CASE REPORT
ACUTE APPENDISITIS
Narasumber:
dr. Faizon Sp. B (k) Onk
Disusun Oleh :
JOANDREW J.H GULTOM
PROGRAM DOKTER INTERNSIP
PERIODE 6 NOVEMBER 2014 – 6 NOVEMBER 2015
RSUD DR MURJANI SAMPIT
Tinjauan Pustaka
1. Pendahuluan
Apendisitis adalah sebuah peristiwa bedah kegawatdaruratan medik pada
anak yang paling sering terjadi yang disebabkan oleh proses inflamasi pada
apendiks feriformis. 4 dari 1000 anak dibawah 14 tahun sering didiagnosa dengan
apendisitis. (Hennely, 2009). Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling
sering di negara-negara barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun, banyak
pada dekade kedua dan ketiga, tetapi dapat terjadi pada semua usia. (Grace, 2007)
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada negara
berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insidens tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi. (Sjamsuhidajat, 2004)
Bayi dan anak sapai berumur 1 tahun terdapat 1% atau kurang. Anak berumur 2
sampai 3 tahun terdapat 15%. (Kartono, 1995)
2.1.Apendisitis
2.1.1.Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(perkiraan dari 2-20 cm). Apendiks terbentuk selama bulan ke 5 kehamilan.
(Santacroce, 2010). Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan meyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolom asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala
klinis apendisitis ditentukan letak apendiks. (Sjamsuhidajat, 2004).
Persarafan parasimpatis berasal dari n.vagus yang mengikuti a.mensenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.2.Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogensis apendisitis.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.3.Epidemiologi Apendisitis Akut
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga desebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik. (Price, 2005).
2.1.4.Etiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan limfa, fekalit ( faex= tinja,
lithos= batu), tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan-makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.5.Patogenesis
Apendiks veriformis merupakan sisa apeks sekum yang belum diketahui
fungsinya pada manusia. Struktur ini berupa tabung yang panjang, sempit (sekitar
6-9 cm), dan mengandung arteria apendikularis yang merupakan suatu arteria
terminalis (end-artery). (Price, 2005).
Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada dinding abdomen di bawah
titik McBurney. Titik McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka
superior kanan ke umbilikus. Titik tengah garis ini merupakan tempat pangkal
apendiks. (Price, 2005).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks veriformis. (Grace, 2007).
Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen, yang biasanya
disebabkan fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat).
Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya
pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat
menyebabkan terjadinya oklusi arteria terminalis (end-artery) apendikularis. Bila
keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya menyebabkan nekrosis,
gangren, dan perforasi. Penelitian terakhir menunjukan bahwa ulserasi mukosa
berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan lumen.
Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang diperkirakan oleh
virus. Akhir- akhir ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan adalah Yersinia
enterocolitica. (Lindseth, 2005).
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha
pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan infiltrat apendiks. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi (ex= awalan untuk arti keluar, acerbus= pahit;
penyakit tambah berat lagi) akut. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.6.Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. (Sjamsuhidajat, 2004). Untuk mendiagnosis
dengan akurat apendisitis akut sering kali sulit. Kasus klasik ditandai dengan rasa
tidak nyaman ringan di daerah periumbilikus, diikuti anoreksia, mual dan muntah,
nyeri tekan kuadran kanan bawah yang dalam beberapa jam berubah menjadi rasa
pegal dalam atau nyeri di kuadran kanan bawah. Demam dan leukositosis terjadi
pada awal perjalanan penyakit. (Crawford, 2007). Umumnya nafsu makan
menurun. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal,
karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas
mayor yang menegang dari dorsal. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbukan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing,
karena rangsangan dindingnya. (Sjamsuhidajat, 2004).
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80- 90% apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak di rasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.7.Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 10C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan awah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan
bawah yang disebut tanda Rovsing (maha guru ilmu bedah, Denmark). Pada
apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri. (Sjamsuhidajat, 2004).
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan
nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke kanan
sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda
dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan
berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari
apendiks. (Sjamsuhidajat, 2004).
Peristalsis usus sering normal; peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. (Sjamsuhidajat, 2004).
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. (Sjamsuhidajat,
2004).
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan
uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui
letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas dengan lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di
m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.8.Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis berdasarkan klinis, namun sel darah putih (hampir selalu
leukositosis) dan CRP (biasanya meningkat) sangat membantu.
Ultrasonografi untuk massa apendiks dan jika masih ada keraguan untuk
menyingkirkan kelainan pelvis lainnya (misalnya kista ovarium).
Laparoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium
sebelum dilakukan apendisektomi pada wanita muda.
CT scan (heliks) pada pasien usia lanjut atau dimana penyebab lain masih
mungkin. (Grace, 2007).
2.1.9.Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding lelaki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan
yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalian interna karena
ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.
(Sjamsuhidajat, 2004).
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut bila
diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit
dengan pengamatan setiap 1-2 jam. (Sjamsuhidajat, 2004).
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bisa meningkatkan
akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.
(Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.10.Diagnosis banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.
Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului
rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis
akut.
Demam Dengue. Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip
peritonitis. Di sini didapatkan hasil test positif untuk Rumpel (Rumpel, Theodor,
1862-1923, dokter, jerman) Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang
meningkat.
Limfadenitis Mesenterika. Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului
oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan
disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan.
Kelainan Ovulasi. Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada
anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang,
dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu
selama dua hari.
Infeksi Panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut
bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai
keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul
jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk
diagnosis banding.
Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid
dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan
di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di
daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal
didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis
didapatkan darah.
Kista Ovarium Terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok
vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat menentukan diagnosis.
Endometriosis Eksterna. Endometrium di luar rahim akan memberikan
keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di
tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
Urolitis Pielum/ Ureter Kanan. Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya
riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau
urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering
disertai dengan demam tinggi, mengigil, nyerikostovertebral di sebelah kanan, dan
piuria.
Penyakit Saluran Cerna Lainnya. Penyakit lain yan perlu diperhatikan
adalah peradangan di perut, seperti diverkulitis Meckel, perforasi tukak duodenum
atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, diverkulitis kolon, obstruksi usus
awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
apendiks. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.11.Tata laksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang paling baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa dan apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih
oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dilakukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendinginan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum,
dan lekuk usus halus. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.1.Massa Periapendikuler.
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran
pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta
generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas disarankan
segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi masih
mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi sehu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma
sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan
aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum
memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis biasanya terdapat pada
anamnesis yang khas. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.2.Tatalaksana
Apendektomi direncanakan pada infltrat periapendikuler tanpa pus yang
telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8
minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (Sjamsuhidajat, 2004).
Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendektomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau
gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukan
tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
(Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.3.Apendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita di atas usia
60 tahun. Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada
anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.4.Diagnosis
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri takan dan defans muskuler di seluruh perut,
mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus
menurun sampai menghilang karena ileus paralitik. Abses rongga peritoneum bisa
terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisasi disuatu tempat, paling sering
di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri
disertai demam harus dicurigai abses, ultrasonografi dapat membantu mendeteksi
adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati,
pneumonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan
membantu membedakannya. (Sjamsuhidajat, 2004).
2.1.12.5.Tatalaksana
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan. (Sjamsuhidajat, 2004).
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang
adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini
mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi
apendektomi. Rongga abdomen bisa dibilas dengan mudah. Dilaporkan hasilnya
tidak berbeda dibanding dengan laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya lama
rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. (Sjamsuhidajat, 2004).
Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan
pemasangan penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila
sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang penyalir
intraperitoneal karena justru menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.
(Sjamsuhidajat, 2004).
I. ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 13 Januari 2015
pukul 15.00 WIB di ruang IGD RSUD dr Murjani Sampit.
Identitas
Nama penderita : Tn. A
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Petani sawit
Pendidikan : SMA
Agama : Kristen
Alamat : Pelantaran
Status pernikahan : Menikah
Masuk RS : 13 Januari 2015
No.MR : 163073
Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
Keluhan tambahan : BAB 1x sejak 1 hari SMRS. Flatus (-), mual (-), muntah
(+), demam (-).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien baru masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan awah. Nyeri
dirasakan sejak 1 hari SMRS. Muntah 4x SMRS, flatus (-), BAB (+) N, BAK (+)
N.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
II. PEMERIKSAAN FISIK
7 Desember 2014
Status Saat Ini
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 37,5 oC
Status Generalis
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
Telinga : Bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-)
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-),
sekret (-),
mukosa tidak hiperemis.
Tenggorok : Bibir kering, sianosis (-), tremor (-) tonsil T1 – T1
faring tidak hiperemis
LEHER
K G B : Tidak teraba pembesaran
THORAKS
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi sela iga (-), retraksi suprasternal
(-), spider nevi (-)
PARU
ANTERIOR POSTERIOR
KIRI KANAN KIRI KANAN
InspeksiPergerakan napas
simetris
Pergerakan
napas simetris
Pergerakan
napas simetris
Pergerakan
napas simetris
PalpasiFremitus
vokal = simetris
Fremitus
vokal = simetri
Fremitus
vokal = simetris
Fremitus
vokal = simetris
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Bunyi napas vesikuler, Rhonki (-/-) dan Wheezing (-/-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba disela iga IV garis midklavikula kiri
Perkusi : Batas atas sela iga II garis parasternal kiri
Batas kanan sela iga IV garis parasternal kanan
Batas kiri sela iga IV garis midklavikula kiri
Auskultai : Bunyi jantung I – II reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan titik Mc Burney (+), psoas sign (+), obturator
sign (+), hepar dan limpa tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani, nyeri tekan (+) perut kanan bawah
EKSTREMITAS
- Superior : Oedem (-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin ( 13 Januari 2015 )
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
H2TL
Hemoglobin 14,6 g/dL Lk: 14 – 17,5
Leukosit 12,0 ribu/uL 5-10
Hematokrit 38,6 % 41,5 – 5-,4 / dL
Trombosit 83 Ribu/uL 150-400
Kimia Klinik
UK (Ureum,
Kreatinin)
Ureum darah 30 mg/dL 15-50
Kreatinin darah 0,80 mg/dL < 1,4
Gula darah
sewaktu
105 mg/dL <200
SGOT 16 UI/L 8- 37
SGPT 14 UI/L 4-42
Masa Perdarahan 3’00” Menit 1-3 menit
Masa Pembekuan 5’00” Menit 2-6 menit
Jumlah Lekosit 12,0 4,4 – 11 x 103 / uL
Hitung Jenis Lekosit
Eosinofil 1 0 – 3 %
Basofil 0 0 – 1%
Neutrofil 84 50 -70 %
Limfosit 13 20- 40 %
Monosit 2 2 – 8 %
Jumlah Eritrosit 4,18 4,5 – 5 x 106 / uL
Index Eritrosit
MCV 92 80 – 96 fL
MCH 35,0 27,5 – 33,2 pg
MCHC 37,9 33,4 – 35,5 g/ dL
IV. Diagnosa Kerja
Susp. Appendisitis Akut
V. Penatalaksanaan
Pro: Rawat Inap
IVFD : RL 20 tpm (makro)
Mm/: Inj Ceftriaxon 1 gr / 12 jam.
Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
Inj. Ketorolac 70 mg
Cek darah lengkap, LFT, RFT, GDS, USG Abdomen, EKG
FOLLOW UP
14 Januari 2015 15 Januari 2015
S: Nyeri perut kanan bawah, BAB (-), BAK
(+) N, mual (-), muntah (-), demam (-).
O: kes : komposmentis
TD 130/90 mmHg
HR 76x/menit
RR 20x/menit
Suhu 38,2 C
Kepala: CA -/- , SI -/-.
Thoraks:
Ins: Gerakan dinding dada simetris, iktus
kordis terlihat.
Pal: Vokal Fremitus simetris.
Per: Sonor simetris.
Aus: BND Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-.
BJ 1-2 normal , murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Ins: Tampak datar.
Pal: Supel, Nyeri tekan perut kanan bawah.
Aus: BU (+).
Per: Timpani.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”.
S: Tidak ada keluhan, BAB (+) N, BAK (+)
N, mual (-), muntah (-), demam (-)
O: kes : komposmentis
TD 120/90 mmHg
HR 80 x/menit
RR 20 x/menit
Suhu 37 C
Kepala: CA -/-, SI -/-.
Thoraks:
Ins: Gerakan dinding dada simetris, iktus
kordis terlihat.
Pal: Vokal Fremitus simetris.
Per: Sonor simetris.
Aus: BND Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-.
BJ 1-2 normal , murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Ins: Tampak datar.
Pal: Nyeri post operasi appendektomi
Aus: BU (+)
Per: Timpani.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”.
A: Post Operasi Appendektomi ec
A: Susp Appendisitis Akut
P: Pro Rawat Inap, Operasi laparotomi
Diet : Puasa
IVFD : RL 20 tpm (makro)
Mm/: Inj Ceftriaxon 1 gr / 12 jam.
Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam.
Inj. Metronidazol 500 mg/8 jam
Appendisitis Perforasi
P: Pro Rawat Inap
Diet : TKTP
IVFD : RL 20 tpm (makro)
Mm/: Inj Ceftriaxon 1 gr / 12 jam.
Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
Inj Metronidazol 500 mg/8 jam.
Top Related