; Vol,Z No.4:
t717- 8.
ZT.Williams D. Noise in Transportation. In: Tempest W. ed. The Noise Handbook.
London, New Yorlg Toronto, Academic Press 1985:216-24.
28. Hendarmin [I, Waspodo Dj. Ganggrran Pendengaran Akibat Pencernaran Bising.
Konas PERHATI IV, Semarang 1977: l8l-8.
86
29.Lee d Feldstein. Five Year Follow-Up Study of Hearing Loss at Several Locations a
LargB Automobile Company, American Journal of Industrial Medicine. 1993:24:41-
54.
30. Adenan Ae Shah B. Pengaruh Kebisingan Lapangan Terbang Polonia Terhadap
Pendengaran Penduduk Sekitarnya. Kumpulan Naskah Seminar Ketulian. Surabaya
t985.29-39.
31. Hutchinson KIVI, Alessio HM, Spadafore M, Effects of Low Intensity Exercise and
Noise Exposure on Temporary Threshold Shift. Scand. Audiol 199l 20:121-7.
32. Burns W. Measure to Reduce Interference Effects. In: Burns. Noise and Man.
London. Williams Clowes & Sons 1968:116-25.
33. Ceranic BJ, Prasher DK, Luxon LM. Tinitus Following Noise Expozure: A Review.
Protection Against Noise. Procedings of First European Conference. 1996;45- 51.
34. Marvel IVI, Pratt DS, Marvel LH et al. Occupational Hearing Loss in New York Dairy
Farmers. American Journal of Industrial Medicine, 1991; 20 517-31.
35. Pirila T, Sorri IvI, Ervasti KJ et al. Hearing Occupationally Noise-Exposed
Men and Women Under 60 Years Old. Scand Audiol 1991; 20:217'32,
36. SataloffRT, SataloffJ. Diagnosing Occupational Hearing Loss. In: SataloffRT, ed.
Occupational Hearing Loss, 2nd ed, New York, Basel, Hongkong. Marcel Dekker
Inc. 1994:371-88.
37. Kowalska S, Sulkowski W. Measurement of Distortion Product Otoacoustic
Emission in Industrial Workers with Noise Induced Hearing Loss. Protection Against
Noise. Procedings of First European Conference. 1996;30- 37.
87
38. Iskandar N. Pedoman Dalam Menegakkan Diagnosis Penyakit THT Akibat Kerja dan
Penentuan Tingkar Cacat. Lokakarya Nasional Capat Karena Penyakit Akibat Kerja.
Iakarta 1990.
39. Barrenas ML, Hellstorm Pd Stark J. Hearing Conservation, Protection Against
Noise. Procedings of First European ConfErence. 1996; 103- 105.
40. Rosenhall U, Presbyacusis Related to Exposure to Occupational Noise and Other
Ototrrumatic Factors. Protection Against Noise. Procedings of First European
Conference . 1996: 52- 56.
88
LAMPIRAN
RSUPN. Dr. CIPTO MANGIIIYKUSUMO
JAKARTA
Bagian llmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
SURAT PERSETUJUAI\
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur
Pekerjaan
Alamat
: . . . . . . . . . . . . . . tahun
: Pengemudi Bajaj
Bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan Dr. Hari Purnama dan dengan ini
saya menyatakan bersedia untuk menjadi peserta / percontoh dalam penelitian 'Dampak
Paparan Bistng Pada Pengemudi Bajaj di Jakarta'.
Pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.
Peneliti,
Iakarta" 1997
Peserta penelitian,
Dr. Hari Purnama
BAIASIA
NO,STATAS PENELITIAN:
STATUS PENELITIAN
PENGARUH PAPARAN BISING PADA PENGEMUDI BAJAJ
I. IDENTITAS PENGEMUDI
NAMA
TEMPAT/TGL. LAHIR
IJMUR
SUKU
AT AMAT : Jl.
Kelurahan :
Kecamatan :
Kab / Kodya:
PEKERIAAN
IL RIWAYAT PEKERJAAIY
Usiapercontoh: < 24 talun-I 3I-37 tahun -3 >44 thn -5
24-3A ulmn -2 38-44 talntn -4
Mulai bekerja sejak berusia sebagai pengemudi:
I8-< 24 nlrun-I 3I-37 tahun -3
24-30 talwn-2 38- 44 tahun -4
>44 talrun -5
l ,
.L.
I
ffi2
ffi
IT
2. L*3 bekeqia sebagai pengemudi : 2-4 talwn -I >6-8 ntrrun -3
>4-6talrun -2 >8-IAbhun -4
> 10 talwn -5
3. Lamakerjaperhari : < 6 jam -I >9-I0jarn -3
6-8 jam -2 >10 jam *4
4. Lamaistirahatkerjaperhari < I jam -I >2-3 jam -3
I-2jam -2 >3jam -4
5. Lama paparanbising perhari :
< 6 jam -I >8-I0jam -3
6-8 jam -2 >10 jam -4
7. Penghasilan rata*ataperhari : < Rp 25.000,- -I >Rp 5A.000,- -3
Rpz5.00-50.000 -2
8. Sebelum pekerjaan sebelumnya sebagai : aperator mesin -I
Iain- Iain -2
III. RIWAYAT PEI\TYAKTT
l. Riwayat gangguan pendengaran : ada -I
tidak -2
2. Riwayat keluar cairan dari telinga : ada -I
tidak -2
3. Riwayat penggunaan obat ototoksik yang berlangsunglana: ada -I
tidak -2
3
ET
4
ffi
ffiI
ffi
10
ffiI I
ffi
I I I
4. Riwayat penyakit lain yang diderita : ada -I
( kencing manis, tekanan darah tinggt, multiple sklerosis). tidak -2
5. Riwayat cidera kepala : ada -I
tidolc -2
6. Riwayat telinga berdenging : ada -I
tidsk -2
IV. RIWAYATKNLUARGA
l. Riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga: ya -I
tituk -2
2. Riwayat kencing manis dalam keluarga: y6 -I
tidak -2
V. SPESIFIKASI BAJAJ YANG DIKEMUDIKAI\
l . Merk/ jenis : . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Tahun pembuatan :
3. Kapasitas sil inder : ...,..,..... cc
4. Jumlab kepala silinder : ............. buah
5. Intensitas bising yang dihasilkan pada kecepatan sedang lk. 40-60 km / jam :
85 -90 dBA -I ]U - 105 dBA -4
9I -95 dBA -2 r06-II0dBA -5
96- Iq0dBA -i >II0 dBA -6
I
ffil3
ffil4
ffi
15
ffil6
ffi
A. Pemeriksarn umum
l. Pemeriksaanfisik :
VI. CATATAN MEDIK
Baik -I sedang -2
17
Ef,
IE
ffi
ItI
2. Tekanan darah
B. Pemeriksaan telinga
l. Liang telinga:
paten
oklusi sebagian
oklusi total
2. Kondisi membran timpani:
ufith, normal
utuh, retraksi
utah, bulging
utuh, timpanosklerosis
utuh, airfluid level
C. Pemeriksaan hidung
1. Kavum nasi :
lapmg
sempit
2. Konka:
eutrofi
hipertrofi
hiperemis
< 140 / 90 mmHg
140 / 90 - 160 / 95 mmHg
> 160 / 95 mmHg
knnan
.T
- )
-3
l9
HT
.T
-2
-3
-t
-2
-3
paten
oklusi sebagian
oklusi total
utah, normal -I
utuh, retralcsi -2
utuh, bulging -3
utuh, timpanosklerosis -4
utuh, airfluid level -5
Iapng
sempit
eutrofi
hipe*ofi
hiperemis
kiri
kiri
20
ffi
2l
ffi
kanan
-I,'
-z
-3
-4
-5
Itsnal,
ffikonan
.I
-2
kiri
22
ffikiri
23
HH-I,,
-3
,T
a-z
.T
-2
-3
tf
3, Sekret: Imnan
da -I
tidak ada -2
4. Septum hidung '. lwrdn
Iurus -I
deviasi -2
D. Pemerihsanntenggorok
1. Tonsi l (ukuran) ' . konan
T3 -s2. Dinding faring granuler: lwnan
ya -I
tidnk -2
E. Pemeriksaanaudiologik
Dl. Uji penala
l. Uji Rinne :
+-I
-2
takdengar -3
2. Uji Weber :
Tr -I T] .I
12 -2 ffiv 12 -2
adfl -I
tidnk ads -2
lurus -I
deviasi -2
T3 -2
ya -1
tidnk -2
kiri
24
ffi
kiri
ffi
kiri
26
ffiHri
27
ffi
lmnan kiri
+-I
--2
tak dengar -3
Iateralisasi lcelmnan -I 29
trI
lateralisasi kekiri
tidak ada lateralisasi
-2
-3
.I
t
-3
-I1
-3
3. Uji Schwabach :
memanjang
memerdek
sesuai pemeriksa
memanjang
memendek
sesuai pemeriksa
lmnan
karnn kiri
4.
30
ffi
kiri
3l
ffi
Audiogram:
pendengarut normal
TAB tahap awal
TAB tahap lanjut
tuli saraf ringan
tuli soraf sedang
tuli saraf berat
tuli campur
tuli korr&tktifringan
tuli kondahif sedang
presbihtsis
Timpanogram: konan
WeA -I
4pe As -2
type B -3
WeC -4
pendengaran normsl
TAB tahap awal
TAB tahq lanjut
tuli saraf ringan
tuli saraf sedang
tuli saraf berat
tuli campur
tuli lronduhif ringan
tuli konfuhif sedang
presbiktrsis
.T
t
-2b
-3
-4
-J
-6a
.8
-9
- l
-2
-2b
-3
-4
-J
-6.7
-8
-9
kiri
32
ffi
5.
F. Pemeriksaanlaboratorik
Reduksi urin :
33
ffi
type A
type As
type B
Wec
-I
-2
-.3
-4
Negatif -I
v't r
Borderline -2
Positif -3
G. Pemeriksaan lain ( bila perlu) :
Top Related