BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Penyakit
tersebut adalah suatu sindroma klinik dengan gejala protenuria masif, hipoalbuminemia berat,
edema anasarka,dan hiperlipidemia.1 Insidensi SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 ribu anak per tahun. Di negara
berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia angka kejadian mencapai 6 kasus pada
tiap 100.000 anak pertahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2
Tatalaksana medikamentosa SN, menggunakan kortikosteroid sebagai pengobatan
pilihan pertama. Sesuai dengan rekomendasi International Study of Kidney Disease in
Children (ISKDC) terapi inisial sindroma nefrotik adalah prednison dosis penuh (Full dose) 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam 4 minggu dan dilanjutkan dengan prednison 40
mg/m2LPB/hari (maksimal 60 mg/hari) selang sehari selama 4 minggu.3
Pada pengobatan inisial terjadi remisi total 94% namun sebagian besar akan
mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Sekitar 20%
tidak respon terhadap terapi inisial, yang kemudian diklasifikasikan dalam SN resisten
steroid.3
Pada penderita sindroma nefrotik responsif steroid mempunyai prognosis lebih baik
dibandingkan resisten steroid, sehingga pada resisten steroid mendapatkan pengobatan
dengan durasi yang lebih lama yaitu kortikosteroid alternate dose selama 6 bulan. Begitu
juga pada penderita sindroma nefrotik relaps jarang lebih baik daripada penderita sindroma
nefrotik relaps sering, relaps sering menggunakan dosis yang lebih tinggi yaitu full dose
selama 4 minggu, kemudian diturunkan sampai dosis yang tidak menimbulkan relaps yaitu
0,1-0,5 mg/kgBB secara selama 6-12 bulan. Selain terapi kortikosteroid juga digunakan
terapi sitostatika.3
Pemberian kortikosteroid pada pasien sindrom nefrotik anak terbukti menurunkan
tingkat kematian penderita sindroma nefrotik.4 Pada penelitian yang dilakukan E. Hodson,
dkk pada 868 penderita sindroma nefrotik anak usia 3 bulan hingga 18 tahun, didapatkan
kesimpulan bahwa penggunaan Prednison dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan,
mengurangi risiko relaps.5
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
1. Identitas penderita :
Nama penderita : An.B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 24 – 04 - 2010
Umur : 3 tahun 9 bulan
MRS tanggal : 27 Januari 2014
2. Identitas orang tua/wali :
Ayah : Nama : Tn. S
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tani
Alamat : Simpang 3 sipin Rt. 022
Ibu : Nama : Ny. N
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Simpang 3 sipin Rt. 022
II. ANAMNESIS
Aloanamnesa dengan : Orang tua pasien
Tanggal : 4 Febuari 2014
1. Keluhan utama : Bengkak seluruh badan ± 2 bulan yang lalu
2. Riwayat penyakit sekarang :
± 2 bulan yang lalu An.B mengeluhkan kedua kelopak mata nya bengkak, bengkak
di rasa nya pada pagi hari kemudian bengkak menghilang saat sore hari. Setelah dua
hari kelopak matanya yang bengkak kemudian bengkak menjalar bagian perut,
kelamin dan lama – lama menjalar ke tungkai bagian bawah. An. B juga
mengeluhkan jarang kencing sejak perutnya mulai membengkak, kencingnya
sedikit demi sedikit, berwarna kuning dan tidak pernah berwarna merah. An. B juga
mengeluhkan susah BAB. Tidak ada demam, batuk (-), pilek (-), penyakit kulit
(-),sesak (-), mengeluhkan sakit pinggang maupun sakit perut. Makan dan minum
seperti biasa.
2
Riwayat penyakit dahulu :
Anak tidak pernah mengalamin ini sebelum nya.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan :
Riwayat Antenatal :
Ibu rajin memeriksakan kehamilan ke bidan Puskesmas tiap bulan sekali dan
mendapatkan suntikan TT sebanyak 2 kali.
Riwayat Natal :
Masa kehamilan : Aterm
Partus : Normal
Spontan/tidak spontan : Spontan
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Berat badan lahir : 3600 gram
Panjang badan lahir : Ibu tidak tahu
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Penolong : Bidan
Tempat : klinik
Riwayat Neonatal :
Setelah lahir anak langsung menangis, kulit kemerahan, gerak aktif.
4. Riwayat perkembangan :
Tiarap : 3,5 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun 1 bulan
6. Riwayat imunisasi
BCG :umur 2 bulan
Polio : umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan.
Hepatitis B: Sejak lahir
DPT : umur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Campak : umur 9 bulan
3
7. Makanan :
Anak mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 6bulan. Saat usia 6bulan anak
mulai beralih ke susu formula sampai usia 1 tahun. Pada usia 1,5-2 tahun anak
makan nasi tim. Usia 2 tahun sampai sekarang anak makan nasi biasa, dengan
frekuensi 3 kali sehari. Anak suka makan ikan dan tidak suka makan sayur.
8. Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol : -
Mengompol : +
Aktifitas : Aktif
Membangkang : -
Ketakutan : -
9. Status Gizi
Rumus Perkiraan BB:
Usia 1-6 tahun : usia (tahun) x 2 + 8 kg
: 4 x 2 + 8 kg
: 16 kg.
BB/PB = Gizi Baik (SD= +1)
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
GCS : 4-5-6
2. Pengukuran :
Tanda vital : Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 94 x/menit
Suhu : 36,5o C
Respirasi : 24 x/menit
Berat badan : 18 kg
Tinggi badan : 90 cm Kulit : Warna : Kecoklatan
Sianosis : tidak ada
Hemangiom : tidak ada
Turgor : cepat kembali
4
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
3. Kepala : Bentuk : Normochepal
UUB : datar, sudah menutup
UUK : datar, sudah menutup
Rambut : Warna : hitam, ikal
Tebal/tipis : tebal
Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang
Alopesia : tidak ada
Mata : Palpebra : edema
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetris : isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Kornea : jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa bibir basah, sianosis tidak ada
Gusi : - tidak mudah berdarah
- pembengkakan tidak ada
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
5
Warna : kemerahan
Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
4. Leher :
Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Masa : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
5. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Pernafasan : thorakal
Palpasi : Fremitus fokal : simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : tidak terlihat
Palpasi : Apeks : tidak teraba
Thrill : tidak ada
Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra
Batas kiri : ICS V LMK sinistra
Batas atas : ICS II LPS dextra
Auskultasi :
6
Frekuensi : 102 x/menit
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada
6. Abdomen
Inspeksi : Bentuk : cembung
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Masa : tidak ada
Undulasi : (+)
Perkusi : Timpani/pekak : timpani, shifting dullness (+)
Asites : ada
Auskultasi : bising usus (+) normal
7. Ekstremitas :
Umum : akral hangat, edema ( + + ) , tidak parese
( + + )
Neurologis
TandaLengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal normal
Tonus Normal Normal Normal normal
Trofi - - - -
Klonus - - - -
Refleks
Fisiologis
BPR (+)
TPR (+)
BPR (+)
TPR (+)
KPR (+)
APR (+)
KPR (+)
APR (+)
Refleks
patologis
Hoffman
Tromner (-),
Leri (-),
Meyer (-)
Hoffman
Tromner (-),
Leri (-),
Meyer (-)
Babinsky (-),
Chaddok (-),
Oppenheim (-)
Babinsky (-),
Chaddok (-),
Oppenheim (-)
Sensibilitas Normal Normal Normal normal
Tanda
meningeal- - - -
7
9. Susunan saraf : Nervi Craniales I – XII normal
10. Genetalia : Laki-laki dan skrotum edema (+)
11. Anus : Ada dan tidak ada kelainan
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA
1. Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 27 – 01 - 2014
Jenis
Pemeriksaan
Nilai Jenis
PemeriksaanNilai
Leukosit (per mm3) 10.3 MCV
(/l)
80
Eritrosit (juta/mm3) 6.15 MCH
(pg)
25.3
Hemoglobin (gr%) 15.6 MCHC
(g/dl)
31.5
Hematoktrit(%) 49.4 RDW
(pl)
16.8
Trombosit ( per mm3) 341 MPV
(pl)
6.4
2. Pemeriksaan Kimia Darah tanggal 27 Januari 2014
Kolesterol total : 624mg/dl
Protein total : 3,7 gr/dl
Albumin : 1,0 gr/dl
Globulin : 2,7 gr/dl
Ureum : 28,7 mg/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
3. Pemeriksaan Urin (Urinalisa)
Makroskopik :
Warna : Kuning muda
Kekeruhan : Jernih
Mikroskopik :
Leukosit : 5 – 6 / lpb
Eritrosit : 3 – 4 / lpb
8
Epitel : 4 – 5 / lpb pH : 6
Kristal : (-) Protein : 2 +
Silinder : (-) Glukosa : (-)
VI. DIAGNOSA BANDING
1. Glomerulonefritik
2. Congestive heart failure (CHF)
VII. DIAGNOSA KERJA
Sindroma nefrotik
VIII. PEMERIKSAN PENUNJANG
1. ASTO
2. CRP
IX. PENATALAKSANAAN
1. Terapi cairan
Kebutuhan kalori dan cairan
Umur 4-6 tahun : 90 cc/kgbb ideal
: 90cc/ 16 kg
: 1440 cc/hari
Menghitung tetesan cairan infus
Tetesan : BB x Kebutuhan Cairan x Jenis infus
24 ( jam ) x 60 ( menit )
Tetesan : 16 x 90 cc x 20
1440
Tetesan : 20x 0,3 = 6 tts/m
2. Terapi kausatif
-Inj Ceftriaxon (50 mg/kgbb) 900 mg ad D5% 100 cc
-Inj Furosemid (1-2mg/kgbb/hr) 18 mg IV
-Prednison tablet 4-3-2
-Valsartan tablet 40 mg
3. Terapi nutrisi
9
Diit tinggi protein rendah garam (TPRG)
Syarat :
Energi sesuai dengan kecukupan menurut umur dan berat
Protein tinggi ( 3-4 g/kg bb sehari )
Lemak cukup
Natrium dibatasin sesuai dengan beratnya retensi garam
Mineral dan vitamin diberikan cukup, kecuali natrium
Rasa makanan ditingkat dengan menambah bumbu – bumbu yang
tidak mengadung natrium.
Perhitungan kalori
umur 1-4 tahun : 90 kal/kgbb
: 90kal x 18 kg
: 1.620 kal
Pukul 06.00
Susu bubuk : 3 sdm = 15 g
Gula pasir : 1 sdm = 10 g
Pagi
Nasi : 1/3 gls = 50 g
Telur : 1 btr = 50 g
Minyak : 1/2sdm = 5 g
Sayuran : 1 /2 gls = 30g
Pukul 10.00
Kacang hijau : 1 ½ sdm = 15g
Gula : 1 sdm = 10 g
Susu bubuk : 2 sdm = 10 g
Siang
Nasi : ½ gls = 75 g
Daging : ½ ptg = 25 g
Telur : 1 btr =50 g
Tempe : 1 ptg = 25 g
Sayuran : ½ gls = 35 g
Minyak : 1 sdm = 10 g
Pepaya : 1 ptg = 100g
Malam
Nasi : ½ gls = 75 g
Ikan : ½ ptg = 30 g
Telur : 1 btr =50 g
Tempe : 1 ptg = 25 g
Sayuran : ½ gls = 35 g
Minyak : ½ sdm = 5 g
Pepaya : 1 ptg = 100g
Pukul 21.00
Susu bubuk : 3 sdm 15 g
Gula pasir : 1 sdm 10 g
10
4. Terapi Suportif
a) Mengganti kehilangan protein terutama albumin
b) Memonitor balance cairan input dan output
c) Mengontrol tekanan darah
d) Memonitor hypercalemi
e) Memonitor hypercholesterolemia
5. Terapi Edukasi
a. Edukasi kepada keluarga pasien agar anaknya memakan putih telur dan
ikan gabus dengan sedikit garam karena putih telur, tahu, tempe,ikan
gabus tinggi protein dimana pada pasien SN memerlukan diet tinggi
protein rendah garam terutama pada kasus ini.
b. Cara penggunaan obat prednison pada pengobatan penyakit SN memiliki
banyak efek samping.
c. Diajarkan cara untuk memantau kebutuhan cairan untuk pasien SN agar
input dan output seimbang.
d. Jika pasien masih mengalami bengkak yang hebat, dianjurkan untuk
minum secukupnya saja.
e. Sanitasi dan hygiene lingkungan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
XI. Follow Up
Tanggal S O A P
11
28-1-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 100/60 mmHgRR : 22 x/iNadi: 112 x/iT: 36,7 0C Bb: 18 kgLp:63cmI: 250O: 600cc
Hasil pemp. Urin rutin :Kuning mudaSel leukosit : 5 – 6/ LPB.Sel eritrosit : 1 – 2/LPBsel epitel : 3 – 4/LPBalbumin : (+++)reduksi glukosa: (-)
sn IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Furosemid 2x 18mg Potassium chloride 1x300
mg Captopril 3x4 mg Diet tktp Diet rendah garam
29-1-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 121/80 mmHgNadi: 89x/iRR: 24 x/iT: 36,4 0C I: 1250O: 1500BB: 18kgLP:68cm
Kultur urin : tidak ada pertumbuhan kuman
Usg : pyelonefritisAscites intra abdomen, retroperitoneal, intra pelvis
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Furosemid 2x 18mg Potassium chloride 1x300
mg Captopril 3x4 mg Diet tktp Diet rendah garam
30-1-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 100/60 mmHgNadi: 89x/iRR: 20 x/iT: 36,2 0C
BB:18kgLp:65cmI: 700ccO:1.500cc
Urin rutin:Hasil pemp. Urin
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Furosemid 2x 18mg Potassium chloride 1x300
mg Captopril 3x4 mg Diet tktp Diet rendah garam
12
rutin :Kuning muda1015Sel leukosit : 5 – 6/ LPB.Sel eritrosit : 3 – 4/LPBsel epitel : 4 – 5/LPBalbumin : (++)reduksi glukosa: (-)
1-2-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 100/60 mmHgNadi: 82 x/iRR: 22 x/iT: 36,4 0C
I:2500ccO:1500ccBB:18kgLP:61cm
Sn + pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Furosemid 2x 18mg Potassium chloride 1x300
mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin
100cc
3-2-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 100/60 mmHgNadi: 88 x/iRR: 24 x/iT: 35,5 0C
BB:16kgLP:60cmI:1020ccO:1500cc
Albumin : 1,1 g/dlHasil pemp. Urin rutin :Kuning mudaBJ: 1015Sel leukosit : 6 – 8/ LPB.Sel eritrosit : 20 – 30/LPBsel epitel : 3 – 4/LPBalbumin : (++)reduksi glukosa: (-)
Sn + PNA IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Furosemid 2x 18mg Captopril 3x4 mg Potassium chloride 1x300
mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin
100cc
13
4-2-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 100/60 mmHgNadi: 88x/iRR: 21 x/iT: 36,1 0C BB:18kgLP:57cmI:1650ccO:2500cc
Sn+PNA IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 4-3-2 Diet tktp Diet rendah garam Albumin 100cc
6-2-2014
Bengkak pada muka (+)Bengkak pada kemaluan (+)Bengkak pada tungkai (+)
TD: 110/60 mmhgN : 85x/iT: 37,00CRR: 20x/i
BB:16kgLp:57cmI:950ccO:1000 ccHasil pemp. Urin rutin :Kuning mudaBJ:1010Sel leukosit : 5 – 6/ LPB.Sel eritrosit : 25 – 30/LPBsel epitel : 3 – 4/LPBalbumin : (+++)reduksi glukosa: (-)
Sn+PNA IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 4-3-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
7-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)Bengkak pada tungkai (-)
TD: 100/80 mmhgN : 80x/iT: 36,50CRR: 20 x/i
BB: 15kgLp:54cmI:1200ccO::1300cc
Albumin :1,6 g/dl
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 3-2-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
8-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)Bengkak pada tungkai (-)
TD: 100/70 mmhgN: 90x/iRR:20x/i
BB:12kgLP:47cmI: 1.700cc
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 3-2-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
14
O:2.000cc
Urin rutin (lab kes)Warna: kuningKekeruhan : keruhpH:8 Bj: 1003Darah: (+++)Sedimen :-eritrosit : >100-leukosit:2-3/LPBEpitel (+)Bakteri (+)
10-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)Bengkak pada tungkai (-)
TD: 100/60 mmhgN:91x/iRr:21x/i
BB:12kgLP:49cmI:1000ccO:950cc
Urin rutin : k.mudapH 7BJ 1010Protein (+++)Leukosit: 10-12/LPBEritrosit :0-2 /LPBEpitel :4-5/LPB
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 3-2-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
12-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)Bengkak pada tungkai (-)
TD: 110/60 mmhgN:91x/iRr:21x/i
BB:12kgLP:49,5cmcmI:1650ccO:1500cc
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Inj. Ceftriaxon 650 mg
dalam D5% 100 ml Prednisolon 3-2-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
13-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)Bengkak pada tungkai (-)
TD: 100/60 mmhgN:91x/iRr:21x/i
BB:12kgLP:49cmI:1500ccO:1600cc
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Prednisolon 3-2-2 Valsartan 1x7mg Diet tktp Diet rendah garam Transfusi albumin 100cc
14-2-2014
Bengkak pada muka (-)Bengkak pada kemaluan (-)
TD: 100/50 mmhgN : 90x/iT: 36,20C
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Prednisolon 3-3-2 Diet tktp Diet rendah garam
15
Bengkak pada tungkai (-)
RR: 21x/i
BB: 12kgI:800ccO:1000cc
CRP(-)ASTO (-)
Valsartan 7 mg
16-2-2014
Tidak ada keluhan
TD: 90/50 mmhgN : 90x/iT: 360CRR: 21x/i
BB: 12kgI:100ccO:1200cc
Hasil kultur dan sensitivitas Hasil kultur gram (-), hitung kuman 105/ml urineDisk antibiotik meropenem memiliki sensitivitas paling tinggi
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Prednisolon 3-3-2 Diet tktp Diet rendah garam Valsartan 7 mg
18-2-2014
Tidak ada keluhan
TD: 100/60 mmhgN : 100x/iT: 35,70CRR: 34x/i
BB:12kgLP:54cmI:1000ccO:1400cc
Sn+pna IVFD D5 6 gtt/i Prednisolon 3-3-2 Meropenem 3x250mg Diet tktp Diet rendah garam Valsartan 7 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
16
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi
kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum).
Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika
urinaria (buli-buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.
1.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-
masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan
adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11
(vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari
krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari
batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan
ginjal kiri.
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
17
Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).
Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal
Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
Hilus renalis: suatu bagiandi mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan
calix minor.
Calix minor: percabangan dari calix major.
Calix major: percabangan dari pelvis renalis.
Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Gambar 2.2 Fisiologi Ginjal
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu
glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus
kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju
glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan
letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian
18
lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di
mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh
ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa
rekta.5
Gambar 2.3 nefron
Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki
ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobarisa. arcuata
a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus
dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan
persarafan simpatis melalui n.vagus.4,5
1.3 Fisiologi ginjal
19
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :3,5,6
1. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi
tekanan vaskuler.
2. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
3. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus
dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
4. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan
vaskuler dan produksi aldosteron.
Tiga tahap pembentukan urine:
1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma
yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit,
asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow)
adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari
plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk
ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang
terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam
kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak
hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding
kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air.
Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat
yang sudah difiltrasi.
20
3)Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam
tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam
urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam
sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa
natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan
tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau
kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada
konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan
tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa
hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti
mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya
dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
2.. Sindroma nefrotik
2..1 Definisi
Sindroma nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia berat, hiperkolesterolemia, dan sembab. Diagnosis
sindroma nefrotik ditegakkan dengan adanya edema, proteinuria berat (>40 mg/m2LPB/jam
atau ≥ 50 mg/kgBB/hari, atau rasio protein/kreatinin > 2,0 mg/mg atau dipstick ≥+2),
hipoalbuminemia ( <2,5g/dl), dan hiperlipidemia. Sedangkan remisi bila edema menghilang
dan proteinuria membaik (<4mg/m2LPB/jam atau albuminuria dipstick 0 atau trace) selama 3
hari berturut-turut dalam seminggu.5,6
Saat ini, respon terhadap pengobatan steroid, lebih sering dipakai untuk
menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.3 Oleh karena itu,
klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik, yaitu :
1. Sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS)
SNSS adalah Sindroma nefrotik dimana terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
2. Sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)
21
SNRS adalah Sindroma nefrotik dimana tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.3
2.1 EPIDEMIOLOGI
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.2 Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia
kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%,
glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM)
1,5%.5,6,7 Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami
remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).8
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
dan lain lain.
2.2 KLASIFIKASI
Sindrom nefrotik secara etiologi dibagi menjadi 2 kelompok:
A. Sindrom Nefrotik Primer
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain.1,7Sehingga dikatakan idiopatik namun diduga berhubungan dengan genetic
maupun imunologi alergi. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindroma nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari International Study Kidney Disease in Children (ISKDC) .
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop
elektron dan imunofluoresensi. Sindroma nefrotik primer yang banyak menyerang
anak biasanya berupa sindroma nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindroma nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan
pada anak-anak. 7 Di Indonesia gambaran histopatologik sindroma nefrotik primer
22
agak berbeda, seperti yang dikkemukakan Wila Wirya, hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindroma nefrotik primer yang dibiopsi.1
1. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap
semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan
ginjal pada masa neonatus namun jarang atau bahkan tidak berhasil. Prognosis
buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan yang dibuat berdasarkan
histopatologinya, yaitu :
Kelainan minimal
1. Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot
processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)
2. Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-
IC pada dinding kapiler glomerolus
3. Lebih banyak terdapat pada anak
4. Prognosis baik
Nefropati membranosa
1. Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel
2. Prognosis kurang baik
Glomerulonefritis proliferative
1. Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus
dan terjadi pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan
kapiler tersumbat.
2. Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
3. Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular
dan viseral.
23
4. Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC
atau beta-IA rendah.
Glomelurosklerosis Fokal Segmental
Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
Prognosis buruk
B. Sindrom Nefrotik Sekunder
timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering
dijumpai disebabkan oleh:
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga,
bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
2.3 PATOGENESIS
Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindroma
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.8 Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.1
Indikator utama pada SN adalah adanya proteinuria masif yaitu lebih dari 3,5
gram per 1,73 m2 luas permukaan badan perhari atau 25 x nilai normal (pada orang
24
normal protein dalam urine + 150 mg/hari).(10) Proteinuria ini sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuria glomerulus) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuria tubular). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan
dua hal :
Pertama : jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus meningkat sehingga
serum protein tersebut masuk ke dalam lumen tubulus.
Kedua : kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein
yang telah difiltrasi glomerulus.
PERMEABILITAS GLOMERULUS MENINGKAT
Kebocoran PBH melalui urin kenaikan filtrasi LIPIDURIA(protein-bound hormon) plasma protein
penurunan plasma T-4 HIPERKOLESTEROLEMIA
Kenaikan reabsorbsi ALBUMINURIA kenaikan sintesis proteinPlasma protein dalam sel hepar
Katabolisme albumin HIPOPROTEINEMIA Penurunan volumeDalam sel tubulus intravaskular
Malnutrisi Kenaikan volume cairan interstitial
Kehilangan protein melaluiUsus (enteropati)
Kerusakan sel tubulus
AMINOASIDURIA SEMBAB
Mekanisme atau patogenesis proteinuria masif sangat kompleks, dan tergantung dari
banyak faktor. Albumin merupakan serum protein yang mempunyai berat molekul kecil dan
jumlahnya banyak sehingga mudah keluar bila terdapat kerusakan membran basalis ginjal.
Keadaan demikian sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan minimal.
25
Hipoproteinemia
Plasma mengandung banyak macam protein dan sebagian besar mengisi ruangan
ekstravaskular. Plasma atau serum protein terutama terdiri dari albumin karena itu istilah
hipoproteinemia identik dengan hipoalbuminemia.
Hipoproteinemia dapat terjadi akibat kehilangan protein melalui urin (proteinuria),
katabolisme albumin meningkat, intake protein berkurang karena penderita anoreksia atau
bertambahnya pemakaian asam amino.8
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intervaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema.1
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis,
hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati
dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada
SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase )
yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga
terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.7
Sembab atau edema
26
Klinis sembab atau edema menunjukkan adanya penimbunan cairan dalam ruang
interstitial di seluruh tubuh. Sembab atau edema sering merupakan keluhan pertama dan satu-
satunya dari pasien-pasien SN. Mekanisme sembab seperti terlihat pada skema dapat melalui
sistem kapiler dan renal.
PATOGENESIS (MEKANISME) SEMBAB PADA SINDROM NEFROTIK
SINDROM NEFROTIK
PROTEINURIA MASIF
HIPOALBUMINEMIA
TEKANAN ONKOTIK KAPILE
Volume darah efektif
Aktivasi simpatetik Renin angiotensin
Circulating catecholamin Humoral
Tahanan vaskular ginjal
Aktivasi aldosteron
Desakan starling & tekanan
Kapiler peritubular
Reabsorbsi Na+ pada tubulus
LFG NATRIURESIS
VCES
SEMBAB
2.4 MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise,
bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa.
Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites),
dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun
27
akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi
adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat
terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia,
dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien
dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini
dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat
nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. Pada anak
dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang merupakan akibat
stress nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.
Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma nefrotik adalah sebagai berikut:
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang
terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah
protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/
m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan
selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar
dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.
Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin
dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun
tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin
normal atau menurun.
3. Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
28
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid
meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)
hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk
lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
4. Sembab atau edema
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori
underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema
terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein
melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,
yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan
intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan
perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron,
yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume
intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi
penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka
cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial
sehingga memperberat edema.
Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air
diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan
permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat
defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler.
Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.
29
Gambar 2.4 Penderita Sindroma Nefrotik
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua
penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan
terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin,
aldosteron menurun terhadap hipovolemia.
2.5 DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1.Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+). Proteinuria pada
sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/Dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru
akan terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering
dijumpai kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut.
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
30
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
1.1 trombosit, hematokrit, LED)
1.2 Albumin dan kolesterol serum Ureum
1.3 kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
1.4 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
2.7 BATASAN
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut- turut dalam 1 minggu
Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
Relaps sering :(frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu
2.9 PENATALAKSANAAN
2.9.1 Tatalaksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
31
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka
yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah
baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila
edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi
energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan
diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti
furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin
32
dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak
pada Gambar.
Furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari+ spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari
Respons (-)
Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jamDosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari)
Respons (-)
Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari
Respons (-)
Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1 mg/kgbb/jam
Respons (-)
Albumin 20% 1g/kgbb intravenadiikuti dengan furosemid intravena
Gambar 2.5. Algoritma pemberian diuretik
2.9.2 PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. TERAPI INSIALTerapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam
4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3
33
dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah
makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Gambar 2.6 Pengobatan inisial dengan kortikosteroid
Keterangan:
Prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (2 mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis
diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2LPB/hari (2/3
dosis penuh), dapat diberikan secara intermitent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau
alternating (selang sehari), selama 4 minggu.
Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison intermitent/alternating
40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu
pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom netritik resisten steroid 4 minggu.
Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resistan steroid.
Berbagai kelompok pakar menganjurkan bahwa dengan pemberian prednison dosis
penuh selama 6 minggu dilajutkan dengan dosis alternating selama 6 minggu, akan
memperpanjangan remisi dibandingkan dengan dosis standar 8 minggu. Pada pengamatan 12
bulan pasca terapi, kejadian relaps menurun menjadi 36,2% vs 81% (dosis standar)
(APNkons).
Pada penelitian di jakarta didapatkan kesan adanya penurunan jumlah relaps pada
kelompok yang mendapat steroid lebih lama, tetapi karena jumlah kasus yang diteladi sedikit,
perbedaan ini tidak dapat dinilai secara statistik,sedangkan penelitian di Surabaya
menemukan perbedaan kejadian relaps yang tidak bermakna.
Sebuah meta-analisis dari penelitian randomized controlled trials menunjukkan bahwa
anak-anak dengan sindrom nefroik sebaiknya diterapi paling tidak selama 3 bulan.
34
Pengobatan relaps
Relaps sering didahului oleh infeksi saluran papas atas, yang harus dideteksi dan
diobati secara benar. Pengobatan relaps terdiri dari prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan prednisone intermitten/alternating 40
mg/m2LPB/ hari selama 4 minggu. Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu
tidak juga terjadi remisi maka pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotiok resisten steroid
dap harus diberikan terapi imunosupresif lain.
Prednison yang diberikan setup hari dapat diberikan secara dosis tunggal atau terbagi;
sedangkan dosis alternating diberikan secara dosis tunggal pada pagi hari. Pernanjangan
terapi relaps lebih dari 5-6 minggu tidak diperlukan pada pasien dengan kambuh tidak sering.
Gambar 2.7 Pengobatan sindrom nefrotik relaps
Keterangan:
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.
Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka
pasien di diagnosis sebagai SN resisten steroid dap harus di berikan terapi imunosupresif lain.
Pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering atau dependen steroid
Saat ini ada 4 opsi pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering dan dependen steroid, yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
35
4. Pengobatan dengan siklosporin
Disamping pengobatan tersebut diatas tidak boleh dilupakan untuk mencari fokus infeksi
seperti misalnya tuberkulosis, infeksi gigi, atau kecacingan.
Faktor risiko terjadinya relaps sering adalah:
a. Onset penyakit pada umur kurang dari 3 tahun
b. Relaps terjadi pada 6 bulan pertama
c. Remisi lambat pada episode awal
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian siklofosfamid (CPA), mengingat efek samping
steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan (Gambar 3). Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir
prednison 0,5 mg/ kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
Bila terjadi rel~pspada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi 11
< 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan
dengan levailusol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung
diberikan CPA. Dibecikaii CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu.
2. Levamisof
Levamisol adalah obat dengan efek imunomodulasi sel T. Pemakaian levamisol pada sindrom
nefrotik masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Di Jakarta, penelitian pemberian
levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Efek samping levamisol
antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversibel.
Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat direkomendasikan
secara umum, keputusan diserahkan kepada dokter spesialis anak atau dokter spesialis anak
36
konsultan yang mengobati pasien. Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis
tunggal selang sehari, selama 4-12 bulan.
Gambar 2.8 Diagram pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen atau dependen steroid
Keterangan:
37
1) Langsung diberi CPA (+ prednisonAD.)
2) Sesudah prednison jangka panjang , dilanjutkan dengan CPA
3) Sesudah prednison jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang Bering dipakai pada pengobatan sindrom nefrotik anak adalah
siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi
relaps sampai lebih dari 50°0, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun.
APN melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih
lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%(16kons),
tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Gambar2.9 Pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen
Keterangan :
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40 mg/m2LPB/hari dan
imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8
minggu.
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada sindrom nefrotik
relaps sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika antara
lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan
darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, 1-2 kali seminggu. Bila jumlah
leukosit kurang dari 3.000/uL, kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit
kurang dari 100.000/uL, sitostatika dihentikan sernentara, dan diteruskan kembali bila jumlah
38
leukosit lebih dari 5.000/uL, hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombosit lebih dari
100.000/uL.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >200-300
mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan
dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral atau puls, baik pada SN relaps
sering atau dependen steroid, dengan skerna pengobatan seperti tampak pada Gambar 4 dan
Gambar 5.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin (suatu inhibitor calcineurin) dengan dosis 5-6
mg/kgBB/hari untuk mempertahankan kadar dalam darah (whole blood trough level) sebesar
50-150 ng/ml(Gambar 3). Pada SN relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan
dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,
tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pad SN resister steroid.
Gambar 2.10 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid
Keterangan :
Prednison dosis penuh setup hari sampai temisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid puts dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan berturut-turut dan prednison
intermttent/ alternating 40 mg/m2LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
39
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjulkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12
minggu dan prednison alternating 40 mg/m2LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian
prednison difapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Kebanyakan publikasi dalatn literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum pengobatan
dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatorni tersebut mempengaruhi
prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hash lebih baik pada SNKM dibanding
GSFS. Demikian pula hasil pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada
SNRS sejak awal (initial non reponder).
Gambar 2.11 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.
Keterangan :
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
Prednison dosis 40 mg/met-PB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
diianjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama taperingoff 2 bulan).
atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali
sebulan selama 6 bulan, dapat diianjutkan tergantung keadaan pasien.
40
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puss (6
bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1
bulan, dilanjuft. dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama taperingoff 2 bulan).
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20%
pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun sebelumnya merupakan
SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps dengan prednison, karma SN yang
resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin, bila pasien mampu. Skema pemberian CPA oral dan
puls dapat dilihat pada Gambar 6.
CPA puls dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik daripada CPA oral tetapi
jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif pada pemberian CPA
puts lebih kecil daripada CPA oral, dan efek sampingnya lebih sedikit, tetapi karma harga
CPA puls lebih mahal maka pemakaiannya di Indonesia masih selektif.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak
20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
ginggiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena
itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
a. Kadar CyA dalam serum dipertahankan antara 100-200 ug/mL
b. Kadar kreatinin darah berkala
c. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur,
tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
3. Metil-prednisolon puls
Mendoza dkk (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil-prednisolon puls
selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
41
minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32 pasien (66%) tetap menunjukkan remisi
total dan gagal ginjal terminal hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol,
tetapi hash ini tidak dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek
samping metil-prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak sukar
untuk direkomendasikan di Indonesia.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dipakai pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan
mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur masih sporadik dan tidak dilakukan
dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi secara luas di Indonesia.
Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria
Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan
siklosporin (atau tidak marnpu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema)
dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme) untuk mengurangi
proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril 0.3 mg/kgBB, 3 kali sehari,
atau enalapril 0.5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk
menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif), dapat dikombinasi dengan
golongan anti reseptor bloker (ARB) misalnya losaktan 0.75 mg/kgBB dosis tunggal.
2.8 KOMPLIKASI
1. Infeksi
Anak-anak dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena infeksi, sebagian
karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi imunosupresif. Mereka
memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi pneumokokus. Beberapa ahli
mengusulkan bahwa anak-anak dengan NS diberikan profilaksis penisilin selama
relaps dari penyakit ini.Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif
menyebabkan proporsi yang signifikan dari infeksi pada anak-anak
dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien tertentu,
antibiotika spektrum luas harus ditentukan. Pasien pada obat-obatan imunosupresif,
jika terkena infeksi varicella, sebaiknya menerima imunoglobulin zoster dalam waktu
72 jam. Pasien dengan varicellaharus ditangani dengan infus asiklovir.
42
2.Hipovolemia
Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan edema.Kehilangan
cairan selama diare,muntah, sepsis dan terapi diuretik secara gegabah
memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinisdan gejala termasuk kram pusat
perut parah dengan atau tanpa muntah, penurunan output urine, kaki dingin,tekanan
darah rendah atau hipertensi reaktif.Laboratorium temuan natrium urinrendah (<10
mEq / l)dan hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik. pengobatan
sangat penting daninfus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5%albumin, albumin
20% atau plasma harus diinfusperlahan-lahan di bawah pengawasan hati-hati. Jika
terjadi edema paru, infus harus dihentikan dan diberikan furosemid intravena (1 mg /
kg).
3. Hipertensi
Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah biasanya normal.
Namun,hipertensi pada anak dengan SSSN harus dievaluasisangat hati-hati. Ini
mungkin mencerminkan hipervolemia atau vasokonstriksi ekstrim dalam menanggapi
hipovolemia dimediasi melaluisistem renin-angiotensin. kemudian, kadar natrium urin
akan sangat rendah. Jika tekanandarah melebihi batas normal, terapi singkat
antihipertensi dapatditentukan setelah hipovolemia tidak diperhitungkan.
Umumnyaobat antihipertensi yang digunakan adalah nifedipin,hydralazine atau
atenolol.Diuretik sangat berguna ketikahipertensi diakibatkan overload cairan
4. Trombosis
Anak-anak dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi thrombosis arteri dan
vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor hemodinamik dan status
hiperkoagulasi yang berhubungan dengan sindrom nefrotik. Ini terjadi kehilanngan
antitrombus melalui urine, sehingga meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada
sindrom nefrotik.
5. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat ringan azotemia
prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang merespon penggantian volume.
43
6. Osteoporosis
Risiko osteoporosis terpengaruh-steroid memiliki implikasi signifikan jangka panjang.
Faktor prediktif massa tulang yang rendah adalah usia lebih tua saat onset, asupan
kalsium yang rendah dan dosis steroid kumulatif.
7. Gizi Buruk
Kehilangan protein darah terlalu banyak dapat mengakibatkan kekurangan gizi. Hal
ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, tapi tertutupi oleh adanya
pembengkakan.
2.9 Pielonefritis
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal dimana terjadi reaksi
inflamasi pada pielum dan parenkim ginjal yang sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis
akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada
pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan
pielonefritis kronis. Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul
secara hematogen atau retrograd aliran ureterik. 5
Penyebab terbanyak ISK, baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik,termasuk
pada neonatus adalah Escherichia coli (70-80%). Penyebab yang lainnya seperti: Klebsiella,
Proteus, Staphylococcus saphrophyticus, coagulase-negative staphylococcus, Pseudomonas
aeroginosa, Streptococcus fecalis dan Streptococcus agalactiiae, jarang ditemukan.2
Pada uropati obstruktif dan pada kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-laki,
sering ditemukan Proteus species. Pada perempuan remaja dan pada perempuan seksual aktif,
sering ditemukan Staphylococcus saprophyticus.2
Adanya refluks mengakibatkan anak mudah mendapat ISK, dan dari urin yang terinfeksi
tersebut, infeksi dapat naik ke parenkim ginjal. Pada tempat refluks tersebut bakteri dapat
bertahan lama, dan merupakan sumber infeksi dalam saluran kemih.2
Statis urin karen adanya obstruksi saluran kemih, dan adanya residu urin, merupakan
faktor lainnya yang mempermudah bakteri tinggal lebih lama dan dapat berproliferasi.
Adanya divertikulum kandung kemih, ureterokel, lambatnya aliran urin pada collecting
system yang duplikasi, mengakibatkan timbulnya nidus sehingaa bakteri dapat lebih lama
tinggal berproliferasi dalam saluran kemih. Adanya benda asing dalam saluran kemih seperti
44
kateter juga memmudahkan terjadinya ISK. Lebih dari 90% ISK nosokomial pada anak yang
dirawat disebabkan pemasangan kateter urin.
Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih, dianggap penyebab resiko
ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel,merupakan prasyarat untuk
timbulnya kolonisasi bakteri. Sel uroepitel pada anak sangat rentan terhadap infeksi, karena
memiliki kapasitas untuk mengikat bakteri, disebabkan oleh adanya reseptor pada sel
tersebut. Jadi pada anak yang mempunyai struktur anatomi saluran kemih yang normal,
timbulnya kerentanan terhadap infeksi karena sel uroepitelnya mempunyai kapasitas pengikat
bakteri yang masuk ke saluran kemih. Mekanisme molekuler mengenai perlekatan bakteri ini
ke sel uroepitel tersebut masih belum diketahui dengan pasti.2
F. PATOGENESIS
Pada periode neonatus, bakteri mencapai saluran kemih melalui aliran darah atau
uretra, yang selanjutnya bakteri naik ke saluran kemih dari bawah. Perbedaan individu dalam
kerentanannya terhadap infeksi saluran kemih dapat diterangkan oleh adanya faktor hospes
seperti produksi antibodi uretra dan servikal (Ig A), dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra. Beberapa di antara faktor –
faktor ini, seperti fenotip golongan darah P, ditentukan secara genetik. Imunosupresi,
diabetes, obstruksi saluran kemih, dan penyakit granulomatosa kronik adalah faktor lain yang
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bila organisme dapat masuk ke dalam
kandung kemih, beratnya infeksi dapat menggambarkan virulensi bakteri dan faktor anatomik
seperti refluks vesikouretra, obstruksi, stasis urin, dan adanya kalkuli. Dengan adanya stasis
urin, kesempatan untuk berkembang biak bakteri meningkat, karena urin merupakan medium
biakan yang sangat baik. Lebih-lebih lagi, pembesaran kandung kemih dan dapat
menurunkan resistensi alami kandung kemih terhadap infeksi.6 Infeksi akut atau infeksi
kronik vesika urinaria akibat infeksi yang berulang mengakibatkan perubahan pada dinding
vesika dan dapat mengakibatkan inkompetensi dari katup vesikoureter. Akibat rusaknya
katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada waktu berkemih (waktu kontraksi
kandung kemih). Akibat refluks ini ureter dapat melebar atau urin sampai ke ginjal dan
mengakibatkan kerusakan pielum dan perenkim ginjal (pielonefritis). Infeksi parenkim ginjal
dapat juga terjadi secara hematogen atau limfogen.2
45
Flora usus↓
Munculnya tipe uropatogenik↓
Kolonisasi di perineal dan uretra anterior↓
Barier pertahanan mukosa normal↓
Sistitis
VIRULENSI BAKTERI Faktor pejamu (host) 1. Memperkuat perlekatan ke sel
uroepitel 2. Refluks vesiko ureter
3. Refluks intrarenal 4. Tersumbatnya saluran kemih
5. Benda asing (kateter urin)Pielonefritis akut
↓ ↓ Parut ginjal Urosepsis
Gambar. Patogenesis dari ISK asending 2
Pada bayi infeksi secara hematogen lebih sering terutama bila ada kelainan struktur
traktus urinarius. Bakteri patogen ataupun bakteri yang non-patogen di daerah tubuh lainnya
(kolon, mulut, kulit) bila berkembang biak di parenkim ginjal akan menghasilkan amoniak
yang dapat menghalangi pertahanan tubuh yang normal yaitu dengan menghalangi sistem
komplemen dan dapat menghalangi migrasi leukosit PMN dan fagositosis, karena amoniak
meninggikan hipertonisistas medula. Bila sudah terdapat infeksi parenkim, fungsi ginjal dapat
terganggu.2
Penderita dengan golongan darah P1 dapat menderita pielonefritis asendens berulang
tanpa adanya refluks vesikoureter, karena E.coli terikat spesifik dengan antigen P1 pada sel
epitel.7 Pielonefritis akut bisa ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal
membengkak, edematous, dan banyak ditemukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dalam
jaringan interstisial, akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Bila tidak diobati, perubahan-
perubahan ini dapat mengakibatkan pembentukan miroabses pada ginjal, yang dapat
menyatu. Pielonefritis akut biasanya lebih hebat bila terdapat obstruksi. Perubahan ini dapat
mengakibatkan terbentuknya jaringan parut ginjal, dengan penemuan histologis yang
biasanya dikenal sebagai pielonefritis kronik; Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya
46
produk dari bakteri, atau adanya zat mediator toksik yang dihasilkan sel yang telah rusak,
akan mengakibatkan parut ginjal (renal scarring).2 namun demikian, pengobatan yang cepat
dan tepat dapat menimbulkan penyembuhan sempurna.
Secara histologis, pielonefritis kronik seringkali sulit dibedakan dari sebab-sebab lain
jaringan parut ginjal stadium akhir, seperti penyakit kistik medularis, iskemia, iradiasi,
penyalahgunaan analgesik, dan lain-lain. Jaringan parut ini dapat setempat atau difus.
Temuan khas pielonefritis kronik adalah jaringan parut korteks dengan deformitas kaliks
yang mendasarinya. Secara mikroskopik, lesi ini berupa bercak-bercak dengan fibrosis
glomeruler, radang kronis interstitial, dan fibrosis serta atrofi tubulus. Kondisi lokal medula
ginjal, seperti osmolalitas tinggi, yang mengganggu aktivitas fagosit leukosit, menyebabkan
daerah ginjal ini lebih rentan terhadap infeksi daripada korteknya.7
Jaringan parut ginjal seperti itu juga ditemukan pada anak dengan refluks vesikouretra
yang tidak mempunyai riwayat infeksi saluran kemih; untuk alasan ini beberapa ahli lebih
memilih istilah refluks nefropati daripada pielonefritis kronik. Pada setiap kasus, 90% anak
dengan lesi pielonefritis kronik mengalami atau telah mengalami refluks vesikoureter.
Refluks nefropati atau pielonefritis kronik adalah penyebab utama hipertensi arterial pada
anak; beberapa perubahan vaskuler dan glomeruler mungkin lebih sebagai akibat sekunder
hipertensi daripada proses radang. Pada hewan percobaan, refluks nefropati hanya terjadi
didaerah–daerah ginjal yang papila ginjalnya memungkinkan refluks urin dari kaliks ke
tubulu skolektivus (refluks intrarenal), yang dipermudah oleh adanya konfigurasi anatomis
papila yang datar pada penggabungan kaliks; papila kronis yang biasanya terdapat didalam
kaliks sederhana membantu mencegah terjadinya refluks intrarenal. Respon autoimun
terhadap protein Tamm-Horsfall mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan dan
pengembangan jaringan parut pielonefritis.7
Ada 3 prinsip penatalaksanaan:
- Memberantas infeksi
- Menghilangkan faktor predisposisi
- Memberantas penyulit
Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi dengan ISK dan untuk anak dengan ISK
disertai gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk dibiakkan, diberi antibiotik
parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah terjadinya parut ginjal.
Sebaiknya anak dirawat di rumah sakit terutama bula disertai tanda toksik.2
Pemberian antibiotik parenteral diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam
penderita bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral selama 10-14
47
hari,disesuaikan dengan hasil biakan urin dan uji sensitivitasnya. Biakan urin ulang dilakukan
setelah 48 jam tidak makan obat untuk melihat hasil pengobatan, apakah bakteriuria masih
ada. Antibiotik profilaksis diberikan sampai dilakukan MSU, dan bila
ditemukan refluks antibiotik profilaksis diteruskan.2
Obat Dosis mg/kgBB/hari Frekuensi/ (umur bayi)
(A) Parenteral
Ampisilin 100 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)
Sefotaksim 150 dibagi setiap 6 jam
Gentamisin 5 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)
tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson 75 sekali sehari
Seftazidim 150 dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 dibagi setiap 8 jam
Tobramisin 5 dibagi setiap 8 jam
Ticarsilin 100 dibagi setiap 6 jam
(B) Oral
Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20-40 mg/kgBB/hari q8h
Ampisilin 50-100 mg.kgBB/hari q6h
Augmentin 50 mg/kgBB/hari q8h
Sefaleksin 50 mg/kgBB/hari q6-8h (C) Terapi propilaksis
Sefiksim 4 mg/kg q12h 1x malam hari
Nitrofurantoin* 6-7 mg/kgBB/hari q6h 1-2 mg/kg
Sulfisoksazole* 120-150 mg q6-8h 50 mg/kg
Trimetoprim* 6-12 mg/kg q6h 2 mg/kg
Sulfametoksazole 30-60 mg/kg q6-8h 10 mg/kg
* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal
Tabel Dosis antibiotika parenteral (A), oral (B), dan profilaksis (C)2
48
Pengobatan segera pielonefritis akut dapat mencegah timbulnya jaringan parut ginjal.
Anak-anak dengan infeksi saluran kemih yang berulang-ulang kambuh seringkali
menimbulkan masalah yang sulit dan mengecewakan dalam pengobatan dan profilaksisnya.
Konsekuensi utama kerusakan ginjal kronis yang disebabkan oleh pielonefritis adalah
hipertensi arterial dan insufisiensi ginjal; bila hal ini terjadi maka harus diobati dengan tepat.
Anak dengan abses ginjal atau perirenal atau dengan infeksi saluran kemih yang
tersumbah memerlukan tindakkan bedah atau drainase perkutan disamping pengobatan
dengan antibiotik dan tindakan pendukung lainnya.7
2.10 PROGNOSIS
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal
ginjal.
Factor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak- anak dengan
sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara lebih dari 70 persen
anak-anak dengan sindrom nefrotik sensitive steroid relaps dan hamper 50 persen
memiliki relaps sering atau tergantung steroid, resiko mereka untuk progersi kearah
gagal ginjal kronis minimal. Studi-studi pada sajarah alam menunjukkan bahwa 15-25
persen pasien dapat berlanjut menjadi relaps setelah 10-15 tahun setelah onset
penyakit.usia muda pada onset dan relaps sering selama masa anak berhubungan dengan
relaps pada masa dewasa.
Secara garis besar, prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria.
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
49
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
50
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini ada seorang anak laki - laki berusia 3 tahun 9 bulan datang ke rumah
sakit RSUD Raden Mattaher Jambi. Berdasarkan alloanamnesa dengan orangtua anak, dan
setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan :
Keluhan utama berupa bengkak seluruh badan ± 1 bulan yang lalu.
Lokasi sembab pada daerah kelopak mata (puffy face), perut,kemaluan dan tungkai.
Adanya oliguria
Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN) dan pielonefritis akut. Untuk lebih memastikannya maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan diperoleh hasil :
Kadar serum albumin 1,0 g/dl (hipoalbuminemia)
Kadar kolesterol darah 624mg/dl (hiperkolesterolemia)
Terdapat protein dalam urine (proteinuria) 2+ atau protein total 3,7g/dl
Leukosit dalam urin :5-6/LPB
Eritrosit dalam urin: 3-4/LPB
Epitel : 4-5/LPB
Bakteri (+)
Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosa sindrom
nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang terdiri dari
edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia (hiperkolesterolemia) dan
proteinuria.
Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini merupakan tipe sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain.. Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe dari SN ini adalah
dengan melakukan biopsi ginjal. Namun hal ini tidak dilakukan karena anak ini masih
berumur 3 tahun 9 bulan dan tidak dijumpai hematuria makroskopik.
SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA, sindroma Nefritik akut, karena
gejala klinis yang ditimbulkan sama yakni berupa edema. Pada anak ini tidak ditemukan
adanya hipertensi jadi GNA bisa di singkirkan. Sesuai dengan teori di atas hipertensi lebih
sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain dinyatakan bahwa hipertensi ringan
sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi bersamaan dengan peningkatan
diuresis. Pada kasus cronic heart failure (CHF) disertai dengan edema yang mulai dari
51
tungkai lama kelama – lama di kelopak mata dan disertai dengan dispneu/orthopneu, sesak
nafas saat melakukan aktifitas pada kasus ini tidak edema anak mulai dari kelopak mata
kemudian ke perut, skrotum dan tungkai, anak juga tidak disertai sesak saat beraktifitas dan
pada pemeriksaan fisik jantung dalam batas normal dan tidak ditemukan ronkhi.
Dalam kasus ini juga ditegakkan diagnosa pielonefritis akut berdasarkan pemeriksaan
urin dan usg. Pada penderita sindroma nefrotik terjadi hipoalbuminemia yang mengakibatkan
proliferasi limfosit menurun, terjadi edema yang mengakibatkan terjadinya penyempitan
lumen saluran kemih sehingga terhambatnya aliran kemih, terapi steroid mengakibatkan
imunosupresif sehingga terjadi immuno compromise semua hal ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran kemih.
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa dengan bedrest
total,diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam) dengan kalori 1.620
kal/hari, edukasi kepada orang tua. Sedangkan secara medikamentosa dengan pemberian
diuretik berupa furosemid dengan dosis18 mg sebagai diuretik untuk mengurangi edema.
Terdapat derajat hipertensi ringan sedang diberikan valsartan tablet 7 mg. Diberikan
antibiotik Ceftriaxon 650 mg ad D5% 100cc, karena pada pasien tampak edema anasarka.
Kortikosteroid diberikan full dose dengan berat badan ideal diberikan prednison 1-2
mg/kgbb.
Pada saat rawat jalan orangtua anak tetap dianjurkan untuk tidak memberikan
makanan yang banyak mengandung garam serta makanan yang berlemak kepada anaknya,
serta lebih banyak memberikan makanan yang mengandung protein seperti putih telur, tahu
dan tempe serta sayur dan buah-buahan.
52