v
DAFTAR ISI
Kata Sambutan Ketua Pelaksana ii
Kata Sambutan Dekan Fakultas Teknologi Informasi iii
Susunan Panitia iv
Daftar Isi v
A. ALGORITHM, INTELLIGENT SYSTEM, COMPUTATIONAL
A1 Pengaruh Data Acak Pada Tingkat Kecocokan Konstruksi Struktur
Bayesian Network Dengan Menggunakan Algoritma Hybrid
Ilham 1
A2 Identifikasi DNA dengan Rantai Markov Orde Satu dan Probabilistic
Neural Network
Toto Haryanto,
Habib Rijzaani,
Muhammad Luthfi Fajar
8
A3 Penerapan Pembelajaran Terawasi Pada Algoritma Jaringan Syaraf
Tiruan Hopfield Untuk Pemanggilan Ulang Pola Huruf Kapital
Sabam Parjuangan 14
A4 Aplikasi Clustering Data Berukuran Besar dan Berdimensi Tinggi
Berdasarkan Jarak
Edo Aria Putra Mawardi,
Dyah Erny Herwindiati,
Herlina Abdullah
19
A5 Optimasi Model Pengontrol Ekson Berbasis HMM Dengan
Preprocessing Data Menggunakan Fuzzy C Mean
Binti Solihah,
Suhartati Agoes,
Alfred Pakpahan
26
A6 Identifikasi Pola Spasial Daerah Rawan Pangan Di Kabupaten Minahasa
Tenggara Menggunakan Moran’s I
Constantina A. Widi P 33
A7 Kompresi Data Untuk Menghemat Bandwidth Dengan Menggunakan
Algoritma Deflate
Angel Louren Paat,
Eko Sediyono,
Adi Setiawan
42
A8 Rekayasa Sistem Antrian dengan Disiplin Non-Preemtive Priority
Service untuk Peningkatan Pelayanan Pasien di Puskesmas
Banguntapan II
Dison Librado,
Cosmas Haryawan
47
A9 Perancangan Penterjemah Bahasa Indonesia Ke Bahasa Daerah
Dilengkapi Pemeriksaan Kalimat Ambigu
Dewi Soyusiawaty 54
A10 Penerapan Metode Eigen Window Untuk Pendeteksian Sel Darah Putih Anthony Domenico,
Lina,
Arlends Chris
62
A11 Pemanfaatan E-Konseling Diagnosa Gangguan Psikologi Klinis Masayu Jamilah, 68
vi
Wawan Nurmansyah
A12 Pembangunan M-Konseling Psikologi Klinis Rita Wiryasaputra,
Rendra Gustriansyah,
Wawan Nurmansyah
74
A13 Perancangan Program Edugame Mini Zoo Land Untuk Siswa Taman
Kanak-Kanak
Jeanny Pragantha,
Helmy Thendean,
Sindy Kosasi
79
B. INFORMATION SYSTEM
B1 Pembelajaran Sistem Kolaboratif Online Berbasis Knowledge
Construction
Puspa Setia Pratiwi 1
B2 Social Network Analysis: Collaborative Network Penyuluh Pertanian
Dalam Mendukung Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan
Bentar Priyopradono 10
B3 Data Warehouse Sebagai Basis Analisis Data Akademik Perguruan
Tinggi
Mewati Ayub,
Tanti Kristanti,
Maresha Caroline
18
B4 Pemanfaatan Digital Technology Untuk Pembelajaran Matematika
Anak Usia Sekolah Dasar Menggunakan Teori TAM dan Otomatisasi
Sugeng Astanggo,
Jap Tji Beng,
Sri Tiatri
26
B5 Association Rules Untuk Mendukung Strategi Pelayanan Publik Dan
Sistem E-Government
Zyad Rusdi,
Dedi Trisnawarman
32
B6 Data Mart Model For Human Resources Department (Recruitment
Module)
Eka Miranda 37
B7 Perancangan E-Marketing Pada PT. Rajawali Nusindo Zulfiandri
Bayu Waspodo,
Budi Wibowo,
45
B8 Model Decision Support System Penetapan Kontribusi Pendapatan Asli
Daerah
Heru Soetanto Putra 51
B9 Perancangan Data Warehouse Pada Biro Travel PT. AKZ Dewi Wuisan,
Heru Soetanto Putra,
Evaristus Didik
Madyatmadja
59
B10 Studi Kelayakan Sistem Informasi Bank ASI berbasis Syariah di Jakarta Agung Sediyono,
Binti Solihah
64
vii
B11 Penerapan Framework Fast Pada Pengembangan Sistem Informasi Pola
Karir
Iwan Rijayana,
Dodo Prawira Pradana
69
B12 Pengembangan Sistem Informasi Akademik dengan menggunakan
Visualisasi Dashboard Sistem (SIAT)
Edi Setiawan 77
C. NETWORK, DISTRIBUTED, INSTRUMENTATION
C1 Implementasi Microcontroller Sebagai Detektor Asap Rokok Sederhana Syifaul Fuada,
Citta Anindya,
Faishol Badar,
Dian Shofiyulloh
1
C2 Perancangan Alat Pemberi Makan Binatang Otomatis Jimmy Agustian Loekito ,
Andrew Sebastian Lehman
8
C3 Pemodelan Helipad Menggunakan Microcontroller Andrew Sebastian Lehman 13
C4 Analisis Forensika Digital Pada Sony Playstation Portable Untuk
Mendukung Pembuktian Pelanggaran Hak Cipta Pada Game Console
Yudi Prayudi ,
Reza Febryan Alexandra
18
C5 Model Digital Forensic Readiness Index (DiFRI) Untuk Mengukur Tigkat
Kesiapan Institusi Dalam Menanggulangi Aktifitas Cyber Crime
Tri Widodo ,
Yudi Prayudi
24
C6 Analisis Dan Perancangan Sistem Absensi Berbasis Global Positioning
Sytem (GPS) Pada Android 4.x
Fransiskus Adikara 30
C7 Sistem Monitoring Pengatur Intensitas Cahaya, Suhu Dan Kelembaban
Ruangan Terintegrasi Berbasis Web Untuk Metode Manajemen Energi
Riki Ruli A Siregar,
Delinawati Manurung
37
C8 Analisis Perbandingan Qos Wireless Router Asus Wl-520gu, Tp Link Td-
W8101g, Dan Linksys Wrt54gl Pada Streaming Video On Demand
Reqi Rangga Raditya,
Agung Sediyono
45
C9 Pemanfaatan Cloud Computing dalam Google Maps Untuk Pemetaan
Informasi Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Minahasa Tenggara
Leonardo Refialy,
Eko Sediyono,
Adi Setiawan
52
C10 Sistem Pembelajaran Jarak Jauh Menggunakan FTP dan E-Learning
Server
Kori Cahyono 59
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013 A6
33
IDENTIFIKASI POLA SPASIAL DAERAH RAWAN PANGAN DI
KABUPATEN MINAHASA TENGGARA MENGGUNAKAN
MORAN’S I1
Constantina A. Widi P1) Adi Setiawan
2) Eko Sediyono
3)
1,3)
Master of Information Systems, Faculty of Information Technology, Satya Wacana Christian University
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga, Indonesia email : [email protected]
3)
2) Faculty of Science and Mathemathics, Satya Wacana Christian University
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga, Indonesia email : [email protected]
1 Dibiayai dari Hibah Tim Pasca Sarjana DIKTI tahun 2013
ABSTRACT Indikator rawan pangan yang umum digunakan di
Indonesia adalah prosentase penduduk pra sejahtera, dan
rasio kosumsi pangan normatif. Kondisi rawan pangan
seluruh Indonesia juga sudah dipetakan, namun masih
belum dapat memberikan gambaran faktor-faktor
penyebab terjadinya rawan pangan di setiap daerah dan
belum menggambarkan dinamika kejadian dalam pola
spasial berdasarkan neighbors analysis.Oleh karena itu
penelitian ini berusaha untuk menutupi kekurangan
tersebut dengan mengidentifikasi pola spasial daerah
rawan pangan. Cakupan wilayahnya masih terbatas pada
Kabupaten Minahasa Tenggara.
Dari hasil penelitian berdasarkan konsep neighbors
analysis menggunakan Metode Moran’s I,ditemukan
daerah yang termasuk rawan pangan di Kabupaten
Minahasa Tenggara tahun 2011 adalah kecamatan Pasan,
dan Tombato. Temuan ini masih dalam bentuk
perhitungan, belum dikonfirmasi ulang di daerah asalnya.
Key words Moran’s I, Indek Rawan Pangan,GISA, LISA
1. Pendahuluan
Kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi
dimana individu atau rumah tangga masyarakat yang tidak
memiliki akses ekonomi (penghasilan tidak memadai),
tidak memiliki akses fisik untuk memperoleh pangan yang
cukup, kehidupan yang normal, sehat dan produktif, baik
kualitas maupun kuantitas [1].
Salah satu indikator kerawanan pangan adalah
prosentase penduduk pra sejahtera. Apabila suatu daerah
memiliki prosentase penduduk pra sejahtera lebih dari
25%, maka daerah tersebut dikatakan rawan pangan [2].
Garis kemiskinan penduduk di Minahasa Tenggara
tahun 2011 tercatat senilai Rp242.046,00/bulan. Penduduk
yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah nilai
tersebut sejumlah 17,7 ribu orang atau sekitar 17,65 persen.
Jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun
2010 yang berjumlah 16,9 ribu orang atau 17,49 persen [3].
Indikator lain yang mempengaruhi kerawanan pangan
adalah rasio konsumsi normatif. Hal ini dapat dilihat dari
hasil produksi padi, jagung, ubi kayu serta jumlah rasio
konsumsi per hari. Gambar 1 menunjukkan penyebaran
produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten
Minahasa Tenggara tidak menunjukkan konsentrasi pada
kecamatan tertentu. Sumbu X menunjukkan kecamatan di
Minahasa Tenggara, sedangkan sumbu Y menunjukkan
jumlah produksi padi. Pada tahun 2011, produksi padi
sawah sekitar 36.841 ton [3]
Gambar 1. Produksi Padi di Kabupaten Minahasa Tenggara
Selama ini hasil pengukuran daerah kerawanan pangan
sudah ditampilkan dalam bentuk peta seperti pada Gambar
2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa peta daerah rawan pangan
A6 Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013
34
Indonesia masih terdapat beberapa kelemahan, antara lain
peta yang ada masih belum dapat memberikan gambaran
faktor-faktor penyebab terjadinya rawan pangan di setiap
daerah dan belum menggambarkan dinamika kejadian
dalam pola spasial berdasarkan neighbors analysis.
Gambar 2 Peta Daerah Rawan Pangan Indonesia [7]
Dalam penelitian ini digunakan neighbors analysis
untuk melihat apakah indikator yang berpengaruh terhadap
rawan pangan di suatu kecamatan memiliki korelasi
dengan kecamatan yang lain dan apakah korelasi tersebut
mempengaruhi kejadian rawan pangan di suatu kecamatan.
Exploratory spatial data analysis (ESDA) merupakan
bagian dari proses eksplorasi dan analisis data (EDA) [4].
Prinsip kerja dari metode ini adalah membandingkan nilai
variabel tertentu pada setiap lokasi dengan nilai pada
semua lokasi lain [7].
Oleh karena itu diperlukan suatu metode pendekatan
spasial yang dapat memberikan gambaran faktor-faktor
penyebab terjadinya rawan pangan dan menggambarkan
dinamika pola spasial, yaitu Moran’s I. Penelitian ini
diharapkan dapat digunakan untuk membantu dalam
memberi rekomendasi bagi para pengambil keputusan
dalam pengambilan kebijakan peningkatan ketahanan
pangan dan penanganan daerah rawan pangan di Minahasa
Tenggara.
2. Penelitian Terdahulu
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan World
Food Programe (WFP) telah menyusun peta kerawanan
pangan yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan
pangan dengan permasalahan yang melatarbelakangi
kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan sebagai
bahan kebijakan bagi penanggulangan kerawanan pangan
[8]. Dalam Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia atau Food Security and Vulnerability Atlas
(FSVA) digunakan 9 indikator kerawanan pangan. Peta
komposit kerawanan pangan dihasilkan dari kombinasi
semua indikator kerawanan pangan kronis dengan
menggunakan pembobotan berdasarkan prosentase tiap
indikator rawan pangan [8]. Dalam FSVA dikembangkan
konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi
ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan
pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi
kerawanan pangan saja. Pertimbangan yang kedua, FSVA
juga bermaksud untuk mengetahui berbagai penyebab
kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain
kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya
kerawanan pangan itu sendiri [1].
Penelitian tentang analisis data spasial juga telah
dilakukan oleh Prasetyo [8]. Penelitian tersebut bertujuan
untuk membandingkan metode analisis dan pemetaan
wabah endemik wereng coklat pada komoditas pokok dan
hortikultura menggunakan metode autokorelasi spasial.
GISA, LISA, dan Getis Statistic Ord digunakan dalam
endemik pemodelan BPH. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pola hotspot di 37 kecamatan daerah
dan pola coldspot di 13 kecamatan wilayah pada tahun
2001 - 2010 dapat diklasifikasikan dengan menggunakan
metode ini. Dari perbandingan peta percobaan Moran lokal
dan Getis Ord peta BPH percobaan pada tahun 2001, 2006
dan 2010, ditemukan bahwa indikasi hotspot pada yang
lokal Moran adalah sama sebagai indikasi pengelompokan
pada Getis Ord didasarkan pada nilai Z (Gi) > 2 [9].
Penelitian yang lain juga dilakukan oleh Tsai PJ.
Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeteksi
perubahan pola cluster spasial dalam masalah kesehatan
dan faktor risiko antara wanita dan pria menggunakan
Moran’s I dan regresi logistik di Taiwan. Dalam analisis
distribusi digunakan data kasus-kasus medis dari Taiwan
Asuransi Kesehatan Nasional (NHI), dan penduduk
pertengahan tahun rata-rata, kemudian diterapkan pada tes
Moran global dan local. Sedangkan model regresi logistik
digunakan untuk menguji karakteristik kesamaan dan
perbedaan antara pria dan wanita dan merumuskan faktor
risiko. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi
geografis dari cluster di mana neoplasma yang lazim
ditemukan untuk berhubungan erat dengan lokasi di daerah
arseniasis-endemik Barat Daya dan Timur Laut Taiwan,
serta lokasi di daerah perkotaan Taiwan (untuk perempuan)
dan cluster di Changhua dan Yunlin (untuk laki-laki).
Populasi kepadatan tinggi di daerah perkotaan
menunjukkan cluster karsinogen di 3 pusat-pusat kota
utama Taiwan (yaitu, Taipei, Taichung, dan Kaohsiung)
untuk neoplasma perempuan. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pemetaan cluster dapat membantu
mengklarifikasi isu-isu seperti aspek spasial dari masalah
kesehatan. Informasi ini sangat membantu dalam menilai
faktor risiko spasial, yang dapat membantu pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang efektif [10].
Dalam penelitian ini, Moran’s I digunakan untuk
mengidentifikasi pola spasial daerah rawan pangan tahun
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013 A6
35
2011 dan mengetahui apakah suatu indicator yang
berpengaruh terhadap rawan pangan di suatu kecamatan
memiliki korelasi dengan kecamatan yang lain.
3. Exploratory spatial data analysis (ESDA)
Tujuan metode ESDA, antara lain untuk mendeteksi
pola spasial yang muncul dalam himpunan data (cluster,
random, dispersed), mendeteksi kemungkinan kesalahan
dalam himpunan data, merumuskan hipotesis berdasarkan
model spasial dan geografi, dan melakukan analisis
terhadap model spasial [5]. Ditinjau dari konsep
keruangan, ESDA dapat dibagi empat yaitu, visualisasi
distribusi spasial, visualisasi asosiasi spasial, local
indicator spatial association (LISA), dan multivariate
indicators of spatial association [4].
4. Konsep Spatial Autocorrelation (SA)
Spatial Autocorrelation (SA) dapat dibedakan
menjadi dua dimensi, dimensi pertama membagi SA
menjadi neighborhood dan distance. Pendekatan
neighborhood umumnya membutuhkan pembakuan
struktur objek spasial di sekelilingnya dengan menentukan
topologi dan pembobotan setiap data hasil observasi.
Istilah distance berarti bahwa indikator jarak dihitung dari
suatu objek spasial terhadap objek spasial yang menjadi
pasangannya. Dimensi kedua membagi SA menjadi global
dan local association. Global digunakan untuk menilai
interaksi spasial dalam data, yang selanjutnya dikenal
sebagai Global Indicators of Spatial Association (GISA).
Sedangkan local association digunakan untuk menilai
asosiasi pola di sekeliling individu dan melihat sejauh
mana pola global tercermin dalam seluruh populasi yang di
observasi, selanjutnya disebut Local Indicators of Spatial
Association (LISA) [4].
Menurut LeSage [11], SA dibagi menjadi dua kelas,
yaitu SA satu dimensi, yaitu berdasarkan pada fungsi lag
tanpa disertai weight, dan SA dua dimensi, berdasarkan
fungsi weight. Salah satu tahapan dalam SA adalah
membangun matriks bobot (weight matrix) objek spasial.
Sebelum membentuk matriks bobot objek spasial harus
dilakukan perhitungan matriks kedekatan spasial (spasial
contiguity matrix).
Gambar 3 Spasial Contiguity Matrix [11]
Gambar 3 menunjukkan spasial contiguity matrix,
antara lain [12]:
a. Rook Contiguity (berdasarkan pergerakan anak catur) :
Wilayah pengamatan bersentuhan langsung dengan
sisi-sisi wilayah tetangga sehingga akan memiliki 4
tetangga.
b. Bishop Contiguity: Wilayah pengamatan bersentuhan
langsung dengan sudut diagonal wilayah tetangga
sehingga akan memiliki 4 tetangga.
c. Queen Contiguity: ini merupakan perpaduan dari Rook
dan Bishop Contiguity sehingga akan memiliki 8
tetangga.
Misalkan W dengan elemen sebagai matriks
tetangga spasial. Standardisasi baris dilakukan dengan
membagi setiap elemen pada satu baris dengan jumlah
elemen di dalam baris tersebut sehingga suatu matriks W
berbobot spasial dengan elemen dinyatakan dengan
Persamaan 1 [13] :
(1)
dengan wilayah I bukan hanya tetangga tetapi bisa sebuah
daerah. Pembobot yang merupakan berat spasial
matrik mempunyai aturan bernilai 1 apabila letak antara
lokasi i dan lokasi j saling berdekatan, sedangkan bernilai
0 apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berjauhan.
5. Moran’s I
Moran’s I merupakan sebuah tes statistik lokal untuk
melihat nilai autokorelasi spasial dan digunakan juga untuk
mengidentifikasi suatu lokasi dari pengelompokan spasial
[14]. Autokorelsi spasial adalah korelasi antara variabel
dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang [15]. Metode
Moran’s I dapat digunakan untuk menentukan pola spasial
global (GISA) dan pola spasial lokal (LISA). GISA
digunakan untuk menentukan korelasi sutu variable di
dalam seluruh himpunan data yang diobservasi [16]. GISA
didefinisikan dengan Persamaan 2 :
(2)
dengan
n :Jumlah kasus atau jumlah wilayah studi yang
diidentifikasi,
: Berat spasial matrik atau elemen spatial weight
matrix,
: Nilai unit analisis i,
: Nilai unit analisis tetangga,
: Nilai rata-rata .
A6 Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013
36
Pembobot yang merupakan berat spasial matrik
mempunyai aturan bernilai 1 apabila letak antara lokasi i
dan lokasi j saling berdekatan, sedangkan bernilai 0
apabila letak antara lokasi i dan lokasi j saling berjauhan.
Pembobot dapat ditampilkan dalam matriks kedekatan
(contiguity matrix) yang sesuai dengan hubungan spasial
antar lokasi yang menggambarkan hubungan antar daerah.
Nilai koefisien Moran’s I berkisar antara -1 dan +1.
Autokorelasi akan bernilai negatif ketika bernilai antara 0
dan -1, sedangkan autokorelasi akan bernilai positif ketika
bernilai antara 0 dan +1. Nilai Moran’s I yang negatif dan
positif memiliki asosiasi secara spasial dengan wilayah
sekelilingnya [17]. Nilai ekspektasi Moran’s I [18]
ditunjukkan pada Persamaan 3 :
(3)
Table 1 menunjukkan pola spasial yang dibentuk oleh
persamaan 3. Apabila nilai I > E(I), maka autokorelasi
bernilai positif. Hal ini berarti bahwa pola data membentuk
kelompok (cluster). Pola data acak (random) terbentuk
apabila I = E(I), artinya tidak terdapat autokorelasi spasial.
Jika I < E(I), maka autokorelasi bernilai negatif, artinya
pola data menyebar [19].
Table 1. Pola Spasial Moran’s I
Pola spasial Moran’s I
Cluster I > E(I)
Random I = E(I)
Dispersed I < E(I)
LISA adalah perangkat untuk penentuan asosiasi
spasial pada setiap wilayah penelitian. Metode LISA dapat
menunujukkan wilayah pemusatan atau pencilan fenomena
spasial pada suatu wilayah [20]. LISA dapat didefinisikan
dengan Persamaan 5 :
(5)
dengan
: Nilai unit analisis i,
: Nilai rata-rata variabel i,
: Nilai unit analisis tetangga,
n : Banyaknya kasus atau banyaknya wilayah studi
yang diidentifikasi,
: Berat spasial matrik atau elemen spatial weight
matrix.
Autokorelasi spasial lokal dapat ditentukan dengan
analisis Moran Scatterplot dan LISA. LISA
divisualisasikan menggunakan peta yang digunakan untuk
menunjukkan lokasi daerah studi yang signifikan statistik
terjadinya pengelompokan nilai atribut (cluster) atau
terjadinya pencilan (outlier). Pola spasial menunjukkan
signifikan lokal cluster ketika data berkarakteristik High
High (HH) atau Low Low (LL), sedangkan pola spasial
menunjukkan signifikan lokal outlier ketika data
berkarakteristik High Low (HL) atau Low High (LH).
Jumlah LISA untuk setiap wilayah studi sebanding atau
sama dengan Moran’s I global [20].
Untuk setiap lokasi, nilai LISA memungkinkan untuk
komputasi dari kesamaannya dengan tetangga dan juga
untuk menguji signifikansinya. Lima skenario yang
mungkin adalah [21] :
- Lokasi dengan nilai tinggi akan sama dengan tetangga :
tinggi-tinggi (high-high). Juga dikenal sebagai hot
spots.
- Lokasi dengan nilai rendah akan sama dengan
tetangga: rendah - rendah (low-low). Juga dikenal
sebagai cold spots.
- Lokasi dengan nilai tinggi akan sama dengan tetangga
bernilai rendah: tinggi-low (high-low). Juga dikenal
sebagai spasial outliers.
- Lokasi dengan nilai rendah akan sama dengan tetangga bernilai rendah: rendah- tinggi (low-high).
Juga dikenal sebagai spasial outliers.
- Lokasi yang tidak memiliki autokorelasi spasial, dikenal sebagai non signifikan.
6. KERAWANAN PANGAN
Kerawanan pangan merupakan persoalan multi-
dimensional yang tidak menyangkut produksi dan
ketersediaan pangan saja. Dalam penelitian ini digunakan 9
indikator dengan berpedoman pada pemetaan ketahanan
dan kerentanan pangan yang dilakukan oleh Badan
Ketahanan Pangan dan WFP [2], yang dikelompokkan ke
dalam 3 aspek/dimensi ketahanan pangan yaitu: Dimensi
ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan
pangan. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan yang
bersifat kronis (cronic food insecurity) yang memerlukan
penanganan jangka panjang. Indikator ketahanan Pangan
berdasarkan kebijakan pengembangan ketersediaan pangan
oleh Departemen Pertanian dapat dilihat pada tabel
1(Lampiran).
Berdasarkan 5 indikator rawan pangan, maka untuk
menentukan daerah rawan pangan dapat dihitung
menggunakan rumus di bawah ini [8] :
1. Ketersediaan pangan dengan Indikator Konsumsi
Normatif Per Kapita terhadap Rasio Ketersediaan
Bersih Serelia
(4)
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013 A6
37
dimana
produksi : penjumlahan produksi padi, jagung, dan ubi
kayu,
Y : ketersediaan bersih serelia pokok per kapita
per hari,
Z : konsumsi normative per kapita,
dengan
Z ≥ 1,50 = defisit tinggi,
1,25 – 1,50 = defisit sedang,
1,00 – 1,25 = defisit rendah,
0,75 – 1,00 = surplus rendah,
0,50 – 0,75 = surplus sedang,
< 0,50 = surplus tinggi.
2. Akses Pangan dan Mata Pencaharian
(5)
dimana
x : jumlah keluarga pra sejahtera,
y : jumlah keluarga dalam satu kecamatan,
dengan
Z ≥ 35% = sangat rawan,
25 – 35% = rawan,
20 – 25% = agak rawan,
15 – 20% = cukup tahan,
10 – 15% = tahan,
0 – 10% = sangat tahan.
3. Kesehatan dan Gizi
• Indikator Angka Harapan Hidup pada saat lahir
(AHH)
Jika AHH :
> 7 = sangat tahan,
5 - 7 = tahan,
3 - 5 = cukup tahan,
< 3 = agak rawan.
• Indikator penduduk yang tinggal > 5 km dari
puskesmas, dimana
x = jumlah desa yang > 5km dari puskesmas,
y = jumlah desa dalam satu kecamatan.
dengan
Z ≥ 60% = sangat rawan,
50 – 60% = rawan,
40 – 50% = agak rawan,
30 – 40% = cukup tahan,
20 – 30% = tahan,
≤ 20% = sangat tahan.
7. Metode Penelitian
Penelitian ini, dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu :
1. Pemrosesan data penelitian
Data input berupa data prosentase sembilan indikator
rawan pangan, yakni data KDA yang sudah dihitung
berdasarkan FSVA. Data input dalam bentuk .csv dan
data peta berbentuk .shp. Data yang digunakan untuk
analisis adalah data tahun 2011.
2. Analisis pola spasial
Dalam penelitian ini digunakan metode Moran’s I yang
terdiri dari dua bagian, yaitu GISA dan LISA.
Langkah-langkah dalam perhitungan Moran’s I:
a. Melakukan perhitungan spasial weight matriks,
dengan menentukan spasial contiguity matrix.
b. Menghitung GISA, dan nilai E(I). GISA
digunakan untuk menentukan korelasi (cluster,
random, dispersed) suatu indikator di dalam
seluruh wilayah yang diobservasi.
c. Menghitung LISA. LISA digunakan untuk
menentukan pola spasial (hotspot, coldspot,
outliers) setiap kecamatan yang divisualisasikan
dalam bentuk peta. Peta tersebut menggambarkan
daerah rawan pangan 2011.
3. Analisis hasil penelitian
Hasil penelitian ini berupa informasi geografis daerah
rawan pangan, yang terdiri dari peta LISA dan peta
choropleth. Peta choropleth adalah hasil outlayer dari
peta LISA setiap tahun, yang menggambarkan daerah
rawan pangan di kabupaten Minahasa Tenggara.
8. Desain dan Arsitektur Model
Gambar 4 Desain dan Arsitektur Model
Data
Data input .csv Data map .shp
Visualisasi
Proses
LISA GISA
Peta LISA
Neighbor Analysis
A6 Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013
38
Gambar 4 menunjukkkan desain dan arsitektur model
penelitian. Secara umum arstitektur model dapat dilihat
dalam tiga bagian besar, yaitu :
1. Data berisi data penelitian dalam bentuk .csv yang
meliputi: (1) data RKN tahun 2011, (2) data
prosentase penduduk pra sejahtera tahun 2011, (3)
Angka harapan hidup pada saat lahir tahun 2011, (4)
Prosentase perempuan buta huruf tahun 2011, (5)
Prosentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km
dari fasilitas kesehatan tahun 2011.
2. Proses berisi analisis spasial yang digunakan yakni,
neighbors analysis, GISA dan LISA.
3. Visualisasi digunakan untuk memvisualisasikan output
penelitian yakni peta LISA.
9. ANALISIS
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi daerah
rawan pangan di Kabupaten Minahasa Tenggara dan
mengetahui bagaimana korelasi sembilan indikator antar
kecamatan. Tahap pertama yang dilakukan adalah
menghitung prosentase masing-masing indikator sesuai
pedoman FSVA. Hasil perhitungan indikator RKN 2011
ditunjukkan pada Tabel 2. Jumlah produksi yang
digunakan dalam menghitung RKN adalah jumlah
produksi (ton) dari padi, jagung, dan ubi kayu. Kolom jml
menunjukkan jumlah produksi per ton. Kolom total adalah
hasil perhitungan jml yang dibagi dengan hasil perkalian
jumlah penduduk dengan 360 hari. Kemudian didapatkan
angka RKN yakni dengan membagi konsumsi normatif
serealia per hari (300 gram) dengan nilai yang ada dalam
kolom total.
Tabel 2 Hasil Perhitungan RKN 2011
KEC. padi
sawah
padi
ladang jagung
ubi
kayu
jml
prod
jml
(ton)
jml
pend total rasio
Ratatotok 184 268 4241 322 5015 5015 12254 1136.82 0.26
Pusomaen 1769 121 4684 198 6772 6772 8312 2263.13 0.13
Belang 3616 160 5503 283 9562 9562 15396 1725.20 0.17
Ratahan 4613 92 2775 204 7684 7684 12301 1735.18 0.17
Pasan 2071 122 2417 186 4796 4796 6668 1997.93 0.15
ratahan
timur 776 167 1443 264 2650 2650 5610 1312.14 0.23
Tombatu 5993 334 1753 364 8444 8444 9110 2574.70 0.12
tombatu
timur 8165 138 2775 251 11329 11329 8537 3686.24 0.08
tombatu
utara 3842 0 1924 332 6098 6098 7760 2182.85 0.14
Touluaan 2073 103 1803 904 4883 4883 6287 2157.45 0.14
touluaan
selatan 243 600 1515 742 3100 3100 4125 2087.54 0.14
silian raya 2493 0 1123 519 4135 4135 5215 2202.51 0.14
Dari data tersebut dilakukan perhitungan spasial
contiguity matrix, dalam penelitian ini digunakan queen
contiguity matrix, yaitu perhitungan matriks tetangga
dengan membagi sembarang bagian dari batasan umum
wilayahnya seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Spasial
contiguity matrix digunakan untuk menggambarkan
hubungan antar kecamatan dengan prinsip ketetanggaan,
apakah kejadian rawan pangan di suatu kecamatan
dipengaruhi oleh kecamatan di sekitarnya. Apabila suatu
kecamatan saling terhubung dengan garis merah, maka
nilai pada kecamatan tersebut bernilai 1. Apabila suatu
kecamatan tidak saling terhubung, maka nilai = 0.
Gambar 5 queen contiguity matrix Kab. Minahasa Tenggara
Hasil perhitungan GISA berupa nilai indeks Moran
pada lima indikator rawan pangan. Nilai indeks Moran
pada tahun 2011 pada lima indikator menunjukkan tingkat
korelasi spasial yang tergolong tinggi. Lima indikator
membentuk pola cluster. hal ini berarti kecamatan yang
berdekatan memiliki pengaruh antara satu dengan lainnya.
Sedangkan indikator yang memiliki pola spasial random,
artinya kecamatan yang berdekatan tidak memiliki
pengaruh antara satu dengan lainnya. Korelasi antar
wilayah yang paling tinggi (mendekati +1) dimiliki oleh
indikator RKN, dengan indeks Moran sebesar 1,71. Indeks
ini berpotensi memiliki pola spasial memusat (cluster).
Artinya, RKN di wilayah kecamatan yang saling
berdekatan di Kabupaten Minahasa Tenggara masih saling
memberi pengaruh antar satu dengan yang lainnya.
Table 3. Hasil perhitungan GISA sembilan indikator rawan pangan
Tahun Indikator Indeks Moran (I) Pola spasial
2011 RKN 1.71 Cluster
Pra sejahtera 0.02 Dispersed
Buta huruf 0.17 Cluster
AHH 1.12 Cluster
Faskes -0.05 Random
Berdasarkan Table 3, indikator RKN tahun 2011
membentuk pola cluster karena nilai indeks moran lebih
besar dari nilai ekspektasinya. Gambar 6 merupakan peta
LISA RKN 2011. Dari Gambar 6, terlihat bahwa terdapat
pola spasial cluster (mengelompok dan saling berkorelasi)
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013 A6
39
di kecamatan Tombato yang ditandai dengan warna merah,
yang merupakan wilayah hotspot (High-High) dan Ratahan
Timur yang ditandai dengan warna biru, yang merupakan
wilayah coldspot (Low-Low). Kecamatan Tombato
termasuk ke dalam wilayah hotspot karena kecamatan ini
memiliki prosentase RKN yang tinggi, dan dikelilingi oleh
kecamatan yang mempunyai prosentase RKN tinggi juga.
Kecamatan yang termasuk kategori hotspot merupakan
kecamatan rawan pangan. Sehingga kecamatan ini dapat
menjadi fokus pemerintah dalam upaya peningkatan
kesejahteraan penduduk. Selain itu, terdapat kecamatan
yang memiliki nilai High-Low, yakni kecamatan Touluaan
(ditandai dengan warna hijau muda). Hal ini menunjukkan
bahwa prosentase penduduk RKN di kecamatan Touluaan
termasuk tinggi, sedangkan prosentase di wilayah
sekelilingnya rendah.
Gambar 6. Peta LISA RKN 2011
Kesimpulan
Berdasarkan konsep neighbors analysis menggunakan
Metode Moran’s I, yang termasuk daerah rawan pangan di
Kabupaten Minahasa Tenggara tahun 2011 adalah
kecamatan Pasan, dan Tombato.
Konsep neighbors analysis dapat digunakan sebagai
indikator korelasi secara spasial wilayah rawan pangan di
suatu kecamatan terhadap kecamatan yang lain. Hal ini
ditandai dari besar Indeks Moran's lima indikator rawan
pangan di Kabupaten Minahasa Tenggara yang mendekati
+1. Hal ini berarti lima indikator tersebut mempunyai
korelasi yang tinggi. Berdasarkan Indeks Moran's,
indikator yang memiliki pengaruh terhadap rawan pangan
di Kabupaten Minahasa Tenggara tahun 2011 antara lain,
Prosentase RKN dan prosentase AHH.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. Wiranto H.
Utomo dan Sri Yulianto, M.Kom. atas bimbingan yang
diberikan selama menyusun Tesis yang terkait dengan
metode yang digunakan dalam paper ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dirjen DIKTI
atas pendanaan yang diberikan melalui hibah penelitian
Tim Pascasarjana tahun anggaran 2013.
REFERENSI [1] Departemen Pertanian, 2010, Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan 2010, Kebijakan Pengembangan
Ketersediaan Pangan. Bahan Paparan Workshop Dewan
Ketahanan Pangan, 20-22 September 2010.. Jakarta.
[2] Departemen Pertanian, 2009, Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan 2009, Kebijakan Pengembangan
Ketersediaan Pangan. Bahan Paparan Workshop Dewan
Ketahanan Pangan, September 2009. Jakarta.
[3] Anselin, 1998, GIS Reseach Infrastructure for Spatial
Analysis of Real Estate Markets, Journal of Housing
Research, Volume 9, Issue 1.
[4] Zhang D., Mao X., dan Meng L., 2009, A Method Using
ESDA to Analyze The Spatial Distribution Patterns of
Cultural Resource, The International Archives of The
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information
Sciences, Vol. 38, Part II.
[5] Arrowiyah, Sutikno, 2009, Spatial Pattern Analysis
Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue Informasi
Early Warning Bencana di Kota Surabaya, Institut
Teknologi Surabaya.
[6] Harvey dkk, 2008, The North American Animal Disease
Spread Model: A simulation model to assist decision
making in evaluating animal disease incursions, Preventive
Veterinary Medicine, Vol 82, Halaman 176-197.
[7] Departemen Pertanian, 2009, Peta Kerawanan Pangan
Indonesia (Food Insecurity Atlas), Pusat Kewaspadaan
Pangan, Badan Ketahanan Pangan, September 2009,
(http://www.foodsecurityatlas.org/idn/country/fsva-2009-peta-ketahanan-dan-kerentanan-pangan-
indonesia/bab-1-pendahuluan).
[8] Prasetyo, S. Y, 2010, Endemic Outbreaks of Brown
Planthopper in Indonesia Using Exploratory Spatial Data
Analysis. International Journal of Computer Science Issues,
Vol. 9, Issue 5, No 1, September 2010.
[9] Tsai PJ, 2012, Application Of Moran's Test With An
Empirical Bayesian Rate To Leading Health Care Problems
In Taiwan In A 7-Year Period (2002-2008). Glob J Health
Sci, 4 Juli 2012, 4(5):63-77.
[10] Chen Y., 2010, On The Four Types of Weight Functions for
Spatial Contiguity Matrix, Department of Geography,
College of Environmental Sciences, Peking University,
Beijing.
A6 Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013
40
[11] LeSage, J. P., 1999, The Theory and Practice of Sapcial
Econometrics, Department of Economics, University of
Toledo.
[12] Vitton, P., 2010, Notes on Spatial Econometric Models,
City and Regional Planning.
[13] Cliff, A.D., & Ord J. K., 1973, Spatial Autocorrelation.
London:Pion. http://www.deepdyve.com/lp/sage/cliff-a-d-
and-ord-j-k-1973-spatial-autocorrelation-london-pion-
vtW4ntr0kR
[14] Lembo A.J., 2006, Spatial Autocorrelation, Cornell
University.
http://www.css.cornell.edu/courses/620/lecture9.ppt [15] Dormann C. F., McPherson J.M.,2007, Methods to Account
for Spatial Autocorrelation in the Analysis of Species
Distributional Data : A review, Ecography 30 : 609628,
2007, doi: 10.1111/j.2007.0906-7590.05171.x
[16] Puspitawati Dewi, 2012. Pemodelan Pola Spasial Demam
Berdarah Dengue di Kabupaten Semarang Menggunakan
Fungsi Moran’s I. Fakultas Teknologi Informasi,
Universitas Kristen Satya Wacana.
[17] Lee, J., Wong D. W. S., 2001, Statistical Analysis with
Arcview GIS, John Wiley and Sons, New York.
[18] Celebioglu dan Dall’erba, 2010, Spatial Disparities across
The Regions of Turkey : on exploratory spatial data
analysis, Ann Reg Sci (2010) 45: 379-400, DOI
10.1007/s00168-009-0313-8.
[19] Anselin, L., 1995, Local Indicators of Spatial Association-
LISA, Geographical Analysis, Vol. 27, No. 2 (April 1995)
Ohio State University Press.
[20] Oliveau, S., Guilmoto, C. Z., 2005, Spatial Correlation And
Demography. Exploring India’s Demographic Patterns,
"XXVC Congrès International De La Population, Tours :
France (2005)".
Constantina A. Widi P, memperoleh gelar Sarjana Komputer di Fakultas Teknologi Informasi, FTI UKSW pada tahun 2011.
Saat ini sedang menyelesaikan tesisnya di bidang Sistem
Informasi di universitas yang sama.
Adi Setiawan, memperoleh gelar Sarjana Matematika dari UGM tahun 1991, Master di bidang Matematika diperoleh di
Vrije Universiteit Amsterdam pada tahun 1997
dan doktor diperoleh di Vrije Universiteit pada tahun 2007. Saat
ini sebagai dosen pada prodi Matematika Fakultas Sains dan
Matematika UKSW
Eko Sediyono, memperoleh gelar Sarjana Statistika dari Fakultas
MIPA Institut Pertanian Bogor pada tahun 1985. Kemudian
tahun 1993 memperoleh gelar Magister Komputer dari Fakultas
Ilmu Komputer, Universitas Indonesia Jakarta. Doktor Ilmu
Komputer di peroleh tahun 2006 pada universitas yang sama.
Jabatan akademik Guru Besar di bidang Ilmu Informatika di
peroleh di UKSW pada tahun 2008. Saat ini menjabat sebagai
ketua program studi Magister Sistem Informasi, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2013 A6
41
LAMPIRAN
Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan [2]
No Indikator Definisi dan Perhitungan
A Ketersediaan Pangan
1 Rasio
konsumsi
normatif
terhadap
ketersediaan
bersih (padi,
jagung, ubi
kayu)
- Konsumsi normatif serealia
adalah 300 gr/kapita/hari.
- Ketersediaan bersih padi, jagung,
ubi kayu dihitung dari rata-rata
produksi padi, jagung, ubi kayu
tahun 2006-2010 dan dikonversi
ke Pangan Setara Beras (PSB).
- Data serealia dari perdagangan
dan impor tidak diperhitungkan
karena ketiadaan data.
- Rasio konsumsi diperoleh dari
membagi ketersediaan PSB per
kecamatan dengan konsumsi
normatif serealia penduduk
dalam setahun.
- Rasio konsumsi normatif
terhadap ketersediaan bersih
serealia dengan nilai 1 adalah
defisit pangan.
B Akses Pangan
2 Persentase
penduduk
yang hidup
di bawah
garis
kemiskinan
- Persentase penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan
menggunakan data rata-rata KK
Miskin 5 tahun (2005-2009).
- Persentase KK Miskin dengan
nilai 20% buruk.
C Pemanfaatan Pangan
3 Angka
harapan
hidup pada
saat lahir
- Perkiraan lama hidup bayi baru
lahir.
- Data yang digunakan adalah
Angka Harapan Hidup (AHH)
Kabupaten Minahasa Tenggara
sehingga nilainya sama untuk
setiap kecamatan.
- Nilai AHH >64 tahun adalah
baik dan
Top Related