DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN
SEKTOR KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA
DISERTASI
SUGIARTO SUMAS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN
SEKTOR KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA
DISERTASI
SUGIARTO SUMAS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR
KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI
INDONESIA
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan
pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
Sugiarto Sumas NIM H.361064204
ABSTRACT Sugiarto Sumas. Impact of Fiscal Policy for Education and Health Sectors on Human Development Index in Indonesia (Bonar M. Sinaga as Chairman, Nunung Kusnadi and Rukman Sardjadidjaja as Members of the Advisory Committee)
Human Development Index (HDI) as a proxy for performance of human development has been recognized at national and international. Indonesia which has a nominal value of 72.9 in human development index within the scale of 0 to 100 is under the intermediate group (50 > HDI < 80) and ranked at the 111th level in the world, in year 2009. At the national level, the human development index in each province shows some disparities between provinces from year to year. If this phenomenon allowed then could make a social jealousy and a disintegration of the nation. This study has successfully formulated a panel method of simultaneous equations as a tool in formulating fiscal policy to increase a human development index as well as to ensure equal distribution of the development. The result of 5 years data analysis year 2004 through year 2008 is showed that a fiscal policy through education and health sector expenses has a causal relationship to human development index, but with a minimum impact. The most efective fiscal policy used to improve the human development index is through an effort aimed to improve people's purchasing power. The forecast’s results are indicated that the Indonesian millennium development goals of year 2015 can not being achieved. Efforts for improving human development index must be supported by an affirmative policy in order to reduce development gap among regions in Indonesia.
Keywords: Fiscal Policy, Human Development, Human Development Index.
ABSTRAK
Sugiarto Sumas. Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia (Bonar M. Sinaga sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Nunung Kusnadi dan Rukman Sardjadidjaja sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai proksi kinerja pembangunan manusia telah diakui secara nasional maupun internasional. Indonesia dengan nilai nominal indeks pembangunan manusia 72.9 dalam skala 0 sampai 100 termasuk kedalam kelompok menengah (50 > IPM < 80) dan berada pada peringkat ke 111 di dunia pada tahun 2009. Dalam lingkup nasional, dari tahun ke tahun indeks pembangunan manusia masing-masing provinsi menunjukkan disparitas antar provinsi. Fenomena ini apabila dibiarkan akan menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memicu disintegrasi bangsa. Studi ini telah berhasil memformulasikan model persamaan simultan dengan metode panel yang layak digunakan untuk keperluan simulasi maupun peramalan dampak kebijakan fiskal terhadap indeks pembangunan manusia dalam rangka pemerataan pembangunan. Hasil analisis data selama 5 tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa kebijakan fiskal melalui sektor pendidikan dan sektor kesehatan mempunyai hubungan kausalitas terhadap indeks pembangunan manusia meskipun dampaknya kecil. Kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan indeks pembangunan manusia yang paling efektif adalah melalui upaya yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Hasil ramalan mengindikasikan bahwa tujuan pembangunan milenium Indonesia tahun 2015 tidak dapat dicapai. Upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia harus disertai dengan kebijakan afirmatif sebagai upaya mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
Kata kunci: Kebijakan Fiskal, Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Manusia.
RINGKASAN
Sugiarto Sumas. Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia (Bonar M. Sinaga sebagai Ketua, Nunung Kusnadi dan Rukman Sardjadidjaja sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Pembangunan manusia yang diproksi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) telah menjadi komitmen Perserikatan Bangsa Bangsa melalui United Nations Development Programme (UNDP) sejak tahun 1990, juga telah menjadi konsensus nasional dalam Kongres Nasional Pembangunan Manusia Indonesia pada bulan November 2006. Nilai nominal indeks pembangunan manusia Indonesia dan provinsi-provinsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi masih kalah cepat dengan negara lain, yang mengakibatkan peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2009 malahan turun menjadi 111 dibandingkan peringkat 109 setahun sebelumnya. Selain itu, disparitas indeks pembangunan manusia antar provinsi tidak berubah dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menimbulkan rasa ketidak-adilan dan kecemburuan sosial yang apabila diabaikan dapat mengancam integritas bangsa. Upaya pemerintah meningkatkan indeks pembangunan manusia dilakukan dengan meningkatkan belanja pemerintah di sektor pendidikan dan sektor kesehatan, serta mengakomodasikan indeks pembangunan manusia sebagai salah satu komponen perhitungan dana alokasi umum (DAU). Keputusan pemerintah untuk memperbesar anggaran sektor pendidikan didasarkan pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengamanatkan pengalokasiannya minimal 20 persen dari total anggaran. Sementara keputusan memperbesar sektor kesehatan didasarkan alasan bahwa sektor kesehatan mengandung komponen yang menjadi pembentuk persamaan identitas indeks pembangunan manusia yaitu: Angka Harapan Hidup (AHH), melalui peningkatan Angka Kematian Balita (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Juga diupayakan agar terjadi pertumbuhan ekonomi untuk mendorong membaiknya daya beli (PPP) atau pendapatan per kapita penduduk. Pada gilirannya upaya-upaya tersebut akan meningkatkan indeks pembangunan manusia. Berbagai upaya tersebut patut dihargai, namun masih menyimpan misteri mengenai ketepatan jumlah alokasi fiskal, ketepatan pemilihan sektor, dan jawaban atas pertanyaan kapan target tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDGs) dapat tercapai. Karena selama ini belum ada model yang menempatkan komponen-komponen indeks pembangunan manusia sebagai variabel endogen dan menjadi bagian dari model ekonometrika yang konprehensif. Apabila model indeks pembangunan manusia sudah terbangun, maka berbagai misteri yang masih tersembunyi diatas akan dengan mudah untuk mengungkapnya. Penelitian bertujuan untuk: Pertama, membangun model makro ekonometrika yang diperluas dengan mengintegrasikan komponen perekonomian makro dan indeks pembangunan manusia. Kedua, mempelajari dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan, serta sektor lainnya terhadap
perekonomian makro dan indeks pembangunan manusia. Ketiga, meramalkan indeks pembangunan manusia dalam kerangka pencapaian sasaran pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia tahun 2015. Penelitian dilakukan di 21 provinsi di Indonesia, yang terpilih berdasarkan ketersediaan data/variabel penelitian sesuai tujuan penelitian, meliputi deret waktu (time series) selama 5 (lima) tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, yaitu kurun waktu yang datanya cukup tersedia. Data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Keuangan, United Nations Development Programme, Bank Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi, dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah analisis simulasi model simultan, terdiri atas 38 persamaan yang dibagi dalam 23 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas, dengan variabel endogen sebanyak 38 variabel dan variabel eksogen (predetermined) sebanyak 15 variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan simultan dengan metode panel telah berhasil dirumuskan, dan sudah memenuhi kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika, serta layak digunakan untuk keperluan peramalan maupun simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap indeks pembangunan manusia. Hasil ramalan variabel variabel endogen tanpa alternatif kebijakan tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan pertumbuhan yang kecil. Termasuk pertumbuhan indeks pembangunan manusia per tahun yang hanya sebesar 0.41 persen, sehingga diramalkan pada tahun 2015 pencapaian indeks pembangunan manusia hanya sebesar 73.58 dari sasaran sebesar 80. Sedangkan hasil peramalan variabel endogen dengan alternatif kebijakan, yang terdiri atas 8 skenario kebijakan, masing masing sebagai berikut: 1. Kebijakan peningkatan belanja sektor pendidikan dan sektor kesehatan
sebesar 20 persen akan berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan per tahun sebesar 0.58 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 73.86.
2. Kebijakan transfer dana alokasi umum ditingkatkan 20 persen akan berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan per tahun sebesar 0.63 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 74.18.
3. Kebijakan meningkatkan belanja pemerintah sektor bangunan dan infrastruktur sebesar 20 persen berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan per tahun sebesar 0.60 sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 73.81.
4. Kebijakan kombinasi belanja sektor pendidikan, belanja sektor kesehatan, dan belanja pemerintah sektor bangunan dan infrastruktur ditingkatkan 20 persen berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan per tahun sebesar 0.59 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 73.99.
5. Kebijakan afirmatif kepada provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah pada quantil 1 melalui peningkatan dana alokasi umum sebesar 40 persen berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada periode peramalan sebesar 0.64 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 74.32.
6. Kebijakan afirmatif kepada provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah pada quantil 1 dan 2 melalui peningkatan dana alokasi umum sebesar 40 persen berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan sebesar 0.65 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 74.43.
7. Kebijakan afirmatif kepada provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah pada quantil 1 dan 2 melalui peningkatan belanja daerah sebesar 40 persen dan provinsi lainnya naik 20 persen, berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan sebesar 0.62 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 74.12.
8. Kebijakan afirmatif kepada provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah pada quantil 1 dan 2 melalui peningkatan anggaran belanja sektor pendidikan dan sektor kesehatan masing masing 40 persen, dan provinsi lainnya naik 20 persen, berdampak pada pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada priode peramalan sebesar 0.60 persen sehingga indeks pembangunan manusia tahun 2015 bernilai 74.15.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan, maka kebijakan yang paling realistis adalah kebijakan meningkatkan belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan dalam persentase tertentu pada provinsi quantil 1 dan 2 dengan indeks pembangunan manusia terendah daripada kebijakan meningkatkan dana alokasi umum maupun kebijakan menaikan total belanja dalam persentase yang sama. Karena kedua kebijakan terakhir ini memerlukan jumlah nominal anggaran yang jauh lebih banyak daripada kebijakan pertama. Di samping itu, kebijakan pertama ini, paling baik dalam rangka mengatasi pengangguran dan memeratakan pembangunan antar provinsi, serta cukup baik dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan manusia dan mengurangi kemiskinan. Untuk mengetahui signifikansi dampak belanja pemerintah di sektor pendidikan dan belanja pemerintah di sektor kesehatan dalam jangka panjang terhadap indeks pembangunan manusia, tingkat kemiskinan, dan angka pengangguran, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan data deret waktu (time series) yang lebih lama. Kata kunci: Kebijakan Fiskal, Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan
Manusia.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA
SUGIARTO SUMAS
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Heny K.S Daryanto, M.Ec
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Djoharis Lubis, M.Sc
Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor
Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
di Indonesia
Nama : Sugiarto Sumas
Nomor Pokok : H361064204
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Dr. Ir. Rukman Sardjadidjaja, MMA Anggota Anggota
Mengetahui:
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 24 Januari 2012 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
selesainya penulisan disertasi ini. Tema yang penulis pilih adalah “Dampak
Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Indonesia“ .
Tema tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini sangat populer
secara nasional maupun internasional, dibicarakan banyak kalangan, disusun
target sasaran pembangunan milenium, dan didanai dalam jumlah yang besar.
Tetapi sejauh ini peningkatan IPM di Indonesia masih lambat, dan tidak mampu
mempersempit disparitas antar wilayah. Penelitian ini secara khusus ingin
menjawab apakah komponen indeks pembangunan manusia dapat dintegrasikan
dengan indikator makroekonomi membentuk persamaan simultan yang mampu
menjawab tentang sektor apa yang paling berdampak untuk meningkatkan indeks
pembangunan manusia dan mempersempit disparitas antar wilayah.
Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan, kepada: Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga MA sebagai Ketua Komisi
Pembimbing; Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Dr. Ir. Rukman Sardjadidjaja,
MMA masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Arahan dan
masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan
sangat membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Kepada dosen penguji ujian
tertutup dan terbuka serta semua dosen yang telah mengajar penulis selama
mengikuti perkuliahan di kelas S3 Ilmu Ekonomi Pertanian. Dedikasi para
penguji dan dosen yang sangat tinggi telah menjadikan penulis mampu
menyelesaikan studi S3 ilmu ekonomi pertanian.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB
yaitu: Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Hery Suhardiyanto, MSc), Dekan Sekolah
Pascasarjana (Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.), dan Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA) atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan pula,
kepada: rekan-rekan satu kelas S3 Ilmu Ekonomi Pertanian Khusus Angkatan 3
atas dorongan dan kerjasamanya selama ini, kepada Bapak Usman yang telah
membantu dalam masalah komputasi dan pengolahan data, kepada Mas Iwan
Hermawan dan Mbak Aam yang bantu memperbaiki format penulisan, kepada
Mbak Ruby, Mbak Yani, dan Mas Iwan yang telah banyak membantu dalam
berbagai urusan dan kegiatan, kepada berbagai lembaga yang menyediakan data
yang diperlukan untuk disertasi ini, yaitu: BPS, Universitas Indonesia, Bappenas,
dan UNDP, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan, kepada: Bapak Ir. Harry
Heriawan Saleh MSc selaku Direktur Jenderal P4Trans pada tahun 2007 telah
memberikan izin belajar, kepada para Kasubdit dan seluruh staf Direktorat
Partisipasi Masyarakat Ditjen P2KTrans Kemenakertrans yang telah memberikan
dukungan moriel maupun materiel, kepada Bapak Ir. Jamaluddin Malik MM
selaku Direktur Jenderal P2KTrans Kemenakertrans atas pengertian yang tulus
terutama pada akhir penyelesaian tugas akhir sangat memberikan ketenangan
kepada penulis dan merupakan dukungan positif saat hadir pada ujian terbuka,
kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis tetapi tak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan balasan
berkah kepada Bapak, Ibu, Sudara dan Saudari sekalian.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Maisaroh)
dan anak–anakku (Mulia Tawang Wisudha dan Herbowo) atas dukungan
pengertian dan keikhlasan, terutama hilangnya waktu kebersamaan keluarga saat
hari libur. Tanpa pengertian, keikhlasan, dan dukungan istri dan anak-anak, tidak
mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.
Bogor, Januari 2012
Sugiarto Sumas
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 17 April 1958 di Banjarmasin Provinsi
Kalimantan Selatan, sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, dari pasangan Sujoko
Rais (almarhum) dan Masdiah (almarhumah). Penulis beristrikan Maisaroh
dengan 2 orang anak yaitu Mulia Tawang Wisudha dan Herbowo.
Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan pada Jurusan Mekanisasi
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada pada bulan
Agustus tahun 1981. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program
Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung dan meraih gelar Magister
Teknik pada bulan Oktober tahun 1998. Pada bulan Februari tahun 2007, penulis
menempuh pendidikan S3 di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis selaku pegawai negeri sipil juga
mengikuti pendidikan dan pelatihan kedinasan dari jenjang terendah hingga
jenjang tertinggi, mulai dari prajabatan yang ditempuh tahun 1983 hingga Sekolah
Pendidikan Administrasi Tingkat I pada tahun 2011.
Pengalaman kerja yang pernah dijalani penulis selaku pegawai negeri sipil
diawali sebagai Staf pada Kandep Departemen Transmigrasi Kabupaten Kotabaru
Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983. Kemudian pada tahun yang sama
mutasi bekerja sebagai Staf pada Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi
Provinsi Kalimantan Timur. Pada tahun 1987 penulis mendapatkan kepercayaan
dan mendapatkan tugas dalam penyiapan lahan permukiman pada Kanwil
Departemen Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur sampai dengan tahun 1992.
Pada bulan Maret 1992, mutasi bekerja ke Departemen Transmigrasi Jakarta
dan bertugas di Biro Perencanaan hingga tahun 1999. Selama bertugas di Biro
Perencanaan penulis mendapatkan tugas dan kepercayaan pimpinan dalam
menangani pelaporan dan pengendalian program. Tempat tugas inilah yang
menjadi titik awal bagi penulis untuk banyak mengenal dan dikenal, mengenal
berbagai jenis kegiatan dalam pekerjaan dan dikenal sebagai petugas yang harus
berkorban waktu untuk berada di kantor melebihi jam kerja normal.
Atas kepercayaan pimpinan Departemen, penulis diberikan kesempatan
untuk promosi sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan sehingga
menangani pekerjaan yang bersifat meningkatkan kemampuan Sumber Daya
Manusia di lingkungan instansi tempat penulis bekerja sampai dengan tahun 2000.
Dengan perubahan puncak kepemerintahan pada era Presiden Abdurrahman
Wahid, terjadi perubahan yang sangat mendasar pada instansi tempat penulis
bekerja karena berubahnya nama Departemen menjadi Menteri Negara dan saat
itu penulis mendapatkan tugas sebagai Asisten Deputi Urusan Pendidikan
Kependudukan Jalur Masyarakat sampai tahun 2001.
Tahun 2001 terjadi perubahan kabinet dan nama instansi tempat penulis
bekerja menjadi Depnakertrans yang merupakan penggabungan dari 2
Departemen, yaitu Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sejak saat itu sampai sekarang
penulis mendapatkan berbagai tugas, yaitu sebagai Direktur Bina Kapasitas Sosial
Ekonomi (tahun 2001-2003), Direktur Permukiman Kembali (tahun 2003-2005),
Direktur Penyediaan Tanah Transmigrasi (tahun 2005-2007), Direktur Promosi
Investasi dan Kemitraan (tahun 2007-2010) dan mulai tanggal 7 Oktober 2010
sampai saat ini sebagai Direktur Partisipasi Masyarakat pada Ditjen P2KTrans
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
xxi
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL .................................................................... xxv
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xxix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................... xxxiii
I. PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................... 14
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................... 14
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 17
2.1. Pembangunan Manusia ...................................................... 17
2.2. Indeks Pembangunan Manusia ........................................... 21
2.3. Tujuan Pembangunan Milenium ........................................ 25
2.4. Kebijakan Fiskal di Beberapa Negara ................................ 27
2.5. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan Indeks Pembangunan Manusia ...................................................... 29
2.6. Tinjauan Studi Terdahulu ................................................... 31
III. KERANGKA TEORITIS ....................................................... 37
3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter........................... 37
3.1.1. Dampak Kebijakan Fiskal pada Permintaan Agregat ..................................................................... 41
3.1.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Penawaran Agregat ..................................................................... 42
3.2. Kemiskinan ........................................................................ 45
3.3. Tingkat Pengangguran ....................................................... 46
3.4. Pemerintah sebagai Penyedia Barang Publik .................... 51
xxii
IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 55
4.1. Kerangka Pemikiran ........................................................... 55
4.2. Hipotesis Penelitian ............................................................ 58
4.3. Sumber Data ....................................................................... 58
4.4. Spesifikasi Model ............................................................... 58
4.4.1. Blok Pendapatan Daerah .......................................... 59
4.4.2. Blok Belanja Daerah ................................................ 60
4.4.3. Blok Permintaan Agregat ......................................... 61
4.4.4. Blok Penawaran Agregat .......................................... 62
4.4.5. Blok Tenaga Kerja ................................................... 63
4.4.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia ........................ 64
4.5. Prosedur Analisis Data ....................................................... 66
4.5.1. Identifikasi Model .................................................... 66
4.5.2. Metode Pendugaan Model ........................................ 67
4.5.3. Validasi Model ......................................................... 67
4.5.4. Simulasi Model ........................................................ 69
V. GAMBARAN UMUM ............................................................ 71
5.1. Blok Pendapatan Daerah .................................................... 72
5.1.1. Pajak Daerah ............................................................ 72
5.1.2. Dana Alokasi Umum ................................................ 73
5.2. Blok Belanja Daerah .......................................................... 75
5.2.1. Belanja Sektor Pendidikan ....................................... 75
5.2.2. Belanja Sektor Kesehatan ........................................ 78
5.3. Blok Permintaan Agregat ................................................... 79
5.4. Blok Penawaran Agregat .................................................... 80
5.5. Blok Tenaga Kerja ............................................................. 81
5.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia .................................. 82
5.6.1. Rata-Rata Lama Sekolah .......................................... 82
5.6.2. Angka Melek Huruf ................................................. 85
5.6.3. Angka Harapan Hidup .............................................. 87
5.6.4. Daya Beli .................................................................. 90
xxiii
5.6.5. Indeks Pembangunan Manusia ................................. 92
5.6.6. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota ........................ 94
VI. MODEL INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA: HASIL ANALISA PARSIAL PERSAMAAN STRUKTURAL ...... 97
6.1. Analisis Umum Model Estimasi ........................................ 97
6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural ......................... 98
6.2.1. Blok Pendapatan Daerah .......................................... 98
6.2.2. Blok Belanja Daerah ................................................ 101
6.2.3. Blok Permintaan Agregat ......................................... 109
6.2.4. Blok Penawaran Agregat .......................................... 112
6.2.5. Blok Tenaga Kerja ................................................... 118
6.2.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia ........................ 121
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2013-2015 .................................................................. 129
7.1. Validasi Model ................................................................... 129
7.2. Ramalan Variabel Endogen Tanpa Alternatif Skenario Kebijakan ...........................................................................
131
7.3. Dampak Skenario Kebijakan Periode Tahun 2013-2015 ... 134
7.3.1. Kebijakan Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 20 Persen ............................
136
7.3.2. Kebijakan Transfer Dana Alokasi Umum Naik 20 Persen .................................................................. 137
7.3.3. Kebijakan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen ............................. 138
7.3.4. Kombinasi Kebijakan Belanja Sektor Pendidikan, Belanja Sektor Kesehatan, Belanja Pemerintah Sektor Bangunan, dan Infrastruktur Naik 20 Persen
139
7.3.5. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen ....... 141
7.3.6. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen ....................................................................... 142
xxiv
7.3.7. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja 40 Persen .............................
144
7.3.8. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan 40 Persen .....................................
145
7.4. Hasil Ramalan Alternatif Kebijakan terhadap Pemerataan Pembangunan Daerah ....................................
146
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .............. 151
8.1. Kesimpulan ........................................................................ 151
8.2. Implikasi Kebijakan ........................................................... 153
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 155
LAMPIRAN ............................................................................. 160
xxv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Indeks Pembangunan Manusia dan Variabel Turunannya Tahun 2008 dan 2009 .............................................................
11
2. Tujuan dan Target Pembangunan Milenium bagi Indonesia... 263. Indikator Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun
1990 dan 2015 ........................................................................ 27
4. Nama Variabel Model Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia ...........................................................
57
5. Provinsi dengan Anggaran Belanja Sektor Pendidikan Tertinggi dan Terendah Tahun 2004-2008 .............................
76
6. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Penelitian Tahun 2004-2008 ........................................................................................
78
7. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Pajak Daerah Tahun 2004-2008 ...............................................................................
99
8. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008 ................................................................... 100
9. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2004-2008 ................................................
102
10. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Sektor Kesehatan Tahun 2004-2008 .................................................. 103
11. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Pertanian Tahun 2004-2008 ........................................
105
12. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Industri Tahun 2004-2008 ...........................................
106
13. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008 .......... 107
14. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008 ....................................... 108
15. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Tahun 2004-2008 .......................................... 109
xxvi
16. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Pembentukan Modal Tetap Bruto Tahun 2004-2008 ...............................................
111
17. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Pertanian Tahun 2004-2008 ...................................................
112
18. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Industri Tahun 2004-2008 ......................................................
114
19. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008 .....................
115
20. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008 ..................................................
116
21. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2004-2008 ...................................................
118
22. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri Tahun 2004-2008 ......................................................
119
23. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008 .....................
120
24. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008 ..................................................
121
25. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Angka Harapan Hidup Tahun 2004-2008 ...................................................................
122
26. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Angka Melek Huruf Tahun 2004-2008 ...................................................................
123
27. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Rata-Rata Lama Sekolah Tahun 2004-2008 ......................................................
125
28. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Daya Beli Tahun 2004-2008 ........................................................................................
126
29. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Tahun 2004-2008 ...........................................
128
30. Hasil Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia ..................................................................................
130
31. Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Tahun 2013-2015 ..................................................
132
32. Sasaran dan Ramalan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 tanpa Skenario Kebijakan ..............................................
134
33. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Indikator Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2013-2015 .............................
135
xxvii
34. Dampak Kenaikan Belanja Pendidikan dan Kesehatan Sebesar 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ............................................................
137
35. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ........................................................................................
138
36. Dampak Kenaikan Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur terhadap Sasaran dan Pencapaian Milenium Tahun 2015 .............................................................................
139
37. Dampak Kenaikan Belanja Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, dan Sektor Bangunan dan Infrastruktur Masing-Masing 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ............................................................
141
38. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ........
142
39. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ........
143
40. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 ............................
145
41. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 .............................................................................
146
42. Hasil Ramalan Alternatif Kebijakan terhadap Pemerataan Pembangunan Daerah ............................................................. 147
xxix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Disparitas Indeks Pembanguna n Manusia Norwegia, Indonesia, dan Nigeria Tahun 1980-2007 .............................. 6
2. Grafik Linier Indeks Pembangunan Manusia Norwegia, Indonesia, dan Nigeria ............................................................ 7
3. Indeks Pembangunan Manusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Papua ........................... 8
4. Kecendrungan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 1980-2007 ................................................................... 24
5. Skema Hubungan Pasar Uang dan Pasar Barang ................... 37
6. Kurva Investment Saving ........................................................ 38
7. Kurva Liquidity Preference Money Supply ............................ 39
8. Kurva Permintaan Agregat ..................................................... 41
9. Kurva Penawaran Agregat ...................................................... 42
10. Dampak Kebijakan Fiskal pada Pasar Barang ....................... 44
11. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran ... 48
12.
Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta
Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan ..............................
53
13. Kerangka Pemikiran Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Indeks Pembangunan Manusia ............................................... 55
14. Model Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia ................................................................................
56
15. Perkembangan Pajak Daerah pada 21 Provinsi..................... 72
16. Konstribusi Pajak Daerah Tertinggi dan Terendah dalam Pendapatan Asli Daerah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008 ....
73
17. Dana Alokasi Umum di 21 Provinsi Tahun 2004-2008 ......... 74
18. Dana Alokasi Umum Tertinggi dan Terendah Dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008 ....................................................... 74
xxx
19 Perbandingan Alokasi Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Penelitian Tahun 2004- 2008 ........................................................................................
77
20. Belanja Sektor Kesehatan Tertinggi dan Terendah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008
78
21. Proporsi Komponen dalam Produk Domestik Bruto Sisi Pengeluaran Tahun 2004-2008 ...............................................
80
22. Proporsi Komponen dalam Produk Domestik Bruto Sektoral Tahun 2004-2008 ...................................................................
80
23. Provinsi dengan Pengangguran Terendah dan Tertinggi Tahun 2008 .............................................................................
81
24. Perbandingan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah, Pendapatan Per Kapita, dan Persentase Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2008 ..............................................
83
25. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................
84
26. Perbandingan Angka Melek Hurup Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Pendidikan, dan Rata-Rata Lama Sekolah Tahun 2008 ...............................................................
85
27. Perkembangan Angka Melek Hurup Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................................
86
28. Perbandingan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Kesehatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008 ............
87
29. Perkembangan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................
88
30. Perkembangan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................................
89
31. Perbandingan Kemampuan Daya Beli Tertinggi dan Terendah, Persentase Pengangguran, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008 .................................
90
32. Perkembangan Daya Beli Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................................
91
33. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah, Indeks Hidup Panjang, Indeks Pendidikan, dan Indeks Hidup Layak Tahun 2008 ...........................................
93
34 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ................
94
xxxi
35. Perbandingan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Terendah dan Tertinggi dengan Daya Beli Tahun 2008 ........................ 95
36. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Desa Kota Terendah dan Tertinggi Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 ......... 96
xxxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Program Estimasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia ...............................................................................
161
2. Hasil Estimasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia ...............................................................................
163
3. Program Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia ...............................................................................
187
4. Hasil Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia ...............................................................................
191
5. Program Simnlin Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia (Kebijakan Afirmatif terhadap Provinsi Quantil 1 IPM Terendah) ....................................................................
195
6. Ringkasan Hasil Simulasi Kebijakan Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Periode Tahun 2004-2008
201
7. Ringkasan Hasil Simulasi Kebijakan Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Periode Tahun 2009-2015
203
8. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan Meningkat 20 Persen .........................................
205
9. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Dana Alokasi Umum Meningkat 20 Persen .......
206
10. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Meningkat 20 Persen ......................................
207
11. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Bangunan, dan Infrastruktur 20 Persen ...............................
208
12. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Kuantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen .........................................
209
13. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Kuantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen ..................
2010
xxxiv
14. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Kuantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Total Belanja 40 Persen ...............................
211
15. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Kuantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Sektor Kesehatan 40 Persen ...............................................
212
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan angka nominal
indeks pembangunan manusia, dan pencapaian sasaran Millennium Development
Goals (MDGs) tahun 2015 telah menjadi komitmen Indonesia dalam
pembangunan di segala bidang. Indeks pembangunan manusia merupakan proksi
kinerja pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development),
sedangkan MDGs merupakan sasaran pembangunan manusia hingga tahun 2015.
Tujuan MDGs terdiri dari, yaitu: (1) mengurangi kemiskinan dan kelaparan
(reducing poverty and hunger), (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua
(achieving universal primary education), (3) mempromosikan kesetaraan dan
keadilan gender, khususnya di pendidikan (promoting gender equality, especially
in education) serta pemberdayaan perempuan (empowering women), (4)
menurunkan angka kematian balita (reducing child mortality), (5) meningkatkan
kesehatan ibu (improving maternal health), (6) mencegah HIV/AIDS, malaria,
dan penyakit lainnya (combating HIV/AIDS, malaria, and other diseases), (7)
menjamin lingkungan berkelanjutan (ensuring environmental sustainability), dan
(8) memperkuat kemitraan global antara negara kaya dan negara miskin
(strengthening partnership between rich and poor countries) (United Nations
Development Programme, 2003).
UNDP menguraikan MDGs ke dalam target spesifik tahun 2015, yaitu: (1)
menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$1
(Purchacing Power Pariety atau PPP) per hari menjadi setengahnya dalam kurun
2
waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015, (2) menjamin seluruh anak laki-laki
dan perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dasar, (3) mengeleminasi
perbedaan gender di semua jenjang pendidikan, (4) mengurangi kematian anak
balita sebesar dua per tiganya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan
tahun 2015, (5) mengurangi rasio kematian ibu melahirkan sebesar tiga per
empatnya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015, (6)
menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran HIV/AIDS dan kejadian
malaria dan penyakit utama lainnya, (7) mengurangi setengah proporsi dari
penduduk tanpa akses air minum yang baik, dan (8) menaruh perhatian lebih besar
kepada kebutuhan khusus negara negara sedang berkembang yang terisolir dan
pulau-pulau kecil (Todaro and Smith, 2006).
Berdasarkan cara pengukuran indeks pembangunan manusia yang dilakukan
di seluruh dunia, maka indeks pembangunan manusia Indonesia diukur dengan
rumus tertentu yang terdiri atas tiga dimensi pokok pembangunan manusia di
Indonesia, yaitu: (1) hidup layak yang diukur dari Indeks Hidup Layak (IHL), (2)
hidup panjang yang diukur dari Indeks Hidup Panjang (IHP), dan (3) hidup
mudah yang diukur dari Indeks Pendidikan (IP). Masing masing komponen diberi
bobot satu per tiga. Meskipun pembobotan indeks hidup panjang, indeks
pendidikan, indeks hidup layak dihitung berdasarkan persamaan identitas, tetapi
memberikan hasil yang hampir sama dengan analisis multivarians, dimana masing
masing bernilai 0.34, 0.34, dan 0.32 (Biswas and Caliendo, 2001).
Berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP)
tanggal 5 Oktober 2009 bahwa indeks pembangunan manusia untuk Indonesia
berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara. Jika dibandingkan dengan negara-
3
negara tetangga sesama anggota Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), maka peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia masih jauh,
khususnya dari Singapura yang berada pada peringkat 23 dan Malaysia berada
pada peringkat 66. Pemerintah Indonesia sepertinya masih belum menemukan
formula yang tepat untuk mencapainya. Oleh sebab itu nilai nominal indeks
pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal di belakang dari sasaran
MDGs. Misalnya Pemerintah Jawa Barat masih belum menemukan bagaimana
cara mencapai indeks pembangunan manusia menjadi sebesar 80, yang notabene
menjadi nilai paling rendah dari kelompok negara maju dengan nilai indeks
pembangunan manusia antara 80 dan 100.1
Secara logika angka nominal indeks pembangunan manusia Indonesia akan
meningkat apabila indeks pembangunan manusia seluruh provinsi di Indonesia
meningkat, padahal angka nominal indeks pembangunan manusia akan meningkat
apabila meningkatnya indeks-indeks komponen pembentuknya, yaitu: indeks
hidup layak yang unsur utamanya adalah pendapatan per kapita berdasarkan
kemampuan daya beli, indeks hidup panjang yang unsurnya adalah Angka
Harapan Hidup (AHH), dan Indeks Pendidikan yang unsurnya adalah Angka
Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Sementara itu, upaya
meningkatkan ketiga indeks tersebut secara ekonomi dapat dilakukan dengan
meningkatkan investasi di provinsi yang bersangkutan, baik investasi dalam
bentuk sumber daya modal maupun investasi dalam bentuk sumber daya
manusia.
Melalui investasi sumber daya modal dan sumber daya manusia akan terjadi
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia secara timbal balik.
--------------------------------------------------------1 Harian Kompas, 16 Desember 2010: Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Diundur Jadi 2022
4
Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pembangunan manusia dan sebaliknya
pembangunan manusia pada gilirannya juga akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (Ranis and Steward,2002; Ranis, 2004).
Kebijakan fiskal menjadi salah satu instrumen investasi dari Pemerintah
yang disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kebijakan ini di bawah
pengelolaan dan kendali aparatur Pemerintah dengan harapan akan lebih mudah
dan cepat dilaksanakan, serta dengan sasaran yang dapat diarahkan langsung
menyentuh komponen pembentuk indeks pembangunan manusia tersebut.
Bersamaan dengan itu, melalui pertumbuhan ekonomi akan menyediakan fiskal
bagi belanja Pemerintah yang bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh dunia
usaha dan masyarakat.
Kontribusi masyarakat dan dunia usaha tidak hanya sebagai pembayar pajak
dan retribusi yang pada akhirnya menjadi pendapatan negara dan daerah, namun
mereka juga berkonstribusi langsung dalam peningkatan indeks pembangunan
manusia melalui pengeluaran konsumsi dan investasi, terutama melalui konsumsi
rumah tangga untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
1.2. Perumusan Masalah
Indeks pembangunan manusia memberikan makna yang penting dalam
pembangunan suatu negara. Makna dari angka nominal indeks pembangunan
manusia adalah untuk menggambarkan pencapaian pembangunan manusia, yang
biasanya dibagi menjadi tiga kelompok pencapaian, yaitu: (1) kelompok indeks
pembangunan manusia bernilai nominal lebih kecil dari 50 dengan predikat
tingkat pembangunan manusia rendah, (2) kelompok indeks pembangunan
5
manusia yang memiliki nilai indeks pembangunan manusia di antara 50 dan 80
dengan predikat tingkat pembangunan manusia sedang, dan (3) indeks
pembangunan manusia bernilai 80 dan 100 dengan predikat tingkat pembangunan
manusia tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008).
Peringkat indeks pembangunan manusia menggambarkan tentang
perbandingan pencapaian indeks pembangunan manusia antar negara, antar daerah
antar wilayah yang diukur. Peringkat satu merupakan peringkat yang tertinggi
dalam pencapaian pembangunan manusia. Setiap negara atau daerah tentunya
ingin mencapai peringkat yang lebih baik dari waktu ke waktu, sehingga kenaikan
nilai nominal indeks pembangunan manusia saja menjadi kurang berarti jika tidak
diikuti dengan kenaikan peringkat indeks pembangunan manusia. Kondisi ini
menstimulasi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menaikkan nilai nominal
indeks pembangunan manusia masing-masing, sehingga pada saatnya nanti
disparitas nilai nominal satu sama lainnya akan semakin menyempit dan
kesejahteraan rakyat semakin merata.
Mengikuti laporan UNDP dari tahun 1995 hingga tahun 2009, maka setiap
negara yang diukur indeks pembangunan manusianya secara berkelanjutan
memiliki angka nominal indeks pembangunan manusia dengan kecendrungan
meningkat. Sebagai contoh Norwegia sebagai pemegang peringkat tertinggi dalam
laporan UNDP tahun 2009 selama tahun 1980 hingga 2007, sedangkan Nigeria
berada pada peringkat terendah, yaitu diurutan 182 dalam laporan UNDP tahun
2009. Di sisi lain Indonesia berada pada peringkat 111 dalam laporan UNDP
tahun 2009 memiliki kecendrungan yang meningkat pula dari tahun ke tahun.
Selama ini indeks pembangunan manusia yang terus meningkat tidak disertai
6
dengan konvergensi pencapaian indeks pembangunan manusia antar negara,
sehingga disparitas indeks pembangunan manusia antar negara belum teratasi.
Untuk melihat disparitas indeks pembangunan manusia ketiga negara tersebut
disajikan pada Gambar 1.
Sumber: United Nations Development Programme, 2009.
Gambar 1. Disparitas Indeks Pembangunan Manusia di Norwegia, Indonesia, dan Nigeria Tahun 1980-2007
Grafik di atas menunjukkan bahwa ketiga negara memiliki indeks
pembangunan manusia yang cendrung meningkat, namun disparitas antar negara
masih relatif dalam. Hal ini juga menunjukan bagaimana perbedaan kedalaman
disparitas pembangunan manusia di ketiga negara tersebut. Bagi Indonesia, perlu
diakui jika relatif sangat jauh untuk mengejar ketertinggalan indeks pembangunan
manusia Norwegia.
Pada Gambar 2 menampilkan kecendrungan indeks pembangunan manusia
Norwegia, Indonesia, dan Nigeria dengan menggunakan persamaan linier
sederhana. Tahun 1980 sebagai tahun dasar bagi jangka waktu (angka nol).
7
Berdasarkan regresi sederhana dengan menggunakan bantuan Microsoft Office
Excel, maka persamaan linier indeks pembangunan manusia masing-masing
negara adalah sebagai berikut:
Norwegia : Y = 1.1095X + 89.432 sehingga X = 0.9013Y - 89.432
Indonesia : Y = 3.1321X + 51.218 sehingga X = 0.3192Y - 51.218
Nigeria : Y = 2,51X + 15.26 sehingga X = 0.3984Y-15.26
Sumber: United Nations Development Programme, 2009 (diolah).
Gambar 2. Grafik Linier Indeks Pembangunan Manusia di Norwegia, Indonesia, dan Nigeria
Y adalah besaran nilai indeks pembangunan manusia dan X adalah jangka
waktu (tahun), maka secara sederhana dapat dihitung waktu yang harus ditunggu
Indonesia untuk mencapai nilai nominal indeks pembangunan manusia Indonesia
sama dengan nilai nominal indeks pembangunan manusia Norwegia adalah sekitar
19 tahun. Sedangkan nilai nominal indeks pembangunan manusia Nigeria berada
di bawah indeks pembangunan manusia Indonesia, yaitu sekitar 58 tahun. Namun,
8
pada kenyataannya, pencapaian angka nominal indeks pembangunan manusia
suatu negara tidak sesederhana persamaan linier tersebut, karena berkaitan dengan
banyak faktor yang menjadi variabel peubahnya, yang terdiri atas variabel di
bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan.
Indeks pembangunan manusia Indonesia merupakan rata-rata dari
akumulasi indeks pembangunan manusia yang terjadi di 33 provinsi. Pada tahun
2008, indeks pembangunan manusia di 33 provinsi menunjukan selang antara
indeks pembangunan manusia tertinggi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar
77.03 dan indeks pembangunan manusia terendah di Papua sebesar 64, sedangkan
yang berada di peringkat moderat, yaitu peringkat 17, adalah Daerah Istimewa
Aceh sebesar 70.76.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 3. Indeks Pembangunan Manusia Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Papua Tahun 2005-2008
9
Indeks pembangunan manusia provinsi Daerah Khusus Ibukota, Daerah
Istimewa Aceh, dan Papua dapat dijadikan sebagai contoh disparitas capaian
indeks pembangunan manusia antar daerah di Indonesia. Indeks pembangunan
manusia tertinggi pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 berada di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Indeks pembangunan manusia moderat diwakili Daerah
Istimewa Aceh, sedangkan indeks pembangunan manusia terendah dimiliki oleh
Provinsi Papua. Kecendrungan indeks pembangunan manusia dan disparitas tiga
provinsi tersebut dijelaskan secara grafis dalam Gambar 3.
Lebih jauh bahwa disparitas indeks pembangunan manusia tersebut
mengandung arti pula disparitas sebagian hingga keseluruhan dari variabel
pembentuk indeks pembangunan manusia, seperti angka harapan hidup, angka
melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita yang didekati
dengan daya beli. Disparitas pembangunan sosial ekonomi antara
provinsi/kabupaten/kota maju dan provinsi/kabupaten/kota tertinggal di Indonesia,
menunjukan jurang kemiskinan yang dalam di provinsi/kabupaten/kota yang
tertinggal tersebut. Membiarkan hal ini terus berlangsung telah melanggar amanat
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial antar
penduduk dan antar daerah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
disintegritas bangsa. Oleh sebab itu disparitas indeks pembangunan manusia dapat
menjadi disintegritas bangsa apabila tidak diantisipasi dengan baik.
Laporan pencapaian pembangunan manusia Indonesia tahun 2007
menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan Pemerintah terhadap pencapaian
MDGs sudah dalam jalur yang benar. Namun menurut Alisyahbana, Menteri
--------------------------------------------------------2 Harian Kompas, 4 Agustus 2010. 7(1-3): Wajah Muram MDGs di Indonesia
10
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada tanggal 20
April tahun 2010, capaian MDGs berpotensi gagal dicapai pada tahun 2015.2
Begitu juga dengan Susilo pada Harian Kompas tanggal 4 Agustus tahun 2010
yang mengutip progress report MDGs di kawasan Asia dan Pasifik, dimana
Indonesia masih masuk kategori negara yang lamban langkahnya dalam mencapai
MDGs pada tahun 2015. Agar hal ini tidak terjadi maka diperlukan penguatan
komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (political will), dan peran
pemuka masyarakat dalam mempercepat pencapaian MDGs tersebut. 3
Sumber potensi kegagalan yang disebutkan oleh Alisyahbana sama dengan
sumber kelambanan yang disebutkan oleh Susilo, yaitu merujuk kepada masih
tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan, belum teratasinya laju penularan
HIV/AIDS, makin meluasnya laju deforestrasi, rendahnya tingkat pemenuhan air
minum dan sanitasi yang buruk, serta beban utang luar negeri yang terus
menggunung (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific, 2010). Ditambahkan oleh Wakil Presiden, Budiono, bahwa penyebab
lambannya kemajuan pencapaian MDGs adalah dukungan fiskal dari negara maju
dan alokasi dana dalam negeri yang kurang memadai untuk melanjutkan MDGs
tahun 2015. Komitmen negara maju seperti yang dicetuskan pada pertemuan di
Montereym, Meksiko pada tahun 2002 dan di Gleneagles, Skotlandia pada tahun
2005 telah memudar akibat krisis global tahun 2008. Komitmen semula dari
negara maju menyisihkan 0.7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun
pada kenyataannya mereka hanya merealisasikan 0.31 persen PDB-nya guna
membantu negara miskin dalam mencapai MDGs. 4 --------------------------------------------------------
3 Harian Kompas, 21 April 2010. 3(3-4): Tujuan Milenium Berpotensi Gagal 4 Harian Bisnis Indonesia, 4 Agustus 2010. 2 (3-6) : Wapres Tagih Komitmen Negara Maju Soal MDGs.
11
Susilo juga menyebut penyebab utama potensi kegagalan atau kelambanan
pelaksanaan anggaran Pemerintah adalah karena pencapaian MDGs dan
penanggulangan kemiskinan tidak dijadikan indikator keberhasilannya. Selama
ini indikator-indikator yang dipakai untuk penyusunan APBN dan APBD hanya
indikator-indikator makroekonomi tanpa menyertakan indikator target MDGs dan
indeks pembangunan manusia. Semestinya harus ada perubahan mendasar dalam
menilai keberhasilan pembiayaan negara bukan hanya pada tingkat penyerapan
anggaran tetapi juga pada dampak penggunaan anggaran terhadap pencapaian
target MDGs dan indikator indeks pembangunan manusia yang terukur.
Sama dengan fenomena pencapaian agregat MDGs tingkat nasional,
pencapaian MDGs provinsi-provinsi di Indonesia dikhawatirkan tidak tercapai.
Untuk sebagai contoh, berikut adalah data pencapaian tiga provinsi di Indonesia
menyangkut indeks pembangunan manusia dan variabel-variabel turunannya pada
tahun 2008 dan tahun 2009.
Tabel 1. Indeks Pembangunan Manusia dan Variabel Turunannya Tahun 2008-2009
No. Provinsi (ranking)
Angka Harapan
Hidup (Tahun)
Angka Melek Huruf
(Persen)
Rata-Rata Lama
Sekolah (Tahun)
Pengeluaran per Kapita
(Rp. 1 000*)
Indeks Pembangunan
Manusia
2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009 2008 2009
1. Daerah Khusus Ibukota (1)
73.90 73.05 98.76 98.94 10.80 10.9 625.70 627.46 77.03 77.36
2. Daerah Istimewa Aceh (17)
68.50 68.60 96.20 96.39 8.50 8.63 605.56 610.27 70.76 71.31
3. Papua (33) 68.10 68.35 75.41 75.58 6.52 6.57 599.65 603.88 64.53 64.53
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010. Keterangan: *) Pengeluaran riil per kapita disesuaikan (Purchacing Power Pariety atau PPP).
Betapapun Indonesia dinyatakan sudah berada pada jalur pencapaian
MDGs, menurut Palupi (2010), walaupun telah terjadi peningkatkan anggaran
untuk penanggulangan kemiskinan sebesar 300 persen lebih, yaitu dari Rp. 23
12
`triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 70 triliun pada tahun 2008, namun angka
kemiskinan hanya berkurang 1 persen. Hal ini karena program penanggulangan
kemiskinan sama sekali tidak efektif, dan karena itu data capaian target MDGs
terkait pengurangan kemiskinan diragukan.5
Landasan hukum, konsensus dan komitmen Indonesia sesungguhnya sudah
sangat kuat dalam pembangunan yang berpusat pada manusia yang didekati
dengan peningkatan indeks pembangunan manusia. Salah satunya adalah
digunakannya indikator indeks pembangunan manusia untuk dasar mengukur
besaran anggaran transfer pusat ke daerah melalui dana alokasi umum (DAU).
Kebijakan yang sudah baik ini, dari sisi anggaran pendapatan daerah, seharusnya
diikuti dengan memberikan landasan yang kuat dari sisi belanja daerah, yaitu
dengan menunjukkan sektor apa yang paling tepat sebagai dasar kebijakan fiskal
untuk percepatan pembangunan daerah. Dengan kata lain, setidaknya ada landasan
ilmiah mengapa sektor pendidikan dan atau sektor kesehatan yang dijadikan
prioritas pembangunan manusia di Indonesia selama ini.
Fakta di lapangan menunjukan bahwa kebijakan fiskal yang menjadi
kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, yang
dikaitkan dengan upaya peningkatan angka nominal indeks pembangunan
manusia, dilakukan lebih bersifat coba-coba karena tidak adaa model ekonominya,
sehingga tidak mampu meramalkan kombinasi besaran dan jangka waktu dalam
mencapai sasaran pembangunan manusia yang ditetapkan dalam MDGs. Sejauh
ini, kebijakan fiskal oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
kebanyakan adalah dengan memperbesar anggaran sektor pendidikan dan atau
sektor kesehatan. Pilihan memperbesar anggaran sektor pendidikan berdasarkan --------------------------------------------------------
5 Harian Kompas, 5 Agustus 2010. 6(3-6): MDGs, Proyek Menjinakkan Nurani ?.
13
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengamanatkan pengalokasiannya
minimal 20 persen dari total anggaran. Sedangkan pilihan memperbesar sektor
kesehatan tentunya didasarkan asumsi bahwa sektor kesehatan mengandung
komponen angka harapan hidup yang menjadi pembentuk persamaan identitas
indeks pembangunan manusia.
Pilihan-pilihan tersebut masih menyimpan pertanyaan mengenai ketepatan
jumlah alokasi fiskal, ketepatan pemilihan sektor, dan jawaban tentang pertanyaan
kapan target MDGs dapat tercapai, karena selama ini belum ada model yang
menempatkan komponen-komponen indeks pembangunan manusia sebagai
variabel endogen dan menjadi bagian dari model ekonometrika. Jika model
ekonometrika indeks pembangunan manusia sudah terbangun secara terintegrasi,
maka berbagai permasalahan di atas dapat dengan lebih mudah diselesaikan.
Berdasarkan uraian di atas dan uraian pada latar belakang, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana model ekonometrika mampu menjelaskan kaitan komponen-
komponen perekonomian makro (APBD, pasar barang dan pasar tenaga
kerja) dengan komponen-komponen indeks pembangunan manusia (angka
harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan
per kapita), serta bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap indeks
pembangunan manusia di Indonesia?
2. Bagaimana stategi kebijakan fiskal yang efektif dalam rangka mengurangi
pengangguran dan kemiskinan, serta mendukung pemerataan pembangunan
antar provinsi di Indonesia?
14
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mampu mengurai permasalahan tersebut di
atas dan menemukan solusi terbaik sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Membangun model makro ekonometrika yang diperluas dengan
mengintegrasikan komponen perekonomian makro dan indeks
pembangunan manusia.
2. Mempelajari dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor
kesehatan, serta sektor lainnya terhadap perekonomian makro dan indeks
pembangunan manusia.
3. Meramalkan indeks pembangunan manusia dalam kerangka pencapaian
MDGs di Indonesia tahun 2015.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil identifikasi hubungan kausalitas perekonomian makro dengan indeks
pembangunan manusia serta dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan
sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia dapat digunakan untuk:
1. Bahan masukan dalam rangka pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centred development) di Indonesia.
2. Salah satu sumber informasi untuk perumusan alternatif kebijakan dalam
rangka mencapai sasaran MDGs di Indonesia.
3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan dampak kebijakan fiskal,
khususnya sektor pendidikan dan sektor kesehatan, terhadap indeks pembangunan
15
manusia di Indonesia pada tahun 2015. Penelitian ini memiliki berbagai
keterbatasan:
1. Alokasi belanja sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor lainnya
tidak semata-mata tergantung pada pertimbangan ekonomi (pertumbuhan
dan pemerataan), tetapi juga tergantung pada politik anggaran Pemerintah
setempat. Namun dalam penelitian ini diasumsikan bahwa politik anggaran
Pemerintah setempat sudah mempertimbangkan aspek ekonomi tersebut.
2. Belanja sektor, termasuk sektor pendidikan dan sektor kesehatan, meliputi
belanja sektor yang tertampung dalam anggaran pendapatan dan belanja
provinsi maupun kabupaten/kota di provinsi masing-masing, tidak termasuk
belanja sektor yang berasal dari dana dekonsentrasi maupun dana
pembantuan, serta tidak diurai lebih lanjut berdasarkan jenis pengeluaran
maupun jenis kegiatan.
3. Disesuaikan dengan ketersediaan data dan waktu penelitian, maka hanya
sasaran kunci dari MDGs yang dijadikan variabel endogen dalam model
yang dibangun (angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama
sekolah, dan daya beli sebagai proksi pendapatan riil per kapita), serta hanya
meliputi 21 provinsi dengan jenis data cross section dan time series selama
tahun 2004 sampai dengan hingga tahun 2008.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Manusia
Menurut United Nations Development Programme (UNDP, 1990)
pembangunan manusia adalah proses memperluas pilihan orang, dimana yang
paling utama adalah mengarah pada tingginya harapan hidup dan kesehatan, dapat
menikmati pendidikan, dan dapat memenuhi standar kehidupan yang layak.
Pembangunan manusia mempunyai makna lebih dari pada sekedar peningkatan
pendapatan nasional semata. Pembangunan manusia harus dimaknai sebagai
upaya multi dimensi, dalam rangka menciptakan kemampuan insaninya,
merangsang tumbuhnya kreativitas kehidupan yang sesuai dengan kebutuhan dan
minatnya, serta akhirnya dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.
Keadaan ini dapat menjadi dasar anggapan bahwa sumber daya manusia
adalah sumber kekayaan negara sesungguhnya. Termasuk orang miskin, meskipun
hampir tidak memiliki apa-apa, tetapi setidaknya memilki aset berupa tenaga
fisiknya, yang juga merupakan bagian kekayaan negara sesungguhnya.
Potensi dari sumber daya manusia tersebut, dengan tenaga fisik sebagai aset
awalnya, akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan,
kesehatan, dan pendapatan yang dimilikinya. Keadaan ini menempatkan sektor
pendidikan dan sektor kesehatan menjadi kunci pokok dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia secara timbal balik dalam
jangka panjang.
Sejumlah tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang dicanangkan oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga berkaitan langsung dengan sektor
18
pendidikan dan kesehatan, yaitu: mencapai pendidikan dasar untuk semua,
mengurangi angka kematian bayi, meningkatkan kesehatan ibu, dan
menanggulangi penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.
Tujuan MDGs lainnya juga mempunyai keterkaitan dengan bidang pendidikan
dan kesehatan seperti mengurangi kemiskinan, dimana sektor pendidikan dan
kesehatan juga berperan dalam hal ini. Dengan demikian setiap negara akan
menyadari betapa pentingnya sektor pendidikan dan kesehatan sebagai upaya
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan mendapatkan prioritas dalam
perencanaan pembangunan.
Laporan UNDP tahun 1990 secara tegas telah menjelaskan pentingnya
pembangunan manusia (human development) bahwa manusia adalah kekayaan
bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah
menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati
umur panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif. Hal ini
tampaknya merupakan suatu kenyataan sederhana. Tetapi hal ini seringkali
terlupakan oleh kesibukan jangka pendek untuk mengumpulkan harta dan uang.
Selain itu laporan tersebut juga mendifinisikan pembangunan manusia sebagai
perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people). Perluasan
pilihan yang terpenting adalah hal-hal yang menjadikan penduduk paling tidak
memiliki, yaitu: peluang berumur panjang dan sehat, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan menikmati standar hidup layak. Pilihan-pilihan
lainnya meliputi kebebasan politik, jaminan hak azasi manusia, dan menghormati
diri sendiri.
19
Sedangkan dalam Human Development Report tahun 1996 dari UNDP,
bahwa pembangunan berpusat pada manusia dipromosikan melalui penegasan
bahwa pembangunan manusia adalah tujuan akhir pembangunan (the ultimate
end), sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah sarana (the principal means) untuk
mencapai tujuan akhir pembangunan tersebut.
Semakin jelas bahwa perluasan pilihan dimaksud berada pada tataran
proses dan tataran hasil akhir pembangunan. Perluasan pilihan dalam tataran
proses disediakan untuk manusia dalam perannya sebagai pelaku pembangunan.
Sedangkan perluasan pilihan dalam tataran hasil akhir disediakan untuk manusia
dalam perannya sebagai penikmat pembangunan. Sehingga, pembangunan
manusia pada dasarnya adalah suatu upaya dalam rangka membangun
kemampuan manusia, tidak perduli apakah mereka miskin atau kaya, melalui
perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan dan keterampilan, sekaligus sebagai
pemanfaatan (utilizing) kemampuan atau keterampilan mereka tersebut. Konsep
pembangunan manusia demikian ini jauh lebih luas pengertiannya dibandingkan
dengan konsep pembangunan ekonomi yang menekankan kepada pertumbuhan
(economic growth), kebutuhan dasar (basic needs), kesejahteraan masyarakat
(social welfare), atau pengembangan sumberdaya manusia (human resource
development) (Qureshi, 2010).
Uraian-uraian di atas semakin memperkokoh paradigma pembangunan
berpusat pada manusia (people centered development) yang menempatkan
manusia sebagai tujuan akhir pembangunan dan bukan hanya sebagai alat
pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan akhir pembangunan dimaksud, terdapat
20
4 hal pokok yang harus diperhatikan sebagai komponen kunci pembangunan
manusia, yaitu:
1. Produktivitas (productivity), mengandung makna bahwa manusia yang
produktif akan mampu menghasilkan pendapatan bagi dirinya dan bagi
keluarganya serta bagi bangsanya. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi
merupakan bagian dari model pembangunan manusia, dan merupakan
variabel endogen yang akan berpengaruh terhadap indeks pembangunan
manusia.
2. Keadilan (equality), mengandung makna bahwa manusia sebagai mahluk
sosial harus memiliki kesempatan yang sama untuk hidup lebih baik. Praktik
monopoli, seperti monopoli ekonomi dan monopoli politik, harus
dihapuskan melalui pengaturan-pengaturan yang dilakukan secara
demokratis. Semua orang boleh memilih apa yang terbaik bagi
kehidupannya sepanjang tidak melanggar aturan main yang telah disepakati
bersama secara konstitusional dan demokratis.
3. Keberlanjutan (sustainability), mengandung makna bahwa sumberdaya yang
tersedia dapat digunakan secara bijaksana untuk kepentingan manusia, baik
generasi masa kini maupun generasi masa yang akan datang. Generasi masa
kini harus sadar dan menjamin ketersediaan sumberdaya yang sama-sama
diperlukan oleh generasi masa yang akan datang. Sumberdaya yang tidak
dapat diperbaharui hanya digunakan secara hemat sambil menanamkan
kewajiban bagi generasi sekarang untuk mencari alternatif sumberdaya
substitusi dari sumberdaya yang dapat diperbaharui.
21
4. Pemberdayaan (empowerment), mengandung arti bahwa adalah fitrah
manusia yang tidak selalu memiliki kemampuan untuk mengakses peluang
dan kesempatan yang sama untuk mensejahterakan diri dan keluarganya.
Karena itu perlu adanya pemberdayaan agar pembangunan manusia dapat
dilakukan oleh semua orang, bukan semata-mata dilakukan untuk semua
orang. Dengan pemberdayaan, maka semua orang dapat berpartisipasi penuh
dalam pengambilan keputusan dan proses mempengaruhi kesejahteraan
mereka (United Nations Development Programme, 1995).
2.2. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks pembangunan manusia dicetuskan untuk menjawab ketidakpuasan
para ahli dalam mengukur kinerja pembangunan yang hanya bertumpu pada
indikator makroekonomi saja. Pencetus awalnya adalah Mahbub Ul Haq seorang
ekonom Pakistan yang pada tahun 1970-an menyatakan ketidakpuasannya
terhadap ukuran kinerja sosial ekonomi yang hanya didasarkan pada indikator rata
rata pendapatan nasional per kapita (Gross National Product/Capita) beserta
turunannya, seperti tingkat inflasi, pengangguran, tingkat investasi, tingkat belanja
pemerintah, tingkat konsumsi, dan posisi neraca pembayaran (Anand et al., 2000).
Gagasan Mahbub Ul Haq tersebut inti dari paradigma pembangunan
berpusat pada manusia (people centred development), yang menempatkan
manusia sebagai pelaku sekaligus penikmat pembangunan. Oleh karenanya,
indikator–indikator makroekonomi sebagai ukuran kinerja pertumbuhan ekonomi
bukan akhir pencapaian pembangunan manusia, tetapi ia hanya sebagai sasaran
antara yang harus dilalui dalam rangka mencapai sasaran akhir pembangunan
manusia, yaitu kesejahteraan manusia.
22
Pembangunan berpusat pada manusia ini telah dipromosikan secara
konsisten pada Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNDP
sejak tahun 1990. Sejak itu UNDP mengeluarkan laporan tahunan perkembangan
pembangunan manusia untuk negara-negara di dunia berdasarkan tema yang
berbeda, namun masih seputar kepentingan manusia (UNDP 1990 sd. 2009).
Bersamaan dengan itu UNDP terus mempromosikan Human Development Index
(HDI) atau indeks pembangunan manusia sebagai alat utama untuk mengukur
pembangunan manusia, disamping indikator-indikator turunannya seperti Indeks
Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), dan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM), dan lainnya yang diterapkan kemudian, serta
indikator indikator makroekonomi yang sudah ada sebagai indikator
komplementernya.
Masih digunakannya indikator makroekonomi sebagai indikator
komplementer pembangunan manusia dapat dimengerti karena indikator
makroekonomi menggambarkan pencapaian kinerja pertumbuhan ekonomi
sebagai proses antara menuju pembangunan manusia. Alasan lain penggunaan
indikator makroekonomi untuk mengukur kinerja pembangunan manusia adalah
(1) aspek ekonomi lebih cepat tampak di permukaan diantara berbagai aspek
dalam kehidupan manusia, (2) dampak ekonomis lebih mudah dikuantitatifkan
daripada dampak sosial yang pada dasarnya bersifat kualitatif, (3) pengkajian
kinerja pembangunan dari aspek ekonomi sudah lebih banyak dibandingkan dari
aspek-aspek lainnya dalam ilmu-ilmu sosial, dan (4) indikator makroekonomi,
seperti pendapatan, sudah dikaji sebagai variabel endogen dari suatu model
ekonomi, sehingga dapat diramalkan magnitute dan jangka waktu pencapaiannya.
23
Indeks pembangunan manusia sebagai pengukur kinerja pembangunan
manusia memang belum terlampau sempurna, karena tidak mengukur semua
indikator pembangunan manusia disebabkan tidak seluruhnya dapat
dikuantitatifkan. Kelemahan lainnya dari indeks pembangunan manusia beserta
komponen pembentuknya (Angka Harapan Hidup/AHH, Angka Melek Huruf
/AMH, Rata-rata Lama Sekolah/RLS, dan pendapatan per kapita) adalah belum
dijadikan sebagai variabel endogen dari suatu persamaan simultan, sehingga tidak
diketahui hubungan ekonomi antar variabel dan tidak dapat disimulasikan
bagaimana cara pencapaiannya. Namun secara faktual indeks pembangunan
manusia setidaknya diakui dan diadopsi secara luas oleh negara-negara anggota
PBB, termasuk Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (2008), indeks pembangunan manusia adalah
nilai tunggal yang terangkum untuk mempresentasikan 3 dimensi pembangunan
manusia, yaitu: (1) dimensi umur panjang dan sehat dipresentasikan oleh indikator
angka harapan hidup, dan (2) dimensi pengetahuan dipresentasikan oleh indikator
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta (3) dimensi kehidupan layak
dipesentasikan oleh indikator kemampuan daya beli.
Berdasarkan katalog BPS nomor 4102022 mengenai indeks pembangunan
manusia tahun 2006-2007 menjelaskan tentang angka harapan hidup, tingkat
pendidikan, dan standar hidup layak sebagai komponen untuk menghitung indeks
pembangunan manusia di Indonesia. Terdapat perbedaan cara perhitungan IPM
oleh BPS dibandingkan cara perhitungan UNDP, yaitu terletak pada perhitungan
indeks standar hidup layak. BPS menggunakan daya beli sementara UNDP
menggunakan pendapatan per kapita (purchasing power pariety) sebagai basis
24
perhitungan indeks hidup layak. Adapun basis menghitung indeks pendidikan dan
indeks kesehatan tidak ada perbedaan antara BPS dengan UNDP (BPS, 2008,
Anand et al, 2000 dan Nayak, 2005).
Menurut UNDP (2009) bahwa capaian indeks pembangunan manusia
Indonesia dan 181 negara lainnya memiliki kecendrungan yang meningkat dari
tahun 1980 sampai tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kinerja pembangunan manusia secara simultan di
seluruh dunia. Peradaban manusia semakin tinggi yang ditandai dengan semakin
tingginya teknologi di segala bidang. Manusia semakin kreatif, inovatif, dan
produktif. Berikut adalah kecendrungan indeks pembangunan manusia Indonesia
tahun 1980-2007 yang diukur berdasarkan skala 0 sampai dengan 1 sebagaimana
Gambar 4.
Sumber: United Nations Development Programme, 2009.
Gambar 4. Kecendrungan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Tahun 1980-2007
25
Indeks pembangunan manusia meningkat sebagai hasil dari peningkatan
nilai dari kombinasi indikator pembentuknya, yaitu angka harapan hidup, angka
melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan daya beli. Sementara kinerja angka
harapan hidup meningkat karena semakin baiknya indikator kesehatan, seperti
menurunnya kekurangan gizi, menurunnya kematian bayi, dan menurunnya
kematian ibu melahirkan. Dengan kata lain dapat dipastikan bahwa indikator-
indikator di atas mempunyai keterkaitan satu sama lain dan menjadi faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap pembentukan indeks pembangunan manusia. Untuk
keperluan penelitian ini, perhatian utama ditujukan pada indikator-indikator
pembentuk indeks pembangunan manusia yang menjadi tujuan MDGs, kemudian
dianalisis keterkaitannya dengan indikator ekonomi makro Indonesia.
2.3. Tujuan Pembangunan Milenium
Pada bulan September tahun 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB
berkumpul dan kemudian bersepakat mengadopsi 8 tujuan MDGs, serta
berkomitmen untuk mencapai kemajuan yang berarti dalam pengurangan
kemiskinan dan tujuan pembangunan manusia lainnya pada tahun 2015. Tujuan
MDGs tersebut, menurut Todaro (2006), yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan
dan kelaparan, (2) menjamin laki laki dan perempuan menyelesaikan pendidikan
dasar, (3) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) mengurangi
kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memberantas HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit menular lainnya, (7) menjamin keberlanjutan lingkungan,
dan (8) membina kemitraan global untuk pembangunan. Tujuan tersebut diurai
menjadi 12 target spesifik yang akan dicapai tahun 2015 dengan berdasarkan
capaian kinerja pembangunan internasional yang lalu. Tujuan 1 dan 6 masing-
26
masing terdiri atas 2 target, tujuan 2, 3, 4, 5, dan 8 masing masing terdiri atas 1
target, dan tujuan 7 terdiri atas 3 target. Uraian selengkapnya dari tujuan dan
target MDGs tersebut, yang diadopsi sesuai pengalaman empiris Indonesia adalah
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tujuan dan Target Pembangunan Milenium bagi Indonesia
Tujuan dan Target Target Tahun
2015 Tujuan 1: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan Target 1 Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya
di bawah US$ 1 per hari menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015
10.3 juta
Target 2 Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015
-
Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar untuk semua Target 3 Menjamin sampai tahun 2015, semua anak, dimanapun, laki-
laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar 100 persen
Tujuan 3: Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan Target 4 Menghilangkan ketimpangan gender di semua jenjang
pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 100 persen
Tujuan 4: Menurunkan angka kematian anak Target 5 Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya,
antara tahun 1990 dan 2015 33 per mil
Tujuan 5 : Meningkatkan kesehatan ibu Target 6 Menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990-2015
sebesar tiga perempatnya 105 per seratus ribu lahir hidup
Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya Target 7 Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunkan
jumlah kasus baru pada tahun 2015 -
Target 8 Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015
-
Tujuan 7: Memastikan kelestarian lingkungan Target 9 Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan-kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang
-
Target 10 Penurunan sebesar setengah, proposisi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015
-
Target 11
Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020
-
Tujuan 8: Membangun kemitraan global untuk pembangunan Target 12 Kemitraan dan kerja sama regional untuk pencapaian MDGs
antara lain di bidang perdagangan, investasi, pengembangan kapasitas, dukungan teknologi, pembangunan infrastruktur, seperti transportasi, ICT, dan environmental sustainabality.
-
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.
27
Idealnya semua variabel yang menjadi sasaran MDGs merupakan variabel
endogen dalam model persamaan yang akan dibangun. Namun karena kesulitan
dalam menemukan rekaman data dalam kurun watu yang memadai, maka peneliti
menggunakan variabel yang langsung berkaitan dengan persamaan identitas
indeks pembangunan manusia sesuai dengan Tabel 3.
Tabel 3. Indiaktor Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 1990 dan 2015
Dimensi Indikator Tahun 1990
Tahun 2015 Satuan
Umur Panjang dan Sehat
1. Angka Kematian Balita (AKB) 49.5 33.0 Permil kelahiran
2. Angka Kematian Ibu (AKI) 140.0 105.0 Per 100 ribu
Pengetahuan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 81.5 100.0 Persen
2. Rata-Rata Lama Sekolah (RLS ) 61.4 15.0 Tahun
Kehidupan yang layak
Pengeluaran (Rupiah) < US $ 1 PPP 20.6 10.3 Juta orang
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008.
2.4. Kebijakan Fiskal di Beberapa Negara
Menurut Mankiw (2003) meskipun Pemerintah telah lama menjalankan
kebijakan moneter dan fiskal, namun pandangan bahwa seharusnya Pemerintah
menggunakan instrumen kebijakan ini untuk mencoba menstabilkan
perekonomian adalah masih baru. Pada tahun 1946 melalui Undang-Undang
Ketenagakerjaan Amerika Serikat yang mewajibkan Pemerintahnya untuk
mempromosikan kesempatan kerja penuh (full employment) dan produksi.
Pembuat Undang-Undang tersebut percaya bahwa tanpa adanya campur
tangan Pemerintah akan dapat menimbulkan terulangnya depresi besar. Ekonom
pendukung kebijakan aktif oleh Pemerintah berlandaskan pada model permintaan
agregat dan penawaran agregat yang menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal
28
dan kebijakan moneter bisa mencegah resesi. Ada pula yang berpendapat
sebaliknya, yaitu Pemerintah lepas tangan saja karena tidak ada kepastian mampu
mengatasi krisis disebabkan kelambanan dari dalam berupa keterlambatan
mengambil kebijakan, dan kelambanan dari luar berupa adanya selang waktu
antara pengambilan kebijakan dengan reaksi perekonomian (Mankiw, 2003).
Hasil penelitian Andersen (2005) menyimpulkan efektivitas kebijakan fiskal
dalam rangka menstabilkan perekonomian tergantung pada dua hal yaitu: bentuk
stimulus fiskal dan struktur perekonomian.
Pemerintah Indonesia penganut kebijakan aktif. Pada tahun 2009
Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan stimulus fiskal untuk
mempertahankan pertumbuhan perekonomian, menciptakan lapangan kerja yang
otomatis berarti mengurangi pengangguran, serta mencegah terjadinya inflasi
yang tinggi. Kebijakan stimulus fiskal dimaksud melalui insentif perpajakan dan
belanja Pemerintah. Bentuk-bentuk insentif perpajakan yang diberlakukan di
Indonesia adalah (1) penurunan tarif PPh badan, (2) penurunan PPh orang pribadi,
dan (3) penghapusan pajak ekspor. Sedangkan bentuk belanja Pemerintah
dimaksud antara lain: (1) belanja infrastruktur, (2) subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) dan energi, (3) tunjangan rumah tangga, (4) tunjangan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dan Balai Latihan Kerja (BLK), serta (5) subsidi
pendidikan dan kesehatan. Negara-negara lain yang tergolong penganut kebijakan
aktif antara lain Amerika Serikat, Argentina, Autralia, Belanda, Brazil, China,
Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Perancis, dan Rusia. 6
Kebijakan fiskal untuk pembangunan manusia di Indonesia merupakan
langkah yang diambil oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah --------------------------------------------------------
6 Bahan Paparan Menteri Keuangan Republik Indonesia, 2009.
29
Kabupaten/Kota dalam memperoleh sumber dana dan mengalokasikannya pada
sektor-sektor yang dapat mendorong peningkatan pembangunan manusia, seperti
sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor perekonomian lainnya.
Sebelum tahun 2003, pengeluaran Pemerintah terbagi menjadi dua belanja,
yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Disebut dengan belanja
pembangunan karena dari belanja ini diharapkan mampu menunjang pertumbuhan
perekonomian yang pada gilirannya sekaligus mampu meningkatkan
pembangunan manusia. Belanja pembangunan digunakan untuk sektor pelayanan
publik. Pengalokasiannya pada sektor-sektor terkait di pusat dan daerah.
Setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri)
Nomor 29 Tahun 2002, maka sejak tahun anggaran tahun 2003 pengeluaran
(belanja) Pemerintah daerah terdiri atas bagian belanja aparatur daerah dan bagian
belanja pelayanan publik. Masing masing bagian belanja tersebut dirinci ke dalam
belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal.
Walaupun sistem desentralisasi sudah dijalankan namun pengeluaran
Pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik tersebut belum dapat sepenuhnya
didukung oleh kemampuan fiskal daerah. Ketergantungan fiskal Pemerintah
daerah kepada Pemerintah pusat terjadi karena masih rendahnya pendapatan asli
daerah. Hal inilah yang menyebabkan masih dibutuhkannya transfer dari
Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah.
2.5. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan Indeks Pembangunan Manusia
Berdasarkan analisis data dari laporan UNDP tahun 2009, nampak bahwa
kinerja GDP per kapita dan kinerja indeks pembangunan manusia cendrung
30
mempunyai keterkaitan. Hal ini ditemukan di 10 negara yang mempunyai GDP
per kapita tertinggi, ternyata juga merupakan 10 negara dengan indeks
pembangunan manusia tertinggi, jika GDP per kapita dan indeks pembangunan
manusia 10 negara tersebut mempunyai keterkaitan, maka dapat dikonstatntir
adanya keterkaitan antara GDP per kapita beserta indikator turunannya dalam
ekonomi makro dan indeks pembangunan manusia beserta indikator
pembentuknya dalam pembangunan manusia.
Indikator turunan dari GDP per kapita antara lain tingkat inflasi, tingkat
investasi, belanja Pemerintah, tingkat konsumsi, dan posisi neraca pembayaran,
tenaga kerja dan kemiskinan. Adapun indikator pembentuk indeks pembangunan
manusia adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
dan daya beli.
Becker dalam penelitiannya bertema peran pendidikan terhadap industri
Prusia dari tahap pra industri tahun 1816 hingga tahap industri pada tahun 1849
dan tahun 1882 menemukan bahwa pendidikan dasar mengakselerasi secara
signifikan industri non tekstil pada kedua tahap revolusi industri. Dengan kata lain,
rata-rata lama sekolah meningkat akan berdampak pada peningkatan kualitas
sumberdaya manusia/tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan
produktivitasnya dalam mendukung proses produksi untuk menghasilkan
pertumbuhan ekonomi (Becker et al., 2010).
Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia mempunyai keterkaitan
yang kuat telah dibuktikan pula oleh Ramirez yang melakukan penelitian
hubungan pertumbuhan ekonomi dengan komponen-komponen pembangunan
manusia di 70 negara maju dan berkembang, dengan menggunakan data tahun
31
1960 sampai dengan tahun 1992. Hasilnya terdapat hubungan kausalitas dua arah
antara keduanya, yang disebutnya sebagai hubungan rantai A dan B (Ramirez et
al., 1997).
Rantai A, pembangunan ekonomi untuk pembangunan manusia. Sumber
daya ekonomi yang terakumulasi menjadi GDP dialokasikan untuk aktivitas-
aktivitas yang berdampak positif terhadap pembangunan manusia, terutama yang
berasal dari belanja rumah tangga dan belanja Pemerintah.
Rantai B, pembangunan manusia untuk pembangunan ekonomi.
Keberhasilan dalam menyediakan sumberdaya manusia yang berkualitas akan
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama melalui keberhasilan
dalam menyediakan preskripsi teknologi dari hasil Research and Development (R
and D) sektor swasta dan sektor publik yang hasilnya dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas produksi sehingga nilai tambahnya lebih besar.
Sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai hasil pembangunan manusia
yang tinggi, akan memberikan kontribusi yang tinggi kepada negaranya, melalui
peningkatan kapasitas, produktivitas, dan kreativitas penduduknya sebagai pelaku
utama dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi (Gross Domestic
Product/GDP).
2.6. Tinjauan Studi Terdahulu
Di Indonesia belum banyak penelitian yang dilakukan untuk menganalisis
secara langsung keterkaitan variabel makroekonomi dengan indeks pembangunan
manusia. Sekalipun telah disusun Laporan Pembangunan Manusia tahun 1990
sampai tahun 2010 oleh UNDP, dan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia
tahun 2007 oleh BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
32
serta Laporan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 sampai
dengan 2009 oleh BPS, hasilnya masih lebih banyak mengupas tentang
pencapaian realisasi indeks pembangunan manusia setiap tahun, dan hanya sedikit
mengupas faktor faktor yang mempengaruhinya.
Meskipun tidak semua melacak secara langsung hubungan kausalitas
variabel makroekonomi dengan indeks pembangunan manusia, penelitian-
penelitian berikut berhasil melacak hubungan parsial antara indikator
makroekonomi dengan komponen-komponen pembangunan manusia, antara lain:
1. Indeks pembangunan manusia di Provinsi Bali dipengaruhi oleh
pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Bali, sebaliknya tingkat
kemiskinan mempengaruhi indeks pembangunan manusia secara negatif dan
bersifat elastis, sementara alokasi anggaran sosial berpengaruh secara positif
tetapi non elastis, selanjutnya rasio sarana pendidikan, rasio sarana
kesehatan, dan rata-rata pengeluaran rumah tangga masing masing
mempengaruhi indeks pembangunan manusia secara positif dan bersifat
elastis (Cahyadhi, 2005). Pencapaian indeks pembangunan manusia juga
dipengaruhi secara positif oleh PDRB, rasio guru terhadap murid, kepadatan
penduduk, dan persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air
bersih (Alam, 2006). Pengeluaran Pemerintah daerah di bidang pendidikan
dan kesehatan mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan indeks
pembangunan manusia (Utami, 2007). Indeks pembangunan manusia juga
dipengaruhi secara signifikan oleh variabel jumlah bangunan tingkat sekolah
lanjutan pertama, variabel rasio guru terhadap murid sekolah lanjutan
pertama, variabel jumlah puskesmas, variabel PDRB per kapita, dan
33
variabel kepadatan penduduk (Evianto, 2009). Indeks pembangunan
manusia ternyata dipengaruhi secara signifikan oleh korupsi, peningkatan
indeks korupsi satu satuan akan mengakibatkan indeks pembangunan
manusia naik sebanyak 0.05 satuan (Sukadana, 2007). Kontradiktif dengan
teori, Waluyo (2010) menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif
pengeluaran Pemerintah sektor kesehatan (tahun t-1) terhadap peningkatan
indeks pembangunan manusia (tahun t), tetapi di pihak lain pengeluaran
Pemerintah di sektor pendidikan (tahun t-1) berpengaruh positif terhadap
indeks pembangunan manusia. Namun dipersyaratkan pemerintahannya
harus bersih, karena pemerintahan yang bersih merupakan variabel yang
menentukan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di India
(Rudra, 2011).
2. Upah pekerja dipengaruhi secara nyata oleh desentralisasi fiskal. Sebagian
penghasilan yang didapat dari upah akan dibelanjakan untuk keperluan
sandang pangan, pendidikan, dan kesehatan, Besaran dan alokasi belanja
untuk 3 keperluan tersebut, pada gilirannya akan mempengaruhi indeks
pembangunan manusia, (Pakasi, 2005 dan Nanga, 2006).
3. Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan per
kapita masyarakat dipengaruhi secara tidak signifikan oleh disentralisasi
fiskal, bahkan dipengaruhi secara negatif oleh pengeluaran sektor pertanian
dan sektor irigasi dari APBD kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Utara.
Namun pertumbuhan ekonomi dipengaruhi secara positif oleh alokasi fiskal
sektor kesejahteraan rakyat dan sektor pendidikan dari APBD
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara (Pakasi, 2005). Secara nasional,
34
ada kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
dengan keadaan di Provinsi Sulawesi Utara adalah alokasi fiskal sektor
pendidikan dan kesehatan, ditambah sektor infrastruktur. Namun bertolak
belakang untuk sektor pertanian, karena secara nasional justru sektor ini
masih mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
(Yudhoyono, 2004). Hasil studi terhadap 83 negara-negara sedang
berkembang pada periode tahun 1960-1970 menunjukkan bahwa
pertumbuhan PDB dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu tingkat
investasi fisik, tingkat pertumbuhan impor, dan tingkat perkembangan
sumber daya manusia pada awal priode. Dengan demikian, investasi sumber
daya manusia merupakan salah satu cara yang tepat dan efisien untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa (Hicks and Sreeten, 1979).
4. Pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan timbal balik dengan
pembangunan manusia, yang mana pertumbuhan ekonomi dapat mendorong
pembangunan manusia, dan pembangunan manusia mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Wheeler, 1980; Ramirez et al., 1997; dan Ranis et
al., 2002). Terdapat hubungan dua arah (two-way relationship) dan saling
berpengaruh secara positip antara kinerja perekonomian wilayah dengan
pembangunan manusia melalui sektor pendidikan (Ali, 2006). Meskipun
hanya salah satu sisi dari hubungan timbal balik tersebut, bahwa investasi
sumber daya manusia dan transfer pendapatan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, diikuti pegurangan pengangguran dan kemiskinan
(Sitepu, 2007 dan Asteriou et al., 2001). Sebaiknya visi pendidikan sudah
saatnya diarahkan untuk pencapaian kemajuan ekonomi (Roza, 2007)
35
5. Penanggulangan kemiskinan dipengaruhi secara positif oleh kualitas sumber
daya manusia (Nanga, 2006), alokasi fiskal sektor infrastruktur, sektor
pertanian, serta sektor pendidikan, dan sektor kesehatan, meskipun dua
sektor terakhir ini agak lemah pengaruhnya (Yudoyono, 2004). Namun
penanggulangan kemiskinan dipengaruhi secara negatif oleh transfer fiskal
ke daerah (Nanga, 2006), serta keterbatasan sumber daya ekonomi rumah
tangga (Sutomo, 1995).
6. Indeks pembangunan manusia adalah ukuran relatif pada tahun yang
berbeda atau pada tempat yang berbeda untuk dibandingkan capaiannya,
sehingga indeks pembangunan manusia kurang bermakna jika hanya berdiri
sendiri. Keadaan ini mendorong masyarakat antar negara, antar provinsi,
antar kabupaten berlomba-lomba untuk meningkatkan peringkat indeks
pembangunan manusia. Alam (2006) menyebut indeks pembangunan
manusia sebagai alat konvergensi pembangunan. Sementara itu, transfer
fiskal antar provinsi di Cina, dari provinsi pantai ke provinsi pedalaman,
membuat pembangunan Cina semakin konvergen (Raiser, 2007). Dengan
kata lain, kebijakan fiskal yang diarahkan untuk peningkatan indeks
pembangunan manusia mampu untuk memeratakan pembangunan.
Berbagai kutipan penelitian yang ditampilkan pada sub bab ini tidak secara
konprehensif mengkaji dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor
kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia. Sebagian
penelitian tersebut juga mengungkap data series indeks pembangunan manusia
masih terbatas sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan cross section antar
kabupaten/provinsi.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter
Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga)
melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan moneter
memepengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui intervensi
Bank Sentral terhadap pasar uang dan pasar bond (surat berharga). Oleh
karenanya, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sering digunakan sebagai
instrumen untuk menstimulasi dan menstabilkan kegoncangan perekonomian
yang mengganggu pertumbuhan ekonomi (Dornbusch et al., 2004). Adapun
skema hubungan pasar barang dan pasar uang, sebagaimana Gambar 5.
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Gambar 5. Skema Hubungan Pasar Uang dan Pasar Barang
38
Keseimbangan pasar barang terjadi ketika permintaan agregat sama dengan
penawaran agregat, yang ditunjukkan dengan terbentuknya kurva Investment
Saving (IS) yang menunjukan kombinasi-kombinasi suku bunga dan tingkat-
tingkat pendapatan ketika alokasi belanja yang direncanakan (Planned
Expenditure atau PE) sama dengan belanja aktual (Actual Expenditure atau AE).
Kurva IS ini dapat dilihat secara grafis pada Gambar 6.
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Gambar 6. Kurva Investment Saving
Proses terbentuknya kurva IS dimulai dari keseimbangan permintaan
agregat dan penawaran agregat, yaitu ketika belanja aktual (AE) sama dengan
belanja yang direncanakan (PE1) dititik E1, Y1, titik yang terbentuk oleh
1 5
Y1
3
PE1
PE2 ∆I
AE
Y2 0
E2
E1
E
Y
4
IS
0
r2
r1
r
Y Y2 Y1
2 I(r)
0
r2
r1
r
I I2 I1
39
pertemuan Y1 dan r1 adalah posisi kondisi perekonomian awal dititik IS. Ketika
suku bunga naik dari r1 ke r2, maka investasi turun dari I1 ke I2, dan PE geser ke
bawah, yang berpotongan dengan AE di titi E2, Y2, dimana E2 < E1 dan Y2 < Y1.
Titik yang terbentuk oleh kombinasi Y2, r2 merupakan titik ke dua dari IS, atau
posisi perekonomian kedua. Ketika dua titik r1, Y1, dan r2, Y2 dihubungkan, maka
garis yang terbentuk adalah garis IS membentuk kurva IS.
Saat terjadi keseimbangan pasar uang, disebut kondisi perekonomian 1,
terbentuk oleh kombinasi suku bunga (r1) dan tingkat-tingkat output (Y1), yaitu
ketika permintaan uang (MD) sama dengan persediaan uang (MS = M/P). Kurva
Liquidity Preference Money Supply atau LM digambarkan pada Gambar 7.
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Keterangan: Jika MD dipengaruhi oleh r dan Y, maka peningkatan Y dari Y1 ke Y2 akan menyebabkan peningkatan r. Oleh sebab itu kurva LM menggambarkan peningkatan r yang disebabkan oleh peningkatan Y.
Gambar 7. Kurva Liquidity Preference Money Supply
L(r1, Y1)
L(r2, Y2)
MS
M/P0
r2
r1
r
M/P
LM
Y10
r2
r1
r
YY2
40
Proses terbentuknya kurva LM dimulai dari keseimbangan penawaran uang
dengan permintaan uang, yaitu ketika penawaran uang riil (M1/P1) sama dengan L
(r1,Y1), titik yang terbentuk oleh pertemuan M/P1 dengan L(r1,Y1) adalah titik
awal kurva LM, yang juga menggambarkan kondisi perekonomian awal. Ketika
pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2, maka L(r2, Y2) geser ke atas karena
penawaran uang (M/P1) tetap, mengakibatkan suku bunga meningkat dari r1 ke r2.
Titik yang terbentuk oleh kombinasi Y2, r2 merupakan titik ke dua dari LM, atau
posisi perekonomian kedua. Ketika dua titik r1, Y1 dan titik r2, Y2 dihubungkan,
maka garis yang terbentuk adalah garis LM membentuk kurva LM.
Sesuai dengan proses pembentukan kurva IS dan LM pada Gambar 6 dan
Gambar 7 di atas, maka diasumsikan pertemuan kurva IS dan LM berada pada
titik P1, Ye1. Lalu, di asumsikan pula bahwa kurva IS tidak berubah karena tidak
sensitif terhadap perubahan harga, dan jumlah uang nominal (M) dianggap tetap,
maka penurunan harga akan menggeser kurva penawaran uang ke kanan.
Mengingat penawaran agregat dan suku bunga tetap, karena kurva IS
dipertahankan tetap, maka kurva LM bergeser ke kanan, sehingga memotong
kurva IS di titik P2, Ye2. Selanjutnya titik Ye1, P1 dihubungkan dengan titik Ye2,
P2 akan membentuk kurva permintaan agregat (AD), sebagaimana Gambar 8.
Dengan demikian, maka kurva AD adalah kombinasi-kombinasi tingkat
harga dan tingkat-tingkat output/pendapatan yang terbentuk oleh kombinasi titik
keseimbangan kurva IS-LM saat kurva IS dipertahankan dan jumlah persediaan
uang nominal tetap tetapi harga berubah (Dornbusch, 2004).
41
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Gambar 8. Kurva Permintaan Agregat
3.1.1. Dampak Kebijakan Fiskal Pada Permintaan Agregat
Dengan memperhatikan hubungan kurva IS-LM dan kurva AD di atas,
maka intervensi terhadap pasar barang yang disebut kebijakan fiskal, dan
intervensi pasar uang, yang disebut kebijakan moneter, akan mempengaruhi
perekonomian. Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian melalui
peningkatan belanja Pemerintah dan tingkat pajak. Pengaruhnya dapat ditelusuri
ulang pada Gambar 6, 7, dan 8. Adapun besaran pengaruh kebijakan fiskal
terhadap perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui perubahan kurva IS
dapat dihitung dari persamaan berikut ini (Dornbusch, 2004):
Y = αG (Ã-bi) ; αG = 1/{(1-c(1-t)} .......................................................... (1)
dimana:
Y : Pendapatan. αG : Koefisien atau parameter variabel. Ã : Variabel eksogen.
42
b : koefisien. c : Marginal propencity to consume. t : Pajak.
3.1.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Penawaran Agregat
Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi penawaran adalah penjumlahan
seluruh nilai produksi (output) sektor-sektor perekonomian. Hubungan antara
PDB dengan tingkat harga akan membentuk kurva penawaran agregat (AS)
sebagaimana Gambar 9.
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi). Keterangan: P1 < P0 dan IPM1 > IPM0.
Gambar 9. Kurva Penawaran Agregat
Gambar 9 tersebut menjelaskan tentang hubungan antara produksi, input
tenaga kerja, dan pasar tenaga kerja, namun dengan asumsi upah tetap, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
AS0
AS1
YY 1 Y 0
P0
P1
W
W /P W /P0W /P1
L1
L0
L
SL D L
Y = IPM 0f(L)
Y = IPM 1f(L)
43
1. Diasumsikan upah bersifat kaku (Ŵ), sehingga perubahan harga (P) akan
mempengaruhi upah riil (Ŵ/P) yang diterima tenaga kerja, sehingga
mengakibatkan adanya hubungan antara tingkat harga dengan pasar tenaga
kerja (permintaan tenaga kerja (DL) dan penawaran tenaga kerja (SL)), yang
pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah nilai barang yang diproduksi
(Y).
2. Ketika tingkat harga (P) berubah maka akan berubah pula jumlah nilai
barang yang diproduksi, yang mana kombinasi keduanya akan membentuk
sejumlah titik pada kurva AS.
3. Oleh karena setiap kebijakan fiskal melalui belanja Pemerintah (G), akan
meningkatkan AD sekaligus meningkatkan nilai produksi barang-barang
yang diproduksi sektor-sektor, maka pertumbuhan ekonomi dapat pula
dianalisis dari sisi AS.
4. Kurva AS dalam jangka panjang akan bergeser ke kanan dari AS0 ke AS1,
apabila kualitas kompetensi tenaga kerja meningkat sejalan dengan
peningkatan indeks pembangunan manusia akan meningkatkan koefisien
teknologi (A) dari A0 ke A1. Dengan kata lain, walaupun jumlah tenaga
kerjanya sama tetapi sebagai pengaruh peningkatan koefisien teknologi (A)
akan meningkatkan jumlah nilai produksi (Y) yang dihasilkan.
Oleh karena setiap kebijakan fiskal melalui G, akan meningkatkan AD
sekaligus meningkatkan nilai produksi barang-barang yang diproduksi sektor-
sektor, maka transmisi kebijakan fiskal terhadap perekonomian dari sisi
penawaran agregat dapat dilihat pada Gambar 10.
44
Sumber: Dornbusch, 2004, (dimodifikasi).
Gambar 10. Dampak Kebijakan Fiskal pada Pasar Barang
Gambar 10 menjelaskan transmisi dari belanja Pemerintah terhadap
permintaan agregat, penawaran agregat, pendapatan, tenaga kerja, upah, suku
bunga, dan harga, dengan asumsi kurva LM tidak berubah, yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Dimulai dengan perekonomian yang berada pada keseimbangan awal, yaitu
dengan tingkat pendapatan awal (Y0), tingkat suku bunga awal (r0), tingkat
harga awal (P0), tingkat upah awal (W0), dan jumlah tenaga kerja awal (L0).
2. Kemudian diasumsikan bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui belanja
Pemerintah, maka produksi akan meningkat dari Y0 ke Y1, mengakibatkan
kurva AS bergeser ke kanan dari AS0 ke AS1.
3. Pergeseran kurva AS ke kanan akan berpotongan dengan kurva permintaan
agregat awal (AD0) sehingga harga turun dari P0 ke P1, tetapi kemudian
45
karena turunnya harga tersebut menyebabkan AD meningkat dan bergeser
dari AD0 ke AD1.
4. Pada pasar barang meningkatnya AD mempengaruhi kurva IS-LM, yaitu
kurva IS bergeser dari IS0 ke IS1, menyebabkan naiknya suku bunga dari r0
ke r1. Selanjutnya, berimplikasi kepada menurunnya investasi (I) sehingga
pendapatan (Y) ikut turun, yang disebut crowding out effect.
5. Pada pasar tenaga kerja meningkatnya output akan menambah tenaga kerja
(L) dari L0 ke L1, diasumsikan kurva penawaran tenaga kerja tetap tidak
bergeser.
6. Kesimpulan : kebijakan fiskal melalui peningkatan belanja Pemerintah akan
meningkatkan pendapatan/output dan meningkatkan kesempatan kerja (L),
dan mengurangi pengangguran (U), yaitu selisih antara tingkat pencapaian
pada titik keseimbangan akhir dikurangi pencapaian pada titik
keseimbangan sebelum dilakukannya kebijakan fiskal. Pencapaian akhir
dimaksud menghasilkan tingkat pendapatan baru (Y*), tingkat suku bunga
baru (r*), tingkat harga baru ( P*), tingkat upah baru (W*) dan tingkat
penyerapan tenaga kerja baru (L*), serta tingkat pengangguran baru (U*).
3.2. Kemiskinan
Dalam studi ini tingkat kemiskinan desa dan kota diukur dengan
menggunakan ukuran kemiskinan poverty headcount index, yang mengukur
persentase penduduk miskin (berada di bawah garis kemiskinan) terhadap total
penduduk. Secara matematis, poverty headcount Index, dapat ditulis dalam
persamaan sebagai berikut:
46
nq
=H ........................................................................................................ (2)
dimana H adalah poverty headcount Index (persentase penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskianan terhadap jumlah penduduk), q adalah persentase
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n adalah jumlah penduduk.
Permasalahan dalam poverty headcouni Index adalah ukuran ini tidak
menunjukkan keparahan dari kemiskinan. Hal ini karena menganggap tidak ada
perbedaan pendapatan di antara penduduk miskin, dengan kata lain persentase
penduduk miskin (q) dihitung sebagai penjumlahan penduduk yang
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tanpa mempersoalkan adanya
perbedaan nominal pendapatan para penduduk miskin satu sama lain. Derajat
kemiskinan pada suatu negara bergantung pada tingkat pendapatan rata-rata atau
per kapita dan derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Son, 2004;
Todaro, 2006).
3.3. Tingkat Pengangguran
Masalah perekonomian makro (pendapatan per kapita, dan indikator
turunannya seperti tingkat inflasi, pengangguran, tingkat investasi, belanja
Pemerintah, tingkat konsumsi, dan posisi neraca pembayaran) yang
mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas pembangunan manusia adalah
pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi akan mengakibatkan kualitas
pembangunan manusia menurun. Tingkat pengangguran yang biasa dipelajari
adalah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
47
Persamaan matematis yang biasa digunakan dalam mengkaji mengenai
pengangguran (Mankiw, 2007) dirumuskan dalam formula sebagai berikut :
LF = L + U ................................................................................................. (3)
dimana LF adalah angkatan kerja dari seluruh penduduk, L adalah jumlah
orang yang bekerja pada seluruh sektor perekonomian, dan U adalah jumlah
pengangguran. Tingkat pengangguran sendiri dinyatakan dengan U/L yang dapat
dirumuskan menjadi:
U/L = (S-F)/L .......................................................................................... (4)
dimana S adalah jumlah pemutusan hubungan kerja dan F adalah tingkat
perolehan pekerjaan. Persamaan ini menunjukkan bahwa pada saat tingkat
pengangguran berada pada tingkat pengangguran alamiah, maka tingkat
pengangguran sama dengan nol, sehingga S = F, sesuai formula berikut:
U*/L = (S-F)/L = 0 ..................................................................................... (5)
Dengan kata lain setiap kebijakan yang bertujuan menurunkan tingkat
pengangguran alamiah (U*/L) akan menurunkan tingkat pemutusan hubungan
kerja (S/L) atau meningkatkan tingkat perolehan pekerjaan (F/L), juga sebaliknya.
Mankiw (2007) menyatakan beberapa alasan mengapa adanya
pengangguran alamiah, artinya tidak ada satu negarapun yang bebas dari
pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara kompetensi
pekerja dengan jenis pekerjaan, karena kompetensi pekerja dan jenis-jenis
pekerjaan yang tersedia tidak selalu berkaitan dan cocok (link and match). Kedua,
adanya kekakuan upah terhadap perubahan penawaran (SL) dan permintaan tenaga
kerja (DL). Terlihat pada Gambar 11.
48
Sumber: Mankiw, 2007.
Gambar 11. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran
Ketika permintaan tenaga kerja turun, maka kurva permintaan tenaga kerja
geser ke bawah, sementara upah yang kaku menyebabkan tenaga kerja yang
dipekerjakan menjadi lebih sedikit dari jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja
sampai terbentuk keseimbangan baru
Pada tahun 1958, A. W. Philips mengkaji prilaku upah di Inggris tahun
1861-1957. Philips menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat pengangguran
dan tingkat perubahan upah nominal (inflasi upah), dimana semakin tinggi tingkat
pengangguran, maka semakin rendah laju inflasi upah. Kurva Phillips
menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya tingkat
pengangguran. Dengan kata lain, terjadi trade off antara inflasi upah dengan
pengangguran dalam jangka pendek (Dornbusch, 2004).
Upah Riil yang Kaku
Upah Riil
0 Tingkat Pengangguran (Persen) Tenaga Kerja yang Ingin Bekerja
DL1
SL
Tenaga Kerja yang Dipekerjakan
Jumlah DL2
49
Hubungan inflasi upah dengan tingkat pengangguran menurut Dornbusch
(2004) dapat dinyatakan dalam formula:
gw = (Wt+1 - Wt)/Wt ................................................................................... (6)
Dimana gW adalah laju inflasi upah, Wt adalah tingkat upah dalam periode
saat ini, dan Wt+1 adalah tingkat upah periode yang akan datang.
Besarnya upah ditentukan oleh jumlah penawaran tenaga kerja, dimana
semakin besar penawaran tenaga kerja maka semakin rendah upah, dan sebaliknya.
Implikasinya apabila semakin besar penawaran tenaga kerja yang tidak sebanding
dengan penyediaan lapangan kerja, yang berarti semakin besar pengangguran,
maka akan semakin rendah upah. Sehingga, laju inflasi upah juga tergantung pada
jumlah pengangguran. Apabila µ* adalah tingkat pengangguran alamiah (natural
rate of unemployment), maka Kurva Philips dapat ditulis dengan formula:
gW = - € (µ - µ* ) ........................................................................................ (7)
dimana gW adalah laju inflasi upah, € adalah elastisitas (responsif) dari upah
terhadap pengangguran aktual, dan µ adalah tingkat pengangguran. Kemudian,
formula (6) dan (7) dapat digabung menjadi:
Wt+1 = Wt [ 1 - € (µ - µ* )] .......................................................................... (8)
Dari formula (8) di atas terlihat bahwa apabila upah naik dari upah
sebelumnya, maka jumlah pengangguran mesti lebih rendah dari jumlah
pengangguran alamiah, dan sebaliknya. Setelah tahun 1960an kurva Phillips dan
formula-formula di atas tidak konsisten dalam menggambarkan hubungan inflasi
dan pengangguran di Inggris dan Amerika Serikat, hal ini sebagai akibat dari
50
belum diakomodasikannya inflasi yang diharapkan (expected inflation)
(Dornbusch et al., 2004).
Menurut Mankiw (2007), kurva Philips dalam bentuk modern
menggambarkan hubungan tingkat inflasi dengan tiga faktor yang
mempengaruhinya yaitu inflasi yang diharapkan (expected inflation), deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut juga pengangguran siklikal
(cyclical unemployment), dan goncangan penawaran (supply shock). Ketiga faktor
tersebut dirumuskan dalam formula:
π = πe - €(u - u*) + v ................................................................................... (9)
dimana π adalah tingkat inflasi aktual, πe adalah tingkat inflasi yang diharapkan, u
adalah tingkat pengangguran aktual, u* adalah tingkat pengangguran alamiah, v
adalah goncangan penawaran, € adalah elastisitas (responsif) dari upah terhadap
pengangguran siklikal, dan (u - u*) adalah tingkat deviasi pengangguran atau
cyclical unemployment.
Oleh karena kekakuan upah, maka dalam studi ini, upah akan dijadikan
variabel eksogen berdasarkan sektor, yang menempatkan perhitungan upah
berdasarkan nilai rata-ratanya di wilayah perdesaan (untuk kelompok usaha
primer seperti sektor pertanian) dan nilai rata-rata upah di perkotaan untuk
kelompok sektor skunder seperti sektor industri. Selanjutnya, disebabkan oleh
adanya hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran, maka berarti pula
inflasi mempengaruhi jumlah orang yang bekerja. Berikutnya, atas dasar
hubungan searah dan positif antara kualitas sumber daya manusia dengan jumlah
tenaga keja, maka IPM sebagai indikator kualitas manusia akan menggambarkan
51
produktivitas tenaga kerja yang akan mempengaruhi berapa jumlah tenaga kerja
yang bekerja. Terakhir populasi penduduk secara eksogen akan mempengaruhi
jumlah tenaga kerja.
3.4. Pemerintah sebagai Penyedia Barang Publik
Menurut Stiglitz (1999) suatu barang dikatagorikan sebagai barang publik
jika memenuhi salah satu atau kedua karakteristik sebagai berikut:
1. Non - rival consumption, merupakan karakteristik pertama barang publik,
yaitu barang yang dapat dikonsumsi oleh individu tanpa mengurangi
kesempatan bagi individu lain untuk mengkonsumsinya, atau dapat
dikonsumsi secara bersama-sama,
2. Non - exclusion, merupakan karakteristik kedua dari barang publik dimana
tidak ada yang dapat menghalangi seseorang untuk mengkonsumsi barang
tersebut.
Jika kedua karakteristik tersebut (non - rival consumption dan non -
exclusion) ada pada sebuah barang, maka barang tersebut merupakan murni
barang publik (pure public goods). Sedang barang yang hanya memiliki salah satu
dari kedua karakteristik tersebut, atau properti lain (dapat dikonsumsi bersama
atau tidak dapat dikecualikan) pada tingkat tertentu, maka barang tersebut
merupakan barang publik yang tidak murni (impure public goods).
Penyediaan barang publik dapat dilakukan secara pribadi maupun oleh
Pemerintah. Namun penyediaan barang publik yang dilakukan secara pribadi akan
menimbulkan free rider, yang dapat menyebabkan penyediaan barang tersebut
menjadi tidak efisien. Timbulnya free rider disebabkan karena sifat dari barang
52
publik yang memberikan eksternalitas positif bagi orang lain, namun mereka
enggan untuk berpartisipasi dalam penyediaan barang publik tersebut. Oleh sebab
itu, maka Pemerintah dinilai sebagai pihak yang paling tepat untuk menyediakan
barang publik bagi masyarakat.
Secara faktual pemerintah menyediakan sarana dan prasarana di sektor
pendidikan dan di sektor kesehatan, karena kedua sektor ini memenuhi kriteria
barang swasta yang disediakan secara publik (Stiglitz, 1999). Di Indonesia, wujud
penyediaan sarana dan prasarana di sektor pendidikan antara lain berupa gedung
sekolah, tenaga pengajar dan biaya operasional sekolah (BOS), serta di sektor
kesehatan antara lain berupa rumah sakit, puskesmas, tenaga medis, dan
pengobatan gratis. Kekurangan penyediaan sarana dan prasarana di sektor
pendidikan dan di sektor kesehatan oleh pemerintah biasanya dipenuhi oleh pihak
swasta. Namun untuk menghindari adanya free rider, yang dapat menyebabkan
tidak efisiennya penyediaan barang di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan
tersebut, maka penyediaan sarana dan prasarana oleh swasta di kedua sektor ini
tidak lagi menganut prinsip barang publik (public goods), tetapi menganut prinsip
barang swasta (private goods).
Merupakan fitrah manusia yang akan berupaya memenuhi tingkat
tertinggi dari utilitasnya, sehingga akan memilih barang publik atau barang swasta
berdasarkan marginal rate of substitution (MRS), yang merupakan slop dari kurva
indiferen (indifference curve). Namun setiap individu mempunyai keterbatasan
anggaran (budget constraint), yang besarnya adalah:
53
Y = C + PG
dimana: Y adalah pendapatan; C adalah konsumsi barang swasta (private goods),
P adalah harga yang harus dibayarkan untuk mengkonsumsi setiap unit barang
publik (public goods), dan G adalah jumlah barang publik yang disediakan.
Sumber: Stiglitz, 1999. Gambar 12: Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta
Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan
G1 G2
E E’
B
B B’
Kurva indiferen
Batas Anggaran
Konsumsi barang publik
G1 G2
P 1
P2
Jumlah barang publik
Har
ga
Permintaan barang publik
Bar
ang
Swas
ta
54
Gambar 12 di atas adalah ilustrasi kurva indiferen barang publik dan
barang private sektor pendidikan dan sektor kesehatan. Secara grafis, utilitas
maksimum yang dapat dicapai dari setiap individu adalah berada di titik E pada
panel A, yaitu titik perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran.
Tetapi ketika harga (P) turun, sementara batas anggaran tetap, maka jumlah
barang publik (G) yang diminta bertambah, sehingga perpotongan antara kurva
indiferen dengan batas anggaran di titik E’. Kurva ini juga menunjukkan bahwa
setiap individu mempunyai potensi untuk membelanjakan pendapatannya guna
keperluan membeli barang publik maupun barang private di sektor pendidikan
maupun di sektor kesehatan.
55
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika
yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian
makro dengan komponen indeks pembangunan manusia. Keterkaitan masing
masing variabel secara berpasangan maupun secara simultan apabila memiliki
prilaku searah bertanda positif atau apabila bertolak belakang bertanda negatif.
Atas dasar keterkaitan antar komponen tersebut, dibangun variabel endogen dan
variabel eksogen untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan
dan sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia.
Variabel-variabel endogen dan eksogen tersebut disusun dalam kerangka
pemikiran sesuai dengan Gambar 13.
Gambar 13. Kerangka Pemikiran Hubungan Kebijakan Fiskal dengan
Indeks Pembangunan Manusia
Blok Pendapatan:1. Pajak Daerah2. Pendapatan Asli Daerah3. Dana Alokasi Umum4. Dana Alokasi Khusus5. Bagi Hasil Pajak dan Non Pajak6. Pendapatan Lainnya7. Pendapatan Non Pajak Daerah8 Total Pendapatan
Blok Belanja:1. Belanja Sektor Pendidikan2. Belanja Sektor Kesehatan3. Belanja Sektor Pertanian4. Belanja Sektor Industri5. Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur6. Belanja Sektor Lainnya7. Total Belanja
Blok Indeks Pembangunan Manusia:1. Angka Harapan Hidup2. Angka Melek Huruf3. Rata-Rata Lama Sekolah4. Daya Beli5. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota6. Indeks Pembangunan Manusia
Blok Permintaan Agregat:1. Konsumsi2. Investasi3. Belanja Pemerintah4. Perubahan Persediaan5. Net Ekspor
Blok Penawaran Agregat :1. Sektor Pertanian2. Sektor Industri3. Sektor Infrastruktur4. Sektor Lainnya
Blok Tenaga Kerja:1. Partisipasi Kerja Sektor Pertanian2. Partisipasi Kerja Sektor Industri3. Partisipasi Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur4. Partisipasi Kerja Sektor Lainnya5. Partisipasi Kerja Sektor6. Angkatan Kerja7. Pengangguran
56
Kerangka pemikiran tersebut diurai membentuk model dampak kebijakan
fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan
manusia di Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 14 dan Tabel 4.
Keterangan: = Variabel Endogen; = Variabel Eksogen
Gambar 14. Model Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Indonesia
57
Tabel 4. Nama Variabel Model Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
No. Variabel Nama Satuan 1. AHHt Angka harapan hidup tahun t Tahun 2. AKt Angkatan kerja tahun t Orang 3. AMHt Angka melek huruf tahun t Persen 4. APSDt Angka putus sekolah dasar tahun t Persen 5. BHPBPt Bagi hasil pajak dan non pajak tahun t Juta Rupiah 6. BLJt Belanja tahun t Juta Rupiah 7. BSKt Belanja sektor kesehatan tahun t Juta Rupiah 8. BSPt Belanja sektor pendidikan tahun t Juta Rupiah 9. BSPKt Belanja sektor pendidikan dan sektor kesehatan tahun t Juta Rupiah 10. DAKt Dana alokasi khusus tahun t Juta Rupiah 11. DAUt Dana alokasi umum tahun t Juta Rupiah 12. DNPt Dana perimbangan tahun t Juta Rupiah 13. GPSBt Belanja Pemerintah sektor bangunan dan infrastruktur tahun t Juta Rupiah 14. GPSIt Belanja Pemerintah sektor industri tahun t Juta Rupiah 15. GPSLLt Belanja Pemerintah sektor lain-lain tahun t Juta Rupiah 16. GPSTt Belanja Pemerintah sektor pertanian tahun t Juta Rupiah 17. IHLt Indeks hidup layak tahun t - 18. IHPt Indeks hidup panjang tahun t - 19. IPt Indeks pendidikan tahun t - 20. IPMt Indeks pembangunan manusia tahun t - 21. JLHKt Jumlah kendaraan tahun t Buah 22. KRTCAPt Pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita tahun t Juta Rupiah 23. KUKt Kredit usaha kecil tahun t Juta Rupiah 24. NPJKDt Pendapatan non pajak daerah tahun t Juta Rupiah 25. NXt Net ekspor tahun t Juta Rupiah 26. PADt Pendapatan asli daerah tahun t Juta Rupiah 27. PATt Pendapatan tahun t Juta Rupiah 28. PDRBEXPt Produk domestik regional bruto sisi pengeluaran tahun t Juta Rupiah 29. PDRBSECt Produk domestik regional bruto sisi penerimaan tahun t Juta Rupiah 30. PJKDt Pajak daerah tahun t Juta Rupiah 31. PKRTt Pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun t Juta Rupiah 32. PLAINt Pendapatan lain-lain yang sah tahun t Juta Rupiah 33. PMTBt Pembentukan modal tetap bruto tahun t Juta Rupiah 34. PNSt Pegawai negeri sipil tahun t Orang 35. POPt Populasi penduduk tahun t Ribu orang 36. PPt Perubahan persediaan tahun t Juta Rupiah 37. PPPt Daya beli tahun t Ribu Rupiah 38. RLSt Rata-rata lama sekolah tahun t Tahun 39. RTQSBt Rasio TQSBt dengan PDRBSECt tahun t - 40. TKDKt Tingkat kemiskinan desa dan kota tahun t Persen 41. TKKSBt Angka partisipasi kerja sektor bangunan dan infrastruktur tahun t Orang 42. TKKSLt Angka partisipasi kerja sektor lain-lain tahun t Orang 43. TKSIt Angka partisipasi kerja sektor industri tahun t Orang 44. TKSTt Angka partisipasi kerja sektor pertanian tahun t Orang 45. TQSBt Total produksi sektor bangunan dan infrastruktur tahun t Juta Rupiah 46. TQSIt Total produksi sektor industri tahun t Juta Rupiah 47. TQSLLt Total produksi sektor lain-lain tahun t Juta Rupiah 48. TQSTt Total produksi sektor pertanian tahun t Juta Rupiah 49. Ut Pengangguran tahun t Orang
58
4.2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian dibangun dari tujuan yang telah ditetapkan, yang
selanjutnya akan diuji dalam penelitian , yaitu:
1. Kebijakan fiskal melalui belanja Pemerintah di sektor pendidikan dan sektor
kesehatan akan meningkatkan indeks pembangunan manusia.
2. Sasaran tujuan pembangunan milenium tahun 2015 dapat dicapai melalui
kebijakan fiskal di sektor pendidikan dan sektor kesehatan.
4.3. Sumber Data
Penelitian ini akan menggunakan data sekunder berupa pool data, baik data
deret waktu (time series), maupun data cross section dari tahun 2004-2008. Pool
data adalah sebagai solusi dari keterbatasan data deret waktu (time series). Data
tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), UNDP, Bank Indonesia,
Kementerian Keuangan, Bappenas, Bappeda Provinsi, dan lembaga-lembaga
resmi lainnya. Pool data di atas akan digunakan untuk membangun model
ekonometrika, untuk kemudian dilakukan pendugaan parameter dari variabel
endogen pada model ekonometrika yang dibangun.
4.4. Spesifikasi Model
Model adalah suatu konsepsi yang menggambarkan keterkaitan variabel-
variabel pembentuknya dalam satu sistem berpikir (system thinking), yang
kemudian dijadikan dasar untuk mentransformasikan suatu kondisi yang ada
(realworld) menjadi kondisi yang diinginkan secara sistematik (systematically
disirable condition) dan dapat diterima secara budaya (culturally feasible).
59
Model ekonometrika menurut Intriligator (1978) merupakan suatu pola
khusus dari model aljabar suatu fenomena perekonomian yang bersifat stochastic
yaitu mencakup pula satu atau lebih variabel pengganggu. Pola khusus atau model
aljabar dari model ekonometrika menjelaskan tentang hubungan satu sama lain
dari masing-masing variabel pembentuknya, yang terdiri atas variabel penjelas
(explanatory variables) dan variabel endogennya (endogenous variables). Model
ekonometrika harus memenuhi: (1) kriteria ekonomi atau harapan teoritis
(theoretically meaningful) khususnya yang menyangkut tanda (sign) dan besaran
(magnitude) dari parameter persamaan simultan yang terbentuk, (2) kriteria
statistik yang berkaitan dengan derajat ketepatan (goodness of fit), dan (3)
kriteria ekonometrika yang menetapkan suatu estimasi memiliki sifat-sifat yang
dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, sufficiency, dan consistency
(Koutsoyiannis, 1977).
Spesifikasi model yang dirumuskan dalam studi ini sangat terkait dengan
tujuan penelitian yaitu merumuskan model ekonometrika “Dampak kebijakan
fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan
manusia di Indonesia”. Model yang dibangun adalah model persamaan simultan
yang terdiri atas 23 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas yang
dikelompokkan kedalam 6 blok.
4.4.1. Blok Pendapatan Daerah
1. Pajak Daerah
PJKDt = a10 + a11BLJt + a12PPt + + U1t .................................... (1)
2. Dana Alokasi Umum
DAUt = a20 + a21BLJt + a22POPt + +U2t ................................ (2)
60
3. Pendapatan Asli Daerah
PADt = PJKDt + NPJKt ............................................................................ (3)
4. Dana Perimbangan
DNPt = DAUt + DAKt + BHPBPt + PLAINt ............................................. (4)
5. Pendapatan Daerah
PATt = PADt + DNPt .................................................................................. (5)
dimana: PJKDt : Pajak daerah tahun t (juta Rupiah). KRTCAPt : Konsumsi rumah tangga per kapita tahun t (juta Rupiah). DAUt : Dana alokasi umum tahun t (juta Rupiah). POPt : Populasi penduduk tahun t (ribu orang). IPMt : Indeks Pembangunan Manusia tahun t (antara nol sampai
seratus). PADt : Pendapatan asli daerah tahun t (juta Rupiah). NPJKt : Pendapatan non pajak tahun t (juta Rupiah). DNPt : Dana perimbangan tahun t (juta Rupiah). DAKt : Dana alokasi khusus tahun t (juta Rupiah). BHPBPt : Bagi hasil pajak dan non pajak tahun t (juta Rupiah). PLaint : Pendapatan lain-lain yang syah tahun t (juta Rupiah). PATt : Pendapatan tahun t (juta Rupiah). N : Nomor parameter dummy (1 sampai dengan n). M : Nomor provinsi (misal Aceh = 11, Maluku = 81). U1t - U2t : Error term.
Dengan arah dan magnitude dari dugaan parameter yang diharapkan: a11, a12,
a21, a22 > 0.
4.4.2. Blok Belanja Daerah
1. Belanja Sektor Pendidikan
BSPt = a30 + a31PATt + a32POPt + dNMt DMt + U3t ........................................(6)
2. Belanja Sektor Kesehatan
BSKt = a40 + a41PATt + a42PNSt + dNMt DMt + U4t .....................................(7)
3. Belanja Pemerintah Sektor Pertanian
GPSTt = a50 + a51PATt + dNMt DMt + U5t ...................................................(8)
61
4. Belanja Pemerintah Sektor Industri
GPSIt = a60 + a61PATt + dNMt DMt +U6t ...................................................... (9)
5. Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur
GPSBt = a70 + a71PATt + dNMt DMt + U7t ................................................. (10)
6. Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain
GPSLLt = a80 + a81PATt + a82BSPKt + dNMt DMt + U8t ........................... (11)
7. Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan
BSPKt = BSPt + BSKt .............................................................................. (12)
8. Total Belanja
BLJt = GPSTt + GPSIt + GPSBt + GPSLLt ............................................. (13)
dimana: BSPt : Belanja sektor pendidikan tahun t (juta Rupiah). BSKt : Belanja sektor kesehatan tahun t (juta Rupiah). BSPKt : Belanja sektor pendidikan dan kesehatan tahun t (juta Rupiah). BLJt : Belanja tahun t (juta Rupiah). PATt : Pendapatan tahun t (juta Rupiah). POPt : Populasi penduduk tahun t (ribu orang). PNSt : Pegawai negeri sipil tahun t (orang). GPSTt : Belanja Pemerintah sektor pertanian tahun t (juta Rupiah). GPSIt : Belanja Pemerintah sektor industri tahun t (juta Rupiah). GPSBt : Belanja Pemerintah sek. bangunan dan infrastruktur tahun t (Rp.
juta). GPSLLt : Belanja Pemerintah sektor lain-lain tahun t (juta Rupiah). N : Nomor parameter dummy (1 sampai dengan n). M : Nomor provinsi (misal Aceh = 11, Maluku = 81). U3t - U8t : Error term.
Dengan arah dan magnitude dari dugaan parameter yang diharapkan adalah:
a31, a41, a51, a61, a71, a81, a32, a42, a82 > 0.
4.4.3. Blok Permintaan Agregat
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
PKRTt = a90 + a91PDRBSECt + a92POPt + dNMt DMt + U9t ...................... (14)
62
2. Pembentukan Modal Tetap Bruto
PMTBt = a100 + a101PDRBSECt + a102KUKt + dNMt DMt + U10t ................(15)
3. Produk Domestik Regional Bruto Sisi Permintaan
PDRBEXPt = PKRTt + BLJt + PMTBt + NXt ...........................................(16)
4. Konsumsi Rumah Tangga Per Kapita
KRTCAPt = PKRTt / POPt .......................................................................(17)
dimana:
PKRTt : Pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun t (juta Rupiah). PDRBSECt : Produk domestik regional bruto sektoral tahun t (juta
Rupiah). PMTBt : Pembentukan modal tetap bruto tahun t (juta Rupiah). KUKt : Kredit usaha kecil tahun t (juta Rupiah). PDRBEXPt : Produk domestik regional bruto sisi permintaan tahun t
(juta Rupiah). KRTCAPt : Konsumsi rumah tangga per kapita tahun t (juta Rupiah). POPt : Populasi penduduk tahun t (ribu orang). NXt : Selisih antara ekspor dikurangi impor tahun t (juta Rupiah). U9t -U10t : Error term.
Magnitute dan arah dari dugaan parameter yang diharapkan adalah: a91, a101,
a92, a102 > 0.
4.4.4. Blok Penawaran Agregat
1. Total Produksi Sektor Pertanian
TQSTt = a110+a111LOGTKSTt + a112GPSTt ++dNMt DMt+U11t .................(18)
2. Total Produksi Sektor Industri
TQSIt = a120+a121TKSIt + a122GPSIt +dNMt DMt+U12t ...............................(19)
3. Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur
TQSBt = a130+a131TTKKSBt+a132GPSBt+a133JLHKt +dNMt DMt+U13t ......(20)
63
4. Total Produksi Sektor Lain-Lain
TQSLLt = a140+a141TKKSLt + a142GPSLLt + a143JLHK+dNMt DMt+U14t . (21)
5. Rasio Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur
RTQSBt = TQSBt/PDRBSECt ............................................................ (22)
6. Produk Domestik Regional Bruto Sektoral
PDRBSECt = TQSTt + TQSIt + TQSBt + TQSLLt .......................... (23)
dimana: TQSTt : Total produksi sektor pertanian tahun t (juta Rupiah). TQSIt : Total produksi sektor industri tahun t (juta Rupiah). TQSBt : Total produksi sektor bangunan dan infrastruktur tahun t (juta
Rupiah). TQSLLt : Total produksi sektor lain-lain tahun t (juta Rupiah). TKSTt : Angka partisipasi kerja sektor pertanian tahun t (orang). GPSTt : Belanja Pemerintah sektor pertanian tahun t (juta Rupiah). TKSIt : Angka partisipasi kerja sektor industri tahun t (orang). GPSIt : Belanja Pemerintah sektor industri tahun t (juta Rupiah). TTKKSBt : Tren angka partisipasi kerja sektor bangunan dan
infrastruktur tahun t GPSBt : Belanja Pemerintah sektor bangunan dan infrastruktur tahun t
(juta Rupiah). JLHKt : Jumlah kendaraan tahun t (buah). TKKSLt : Angka partisipasi kerja sektor lain-lain tahun t (orang). GPSLLt : Belanja Pemerintah sektor lain-lain tahun t (juta Rupiah). PDRBSECt : Produk domestik regional bruto sektor tahun t (juta Rupiah). RTQSBt : Rasio TQSBt/PDRBSECt tahun t. U11t-U14t : Error term.
Magnitute dan arah dari dugaan parameter yang diharapkan adalah: a111, a121,
a131, a141, a112, a122, a132, a142, a133; a143 > 0.
4.4.5. Blok Tenaga Kerja
1. Angka Partisipasi Kerja Sektor Pertanian
TKSTt = a150 + a151TQSTt + dNMt DMt + U15t ........................................... (24)
2. Angka Partisipasi Kerja Sektor Industri
TKSIt = a160 + a161TQSIt + dNMt DMt + U16t ............................................. (25)
64
3. Angka Partisipasi Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur
TKKSBt = a170 + a171RTQSBt + dNMt DMt + U17t ......................................(26)
4. Angka Partisipasi Kerja Sektor Lain-Lain
TKKSLt = a180 + a181TQSLLt + dNMt DMt + U18t ......................................(27)
5. Angka Partisipasi Kerja Sektor
TKSt = TKSTt + TKSIt + TKKSBt + TKKSLt ........................................(28)
6. Pengangguran
Ut = AKt - TKSt ........................................................................................(29)
dimana:
TKSTt : Angka partisipasi kerja sektor pertanian tahun t (orang). TKSIt : Angka partisipasi kerja sektor industri tahun t (orang). TKKSBt : Angka partisipasi kerja sektor bangunan dan infrastruktur tahun
t (orang). TKSLLt : Angka partisipasi kerja sektor lain-lannya tahun t (orang). TQSTt : Total produksi sektor pertanian tahun t (juta Rupiah). TQSIt : Total produksi sektor industri tahun t (juta Rupiah). RTQSBt : Rasio TQSBt/PDRBSECt tahun t. TQSLLt : Total produksi sektor lain-lain tahun t (juta Rupiah). TKSt : Angka partisipasi kerja sektor tahun t (orang). AKt : Angkatan kerja tahun t (orang). Ut : Pengangguran tahun t (orang). U15t -U18t : Error term.
Magnitute dan arah dari dugaan parameter yang diharapkan adalah: a151, a161,
a171, a181 > 0.
4.4.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia
1. Angka Harapan Hidup
AHHt = a190 + a191 BSKt + a192 KRTCAPt + dNMt DMt + U19t .....................(30)
2. Angka Melek Huruf
AMHt = a200 + a201 BSKt + a202 BSPt + a203KRTCAP t + dNMt DMt + U20t (31)
65
3. Rata-Rata Lama Sekolah
RLSt = a210 + a211 BSPt + a212 KRTCAPt + a213APSD t + dNMt DMt + U21t . (32)
4. Daya Beli
PPPt = a220 + a221Ut + a222KRTCAPt + dNMt DMt +U22t ........................... (33)
5. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota
TKDKt = a230 + a231PPPt + dNMt DMt + U23t .............................................. (34)
6. Indeks Hidup Panjang
IHPt = {(AHH t -25) / (85-25)} ................................................................ (35)
7. Indeks Pendidikan
IPt = (1/3)*(RLSt /15) + (2/3)*(AMHt /100) ............................................ (36)
8. Indeks Hidup Layak
IHLt = {(PPPt - 360) / (732.720 - 300)} ................................................... (37)
9. Indeks Pembangunan Manusia
IPMt = (1/3)*(IHPt + IPt + IHLt)*100 ................................................... (38)
dimana: AHHt : Angka harapan hidup tahun t (tahun). AMHt : Angka melek huruf tahun t (persen). RLSt : Rata-rata lama sekolah tahun t (tahun). PPPt : Daya beli tahun t (ribuan Rupiah). BSPt : Belanja sektor pendidikan tahun t (juta Rupiah). BSKt : Belanja sektor kesehatan tahun t (juta Rupiah). KRTCAPt : Konsumsi rumah tangga per kapita tahun t (juta Rupiah). APSDt : Angka putus sekolah dasar tahun t (persen). Ut : Pengangguran tahun t (orang). IHPt : Indeks hidup panjang tahun t. IPt : Indeks pendidikan tahun t. IHLt : Indeks hidup layak tahun t. IPMt : Indeks Pembangunan Manusia tahun t (antara nol sampai
seratus). TKDKt : Tingkat kemiskinan desa dan kota tahun t (persen). U19t -U23t : Error term.
66
Dengan arah dan magnitude dari dugaan parameter yang diharapkan adalah:
a191, a201, a211, a192, a202, a212, a222, a213 > 0; a221, a213, a231 < 0.
4.5. Prosedur Analisis Data
4.5.1. Identifikasi Model
Identifikasi model ditentukan berdasarkan “order condition“ sebagai
syarat keharusan dan “rank condition“ sebagai syarat kecukupan. Untuk
mengidentifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition
digunakan rumusan (Koutsoyiannis, 1977):
(K - M) > (G - 1) ....................................................................................... (39)
dimana:
K : Total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan variabel eksogen yang telah ditetapkan (predetermined).
M : Jumlah variabel endogen dan variabel eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model.
G : Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model.
dengan ketentuan:
(K - M) > (G - 1) : maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified).
(K - M) = (G - 1) : maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified).
(K - M) < (G - 1) : maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly
identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya.
Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan
tersebut tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan
suatu syarat perlu sekaligus syarat cukup yang ditentukan oleh rank condition
yang menyatakan suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika
67
dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order
(G - 1) dari parameter struktural variabel yang tidak termasuk dalam persamaan
tersebut (Koutsoyiannis, 1977).
4.5.2. Metode Pendugaan Model
Dari hasil identifikasi model yang menunjukkan bahwa seluruh persamaan
teridentifikasi secara berlebih (overidentified) dan mempertimbangkan
digunakannya pool data dalam penelitian ini, maka pendugaan/estimasi parameter
menggunakan model panel, dengan metode pendugaan/estimasi fixone.
Untuk mengetahui apakah pengaruh secara bersama-sama dari variabel
penjelas signifikan atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji
F. Sedangkan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara sendiri-
sendiri dari masing-masing variabel penjelas terhadap variabel endogennya diuji
dengan menggunakan uji statistik t pada tingkat signifikansi tertentu.
4.5.3. Validasi Model
Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang
dirumuskan itu cukup layak atau valid untuk digunakan dalam menganalisis
“Dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap indeks
pembangunan manusia di Indonesia”. Kriteria yang biasa digunakan dalam
menilai layak atau valid tidaknya suatu model ekonometrik di antaranya adalah
Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil inequality coefficient (U
theil) (Pindick dan Rubinfeld, 1991). Persamaan matematis RMSPE dan Utheil
adalah sebagai berikut:
68
[ ]%100x
YY-Y
T1
=RMSPE ∑T
1=t
2
at
at
st .................................................... (40)
Dimana, Yts adalah nilai Yt simulasi/prediksi, Yt
a adalah nilai Yt aktual dan
T adalah jumlah observasi dalam simulasi.
( )
( ) ( )∑∑
∑T
1=t
2at
T
1=t
2st
T
1=t
2at
st
YT1
+YT1
Y-YT1
=Utheil ........................................................ (41)
Dimana U dapat didekomposisi menjadi:
1/N Σ (Yts – Yt
a)2 = (Ys – Ya)2 + (σs – σa)2 + 2(1 – ρ)σsσa ...................... (42)
Dimana Ys dan Ya adalah rata-rata untuk nilai prediksi dan nilai aktual, σs
dan σa adalah standar deviasi untuk nilai prediksi dan nilai aktual, ρ adalah
koefisien korelasi. Proporsi dari U (proportions of inequality) dapat dinyatakan
sebagai berikut:
( )( )Y-Y
N1
Y-Y=U
2as
2asM
∑ .......................................................................... (43)
( )( )Y-Y
N1
-=U
2as
2asS
∑σσ
............................................................................ (44)
( )( )Y-Y
N1
-12=U
2as
asC
∑σσρ
........................................................................... (45)
dimana, UM adalah proporsi bias yang menjelaskan seberapa jauh rata-rata nilai
prediksi menyimpang dari rata-rata nilai aktual dan nilai UM yang diharapkan
adalah yang mendekati nol; US adalah proporsi varians yang menjelaskan
69
seberapa jauh variasi nilai prediksi menyimpang dari nilai variasi nilai aktual dan
nilai US yang diharapkan adalah yang mendekati nol; UC adalah proporsi
kovarians yang mengukur kesalahan peramalan yang tidak sistematis
(unsystematic error). Distribusi ketimpangan (U) yang ideal atas ketiga sumber
tersebut adalah UM = US = UC = 1 (Pyndick and Rubinfeld, 1991).
4.5.4. Simulasi Model
Simulasi pada dasarnya merupakan solusi matematis (mathematical solution)
dari suatu kumpulan berbagai persamaan secara simultan. Simulasi model dengan
demikian menunjuk kepada sekumpulan persamaan tersebut. Simulasi model
dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya untuk pengujian dan evaluasi model,
analisis kebijakan historis dan untuk peramalan (Pindyck and Rubinfeld, 1991).
Dalam studi ini, simulasi model terutama ditujukan untuk menganalisis
kebijakan historis yang dapat digunakan sebagai dasar peramalan di masa yang
akan datang. Dalam studi ini, analisis kebijakan difokuskan pada “Dampak
kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap indeks
pembangunan manusia di Indonesia”. Simulasi kebijakan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Belanja pendidikan dan kesehatan naik 20 persen.
2. Transfer Dana alokasi umum naik 20 persen.
3. Belanja sektor bangunan naik 20 persen.
4. Kombinasi kebijakan belanja pendidikan dan kesehatan naik 20 persen dan
belanja sektor bangunan naik 20 persen.
5. Provinsi quantil 1 indeks pembangunan manusia terendah naik dana alokasi
umum 40 persen, dan lainnya dana alokasi umum naik 20 persen.
70
6. Provinsi quantil 1 dan 2 indeks pembangunan manusia terendah naik dana
alokasi umum 40 persen, dan lainnya dana alokasi umum naik 20 persen.
7. Provinsi quantil 1 dan 2 indeks pembangunan manusia terendah naik total
belanja 40 persen, dan lainnya belanja naik 20 persen.
8. Provinsi quantil 1 dan 2 indeks pembangunan manusia terendah naik belanja
sektor pendidikan dan kesehatan 40 persen, dan lainnya belanja sektor
pendidikan dan kesehatan naik 20 persen.
V. GAMBARAN UMUM
Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam
penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masing-
masing variabel di provinsi yang berbeda maupun pada masa waktu yang berbeda.
Kurun waktu penyajiannya dimulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dengan
skop Indonesia, tetapi dengan penekanan pada 21 provinsi terpilih yang menjadi
sampel penelitian ini yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi
Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi
Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta, Provinsi
Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur,
Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan,
Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua.
Dua belas provinsi yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian adalah
provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena datanya sempilan; Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara karena
laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada
publikasi Kementerian Keuangan tidak lengkap; Provinsi Kepulauan Riau,
Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Banten, Provinsi Gorontalo, Provinsi
Sulawesi Barat, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat karena 7
provinsi ini merupakan provinsi hasil pemekaran, sehingga ada beberapa variabel
yang datanya tidak tersedia.
72
5.1. Blok Pendapatan Daerah
5.1.1. Pajak Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain.
Sementara itu, sumber utama dari pendapatan asli daerah bersumber dari Pajak
Daerah (PJKD).
Perkembangan pajak daerah pada 21 provinsi antara tahun 2004 sampai
tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 15. Sementara pajak daerah pada 12
provinsi lainnya di Indonesia tidak digambarkan karena tidak terpilih sebagai
sampel penelitian.
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 15. Perkembangan Pajak Daerah pada 21 Provinsi
Pajak Daerah (PJKD) dan Non Pajak Daerah (NPJKD) merupakan dua
variabel pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambar 16 adalah
konstribusi PJKD dalam PAD di 3 provinsi yang masing-masing mengumpulkan
pajak daerah tertinggi dan terendah tahun 2004 sampai tahun 2008.
0
73
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 16. Konstribusi Pajak Daerah Tertinggi dan Terendah dalam Pendapatan Asli Daerah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008
Berdasarkan gambaran kondisi pajak daerah, maka rata-rata pajak daerah
per provinsi dari tahun 2004 sampai 2009 adalah Rp. 2 414 563 350 000. Hal ini
menunjukkan adanya varian penarikan pajak antar daerah di Indonesia, sekaligus
memberikan gambaran varian potensi perekonomian daerah dalam bentuk Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) di masing-masing daerah.
5.1.2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer pusat kepada provinsi
dan kabupaten/kota yang akan menjadi pos pendapatan dalam APBD masing-
masing. Gambar 17 menunjukkan perkembangan DAU di 21 provinsi. Pada
tahun 2005 sebesar Rp. 42 775 102 880 000 adalah sedikit menurun dari tahun
2004 sebesar Rp. 39 717 608 680 000, tetapi naik secara terus menerus menjadi
sebesar Rp. 59 105 014 65 000 pada tahun 2006, sebesar Rp. 61 713 805 360 000
pada tahun 2007, dan sebesar Rp. 65 595 309 920 000 pada tahun 2008.
0
74
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 17. Dana Alokasi Umum di 21 Provinsi Tahun 2004 -2008
Adapun keragaan tentang perkembangan dana alokasi umum yang tertinggi
dan terendah di 21 provinsi penelitian antara tahun 2004 sampai tahun 2008,
dikombinasi dengan pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak
(BHPBP) pada tahun bersamaan, dapat dilihat pada Gambar 18 berikut ini.
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 18. Dana Alokasi Umum Tertinggi dan Terendah Dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008
0 0
0
75
Provinsi penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat pertama,
kedua, dan ketiga tertinggi adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar
Rp. 38 944 969 320 000, Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 34 531 560 220 000,
dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 20 028 031 880 000. Sementara provinsi
penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat ke 19, 20, dan 21 adalah
Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp. 4 953 886 560 000, Provinsi Bengkulu
sebesar Rp. 4 749 808 540 000, dan Provinsi Riau sebesar Rp. 4 505 596 300 000.
Provinsi Kalimantan Timur dan Riau dikenal sebagai penghasil pendapatan
yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam, ternyata termasuk sebagai provinsi
yang menerima dana alokasi umum terendah. Rendahnya dana alokasi umum
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau dikonpensasi dengan alokasi
anggaran bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup besar. Hal ini
mengkonfirmasi fungsi dana alokasi umum sebagai dana transfer keuangan pusat
ke daerah untuk pemerataan pembangunan, sementara fungsi bagi hasil pajak dan
bukan pajak adalah untuk peningkatan pendapatan daerah penghasil pajak dan
bukan pajak, terutama bagi hasil pajak dan bukan pajak dari sumberdaya alam.
5.2. Blok Belanja Daerah
5.2.1. Belanja Sektor Pendidikan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa belanja sektor
pendidikan (BSP) minimal mencapai 20 persen dari total anggaran belanja
Pemerintah, namun secara faktual tidak seluruh provinsi melaksanakannya. Tabel
5 menunjukan 3 provinsi dengan alokasi belanja sektor pendidikan tertinggi yaitu
Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 22 702 206 270 000 (37.32 persen), Provinsi
Jawa Barat sebesar Rp. 19 662 153 790 000 (29.85 persen), dan Provinsi
76
Sumatera Utara sebesar Rp. 9 055 098 480 000 (26.79 persen). Sementara 3
provinsi dengan belanja sektor pendidikan terendah berurutan hingga yang paling
rendah adalah Provinsi Papua sebesar Rp. 2 322 395 450 000 (10.45 persen),
Provinsi Maluku sebesar Rp. 1 637 366 450 000 (16,50 persen), dan Provinsi
Bengkulu sebesar Rp. 1 383 752 110 000 (19.26 persen).
Tabel 5. Provinsi dengan Anggaran Belanja Sektor Pendidikan Tertinggi dan Terendah Tahun 2004-2008
Urutan Provinsi Total Belanja Pemerintah
Belanja Sektor Pendidikan Persentase
1. Jawa Tengah 60 832 137.10 22 702 206.27 37.32
2. Jawa Barat 65 870 073.16 19 662 153.79 29.85
3. Sumatra Utara 33 805 583.26 9 055 098.48 26.79
19. Papua 22 213 721.49 2 322 395.45 10.45
20. Maluku 9 921 646.01 1 637 366.45 16.50
21. Bengkulu 7 185 077.64 1 383 752.11 19.26
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Belanja sektor pendidikan pada 21 provinsi tersebut selama tahun 2004
sampai dengan tahun 2008 mencapai Rp. 120 720 893 150 000, atau dibandingkan
dengan seluruh belanja Pemerintah di 21 provinsi tersebut pada kurun waktu yang
sama sebesar Rp. 485 998 332 890 000, maka belanja sektor pendidikan mencapai
24.83 persen dari total anggaran, atau sudah melebihi amanat Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Perbandingan alokasi belanja sektor pendidikan dengan total belanja
Pemerintah pada tahun 2004 sampai tahun 2008 di 21 provinsi penelitian
ditunjukkan pada Gambar 19. Terlihat kecendrungan belanja sektor pendidikan
dan total belanja Pemerintah menunjukan arah yang sama-sama mengalami
peningkatan. Pada tahun 2004 belanja sektor pendidikan Rp. 19 872 632 000 000
atau 25.42 persen dari total belanja Pemerintah sebesar Rp. 78 164 805 430 000,
77
namun sedikit turun pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp. 19 478 774 910 000
(25.74 persen), kemudian meningkat cukup tajam berturut turut pada tahun 2006
sebesar Rp. 24 212 947 860 000 atau 24.84 persen, lalu meningkat menjadi
sebesar Rp. 28 805 676 270 000 atau 23.72 persen pada tahun 2007, lalu pada
tahun 2008 meningkat lagi menjadi sebesar Rp. 33 120 799 180 000 atau 25.60
persen.
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 19. Perbandingan Alokasi Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Penelitian Tahun 2004-2008
Kenaikan belanja sektor pendidikan selama 5 tahun, dari semula pada tahun
2004 sebesar Rp. 19 872 632 000 000 menjadi Rp. 33 120 799 180 000 pada
tahun 2008. Kondisi ini memberikan gambaran jika selama 5 tahun, capaian
belanja sektor pendidikan mencapai sekitar 40 persen, atau rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 8 persen per tahun.
0
78
5.2.2. Belanja Sektor Kesehatan
Alokasi belanja sektor kesehatan (BSK) tidak sebesar belanja sektor
pendidikan, rata-rata belanja sektor kesehatan hanya mencapai sepertiga dari
belanja sektor pendidikan. Tabel 6 menunjukkan perbandingan antara belanja
sektor kesehatan dengan total belanja Pemerintah selama 5 tahun, dari tahun 2004
sampai tahun 2008.
Tabel 6. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008
Tahun Total Belanja Pemerintah
Belanja Sektor Kesehatan Persentase
2004 78 164 805.43 6 444 414.05 8.24
2005 75 752 734.03 6 256 084.00 8.26
2006 97 469 289.86 7 980 088.53 8.19
2007 121 422 193.75 9 895 349.95 8.15
2008 129 417 820.02 10 683 451.63 8.26
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (Diolah)
Provinsi dengan belanja sektor kesehatan tertinggi dan terendah disajikan
pada Gambar 20.
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).
Gambar 20. Belanja Sektor Kesehatan Tertinggi dan Terendah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008
0
79
Nampak bahwa Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan belanja sektor
kesehatan tertinggi sebesar Rp. 5 914 113 390 000 (9.72 persen dari total belanja
Pemerintah sebanyak Rp. 60 832 137 100 000), Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp. 5 253 724 530 000 (7.98 persen), dan Provinsi Sumatera Utara sebesar
Rp. 3 057 588 880 000 (9.04 persen).
Provinsi dengan belanja sektor kesehatan rendah hingga terendah adalah
Provinsi Jambi sebesar Rp. 745 810 820 000 (7.73 persen), Provinsi Bengkulu
Rp. 741 320 640 000 (10.32 persen), serta Provinsi Sulawesi Utara sebesar
Rp. 630 680 890 000 (6.67 persen). Provinsi Bengkulu menunjukan perhatian
yang tinggi terhadap sektor kesehatan meskipun belanja sektor kesehatannya
secara nominal berada pada posisi terendah kedua, tetapi dari sisi persentasi justru
tertinggi, bahkan mengalahkan provinsi-provinsi yang menduduki urutan tertinggi
secara nominal.
5.3. Blok Permintaan Agregat
Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas pengeluaran konsumsi rumah
tangga (PKRT) dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB).
Adapun komponen belanja konsumsi Pemerintah (PKP) dan net ekspor (NX)
dijadikan variabel eksogen penelitian ini. Penjumlahan dari 4 variabel tersebut
disebut dengan produk domestik regional bruto dari sisi pengeluaran (PDRBEXP).
Gambar 21 berikut menyajikan proporsi komponen PDRBEXP pada 21
provinsi penelitian. Proporsi komponen PKRT mencapai Rp. 2 795 287 616.52
juta (53 persen PDRBEXP). Komponen lainnya yaitu PKP Rp. 515 312 645.19
juta (10 persen). Sementara PMTB sebesar Rp. 967 608 994.33 juta (18 persen),
dan net ekspor (NX) sebesar Rp. 1 021 194 519.70 juta (19 persen).
80
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010a (diolah).
Gambar 21. Proporsi Komponen dalam Produk Domestik Bruto dari Sisi Pengeluaran Tahun 2004-2008
5.4. Blok Penawaran Agregat
Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas total produksi sektor pertanian
(TQST), total produksi sektor industri (TQSI), total produksi sektor bangunan dan
infrastruktur (TQSB), serta total produksi sektor lainnya (TQSLL). Penjumlahan
dari 4 variabel tersebut disebut dengan produk domestik regional bruto sektoral
atau dari sisi penerimaan (PDRSEC). Gambar 22 berikut menyajikan proporsi
komponen produk domestik regional bruto sektoral atau sisi penerimaan total di
21 provinsi penelitian dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b (diolah).
Gambar 22. Proporsi Komponen Dalam Produk Domestik Bruto Sektoral Tahun 2004-2008
81
Proporsi komponen total produksi sektor pertanian (TQST) sebesar
Rp. 1 047 305 000 juta (20 persen), total produksi sektor industri (TQSI) sebesar
Rp. 1 367 821 000 juta (25 persen), total produksi sektor bangunan dan
infrastruktur (TQSB) sebesar Rp. 256 858 000 (5 persen), serta total produksi
sektor lainnya (TQSLL) sebesar Rp. 2 627 555 321.97 (50 persen).
5.5. Blok Tenaga Kerja
Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas tenaga kerja sektor pertanian
(TKST), tenaga kerja sektor industri (TKSI), dan tenaga kerja sektor bangunan
dan infrastruktur (TKKSB). Sementara tenaga kerja sektor lainnya (TKKSL)
dijadikan variabel eksogen. Keseluruhan dari tenaga kerja sektor tersebut disebut
dengan tenaga kerja sektor (TKS). Selanjutnya selisih antara angkatan kerja (AK)
dengan tenaga kerja sektor (TKS) disebut pengangguran (U). Gambar 23
menunjukan provinsi dengan persentase jumlah pengangguran terendah dan
tertinggi pada tahun 2008.
Sumber: Balitfo Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010 (diolah). Gambar 23. Provinsi dengan Pengangguran Terendah dan Tertinggi Tahun
2008
82
Provinsi dengan pengangguran terendah adalah provinsi Bali sebesar 3.31
persen, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3.73 persen, dan Provinsi Papua
sebesar 4.39 persen, sementara pengangguran tertinggi berada di Provinsi Jawa
Barat sebesar 12.08 persen, Provinsi Kalimantan Timur sebesar 11.11 persen,
serta Provinsi Maluku sebesar 10.67 persen. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
provinsi Papua menarik untuk didalami, karena meskipun angka pengangguran
rendah, tetapi dapat dikonstantir terserap menjadi tenaga kerja sektor pertanian
yang tergolong tenaga kerja mandiri di sektor informal dengan pendapatan rendah
dan tidak menentu, sehingga tingkat kemiskinan desa dan kota tetap tinggi.
5.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia
5.6.1. Rata-Rata Lama Sekolah
Rata-rata lama sekolah (RLS) bersama dengan angka melek huruf (AMH)
merupakan dua sub komponen pembentuk komponen indeks pendidikan (IP),
sementara komponen indeks pendidikan bersama-sama dengan komponen indeks
hidup panjang (IHP) dan komponen hidup layak (IHL) adalah 3 komponen
pembentuk indeks pembangunan manusia (IPM). Gambar 24 menunjukan
provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi dan terendah pada tahun
2008, dan Gambar 25 menunjukan perkembangan rata-rata lama sekolah di
provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.
Pada tahun 2008 rata-rata lama sekolah tertinggi berturut-turut adalah
Provinsi Kalimantan Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun,
Provinsi Sulawesi Utara memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun, dan
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rata-rata lama sekolah selama
8.71 tahun. Sedangkan provinsi dengan rata-rata lama sekolah rendah hingga
83
terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat memiliki rata-rata lama sekolah 6.7
tahun, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama
6.55 tahun, dan Provinsi Papua memiliki rata-rata lama sekolah selama 6.52
tahun.
Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah) dan Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 24. Perbandingan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah, Pendapatan Per Kapita, dan Persentase Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2008
Dibandingkan dengan persentasi belanja sektor pendidikan terhadap total
belanja Pemerintah pada tahun 2008, nampaknya rata-rata lama sekolah pada
tahun bersamaan tidak mempunyai hubungan kausalitas yang kuat, tetapi
sebaliknya rata-rata lama sekolah memiliki hubungan yang kuat dengan
pendapatan per kapita per tahun (ICAP). Misalnya Provinsi Kalimantan Timur
yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi, tetapi hanya dengan
mengeluarkan belanja sektor pendidikan belanja sektor pendidikan sebanyak
84
13.36 persen dari total belanja Pemerintah. Berbeda dengan belanja sektor
pendidikan, maka pendapatan per kapita per tahun Provinsi Kalimantan Timur
sebesar Rp. 33.97 juta adalah tertinggi di Indonesia tentu memiliki pengaruh yang
besar terhadap rata-rata lama sekolah.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 25. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
Perkembangan rata-rata lama sekolah dari waktu ke waktu menunjukkan
peningkatan tetapi terjadi jurang yang cukup dalam antara 3 provinsi dengan rata-
rata lama sekolah tertinggi dengan 3 provinsi lainnya yang masuk dalam
kelompok dengan rata-rata lama sekolah terendah.
Sejak tahun 2005 tren rata-rata lama sekolah cenderung datar, artinya
walaupun ada peningkatan rata-rata lama sekolah tetapi dalam bilangan yang kecil
sekali, sementara kenaikan belanja sektor pendidikan setiap tahun rata-rata
0
85
mencapai 8 persen, ini menjelaskan bahwa dampak belanja sektor pendidikan
terhadap rata-rata lama sekolah tidak signifikan.
5.6.2. Angka Melek Huruf
Angka melek huruf seperti juga rata-rata lama sekolah merupakan sub
komponen pembentuk komponen indeks pendidikan, hanya saja bobot angka
melek huruf adalah dua per tiga dibandingkan sepertiga bobot rata-rata lama
sekolah (BPS, 2008). Gambar 26 menunjukan provinsi yang memiliki angka
melek huruf tertinggi dan terendah pada tahun 2008, dan Gambar 27 menunjukan
perkembangan angka melek huruf di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai
tahun 2008.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 26. Perbandingan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Pendidikan, dan Rata-Rata Lama Sekolah Tahun 2008
86
Secara grafis terlihat bahwa pola hubungan yang searah antara angka melek
huruf dengan rata-rata lama sekolah, namun tidak nampak jelas pola hubungan
antara angka melek huruf dengan persentase belanja sektor pendidikan, oleh
karena itu patut diduga pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap angka melek
huruf cukup kuat karena sama-sama sebagai indikator output pembangunan
manusia, sedang pengaruh belanja sektor pendidikan terhadap angka melek huruf
tidak signifikan, karena belanja sektor pendidikan merupakan indikator input
pembangunan manusia, sementara angka melek huruf merupakan indikator output
pembangunan manusia.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 27. Perkembangan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
Perkembangan angka melek huruf tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 di
Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, dan Riau yang memiliki angka melek huruf
tertinggi sudah cenderung datar, karena nilainya mendekati 100 persen. Sementara
87
angka melek huruf di provinsi yang memiliki angka melek huruf terendah
menunjukan tren kenaikan mendekati 90 persen untuk Provinsi Sulawesi Selatan
dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta angka melek huruf menuju 80 persen
untuk Provinsi Papua. Provinsi Sulawesi Utara memiliki sekaligus angka melek
huruf dan rata-rata lama sekolah tertinggi, maka dapat dipastikan akan memiliki
indeks pendidikan tertinggi di antara 21 provinsi penelitian. Sebaliknya Provinsi
Papua berada pada posisi terendah untuk angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, yang berarti memiliki indeks pendidikan yang terendah pula.
5.6.3. Angka Harapan Hidup
Gambar 28 menunjukkan provinsi yang memiliki Angka Harapan Hidup
(AHH) tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 29 menunjukan
perkembangan AHH di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 28. Perbandingan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Kesehatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008
88
Secara grafis tidak terlihat pola hubungan yang searah antara angka
harapan hidup dengan belanja sektor kesehatan, dan pengeluaran rumah tangga
per kapita (KRTCAP) pada tahun yang bersamaan. Diduga penyebabnya karena
indikator angka harapan hidup merupakan indikator output pembangunan manusia,
sementara indikator belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per
kapita sebagai indikator input pembangunan manusia, sehingga kurang kuat
hubungan kausalitas satu sama lain dalam tahun yang sama.
Pada Gambar 29 di bawah ini menunjukkan perkembangan angka harapan
hidup yang cenderung datar bagi provinsi dengan angka harapan hidup tertinggi,
dan naik sangat landai bagi provinsi dengan angka harapan hidup terendah.
Keadaan ini memberikan konfirmasi bahwa upaya meningkatkan angka harapan
hidup perlu perjuangan yang berat, dengan kemajuannya sangat sedikit, meskipun
belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per kapita ditingkatkan
lebih signifikan. Sisi yang menggembirakan adalah secara matematis tidak ada
batasan umur tertinggi bagi setiap orang.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 29. Perkembangan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
89
Dibandingkan dengan perkembangan pengeluaran rumah tangga per kapita
pada Gambar 30, terlihat bahwa perkembangan angka harapan hidup pada
Gambar 29 memang searah, sehingga patut diduga kenaikan indikator input
pembangunan manusia berupa pengeluaran rumah tangga per kapita
mempengaruhi belanja keluarga untuk sub komponen maupun komponen Indeks
Pembangunan Manusia, termasuk peningkatan angka harapan hidup. Namun,
hubungan antara angka harapan hidup dengan pengeluaran rumah tangga per
kapita yang searah tersebut tidak dapat diartikan bahwa provinsi yang tinggi
pengeluaran rumah tangga per kapitanya dapat dipastikan tinggi pula angka
harapan hidupya.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 30. Perkembangan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Selatan, kendati provinsi ini
membelanjakan pengeluaran rumah tangga per kapita yang tinggi antara
Rp. 70 000 hingga Rp. 170 000 per kapita per tahun, tetapi dalam kenyataannya
90
angka harapan hidupnya menduduki peringkat kedua terbawah. Sebaliknya,
meskipun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya membelanjakan
pengeluaran rumah tangga per kapita antara Rp. 40 000 sampai Rp. 60 000 per
kapita per tahun, tetapi angka harapan hidupnya berada pada peringkat pertama
tertinggi.
5.6.4. Daya Beli
Daya beli atau disebut dengan purchasing power parity (PPP), merupakan
satu satunya komponen pembentuk indeks hidup layak. UNDP menggunakan
kemampuan daya beli yang diambil dari pendapatan riil per kapita, sementara
Badan Pusat Statistik menggunakan dari perhitungan pengeluaran untuk sejumlah
barang konsumsi tertentu yang telah disepakati para ahli. Hasil perhitungan BPS
ini yang kemudian digunakan untuk menghitung indeks hidup layak dalam
penelitian ini (Badan Pusat Statistik, 2008).
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 31. Perbandingan Kemampuan Daya Beli Tertinggi dan Terendah, Persentase Pengangguran, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008
91
Gambar 31 menunjukkan provinsi yang memiliki kemampuan daya beli
tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 32 menunjukan
perkembangan kemampuan daya beli di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai
tahun 2008.
Secara grafis kemampuan daya beli mempunyai hubungan kausalitas yang
searah dengan pengeluaran rumah tangga per kapita, artinya kenaikan kemampuan
daya beli sejalan dengan kenaikan pengeluaran rumah tangga per kapita.
Sebaliknya kemampuan daya beli mempunyai arah yang berlawanan dengan
pengangguran (U), sehingga setiap kenaikan pengangguran akan menurunkan
kemampuan daya beli.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 32. Perkembangan Daya Beli Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
Pada Gambar 31 menunjukan provinsi dengan daya beli tertinggi adalah
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan
92
Timur. Sedang provinsi dengan daya beli terendah adalah Provinsi Maluku,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Papua.
Daya beli mempunyai prilaku yang selalu meningkat dari tahun ke tahun,
baik bagi kelompok provinsi dengan daya beli tertinggi, maupun bagi kelompok
provinsi dengan daya beli terendah. Jika prilaku komponen daya beli ini
dibandingkan dengan prilaku sub komponen rata-rata lama sekolah dan sub
komponen angka melek huruf, serta komponen angka harapan hidup yang
semuanya mempunyai tren sudah melandai, maka upaya menaikkan indeks
pembangunan manusia yang paling realistis dalam jangka pendek adalah melalui
peningkatan daya beli. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi untuk
menghasilkan pertumbuhan dan pemerataan perekonomian adalah titik bermula
dari upaya peningkatan indeks pembangunan manusia secara merata di seluruh
Indonesia.
5.6.5. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks pembangunan manusia merupakan indeks rata-rata dari hasil
penjumlahan komponen indeks pendidikan, indeks hidup panjang, dan indeks
hidup layak, yang kesemuanya merupakan variabel-variabel endogen, sehingga
indeks pembangunan manusia merupakan variabel endogen pula. Gambar 33
berikut menunjukkan perkembangan Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Riau,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi
Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua, dengan indeks pembangunan manusia
tertinggi dan terendah yang dibandingkan dengan masing-masing indeks hidup
panjang, indeks pendidikan, dan indeks hidup layak.
93
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 33. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah, Indeks Hidup Panjang, Indeks Pendidikan, dan Indeks Hidup Layak Tahun 2008
Provinsi dengan indeks pembangunan manusia tertinggi adalah provinsi
Sulawesi Utara yaitu sebesar 75.16, Provinsi Riau yaitu sebesar 75.09, dan
Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta yaitu sebesar 74.88. Sementara provinsi
dengan indeks pembangunan manusia terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur yaitu sebesar 66.15, Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 64.12, dan
Provinsi Papua yaitu sebesar 63.99. Contoh pengambilan provinsi yang memiliki
indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang perilaku indeks pembangunan manusia dari tahun
ke tahun, khususnya dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Secara lebih lengkap
kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 34.
94
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 34. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
Secara grafis terlihat kesenjangan yang cukup dalam antara indeks
pembangunan manusia tertinggi dan terendah, serta adanya perbedaan sudut
kemiringan antara indeks pembangunan manusia tertinggi dengan terendah.
Dengan kata lain, upaya peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi
berindeks pembangunan manusia tinggi akan lebih sulit dibandingkan dengan
peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi memiliki indeks
pembangunan manusia yang rendah.
5.6.6. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota
Tingkat kemiskinan desa dan kota (TKDK) merupakan persentasi
penduduk miskin di desa dan di kota terhadap total penduduknya. Dengan kata
lain, tingkat kemiskinan desa dan kota merupakan seluruh penduduk miskin di
suatu wilayah yang memiliki kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan sekaligus.
95
Gambar 35 menyajikan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah dan tertinggi
pada 21 provinsi penelitian.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 35. Perbandingan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Terendah dan Tertinggi dengan Daya Beli Tahun 2008
Secari grafis terlihat hubungan yang berkebalikan antara tingkat
kemiskinan desa dan kota dengan daya beli, baik bagi provinsi dengan tingkat
kemiskinan terendah maupun tertinggi. Pada Gambar 36 menunjukan
perkembangan kemiskinan di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota
terendah maupun tertinggi.
Secara grafis terlihat tren yang mendatar untuk penurunan tingkat
kemiskinan desa dan kota di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota
terendah, sebaliknya nampak tren yang agak curam untuk penurunan tingkat
kemiskinan desa dan kota bagi provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota
tertinggi. Fenomena ini memberikan konfirmasi untuk penanggulangan
96
kemiskinan harus fokus pada provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota
tinggi.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).
Gambar 36. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Desa Kota Terendah dan Tertinggi Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008
VI. MODEL INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA: HASIL ANALISIS PARSIAL PERSAMAAN STRUKTURAL
6.1. Analisis Umum Model Estimasi
Model dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan
terhadap Indeks Pembangunan Manusia meliputi 38 persamaan simultan terdiri
atas 23 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas, yang merupakan formasi
dari 38 variabel endogen dan 15 variabel eksogen (predetermined). Model yang
disajikan ini merupakan hasil akhir setelah beberapa kali dimodefikasi, yaitu
ketika masih terdapat persamaan struktural yang memiliki hasil dugaan parameter
tidak sesuai dengan teori ekonomi dan/atau dugaan parameter tidak nyata.
Sehubungan data yang dibangun dalam model ini adalah dalam bentuk
panel data, maka persamaan struktural yang dibangun telah berbasis panel data
tersebut, dan metode estimasi yang digunakan adalah metode estimasi panel data
dengan spesifikasi fixed effect model, sehingga intercept yang dihasilkan di
samping intercept dari variabel bebasnya, juga terdapat intercept yang berbeda
untuk setiap provinsi sebagai unit individu dalam cross section.
Program dan hasil dugaan parameter dari 23 persamaan struktural yang
terdiri atas intercept dan parameter variabel penjelasnya disajikan secara lengkap
dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2, yang dinarasikan dalam sub bab dari bab ini.
Secara umum hasil analisis dugaan parameter atas model Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) cukup baik, nampak dari nilai koefisien determinasi
(R2) cukup besar pada masing-masing persamaan struktural, yaitu berkisar antara
0.8692 hingga 0.9995, bahkan hanya 2 dari 23 persamaan yang nilai koefisien
determinasi lebih kecil dari 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel
98
penjelas atau predetermined di dalam setiap model struktural dapat menjelaskan
fluktuasi variabel endogennya secara nyata. Pada masing-masing persamaan,
variabel predetermined secara bersama-sama terjadi fixed effects terhadap variabel
endogennya dengan peluang di atas 99 persen, yang ditunjukkan oleh nilai
statistik F hitung berkisar antara 6.54 hingga 675.91. Selain itu, sebagian besar
variabel endogen di dalam setiap persamaan dipengaruhi oleh variabel
penjelasnya pada taraf nyata (α) 5 persen, 10 persen, dan 15 persen.
Satu hal yang menjadi orientasi utama penelitian ini adalah memastikan
tanda dugaan parameter dalam model harus sesuai dengan hipotesis, yang
didasarkan pada teori maupun logika ekonomi. Hasilnya, semua hasil dugaan
parameter dalam model penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesis.
Berdasarkan hal ini dan uraian pada alinea di atas, dapat disimpulkan bahwa
model cukup baik dan dapat digunakan untuk melakukan analisis dampak
kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural
6.2.1. Blok Pendapatan Daerah
Kinerja penyediaan fiskal daerah atau disebut anggaran Pendapatan Daerah
dapat dilihat dari penerimaan daerah yang masuk dalam komponen Pendapatan
Asli Daerah (PADt), Dana Alokasi Umum (DAUt), dan penerimaan lainnya
seperti pendapatan Non Pajak Daerah (NPJKDt), Dana Alokasi Khusus (DAKt),
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBPt), dan Pendapatan Lain-lain (PLAINt).
Dalam penelitian ini yang dijadikan persamaan struktural adalah Pajak Daerah
(PJKDt) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
99
1. Pajak Daerah
Dugaan parameter persamaan Pajak Daerah (PJKDt) memberikan nilai
koefisien determinasi sebesar 88.77 persen. Hal ini berarti variabel penjelas
Belanja Daerah (BLJt) dan Perubahan Persediaan (PPt) di dalam persamaan
tersebut dapat menjelaskan 88.77 persen fluktuasi variabel Pajak Daerah.
Variabel endogen di dalam persamaan Pajak Daerah dipengaruhi secara nyata
oleh variabel Belanja Daerah pada taraf nyata (α) 5 persen. Namun pengaruh
perubahan persediaan tidak signifikan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Pajak Daerah Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
PJKDt Pajak Daerah
Intercep 289 904.4
Belanja Daerah (BLJt) 0.038427 0.0201 (A) 0.38
Perubahan Persediaan (PPt) 0.011069 0.5312 (D) 0.02
F-Hitung = 6.78 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.8877
Keterangan (untuk tabel di atas dan tabel-tabel selanjutnya):
A = Dugaan parameter berbeda dengan nol pada taraf nyata (α) 5 persen.
B = Dugaan parameter berbeda dengan nol pada taraf nyata (α) 10 persen.
C = Dugaan parameter berbeda dengan nol pada taraf nyata (α) 15 persen.
D = Dugaan parameter disamakan dengan nol pada taraf nyata (α) > 15 persen.
Nilai dugaan parameter Pajak Daerah dan elastisitasnya pada Tabel 7
menjelaskan tentang pengaruh Belanja Daerah dan Perubahan Persediaan terhadap
pengumpulan Pajak Daerah. Apabila terjadi peningkatan anggaran Belanja Daerah
sebesar Rp. 1 juta maka penerimaan pajak berpotensi naik sebesar Rp. 38 427.
Proporsi potensi nilai peningkatan pajak yang hanya sekitar 3.84 persen
disebabkan oleh instrumen dan sumber pajak yang dapat dilakukan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sudah ditetapkan oleh Pemerintah.
100
Sementara itu sumber penerimaan pajak lebih banyak yang bersifat pasif sehingga
belum seluruhnya tergarap secara optimal.
Kenaikan perubahan persediaan dari sisi permintaan agregat sebesar Rp. 1
juta akan menjadi sumber penerimaan pajak daerah dengan potensi penarikan
pajak sebesar Rp. 11 069. Perubahan persediaan ini akan mempengaruhi
kemampuan permodalan usaha. Elastisitas Belanja Daerah dan elastisitas
Perubahan Persediaan berturut-turut sebesar 0.38 dan 0.02 menunjukkan Pajak
Daerah tidak responsif terhadap perubahan kedua variabel tersebut.
2. Dana Alokasi Umum
Dugaan parameter persamaan Pajak Daerah (PJKDt) memberikan nilai
koefisien determinasi sebesar 96.48 persen. Hal ini berarti variabel penjelas
Belanja Daerah (BLJt) dan Populasi Penduduk (POPt) di dalam persamaan
tersebut dapat menjelaskan 96.48 persen fluktuasi variabel Pajak Daerah. Variabel
endogen di dalam persamaan Pajak Daerah dipengaruhi secara nyata oleh
variabel Belanja Daerah pada taraf nyata (α) 5 persen. Namun pengaruh Populasi
Penduduk tidak signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
DAUt Dana alokasi umum
Intercep 8 243.43
Belanja Daerah (BLJt) 0.384778 0.0001(A) 0.72
Populasi Penduduk (POPt) 243.3648 0.2114 (D) 0.73
F-Hitung = 17.66 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9648
Nilai dugaan parameter DAUt dan elastisitasnya pada Tabel 8 menjelaskan
tentang pengaruh Belanja Daerah dan Populasi Penduduk terhadap transfer DAUt.
101
Apabila terjadi peningkatan anggaran Belanja Daerah sebesar Rp. 1 juta maka
potensi kebutuhan transfer sumber pembiayaan DAUt meningkat sebesar
Rp. 384 778. Populasi Penduduk juga berpengaruh nyata terhadap DAUt dengan
nilai dugaan parameter 243.3648. Jika Populasi Penduduk meningkat sebanyak
1 000 orang maka DAUt akan meningkat sekitar Rp. 243.3648 juta per tahun.
Kenaikan Populasi Penduduk menyebabkan DAUt meningkat sehingga provinsi
dengan penduduk yang lebih banyak akan lebih banyak pula menerima transfer
DAUt.
Elastisitas Belanja Daerah dan elastisitas Populasi Penduduk berturut-turut
sebesar 0.72 dan 0.73, menunjukkan bahwa penerimaan Pajak Daerah tidak
responsif terhadap perubahan kedua variabel tersebut.
6.2.2. Blok Belanja Daerah
Kinerja kebutuhan fiskal daerah atau disebut dengan anggaran Belanja
Daerah (BLJt) merupakan penjumlahan dari kebutuhan untuk Belanja Pemerintah
Sektor Pertanian (GPSTt), Belanja Pemerintah Sektor Industri (GPSIt), Belanja
Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur (GPSBt), dan Belanja Pemerintah
Sektor Lain-Lain (GPSLLt).
Persamaan struktural dalam model yang dibangun meliputi Belanja Sektor
Pendidikan (BSPt) dan Belanja Sektor Kesehatan (BSKt), yang merupakan bagian
dari Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain (GPSLL). Persamaan struktural
meliputi pula Belanja Pemerintah Sektor Pertanian (GPSTt), Belanja Pemerintah
Sektor Industri (GPSIt), dan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur (GPSBt).
102
1. Belanja Sektor Pendidikan
Dugaan parameter persamaan Belanja Sektor Pendidikan (BSPt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 98.38 persen. Hal ini berarti
variasi dari dua variabel penjelasnya, yaitu Pendapatan (PATt) dan Pegawai
Negeri Sipil (PNSt) dapat menjelaskan 98.38 persen fluktuasi variabel Belanja
Sektor Pendidikan. Variabel endogen di dalam persamaan Belanja Sektor
Pendidikan dipengaruhi secara nyata oleh variabel Pendapatan Daerah dan
variabel jumlah Pegawai Negeri Sipil masing masing pada taraf nyata (α) 5 persen.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
BSPt Belanja Sektor Pendidikan
Intercep -1 318 667
Pendapatan Daerah (PATt) 0.180641 0.0001 (A) 0.72
Pegawai Negeri Sipil (PNSt) 14.67299 0.0001 (A) 1.65
F-Hitung = 9.4 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9838
Pendapatan Daerah merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Belanja Sektor Pendidikan dengan nilai dugaan parameter
0.180641. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta (100 persen) maka
Belanja Sektor Pendidikan akan meningkat Rp. 0.1806 juta (18.06 persen).
Kenaikan pada Pendapatan Daerah di suatu provinsi akan berpotensi menaikkan
Belanja Daerah dan Belanja Sektor Pendidikan di provinsi yang bersangkutan.
Variabel Pegawai Negeri Sipil juga berpengaruh nyata pada taraf (α) 5
persen terhadap Belanja Sektor Pendidikan dengan nilai dugaan parameter
14.67299. Jika peubah Pegawai Negeri Sipil meningkat sebanyak 1 000 orang
103
maka Belanja Sektor Pendidikan akan meningkat sebesar Rp. 14.68 juta per tahun.
Kenaikan variabel Pegawai Negeri Sipil menyebabkan Belanja Sektor Pendidikan
meningkat, sehingga provinsi dengan variabel Pegawai Negeri Sipil yang
meningkat akan meningkatkan pula alokasi Belanja Sektor Pendidikan.
Elastisitas Pendapatan Daerah dan elastisitas variabel Pegawai Negeri Sipil
berturut-turut sebesar 0.72 dan 1.65, menunjukkan bahwa Belanja Sektor
Pendidikan tidak responsif terhadap perubahan Pendapatan Daerah, tetapi
responsif terhadap perubahan variabel Pegawai Negeri Sipil.
2. Belanja Sektor Kesehatan
Dugaan parameter persamaan Belanja Sektor Kesehatan (BSKt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 97.99 persen. Hal ini berarti
variasi dari dua variabel bebasnya, yaitu Pendapatan Daerah (PATt) dan jumlah
Pegawai Negeri Sipil (PNSt), dapat menjelaskan 97.99 persen fluktuasi variabel
Belanja Sektor Kesehatan. Variabel endogen persamaan Belanja Sektor Kesehatan
dipengaruhi secara nyata oleh variabel Pendapatan Daerah dan Pegawai Negeri
Sipil masing masing pada taraf nyata (α) 5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Sektor Kesehatan Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
BSKt Belanja Sektor Kesehatan
Intercep -221 187
Pendapatan Daerah (PATt) 0.068016 0.0001 (A) 0.83
Pegawai Negeri Sipil (PNSt) 3.7340 0.0001 (A) 1.27
F-Hitung = 9.67 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9799
104
Pendapatan Daerah merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Belanja Sektor Kesehatan dengan nilai dugaan parameter
0.0680. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta (100 persen) maka
Belanja Sektor Kesehatan akan meningkat Rp. 0.068 juta (6.8 persen). Kenaikan
pada Pendapatan Daerah di suatu provinsi akan menaikkan Belanja Sektor
Kesehatan provinsi yang bersangkutan.
Variabel Pegawai Negeri Sipil juga berpengaruh nyata pada taraf (α) 5
persen terhadap Belanja Sektor Kesehatan dengan nilai dugaan paremeter 3.7340.
Jika Pegawai Negeri Sipil lebih banyak sebesar 1 orang maka Belanja Sektor
Kesehatan akan meningkat sebesar Rp. 3.73 juta per tahun. Kenaikan variabel
Pegawai Negeri Sipil menyebabkan Belanja Sektor Kesehatan meningkat
sehingga provinsi dengan Pegawai Negeri Sipil yang meningkat akan
meningkatkan pula alokasi Belanja Sektor Kesehatan.
Elastisitas Pendapatan Daerah dan elastisitas variabel Pegawai Negeri Sipil
berturut-turut sebesar 0.83 dan 1.27 menunjukkan bahwa Belanja Sektor
Kesehatan tidak responsif terhadap perubahan Pendapatan Daerah, tetapi responsif
terhadap perubahan variabel Pegawai Negeri Sipil.
3. Belanja Pemerintah Sektor Pertanian
Dugaan parameter persamaan Belanja Pemerintah Sektor Pertanian (GPSTt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 86.92 persen. Hal ini berarti
variasi variabel penjelasnya, yaitu Pendapatan (PATt), mampu menjelaskan 86.92
persen fluktuasi variabel Belanja Pemerintah Sektor Pertanian. Variabel endogen
Belanja Pemerintah Sektor Pertanian dipengaruhi secara nyata oleh variabel
105
Pendapatan Daerah pada taraf nyata (α) 5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Pertanian Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
GPSTt Belanja Pemerintah Sektor Pertanian
Intercep -52 673.8 -
Pendapatan Daerah (PATt) 0.052731 0.0001 (A) 1.11
F-Hitung = 6.54 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.8692
Pendapatan Daerah merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Belanja Pemerintah Sektor Pertanian dengan nilai dugaan
parameter 0.052731. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta (100 persen)
maka Belanja Pemerintah Sektor Pertanian meningkat sebesar Rp. 0.0527 juta (5.2
persen). Kenaikan pada Pendapatan Daerah di suatu provinsi akan menaikkan
Belanja Pemerintah Sektor Pertanian provinsi yang bersangkutan. Sementara itu,
elastisitas Pendapatan Daerah sebesar 1.11 menunjukkan bahwa Belanja
Pemerintah Sektor Pertanian responsif terhadap perubahan Pendapatan Daerah.
Hal ini wajar, karena belanja sektor pertanian masih menjadi prioritas Pemerintah
karena dihadapkan pada jumlah angka partisipasi kerja sektor pertanian di seluruh
daerah hampir selalu lebih tinggi dari sektor-sektor lainnya.
4. Belanja Pemerintah Sektor Industri
Dugaan parameter persamaan Belanja Pemerintah Sektor Industri (GPSIt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 90.10 persen. Hal ini berarti
variabel penjelasnya, yaitu Pendapatan (PATt), mampu menjelaskan 90.10 persen
fluktuasi variabel Belanja Pemerintah Sektor Industri. Variabel endogen
persamaan Belanja Pemerintah Sektor Industri dipengaruhi secara nyata oleh
106
variabel Pendapatan Daerah pada taraf nyata (α) 5 persen. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Industri Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
GPSIt Belanja Pemerintah Sektor Industri
Intercep -3 061.87
Pendapatan Daerah (PATt) 0.004244 0.0001 (A) 1.26
F-Hitung = 9.01 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9010
Pendapatan Daerah merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Belanja Pemerintah Sektor Industri dengan nilai dugaan
parameter 0.004244. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta (100 persen)
maka Belanja Pemerintah Sektor Industri akan meningkat Rp. 0.004244 juta
(0.42 persen). Kenaikan pada Pendapatan Daerah di suatu provinsi akan
menaikkan Belanja Pemerintah Sektor Industri provinsi yang bersangkutan.
Sementara itu, elastisitas Pendapatan Daerah sebesar 1.26 menunjukkan bahwa
Belanja Pemerintah Sektor Industri responsif terhadap perubahan Pendapatan
Daerah.
5. Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur
Dugaan parameter persamaan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur (GPSBt) memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 91.46
persen. Hal ini berarti variabel penjelasnya, yaitu Pendapatan (PATt), mampu
menjelaskan 91.46 persen fluktuasi variabel Belanja Pemerintah Sektor Bangunan
dan Infrastruktur . Variabel endogen Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur dipengaruhi secara nyata oleh variabel Pendapatan Daerah pada
taraf nyata (α) 5 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13.
107
Tabel 13. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan
Parameter Prob >[t] Elastisitas
GPSBt Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur
Intercep -84 519.4
Pendapatan Daerah (PATt) 0.211716 0.0001 (A) 1.1
F-Hitung =10.15 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9146
Pendapatan Daerah merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur dengan
nilai dugaan parameter 0.211716. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta
(100 persen) maka Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur
berpotensi meningkat Rp. 0.21176 juta (21.18 persen). Kenaikan pada Pendapatan
Daerah di suatu provinsi akan menaikkan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan
dan Infrastruktur provinsi yang bersangkutan.
Elastisitas Pendapatan Daerah sebesar 1.10 menunjukkan bahwa Belanja
Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur responsif terhadap perubahan
Pendapatan Daerah.
6. Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain
Dugaan parameter persamaan Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain
(GPSLLt) memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.12 persen. Hal ini
berarti variabel-variabel penjelasnya, yaitu Pendapatan (PATt) dan Belanja Sektor
Pendidikan dan Kesehatan (BSPKt), mampu menjelaskan 99.12 persen fluktuasi
variabel Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 14.
108
Tabel 14. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
GPSLLt Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain
Intercep 1 259 697
Pendapatan Daerah (PATt) 0.129308 0.0093 (A) 0.17
Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan
(BSPKt)
1.893701 0.0001 (A) 0.83
F-Hitung =7.61 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9912
Pendapatan Daerah dan Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan
merupakan faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen terhadap
Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain , dengan nilai dugaan parameter untuk
variabel Pendapatan Daerah sebesar 0.129308 dan Belanja Sektor Pendidikan dan
Kesehatan sebesar 1.893781. Artinya jika Pendapatan Daerah naik Rp. 1 juta (100
persen) maka Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur berpotensi
meningkat Rp. 0.129308 juta (12.9308 persen). Apabila Belanja Sektor
Pendidikan dan Kesehatan meningkat Rp. 1 juta (100 persen), maka Belanja
Pemerintah Sektor Lain-Lain meningkat Rp. 1.893701 (180.37 persen). Angka
melebihi 100 persen ini karena Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan
berada di dalam Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain , sehingga 80.37 persen
sisanya merupakan Belanja Sektor lainnya (BSLt).
Elastisitas Pendapatan Daerah sebesar 0.17 dan elastisitas Belanja Sektor
Pendidikan dan Kesehatan sebesar 0.83 menunjukkan bahwa perubahan Belanja
Pemerintah Sektor Lain-Lain kurang responsif terhadap perubahan Pendapatan
Daerah.
109
6.2.3. Blok Permintaan Agregat
Dugaan parameter pada blok permintaan agregat meliputi persamaan
struktural untuk variabel endogen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRTt)
dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTBt). Persamaan identitas dalam blok
ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sisi Permintaan (PDRBEXPt)
dan Pengeluaran Rumah Tangga per Kapita (KRTCAPt).
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Dugaan parameter persamaan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
(PKRTt) memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.95 persen. Hal ini
berarti variasi dari dua variabel penjelasnya, yaitu Produk Domestik Regional
Broto Sektor (PDRBSECt) dapat menjelaskan 99.95 persen fluktuasi nilai variabel
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga. Variabel Pengeluaran Konsumsi Rumah
Tangga ini dipengaruhi nyata oleh PDRBSECt pada taraf nyata (α) 5 persen.
Uraian lebih lanjut dapat diperiksa pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Dugaan Parameter Parameter Persamaan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
PKRTt Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Intercep -1 641 900
Produk Domesrik Regional Bruto Sektoral
(PDRBSECt)
0.24469 0.0001 (A) 0.99
Populasi Penduduk (POPt) 932.8844 0.3576 (D) 0.27
F-Hitung = 186.14 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9995
Produk Domestik Regional Bruto Sektor (PDRBSECt) merupakan faktor
yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen terhadap Pengeluaran Konsumsi
Rumah Tangga dengan nilai dugaan parameter 0.524469. Artinya jika PDRB
sektor naik Rp. 1 juta (100 persen) maka Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
110
akan berpotensi meningkat Rp. 0.524469 juta (52.45 persen). Peningkatan PDRB
sektor di suatu provinsi akan meningkatkan Pengeluaran Konsumsi Rumah
Tangga provinsi yang bersangkutan.
Populasi Penduduk mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
dengan nilai dugaan parameter 932.8044. Artinya jika populasi naik 1 000 orang
maka Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga akan meningkat Rp. 932.8044 juta.
Provinsi dengan jumlah penduduk yang lebih banyak melakukan pengeluaran
rumah tangga yang lebih tinggi di provinsi yang bersangkutan. Namun pengaruh
Populasi Penduduk bagi pengeluaran rumah tangga provinsi yang bersangkutan
secara statistik kurang signifikan karena nilai α > 15 persen.
Elastisitas PDRB sektor dan elastisitas populasi berturut-turut sebesar 0.99
dan 0.27, menunjukkan bahwa Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga tidak
responsif terhadap kedua variabel di atas.
2. Pembentukan Modal Tetap Bruto
Dugaan parameter persamaan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTBt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.63 persen. Hal ini berarti
variasi dari dua variabel penjelasnya, yaitu Produk Domestik Regional Bruto
Sektor (PDRBSECt), dan Kredit Usaha Kecil (KUKt) dapat menjelaskan 99.63
persen fluktuasi variabel Pembentukan Modal Tetap Bruto. Variabel endogen di
dalam persamaan Pembentukan Modal Tetap Bruto dipengaruhi secara nyata oleh
variabel Produk Domestik Regional Bruto Sektor (PDRBSECt) pada taraf nyata (α)
5 persen . Namun, variabel Kredit Usaha Kecil (KUKt) tidak berpengaruh nyata
pada taraf nyata (α) 15 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 16.
111
Tabel 16. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Pembentukan Modal Tetap Bruto Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
PMTBt Pembentukan Modal Tetap Bruto
Intercep 1 688 004
Produk Domestik Regional Bruto Sektoral
(PDRBSECt)
0.198449 0.0001 (A) 1.09
Kredit Usaha Kecil (KUKt) 201.6652 0.0402 (A) 0.08
F-Hitung = 29.19 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9963
PDRB merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen
terhadap Pembentukan Modal Tetap Bruto dengan nilai dugaan parameter sebesar
0.198449. Artinya jika PDRB sektor naik Rp. 1 juta (100 persen) maka
Pembentukan Modal Tetap Bruto akan meningkat Rp. 0.198449 juta (19.84
persen) . Peningkatan PDRB sektor di suatu provinsi berpotensi meningkatkan
Pembentukan Modal Tetap Bruto provinsi yang bersangkutan.
Kredit Usaha Kecil juga merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap Pembentukan Modal Tetap Bruto dengan nilai dugaan
parameter 201.6652. Artinya jika Kredit Usaha Kecil naik Rp. 1 juta maka
Pembentukan Modal Tetap Bruto akan meningkat Rp. 201.6652 juta. Fluktuasi
Pembentukan Modal Tetap Bruto lebih besar dari Kredit Usaha Kecil, karena di
dalam Pembentukan Modal Tetap Bruto terdapat Kredit Usaha Kecil.
Elastisitas PDRB sektor dan elastisitas Kredit Usaha Kecil berturut-turut
sebesar 1.09 dan 0.08, menunjukkan bahwa perubahan Pembentukan Modal Tetap
Bruto responsif terhadap perubahan PDRB, tetapi tidak responsif terhadap Kredit
Usaha Kecil.
112
6.2.4. Blok Penawaran Agregat
Blok penawaran agregat direpresentasikan oleh PDRB sektoral
(PDRBSECt). Persamaan PDRBSECt merupakan persamaan identitas yang
tersusun dari Total Produksi Sektor Pertanian (TQSTt), Total Produksi Sektor
Industri (TQSIt), Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur (TQSBt), dan
Total Produksi Sektor Lain-Lain (TQSLLt). Keempat sektor ini merupakan
variabel endogen persamaan struktural, yang hasil pendugaan parameter variabel
penjelasnya diuraikan di bawah ini.
1. Total Produksi Sektor Pertanian
Dugaan parameter persamaan Total Produksi Sektor Pertanian memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 99.62 persen. Hal ini berarti variasi dari dua
variabel bebasnya, yaitu Belanja Pemerintah Sektor Pertanian dan Pembentukan
Modal Tetap Bruto dapat menjelaskan 99.62 persen fluktuasi variabel Total
Produksi Sektor Pertanian. Hasil dugaan parameter persamaan Total Produksi
Sektor Pertanian sebagaimana Tabel 17
Tabel 17. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Pertanian Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TQSTt Total Produksi Sektor Pertanian
Intercep -3 342 166
Logaritma Tenaga Kerja Sektor Pertanian
(LOGTKSTt)
484 676.2 0.7078 (D) 0.59
Belanja Pemerintah Sektor Pertanian (GPSTt) 5.170432 0.0001 (A) 0.12
F-Hitung = 234.73 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9962
Belanja Pemerintah Sektor Pertanian merupakan faktor yang berpengaruh
nyata pada taraf (α) 5 persen terhadap Total Produksi Sektor Pertanian dengan
nilai dugaan parameter 5.170432. Artinya jika Belanja Pemerintah Sektor
113
Pertanian naik Rp. 1 juta maka Total Produksi Sektor Pertanian akan meningkat
Rp. 5.17 juta. Kenaikan pada Belanja Pemerintah Sektor Pertanian di suatu
provinsi akan menaikkan Total Produksi Sektor Pertanian provinsi yang
bersangkutan.
Tenaga Kerja Sektor Pertanian juga berpengaruh terhadap Total Produksi
Sektor Pertanian dengan nilai dugaan parameter logaritmanya sebesar 484 676.2.
Artinya Logaritma Tenaga Kerja Sektor Pertanian (logTKSTt) meningkat 1 satuan
maka Total Produksi Sektor Pertanian akan meningkat Rp. 404 676.2 juta.
Kenaikan pada Logaritma Tenaga Kerja Sektor Pertanian di suatu provinsi akan
menaikkan Total Produksi Sektor Pertanian provinsi yang bersangkutan.
Elastisitas Logaritma Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan elastisitas Belanja
Pemerintah Sektor Pertanian berturut-turut sebesar 0.59 dan 0.12 menunjukkan
bahwa perubahan nilai kedua variabel ini tidak responsif terhadap perubahan
variabel Total Produksi Sektor Pertanian.
2. Total Produksi Sektor Industri
Dugaan parameter persamaan Total Produksi Sektor Industri memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 99.50 persen. Hal ini berarti variasi dari dua
penjelasnya, yaitu Tenaga Kerja Sektor Industri dan Belanja Pemerintah Sektor
Industri dapat menjelaskan 99.50 persen fluktuasi variabel Total Produksi Sektor
Industri. Hasil dugaan parameter selengkapnya sebagaimana Tabel 18.
Tenaga Kerja Sektor Industri merupakan faktor yang berpengaruh nyata
pada taraf (α) 5 persen terhadap Total Produksi Sektor Industri dengan nilai
dugaan parameter 47.97678. Artinya jika Tenaga Kerja Sektor Industri naik 1
orang maka Total Produksi Sektor Industri akan meningkat Rp. 47.98 juta.
114
Kenaikan pada Tenaga Kerja Sektor Industri di suatu provinsi akan menaikkan
Total Produksi Sektor Industri provinsi yang bersangkutan.
Tabel 18. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Industri Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TQSIt Total Produksi Sektor Industri
Intercep -633 306
Tenaga Kerja Sektor Industri (TKSIt) 47.97675 0.0001 (A) 1.37
Belanja Pemerintah Sektor Industri
(GPSIt)
41.00406 0.2307 (D) 0.05
F-Hitung = 128.14 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9950
Belanja Pemerintah Sektor Industri juga berpengaruh terhadap Total
Produksi Sektor Industri dengan nilai dugaan parameter 41.00. Artinya jika
Belanja Pemerintah Sektor Industri naik sebesar Rp. 1 juta maka Total Produksi
Sektor Industri akan meningkat Rp. 41.00 juta. Kenaikan pada Belanja
Pemerintah Sektor Industri di suatu provinsi akan menaikkan Total Produksi
Sektor Industri provinsi yang bersangkutan.
Elastisitas Tenaga Kerja Sektor Industri dan elastisitas Belanja Pemerintah
Sektor Industri berturut-turut sebesar 1.37 dan 0.05, menunjukkan bahwa Total
Produksi Sektor Industri responsif terhadap perubahan Tenaga Kerja Sektor
Industri, tetapi tidak responsif terhadap Belanja Pemerintah Sektor Industri.
3. Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur
Dugaan parameter persamaan Total Produksi Sektor Bangunan dan
Infrastruktur memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.65 persen. Hal
ini berarti variasi dari tiga variabel penjelasnya, yaitu Tren Tenaga Kerja Sektor
Bangunan dan Infrastruktur, Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur, dan Jumlah Kendaraan dapat menjelaskan 99.65 persen fluktuasi
115
variabel Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur. Hasil dugaan
parameter persamaan Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur
sebagaimana Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
TQSBt Total Produksi Sektor Bangunan dan
Infrastruktur
Intercept 708 031.3
Tren Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan
Infrastruktur (TTKKSBt)
0.683962 0.0001 (A) 0.13
Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur (GPSBt)
0.371688 0.0001 (A) 0.14
Jumlah Kendaraan (JLHKt) 0.095129 0.1357 (C) 0.05
F-Hitung = 193.63 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9965
Tren Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur merupakan faktor
yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen terhadap Total Produksi Sektor
Bangunan dan Infrastruktur dengan nilai dugaan parameter 0.683962. Artinya
jika tren tenaga kerja sektor bangunan naik 1 persen maka Total Produksi Sektor
Bangunan dan Infrastruktur akan meningkat 0.68 persen.
Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur merupakan faktor
yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen terhadap Total Produksi Sektor
Bangunan dan Infrastruktur dengan nilai dugaan parameter 0.371688. Artinya
jika Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur naik Rp. 1 juta (100
persen) maka Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur akan meningkat
Rp. 0.3717 juta (37.17 persen). Peningkatan pada Belanja Pemerintah Sektor
Bangunan dan Infrastruktur di suatu provinsi akan meningkatkan Total Produksi
Sektor Bangunan dan Infrastruktur provinsi yang bersangkutan.
116
Jumlah Kendaraan merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
15 persen terhadap Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur dengan
nilai dugaan parameter 0.0951. Artinya jika terjadi kenaikan 1 kendaraan maka
Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur akan meningkat Rp. 0.0951
juta. Kenaikan pada Jumlah Kendaraan di suatu provinsi akan menaikkan Total
Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur provinsi yang bersangkutan.
Elastisitas Tren Tenaga Kerja Sektor Industri, elastisitas Belanja Pemerintah
Sektor Industri, dan Jumlah Kendaraan berturut-turut sebesar 0.13 dan 0.14 serta
0.05, menunjukkan bahwa perubahan Total Produksi Sektor Industri tidak
responsif terhadap perubahan ketiga variabel penjelasnya.
4. Total Produksi Sektor Lain-Lain
Dugaan parameter persamaan Total Produksi Sektor Lain-Lain memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 99.57 persen. Hal ini berarti variasi dari dua
variabel penjelasnya, yaitu Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain , Belanja Pemerintah
Sektor Lain-Lain, dan Jumlah Kendaraan dapat menjelaskan 99.57 persen
fluktuasi variabel Total Produksi Sektor Lain-Lain. Hasil dugaan parameternya
dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Total Produksi Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TQSLLt Total Produksi Sektor Lain-Lain
Intercep 9 963 777
Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain (TKKSLt) 9.25683 0.0001 (A) 0.46
Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain
(GPSLLt)
0.540797 0.0544 (B) 0.08
Jumlah Kendaraan (JLHKt) 2.262018 0.0006 (A) 0.12
F-Hitung = 202.13 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9957
117
Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain merupakan faktor yang berpengaruh nyata
pada taraf (α) 5 persen terhadap Total Produksi Sektor Lain-Lain dengan nilai
dugaan parameter 9.25683. Artinya jika Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain naik 1
orang maka Total Produksi Sektor Lain-Lain akan meningkat Rp. 9.25683 juta.
Peningkatan pada Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain di suatu provinsi akan
menaikkan Total Produksi Sektor Lain-Lain provinsi yang bersangkutan.
Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain merupakan faktor yang berpengaruh
nyata pada taraf (α) 10 persen terhadap Total Produksi Sektor Lain-Lain dengan
nilai dugaan parameter 0.540797. Artinya jika Belanja Pemerintah Sektor Lain-
Lain naik Rp. 1 juta (100 persen) maka Total Produksi Sektor Lain-Lain akan
meningkat sebesar Rp. 0.5408 juta. Peningkatan pada Belanja Pemerintah Sektor
Lain-Lain di suatu provinsi akan peningkatan Total Produksi Sektor Lain-Lain
provinsi yang bersangkutan.
Jumlah Kendaraan merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Total Produksi Sektor Lain-Lain dengan nilai dugaan parameter
2,2620. Artinya jika terjadi kenaikan 1 Jumlah Kendaraan maka Total Produksi
Sektor Lain-Lain akan meningkat Rp. 2.26 juta. Kenaikan pada Jumlah Kendaraan
di suatu provinsi akan menaikkan Total Produksi Sektor Lain-Lain provinsi yang
bersangkutan.
Elastisitas Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain , Belanja Pemerintah Sektor Lain-
Lain, dan Jumlah Kendaraan berturut-turut sebesar 0.46 dan 0.08 serta 0.12,
menunjukkan bahwa perubahan Total Produksi Sektor Lain-Lain tidak responsif
terhadap perubahan ketiga variabel penjelasnya.
118
6.2.5. Blok Tenaga Kerja
Blok tenaga kerja terdiri atas persamaan struktural Tenaga Kerja Sektor
Pertanian (TKSTt), Tenaga Kerja Sektor Industri (TKSIt), Tenaga Kerja Sektor
Bangunan dan Infrastruktur (TKSBt), Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain (TKKSLt).
Di samping itu terdapat persamaan identitas, yaitu persamaan identitas tenaga
kerja sektor (TKSt), dan persamaan identitas Pengangguran (Ut). Berikut ini
adalah pembahasan untuk persamaan struktural, sedang persamaan identitas tidak
dibahas karena parameternya sama dengan 1.
1. Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Dugaan parameter persamaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 99.65 persen. Hal ini berarti variabel Total
Produksi Sektor Pertanian dapat menjelaskan 99.65 persen fluktuasi variabel
Tenaga Kerja Sektor Pertanian. Rincian hasil dugaan parameternya dapat dilihat
pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TKSTt Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Intercep 878 637.3
Total Produksi Sektor Pertanian (TQSTt) 0.000212 0.9876 (D) 0
F-Hitung = 210.27 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9965
Total Produksi Sektor Pertanian merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap Tenaga Kerja Sektor Pertanian dengan nilai dugaan parameter 0.000212.
Artinya jika Total Produksi Sektor Pertanian naik Rp. 1 triliyun, maka Tenaga
Kerja Sektor Pertanian akan meningkat 212 orang. Peningkatan produksi sektor
119
pertanian di suatu provinsi akan menaikkan permintaan Tenaga Kerja Sektor
Pertanian di provinsi yang bersangkutan.
2. Tenaga Kerja Sektor Industri
Dugaan parameter persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 99.85 persen. Hal ini berarti variabel Total
Produksi Sektor Pertanian dapat menjelaskan 99.85 persen dari fluktuasi variabel
Tenaga Kerja Sektor Industri. Hasil estimasi selengkapnya pada Tabel 22.
Tabel 22. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TKSIt Tenaga Kerja Sektor Industri (TKSI)
Intercep 3 274.099
Total Produksi Sektor Industri (TQSIt) 0.012318 0.0001 (A) 0.43
F-Hitung = 591.34 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9985
Total Produksi Sektor Industri berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen
terhadap Tenaga Kerja Sektor Industri dengan nilai dugaan parameter 0.012318.
Artinya jika Total Produksi Sektor Industri naik Rp. 1 juta, maka Tenaga Kerja
Sektor Industri akan meningkat 0.012318 orang. Peningkatan Total Produksi
Sektor Industri di suatu provinsi akan menaikkan Tenaga Kerja Sektor Industri
provinsi yang bersangkutan. Di samping itu elastisitas Total Produksi Sektor
Industri sebesar 0.43 menunjukkan bahwa perubahan Tenaga Kerja Sektor
Industri tidak responsif terhadap total peroduksi sektor industri.
3. Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur
Dugaan parameter persamaan Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan
Infrastruktur memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.21 persen. Hal ini
berarti variabel penjelasnya, yaitu rasio Total Produksi Sektor Bangunan dan
120
Infrastruktur, dapat menjelaskan 99.21 persen fluktuasi variabel Tenaga Kerja
Sektor Bangunan dan Infrastruktur. Hasil dugaan parameter persamaan Tenaga
Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur adalah sebagaimana Tabel 23.
Tabel 23. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TKSBt Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan
Infrastruktur
Intercep -20 827.4
Rasio Total Produksi Sektor Bangunan
dan Infrastruktur (RTQSBt)
781 324.4 0.1556 (D) 0.32
F-Hitung = 511.99 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9921
Rasio Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur terhadap produk
domestik bruto sektoral (TQSBt/PDRBSECt) merupakan faktor yang berpengaruh
nyata terhadap Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur dengan nilai
dugaan parameter 781 324.4. Artinya jika rasio Total Produksi Sektor Bangunan
dan Infrastruktur meningkat dalam bilangan 1, maka Tenaga Kerja Sektor
Bangunan dan Infrastruktur akan meningkat 781 324.4 orang.
Peningkatan rasio Total Produksi Sektor Bangunan dan Infrastruktur di
suatu provinsi akan meningkatkan Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan
Infrastruktur provinsi bersangkutan. Namun, rasio Total Produksi Sektor
Bangunan dan Infrastruktur ini hanya memiliki elastisitas 0.32, atau
perubahannya tidak responsif terhadap perubahan Tenaga Kerja Sektor Bangunan
dan Infrastruktur.
3. Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain
Dugaan parameter persamaan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain (TKKSLt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.81 persen. Hal ini berarti
121
variabel penjelasnya, yaitu Total Produksi Sektor Lain-Lain dapat menjelaskan
99.81 persen fluktuasi variabel Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain. Hasil dugaan
parameter persamaan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain sebagaimana Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter Prob >[t] Elastisitas
TKKSLt Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain
Intercep -196 373
Total Produksi Sektor Lain-Lain
(TQSLLt)
0.028022 0.0001 (A) 0.56
F-Hitung = 675.91 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9981
Total Produksi Sektor Lain-Lain merupakan faktor yang berpengaruh nyata
pada tingkat α = 5 persen terhadap Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain dengan nilai
dugaan parameter 0.028022. Artinya jika Total Produksi Sektor Lain-Lain
meningkat Rp. 1 triliyun, maka Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain akan meningkat
28 022 orang.
Peningkatan Total Produksi Sektor Lain-Lain di suatu provinsi akan
meningkatkan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain provinsi bersangkutan. Namun,
Elastisitas Total Produksi Sektor Lain-Lain hanya 0.56, atau perubahannya tidak
responsif terhadap perubahan Tenaga Kerja Sektor Lain-Lain .
6.2.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia
Dugaan parameter pada blok Indeks Pembangunan Manusia meliputi
persamaan struktural untuk variabel endogen Angka Harapan Hidup (AHHt),
Angka Melek Huruf (AMHt), Rata-rata Lama Sekolah (RLSt), Daya Beli (PPPt),
dan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota (TKDKt). Persamaan identitas dalam
blok ini, yaitu Indeks Hidup Panjang (IHPt), Indeks Pendidikan (IPt), Indeks
122
Hidup Layak (IHLt), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPMt), tidak dicari
dugaan parameternya.
1. Angka Harapan Hidup
Dugaan parameter persamaan Angka Harapan Hidup memberikan nilai
koefisien determinasi sebesar 98.51 persen. Hal ini berarti variasi dari dua
variabel penjelasnya, yaitu Belanja Sektor Kesehatan dan Pengeluaran Konsumsi
Rumah Tangga per Kapita, dapat menjelaskan 98.51 persen fluktuasi variabel
Angka Harapan Hidup. Hasil estimasi selengkapnya sebagaimana Tabel 25.
Tabel 25. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Angka Harapan Hidup Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
AHHt Angka Harapan Hidup
Intercep 61.44018
Belanja Sektor Kesehatan (BSKt) 1.228E-6 0.0121 (A) 0.01
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
per Kapita (KRTCAPt)
0.001325 0.0001 (A) 0.06
F-Hitung = 241.18 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9851
Belanja Sektor Kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap variabel Angka Harapan Hidup dengan nilai dugaan
parameter 1.228E-6. Artinya jika Belanja Sektor Kesehatan naik Rp. 1 juta maka
Angka Harapan Hidup akan meningkat 1.228E-6 tahun, atau jika Belanja Sektor
Pendidikan meningkat Rp. 1 triliun maka Angka Harapan Hidup akan meningkat
1.23 tahun. Kenaikan pada Belanja Sektor Kesehatan di suatu provinsi akan
menaikkan Angka Harapan Hidup provinsi yang bersangkutan.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap Angka Harapan Hidup dengan nilai dugaan parameter
0.001325. Jika Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita meningkat
123
sebesar Rp. 1 000 maka Angka Harapan Hidup akan meningkat sebesar 0.001325
tahun, atau jika Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita meningkat
sebesar Rp. 1 juta maka Angka Harapan Hidup akan meningkat sebesar 1.325
tahun. Kenaikan pengeluaran rumah tangga per kapita akan menyebabkan Angka
Harapan Hidup meningkat, sehingga provinsi dengan pengeluaran rumah tangga
per kapita meningkat akan meningkatkan pula Angka Harapan Hidup.
Elastisitas Belanja Sektor Pendidikan dan elastisitas pengeluaran rumah
tangga per kapita berturut-turut sebesar 0.01 dan 0.06, menunjukkan bahwa
perubahan nilai kedua variabel ini tidak responsif terhadap perubahan variabel
Angka Harapan Hidup.
2. Angka Melek Huruf
Dugaan parameter persamaan Angka Melek Huruf memberikan nilai
koefisien determinasi sebesar 99.48 persen. Hal ini berarti variasi dari tiga
variabel penjelasnya, yaitu Belanja Sektor Kesehatan, Belanja Sektor Pendidikan
pendidikan dan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita, dapat
menjelaskan 99.48 persen fluktuasi variabel Angka Melek Huruf. Hasil dugaan
parameter persamaan Angka Melek Huruf sebagaimana Tabel 26.
Tabel 26. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Angka Melek Huruf Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
AMHt Angka Melek Huruf
Intercep 71.15078
Belanja Sektor Kesehatan (BSKt) 5.312E-7 0.7382 (D) 0,01
Belanja sektor pendidikan (BSPt) 4.04E-7 0.3774 (D) 0.01
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per
Kapita (KRTCAPt)
0.000856 0.0090 (A) 0.03
F-Hitung = 640.59 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9948
124
Belanja Sektor Kesehatan berpengaruh terhadap variabel Angka Melek
Huruf dengan nilai dugaan parameter 5.312E-7. Artinya jika Belanja Sektor
Pendidikan naik Rp. 1 juta maka Angka Melek Huruf akan meningkat 5.312E-7
persen, atau jika Belanja Sektor Pendidikan meningkat Rp. 1 triliun maka Angka
Melek Huruf akan meningkat 0.53 persen.
Belanja Sektor Pendidikan berpengaruh terhadap variabel Angka Melek
Huruf dengan nilai dugaan parameter 4.04E-7. Artinya jika Belanja Sektor
Pendidikan naik Rp. 1 juta maka Angka Melek Huruf akan meningkat 2.04E-7
persen, atau jika Belanja Sektor Pendidikan meningkat Rp. 1 triliun maka Angka
Melek Huruf akan meningkat 0.40 persen.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap Angka Melek Huruf dengan nilai dugaan parameter
0.000856. Jika pengeluaran rumah tangga per kapita meningkat sebesar Rp. 1000
maka Angka Melek Huruf akan meningkat sebesar 0.000856 persen, atau jika
pengeluaran rumah tangga per kapita meningkat sebesar Rp. 1 juta maka Angka
Melek Huruf akan meningkat sebesar 0.856 persen.
Elastisitas Belanja Sektor Kesehatan, elastisitas Belanja Sektor Pendidikan
dan elastisitas pengeluaran rumah tangga per kapita berturut-turut sebesar 0 dan
0.01 serta 0.03 menunjukkan bahwa perubahan nilai ketiga variabel ini tidak
responsif terhadap perubahan variabel Angka Melek Huruf.
3. Rata-rata Lama Sekolah
Dugaan parameter persamaan Rata-rata Lama Sekolah (RLSt) memberikan
nilai koefisien determinasi sebesar 98.95 persen. Hal ini berarti variasi dari tiga
variabel penjelasnya, yaitu Belanja Sektor Pendidikan (BSPt), Pengeluaran
125
Konsumsi Rumah Tangga per Kapita (KRTCAPt), dan Angka Putus Sekolah
Dasar (APSDt) dapat menjelaskan 98.95 persen fluktuasi variabel Rata-rata Lama
Sekolah. Hasil estimasi persamaan Rata-rata Lama Sekolah sebagaimana Tabel 27.
Tabel 27. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
RLSt Rata-rata Lama Sekolah
Intercep 5.114478
Belanja Sektor Pendidikan (BSPt) 4.403E-8 0.1970 (D) 0.01
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per
Kapita (KRTCAPt)
0.000308 0.0001 (A) 0.13
Angka Putus Sekolah Dasar (APSDt) -0.08232 0.0253 (A) -0.01
F-Hitung = 287.24 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9895
Belanja Sektor Pendidikan berpengaruh terhadap Rata-rata Lama Sekolah
dengan nilai dugaan parameter 4.403E-8. Artinya jika Belanja Sektor Pendidikan
naik Rp. 1 juta maka Rata-rata Lama Sekolah akan meningkat 4.403E-8 tahun,
atau jika Belanja Sektor Pendidikan naik Rp. 1 triliun maka Rata-rata Lama
Sekolah naik 0.044 tahun.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap Rata-rata Lama Sekolah dengan nilai dugaan parameter
0.000308. Jika Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita meningkat
sebesar Rp. 1 000 maka Rata-rata Lama Sekolah akan meningkat sebesar
0.000308 tahun, atau jika Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita
meningkat sebesar Rp. 1 juta maka Rata-rata Lama Sekolah akan meningkat
sebesar 0.308 tahun. Kenaikan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita
menyebabkan Rata-rata Lama Sekolah meningkat sehingga provinsi dengan
126
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita yang meningkat akan
meningkatkan pula Rata-rata Lama Sekolah.
Angka Putus Sekolah Dasar (APSDt) juga berpengaruh nyata pada taraf (α)
5 persen terhadap Rata-rata Lama Sekolah dengan nilai dugaan parameter
-0.08232. Jika Angka Putus Sekolah Dasar meningkat sebesar 1 persen maka
Rata-rata Lama Sekolah menurun sebesar 0.08232 tahun. Kenaikan Angka Putus
Sekolah Dasar menyebabkan Rata-rata Lama Sekolah menurun,.
Elastisitas Belanja Sektor Pendidikan, elastisitas Pengeluaran Konsumsi
Rumah Tangga per Kapita, dan elastisitas Angka Putus Sekolah Dasar berturut-
turut sebesar 0.01 dan 0.13 serta -0.01 menunjukkan bahwa perubahan nilai ketiga
variabel ini tidak responsif terhadap perubahan variabel Rata-rata Lama Sekolah.
4. Daya Beli
Dugaan parameter persamaan Daya Beli (PPPt) memberikan nilai koefisien
determinasi sebesar 94.11 persen. Hal ini berarti variasi dari dua variabel
penjelasnya, yaitu Pengangguran (Ut) dan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
per Kapita (KRTCAPt), dapat menjelaskan 94.11 persen fluktuasi variabel Daya
Beli. Tabel 28 menjelaskan rincian nilai dugaan parameternya.
Tabel 28. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Daya Beli Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
PPPt Daya Beli
Intercep 519.7975
Pengangguran (Ut) -0.00002 0.0229 (A) -0.01
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per
Kapita (KRTCAPt)
0.017271 0.0001 (A) 0.09
F-Hitung = 60.41 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9411
127
Pengangguran merupakan faktor yan g berpengaruh nyata pada taraf (α) 5
persen terhadap variabel Daya Beli dengan nilai dugaan parameter -0.00002.
Artinya jika Pengangguran naik 1 orang, maka secara rata-rata Daya Beli akan
menurun sebesar Rp. -0.02. Atau jika Pengangguran meningkat 1 000 orang maka
rata-rata Daya Beli turun Rp. 20.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita berpengaruh nyata pada
taraf (α) 5 persen terhadap Daya Beli dengan nilai dugaan parameter 0.0173. Jika
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga per Kapita meningkat sebesar Rp. 1 000
maka angka Daya Beli akan meningkat sebesar Rp. 0.0173, atau jika pengeluaran
rumah tangga per kapita meningkat sebesar Rp. 1 juta maka Daya Beli akan
meningkat sebesar Rp. 17.3.
Elastisitas belanja Pengangguran dan elastisitas Pengeluaran Konsumsi
Rumah Tangga per Kapita berturut-turut sebesar -0,01 dan 0,09 menunjukkan
bahwa perubahan nilai kedua variabel ini tidak responsif terhadap perubahan
variabel rata-rata Daya Beli.
5. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota
Dugaan parameter Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota (TKDKt)
memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 99.06 persen. Hal ini berarti
variabel Daya Beli dapat menjelaskan 99.06 persen fluktuasi variabel Tingkat
Kemiskinan Desa dan Kota. Hasil estimasi selengkapnya pada Tabel 29.
Daya Beli merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf (α) 5 persen
terhadap variabel Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota dengan nilai dugaan
parameter -0.1218. Artinya jika Daya Beli per kapita naik Rp. 1 000 Tingkat
Kemiskinan Desa dan Kota turun 0.1218 persen. Atau jika Daya Beli per kapita
128
meningkat Rp. 100 ribu maka Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota turun 12.18
persen.
Tabel 29. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Tahun 2004-2008
Variabel Dugaan Parameter
Prob >[t] Elastisitas
TKDKt Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota
Intercep 111.7009
Daya Beli (PPPt) -0.12184 0.0001 (A) -4.11
F-Hitung = 230.91 (Prob > F = 0.0001); R2 = 0.9906
Elastisitas Daya Beli terhadap Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota adalah
sebesar -4.11 menunjukkan bahwa perubahan kemiskinan desa dan kota responsif
terhadap perubahan Daya Beli.
VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL SEKTOR PENDIDIKAN DAN SEKTOR KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2013-2015
Untuk meramalkan nilai variabel endogen, terlebih dahulu harus dilakukan
validasi model yang akan digunakan untuk peramalan. Selanjutnya diramalkan
nilai variabel penjelasnya, dengan menggunakan metode stepwise autoregresive
dengan prosedur forecast dan asumsi perubahan variabel penjelasnya memiliki
tren yang linier. Sedangkan ramalan variabel endogen dilakukan dengan prosedur
Simnlin dengan metode Newton.
7.1. Validasi Model
Sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model
melalui Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan statistik U-Theil.
RMSPE digunakan untuk mengukur persentase penyimpangan nilai dugaan dari
nilai aktualnya selama periode pengamatan. Sedangkan statistik U-Theil
digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi. Hasil
validasi model disajikan dalam Tabel 30.
Setiap variabel endogen yang menjadi variabel terikat dalam 38 persamaan
simultan memiliki RMSPE dan U-Theil dengan nilai bervariasi. Untuk RMPSE
bernilai antara 0.70 persen sampai 146.40 persen, sedangkan U-Theil bernilai
antara 0.0032 sampai 0.1542.
RMPSE yang bernilai di atas 35 persen hanya dimiliki oleh 4 variabel
endogen dari total 38 variabel endogen, serta terkonpensasi oleh seluruh nilai U-
Theil-nya mendekati nol.
130
Tabel 30. Hasil Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia
Variabel Endogen Nama Variabel RMSPE
(%) U-Theil
PJKDt Pajak Daerah 146.40 0.1181 DAUt Dana Alokasi Umum 30.54 0.0801 PADt Pendapatan Asli Daerah 60.81 0.0771 DNPt Dana Perimbangan 33.69 0.1223 PATt Pendapatan Daerah 21.67 0.1005 BSPt Belanja Sektor Pendidikan 34.89 0.0871 BSKt Belanja Sektor Kesehatan 23.53 0.0974 GPSTt Belanja Pemerintah Sektor Pertanian 29.47 0.1468 GPSIt Belanja Pemerintah Sektor Industri 64.42 0.1542 GPSBt Belanja Pemerintah Sektor Bangun & Infrastruktur 26.85 0.1348 GPSLLt Belanja Pemerintah Sektor Lain-Lain 20.89 0.0930 BSPKt Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan 29.24 0.0886 BLJt Belanja Daerah 22.08 0.1023 PKRTt Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 8.00 0.0267 PMTBt Pembentukan Modal Tetap Bruto 24.53 0.0365 PDRBEXPt Produk Domestik Regional Bruto Pengeluaran 9.95 0.0244 KRTCAPt Konsumsi Rumah Tangga per Kapita 8.00 0.0451 TQSTt Total Produksi Sektor Pertanian 10.43 0.0242 TQSIt Total Produksi Sektor Industri 112.70 0.0500 TQSBt Total Produksi Sektor Bangunan & infrastruktur 25.25 0.0257 TQSLLt Total Produksi Sektor Lain Lain 10.88 0.0272 RTQSBt Rasio Total Produksi Sektor Bangun & Infrastr 23.01 0.0436 PDRBSECt Produk Domestik Regional Bruto Sektoral 10.88 0.0306 TKSTt Tenaga Kerja Sektor Pertanian 5.84 0.0204 TKSIt Tenaga Kerja Sektor Industri 73.31 0.0272 TKKSBt Tenaga Kerja Sektor Bangunan dan Infrastruktur 25.81 0.0379 TKKSLt Tenaga Kerja Sektor Lain Lain 13.34 0.0202 TKSt Tenaga Kerja Sektor 4.31 0.0155 Ut Pengangguran 75.27 0.1213 AHHt Angka Harapan Hidup 0.85 0.0042 AMHt Angka Melek Huruf 0.70 0.0032 RLSt Rata-rata Lama Sekolah 1.69 0.0077 PPPt Daya Beli 1.26 0.0063 TKDKt Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota 7.59 0.0277 IHPt Indeks Hidup Panjang 1.35 0.0067 IPt Indeks Pendidikan 087 0.0039 IHLt Indeks Hidup Layak 3.06 0.0152 IPMt Indeks Pembangunan Manusia 1.52 0.0072
131
Hasil validasi model persamaan simultan tersebut di atas menunjukan
bahwa umumnya seluruh persamaan memiliki RMPSE yang cukup baik , dengan
nilai U-Theil yang kecil. Artinya nilai dugaannya cukup rapat dengan nilai
aktualnya, sehingga model persamaan simultan digolongkan baik untuk simulasi
kebijakan maupun peramalan. Khusus untuk 4 model persamaan struktural yang
memiliki RMSPE yang cukup besar, yang berarti nilai dugaan cukup jauh dari
nilai aktualnya, namun rata-rata memiliki nilai U-Theil cukup kecil, maka dapat
disimpulkan bahwa meskipun bias nilai dugaan 4 variabel ini cukup jauh dari nilai
aktual tetapi masih cukup baik untuk simulasi kebijakan maupun peramalan.
7.2. Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Skenario Kebijakan
Mengacu kepada data penelitian yang berselang waktu antara tahun 2004
sampai tahun 2008, maka dilakukan peramalan perkembangan variabel endogen
dengan selang waktu peramalan diawali dari tahun 2009 dan diakhiri tahun 2015
sebagai batas waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium. Hasil peramalan
selengkapnya pada Lampiran 6. Namun, untuk keperluan pembahasan penulisan
disertasi ini peramalan akan dibatasi untuk tahun 2013 sampai dengan tahun 2015.
Ramalan variabel endogen tanpa alternatif kebijakan, disebut juga dengan
simulasi peramalan dasar, disajikan pada Tabel 31. Hasil simulasi menunjukan
bahwa pertumbuhan sumber pembiayaan daerah per tahun yang berasal dari
Pajak Daerah dan Dana Alokasi Umum masing masing sebesar 4.04 persen dan
7.04 persen, yang ikut mendorong peningkatan Pendapatan Daerah sebesar 6.67
persen per tahun. Pendapatan Daerah yang meningkat tersebut menjadi
pendukung peningkatan alokasi Belanja Daerah dengan rata-rata pertumbuhan per
tahun sebesar 8.05 persen.
132
Tabel 31. Hasil Ramalan Variabel Endogen Tanpa Alternatif Kebijakan Tahun 2013-2015
Variabel Endogen Tahun Pertumbuhan
(%) 2013 2014 2015 PJKDt 655 385.13 680 216.36 705 047.60 4.04 DAUt 4 495 843.58 4 778 458.52 5 061 073.45 7.04 PADt 1 124 061.19 1 180 913.48 1 237 765.78 5.52 PATt 8 259 153.41 8 754 133.65 9 249 113.90 6.67 BSPt 2 524 614.33 2 714 503.73 2 904 393.13 8.66 BSKt 805 995.18 865 230.93 924 466.68 8.43 GPSTt 410 106.70 436 207.50 462 308.30 7.14 GPSt 1 657 453.00 1 762 248.00 1 867 044.00 7.09 BSPKt 3 330 609.50 3 579 734.66 3 828 859.81 8.61 BLJt 9 467 803.48 10 136 573.67 10 805 343.86 8.05 PKRTt 33 152 664.88 34 126 362.58 35 100 855.49 3.08 PMTBt 12 010 677.97 12 422 519.08 12 834 661.22 3.62 PDRBEXPt 61 405 851.43 63 023 991.80 64 643 228.41 2.75 KRTCAPt 4 265.57 4 396.76 4 524.94 3.38 TQSTt 10 707 769.45 10 843 478.37 10 978 886.06 1.30 TQSIt 14 522 033.55 14 732 626.11 14 943 218.66 1.48 TQSBt 3 650 528.44 3 834 113.98 4 019 516.99 5.39 TQSLt 32 817 497.42 33 959 347.79 35 101 198.15 3.69 RTQSBt 0.07 0.07 0.07 2.15 PDRBSECt 61 697 828.87 63 369 566.25 65 042 819.87 2.83 TKSTt 1 454 053.06 1 454 081.83 1 454 110.53 0.00 TKSIt 389 951.60 392 545.68 395 139.76 0.67 TKKSBt 160 829.08 161 891.96 162 951.37 0.67 TKKSLt 1 459 803.14 1 491 800.07 1 523 797.00 2.27 TKSt 3 464 636.88 3 500 319.54 3 535 998.66 1.05 Ut 366 310.40 368 242.32 370 177.77 0.53 AHHt 70.08 70.32 70.56 0.36 AMHt 93.43 93.65 93.87 0.22 RLSt 8.07 8.12 8.18 0.72 PPPt 632.78 635.01 637.18 0.37 TKDKt 16.11 15.84 15.57 -0.28 IPMt 72.79 73.19 73.58 0.41
Belanja Daerah tersebut dilaksanakan berdasarkan sektor dengan laju
pertumbuhan per tahun masing masing sektor adalah Belanja Sektor Pendidikan
8.66 persen, Belanja Sektor Kesehatan 8.43 persen, kombinasi Belanja Sektor
Pendidikan dan Sektor Kesehatan 8.61 persen, Belanja Pemerintah Sektor
Pertanian 7.14 persen, Belanja Pemerintah Sektor Industri 7.74 persen, Belanja
133
Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur 7.09 persen, dan Belanja
Pemerintah Sektor Lain-Lain 8.32 persen.
Pertumbuhan per tahun dari Produk Domestik Rgional Bruto (PDRB)
Sektoral Sisi Penawaran (PDRBSECt) sebesar 2.83 persen, dan PDRB Sisi
Permintaan (PDRBEXPt) sebesar 2.75 persen. Sementara pertumbuhan pajak dan
Belanja Pemerintah lebih tinggi, mengindikasikan bahwa penarikan pajak akan
semakin intensif untuk membiayai Belanja Pemerintah yang meningkat.
Sektor perekonomian yang akan diandalkan menjadi motor pertumbuhan ke
depan, berdasarkan kinerja pertumbuhan sektor berturut turut adalah sektor
bangunan dan infrastruktur 5.39 persen, sektor lain lain 3.69 persen, sektor
industri 1.48 persen, dan sektor pertanian 1.48 persen. Ditinjau dari kinerja total
produksi yang dihasilkan masing masing sektor, maka sektor perekonomian yang
diandalkan pada tahun 2015 adalah sektor lain lain Rp. 35 101 198 miliar, sektor
industri Rp. 14 943 219 miliar; sektor pertanian Rp. 10 978 886 miliar, dan sektor
bangunan dan infrastruktur Rp. 4 019 517 miliar.
Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektor, yang merupakan pertumbuhan Angka
Partisipasi Kerja (APK) sektor per tahun sebesar 1.05 persen, tidak sebanding
dengan pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 1.49 persen (BKKBN, 2012),
mengakibatkan angka Pengangguran meningkat 0.53 persen per tahun. Di sisi lain
pertumbuhan ekonomi yang positif mampu meningkatkan Daya Beli dengan
pertumbuhan per tahun sebesar 0.37 persen, sehingga secara langsung mengurangi
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pertanyaan yang belum
terjawab dalam penelitian ini adalah mengapa Pengangguran naik tetapi Daya Beli
tetap meningkat dan tingkat kemiskinan berkurang.
134
Kinerja perekonomian yang tumbuh positif tersebut mendorong
meningkatnya Belanja Pemerintah, termasuk Belanja Pemerintah Sektor
Pendidikan dan Belanja Pemerintah Sektor Kesehatan. Keadaan ini menstimulasi
pertumbuhan nilai pada komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) per
tahun, yaitu pertumbuhan Daya Beli sebesar 0.37 persen, pertumbuhan Angka
Harapan Hidup sebesar 0.36 persen, Angka Melek Huruf sebesar 0.22 persen, dan
Rata-rata Lama Sekolah sebesar 0.72 persen. Pada akhirnya kinerja perekonomian
tersebut menghasilkan pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia sebesar 0.41
persen per tahun, sehingga Indeks Pembangunan Manusia tanpa alternatif
skenario kebijakan mencapai sebesar 73.58 pada tahun 2015. Pencapaian ini di
bawah sasaran tujuan pembangunan milenium sebesar 80. Adapun perbandingan
sasaran dan ramalan tujuan pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana
Tabel 32
Tabel 32. Sasaran dan Ramalan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015 tanpa Skenario Kebijakan
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.60 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 93.90 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.20 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 637.18 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 73.58 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.3. Dampak Skenario Kebijakan Periode Tahun 2013-2015
Skenario kebijakan dalam periode peramalan disimulasikan sebagai upaya
untuk memperbaiki kinerja perekonomian sekaligus kinerja pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia. Terlebih dahulu masing-masing variabel ditentukan nilai
135
simulasi dasarnya pada periode peramalan menghasilkan rata-rata simulasi dasar.
Kemudian dilakukan shock terhadap variabel yang dijadikan instrumen skenario
kebijakan dalam periode peramalan yang menghasilkan nilai predicted. Selisih
antara nilai predicted dengan nilai rata-rata simulasi dasar adalah dampak
skenario kebijakan tersebut.
Tabel 33. Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Indikator Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2013-2015
(%)
Alternatif Kebijakan
Indikator
Pengangguran Angka
Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata
Lama Sekolah
Daya Beli
Tingkat Kemiskinan
Desa dan Kota
Indeks Pembangunan
Manusia
1. Belanja pendidikan dan kesehatan naik 20 persen
-4.99 0.28 0.22 0.29 0.16 -0.74 0.35
2. Dana Alokasi Umum naik 20 persen -5.1 0.4 0.25 0.65 0.44 -2.09 0.64
3. Belanja sektor bangunan naik 20 persen -2.34 0.14 0.09 0.24 0.17 -0.83 0.24
4. Kombinasi kebijakan I dan III -6.18 0.35 0.26 0.43 0.27 -1.27 0.48
5. Provinsi quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia terendah naik Dana Alokasi Umum 40 persen, lainnya 20 persen
-6.19 0.49 0.32 0.82 0.56 -2.63 0.8
6. Provinsi quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia terendah naik Dana Alokasi Umum 40 persen, lainnya 20 persen
-7.84 0.58 0.38 0.94 0.65 -3.02 0.93
7. Provinsi quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia terendah total belanja naik 40 persen, lainnya 20 persen
-5.6 0.38 0.25 0.6 0.41 -1.91 0.6
8. Provinsi quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia terendah Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan naik 40 persen, lainnya 20 persen
-9.13 0.52 0.43 0.63 0.35 -1.62 0.69
136
Skenario kebijakan dalam periode peramalan ini terdiri atas 8 skenario yang
hasil simulasi selengkapnya sebagaimana pada Lampiran 7. Tabel 33 berikut
menyajikan simulasi dampak 8 skenario kebijakan terhadap 7 variabel endogen
terpilih yang berkaitan erat dengan tujuan penelitian.
7.3.1. Kebijakan Belanja Pendidikan dan Sektor Kesehatan Naik 20 Persen
Skenario pertama, kebijakan peningkatan kombinasi dari Belanja Sektor
Pendidikan dan Belanja Sektor Kesehatan sebesar 20 persen hanya berdampak
kecil terhadap peningkatan kinerja Indeks Pembangunan Manusia, dan
penanggulangan kemiskinan serta pengurangan pengangguran, masing masing
dengan pertumbuhan rata-rata tahun 2009-2015 sebesar 0.35 persen, dan -0.74
persen, serta -4.99 persen. Kebijakan ini juga hanya berdampak kecil terhadap
peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah,
dan Daya Beli, masing masing dengan pertumbuhan rata-rata tahun 2009-2015
sebesar 0.28 persen, 0.22 persen, 0.29 persen, dan 0.16 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, justru kebijakan
yang paling buruk dalam rangka peningkatan Daya Beli masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan, serta hanya berada pada peringkat 7, satu peringkat
lebih baik dari kebijakan belanja sektor bangunan dan infrastruktur, dalam upaya
peningkatan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
Lampiran 7, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel pada tahun
2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 8.
137
Sesuai dengan hasil ramalan yang diperoleh dari skenario I ini, yaitu
peningkatan Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan sebanyak 20 persen,
maka sasaran dan pencapaian tujuan pembangunan milenium tahun 2015
sebagaimana Tabel 34.
Tabel 34. Dampak Kenaikan Belanja Pendidikan dan Kesehatan Sebesar 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.79 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.11 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.20 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 638.18 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 73.86 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.3.2. Kebijakan Trasfer Dana Alokasi Umum Naik 20 Persen
Skenario kedua, kebijakan transfer Dana Alokasi Umum meningkat 20
persen sama dengan skenario pertama juga hanya berdampak kecil terhadap
peningkatan kinerja Indeks Pembangunan Manusia, penanggulangan kemiskinan
dan pengurangan pengangguran, masing masing dengan nilai pertumbuhan rata-
rata tahun 2009-2015 sebesar 0.64 persen, -2.09 persen, dan -5.10 persen.
Kebijakan ini juga hanya berdampak kecil terhadap pertumbuhan Angka Harapan
Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing
masing dengan nilai 0.40 persen, 0.25 persen, 0.65 persen, dan 0.44 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan pilihan
ketiga terbaik dalam rangka peningkatan Daya Beli dan penanggulangan
kemiskinan serta Rata-rata Lama Sekolah. Posisi keempat untuk Angka Harapan
138
Hidup dan Indeks Pembangunan Manusia, posisi kelima untuk Angka Melek
Huruf, dan posisi keenam untuk Pengangguran.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 9.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana Tabel 35. Skenario 2 ini juga
belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 35. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.92 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.18 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.24 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 640.82 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 74.18 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.3.3. Kebijakan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen
Skenario ketiga, kebijakan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan
Infrastruktur meningkat sebesar 20 persen juga hanya berdampak kecil terhadap
peningkatan kinerja Indeks Pembangunan Manusia, dan penanggulangan
kemiskinan serta pengurangan pengangguran, masing masing dengan nilai sebesar
0.24 persen, dan -0.83 persen, serta -2.34 persen. Kebijakan ini juga hanya
berdampak kecil terhadap peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka Melek
139
Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing masing dengan nilai 0.14
persen, 0.09 persen, 0.24 persen, dan 0.17 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas terakhir, karena dampaknya pada posisi terakhir dalam rangka
peningkatan Angka Harapan Hidup, peningkatan Rata-rata Lama Sekolah,
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dan penanggulangan Pengangguran.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 10.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 36. Skenario 3 ini
juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 36. Dampak Kenaikan Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Sebesar 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.70 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 93.98 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.20 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 638.67 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 73.81 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.3.4. Kombinasi Kebijakan Belanja Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, dan Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen
Skenario keempat, kebijakan kombinasi Belanja Sektor Pendidikan, Belanja
Sektor Kesehatan, dan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur
140
meningkat sebesar 20 persen menunjukan kinerja yang lebih baik daripada
kebijakan peningkatan 20 persen belanja sektoral secara sendiri-sendiri. Tetapi
hasil simulasi skenario kebijakan kombinasi ini masih di bawah hasil simulasi
skenario kebijakan transfer Dana Alokasi Umum. Dampak yang dihasilkan oleh
kebijakan kombinasi ini terhadap peningkatan kinerja Indeks Pembangunan
Manusia, dan penanggulangan kemiskinan serta pengurangan pengangguran,
masing masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-2014 berurutan sebesar 0.48
persen, dan -1.27 persen, serta -6.18 persen. Kebijakan ini masih berdampak kecil
terhadap peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata
Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing masing dengan nilai 0.35 persen, 0.26
persen, 0.43 persen, dan 0.27 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas keempat dalam rangka penanggulangan pengangguran dan peningkatan
Angka Melek Huruf, pada prioritas keenam untuk peningkatan variabel endogen
lainnya (Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota, Daya Beli, Angka Harapan Hidup,
Rata-rata Lama Sekolah, dan Indeks Pembangunan Manusia).
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 11.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 36. Skenario 4 ini
juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
141
Tabel 37. Dampak Kenaikan Belanja Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, dan Sektor Bangunan dan Infrastruktur Masing-Masing 20 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.86 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.15 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.22 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 639.15 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 73.99 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.3.5. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen
Skenario kelima, kebijakan afirmatif kepada provinsi quantil 1 Indeks
Pembangunan Manusia terendah dengan meningkatkan Dana Alokasi Umum 40
persen, sementara provinsi lainnya meningkat 20 persen berdampak cukup besar
terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dan penanggulangan
kemiskinan serta pengurangan pengangguran, masing masing dengan nilai rata-
rata dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2015 sebesar 0.80 persen, dan -2.63
persen, serta -6.29 persen. Kebijakan ini juga berdampak cukup besar terhadap
peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah,
dan Daya Beli, masing masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-2015 sebesar
0.49 persen, 0.32 persen, 0.82 persen, dan 0.56 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas kedua dalam upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, Daya
Beli, penanggulangan kemiskinan, dan Rata-rata Lama Sekolah, tatapi hanya
142
berada pada peringkat ketiga dalam rangka penanggulangan Pengangguran dan
peningkatan Angka Melek Huruf.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 12.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 38. Skenario kelima
ini juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 38. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 71.00 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.25 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.26 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 641.719 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 74.32 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010. 7.3.6. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks
Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen
Skenario keenam, kebijakan afirmatif kepada provinsi quantil 1 dan 2
Indeks Pembangunan Manusia terendah dengan meningkatkan Dana Alokasi
Umum sebesar 40 persen, sementara provinsi lainnya meningkat 20 persen
berdampak paling baik terhadap peningkatan kinerja Indeks Pembangunan
Manusia, dan penanggulangan kemiskinan serta pengurangan pengangguran,
143
masing masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-2015 sebesar 0.93 persen, dan -
3.02 persen, serta -7.84 persen. Kebijakan ini juga berdampak paling baik
terhadap peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata
Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-
2015 sebesar 0.58 persen, 0.38 persen, 0,94 persen, dan 0,65 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas pertama dalam upaya peningkatan hampir seluruh variabel endogennya,
kecuali untuk penangulangan Pengangguran dan peningkatan Angka Melek Huruf
yang bertengger diperingkat kedua di bawah skenario 8.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 13.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 39. Skenario
keenam ini juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 39. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 71.08 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.32 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.27 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 642,.34 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 74.43 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 200-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
144
7.3.7. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja 40 Persen
Skenario ketujuh, kebijakan afirmatif kepada provinsi quantil 1 dan 2 Indeks
Pembangunan Manusia terendah dengan meningkatkan Belanja sebesar 40 persen,
provinsi lainnya meningkat 20 persen, kurang berdampak terhadap peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia, dan penanggulangan kemiskinan serta
pengurangan Pengangguran, masing masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-
2015 sebesar 0.60 persen, dan -1.91 persen, serta -5.60 persen. Kebijakan ini
juga kurang berdampak terhadap peningkatan Angka Harapan Hidup, Angka
Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing masing dengan
nilai rata-rata tahun 2009-2015 sebesar 0,38 persen, 0.25 persen, 0.60 persen, dan
0.41 persen.
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas keempat dalam upaya peningkatan Daya Beli, penanggulangan
kemiskinan, prioritas kelima dalam rangka peningkatan Rata-rata Lama Sekolah,
Angka Harapan Hidup, penanggulangan pengangguran, dan peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia, serta hanya pada peringkat keenam untuk Angka Melek
Huruf. Rendahnya kinerja kebijakan ini, karena dalam model yang dibangun
perubahan nilai variabel Belanja tidak berdampak langsung terhadap perubahan
nilai variabel endogen komponen Indeks Pembangunan Manusia, tetapi masuk
melalui pajak dan Dana Alokasi Umum.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
145
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 14.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 40. Skenario 7 ini
juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 40. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 70.89 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.16 Persen
2. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 15 8.24 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732.720 640.40 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 74.12 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010. 7.3.8. Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks
Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan 40 Persen
Kebijakan afirmatif kepada provinsi quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan
Manusia terendah dengan meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan sektor
kesehatan sebesar 40 persen, provinsi lainnya naik 20 persen, berdampak
terhadap peningkatan kinerja Indeks Pembangunan Manusia, dan penanggulangan
kemiskinan serta pengurangan pengangguran, masing masing dengan nilai rata-
rata tahun 2009-2015 sebesar 0.69 persen, dan -1.62 persen, serta -9.13 persen.
Kebijakan ini juga berdampak cukup besar terhadap peningkatan Angka Harapan
Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Daya Beli, masing
masing dengan nilai rata-rata tahun 2009-2015 sebesar 0.52 persen, 0.43 persen,
0.63 persen, dan 0.35 persen.
146
Kebijakan ini dibandingkan dengan 7 kebijakan lainnya, merupakan
prioritas pertama dalam upaya peningkatan Angka Melek Huruf dan pengurangan
Pengangguran, prioritas kedua dalam rangka peningkatan Angka Harapan Hidup,
prioritas ketiga untuk peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dan prioritas
kelima dalam rangka peningkatan Daya Beli, penanggulangan kemiskinan, dan
peningkatan Rata-rata Lama Sekolah.
Simulasi skenario alternatif kebijakan ini, selain berhasil merumuskan
dampak masing-masing kebijakan terhadap variabel endogennya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, juga berhasil meramal nilai masing masing variabel
pada tahun 2013, tahun 2014, dan tahun 2015 sebagaimana pada Lampiran 15.
Selanjutnya hasil ramalan tahun 2015 dijadikan dasar evaluasi pencapaian tujuan
pembangunan milenium tahun 2015 sebagaimana pada Tabel 41. Skenario
ketujuh ini juga belum berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium.
Tabel 41. Dampak Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Kesehatan 40 Persen terhadap Sasaran dan Pencapaian Tujuan Milenium Tahun 2015
Indeks Indikator Tahun 2015
Satuan MDGs Ramalan
Hidup Panjang Angka Harapan Hidup (AHH) 72* 71.00 Tahun
Pendidikan 1. Angka Melek Huruf (AMH) 100 94.34 Persen
2. Rata-2 lama sekolah (RLS) 15 8.23 Tahun
Hidup Layak Daya Beli (PPP) 732,720 639.62 Rp 000 /Kap
Komposit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80** 74.15 - Keterangan: *) Sasaran RPJMN tahun 2009-2014. **) Publikasi Pemda Jawa Barat Tahun 2010.
7.4. Hasil Ramalan Alternatif Kebijakan Terhadap Pemerataan Pembangunan Daerah
Penelitian Dampak Kebijakan Fiskal Sektor Pendidikan dan Sektor
Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia dilakukan di 21 provinsi
147
dengan data tahun 2004-2008, meliputi data perekonomian dan data pembangunan
manusia. Dalam model yang dibangun untuk penelitian ini, meliputi model
persamaan panel, sehingga datanya adalah time series dan cross section antar
provinsi.
Sehubungan peramalan variabel endogen menggunakan prosedur simulasi
non linier (SIMNLIN) dengan metode NEWTON, meliputi ramalan terhadap
variabel perekonomian dan variabel Indeks Pembangunan Manusia, yang dalam
hal ini secara berurutan diwakili oleh Produk Domestik Regional Bruto Sektoral
(PDRBSEC) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka peneliti berhasil
mendapatkan standar deviasi hasil ramalan kedua variabel endogen tersebut
berdasarkan delapan skenario kebijakan sebagaimana pada Tabel 42.
Secara statistik apabila sebaran nilai suatu variabel, dalam hal ini Indeks
Pembangunan Manusia dan/atau Produk Domestik Regional Bruto Sektoral,
memiliki variasi koefisien (Coefisien Variation / CV) kecil, maka nilai variabel
tersebut merata dan paling sedikit variasinya. Secara matematis rumus koefisien
variasi adalah:
CV = STD/Mean
dimana:
CV = Koefisien variasi (Coefisien variation) STD = Deviasi standar (Standard deviation) Mean = Nilai rata-rata variabel (Mean)
Nilai koefisien variasi (coefisien variation) Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) pada setiap simulasi skenario menunjukkan angka yang kecil,
berkisar antara 4.8248 persen pada skenario 8 sampai dengan 5.1417 persen
pada skenario 4. Keadaan ini menjelaskan bahwa IPM antar provinsi pada 21
148
provinsi penelitian relatif kecil variannya, serta adanya 8 skenario kebijakan
ternyata tidak banyak mengubah keadaan tersebut.
Sebaliknya nilai koefisien variasi (coefisien variation) Produk Domestik
Regional Bruto Sektoral (PDRBSEC) pada setiap simulasi menunjukkan angka
yang besar berkisar antara 102.2746 pada skenario 5 sampai dengan 110.6147
persen pada skenario 8. Keadaan ini menjelaskan bahwa PDRBSEC antar
provinsi pada 21 provinsi penelitian relatif besar variannya, dan ternyata adanya
8 skenario kebijakan juga tidak banyak mengubah kesenjangan PDRBSEC antar
provinsi tersebut.
Tabel 42. Hasil Ramalan Alternatif Kebijakan terhadap Pemerataan102 Pembangunan Daerah
Skenario
IPM PDRBSEC
Rata-rata
Standar Deviasi
Koefisien Variasi
(%) Rata-rata Standar
Deviasi
Koefisien Variasi
(%) 0 72.3685 3.6535 5.0484 60 030 658 62 723 934 104.4865 1 72.6186 3.6566 5.0353 60 927 546 63 754 075 104.6392 2 72.8294 3.6632 5.0298 61 329 914 63 123 781 102.9249 3 72.5417 3.6995 5.0998 60 580 106 62 944 943 103.9036 4 72.7158 3.7388 5.1417 61 256 482 63 852 064 104.2372 5 72.9468 3.6290 4.9748 61 605 119 63 006 419 102.2746 6 73.0405 3.6091 4.9412 62 018 235 63 664 761 102.6549 7 72.8004 3.6622 5.0305 61 439 754 63 713 214 103.7000 8 72.8643 3.5156 4.8248 53 182 271 58 827 406 110.6147
Keterangan:
Sumulasi 0 : Simulasi Dasar. Simulasi-1 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 20 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 20 persen. Simulasi-2 : Dana Alokasi Umum Naik 20 Persen. Simulasi 3 : Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen. Simulasi 4 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 20 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 20 Persen dan Belanja Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen. Simulasi-5 : Dana Alokasi Umum Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1, Lainnya Naik 20 Persen. Simulasi-6 : Dana Alokasi Umum Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Lainnya Naik 20 Persen. Simulasi-7 : Total Belanja Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Lainnya Naik 20 Persen Simulasi-8 : Belanja Sektor Pendidikan Naik 40 Persen dan Belanja Sektor Kesehatan Naik 40 Persen untuk Kelompok Q1 dan Q2, Selainnya Naik 20 Persen.
149
Koefisien variasi yang terkecil sampai yang terbesar untuk Indeks
Pembangunan Manusia yang telah dihasilkan oleh delapan skenario kebijakan
secara berurutan adalah skenario 8, skenario 6, skenario 5, skenario 2, skenario 7,
skenario 1, skenario 0, skenario 3, dan skenario 4. Adapun koefisien variasi
untuk Produk Domestik Regional Bruto Sektoral urutan terkecil hingga terbesar
adalah skenario 5, skenario 6, skenario 2, skenario 7, skenario 3, skenario 4,
skenario 0, skenario 1 dan skenario 8.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai-nilai variabel Indeks
Pembangunan Manusia dan Produk Domestik Regional Bruto Sektoral tersebut
milik 21 provinsi penelitian. Ketika skenario kebijakan 8 menghasilkan koefisien
variasi yang terkecil untuk IPM dibandingkan dengan dampak 7 skenario
kebijakan lainnya terhadap IPM, maka skenario 8 merupakan skenario kebijakan
terbaik dalam rangka pemerataan pembangunan manusia bagi 21 provinsi
dimaksud. Sementara itu, apabila yang menjadi fokus perhatian adalah dalam
rangka pemerataan Produk Domestik Regioanal Bruto Sektoral, maka kebijakan
yang terbaik adalah skenario 5.
Sasaran skenario kebijakan 8 meliputi provinsi quantil 1 dan 2 Indeks
Pembangunan Manusia terendah. Adapun provinsi quantil 1 dimaksud adalah
Provinsi Papua, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi
quantil 2 meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Aceh,
Provinsi Maluku, dan Provinsi Bali.
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan hipotesis penelitian, serta profil
model, yang meliputi validasi, simulasi dan peramalan variabel endogen, baik
tanpa maupun dengan alternatif kebijakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Model persamaan simultan yang mengintegrasikan komponen
perekonomian makro dengan indeks pembangunan manusia (IPM) telah
berhasil dirumuskan dan diduga parameternya, yang terdiri dari 23
persamaan struktural dan 15 persamaan identitas. Setiap model persamaan
struktural, masing masing variabel penjelas mampu menjelaskan keragaman
variabel endogennya secara baik dan pada taraf nyata. Terbukti dari
koefisien determinasinya cukup besar pada masing masing persamaan
struktural berkisar antara 0.87 hingga 0.99, dan parameter dugaannya
berbeda dengan nol pada taraf nyata (α) 0.05; 0.10, dan 0.15. Dengan
demikian model yang dibangun ini layak digunakan untuk keperluan
peramalan dan simulasi dampak kebijakan fiskal sektor pendidikan dan
sektor kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia.
2. Indeks pembangunan manusia tidak dipengaruhi secara nyata oleh belanja
sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan. Hal ini karena, komponen
pembentuk indeks pembangunan manusia tersebut, yaitu: angka harapan
hidup (AHH), angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolag (RLS),
serta daya beli (PPP), tidak dipengaruhi secara nyata oleh belanja sektor
pendidikan dan belanja sektor kesehatan.
152
3. Kebijakan fiskal sektor pendidikan dan sektor kesehatan serta sektor
bangunan dan infrastruktur tidak berdampak nyata terhadap indeks
pembangunan manusia. Keadaan ini ditunjukkan pada hasil simulasi
alternatif kebijakan yang terdiri atas varian dari belanja sektor tersebut
secara sektoral maupun kombinasi antar sektor memiliki parameter yang
kecil dan tidak elastis. Hal ini karena kebijakan fiskal sebagai indikator
input makroekonomi memerlukan waktu yang cukup lama untuk mampu
merubah indeks pembangunan manusia sebagai indikator output
makroekonomi.
4. Indeks pembangunan manusia beserta komponen pembentuknya diramalkan
tidak dapat dicapai sesuai dengan sasaran tujuan pembangunan milenium
tahun 2015, baik tanpa maupun dengan alternatif kebijakan fiskal yang telah
ditetapkan. Karena pembangunan manusia merupakan masalah demografi
yang berdimensi waktu panjang, sehingga perubahannya memerlukan waktu
yang cukup panjang pula. Di samping itu, keterbatasan Pemerintah
menghimpun anggaran menyebabkan upaya peningkatan indeks
pembangunan manusia melalui belanja Pemerintah juga terbatas.
5. Indeks pembangunan manusia melalui komponen pembentuknya (angka
harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan daya beli)
dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga per
kapita. Karena proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga secara relatif
lebih tinggi dari pengeluaran konsumsi Pemerintah, masing-masing sekitar
53 persen dan 10 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
sisi pengeluaran. Padahal belanja setiap sektor, termasuk belanja sektor
153
pendidikan dan belanja sektor kesehatan, berada di dalam pengeluaran
konsumsi Pemerintah tersebut.
8.2 Implikasi Kebijakan
Peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya meningkatkan
komponennya di sektor pendidikan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, sangat berat, karena grafik perkembangan dari data empiris kedua
komponen tersebut dari tahun ke tahun sudah rata, khususnya untuk angka melek
huruf yang sudah menuju 100 persen. Oleh karena itu, kualitas belanja sektor
pendidikan harus diperbaiki perspektifnya, tidak semata-mata ke arah jangka
panjang dengan meningkatkan rata-rata lama sekolah, tetapi juga ke arah jangka
pendek dan menengah, dengan mencetak tenaga kerja yang terampil, sehat,
mandiri, dan berpenghasilan layak.
Sementara peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya
meningkatkan komponen di sektor kesehatan, yaitu melalui peningkatan angka
harapan hidup, serta peningkatan indeks pembangunan manusia melalui upaya
meningkatkan komponen daya beli, masih berpeluang tinggi, karena grafik data
empiris dari komponen angka harapan hidup dan komponen daya beli
menunjukkan arah positif dan meningkat dari tahun ke tahun.
Dengan adanya keterbatasan penyediaan anggaran Pemerintah, maka
kebijakan meningkatkan belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan
dalam persentase tertentu pada provinsi quantil 1 dan 2 dengan indeks
pembangunan manusia terendah adalah kebijakan yang paling realistis
dibandingkan kebijakan meningkatkan dana alokasi umum maupun kebijakan
menaikkan belanja dalam persentasi yang sama, karena dua kebijakan terakhir ini
154
memerlukan jumlah nominal yang jauh lebih banyak dari kebijakan pertama.
Selain itu, kebijakan meningkatkan belanja sektor pendidikan dan belanja sektor
kesehatan tersebut yang disertai kebijakan afirmatif adalah kebijakan yang paling
baik dalam rangka mengatasi pengangguran dan memeratakan pembangunan antar
provinsi, serta cukup baik dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan
manusia dan mengurangi kemiskinan.
Model yang disusun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan
oleh para peneliti yang juga mengkaji tentang dampak kebijakan fiskal terhadap
indeks pembangunan manusia, dan implikasinya terhadap tujuan pembangunan
milenium. Perbaikan terhadap model dapat dilakukan dalam bentuk
penyempurnaan bentuk persamaan dengan melakukan disagregasi belanja sektor
pendidikan dan belanja sektor kesehatan, serta melakukan simulasi kebijakan
dengan menaikan nilai nominal belanja Pemerintah sebagai pengembangan dari
peningkatan berdasarkan persentase terhadap belanja Pemerintah sebelumnya.
Selain itu, hasil pendugaan parameter model kemungkinan akan semakin baik
apabila data yang terkait semakin lengkap dan panjang tersedia di Indonesia
terutama pada Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Pemerintah Daerah.
Untuk mengetahui signifikansi dampak belanja Pemerintah di sektor
pendidikan dan belanja Pemerintah di sektor kesehatan dalam jangka panjang
terhadap indeks pembangunan manusia, tingkat kemiskinan, dan angka
pengangguran, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan data deret
waktu (time series) yang lebih lama.
155
DAFTAR PUSTAKA
Alam, J. 2006. Disparitas Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh
terhadap Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Bekasi. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Ali, N. B. V. 2006. Analisis Hubungan Pembangunan Manusia dan Kinerja
Perekonomian di Indonesia: Suatu Pendekatan Simultan pada Model Data Panel Propinsi. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Anand, S and A. Sen. 2000. The Income Component of The Human Development Index. Journal of Human Development, 1(1): 83-105.
Andersen, T.M. 2005. Is There a Role for an Active Fiscal Stabilization ?. CESif0 Economics Studies, 51 (4): 511-547.
Asteriou, D and G. M. Agiomirgianakis. 2001. Human Capital and Economic Growth Times Series Evidence from Greece. Journal of Policy Modeling, 23 (): 481-489.
Aturupane, H., P. Glewwe, and P. Isenman. 1994. Poverty, Human Development, and Growth: An Emerging Consensus ?. Human Development, 84 (2): 244-249.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007. Badan Pusat Statitik, Jakarta.
.2008. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2006-2007. Katalog BPS 4102002. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009a. Penjelasan Singkat Mengenai Indeks Pembangunan Manusia dan MDGs. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009b. Profil Kemiskinan di Indonesia. Berita Resmi Statistik 43/07/Th.12. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2009c. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2005-2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
.2010a. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan 2005-2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
156
.2010b. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2005-2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Balitfo Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Informasi Ketenagakerjaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.
Barro, R. J. and X. S. Martin. 2004. Economic Growth. Second Edition. The MIT Press Cambridge, Massachusetts.
Becker, S. O., E. Hornung, and L. Woessmann. 2010. Catch Me If You Can: Education and Catch-Up in the Industrial Revolution. CESifo Conference Centre, Munich.
Biswas, B. and F. Caliendo. 2001. A Multivariate Analysis of the Human Development Index. The Indian Economic Journal, 49 (4): 96-100.
Blackwood, D. L. and R. G. Lynch. 1994. The Measurement of Inequality and Poverty: A Policy Maker’s Guide to the Literature. World Development, New York.
Cahyadhi, P. E. 2005. Pelacakan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kab/Kota di Provinsi Bali). Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Departemen Dalam Negeri. 2005. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. 2011. Data Keuangan Daerah. Serial Online, http://www.djpk.depkeu.go.id/.
Dornbusch, R., S. Fischer, and R. Startz. 2004. Macroeconomics. Ninth Edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Easterlin, R.A. 2000. The Worldwide Standard of Living Since 1800. Journal of Economic Perspectives, 14 (1): 7-26.
Grubel, H. G. 1988. Economic Freedom and Human Welfare: Some Empirical Findings. Cato Journal, 18(2): 287-304.
Hicks, N. and P. Sreeten. 1979. Indicators of Development: The Search for Basic Needs Yardstick. World Development, 7(6): 567-580.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. McMillan Press Ltd, London.
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta.
157
Marut, D. K. 2009. Perlu Kebijakan Konkrit untuk Percepatan Pencapaian MDGs. INFID, Jakarta.
Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nayak, P. 2005. A Human Development Approach to The Status of Development in North East India. Paper in 47th Annual International Conference of Western Social Science Association at Albuquerque, News Mexico, 13 – 16 April 2005.
Pakasi, C. B. D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pyndyck, R. S. and D. L. Rubienfeld. 1991. Econometric Model and Econometric Forecast. McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Qureshi, M. N. 2010. Evolution of Human Development Approach by Cutting the Heart of Economic Growth Approach - Brief Review of Literature. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences - Isue 23-2010 : 8 - 18.
Raiser, M. 1998. Subsidising Inequality: Economics Reforms, Fiscal Transfer and Convergence Across Chinese Provinces. Journal of Development Studies, 34(3): 1-26.
Ramirez, A., G. Ranis, and F. Stewart. 1997. Economic Growth and Human Development. Center Discussion Paper, (787): 1-53.
Ranis, G. and F. Steward. 2002. Economic Growth and Human Development in Latin Amerika. Cepal Review, (78): 7-23.
Ranis, G. 2004. Human Development and Economic Growth. Economic Growth Center Yale University, Center Discussion Paper (887): 1-13.
Ranis, A., A. Ramirez, and F. Stewart. 2000. Economic Growth and Human Development. World Development, 28 (2): 197.
Romer. 2001. Advanced Macroeconomics. Second Edition. McGraw-Hill International Editions, Singapore.
Rostow, W. W. 1960. The Stages of Economic Growth. Cambridge University Press, New York.
Rudra, P. P. and G.S. Sanyal. 2011. Good Governance and Human Development: Evidence from Indian States. Journal of Social and Development Science, 1 (1): 1-8.
158
Sen, A. 1976. Poverty: An Ordinal Approach to Measurement: Econometrica, (44): 219-231.
Son, H. H. and N. Kakwani. 2004. Economic Growth and Poverty Reduction: Initial Conditions Matter. Working Paper No. 2. United Nations Development Programme International Poverty Centre, Brasilia.
Sitepu, R. K. 2007. Dampak Investasi Sumber Daya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stiglitz, J. E. 1999. Economics of the Public Sector. Third Edition. M.W. Norton & Company, London.
Suharno. 2008. Metode Pengukuran Kemiskinan Makro-Garis Kemiskinan di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan. Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.
Sukadana. 2007. Dampak Pembangunan Manusia dan Korupsi pada Pertumbuhan Ekonomi: Suatu Konsep Teoritis dan Empiris. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
Suriasumantri, J. S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan Ke XX. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Suryahadi, A., D. Suryadarma, and S. Sumarto. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Research Institute, Jakarta.
Tim Khusus Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. 2009. Indeks Pembangunan Manusia. TKPRI, Jakarta.
Todaro, M. P. and S. C. Smith. 2006. Economic Development. Ninth Edition. Pearson Education Limited, London.
United Nations Development Program. 1990. Human Development Report 1990. United Nations Development Program, New York.
. 1995. Human Development Report 1995. United Nations Development Program, New York.
. 1996. Human Development Report 1996. United Nations Development Program, New York.
. 1997. Human Development Report 1997. United Nations Development Program, New York.
. 1998. Human Development Report 1998. United Nations Development Program, New York.
159
. 1999. Human Development Report 1999. United Nations Development Program, New York.
. 2000. Human Development Report 2000. United Nations Development Program, New York.
. 2001. Human Development Report 2001. United Nations Development Program, New York.
. 2002. Human Development Report 2002. United Nations Development Program, New York.
. 2003. Human Development Report 2003. United Nations Development Program, New York.
. 2004. Human Development Report 2004. United Nations Development Program, New York.
. 2006. Human Development Report 2006. United Nations Development Program, New York.
. 2007. Human Development Report 2007. United Nations Development Program, New York.
. 2008. Human Development Report 2008. United Nations Development Program, New York.
. 2009. Human Development Report 2009. United Nations Development Program, New York.
United Nations Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. 2010. Progress Report in Asia and The Pasific. UNESCAP, New York.
Utami, D. R. 2007. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah (Kabupaten/ Kota) di Bidang Pendidikan dan Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Tesis Magister. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Wheeler, D. 1980. Basic Need Fulfillment and Economic Growth: A Simultaneous Model. Journal of Development Economics, 7(4): 435-451.
Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
161
Lampiran 1. Program Estimasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia
OPTION PS=500 LS=250 NOCENTER NONUMBER; LIBNAME IN 'C:\; DATA DT; SET IN.RAW110112; IF PROV=72 THEN DELETE; BLJ = GPST+GPSI+GPSB+BSP+BSK+BSL; *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; NX1 = NX;
1. NX = NX1+(PKP‐BLJ); *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; MISK=TKDK*POP; KRTCAP=PKRT/POP; BSPK=BSP+BSK; PDRBSEC=TQST+TQSI+TQSB+TQSLL; BLJ = GPST+GPSI+GPSB+BSP+BSK+BSL; TKS=TKST+TKSI+TKKSB+TKKSL; RTQSB=TQSB/PDRBSEC; TTKKSB= TKKSB*TREN; LOGTKST=LOG(TKST); RUN; PROC SORT; BY PROV THN; RUN; PROC TSCSREG DATA=DT FIXONE; ID PROV THN; *BLOK PENDAPATAN DAERAH; MODEL PJKD = BLJ PP ; MODEL DAU = BLJ POP ; *BLOK TOTAL BELANJA DAERAH; MODEL BSP = PAT PNS; MODEL BSK = PAT PNS; MODEL GPST= PAT ; MODEL GPSI= PAT; MODEL GPSB = PAT ; MODEL GPSLL = PAT BSPK ; *BLOK PERMINTAAN AGREGAT; MODEL PKRT = PDRBSEC POP ; MODEL PMTB = PDRBSEC KUK; *BLOK PENAWARAN AGREGAT; MODEL TQST = LOGTKST GPST; MODEL TQSI = TKSI GPSI; MODEL TQSB = TTKKSB GPSB JLHK ; MODEL TQSLL = TKKSL GPSLL JLHK; *BLOK TENAGA KERJA; MODEL TKST = TQST ;
162
MODEL TKSI = TQSI ; MODEL TKKSB= RTQSB; MODEL TKKSL= TQSLL; *BLOK IPM; MODEL AHH = BSK KRTCAP; MODEL AMH = BSK BSP KRTCAP; MODEL RLS = BSP KRTCAP APSD; MODEL PPP = U KRTCAP; MODEL TKDK = PPP; RUN;
163
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PJKD PJKD Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 3.832422E12 DFE 82 MSE 46736859664 Root MSE 216187.0941 R‐Square 0.8877 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 6.78 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐322740 140122 ‐2.30 0.0238 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 449400.5 142213 3.16 0.0022 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 34088.64 137485 0.25 0.8048 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐185510 161808 ‐1.15 0.2549 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐200386 143744 ‐1.39 0.1671 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐52791.2 138656 ‐0.38 0.7044 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐267749 145236 ‐1.84 0.0689 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐126410 138347 ‐0.91 0.3635 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 1486278 263150 5.65 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 716330.6 186456 3.84 0.0002 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐99427.4 145479 ‐0.68 0.4962 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 205928.2 148006 1.39 0.1679 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐248039 143627 ‐1.73 0.0879 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐336373 140480 ‐2.39 0.0189 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐236657 139392 ‐1.70 0.0933 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐50367.2 138805 ‐0.36 0.7176 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐178463 149412 ‐1.19 0.2358 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐255484 143522 ‐1.78 0.0788 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐4715.28 141048 ‐0.03 0.9734 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐316288 142940 ‐2.21 0.0297 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 289904.4 120508 2.41 0.0184 Intercept BLJ 1 0.038427 0.0162 2.37 0.0201 BLJ PP 1 0.011069 0.0176 0.63 0.5312 PP
164
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: DAU DAU Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 1.3539E13 DFE 82 MSE 1.651097E11 Root MSE 406336.9606 R‐Square 0.9648 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 17.66 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐1020098 370006 ‐2.76 0.0072 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐1671898 1907809 ‐0.88 0.3834 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 215350.8 434630 0.50 0.6216 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐2812575 755733 ‐3.72 0.0004 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐405987 278888 ‐1.46 0.1493 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐1458145 863424 ‐1.69 0.0951 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐12921.7 296570 ‐0.04 0.9654 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐931369 991311 ‐0.94 0.3502 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐7846791 7011845 ‐1.12 0.2664 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐4688470 5535097 ‐0.85 0.3994 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐324851 326788 ‐0.99 0.3231 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐441417 325500 ‐1.36 0.1788 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐416506 483770 ‐0.86 0.3918 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 95117.08 426795 0.22 0.8242 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 80766.03 466438 0.17 0.8630 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐126597 302810 ‐0.42 0.6770 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐2545593 271564 ‐9.37 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 38032.48 269604 0.14 0.8882 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐596506 1163541 ‐0.51 0.6096 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 322270.7 333236 0.97 0.3363 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 8243.43 464529 0.02 0.9859 Intercept BLJ 1 0.384778 0.0367 10.48 <.0001 BLJ POP 1 243.3648 193.2 1.26 0.2114 POP
165
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: BSP BSP Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 2.132451E12 DFE 82 MSE 26005505188 Root MSE 161262.2249 R‐Square 0.9838 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 9.01 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐448135 126274 ‐3.55 0.0006 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐1344272 227190 ‐5.92 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 70860.1 129420 0.55 0.5855 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 156775.9 104021 1.51 0.1356 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 493897.2 114284 4.32 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐241643 123747 ‐1.95 0.0543 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 632110.2 114347 5.53 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 92549.43 127356 0.73 0.4695 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐3475777 469782 ‐7.40 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐3239379 523844 ‐6.18 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 200147.3 126061 1.59 0.1162 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 353582.1 115510 3.06 0.0030 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 370967.1 116167 3.19 0.0020 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 74449.7 121926 0.61 0.5431 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 320211.8 108407 2.95 0.0041 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 300929.5 107527 2.80 0.0064 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐92659.4 110767 ‐0.84 0.4053 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 458080.7 115050 3.98 0.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐992500 183122 ‐5.42 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 568806.4 110505 5.15 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐1318667 114552 ‐11.51 <.0001 Intercept PAT 1 0.180641 0.0187 9.66 <.0001 PAT PNS 1 14.67299 1.4083 10.42 <.0001 PNS
166
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: BSK BSK Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 1.765151E11 DFE 82 MSE 2152623263 Root MSE 46396.3712 R‐Square 0.9799 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 9.67 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐222401 36330.0 ‐6.12 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐454543 65364.3 ‐6.95 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐137131 37235.1 ‐3.68 0.0004 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐131228 29927.5 ‐4.38 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 1085.218 32880.5 0.03 0.9738 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐184153 35602.8 ‐5.17 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 93758.09 32898.5 2.85 0.0055 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐172673 36641.3 ‐4.71 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐1239236 135160 ‐9.17 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐1180025 150714 ‐7.83 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐91554.3 36268.7 ‐2.52 0.0135 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐42635.4 33233.0 ‐1.28 0.2031 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐20152.4 33422.1 ‐0.60 0.5482 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐59878.5 35079.2 ‐1.71 0.0916 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 16613.52 31189.5 0.53 0.5957 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 43016.52 30936.4 1.39 0.1681 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐142733 31868.4 ‐4.48 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐43364.6 33100.7 ‐1.31 0.1938 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐346463 52685.5 ‐6.58 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 60891.81 31793.1 1.92 0.0589 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐221187 32957.5 ‐6.71 <.0001 Intercept PAT 1 0.068016 0.00538 12.64 <.0001 PAT PNS 1 3.734001 0.4052 9.22 <.0001 PNS
167
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: GPST GPST Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 2.020151E11 DFE 83 MSE 2433916600 Root MSE 49334.7403 R‐Square 0.8692 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 6.54 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 140134.8 31552.7 4.44 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐6408.61 33037.2 ‐0.19 0.8467 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 37370.3 31219.9 1.20 0.2347 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 108335.4 31689.4 3.42 0.0010 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 83258.86 34035.4 2.45 0.0165 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 18900.68 31203.8 0.61 0.5464 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 86030.17 34936.7 2.46 0.0159 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 30308.21 31866.1 0.95 0.3443 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐235978 52894.3 ‐4.46 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐216635 49037.9 ‐4.42 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 16050.07 33541.4 0.48 0.6335 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 38633.35 32308.7 1.20 0.2352 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 77751.22 33356.3 2.33 0.0222 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 100202.5 32050.7 3.13 0.0024 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 67681.75 31745.0 2.13 0.0360 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 52109.76 31557.0 1.65 0.1025 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐6087.67 33712.8 ‐0.18 0.8571 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 48937.37 33870.8 1.44 0.1523 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 54564.25 31853.6 1.71 0.0905 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 77449.23 33800.3 2.29 0.0245 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐52673.8 31574.6 ‐1.67 0.0990 Intercept PAT 1 0.052731 0.00496 10.64 <.0001 PAT
168
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: GPSI GPSI Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 2183913470 DFE 83 MSE 26312210.48 Root MSE 5129.5429 R‐Square 0.9010 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 9.01 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 12036.3 3280.7 3.67 0.0004 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 4315.63 3435.0 1.26 0.2125 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐6159.16 3246.1 ‐1.90 0.0612 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐5925.61 3294.9 ‐1.80 0.0757 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 775.1274 3538.8 0.22 0.8272 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐8584.98 3244.4 ‐2.65 0.0097 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 2038.54 3632.5 0.56 0.5762 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐2620.79 3313.3 ‐0.79 0.4312 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 3949.63 5499.6 0.72 0.4747 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐20884.4 5098.7 ‐4.10 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐4254.51 3487.4 ‐1.22 0.2259 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 4870.53 3359.3 1.45 0.1509 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐800.38 3468.2 ‐0.23 0.8181 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 1602.305 3332.5 0.48 0.6319 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐6266.28 3300.7 ‐1.90 0.0611 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐6553.37 3281.1 ‐2.00 0.0491 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐5997.91 3505.3 ‐1.71 0.0908 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐1101.26 3521.7 ‐0.31 0.7553 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 8413.099 3312.0 2.54 0.0129 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 5647.112 3514.4 1.61 0.1119 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐3061.87 3282.9 ‐0.93 0.3537 Intercept PAT 1 0.004244 0.000516 8.23 <.0001 PAT
169
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: GPSB GPSB Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 3.247408E12 DFE 83 MSE 39125396494 Root MSE 197801.4067 R‐Square 0.9146 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 10.15 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 33725.2 126506 0.27 0.7904 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐8702.48 132459 ‐0.07 0.9478 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐76930.6 125172 ‐0.61 0.5405 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 296996 127054 2.34 0.0218 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 145731.7 136461 1.07 0.2886 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 453480.1 125108 3.62 0.0005 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 120918.7 140074 0.86 0.3905 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 10892.96 127763 0.09 0.9323 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐710255 212073 ‐3.35 0.0012 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐982970 196611 ‐5.00 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐91423.3 134480 ‐0.68 0.4985 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐116986 129537 ‐0.90 0.3691 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐64137.8 133738 ‐0.48 0.6328 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐49639 128503 ‐0.39 0.7003 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 177354.2 127277 1.39 0.1672 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 64098.03 126524 0.51 0.6138 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 624023.5 135167 4.62 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐15732.1 135801 ‐0.12 0.9081 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐6868.65 127713 ‐0.05 0.9572 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 57353.58 135518 0.42 0.6732 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐84519.4 126595 ‐0.67 0.5062 Intercept PAT 1 0.211716 0.0199 10.65 <.0001 PAT
170
The SAS System 00:12 Friday, January 16, 2012 The TSCSREG Procedure Dependent Variable: GPSLL GPSLL Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 6.859477E12 DFE 82 MSE 83652156786 Root MSE 289226.8258 R‐Square 0.9912 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 7.61 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐784367 187328 ‐4.19 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐1619725 211684 ‐7.65 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐1705581 209656 ‐8.14 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐757007 186446 ‐4.06 0.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐1311459 218014 ‐6.02 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐1257918 190029 ‐6.62 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐1247765 221444 ‐5.63 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐1462457 208302 ‐7.02 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐1681313 327188 ‐5.14 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐3420424 362220 ‐9.44 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐1236756 219159 ‐5.64 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐1326276 212733 ‐6.23 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐1335233 216039 ‐6.18 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐1341364 207110 ‐6.48 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐1441795 201953 ‐7.14 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐1412516 200685 ‐7.04 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 180859.9 201667 0.90 0.3724 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐1221731 216577 ‐5.64 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐1228219 198107 ‐6.20 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐961979 209836 ‐4.58 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 1259697 207364 6.07 <.0001 Intercept PAT 1 0.129308 0.0486 2.66 0.0093 PAT BSPK 1 1.893701 0.1050 18.04 <.0001
171
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PKRT PKRT Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 7.454278E13 DFE 82 MSE 9.090583E11 Root MSE 953445.4953 R‐Square 0.9995 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 186.14 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐1.027E7 1038465 ‐9.89 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐4746663 7317176 ‐0.65 0.5183 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐1753314 1530569 ‐1.15 0.2553 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐2.134E7 1777609 ‐12.00 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 1643283 699047 2.35 0.0211 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐1637644 3128103 ‐0.52 0.6020 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 789363.1 779865 1.01 0.3144 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐4466576 4438183 ‐1.01 0.3172 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐3800595 28438235 ‐0.13 0.8940 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐1.023E7 24632866 ‐0.42 0.6791 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐2650788 996259 ‐2.66 0.0094 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐1665457 942017 ‐1.77 0.0808 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐3230011 2075885 ‐1.56 0.1236 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 1044685 2047769 0.51 0.6113 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐2732799 1783504 ‐1.53 0.1293 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐3930160 788000 ‐4.99 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐3.668E7 3015068 ‐12.17 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐1592845 642249 ‐2.48 0.0152 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐4786295 5316655 ‐0.90 0.3706 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 1115942 955222 1.17 0.2461 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐1641900 1934348 ‐0.85 0.3985 Intercept PDRBSEC 1 0.524469 0.0417 12.57 <.0001 PDRBSEC POP 1 932.8044 1008.4 0.93 0.3576 POP
172
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PMTB PMTB Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 4.289875E13 DFE 82 MSE 5.231555E11 Root MSE 723294.9132 R‐Square 0.9963 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 29.19 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐4710265 509558 ‐9.24 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐5031814 1040416 ‐4.84 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐2984449 489571 ‐6.10 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 837241.1 957978 0.87 0.3847 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐2549816 482053 ‐5.29 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐1218980 659203 ‐1.85 0.0680 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐2544599 494184 ‐5.15 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐3278047 479680 ‐6.83 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐1.171E7 3245016 ‐3.61 0.0005 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐8173930 1689336 ‐4.84 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐685175 459445 ‐1.49 0.1397 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐2865084 468099 ‐6.12 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐1036391 464305 ‐2.23 0.0283 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐2645944 483624 ‐5.47 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 101460.8 462949 0.22 0.8271 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐4029899 462275 ‐8.72 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐6257177 1356802 ‐4.61 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐2029671 484145 ‐4.19 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐3555615 518400 ‐6.86 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐2297623 507080 ‐4.53 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 1688004 416307 4.05 0.0001 Intercept PDRBSEC 1 0.198449 0.0170 11.65 <.0001 PDRBSEC KUK 1 201.6652 96.7357 2.08 0.0402 KUK
173
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TQST TQST Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 3.293813E13 DFE 82 MSE 4.016845E11 Root MSE 633785.8250 R‐Square 0.9962 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 234.73 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 3859227 437119 8.83 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 18932555 1240745 15.26 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 4251728 403360 10.54 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 9954762 440905 22.58 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 1407421 473604 2.97 0.0039 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 6819794 978395 6.97 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 99476.5 697672 0.14 0.8870 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 9862242 1017797 9.69 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 30347457 1733559 17.51 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 26062661 2113930 12.33 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 835929.1 524321 1.59 0.1147 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 1932211 496106 3.89 0.0002 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 1098871 406321 2.70 0.0083 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 715280.8 733835 0.97 0.3326 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 3014017 529290 5.69 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 2863202 449865 6.36 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 3042283 993103 3.06 0.0030 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 532116.5 965824 0.55 0.5832 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 8032401 829775 9.68 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐1251487 1292611 ‐0.97 0.3358 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐3342166 14697231 ‐0.23 0.8207 Intercept LOGTKST 1 404676.2 1075856 0.38 0.7078 GPST 1 5.170432 0.9292 5.56 <.0001 GPST
174
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TQSI TQSI Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 3.513491E14 DFE 82 MSE 4.284745E12 Root MSE 2069962.678 R‐Square 0.9950 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 128.14 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 1735093 1414727 1.23 0.2235 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 1978928 2189258 0.90 0.3687 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐1521884 1426306 ‐1.07 0.2891 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 2284158 1426344 1.60 0.1131 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐193872 1386245 ‐0.14 0.8891 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 3812830 1453922 2.62 0.0104 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐107028 1368323 ‐0.08 0.9378 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐3706125 1551818 ‐2.39 0.0192 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐1.843E7 12033061 ‐1.53 0.1294 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐7.582E7 11508886 ‐6.59 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐8334906 1809550 ‐4.61 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐1.113E7 1795267 ‐6.20 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐6992601 1581799 ‐4.42 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐5090241 1411630 ‐3.61 0.0005 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 764763.1 1437429 0.53 0.5961 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐2540340 1483442 ‐1.71 0.0906 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 27237630 1395624 19.52 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐973965 1403470 ‐0.69 0.4897 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐3514187 1522019 ‐2.31 0.0235 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐577419 1324783 ‐0.44 0.6641 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐633306 1073602 ‐0.59 0.5569 Intercept TKSI 1 47.97675 4.4832 10.70 <.0001 TKSI GPSI 1 41.00406 33.9592 1.21 0.2307 GPSI
175
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TQSB TQSB Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 2.047595E12 DFE 81 MSE 25278945413 Root MSE 158993.5389 R‐Square 0.9965 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 81 193.63 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 389223 105683 3.68 0.0004 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 4174885 152157 27.44 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 302933.5 107097 2.83 0.0059 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 822760.5 112745 7.30 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐474439 123349 ‐3.85 0.0002 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 2343410 107498 21.80 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐714784 109367 ‐6.54 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 328811.9 111081 2.96 0.0040 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 4751136 144885 32.79 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 4892254 333460 14.67 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 361330.2 145163 2.49 0.0149 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐414232 156568 ‐2.65 0.0098 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 74213.78 114108 0.65 0.5173 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐327034 104589 ‐3.13 0.0025 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 729908.1 108759 6.71 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 153068.8 111541 1.37 0.1738 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 1292445 123794 10.44 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 1206322 111473 10.82 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 380639.3 103799 3.67 0.0004 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐853640 106602 ‐8.01 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 708031.3 92659.4 7.64 <.0001 Intercept TTKKSB 1 0.683962 0.0561 12.19 <.0001 GPSB 1 0.371688 0.0762 4.88 <.0001 GPSB JLHK 1 0.095129 0.0631 1.51 0.1357 JLHK
176
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TQSLL TQSLL Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 2.754201E14 DFE 81 MSE 3.400248E12 Root MSE 1843976.256 R‐Square 0.9957 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 81 202.13 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 2350375 1333739 1.76 0.0818 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 5688842 3655245 1.56 0.1235 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐3006234 1596707 ‐1.88 0.0633 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 34701256 1779326 19.50 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐9627351 1556856 ‐6.18 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 6903281 1824819 3.78 0.0003 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐9471114 1340801 ‐7.06 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐8711327 1866176 ‐4.67 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 10556211 14364954 0.73 0.4645 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐2.188E7 10922480 ‐2.00 0.0485 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐1.136E7 2011382 ‐5.65 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐9112684 2125218 ‐4.29 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐8643087 1748215 ‐4.94 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐9674641 1254819 ‐7.71 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐6381365 1506419 ‐4.24 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐4867013 1568055 ‐3.10 0.0026 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 33444036 1308367 25.56 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐7785979 1408456 ‐5.53 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐4647583 2122236 ‐2.19 0.0314 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐1.039E7 1253787 ‐8.29 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 9963777 1122159 8.88 <.0001 Intercept TKKSL 1 9.25683 2.1205 4.37 <.0001 TKKSL GPSLL 1 0.540797 0.2770 1.95 0.0544 GPSLL JLHK 1 2.262018 0.6341 3.57 0.0006 JLHK
177
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKST TKST Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 7.081342E11 DFE 83 MSE 8531736803 Root MSE 92367.4012 R‐Square 0.9965 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 210.27 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 16316.74 88172.2 0.19 0.8536 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 1756355 277717 6.32 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 7931.17 84731.0 0.09 0.9256 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 106921.6 159057 0.67 0.5033 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐187274 59966.4 ‐3.12 0.0025 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 1133570 114960 9.86 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐367113 58874.6 ‐6.24 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 1197140 148304 8.07 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 3401593 441148 7.71 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 5265694 383109 13.74 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐238796 58439.3 ‐4.09 0.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐213367 62157.3 ‐3.43 0.0009 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 32890.72 59603.1 0.55 0.5825 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 677232 60183.5 11.25 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 329425.2 72653.5 4.53 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐154765 69728.7 ‐2.22 0.0292 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐490143 74375.3 ‐6.59 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐494376 58536.9 ‐8.45 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 857083.5 135052 6.35 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐600259 64630.5 ‐9.29 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 878637.3 59689.1 14.72 <.0001 Intercept TQST 1 0.000212 0.0136 0.02 0.9876 TQST
178
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKSI TKSI Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 89276672732 DFE 83 MSE 1075622563 Root MSE 32796.6852 R‐Square 0.9985 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 591.34 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐8174.12 21412.3 ‐0.38 0.7036 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 134166.5 31593.5 4.25 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 66483.83 21097.9 3.15 0.0023 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 23069.27 22561.6 1.02 0.3095 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 25262.89 20798.1 1.21 0.2279 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 2806.191 22847.4 0.12 0.9025 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 10321.24 20743.5 0.50 0.6201 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 115380.8 21118.9 5.46 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 1322715 125709 10.52 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 1979758 56109.0 35.28 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 203596.6 20858.3 9.76 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 248270.3 20823.6 11.92 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 157258.4 20744.3 7.58 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 107512 20745.0 5.18 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 29795.07 21246.3 1.40 0.1645 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 83536.25 20923.1 3.99 0.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐292587 41194.3 ‐7.10 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 36004.11 20752.7 1.73 0.0865 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 104375.5 21454.0 4.87 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 14146.07 20745.0 0.68 0.4972 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 3274.099 14675.9 0.22 0.8240 Intercept TQSI 1 0.012318 0.00109 11.34 <.0001 TQSI
179
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKKSB TKKSB Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 46506524904 DFE 83 MSE 560319577.2 Root MSE 23671.0705 R‐Square 0.9921 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 511.99 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 63159.87 15837.1 3.99 0.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 163106.1 15235.2 10.71 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 47361.88 15749.1 3.01 0.0035 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 130986.4 21803.3 6.01 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 26809.9 17214.6 1.56 0.1232 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 63446.35 17025.2 3.73 0.0004 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 19744.12 21924.8 0.90 0.3704 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 74115.66 15736.0 4.71 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 870336.5 20945.5 41.55 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 838083.9 15029.5 55.76 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 71320.37 22123.5 3.22 0.0018 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 107597.8 18456.2 5.83 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 30682.99 15915.4 1.93 0.0573 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 9306.583 15547.2 0.60 0.5511 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 20478.4 18461.3 1.11 0.2705 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 32128.67 15163.7 2.12 0.0371 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 81721.37 21059.5 3.88 0.0002 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐58136.1 56383.1 ‐1.03 0.3055 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 120292.9 16156.5 7.45 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 24091.87 29064.8 0.83 0.4095 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐20827.4 33670.3 ‐0.62 0.5379 Intercept RTQSB 1 781324.4 545161 1.43 0.1556
180
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKKSL TKKSL Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 6.580078E11 DFE 83 MSE 7927804717 Root MSE 89038.2205 R‐Square 0.9981 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 675.91 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 120474.6 61066.7 1.97 0.0518 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 979606.9 107632 9.10 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 443856.8 57523.2 7.72 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐568953 152219 ‐3.74 0.0003 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 375437.2 61173.1 6.14 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 234732.2 73663.1 3.19 0.0020 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 294651.6 66192.4 4.45 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 687471.9 56678.5 12.13 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 4795839 286096 16.76 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 4293445 168693 25.45 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 694701.6 57770.2 12.03 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 663141.9 56321.7 11.77 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 614330.6 58033.8 10.59 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 381572.1 63307.3 6.03 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 400978.9 56810.1 7.06 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 409587.5 56314.0 7.27 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐766376 139987 ‐5.47 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 381504.4 60419.6 6.31 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 751824.2 59484.1 12.64 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 280021.4 68739.0 4.07 0.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 ‐196373 61012.2 ‐3.22 0.0018 Intercept TQSLL 1 0.028022 0.00324 8.65 <.0001 TQSLL
181
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: AHH AHH Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 12.6999 DFE 82 MSE 0.1549 Root MSE 0.3935 R‐Square 0.9851 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 241.18 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 2.662657 0.4304 6.19 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 0.886592 0.2716 3.26 0.0016 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 1.354417 0.2701 5.01 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 3.338913 0.2489 13.41 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 2.005094 0.2710 7.40 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 0.835177 0.2591 3.22 0.0018 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 3.783513 0.4164 9.09 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 3.590489 0.4750 7.56 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐0.96377 0.4164 ‐2.31 0.0231 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 3.700028 0.6613 5.60 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 8.071256 0.4393 18.37 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 4.2223 0.2952 14.30 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐3.23502 0.5939 ‐5.45 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 1.317224 0.5377 2.45 0.0164 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 0.028981 0.3876 0.07 0.9406 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐3.72988 0.3478 ‐10.72 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 1.527454 0.3407 4.48 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 6.482882 0.3734 17.36 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 3.609548 0.4924 7.33 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 2.3753 0.5354 4.44 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 61.44018 0.9022 68.10 <.0001 Intercept BSK 1 1.228E‐6 4.785E‐7 2.57 0.0121 BSK KRTCAP 1 0.001325 0.000237 5.59 <.0001
182
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: AMH AMH Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 22.3300 DFE 81 MSE 0.2757 Root MSE 0.5251 R‐Square 0.9948 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 81 640.59 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 21.93166 0.5847 37.51 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 21.02355 0.4229 49.71 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 20.84239 0.4607 45.24 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 22.22797 0.4226 52.60 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 21.39638 0.4341 49.29 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 20.8407 0.4175 49.92 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 21.1358 0.5655 37.37 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 19.75888 0.6938 28.48 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 17.97038 0.7754 23.18 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 11.8157 1.0511 11.24 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 13.7145 0.6256 21.92 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 11.68728 0.4625 25.27 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 6.535618 0.8043 8.13 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 12.87487 0.7232 17.80 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 15.13792 0.5267 28.74 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 20.80861 0.4684 44.42 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 19.35648 0.4905 39.47 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 25.49593 0.5594 45.58 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 11.29956 0.6649 16.99 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 24.96826 0.7198 34.69 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 71.15078 1.2060 59.00 <.0001 Intercept BSK 1 5.312E‐7 1.584E‐6 0.34 0.7382 BSK BSP 1 4.04E‐7 4.551E‐7 0.89 0.3774 BSP KRTCAP 1 0.000856 0.000320 2.68 0.0090
183
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: RLS RLS Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 0.7092 DFE 81 MSE 0.0088 Root MSE 0.0936 R‐Square 0.9895 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 81 287.24 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 2.48327 0.1067 23.27 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 2.058631 0.0709 29.02 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 1.772071 0.0727 24.36 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 1.993056 0.0628 31.71 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 1.400744 0.0674 20.80 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 1.099648 0.0616 17.85 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 2.121855 0.1020 20.80 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 1.40423 0.1225 11.47 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 0.897531 0.1279 7.02 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 0.494993 0.1838 2.69 0.0086 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 2.605316 0.1155 22.55 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 1.39609 0.0776 17.98 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 1.044383 0.1432 7.29 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 0.695539 0.1284 5.42 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 0.66624 0.0939 7.10 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 1.309376 0.0833 15.72 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 2.017669 0.0761 26.51 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 2.893203 0.0955 30.28 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 1.27015 0.1227 10.35 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 2.886834 0.1287 22.43 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 5.114478 0.2190 23.35 <.0001 Intercept BSP 1 4.403E‐8 3.384E‐8 1.30 0.1970 BSP KRTCAP 1 0.000308 0.000052 5.89 <.0001 APSD 1 ‐0.08232 0.0361 ‐2.28 0.0253 APSD
184
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PPP PPP Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 1120.3852 DFE 82 MSE 13.6632 Root MSE 3.6964 R‐Square 0.9411 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 82 60.41 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 29.74814 3.3015 9.01 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 36.08537 4.3929 8.21 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 39.92786 2.5337 15.76 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 40.01833 2.6524 15.09 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 42.09954 2.5586 16.45 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 23.14077 3.0112 7.68 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 56.72577 3.7442 15.15 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 52.80625 3.8513 13.71 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 65.88268 15.6321 4.21 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 72.94951 8.2632 8.83 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 79.4364 3.7585 21.14 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 44.10974 2.6768 16.48 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 77.64939 4.7749 16.26 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 37.42984 4.2827 8.74 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 47.29236 3.1569 14.98 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 51.84096 2.8606 18.12 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 18.05133 3.1389 5.75 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 52.80359 3.3459 15.78 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 63.71976 3.8795 16.42 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 47.70833 4.5697 10.44 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 519.7975 7.6547 67.91 <.0001 Intercept U 1 ‐0.00002 6.502E‐6 ‐2.32 0.0229 U KRTCAP 1 0.017271 0.00176 9.80 <.0001
185
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKDK TKDK Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 21 Time Series Length 5 Fit Statistics SSE 71.2700 DFE 83 MSE 0.8587 Root MSE 0.9266 R‐Square 0.9906 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 20 83 230.91 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label CS1 1 ‐12.184 0.5898 ‐20.66 <.0001 Cross Sectional Effect 1 CS2 1 ‐21.7847 0.7926 ‐27.49 <.0001 Cross Sectional Effect 2 CS3 1 ‐24.5333 0.8099 ‐30.29 <.0001 Cross Sectional Effect 3 CS4 1 ‐23.3876 0.8673 ‐26.97 <.0001 Cross Sectional Effect 4 CS5 1 ‐24.8834 0.7981 ‐31.18 <.0001 Cross Sectional Effect 5 CS6 1 ‐16.8036 0.7243 ‐23.20 <.0001 Cross Sectional Effect 6 CS7 1 ‐14.1794 0.7694 ‐18.43 <.0001 Cross Sectional Effect 7 CS8 1 ‐15.6547 0.6639 ‐23.58 <.0001 Cross Sectional Effect 8 CS9 1 ‐22.7349 0.7946 ‐28.61 <.0001 Cross Sectional Effect 9 CS10 1 ‐14.8839 0.8342 ‐17.84 <.0001 Cross Sectional Effect 10 CS11 1 ‐14.8923 1.0273 ‐14.50 <.0001 Cross Sectional Effect 11 CS12 1 ‐29.3509 0.7885 ‐37.22 <.0001 Cross Sectional Effect 12 CS13 1 ‐10.1626 0.8299 ‐12.25 <.0001 Cross Sectional Effect 13 CS14 1 ‐11.8521 0.5869 ‐20.20 <.0001 Cross Sectional Effect 14 CS15 1 ‐23.3446 0.7198 ‐32.43 <.0001 Cross Sectional Effect 15 CS16 1 ‐28.3513 0.8317 ‐34.09 <.0001 Cross Sectional Effect 16 CS17 1 ‐24.6596 0.8438 ‐29.23 <.0001 Cross Sectional Effect 17 CS18 1 ‐26.1381 0.7551 ‐34.62 <.0001 Cross Sectional Effect 18 CS19 1 ‐21.6201 0.7925 ‐27.28 <.0001 Cross Sectional Effect 19 CS20 1 ‐6.97159 0.6085 ‐11.46 <.0001 Cross Sectional Effect 20 Intercept 1 111.7009 10.1613 10.99 <.0001 Intercept PPP 1 ‐0.12184 0.0172 ‐7.08 <.0001 PPP
187
Lampiran 3. Program Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia /* PROGRAM SIMULASI MODEL HUBUNGAN FISKAL DAN IPM */ /* ============================================== */ Option ps=500 ls=240 nocenter nodate nonumber; LIBNAME IN 'C:\; Data dt; set in.raw110112; BLJ = GPST+GPSI+GPSB+BSP+BSK+BSL; *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; NX1 = NX; NX = NX1+(PKP‐BLJ); *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; KRTCAP = PKRT/POP; BSPK = BSP+BSK; PDRBEXP= PKRT+BLJ+PMTB+NX; PDRBSEC=TQST+TQSI+TQSB+TQSLL; TKS = TKST+TKSI+TKKSB+TKKSL; U = AK‐TKS; RTQSB=TQSB/PDRBSEC; TTKKSB= TKKSB*TREN; LOGTKST=LOG(TKST); IHP = ((AHH‐25)/(85‐25)); IP = (1/3)*(RLS/15)+(2/3)*(AMH/100); IHL = ((PPP‐360)/(732.720‐300)); IF PROV=72 THEN DELETE; *Variabel dummy propinsi; if PROV=11 then D11=1; else D11=0; if PROV=12 then D12=1; else D12=0; if PROV=13 then D13=1; else D13=0; if PROV=14 then D14=1; else D14=0; if PROV=15 then D15=1; else D15=0; if PROV=16 then D16=1; else D16=0; if PROV=17 then D17=1; else D17=0; if PROV=18 then D18=1; else D18=0; if PROV=32 then D32=1; else D32=0; if PROV=33 then D33=1; else D33=0; if PROV=34 then D34=1; else D34=0; if PROV=51 then D51=1; else D51=0; if PROV=52 then D52=1; else D52=0; if PROV=53 then D53=1; else D53=0; if PROV=61 then D61=1; else D61=0; if PROV=63 then D63=1; else D63=0; if PROV=64 then D64=1; else D64=0; if PROV=71 then D71=1; else D71=0; if PROV=73 then D73=1; else D73=0; if PROV=81 then D81=1; else D81=0; run; Proc simnlin data=dt out=hasil stats simulate outpredict theil; Endogenous PJKD DAU PAD DNP PAT BSP BSK GPST GPSI GPSB GPSLL BSPK BLJ PKRT PMTB PDRBEXP KRTCAP TQST TQSI TQSB TQSLL RTQSB PDRBSEC TKST TKSI TKKSB TKKSL TKS U AHH AMH RLS PPP TKDK IHP IP IHL IPM; Exogenous PP POP PNS KUK LOGTKST TTKKSB JLHK NPJKD DAK BHPBP PLAIN NX AK APSD; LOGTKST=LOG(TKST); Parms /* PJKD DAU BSP BSK GPST GPSI */ d111 ‐322740 d211 ‐1020098 d311 ‐448135 d411 ‐222401 d511 140134.8 d611 12036.3 d112 449400.5 d212 ‐1671898 d312 ‐1344272 d412 ‐454543 d512 ‐6408.61 d612 4315.63 d113 34088.64 d213 215350.8 d313 70860.1 d413 ‐137131 d513 37370.3 d613 ‐6159.16 d114 ‐185510 d214 ‐2812575 d314 156775.9 d414 ‐131228 d514 108335.4 d614 ‐5925.61 d115 ‐200386 d215 ‐405987 d315 493897.2 d415 1085.218 d515 83258.86 d615 775.1274 d116 ‐52791.2 d216 ‐1458145 d316 ‐241643 d416 ‐184153 d516 18900.68 d616 ‐8584.98 d117 ‐267749 d217 ‐12921.7 d317 632110.2 d417 93758.09 d517 86030.17 d617 2038.54 d118 ‐126410 d218 ‐931369 d318 92549.43 d418 ‐172673 d518 30308.21 d618 ‐2620.79 d132 1486278 d232 ‐7846791 d332 ‐3475777 d432 ‐1239236 d532 ‐235978 d632 3949.63
188
d133 716330.6 d233 ‐4688470 d333 ‐3239379 d433 ‐1180025 d533 ‐216635 d633 ‐20884.4 d134 ‐99427.4 d234 ‐324851 d334 200147.3 d434 ‐91554.3 d534 16050.07 d634 ‐4254.51 d151 205928.2 d251 ‐441417 d351 353582.1 d451 ‐42635.4 d551 38633.35 d651 4870.53 d152 ‐248039 d252 ‐416506 d352 370967.1 d452 ‐20152.4 d552 77751.22 d652 ‐800.38 d153 ‐336373 d253 95117.08 d353 74449.7 d453 ‐59878.5 d553 100202.5 d653 1602.305 d161 ‐236657 d261 80766.03 d361 320211.8 d461 16613.52 d561 67681.75 d661 ‐6266.28 d163 ‐50367.2 d263 ‐126597 d363 300929.5 d463 43016.52 d563 52109.76 d663 ‐6553.37 d164 ‐178463 d264 ‐2545593 d364 ‐92659.4 d464 ‐142733 d564 ‐6087.67 d664 ‐5997.91 d171 ‐255484 d271 38032.48 d371 458080.7 d471 ‐43364.6 d571 48937.37 d671 ‐1101.26 d173 ‐4715.28 d273 ‐596506 d373 ‐992500 d473 ‐346463 d573 54564.25 d673 8413.099 d181 ‐316288 d281 322270.7 d381 568806.4 d481 60891.81 d581 77449.23 d681 5647.112 a10 289904.4 a20 8243.43 a30 ‐1318667 a40 ‐221187 a50 ‐52673.8 a60 ‐3061.87 a11 0.038427 a21 0.384778 a31 0.180641 a41 0.068016 a51 0.052731 a61 0.004244 a12 0.011069 a22 243.3648 a32 14.67299 a42 3.734001 /* GPSB GPSLL PKRT PMTB TQST TQSI */ d711 33725.2 d811 ‐784367 d911 ‐1.027E7 d1011 ‐4708754 d1111 3859227 d1211 1735093 d712 ‐8702.48 d812 ‐1619725 d912 ‐4746663 d1012 ‐5024298 d1112 18932555 d1212 1978928 d713 ‐76930.6 d813 ‐1705581 d913 ‐1753314 d1013 ‐2979768 d1113 4251728 d1213 ‐1521884 d714 296996 d814 ‐757007 d914 ‐2.134E7 d1014 841032.9 d1114 9954762 d1214 2284158 d715 145731.7 d815 ‐1311459 d915 1643283 d1015 ‐2547736 d1115 1407421 d1215 ‐193872 d716 453480.1 d816 ‐1257918 d916 ‐1637644 d1016 ‐1218538 d1116 6819794 d1216 3812830 d717 120918.7 d817 ‐1247765 d917 789363.1 d1017 ‐2544318 d1117 99476.5 d1217 ‐107028 d718 10892.96 d818 ‐1462457 d918 ‐4466576 d1018 ‐3276247 d1118 9862242 d1218 ‐3706125 d732 ‐710255 d832 ‐1681313 d932 ‐3800595 d1032 ‐1.17E7 d1132 30347457 d1232 ‐1.843E7 d733 ‐982970 d833 ‐3420424 d933 ‐1.023E7 d1033 ‐8159276 d1133 26062661 d1233 ‐7.582E7 d734 ‐91423.3 d834 ‐1236756 d934 ‐2650788 d1034 ‐684539 d1134 835929.1 d1234 ‐8334906 d751 ‐116986 d851 ‐1326276 d951 ‐1665457 d1051 ‐2862344 d1151 1932211 d1251 ‐1.113E7 d752 ‐64137.8 d852 ‐1335233 d952 ‐3230011 d1052 ‐1035419 d1152 1098871 d1252 ‐6992601 d753 ‐49639 d853 ‐1341364 d953 1044685 d1053 ‐2644861 d1153 715280.8 d1253 ‐5090241 d761 177354.2 d861 ‐1441795 d961 ‐2732799 d1061 102943.7 d1161 3014017 d1261 764763.1 d763 64098.03 d863 ‐1412516 d963 ‐3930160 d1063 ‐4028856 d1163 2863202 d1263 ‐2540340 d764 624023.5 d864 180859.9 d964 ‐3.668E7 d1064 ‐6262546 d1164 3042283 d1264 27237630 d771 ‐15732.1 d871 ‐1221731 d971 ‐1592845 d1071 ‐2109849 d1171 532116.5 d1271 ‐973965 d773 ‐6868.65 d873 ‐1228219 d973 ‐4786295 d1073 ‐3551010 d1173 8032401 d1273 ‐3514187 d781 57353.58 d881 ‐961979 d981 1115942 d1081 ‐2297894 d1181 ‐1251487 d1281 ‐577419 a70 ‐84519.4 a80 1259697 a90 ‐1641900 a100 1688554 a110 ‐3342166 a120 ‐633306 a71 0.211716 a81 0.129308 a91 0.524469 a101 0.198536 a111 404676.2 a121 47.97675 a82 1.893701 a92 932.8044 a102 199.449 a112 5.170432 a122 41.00406 /* TQSB TQSLL TKST TKSI TKKSB TKKSL */ d1311 389223 d1411 2350375 d1511 16316.74 d1611 ‐8174.12 d1711 63159.87 d1811 120474.6 d1312 4174885 d1412 5688842 d1512 1756355 d1612 134166.5 d1712 163106.1 d1812 979606.9 d1313 302933.5 d1413 ‐3006234 d1513 7931.17 d1613 66483.83 d1713 47361.88 d1813 443856.8 d1314 822760.5 d1414 34701256 d1514 106921.6 d1614 23069.27 d1714 130986.4 d1814 ‐568953 d1315 ‐474439 d1415 ‐9627351 d1515 ‐187274 d1615 25262.89 d1715 26809.9 d1815 375437.2 d1316 2343410 d1416 6903281 d1516 1133570 d1616 2806.191 d1716 63446.35 d1816 234732.2 d1317 ‐714784 d1417 ‐9471114 d1517 ‐367113 d1617 10321.24 d1717 19744.12 d1817 294651.6 d1318 328811.9 d1418 ‐8711327 d1518 1197140 d1618 115380.8 d1718 74115.66 d1818 687471.9 d1332 4751136 d1432 10556211 d1532 3401593 d1632 1322715 d1732 870336.5 d1832 4795839 d1333 4892254 d1433 ‐2.188E7 d1533 5265694 d1633 1979758 d1733 838083.9 d1833 4293445 d1334 361330.2 d1434 ‐1.136E7 d1534 ‐238796 d1634 203596.6 d1734 71320.37 d1834 694701.6 d1351 ‐414232 d1451 ‐9112684 d1551 ‐213367 d1651 248270.3 d1751 107597.8 d1851 663141.9 d1352 74213.78 d1452 ‐8643087 d1552 32890.72 d1652 157258.4 d1752 30682.99 d1852 614330.6 d1353 ‐327034 d1453 ‐9674641 d1553 677232 d1653 107512 d1753 9306.583 d1853 381572.1 d1361 729908.1 d1461 ‐6381365 d1561 329425.2 d1661 29795.07 d1761 20478.4 d1861 400978.9 d1363 153068.8 d1463 ‐4867013 d1563 ‐154765 d1663 83536.25 d1763 32128.67 d1863 409587.5 d1364 1292445 d1464 33444036 d1564 ‐490143 d1664 ‐292587 d1764 81721.37 d1864 ‐766376 d1371 1206322 d1471 ‐7785979 d1571 ‐494376 d1671 36004.11 d1771 ‐58136.1 d1871 381504.4 d1373 380639.3 d1473 ‐4647583 d1573 857083.5 d1673 104375.5 d1773 120292.9 d1873 751824.2 d1381 ‐853640 d1481 ‐1.039E7 d1581 ‐600259 d1681 14146.07 d1781 24091.87 d1881 280021.4 a130 708031.3 a140 9963777 a150 878637.3 a160 3274.099 a170 ‐20827.4 a180 ‐196373 a131 0.683962 a141 9.25683 a151 0.000212 a161 0.012318 a171 781324.4 a181 0.028022 a132 0.371688 a142 0.540797 a133 0.095129 a143 2.262018 /* AHH AMH RLS PPP TKDK */ d1911 2.662657 d2011 21.93166 d2111 2.48327 d2211 29.74814 d2311 ‐12.184 d1912 0.886592 d2012 21.02355 d2112 2.058631 d2212 36.08537 d2312 ‐21.7847 d1913 1.354417 d2013 20.84239 d2113 1.772071 d2213 39.92786 d2313 ‐24.5333 d1914 3.338913 d2014 22.22797 d2114 1.993056 d2214 40.01833 d2314 ‐23.3876 d1915 2.005094 d2015 21.39638 d2115 1.400744 d2215 42.09954 d2315 ‐24.8834 d1916 0.835177 d2016 20.8407 d2116 1.099648 d2216 23.14077 d2316 ‐16.8036 d1917 3.783513 d2017 21.1358 d2117 2.121855 d2217 56.72577 d2317 ‐14.1794 d1918 3.590489 d2018 19.75888 d2118 1.40423 d2218 52.80625 d2318 ‐15.6547 d1932 ‐0.96377 d2032 17.97038 d2132 0.897531 d2232 65.88268 d2332 ‐22.7349 d1933 3.700028 d2033 11.8157 d2133 0.494993 d2233 72.94951 d2333 ‐14.8839 d1934 8.071256 d2034 13.7145 d2134 2.605316 d2234 79.4364 d2334 ‐14.8923 d1951 4.2223 d2051 11.68728 d2151 1.39609 d2251 44.10974 d2351 ‐29.3509 d1952 ‐3.23502 d2052 6.535618 d2152 1.044383 d2252 77.64939 d2352 ‐10.1626 d1953 1.317224 d2053 12.87487 d2153 0.695539 d2253 37.42984 d2353 ‐11.8521 d1961 0.028981 d2061 15.13792 d2161 0.66624 d2261 47.29236 d2361 ‐23.3446 d1963 ‐3.72988 d2063 20.80861 d2163 1.309376 d2263 51.84096 d2363 ‐28.3513 d1964 1.527454 d2064 19.35648 d2164 2.017669 d2264 18.05133 d2364 ‐24.6596
189
d1971 6.482882 d2071 25.49593 d2171 2.893203 d2271 52.80359 d2371 ‐26.1381 d1973 3.609548 d2073 11.29956 d2173 1.27015 d2273 63.71976 d2373 ‐21.6201 d1981 2.3753 d2081 24.96826 d2181 2.886834 d2281 47.70833 d2381 ‐6.97159 a190 61.44018 a200 71.15078 a210 5.114478 a220 519.7975 a230 111.7009 a191 1.228E‐6 a201 5.312E‐7 a211 4.403E‐8 a221 ‐0.00002 a231 ‐0.12184 a192 0.001325 a202 4.04E‐7 a212 0.000308 a222 0.017271 a203 0.000856 a213 ‐0.08232 ; *BLOK PENDAPATAN DAERAH; *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; PJKD = a10+a11*BLJ+a12*PP+ d111*D11+d112*D12+d113*D13+d114*D14+d115*D15+d116*D16+d117*D17+d118*D18+d132*D32+d133*D33+ d134*D34+d151*D51+d152*D52+d153*D53+d161*D61+d163*D63+d164*D64+d171*D71+d173*D73+d181*D81; DAU = a20+a21*blj+a22*POP+ d211*D11+d212*D12+d213*D13+d214*D14+d215*D15+d216*D16+d217*D17+d218*D18+d232*D32+d233*D33+ d234*D34+d251*D51+d252*D52+d253*D53+d261*D61+d263*D63+d264*D64+d271*D71+d273*D73+d281*D81; PAD = PJKD+NPJKD; DNP = DAU+DAK+BHPBP+PLAIN; PAT = PAD+DNP; * BLOK BELANJA DAERAH ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; BSP = a30+a31*PAT+a32*PNS+ d311*D11+d312*D12+d313*D13+d314*D14+d315*D15+d316*D16+d317*D17+d318*D18+d332*D32+d333*D33+ d334*D34+d351*D51+d352*D52+d353*D53+d361*D61+d363*D63+d364*D64+d371*D71+d373*D73+d381*D81; BSK = a40+a41*PAT+a42*PNS+ d411*D11+d412*D12+d413*D13+d414*D14+d415*D15+d416*D16+d417*D17+d418*D18+d432*D32+d433*D33+ d434*D34+d451*D51+d452*D52+d453*D53+d461*D61+d463*D63+d464*D64+d471*D71+d473*D73+d481*D81; GPST = a50+a51*PAT+ d511*D11+d512*D12+d513*D13+d514*D14+d515*D15+d516*D16+d517*D17+d518*D18+d532*D32+d533*D33+ d534*D34+d551*D51+d552*D52+d553*D53+d561*D61+d563*D63+d564*D64+d571*D71+d573*D73+d581*D81; GPSI = a60+a61*PAT+ d611*D11+d612*D12+d613*D13+d614*D14+d615*D15+d616*D16+d617*D17+d618*D18+d632*D32+d633*D33+ d634*D34+d651*D51+d652*D52+d653*D53+d661*D61+d663*D63+d664*D64+d671*D71+d673*D73+d681*D81; GPSB = a70+a71*PAT+ d711*D11+d712*D12+d713*D13+d714*D14+d715*D15+d716*D16+d717*D17+d718*D18+d732*D32+d733*D33+ d734*D34+d751*D51+d752*D52+d753*D53+d761*D61+d763*D63+d764*D64+d771*D71+d773*D73+d781*D81; GPSLL= a80+a81*PAT+a82*BSPK+ d811*D11+d812*D12+d813*D13+d814*D14+d815*D15+d816*D16+d817*D17+d818*D18+d832*D32+d833*D33+ d834*D34+d851*D51+d852*D52+d853*D53+d861*D61+d863*D63+d864*D64+d871*D71+d873*D73+d881*D81; BSPK = BSP+BSK; BLJ = GPST+GPSI+GPSB+GPSLL; * BLOK PERMINTAAN AGREGAT ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; PKRT = a90+a91*PDRBSEC+a92*POP+ d911*D11+d912*D12+d913*D13+d914*D14+d915*D15+d916*D16+d917*D17+d918*D18+d932*D32+d933*D33+ d934*D34+d951*D51+d952*D52+d953*D53+d961*D61+d963*D63+d964*D64+d971*D71+d973*D73+d981*D81; PMTB = a100+a101*PDRBSEC+a102*KUK+ d1011*D11+d1012*D12+d1013*D13+d1014*D14+d1015*D15+d1016*D16+d1017*D17+d1018*D18+d1032*D32+ d1033*D33+d1034*D34+d1051*D51+d1052*D52+d1053*D53+d1061*D61+d1063*D63+d1064*D64+d1071*D71+ d1073*D73+d1081*D81; PDRBEXP= PKRT+BLJ+PMTB+NX; KRTCAP=PKRT/POP; * BLOK PENAWARAN AGREGAT ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; TQST = a110+a111*LOGTKST+a112*GPST+ d1111*D11+d1112*D12+d1113*D13+d1114*D14+d1115*D15+d1116*D16+d1117*D17+d1118*D18+d1132*D32+ d1133*D33+d1134*D34+d1151*D51+d1152*D52+d1153*D53+d1161*D61+d1163*D63+d1164*D64+d1171*D71+ d1173*D73+d1181*D81; TQSI = a120+a121*TKSI+a122*GPSI+ d1211*D11+d1212*D12+d1213*D13+d1214*D14+d1215*D15+d1216*D16+d1217*D17+d1218*D18+d1232*D32+ d1233*D33+d1234*D34+d1251*D51+d1252*D52+d1253*D53+d1261*D61+d1263*D63+d1264*D64+d1271*D71+ d1273*D73+d1281*D81;
190
TQSB = a130+a131*TTKKSB+a132*GPSB+a133*JLHK+ d1311*D11+d1312*D12+d1313*D13+d1314*D14+d1315*D15+d1316*D16+d1317*D17+d1318*D18+d1332*D32+ d1333*D33+d1334*D34+d1351*D51+d1352*D52+d1353*D53+d1361*D61+d1363*D63+d1364*D64+d1371*D71+ d1373*D73+d1381*D81; TQSLL= a140+a141*TKKSL+a142*GPSLL+a143*JLHK+ d1411*D11+d1412*D12+d1413*D13+d1414*D14+d1415*D15+d1416*D16+d1417*D17+d1418*D18+d1432*D32+ d1433*D33+d1434*D34+d1451*D51+d1452*D52+d1453*D53+d1461*D61+d1463*D63+d1464*D64+d1471*D71+ d1473*D73+d1481*D81; RTQSB=TQSB/PDRBSEC; PDRBSEC=TQST+TQSI+TQSB+TQSLL; * BLOK TENAGA KERJA ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; TKST = a150+a151*TQST+ d1511*D11+d1512*D12+d1513*D13+d1514*D14+d1515*D15+d1516*D16+d1517*D17+d1518*D18+d1532*D32+ d1533*D33+d1534*D34+d1551*D51+d1552*D52+d1553*D53+d1561*D61+d1563*D63+d1564*D64+d1571*D71+ d1573*D73+d1581*D81; TKSI = a160+a161*TQSI+ d1611*D11+d1612*D12+d1613*D13+d1614*D14+d1615*D15+d1616*D16+d1617*D17+d1618*D18+d1632*D32+ d1633*D33+d1634*D34+d1651*D51+d1652*D52+d1653*D53+d1661*D61+d1663*D63+d1664*D64+d1671*D71+ d1673*D73+d1681*D81; TKKSB= a170+a171*RTQSB+ d1711*D11+d1712*D12+d1713*D13+d1714*D14+d1715*D15+d1716*D16+d1717*D17+d1718*D18+d1732*D32+ d1733*D33+d1734*D34+d1751*D51+d1752*D52+d1753*D53+d1761*D61+d1763*D63+d1764*D64+d1771*D71+ d1773*D73+d1781*D81; TKKSL= a180+a181*TQSLL+ d1811*D11+d1812*D12+d1813*D13+d1814*D14+d1815*D15+d1816*D16+d1817*D17+d1818*D18+d1832*D32+ d1833*D33+d1834*D34+d1851*D51+d1852*D52+d1853*D53+d1861*D61+d1863*D63+d1864*D64+d1871*D71+ d1873*D73+d1881*D81; TKS = TKST+TKSI+TKKSB+TKKSL; U = AK‐TKS; * BLOK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; AHH = a190+a191*BSK+a192*KRTCAP+ d1911*D11+d1912*D12+d1913*D13+d1914*D14+d1915*D15+d1916*D16+d1917*D17+d1918*D18+d1932*D32+ d1933*D33+d1934*D34+d1951*D51+d1952*D52+d1953*D53+d1961*D61+d1963*D63+d1964*D64+d1971*D71+ d1973*D73+d1981*D81; AMH = a200+a201*BSK+a202*BSP+a203*KRTCAP+ d2011*D11+d2012*D12+d2013*D13+d2014*D14+d2015*D15+d2016*D16+d2017*D17+d2018*D18+d2032*D32+ d2033*D33+d2034*D34+d2051*D51+d2052*D52+d2053*D53+d2061*D61+d2063*D63+d2064*D64+d2071*D71+ d2073*D73+d2081*D81; RLS = a210+a211*BSP+a212*KRTCAP+a213*APSD+ d2111*D11+d2112*D12+d2113*D13+d2114*D14+d2115*D15+d2116*D16+d2117*D17+d2118*D18+d2132*D32+ d2133*D33+d2134*D34+d2151*D51+d2152*D52+d2153*D53+d2161*D61+d2163*D63+d2164*D64+d2171*D71+ d2173*D73+d2181*D81; PPP = a220+a221*U+a222*KRTCAP+ d2211*D11+d2212*D12+d2213*D13+d2214*D14+d2215*D15+d2216*D16+d2217*D17+d2218*D18+d2232*D32+ d2233*D33+d2234*D34+d2251*D51+d2252*D52+d2253*D53+d2261*D61+d2263*D63+d2264*D64+d2271*D71+ d2273*D73+d2281*D81; TKDK = a230+a231*PPP+ d2311*D11+d2312*D12+d2313*D13+d2314*D14+d2315*D15+d2316*D16+d2317*D17+d2318*D18+d2332*D32+ d2333*D33+d2334*D34+d2351*D51+d2352*D52+d2353*D53+d2361*D61+d2363*D63+d2364*D64+d2371*D71+ d2373*D73+d2381*D81; IHP = ((AHH‐25)/(85‐25)); IP = (1/3)*(RLS/15)+(2/3)*(AMH/100); IHL = ((PPP‐360)/(732.720‐300)); IPM = (1/3)*(IHP+IP+IHL)*100; RUN;
191
Lampiran 4. Hasil Validasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 52 Endogenous 38 Exogenous 14 Parameters 525 Equations 39 Number of Statements 39 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= DT OUT= HASIL Solution Summary Variables Solved 38 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.32E‐14 Maximum Iterations 2 Total Iterations 210 Average Iterations 2 Observations Processed Read 105 Solved 105 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
192
Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PJKD 105 105 476753 572920 481566 540645 PJKD DAU 105 105 2469343 1921812 2517539 1910509 DAU PAD 105 105 702987 765404 726095 768630 PAD DNP 105 105 3600011 2354694 4068197 2752369 DNP PAT 105 105 4650130 3249866 4794292 3441288 PAT BSP 105 105 1169348 1124502 1195389 1122361 BSP BSK 105 105 381540 290599 391345 298029 BSK GPST 105 105 219799 121848 227401 126689 GPST GPSI 105 105 15457.8 14565.0 16070.8 14688.0 GPSI GPSB 105 105 893363 604688 923886 626338 GPSB GPSLL 105 105 3532532 2730835 3619054 2793662 GPSLL BSPK 105 105 1550888 1408301 1586733 1413097 BLJ 105 105 4661152 3363180 4786412 3453997 BLJ PKRT 105 105 26268198 38122285 26359620 37962962 PKRT PMTB 105 105 9105856 10500705 9136436 10408115 PMTB PDRBEXP 105 105 49863092 59802665 50110353 59483217 PDRBEXP KRTCAP 105 105 3210.7 959.2 3245.5 1043.9 TQST 105 105 9709343 9163807 9748646 9120215 TQST TQSI 105 105 12986648 25974167 13047886 25783741 TQSI TQSB 105 105 2406790 2372168 2418136 2360919 TQSB TQSLL 105 105 24761602 24814011 24824545 24711425 TQSLL RTQSB 105 105 0.0562 0.0296 0.0560 0.0300 PDRBSEC 105 105 49864383 59801738 50039213 59479370 PDRBSEC TKST 105 105 1453845 1402319 1453850 1399883 TKST TKSI 105 105 371039 753404 371793 751636 TKSI TKKSB 105 105 153368 237844 153253 236973 TKKSB TKKSL 105 105 1234052 1826185 1235825 1822621 TKKSL TKS 105 105 3212304 4107566 3214721 4102749 U 105 105 355341 552616 352925 571804 U AHH 105 105 68.1555 2.8600 68.2145 2.8684 AHH AMH 105 105 91.7568 6.4063 91.8018 6.2808 AMH RLS 105 105 7.6323 0.8043 7.6433 0.7872 RLS PPP 105 105 616.5 13.5216 615.4 13.3842 PPP TKDK 105 105 18.0858 8.5387 18.2228 8.2843 TKDK IHP 105 105 0.7193 0.0477 0.7202 0.0478 IP 105 105 0.7813 0.0572 0.7819 0.0558 IHL 105 105 0.5928 0.0312 0.5903 0.0309 IHL IPM 105 105 69.7815 3.3912 69.7466 3.2497 IPM
193
Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R‐Square Label PJKD 105 4813.1 37.5595 81812.1 52.4418 173081 146.4 0.9079 PJKD DAU 105 48196.0 5.9239 367739 20.0822 502921 30.5497 0.9309 DAU PAD 105 23108.5 14.7629 79744.6 23.5937 161200 60.8121 0.9552 PAD DNP 105 468186 15.8394 599232 19.8106 1125417 33.6878 0.7694 DNP PAT 105 144162 4.4732 484473 11.5240 1161426 21.6684 0.8711 PAT BSP 105 26040.6 5.3439 153794 16.9020 283326 34.8921 0.9359 BSP BSK 105 9805.2 4.7607 53213.1 15.4644 94498.9 23.5304 0.8932 BSK GPST 105 7601.6 7.7158 40054.5 18.6414 75021.3 29.4718 0.6173 GPST GPSI 105 613.0 11.2926 3388.8 28.8112 6618.5 64.4215 0.7915 GPSI GPSB 105 30523.6 6.8047 149042 16.4840 295523 26.8588 0.7589 GPSB GPSLL 105 86521.7 4.3112 461439 13.8192 838588 20.8905 0.9048 GPSLL BSPK 105 35845.9 4.9792 201886 15.7205 372856 29.2463 0.9292 BLJ 105 125260 4.9965 624566 13.8750 1189889 22.0812 0.8736 BLJ PKRT 105 91421.4 0.7702 1245498 5.5304 2459344 8.0040 0.9958 PKRT PMTB 105 30579.9 0.5343 623177 13.0480 1009892 24.5316 0.9907 PMTB PDRBEXP 105 247261 1.3131 2045852 4.7831 3793187 9.9487 0.9959 PDRBEXP KRTCAP 105 34.7745 0.7702 185.7 5.5304 304.8 8.0040 0.8981 TQST 105 39303.4 1.4084 403377 5.0100 645320 10.4331 0.9950 TQST TQSI 105 61238.0 12.2692 991563 29.8779 2887126 112.7 0.9875 TQSI TQSB 105 11345.9 0.5359 113576 11.3764 173372 25.2516 0.9946 TQSB TQSLL 105 62943.3 0.3638 1232722 7.0105 1904591 10.8771 0.9941 TQSLL RTQSB 105 ‐0.00015 ‐0.7330 0.00372 10.1711 0.00553 23.0147 0.9646 PDRBSEC 105 174831 0.9333 2343618 5.9037 4745486 10.8769 0.9936 PDRBSEC TKST 105 4.9215 0.3410 51245.4 4.2463 82121.3 5.8473 0.9965 TKST TKSI 105 753.7 13.2117 24911.4 23.5027 45478.1 73.3079 0.9963 TKSI TKKSB 105 ‐115.1 1.6681 13450.0 15.7009 21323.3 25.8093 0.9919 TKKSB TKKSL 105 1772.8 1.4935 51422.3 6.7130 88561.7 13.3377 0.9976 TKKSL TKS 105 2416.3 0.3028 72927.8 2.5118 160701 4.3101 0.9985 U 105 ‐2416.3 ‐5.5343 72927.8 30.8894 160701 75.2734 0.9146 U AHH 105 0.0590 0.0898 0.3539 0.5212 0.5786 0.8549 0.9587 AHH AMH 105 0.0450 0.0626 0.3918 0.4425 0.5807 0.6968 0.9917 AMH RLS 105 0.0110 0.1855 0.0787 1.0686 0.1175 1.6875 0.9785 RLS PPP 105 ‐1.0995 ‐0.1701 4.5524 0.7365 7.7770 1.2650 0.6660 PPP TKDK 105 0.1370 1.5554 0.8224 5.3793 1.1094 7.5873 0.9830 TKDK IHP 105 0.000983 0.1451 0.00590 0.8265 0.00964 1.3581 0.9587 IP 105 0.000545 0.0887 0.00411 0.5441 0.00618 0.8761 0.9882 IHL 105 ‐0.00254 ‐0.3805 0.0105 1.7665 0.0180 3.0607 0.6660 IHL IPM 105 ‐0.0350 ‐0.0285 0.6112 0.8869 1.0125 1.5194 0.9100 IPM Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U Label PJKD 105 2.996E10 0.95 0.00 0.00 1.00 0.03 0.96 0.2329 0.1181 PJKD DAU 105 2.529E11 0.97 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.1610 0.0801 DAU PAD 105 2.599E10 0.98 0.02 0.02 0.96 0.00 0.98 0.1555 0.0771 PAD DNP 105 1.267E12 0.93 0.17 0.25 0.58 0.12 0.70 0.2620 0.1223 DNP PAT 105 1.349E12 0.94 0.02 0.11 0.88 0.03 0.96 0.2050 0.1005 PAT BSP 105 8.027E10 0.97 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.1750 0.0871 BSP BSK 105 8.9301E9 0.95 0.01 0.06 0.93 0.01 0.98 0.1974 0.0974 BSK GPST 105 5.6282E9 0.82 0.01 0.13 0.86 0.00 0.99 0.2989 0.1468 GPST GPSI 105 43804809 0.90 0.01 0.06 0.93 0.00 0.99 0.3123 0.1542 GPSI GPSB 105 8.733E10 0.89 0.01 0.09 0.90 0.01 0.98 0.2744 0.1348 GPSB GPSLL 105 7.032E11 0.95 0.01 0.05 0.94 0.01 0.98 0.1881 0.0930 GPSLL BSPK 105 1.39E11 0.97 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.1784 0.0886 BLJ 105 1.416E12 0.94 0.01 0.06 0.93 0.01 0.98 0.2074 0.1023 BLJ PKRT 105 6.048E12 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.99 0.0533 0.0267 PKRT PMTB 105 1.02E12 1.00 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0729 0.0365 PMTB PDRBEXP 105 1.439E13 1.00 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.0489 0.0244 PDRBEXP KRTCAP 105 92876.9 0.96 0.01 0.17 0.82 0.08 0.91 0.0910 0.0451 TQST 105 4.164E11 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.99 0.0484 0.0242 TQST TQSI 105 8.335E12 0.99 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0998 0.0500 TQSI TQSB 105 3.006E10 1.00 0.00 0.00 0.99 0.00 0.99 0.0514 0.0257 TQSB TQSLL 105 3.627E12 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0545 0.0272 TQSLL RTQSB 105 0.000031 0.98 0.00 0.03 0.97 0.01 0.99 0.0873 0.0436 PDRBSEC 105 2.252E13 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.99 0.0611 0.0306 PDRBSEC TKST 105 6.7439E9 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0407 0.0204 TKST TKSI 105 2.0683E9 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0544 0.0272 TKSI TKKSB 105 4.5468E8 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0756 0.0379 TKKSB TKKSL 105 7.8432E9 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0403 0.0202 TKKSL TKS 105 2.582E10 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0309 0.0155 U 105 2.582E10 0.96 0.00 0.07 0.93 0.01 0.99 0.2454 0.1213 U AHH 105 0.3348 0.98 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.0085 0.0042 AHH AMH 105 0.3373 1.00 0.01 0.03 0.96 0.05 0.95 0.0063 0.0032 AMH RLS 105 0.0138 0.99 0.01 0.01 0.99 0.02 0.97 0.0153 0.0077 RLS PPP 105 60.4817 0.83 0.02 0.07 0.91 0.00 0.98 0.0126 0.0063 PPP TKDK 105 1.2308 0.99 0.02 0.03 0.96 0.05 0.93 0.0555 0.0277 TKDK IHP 105 0.000093 0.98 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.0134 0.0067 IP 105 0.000038 0.99 0.01 0.03 0.96 0.05 0.94 0.0079 0.0039 IHL 105 0.000323 0.83 0.02 0.07 0.91 0.00 0.98 0.0303 0.0152 IHL IPM 105 1.0252 0.95 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.0145 0.0072 IPM
194
Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U Label PJKD 104 3.4298 0.79 0.00 0.05 0.95 0.31 0.69 0.6187 0.3701 PJKD DAU 104 0.0905 0.78 0.02 0.14 0.84 0.00 0.98 0.6553 0.3183 DAU PAD 104 0.6345 0.94 0.03 0.54 0.43 0.39 0.58 0.5057 0.2173 PAD DNP 104 0.1417 0.78 0.14 0.29 0.57 0.07 0.78 0.8056 0.3489 DNP PAT 104 0.0623 0.85 0.01 0.08 0.91 0.00 0.99 0.5334 0.2644 PAT BSP 104 0.1806 0.68 0.02 0.42 0.56 0.10 0.88 0.9378 0.4033 BSP BSK 104 0.0749 0.85 0.02 0.10 0.88 0.00 0.98 0.5522 0.2696 BSK GPST 104 0.1151 0.73 0.02 0.28 0.70 0.04 0.94 0.7906 0.3615 GPST GPSI 104 0.2282 0.98 0.01 0.27 0.72 0.20 0.79 0.2113 0.1008 GPSI GPSB 104 0.0808 0.81 0.03 0.16 0.81 0.01 0.96 0.6223 0.2964 GPSB GPSLL 104 0.0582 0.86 0.02 0.07 0.92 0.00 0.98 0.5227 0.2594 GPSLL BSPK 104 0.1228 0.75 0.02 0.29 0.69 0.05 0.93 0.7745 0.3520 BLJ 104 0.0623 0.84 0.02 0.09 0.89 0.00 0.98 0.5492 0.2695 BLJ PKRT 104 0.0146 1.00 0.04 0.44 0.52 0.39 0.57 0.1316 0.0631 PKRT PMTB 104 0.8528 1.00 0.02 0.91 0.08 0.88 0.10 0.3490 0.1498 PMTB PDRBEXP 104 0.0221 0.99 0.04 0.36 0.60 0.29 0.66 0.1768 0.0841 PDRBEXP KRTCAP 104 0.00758 0.91 0.02 0.33 0.65 0.16 0.82 0.4991 0.2260 TQST 104 0.0133 0.98 0.02 0.15 0.82 0.09 0.88 0.2144 0.1036 TQST TQSI 104 1.4319 0.95 0.03 0.17 0.80 0.07 0.90 0.3344 0.1592 TQSI TQSB 104 0.1793 0.99 0.02 0.68 0.29 0.63 0.35 0.2374 0.1083 TQSB TQSLL 104 0.0167 0.99 0.03 0.33 0.64 0.27 0.70 0.1544 0.0741 TQSLL RTQSB 104 0.0287 0.96 0.00 0.29 0.71 0.17 0.83 0.3372 0.1576 PDRBSEC 104 0.0182 0.99 0.04 0.38 0.58 0.32 0.63 0.1609 0.0767 PDRBSEC TKST 104 0.00359 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0962 0.0481 TKST TKSI 104 0.3645 0.92 0.02 0.27 0.71 0.12 0.85 0.4542 0.2094 TKSI TKKSB 104 0.0411 0.97 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.2411 0.1216 TKKSB TKKSL 104 0.0128 0.99 0.01 0.03 0.96 0.01 0.98 0.1456 0.0722 TKKSL TKS 104 0.00237 1.00 0.01 0.04 0.95 0.03 0.96 0.0799 0.0397 U 104 0.5119 0.82 0.01 0.18 0.81 0.02 0.97 0.6205 0.2981 U AHH 104 0.000073 0.94 0.01 0.02 0.96 0.00 0.99 0.3500 0.1756 AHH AMH 104 0.000048 0.98 0.01 0.00 0.99 0.03 0.97 0.1928 0.0980 AMH RLS 104 0.000273 0.96 0.01 0.00 0.99 0.01 0.98 0.2777 0.1411 RLS PPP 104 0.000163 0.75 0.02 0.36 0.62 0.09 0.89 0.8415 0.3733 PPP TKDK 104 0.00549 0.98 0.04 0.05 0.91 0.02 0.94 0.1875 0.0923 TKDK IHP 104 0.000183 0.94 0.01 0.02 0.96 0.00 0.99 0.3508 0.1758 IP 104 0.000075 0.98 0.01 0.00 0.99 0.02 0.97 0.2232 0.1136 IHL 104 0.000975 0.74 0.02 0.39 0.60 0.10 0.88 0.8749 0.3838 IHL IPM 104 0.000232 0.85 0.00 0.11 0.89 0.00 1.00 0.5520 0.2716 IPM
195
Lampiran 5. Program Simulasi Model Fiskal dan Indeks Pembangunan Manusia
(Kebijakan Afirmatif Terhadap Provinsi Quantil 1 IPM Terendah) Option ps=500 ls=240 nocenter nodate nonumber; Data EXO_F; set EXO_fORCST; *Simulasi 1 = KENAIKAN DANA ALOKASI UMUM; if PROV in (94 52 53 61 63) then DAU=DAU*1.4; else if PROV in (73 18 32 81 33) then DAU=DAU*1.2; else if PROV in (11 51 16 15 17) then DAU=DAU*1.2; else DAU=DAU*1.2; *Variabel dummy propinsi; if PROV=11 then D11=1; else D11=0; if PROV=12 then D12=1; else D12=0; if PROV=13 then D13=1; else D13=0; if PROV=14 then D14=1; else D14=0; if PROV=15 then D15=1; else D15=0; if PROV=16 then D16=1; else D16=0; if PROV=17 then D17=1; else D17=0; if PROV=18 then D18=1; else D18=0; if PROV=32 then D32=1; else D32=0; if PROV=33 then D33=1; else D33=0; if PROV=34 then D34=1; else D34=0; if PROV=51 then D51=1; else D51=0; if PROV=52 then D52=1; else D52=0; if PROV=53 then D53=1; else D53=0; if PROV=61 then D61=1; else D61=0; if PROV=63 then D63=1; else D63=0; if PROV=64 then D64=1; else D64=0; if PROV=71 then D71=1; else D71=0; if PROV=73 then D73=1; else D73=0; if PROV=81 then D81=1; else D81=0; IF 2009<=THN<=2015; run; Proc simnlin data=EXO_F out=hasil stats simulate outpredict theil; Endogenous PJKD PAD DNP PAT BSP BSK GPST GPSI GPSB GPSLL BSPK BLJ PKRT PMTB PDRBEXP KRTCAP TQST TQSI TQSB TQSLL RTQSB PDRBSEC TKST TKSI TKKSB TKKSL TKS U AHH AMH RLS PPP TKDK IHP IP IHL IPM; instruments PP POP PNS KUK LOGTKST TTKKSB JLHK NPJKD DAK BHPBP PLAIN NX AK APSD DAU;
196
Parms /* PJKD DAU BSP BSK GPST GPSI */ d111 ‐322740 d211 ‐1020098 d311 ‐448135 d411 ‐222401 d511 140134.8 d611 12036.3 d112 449400.5 d212 ‐1671898 d312 ‐1344272 d412 ‐454543 d512 ‐6408.61 d612 4315.63 d113 34088.64 d213 215350.8 d313 70860.1 d413 ‐137131 d513 37370.3 d613 ‐6159.16 d114 ‐185510 d214 ‐2812575 d314 156775.9 d414 ‐131228 d514 108335.4 d614 ‐5925.61 d115 ‐200386 d215 ‐405987 d315 493897.2 d415 1085.218 d515 83258.86 d615 775.1274 d116 ‐52791.2 d216 ‐1458145 d316 ‐241643 d416 ‐184153 d516 18900.68 d616 ‐8584.98 d117 ‐267749 d217 ‐12921.7 d317 632110.2 d417 93758.09 d517 86030.17 d617 2038.54 d118 ‐126410 d218 ‐931369 d318 92549.43 d418 ‐172673 d518 30308.21 d618 ‐2620.79 d132 1486278 d232 ‐7846791 d332 ‐3475777 d432 ‐1239236 d532 ‐235978 d632 3949.63 d133 716330.6 d233 ‐4688470 d333 ‐3239379 d433 ‐1180025 d533 ‐216635 d633 ‐20884.4 d134 ‐99427.4 d234 ‐324851 d334 200147.3 d434 ‐91554.3 d534 16050.07 d634 ‐4254.51 d151 205928.2 d251 ‐441417 d351 353582.1 d451 ‐42635.4 d551 38633.35 d651 4870.53 d152 ‐248039 d252 ‐416506 d352 370967.1 d452 ‐20152.4 d552 77751.22 d652 ‐800.38 d153 ‐336373 d253 95117.08 d353 74449.7 d453 ‐59878.5 d553 100202.5 d653 1602.305 d161 ‐236657 d261 80766.03 d361 320211.8 d461 16613.52 d561 67681.75 d661 ‐6266.28 d163 ‐50367.2 d263 ‐126597 d363 300929.5 d463 43016.52 d563 52109.76 d663 ‐6553.37 d164 ‐178463 d264 ‐2545593 d364 ‐92659.4 d464 ‐142733 d564 ‐6087.67 d664 ‐5997.91 d171 ‐255484 d271 38032.48 d371 458080.7 d471 ‐43364.6 d571 48937.37 d671 ‐1101.26 d173 ‐4715.28 d273 ‐596506 d373 ‐992500 d473 ‐346463 d573 54564.25 d673 8413.099 d181 ‐316288 d281 322270.7 d381 568806.4 d481 60891.81 d581 77449.23 d681 5647.112 a10 289904.4 a20 8243.43 a30 ‐1318667 a40 ‐221187 a50 ‐52673.8 a60 ‐3061.87 a11 0.038427 a21 0.384778 a31 0.180641 a41 0.068016 a51 0.052731 a61 0.004244 a12 0.011069 a22 243.3648 a32 14.67299 a42 3.734001 /* GPSB GPSLL PKRT PMTB TQST TQSI */ d711 33725.2 d811 ‐784367 d911 ‐1.027E7 d1011 ‐4708754 d1111 3859227 d1211 1735093 d712 ‐8702.48 d812 ‐1619725 d912 ‐4746663 d1012 ‐5024298 d1112 18932555 d1212 1978928 d713 ‐76930.6 d813 ‐1705581 d913 ‐1753314 d1013 ‐2979768 d1113 4251728 d1213 ‐1521884 d714 296996 d814 ‐757007 d914 ‐2.134E7 d1014 841032.9 d1114 9954762 d1214 2284158 d715 145731.7 d815 ‐1311459 d915 1643283 d1015 ‐2547736 d1115 1407421 d1215 ‐193872 d716 453480.1 d816 ‐1257918 d916 ‐1637644 d1016 ‐1218538 d1116 6819794 d1216 3812830 d717 120918.7 d817 ‐1247765 d917 789363.1 d1017 ‐2544318 d1117 99476.5 d1217 ‐107028 d718 10892.96 d818 ‐1462457 d918 ‐4466576 d1018 ‐3276247 d1118 9862242 d1218 ‐3706125 d732 ‐710255 d832 ‐1681313 d932 ‐3800595 d1032 ‐1.17E7 d1132 30347457 d1232 ‐1.843E7 d733 ‐982970 d833 ‐3420424 d933 ‐1.023E7 d1033 ‐8159276 d1133 26062661 d1233 ‐7.582E7 d734 ‐91423.3 d834 ‐1236756 d934 ‐2650788 d1034 ‐684539 d1134 835929.1 d1234 ‐8334906 d751 ‐116986 d851 ‐1326276 d951 ‐1665457 d1051 ‐2862344 d1151 1932211 d1251 ‐1.113E7 d752 ‐64137.8 d852 ‐1335233 d952 ‐3230011 d1052 ‐1035419 d1152 1098871 d1252 ‐6992601 d753 ‐49639 d853 ‐1341364 d953 1044685 d1053 ‐2644861 d1153 715280.8 d1253 ‐5090241 d761 177354.2 d861 ‐1441795 d961 ‐2732799 d1061 102943.7 d1161 3014017 d1261 764763.1 d763 64098.03 d863 ‐1412516 d963 ‐3930160 d1063 ‐4028856 d1163 2863202 d1263 ‐2540340 d764 624023.5 d864 180859.9 d964 ‐3.668E7 d1064 ‐6262546 d1164 3042283 d1264 27237630 d771 ‐15732.1 d871 ‐1221731 d971 ‐1592845 d1071 ‐2109849 d1171 532116.5 d1271 ‐973965 d773 ‐6868.65 d873 ‐1228219 d973 ‐4786295 d1073 ‐3551010 d1173 8032401 d1273 ‐3514187 d781 57353.58 d881 ‐961979 d981 1115942 d1081 ‐2297894 d1181 ‐1251487 d1281 ‐577419 a70 ‐84519.4 a80 1259697 a90 ‐1641900 a100 1688554 a110 ‐3342166 a120 ‐633306 a71 0.211716 a81 0.129308 a91 0.524469 a101 0.198536 a111 404676.2 a121 47.97675 a82 1.893701 a92 932.8044 a102 199.449 a112 5.170432 a122 41.00406 /* TQSB TQSLL TKST TKSI TKKSB TKKSL */ d1311 389223 d1411 2350375 d1511 16316.74 d1611 ‐8174.12 d1711 63159.87 d1811 120474.6 d1312 4174885 d1412 5688842 d1512 1756355 d1612 134166.5 d1712 163106.1 d1812 979606.9 d1313 302933.5 d1413 ‐3006234 d1513 7931.17 d1613 66483.83 d1713 47361.88 d1813 443856.8 d1314 822760.5 d1414 34701256 d1514 106921.6 d1614 23069.27 d1714 130986.4 d1814 ‐568953 d1315 ‐474439 d1415 ‐9627351 d1515 ‐187274 d1615 25262.89 d1715 26809.9 d1815 375437.2 d1316 2343410 d1416 6903281 d1516 1133570 d1616 2806.191 d1716 63446.35 d1816 234732.2 d1317 ‐714784 d1417 ‐9471114 d1517 ‐367113 d1617 10321.24 d1717 19744.12 d1817 294651.6 d1318 328811.9 d1418 ‐8711327 d1518 1197140 d1618 115380.8 d1718 74115.66 d1818 687471.9 d1332 4751136 d1432 10556211 d1532 3401593 d1632 1322715 d1732 870336.5 d1832 4795839 d1333 4892254 d1433 ‐2.188E7 d1533 5265694 d1633 1979758 d1733 838083.9 d1833 4293445 d1334 361330.2 d1434 ‐1.136E7 d1534 ‐238796 d1634 203596.6 d1734 71320.37 d1834 694701.6 d1351 ‐414232 d1451 ‐9112684 d1551 ‐213367 d1651 248270.3 d1751 107597.8 d1851 663141.9 d1352 74213.78 d1452 ‐8643087 d1552 32890.72 d1652 157258.4 d1752 30682.99 d1852 614330.6 d1353 ‐327034 d1453 ‐9674641 d1553 677232 d1653 107512 d1753 9306.583 d1853 381572.1 d1361 729908.1 d1461 ‐6381365 d1561 329425.2 d1661 29795.07 d1761 20478.4 d1861 400978.9 d1363 153068.8 d1463 ‐4867013 d1563 ‐154765 d1663 83536.25 d1763 32128.67 d1863 409587.5 d1364 1292445 d1464 33444036 d1564 ‐490143 d1664 ‐292587 d1764 81721.37 d1864 ‐766376 d1371 1206322 d1471 ‐7785979 d1571 ‐494376 d1671 36004.11 d1771 ‐58136.1 d1871 381504.4 d1373 380639.3 d1473 ‐4647583 d1573 857083.5 d1673 104375.5 d1773 120292.9 d1873 751824.2 d1381 ‐853640 d1481 ‐1.039E7 d1581 ‐600259 d1681 14146.07 d1781 24091.87 d1881 280021.4 a130 708031.3 a140 9963777 a150 878637.3 a160 3274.099 a170 ‐20827.4 a180 ‐196373 a131 0.683962 a141 9.25683 a151 0.000212 a161 0.012318 a171 781324.4 a181 0.028022 a132 0.371688 a142 0.540797 a133 0.095129 a143 2.262018 /* AHH AMH RLS PPP TKDK */ d1911 2.662657 d2011 21.93166 d2111 2.48327 d2211 29.74814 d2311 ‐12.184 d1912 0.886592 d2012 21.02355 d2112 2.058631 d2212 36.08537 d2312 ‐21.7847 d1913 1.354417 d2013 20.84239 d2113 1.772071 d2213 39.92786 d2313 ‐24.5333 d1914 3.338913 d2014 22.22797 d2114 1.993056 d2214 40.01833 d2314 ‐23.3876
197
d1915 2.005094 d2015 21.39638 d2115 1.400744 d2215 42.09954 d2315 ‐24.8834 d1916 0.835177 d2016 20.8407 d2116 1.099648 d2216 23.14077 d2316 ‐16.8036 d1917 3.783513 d2017 21.1358 d2117 2.121855 d2217 56.72577 d2317 ‐14.1794 d1918 3.590489 d2018 19.75888 d2118 1.40423 d2218 52.80625 d2318 ‐15.6547 d1932 ‐0.96377 d2032 17.97038 d2132 0.897531 d2232 65.88268 d2332 ‐22.7349 d1933 3.700028 d2033 11.8157 d2133 0.494993 d2233 72.94951 d2333 ‐14.8839 d1934 8.071256 d2034 13.7145 d2134 2.605316 d2234 79.4364 d2334 ‐14.8923 d1951 4.2223 d2051 11.68728 d2151 1.39609 d2251 44.10974 d2351 ‐29.3509 d1952 ‐3.23502 d2052 6.535618 d2152 1.044383 d2252 77.64939 d2352 ‐10.1626 d1953 1.317224 d2053 12.87487 d2153 0.695539 d2253 37.42984 d2353 ‐11.8521 d1961 0.028981 d2061 15.13792 d2161 0.66624 d2261 47.29236 d2361 ‐23.3446 d1963 ‐3.72988 d2063 20.80861 d2163 1.309376 d2263 51.84096 d2363 ‐28.3513 d1964 1.527454 d2064 19.35648 d2164 2.017669 d2264 18.05133 d2364 ‐24.6596 d1971 6.482882 d2071 25.49593 d2171 2.893203 d2271 52.80359 d2371 ‐26.1381 d1973 3.609548 d2073 11.29956 d2173 1.27015 d2273 63.71976 d2373 ‐21.6201 d1981 2.3753 d2081 24.96826 d2181 2.886834 d2281 47.70833 d2381 ‐6.97159 a190 61.44018 a200 71.15078 a210 5.114478 a220 519.7975 a230 111.7009 a191 1.228E‐6 a201 5.312E‐7 a211 4.403E‐8 a221 ‐0.00002 a231 ‐0.12184 a192 0.001325 a202 4.04E‐7 a212 0.000308 a222 0.017271 a203 0.000856 a213 ‐0.08232 ; *BLOK PENDAPATAN DAERAH; *‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐; PJKD = a10+a11*BLJ+a12*PP+ d111*D11+d112*D12+d113*D13+d114*D14+d115*D15+d116*D16+d117*D17+d118*D18+d132*D32+d133*D33+ d134*D34+d151*D51+d152*D52+d153*D53+d161*D61+d163*D63+d164*D64+d171*D71+d173*D73+d181*D81; *DAU = a20+a21*blj+a22*POP+ d211*D11+d212*D12+d213*D13+d214*D14+d215*D15+d216*D16+d217*D17+d218*D18+d232*D32+d233*D33+ d234*D34+d251*D51+d252*D52+d253*D53+d261*D61+d263*D63+d264*D64+d271*D71+d273*D73+d281*D81; PAD = PJKD+NPJKD; DNP = DAU+DAK+BHPBP+PLAIN; PAT = PAD+DNP; * BLOK BELANJA DAERAH ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; BSP = a30+a31*PAT+a32*PNS+ d311*D11+d312*D12+d313*D13+d314*D14+d315*D15+d316*D16+d317*D17+d318*D18+d332*D32+d333*D33+ d334*D34+d351*D51+d352*D52+d353*D53+d361*D61+d363*D63+d364*D64+d371*D71+d373*D73+d381*D81; BSK = a40+a41*PAT+a42*PNS+ d411*D11+d412*D12+d413*D13+d414*D14+d415*D15+d416*D16+d417*D17+d418*D18+d432*D32+d433*D33+ d434*D34+d451*D51+d452*D52+d453*D53+d461*D61+d463*D63+d464*D64+d471*D71+d473*D73+d481*D81; GPST = a50+a51*PAT+ d511*D11+d512*D12+d513*D13+d514*D14+d515*D15+d516*D16+d517*D17+d518*D18+d532*D32+d533*D33+ d534*D34+d551*D51+d552*D52+d553*D53+d561*D61+d563*D63+d564*D64+d571*D71+d573*D73+d581*D81; GPSI = a60+a61*PAT+ d611*D11+d612*D12+d613*D13+d614*D14+d615*D15+d616*D16+d617*D17+d618*D18+d632*D32+d633*D33+ d634*D34+d651*D51+d652*D52+d653*D53+d661*D61+d663*D63+d664*D64+d671*D71+d673*D73+d681*D81; GPSB = a70+a71*PAT+ d711*D11+d712*D12+d713*D13+d714*D14+d715*D15+d716*D16+d717*D17+d718*D18+d732*D32+d733*D33+ d734*D34+d751*D51+d752*D52+d753*D53+d761*D61+d763*D63+d764*D64+d771*D71+d773*D73+d781*D81; GPSLL= a80+a81*PAT+a82*BSPK+
198
d811*D11+d812*D12+d813*D13+d814*D14+d815*D15+d816*D16+d817*D17+d818*D18+d832*D32+d833*D33+ d834*D34+d851*D51+d852*D52+d853*D53+d861*D61+d863*D63+d864*D64+d871*D71+d873*D73+d881*D81; BSPK = BSP+BSK; BLJ = GPST+GPSI+GPSB+GPSLL; * BLOK PERMINTAAN AGREGAT ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; PKRT = a90+a91*PDRBSEC+a92*POP+ d911*D11+d912*D12+d913*D13+d914*D14+d915*D15+d916*D16+d917*D17+d918*D18+d932*D32+d933*D33+ d934*D34+d951*D51+d952*D52+d953*D53+d961*D61+d963*D63+d964*D64+d971*D71+d973*D73+d981*D81; PMTB = a100+a101*PDRBSEC+a102*KUK+ d1011*D11+d1012*D12+d1013*D13+d1014*D14+d1015*D15+d1016*D16+d1017*D17+d1018*D18+d1032*D32+ d1033*D33+d1034*D34+d1051*D51+d1052*D52+d1053*D53+d1061*D61+d1063*D63+d1064*D64+d1071*D71+ d1073*D73+d1081*D81; PDRBEXP= PKRT+BLJ+PMTB+NX; KRTCAP=PKRT/POP; * BLOK PENAWARAN AGREGAT ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; TQST = a110+a111*LOGTKST+a112*GPST+ d1111*D11+d1112*D12+d1113*D13+d1114*D14+d1115*D15+d1116*D16+d1117*D17+d1118*D18+d1132*D32+ d1133*D33+d1134*D34+d1151*D51+d1152*D52+d1153*D53+d1161*D61+d1163*D63+d1164*D64+d1171*D71+ d1173*D73+d1181*D81; TQSI = a120+a121*TKSI+a122*GPSI+ d1211*D11+d1212*D12+d1213*D13+d1214*D14+d1215*D15+d1216*D16+d1217*D17+d1218*D18+d1232*D32+ d1233*D33+d1234*D34+d1251*D51+d1252*D52+d1253*D53+d1261*D61+d1263*D63+d1264*D64+d1271*D71+ d1273*D73+d1281*D81; TQSB = a130+a131*TTKKSB+a132*GPSB+a133*JLHK+ d1311*D11+d1312*D12+d1313*D13+d1314*D14+d1315*D15+d1316*D16+d1317*D17+d1318*D18+d1332*D32+ d1333*D33+d1334*D34+d1351*D51+d1352*D52+d1353*D53+d1361*D61+d1363*D63+d1364*D64+d1371*D71+ d1373*D73+d1381*D81; TQSLL= a140+a141*TKKSL+a142*GPSLL+a143*JLHK+ d1411*D11+d1412*D12+d1413*D13+d1414*D14+d1415*D15+d1416*D16+d1417*D17+d1418*D18+d1432*D32+ d1433*D33+d1434*D34+d1451*D51+d1452*D52+d1453*D53+d1461*D61+d1463*D63+d1464*D64+d1471*D71+ d1473*D73+d1481*D81; RTQSB=TQSB/PDRBSEC; PDRBSEC=TQST+TQSI+TQSB+TQSLL; * BLOK TENAGA KERJA ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; TKST = a150+a151*TQST+ d1511*D11+d1512*D12+d1513*D13+d1514*D14+d1515*D15+d1516*D16+d1517*D17+d1518*D18+d1532*D32+ d1533*D33+d1534*D34+d1551*D51+d1552*D52+d1553*D53+d1561*D61+d1563*D63+d1564*D64+d1571*D71+ d1573*D73+d1581*D81;
199
TKSI = a160+a161*TQSI+ d1611*D11+d1612*D12+d1613*D13+d1614*D14+d1615*D15+d1616*D16+d1617*D17+d1618*D18+d1632*D32+ d1633*D33+d1634*D34+d1651*D51+d1652*D52+d1653*D53+d1661*D61+d1663*D63+d1664*D64+d1671*D71+ d1673*D73+d1681*D81; TKKSB= a170+a171*RTQSB+ d1711*D11+d1712*D12+d1713*D13+d1714*D14+d1715*D15+d1716*D16+d1717*D17+d1718*D18+d1732*D32+ d1733*D33+d1734*D34+d1751*D51+d1752*D52+d1753*D53+d1761*D61+d1763*D63+d1764*D64+d1771*D71+ d1773*D73+d1781*D81; TKKSL= a180+a181*TQSLL+ d1811*D11+d1812*D12+d1813*D13+d1814*D14+d1815*D15+d1816*D16+d1817*D17+d1818*D18+d1832*D32+ d1833*D33+d1834*D34+d1851*D51+d1852*D52+d1853*D53+d1861*D61+d1863*D63+d1864*D64+d1871*D71+ d1873*D73+d1881*D81; TKS = TKST+TKSI+TKKSB+TKKSL; U = AK‐TKS; * BLOK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ; * ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ; AHH = a190+a191*BSK+a192*KRTCAP+ d1911*D11+d1912*D12+d1913*D13+d1914*D14+d1915*D15+d1916*D16+d1917*D17+d1918*D18+d1932*D32+ d1933*D33+d1934*D34+d1951*D51+d1952*D52+d1953*D53+d1961*D61+d1963*D63+d1964*D64+d1971*D71+ d1973*D73+d1981*D81; AMH = a200+a201*BSK+a202*BSP+a203*KRTCAP+ d2011*D11+d2012*D12+d2013*D13+d2014*D14+d2015*D15+d2016*D16+d2017*D17+d2018*D18+d2032*D32+ d2033*D33+d2034*D34+d2051*D51+d2052*D52+d2053*D53+d2061*D61+d2063*D63+d2064*D64+d2071*D71+ d2073*D73+d2081*D81; RLS = a210+a211*BSP+a212*KRTCAP+a213*APSD+ d2111*D11+d2112*D12+d2113*D13+d2114*D14+d2115*D15+d2116*D16+d2117*D17+d2118*D18+d2132*D32+ d2133*D33+d2134*D34+d2151*D51+d2152*D52+d2153*D53+d2161*D61+d2163*D63+d2164*D64+d2171*D71+ d2173*D73+d2181*D81; PPP = a220+a221*U+a222*KRTCAP+ d2211*D11+d2212*D12+d2213*D13+d2214*D14+d2215*D15+d2216*D16+d2217*D17+d2218*D18+d2232*D32+ d2233*D33+d2234*D34+d2251*D51+d2252*D52+d2253*D53+d2261*D61+d2263*D63+d2264*D64+d2271*D71+ d2273*D73+d2281*D81; TKDK = a230+a231*PPP+ d2311*D11+d2312*D12+d2313*D13+d2314*D14+d2315*D15+d2316*D16+d2317*D17+d2318*D18+d2332*D32+ d2333*D33+d2334*D34+d2351*D51+d2352*D52+d2353*D53+d2361*D61+d2363*D63+d2364*D64+d2371*D71+ d2373*D73+d2381*D81; IHP = ((AHH‐25)/(85‐25)); IP = (1/3)*(RLS/15)+(2/3)*(AMH/100); IHL = ((PPP‐360)/(732.720‐300)); IPM = (1/3)*(IHP+IP+IHL)*100; id prov thn; RUN;
200
/* DATA ENDOGEN; SET HASIL; KEEP PROV THN PJKD DAU PAD DNP PAT BSP BSK GPST GPSI GPSB GPSLL BSPK BLJ PKRT PMTB PDRBEXP KRTCAP TQST TQSI TQSB TQSLL RTQSB PDRBSEC TKST TKSI TKKSB TKKSL TKS U AHH AMH RLS PPP TKDK IHP IP IHL IPM; RUN; proc export data=ENDOGEN outfile='D:\Mydoc\Berpacu Waktu_Sugiarto\SimTerbuka\HASIL0_FORECASTE.xls' dbms=excel replace; run; */
Lam
pira
n 6.
Rin
gkas
an H
asil
Sim
ulas
i Keb
ijaka
n Fi
skal
terh
adap
Inde
ks P
emba
ngun
an M
anus
ia P
erio
de T
ahun
200
4-20
08
Var
iabe
l Si
mul
asi D
asar
Sim
ulas
i 1
Sim
ulas
i 2
Sim
ulas
i 3
Sim
ulas
i 4
Sim
ulas
i 5
Sim
ulas
i 6
Sim
ulas
i 7
Sim
ulas
i 8
Nila
i Das
ar
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
PJK
Dt
481
566
505
573
4.99
49
6 96
1 3.
20
489
453
1.64
50
9 41
8 5.
78
500
467
3.92
50
7 70
4 5.
43
531
977
10.4
7 52
1 61
6 8.
32
DA
Ut
2 51
7 53
9 2
757
921
9.55
3
021
047
20
2
596
505
3.14
2
796
423
11.0
8 5 )
5 ) 6 )
6 ) 3
022
314
20.0
5 2
918
566
15.9
3
PAD
t 72
6 09
5 75
0 10
2 3.
31
741
489
2.12
73
3 98
1 1.
09
753
947
3.84
74
4 99
5 2.
60
752
232
3.60
77
6506
6.
94
766
145
5.52
DN
P t
4 06
8 19
7 4
308
578
5.91
4
513
869
10.9
6 4
147
163
1.94
4
347
080
6.86
4
615
362
13.4
5 4
824
878
18.6
0 4
572
972
12.4
1 4
469
223
9.86
PAT
t 4
794
292
5 05
8 68
0 5.
51
5 25
5 35
9 9.
62
4 88
1 14
4 1.
81
5 10
1 02
7 6.
40
5 36
0 35
8 11
.81
5 57
7 11
0 16
.33
5 34
9 47
8 11
.58
5 23
5 36
8 9.
20
BSP
t 1
195
389
14
34 4
67
20
1 27
8 67
6 6.
97
1 21
1 07
8 1.
31
14
34 4
67
20
1 29
7 64
3 8.
55
1 33
6 79
8 11
.83
1 29
5 67
8 8.
39
8 ) 8 )
BSK
t 39
1 34
5 4
69 6
14
20
422
705
8.01
39
7 25
2 1.
51
469
614
2
0 42
9 84
6 9.
84
444
589
13.6
1 42
9 10
6 9.
65
8 ) 8 )
GPS
Tt
227
401
241
343
6.13
25
1 71
4 10
.69
231
981
2.01
24
3 57
6 7.
11
257
250
13.1
3 26
8 68
0 18
.15
256
677
12.8
7 25
0 65
9 10
.23
GPS
I t 16
070
.8
17 1
92.9
6.
98
18 0
27.6
12
.18
16 4
39.4
2.
29
17 3
72.6
8.
10
18 4
73.2
14
.95
19 3
93.1
20
.67
18 4
27
14.6
6 17
942
.7
11.6
5
GPS
Bt
923
886
979
862
6.06
1
021
502
10.5
7 1
108
663
2
0 1
108
663
2
0 1
043
732
12.9
7 1
089
622
17.9
4 1
041
428
12.7
2 1
017
269
10.1
1
GPS
LL
t 3
619
054
4 17
2 74
3 15
.30
3 89
5 78
2 7.
65
3 67
1 18
2 1.
44
4 17
8 21
9 15
.45
3 95
8 80
1 9.
39
4 08
8 89
4 12
.98
3 95
2 27
1 9.
21
4 54
2 76
9 25
.52
BSP
Kt
1586
733
1
861
065
17.2
9 1
701
381
7.23
1
608
330
1.36
1
861
065
17.2
9 1
727
490
8.87
1
781
387
12.2
7 1
724
784
8.70
2
044
398
28.8
4
BL
J t
4 78
6 41
2 5
411
140
13.0
5 5
187
024
8.37
4
991
637
4.29
5
511
203
15.1
4 5
278
256
10.2
8 5
466
588
14.2
1 7 )
7 ) 5
828
641
21.7
7
PKR
Tt
26 3
59 6
20
26 6
79 3
80
1.21
26
653
439
1.
11
26 4
40 2
62
0.31
26
714
950
1.
35
26 7
20 3
50
1.37
26
858
477
1.
89
26 7
13 4
17
1.34
26
893
073
2.
02
PMT
Bt
9 13
6 43
6 9
257
480
1.32
9
247
660
1.22
9
166
963
0.33
9
270
945
1.47
9
272
989
1.49
9
325
277
2.07
9
270
364
1.47
9
338
373
2.21
PDR
BE
XP t
50
110
353
51
175
886
2.
13
50 9
16 0
08
1.61
50
426
748
0.
63
51 3
24 9
82
2.42
51
099
481
1.
97
51 4
78 2
28
2.73
51
909
940
3.
59
51 8
87 9
71
3.55
KR
TC
AP t
3
245.
5 3
291
.7
1.42
3
295
1.53
32
59.3
0.
43
3298
.3
1.63
3
313.
5 2.
10
3 32
7.5
2.53
33
02.1
1.
74
3318
.4
2.25
TQ
STt
9 74
8 64
6 9
820
730
0.74
9
874
352
1.29
9
772
326
0.24
9
832
275
0.86
9
902
980
1.58
9
962
075
2.19
9
900
013
1.55
9
868
902
1.23
TQ
SIt
13 0
47 8
86
13 1
60 3
71
0.86
13
244
050
1.
50
13 0
84 8
38
0.28
13
178
388
1.
00
13 2
88 7
22
1.85
13
380
941
2.
55
13 2
84 0
93
1.81
13
235
544
1.
44
TQ
SBt
2 41
8 13
6 2
438
942
0.86
2
454
419
1.50
2
473
202
2.28
2
473
202
2.28
2
462
681
1.84
2
479
738
2.55
2
461
825
1.81
2
452
846
1.44
TQ
SLL
t 24
824
545
25
228
854
1.
63
25 0
26 6
14
0.81
24
862
609
0.
15
25 2
32 8
53
1.64
25
072
632
1.
00
25 1
67 6
26
1.38
25
067
863
0.
98
25 4
99 0
51
2.72
RT
QSB
t 0.
056
0.05
57
-0.5
4 0.
0562
0.
36
0.05
74
2.50
0.
0565
0.
89
0.0
562
0.36
0
.056
4 0.
71
0.05
63
0.54
0.
0555
-0
.89
PDR
BSE
Ct
50 0
39 2
13
50 6
48 8
97
1.22
50
599
435
1.
12
50 1
92 9
74
0.31
50
716
718
1.
35
50 7
27 0
15
1.37
50
990
381
1.
90
50 7
13 7
95
1.35
51
056
343
2.
03
TK
STt
1 45
3 85
0 1
453
865
0.00
1
453
876
0.00
1
453
855
0.00
1
453
867
0.00
1
453
882
0.00
1
453
895
0.00
1
453
882
0.00
1
453
875
0.00
TK
SIt
371
793
373
179
0.37
37
4 20
9 0.
65
372
248
0.12
37
3 40
1 0.
43
374
760
0.80
37
5 89
6 1.
10
374
703
0.78
37
4 10
5 0.
62
TK
KSB
t 15
3 25
3 15
3 01
3 -0
.16
153
384
0.09
15
4305
0.
69
153
646
0.26
15
3 37
9 0.
08
153
575
0.21
15
3 49
3 0.
16
152
888
-0
.24
TK
KSL
t 1
235
825
1 24
7 15
4 0.
92
1 24
1 48
7 0.
46
1236
891
0.09
1
247
266
0.93
1
242
777
0.56
1
245
438
0.78
1
242
643
0.55
1
254
726
1.53
TK
STt
3 21
4 72
1 3
227
211
0.39
3
222
956
0.26
32
1729
9 0.
08
3 22
8 18
0 0.
42
3 22
4 79
8 0.
31
3 22
8 80
4 0.
44
3 22
4 72
0 0.
31
3 23
5 59
4 0.
65
Ut
352
925
340
434
-3.5
4 34
4 68
9 -2
.33
350
346
-0.7
3 33
9 46
5 -3
.81
342
848
-2.8
6 33
8 84
1 -3
.99
342
925
-2.8
3 33
2 05
2 -5
.91
AH
Ht
68.2
145
68
.357
4 0.
21
68.3
186
0.15
68
.240
1 0.
04
68.3
662
0.22
68
.351
9 0.
20
68.3
885
0.26
68
.335
9 0.
18
68.4
472
0.34
201
Lam
pira
n 6.
Lan
juta
n
Var
iabe
l
Sim
ulas
i Das
arSi
mul
asi 1
Si
mul
asi 2
Si
mul
asi 3
Si
mul
asi 4
Si
mul
asi 5
Si
mul
asi 6
Si
mul
asi 7
Si
mul
asi 8
Nila
i Das
ar
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
AM
Ht
91.8
018
91.9
606
0.15
9 91
.894
4 0.
093
91.8
231
0.02
1 91
.966
3 0.
165
91.9
217
0.12
0 91
.957
4 0.
156
91.9
108
0.10
9 92
.063
1 0.
28
PPPt
61
5.4
616.
5 0.
18
616.
5 0.
18
615.
7 0.
05
616.
6 0.
19
616.
8 0.
23
617.
1 0.
28
616.
6 0.
19
617.
1 0.
28
TK
DK
t 18
.222
8 18
.095
2 -0
.128
18
.098
6 -0
.124
18
.187
5 -0
.035
18
.078
8 -0
.144
18
.055
2 -0
.168
18
.015
9 -0
.207
18
.079
3 -0
.144
18
.018
6 -1
.12
IHPt
0.
7202
0.
7226
0.
33
0.72
2 0.
25
0.72
07
0.07
0.
7228
0.
36
0.72
25
0.32
0.
7231
0.
40
0.72
23
0.29
0.
7241
0.
54
IPt
0.78
19
0.78
34
0.19
0.
7829
0.
13
0.78
21
0.03
0.
7835
0.
20
0.78
32
0.17
0.
7836
0.
22
0.78
31
0.15
0.
7844
0.
32
IHL
t 0.
5903
0.
5927
0.
41
0.59
26
0.39
0.
591
0.12
0.
593
0.46
0.
5935
0.
54
0.59
42
0.66
0.
593
0.46
0.
5942
0.
66
IPM
t 69
.746
6 69
.959
2 0.
213
69.9
176
0.17
1 69
.791
5 0.
045
69.9
773
0.23
1 69
.974
4 0.
228
70.0
32
0.28
5 69
.945
2 0.
199
70.0
909
0.49
Ket
eran
gan:
1)
Sim
ulas
i 1
: B
elan
ja S
ekto
r Pen
didi
kan
dan
Bel
anja
Sek
tor K
eseh
atan
Men
ingk
at 2
0 pe
rsen
(BSP
=BSP
*1.2
dan
B
SK=B
SK*1
.2);
2)
Sim
ulas
i 2
: Tr
ansf
er D
ana
Alo
kasi
Um
um M
enin
gkat
20
pers
en
(DA
U=D
AU
*1.2
)
3)
Sim
ulas
i 3
: B
elan
ja P
emer
inta
h Se
ktor
Ban
guna
n da
n In
fras
trukt
ur M
enin
gkat
20
Pers
en
(GPS
B=G
PSB
*1.2
)
4)
Sim
ulas
i 4
: B
elan
ja S
ekto
r Pen
didi
kan,
Bel
anja
Sek
tor K
eseh
atan
, dan
Bel
anja
Pem
erin
tah
Sekt
or B
angu
nan
dan
Infr
astru
ktur
Men
ingk
at 2
0 Pe
rsen
(BSP
=BSP
*1.2
,BSK
=B
SK*1
.2, d
an G
PSB
= G
PSB
*1.2
)
5)
Sim
ulas
i 5
: K
ebija
kan
Afir
mat
if I (
Prov
insi
Den
gan
IPM
Ter
enda
h Q
uant
il 1
Den
gan
DA
U=D
AU
*1.4
dan
La
inny
a D
AU
=DA
U*1
.2)
6)
Sim
ulas
i 6
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
(Pro
vins
i Den
gan
IPM
Ter
enda
h Q
uant
il 1
dan
2 D
enga
n D
AU
=DA
U*1
.4 d
an L
ainn
ya
DA
U=D
AU
*1.2
)
7)
Sim
ulas
i 7
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
I (Pr
ovin
si D
enga
n IP
M T
eren
dah
Qua
ntil
1 da
n 2
Den
gan
BLJ
=BLJ
*1.4
dan
Lai
nnya
B
LJ=B
LJ*1
.2)
8)
Sim
ulas
i 8
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
I (Pr
ovin
si D
enga
n IP
M T
eren
dah
Qua
ntil
1 da
n 2
Den
gan
BSP
= B
SP*1
.4 d
an L
ainn
ya
BSP
=BSP
*1.2
)
202
Lam
pira
n 7.
Rin
gkas
an H
asil
Sim
ulas
i Keb
ijaka
n Fi
skal
terh
adap
Inde
ks P
emba
ngun
an M
anus
ia P
erio
de T
ahun
200
9-20
15
Var
iabe
l
Sim
ulas
i D
asar
Si
mul
asi 1
Si
mul
asi 2
Si
mul
asi 3
Si
mul
asi-4
Si
mul
asi 5
Si
mul
asi 6
Si
mul
asi 7
Si
mul
asi-8
Nila
i D
asar
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
PJK
Dt
630
554
665
869
5.60
66
6 25
6 5.
66
658
734
4.47
68
4 51
8 8.
56
673
818
6.86
68
5 17
0 8.
66
735
854
16.7
0 69
4 92
7 10
.21
DA
Ut
4 21
3 22
9 4
566
847
8.39
5
055
875
20
4
495
405
6.70
4
753
584
12.8
3 5 )
5 ) 6 )
6 ) 5
267
625
25.0
3 4
857
811
15.3
0
PAD
t 1
067
209
1 10
2 52
4 3.
31
1 10
2 91
1 3.
35
1 09
5 38
9 2.
64
1 12
1 17
3 5.
06
1 11
0 47
3 4.
05
1 12
1 82
5 5.
12
1 17
2 50
9 9.
87
1 13
1 58
2 6.
03
DN
P t
6 69
6 96
4 7
050
583
5.28
7
730
559
15.4
3 6
979
141
4.21
7
237
319
8.07
7
949
493
18.7
0 8
278
139
23.6
1 7
751
361
15.7
4 7
341
547
9.63
PAT
t 7
764
173
8 15
3 10
7 5.
01
8 83
3 47
0 13
.77
8 07
4 53
0 4.
00
8 35
8 49
2 7.
65
9 05
9 96
6 16
.69
9 39
9 96
4 21
.07
8 92
3 87
0 14
.94
8 47
3 12
9 9.
13
BSP
t 2
334
725
2 8
01 6
70
20
2 52
7 88
4 8.
27
2 39
0 78
8 2.
40
2 8
01 6
70
20
2 56
8 79
8 10
.03
2 63
0 21
6 12
.66
2 54
4 21
4 8.
97
8 ) 8 )
BSK
t 74
6 75
9 8
96 1
10.8
2
0 81
9 48
9 9.
74
767
869
2.83
8
96 1
10.8
2
0 83
4 89
4 11
.80
858
019
14.9
0 82
5 63
7 10
.56
8 ) 8 )
GPS
Tt
384
006
404
515
5.34
44
0 39
1 14
.68
400
371
4.26
41
5 34
5 8.
16
452
334
17.7
9 47
0 26
3 22
.46
445
158
15.9
2 42
1 39
0 9.
74
GPS
I t 28
675
30
325
.6
5.76
33
213
.1
15.8
3 29
992
.1
4.59
31
197
.3
8.80
34
174
.3
19.1
8 35
617
.3
24.2
1 33
596
.7
17.1
6 31
683
.8
10.4
9
GPS
Bt
1 55
2 65
8 1
635
001
5.30
1
779
045
14.5
8 1
863
190
20
1
863
190
20
1
826
998
17.6
7 1
898
981
22.3
1 1
798
184
15.8
1 1
702
755
9.67
GPS
LL
t 6
833
695
7 64
8 21
1 11
.92
7 47
5 47
6 9.
39
7 01
9 96
8 2.
73
7 67
4 76
9 12
.31
7 61
1 41
7 11
.38
7 81
5 48
0 14
.37
7 52
9 73
3 10
.19
8 31
8 41
0 21
.73
BSP
Kt
3 08
1 48
4 3
485
046
13.1
0 3
347
373
8.63
3
158
657
2.50
3
485
046
13.1
0 3
403
692
10.4
6 3
488
235
13.2
0 3
369
851
9.36
3
817
103
23.8
7
BL
J t
8 79
9 03
3 9
718
053
10.4
4 9
728
125
10.5
6 9
532
383
8.33
10
203
363
15
.96
9 92
4 92
3 12
.80
10 2
20 3
41
16.1
5 7 )
7 ) 10
474
239
19
.04
PKR
Tt
32 1
81 3
62
32 6
51 7
52
1.46
32
862
781
2.
12
32 4
69 5
31
0.90
32
824
269
2.
00
33 0
07 1
18
2.57
33
223
785
3.
24
32 9
20 3
89
2.30
33
038
798
2.
66
PMT
Bt
11 5
99 7
44
11 7
77 8
08
1.54
11
857
692
2.
22
11 7
08 8
29
0.94
11
843
114
2.
10
11 9
12 3
31
2.69
11
994
349
3.
40
11 8
79 5
00
2.41
11
924
323
2.
80
PDR
BE
XP t
59
791
013
61
358
487
2.
62
61 6
59 4
73
3.12
60
921
616
1.
89
62 0
81 6
19
3.83
62
055
246
3.
79
62 6
49 3
48
4.78
63
550
068
6.
29
62 6
48 2
33
4.78
KR
TC
AP t
4
124
.6
4 16
1.1
0.88
4
265
.7
3.42
4
179.
5 1.
33
4 19
7.5
1.77
4
303.
5 4.
34
4 32
7 4.
91
4 25
0.1
3.04
42
12.1
2.
12
TQ
STt
10 5
71 1
75
10 6
77 2
15
1.00
10
862
710
2.
76
10 6
55 7
91
0.80
10
733
211
1.
53
10 9
24 4
63
3.34
11
017
160
4.
22
10 8
87 3
57
2.99
10
764
466
1.
83
TQ
SIt
14 3
11 4
41
14 4
76 9
15
1.16
14
766
380
3.
18
14 4
43 4
84
0.92
14
564
298
1.
77
14 8
62 7
45
3.85
15
007
399
4.
86
14 8
04 8
41
3.45
14
613
071
2.
11
TQ
SBt
3 47
2 39
5 3
503
001
0.88
3
556
541
2.42
3
669
165
5.67
3
669
165
5.67
3
574
364
2.94
3
601
119
3.71
3
563
655
2.63
3
528
185
1.61
TQ
SLL
t 31
675
647
32
270
415
1.
88
32 1
44 2
82
1.48
31
811
666
0.
43
32 2
89 8
08
1.94
32
243
547
1.
79
32 3
92 5
56
2.26
32
183
901
1.
60
32 7
59 8
01
3.42
RT
QSB
t 0.
0643
0.
0637
-0
.93
0.06
41
-0.3
1 0.
0683
6.
22
0.06
71
4.35
0.
064
-0.4
7 0.
0641
-0
.31
0.06
44
0.16
0.
0632
-1
.71
PDR
BSE
t 60
030
658
60
927
546
1.
49
61 3
29 9
14
2.16
60
580
106
0.
92
61 2
56 4
82
2.04
61
605
119
2.
62
62 0
18 2
35
3.31
61
439
754
2.
35
61 6
65 5
22
2.72
TK
KSB
t 15
9 75
8 15
9 22
0 -0
.34
159
557
-0.1
3 16
2 84
4 1.
93
161
932
1.36
15
9 52
7 -0
.14
159
583
-0.1
1 15
9 77
0 0.
01
158
882
-0.5
5
203
Var
iabe
l
Sim
ulas
i D
asar
Si
mul
asi 1
Si
mul
asi 2
Si
mul
asi 3
Si
mul
asi-4
Si
mul
asi 5
Si
mul
asi 6
Si
mul
asi 7
Si
mul
asi-8
Nila
i D
asar
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
Pr
edic
ted
Pers
en
Pred
icte
d Pe
rsen
TK
STt
1 45
4 02
4 1
454
047
0.00
1
454
086
0.00
1
454
042
0.00
1
454
058
0.00
1
454
099
0.01
1
454
119
0.01
1
454
091
0.00
1
454
065
0.00
TK
SIt
387
358
389
396
0.53
39
2 96
1 1.
45
388
984
0.42
39
0 47
2 0.
80
394
148
1.75
39
5 93
0 2.
21
393
435
1.57
39
1 07
3 0.
96
TK
KSL
t 1
427
806
1 44
4 47
3 1.
17
1 44
0 93
8 0.
92
1 43
1 61
8 0.
27
1 44
5 01
6 1.
21
1 44
3 72
0 1.
11
1 44
7 89
5 1.
41
1 44
2 04
9 1.
00
1 45
8 18
6 2.
13
TK
STt
3 42
8 94
6 3
447
136
0.53
3
447
542
0.54
3
437
488
0.25
3
451
479
0.66
3
451
494
0.66
3
457
528
0.83
3
449
345
0.59
3
462
206
0.97
Ut
364
387
346
197
-4.9
9 34
5 79
0 -5
.10
355
845
-2.3
4 34
1 85
3 -6
.18
341
838
-6.1
9 33
5 80
5 -7
.84
343
988
-5.6
0 33
1 12
7 -9
.13
AH
Ht
69.8
158
70.0
128
0.28
70
.092
0.
40
69.9
144
0.14
70
.061
1 0.
35
70.1
61
0.49
70
.220
5 0.
58
70.0
789
0.38
70
.180
2 0.
52
AM
Ht
93.2
034
93.4
13
0.22
93
.440
8 0.
25
93.2
842
0.09
93
.444
2 0.
26
93.4
979
0.32
93
.555
1 0.
38
93.4
373
0.25
93
.601
2 0.
43
RL
S t
8.00
63
8.02
99
0.29
8.
0582
0.
65
8.02
56
0.24
8.
0411
0.
43
8.07
16
0.82
8.
0816
0.
94
8.05
41
0.60
8.
0567
0.
63
PPP t
63
0.4
631.
4 0.
16
633.
2 0.
44
631.
5 0.
17
632.
1 0.
27
633.
9 0.
56
634.
5 0.
65
633
0.41
63
2.6
0.35
TK
DK
t 16
.400
8 16
.279
7 -0
.74
16.0
587
-2.0
9 16
.264
5 -0
.83
16.1
925
-1.2
7 15
.969
5 -2
.63
15.9
054
-3.0
2 16
.087
1 -1
.91
16.1
356
-1.6
2
IHPt
t 0.
7469
0.
7502
0.
44
0.75
15
0.62
0.
7486
0.
23
0.75
1 0.
55
0.75
27
0.78
0.
7537
0.
91
0.75
13
0.59
0.
753
0.82
IPt
0.79
93
0.80
12
0.24
0.
802
0.34
0.
8002
0.
11
0.80
17
0.30
0.
8027
0.
43
0.80
33
0.50
0.
8019
0.
33
0.80
3 0.
46
IHL
t 0.
6249
0.
6271
0.
35
0.63
13
1.02
0.
6274
0.
40
0.62
88
0.62
0.
633
1.30
0.
6342
1.
49
0.63
08
0.94
0.
6299
0.
80
IPM
t 72
.368
5 72
.618
6 0.
35
72.8
294
0.64
72
.541
7 0.
24
72.7
158
0.48
72
.946
8 0.
80
73.0
405
0.93
72
.800
4 0.
60
72.8
643
0.69
Ket
eran
gan:
1)
Si
mul
asi 1
:
Bel
anja
Sek
tor P
endi
dika
n da
n B
elan
ja S
ekto
r Kes
ehat
an M
enin
gkat
20
pers
en (B
SP=B
SP*1
.2 d
an B
SK=B
SK*1
.2);
2)
Sim
ulas
i 2
: Tr
ansf
er D
ana
Alo
kasi
Um
um M
enin
gkat
20
pers
en (D
AU
=DA
U*1
.2)
3)
Sim
ulas
i 3
: B
elan
ja P
emer
inta
h Se
ktor
Ban
guna
n da
n In
fras
trukt
ur M
enin
gkat
20
Pers
en (G
PSB
=GPS
B*1
.2)
4)
Sim
ulas
i 4
: B
elan
ja S
ekto
r Pen
didi
kan,
Bel
anja
Sek
tor K
eseh
atan
, dan
Bel
anja
Pem
erin
tah
Sekt
or B
angu
nan
dan
Infr
astru
ktur
Men
ingk
at 2
0 Pe
rsen
(BSP
=BSP
*1.2
,BSK
=B
SK*1
.2, d
an G
PSB
= G
PSB
*1.2
) 5)
Si
mul
asi 5
:
Keb
ijaka
n A
firm
atif
I (Pr
ovin
si D
enga
n IP
M T
eren
dah
Qua
ntil
1 D
enga
n D
AU
=DA
U*1
.4 d
an L
ainn
ya D
AU
=DA
U*1
.2)
6)
Sim
ulas
i 6
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
(Pro
vins
i Den
gan
IPM
Ter
enda
h Q
uant
il 1
dan
2 D
enga
n D
AU
=DA
U*1
.4 d
an L
ainn
ya D
AU
=DA
U*1
.2)
7)
Sim
ulas
i 7
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
(Pro
vins
i Den
gan
IPM
Ter
enda
h Q
uant
il 1
dan
2 D
enga
n B
LJ=B
LJ*1
.4 d
an L
ainn
ya B
LJ=B
LJ*1
.2)
8)
Sim
ulas
i 8
: K
ebija
kan
Afir
mat
if II
(Pro
vins
i Den
gan
IPM
Ter
enda
h Q
uant
il 1
dan
2 D
enga
n B
SP =
BSP
*1.4
dan
Lai
nnya
BSP
=BSP
*1.2
)
204
205
Lampiran 8. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Belanja Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan Meningkat 20 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 692 585.07 719 301.10 746 017.12 DAUt 4 868 334.83 5 169 822.55 5 471 310.27 PADt 1 161 261.13 1 219 998.22 1 278 735.30 DNPt 7 507 583.47 7 964 584.20 8 421 584.94 PATt 8 668 844.60 9 184 582.42 9 700 320.24 GPSTt 431 710.12 458 905.49 486 100.86 GPSIt 32 514.40 34 703.19 36 891.99 GPSBt 1 744 191.28 1 853 381.22 1 962 571.17 GPSLLt 8 227 455.61 8 806 700.20 9 385 944.79 BSPKt 3 755 708.95 4 026 372.36 4 297 035.77 BLJt 10 435 871.41 11 153 690.11 11 871 508.82 PKRTt 33 648 159.69 34 646 962.32 35 646 560.17 PMTBt 12 198 245.88 12 619 590.38 13 041 235.91 PDRBEXPt 63 056 982.09 64 758 779.29 66 461 672.74 KRTCAPt 4 300.70 4 431.00 4 558.43 TQSTt 10 819 468.49 10 960 836.81 11 101 903.88 TQSIt 14 696 339.33 14 915 763.33 15 135 187.33 TQSBt 3 682 767.99 3 867 986.98 4 055 023.45 TQSLLt 33 444 008.25 34 617 601.66 35 791 195.07 PDRBSECt 62 642 584.05 64 362 188.77 66 083 309.73 TKSTt 1 454 076.74 1 454 106.71 1 454 136.61 TKSIt 392 098.70 394 801.56 397 504.43 TKKSBt 160 240.77 161 250.48 162 256.15 TKKSLt 1 477 359.23 1 510 245.66 1 543 132.10 TKSt 3 483 775.44 3 520 404.41 3 557 029.29 Ut 347 171.85 348 157.45 349 147.14 AHHt 70.28 70.54 70.79 AMHt 93.65 93.88 94.11 RLSt 8.09 8.14 8.20 PPPt 633.77 636.00 638.18 TKDKt 15.99 15.72 15.45 IPMt 73.05 73.46 73.86
206
Lampiran 9. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Dana Alokasi Umum Meningkat 20 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015
PJKDt 694 471.99 722 687.88 750 903.76 PADt 1 163 148.05 1 223 385.00 1 283 621.94 DNPt 8 266 674.21 8 802 789.22 9 338 904.22 PATt 9 429 822.26 10 026 174.21 10 622 526.16 BSPt 2 736 085.12 2 944 286.41 3 152 487.69 BSKt 885 619.39 951 750.04 1 017 880.69 GPSTt 471 837.24 503 283.47 534 729.71 GPSIt 35 743.99 38 274.91 40 805.83 GPSBt 1 905 302.42 2 031 559.67 2 157 816.92 GPSLLt 8 072 091.76 8 668 707.50 9 265 323.24 BSPKt 3 621 704.51 3 896 036.45 4 170 368.38 BLJt 10 484 975.41 11 241 825.55 11 998 675.70 PKRTt 33 898 684.00 34 936 981.71 35 976 074.65 PMTBt 12 293 081.03 12 729 376.26 13 165 972.52 PDRBEXPt 63 451 445.54 65 246 720.00 67 043 090.71 KRTCAPt 4 421.36 4 566.38 4 708.10 TQSTt 11 026 943.00 11 190 290.12 11 353 336.00 TQSIt 15 020 102.21 15 273 824.01 15 527 545.82 TQSBt 3 742 651.07 3 934 213.77 4 127 593.96 TQSLLt 33 330 560.07 34 516 838.05 35 703 116.04 TKSTt 1 454 120.72 1 454 155.35 1 454 189.92 TKSIt 396 086.81 399 212.15 402 337.50 TKKSBt 160 537.24 161 496.59 162 449.70 TKKSLt 1 474 180.18 1 507 422.06 1 540 663.95 Ut 346 022.33 346 275.69 346 535.36 AHHt 70.38 70.65 70.92 AMHt 93.69 93.94 94.18 RLSt 8.12 8.18 8.24 PPPt 635.88 638.38 640.82 TKDKt 15.73 15.43 15.13 IPMt 73.30 73.74 74.18
207
Lampiran 10. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Belanja Pemerintah Sektor Bangunan dan Infrastruktur Meningkat 20 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 686 947.92 715 161.52 743 375.13 DAUt 4 811 888.72 5 128 372.08 5 444 855.44 PADt 1 155 623.97 1 215 858.64 1 276 093.31 DNPt 7 451 137.36 7 923 133.74 8 395 130.11 PATt 8 606 761.34 9 138 992.38 9 671 223.42 BSPt 2 587 406.57 2 784 024.99 2 980 643.41 BSKt 829 638.08 891 407.48 953 176.88 GPSTt 428 436.41 456 501.49 484 566.56 GPSIt 32 250.92 34 509.71 36768.50 GPSLLt 7 578 098.81 8 136 229.83 8 694 360.84 BSPKt 3 417 044.65 3 675 432.47 3 933 820.30 BLJt 10 289 173.56 11 045 964.44 11 802 755.33 PKRTt 33 475 420.68 34 483 705.94 35 492 786.42 PMTBt 12 132 856.10 12 557 790.22 12 983 025.37 PDRBEXPt 62 72 155.46 64 425 997.08 66 180 934.95 KRTCAPt 4 326.97 4 464.21 4 598.29 TQSTt 10 802 541.98 10 948 407.04 11 093 970.87 TQSIt 14 669 925.60 14 896 366.75 15 122 807.90 TQSBt 3 870 915.02 4 078 117.89 4 287 138.25 TQSLLt 32 969 841.65 34 128 017.72 35 286 193.79 PDRBSECt 62 313 224.25 64 050 909.41 65 790 110.79 TKSTt 1 454 073.15 1 454 104.07 1 454 134.93 TKSIt 391 773.33 394 562.64 397 351.94 TKKSBt 164 173.25 165 422.09 166 648.84 TKKSLt 1 464 072.13 1 496 526.54 1 528 980.95 TKSt 3 474 091.86 3 510 615.33 3 547 116.66 Ut 356 855.42 357 946.52 359 059.77 AHHt 70.19 70.44 70.70 AMHt 93.52 93.75 93.98 RLSt 8.09 8.14 8.20 PPPt 634.03 636.38 638.67 TKDKt 15.96 15.67 15.39 IPMt 72.99 73.40 73.81
208
Lampiran 11. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Sektor Pendididikan, Sektor Kesehatan, Sektor Bangunan dan Infrastruktur Naik 20 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 713 701.40 742 884.74 772 068.08 DAUt 5 079 777.22 5 405 970.74 5 732 164.27 PADt 1 182 377.46 1 243 581.86 1 304 786.26 DNPt 7 719 025.86 8 200 732.40 8 682 438.94 PATt 8 901 403.31 9 444 314.26 9 987 225.20 BSPt 443 973.18 472 601.41 501 229.65 BSKt 33 501.38 35 805.50 38 109.61 GPSTt 8 257 527.31 8 840 285.60 9 423 043.90 GPSIt 3 755 708.95 4 026 372.36 4 297 035.77 GPSLLt 10 985 389.28 11 767 415.94 12 549 442.59 BSPKt 33 843 500.56 34 865 127.64 35 887 549.93 BLJt 12 272 191.52 12 702 176.14 13,132,461.79 PKRTt 63 875 786.48 65 673 256.19 67 471 822.14 PMTBt 4 341.85 4 476.51 4 608.17 PDRBEXPt 10 882 873.78 11 031 650.63 11 180 126.24 KRTCAPt 14 795 282.94 15 026 267.92 15 257 252.90 TQSTt 3 870 15.02 4 078 117.89 4 287 138.25 TQSIt 33 465 966.89 34 642 126.04 35 18 285.19 TQSBt 63 015 038.63 64 778 162.49 66 542 802.58 TQSLLt 1 454 090.18 1 454 121.72 1 454 153.20 PDRBSECt 393 317.48 396 162.76 399 008.03 TKSTt 163 213.28 164 412.93 165 590.74 TKSIt 1 477 974.55 1 510 932.88 1 543 891.22 TKKSBt 3 488 595.50 3 525 630.29 3 562 643.18 TKKSLt 342 351.79 342 931.57 343 533.24 TKSt 70.34 70.60 70.86 Ut 93.69 93.92 94.15 AHHt 8.10 8.16 8.22 AMHt 634.58 636.89 639.15 RLSt 15.89 15.61 15.33 PPPt 73.16 73.58 73.99
209
Lampiran 12. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen
Variabel Tahun 2013 2014 2015
PJKDt 702 710.4583 731 602.44 760 494.42 DAUt 1 171 386.516 1 232 299.561 1 293 212.60 PADt 8 505 181.378 9 060 869.792 9 616 558.20 DNPt 9 676 567.895 10 293 169.35 10 909 770.81 PATt 2 780 657.497 2 992 516.67 3 204 375.85 BSPt 902 402.0392 969 909.98 1 037 417.92 BSKt 484 848.3797 517 362.39 549 876.40 GPSTt 36 791.1805 39 408.03 42 024.89 GPSIt 1 957 542.422 2 088 086.81 2 218 631.21 GPSLLt 8 220 186.021 8 828 955.31 9 437 724.61 BSPKt 3 683 059.536 3 962 426.65 4 241 793.77 BLJt 10 699 368 11 473 812.56 12 248 257.12 PKRTt 3 4055 924.84 35 107 126.74 36 159 123.85 PMTBt 12 352 604.03 12 793 784.1 13 235 265.19 PDRBEXPt 6 388 2601.98 65713259.87 67 545 014.01 KRTCAPt 4 462.21 4609.98 4 754.36 TQSTt 11 094 216.24 11 263 084.22 11 431 650.97 TQSIt 1 512 5081.74 15 387 418.83 15 649 755.92 TQSBt 3 762 068.04 3 955 224.23 4 150 197.89 TQSLLt 33 438 699.93 34 633 852.56 35 829 005.19 PDRBSECt 6 342 0065.95 6 523 959.84 67 060 609.97 TKSTt 1 454 134.98 1 454 170.78 1 454 206.52 TKSIt 397 379.94 400611.41 403 842.88 TKKSBt 160 502.38 161455.96 162 403.11 TKKSLt 1 477 210.47 1 510 701.04 1 544 191.61 TKSt 3 489 227.78 3 526 939.20 3 564 644.13 Ut 341 719.49 341 622.64 341532.2956 AHHt 70.45 70.73 71.00 AMHt 93.75 94.00 94.24 RLSt 8.13 8.19 8.25 PPPt 636.66 639.22 641.71 TKDKt 15.63 15.32 15.01 IPMt 73.42 73.87 74.32
210
Lampiran 13. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Dana Alokasi Umum 40 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 714 748.30 744 326.11 773 903.92 DAUt 1 183 424.36 1 245 023.23 1 306 622.11 PADt 8 853 682.14 9 429 225.62 10 004 769.11 DNPt 10 037 106.49 10 674 248.85 11 311 391.21 PATt 2 845 785.55 3 061 355.26 3 276 924.97 BSPt 926 924.43 995 829.48 1 064 734.53 BSKt 503 859.94 537 457.09 571 054.25 GPSTt 38 321.31 41 025.34 43 729.37 GPSIt 2 033 874.21 2 168 767.44 2 303 660.68 GPSLLt 8 436 77.69 9 057 675.42 9 678 773.16 BSPKt 3 772 709.98 4 057 184.74 4 341 659.50 BLJt 11 012 633.14 11 804 925.30 12 597 217.46 PKRTt 34 285 681.26 35 349 973.03 36 415 060.01 PMTBt 12 439 577.56 12 885 712.76 13 332 148.98 PDRBEXPt 64 512 597.07 66 379 147.56 68 246 794.30 KRTCAPt 4 487.21 4 636.39 4 782.13 TQSTt 11 192 514.22 11 366 982.52 11 541 149.58 TQSIt 15 278 475.22 15 549 551.57 15 820 627.92 TQSBt 3 790 439.66 3 985 212.26 4 181 802.33 TQSLLt 33 596 711.21 34 800 866.19 36 005 021.17 PDRBSECt 63 858 140.31 65 702 612.54 67 548 601.00 TKSTt 1 454 155.82 1 454 192.81 1 454 229.73 TKSIt 399 269.45 402 608.57 405 947.68 TKKSBt 160 540.99 161 479.18 162 411.47 TKKSLt 1 481 638.27 1 515 381.10 1 549 123.93 TKSt 3 495 604.53 3 533 661.65 3 571 712.82 Ut 335 342.75 334 900.20 334 463.61 AHHt 70.52 70.80 71.08 AMHt 93.82 94.07 94.32 RLSt 8.15 8.21 8.27 PPPt 637.23 639.81 642.34 TKDKt 15.57 15.25 14.94 IPMt 73.53 73.98 74.43
211
Lampiran 14. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Total Belanja 40 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 769 833.80 803 813.29 837 792.78 DAUt 5 641 843.32 6 016 061.76 6 390 280.19 PADt 1 238 509.86 1 304 510.41 1 370 510.96 DNPt 8 281 091.96 8 810 823.41 9 340 554.85 PATt 9 519 601.82 10 115 333.82 10 711 065.82 BSPt 2 752 302.99 2 960 392.29 3 68 481.59 BSKt 891 725.83 957 814.32 1 023 902.80 GPSTt 476 71.40 507 984.95 539 398.49 GPSIt 36 125.02 38 653.30 41 181.59 GPSLLt 1 924 310.19 2 050 436.19 2 176 562.18 BSPKt 8 125 976.55 8 722 220.21 9 318 463.86 BLJt 3 644 028.82 3 918 206.61 4 192 384.39 PKRTt 33 955 896.82 34 993 799.47 36 032 497.33 PMTBt 12 314 738.75 12 750 884.43 13 187 331.14 PDRBEXPt 65 491 484.23 67 436 202.56 69 382 017.14 KRTCAPt 4 402.02 4 543.43 4 681.59 TQSTt 11 051 420.68 11 214 598.78 11 377 475.63 TQSIt 15 058 299.51 15 311 757.55 15 565 215.59 TQSBt 3 749 716.02 3 941 229.95 4 134 561.35 TQSLLt 33 369 907.26 34 555 913.55 35 741 919.84 PDRBSECt 63 229 343.48 65 023 499.83 66 819 172.40 TKSTt 1 454 125.91 1 454 160.51 1 454 195.04 TKSIt 396 557.32 399 679.42 402 801.52 TKKSBt 160 782.78 161 775.62 162 762.23 TKKSLt 1 475 282.77 1 508 517.04 1 541 751.31 TKSt 3 486 748.79 3 524 132.58 3 561 510.09 Ut 344 198.50 344 429.28 344 666.34 AHHt 70.36 70.63 70.89 AMHt 93.69 93.93 94.16 RLSt 8.12 8.18 8.24 PPPt 635.58 638.02 640.40 TKDKt 15.77 15.47 15.18 IPMt 73.26 73.70 74.12
212
Lampiran 15. Ramalan Nilai Variabel Endogen Hasil Simulasi Kebijakan Afirmatif kepada Provinsi Quantil 1 dan 2 Indeks Pembangunan Manusia Terendah dengan Meningkatkan Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Sektor Kesehatan 40 Persen
Variabel Tahun
2013 2014 2015 PJKDt 723 812.16 752 697.29 781 582.43 DAUt 5 181 018.46 5 504 226.01 5 827 433.55 PADt 1 192 488.21 1 253 394.41 1 314 300.61 DNPt 7 820 267.11 8 298 987.66 8 777 708.22 PATt 9 012 755.32 9 552 382.08 10 092 008.83 BSPt 449 844.88 478 299.94 506 755.00 BSKt 33 973.96 36 264.14 38 554.31 GPSTt 1 817 002.68 1 931 250.30 2 045 497.91 GPSIt 8 947 683.77 9 576 957.29 10 206 230.81 GPSLLt 4 112 553.96 4 408 004.76 4 703 455.55 BSPKt 11 248 505.28 12 022 771.66 12 797 038.03 BLJt 34 064 097.30 35 091 792.05 36 120 282.01 PKRTt 12 355 697.69 12 787 979.20 13 220 561.74 PMTBt 64 443 005.38 66 241 079.38 68 040 249.63 PDRBEXPt 4 355.62 4 489.48 4 620.37 KRTCAPt 10 913 233.02 11 061 114.46 11 208 694.66 TQSTt 14 842 658.37 15 072 246.08 15 301 833.78 TQSIt 3 709 831.11 3 896 929.98 4 085 846.33 TQSBt 33 969 925.80 35 180 050.82 36 390 175.83 TQSLLt 63 435 648.30 65 210 341.34 66 986 550.61 PDRBSECt 1 454 096.62 1 454 127.97 1 454 159.25 TKSTt 393 901.06 396 729.12 399,557.18 TKSIt 159 867.22 160 843.90 161 817.09 TKKSBt 1 492 096.49 1 526 006.61 1 559 916.74 TKKSLt 3 499 961.39 3 537 707.59 3 575 450.26 TKSt 330 985.90 330 854.26 330 726.17 Ut 70.46 70.73 71.00 AHHt 93.85 94.10 94.34 AMHt 8.12 8.18 8.23 RLSt 635.04 637.36 639.62 PPPt 15.83 15.55 15.28 TKDKt 73.31 73.74 74.15
Top Related