Referat
DEFISIENSI IMUN PADA BAYI DAN ANAK
OLEH :
KELOMPOK 3
Thinagarayan Brabu 07120149
Vera Patrya 0810313257
Reshka Renanti M 0910312067
Wira Ditya 1010312035
Yenny Mayang Sari 1010313054
Abdullah`Arief Syahputra 101031
Nurul Fitri Khumaira 1110312025
Residen Pembimbing :
Dr. Julispen
PERSEPTOR :
dr. Rusdi, Sp.A
ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga referat yang berjudul Defisiensi Imun pada Bayi dan Anak
ini dapat kami selesaikan. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr Rusdi Sp.A sebagai preseptor dan dr.
Julispen sebagai residen pembimbing dari referat ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak
membantu dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata penulis
berharap semoga referat ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan
pemahaman semua pihak tentang defisiensi imun pada bayi dan anak
Padang, November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Tujuan Penulisan .........................................................................
1.3 Metode Penulisan ........................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
2.1 Sistem Imunitas...........................................................................
2.2 Defisiensi Imun pada Bayi dan Anak.........................................
2.3 Klassifikasi Defisiensi Imun pada Bayi dan anak.......................
2.3.1 Defisiensi Imun Primer ....................................................
2.3.1.1 Patofisiologi..........................................................
2.3.1.2 Manifestasi Klinis.................................................
2.3.1.3 Pemeriksaan Penunjang........................................
2.3.1.4 Tatalaksana...........................................................
2.3.2 Defisiensi Imun Sekunder.................................................
2.3.2.1 Patofisiologi..........................................................
2.3.2.2 Manifestasi Klinis.................................................
2.3.2.1 Pemeriksaan Penunjang........................................
2.7 Tatalaksana.................................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................
3.1 Kesimpulan dan Saran ...............................................................
3.2 Saran ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sistem imun bertujuan dalam pertahanan tubuh terhadap pengaruh atau
serangan dari luar yang dapat mengganggu keseimbangan tubuh normal. Karena
itu kerusakan sistem imun akan berpengaruh terhadap fungsi pertahanan serta
homeostasis dan akan menimbulkan berbagai penyakit yang disebut dengan
penyakit defisiensi imun. (Arwin, 2007)
Keadaan defisiensi imun harus dicurigai pada keadaan infeksi berulang,
persisten, berat, atau infeksi yang tidak lazim. Defek pada imunitas dapat dibagi
menjadi kelainan primer akibat defek intrinsik pada sistem imun dan kelainan
sekunder oleh kondisi lain.
Gangguan imun primer merujuk beragam gangguan yang ditandai dengan
berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih komponen dari sistem
kekebalan tubuh. Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan biasanya
merupakan gangguan yang cukup penting. Gangguan imun primer menyebabkan
pasien tidak dapat merespon secara adekuat infeksi yang ada sehingga respon
terhadap gangguan infeksi tidak adekuat. Lebih dari 130 gangguan imun primer
yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini, dan dengan adanya penemuan
baru yang terus-menerus didapatkan perkembangan identifikasi lainnya.
Gangguan imun primer kebanyakan merupakan hasil dari cacat bawaan dalam
pengembangan sistem kekebalan tubuh dan/atau fungsi. Penting untuk dicatat
bahwa gangguan imun primer berbeda dari immunodefisiensi sekunder yang
mungkin timbul dari penyebab lain, seperti infeksi virus atau bakteri, malnutrisi
atau pengobatan dengan menggunakan obat yang menginduksi imunosupresi.
(McCusker,2011)
Perkiraan prevalensi gangguan imun primer (selain gangguan
imunodefisensi IgA) di Amerika Serikat adalah sekitar 1:1200 kelahiran hidup.
Defisiensi IgA adalah gangguan imun primer yang paling umum, terjadi pada
sekitar 1/300 hingga 1/500 orang. Presentasi klinis gangguan imun primer sangat
bervariasi, namun gangguan yang paling banyak adalah gangguan yang
melibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Bahkan, gangguan imun
primer dapat nampak sebagai infeksi "rutin" (telinga, sinus dan paru-paru). Oleh
karena itu, mungkin tidak terdeteksi dalam diagnosis awal perawatan.
(McCusker,2011)
Defisiensi imun dapat terjadi sekunder karena keganasan, malnutrisi,
pemakaian obat sitostatik, penyakit metabolik, bermacam macam keadaan
patolcgik, dan infeksi pada sel imun atau yang lebih dikenal dengan human
immunodeficiency virus (HIV), agen penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Diperkirakan prevalensi gangguan imun sekunder beberapa
kali lebih banyak dibandingkan dengan kelainan primer. Kemajuan pengetahuan
tentang defisiensi imun primer memungkinkan diterapkannya pola diagnostik
yang sama pada defisiensi imun sekunder. (Abbas,2006)
Diagnosis yang akurat dan tepat dari gangguan imun membutuhkan indeks
kecurigaan yang tinggi dan pengujian khusus. Oleh karena itu, konsultasi dengan
imunolog klinis yang berpengalaman dalam evaluasi dan pengelolaan
immunodefisiensi menjadi sangat penting, karena diagnosis dini dan pengobatan
sangat penting untuk mencegah penyakit yang signifikan terkait morbiditas dan
meningkatkan kesehatan pasien. (McCusker,2011)
2. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai defisiensi imun pada bayi dan anak.
3. Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sistem Imunitas
Sitem imunitas adalah sistem mekanisme pada organism yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh
patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis
luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus,
sampai cacing parasit, dan menghancurkan zat-zat asing lain yang memusnahkan
mereka dari sel organism yang sehat dari jaringan agar tetap dapat berfungsi
seperti biasa.
2. Defisiensi Imunitas
a. Definisi
Defisiensi imun adalah fungsi sistem imun yang menurun/tidak berfungsi
dengan baik sebagaimana mestinya dari salah satu atau lebih komponen sistem
imun.
b. Klasifikasi
Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi:
2.1. Defisiensi imunitas primer (kongenital)
Defisiensi imunitas primer disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan
yang dapat berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen atau kelainan
dalam differensiasi fungsi limfosit.
Defisiensi imunitas primer ini tidak berhubungan dengan penyakit lain yang
mengganggu system imun dan banyak yang merupakan akibat dari kelainan
genetik dengan pola bawaan khusus. Diakibatkan oleh adanya defek (cacat)
respon imun bawaan yaitu kelainan dalam system fagosit, dan atau komplemen
atau defek dalam proses maturasi (pematangan) dan fungsi (aktivasi) limfosit.
2.1. Defisiensi imunitas sekunder (didapat)
Defisiensi imunitas sekunder disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
infeksi virus yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi penggunaan obat-obat
sitotoksik dan kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker, seperti penyakit
hodgkin, leukimia, myeloma, limpositik kronik dan lain-lain. Defisiensi imunitas
sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma atau pengobatan.
c. Patofisiologi Defisiensi Imun
2.1. Patofisiologi Defisiensi imun Primer
Imunodefisiensi primer secara luas diklasifikasikan berdasarkan pada
komponen dari sistem kekebalan tubuh yang paling terganggu. Gangguan sistem
imunitas tersebut dapat dibedakan atas gangguan sistem imun adaptif (defisiensi
sel T, defisiensi sel B, dan kombinasi defisiensi sel T dan sel B) dan gangguan
sistem imun alami (gangguan fagositik dan gangguan komplemen) (McCusker,
2011).
a) Gangguan Kekebalan Sistem Imunitas Adaptif
Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif tubuh. Sel B
memediasi produksi antibodi dan berperan utama dalam imunitas antibodi-
mediated (humoral). Di sisi lain, sel T mengatur respon sel yang dimediasi sistem
imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan, diferensiasi, dan pematangan
sel T mengarah pada gangguan imunodefisiensi sel T, sedangkan cacat yang
berkaitan dengan sel B mengarah pada pengembagan sel B dan/atau gangguan
hasil pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi antibodi sel B yang
diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya gabungan
gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan imunodefisiensi sel B dan
sel T (Combined Immunodeficiensies/CIDs) (McCusker,2011; Abbas,2015).
b) Severe Combined Immunodeficiency (SCID)
Gangguan yang terjadi pada proses perkembangan sel limfosit T yang
dapat/tidak akan berdampak pada pematangan sel B sebagaimana terlihat pada
gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Tahap dan Faktor yang diperlukan dalam Maturasi Sel B dan Sel T
Gangguan ini dapat berdampak secara langsung pada sistem imun humoral
maupun imunitas yang dimediasi oleh sel T disebut Severe combined
immunodeficiency (SCID) dengan beragam faktor penyebab dan dampaknya
seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Severe combined immunodeficiency
Penyakit ini dikarakteristikan dengan defisiensi dari sel B maupun sel T
atau hanya sel T. Proses perkembangan sel T dan sel B dari hematopoietic stem
cell hingga limfosit kompeten fungsional yang matang melibatkan progenitor
limfosit awal, penataan ulang (rearragement) lokus yang mengkoding satu rantai
dari reseptor antigen diikuti dengan seleksi sel yang telah dibuat dalam tatanan
produksi penataan titik antigen reseptor, ekspresi pada kedua rantai dari reseptor
antigen dan seleksi spesifikasi sel yang dibutuhkan. Gangguan dari setiap tahap
ini akan berdampak pada bentuk SCID (Abbas,2015).
c) Defisiensi Antibodi
Pada saat kegagalan perkembangan sel T atau perkembangan sel T dan sel B
berkontribusi pada fenotipe SCID, maka kegagalan perkembangan sel B dan
fungsinya akan berdampak pada gangguan abnormalitas sintesis antibodi. Pada
salah satu dampak, yaitu sindrom hyper-IgM, defisiensi antibodi juga berkorelasi
dengan gangguan pada aktivasi makrofag dan Antigen Precenting Cell (APC)
yang akan berpengaruh pada attenuated cell-mediated immunity.
Manifestasi klinis dari kegagalan pematangan antibodi akan berdampak pada
beberapa gangguan, diantaranya adalah agammaglobulinemia,
hipogammaglobulinemia, dan hyper-IgM syndrome. Agammaglobulinemia atau
yang biasa disebut Bruton’s agammaglobulinemia, dikarakteristikkan dengan
tidak adanya gamma globulin pada darah. Hal ini terjadi karena mutasi atau delesi
bagian yang mengkoding enzim Bruton Tyrosine Kinase (BTK).
Hipogammaglobulinemia erat kaitannya dengan gangguan atau mutasi yang
mengatur metilasi DNA. Hyper-IgM syndrome terjadi karena adanya kesalahan
dalam switching sel B menjadi isotipe IgG atau IgA. Gambaran lengkap tentang
defisiensi antibodi dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini:
d) Gangguan Aktivasi dan Fungsi Sel T
Abnormalitas kongenital dalam aktivasi sel lymfosit T semakin meningkat
dengan pemahaman kita tentang proses molekular yang mempengaruhi
pematangan sel limfosit T. Gangguan tersebut meliputi kegagalan dalam ekspresi
MHC, kegagalan dalam signaling sel T dan familial seshemophagocytic
lymphohistiocyto. Kegagalan dalam ekspresi MHC dapat disebabkan oleh
kegagalan dalam respon IFN-l mutasi beberapa faktor seperti RFX5, CIITA dan
lain sebagainya. Kegagalan dalam signaling sel T disebabkan adanya mutasi pada
gen yang mengkode berbagai protein sel T, dimana akan mempengaruhi ekspresi
CD4+ atau CD 8+. Sebagai contoh defisiensi ZAP-70 akan menurunkan jumlah
CD8+ tetapi tidak mempengaruhi ekspresi CD4+ 2,3 seperti lihat tabel 3 di bawah
ini.
e) Gangguan Kekebalan Sistem Imun Bawaan
Respon imun bawaan merupakan garis pertahanan pertama terhadap
organisme yang berpotensi menyerang pertahanan tubuh. Pengenalan yang baik
terhadap ancaman dan induksi gangguan dari kaskade inflamasi merupakan
langkah-langkah penting dalam mengeliminir organisme patogena dari sistem.
Kegagalan sistem bawaan untuk mengidentifikasi patogen akan berdampak
menunda induksi respon imun dan dapat memperburuk hasil infeksi. Banyak sel
dan protein yang terlibat dalam respon imun bawaan termasuk diantaranya fagosit
(netrofil dan makrofag), sel dendritik, dan protein komplemen. Fagosit terutama
bertanggung jawab untuk proses fagositosis, sebuah proses di mana sel menelan
dan menghilangkan patogen yang menyerang tubuh. Protein komplemen
berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengopsonisasi (mantel) antigen asing
membuat mereka rentan terhadap fagositosis. Gangguan dalam pengembangan
fungsi dari setiap unsur-unsur kekebalan bawaan dapat menyebabkan PIDs
(Primary Immnunodeficiency Disorder). (McCusker,2011)
2.1. Patofisiologi Defisiensi Imun Sekunder
Defisiensi imun sekunder adalah kondisi yang terjadi akibat dari keadaan
penyakit (keganasan, malnutrisi, infeksi virus) atau akibat tindakan medis (khusus
nya obat imunosupresif). Imunodefisiensi sekunder terjadi akibat hilangnya
system imun yang sebelumnya efektif, yang mencakup setiap gangguan yang
menunjukkan hilangnya imunokompetensi sebagai akibat kondisi lain
(Tambayong, 2000)
Imunodefisiensi sekunder yang paling banyak dibicarakan adalah AIDS yang
disebabkan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penularan HIV di
Afrika terjadi melalui hubungan heteroseksual tetapi ada juga melalui
homoseksual. Penularan HIV terjadi antara pencandu obat bius intravena dan dari
ibu HIV positif ke janin melalui transmisi fetomaternal. Segera setelah infeksi
primer, sebanyak 1 antara 100 sel T CD4+ mengandung virus. Respon imun
semua dapat menurunkan jumlah virus, tapi tidak lama virus dapat mengatasi
perlawanan system imun dan berkembang cepat serta menginfeksi lebih banyak
sel T. Pengukuran jumlah sel TCD4+ merupakan parameter terbaik untuk
mengetahui perjalanan penyakit. Jika jumlah absolut CD4+ kurang dari 600/ul
penderita menunjukkan defisiensi imunseluler dan menderita infeksi oportunisik.
Pada awal penyakit sel B memperlihatkan proliferasi poliklonal dan kadar
immunoglobulin meningkat.
d. Manifestasi Klinis Defisiensi Imun
2.1. Manifestasi Klinis Defisiensi Imun Primer
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat
kesehatan pasien dan keluarganya sejak masa kehamilan, persalinan dan
morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail.
Tabel. 10 tanda mengenali sistem imun
Delapan atau lebih infeksi telinga pertahun
Dua atau lebih infeksi sinus pertahun
Terapi antibiotik selama 2 bulan tidak berefek
Abses kulit atau organ berulang
Dua atau lebih pneumonia petahun
Gagal tumbuh
Membutuhkan terapi antibiotik intravena umtuk
penyembuhan infeksi
Stomatitis persistant pada umur >1 tahun
Riwayat keluarga defisiensi imun sekunder
Dua atau lebih infeksi yang dalam seperti
osteomielitis,selulitis dan sepsis
1. Manifestasi Gangguan Defisiensi Sel T dan Combined Immunodefisiensi
Disorder (CID)
Manifestasi klinis dari gangguan sel T (seluler) dan CIDs akan bervariasi
tergantung pada cacat tertentu yang mendasari dalam respon imun adaptif. Oleh
karena itu, kecurigaan klinisi menjadi hal yang penting untuk diagnosis dengan
tepat waktu gangguan yang terjadi. Pasien dengan gangguan spesifik sel T
kemungkinan akan mengalami lymphopenic (limfosit berada dalam tingkat
abnormal rendah) dan neutropenia (neutrofil berada dalam tingkat abnormal
rendah). Dalam bentuk yang paling parah CID (juga dikenal sebagai
immunodeficiency gabungan yang parah [Severe combined immunodeficiencyes /
SCID]) dimana terjadi kekurangan sel T fungsional dan fungsi kekebalan tubuh.
Gangguan ini jarang terjadi dan umumnya dikategorikan ke dalam ada tidak
adanya sel T; dengan kehadiran sel B (T-, B +), atau tidak adanya kedua T dan
sel B (T-, B-).
Jumlah sel natural killer (NK cells) juga informatif untuk menentukan fenotip
genetik SCID. Meskipun demikian, jumlah normal sel T tidak mengecualikan
kemungkinan cacat sel T dan pada pasien dengan presentasi klinis
immunodefisiensi yang konsisten, maka penyelidikan lebih lanjut dari fungsi sel
T menjadihal yang menjamin akuransi yang tepat diagnosis immunodifiensi.
Pasien dengan SCID biasanya dalam tahun pertama kehidupan mengalami diare
kronis dan gagal tumbuh, berat, infeksi berulang dengan patogen oportunistik
(misalnya Candida albicans [sariawan], Pneumocystis jiroveci, atau
cytomegalovirus) serta ruam kulit. Beberapa pasien mungkin juga mengalami
cacat neurologis. SCID adalah kondisi darurat pediatrik karena infeksi sering
menyebabkan kematian dimana transplantasi sumsum tulang (BMT) dapat bersifat
kuratif.
2. Manifestasi klinis Gangguan Defisiensi Sel B
Gangguan defisiensi sel B (defisensi antibodi) adalah jenis yang paling umum
dari immunodefisiensi, terhitung sekitar 50% dari seluruh diagnosis PID.
Defisiensi ini terdiri dari sekelompok gangguan heteregon yang ditandai dengan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan, terutama oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Pasienbiasanya secara
berulang dan sering parah menderitainfeksi sinopulmonary seperti otitis media,
sinusitis, danpneumonia. Diare, kelelahan, manifestasi autoimun(terutama
sitopenia autoimun), dan gangguan pendengaran sensorineural.
Pasien dengan defisiensi humoral sering memiliki kondisi berkurang atau
tidak ada kadar imunoglobulin serum, tetapi juga dapat menunjukkan jumlah
normal atau meningkatnya kadar imunoglobulin serum dengan fungsi Gangguan
khas yang termasuk dalam kategori ini meliputi: agammaglobulinemia X-linked
(XLA, juga dikenal sebagai agammaglobulinemia Bruton's), Common Variable
Immunodeficiencies (CVID), dan selektif defisiensi IgA. XLA adalah hasil dari
mutasi pada gen Bruton TirosinKinase (Btk), yang bertanggung jawab untuk
menengahi pengembangan dan pematangan sel B. Kelainan ini ditandai dengan
pengurangan tingkat sirkulasi B-sel dan serum IgG, IgA dan IgM. Laki-laki yang
terkena biasanya menderita infeksi berulang sinopulmonary dan tidakadanya
kelenjar getah bening serta amandel.
CVID adalah gangguan heterogen yang ditandai dengan pengurangan
konsentrasi serum IgG, rendahnya konsentrasi IgA dan/atau IgM dan rendah atau
tidakadanya tanggapan imunisasi. Gangguan ini mempengaruhi pria dan wanita,
dan biasanya memiliki harapan usia hidup lebih lama daripada gangguan
kekurangan lainnya (yaitu > 10 tahun). Hal ini terkait dengan infeksi
sinopulmonary berulang, penyakit autoimun dan granulomatosa, komplikasi
gastrointestinal dan meningkatnya resiko keganasan (misalnya, limfomadan
karsinoma lambung). Beberapa pasien mungkin juga menderita bronkiektasis
(pelebaran ireversibel bagian dari bronkus akibat kerusakan dinding saluran
napas), yang merupakan penyebab umum dari morbiditasdan mortalitas pada
pasien ini. Gangguan kekuranganantibodi yang ringan, seperti kekurangan IgA
selektif, berhubungan dengan rendahnya variabel serum tingkatkelas
imunoglobulin atau subclass dan, dalam beberapa kasus gangguan dalam
pembentukan antibodi spesifik. IgA, ditandai dengan tingkat rendah atau tidak ada
serum IgA dibandingkan tingkat normal IgG dan IgM. Hanya sekitar sepertiga
dari pasien sangat rentan terhadap infeksi.
2.1. Manifestasi Klinis Defisiensi Imun Sekunder
Penyebab sekunder dari defisiensi imun lebih banyak dibandingkan dengan
primer. Kadar komponen imunitas yang relatif rendah menunjukkan produksi
yang menurun atau katabolisme (hilangnya komponen imun) yang dipercepat.
Kehilangan protein yang dapat menyebabkan hipogamaglobulinemia dan
hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindroma nefrotik) atau melalui
saluran cerna (protein-losing enterophaty). Defisiensi protein akan menyebabkan
perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk pada sistem imunitas
pada manusia.
Pasien dengan penyakit imunodefisiensi akan sangat rentan terhadap infeksi.
Oleh karena itu, gejala yang didapatkan setiap pasien yang mengalami penyakit
sistem imun yang rendah akan sesuai dengan infeksi yang didapatkannya, karena
antibodi tidak dapat melawan infeksi tersebut, baik infeksi jamur, viral, bakteri
dan lainnya. Gejala yang sering ditemui adalah infeksi saluran nafas yang
berulang, lalu adanya infeksi bakteri yang berat, atau dapat terjadi penyembuhan
inkomplit antar episode infeksi atau respon pengobatan inkomplit. Manifestasi
klinis yang sering dijumpai adalah gagal tumbuh atau terdapatnya retardasi
tumbuh, jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar, infeksi oleh
mikroorganisme yang tidak lazim, terdapatnya lesi kulit (rash, ketombe,
pioderma, abses nekrotik, alopesia, eksim), oral thrush yang susah sembuh
dengan pengobatan, jari tabuh, diare dan malabsorbsi, mastoiditis dan otitis
presisten, pneumonia atau bronkitis berulang, dan kelainan hematologi (anemia
aplastik, anemia hemolitik, trombositopenia, dan lain-lain).
Terdapat beberapa gejala yang jarang dijumpai pada penyakit
imunodefisiensi, yaitu berat badan yang menurun, demam, limfadenopati,
hepatosplenomegali, artritis atau artralgia, ensefalitis kronis, meningitis berulang,
pioderma gangrenosa, kolangitis sklerosis, infeksi saluran kemih, lepas/puput tali
pusat terlambat (>30 hari), stomatitis kronik, granuloma, dan dapat granuloma
limfoid.
e. Tatalaksana Defisiensi Imun
Terapi defisiensi imun diberikan berdasarkan keragaman penyebab,
mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya.. Terapi defisiensi imun bersifat suportif,
substitusi, imunomodulasi, atau kausal.
Terapi suportif meliputi:
- perbaikan keadaan umum dengan memenuhi kebutuhan gizi dan kalori
- menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen
- melakukan usaha pencegahan infeksi.
Terapi Substitusi dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya
dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum
hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan
tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan
kondisi klinis.
Terapi imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya. Obat yang diberikan
antara lain adalah
- Terapi interferon Gamma.
Interferon melawan virus dan merangsang sel-sel system kekebalan
tubuh. Interferon gamma diberikan secara suntikan di paha atau lengan tiga
kali seminggu. Ini digunakan untuk mengobati penyakit granulomatosa
kronis, salah satu bentuk immunodeficiency primer.
- antibodi monoklonal
- produk mikroba (BCG)
- produk biologik (timosin)
- komponen darah atau produk darah
- serta bahan sintetik seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi
imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen
gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya
dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau rekayasa
genetik.
Pengobatan untuk meningkatkan system kekebalan tubuh
• Terapi imunoglobulin. Imunoglobulin terdiri dari protein antibodi yang
diperlukan untuk system kekebalan tubuh untuk melawan infeksi. Ia dapat
disuntikkan ke pembuluh darah melalui infus atau dimasukkan ke kulit
(subkutan). Pengobatan IV diperlukan setiap beberapa minggu, dan infus
subkutan diperlukan sekali atau dua kali seminggu.
• Faktor pertumbuhan.
Ketika defisiensi imun disebabkan oleh kurangnya sel darah putih tertentu,
terapi faktor pertumbuhan dapat membantu meningkatkan kadar sel darah
putih kekebalan.
Transplantasi sel induk
Transplantasi sel induk merupakan obat permanen untuk beberapa kasus
immunodefisiensi yang mengancam jiwa. Sel induk normal ditransfer ke
orang dengan imunodefisiensi sebagai system kekebalan tubuh. Sel induk
dapat dipanen melalui sumsum tulang, atau mereka dapat diperoleh dari
plasenta saat lahir.
Sel induk donor
Biasanya didapat dari orang tua atau kerabat dekat lainnya yang memiliki
jaringan tubuh yang cocok dengan pasien immunodefisiensi primer.
DAFTAR PUSTAKA
Tambayong, 2000. Patosiologi. Jakarta: EGC
Mayo Clinic Family Health Book, 4th Edition
Primary Immunodeficiency Resource Center
Nelson textbook of Pediatrics 20th edition
Harsono A. 2013. Immune deficiencies in children: an overview. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Top Related