1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejang demam pada anak merupakan suatu peristiwa yang
menakutkan pada kebanyakan orang tua karena kejadiannya yang
mendadak dan kebanyakan orang tua tidak tahu harus berbuat apa. Kejang
demam adalah kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
>380C) yang disebabkan oleh suatu proses diluar otak. Tidak jarang orang
tua khawatir jika anaknya panas, apakah nanti akan kejang atau tidak. Dari
penelitian, kejadian kejang demam sendiri tidaklah terlalu besar yaitu
sekitar 2-4 %, artinya dari 100 anak dengan demam ada sekitar 2-4 yang
mengalami kejang. Kejang demam terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan
terbanyak terjadi pada usia 17-23 bulan. Kejang demam anak perlu
diwaspadai karena kejang yang lama (lebih dari 15 menit) dapat
menyebabkan kematian, kerusakan saraf otak sehingga menjadi epilepsi,
kelumpuhan bahkan retardasi mental. (www. Mardiati, tanggal 12 agustus
2008).
Saat menghadapi si kecil yang sedang kejang demam, sedapat
mungkin cobalah bersikap tenang. Sikap panik hanya akan membuat kita
tidak tahu harus berbuat apa yang mungkin saja akan membuat
penderitaan anak tambah parah kesalahan orang tua adalah kurang tepat
dalam menangani kejang demam itu sendiri yang kemungkian terbesar
2
adalah disebabkan karena kurang pengetahuan orang tua dalam menangani
kejang demam.(www. Published, 17 Februari 2010).
Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan para orang tua dalam
mengatasi kejang demam pada anak sebelum selanjutnya membawa anak
mereka ke rumah sakit. Antara lain seperti beri obat penurun panas apabila
suhu anak melewati angka 37,5ºC, kompres dengan lap hangat (yang
suhunya kurang lebih sama dengan suhu badan si kecil). Jangan kompres
dengan air dingin, karena dapat menyebabkan “korsleting”/ benturan kuat
di otak antara suhu panas tubuh si kecil dengan kompres dingin tadi, agar
si kecil tidak cedera, pindahkan benda-benda keras atau tajam yang berada
dekat anak. Tidak perlu menahan mulut si kecil agar tetap terbuka dengan
mengganjal/ menggigitkan sesuatu di antara giginya.
Miringkan posisi tubuh si kecil agar penderita tidak menelan cairan
muntahnya sendiri yang bisa mengganggu pernapasannya. Jangan
memberi minuman/ makanan segera setelah berhenti kejang karena hanya
akan berpeluang membuat anak tersedak, apabila keadaan anak sudah
mulai stabil bawa anak ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan
selanjutnya. (www. Wordpress, 08November 2010).
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur
6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5
tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan
3
karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73).
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 - 4% di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20%
kasus merupakan kejang demam komplek. Akhir-akhir ini kejang demam
diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang
berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek
yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1
kali kejang demam dalam 24 jam. (Arif Mansjoer, 2000).
Masloman dkk pada tahun 1997-2001 di RSUP Manado mendapatkan
327 penderita kejang demam dengan usia terbanyak 2-4 tahun. Eka dkk
pada tahun 1999-2001 di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429
penderita kejang demam, terutama pada usia 12-17 bulan.(www.
Wordpress, 08 November 2010).
Dari studi pendahuluan pada tanggal 12 Mei 2010, pada tahun 2009
bayi yang terkena kejang pada usia 1 sampai 3 tahun berjumlah 231 orang
dan anak yang terkena demam berjumlah 102 orang. Bayi yang terkena
kejang pada usia 1-5 tahun berjumlah 294 orang dan yang terkena demam
berjumlah 178 orang. Tahun 2010 pada bulan Januari sampai bulan April,
bayi yang terkena kejang pada usia 1-3 tahun berjumlah 79 orang dan yang
terkena demam berjumlah 31 orang. Bayi yang terkena kejang pada usia 1-
5 tahun berjumlah 101 orang dan yang terkena demam berjumlah 56
orang.
4
Berdasarkan uraian diatas dan terjadinya peningkatan angka
kejadiaan kejang demam, maka penulis tertarik untuk mengetahui
lebih dalam tentang hubungan pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu
dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat di
paviliun Theresia RS. RK Charitas Palembang tahun 2010.
B. Perumusan Masalah
Karena masih banyaknya ibu-ibu yang kurang tahu dalam
penanganan pertama pada kejang demam dan tingginya angka kejadian
kejang demam di RS. RK Charitas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
Hubungan Pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu dengan penanganan
kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun Theresia RS. RK
Charitas Palembang Tahun 2010. ”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
“Hubungan Pengetahuan, Pendidikan, dan sikap ibu Dengan Penanganan
kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun Theresia RS. RK
Charitas Palembang Tahun 2010.”
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan pada ibu dengan
penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
5
b. Untuk mengidentifikasi gambaran sikap pada ibu dengan penanganan
kejang demam pada balita sebelum dirawat.
c. Untuk mengidentifikasi gambaran pendidikan pada ibu dengan
penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
d. Untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan pada ibu dalam
penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
e. Untuk mengidentifikasi hubungan sikap pada ibu dalam penanganan
kejang demam pada balita sebelum dirawat.
f. Untuk mengidentifikasi hubungan pendidikan pada ibu dalam
penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti
terutama dalam metodologi penelitian dan penerapan proses keperawatan
guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita, serta
penginformasian yang tepat guna kepada orang tua dalam mengatasi
masalah penyakit kejang demam pada balita.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pentingnya penerapan
proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada
balita.
6
3. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan masukan kepada institusi Pendidikan khususnya
pengetahuan dibidang keperawatan anak tentang pentingnya penerapan
mengenai proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang
demam pada balita.
4. Basgi Perawat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi perawat untuk
menyusun upaya-upaya yang sesuai dalam mengatasi kejang dan berperan
serta pada penerapan proses keperawatan guna mengatasi masalah
penyakit kejang demam pada balita.
5. Bagi orang tua
Meningkatkan keterampilan orang tua yang akan memungkinkan
para orang tua untuk mempunyai pengetahuan bagaimana penanganan
pertama pada balita yang terserang kejang demam, sebelum balita tersebut
dibawa ke rumah sakit.
E. Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang Keperawatan Anak. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui “Hubungan Pengetahuan, pendidikan, dan
Sikap Ibu dengan penanganan Kejang Demam pada balita sebelum
7
dirawat di Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang pada bulan Juni
tahun 2010”
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN,yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang terdiri dari definisi pengetahuan,
tingkatan pengetahuan, factor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan,
definisi sikap, komponen pokok sikap, berbagai tingkatan sikap, cara
pengukuran sikap, definisi kejang demam, anatomi fisiologi kejang
demam, etiologi kejang demam, patofisiologi kejang demam, manifestasi
klinik kejang demam, klasifikasi kejang demam, komplikasi kejang
demam, penatalaksanaan medis kejang demam.
BAB III KERANGKA KONSEP, yang terdiri dari kerangka konsep
penelitian, definisi operasional, hipotesis.
BAB IV METODE PENELITIAN, yang terdiri dari jenis penelitian,
tempat/ lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, tehnik
pengumpulan data, jadwal penelitian, etika penelitian.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, yang terdiri dari
gambaran umum RS. RK. Charitas, gambaran umum Paviliun Theresia
RS. RK. Charitas, dan Pembahasan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Definisi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba (Notoadmojo, 2007).
2. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan menurut (Notoadmojo, 2007) mempunyai 6
tingkatan yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari dari sebelumnya. Termasuk di dalam pengetahuan ini
adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spefisik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan
materi tersebut secara benar.
9
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
d. Analisa (Analisa)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur
organisasai tersebut dan ada kaitannya satu sama lain
e. Sintesis (Senthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi ( Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian suatu materi atau objek penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
3. Pengetahuan ibu dalam penanganan kejang demam
Pengetahuan ibu dalam penanganan kejang demam dirumah
diharapkan dapat mengetahui pentingnya penanganan pertama pada
kejang demam, sebelum balita dibawa ke rumah sakit.
10
B. Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, sehingga dalam
pendidikan itu perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan
klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang
untuk lebih menerima ide-ide dan tehnologi baru (SDKI,1997).
Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang
secara intelektual dan emosional kearah dalam sesama manusia.
Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar
sekolah dan berlansung seumur hidup (Notoamodjo, 2003).
Pendidikan adalah proses pertumbuhan semua kemampuan dan
perilaku melalui pengajaran sehingga dalam pendidikan perlu
dipertimbangkan umur (proses perkembangan ) dan hubunganya
dengan proses belajar tingkat pendidikan juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi presepsi seseorang untuk lebih mudah
menerima ide-ide dan teknologi baru (Arinkunto, 2002).
11
2. Pendidikan ibu tentang penanganan kejang demam
Pendidikan ibu yang cukup tentang penanganan kejang demam
diharapkan mampu meminimalkan kegawat daruratan pada balita yang
terserang kejang demam.
C. Sikap
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative. Respon hanya akan
timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya reaksi individual. Respon evaluative berarti bahwa bentuk reaksi yang
dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam
diri individu yang memberi kesimpulan pada stimulus dalam bentuk nilai
baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang
kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.Sikap
adalah kebiasaan berpikir dan kebiasaan dalam berpikir tersebut dapat dilatih.
Dan, suatu tindakan yang selalu diulang akan menjadi suatu sikap (Azwar,
1998).
Menurut Notoadmojo,(2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku.
1. Komponen Pokok Sikap
12
Dalam bagian lain Allport, 1954 menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen sikap yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evalusi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
2. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan yang meliputi:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). misalnya sikap ibu terhadap penanganan
pertama pada kejang demam pada anak, dapat dilihat dari kesediaan dan
perhatian ibu terhadap ceramah-ceramah dan simulasi penanganan kejang
demam pada anak.
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan
13
tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah
berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valving)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi dari sikap ini, misalnya seorang ibu
mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk
pergi mengikuti ceramah-ceramah dan simulasi penanganan kejang
demam pada anak.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu yang
mau dipilih menjadi kader untuk pencegahan dan penangan pertama pada
kejang demam pada anak, dengan segala resiko dan tantangan yang ada.
3. Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat anda tentang
pelayanan dokter di rumah sakit RK. Charitas Palembang? Secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,
kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya, apa yang ibu ketahui
tentang penyakit kejang demam pada anak? (tahu, kurang tahu, tidak tahu).
14
4. Sikap ibu dalam penanganan kejang demam
Sikap ibu yang positif, tetap tenang dalam menghadapi balita
dengan kejang demam diharapkan dapat meminimalkan kegawat
daruratan pada balita dengan kejang demam.
D. Kejang Demam
1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat
sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang
diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/
paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan
tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada
keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta
memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-
sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam
adalah : Mencegah/ mengendalikan aktivitas kejang, melindungi
pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga
diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang
proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya (I Made
Kariasa, 1999; 262).
15
Kejang demam merupakan kejang yang dapat terjadi karena
peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan cirri terjadi
antara usia 6 bulan - 4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat
bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam
(Hidayat, 2008).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (Ngastiyah, 1997).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-
tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi
atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari
kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam
tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5
tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia
yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A.
Price, Latraine M. Wikson, 1995).
1. Anatomi Fisiologi
16
Gambar 2.1 Gambar Anatomi Otak Manusia
(handokoluo.wordpress.com/2008/01/22/dalam-arsip-di-otak-hidup-kita-disimpan-atau-lenyap/gambar-otak/)
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat komputer dari semua alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang
terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) dibungkus oleh selaput otak
yang kuat. Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang
dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran
otak awal.
a. Otak awal menjadi hemisfer serebri, korpus stiatum, talamus, serta
hipotalamus.
17
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrum, korpius kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons paroli, medula oblongata, dan serebelum.
Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak,
mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Otak mempunyai dua
permukaan yakni permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua
permukaan ini dilapisi oleh kelabu (zat kelabu) yaitu pada bagian korteks
serebral dan zat putih terdapat pada bagian dalam yang mengandung
serabut saraf.
Serebrum melekat pada batang otak di bagian medula oblongata. Pons
varoli dan mesensefalon. Hubungan serebelum dengan medula oblongata
disebut korpus retiformi, serebelum dengan pons varoli disebut brakium
pontis, dan serebelum dengan mesensefalon disebut brakium konjungtiva.
Batang otak terdiri dari diensefalon, mesensefalon, pons varoli, dan
medula oblongata.
Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan belakang
tengkorak dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis
dibelakangi oleh pons varoli dan di atas medula oblongata. Organ ini
banyak menerima serabut aferen sensoris, merupakan pusat koordinasi dan
integrasi. Serebelum berhubungan dengan batang otak melalui pendukulus
serebri inferior (korpus retiformi). Permukaan luar serebelum berlipat-lipat
menyerupai serebrum, tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratut.
18
Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu. Pada serabut saraf yang
masuk dan keluar dari serebelum harus melewati serebelum.
2. Etiologi Kejang Demam
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk
tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis,
gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan
metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral.
Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).
1) Intrakranial
a) Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik.
b) Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau
intra ventrikular.
c) Infeksi : Bakteri, virus, parasit.
d) Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom
zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.
2) Ekstra kranial
a) Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na dan K).
b) Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
c) Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam
amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.
3) Idiopatik
19
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the
fifth day fits)
4) Patofisiologi Kejang Demam
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu
adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan
keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air.
Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam
yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan
diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial
nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang
terdapat pada permukaan sel.
20
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan
perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang
datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena
penyakit/ keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 %
dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena
itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+
melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan
listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat
meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan
terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya
disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
3. Manifestasi Klinik
21
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan
bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang
disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis,
otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24
jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik.
4. Klasifikasi kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus
badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang,
klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat
badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi
dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu
berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan
dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat
karena infeksi selaput otak atau kernikterus.
b. Kejang Klonik
22
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya
cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini
merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan
hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
5. Komplikasi
Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan:
a) Kerusakan sel otak
b) Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama
lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral
c) Kelumpuhan (Lumbatobing,1989)
6. Penatalaksanaan Medis
23
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan
yaitu :
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien
dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan
napas harus bebas agar oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan
vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena
0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan
dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam
habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul
kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia
atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg
(BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5
menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan
dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1
mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan
pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan
menyebabkan iritasi vena.
24
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan
fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis
awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas
75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan
belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah
membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi
200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan
fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24
jam setelah dosis awal.
b. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien
kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan
dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau
kejang demam berlangsung lama.
c. Pengobatan Profilaksis
25
Ada 2 cara profilaksis, yaitu 1) profilaksis intermiten saat
demam atau 2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan
setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian diazepam secara
oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis
saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap
pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek samping
diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy
dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan
fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang
dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2
kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan
neurologist atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau
mikrosefal).
26
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologist sementara dan menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara
kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12
bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan
obat jangka panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada
waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8 jam
disamping antipiretik.( Arif Mansyoer,2000).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep Penelitian
27
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara hal, konsep
atau variable yang ingin di amati/ di ukur melalaui penelitian yang akan
dilakukan ( Notoatmodjo, 2005 ). Kerangka konsep penelitian ini didasarkan
pada teori Laurence Green yang terdiri dari dua variable independent dan satu
variable dependent. Variable independent tersebut adalah pengetahuan,
pendidikan, dan sikap sedangkan variable dependent adalah penanganan
pertama pada kejang demam.
Tabel 3.1 Kerangka Konsep
Variable Independen Variabel Dependen
B. Defenisi Operasional
Table 3.2 Defenisi Operasional
Bagaimana Hubungan Pengetahuan, Pendidikan, dan sikap Ibu dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat di RS. RK Charitas
Palembang Tahun 2010
Variabel Defenisi Cara ukur Alat Hasil Ukur Skala Ukur
Penanganan/Tindakan
mengatasi Kejang Demam
Pengetahuan
Pendidikan
Sikap
28
Operasional Ukur
Penanganan
Kejang
demam
Upaya yang
dilakukan ibu/
kegiatan dalam
upaya
mengatasi
demam
anaknya
sebelum
dibawa ke RS
Wawancara Quesioner
1. Baik, jika jawaban
benar ≥ mean.
2. Kurang, jika jawaban
benar < mean.
Ordinal
PengetahuanSegala sesuatu
yang diketahui
responden
tentang kejang
demam pada
balita, dan
penanganannya
sebelum
dibawa ke RS.
Wawancar
a Quesioner
1. Baik, jika jawaban
benar ≥ mean.
2. Kurang, jika jawaban
benar < mean.
Ordinal
Sikap Reaksi ibu
terhadap balita/
anaknya yg
demam dan
penangannya
sebelum
dibawa ke RS.
wawancara Quesioner
1. Baik, jika jumlah
skor ≥ mean .
2. Kurang, jika jawaban
benar < mean.
Ordinal
29
Pendidikan jenjang
pendidikan
formal yang
pernah
diselesaikan
responden.
Wawancara Quesioner a. Rendah = SD-
SMP
b. Tinggi = SMA-
PT
Ordinal
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan penanganan kejang
demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit.
2. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan penanganan kejang
demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit.
3. Ada hubungan antara sikap ibu dengan penanganan kejang demam
pada balita sebelum dirawat di rumah sakit.
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode
penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui
hubungan pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu dengan penanganan
kejang demam pada balita sebelum diawat di RS. RK Charitas Palembang
31
tahun 2010. Survey analitik cross sectional adalah suatu penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari adanya suatu dinamika
korelasi (hubungan) antara faktor resiko dengan efek. Kegiatan yang
dilakukan dari penelitian surve cross sectional adalah melakukan
observasi, yang dilaksanakan sekaligus pada saat yang sama terhadap
variable-variabel. Varibel-variabel tersebut adalah variable independent
yang termasuk faktor resiko dan variable dependent yang termasuk faktor
efek. Hasil observasi tersebut kemudian dilakukan suatu analisis korelasi
dengan cara membandingkan proporsi antara faktor resiko dan faktor efek
(Imron, 2010).
B. Tempat/ Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di paviliun Theresia I RS. RK. Charitas
Palembang dan penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2010.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalis yang terdiri atas obyek/ subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik terttentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiono, 2004). Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang
mempunyai balita yang terkena kejang demam dan memeriksakan
anaknya kerumah sakit RK. Charitas Palembang.
2. Sampel
32
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pada
penelitian ini yang menjadi sampel adalah sebagian ibu-ibu yang
mempunyai anak balita yang terkena kejang demam dan
memeriksakannya ke RS. RK. Charitas Palembang. Adapun tehnik
pengambilan sampel menggunakan tehnik non probability dengan
tehnik sampling accidental, yaitu dengan cara pengambilan sampel
yang dilakukan dengan kebetulan bertemu.
Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputi kriteria
inklusi dan kriteria ekslusi, dimana kriteria tersebut menetukan dapat
dan tidaknya sampel tersebut digunakan. Kriteria inklusi merupakan
kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang
memenuhi syarat sebagai sampel. Pertimbangan ilmiah harus menjadi
pedoman dalam menentukan kriteria inklusi (Nursalam, 2003). Kriteria
ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel
penelitian.
Kriteria inklusi
1. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita yang terkena kejang demam yang
memeriksakan bayinya ke RS. RK. Charitas Palembang tahun 2010.
2. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita yang terkena kejang demam yang
memeriksakan bayinya ke RS. RK. Charitas Palembang tahun 2010
yang bersedia menjadi responden.
33
Kriteria ekslusi
1. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita yang terkena kejang demam dan
tidak memeriksakan bayinya ke RS. RK. Charitas Palembang tahun
2010.
2. Ibu-ibu yang mempunyai anak balita yang terkena kejang demam yang
memeriksakan bayinya ke RS. RK. Charitas Palembang tahun 2010
yang tidak bersedia menjadi responden.
D. Tehnik Pengumpulan Data
1. Menurut nursalam (2005) pengumpulan data suatu proses pendekatan
kepada responden dan proses pengumpulan karakteristik responden
yang diperlukan dalam suatu penelitian.
2. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini adalah: Meminta surat
izin dari STIkes Perdhaki Charitas Palembang.
3. Meminta surat izin dari puket 1 STIkes Perdhaki Charitas Palembang.
4. Menyampaikan surat izin penelitian kepada Direktur RS. RK Charitas
Palembang.
5. Menyampaikan surat izin kepada Dinas Kesehatan provinsi Sumatra
Selatan.
6. Memilih responden yang sesuai dengan krtiteria sampel.
7. Memberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian kepada
responden, sebelum mengisi lembar kuesioner, meminta responden
menandatangan informed consent.
34
8. Responden diminta mengisi kuesioner dengan didampingi oleh peneliti
atau di damping oleh teman mahasiswi sebagai enumerator data.
9. Pengumpulan kuisioner yang telah selesai oleh responden.
10. Melakukan pengelolaan data dari tanggal
Data dapat diperoleh secara langsung atau tidak langsung, hal ini
sangat tergantung dari kebutuhan informasi, tenaga, waktu dan dana yang
tersedia. Untuk dapat mengumpulkan data. Ada beberapa cara, yakni:
1. Pengamatan (Observasi)
Suatu perbuatan jiwa yang aktif dan penuh perhatian untuk menyadari
adanya suatu ransangan atau gejala nyata. Yang dilakukan pada
pengamatan ini adalah mengamati gejala-gejala nyata (dalam kategori
skala), yang ada secara berulang-ulang. Alat bantu yang sering digunakan
adalah daftar cek, skala penilaian serta mekanik.
2. Wawancara
Peneliti dalam mendapatkan data melalui bercakap-cakap dan
berhadapan muka dengan responden. Alat yang dipakai pada wawancara
ini adalah kuisioner. Kuesioner ini merupakan daftar pertanyaan dalam
rangka wawancara terstruktur oleh peneliti dengan responden. Daftar
pertanyaan mana telah disusun sedemikian rupa, sehingga responden
hanya memberikan jawaban dengan memeberikan tanda-tanda atau symbol
atau mencontreng dari pilihan jawaban yang telah disediakan.
35
3. Angket
Mendapatkan data melalui penyebaran formulir yang berisi pertanyaan
dan diajukan secara tertulis pada sekumpulan orang. Alat bantuannya
berupa formulir isian.
4. Pengukuran
Dilakukan dengan mengukur orang atau obyek mengenai hal yang
dipelajari dengan mempergunakan berbagai macam alat ukur, kemudian
dicatat. Alat bantu yang dipergunakan adalah alat pengukuran panjang,
berat, suhu, hydrometer dan lain sebagainya.
1. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data ini didapat dari:
1. Data primer
Pengumpulan data primer pada penelitian ini diperoleh melalui
kuesioner yang secara langsung dibagikan kepada responden.
Kuesioner ini digunakan untuk mengetahui sejauhmana
pengetahuan dan sikap ibu dalam mengatasi kejang demam pada
balita sebelum dirawat di rumah sakit. Kuesioner ini dibuat oleh
sendiri oleh peneliti dan akan dilakukan uji validitas dan reabilitas
di RS. Myria, yang memiliki karakteristik yang sama dengan
dijadikan sampel. Agar di peroleh distribusi nilai hasil pengukuran
mendekati normal,maka dilakukan uji coba dengan paling sedikit
dari sampel penelitian, dalam penelitian di ambil responden untuk
uji validitas (Notoadmodjo,2005).
36
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber
yang telah ada, mengenai jumlah balita yang terkena kejang
demam di Sumsel, khususnya di RS. RK. Charitas Palembang.
E. Tehnik Analisis dan Metode Penulisan
Data yang telah diperoleh tidaka kan banyak manfaatnya apabila tidak
diolah dan dianalisis. Sebuah data akan banyak bercerita, apabila telah
dilakukan pengolahan dan analisa, sehingga dapat dengan mudah dipahami
untuk kemudian disimpulkan. Pengolahan data sering disebut juga dengan
kegiatan proses penataan data, karena data hasil pengumpulan dalam
rangkaian kegiatan penelitian, masih merupakan data kasar atau data dasar
(raw data). Pengolahan data digunakan agar data kasar atau data dasar tersebut
dapat diorganisir, disajikan serta dianalisa untuk kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
1. Proses kegiatan pengolahan data (data processing) ini terdiri dari 3 jenis
kegiatan, yakni:
a. Memeriksa data (Editing)
Dimaksud dengan memeriksa data atau proses editing, adalah
memeriksa data hasil pengumpulan data, yang berupa daftar
pertanyaan, kartu, buku register, dan lain-lain.
b. Member kode (Koding)
37
Untuk memudahkan pengolahan data, maka semua jawaban atau
data hasil penelitian dianggap sangat perlu untuk disederhanakan agar
supaya pada saat pengolahan dapat dilakukan dengan mudah. Salah
satu cara menyederhanakan data hasil penelitian tersebut adalah
dengan memberikan symbol-simbol tertentu untuk masing-masing data
yang sudah diklasifikasikan.
c. Tabulasi data (tabulating)
Yang dimaksud dengan kegiatan tabulasi data (tabulating), yakni
menyusun dan mengorganisir data sedemikian rupa, sehingga akan
dapat dengan mudah untuk dilakukan penjumlahan, disusun dan
disajikan dalam bentuk table atau grafik.
2. Teknik Analisa Data
Analisa data dapat dimulai dari yang sangat sederhana, kemudian
melangkah menuju suatu analisis yang lebih sulit dan rumit. Pedoman
sederhana ini kadang sering dilupakan orang, seperti misalnya
penyaringan data (editing).
Dalam melakukan kegiatan analisis data dapat dibedakan menjadi 3
macam cara, yaitu:
a. Analisa univariat
Teknik ini dilakukan terhadap setiap variable hasil dari penelitian.
Hasil dari analisis ini berupa distribusi frekuensi, tendensi sentral,
ukuran penyebaran maupun presentase dari setiap variable, ataupun
38
dengan melihat gambaran histogram dari variable tersebut. Dengan
menggunakan analisis univariat ini dapat diketahui apakah konsep
yang kita ukur tersebut sudah siap untuk dianalisis serta dapat dilihat
gambaran secra rinci. Untuk kemudian disiapkan kembali ukuran dan
bentuk konsep yang akan digunakan dala analisis berikutnya.
b. Analisis bivariat
Model analisis ini digunakan unutk melihat apakah ada hubungan
antara variable. Hubungan tersebut yang terjadi mempunyai 3
kemungkinan, yaitu:
1) Ada hubungan tetapi sifatnya simetris, tidak saling
mempengaruhi.
2) Saling mempengaruhi antara 2 variabel.
3) Sebuah variabel mempengaruhi variable yang lain.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, ternyata hubungan yang ketiga
inilah yang menjadi focus perhatian utama, yakni sebuah variable
mempengaruhi variable yang lain. Hal tersebut bukan berarti hubungan
yang lain tidak penting, akan tetapi juga mempunyai fungsi sendiri
dalam penelitian.
F. Jadwal Penelitian
Jadwal pelaksanaan tahun 2010, yaitu penyusunan proposal dan
penyempurnaan alat dan bahan dilakukan pada bulan April sampai Mei.
39
Pengajuan seminar proposal pada minggu ke-3 dan 4 bulan Mei. Seminar
proposal pada minggu ke-4 bulan Mei dan minggu pertama bulan Juni.
Perbaikan proposal minggu ke-1 dan 2 bulan Juni. Uji coba kuesioner pada
minggu ke-2 bulan Juni. Pengumpulan kuesioner pada minggu ke-3 bulan
Juni. Pengamatan dan pengumpulan data dilokasi penelitian pada minggu ke-4
bulan Juni. Analisa data dan interpretasi data pada minggu ke-4 bulan Juni dan
minggu pertama bulan Juli. Pengajuan seminar hasil pada minggu pertama
bulan Juli. Seminar hasil pada minggu ke-2 dan 3 bulan Juli. Penyusunan hasil
seminar hasil pada minggu ke-3 dan 4 bulan Juli. Perbaikan hasil konsultasi
pada minggu ke-4 bulan Juli dan minggu pertama bulan Agustus. Pengajuan
usul ujian skripsi pada minggu pertama dan ke-2 bulan Agustus. Ujian skripsi
pada minggu ke-2 dan 3 bulan Agustus. Penyusunan hasil skripsi pada minggu
ke-3 dan 4 bulan Agustus.
G. Etika Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subyek
penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar manusia.
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sehingga penelitian
yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan mannusia.
Masalah etika penelitia kperawatan merupakan masalah yang penting
dalam penelitian mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung
40
dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah eteika
yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan anatara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent ini diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia, maka
mereka harua menandatangani lembar persetujuan. Jika responden
tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anomity (tanpa nama)
Masalah etik keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau
hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
41
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset (Notoatmodjo, 2005).
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum RS. RK Charitas
1. Sejarah RS. RK Charitas Palembang
RS. RK Charitas berdiri sejak tahun 1926 yang dipelopori oleh
lima orang suster dari kongregasi charitas Rosendaal Belanda dengan
42
membawa semangat cita-cita “menolong sesama dengan kegembiraan,
kesederhanaan, dan terutama cinta kasih”. Kelima suster tersebut adalah
Sr. M. Raymunda, Sr. M. Alacoque, Sr. M. Caecilia, Sr. M. Wilhelmina
dan Sr.M Catharina. Pada saat itu rumah sakit baru bisa menampung 14-16
orang penderita yang terletak diseberang RS. RK. Charitas saat ini
(disamping gereja Santo Yoseph).
Karena dirasa bahwa perlu membangun rumah sakit yang baru
maka pada tanggal 18 Januari 1938 Rumah Sakit RK. Charitas
dipindahkan ke lokasi baru yang saat itu letakknya di puncak bukit kecil,
jauh dari keramaian tetapi strategis dan seiring dengan perkebangan kota
Palembang, saat ini RS. RK Charitas justru terletah ditengah-tengah kota.
Dalam kurun waktu yang cukup lama RS. RK. Charitas merupakan satu-
satunya rumah sakit di Sumatera Selatan dan sampai tahun 1947 tenaga
perawat dan bidan didatangkan dari rumah induk konggregasi Roosedal-
Negeri Belanda.
Rumah sakit RK. Charitas mendapat pengesahan secara resmi
dengan surat-suratnya:
a. Permohonan pengembalian RS. RK. Charitas Palembang oleh Moeder
M. Alacoque selaku Direktris/ Ketua Konggregasi Suster Charitas
Indonesia No. 208/ AC, tanggal 14 April 1948.
b. Surat rekomendasi dari Central Misse Bureau, tanggal 21 Appril 1948
No. 314.
43
c. Surat rekomendasi dari Gouv, Secretariat, tanggal 27 Februari 1948,
No. 17824.
d. Surat Keputusan dari Dients der Volk Gezondheid (DVD) yang isinya:
memutuskan pengembalia RS. RK. Charitas Palembang terhitung 1
Juli 1948 kepada konggregasi Charitas termasuk pengelolaannya. Surat
Keputusan ini dikeluarkan pada tanggal 25 Agustus 1948
ditandatangani oleh Sekretaris Kepala Departemen Kesehatan Batavia
Dr. Y. E. Karamoy.
RS. RK. Charitas memiliki unit-unit sampai ke daerah-daerah
maka, untuk mempermudah pengelolaan pada tanggal 3 November 1981
dibentuk Yayasan “RS. RK. Charitas” dengan Akta Pendirian No. 8 yang
membawa RS. RK. Charitas.
2. Identitas Rumah Sakit
a. Nama Rumah Sakit : RS. RK. Charitas Palembang
b. Alamat : Jl. Jend. Sudirman No. 1054 Palembang
c. Telepon : 0711-353374, 353375
d. Faksimile : 0711-362205
e. Email : [email protected]
f. Tipe : B/ Madya
g. Luas tanah/ bangunan : 24.121 m²/ 16.061 m²
h. Akreditasi : terakreditasi 12 bidang pelayanan
3. Jumlah Tempat Tidur
44
RS. RK. Charitas memiliki 370 tempat tidur.
4. Sumber Daya Manusia
Jumlah keseluruhan karyawan di RS. RK. Charitas Palembang
adalah 1062 orang.
Tenaga keperawatan di RS. RK. Charitas Palembang berjumlah
403 orang dengan jumlah tenaga perawat 206 orang, jumlah tenaga
bidan 50 orang, dan 147 orang tenaga perawat yang berpendidikan
SPR/ SPK.
5. Falsafah, Visi, Misi dan Tujuan RS. RK. Charitas Palembang
a. Falsafah
Dengan dilandasi cinta kasih ilahi, dalam kegembiraan dan
kesederhanaan, memberikan pelayanan kesehatan bagi sesama
sebagai manusia seutuhnya dengan tidak membedakan suku,
bangsa agama, dan golongan terutama mereka yang lemah dan
kurang mendapat perhatian
b. Visi
Tahun 2015 menjadi rumah sakit terbaik di Indonesia
dalam keselamatan pasien dan mutu pelayanan, yang mampu
menyenangkan pelanggan.
c. Misi
45
1) Memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan terkini
didukung dengan IPTEK dan SDM yang profesional dengan
biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
2) Memberikan pelayanan yang paripurna, bersifat transparan,
aman, adil, bertanggung jawab, akuntabilitas, dan berlandaskan
dimensi spiritualitas.
3) Menciptakan SDM yang kompeten, berempati, berperilaku
baik, visioner dan mengembangkan budaya komunikasi dengan
sikap mendengarkan, membangun kerja sama, dialog
interpesonal, jernih dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.
4) Memperhatikan kesejahteraan karyawan dan memperlakukqan
karyawan sebagai keluarga besar RS. RK. Charitas.
d. Tujuan
1) Terselenggaranya sistem pelayanan kesehatan sesuai standar
pelayanan terkini didukung dengan IPTEK dan SDM yang
profesional dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
2) Terselenggaranya sistem pelayanan yang paripurna, bersifat
transparan, aman, adil, bertanggungjawab, akuntabilitas, dan
berlandaskan dimensi spiritualitas.
3) Terciptanya sumber daya manusia yang kompeten, berempati,
berperilaku baik, visioner, dan mengembangkan budaya
komunikasi dengan sikap mendengarkan, membangun
46
kerjasama, dialog interpersonal, jernih dalam berpikir,
berbicara, dan bertindak.
4) Terbangunnya kerja sama antar rumah sakit RK. Charitas
dengan pemerintah dan dinas kesehatan provinsi sumatera
selatan, fasilitas kesehatan (pemerintah/ swasta) lainnya serta
pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang dilandasi
dengan prinsip kemitraan perundang-undangan dibidang
pelayanan kesehatan yang terkait.
5) Terselenggaranya pelayanan unggulan medik dan keperawatan.
6) Meningkatkan kesejahteraan karyawan sebagai keluarga besar
rumah sakit RK. Charitas.
B. Gambaran Umum Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang
Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang adalah unit
perawatan anak. Paviliun Theresia dibagi atas 2 bagian yaitu Paviliun
Theresia I yaitu unit care perawatan anak, dan Theresia II unit care
perawatan anak khusus anak dengan pre/post operasi. Pemberian metode
pemberian asuhan menggunakan metode asuhan keperawatan.
Sumber daya yang ada di Paviliun Theresia Iadalah terdiri dari 1
orang kepala ruangan, koordinator CI 1 orang berpendidikan D3
Keperawatan, perawat 17 orang dengan 10 orang berpendidikan D3
Keperawatan, 6 orang SPK, 1 orang SPR.
47
Untuk sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Paviliun Theresia
RS. RK. Charitas Palembang terdiri dari 49 tempat tidur, yaitu kelas I
terdiri dari 3 kamar, kelas II 20 kamar, dan kelas III 4 kamar dengan 26
tempat tidur.
C. Hasil Penelitian
1. Hasil Analisa Univariat
a. Tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan kejang demam pada
balita dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian untuk
mengetahui hubungan dari proporsi dan persentasi dari tiap variabel
48
independen ( pengetahuan) dan variabel dependen (penanganan pertama
kejang demam). Untuk menilai tingkat pengetahuan responden maka
peneliti membuat soal dalam bentuk pertanyaan check list dengan jumlah
soal 5, dengan skor bila jawabannya salah di beri nilai nol dan jika
jawabannya benar di berikan nilai 1.
Data digunakan dalam bentuk tabel dan teks yang dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan Ibu di Ruang
Keperawatan Anak Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
No Pengetahuan Frekuensi Persen (%)
1. Sedang 14 41.2
2. Baik 20 58.8
Total 34 100
Dari tabel 5.1 dapat kita lihat bahwa pengetahuan responden lebih dari
separuh yang memiliki pengetahuan baik 58.8% (20 orang). Dan responden
yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 41.2% (14 orang).
b. Sikap ibu tentang penanganan kejang demam pada balita dirumah,
sebelum dirawat di rumah sakit
Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian untuk
mengetahui hubungan dari variabel independen (sikap) dan variabel
dependen (tindakan pertama mengatasi kejang demam). Untuk menilai
49
sikap responden maka peneliti membuat soal dalam bentuk pertanyaan
check list dengan jumlah soal 10, dengan skor bila jawaban pernyataan
yang dijawab responden sangat setuju diberi nilai 3, setuju nilai 2, tidak
setuju 1, sangat tidak setuju 0.
Data digunakan dalam bentuk tabel dan teks yang dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Sikap Ibu di Ruang Keperawatan
Anak Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
No Sikap Frekuensi Persen(%)
1. Negatif 19 55.9
2. Positif 15 44.1
Total 34 100
Dari tabel 5.2 dapat kita lihat bahwa sikap responden lebih dari
separuh yang memiliki sikap negatif yaitu sebanyak 55.9% (19 orang).
Dan responden yang memiliki sikap positif sebanyak 44.1% (15 orang).
c. Tingkat pendidikan ibu tentang penanganan kejang demam pada
balita dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Analisis ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian untuk
mengetahui hubungan dari proporsi dan persentasi dari tiap variabel
independen ( pendidikan) dan variabel dependen (penanganan pertama
50
kejang demam). Untuk menilai tingkat pendidikan responden maka
peneliti membagi menjadi dua kategori, yaitu pendidikan rendah (SD-
SMP), pendidikan tinggi (SMA-PT).
Data digunakan dalam bentuk tabel dan teks yang dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Menurut pendidikan Ibu di Ruang Keperawatan
Anak Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
No Pendidikan Frekuensi Persen(%)
1. Rendah 7 20.6
2. Tinggi 27 79.4
Total 34 100
Dari tabel 5.3 dapat kita lihat bahwa pendidikan responden lebih
dari separuh yang memiliki pendidikan tinggi yaitu sebanyak 79.4% (27
orang). Dan responden yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 20.6%
(7 orang).
d. Tindakan ibu tentang penanganan kejang demam pada balita
dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Untuk menilai tindakan responden dalam mengatasi kejang
demam dirumah maka peneliti membuat soal dalam bentuk
pertanyaan check list dengan jumlah soal 10, dengan skor bila
51
jawaban pernyataan yang dijawab responden sering diberi nilai 2,
kadang-kadang nilai 1, tidak pernah nilai 0.
Data digunakan dalam bentuk tabel dan teks yang dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Menurut tindakan Ibu di Ruang Keperawatan
Anak Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
No Tindakan Frekuensi Persen(%)
1. Kurang 20 58.8
2. Baik 14 41.2
Total 34 100
Dari tabel 5.4 dapat kita lihat bahwa tindakan responden lebih dari
separuh yang memiliki tindakan kurang yaitu sebanyak 58.8% (20 orang).
Dan responden yang memiliki tindakan baik sebanyak 41.2% (14 orang).
52
2. Hasil Analisa Bivariat
a. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui hubungan anatara variabel
independen ( pengetahuan) dengan variabel dependen (penanganan
pertama kejang demam)
Dari 34 responden, pada variabel pengetahuan ibu
dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan baik dan
pengetahuan sedang. Sehingga dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.5
Hubungan Pengetahuan Responden Dengan Penanganan Pertama Kejang Demam
Pada Balita di Ruang Keperawatan Anak Paviliun Theresia
RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
Pengetahuan Tindakan pertama kejang demam Total p value
53
Baik Kurang
F % F % F %
Baik 11 55 9 45 20 100 0.109
Sedang 3 21.4 11 78.6 14 100
Total 14 41.2 20 58.8 34 100
Dari table diatas, responden dengan kategori pengetahuan baik dari 20
responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang dengan baik
sebanyak 11 responden (55 %), dan pada responden dengan kategori pengetahuan
sedang dari 14 responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang
dengan baik sebanyak 3 responden (21.4%).
Hasis uji statistik Chi-Square didapatkan p value 0.109 dengan batas
kemaknaan α = 0.05 berarti p value lebih besar dari α, maka disimpulkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan tindakan
pertama mengatasi kejang demam dan hipotesis yang menyatakan ada hubungan
antara pengetahuan dengan tindakan pertama mengatasi kejang demam ditolak.
54
b. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui hubungan anatara variabel
independen (sikap) dengan variabel dependen (tindakan pertama
mengatasi kejang demam).
Dari 34 responden, pada variabel sikap ibu dikelompokkan
menjadi 2 kategori yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sehingga
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.6
Hubungan Sikap Responden Dengan Penanganan Pertama Kejang
Demam Pada Balita di Ruang Keperawatan Anak Paviliun
Theresia RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
Sikap Tindakan pertama kejang demam Total p value
Baik Kurang
55
F % F % F %
Positif 7 46.7 8 53.3 15 100 0.820
Negatif 7 36.8 12 63.2 19 100
Total 14 41.2 20 58.8 34 100
Dari table diatas, responden dengan kategori sikap positif dari 15
responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang dengan baik
sebanyak 7 responden (46.7 %), dan pada responden dengan kategori sikap
negatif dari 19 responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang
demam dengan baik sebanyak 7 responden (36.8%).
Hasis uji statistik Chi-Square didapatkan p value 0.820 dengan batas
kemaknaan α = 0.05 berarti p value lebih besar dari α, maka disimpulkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara sikap responden dengan tindakan pertama
mengatasi kejang dan hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara sikap
dengan tindakan pertama mengatasi kejang ditolak.
56
c. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui hubungan anatara variabel
independen (pendidikan) dengan variabel dependen (penanganan
pertama kejang demam)
Dari 34 responden, pada variabel pendidikan ibu
dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu Pendidikan tinggi dan
pendidikan rendah Sehingga dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.7
Hubungan Pendidikan Responden Dengan Penanganan Pertama Kejang Demam
Pada Balita di Ruang Keperawatan Anak Paviliun Theresia
RS. RK. Charitas Palembang Tahun 2010
Pendidikan Tindakan pertama kejang demam Total p value
Baik Kurang
57
F % F % F %
Tinggi 9 33.3 18 66.7 27 100 0.097
Rendah 5 71.4 2 28.6 7 100
Total 14 41.2 20 58.8 34 100
Dari tabel diatas, responden dengan kategori pendidikan tinggi dari 27
responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang dengan baik
sebanyak 9 responden (33.3%), dan pada responden dengan kategori pendidikan
rendah dari 7 responden yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang
dengan baik sebanyak 5 responden (71.4%).
Hasis uji statistik Chi-Square didapatkan p value 0.097 dengan batas
kemaknaan α = 0.05 berarti p value lebih besar dari α, maka disimpulkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara pendidikan responden dengan tindakan
pertama mengatasi kejang demam dan hipotesis yang menyatakan ada hubungan
antara pendidikan dengan tindakan pertama mengatasi kejang demam ditolak.
58
D. Pembahasan Hasil Penelitian
HASIL ANALISA UNIVARIAT
1. Tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan kejang demam
pada balita dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Pada penelitian ini pengetahuan responden lebih dari separuh
yang memiliki pengetahuan baik 58.8% (20 orang). Dan responden
yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 41.2% (14 orang).
Dikarenakan banyaknya responden yang memiliki pengetahuan
baik, maka dalam melakukan penelitian ini, peneliti tidak banyak
menemukan kesulitan yang berarti. Dengan pendidikan yang baik
maka responden akan mengetahui apa itu penyakit kejang demam,
59
apa tanda dan gejala dari penyakit kejang demam, dan bagaimana
penanganan dari penyakit kejang demam itu sendiri.
2. Sikap ibu tentang penanganan kejang demam pada balita
dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Pada penelitian ini sikap responden lebih dari separuh yang
memiliki sikap negatif yaitu sebanyak 55.9% (19 orang). Dan
responden yang memiliki sikap positif sebanyak 44.1% (15 orang).
Dikarenakan masih banyaknya sikap responden yang
memiliki sikap negative, maka dari itu Mengingat keterkaitkan hal
ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi
yang lebih jelas, menyeluruh dan terpadu kepada ibu-ibu balita
guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan motivasi mereka
untuk melakukan tindakan pertama mengatasi kejang demam pada
balita sebelum dirawat di rumah sakit dengan baik.
3. Tingkat pendidikan ibu tentang penanganan kejang demam pada
balita dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit
Pada penelitian pendidikan responden lebih dari separuh
yang memiliki pendidikan tinggi yaitu sebanyak 79.4% (27 orang).
Dan responden yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 20.6%
(7 orang).
Dengan berkembangnya zaman pendidikan semakin
meningkat. Tidak dapat dipungkiri pendidikan berkembang dengan
pesat juga di Indonesia. Ibu berpendidikan tinggi akan lebih mudah
60
mencerna informasi yang didapat, dibandingkan ibu yang
berpendidikan rendah. Semakin banyak informasi yang diterima
ibu tentang bagaimana cara tindakan pertama mengatasi kejang
demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit maka ankan
meningkatkan kemandirian dan keseriusan ibu untuk melakukan
tindakan pertama mengatasi kejang demam pada balita sebelum
dirawat di rumah sakit.
4. Tindakan ibu tentang penanganan kejang demam pada balita
dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit.
Tindakan responden lebih dari separuh yang memiliki
tindakan kurang yaitu sebanyak 58.8% (20 orang). Dan responden
yang memiliki tindakan baik sebanyak 41.2% (14 orang).
Pada penelitian kebanyakan responden masih belum
mengetahui bagaimana cara penanganan kejang demam pada balita
dirumah, sebelum dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu dengan
penyuluhan oleh tenaga kesehatan ataupun dengan membaca
selebaran atau dari media cetak, diharapkan Semakin banyak
informasi yang diterima ibu tentang bagaimana cara tindakan
pertama mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di
rumah sakit maka ankan meningkatkan kemandirian dan
keseriusan ibu untuk melakukan tindakan pertama mengatasi
kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit.
61
HASIL ANALISA BIVARIAT
1. Hubungan Pendidikan dengan Tindakan Pertama Mengatasi
Kejang Demam Pada Balita Sebelum Dirawat di Rumah Sakit.
Pada penelitian ini jumlah responden dengan kategori
berpendidikan rendah sebanyak 7 responden dan kategori
responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 27 responden. Dari
7 responden kategori berpendidikan rendah yang melakukan
tindakan pertama mengatasi kejang demam dengan baik sebanyak
5 responden (71.4%), dan dari 27 responden kategori
berpendidikan tinggi yang melakukan tindakan pertama mengatasi
kejang demam dengan baik sebanyak 9 responden (33.3%).
62
Dari uji hasil statistik Chi-Square diperoleh p value 0.097
dengan batas kemaknaan α = 0.05 berarti p value lebih besar dari α,
maka disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan responden dengan tindakan pertama mengatasi kejang
demam dan hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara
pendidikan dengan tindakan pertama mengatasi kejang demam
ditolak.
Pendidikan merupakan suatu proses yang akan
menghasilkan perubahan prilaku. Secara konkret perubahan prilaku
tersebut berbentuk peningkatan kesadaran dan kemampuan dari
sasaran pendidikan (Notoatmojo 2003). Sesuai dengan pernyataan
tersebut pendidikan adalah salah satu faktor penting yang
mendukung dan mendorong seorang ibu untuk dapat melakukan
tindakan pertama mengatasi kejang demam pada balita sebelum
dirawat di rumah sakit. Pendidikan yang baik akan membentuk
pola pengetahuan yang baik terhadap seorang individu.
Pendidikan ibu merupakan suatu hal yang penting dalam
meningkatkan pengetahuan ibu tentang tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit, dengan pendidikan yang baik maka ibu akan mengetahui
bagaimana cara mengatasi kejang demam pada balita sebelum
dirawat dirumah sakit sehingga dengan ibu berpendidikan tinggi
akan lebih mudah mencerna informasi yang didapat, dilihat baik
63
secara langsung misalnya dengan penyuluhan oleh tenaga
kesehatan ataupun dengan membaca selebaran atau dari media
cetak. Semakin banyak informasi yang diterima ibu tentang
bagaimana cara tindakan pertama mengatasi kejang demam pada
balita sebelum dirawat di rumah sakit maka ankan meningkatkan
kemandirian dan keseriusan ibu untuk melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit.
2. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Pertama Mengatasi
Kejang Demam Pada Balita Sebelum Dirawat di Rumah Sakit.
Pada penelitian ini jumlah responden dengan kategori
berpengetahuan sedang sebanyak 14 responden dan kategori
responden berpengetahuan baik sebanyak 20 responden. Dari 14
responden berpengetahuan sedang yang melakukan tindakan
pertama mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di
rumah sakit dengan baik sebanyak 3 responden (21,4%). Dan dari
20 responden berpengetahuan baik yang melakukan tindakan
64
pertama mengatasi kejang demam sebelum dirawat di rumah sakit
dengan baik sebanyak 11 responden (55.0%).
Dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p value 0.109
dengan batas kemaknaan α = 0.05 berarti p value lebih besar dari α,
maka disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan responden dengan tindakan pertama mengatasi kejang
demam dan hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara
pengetahuan dengan tindakan pertama mengatasi kejang demam
ditolak.
Teori menunjukkan bahwa pengetahuan didapat dari belajar
dan belajar itu sendiri merupakan hasil dari asosiasi antara stimulus
dan respon sehingga pemecahan masalah dapat dihadapi.
Pengetahuan juga merupakan bentuk tahu dari manusia yang
diperoleh dari pengetahuan , akal, pikiran seseorang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu yang pada akhirnya
memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan.
(Notoatmojo, 2003).
Adanya kecenderungan melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit dengan baik oleh kelompok ibu yang memiliki pengetahuan
baik, dikaitkan oleh adanya kesadaran dari diri mereka akan
manfaat atau pentingnya pelayanan kesehatan dan penyuluhan
65
kesehatan tentang pentingnya melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit dengan baik, sehingga mereka mempunyai motivasi dan
kesadaran yang lebih baik untuk melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit dengan baik. Mengingat keterkaitkan hal ini penting bagi
petugas kesehatan untuk memberikan informasi yang lebih jelas,
menyeluruh dan terpadu kepada ibu-ibu balita guna meningkatkan
pengetahuan, kesadaran dan motivasi mereka untuk melakukan
tindakan pertama mengatasi kejang demam pada balita sebelum
dirawat di rumah sakit dengan baik.
3. Hubungan Sikap dengan Tindakan Pertama Mengatasi Kejang
Demam Pada Balita Sebelum Dirawat di Rumah Sakit.
Pada penelitian ini jumlah responden dengan kategori sikap
negatif sebanyak 19 responden dan kategori responden yang
mempunyai sikap positif sebanyak 15 responden. Dari 19
responden kategori bersikap negatif yang melakukan tindakan
pertama mengatasi kejang demam dengan baik sebanyak 7
responden (36.8%), dan dari 15 responden kategori bersikap
66
positif yang melakukan tindakan pertama mengatasi kejang demam
dengan baik sebanyak 7 responden (46.7%).
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative. Respon
hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon
evaluative berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai
sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri
individu yang memberi kesimpulan pada stimulus dalam bentuk
nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak
menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi
terhadap objek sikap.Sikap adalah kebiasaan berpikir dan
kebiasaan dalam berpikir tersebut dapat dilatih. Dan, suatu
tindakan yang selalu diulang akan menjadi suatu sikap (Azwar,
1998).
Sedangkan menurut Notoadmojo,(2003) sikap merupakan
reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
prilaku.
Adanya kecenderungan melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit dengan baik oleh kelompok ibu yang memiliki sikap positif
terhadap pentingnya melakukan tindakan pertama mengatasi
67
kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit dengan
baik, sehingga mereka mempunyai motivasi dan kesadaran yang
lebih baik untuk melakukan tindakan pertama mengatasi kejang
demam pada balita sebelum dirawat di rumah sakit dengan baik.
Mengingat keterkaitkan hal ini penting bagi petugas kesehatan
untuk memberikan informasi yang lebih jelas, menyeluruh dan
terpadu kepada ibu-ibu balita guna meningkatkan pengetahuan,
kesadaran dan motivasi mereka untuk melakukan tindakan pertama
mengatasi kejang demam pada balita sebelum dirawat di rumah
sakit dengan baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
68
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab V, peneliti
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kategori pendidikan responden yang berpendidikan tinggi sebesar 27
responden (79.4%) dan responden yang berpendidikan rendah sebesar
7 responden (20.6%).
2. Kategori pengetahuan responden yang mempunyai pengetahuan baik
sebesar 20 responden (58.8%) dan yang mempunyai pengetahuan
sedang sebesar 14 responden (41.2%).
3. Kategori sikap responden yang mempunyai sikap positif sebesar 15
responden (44.1%) dan yang mempunyai sikap negative sebesar 19
orang (55.9%).
4. Kategori tindakan responden yang mempunyai tindakan baik sebesar
14 responden (41.%) dan yang mempunyai tindakan kurang sebesar 20
responden (58.8%).
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan, pengetahuan,
dan sikap dengan tindakan pertama mengatasi kejang demam di
paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti mengajukan saran-saran
sebagai berikut:
1. Hendaknya petugas kesehatan lebih meningkatkan pemberian
penyuluhan tentang tindakan pertama mengatasi kejang demam dengan
69
berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan media cetak,
dengan membuat leaflet tentang tindakan pertama dalam mengatasi
kejang demam pada balita sebelumdirawat di rumah sakit, dan dapat
diberikan langsung kepada ibu-ibu yang pernah melakukan perawatan
balita di rumah sakit.
2. Hendaknya pihak paviliun Theresia mendampingi ibu-ibu yang sedang
melakukan perawatan balita di rumah sakit agar ibu merasa lebih
tenang dan nyaman atas informasi yang didapat dari perawat yang
sedang bertugas.
3. Hendaknya dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih
besar, variabel penelitian yang luas dan dengan desain penelitian serta
uji statistik yang berbeda.
Top Related