BUKU AJAR
HUKUM KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU-PULAU TERLUAR
HUKUM PESISIR DI INDONESIA
(PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL)
OLEH
DR. DENNY B.A.KARWUR, SH.MSi.
Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratungi
2019
1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Maksud dan tujuan Hukum Perbatasan dan Pulau-Pulau Terluar.
1.3. Ruang Lingkup Pengelolaan Pesisir dan Pula-Pulau Kecil
BAB II
KAWASAN PERBATASAN DAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
TERLUAR
2.1. Pengantar
2.2. Perundangan-undangan Wilayah Negara
2.3. Ruang Lingkup Kawasan Perbatasan
2.4. Definisi Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
BAB III
PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
3.1. Kajian Hukum Internasional
3.2. Isu dan Permasalahan Kawasan Perbatasan
3.3. Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan
3.3.1. Kebijakan Kawasan Tertinggal dan Terisolir
3.3.2. Kebijakan Strategis Nasional dalam pengembangan Kawasan Perbatasan
3.4. Kebijakan Ekonomi dan Sosial Budaya
3.4.1. Paradigma Kawasan Perbatasan
3.4.2. Kesenjagan Pembangunan dengan Negara Tetangga.
3.4.3. Sarana Prasarana yang minim
3.4.4. Kemiskinan dan Prasejahtera
3.4.5. Terisolasinya Kawasan Perbatasan akibat rendahnya Aksesbilitas
3.4.6. Rendahnya Kualitas SDM
3.4.7. Aktivitas Pelintas Batas Tradisional
3.4.8. Tanah Adat dan Hak Ulayat
3.5. Pertahanan Keamanan Dan Batas Wilayah Laut
3.5.1. Belum adanya kesepakatan batas negara
3.5.2. Batas Zona Ekonomi Eksklusif
3.5.3. Batas Laut Teritorial
3.5.4. Batas Landas Kontinen
3.5.5. Terbatasanya Jumlah Aparat
3.5.6. Kegiatan Ilegal dan Pelanggaran Hukum
3.5.7. Terbatasnya Jumlah Sarana dan Prasarana Perbatasan
3.6. Pengelolaan Sumberdaya Alam
3.6.1. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Alam bekum Optimal
3.6.2. Terjadinya Eksploitasi SDA yang tidak terkendali
3.7. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
2
3.7.1. Kelembagaan Pengelola Perbatasan
3.7.2. Kewenangan dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan
3.8. Kerjasama Antar Negara
3.8.1. Keterkaitan Kerjasama Pengelolaan Perbatasan
3.8.2. Kerjasama dalam penanggulangan Pelanggaran Hukum
BAB IV
PENGELOLAAN POTENSI, PEMANFAATAN, DAN NILAI EKONOMI
SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
4.1. Pengantar
4.2. Potensi Sumberdaya Pesisir
4.2.1. Sumberdaya Hayati
4.2.1.1. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Tangkap
4.2.1.2. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Budidaya
4.2.1.3. Padang Lamun
4.2.1.4. Hutan Mangrove
4.2.1.5. Terumbu Karang
4.2.2. Sumberdaya Non-Hayati
4.2.2.1. Lahan Pesisir (Coastal Land)
4.2.2.2. Pertambangan dan Energi
4.2.3. Pertambangan dan Energi
4.2.3.1. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas
4.2.3.2. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas
4.2.3.3. Pemanfaatan Sumberdaya Minyak dan Gas
4.2.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
4.3. Jasa-Jasa Kelautan
4.3.1. Pariwisata Bahari
4.3.1.1. Potensi Pariwisata Bahari
4.3.1.2. Pemanfaatan Pariwisata Bahari
4.3.2. Industri Maritim
4.3.2.1. Potensi Industri Maritim
BAB V
MASALAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
5.1. Masalah Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir
5.1.1. Kerusakan Terumbu Karang
5.1.2. Kerusakan Mangrove
5.1.3. Kerusakan akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation)
5.1.4. Pencemaran Laut
5.1.5. Bencana Alam di Wilayah Pesisir
5.2. Masalah Sosial Ekonomi
5.2.1. Masalah Kemiskinan Penduduk Wilayah Pesisir
5.2.2. Kurangnya Pemahaman terhadap Nilai Sumberdaya Wilayah Pesisir
3
5.3. Masalah Kelembagaan
5.3.1. Masalah Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan
5.3.2. Masalah Ketidakpastian Hukum
BAB VI
KAJIAN HUKUM SERTA KONVENSI INTERNASIONAL YANG TERKAIT
DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
6.1. Pengantar
6.1.1. Landasan Hukum Penyusunan Rancangan UU Pengelolaan Wilayah
6.1.2. Pengaturan Sektoral yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir
6.1.3. Otonomi daerah
6.1.4. Pendekatan Global
6.2. Karakteristik Sektoral
6.2.1. Sektor Pertanahan
6.2.2. Sektor Pertambangan
6.2.3. Sektor Perindustrian dan Perhubungan
6.2.4. Sektor Pertanian
6.2.5. Sektor Perikanan
6.2.6. Sektor Kehutanan
6.2.7. Sektor Pariwisata
6.3. Konvensi Internasional
6.3.1. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut
6.3.2. Konvensi Marine Pollution (Marpol) 1973/1978
6.3.3. Konvensi Ramsar 1971 tentang Lahan Basah untuk Kepentingan Internasional
sebagai Habitat Burung Air
6.3.4. Konvensi PBB 1992 tentang Keanekaragaman Hayati
6.3.5. Agenda 21 Global
6.4. Kewenangan Pengelolaan
6.4.1. Otonomi Daerah
6.4.2. Perimbangan Keuangan
6.5. Hak Masyarakat Adat (Tradisional)
6.5.1. Pengakuan Hak Ulayat Laut
6.5.2. Hak Kepemilikan Masyarakat Adat (Marinetenure Right and Property Rights)
6.6. Masalah Krusial yang Perlu Diatur
6.6.1. Konflik antar Undang-Undang
6.6.2. Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum Adat
6.6.3. Kekosongan Hukum
6.7. Perkembangan Baru berdasarkan Wawasan Nusantara
6.7.1. Konsep Wawasan Nusantara
6.7.2. Pertahanan dan Keamanan
6.7.3. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang
4
6.8. Kajian Undang-Undang Terkait
BAB VII
PRINSIP DAN MEKANISME PENGATURAN
7.1. Prinsip-Prinsip
7.1.1. Prinsip Keterpaduan
7.1.1.1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal
7.1.1.2. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
7.1.1.3. Keterpaduan antara Ekosistem Darat dengan Laut.
7.1.1.4. Keterpaduan antara Ilmu Pengetahuan dan Manajemen
7.1.1.5. Keterpaduan antar Negara
7.1.2. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
7.1.3. Prinsip Partisipasi dan Keterbukaan
7.1.4. Prinsip Kepastian Hukum
7.2. Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan
7.2.1. Mekanisme Koordinasi Pada Tingkat Pusat
7.2.2. Fasilitasi dan Konsultasi dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah
7.2.3. Koordinasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Daerah.
7.2.4. Keterlibatan Stakeholders.
7.2.5. Muatan Program PWP
7.2.6. Insentif.
7.2.8. Keuangan
7.2.9. Pemantauan dan Evaluasi
7.2.10. Penegakkan Hukum dan Sanksi
7.2.11. Penyelesaian Konflik
7.3. Mekanisme Hukum dan Kelembagaan
7.3.1 Mekanisme Pentaatan dan Penegakan Hukum
7.3.2. Mekanisme Sistem Kelembagaan
7.3.3. Kelembagaan
7.4. Pelaksanaan Mekanisme
BAB VIII
PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR
8.1. Optimalisasi Pemanfaatan
8.2. Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
8.3. Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
8.4. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Berkeberlanjutan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark 1996). Kekayaan sumberdaya tersebut
menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan
berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya (Putra 2001). Kekayaan
sumberdaya alam di wilayah pesisir, antara lain, berupa bentangan garis pantai
sepanjang kurang lebih 81.000 km yang mengelilingi sekitar 16.501 pulau, dan
ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (sea grass
beds) dan lain-lain, berikut sumberdaya hayati, nonhayati, dan plasma nutfah yang
terkandung di dalamnya. Selain itu, terdapat pula laut teritorial seluas 3,1 juta km2
(Dishidros 1992) yang sangat terkait dengan eksistensi sumberdaya pesisir tersebut.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut dikuasai oleh negara
untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 33
ayat 3 UUD 1945), serta memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memanfaatkan
sumberdaya pesisir, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1997 dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Namun, pada kenyataannya, tingkat
kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata
yang paling rendah dibandingkan dengan segmen masyarakat darat lainnya.
Pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dengan memperhatikan kaidah-
kaidah konservasi dan kesejahteraan masyarakat belum dilakukan secara efektif.
Sehingga di beberapa wilayah pesisir sudah mulai muncul fenomena pemanfaatan yang
bersifat sektoral, exploitatif dan melampaui daya dukung lingkungannya. Dampak
pemanfaatan tersebut mulai muncul, khususnya terlihat pada laju kerusakan fisik
lingkungan pesisir yang semakin meningkat. Jika dilihat ekosistem pesisir sebagai satu
kesatuan dengan ekosistem daerah aliran sungai (DAS), maka meningkatnya laju erosi
tanah dari DAS hulu akibat intesifikasi pertanian lahan kering, membawa sedimen dan
residu bahan kimia pertanian ke estuaria dan wilayah pesisir sekitar muara sungai.
Berdasarkan hasil penelitian, 85% pencemaran laut berasal dari daratan (UNEP 1995).
Demikian pula, pemanfaatan sumberdaya pesisir, seperti ikan, terumbu karang, padang
6
lamun, mangrove, dan pasir pantai, telah berlangsung secara intensif di wilayah pesisir
tertentu. Eksploitasi yang berlebihan akan lebih menimbulkan kerusakan lingkungan.
Beberapa fenomena penting yang memerlukan tindakan segera untuk
mengatasinya antara lain: deforestasi hutan bakau; rusaknya terumbu karang;
merosotnya kualitas obyek wisata laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya
berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran;
berkembangnya erosi pantai; meluasnya sedimentasi, serta intrusi air laut.
Pengelolaan wilayah pesisir yang tidak efektif tersebut di dorong oleh berbagai
faktor. Ketidakmampuan kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar
pengelolaan sumberdaya pesisir. Berbagai kepentingan sektor, dunia usaha dan
masyarakat setempat semakin kuat mendominasi isu-isu pengelolaan. Dalam satu
dekade belakangan ini, banyak pihak berkepentingan yang memanfaatkan sumberdaya
pesisir dari jenis yang sama atau di wilayah pesisir yang sama, khususnya di wilayah
pesisir yang pembangunannya pesat. Masing-masing pihak yang berkepentingan
memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan
yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda sehingga muncul gap
atau tumpang tindih. Untuk mencapai tujuannya, setiap instansi menyusun perencanaan
sendiri, sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi
kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat, dan lingkungannya. Perbedaan
tujuan, sasaran, dan rencana memicu kompetisi (rivalitas) diantara pengguna dan
tumpang tindih perencanaan. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi ini memicu
konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan (Putra 1998).
Persoalan pengelolaan wilayah pesisir semakin krusial menyusul
diberlakukannya UU No. 22/1999 yang kemudian dirubah dengan UU No. 32 Tahun
2004 dan dirubah kembali dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yang memberikan mandat otonomi kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumberdaya pesisirnya. Pasal 18 ayat (1) , UU tersebut menyatakan bahwa
Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut, dan pada mempunyai kewenangan untuk mengelola sumberdaya
bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai peraturan perundanga-undangan (pasal 18
ayat 2). Kewenangan pengelolaan meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
7
kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut
serta dalam pertahanan kedaulatan negara (pasal 18 ayat 3).
Selanjutanya sesebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat (3) paling jauh 12 (dua belas)
mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk
kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh
empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama
jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut,
dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi dimaksud. Dalam UU tersebut juga telah mengakomodasikan kewenangan
masyarakat terutama para nelayan kecil yang menyatakan bahwa wilayah tidak berlaku
batas sepanjang dengan mengunakan alat tangkap yang bersifat tradisional,, Namun
sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, maka Kabupaten/Kota tidak lagi
mempunyai kewenangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam hal
pengelolaannya, namun kewenangannya diserahkan pengelolaan kepada Pemerintah
Provinsi.
Otonomi daerah di wilayah pesisir tersebut telah menimbulkan perbedaan
penafsiran, dimana sebagian Pemda menerjemahkan seolah-olah kewenangan tersebut
sebagai kedaulatan. Oleh karenanya timbul kesan adanya pengkapling-kaplingan laut
berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan daerah. Pelaksanaan otonomi ini masih
berbenturan dengan penerapan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha di wilayah pesisir.
Sebagai contoh ada Pemda yang meminta saham baru dari perusahaan perikanan,
seperti mutirara yang telah beroperasi dan mendapat izin dari Pemerintah sebelum UU
No. 22/1999 (Dahuri pers. comm. 2001). Amun dengan diberlakukannya UU 23 Tahun
2014, maka perlu dilakukan pembenahan sesuai dengan kewenangan pemerintah
Provinsi.
Paradoksi pengelolaan wilayah pesisir tersebut, harus segera diakhiri. Langkah
ke arah itu, menurut analisis para pakar, dapat dimulai dengan mengembangkan sistem
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Dengan sistem pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, diharapkan akan terwujud suatu sistem pengelolaan wilayah pesisir
yang optimal, efisien, terkoordinasi, dan berkelanjutan., sebagaimana diisyaratkan oleh
Bab 17 – 18 Agenda 21 Nasional.
8
Untuk mewujudkan sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu, maka di tingkat
daerah dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa Peraturan Daerah. Akan
tetapi, sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pemerintah belum pernah
menerbitkan UU khusus pengelolaan wilayah pesisir, bukan menjadi hambatan atau
kendala bagi pemerintah daerah dan masyarkat untuk harus menunggu UU PWP
tersebut di tetapkan karena Pemerintah Daerah diberikan kewenangan oleh undang-
undangan untuk menetapkan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di
wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang menguntungkan
instansi sektor dan dunia usaha terkait.
Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang
tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian
hukum, maka perlu disusun suatu Naskah Akademis Pengelolaan Wilayah Pesisir
sebagai pedoman penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.
1.2. Maksud dan tujuan Hukum Perbatasan dan Plau Terluar.
Pengelolaan wilayah perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil, memerlukan
pengaturan secara terpadu agar potensi sumberdaya pesisir yang ada dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan nasional secara
berkelanjutan. Pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi
yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan sumberdaya pesisir generasi saat ini,
yang diyakini bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu maksud dari buku ini adalah untuk memberikan gambaran dalam
rangka merumuskan pemikiran-pemikiran yang bersifat akademis dalam menyusun
Kebijakan Wilayah Perbatasan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta Pedoman dalam
Rancangan Peraturan Daerah yang mengangkat realitas pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang telah berlangsung selam ini, memberdayakan masyarakat pesisir
dan masyarakat adat, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha
dan sebagai norma bagi pemerintah untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir
secara berkelanjutan.
Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil bertujuan untuk:
1. Memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu pengelolaan
wilayah pesisir diatur secara khusus di dalam suatu Peraturan Daerah.
9
2. Merumuskan obyek dan lingkup pengaturan yang dibutuhkan dalam penyusunan
materi dasar RanPerda (Rancangan Peraturan Daerah) Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil.
3. Mengkaji secara obyektif strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan Rancangan
Peraturan Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
4. Menata keseimbangan antara kepentingan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah
dalam pemanfafatan sumberdaya kelautan.
Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan, dan
jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri
atas sumberdaya alam yang dapat pulih dan yang tidak dapat pulih. Sumberdaya alam
yang dapat pulih, antara lain, sumberdaya ikan, rumput laut, padang lamun, hutan
mangrove, dan terumbu karang. Sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, antara lain,
minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, dan mineral.
Pulau-Pulau Kecil/Gugusan Pulau-Pulau adalah kumpulan pulau-pulau yang
secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya,
baik secara individual maupun secara sinergis sehingga dapat meningkatkan skala
ekonomi dari pengelolaan sumberdaya pesisirnya.
Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah
penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;
2. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik
yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler;
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan
bernilai tinggi;
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran
air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya.
1.3. Ruang Lingkup Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Buku ini menguraikan pemikiran-pemikiran yang bersifat akademik untuk
memberikan argumen-argumen ilmiah mengenai perlunya pengelolaan kawasan
perbatasan dan wilayah pesisir secara terpadu yang diatur tersendiri di dalam suatu
10
Kebijakan Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah. Buku ini berisikan tujuan dan
sasaran, potensi, permasalahan, tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan
terkait, pokok-pokok pikiran, norma hukum, obyek dan lingkup pengaturan, serta
mekanisme pengaturan. Istilah yang digunakan dalam Naskah Akademik ini
ditampilkan dalam daftar istilah.
11
BAB II
KAWASAN PERBATASAN DAN PENGELOLAAN
PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
2.1. Pengantar
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri
nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar
wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan
wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa
wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menganut sistem: a. pengaturan suatu Pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralisasi
pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam rangka mengejawantahkan maksud Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan
kewilayahan secara nasional, antara lain pengaturan mengenai: a. perairan; b.
daratan/tanah; c. udara; d. ruang; dan e. sumber kekayaan alam dan lingkungannya.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan Kawasan
Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas Wilayah Negara,
maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-batas Wilayah
Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup
wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat.
Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas
dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut
bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan
laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan
pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama.
12
Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara
hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan
masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti
pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara
serta perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan
dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. Peran
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola
pembangunan Kawasan Perbatasan.
Dalam RPJMN 2015-2019 telah menyatakan bahwa pengembangan kawasan
perbatasan sebagai pinggiran negara diarahkan menjadi halaman depan negara yang
berdaulat, berdaya saing, dan aman melalui pendekatan keamanan (security approach)
dan pendekatan peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity approach). Sebagai
pusat pengelolaan perbatasan negara, BNPP telah menyusun rancangan Rencana Induk
Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019. Rencana Induk Pengelolaan ini memiliki
enam fungsi strategis yaitu:
I. Sebagai pedoman penyusunan rencana kerja kementerian dan LPNK dalam
pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.
II. Sebagai pedoman penyusunan Rencana Aksi (Renaksi) pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota terkait.
III. Sebagai instrumen untuk melakukan koordinasi, integrasi, sinergitas, dan
sinkronisasi rencana dari berbagai sektor, dunia usaha dan masyarakat
dalam mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara
berdasarkan kerangka waktu, lokasi, sumber pendanaan dan
penanggungjawab pelaksanaannya.
IV. Sebagai pedoman dalam menyusun sistem dan prosedur pendanaan yang
bersumber dari APBN, APBD, masyarakat, dan pembiayaan lain-lain yang
sah secara efisien, efektif, akuntabel, transparan, partisipatif, dan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
V. Sebagai informasi arah pengembangan, kebijakan, strategi, tahapan
pelaksanaan, dan kebutuhan program pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan negara.
13
VI. Sebagai acuan pelaksanaan monitoring dan evaluasi untuk pengelolaan
batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara.
Adapun visi Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019, yaitu terwujudnya
kawasan perbatasan negara sebagai halaman depan negara yang berdaya saing menuju
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.
Visi ini akan dilaksanakan melalui empat misi, yakni:
I. Menyelesaikan penetapan dan penegasan batas wilayah negara serta
meningkatnya upaya pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum di
kawasan perbatasan.
II. Membangun sistem pengelolaan aktivitas lintas batas negara yang terpadu.
III. Meningkatkan upaya-upaya pembangunan kawasan perbatasan negara
melalui pemanfaatan potensi kawasan perbatasan dan penyediaan
infrastruktur kawasan perbatasan.
IV. Meningkatkan kapasitas dan kualitas tata kelola perbatasan negara melalui
penataan dan penguatan kelembagaan.
Sementara, sasaran Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019 adalah
terselesaikannya penetapan dan penegasan batas wilayah negara, serta meningkatnya
upaya pertahanan, keamanan dan penegakan hukum di kawasan perbatasan demi
tegaknya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya,
terbangunnya sistem pengelolaan aktivitas lintas batas negara yang terpadu dalam
rangka mewujudkan sistem pelayanan lintas batas yang aman, nyaman, dan ramah
lingkungan. Sasaran lainnya, meningkatnya upaya-upaya pembangunan kawasan
perbatasan negara melalui pemanfaatan potensi kawasan perbatasan dan penyediaan
infrastruktur kawasan perbatasan dalam rangka mengatasi keterisolasian wilayah dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan.
Sasaran terakhir, meningkatnya kapasitas dan kualitas tata kelola perbatasan
negara melalui penataan dan penguatan kelembagaan dalam rangka mewujudkan sistem
tata kelola perbatasan yang modern, efektif dan efisien, sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan dinamika regional dan global,
14
2.2. Perundang-Undangan Wilayah Negara.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Wilayah Negara telah
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua
Negara di Selat Malaka;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Indonesia dan
Australia Mengenai Garis-Garis Batas Tertentu Antara Indonesia dan Papua
New Guinea;
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah kedua
Negara di Selat Singapura;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia;
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut);
g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
h. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam
tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Tahun 2003;
i. Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan
Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;
j. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu;
k. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Kerajaan
Thailand tentang Penetapan GarisGaris Batas Landas Kontinen di Bagian Utara
Selat Malaka;
15
l. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang
Penetapan Suatu Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka
dan Laut Andaman;
m. Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah Laut Timor dan Laut
Arafura;
n. Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;
o. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang
Penetapan Garis Batas dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman;
p. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Garis
Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut Andaman
dan Samudera Hindia;
q. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan Bersama Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India, dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan
Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman; dan
r. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-
Batas Maritim Antara Pemerintah RI dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang
Masalah-Masalah Yang Bersangkutan Sebagai Hasil Perundingan Antara
Delegasi Pemerintah RI dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini.
2.3. Ruang Lingkup Kawasan Perbatasan
Mengingat Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga
keutuhan Wilayah Negara maka diperlukan pengaturan secara tersendiri dalam
Undang-Undang. Pengaturan Batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum mengenai Wilayah Negara, kewenangan pengelolaan Wilayah
16
Negara, dan hak–hak berdaulat. Hal-hal pokok yang diatur dalam undang-undang ini,
yakni:
1. Ruang lingkup Wilayah Negara yang meliputi wilayah daratan, wilayah perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dasar laut, dan tanah di bawahnya,
serta ruang udara di atasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
2. Hak-hak berdaulat Negara Republik Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen serta hak pengawasan di Zona Tambahan.
3. Kewenangan Pemerintah melakukan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah negara serta Kawasan Perbatasan.
4. Kelembagaan yang diberi kewenangan untuk melakukan penanganan Kawasan
Perbatasan. Unsur keanggotaan kelembagaan ini berasal dari unsur Pemerintah dan
Pemerintah Daerah mengingat posisi strategis wilayah perbatasan terkait dalam hal
seperti kedaulatan negara, keutuhan wilayah, penegakan hukum dan kesejahteraan
rakyat.
5. Keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan Wilayah Negara
termasuk Kawasan Perbatasan.
6. Larangan dan sanksi bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran terkait dengan
Wilayah Negara dan batas-batasnya.
2.4. Definisi Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
1. Definisi-definisisi yang berhubungan dengan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan.
1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan
Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta
dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut
teritorial.
17
3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona
Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara
memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan
suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak
berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas
ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi
dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas
Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh
empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus)
mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang
kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau
hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak
tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan
jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini
di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
18
13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19
BAB III
PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
3.1. Kajian Hukum Internasional.
Untuk mempertahankan kedaulatan (souvereignity) dan hak-hak berdaulat
(souvereign Rights) antar negara serta menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan
dengan hubungan international, negara perlu menetapkan perbatasan wilayah baik
dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan udara. Penetapan perbatasan
wilayah (Border Zone) tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum international
agar dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi
masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dimaksud.
Menurut para ahli hukum international seperti Green NA Maryan, Shaw
Malcolm, JG Starke dan Burhan Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah
suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara
dengan wilayah negara lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam
terminologi "Border Zone" (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas
kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara
limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat "Treaty Contract" untuk
menyelesaikan permasalahan di perbatasan secara insidentil maupun yang bersifat "law
making treaty" untuk pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.
Perbatasan wilayah harus dikelola secara baik dan berkelanjutan karena selain
berkaitan dengan penyelesaian berbagai sengketa international (international disputes)
juga karena daerah perbatasan memiliki fungsi yang sangat strategis seperti fungsi
militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi-fungsi identitas nasional
menuju kepentingan domestik di bidang ipoleksosbudhankam. Oleh karena itu menurut
para ahli hukum international dan pengamat perbatasan (Ganewati
Wuryandari) "Keamanan di Perbatasan RI - RDTL" dalam melaksanakan fungsi-fungsi
perbatasan perlu diperhatikan aspek-aspek kultur masyarakat, pengaruh politik
masyarakat dua negara, kebijakan pemerintah negara dan kekuatan pasar dalam
perdagangan.
Pengelolaan perbatasan wilayah oleh badan-badan khusus yang ditentukan
negara secara internal dimaksudkan agar administrasi pemerintahan dapat dilakukan
dengan baik dan penerapan hukum nasional secara berkeadilan. Secara eksternal
penetapan dan pengelolaan perbatasan antar negara dimaksudkan agar dapat menjamin
penerapan hukum international secara holistik untuk mewujudkan keseimbangan hak
20
dan kewajiban suatu negara dalam konteks hubungan international yang harmonis,
damai dan seimbang.
Untuk mengelola keamanan perbatasan secara baik perlu dibedakan regim
pengelola perbatasan sehingga pola pendekatan dan langkah-langkah yang dilakukan
masing-masing negara dapat menjamin kedaulatan dan hak berdaulat masing-masing.
Ada dua konsep regim pengelolaan perbatasan antar negara yang sedang dikembangkan
negara-negara yang berdampingan yaitu "Hard Border Regim" (regim perbatasan
keras) sebagaimana diterapkan AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan
pendekatan militer di perbatasan dan "Soft Border Regim" (regim perbatasan lunak)
sebagaimana diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan pola pendekatan yang
manusiawi dan "social approuch". Pilihan untuk menggunakan salah satu regim atau
mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan keamanan perbatasan antar negara
sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut masing-masing negara dalam mengelola
kedaulatan negaranya.
Dalam prakteknya sebagaimana diharapkan telah diterapkan Pemerintah RI
dengan 10 negara tetangga adalah hubungan-hubungan "voisinage" (Burhan Tsani,
Hukum dan Hubungan International) yang memiliki konteks aturan dan praktek yang
khusus mengatur tingkah laku negara yang saling berbatasan. Dalam konteks
pengelolaan pebatasan wilayah antar negara dapat diuraikan beberapa perspektif yang
berimplikasi pada penerapan hukum international secara holistik dan konstruktif.
Pertama, kehadiran badan pengelola perbatasan di tingkat pusat dan daerah di
Indonesia diharapkan dapat memfokuskan pada aktifitas pemetaan dan identifikasi
titik-titik perbatasan negara (darat, laut dan udara). Terobosan ini dapat mewujudkan
penetapan batas-batas antar negara secara limitatif dan holistik agar dapat diterapkan
ketentuan hukum international secara baik di wilayah perbatasan. Tidak sempurnanya
pelaksanaan kegiatan di atas dapat menghalangi penerapan hukum international kendati
dapat ditegakkan hukum-hukum transisi (Transitional Justice) berupa "ius
constituendum" yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan international yang disepakati dan
dijalankan dua negara.
Kedua, badan pengelola perbatasan di Indonesia dan daerah dapat berperan
dalam membantu menyelesaikan berbagai sengketa international (International
Disputes) demi terciptanya kondisi keamanan perbatasan yang harmonis dan terkendali.
21
Kendati hukum international memberi ruang untuk penyelesaian sengketa international
melalui jalur kekerasan (use of force) seperti perang dan blokade damai, diharapkan
tetap diupayakan jalan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang memfokuskan
pada pilihan-pilihan seperti arbitrase, judicial, negosiasi- mediasi dan rekonsiliasi.
Ketiga, kehadiran Badan Pengelola Perbatasan juga dapat mensinergikan
kegiatan-kegiatan produktif seperti merintis kearah pembentukan perjanjian-perjanjian
international (treaty) untuk membina hubungan international yang harmonis, berdaulat
dan "mutual benefit" dalam berbagai aspek. Dalam tataran ini, Badan Pengelola
Perbatasan dapat melakukan diplomasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan
international berdasarkan asas-asas hukum internasional seperti "pacta sunt servanda".
Pelaksanaan dimensi ini alangkah baiknya didukung oleh pengetahuan dan pengalaman
yang memadai dalam hal meneruskan dan menganalisis berbagai dasar hukum.
Pengaturan dan penegakan hukum di zona perbatasan baik untuk kepentingan
perbatasan international berdasarkan hukum positif negara masing-masing maupun
untuk kepentingan perbatasan ksternal berdasarkan ketentuan hukum international
berupa "ius constitutum" maupun penemuan atau pembentukan hukum international
dari kebiasaan international dua negara (konvensi).
Keempat, badan perbatasan juga dapat menjadi "Leading Institution" dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan bagi masyarakat baik untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat maupun untuk pembentukan karakter
kehidupan di perbatasan yang tidak saling mencurigai dan lebih kearah terbentuknya
kondisi "mutual understanding" di bidang sosial budaya maupun pertahanan keamanan
wilayah. Para ahli hukum international seperti "Green NA Maryan" menyatakan di
daerah perbatasan, sebaiknya tidak ada kewajiban menghormati batas-batas suatu
negara dan tidak ada ancaman antar negara. Untuk mengatur semua itu dapatlah
dibentuk Komisi Bipatie antara dua negara yang berbatasan.
Jika keempat perspektif di atas dapat dijadikan"term of reference" para
pengelola perbatasan antar negara di Indonesia maka fungsi dan peran institusi dapat
diaplikasi secara maksimal untuk mengeliminir pemikiran bahwa terbentuknya badan
atau institusi baru hanya untuk kepentingan elit semata dan atau untuk kepentingan
pelaksanaan kegiatan yang "project oriented."
22
Kajian hukum internasional untuk daerah perbatasan:
1. Penetapan wilayah Negara Penetapan wilayah Negara memiliki dasar hukum
diantaranya:
– Deklarasi Juanda
– Ratifikasi hUkum laut 1992
– Konvensi Chicago 1994
Batas antar wilayah Negara dalam wilayah perbatasan dapat ditentukan melalui
dua cara, yaitu:
a. Perjanjian bilateral antar kedua Negara yang bersangkutan.
b. Putusan mahkamah Internasional.
Putusan mahkamah internasional dapat dipilih apabila kedua Negara tersebut
mengalami sengketa seperti kasus Indonesia dan Malaysia terhadap P. Sipadan Ligitan.
Dalam kasus tersebut Indonesia yang mengalami kekalahan sehingga harus merelakan
P. Sipadan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. Kasus lain terkait masalah perbatasan saat
ini adalah mengenai Ambalat. Apabila Indonesia mau belajar atas kehilangan P.
Sipadan Ligitan, maka kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menentukan batas-batas
perbarasan tersebut. Adalah lebih baik bila membiarkan pulau tersebut dalam keadaan
status quo, sehingga kita masih tetap bisa mengeksplorasi sumber daya alamnya. Hal
yang perlu diperhatikan dalam kondisi tersebut, kita tidak boleh hanya tinggal diam
saja, tetapi kita harus membangun strategi untuk memperkuat bargaining position kita
dalam menguasai pulau tersebut di mata hokum internasional.
Terkait penetapan wilayah dalam daerah perbatasan, maka hal-hal yang perlu
dilakukan oleh pemerintah adalah:
a. Pemerintah perlu mengidentifikasi pulau-pulau terluar di Indonesia.
b. Pemerintah perlu melakukan pemetaan wilayah.
2. Ada potensi sengketa antar Negara dan bagaimana penyelesaiannya
Menurut Deklarasi Juanda, batas-batas wilayah suatu Negara adalah sebagai berikut:
– 12 mil dari garis pantai terluar, sebagai laut territorial
– 200 mil dari garis pantai terluar, sebagai landas kontinen
– Lebih dari 200 mil dari garis pantai terluar merupakan laut lepas. Wilayah ini
bebas dieksploitasi oleh Negara manapun.
3. Pengelolaan wilayah perbatasan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan wilayah perbatasan adalah:
–Tingkat ekonomi dan teknologi wilayah perbatasan
23
–Merintis rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air
– Melakukan intensifikasi perdagangan
4. Penegakan hukum di wilayah perbatasan.
Dalam hal penegakan hukum di wilayah perbatasan, harus diperhatikan tidak hanya
aturan hukum formil saja, melainkan juga aturan hukum materiilnya.
3.2 Isu dan Permasalahan Kawasan Perbatasan
Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi
kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut. Agar penyelesaian masalah
dapat lebih terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan yang ada dikelompokkan
menjadi 6 (enam) aspek, yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan
keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan kewenangan
pengelolaan, serta kerjasama antarnegara.
3.3 Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan
3.3.1. Kebijakan kawasan tertinggal dan terisolir
Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum
mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan
pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah
kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial,
sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan
tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
3.3.2. Kebijakan Strategi Nasional dalam pengembangan kawasan perbatasan
Arah kebijakan pengembangan daerah perbatasan yaitu “meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesia, daerah
perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah”.
Demikian pula dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan
“program pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan
perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan
24
negara lain”. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi
dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban serta
keamanan kawasan perbatasan.
Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan nasional yang
memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang
bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders
kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal
ini mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat
parsial.
3.4 Kebijakan Ekonomi dan Sosial Budaya
3.4.1. Adanya paradigma ’kawasan perbatasan sebagai halaman belakang’
Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai
”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap kondisi kawasan
perbatasan saat ini yang tersolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya
paradigma ini, disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan
sangat menekankan stabilitas keamanan. Disamping itu secara historis, hubungan
Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali
terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri.
Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih didominasi
pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external
threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan
(security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan
perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya
alam, terutama yang dilakukan oleh investor swasta.
3.4.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga
Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin infrastruktur dan
tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial ekonomi di negara tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi
Utara misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke
wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang lebih baik atau
pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah negara tetangga. Secara jangka
25
panjang, adanya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi
untuk mengundang kerawanan di bidang politik.
3.4.3. Sarana dan prasarana masih minim.
Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah maupun
fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari memadai. Jaringan jalan dan angkutan
perhubungan darat maupun laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit
berkembangnya kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun
ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana komunikasi seperti
pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon di kawasan perbatasan
umumnya masih relatif minim.
Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan masyarakat
perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara tetangga daripada informasi dan
wawasan tentang Indonesia. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat
kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan
kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah negara
tetangga.
3.4.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap kawasan perbatasan
baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera
di kawasan perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah
perbatasan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti
rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya
produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan perbatasan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di
kawasan perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi
ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum dan
potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain
kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi
dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti penyelundupan senjata,
amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu
koordinasi dan kerjasama bilateral yang baik untuk menuntaskannya.
26
3.4.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju
kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat, laut,
maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di wilayah Kalimantan dan Papua,
sulitnya aksesibilitas memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi
dengan masyarakat di wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan
keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut mendorong
orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya ke negara
tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi
nasionalisme masyarakat perbatasan.
3.4.6. Rendahnya kualitas SDM
Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang pendidikan dan
kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar kawasan perbatasan masih
rendah. Masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan
sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada.
Optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan
perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta
kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menghambat
pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah
negara tetangga.
3.4.7. Aktivitas pelintas batas tradisional
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa
kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak dan Melayu) dan Papua,
menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah.
Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini
merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama
dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat di
beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan serta Timor Leste. Kegiatan lintas
batas ini telah berlangsung lama namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh
kedua pihak (negara).
27
3.4.8 Adanya Tanah Adat dan Hak Ulayat
Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat yang berada di dua
wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi ladang penghidupan yang diolah
sehari-hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi
hal yang biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh
garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat
menjadi permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.
3.5. Pertahanan dan Keamanan
3.5.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara
menyeluruh
Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut belum disepakati
secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI.
Permasalahan yang sering muncul di perbatasan darat adalah pemindahan patok-patok
batas yang implikasinya menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan
lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat pada umumnya
sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penangannya saat ini
adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen
(BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati
bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia
dan beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya
nelayan, terhadap batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh
para nelayan Indonesia maupun nelayan asing.
3.5.2. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Undang-Undang No.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE
Indonesia di segmen-segmen perairan yang berhadapan dengan negara lain dan
lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka ZEE merupakan garis median. Jika mengacu
kepada konvensi tersebut, maka batas ZEE yang merupakan garis median pada
wilayah laut yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yaitu :
(1) Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka;
(2) Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur;
28
(3) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara;
(4) Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Fillipina;
(5) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(6) Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor;
(7) Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia;
(8) Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar;
(9) Berhadapan dengan India di Laut Andaman.
Selain itu, terdapat wilayah laut yang tidak memiliki batas ZEE yaitu di
wilayah Selat Singapura yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura,
karena lebarnya hanya sekitar 15 mil laut. Selebihnya, penentuan ZEE terutama pada
wilayah laut yang berhadapan dengan laut lepas, ditarik selebar 200 mil dari garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Namun demikian, batas ZEE antara Indonesia dengan negara-negara tetangga,
sebagian besar belum ditetapkan, terutama yang berhadapan langsung dengan negara
tetangga. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan, atau belum
dilakukannya ratifikasi. Ketidakjelasan batas ZEE tersebut menyebabkan sulitnya
penegakan hukum oleh aparat dan berpotensi untuk menjadi sumber pertentangan
antara Indonesia dengan negara tetangga.
Tabel berikut ini menunjukkan status batas-batas ZEE di wilayah perbatasan
laut Indonesia.
Tabel 2.1. Status Batas-Batas ZEE antara RI dengan negara tetangga
No
Batas Zona
Eksklusif
Ekonomi (ZEE)
Status Keterangan
1 RI–Malaysia Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
2 RI–Vietnam Telah disepakati Kesepakatan di tingkat teknis,
menunggu proses ratifikasi
3 RI–Fillipina Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
4 RI–Palau Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
29
5 RI–PNG Belum disepakati Tidak ada batas laut
6 RI–Timor Leste Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
7 RI–India Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
8 RI–Singapura Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
9 RI-Thailand Belum disepakati Belum ada perjanjian batas
10 RI–Australia Telah disepakati ZEE di Samudera Hindia, Lauta
Arafura, dan Laut Timor
Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)
3.5.3 Batas Laut Teritorial (BLT)
BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal yang
merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian
besar BLT sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia, kecuali dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka.
Selain itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara Indonesia-Malaysia-Singapura
untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Timur yang lebarnya
kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara.
Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas
laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di
Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya
konflik akibat pelanggaraan kedaulatan wilayah negara. Tabel berikut ini
menunjukkan status batas laut teritorial Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Tabel 2.2. Status Batas Laut Teritorial Indonesia
No Batas Laut Teritorial
(BLT) Status Keterangan
1 RI – Malaysia Telah
disepakati
Disepakati dalam perjanjian
Indonesia-Malaysia Tahun 1970
2 RI–Singapura (di
sebagian Selat
Singapura)
Telah
disepakati
Disepakati dalam perjanjian
Indonesia-Singapura Tahun
1973
30
3 RI – PNG Telah
disepakati
Disepakati dalam Perjanjian
Indonesia-PNG Tahun 1980
4 RI – Timor Leste
Belum
disepakati
Perlu ditentukan garis-garis
pangkal kepulauan di Pulau
Leti, Kisar, Wetar. Liran. Alor,
Pantar, hingga Pulau Vatek, dan
titik dasar sekutu di Pulau
Timor
5 RI-Malaysia-Singapura Belum
disepakati
Perlu perundingan bersama (tri-
partid)
Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)
3.5.4 Batas Landas Kontinen (BLK)
Mengacu kepada Undang Undang no 1 /1973 tentang Batas Landas Kontinen
Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik
sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil
laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah
perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana BLK dapat
ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung
dengan Indonesia, antara lain :
(1) Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman;
(2) Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara;
(3) Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut
Natuna bagian Timur dan Barat;
(4) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan;
(5) Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi;
(6) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(7) Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera
Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas;
(8) Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor.
31
Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara
(three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan
melalui pertemuan trialteral. Titik-titik tersebut antara lain :
(1) Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di Laut Andaman;
(2) Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka
Bagian Utara.
Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan
telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih
terdapat beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena
masih dalam proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali
dengan negara tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina,
Palau, dan Timor Leste. Tabel berikut menunjukkan status Batas Landas Kontinen di
wilayah perbatasan laut Indonesia.
Tabel 2.3. Status Batas Landas Kontinen antara RI dengan negara tetangga
No Batas Landas
Kontinen (BLK) Status Keterangan
1 RI – India
Telah disepakati
10 titik BLK di Lauta Andaman
berikut koordinatnya disepakati
berdasarkan perjanjian pada tahun
1974 dan 1977
2 RI – Thailand
Telah disepakati
Titik-titik BLK di selat Malaka
maupun Laut Andaman disepakati
berdasarkan perjanjian pada tahun
1977
3 RI – Malaysia
Telah disepakati
10 titik BLK di Selat Malaka dan 15
titik di Laut Natuna disepakati
berdasarkan perjanjian pada tahun
1969
4 RI – Australia Telah disepakati
- Titik-titik BLK di Laut Arafura
dan laut Timor ditetapkan melalui
32
Keppres pada Tahun 1971 dan
1972
- Titik-titik BLK di Samudera
Hindia dan di sekitar Pulau
Christmas telah disepakati
berdasarkan perjanjian pada tahun
1997.
5 RI – Vietnam Belum
disepakati
Dalam proses negosiasi
6 RI – Filipina Belum
disepakati
Dalam proses negosiasi
7 RI – Palau Belum
disepakati
Belum ada proses perundingan
8 RI – Timor Leste Belum
disepakati
Belum ada proses perundingan
Sumber : Bakosurtanal, 2003
3.5.5. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana
Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan
hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah,
serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas
aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan
perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan
dan kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang memadai.
3.5.6. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum
Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia
di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta
kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis
perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu,
lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar
33
hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan.
Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum
seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan
‘penjualan manusia’ (trafficking person), serta permasalahan identitas
kewarganegaraan ganda masih sering terjadi. Demikian pula di kawasan perbatasan
laut, sering terjadi pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata,
penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian
ikan.
3.5.7 Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan
fasilitas CIQS)
Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas
(PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai
gerbang yang mengatur arus keluar masuk orang dan barang di kawasan perbatasan
sangat penting. Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan
dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia dengan
masyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya sarana dan prasarana
perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun demian,
jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih
minim.
3.6. Pengelolaan Sumber Daya Alam
3.6.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal
Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan, baik di wilayah
darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum
dilakukan secara optimal. Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di
sepanjang kawasan perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan,
perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa negara yang dapat digali dari
kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan antarnegara.
3.6.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak
terkendali dan berkelanjutan.
Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya
dukung lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya
34
pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga mengganggu
keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup. Berbagai dampak
lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution), banjir, longsor,
tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan illegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di
pulau-pulau kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena
keterbatasan pengawasan pemerintah di kawasan perbatasan dan belum ditegakkannya
supremasi hukum secara adil dan tegas.
3.7. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
3.7.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara
integral dan terpadu.
Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan
mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa
kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial
serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa
kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Komite-
komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General
Border Comitee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New
Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).
Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak
untuk dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya
pengelolaan dan penanganan permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya
suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek pengelolaan
perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
3.7.2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan
Sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan
tentang pengembangan kawasan perbatasan secara hukum berada dibawah tanggung
jawab Pemerintah Daerah. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu
perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina,
serta keamanan dan pertahanan (CIQS).
35
Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan
perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat. Namun demikian dalam pelaksanaannya
pemerintah daerah belum melaksanakan kewenangannya tersebut. Hal ini dapat
disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas pemerintah daerah
dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya bersifat lintas
administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan
koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum
tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan
kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4)
Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan
kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai international
inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
3.8. Kerjasama Antar Negara
3.8.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan
kerjasama sub regional, maupun regional.
Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan
suatu peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan
sub-regional yang ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura–Growth
Triangle (IMS-GT), Indonesia Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT),
Australia Indonesia Development Area (AIDA), maupun Brunei Indonesia Malaysia
Phillipines – East Asian Growth Area pada umumnya meliputi provinsi-provinsi di
wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama
perdagangan dan investasi. Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini
belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal
dan terisolir.
Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya kawasan
perbatasan akan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan.
3.8.2. Belum optimalnya Kerjasama antarnegara dalam penanggulangan
pelanggaran hukum di perbatasan
36
Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di
kawasan perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan kayu,
pelanggaran batas negara, dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum dilaksanakan
secara optimal. Di beberapa daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe
dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua dan NTB dan NTT, masih banyak
nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang melakukan kegiatan
penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut antara kedua negara.
Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait
dengan negara tetangga perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri
selama ini merugikan negara dalam jumlah besar.
37
BAB IV
POTENSI, PEMANFAATAN, DAN NILAI EKONOMI
SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR
4.1. Pengantar
Potensi sumberdaya pesisir Indonesia sangat besar, baik potensi hayati maupun
non hayati. Indonesia secara fisik memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan total panjang
garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen dari
total luas wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya ikan juga berlimpah dan potensi
lestari mencapai 6,2 juta ton per tahun, belum termasuk keragaman hayati lainnya
seperti rumput laut, hutan bakau, terumbu karang, dan lainnya. Potensi lain yang tak
kalah berlimpah adalah bahan tambang misalnya minyak dan gas bumi, pasir kuarsa,
timah, jasa lingkungan untuk pariwisata, perhubungan laut, dan jasa-jasa lainnya.
Disamping itu, peningkatan permintaan konsumsi domestik dan internasional akan
produk perikanan laut Indonesia merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan
dalam pembangunan sektor kelautan.
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas hingga saat
ini lebih dari 50 persen dilakukan di wilayah pesisir dan laut (off-shore) dimana
sebagian besar cadangan potensial berada di wilayah laut. Permintaan akan produksi
minyak dan gas baik dari dalam maupun luar negeri yang terus meningkat merupakan
peluang yang bisa dimanfaatkan bagi pengembangan sektor minyak dan gas, yang tentu
akan memerlukan industri penunjang seperti industri bangunan lepas pantai, industri
perkapalan, dan lainnya.
Sementara itu, kebutuhan akan kapal laut akan meningkat pesat di masa datang
seiring peningkatan kebutuhan akan sarana angkutan barang dan penumpang.
Meningkatnya arus barang berjalan paralel dengan meningkatnya kegiatan ekonomi
suatu negara atau pulau melalui kegiatan ekspor dan impor yang dilakukan. Kebutuhan
akan kapal angkutan barang akan meningkat karena kemampuan kapal laut mengangkut
dalam jumlah sangat besar yang didukung ketepatan waktu yang bisa diandalkan
dengan biaya yang relatif sangat murah. Dalam perekonomian dunia yang makin
kompetitif, ketiga faktor tadi menjadi pendorong transformasi angkutan barang dunia
yang makin mengandalkan laut sebagai media transportasi perdagangan internasional.
Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas dan
terletak di jalur utama transportasi laut internasional sangat beruntung. Karena
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan sarana dan prasarana bagi aktivitas
38
bongkar-muat kapal perdagangan internasional, sekaligus membuka peluang bagi
pembangunan ekonomi melalui kegiatan ekspor dan impor produk-produk potensial
Indonesia.
Hingga saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut masih jauh dari
tingkat optimal dan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena: pertama, kebijakan nasional
cenderung bias pada sektor pertanian di luar perikanan laut, dimana, misalnya,
program-program pengamanan penyediaan bahan makanan bagi masyarakat memberi
bobot yang sangat kecil, bahkan bisa dikatakan mengabaikan sumberdaya perikanan
pesisir ke dalam pertimbangannya. Prioritas kebijakan ekonomi pemerintah agaknya
juga bias pada ekonomi “daratan”, dimana sektor-sektor yang terkait dengan pesisir
belum menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan secara optimal bagi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi yang signifikan
bagi pembangunan ekonomi nasional.
Kedua, pembangunan produksi perikanan di dominasi penerapan pendekatan
usaha efisiensi penangkapan dan penerapan teknologi, dibanding pendekatan yang
mempromosikan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan.
Akibatnya, kebijakan maupun program yang diselenggarakan kurang komprehensif
menjangkau isu-isu seperti kemiskinan, pengamanan penyediaan bahan makanan bagi
masyarakat, keberlanjutan, dan kesesuaian usaha tersebut terhadap kemampuan
lingkungan, dan lain sebagainya. Sementara itu, introduksi teknologi baru dibidang
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya pesisir memerlukan biaya relatif mahal,
sehingga kurang menjadi prioritas utama dalam penyediaannya.
Ketiga, kerusakan ekosistem wilayah pesisir Indonesia terjadi karena kesadaran
publik yang masih rendah atas apa yang berlangsung terhadap sumberdaya pesisir.
Disatu sisi karena pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, belum
banyak menyadari wewenang dan tanggung jawab mereka dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir, selain juga karena isu-isu pesisir belum menjadi prioritas
pemerintah maupun masyarakat umum, yang lebih mengenal dan mempunyai
kemampuan teknis pengelolaan di sektor-sektor “daratan” seperti kehutanan, misalnya.
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan bab ini adalah memberikan
argumentasi rasional ekonomi atas kebutuhan suatu pengelolaan sumberdaya pesisir
yang terpadu yang bermanfaat bukan hanya mendukung kepentingan daerah tetapi juga
pembangunan ekonomi secara nasional, dengan tetap mengedepankan pemanfaatan
sumberdaya yang berkelanjutan.
39
4.2. Potensi Sumberdaya Pesisir
4.2.1. Sumberdaya Hayati
4.2.1.1. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Tangkap
Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang beragam dan melimpah pada
lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km persegi. Departemen Kelautan dan
Perikanan mengestimasi potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6.2 juta ton,
dimana bagian terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai
sekitar 51,7 persen dari angka diatas atau sekitar 3.235.800 ton per tahun. Jenis ikan
yang juga banyak terdapat di wilayah Indonesia adalah jenis ikan demersal (demersals)
dan pelagis besar yang masing-masing mencapai sekitar 28,54 persen dan 16,83 persen
dari total potensi sumberdaya ikan laut Indonesia atau masing-masing 1.786.400 ton
per tahun dan 1.053.500 ton per tahun.
Tabel 1 : Potensi dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Perairan Selat
Makassar, Laut Sulawesi dan samudra Pasifik
No Perairan Jenis Ikan Potensi JTB Peluang Pengembangan
1. Selat
Makassar
Pelagis
Kecil
Pelagis
Besar
Demersal
Udang
Ikan
Lainnya
467,5
99,1
87,2
5,5
19,3
374,0
79,2
69,8
4,4
15,4
Skala
Menengah
ke Bawah
PS, GN, LL, PL,
TN, P
2. L. Sulawesi
& S. Pasifik
Pelagis
Kecil
Pelagis
Besar
Demersal
Udang
Ikan
Lainnya
393,5
236,2
54,9
2,8
4,0
314,8
189,0
43,9
2,2
3,2
Skala
Menengah
ke Bawah
PS, GN, LL, PL,
P
40
Ket: PS = Purse Seine; GN = Gill Net; PL = Pole & Line; TN = Trammel Net; LL =
Long Line; P = Pancing/Hook and Line
Sumber: Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan) 2003, Dirjen
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, 1999 .
Rincian potensi bagian kegiatan penangkapan ikan adalah sebagai berikut :
a. Ikan Pelagis Besar
Ikan pelagis besar pada umumnya termasuk dalam kategori ikan ekonomis penting,
diantaranya jenis ikan tuna dan cakalang, tongkol, tenggiri, setuhuk, cucut, ikan pedang
dan ikan layangan:
Tuna Besar dan Cakalang. Luas sebaran total ikan tuna besar dan ikan cakalang di
Perairan Indonesia masing-masing adalah sebesar 4.158.000 km2
yang terbesar di
Samudera Indonesia (1.792.000 km2
), Selat Makasar-Laut Flores (605.000 km2
), Laut
Banda (327.000 km2
), Laut Seram-Teluk Tomini (440.000 km2
), Laut Arafura (172.000
km2
) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik (822.000 km2
).
Tongkol. Luas sebaran total ikan Tongkol di Perairan Indonesia adalah sebesar
4.820.000 km2
yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km persegi), Laut Jawa
(400.000 km2
), Selat Makasar-Laut Flores (605.000 km2
), Laut Banda (327.000 km2
),
Laut Arafura (429.000 km2
) dan Laut Sulawesi-Laut Pasifik (827.000 km2
).
Tenggiri. Luas sebaran ikan Tenggiri di Perairan Indonesia adalah sebesar 4.558. km2
yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km2
), Laut Jawa (400.000 km2
), Selat
Makasar-Laut Flores (605.000 km2
), Laut Banda (327.000 km2
), Laut Seram-Teluk
Tomini (400.000 km2
), Laut Arafura (172.000 km2
) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik
(822.000 km2
).
Setuhuk, Ikan Pedang, Layangan, dan Cucut. Luas sebaran total ikan-ikan setuhuk, ikan
pedang, layanan dan cucut di perairan Indonesia adalah sebesar 4.158.000 km persegi
yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km2
), Selat Makasar-Laut Flores
41
(605.000 km2
), Laut Banda (327.000 km2
), Laut Seram-Teluk Tomini (440.000 km2
),
Laut Arafura (172.000 km2
) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik (822.000 km2
).
b. Ikan Pelagis Kecil
Kelompok pelagis kecil meliputi jenis-jenis ikan antara lain: alu-alu, layang, selar,
tetengkek, daun bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-
parang, terubuk, kembung, ikan terbang, belanak dan kacang-kacang. Jenis ikan pelagis
kecil terdapat hampir di semua kawasan perairan Indonesia, terutama Laut Jawa dan
Selat Sunda, Laut Flores dan Selat Makassar, Laut Arafuru, dan Samudera Hindia.
Luas sebaran total ikan pelagis kecil di perairan Indonesia sebesar 3.433.000 km persegi
yang tersebar di Samudera Indonesia (454.000 km2
), Selat Malaka (92.000 km2
), Laut
Cina Selatan (550.000 km2
), Laut Jawa (400.000 km2
), Selat Makassar dan Laut Flores
(473.000 km2
), Laut Banda (220.000 km2
), Laut Seram dan Teluk Tomini (306.000
km2
), Laut Arafura (438.000 km2
) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (500.000
km2
).
c. Ikan Demersal
Jenis ikan demersal banyak terdapat di perairan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan,
Laut Jawa dan Selat Sunda, dan Laut Arafuru, yang jumlahnya diperkirakan mencapai
masing-masing sebesar 655.700 ton, 431.200 ton per tahun, dan 246.800 ton per tahun,
menurut data hingga tahun 1999.
Kelompok demersal meliputi berbagai jenis ikan, antara lain: peperek, bloso, manyung,
biji nangka, kurisi, swangi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap
merah, kakap putih, pari, sembilang, bintal landak, kue, gerot-gerot, bulu ayam, kerong-
kerong, payus (sillago), etelis dan remang. Luas sebaran total di perairan Indonesia
sebesar 1.726.000 km2
, yang tersebar di Samudera Indonesia (115.000 km2
), Selat
Malaka (80.000 km2
), Laut Cina Selatan (558.000 km2
), Laut Jawa (392.000 km2
), Selat
Makassar dan Laut Flores (109.000 km2
), Laut Banda (9.000 km2
), Laut Seram dan
Teluk Tomini (81.000 km2
), Laut Arafura (329.000 km2
) serta Laut Sulawesi dan
Lautan Pasifik (53.000 km2
).
42
d. Udang dan Crustaceae lain serta Kerangan
Untuk sumberdaya hayati udang, potensi perairan Indonesia terutama terdapat di
perairan Arafuru dan samudera Hindia yang memiliki potensi masing-masing sebesar
21.500 ton per tahun dan 12.500 ton per tahun.
1. Udang Penaeid
Luas sebaran total udang penaeid di perairan Indonesia sebesar 604.000 km², yang
tersebar di Samudera Indonesia (95.000 km2
), Selat Malaka (55.000 km2
), Laut Cina
Selatan (112.000 km2
), Laut Jawa (114.000 km2
), Selat Makassar dan Laut Flores
(23.000 km2
), Laut Banda (15.000 km2
), Laut Seram dan Teluk Tomini (23.000 km2
),
Laut Arafura (119.000 km2
) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (48.000 km2
).
2. Lobster
Luas sebaran total lobster di perairan Indonesia mencapai sekitar 6.799.000 km2
,
tersebar di Samudera Indonesia (1.542.000 km2
), Selat Malaka (703.000 km2
), Laut
Cina Selatan (598.000 km2
), Laut Jawa (870.000 km2
), Selat Makassar dan Laut Flores
(1.078.000 km2
), Laut Banda (646.000 km2
), Laut Seram dan Teluk Tomini (452.000
km2
), Laut Arafura (212.000 km2
) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (698.000
km2
).
3. Kerang-Kerangan (Bivalva), Molusca, Teripang dan Cumi-Cumi
Luas sebaran total cumi-cumi di perairan Indonesia sebesar 28.255.000 km², yang
tersebar di Samudera Indonesia (3.745.000 km2
), Selat Malaka (1.863.000 km2
), Laut
Cina Selatan (2.697.000 km2
), Laut Jawa (5.042.000 km2
), Selat Makassar dan Laut
Flores (3.883.000 km2
), Laut Banda (51.000 km2
), Laut Seram dan Teluk Tomini
(7.128.000 km2
), Laut Arafura (3.394.000 km2
) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik
(452.000 km2
).
Komoditi perikanan lainnya yang bernilai ekonomi tinggi adalah kepiting bakau dan
rajungan, yang dapat ditemui di hampir seluruh kawasan perairan Indonesia. Jenis ikan
43
karang memiliki potensi yang cukup besar pula, mencapai 52.224 ton per tahun, dimana
lokasi yang memiliki potensi tertinggi terdapat di wilayah perairan selatan pulau
Sulawesi yakni sekitar 11.914 ton per tahun. Sementara untuk jenis perikanan laut
lainnya seperti jenis moluska dan penyu laut, belum diperoleh data yang akurat
mengenai potensinya.
e. Rumput Laut
Jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia antara lain adalah Euchema, Hypnea,
Gracilaria, Gelidium, Sargassum, dan Turbinaria. Jenis Euchema dan Gracilaria telah
banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir Indonesia, terutama masyarakat di
Kepulauan Riau, Lampung, Kepulauan Seribu, Bali dan Lombok, Flores, Sumba, dan
Sulawesi.
Sementara itu potensi rumput laut (algae) di perairan Indonesia dapat diamati dari
potensi lahan budi daya rumput laut yang tersebar di seluruh Indonesia. Potensi usaha
rumput laut mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400
ton per tahun.
Sampai saat ini, rumput laut hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat
pesisir terutama sebagai bahan pangan, seperti untuk lalapan, sayur, acar, manisan dan
kue, selain juga sebagai obat. Pemanfaatan untuk industri dan sebagai komoditas ekspor
baru berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, meskipun ada catatan
yang menunjukkan bahwa perdagangan rumput laut dengan Cina sudah berlangsung
sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama disebabkan oleh senyawa kimia yang
terkandung didalamnya, khususnya karagenan, agar dan algin (Nontji, 1987).
Karagenan merupakan bahan kimia yang dapat diperoleh dari berbagai alga merah
seperti Gelidium, Gracilaria, dan Hypnea; sedangkan algin adalah bahan yang
terkandung dalam alga coklat seperti Sargasum.
2.2.1.2. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Budidaya
Potensi sumberdaya hayati lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha
marikultur (mariculture), yang dikelompokkan menjadi dua jenis kegiatan yakni
44
budidaya berbasis laut (marine-based aquacultue) dan budidaya tambak (land-based
aquaculture). Potensi perikanan budidaya tambak mencapai luas 830.200 hektar pada
tahun 1994, dimana 580.000 ha diantaranya terdapat di Provinsi Papua. Tabel 2
memperlihatkan potensi lahan yang digunakan bagi budidaya perikanan (tambak) di
Indonesia menurut Provinsi pada tahun 1994.
Tabel 2. Potensi Lahan Budidaya Perikanan (Tambak) di Indonesia menurut Provinsi,
Tahun 1994
No Provinsi Luas Lahan
1. DI. Aceh 10.000 1,20
2. Sumatera Utara 12.000 1.44
3. Sumatera Barat 2.000 0.24
4. R i a u 54.000 6,50
5. J a m b I 12.000 1,44
6. Sumatera Selatan 38.000 4,58
7. Bengkulu 2.000 0,24
8. Lampung 4.000 0,48
9. Nusa Tenggara Barat 600 0,07
10. Nusa Tenggara Timur 200 0,02
11. Kalimantan Barat 8.000 0,96
12. Kalimantan Tengah 2.000 0,24
13. Kalimantan Selatan 12.000 1,44
14. Kalimantan Timur 52.000 6,26
15. Sulawesi Utara 12.000 1,44
16. Sulawesi Tenggara 5.000 0,60
17. Sulawesi Tengah 3.400 0,41
18. Sulawesi Utara 1.000 0,12
19. Maluku 20.000 2,41
20. Papua 580.000 69,86
Total 830.200 100,00
Sumber: Ditjen Perikanan (1994)
45
Pada perairan wilayah pesisir yang terlindung merupakan potensi bagi kegiatan
budidaya laut. Potensi ini sangat luas mencapai ratusan ribu hektar dan tersebar hampir
di beberapa pulau besar maupun pulau-pulau kecil. Jenis komoditas yang dapat
dikembangkan antara lain beberapa jenis ikan konsumsi (kakap, kerapu dan
sebagainya), ikan hias, ikan karang, crustaceae, rumput laut maupun beberapa jenis
mollusca.
4.2.1.3. Padang Lamun
Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk di bawah permukaan air laut. Tumbuhan ini hidup diperairan
dangkal agak berpasir, dan sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Sama
halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang yang luas dan
lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh sinar matahari dengan tingkat energi
cahaya yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang
bentuknya seperti pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh dari rhizoma, yaitu bagian
rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut.
Di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 species
lamun, antara lain marga Hydrocharitaceae dengan spesiesnya Enhalus Acoroides.
Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera,
Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Di dunia, secara
geografis lamun ini tampaknya memang terpusat di dua wilayah yaitu Indo Pasifik
Barat & Karibia.
Fungsi padang lamun di lingkungan pesisir, menurut Koesoebiono (1995)
adalah sebagai berikut:
a. Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan
dasar laut dan mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut.
b. Padang lamun berfungsi juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian
diendapkan dan distabilkan.
c. Padang lamun segar merupakan makanan bagi duyung (dugong), penyu laut,
bulu babi dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah
penggembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut
tersebut.
d. Padang lamun merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan
berukuran kecil) dan udang. Ikan laut lainnya dan udang tidak makan daun segar
46
melainkan serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh
arus ke perairan di sekitar padang lamun.
e. Pada permukaan daun laun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik
(biasanya ganggang bersel tunggal) hewan-hewan renik dan mikroba, yang
merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun.
f. Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun
menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi
larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang
optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun
berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut.
g. Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni
padang lamun dari sengatan sinar matahari.
h. Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk.
Misalnya samo-samo (Enhalus acoroides) oleh penduduk di kepulauan seribu
telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan (Nontji,1978).
4.2.1.4. Hutan Mangrove
Hutan Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah perairan pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai
macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi
ekonomis penting seperti penyedia kayu, pemanfaatan daunnya bagi bahan baku obat-
obatan, dan lain-lain. Bahkan Saenger (1983) telah mengidentifikasi lebih dari 70
macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik produk
langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, alat tangkap ikan. Disamping itu,
ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, yakni terutama
sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting,
dan beberapa jenis ikan), serta binatang melata lainnya, seperti terlihat pada Tabel 3
47
Tabel 3. Produk Langsung dari Ekosistem Mangrove
Manfaat Jenis Produk
Bahan Bakar 1. Kayu bakar untuk memasak, memanggang ikan,
memanaskan lembaran karet, membakar batu bata.
2. Arang.
3. Alkohol
Produksi kertas, makanan,
minuman, dan obat-obatan
1. Berbagai jenis kertas, pelapis permukaan.
2. Gula
3. Alkohol, minuman fermentasi.
4. Minyak goreng, cuka.
5. Pengganti teh.
6. Rempah-rempahan dari kulit kayu.
7. Daging dari propagules.
8. Sayuran, buah atau daun dari propagules.
9. Pembalut rokok.
10. Bahan obat-obatan dari kulit, daun dan buahnya.
Peralatan rumah tangga 1. Perabot rumah tangga, mainan anak.
2. Perekat atau lem, minyak rambut.
3. Peralatan tangan.
4. Penumbuk padi, batang korek api.
5. Kemenyan.
Konstruksi 1. Kayu untuk tangga, konstruksi berat (misalnya
jembatan), kayu penjepit jalan kereta api.
2.Tiang penyangga terowongan pertambangan, tiang
pancang geladak, dan tiang dan galah bagi
bangunan.
3. Bahan untuk lantai, papan bingkai.
4. Material untuk membuat kapal.
5. Pagar, pipa air, serpihan kayu, dan lem.
Pertanian 1. Makanan ternak.
2. Pupuk hijau.
Pemancingan 1. Tempat berlindung untuk ikan-ikan unik.
2. Pancing untuk memancing ikan, pelampung
pancing.
3. Racun ikan.
4. Bahan untuk pemeliharaan jaring.
Produksi tekstil dan kulit 1. Serta sintetik.
2. Bahan pencelup pakaian.
3. Bahan untuk penyamakan kulit.
Lain-lain 1. Pengepakan.
Sumber: Saenger, et.al, 1983 dikutip dari Rokhmin Dahuri e.al 1996
Sementara itu, luas hutan mangrove di Indonesia terus mangalami penurunan.
Luas hutan mangrove pada tahun 1982 mencapai 5.209.543 ha dan turun menjadi
48
3.235.700 ha pada tahun 1987. Pada tahun 1993 angka luas areal hutan mangrove turun
lagi menjadi hanya sekitar 2.496.185 ha.
Tabel 4. Manfaat Tidak Langsung dari Ekosistem Mangrove
Sumber Jenis Produk
Ikan Blodok (beberapa jenis) 1. Bahan makanan.
Krustasea (udang & kepiting) 1. Bahan makanan.
Moluska (kerang, remis, tiram) 1. Bahan makanan.
Lebah 1. Madu.
2. Lilin.
Burung 1. Bahan makanan.
2. Pemanfaatan bulu.
3. Rekreasi (mengamati dan
berburu).
Reptil 1. Bahan kulit.
2. Makanan.
3. Rekreasi (mengamati dan
berburu).
Fauna Lainnya (seperti: amphibi dan
serangga)
1. Bahan makanan.
2. Rekreasi (mengamati dan
berburu).
Sumber: Saenger, et.al, 1983 dikutip dari Rokhmin Dahuri e.al 1996.
Dengan demikian potensi hutan mangrove yang mempunyai banyak fungsi
dikhawatirkan semakin rusak dan mengecil. Hal ini antara lain karena perubahan hutan
mangrove menjadi tambak, atau peruntukan lain (industri dan pemukiman), juga karena
penebangan oleh masyarakat. Apabila kecenderungan semakin mengecilnya hutan
mangrove tidak segera memperoleh perhatian dan penanganan yang serius
dikhawatirkan akan semakin mengecil dan semakin berat tingkat kerusakannya
sehingga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan (tambak dan tangkap)
dan mengganggu fungsi-fungsi lain dari hutan mangrove.
4.2.1.5. Terumbu Karang
Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah
satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tak ternilai harganya.
Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari
60.000 km² yang tersebar luas dari perairan kawasan Barat Indonesia sampai kawasan
Timur Indonesia (Walters, 1994 dan Suharsono, 1998). Wilayah Indonesia merupakan
tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia (Cesar, 1997) dan merupakan negara
49
yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam.
Menurut Sawyer, (1993) dan Cesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam
terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan tidak
langsung. Manfaat terumbu karang yang langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan,
batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya.
Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi
terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain
sebagainya.
Dalam strategi dunia mengenai konservasi (IUCN/UNEP/WWF, 1980) terumbu
karang diidentifikasi sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai
penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan dalam produksi makanan,
kesehatan dan berbagai aspek kehidupan manusia serta dalam pembangunan yang
berkelanjutan. Terumbu karang melindungi pantai, kawasan pemukiman, lahan
pertanian, pantai wisata dan pelabuhan dari hempasan dan keganasan badai, sebagai
penahan erosi gelombang laut, serta mendukung terbentuknya pantai berpasir.
Terumbu karang menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan
kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup di
ekosistem terumbu karang atau mollusca yang hidup di ekosistem ini ternyata banyak
mengandung berbagai senyawa bioaktif (bioactive substance) yang mempunyai potensi
besar sebagai bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika. Selain itu terumbu karang
yang merupakan salah satu keanekaragaman yang unik menjadi daya tarik tersendiri
dan menjadi perhatian besar bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi, dan lain
sebagainya, untuk dijadikan obyek penelitian.
Keberadaan ekosistem terumbu karang yang tersebar di hampir seluruh kawasan
pesisir Indonesia menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat pesisir di sekitarnya.
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung dan tak langsung bagi
bangsa Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Selain itu, terumbu karang juga
menjadi sumber mata pencaharian utama bagi ratusan hingga ribuan nelayan Indonesia
yang subsisten, dan salah satu sumber pengaman pangan pada waktu paceklik.
Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti
ikan, karang, mollusca dan crustacea bagi kelompok-kelompok masyarakat yang hidup
di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan
50
menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi sangat
tinggi. Menurut Munro dan Williams (1985) dari perairan yang terdapat ekosistem
terumbu karangnya pada kedalaman kurang dari 30 m, setiap 1 km persegi nya
terkandung ikan sebanyak 15 ton.
Potensi terumbu karang Indonesia dengan total luas 60.000 km persegi
merupakan salah satu ekosistem penting dan sangat ekstensif dalam memberikan
potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 80.802 ton/km persegi/tahun (Moosa, dkk.,
1996). Selain itu, ekosisitem terumbu karang juga memberikan peranan penting secara
ekologis dan ekonomis bagi keberlangsungan sumberdaya dan ekosistem lainnya yang
terasosiasi didalamnya.
4.2.2. Sumberdaya Non-Hayati
4.2.2.1.Lahan Pesisir (Coastal Land)
a. Bahan Bangunan (Pasir & Kerikil) :
Pasir dan kerikil pada umumnya berasal dari produk gunung api muda seperti
lahar piroklastika) hasil kegiatan erupsi seperti Gunung berapi., dan oleh proses
sedimentasi yang diendapkan ke tempat yang lebih rendah seperti pedataran aluvium,
pesisir pantai dan lepas pantai. Pasir yang diendapkan di wilayah pantai dan lepas pantai
didominasi oleh pasir vulkanik berwarna abu-abu sampai hitam. Pasir tersebut dapat
dibedakan atas tiga jenis pasir, yaitu pasir abu-abu, pasir beton, batu apung dan pasir
besi (magnetik). Keberadaan sedimen ini terdapat misalnya di sekitar Mungga
(Situmorang & Yudicara, 1996b).
Endapan pasir pasir abu-abu merupakan tipe pasir yang paling umum didapat.
Biasanya ditemukan di pedataran pantai, pesisir, dan sedikit di daerah lepas pantai.
Endapan ini terdapat di daerah sepanjang pantai, terutama ditemukan yang kualitasnya
bagus. Masyarakat setempat telah memanfaatkannya sebagai campuran bahan
bangunan. Adapun kerikil telah banyak digunakan sebagai bahan campuran pembuatan
jalan yang ditemukan di sepanjang pantai.
b. Lempung Kaolin
Endapan lempung kaolin di dasar laut ini pada umumnya berasal dari pelapukan
batuan terobosan granit, yang terdiri dari lempung dan lanau kaolin, dengan warna
bervariasi dari kuning, merah jambu, hijau sampai kebiruan. Data pemboran
menunjukkan bahwa seismik reflektor tipe "bebas reflektor" umumnya berupa lempung
51
kaolin. Kaolin terbentuk dari aluminium silikat disebabkan proses pelapukan atau
proses malihan hidrotermal terutama pada batuan mengandung alkali felspar atau
plagioklas asam (Bemmelen, 1949). ). Kaolin seperti telah diketahui, telah banyak
digunakan sebagai bahan dalam industri keramik, tekstil, kertas, karet dan cat, dan juga
sebagai bahan campuran untuk bahan poles.
4.2.3. Pertambangan dan Energi
4.2.3.1. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas
Berdasarkan laporan ADB (1995), total nilai sektor migas yang dihasilkan dari
wilayah lautan dan pesisir mencapai Rp 5,218 triliun atau 2,0 persen dari total PDB
nasional pada tahun 1992. Dengan demikian, sub sektor migas ini merupakan salah satu
sub-sektor yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa
depan.
4.2.3.2. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas
Berdasarkan laporan ADB (1995), total nilai sektor migas yang dihasilkan dari
wilayah lautan dan pesisir mencapai Rp 5,218 triliun atau 2,0 persen dari total PDB
nasional pada tahun 1992. Dengan demikian, sub sektor migas ini merupakan salah satu
sub-sektor yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa
depan.
Cadangan (potensi) minyak Indonesia sampai dengan tahun 1995 menurun
menjadi sebesar 9,1 miliar dari tahun sebelumnya yakni 9,5 miliar barel. Tabel 2.5.
dibawah menyajikan perkembangan cadangan minyak selama tahun 1991 – 1995.
Adapun besarnya cadangan sumberdaya gas alam yang dimiliki Indonesia
sampai dengan tahun 1995 mencapai 123,6 triliun kaki kubik (TKK). Cadangan ini
menurun pula dari tahun 1994 sebesar 124,8 TKK. Tabel 2.6. berikut ini menyajikan
data cadangan gas bumi Indonesia dalam periode 1991–1995.
4.2.3.3. Pemanfaatan Sumberdaya Minyak dan Gas
Saat ini di Indonesia memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak dan 8,5 miliar
kaki kubik gas bumi per hari, sebesar 35 persen produksi minyak dan 27 persen gas
bumi berasal dari lepas pantai. Indonesia memproduksi minyak bumi sebesar
586.763.822 barel minyak selama tahun 1995. Jumlah ini menurun dari produksi tahun
52
1994 yang mencapai 588.364.267 barel. Tabel 2.7. dibawah ini menyajikan data
perkembangan produksi minyak mentah domestik selama periode 1990 – 1995.
Masih terdapat 22 cekungan sedimen (37 persen) belum dijamah oleh kegiatan
eksplorasi, pada umumnya terletak di daerah “frontier”. Secara gelogis dan geografis,
21 cekungan (35 persen) terletak di Indonesia Barat yang mempunyai tatanan geologi
lebih sederhana dibandingkan dengan Indonesia Timur. Dari segi kegiatan
perminyakan daerah ini tergolong daerah yang sudah mature. Sisanya sebanyak 39
cekungan (65 persen) sisanya terletak di Indonesia Timur dengan tatanan geologi yang
lebih komplek dan belum banyak dilakukan penyelidikan.
Jumlah sumberdaya hidrokarbon yang terkandung di dalamnya diperkirakan
sebesar 111,22 milyar SBM (setara barel minyak), terdiri dari minyak sebesar 66,77
milyar barrel dan gas bumi sebesar 44,45 minyak SBM (266,73 trilium kaki kubik).
Dari jumlah sumberdaya hidrokarbon tersebut, sebesar 47,38 milyar SBM (43 persen)
berada di daratan dan 63,84 milyar SBM (57 persen) berada di lepas pantai.
4.2.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Perikanan sebagai salah satu sub-sektor ekonomi mempunyai peranan sebagai
penyedia bahan pangan protein bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Kontribusi
perikanan laut terhadap produksi perikanan nasional mencapai 76,74 persen pada tahun
1994 atau sekitar 3.796.328 ton dan meningkat menjadi 80,21 persen pada produksi
perikanan tahun 1998 atau sekitar 3.879.758 ton, seperti terlihat pada Tabel 2.9. di
bawah ini.
Produksi perikanan secara keseluruhan meningkat rata-rata 4,78 persen per
tahun dalam periode 1994-1998 dari 4,01 juta ton pada tahun 1994 menjadi 4,84 juta
ton pada tahun 1998 dan jika dibandingkan dengan tahun 1997 meningkat sebesar 5,62
persen. Produksi perikanan laut meningkat 5,66 persen pertahun dalam kurun waktu
yang sama yakni dari 3,08 juta ton pada tahun 1994 menjadi 3,84 juta ton pada tahun
1998 sedangkan produksi perikanan darat meningkat sebesar 1,99 persen per tahun.
Perkembangan produksi perikanan laut disebabkan oleh beberapa hal
pendorong yakni peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penangkapan
ikan. Peningkatan sarana berlangsung bersamaan motorisasi usaha penangkapan ikan
yang menggunakan alat tangkap dengan bahan sintesis. Sebagai bagian dari
sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, maka eksploitasi
sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat
53
sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia (toal landings)
mencapai 3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan
sumberdaya perikanan laut yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea yakni
203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis lain seperti penyu,
teripang, ubur-ubur, dan lainnya sebesar 126.661 ton.
Tabel 5. Persentase Produksi dan Total Produksi Perikanan menurut Jenis
Perikanan, 1994 – 1998
No Jenis
Perikanan 1994 1995 1996 1997 1998
1.
Perikanan Darat
23,26 22,77 24,01 21,11 19,79
1.1. Budidaya
Air Tawar
6,26 6,56 7,38 6,38 5,95
1.2. Budidaya
Tambak
8,63 8,47 9,08 8,08 7,62
1.3. Perairan
Umum
8,37 7,74 7,54 6,64 6,22
2.
Perikanan Laut
76,74 77,23 75,99 78,89 80,21
2.1. Ikan 66,63 64,56 65,19 68,05 71,63
2.2. Udang 4,43 4,27 4,65 5,21 5,25
2.3. Binatang Lunak 2,31 2,31 2,27 2,39 2,13
2.4. Lainnya 3,37 6,09 3,88 3,24 1,20
Total Produksi Perikanan 100 100 100 100 100
(dalam ribuan ton) 4.947 4.264 4.452 4.580 4.837
Sumber: Indikator Pertanian 1999
Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tersebut di atas tidak dapat
dicapai tanpa ketersediaan prasarana dan sarana perikanan yang memadai. Pada periode
Pelita VI (1993–1995), jumlah perahu/kapal perikanan laut bertambah yakni dari
389.498 unit menjadi 404.653 unit, atau bertambah dengan rata-rata 1,62 persen per
tahun. Dari angka tersebut, kapal/perahu tanpa motor (non-powered boats)
mendominasi hingga 60,58 persen total jumlah perahu/kapal perikanan laut, atau
sebanyak 245.162 unit.
Sementara jumlah kapal/perahu dengan motor (powered boats) tercatat
sebanyak 65.467 unit atau 16,18 persen, dan kapal/perahu dengan motor tempel
(outboardmotor) sebanyak 94.024 unit atau sekitar 23,24 persen jumlah perahu/kapal
perikanan laut. Tabel 2.10 menyajikan jumlah perahu/kapal perikanan laut di Indonesia
menurut jenis pada tahun 1995.
54
Tabel 6. Jumlah Kapal/Perahu Perikanan Laut di Indonesia
menurut Jenis, tahun 1995
No Jenis Kapal atau Perahu Jumlah
Unit Persen (%)
1. Jukung 127.936 31,61
2. Perahu Papan 117.226 28,97
3. Kapal Motor Tempel 94.024 23,24
4. Kapal Motor < 5 GT 48.855 12,07
5. Kapal Motor 5 – 10 GT 9.562 2,36
6. Kapal Motor 10 – 20 GT 2.789 0,69
7. Kapal Motor 20 – 30 GT 1.519 0,38
8. Kapal Motor 30 – 50 GT 1.682 0,42
9. Kapal Motor 50 – 100 GT 687 0,17
10. Kapal Motor 100 – 200 GT 253 0,06
11. Kapal Motor > 200 GT 120 0,03
T o t
a l
404.653 100,00
Sumber: Statistik Perikanan Indonesia 1995
Untuk perikanan budidaya, sejauh ini Ditjen Perikanan melaporkan bahwa luas
lahan yang telah dimanfaatkan mencapai 326.908 ha atau sekitar 39,38 persen dari
potensi yang ada. Tabel 7. berikut ini menyajikan luas budidaya tambak yang telah
diusahakan menurut Provinsi di Indonesia.
Tabel 7. Luas Lahan Budidaya Perikanan (Tambak) di Indonesia menurut Wilayah,
tahun 1994
No W i l a y a h L u a s
Hektar Persen (%)
1. Sumatera 61.873 18,93
2. J a w a 141.860 43,39
3. Nusa Tenggara dan
Timor
6.977 2,13
4. Kalimantan 14.859 4,55
5. Sulawesi 101.144 30,94
6. Maluku dan Irian Jaya 195 0,06
T o t
a l
326.908 100,00
Sumber: Statistik Perikanan Indonesia 1994
Potensi sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah Indonesia mencapai sekitar
6,2 juta ton MSY (Maximum Sustainable Yield) atau sekitar 5 juta ton TAC (Total
Allowable Catch). Potensi sumber daya ikan tersebut meliputi ikan pelagis besar,
55
pelagis kecil, demersal, udang, dan ikan kurang, apabila dibandingkan dengan TAC,
maka akan tampak pada Tabel 8.
Dengan meningkatnya produksi perikanan tersebut, penerimaan devisa negara
yang berasal dari ekspor hasil perikanan juga semakin meningkat. Pada tahun 1998
devisa yang disumbangkan komoditas perikanan mencapai US $ 1,70 Milyar dengan
volume 656,71 ribu ton pada tahun 1994. Perolehan devisa tersebut meningkat rata-rata
sebesar 0,41 persen per tahun dari volume yang meningkat rata-rata 4,96 persen per
tahun.
Tabel 8. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SPECIES ZEE LAUT TERITORIAL TOTAL
MSY TAC MSY TAC MSY TAC
Pelagik Besar 391,5 313,3 622 529,5 1.053,5 842,8
Pelagik Kecil 978,9 783 2.256,9 1.805,7 3.253,8 2.588,7
Demersal 458,4 366,8 1.328 1.062,3 1.786,4 1.429,7
Udang 25,7 20,6 52,9 42,1 78,6 62,7
Ikan Karang - - 76 60,7 76 60,7
Total 1.859,3 1.487,5 4.399,3 3.519,2 6.258,6 5.006,7
Ikan Hias (jt. ekor) - - 1.518,5 1.214,5 1.518,5 1.214,5
Sumber : Ditjen Perikanan, 1999
Disamping itu masih terdapat potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut
seluas 2.002.680 Ha dengan rincian untuk budi daya ikan seluas 1.059.720 ha, budidaya
rumput laut 222.460 ha, budidaya kerang-kerangan 653.840 Ha dan budidaya teripang
66.660 ha. Dari potensi lahan tersebut di perkirakan potensi produksinya mencapai
46.73 juta ton/ha/tahun.
Tabel 9. Perkembangan Armada Penangkapan Ikan, 1994 – 1998
Tipe kapal 1994 1998
Jumlah % Jumlah %
Tanpa motor 245.486 61,96 262.121 58,48
Motor tempel 87.749 22,15 105.556 23,55
Motor dalam < 30
GT
59.999 15,14 74.150 16,54
Motor dalam > 30
GT
2.951 0,75 6.417 1,413
TOTAL 396.185 100 448.244 100
Sumber : Ditjen. Perikanan, 2000
56
Dari potensi perikanan tangkap yang mencapai + 6,2 juta ton/tahun dan 5 juta
ton jumlah tangkapan yang diperbolehkan, baru 3,6 juta ton/tahun yang berhasil
dimanfaatkan atau sekitar 58,8 persen. Dengan demikian masih tersedia 1,4 juta
ton/tahun yang belum dimanfaatkan. Potensi yang belum tergarap ini sebagian besar
berada di perairan ZEEI. Sementara itu di sebagian perairan Nusantara terjadi over
eksploitasi/overfishing seperti di perairan Laut Jawa, Selat Malaka dan Selat Bali
bahkan dengan tingkatkerusakan yang cukup tinggi.
Sedangkan potensi lahan untuk budidaya pertumbuhan seluas 866.550 ha,
bahkan dengan kemajuan tehnologi potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka
tersebut. Sementara itu sampai dengan tahun 1996 luas tambak yang sudah dibangun
mencapai sekitar 344,759 Ha yang tersebar di berbagai Provinsi. Dari tambak yang ada
tersebut dapat menghasilkan produksi sebesar 421.510 ton atau tingkat pemanfaatan
potensi lahannya baru mencapai 39,78 persen disamping itu sekitar 80 persen
diantaranya dilakukan dengan cara sederhana dan sisanya menggunakan tehnologi
mendaya (semi intensif) dan maju (intensif), sehingga masih terbuka peluang untuk
meningkatkan produktivitasnya.
Sedangkan daerah yang potensial dan masih dapat dikembangkan adalah :
a. Pelagis kecil : Sumatera Barat, Laut Cina Selatan, Utara Sulawesi, Maluku, Irian
Jaya, Selatan dan Timur Kalimantan, NTB serta NTT.
b. Demersal : Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Selat Karimata, daerah lepas pantai
Laut Jawa, Maluku dan Irian Jaya.
c. Ikan karang : Utara Sumatera (sekitar Aceh), Barat Sumatera, Utara Sulawesi, NTB,
NTT, Maluku dan Irian Jaya.
4.3. Jasa-Jasa Kelautan
4.3.1. Pariwisata Bahari
4.3.1.1. Potensi Pariwisata Bahari
Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya merupakan upaya untuk
mengembangkan dan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat
di seluruh Indonesia, yang terwujud antara lain dalam bentuk kekayaan alam yang indah
(pantai, misalnya), keragamana flora dan fauna (taman laut). Potensi pesisir dengan
berbagai kekayaan yang terkandung didalamnya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan
kepariwisataan, khususnya wisata bahari, adalah kawasan terumbu karang yang banyak
terdapat di perairan laut Indonesia. Luas kawasan terumbu karang kira-kira 7.500 km
57
persegi, umumnya terdapat di taman laut dengan sekitar 263 jenis ikan hias laut. Selain
itu Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia yakni 4,25 juta
ha atau 27 persen dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia.
Sampai akhir tahun 2000, terdapat 241 daerah kabupaten atau kota yang
memiliki wilayah pesisir (Sapta Putra, pers. comm. 2000). Dengan demikian Indonesia
memilki lokasi obyek wisata bahari yang cukup besar dibandingkan negara manapun.
4.3.1.2. Pemanfaatan Pariwisata Bahari
Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS)
pada tahun 1996 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) tercatat sebanyak 1.211.780
orang. Jumlah wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke obyek bahari tercatat
cukup besar. Catatan tersebut juga memberi informasi jumlah yang cukup besar atas
hotel dan restoran yang ada sebagai pendukung di lokasi wisata bahari pada tahun 1995.
4.3.2. Industri Maritim
4.3.2.1. Potensi Industri Maritim
Industri maritim merupakan salah satu industri penting yang dipilih sebagai satu
dari beberapa ujung tombak industri berbasis teknologi dan menjadi bagian dari strategi
globalisasi demi melancarkan pembangunan dalam negeri dan kemajuan peranan
Indonesia dalam persaingan internasional.
Industri maritim Indonesia sangat berpotensi dalam menjawab tantangan masa
depan dan memberi nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk transportasi
laut yang dapat menghasilkan tambahan devisa ekspor. Salah satunya adalah industri
kapal, yang telah berhasil memproduksi bebeberapa jenis kapal baik sebagai hasil alih
teknologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri.
4.3.2.2.Pelayaran Dalam Negeri
Pelayaran dalam negeri terdiri dari pelayaran nusantara, pelayaran rakyat, dan
pelayaran lokal. Pelayaran dalam negeri bertujuan khusus melayani kebutuhan
angkutan laut di wilayah perairan Indonesia baik angkutan barang maupun penumpang.
Pelayaran dalam negeri khususnya angkutan barang pernah mengalami saat-saat
kritis sejak adanya SK Menteri Perhubungan no: KM 57/Phb 84 tanggal 29 Maret 1984
yang isinya melarang kapal niaga berusia tua (di atas 25 tahun) untuk beroperasi di
wilayah perairan Indonesia. Akibatnya banyak kapal niaga terkena kebijaksanaan
58
tersebut, sehingga saat ini armada pelayaran dalam negeri mengalami kekurangan ruang
muat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah kemudian melaksanakan program
pengadaan kapal niaga Caraka Jaya.
59
BAB V
MASALAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
5.1. Masalah Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir
Dalam satu dekade belakangan ini, laju kerusakan sumberdaya pesisir telah
mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan sumberdaya pesisir umumnya
dapat dibagi atas empat bagian: a. Kerusakan ekosistem; seperti ekosistem mangrove,
terumbu karang, padang lamun, estuaria dan pantai; b. Kerusakan sumberdaya ikan; c.
pencemaran, d. Abrasi, sedimentasi dan siltasi. Kerusakan ekosistem pesisir tersebut
berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi
sumberdaya ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan
pesisir. Pencemaran juga menurunkan kualitas air dan meningkatkan kadar bahan
beracun serta logam berat yang berimplikasi menimbulkan ancaman terhadap
ekosistem pesisir serta keracunan ikan. Sedimentasi menurunkan tingkat kecerahan
(meningkatkan kekeruhan) serta menutupi permukaan terumbu karang maupun padang
lamun, yang berakibat lanjut terdegradasinya ekosistem tersebut.
5.1.1. Kerusakan Terumbu Karang
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan
perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan
beracun sianida dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan
jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi (meningkatnya erosi dari lahan daratan).
Berdasarkan survei line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan
karang hidup hanya tinggal sekitar 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada
dalam kondisi sangat baik, 23,72 % dalam kondisi baik, 28,30 % kondisi rusak dan
41,78 % dalam kondisi rusak berat (Suharsono 1998). Hasil pengamatan juga
menunjukkan bahwa terumbu karang di perairan kawasan Barat Indonesia memiliki
kondisi lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di perairan kawasan Tengah
dan Timur Indonesia.
5.1.2. Kerusakan Mangrove
Ekosistem hutan mangrove juga mengalami degradasi yang cukup
mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun ke tahun selalu
mengalami penurunan (Gambar 3.2.). Selama periode 1982-1993 telah terjadi
60
penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta ha menjadi sekitar 2,5 juta ha (Dahuri
et al 1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya
peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain;
seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di
kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang
dan bahan bangunan. Konversi mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi
di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara itu, konversi lahan mangrove menjadi
kawasan industri dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk seperti DKI
Jakarta, Tangerang, Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai.
Penurunan kualitas lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi
dengan baik, rusaknya tempat pemijahan ikan (spawning ground), berkurangnya
populasi benur dan nener, serta berkurangnya daerah asuhan ikan (nursery ground).
Erosi pantai juga diperburuk oleh perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir yang
tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi dan hotel, dan kegiatan-kegiatan
lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.
5.1.3. Kerusakan akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation)
Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over
eksploitasi. Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional,
sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 58,5 % (tahun 1997) dari total
potensi lestarinya (MSY, Maximum Sustainable Yield), namun di beberapa kawasan
perairan, beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih
(overfishing). Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami over fishing adalah
ikan-ikan komersial seperti udang dan ikan karang. Udang (hampir mengalami over
fishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta Samudera Hindia); ikan karang (mengalami over
fishing di perairan Laut Jawa, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Samudera
Hindia); ikan demersal (mengalami over fishing di perairan Selat Malaka dan Laut
Arafuru); ikan pelagis kecil (mengalami over fishing di perairan Selat Malaka dan Laut
Jawa); ikan pelagis besar (mengalami over fishing di perairan Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik).
61
5.1.4. Pencemaran Laut
Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir,
pencemaran merupakan faktor yang paling penting. Hal ini disebabkan karena
pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati)
perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia
yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Selain itu pencemaran juga
dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang terkena pencemaran.
Menurut UNEP (1990), sebagian besar (lebih kurang 80%) bahan pencemar
yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land based activities).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga
di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan
sungai, tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Menurut Gesamp (1993), prosentasi
terbesar sumber pencemar yang masuk perairan laut adalah berasal dari run-off, dan
aliran dari daratan (44%), emisi pesawat terbang (33%), pelayaran/perkapalan dan
peristiwa tumpahan minyak (12%), pembuangan limbah ke laut (ocean dumping)
(10%), dan kegiatan penambangan minyak dan gas lepas pantai (1%).
Beberapa contoh kasus pencemaran air laut digambarkan sebagai berikut.
a. Menurunnya Kualitas Perairan
Kondisi kualitas air laut di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, khususnya
di daerah padat penduduk, kegiatan industri, pertanian sangat intensif, dan lalu lintas
pelayaran yang padat, seperti di Teluk Jakarta, Selat Makasar, Semarang, Surabaya,
Lhokseumawe, dan Balikpapan. Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta
pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0,002-0,35 ppm (BATAN, 1979). Kemudian
pada tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,029 ppm (LON LIPI, 1983). Sementara itu
ambang batas baku mutu lingkungan dalam KEPMEN KLH NO:02/1988 adalah
sebesar 0,003 ppm. Dengan demikian kondisi perairan Teluk Jakarta tercemar logam
berat. Hal ini juga terjadi untuk parameter-parameter lain seperti BOD, COD, dan
kandungan minyak di tiga stasiun pengamatan sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, Teluk
Jakarta pada bulan Oktober 1992, juga menunjukkan status tercemar (PPLH-IPB,
1992). Nilai BOD berkisar antara 39-312 ppm, sedangkan baku mutu kurang dari 45
ppm. Nilai COD berkisar antara 416-419, dengan baku mutu lebih kecil dari 80 ppm.
62
Sedangkan kandungan minyak di permukaan perairan berkisar antara 41,5-87,5 ppm,
dengan baku mutu lebih kecil dari 5 ppm.
Dari hasil penelitian Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 1996 nilai BOD di Muara Kamal mencapai
rata-rata 35,75, COD berkisar antara 31,89-48,83 ppm, amonia di Muara Ancol sebesar
2,25 ppm, serta peningkatan kadar beberapa kadar jenis logam berat.
Di Surabaya, kondisi perairan lautnya juga mengalami pencemaran. Dari hasil
penelitian oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya menunjukkan
bahwa berbagai jenis kerang dan ikan di Kali Wonoayu, kawasan pantai timur
Surabaya, diketahui tercemar logam berat.
b. Intrusi Air Laut
Intrusi air laut ke darat merupakan masalah yang serius bagi kota-kota besar
yang terletak di tepi pantai (Jakarta, Surabaya, Semarang). Adanya pemanfaatan air
tanah yang tidak memperhitungkan keseimbangan, mengakibatkan turunnya
permukaan air tanah yang selanjutnya akan memberikan tingkat kemudahan bagi
terjadinya intrusi air laut ke darat. Penebangan hutan bakau dan konversi sawah tadah
hujan menjadi tambak di daerah pantai telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut
ke darat. Intrusi air laut di muara merupakan salah satu permasalahan yang banyak
dijumpai pada sungai-sungai dengan fluktuasi debit musim kemarau dan penghujan
yang besar. Dengan kenaikan paras air laut (Sea Level Rise), maka volume air laut yang
mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke
darat melalui sungai ini juga merupakan masalah bagi kota-kota pantai yang
menggantungkan sumber air bakunya dari sungai.
c. Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan peningkatan garam-garam nutrien/unsure hara (nutrien
salt) terutama nitrat dan fosfat secara gradual di dalam air laut yang dapat
mengakibatkan permasalahan–permasalahan yang merugikan seperti red tide, blue tide,
pertumbuhan algae yang abnormal, bau menyengat yang diakibatkan oleh tingginya
konsentrasi material organik dan sebagainya.
d. Pasang Merah dan Pasang Biru (Red Tide dan Blue Tide)
63
Red tide biasa disebut pasang merah didefinisikan sebagai perubahan warna air
laut karena ledakan populasi fitoplankton tertentu di perairan luas dan bertahan untuk
waktu tertentu. Fitoplankton adalah organisme yang hidupnya melayang-layang di
perairan dan termasuk kelompok tanaman. Salah satu jenis fitoplankton penyebab
fenomena ini adalah Pyrodinium bahamese var compressum, jenis ini pertama kali
dikenal 80 tahun yang lalu di kepulauan Bahama, Amerika Tengah. Pyrodinium
Bahamense menghasilkan racun yang biasanya menyerang sistem persyarafan yang
dikenal dengan gejala paralytic shellfish poisoning (PSP). Pyrodinium Bahamese var
Compressum adalah jenis fitoplankton yang menyukai air laut bersalinitas tinggi, antara
24,3 – 36,8 permil.
Fenomena alam red tide di perairan pantai adalah melimpahnya jenis
fitoplankton yang meracuni biota laut dan membahayakan manusia yang
mengkonsumsinya sedangkan blue tide merupakan upwelling air laut yang bersifat
anaerobik. Red tide biasanya terjadi di perairan pantai, sedangkan blue tide terjadi di
perairan laut dalam.
Pemantauan yang dilakukan sejak Tahun 1976, menggejalanya red tide telah
menelan korban jiwa lebih dari 1.000 kasus keracunan akibat mengkonsumsi sea food
yang berkontaminasi racun pyrodinium. Khusus di perairan Indonesia ada tiga titik
rawan yang paling sering di jumpai gejala alam itu, yaitu perairan sekitar Nusa
Tenggara Timur, Ujung Pantang dan Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. Namun tidak
tertutup kemungkinan gejala alam itu terjadi di daerah lain seperti di Teluk Jakarta, dan
perairan–perairan lain di Indonesia. Di wilayah tersebut di atas tercatat 414 kasus
keracunan dan PSP dan 15 orang meninggal.
Di Nusa Tenggara Timur tanggal 24 Nopember 1983 tercatat 373 terkena PSP
dan sembilan tewas setelah memakan ikan yang mabuk. Pada bulan juli 1987 di Ujung
Pandang empat orang meninggal setelah makan ikan kepah dan di Pulau Sebatik Selatan
Kecamatan Nunukan, tercatat 68 orang terkena PSP dan dua diantaranya meninggal
setelah memakan ikan kepah yang bermunculan di atas pasir pada pagi hari tanggal 9
Januari 1988.
Setelah ditelusuri kejadian di atas sangat erat kaitannya dengan kejadian serupa
di perairan Asia Tenggara. Di perairan Filipina Tengah, Laut Samar, kejadian pertama
berlangsung bulan Juni-September 1983, mengakibatkan 750 orang menderita dan 20
orang lainnya meninggal setelah makan kerang hijau (perna viridis). Melihat
64
pergerakan arus dari utara ke selatan maka kejadian PSP di NTT besar kemungkinan
merupakan kelanjutan kejadian di Filipina.
Demikian di Ujung Pandang pada bulan Juli 1987 secara bersama terjadi juga
kasus serupa di Teluk Filipina. Ketika terjadi gejala red tide di Pulau Sebatik juga
terjadi gejala serupa di Sabah, Malaysia Timur.
Dampak ekonomis gejala red tide antara lain menurunnya hasil tangkapan ikan
dan hasil tambak udang, dan turunnya kualitas lingkungan perairan pantai di daerah
wisata.
d. Tumpahan Minyak
Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang
menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju ke
Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya serta terletak diantara negara-
negara produsen minyak di bagian barat dan negara-negara konsumen di bagian timur.
Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran
yang diakibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar, kawasan
Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker. Sebagai contoh,
Selat Malaka dilalui oleh sekitar 200 hingga 300 kapal pengangkut migas perbulannya,
termasuk diantaranya supertanker dan 90 tanker dan 30 tanker gas alam cair. Kapasitas
tangker tersebut berkisar antara 500.000 ton hingga 5.000.000 ton.
Selain itu juga beroperasi sekitar 80 anjungan lepas pantai. Lalu lintas tanker
yang padat dan tingginya aktivitas eksplorasi di lepas pantai membuka peluang
terjadinya tumpahan minyak. Diperkirakan 7 juta barel per hari minyak mentah (27%
dari sejumlah wilayah yang ditransportasikan di dunia) melewati Selat Malaka, 14%
menuju Singapura dan sisanya melewati Laut Cina Selatan menuju Jepang dan Korea
Selatan, dan sebanyak 0,3 juta barel per hari (sekitar 1 %) melalui perairan selatan Pulau
Sumatera dan sebanyak 5 sampai 6 kapal tanker raksasa yang bermuatan lebih dari
250.000 ton melewati Selat Lombok dan Selat Makasar. Disamping itu sebanyak 100-
150 tanker domestik yang membawa minyak mentah dan produk minyak melalui Selat
Makasar.
Posisi strategis tersebut diatas disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain
pihak juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologi. Kerugian
secara eologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan
65
sumber daya alam. Tabel 3.1 di bawah menyajikan beberapa kasus tumpahan minyak
besar yang terjadi di perairan Indonesia.
Tabel 10. Kejadian Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
dari tahun 1975-2000
No. Tahun lokasi Kejadian
1. 1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan menumpahkan 1
juta barel solar minyak
2. 1975 Selat malaka Tabrakan kapal tanker Isugawa Maru dengan
kapal Silver palace
3. 1979 Buleleng, bali Pecahnya kapal tanker Choya Maru dan
menumpahkan 300 ton bensin
4. 1979 Lhokseumawe,
DI Aceh
Bocornya kapal tanker Golden Win yang
mengankut 1500 kilo liter minyak tanah.
5. 1984 Delta Mahakam
Kaltim
Semburan liar pemboran minyak milik Total
Indonesia
6. 1992 Selat Malaka
Tabrakan kapal MT. Ocean Blessing dengan
MT. Nagasaki Spirit menumpahkan 5000 barel
minyak
7. 1993 Selat Malaka Tertabrakanya Tanker Maersk yang memaut
minyak
8. 1994 Cilacap Tabrakan antara Tanker MV. Bandar Ayu
dengan kapal ikan
9. 1996 Natuna Tenggelamnya KM. Batamas II yang memuat
MFO
10. 1997 Kepulauan Riau Tabrakan antara Tanker Orapin Global dengan
Evoikos menumpahkan 25.000 ton minyak
mentah
11. 1997 Kepulauan Riau Kebocoran pipa penyaluran minyak CALTEX
12. 1997 Selat Makasar Tenggelamnya Tanker Mission Viking
13. 1997 Selat Makasar Amblasnya platform E-20 UNOCAL
14. 1997 Selat Madura Tenggelamnya Tanker SETDCO
15. 1998 Tanjung Priok Kandasnya Kapal Permina Supply No. 27
dengan muatan solar
16. 1999 Cilacap
Robeknya tanker MT. King Fisher dengan
menumpahkan 640.000 liter minyak dan
mencemari teluk Cilacap sepanjang 38 km
17. 2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HHC yang memuat 9000
ton asphalt curah
18 2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea menumpahkan
4000 ton minyak mentah
19. 2001 Tegal - Cirebon Tenggelamnya Tanker Steadfast yang
megangkut 1.200 ton limbah minyak
Sumber: Media Masa dan berbagai sumber lain
e. Erosi
66
Problem erosi di Indonesia telah mencapai tahapan kritis, karena banyak lahan
daratan yang hilang akibat erosi. Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh proses
alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya. Erosi pantai yang diakibatkan
oleh kegiatan manusia misalnya pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai (untuk
permukiman, pelabuhan udara, dan industri).
Erosi pantai tergantung pada kondisi keseimbangan angkutan sedimen pada lokasi
tersebut, yang dipengaruhi oleh: angin, gelombang, arus, pasang surut, sedimen, dan
kejadian lainnya, serta adanya gangguan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang
mungkin berupa konstruksi bangunan pada pantai, dan penambangan pasir pada pantai
tersebut.
Peristiwa erosi ini tentunya tidak perlu dipersoalkan sejauh belum menimbulkan
masalah bagi kepentingan manusia. Namun apabila peristiwa tersebut menimbulkan
gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan di sekitarnya, maka diperlukan usaha-
usaha penanganan berupa perlindungan dan kegiatan-kegiatan lainnya.
f. Sedimentasi
Laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir Indonesia terus meningkat.
Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan
Jawa. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami
pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi. Sebagai contoh,
sedimentasi yang terbawa oleh aliran Sungai Citandui sebesar 5 juta m3
per tahun, dan
Sungai Cikonde sebesar 770.000 m3
per tahun yang diendapkan ke Segara Anakan,
Sungai Barito sebesar 733.00 m3
pertahun yang diendapkan di alur pelayanan pelabuhan
Banjarmasin dan sungai Mahakam sebesar 2,2 juta m3
per tahun endapan lumpur yang
harus dikeruk di alur pelayaran sungai Mahakam. Tabel 4 menunjukkan jumlah
sedimentasi pelabuhan yang terletak di sungai (River Port). Kerusakan ekosistem
persisir tesebut sebagian besar di sebabkan oleh ulah dan campur tangan manusia
antropogenik).
67
5.1.5. Bencana Alam di Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir di Indonesia juga rentan terhadap bencana alam. Bencana alam
yang sering terjadi di Wilayah pesisir adalah tsunami, banjir, erosi, dan badai.
a. Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang tsu = pelabuhan, dan nami = gelombang.
Tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini
dikenal dan baku secara umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai
gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan
impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti terjadinya gempa bumi, erupsi vulkanik,
atau oleh land-slide (longsoran). Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya
impulsif ini bersifat transien yaitu gelombangnya bersifat sesar. Gelombang semacam
ini berbeda dengan gelombang laut lainnya yang bersifat kontinyu, seperti gelombang
laut yang ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang
ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang tsunami berkisar antara
10-60 menit (e.g. Barber, 1969).
Gelombang tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai
mencapai 100 km. Kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai antara
500 sampai 1000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami ini sangat tergantung dari
kedalaman laut dan penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer.
Apabila tsunami mencapai pantai, kecepatannya dapat mencapai 50 km/jam dan
68
energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Tinggi tsunami dapat
mencapai 30 m. Dampak negatif yang diakibatkan adalah dapat menyebabkan
genangan, kontaminasi air asin pada lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Disamping
itu dapat merusak bangunan, prasarana dan tumbuh-tumbuhan, dan dapat
mengakibatkan korban jiwa manusia.
Indonesia merupakan satu kawasan yang terletak pada daerah pertemuan tiga
lempeng (triple junction plate convergence) yaitu lempeng eurasia, lempeng samudera
pasifik dan lempeng India-Australia yang masing-masing bergerak ke barat dan ke utara
relatif terhadap eurasia. Dengan demikian Indonesia merupakan daerah yang secara
tektonik sangat labil dan termasuk salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka
bumi. Akibatnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat
kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika
Serikat (Arnold 1986). Gempa-gempa tersebut sebagian berpusat di dasar Samudra
Hindia, dan beberapa dapat memicu terjadinya gelombang laut yang besar yang disebut
tsunami (e.g. Van dom, 1986).
Tsunami yang terjadi di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh gempa-
gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito,
1994). Selama kurun waktu 1600 – 1999 terdapat 105 kejadian tsunami yang mana 90%
disebabkan oleh gempa-gempa tektonik, 9 % disebabkan oleh letusan gunung api, dan
1 % disebabkan oleh landslide (Latief et al, 2000).
Daerah rawan tsunami di Indonesia terdapat di 89 lokasi (Ismail, S, 1982 dan
Kertapati, 1991). Tsunami paling besar di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah
tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau (1883) dimana gelombang Tsunami
mencapai 30 m. Kejadian tsunami yang juga membawa korban jiwa dan material yang
tidak sedikit, yaitu tsunami Flores (1992) (korban jiwa lebih dari 900 orang), tsunami
akibat gempa bumi di selatan Jawa Timur (1994) (korban jiwa lebih dari 240 orang),
Irian Jaya (1996) (korban jiwa lebih dari 100 orang) dan lain-lain.
Laut Maluku daerah yang paling rawan tsunami. Kurun waktu dari tahun 1600
– 2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami dimana 28 tsunami diakibatkan oleh
gempa bumi dan 4 tsunami diakibatkan oleh meletusnya gunung api di bawah laut.
Tsunami di daerah ini memberikan kontribusi 31 % dari total tsunami di Indonesia.
Rata-rata interval waktu kejadian tsunami adalah 10 tahun.
69
Tabel 11. di bawah ini disajikan sebagian data tentang tinggi tsunami dan jumlah korban
yang dialami oleh bencana tsunami di Indonesia dari tahun 1961-1998.
Tabel 11. Kejadian Tsunami di Indonesia dari tahun 1961-1998
No. Tahun Pusat
Gempa
Run-Up
Maks (m)
Jumlah
Korban
(meninggal/
luka)
Daerah Bencana
1. 1961 8,2 LS;
122BT Tak ada data 2/6
NTT, Flores Tengah
2. 1964 5,8 LU; 95,6
BT Tak ada data 110/479
Sumatra
3. 1965 2,4 LS; 126
BT Tak ada data
71
meninggal
Maluku, Seram, Sanana
4. 1967 3,7 LS;
119,3 BT Tak ada data 58/100
Tinambung Sulsel
5. 1968 0,7 LU;
119,7 BT 8 - 10
392
meninggal
Tambu Sulteng
6. 1969 3,1 LS;
118,8 BT 10 64/97
Majene Sulsel
7. 1977 11,1LS;
118,5BT Tak ada data
316
meninggal
NTB, Pulau Sumbawa
8. 1977 8 LS; 125,3
BT Tak ada data 2/25
NTT, Flores, P. Atauro
9. 1979 8,4 LS;
115,9 BT Tak ada data 27/200
NTB, Sumbawa, Bali,
Lombok
10. 1982 8,4 LS; 123
BT Tak ada data 13/400
NTT,Larantuka
11. 1987 8,4 LS;
124,3 BT Tak ada data 83/108
NTT, Flores Timur, P.
Pantar
12. 1989 8,1 LS;
125,1 BT Tak ada data 7 meninggal
NTT, P. Alor
13 1992 8,5 LS;
121,9 BT 11,2 – 26,2 1952/2126
NTT,Flores, P. Babi
14. 1994 10,7LS;
113,1 BT 19,1 38/400
Banyuwangi Jatim
15. 1996 1,1 LS;
118,8 BT Tak ada data 3/63
Tambu Sulteng
16. 1996 0,5 LS; 136
BT 13,7
107
meninggal
P. Biak, Irian Jaya
17. 1998 2,02LS;
124,87BT 2,75
34
meninggal
Tabuna Maliabu
Maluku
18 2004
2.9 L.U-95.6
BT
3.4 LU –
94.7 BT
Aceh Sumatra Utara
19 2006 Pangandaran Pantai
Selatan Jawa Tengah
Sumber: Mass media dan berbagai sumber
70
b. Banjir
Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih merupakan
masalah yang belum dapat diselesaikan. Berhubung fungsi kota-kota pantai sebagi
pusat pertumbuhan perekonomian maka masalah banjir ini menjadi pemikiran dan
keprihatinan pemerintah, karena sangat mempengaruhi tata kehidupan baik dari segi
ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah
campur tangan manusia, sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada
masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan
dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan gejala
alam adalah karena umumnya kota-kota pantai terletak di pantai berupa dataran yang
cukup landai dan dilalui oleh sungai-sungai dan ketika pasang sebagian di bawah
permukaan air laut. Disamping juga dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi.
Fenomena kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise) juga merupakan sebab yang
mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Hal tersebut dikarenakan
oleh pembendungan akibat kenaikan paras air laut serta bertambahnya intensitas curah
hujan karena pemanasan global.
Mengenai ulah campur tangan manusia (anthropogenic) disebabkan karena
pengembangan kota yang sangat cepat akan tetapi belum sempat atau mampu
membangun sarana drainase, adanya bangunan-bangunan liar di dalam sungai, sampah
yang dibuang di saluran dan sungai yang mengganggu aliran sungai, penggundulan di
daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daya
resap tanah di daerah tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan aliran
permukaan (surface run-off) berupa banjir. Adanya reklamasi pantai di daerah rawa-
rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai daerah tampungan
sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi juga mengakibatkan aliran sungai
makin lambat. Karena kecepatan berkurang maka laju sedimentasi di muara akan
bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan
muara menimbulkan efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada gilirannya
meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampang sungai yang terlampaui oleh
debit sungai. Penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibatkan land subsidence
(penurunan tanah) sehingga memperbesar potensi banjir.
Berbagai masalah yang diakibatkan banjir antara lain hilangnya rumah,
infrastruktur dan sebagainya, hilangnya produksi pertanian, hilangnya produksi
71
tambak, perubahan habitat pesisir, peningkatan erosi dan peningkatan sedimentasi.
Sementara daerah pesisir rawan banjir di Indonesia meliputi pantura Jawa, Lampung,
Palembang, Aceh, Sumatra Barat, Manado, Minahasa, dan Pulau Sumbawa.
5.2. Masalah Sosial Ekonomi
5.2.1. Masalah Kemiskinan Penduduk Wilayah Pesisir
Salah satu masalah sosial yang dominan yang dihadapi di wilayah pesisir adalah
masalah kemiskinan. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat
antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir. Tekanan terhadap sumberdaya
pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut.
Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran (vicious circle) dimana penduduk yang
miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula
yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Oleh karenanya, salah satu
aspek dalam pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah bagaimana mencarikan
alternatif pendapatan di wilayah tersebut sehingga mengurangi tekanan penduduk
terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari sebagian penduduk miskin di Indonesia,
sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah pesisir. Meski data yang akurat mengenai
jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil
penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa wilayah pesisir.
Sebagai contoh hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia
menunjukan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp
82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per
kapita, angka tersebut ekivalen dengan rata-rata Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita
per bulan. Angka tersebut misalnya masih dibawah upah minimum regional yang
ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama sebesar Rp 95.000 per bulan.
Dengan kondisi pendapatan penduduk pesisir yang masih di bawah garis
kemiskinan tersebut, tidaklah mengherankan jika praktek perikanan yang merusak
(destructivefishing practice) masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka
dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh
lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari
penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan
(Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit
72
untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistim pesisir tanpa memecahkan masalah
kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
5.2.2. Kurangnya Pemahaman terhadap Nilai Sumberdaya Wilayah Pesisir
Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir juga tidak terlepas dari
rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya dari sumberdaya
pesisir secara keseluruhan. Selama ini, pemahaman masyarakat terhadap nilai
sumberdaya pesisir seperi perikanan, terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya
lebih kepada penilaian sumberdaya tersebut untuk pemanfaatan konsumsi langsung.
Sedikit sekali masyarakat pesisir yang memahami pemanfataan sumberdaya alam untuk
kepentingan non-konsumptif seperti penahan banjir, estetika, pemanfaatan untuk obat-
obatan dan sebagainya, yang terkadang nilai moneter non-konsumptif tersebut jauh
lebih besar dari nilai konsumptif. Hasil survey yang dilakukan oleh Proyek Pesisir
misalnya menunjukkan 99% masyarakat menyatakan bahwa sumberdaya kelautan
hanyalah ikan, sementara yang menyatakan bahwa mangrove merupakan sumberdaya
pesisir hanya 4%. Demikian juga mengenai pandangan terhadap sumberdaya laut dan
pesisir sebagian besar masyarakat (lebih dari 90%) menyatakan bahwa sumberdaya
alam tersebut hanyalah merupakan sumber pangan untuk digunakan secara individu,
sementara hanya sebagian kecil saja (2%) yang menyatakan bahwa sumberdaya laut
dan pesisir dapat digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan dan kegunaan lainnya.
Sikap keseluruhan terhadap sumberdaya kelautan ditunjukkan oleh rendahnya
kepedulian terhadap sumberdaya kelautan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa,
hanya sepertiga masyarakat yang menyatakan bahwa mereka peduli untuk melindungi
sumberdaya kelautan.
Ekstraksi sumberdaya alam oleh masyarakat pesisir juga masih menyisakan
limbah yang tidak dimanfaatkan secara ekonomis. Kurangnya pemahaman terhadap
nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada ekstraksi yang cenderung berlebihan
(overexploitative) dan kurang ramah lingkungan, seperti halnya penggunaan bom dan
racun cyanide Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Proyek Pesisir yang menunjukan
bahwa bagi sebagian masyarakat masalah utama yang dihadapi adalah masalah
pengangguran, sementara masalah lingkungan hanyalah merupakan masalah yang
minor (hanya 11% responden yang menjawab bahwa lingkungan merupakan
kepedulian masyarakat). .
73
5.3. Masalah Kelembagaan
5.3.1. Masalah Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan
penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya
memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau
terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir
dan lautan karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor
yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya
hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara
berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak
adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi
sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir. Setiap pihak yang berkepentingan
mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir.
Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik
pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional
conflict) (Cincin-Sain and Knetch 1998).
Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah
Kapuk Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan
golf dan pemukiman mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara
kepentingan untuk konservasi dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di
perairan Taman Nasional Bunaken, sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi
ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang
melakukan snorkelling dan scuba diving. Pengembang bertujuan membangun kota
pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau Manado Tua dan Bunaken,
sementara Balai Pengelola Taman Nasional Laut Bunaken ingin mengkonservasi
keanekaragaman hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan dan
sasaran tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya. Perencanaan dari berbagai sektor ini sering
tumpang-tindih dan masing-masing berkompetisi memanfaatkan ruang yang sama.
Tumpang-tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber ini memicu
munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan konflik kewenangan antar
instansi yang berkepentingan (Putra 1998).
Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama
makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Untuk melihat lebih jauh
74
fenomena tersebut, telah dilakukan observasi di Sulawesi Utara, mengenai tumpang
tindih atau kesenjangan antara maksud, tujuan, sasaran dan rencana masing-masing
instansi swasta dan masyarakat. Diikuti dengan in-depth interview terhadap key
respondens, di lokasi yang diperkirakan konflik terjadi dan korelasinya dengan kondisi
SD pesisir sekitarnya (Putra 2000).
Berdasarkan studi tersebut dapat ditemukan bahwa Konflik Pemanfaatan SD
pesisir dan jasa lingkungan (marine resources and environmental services) muncul di
Teluk Manado dan daerah pesisir lainnya di Sulawesi Utara. Konflik antara nelayan
tradisional dengan pengusaha budidaya mutiara di perairan Pulau Talise. Konflik antara
pengelola pariwisata, pengelola TNL Bunaken, nelayan serta pengembang reklamasi
pantai di Teluk Manado.
Salah satu masalah mendasar, pihak yang berkepentingan sering kurang jelas
dalam menjabarkan konsep pemilikan dan penguasaan SD pesisir dan kurang
memperhatikan sistem pengelolaan yang bersifat tradisional. Secara defacto, penduduk
pesisir setempat merasa bahwa lahan dan SD pesisir disekitarnya adalah milik mereka,
yang dikelola secara tradisional turun temurun. Tetapi secara dejure, UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat
dalam perairan Indonesia adalah milik pemerintah pusat. Dalam skala tertentu
pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga
timbul kerancuan (ambiguity) bahwa disatu sisi SD pesisir dianggap milik kelompok
penduduk (common poperty), tetapi disisi lain dianggap milik pemerintah (sate
property). Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of
property regimes) ini mendorong timbulnya konflik kewenangan (jurisdictional
conflict) dan konflik pemanfaatan (user conflict).
Konflik pemanfaatan lain pernah terjadi di Makassar antara nelayan dengan
pemerintah kota. Dalam kesadaran nelayan, meskipun tidak ada ketentuan hukum
tertulis yang mengatur mereka dalam hubungannya dengan bagang, tetapi kebiasaan
turun-temurun merupakan sesuatu yang pantang untuk dilanggar. Memang belum ada
pengalaman bagaimana sanksi dijatuhkan apabila ada di antara nelayan yang melanggar
kebiasaan turun-temurun tersebut, tetapi secara hipotetik mereka yakin si pelanggar
kebiasaan akan menerima sanksi dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan
hidup sehari-hari, termasuk pada aktivitas di laut.
Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan hipotetis tentang hukum
yang akan dijadikan dasar penyelesaian konflik, segenap responden menjawab bahwa
75
dasar itu adalah kebiasaan turun-temurun. Demikian juga ketika ditanyakan mengenai
cara penyelesaian konflik, mereka berpendapat bahwa pertama-tama akan diusahakan
diselesaikan di antara mereka yang berkonflik, baru kemudian melibatkan pihak lain
sebagai juru damai, jika konfliknya berlanjut. Seterusnya, para responden berkeyakinan
bahwa konflik akan selesai, paling jauh pada tingkat kedua (melibatkan juru damai).
Jawaban hipotetik tersebut, mengindikasikan bahwa dalam benak para nelayan,
penyelesaian melalui pengadilan merupakan suatu alternatif yang hampir tak
terpikirkan.
Secara konseptual, cara penyelesaian konflik yang dikemukakan responden
tersebut, dapat disebut negosiasi dan mediasi. Negosiasi merupakan salah satu bentuk
penyelesaian konflik melalui pembicaraan langsung, sedang mediasi melalui
pembicaraan tidak langsung atau dengan bantuan pihak ketiga (Kriekhoff, 1993).
Lebih jauh, jawaban hipotetik itu dapat juga diberi makna bahwa masyarakat
nelayan secara kultural sesungguhnya memiliki cara tersendiri dalam mengelola dan
menyelesaikan konflik yang muncul di tengah-tengah mereka. Meskipun institusi
tradisional sudah runtuh, ternyata tidak berarti otomatis dapat tergantikan oleh institusi
formal dari negara. Salah satu contohnya adalah konflik antara pemilik bagang dengan
Pemda kota Makasar.
Makassar mengeluarkan Surat Edaran Nomor 601/106/S.Edar/T.PEM
tertanggal 15 Desember 1994, yang intinya tidak memperkenankan mendirikan bagang
di sepanjang aliran Sungai Tallo. Tanggal 10 Januari 1995 Camat Tallo mengumpulkan
para nelayan untuk diberikan pengertian agar bersedia membongkar bagang mereka
masing-masing, tanpa ganti rugi dan tanpa jalan keluar lainnya. Memenuhi prioritas
tersebut ada 15 unit bagang yang dibongkar secara sukarela oleh pemiliknya sendiri,
tetapi sebagian besar (78 unit) bagang tetap dipertahankan oleh pemiliknya. Alasan
mereka yang bertahan tidak membongkar bagang-nya, adalah mereka mendirikan
bagang tersebut, dengan tidak melanggar hukum (kebiasaan turun-temurun). Padahal,
menurut versi pemerintah, para pemilik bagang di sepanjang aliran dan muara Sungai
Tallo mendirikan bagang-nya tanpa terlebih dahulu meminta izin dari pemerintah. Atau
dengan kata lain, di mata pemerintah daerah, segenap nelayan pemilik bagang telah
melanggar hukum, dan karenanya pantas mendapatkan sanksi. Pada tanggal 16 dan 17
Januari 1995, 62 unit bagang, yang tetap dipertahankan oleh pemiliknya, dibongkar
paksa atas perintah walikota. Tim yang melakukan operasi pembokaran terdiri atas
petugas ketertiban umum, anggota TNI Angkatan Laut, dan anggota TNI Angkatan
76
Darat. Dalam menjalankan operasi pembongkaran, tim menggunakan kapal pandu
angkatan laut. Bagang-bagang tersebut, ditarik ke tengah laut. Tiga bulan kemudian, 16
unit bagang sisanya mengalami nasib yang sama.
Meskipun mereka kemudian mendapatkan pendampingan dari Lembaga
Bantuan Hukum Makassar, tetapi upaya-upaya yang mereka tempuh tidak mengarah ke
penyelesaian melalui pengadilan. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan
pemerintah daerah bahwa pendirian bagang-bagang itu tidak melanggar hukum. Bahwa
belakangan mereka menyebut-nyebut ketentuan perundang-undangan, dapat dipastikan
argumentasi itu berasal dari pendamping mereka. Demikian pula ketika akhirnya
mereka menuntut ganti rugi kepada pemerintah daerah.
Sebagai contoh adalah Konflik Kewenangan di Provinsi Sulawesi Utara dan
derah lainnya, terutama sejak ditetapkannya perairan pulau-pulau Bunaken menjadi
Taman Nasional Laut (TNL) tahun 1991. Konflik kewenangan muncul antara
pemerintah Pusat c.q. Ditjen PHPA dengan Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pariwisata di
TNL Bunaken. Dalam kasus ini Pemerintah Daerah merasa bahwa daratan pulau-pulau
di perairan Bunaken serta masyarakatnya di bawah kewenangan Pemda Sulut, sesuai
dengan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Namun di pihak
lain, setelah pulau-pulau Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional, maka
kewenangan pengelolaan sumberdaya hayati lautnya berada dibawah Departemen
Kehutanan.
5.3.2. Masalah Ketidakpastian Hukum
Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya pesisir (Bromley dan Cernea 1989). Biasanya sumberdaya
pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property resources), tetapi berdasarkan
UUD 45 pasal 33 menyatakan bahwa semua sumberdaya termasuk sumberdaya
perairan Indonesia adalah milik pemerintah (state property), sehingga Pemerintah
memberikan izin pemanfaatan kepada pihak investor yang memenuhi persyaratan.
Investor tersebut mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk memenuhi
kepentingannya atau mendapatkan keuntungan jangka pendek. Jika tidak maka pihak
lain (intruders) yang mengangap sumberdaya tersebut open access akan
mengeksploitasinya. Tidak ada insentif bagi investor untuk melestarikannya, sehingga
dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir terjadi the tragedy of the commons (Hardin,
1968). Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme pemanfaatan sumberdaya
77
pesisir di wilayah yang menjadi stae property, tetapi juga mengakui hak-hak ulayat
(common poperty) atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat adat yang
melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan incremental
benefit dari upaya mereka melestarikannya.
Konflik antara UU versus hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah
perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, status
perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya, masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumberdaya di
sekitar desanya sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang
telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Ironisnya pemberlakuan berbagai
undang-undang lainnya yang memberikan mandat bagi instansi pemerintah dan izin
pengelolaan bagi swasta membuat sumberdaya tersebut diklaim sebagai milik pribadi
(quasy private property). Ketidakpastian pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini
melemahkan mekanisme pengelolaan yang bersifat tradisional dan mendorong
terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access.
Selain itu norma-norma hukum yang ada dalam berbagai undang-undang, yang
seharusnya memberikan kepastian bagi instansi-instansi pemerintah dan masyarakat,
yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh dapat disebut UU No. 24/1992 dan UU
No. 32/2004./ UU 23/2014 Di dalam UU No. 26/2007, kewenangan penataan ruang laut
harus diatur dengan UU (Pasal 9) dengan kewenangan terbesar ada pada pemerintah
pusat (sentralistik). Sebaliknya, UU No. 23/2014 serta merta menyerahkan kewenangan
penataan ruang laut (sejauh 12 mil) sepenuhnya ke daerah (Pasal 18).
Perubahan yang terlalu ekstrim tersebut berpotensi besar menimbulkan konflik
kewenangan baru, di antaranya, konflik antara berbagai tingkatan pemerintahan (pusat,
Provinsi, dan kabupaten/kota) serta konflik pemanfaatan antara pengguna sumberdaya
dari daerah yang berbeda (misalnya, konflik antara nelayan Jawa Tengah dan Jawa
Timur).
Bentuk ketidakpastian hukum yang lain adalah peraturan pelaksanaan yang
tidak konsisten dan ketiadaan peraturan hukum sama sekali (kekosongan hukum). Salah
satu contoh dari peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten itu adalah peraturan yang
berkaitan dengan hak ulayat. Di dalam UU No. 5/1960, hak ulayat (termasuk hak ulayat
laut) diakui eksistensinya (Pasal 3), tetapi peraturan pelaksanaannya justru
mengingkarinya (PP No. 24/1998).
78
Sementara itu, kekosongan hukum juga telah menyebabkan ketidakpastian
hukum. Misalnya, penguasaan bagian-bagian tertentu dari wilayah pesisir untuk usaha
budidaya laut dan pengelolaan pulau-pulau kecil, yang hingga saat ini belum ada
peraturannya sama sekali. Padahal, pada kenyataannya, kedua kegiatan tersebut sangat
memerlukan perlindungan hukum, sebab selain mempunyai nilai ekonomi yang relatif
tinggi juga berkaitan dengan kelestarian sumberdaya wilayah pesisir.
79
BAB VI
KAJIAN HUKUM SERTA KONVENSI INTERNASIONAL YANG TERKAIT
DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
6.1. Pengantar
6.1.1. Landasan Hukum Penyusunan Rancangan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir
1. Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa "bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ".
Sejalan dengan amanat UUD 1945 tersebut, maka pengelolaan wilayah pesisir
diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu pengelolaan wilayah pesisir
diarahkan guna memberdayakan masyarakat setempat serta memperluas lapangan
kerja.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, menyatakan “Mendayagunakan sumber daya
alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang
pengusahaannya diatur dengan UU”.
Pengelolaan sumber daya alam khususnya di wilayah pesisir di samping pengelolaan
sumber daya lainnya, merupakan kegiatan pokok yang harus dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya degradasi lingkungan dalam program Penataan Kelembagaan dan
Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan
Hidup.
3. UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Th. 2000-
2004, khususnya Bab X Pembangunan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
angka 4 Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan :
80
“Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) Penyusunan UU Pengelolaan Sumber Daya
Alamberikut perangkat peraturannya; (2)……dst.
Amanat pengelolaan sumber daya khususnya di wilayah pesisir didorong oleh
kenyataan meningkatnya kerusakan lingkungan serta makin menipisnya sumber daya
alam yang dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengelolaan sumber daya alam wilayah
pesisir yang bersifat sektoral, padahal ciri sumber daya alam itu bersifat holistik dan
saling terkait. Kedua, peraturan perUUan yang terkait dengan pengelolaan wilayah
pesisir tidak memberikan dasar bagi perlindungan fungsi lingkungan dan masyarakat
adat/lokal. Ketiga, lemahnya kelembagaan dalam mencegah kerusakan sumber daya
publik non-komoditas (intangible product) seperti daerah aliran sungai (watershed),
kawasan lindung, danau dan sebagainya. Keempat, lemahnya kelembagaan dalam
penataan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
6.1.2. Pengaturan Sektoral yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan-kegiatan yang diatur dalam
peraturan perUUan sektoral diantaranya sektor pertanahan, pertambangan,
perindustrian dan perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian serta sektor
kehutanan.
Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir,
telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba
membuat peraturan perUUan untuk mengelola sumberdaya alam atau jasa-jasa
lingkungan pesisir sesuai dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada
peningkatan pendapatan asli daerahnya. Demikian pula, ada kecenderungan daerah
akan membuat peraturan-peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-
masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan
melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan
berkepentingan dengan wilayan pesisir (stakeholders).
Dengan demikian diperlukan UU dan Peraturan Daerah yang dapat mencakup
berbagai aspek sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang bertujuan untuk :
a. Memperkecil benturan;
b. Mengatur hal yang sebelumnya belum diatur; serta
c. Dalam rangka pelaksanaan konvensi internasional yang relevan.
81
6.1.3. Otonomi daerah
Dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah melalui
peningkatan pemberdayaan Daerah di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir demi
peningkatan kesejahteraan rakyat lokal, meningkatkan peran Swasta Nasional dalam
kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir, meningkatkan peranserta masyarakat lokal.
Memberda-yakan usaha kecil dan Koperasi dalam rangka pemerataan kemakmuran dan
kesempatan berusaha dan upaya mengurangi dampak negatif dari kegiatan pengelolaan
wilayah pesisir.
Untuk menjadikan usaha pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih dapat
memberikan beragam manfaat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya tatanan
hukum guna mendorong kinerja pemerintahan daerah. Selain itu tatanan hukum
tersebut harus dapat melandasi kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir dalam iklim
yang kondusif dan mampu meningkatkan daya saing usaha, hubungan antar daerah,
pusat maupun internasional, sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang
tinggi.
6.1.4. Pendekatan Global
Mengingat daerah juga dimungkinkan berkerjasama dengan lembaga-lembaga
asing dan memanfaatkan dana-dana internasional maka perlu dikembangkan
pengaturan yang baru sebagai landasan hukum kewenangan daerah sesuai dengan
mekanisme hukum yang tercermin dalam UU No. 32/1004.
Selain itu perlu diatur kewenangan daerah untuk melaksanakan bagian-bagian
tertentu dari ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konvensi internasional
sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut berada di kawasan pesisir.
6.2. Karakteristik Sektoral
Pengaturan sektoral yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir,
masing-masing memiliki karakateristik. Peraturan sektoral ini sering menimbulkan
benturan kepentingan antar sektor dan peraturan tersebut belum menampung hal-hal
yang menyangkut pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Karakteristik peraturan sektor
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
6.2.1. Sektor Pertanahan
Pada sektor ini terdapat UU No. 5/1960 yang lebih dikenal dengan UUPA (UU
Pokok Agraria). Di dalam UUPA ini diatur mengenai hak menguasai oleh Negara atas
82
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu,
juga diatur hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak atas air. Hak atas tanah mencakup
Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai
(HP), sedangkan hak atas air adalah Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI).
Hak Menguasai oleh Negara tersebut, memberikan kewenangan untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai oleh Negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah dan masyarakat hukum adat (Pasal 2). Artinya, kewenangan-kewenangan
pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir, dapat
didesentralisasikan, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat adat.
Di dalam UU tersebut pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak sejenisnya dari
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada serta tidak bertentangan
dengan kepentingan Negara dan peraturan perUUan yang lebih tinggi, diakui
eksistensinya.
Sementara itu, hak-hak atas tanah yang berkaitan dengan penguasaan
sumberdaya wilayah pesisir adalah HM , HGU, HGB, HP, sedangkan hak atas air
adalah HPPI.
6.2.2. Sektor Pertambangan
UU pertambangan bernuansa sentralistik, terutama yang berkaitan dengan
penguasaan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum
di mana semua ditetapkan oleh Menteri, sehingga tidak memberi ruang bagi partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan
pertambangan. Selain itu, karena pengelolaan pertambangan berorientasi pada investor
dengan kapital besar, maka UU pertambangan belum memberi ruang bagi pengelolaan
tambang oleh masyarakat setempat.
83
Dalam konteks pemberian perijinan usaha tambang Pemerintah tidak memberi
peluang bagi partisipasi masyarakat dalam pemberian ijin dan transparansi dalam
pengambilan keputusan. Karena itu masyarakat terutama masyarakat adat tempat usaha
tambang beroperasi tidak pernah diberi informasi dan diminta persetujuannya
(informed-consent) sebelum ijin pertambangan diberikan kepada BUMN atau BUMD.
Ini berarti terjadi pengabaian atas hak-hak masyarakat setempat atas penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya tambang yang berada di atas tanah ulayat masyarakat
setempat.
Dari segi ekologi setiap usaha pertambangan pasti menimbulkan kerusakan
lingkungan tanah, air termasuk laut dan sumber daya alam hayati di dan sekitar
perusahaan tambang beroperasi. Kendatipun dalam pasal 30 UU Pertambangan diatur
mengenai reklamasi dan rehabilitasi, tetapi yang dimaksudkan hanya dalam kaitan
dengan kemungkinan penyakit yang ditimbulkan, bukan pada usaha untuk
mengembalikan fungsi lingkungan. Karena itu UU ini kurang berorientasi pada usaha
konservasi, rehabilitasi dan reklamsi lingkungan pantai.
6.2.3. Sektor Perindustrian dan Perhubungan
Pada sektor perindustrian terdapat UU No. 5/1984, yang mengatur bahwa
perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian
sumberdaya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap
lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya. Pemerintah mengadakan
pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan
pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup
akibat kegiatan industri.
Pada sektor perhubungan terdapat UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, yang
mengatur bahwa pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan
perairan, kepelabuhan serta keamanan dan keselamatannya. Pelabuhan adalah tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antara moda transportasi. Untuk
kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia, pemerintah menetapkan,
membangun, mengoperasikan, dan memelihara alur-alur pelayaran. Pemerintah juga
84
menetapkan alur-alur laut kepulauan untuk kepentingan yang sifatnya terus menerus,
langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
Penggunaan bagian tertentu daerah daratan dan/atau perairan untuk pelabuhan wajib
memenuhi persyaratan.
6.2.4. Sektor Pertanian
Pada sektor ini terdapat dua UU yang relevan yakni UU No. 12/1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
Di dalam UU Sistem Budidaya Tanaman diatur bahwa sistem budidaya tanaman
bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri,
eksport, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, serta mendorong perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman, mengatur
produksi budidaya tanaman tertentu serta menciptakan kondisi yang menunjang peran
serta masyarakat.
Sementara itu, di dalam UU Karantina ditetapkan perlunya tempat pengasingan
dan/atau tindakan sebagai upaya pencagahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit
atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam
negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Republik Indonesia.
6.2.5. Sektor Perikanan
Pada sektor ini terdapat UU No. 31/2004 yang mengatur mengenai wilayah perikanan,
yang mencakup perairan Indonesi, sungai,waduk, rawa, genangan air lainnya, dan
ZEEI. Di dalam wilayah perikanan tersebut, pemerintah melaksanakan pengelolaan
sumberdaya ikan (semua jenis ikan dan jenis biota perairan lainnya) secara terpadu dan
terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan beserta lingkungannya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Namun demikian, dengan kemajuan ilmu dan teknologi telah menyebabkan
munculnya kebutuhan hukum yang melebihi dari apa yang sudah diatur di dalam UU
Perikanan, di antaranya mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menjadi penting
mengingat wilayah pesisir merupakan salah satu faktor yang strategis di dalam
peningkatan produksi berbagai jenis ikan, khususnya jenis-jenis ikan/udang yang
85
mempunyai nursey ground dan spawning ground di wilayah pesisir. Di dalam wilayah
ini pula terdapat kebutuhan baru berupa hak penguasaan atas bagian-bagian tertentu
dari wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut.
6.2.6. Sektor Kehutanan
Pada sektor ini terdapat UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di dalam UU ini,
antara lain diatur mengenai penugasan hutan oleh Negara, kewenangan pemerintah
berkaitan dengan penguasaan hutan, status hutan, dan fungsi-fungsi hutan.
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 4 ayat 1). Penguasaan hutan oleh Negara tersebut memberi
wewenang kepada pemerintah untuk (Pasal 4 ayat 2) :
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan,
serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional (pasal 4 ayat 3).
Kewenangan Departemen Kehutanan yang menyangkut penyediaan lahan
kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya pertanian diatur dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dengan Menteri Kehutanan No. KB
550/246/kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Di dalam Pasal 3
SKB tersebut, antara lain, ditentukan bahwa penyediaan lahan kawasan hutan pantai
(mangove) untuk pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Penyediaan lahan kawasan hutan pantai untuk pengembangan usaha budidaya
perikanan diprioritaskan di luar Pulau Jawa.
2. Lahan kawasan hutan pantai (mangrove) yang merupakan Kawasan Suaka Alam,
Hutan Wisata dan Produksi yang ditetapkan untuk menunjang bahan baku kayu
86
industri chips, rayon, dan energi, serta lahan kawasan hutan pantai yang terletak di
pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2
tidak dapat disediakan untuk
pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan.
3. Jalur hijau hutan pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai dan tempat
berpijahnya biota laut tetap dipertahankan, yang lebarnya akan ditetapkan
berdasarkan penelitian ilmiah oleh lembaga atau instansi yang berwenang, dengan
ketentuan bahwa sampai belum adanya hasil penelitian yang dimaksud, maka lebar
jalur hijau pantai ditetapkan sejauh 200 meter.
6.2.7. Sektor Pariwisata
Pada sektor ini terdapatUU No. 9/1990 yang mengatur pengusahaan obyek dan
daya tarik wisata. Pengusahaan tersebut meliputi kegiatan membangun dan mengelola
obyek dan daya tarik wisata beserta sarana dan prasarana yang diperlukan atau kegiatan
mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada. Pengusahaan obyek dan daya
tarik wisata dapat dilakukan oleh badan usaha atau perorangan berdasarkan ijin.
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan
sumberdaya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sarana wisata. Masyarakat
memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan kepariwisataan (Pasal 30).
6.3. Konvensi Internasional
4.3.1. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut ini
ditandatangani di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada
tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan UU Nomor
17 Tahun 1985. Bahkan, beberapa ketentuan Konvensi yang berkaitan dengan wilayah
perairan suatu negara, telah ditindaklanjuti Indonesia dengan mengesahkan UU No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Ketentuan Pasal 308 ayat (1) Konvensi menyatakan bahwa Konvensi mulai
berlaku dua belas bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau tanda
tangan dari negara yang ke-60. Dengan demikian, konvensi tersebut sudah mulai
berlaku sejak tanggal 16 Nopember 1994 karena pada tanggal 16 Nopember 1993,
ratifikasi ke-60 oleh Guayana resmi didaftarkan (Sitepu, 1996).
87
Dalam konvensi ini, selain diatur mengenai batas-batas dari berbagai rezim kawasan
atau zona laut berikut hak-hak negara pantai atas zona-zona tersebut, secara khusus,
diatur pula mengenai ketentuan eksploitasi dan konservasi sumber daya hayati laut .
Secara spasial dari darat, zona-zona laut tersebut akan dijelaskan satu demi satu,
yang dimulai dengan perairan pedalaman.
a. Perairan pedalaman (nternal waters) adalah perairan pada sisi darat garis pangkal
laut teritorial (Pasal 8 ayat 1). Perairan ini dapat terletak di muara sungai, teluk, atau
di bagian-bagian perairan kepulauan yang sama sekali tidak diperlukan bagi
pelayaran internasional. Di perairan pedalaman ini, Indonesia sebagai negara pantai
memiliki kedaulatan wilayah yang penuh (territorial sovereignity) sebagaimana
halnya di darat, yaitu kedaulatan atas airnya, dasar laut dan tanah di bawahnya,
udara di atasnya, serta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal
2).
b. Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil ke arah laut yang
diukur dari garis pangkal, yaitu garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang
terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi negara pantai tersebut (Pasal 3 dan
5). Pada laut teritorial juga berlaku kedaulatan penuh negara pantai (Pasal2).
c. Perairan kepulauan (archipelago waters) adalah perairan yang berada di sisi dalam
garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
Negara pantai pun berdaulat penuh atas perairan kepulauan (Pasal 49). Berbeda
dengan perairan pedalaman, pada perairan kepulauan Indonesia terletak kewajiban-
kewajiban tertentu, diantaranya, berkaitan dengan sumber daya alam perikanan.
d. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil diukur
dari garis pangkal (Pasal 55 dan 57). Dalam wilayah ZEE, negara pantai antara lain
mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun
nonhayati, dari perairan di atas dasar laut, tanah di bawahnya serta berkenaan
dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona
tersebut, seperti produksi energi air, arus dan angin (Pasal 56 ayat 1a).
Di dalam wilayah ZEE, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk
membangun, mengusahakan dan mengatur pembangunan, operasi, dan penggunaan :
88
Pulau Buatan;
Instansi dan bangunan untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, serta untuk tujuan ekonomi
lainnya (Pasal 60).
Untuk kepentingan konservasi dan eksploitasi optimal, negara pantai
diharuskan menentukan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang dibolehkan
di ZEE, dengan didasari bukti-bukti ilmiah, serta harus melakukan tindakan-tindakan
untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan. Tindakan itu harus ditetapkan agar
populasi ikan berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari
(maximum sustainable yield) (Pasal 61).
Apabila negara pantai tidak mampu menangkap seluruh jumlah tangkapan yang
dibolehkan, maka kapal-kapal ikan asing harus diberi akses di ZEE agar dapat
mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang dibolehkan. Pemberian akses
tersebut, harus dengan perjanjian dan memperhatikan beberapa faktor, seperti hak-hak
khusus negara-negara yang tidak berpantai dan yang secara geografis tidak
menguntungkan (Pasal 62).
Khusus untuk jenis ikan yang berimigrasi jauh (highly migratory species),
negara pantai dan negara lain yang berwarganegaranya melakukan penangkapan ikan
jenis ini, menurut Lampiran 1 UNCLOS terdapat 17 jenis harus bekerja sama secara
langsung atau melalui organisasi internasional dengan tujuan untuk menjamin
konservasi dan pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di kawasan, baik di dalam
maupun di luar ZEE (Pasal 64).
Indonesia, melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, antara lain,
menetapkan sebagai berikut : Barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi
sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi
ekonomi, seperti pembangkit tenaga dari air ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari
Pemerintah Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional tersebut (Pasal 5 ayat
1);
Eksploirasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah ZEE
Indonesia dapat diizinkan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah
Indonesia melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya (Pasal 5 ayat 3).
89
Berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut International (UNCLOS, 1982)
Pasal 51 ayat (1), negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional”
(radiional fishing rights) dari nelayan negara lain. Menurut Hasjim Djalal, dalam
menetapkan kategori “hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa
ketentuan, sebagai berikut :
1. Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di
suatu perairan tertentu.
2. Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu.
3. Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu.
4. Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-
nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah
tersebut (Djalal, 1989).
6.3.2. Konvensi Marine Pollution (Marpol) 1973/1978
Tragedi kandasnya tanker Torrey Canyon di pantai Selatan Inggris pada tahun
1967 yang menumpahkan 35 juta gallon crude oil, telah membangkitkan kesadaran
masyarakat internasional tentang pentingnya suatu kerja sama untuk pencegahan
pencemaran laut. Hasilnya, pada tahun 1973, disepakati International Convention for
the Prevention of Pollution from Ships, yang kemudian disempurnakan dengan Tanker
Safety and Pollution Prevention, Protokol 1978, yang dikenal dengan nama Konvensi
Marpol 1973/1978. Konvensi Marpol telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No.
46 Tahun 1986.
Di dalam Konvensi Marpol ini, dalam garis besarnya, terbagi ke dalam dua
kategori, yakni:
1. Peraturan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran.
2. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan terjadinya pencemaran
mencakup :
(1) Kewajiban bagi kapal tanker memiliki salah satu di antara tiga sistem pencegahan,
yakni segregated ballast tanks (SBT), dedicated clean ballast tanks (CBT), dan
crude oil washing (COW) (Annex I Regulation 13);
(2) Pembatasan pembuangan minyak, antara lain, hanya boleh membuang minyak pada
areal sejauh lebih 50 mil dari darat dan kewajiban negara anggota untuk
90
mengeluarkan peraturan agar semua pelabuhan kapal tanker harus dilengkapi tangki
penampungan sisa atau campuran minyak di darat (Annex I Regulation 13);
(3) Monitoring dan kontrol pembuangan minyak dengan kewajiban setiap kapal tanker
untuk dilengkapi oily water separating equipment (bagi kapal ukuran > 400 GT
tetapi < 10.000 GT) dan oil filtering equipment yang dapat membatasi kandungan
minyak dalam air yang akan dibuang ke laut maksimum 15 ppm (parts per million)
(bagi kapal ukuran > 10.000 GT) (Annex I Regulation).
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut setiap kapal tanker yang
berukuran 150 GT atau lebih diwajibkan memiliki internasional oil pollution prevention
(IOPP) certificate (Annex I Regulation 4-5). Untuk mendapatkan sertifikat tersebut,
kapal harus melalui pemeriksaan secara berkala sesuai peraturan sebagai berikut :
Pemeriksaan permulaan untuk mengetahui bahwa kapal yang akan dipasarkan telah
memenuhi ketenuan Annex I yang berhubungan dengan struktur dan perlengkapan
kapal. Setiap kapal di bawah yurisdiksi Negara anggota IMO harus diperiksa secara
berkala paling kurang sekali dalam lima tahun. Selama masa berlakunya sertifika IOPP,
paling kurang harus dilakukan satu kali survei antarauntuk mempertahankan kondisi
kapal agar tetap dalam keadaan laik laut.Sewaku-waktu dapat dilakukan pemeriksaan
oleh petugas yang berwenang terhadap fasilitas dan sertifikat yang ada di atas kapal.
6.3.3. Konvensi Ramsar 1971 tentang Lahan Basah untuk Kepentingan Internasional
sebagai Habitat Burung Air
Konvensi ini diratifikasi dengan dengan Keppres No. 48/1991. Lahan basah
(wetlands) adalah daerah-daerah payau (marsh), paya (fen), tanah gambut (featland),
atau perairan (baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara,
dengan perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin, ataupun asin,
termasuk daerah-daerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter
pada waktu air surut. Adapun yang dimaksud burung air adalah burung-burung yang
secara ekologis bergantung pada lahan basah (Pasal 1).
Setiap anggota hendaknya menunjuk lahan basah yang baik/subur di dalam
derahnya untuk dicantumkan pada Daftar Lahan Basah Kepentingan Internasional.
Batas-batas setiaplahan basah hendaknya dibuat dan ditentukan dalam peta, serta batas-
batas tersebut boleh digabungkan antara daerah aliran sungai dengan zona-zona pantai
yan gberbatasab dengan lahan basah, serta dengan pulau-pulau atau bagian-bagian dari
91
perairan laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada waktu air surut, yang
terdapat di lahan basah, terutama apabila di situ terdapat kepentingan sebagai habitat
burung air. Lahan basah yang dipilih hendaknya dipandang dari segi ekologi, botani,
zoologi, limnologi atau hidrologi (Pasal 2).
6.3.4. Konvensi PBB 1992 tentang Keanekaragaman Hayati
Konvensi ini diratifikasi melalui UU No. 5/1994. Di dalam konvensi ini terdapat
ketentuan bahwa setiap negara wajib mengembangkan strategi, rencana, atau program
nasional untukkonservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman
hayati atau menyesuaikan strategi, rencana, atau program yang sudah ada untuk maksud
tersebut (Pasal 6).
Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib mengembangkan sistem
kawasan lindung yang memerlukan penanganan khusus untuk menkonservasi
keanekaragaman hayati; mengembangkan pedoman untuk menyesuaikan, pendirian,
dan pengelolaan kawasan lindung atau kawasan-kawasan untuk memerlukan upaya-
upaya khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati; mengatur dan mengelola
sumberdaya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati; dan
seterusnya (Pasal 8).
Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib memadukan pertimbangan
konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya alam hayati ke dalam
pengambilan keputusan nasional; melindungi dan mendorong pemanfaatan sumberdaya
alam hayati yang sesuai dengan praktek-praktek budaya tradisional, yang cocok dengan
persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan (Pasal 10).
6.3.5. Agenda 21 Global
Agenda 21 Global adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan telah diadopsi
oleh 178 negara, termasuk Indonesia. UNCED juga dikenal dengan Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi, diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni
1992 (Kuswartojo, 1996).
Agenda 21 Global terdiri atas empat bagian, yaitu sosial dan ekonomi,
pelestarian dan pengelolaan sumber daya, penguatan peran kelompok-kelompok utama,
dan sarara implementasi. Keempat bidang-bidang tersebut, keseluruhannya terdiri atas
40 pasal.
92
Dalam Pasal 3 mengenai kemiskinan, disepakati bahwa PBB dan negara-negara
anggotanya perlu memberikan prioritas utama pada usaha menanggulangi kemiskinan.
Meskipun disadari kemiskinan ditimbulkan oleh sedemikian banyak penyebab
sehingga tidak ada satu pun penyelesaian tunggal yang dapat memecahkan segala
masalah di tiap negara, tetapi disepakati bahwa salah satu cara yang patut
dipertimbangkan adalah pemerintah nasional dalam strategi pembangunannya,
memberikan lebih banyak tanggung jawab dan sumber daya kepada kelompok lokal
dan kaum perempuan.
Selanjutnya, dalam Bab 17 mengenai perlindungan dan pengelolaan lautan,
diakui bahwa lautan kini mengalami semakin banyak tekanan lingkungan karena
pencemaran, penangkapan ikan secara berlebihan, pelanggaran batas perairan oleh
armada-armada asing, degradasi ekosistem, dan penggunaan perlengkapan yang tidak
tepat sehingga dapat menangkap terlalu banyak ikan semakin banyak terjadi.
Pengetahuan tentang keadaan pasok ikan dalam laut, tidak memadai, dan terlalu sedikit
kerjasama internasional untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan di laut
lepas.
Sehubungan dengan keadaan laut tersebut, sejumlah strategi telah disepakati.
Empat di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan kebijaksanaan tentang pemanfaatan laut secara berkelanjutan, dengan
memeperhatikan kebutuhan masyarakat setempat dan penduduk asli.
2. Mengembangkan lebih banyak budi daya perairan dengan cara pemeliharaan ikan
dalam keramba-keramba di laut.
3. Memperkuat pengawasan dan pelaksanaan peraturan perikanan.
4. Mengurangi pemborosan dalam menangkap, menangani dan mengolah ikan, serta
memperkecil penangkapan spesies-spesies yang seringkali tidak dipakai.
6.4. Kewenangan Pengelolaan
6.4.1. Otonomi Daerah
Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan & keleluasan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 UU Dasar 1945 menyatakan
bahwa daerah Indonesia tebagi atas daerah besar dan kecil. Dengan demikian
penyelenggaraan otonomi daerah mempunyai landasan kuat dengan diberikannya
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.
93
Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang dirubah dengan UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pada dasarnya seluruh
kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, oleh karena itu
penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif tapi dilakukan melalui
pengakuan oleh pemerintah.
Kewenangan daerah tersebut meliputi kewenangan mengelola sumber daya
nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungannya sesuai dengan peraturan perUUan. Adapun sumber daya nasional yang
dimaksud meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia serta sumber daya buatan.
Pasal 18 UU No.23 tahun 2014 menyatakan bahwa wilayah daerah Provinsi
terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut, yang diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan kewenangan
Pemerintah Kabupaten dan Kota meliputi sepertiga dari wilayah laut daerah Provinsi,
atau sejauh 4 mil laut dari garis pantai, telah diserahkan ke Provinsi.
Adapun kewenangan pemerintah daerah di wilayah laut tersebut meliputi
kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam, dan
tanggung jawab untuk melestarikannya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
khusus untuk penangkapan ikan secara tradisional, tidak dibatasi wilayah laut.
Ketentuan “secara tradisional” tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan dalam hal
tidak adanya kriteria yang jelas secara formal terhadap kegiatan penangkapan ikan
secara tradisional. Hal ini menimbulkan peluang bagi pemerintah daerah untuk
memformalisasikan kriteria penangkapan secara tradisional tersebut dalam bentuk
peraturan daerah sesuai dengan kriteria, tata nilai serta karakteristik daerahnya masing-
masing.
UU No.23/2014 menyatakan bahwa ketentuan peraturan perUUan beserta
peraturan pelaksananya yang berbentuk instruksi, petunjuk atau pedoman dan
dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah yang ada, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan otonomi daerah dinyatakan masih berlaku dan
dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Ketentuan ini berlaku juga terhadap peraturan
perUUan relevan dengan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana telah dibahas pada
bagian sebelumnya.
Kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dalam hal penyelenggaraan otonomi
daerah secara luas dan utuh pada dasarnya diletakan pada daerah kabupaten atau kota
94
sedangkan pelaksanaan otonomi untuk daerah Provinsi merupakan otonomi yang
terbatas.
Kewenangan pemerintah Provinsi dalam hal pengelolaan wilayah pesisir hanya
terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan menghindari
konflik kepentingan antar kab./kota serta kewenangan yang tidak/belum dapat
dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Adapun kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumber daya,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah sebagai daerah otonom, dinyatakan terbatas pada
penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dengan
ketentuan pelaksanaan: Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas
bangsa dan negara;
a. Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;
b. Menjamin efektifitas pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut dan
skala nasional;
c. Menjamin keselamatan fisik dan non-fisik secara setara bagi semua warga negara;
d. Menjamin supremasi hukum nasional.
6.4.2. Perimbangan Keuangan
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional
yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan
Daerah.
Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain
penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan
daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Sedangkan dana
perimbangan dapat bersumber dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dana penerimaan dari sumber daya alam,
yang merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi
daerah penghasil. Selain itu dana perimbangan juga dapat berasal dari dana alokasi
umum dan dana alokasi khusus. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan
95
pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi,
jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan
antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana
alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus
daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam,
kepada daerah dapat dialokasikan Dana Darurat.
Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir memerlukan pendanaan yang
proporsional sehingga daerah kabupaten/kota dapat memanfaatkan alokasi sumber-
sumber pembiayaan dalam rangkadesentralisasi tersebut. Apabila dalam pengelolaan
wilayah pesisir, meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten/kota, maka pembiayaannya
melibatkan dana alokasi untuk daerah Provinsi. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dapat optimal ditunjang dengan sumber daya nasional (sumber daya
alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan) serta pembiayaan.
6.5. Hak Masyarakat Adat (Tradisional)
6.5.1. Pengakuan Hak Ulayat Laut
Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas
tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang “komunalistik, religius,
yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono,
1997).
Hak ulayat memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu :
1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hak ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan
segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam
bidang hukum perdata, adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan,
sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam
lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i
96
oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada
tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono, 1997).
Konsekuensi dari tidak adanya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan
hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum baik yang bersifat perdata maupun
publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu
sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat
laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk
sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.
Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya seperti
tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan
secara tradisional di Sulawesi Utara yang disebut bagang (Saad, 2000).
6.5.2. Hak Kepemilikan Masyarakat Adat (Marinetenure Right and Property Rights)
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-
kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan
kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial , politik, alamiah,
budaya dan agama dari kehidupan masyarakat adat.
Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak
hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari
masyarakat tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu
bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat
mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta sumber
daya alam di dalamnya.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola
wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi
besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar, termasuk dari negara.
Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajiban mereka
jauh bahkan sebelum negara itu ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah
laut dan pesisir bukan atas pemberian negara melainkan secara alamiah merupakan
bagian dari legenda dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka
diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.
Hak kepemilikan dari masyarakat adat menekankan pada 3 elemen mendasar
yaitu :
97
1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
2. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.
3. Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan
negara yang berdampak pada nasib masyarakat adat itu sendiri.
Saat ini hubungan antara sumber daya laut dan pesisir dengan kewenangan
pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah
dan pembuat kebijakan. Selain itu beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan
dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan
walaupun hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum
lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber
daya laut dan pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah
dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah
pusat kepada daerah, merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta
mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh
masyarakat adat walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.
6.6. Masalah Krusial yang Perlu Diatur
Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan dan konvensi yang
telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah
pesisir, maka dijumpai empat permasalahan hukum yang krusial, yaitu :
6.6.1. Konflik antar Undang-Undang
Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan
laut. Di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa
penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU
No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut
sejauh 12 mil merupakan kewenangan Provinsi (Pasal 18).
Demikian pula, konflik serupa terjadi antara UU Pertambangan dengan UU
Konservasi. Di satu sisi, UU Pertambangan mengklasifikasi bahan galian/tambang ke
dalam tiga kategori, yakni strategis, vital, dan di luar keduanya (lazim disebut tambang
golongan C). Sementara di sisi lain, UU Konservasi juga menentukan kawasan tertentu
sebagai kawasan konservasi. Konfliknya terjadi ketika di dalam kawasan konservasi
98
ternyata terdapat bahan tambang (terutama kategori strategis dan vital), seperti dalam
kasus tambang batubara di dalam zona proteksi Taman Nasional Kutai.
6.6.2. Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum Adat
Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status
kepemilikan sumber daya alam di daerah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No.
6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan
laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya,
masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak
ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum
berdirinya Negara Indonesia. Konflik tersebut menjadi kenyataan di berbagai daerah,
seperti beberapa pulau-pulau kecil di desa Mandeh Sumatera Barat diklaim sebagai
milik masyarakat kaum/adat.
6.6.3. Kekosongan Hukum
Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah
perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah
sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan
Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada
rincian pengaturannya. Padahal, seiring dengan perkembangan pembangunan
kewilayahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kelautan, muncul pula
tuntutan baru di tengah masyarakat untuk memperoleh kepastian hak atas wilayah laut
pesisir.
Kekosongan hukum juga terjadi pada bidang konservasi dan bencana wilayah
pesisir. UU No. 5/1960 tentang Konservsi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, belum secara spesifik
mengatur wilayah pesisir, padahal justru wilayah inilah yang paling rentan terhadap
pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai akibat dari letaknya pada pertemuan
wilayah darat dan laut. Bahkan, masalah pencegahandan penanggulangan bencana
wilayah pesisir serta konservasi yang berskala kecil di tingkat desa, hingga kini belum
diatur sama sekali. Kealpaan ini harus segera diakhiri sebab bencana wilayah pesisir,
seperti tsunami, banjir, dan erosi pantai sudah terlalu banyak menelan korban, baik
nyawa manusia maupun harta benda.
99
Ketiga masalah krusial tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik
kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan fisik sumberdaya alam dan ekosistem
pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya
pun harus terpadu.
Di dalam RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut, paling sedikit, memuat
norma-norma hukum sebagai berikut :
1. Penataaan ruang wilayah pesisir, khususnya perairan pesisir.
2. Pengelolaan pulau-pulau kecik berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
3. Koordinasi dan sertifikasi program pengelolaan wilayah pesisir antara berbagai
sektor, stakeholders, dan antar berbagai level pemerintahan secara voluntir.
4. Pengaturan hak-hak atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat
diberikan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
terkandung di dalamnya.
5. Pengakuan hak ulayat laut (marine tenure right) dan hak-hak tradisional lainnya
berdasarkan hukum adat dan kebiasaan masyarakat lokal.
6. Konservasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, terumbu karang, estuaria, dan lain-
lain.
7. Pengendalian pencemaran dan konservasi yang berskala kecil pada tingkat desa.
8. Mitigasi bencana di wilayah pesisir.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka Departemen Kelautan dan Perikanan
perlu mengusahakan agar penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir ditetapkan
menjadi UU oleh DPR RI.
6.7. Perkembangan Baru berdasarkan Wawasan Nusantara
6.7.1. Konsep Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara adalah wawasan yang memandang rakyat, bangsa negara,
dan wilayah Nusantara darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak
bisa dipisah-pisahkan. Wawasan ini memperkuat rasa kekeluargaan dan kebersamaan
dalam persatuan. Wawasan ini juga menjelaskan makna Bhineka Tunggal Ika.
Dalam pembangunan nasional, Wawasan Nusantara mencakup perwujudan Kepulauan
Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan
ekonomi dan satu kesatuan Pertahanan dan Keamanan.
100
6.7.2. Pertahanan dan Keamanan
Dalam UU No. 20 tahun 1982 diatur mengenai pengamanan sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan yang dilaksanakan dengan konservasi dan diversifikasi serta
didayagunakan bagi kepentingan pertahanan keamanan negara. Pengembangan
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka pendayagunaannya dilakukan
dengan :
(a) Mendayagunakan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai strategis,
dengan jalan mengelolanya menjadi cadangan material strategis untuk mencukupi
kebutuhan dalam jangka waktu tertentu pada keadaan darurat;
(b) Menentukan dan atau menetapkan cadangan material strategis dalam rangka
mewujudkan sistem logistik wilayah di daerah-daerah sesuai dengan persyaratan
dan tuntutan upaya pertahanan keamanan negara.
Pengamanan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka
pendayagunaannya bagi kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara
dilakukan dengan :
1) Mengkonservasi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai strategis
untuk dapat didayagunakan dalam jangka panjang;
2) Mengembangkan dan mewujudkan diversifikasi sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan yang bernilai strategis.
Secara spesifik terdapat doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta,
sebagaimana diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan No.
Skep/820/VII/1982, yang berkaitan dengan pembinaan sumberdaya.
Pembinaan sumberdaya merupakan upaya mengubah faktor statis dalam
wilayah negara dan bangsa menjadi kekuatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan
keamanan nasional. Khusus untuk mewujudkan keamanan nasional, maka kekuatan
yang diharapkan sebagai keluaran adalah kekuatan Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta (Hankamrata). Dengan demikian, pembinaan sumberdaya akan meliputi :
1. Pembinaan demografi;
2. Pembinaan geografis;
3. Pembinaan sumberdaya dan kekayaan alam yang dilaksanakan melalui :
a) Penguasaan dan pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam vital strategis untuk
peningkatan kesejahteraan dan cadangan perang;
101
b) Penyebaran dan pengelolaan sumberdaya alam melalui penyebaran industri ke
seluruh wilayah tanah air sehingga memungkinkan setiap wilayah dapat
berswasembada dalam pangan dan kebutuhan logistik lainnya;
c) Keikutsertaan dalam pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam.
6.7.3. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang
Di dalam UU No. 32/2009 ditentukan bahwa sasaran Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah :
1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup;
2. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Hak, kewajiban, dan
peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan
lingkungan dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat
istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang
wilayah nasional, wilayah Provinsi dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara
terpadu dan tidak dipisah-pisahkan (Pasal 8). Penataan ruang untuk kawasan yang
meliputi lebih dari satu wilayah Provinsi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri
untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang wilayah Provinsi. Penataan
ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu kabupaten atau kota dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang
wilayah Kabupaten/Kota.
Penataan ruang wilayah Provinsi dan wilayah Kabupaten/Kota meliputi ruang daratan
dan, pada batas tertentu menurut perUUan, juga mencakup ruang lautan dan udara.
Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar tersebut sebelumnya, diatur
secara terpusat dengan UU (Pasal 9).
6.8. Kajian Undang-Undang Terkait
Analisa atau kajian ini dilakukan terhadap 5(lima) Undang-Undang. Adapun
tujuan yang ingin dicapai adalah melihat seberapa besar atau kecil potensi jika dikaitkan
dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu tidak hanya di dalam 5 UU (internal
review) tersebut tetapi juga antar UU (ekstenal review) di atas.
102
Selain itu kajian juga dilakukan untuk melihat permasalahan atau konflik yang
terjadi antar UU tersebut yang mengakibatkan tidak efektifnya pelaksanaan UU
tersebut. Kelima UU ini memiliki ruang lingkup yang seharusnya mencakup pengaturan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu . Selain itu, tahun
pemberlakuan UU tersebut saling berdekatan yang seharusnya ada semacam koordinasi
antar kelima UU itu.
Apabila kita melihat hasil eksternal review dari kelima UU tersebut, terlihat
bahwa tidak adanya koordinasi, ketidakjelasan dan tumpang tindih di dalam pengaturan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Beberapa contoh antara
lain :
1) Dalam hal menimbang terutama UU yang berlaku tahun 1992, misalnya UU
pelayaran dan UU Penataan Ruang, seharusnya mencantumkan UU Pariwisata, UU
Perikanan dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
dalam bagian menimbang.
2) Secara umum kelima UU ini tidak mengatur secara jelas antara daratan dan lautan
serta wilayah pesisir baik dalam hal pengakuan, pengelolaan, pemanfaatan dan
perlindungan, terutama wilayah pesisir.
3) Pengakuan terhadap hak masyarakat adat didalam beberapa UU tersebut juga tidak
diatur secara jelas dan parsial. Kalaupun diatur , terlihat pengaturannya hanya
“setengah hati”.
4) Antara UU perikanan dengan UU Penataan Ruang seharusnya ada koordinasi di
dalam keterpaduan wilayah / ekologis. UU Penataan Ruang mengatur kegiatan-
kegiatan di dalam ruang lingkup penataan ruang dan terlihat secara umum kegiatan
kelautan dan khususnya kegiatan perikanan tidak diatur.
5) UU Pelayaran juga seharusnya berkoordinasi kepada UU Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di dalam melakukan pembangunan dermaga atau
pelabuhan yang berkaitan dengan kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi
terhadap ekosistem di wilayah pesisir.
6) Koordinasi juga tidak terjadi antara UU Pelayaran dengan UU Penataan Ruang. Di
dalam pengaturannya, UU Penataan Ruang seharusnya mengikutsertakan usaha
kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan, pembangunan dermaga, dan
sebagainya.
7) UU Pelayaran mengatur mengenai beberapa kegiatan usaha tertentu di luar kegiatan
usaha angkutan di perairan, namun kegiatan untuk pariwisata tidak diatur di
103
dalamnya, padahal di UU Pariwisata disebutkan bahwa usaha penyediaan sarana
wisata tirta dapat berupa usaha pembangunan dan pengelolaan dermaga dan
pelabuhan.
8) Berkaitan penjelasan No.7 , UU Pelayaran mengatur mengenai penetapan lokasi
untuk pembangunan pelabuhan dan pengelolaannya. Sedangkan di dalam UU
Pariwisata juga mengatur usaha penyediaan sarana wisata tirta, termasuk usaha
pembangunan dan pengelolaan dermaga dan pelabuhan. Padahal kedua UU ini tidak
melakukan koordinasi dengan instansi lain.
9) Keterpaduan sektor dilihat dari 2 hal yaitu berkaitan dengan koordinasi antar sektor
dan desentralisasi. UU Penataan Ruang di dalam menentukan fungsi utama kawasan
seharusnya mempertimbangkan aspek keterpaduan sektor dan wilayah/ekologis
dari UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan juga UU
Pariwisata di dalam menentukan objek dan kawasan wisata. Dalam hal ini
koordinasi dengan instansi yang terkait perlu dilakukan. Berkaitan dengan konsep
desentralisasi, pelimpahan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah
kurang jelas di sebagian besar UU tersebut.
10) Di dalam keterpaduan disiplin ilmu, UU Pelayaran mengakui dan mengatur
pengolahan dan pengelolaan usaha pelayaran rakyat yang tradisional sedangkan UU
Perikanan mengakui dan mengatur berbagai pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan. Namun keduanya tidak terkait satu sama lain padahal kegiatan ini
seharusnya dilakukan secara terpadu dalam multi disiplin ilmu karena merupakan
satu kesatuan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
Dengan melihat hasil analisa antar 5 UU tersebut (eksternal review), maka
semakin terbukti bahwa konsep pengelolaan wilayah peisisr terpadu ini tidak
terintegrasi ke dalam peraturan perUUan yang sedang berlaku sekarang ini sehingga
diperlukannya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir yang mencakup konsep pengelolaan
wilayah pesisir terpadu sebagai dasar pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.
104
BAB VII
PRINSIP DAN MEKANISME PENGATURAN
7.1. Prinsip-Prinsip
Beberapa prinsip dasar pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, yaitu:
1. Pengelolaan pesisir terpadu difokuskan pada wilayah pesisir yang mempunyai
banyak kegiatan dan rentan terhadap perubahan lingkungan, dimana terjadi
peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, secara biofisik lingkungan.
2. Proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dilakukan secara terbuka,
partisipatif, demokratis dan adaptif secara terus-menerus.
3. Pengelolaan tersebut menekankan pada koordinasi, kerjasama dan keterpaduan
diantara berbagai kegiatan horizontal dan vertikal yang mempengaruhi kondisi
sumberdaya pesisir serta makhluk hidup lain yang ada di wilayah pesisir; antara
berbagai kelompok masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya atau mendapatkan
dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut.
4. Strategi pengelolaan tersebut adalah memanfaatkan secara bijaksana, memelihara,
melindungi/proteksi, merestorasi dan merehabilitasi sumberdaya pesisir, sehingga
sumberdayanya dapat digunakan secara berkelajutan bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.
7.1.1. Prinsip Keterpaduan
7.1.1.1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Keterpaduan perencanaan horisontal memadukan antara perencanaan dari
sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan konservasi yang berada di DAS hulu,
sektor perikanan baik budidaya perikanan ikan maupun perikanan tangkap, pariwisata
bahari, perhubungan Laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi
laut, serta pengembangan kota pantai yang difokuskan pada pemanfaatan pesisir yang
lestari.
7.1.1.2. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan perencanaan
mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Provinsi, hingga Nasional.
7.1.1.3. Keterpaduan antara Ekosistem Darat dengan Laut.
105
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dengan kombinasi pendekatan batas
ekologis dan administratif, diprioritaskan dengan menempatkan Daerah Aliran Sungai
dan kewenangan kabupaten/kota sebagai basis perencanaan. Akibatnya, dampak dari
kegiatan pertanian dan industri serta pembangunan perkotaan di suatu DAS hulu perlu
diperhitungkan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya.
7.1.1.4. Keterpaduan antara Ilmu Pengetahuan dan Manajemen
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input data dan
informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi pengambilan
keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-ekonomi budaya,
kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.
7.1.1.5. Keterpaduan antar Negara
Dalam mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir di
perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing negara, seperti
di Selat Malaka.
7.1.2. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi
pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem serta
sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak
(absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada
perubahan teknologi dan karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak
kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi
pemanfaatan ekosistem pesisir, sehingga kapasitas lingkungan dan fungsinya untuk
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak, dan berkelanjutan sehingga
dapat digunakan diggunakan generasi yang akan datang. Secara garis besar konsep
pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial
ekonomi budaya, (3) geofisik dan teknologi, dan (4) hukum dan kelembagaan.
Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pembangunan
berkelanjutan wilayah pesisir menjadi kewenangan daerah sesuai dengan pasal 18 UU
No. 23/2014. Untuk itu perlu diperhatikan kesiapan daerah dan kemampuan
kelembagaannya untuk mengemban tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola
106
sumberdaya pesisir di daerah. Namun disisi lain masih banyak pengaturan di wilayah
pesisir yang masih menjadi kewenangan pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan
perundang-undangan lainnya. Sehingga diperlukan norm-norma hukum yang dapat
mengatur keseimbangan antara kepentingan Pemerintah dan Daerah.
7.1.3. Prinsip Partisipasi dan Keterbukaan
Partisipasi dan keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk
memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah pada
dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kepentiungannya
untuk dapat dimuat di dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan
pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundang-undangan tersebut.
Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari pihak
yang memprakarsai, dalam hal ini Pemerintah. Keterbukaan Pemerintah
menginformasikan draft rumusan-rumusan aturan, kebijakan dan rencana kegiatan
sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan, serta usul
perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat.
Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah
wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang
dilakukan Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi
potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang diakibatkan oleh kesalahan
prosedur penetapan kebijakan. Sehingga konsultasi publik kepada stakeholder utama
sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap pengendalian sangat penting.
7.1.4. Prinsip Kepastian Hukum
Kepastian hukum dalam penerapan undang-undang merupakan prinsip utama
dalam pelaksanaan undang-undang secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat
dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum
terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam hal
ini masyarakat perlu mengetahui proses perumusan perundang-undangan, misalnya
bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang tersebut diterapkan. Mereka ikut
memberikan masukan, tanggapan, dan keberatan tentang obyek pengaturan dan
107
bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Proses ini harus
dimulai sejak rumusan undang-undang dipersiapkan dari Naskah Akademiknya sampai
disyahkannya Rancangan Undang-undang tersebut di DPR. Untuk itu, isi dan lingkup
pengaturan perundang-undangan tersebut harus dikonsultasikan, disosioalisasikan dan
disebarluaskan sejak dini. Selanjutnya masyarakat diberi peran didalam mengawasi
pelaksanaan undang-undang tersebut, sehingga norma hukum yang tertulis (de jure)
dilaksnakan secara konsisten dan konsekuen (de facto).
Kepastian hukum sangat penting untuk melaksanakan sistem pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat.
Adanya kepastian hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif
dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum (compliance), serta tidak
ragu-ragu mempertahankannya jika pihak lain bertindak di luar jalur humum.Kepastian
hukum juga membatasi intervensi dari pihak penguasa atau pejabat dalam
mempengaruhi penerapan peraturan perundang-undangan. Sehingga masyarakat dan
dunia usaha sebagai pelaku pembangunan di wilayah pesisir mempunyai kepastian dan
jaminan bahwa usaha dan investasinya dalam dapat dipertahankan dalam jangka
panjang. Sementara bagi Pemda, kebijakan Pemerintah yang konsisten mendukung
pelaksanakan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
7.2. Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan
7.2.1. Mekanisme Koordinasi Pada Tingkat Pusat
Mekanisme koordinasi dibutuhkan untuk menyelenggarakan penyusunan
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, dan koordinasi pengambilan keputusan serta
pembiayaan program pengelolaan wilayah pesisir. Mekanisme ini dikoordinasikan oleh
sebuah lembaga atau badan lintas-institusi yang berwenang dan memiliki otoritas
cukup. Otoritas ini didelegasikan dari institusi-institusi sektoral, untuk menyelesaikan
perbedaan persepsi, konflik atau sengketa diantara institusi yang berbeda, dan pihak
instansi terkait menghormati serta melaksanakan keputusan tersebut. Bila badan
koordinasi tersebut akan membuat keputusan atau rekomendasi lintas-sektoral, badan
tersebut sebaiknya memiliki otoritas atas tiap-tiap departemen sektor, atau ada proses
untuk membawa kasus konflik atau sengketa ke instansi yang lebih tinggi.
Mengingat pengelolaan wilayah pesisir merupakan kebijakan yang bersifat
lintas sektor, maka kegiatan pengelolaan wilayah pesisir perlu dikoordinasikan oleh
suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengelolaan wilayah
108
pesisir. Fungsi koordinasi itu bisa dilihat dari beberapa alternatif kelembagaan. Apakah
menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya Departemen Kelautan
dan Perikanan atau Bapenas, atau membentuk badan baru non departemen yang bersifat
lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat, seperti Dewan Maritim Indonesia (DMI).
Jika pilihannya membentuk suatu badan baru, atau memakai dan merubah yang sudah
ada, maka badan yang baru tersebut dapat saja dipimpin oleh Menteri DKP atau
Presiden.
Sesuai dengan PP No. 25/2000 dan Keppres No.104/2001 maka Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) memiliki mandat untuk menyiapkan kebijakan nasional
yang berkaitan dengan pembangunan kelautan. Secara khusus butir 2.d. PP No. 25
Tahun 2000 memberikan mandat bagi DKP untuk menyusun pedoman dan standarisasi
pengelolaan sumberdaya pesisir. Selanjutnya Keppres 104/2001 yang menguraikan
tugas pokok dan fungsi masing-masing departemen menyatakan bahwa DKP bertugas
untuk menyiapkan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir. Berkenaan dengan itu
maka DKP mempunyai kewenangan dalam memformulasikan pedoman umum dan
standarisasi pengelolaan sumberdaya pesisir.
7.2.2. Fasilitasi dan Konsultasi dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah.
Pemerintah menyusun petunjuk untuk kabupaten/kota dan provinsi dalam
rangka mengembangkan program pengelolaan pesisir terpadu (PPT). Petunjuk tersebut
bersifat fleksibel dan luas sehingga pemerintah daerah dapat mengakomodir kebutuhan
dan tujuan daerahnya yang bersifat khusus. Seperti disebutkan sebelumnya, petunjuk
ini akan menjadi dasar bagi program PPT daerah. Petunjuk ini penting untuk
kesuksesan program karena beberapa alasan. Pertama, petunjuk tersebut bisa menjadi
acuan pemerintah kabupaten/kota, yang umumnya hanya memiliki sedikit pengetahuan
tentang Program PPT. Kedua, petunjuk tersebut memberikan arahan dalam penulisan
isi program dan mekanisme penyusunan program, apakah program tersebut bersifat
sentralistik (op-down) atau desentralistik (boom-up) Sesuai dengan UU 32/2004, DKP
secara khusus mempertimbangkan apakah petunjuk tersebut sebaiknya bersifat
mengikat (mandatory requirements) atau sukarela (voluntarily standars).
7.2.3. Koordinasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Daerah.
Jika Pemerintah mengeluarkan Pedoman Umum atau petunjuk, maka
pemerintah daerah seyogyanya menerapkan program dan mengembangkan petunjuk
109
yang lebih spesifik untuk wilayah pesisirnya sesuai dengan karakteristik bio-geofisik
dan sosial budaya pesisirnya. Berdasarkan UU No. 32/2004, kabupaten/kota memiliki
fleksibilitas atau kebebasan dalam membuat/menyusun program PPT yang
diinginkannya, namun harus tetap sejalan dengan ketentutan hukum dan mekanisme
yang dipakai, dan harus sekaligus dapat mencapai tujuan Program PPT nasional.
Setelah disetujui Pemerintah, kabupaten/kota dapat menerapkan rencana tersebut
dengan bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.
Dibanding dengan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, pemerintah
kabupaten/kota memiliki posisi terbaik untuk membentuk program PWPT yang
disesuaikan dengan keunikan permintaan dan penawaran sumberdaya yang berada di
wilayah yuridiksinya. Pemerintah kabupaten/kota cukup dekat dengan sumberdaya dan
pemanfaat sumberdaya tersebut di tingkat lokal, namun cukup luas untuk
mengkoordinasikan desa-desa yang berdekatan. Kabupaten/kota akan bertanggung
jawab untuk: pertama, memutuskan apakah ia ingin terlibat dalam program PWPT yang
disponsori Pemerintah. Kabupaten/kota selanjutnya akan bertanggung jawab atas
pembentukan rencana PWPT bagi aktivitas-aktivitas yang berada dalam wilayah
yuridiksinya. Sangat mutlak bagi setiap program PWPT yang dibentuk pada tingkatan
pemerintahan lebih luas untuk memberikan partisipasi signifikan dari pemerintahan
lokal terbawah. Melalui kantor kecamatan, pemerintah kabupaten/kota umumnya
mempunyai keterkaitan kuat dengan institusi pemerintahan tingkat desa/kelurahan dan
dusun. Secara umum, penyusunan perencanaan PPT harus dilakukan dalam kerjasama
erat antara pemerintah kabupaten/kota dan institusi pemerintahan tingkat desa,
sementara implementasi rencana harus dilakukan oleh pemerintah desa/kelurahan,
dengan pembiayaan dan pengawasan oleh kabupaten/kota.
Koordinasi diperlukan dalam segala tingkat pemerintahan, namun ada beberapa
kemungkinan perbedaan peran dan fungsi yang dapat dimainkan oleh tiap tingkat/level
pemerintahan. Sesuai dengan UU No. 32/2004, provinsi memiliki peranan yang relatif
kecil dalam program PPT karena pemerintah kabupaten bekerja langsung dengan
Pemerintah dalam mengembangkan, mengkaji dan menyetujui rencana. Atau provinsi
dapat memainkan peranan untuk mengkoordinasikan berbagai tingkat pemerintahan
yang berbeda. Hal ini berarti pemerintah provinsi dapat memiliki dua peranan: pertama,
pemerintah provinsi dapat mengkoordinasikan berbagai kegiatan pemerintah
kabupaten/kota yang bersifat lintas wilayah dalam satu ekosistem untuk memastikan
konsistensi dan memamntau isu-isu pengelolaan pesisir yang bersifat lintas wilayah.
110
Kedua, pemerintah provinsi dapat mengkoordinasikan pemerintah kabupaten/kota jika
urusan yang ditanganinya bersifat berlaku umum untuk Provinsi tersebut .
Koordinasi dapat berupa saran dan petunjuk/bimbingan, atau dapat juga berupa
keputusan atau persetujuan yang resmi. Sesuai dengan UU 32/2004, peran khusus
provinsi adalah melakukan koordinasi dalam kedua hal yang telah disebutkan di atas.
Meski demikian, undang-undang juga mengijinkan kesepakatan khusus antara berbagai
tingkatan pemerintahan yang berbeda.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan timbul sehubungan dengan keputusan
mengenai bagaimana koordinasi antara pemerintah lokal itu akan dilakukan.
Bagaimana seharusnya pemerintah dari berbagai tingkatan yang berbeda membangun
sebuah proses atau mekanisme untuk mengkoordinasikan pengelolaan wilayah pesisir?
Apa yang seharusnya menjadi peran bagi pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan
dan desa? Tingkat pemerintahan mana yang harus memimpin sebuah program
pengelolaan pesisir yang bersifat lokal?
7.2.4. Keterlibatan Stakeholders.
Sebagaimana diuraikan diatas, partisipasi publik adalah salah satu prinsip dasar
dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance),
kususnya dalam pengelolaan pesisir terpadu. Mekanisme yang dipilih harus mengikuti
sebuah proses yang melibatkan masyarakat melalui pengumuman terbuka (public
notice), pengumuman melalui media massa lokal dan partisipasi aktif masyarakat
menanggapi rencana yang disusun pemerintah. Partisipasi mencakup pemberitahuan
bahwa sebuah ketentuan hukum berlaku setelah diperbaharui. Juga termasuk sosialisasi
atau penjelasan mengenai ketentuan hukum setelah diperbaharui, tingkatan yang lebih
berarti yang melibatkan pemberitahuan dan sosialisai setelah hukum diperbaharui, serta
tingkatan yang lebih berarti yang melibatkan partisipasi aktif dan konsultasi dalam
mengembangkan hukum.
Lalu apa peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan peran masyarakat adat
dalam mengembangkan program-program pengelolaan pesisir lokal, apakah lembaga
kemasyarakatan yang berbeda-beda, seperti kelompok industri, kelompok konservasi,
pekerja perorangan, kelompok agama, kelompok sipil, keluarga, dll, harus diperlakukan
berbeda satu sama lain, atau harus diperlakukan setara,
7.2.5. Muatan Program PWP
111
Bagian ini membentuk inti dari Program PPT, karena didalamnya terdiri dari
materi isi (content) program yang akan di kembangkan oleh kabupaten. Materi isi
program akan menentukan apakah pengelolaan pesisir terpadu dapat dicapai pada
tingkat lokal. Apa harus menjadi isi program-program pengelolaan pesisir lokal?
Penilaian, persayaratan, dokumen perencanaan, dll, macam apa yang harus
dikembangkan oleh pemerintah lokal dalam upaya menciptakan sebuah program
pengeloaan pesisir lokal yang efektif.
7.2.6. Insentif.
Karena program pengelolaan pesisir terpadu bersifat sukarela, untuk itu
diperlukan sistem insentif yang dapat mendorong pemerintah daerah untuk
melaksanakan program tersebut.
7.2.8. Keuangan
Ada beberapa sumber dana untuk insentif pelaksanaan program daerah, antara
lain dana APBD dan APBN serta sumber dana lain.
7.2.9. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk mensukseskan program.
Pemantauan dan evaluasi memiliki dua aspek penting bagi program: sebagai alat
mengelola (management tool) dan alat ilmiah (scientific tool). Sebagai alat mengelola,
pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk memastikan hahwa program dilaksanakan
secara efektif. Sebagai alat ilmiah, keduanya diperlukan untuk memastikan bahwa
program diterapkan dengan sempurna.
Pemantauan atau monitoring penting untuk tujuan-tujuan administrative, untuk
memastikan bahwa program berjalan dengan lancar. Sebagai contoh, pada saat daerah
menerima bantuan atau manfaat dari pemerintah, harus ada kepastian bahwa daerah
akan tetap memenuhi persyaratan, tujuan dan prinsip-prinsip program secara
menyeluruh, sehingga daerah dinilai layak menerima manfaat tersebut. Pemantauan
juga memastikan bahwa anggaran digunakan sebagaimana mestinya.
Secara ilmiah, pemantauan dibutuhkan untuk memastikan bahwa program
menggunakan prinsip-prinsip dan persyaratan ilmiah terkini dengan tepat. Sebagai
contoh, harus ada pemantauan untuk menjamin program dilaksanakan dengan metode
ilmiah yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (valid) ketika
112
sebuah daerah membentuk wilayah konservasi laut, atau membuat rencana tata ruang
untuk penggunaan wilayah darat dan laut. Di sisi lain, pengawasan juga diperlukan
untuk mendapatkan informasi baru saat program dilaksanakan. Hal ini memungkinkan
program, beserta kegiatan-kegiatan di dalamnya, untuk dimodifikasi di masa
mendatang agar informasi baru tersebut dapat terwadahi.
7.2.10. Penegakkan Hukum dan Sanksi
Kepatuhan untuk melaksanakan (compliance) dan penegakan hukum
(enforcement) adalah proses yang dapat dilakukan bila kegiatan pemantauan and
evaluasi seiring dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemantauan
dibutuhkan untuk memastikan adanya kepatuhan akan persyaratan yang mengikat.
Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk memastikan bahwa program dilaksanakan
dengan efektif dan sesuai dengan persyaratan, tujuan, dan prinsip perundang-undangan.
Bahkan, institusi-institusi yang dibentuk untuk melakukan pemantauan seharusnya juga
digunakan untuk upaya penegakkan hukum. Ada perbedaan penting antara pemantauan
dengan penegakkan hukum.
Walau demikian, pemantauan seharusnya memastikan bahwa program tetap
mematuhi hukum; penegakkan hukum memastikan bahwa tindakan yang tepat akan
diambil jika program keluar dari jalur hukum. Penegakkan hukum memiliki beberapa
tujuan: untuk menginformasikan pada masyarakat tentang cara yang tetap untuk
menerapkan perundang-undangan; menciptakan keengganan untuk melanggar hukum;
serta memberi ganjaran yang setimpal jika terjadi pelanggaran hukum. Agar
penegakkan hukum efektif, harus dibuat serangkaian peringatan dan sanksi, dengan
hukuman yang semakin berat jika jumlah dan jenis pelanggaran semakin besar.
Penegakkan hukum sangat penting, bahkan bila programnya bersifat sukarela.
Contohnya, jika kabupaten/kota menerima bantuan dari pemerintah pusat, harus ada
semacam dorongan untuk memastikan bahwa (1) program kabupaten/kota akan terus
dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan persyaratan, prinsip dan tujuan
program; dan (2) bantuan itu digunakan sesuai perundang-undangan.
Harus dicatat bahwa alternatif-alternatif, baik altenatif pemerintah atau non-
pemerintah, untuk lembaga-lembaga hukum akan sama dengan alternatif bagi lembaga
yang melakukan pemantauan. Rekomendasi yang diberikan sama seperti yang telah
disebutkan di atas.
113
Ada beberapa mekanisme penegakkan hukum yang dapat digunakan sebagai yaitu :
1. Sanksi (Sanction). Sanksi melibatkan serangkaian peringatan dan hukuman
finansial untuk pelanggaran perundang-undangan. Hukuman dapat berupa
pengurangan,penundaan bantuan, dan jika pelanggaran yang dilakukan tergolong
berat dapat mengakibatkan pencabutan sertifikasi (perijinan).
2, Denda Sipil (Civil Fines). Denda melibatkan serangkaian pembayaran yang harus
dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang
bersifat mengikat.
3. Sanksi kriminal (Criminal Sanction). Sanksi kriminal adalah hukuman untuk
pelanggaran yang lebih serius dan bentuknya dapat berupa hukuman penjara.
Penghargaan dapat diberikan bagi daerah yang melaksanakan program dengan baik
dan sesuai perundangan yang berlaku.
7.2.11. Penyelesaian Konflik
a. Penanganan Konflik
Dalam penanganan konflik dikenal berbagai istilah seperti pencegahan konflik
(prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik (resoluion),
penyelesaian konflik (settlement), dan pilihan penyelesaian sengketa (alternaive dispute
resolution atau ADR).
Pencegahan Konflik (conflict prevention) adalah upaya untuk mencegah konflik
sebelum konflik tersebut memuncak, menjadi negatif dan destruktif, yang biasanya
ditandai dengan kekerasan (violence). Upaya pencegahan konflik dapat dilakukan
dengan tiga cara :
a. Mengantisipasi munculnya konflik kekerasan (konflik kekerasan belum muncul);
b. Mencegah konflik yang sedang berlangsung (on going) agar tidak meluas; dan
c. Mencegah terjadinya pengulangan terjadinya lagi konflik kekerasan (reemergence).
Salah satu metode pencegahan konflik yaitu sistem peringatan dini--SPD (crisis
earlywarning) dan sistem tanggap dini – STD (crisis early response). SPD merupakan
kegiatan pengumpulan dan penganalisaan informasi yang berasal dari wilayah konflik
yang bertujuan:
1. Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan meningkatnya konflik kekerasan;
2. Pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap krisis;
3. Penyampaian terhadap pilihan-pilihan langkah pencegahan kepada pihak yang
kompeten (critical actors) sebagai bahan pengambilan keputusan.
114
Efektifitas SDP sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain:
1. Aksesibilitas dan kualitas informasi mengenai aspek sosial, ekonomi dan politik
yang menjadi kontrbusi terhadap kekerasan dalam masyarakat (communal
hostilities);
2. Ketelitian /kedalaman dan obyektifitas analisis dari informasi-informasi
sebagaimana disebutkan pada no. 1 diatas;
3. Strategi penanggapan yang tepat serta keinginan kuat dari penentu kebijakan untuk
mencegah konflik kekerasan.
Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan publik
(public policy makng process) juga berfungsi mencegah konflik kekerasan. Dengan
keterbukaan dan akses publik terhadap informasi (access to information), serta peluang
masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik – kesemuanya
ini dapat mencegah timbulnya kembali berbagai kebijakan publik yang tidak
mencerminkan keadilan yang dapat memicu konflik kekerasan, baik yang bersifat
vertikal maupun horisontal.
Dengan demikian, kewajiban untuk membuka informasi kepada masyarakat dan
mekanisme pelibatan masyarakat di tingkat nasional maupun lokal dalam proses
pengambilan keputusan publik harus dijamin oleh sistem hukum nasional, dan
dibudayakan dalam masyarakat.
Transparansi dan demokratisasi pengambilan keputusan di bidang lingkungan
hidup dan sumber daya alam paling tidak harus meliputi:
1. Akses masyarakat setempat/adat (natural resources dependant people) terhadap
sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan mereka sehari-hari;
2. Akses masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang;
3. Akses masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal);
4. Akses masyarakat terhadap proses penerbitan izin usaha;
5. Akses masyarakat terhadap proses pengawasan, termasuk informasi tentang tingkat
penaatan (compliance rate) suatu kegiatan usaha;
6. Akses masyarakat terhadap proses penegakan hukum lingkungan (administratif,
perdata, maupun pidana);
115
Disamping Peringatan dan Tanggapan Dini, serta demokratisasi pengambilan
keputusan publik, pengembangan kebijakan sosial, ekonomi, politik yang proaktif, dan
responsif/aspiratif dapat mencegah munculnya konflik yang bersifat kekerasan.
Kebijakan ekonomi disini, termasuk kebijakan tentang pemerataan dalam
pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan sosial dan politik termasuk didalamnya
kebijakan-kebijakan yang menghapuskan kekerasan negara dan kebijakan yang bersifat
militeristik dalam menanggapi tuntutan kebebasan berpendapat, serta kebijakan-
kebijakan yang anti diskriminatif.
Pengelolaan konflik (conflict management) mempunyai
tendensi/kecenderungan untuk memfokuskan pada penanggulangan (mitigation) atau
pengendalian akibat negatif yang muncul dari konflik tersebut tanpa menganggap
penting mencari muara/ penyebab persoalan yang memunculkan konflik tersebut.
Dalam pengelolaan konflik tidak terdapat perubahan struktural terhadap kondisi yang
memunculkan konflik tersebut.
Resolusi konflik merupakan cara menyelesaikan konflik secara kolaboratif
dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga netral dengan cara menghilangkan sumber
permasalahan yang sangat mungkin bersifat struktural. Resolusi konflik disini tidak
berorientasi semata-mata pada hasil kesepakatan akan tetapi berorientasi pada
kesepakatan yang dilandasi oleh pemenuhan kebutuhan bersama antar pihak-pihak
yang terlibat konflik secara seimbang.
Penyelesaian konflik (conflict settlement) berorientasi ada hasil atau adanya
kesepakatan yang belum tentu memenuhi kebutuhan para pihak yang berkonflik tetapi
diterima sebagai suatu kesepakatan karena adanya “tekanan” dengan cara
menggunakan kekuatan (power based). Sedangkan pilihan penyelesaian sengketa
(alternative dispute resolution atau ADR) adalah alternatif penyelesaian sengketa
(sengketa : pertemuan antara berbagai kepentingan yang berbeda yang biasanya
berwujud dalam bentuk “tuntutan”, “sanggahan”, atau “pembelaan”---dilakukan di
dalam maupun di luar pengadilan) .
ADR dapat berbentuk perundingan, mediasi, ataupun arbitrase. Perundingan
adalah cara menyelesaikan sengketa secara langsung antara pihak-pihak yang
bersengketa diluar jalur hukum konvensional yaitu pengadilan. Perundingan tidak
selamanya dilaksanakan dengan pola “interest based” yaitu menggali kepentingan-
kepentingan kebutuhan pihak-pihak tersebut untuk kemudian dirangkum menjadi suatu
kesepakatan yang memenuhi kepentingan/kebutuhan bersama. Seringkali pola
116
perundingan yang dilaksanakan bersifat kompetitif/posisional –pola perundingan
diarahkan pada “menang-kalah” (kepentingan yang satu lebih dominan diakomodir dari
kepentingan yang lain).
Mediasi adalah perundingan dengan bantuan pihak ketiga penengah netral (tidak
memihak). Mediator biasanya tidak hanya netral, tetapi juga dituntut memiliki
keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai mediator. Seperti halnya
negosiasi, mediasi tidak selamanya bertumpu pada pola “interest based” atau
penggalian/pengakomodasian kepentingan/kebutuhan bersama. Oleh karenanya, ADR
dalam bentuk negosiasi atau mediasi tidak selamanya bertumpu pada
kepentingan/kebutuhan bersama. Dengan demikian apabila ingin melembagakan
penyelesaian sengketa yang bersifat interest based, maka perlu terdapat penegasan
tentang kata-kata interest based sebelum negosiasi ataupun mediasi.
b. Pendekatan dalam Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa yang efektif menuntut adanya keseimbangan/kesetaraan
kekuatan (equal bargaining power) antara pihak-pihak yang bersengketa. Kesetaraan
kekuatan menciptakan kondisi saling tergantung (interdependensi) dan saling memiliki
kemampuan memberikan“ancaman”. Kondisi saling ketergantungan dan kemampuan
memberikan ancaman memberikan motivasi atau insentif bagi masing-masing pihak
untuk menyelesaikan sengketa/masalah yang dihadapi.
Pendekatan dalam penyelesaian sengketa dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis:
1. Pendekatan dengan cara penggunaan kekuatan (power based);
2. Pendekatan dengan cara “benar – salah” (right based); dan
3. Pendekatan dengan cara penggalian kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang
bersengketa (interest based).
Pendekatan dengan mendasarkan pada kekuatan (power based) ditujukan untuk
memaksa pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk
memecahkan persoalan. Pendekatan dengan cara “benar-salah” (right based) yang
dilakukan melalui mekanisme penyelesaian ajudikatif (arbitrase atau pengadilan)
ditujukan untuk mencari siapa yang benar dan bersalah. Pendekatan ini menghasilkan
solusi “menang-kalah” ( win lose solution).
117
Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest based) adalah pendekatan
penyelesaian sengketa dimana kepentingan serta kebutuhan para pihak digali secara
bersama untuk kemudian dibangun kesepakatan (solusi) yang mampu mencerminkan
kebutuhan serta kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara seimbang (mutually
shared interest). Pendekatan penyelesaian sengketa ini ditujukan untuk mencapai suatu
solusi/kesepakatan yang sifatnya “menang-menang”. Pendekatan penyelesaian
sengketa berdasarkan kepentingan ini dapat dilakukan melalui mekanisme perundingan
(negosiasi) maupun penengahan (mediasi).
Ketiga pendekatan power, right dan interest tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri.
Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Efektifitas dari pendekatan
kepentingan (interest based) akan sangat bergantung pada efektifitas dalam
mendayagunakan pendekatan kekuatan (power based). Disisi lain, pendayagunaan
power based yang tepat dan efektif dapat membantu membangun kekuatan salah satu
pihak yang pada awalnya tidak memiliki kekuatan yang memadai. Disisi lain,
pendekatan right based (ajudikasi) juga daapt didayagunakan sebagai “ancaman” untuk
“menarik” salah satu pihak yang awalnya tidak tertarik untuk menyelesaikan sengketa
melalui perundingan menjadi pada akhirnya termotifasi untuk berunding.
Kesepakatan yang dihasilkan oleh perundingan interest based dalam bentuk
kesepakatan juga membutuhkan pendekatan power based dalam bentuk eksekusi
pengadilan dalam hal kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Dalam suatu strategi penyelesaian sengketa, ketiga pendekatan ini dapat
berpindah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya tergantung pada konteks
seberapa memadai kekuataan yang dimilki oleh salah satu pihak.
Untuk memilih pendekatan yang paling tepat dari tiga pendekatan di atas dalam suatu
dinamika penanganan kasus, dipergunakan empat kriteria sebagai berikut dibawah ini:
1. Biaya Transaksi
Pemilihan terhadap setiap pendekatan berdampak pada biaya transaksi (transaction
cost) – biaya dalam pengertian waktu, uang, energi yang terkuras akibat emosi yang
timbul dari konflik yang terjadi, sumber daya yang terkuras, serta kesempatan yang
hilang (opportunities lost). Salah satu kriteria untuk menetapkan pilihan dari ketiga
pendekatan diatas adalah seberapa besar biaya transaksi yang akan tersita.
118
2. Kepuasan terhadap Hasil Akhir
Salah satu kriteria menilai kelayakan dari salah satu pendekatan (power, right atau
interest) adalah dengan cara mengukur kepuasan pihak-pihak yang bersengketa
terhadap hasil akhir. Kepuasan yang dimaksudkan disini didasarkan pada pertimbangan
seberapa jauh hasil kesepakatan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pihak-
pihak yang bersengketa secara memadai. Kepuasan juga ditentukan oleh faktor fairness
(dianggap patut dan adil oleh para pihak) proses penyelesaiannya.
3. Dampak terhadap Hubungan Antar Manusia
Penilaian terhadap seberapa jauh dampak pemilihan salah satu pendekatan terhadap
hubungan antar manusia (hubungan kerjasama yang telah dibangun dan hubungan
jangka panjang antar berbagai pihak) juga merupakan hal yang perlu diperhitungkan.
Kriteria ini mengakomodasikan faktor pentingnya pemenuhan kepentingan psikologis
(pentingnya hubungan antar manusia).
4. Kemampuan Mencegah Konflik Kambuhan (Recurrence)
Salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menetapkan salah satu
pendekatan (power, right, dan interes) adalah seberapa jauh pendekatan tersebut
mampu untuk mencegah konflik/sengketa kambuhan (muncul kembali walaupun
kesepakatan telah dicapai). Sengketa dapat muncul kembali andaikata kesepakatan
yang dihasilkan merupakan kesepakatan semu, atau kesepakatan belum mampu
mencerminkan kepentingan/kebutuhan para pihak secara seimbang. Semakin besar
kemampuan kesepakatan untuk mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan pihak
yang bersiteru, semakin kokoh kesepakatan tersebut bertahan dan dapat secara
konsisten dilaksanakan.
Untuk membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif dalam suatu sistem
hukum, Ury Dkk (1988) berpendapat ketiga pendekatan (power right dan interest)
hendaknya diletakkan dalam posisi prisma normal – kebalikan dengan suatu kondisi
dimana pendayagunaan ketiga kepentingan dalam proporsi seperti digambarkan dalam
bentuk prisma terbalik. Pendekatan sengketa seperti tergambar dalam prisma terbalik
merupakan kondisi yang digambarkan sangat menegangkan (distressed)—sedangkan
prisma normal digambarkan sebagai sistem penyelesaian sengketa yang efektif.
119
5. Distressed System Effective System
Agar sistem berjalan efektif, dari ketiga pendekatan penyelesaian sengketa diatas, ruang
penggunaan pendekatan berdasarkan kepentingan (interest) harus diberikan porsi yang
lebih besar dibandingkan dengan ruang yang disediakan untuk pendekatan kekuatan
(power) dan pendekatan hukum (right). Idealnya, pendekatan penyelesaian sengketa
yang berdasarkan kepentingan dan kebutuhan merupakan kondisi ideal untuk mencapai
masyarakat yang demokratis.
c. Kesimpulan
Dalam pengaturan penanganan konflik yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah
pesisir perlu ditekankan aspek pencegahan konflik. Aspek pencegahan konflik paling
tidak harus meliputi pengaturan yang mengakui serta membuka ke enam akses
masyarakat. Ada tiga pendekatan dalam penyelesaian sengketa yang perlu
diakomodasikan dalam RUU PWP, yaitu berdasarkan kekuatan (power), berdasarkan
hak (rights) dan berdasarkan kepentingan (inerests based) hak-hak masyarakat agar
masyarakat mempunyai kekuatan dalam melahirkan tekanan publik yang efektif.
Pengembangan pendekatan berdsarkan hak dilakukan dengan cara
mengembangkan hak-hak prosedural untuk memudahkan masyarakat melalui upaya
hukum di pengadilan seperti hak gugat, class actions, strict liability dan pembuktian
terbalik. Sementara pengembangan pendekatan berdasarkan kepentingan dilakukan
dengan cara terlebih dahulu mengembangkan mekanisme pengelolaan pengaduan
masyarakat yang komprehensif. Pengenalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dapat mengambil contoh dari Pasal 30-33 Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyelesaian sengketa merupakan elemen penting dari pengelolaan pesisir terpadu
yang bertujuan utama untuk menyelesaikan konflik antar sektor yang berbeda dan
mendayagunakan sumber daya yang ada. Tujuan lainnya adalah untuk menyelesaikan
sengketa secara adil dan efisien. Konflik dapat timbul dalam hampir seluruh tingkatan
program, mulai dari petunjuk pemerintah pusat hingga kegiatan-kegiatan di tingkat
desa. Tiap tingkatan seharusnya membangun suatu proses untuk menyelesaikan
sengketa. Proses ini beragam bentuknya pada tiap tingkatan, tergantung jenis kegiatan
dan keputusan yang dilaksanakan. Namun, proses-proses itu umumnya dapat
digolongkan ke dalam empat kategori sebagai alternatif.
120
Alternatif 1: Penyelesaian hukum pengadilan (Court adjudication). Penyelesaian
sengketa melalui sistem peradilan yang berlaku. Kelebihannya, pendekatan ini
mengandalkan pada kerangka penyelesaian sengketa yang sudah ada. Kekurangannya,
pendekatan ini bersifat formal dan lamban, serta cenderung tidak menghasilkan
keputusan-keputusan yang mendukung pengelolaan pesisir terpadu.
Alternatif 2: Penyelesaian secara administrasi (Adminstrative adudication). Sebuah
proses penyelesaian yang dilaksanakan di tingkat daerah, sama halnya dengan
pengadilan hukum administrasi. Kelebihan alternatif ini, resolusi ini dapat dicapai
dengan cepat dan tidak seformal sistem pengadilan. Selain itu, para hakim
mengkhususkan diri pada hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya pesisir. i j
Alternatif 3: Mediasi (Medation). Pihak yang bersengketa dapat mencari media
perantara, atau pihak ketiga yang netral dan obyektif untuk membantu mencapai
kesepakatan. Kelebihan alternatif ini bahwa dalam proses mediasi pihak-pihak yang
bersengketa terlibat langsung tanpa campur tangan lembaga pemerintah yang dapat
bertindak memihak. Adapun kekurangannya adalah tidak adanya kepastian akan
penyelesaian karena proses ini membutuhkan kesepakatan dari semua pihak yang
bersengketa. i
Alternatif 4: Arbitrase (Arbitration). Pihak yang bersengketa dapat melakukan arbitrasi,
atau menyepakati keputusan yang dibuat oleh pihak ketiga yang netral dan obyektif.
Kelebihannya, arbitrasi umumnya tidak terlalu formal dan tidak memakan waktu
banyak dibandingkan dengan proses penyelesaian hukum.
Alternatif 5: Adat (Traditional customary). Jika dianggap layak, pihak yang
bersengketa dapat memilih penyelesaian masalah dengan menggunakan sistem adat
yang berlaku untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Alternatif 6: Musyawarah untuk mufakat (Win-win solution). Sesuai dengan semangat
dalam kebersamaan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan secara musyawarah
untuk mufakat. Pelaksanaan musyawarah dapat disponsori oleh pihak pemerintah
ataupun tokoh adat, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama. Alternatif ini memberikan
hasil yang sangat baik dan biasanya dapat diterima semua pihak.
Alternatif yang dipilih:
Alternatif yang dipilih adalah kombinasi 2, 3, 4, 5, 6. Namun pilihan yang disarankan
adalah mediasi. Bahwa pilihan alternatif untuk penyelesaian sengketa dibutuhkan agar
program tetap fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu,
121
memberi kesempatan untuk memilih proses penyelesaian pada pihak yang bersengketa
akan lebih mendorong mereka untuk menjalankan hasil dari proses yang dicapai.
Sebagai konsekuensinya. Di rekomendasikan agar semua proses alternatif diresmikan
sehinggga pihak yang bersengketa dapat leluasa memilih cara penyelesaian yang
dianggap cocok.
7.3. Mekanisme Hukum dan Kelembagaan
Mekanisme terdiri dari perundang-undangan dan lembaga yang dibentuk untuk
mencapai tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu yang bersifat lokal (decentralized).
Tujuan utama dari mekanisme adalah mengembangkan pengelolaan pesisir di seluruh
Indonesia. Seperti telah dibahas sebelumnya dalam Bab 3 (tiga) Naskah Akademis ini,
bahwa banyak persoalan yang timbul di bidang sumber daya pesisir dan laut di
Indonesia. Mekanisme ini ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Namun, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan lantaran perundang-
undangan yang berlaku saat ini tidak efektif. Karenanya, sebuah perundang-undangan
baru dibutuhkan.
7.3.1 Mekanisme Pentaatan dan Penegakan Hukum
Mengembangkan konsep penegakan hukum dan penaatan (enforcement and
compliance) dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir perlu terlebih dahulu
menelusuri faktor penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dalam konteks
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pengelolaan wilayah pesisir.
Pengidentifikasian faktor penyebab memudahkan kita untuk mengembangkan berbagai
pilihan solusi. Berbagai solusi tersebut diharapkan dapat diwadahi dan difasilitasi
dalam norma peraturan perundang-undangan quad non UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir.
Beberapa penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dapat diidentifikasi
sebagai berikut :
a. Kehendak politik penyelenggaraan negara (eksekutif dan legislatif) yang belum
menganggap penting pengintegrasian pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan dan berbasiskan kepentingan rakyat banyak (ecologically
sustainable development – ESD) ke dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan
sumber daya publik termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir;
122
b. Peraturan perundang-undangan sektoral tidak selamanya sinkron dengan prinsip-
prinsip ESD yang terangkum dalam konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu;
c. Kondisi penyelenggara negara (governance) sangat buruk (bad governance) –
termasuk peradilan yang belum mampu menjalankan peranannya sebagai “rumah
keadilan” bagi pencari keadilan (masyarakat);
d. Kapasitas penegak hukum sangat tidak memadai – kuantitas, kualitas maupun
integritas (di tingkat pengawas/inspektur, penyidik/PPNS maupun polisi,
jaksa/penuntut maupun hakim/pemutus);
e. Tekanan masyarakat (civil society) dalam mendorong tingkat penaatan belum
memadai.
f. Orientasi penegakan hukum kuratif (setelah masalah muncul dan menimbulkan
kerugian masyarakat dan perusakan lingkungan) dan pendekatan Command and
Control (atur dan awasi) masih sangat dominan;
Dari berbagai penyebab tersebut diatas maka pengenalan konsep penegakan
hukum konvensional (penegakan hukum administratif, perdata dan pidana) –
sebagaimana dianut oleh mayoritas peraturan perundang-undangan kita – dapat menjadi
sangat kontra produktif. Agar efektif, penegakan hukum konvensional yang lebih
dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau “Atur – Dan Awasi”
(ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki:
1. Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran;
2. Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan pasti
(swift & sure responses);
3. Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam memberikan
sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect).
Ketiga prasyaratan diatas, keberadaannya sangat ditentukan oleh kemampuan
dan integritas aparatur pemerintah dan penegak hukum, serta peradilan yang
independen -- elemen-elemen ini merupakan elemen penting dalam good governance.
Sejalan dengan pembenahan aparatur pemerintah dan penegak hukum dan lembaga
peradilan yang kini sedang dilakukan, maka pemberlakuan pendekatan tunggal (single
approach) yaitu pendekatan CAC atau ADA tidak akan efektif dalam mencapai tujuan
penegakan hukum di Indonesia yaitu kepatuhan menjalankan (compliance) nilai-nilai
perlindungan daya dukung sumber daya alam, khususnya wilayah pesisir.
123
Sebagai solusi terhadap rentannya penggunaan CAC dalam iklim governance
seperti di Indonesia, maka pemberlakuan berbagai pendekatan secara integratif dan
komperhensif diperlukan seperti pendekatan-pendekatan penaatan (compliance
approaches) dalam sebuah Undang-undang sebagai berikut :
a. Pendekatan “Atur - Dan - Awasi” atau Command and Control (CAC);
b. Pendekatan Insentif/Ekonomi (Economic Approach);
c. Pendekatan Perilaku (Behaviour Appoach);
d. Pendekatan Tekanan Publik (Public Pressure Approach).
a. Pendekatan Atur – Dan – Awasi (ADA)
Pendekatan “Atur-Dan-Awasi” (ADA) pada dasarnya adalah sumber pencemar (atau
yang berpotensi mencemarkan) dicegah untuk melakukan pelanggaran terhadap
persyaratan perlindungan fungsi lingkungan hidup melalui ancaman hukuman.
Pemberlakuan ADA sebaiknya ditekankan pada penegakan hukum administrasi dengan
mendayagunakan kewenangan aparatur pemerintah (tata usaha negara) untuk
mencegah perilaku menyimpang ataupun merusak melalui perangkat hukum
administrasi :
i. Izin;
ii. Persyaratan pencegahan dan pengendalian dampak yang tertuang dalam izin;
iii. Mengembangkan kapasitas dan mempersiapkan aparat pengawas (inspektur) secara
memadai dengan strategi penyebaran secara proporsional dalam konteks geografis
(aparat tersebut bertugas melakukan fungsi pengawasan terhadap penegakan dan
penaatan yan tertuang dalam izin tersebut);
Mekanisme pengawasan, termasuk pengawasan yang mendayagunakan
masyarakat disamping pengawasan yang dilakukan aparatur pemerintah; dan,
Sanksi administratif yang pemberlakuannya secara bertahap dan sistematis (lihat
piramida) . Penekanan (stressing) pada penegakan hukum administrasi tidak berarti kita
mengabaikan aspek penegakan hukum hukum pidana dan perdata.
Pemberlakuan penegakan hukum pidana perlu dirancang tidak terbatas pada
pemberlakuan sanksi pidana pada pelaku langsung (physical perperator), tetapi juga
terhadap organisasi perusahaan (corporaion) sebagai funconal perpetrator. Organisasi
perusahaan tidak hanya terbatas pada korporasi sebagai badan hukum, akan tetapi
pemimpin korporasi (corpoate director/s). Pemberlakuan tindak pidana korporasi ini
124
diharapkan dapat lebih mendorong (push factor) korporasi sebagai pelaku potensial
terhadap perusakan wilayah pesisir untuk mengikutsertakan kepeduliannya dalam
strategi pengelolaan perusahaannya (internalising sustainable developmen into
corporae srategy). Dengan demikian ancaman hukuman pidana akan terdiri dari
ancaman hukuman terhadap pelaku fisik/langsung berikut orang-orang yang turut serta,
badan hukum, pemimpin korporasi dan pemberi perintah.
Penegakan hukum perdata dapat dirancang sebagai wadah untuk pemulihan hak
melalui kompensasi individual bagi pihak yang menderita kerugian, maupun
kompensasi publik, yaitu kompensasi atas kerugian yang diderita oleh negara dan biaya
pemulihan atau rehabilitasi wilayah pesisir yang rusak. Penegakan hukum perdata ini
juga dapat dirancang melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan melalui pendekatan
interest based yaitu negosiasi ataupun mediasi. Pemberian hak gugat (standing to sue)
juga tidak dibatasi pada pihak yang nyata-nyata menderita kerugian, akan tetapi juga
bagi organisasi yang memiliki keperdulian akan penyelamatan ekosistem wilayah
pesisir tanpa harus organisasi tersebut memiliki kepentingan kepemilikan (propietary
interest). Konsep pertanggungjawaban perdata (liability) meliputi pertanggung jawaban
melalui pembuktian berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan pertanggung
jawaban tanpa penggugat membuktikan kesalahan (liability without fault) atau srict
liability.
Mengingat kerusakan wilayah pesisir dapat menimbulkan kerugian masal
(massaccident) maka prosedur tuntutan hukum hendaknya juga memberlakukan
prosedur class action
(gugatan perwakilan kelompok) yang juga dikenal dalam berbagai
peraturan peundang-undangan nasional seperti UU Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
b. Pendekatan Insentif/Ekonomi
Pendekatan insentif dalam bentuk instrumen ekonomi ini sangat disukai oleh
objek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (egulated community) karena
pelaku usaha akan melihat peluang keuntungan ekonomis apabila dilakukan penaatan
terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendekatan ini, setiap
penanggung jawab usaha/kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem wilayah pesisir,
secara rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauh mana keuntungan akan mereka
peroleh apabila melaksanakan penaatan (compliance) atau melakukan pelanggaran
125
(violaion). Sedangkan pendekatan insentif instrumen non ekonomi dapat
dikembangkan melalui publikasi kinerja usaha/kegiatan (performance rating), atau
sertifikasi (certification) yang terkait dengan usaha pengelolaan wilayah pesisir,
kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu atau jutaan orang lainnya (anggota kelas/class
members) yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian
Salah satu contoh misalnya dengan mewajibkan kepada perbankan untuk
memberikan kredit hanya kepada perusahaan yang terkait dengan pengelolaan wilayah
pesisir yang tingkat ketaatannya terhadap nilai-nilai lingkungan sangat baik.
c. Pendekatan Perilaku (Behaviour approach)
Pendekatan ini menekankan pada pentingnya motivasi manusia (human
motivation) dengan pengembangan kerjasama melalui perundingan/negosiasi,
meyakinkan dunia usaha tentang pentingnya penaatan melalui program pendidikan dan
pemberian bantuan atau dukungan teknis. Pendekatan ini memandang masyarakat yang
tidak kompeten dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup sebagai obyek pengaturan.
Pendekatan perilaku yang dituangkan dalam bentuk pendidikan dan bantuan
teknis sebaiknya dicantumkan sebagai kewajiban bagi pemerintah lokal (kota /
kabupaten). Pemerintah lokal sekligus bertanggung jawab untuk mengembangkannya.
d. Pendekatan Tekanan Publik (Publc Pressure Approach)
Pendekatan ini menekankan pentingnya pendayagunaan kekuatan masyarakat
dalam memberikan tekanan (pressure) dalam mendorong objek legislasi/regulasi agar
mematuhi peraturan. Pendekatan ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara, seperti;
Proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara
transparan/terbuka dengan pengertian lain undang-undang ini memperkenalkan setiap
proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pemanfaatan dan konservasi
wilayah pesisir harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan cara membuka
akses pada masyarakat mempengaruhi keputusan tersebut ; Akses publik terhadap
informasi; Akses publik untuk terlibat dan berperan serta dalam proses pengambilan
keputusan; Ketersediaan mekanisme pengelolaan pengaduan masyarakat terhadap
setiap perilaku yang dapat merusak ekosistem wilayah pesisir dan kerugian yang
ditimbulkan dari kerusakan wilayah pesisir.
126
Cara pertama, kedua, dan ketiga telah diatur dan diakomodir dalam Peraturan
Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang AMDAL dan Keputusan Bapedal No.8 tahun
2000 tentang Peran Serta Masyarakat
Keempat pendekatan tersebut dapat diakomodasikan secara terintegrasi di
dalam RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dengan demikian peranan undang-undang
ini tidak hanya saja menjalankan fungsi regulasi/pengaturan dengan pemberlakuan
strategi konvensional Atur-Dan-Awasi (ADA), akan tetapi Undang-undang ini
sekaligus memberi wadah bagi melembaganya nilai-nilai demokratik dan berorientasi
pada konsep penaatan secara terintegrasi dan komprehensif.
7.3.2. Mekanisme Sistem Kelembagaan
Komponen pertama dari mekanisme sistem kelembagaan adalah pengembangan
sebuah ketentuan hukum baru, yakni sebuah perundang-undangan. Perundang-
undangan ini akan mencantumkan persyaratan bagi pemerintah pusat untuk
mengembangkan pedoman bagi pengelolaan pesisir terpadu. Perundangan ini juga akan
menciptakan sebuah kerangka kerja bagi pemerintah kabupaten/kota dan rakyatnya
untuk mengelola sumber daya pesisir dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh bangsa,
serta bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kesemuanya itu dapat dilaksanakan
dalam sebuah proses yang terpadu.
Kerangka kerja ini akan dikembangkan pada semua tingkatan pemerintahan,
dalam suatu rangkaian bertingkat, dan akan mempengaruhi tiap keputusan yang akan
dibuat. Secara khusus, pemerintah pusat akan mengembangkan pedoman untuk
membantu pemerintah daerah. Pedoman ini akan mencantumkan proses-proses
pengembangan program untuk memastikan adanya keterlibatan publik, keterbukaan
dan pertanggungjawaban. Pedoman tersebut juga akan memasukkan kriteria untuk
memastikan keabsahan ilmu yang digunakan dan pemanfaatan informasi; standar
pengelolaan untuk memastikan keseimbangan dan kesinambungan pendayagunaan
sumber daya pesisir. Jika perlu, Provinsi dan kabupaten/kota dapat mengembangkan
program-program yang sejalan dengan pedoman tersebut. Apabila pemerintah pusat
setuju, bantuan dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah yang melaksanakan
program-program tersebut.
7.3.3. Kelembagaan
Kunci keberhasilan pengelolaan pesisir terpadu adalah pengembangan sebuah
mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan kebijakan
127
pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan proses untuk tiga jenis koordinasi dalam
pembuatan keputusan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1)
koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara
berbagai tingkatan pemerintah—kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi
horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan
pemerintahan akan memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya
pesisir di Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara
khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat
keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi tersebut
mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu didirikan
organisasi yang baru.
7.4. Pelaksanaan Mekanisme
Bagian ini memberikan ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme kelembagaan
diterapkan atau dilaksanakan. Langkah pertama dalam pelaksanaan mekanisme adalah
pembentukan sebuah proses antar sektor untuk menangani hal-hal yang berkaitan
dengan pengelolaan pesisir. Proses ini melibatkan sebuah organisasi yang
beranggotakan seluruh instansi terkait, perwakilan dari para stakeholeder, seperti
pemerintah Provinsi dan kabupaten, LSM dan para akademisi. Proses ini juga terdiri
dari mekanisme penyelesaian sengketa, seperti penyampaian permasalahan dari dalam
organisasi kepada pihak berwenang yang lebih tingggi tingkatannya, misalnya kepada
seorang menteri koordinator atau presiden. Proses semacam ini akan memenuhi tujuan
yang telah disebutkan di atas, yakni mengkoordinasikan lembaga dan menciptakan
keharmonisan antara interpretasi hukum yang berbeda-beda.
Langkah berikutnya adalah penyusunan pedoman. Pedoman tersebut akan
mencakup semua aspek dalam pengelolaan pesisir terpadu. Pedoman akan terdiri dari
kebijakan-kebijakan, standar serta kriteria. Pedoman ini akan merupakan dasar bagi
pemerintah daerah untuk mengembangkan program-program pengelolaan pesisir
terpadunya masing-masing. Pedoman ini juga menjadi dasar untuk sertifikasi: bila
pemerintah pusat menemukan bahwa program daerah telah memenuhi standar, kriteria
dan arahan, maka pemerintah pusat dapat mengesahkan program daerah tersebut.
Pedoman sebagian besar terdiri dari standar yang mengikat yang mencakup
prinsip-prinsip yang dibahas. Pedoman juga akan mencantumkan langkah-langkah
penting yang bersifat umum dalam upaya mencapai koordinasi, partisipasi,
128
keterbukaan, pengetahuan ilmiah yang baik dan kepastian hukum. Proses untuk
mempersiapkan pedoman akan bersifat terbuka dan transparan. Rancangan pedoman
tersebut kemudian dikonsultasikan pada masyarakat.
Setelah disempurnakan dan disebarluaskan, pedoman akan diuraikan ke dalam
penjelasan yang lebih terinci oleh Provinsi. Provinsi akan mengembangkannya sesuai
dengan pedoman nasional, tetapi lebih terinci untuk yurisdiksi masing-maing, dan
disesuaikan dengan dengan kebutuhan serta kemampuan daerahnya. Pedoman Provinsi
akan mencantumkan informasi spesifik mengenai inventori sumber daya, pemetaan dan
penggunaan lahan, yang menjadi dasar untuk rencana tata ruang. Termasuk juga
didalamnya adalah informasi mengenai wilayah pengelolaan tertentu serta metodologi
khusus untuk pengendalian pencemaran.
Kabupaten harus mentaati pedoman yang bersifat mengikat tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan nasional atau kesepakatan international. Namun,
kabupaten/kota dapat menentukan kemudian jika mereka ingin mengembangkan
sebuah program yang bersifat suka rela yang sejalan dengan pedoman pusat dan
Provinsi. Bila mereka ingin melakukannya, mereka dapat meminta bantuan teknis dan
finansial dari pemerintah pusat dan Provinsi. Program-program ini pada dasarnya
merupakan rencana kegiatan (action plan) dari pelaksanaan pedoman yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat dan Provinsi.
Pedoman yang bersifat tidak mengikat ini memiliki dua keuntungan. Pertama,
kabupaten dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai cara mengelola sumber
daya secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, kabupaten akan dapat meminta
bantuan finansial dan teknis dari pemerintah pusat dan Provinsi.
Program kabupaten perlu mentaati persyaratan prosedur dan substantif dari
pedoman. Hal ini termasuk persyaratan yang memastikan bahwa program akan
dikembangkan dengan cara terpadu dan transparan, dengan melibatkan konsultasi dan
partisipasi publik. Termasuk juga didalamnya adalah persyaratan yang memastikan
bahwa program kabupaten dirancang sedemikian rupa untuk menangani permasalahan
dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Setelah pengembangan program, kabupaten
akan bekerja sama dengan Provinsi untuk menyerahkan program tersebut kepada
pemerintah pusat untuk dianalisa. Jika program memenuhi maksud dan tujuan pedoman
pemerintah pusat serta persyaratannya, maka program itu akan disetujui dan disahkan
oleh pemerintah pusat.
129
Setelah pengesahan, kabupaten/kota akan memperoleh keuntungan tambahan,
termasuk bantuan finansial dan teknis untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
termasuk dalam program.
Setelah program disahkan, akan ada kewajiban menyerahkan laporan tahunan
dan pemantauan, untuk memastikan bahwa program tetap dilaksanakan sesuai dengan
pedoman nasional. Selain itu, kabupaten/kota perlu memperbaharui ijin program secara
berkala, misalnya tiap lima tahun sekali. Pemerintah pusat, sesuai persyaratan yang
menyangkut kepentingan nasional dan hukum internasional, akan memberlakukan
sanksi dan penegakan persyaratan bagi komponen-komponen dari sebuah program
kabupaten/kota. Namun, tidak ada sanksi atau denda untuk komponen program yang
bersifat sukarela. Sebaliknya, jika kabupaten/kota tidak melaksanakan program
sebagaimana mestinya, pemerintah pusat akan menunda hibah atau bantuan.
Kabupaten/kota akan diberi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya, dan bila
berhasil, baru hibah akan dikucurkan. Namun demikian, bila pelaksanaan program tetap
keluar dari jalur semula, maka bantuan dapat dibatalkan, dan pada akhirnya perijinan
juga akan dicabut.
130
BAB VIII
PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR
8.1. Optimalisasi Pemanfaatan
Bila mekanisme pengelolaan tersebut dilaksanakan maka diharapkan dapat
mengoptimalkan keberadaan sumberdaya wilayah pesisir. Secara ekonomis, hasil
pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut dapat memberikan kontribusi pendapatan asli
daerah kabupaten atau kota. Disamping itu, perlu memperhatikan faktor-faktor iinternal
lingkungan alam dan internal sosial, sehingga tidak mengekspolitasi sumberdaya
wilayah pesisir. Dalam mengeksploitasi sumberdaya alam hayati maupun sumber daya
nir-hayati, harus memperhitungkan faktor internal tersebut. Karena faktor internal akan
mempengaruhi kondisi dari pengelolaan sumberdaya dimasa yang akan datang.
Pengelolaan sumberdaya pesisir daerah juga harus mempertimbangkan
karakteristik bio-geofisik lingkungan pesisir daerah, sehingga pemanfaatan wilayah
pesisirnya dapat dipertahankan secara terus menerus tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang (ecologically sustainable use). Dengan memperhatikan
karakteristik-karakteristik bio-geofisik lingkungan pesisir tersebut, maka dapat
dioptimalkan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir disamping dapat
menyumbangkan PAD bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan, menjaga
kelestarian alam, serta sumberdaya pesisir sehingga tidak habis tereksploitir untuk
generasi yang akan datang.
8.2. Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
Efisiensi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir merupakan target yang perlu
dicapai. Upaya-upaya yang perlu diterapkan agar dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir yang berkaitan dengan adanya penataan ruang daerah dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir. Dalam perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan daerah,
dengan memperhatikan segala aspek-aspek, agar dalam perencanaan dan pengelolaan
ruang dan sumberdaya pesisir yang efisien dapat tercapai.
Pengelolaan sumberdaya pesisir yang terencana dan berkelanjutan, berkembang
dari pemanfaatan ruang yang efisien. Pemerintah daerah kabupaten atau kota akan
melakukan penataan ruang daerah sesuai dengan kondisi daerah, sehingga penataan
ruang tidak mengikuti penataan ruang yang ada sebelumnya. Dalam penataan ruang
yang efektif, akan menghasilkan ruang dan pengelolaan yang efisien. Dengan
memperhatikan kondisi penataan ruang daerah ini, akan memberikan kontribusi pada
131
penerimaan daerah. Potensi daerah merupakan bagian dari penataan ruang, yang akan
dapat digali dan akan dapat dikelola oleh daerah.
8.3. Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
Pengeloaan sumberdaya wilayah pesisir baik yang dilakukan oleh swasta dan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan publik, akan dapat saling menjaga
kelestarian wilayah pesisir. Keterpaduan antar sektor yang berkepentingan dalam
pengelolaan wilayah pesisir harus saling memperhatikan kondisi wilayah pesisir, tidak
saling berebutan dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati maupun nonhayati demi
kepentingan sektor. Pada umumnya pihak swasta dalam mengelola sumberdaya
wilayah pesisir dengan tidak memperhatikan kondisi wilayah, sehingga hanya
berorientasi pada profit saja. Pemerintah daerah kabupaten atau kota, tidak hanya
mengejar laju pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi
harus memperhatikan keterpaduan antara sektor dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir daerah.
Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah yang dikelola oleh sektor-
sektor yang tidak saling tumpang tindih (sustainable use), dapat dilakukan apabila
pihak-pihak sektor-sektor terkait telah melakukan koordinasi perencanaan penataan
ruang wilayah pesisir. Dengan membuat zona-zona peruntukan dan pemanfaatan
wilayah pesisir, daerah akan mendapatkan hasil yang optimal dalam pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir.
8.4. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Berkeberlanjutan
The ultimate goal dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini adalah
termanfaatkannya sumberdaya pesisir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
pembangunan nasional pada saat ini, tetapi tidak mengorbankan kelestarian
sumberdaya pesisir tersebut dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.
Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama
dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan
substitusi sumberdaya nir-hayati.
132
DAFTAR PUSTAKA
Adhuri, D.S. 1998. Who can challenge them? lesson learned from attempting to curb
cyanide fishing in Maluku, Indonesia. Life Reef Fish Information Bulletin No.
4 pp. 12-17.
Alfred, 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 06.00 – 06.20 pm in Desa
Malalayang, Manado.
Berkes, F. 1994. Property rights and coastal fisheries, p. 51-62. In Pomeroy, R.S. (ed.)
Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia
and The Pasific: concepts, methods and exeriences. ICLARM Conf. Proc. 45,
189 p.
Bromley D.W. and Cernea M.M. 1989. The Management of Common Property Natural
Resources: some conceptual and operational fallacies. The World Bank,
Washington, D.C.
BPHN. 1995. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya
Alam di Wilayah Pantai. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman, Jakarta.
Clark, J.R.1996.Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers, Boca Raton,
FL.
Crawford, B. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 07.00 – 08.00 am in
Novotel, Manado – North Sulawesi.
Dahuri, R., 2000, Konsepsi Pendekatan Penataan Ruang dalam Menunjang
Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil,
makalah pada Temu Pakar “Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir”, Jakarta.
Dahuri, R., 2000, Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
makalah pada Kegiatan Apel Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut,
Surabaya.
Dahuri, R., S. P. Ginting, J. Rais, M. J. Sitepu, 1996, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Dako, R. 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 11.00 – 12.00 am in Desa
Malalayang, Manado.
Darwanto, H., 2000, Mekanisme Pengelolaan Perencanaan Tata Ruang Wilayah
Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil serta Hubungan antar Perencanaan
133
Tingkat Kawasan, Kabupaten, Provinsi, dan Basional, makalah pada Temu
Pakar “Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir”, Jakarta.
Den Hartog, C., 1970, The Seagrasses of the world, North Holland Publishing Co.,
Amesterdam.
Departemen Kehutanan.,1995, Pedoman Penetapan Kriteria Baku Kawasan Konservasi
Laut, Ditjen PKA-Dephut, Bogor.
Diposaptono, S. dan Afianto YA, 1996, Survei dan Model Tsunami Biak, Konvensi
Benua Maritim, Ujung Pandang.
Diposaptono, S, 2000, Tsunami History and database in Indonesia, Proceeding of the
3rd
Multilateral Workshop on development of Earthquake and Tsunami
Disaster Mitigation Technologies and their Integration for the Asia-Pacific
Region, Manila.
Djalal, D.P. 1996. The Geopolitics of Indonesia's Maritime Territorial Policy. Centre
For Strategic And International Studies, Jakarta.
Dutton, I.M. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 07.00 – 08.00 pm in
Novotel, Manado – North Sulawesi.
Ginting, S. P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Di Sulawesi Utara
Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. P. 30-43 VOL 1. NO. 2.
Jurnal Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB, Bogor.
Ginting, S. P. 1998. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Masyarakat. Jurnal
Pembangunan Daerah. Ditjen Pembangunan Daerah Edisi 2/II/98.
Ginting, S. P. 1998. Implikasi Otonomi Daerah Dalam Pengembangan Prasarana Di
Wilayah Pesisir. Jurnal Pembangunan Daerah. Ditjen Pembangunan Daerah.
Ginting, S. P. 2000. Conflict of Coastal Management Jeopardize The Sustainability of
Coastal Resources in North Sulawesi. Paper for The 9th
International Coral
Reef Symposium, Bali 23 – 28 October 2000.
Goldberg, S. B., Sander, F. E. A., Rogers, N. H., 1992, Dispute Resolution: Negotiation,
Mediation, and Other Processes, Little, Brown and Company, Boston.
Hardin, G. 1968. The tragedy of commons. Science (Vol. 166), p. 1243-1248. USA
Hinrichsen, D. 1997. Coasts in Crisis. In M.C. Miller and J. Cogan, (eds) Coastal Zone
97 (Vol. 1), Boston, MA, proceeding of the Tenth Coastal Zone Conference,
Boston, July 19-25.
134
Hutomo,M., W Kiswara & M.H Azkab, 1988, The status of Seagrass Ecosystem in
Indonesia: Resource, Problems, Research and Management, Paper presented
at Seagram I, Manila 17-22 January 1988.
Iswanto, H., 1993, Penguasaan Tanah Tumbuh di Sub DAS bengawan Solo Hulu,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
IUCN, 1990., IUCN Red List of Threatened Animal, WCMC, UK.
Katril, 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 05.00 – 05.30 pm in Desa
Malalayang, Manado.
Knight, M., 2001, Masukan Hasil Studi Wisata Internasional bagi Pengelolaan Pesisir
Terpadu di Indonesia, CRMP-CRC/URI, Jakarta.
Kriekhoff, V. J. L., 1993, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum, dalam T.
O. Ihromi (penyunting), ) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kusumaatmadja, S., 2000, Sumberdaya Perikanan dan Kelautan sebagai Potensi
Pertumbuhan Ekonomi, …..
Lalamentik, L. 1998. Personal Communication. 9 January 1998, 08.30 – 09.30 am, in
Wisata Hotel – Jakarta.
Mahadi, 1976, Tanah Timbul di Danau Toba, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta.
Malik, R. 1998. Personal Communication. 13 March 1998, 03.00 – 03.30 pm in NRM
Secretariat Jakarta.
Manado Post, 1997. Warga di lokasi reklamasi resah; pantai ditimbun, nelayan takut
kehilangan tempat parkir perahu. Manado Post Daily 20.09.97, Manado –
North Sulawesi.
Mantjoro, E. 1997. An Ecological and Human History of Bentenan and Tumbak
Villages. Coastal Resource Management Project - Indonesia, Manado.
Matindas, R.W. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 01.00 – 03.00 pm in
Kungkungan Bay Resort, Bitung - North Sulawesi.
McKean, M.A. 1992. Success on commons: a comparative examination of institutions
for common property resource management. Journal of Theoretical Politics,
4(3):247-281.
Nader, L. & H. F. Todd Jr. (editors), 1978, The Dispute Process: Law and Ten Societies,
Columbia University Press, New York.
135
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan.
Oakerson, R.J. 1992. Analyzing the commons: a framework. In Bromley, D.W., general
editor; coeditors Feeny, D… et al. "Making The Commons Work: Theory,
Practice", and policy. Institute for Contemporary Studies Press, San
Francisco, C.A.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons : the evolution of institutions for collective
action. Cambrigde University Press, New York.
Ostrom, E. 1992. The rudiment of the theory of the origins, survival, and performance
of common property institutions. In Bromley, D.W., general editor; coeditors
Feeny, D… et al. "Making The Commons Work: Theory, Practice", and
policy. Institute for Contemporary Studies Press, San Francisco, C.A.
Roberts, S., 1979, Order and Dispute: An Introduction to Legal Anthropology, Penguin
Books, Harmonsworth.
Rossiter, W.W. 1997. Fisheries conservation crisis in Indonesia: massive destruction of
marine mammals, sea turtles and fish reported from trap nets in pelagic
migratory channels. This information is taken from internet: William Rossiter,
President Cetacean Society International and Steve Morris.
Ruddle, K., Hviding E., and Johannes R.E. 1992. Marine resource management in the
context of customary tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273.
Saad, S., 2000, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan: Eksistensi dan Prospek
Pengaturannya di Indonesia, disertasi pada Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sharp, N. 1998. Terrestrial and Marine Space in Imagination and Social Life. ARENA
Journal, 10, 51-68.
Soegiarto,A. & N. Polunin, 1981, The Marine Environment of Indonesia. A Report
Prepared for the Government of the Republic of Indonesia, Under The
Sponsorship of the International Union for Conservation of Nature (IUCN)
and the World Widelife Fund (WWF).
Suara Pembaharuan. 1997. Pembantaian biota laut langka di selat Lembeh
memprihatinkan, in Suara Pembaharuan Daily, 29 May 1997, Jakarta.
Sulastriyono, 2000, Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan, dalam E. K. M.
Masinambow (editor), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Penerbit Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
136
Supit, S.A. 1998. Personal Communication. 16 January 1998, 06.30 – 07.30 pm in
Bentenan Beach Resort, North Sulawesi.
Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tusy, A. 1998. Perlindungan Lingkungan Perairan Laut terhadap Pencemaran yang
berasal dari Darat, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengendalian
Limbah Industri dan Pencemaran Laut, BPPT, Jakarta.
White, A.L. Hale, L.Z. Renard, Y. and Cortesi, L. 1994. Collaborative and Community
Based Management of Coral Reef: lessons from experience. Kumarian Press,
Inc., West Hartford, Connecticut.
Zerner, C. 1994. Tracking Sasi. The transformation of a central moluccan reef
management institution in Indonesia. In White, A.L. Hale, L.Z. Renard, Y.
and Cortesi, L. Collaborative and Community Based Management of Coral
Reef: lessons from experience. Kumarian Press, Inc., West Hartford,
Connecticut
137
LAMPIRAN
Isu Pokok / Identifikasi Malasah Pegelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Provinsi Sulawesi Utara
Meskipun telah ada keterlibatan berbagai pihak dalam bentuk multi stakeholder
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, sektor kelautan dan Perikanan baru
memberikan sumbangan yang relatif kecil terhadap pembangunan Sulawesi Utara. Hal
tersebut berdampak pada berkembangnya wilayah pesisir menjadi kantong-kantong
kemiskinan, Masyarakat pesisir tetap identikk dengan kemiskinan dan kelompok
margina! karena hanya sekitar 20 persen yang makmur dan sejahtera (Dualistic
economy), Potensi sumberdaya alam yang begitu besar belum dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pesisir
karena rendahnya kuafitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir,
pendekatan para stakeholder masih bersifat sektoral, parsial, dan tidak berwawasan
berkelanjutan, Bahkan sebagian kawasan dan sumberdaya laut telah mengalami
kerusakan lingkungan serius serta tetap maraknya praktek illegal fishing dan illegal sea
sand mining, Sejumlah isu pokok pembangunan wilayah pesisir dan lautan Sulawesi
Utara telah diidentifikasi Tim Penyusunan Dokumen. Sejalan dengan hal tersebut di
atas, maka dalam rangka pembuatan ataupun penataan kembali atau reregulasi Undang-
undang di bidang Perikanan serta
Peraturan Daerah khususnya kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara agar
sejalan dengan keinginan dan semangat otonomi daerah yang terpadu /integrslistik
dengan Undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka yang
paling penting dan mendesak pemerintah lakukan adalah menyangkut beberapa hal
sebagai berikut;
1. Pengaturan tentang pelimpahan hak dan tanggungjawab pemerintah kepada
daerah otonom menyangkut bidang pesisir dan laut.
2. Pengaturan tentang penguasaan, penyewaan dan atau larang penjualan
pulau-pulau besar dan kecil oleh pemerintah kepada swasta.
3. Pengaturan tentang hak ulayat masyarakat pesisir/masyarakat tradisional atau
pengaturan tentang "penguasaan hak milik" (property rights) atas
sumberdaya alam psrikanan kepada masyarakat (adat).
4. Pengaturan tentang hubungan .kewenangan antara pemerintah (pusat),
138
dengan provinsi atau hubungan kewenangan antara kabupaten/kota dengan
provinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (marine resources) di
wilayah pesisir dan taut pada zona konservasi, penyanggah, dan produk maupun
pada zona perairan tertentu.
5. Pengaturan tentang pengeloiaan kemitraan penggunaan sumberdaya setempat
(focal community) di wilayah pesisir dan laut antara pemerintah/daerah otonom
dengan nelayan lokal/tradisional (consept co-management, community-based
fisheries management), konsep pengeloiaan berbasis kerakyatan.
6. Pengaturan tentang lalulintas di wiiayah perairan daerah Kabupaten/Kota.
7. Peraturan tentang perizinan nelayan moderen dan kapal-kapal nelayan asing dan
syarat-syarat penangkapan ikan di wilayah perairan nasional, provinsi dan
kabupaten/kota.
8. Pengaturan tentang hubungan kewenangan antara daerah otonom atas
wilayah perairan seluas 4 mil, serta penarikan garis pangkal atas wilayah
perairan daerah pesisir yang tidak mencukup iuas 4 mil.
9. Pengaturan tentang penggunaan tata ruang perairan.
10. Pengaturan tentang kelembagaan dan pengawasan wilayah perairan
perikanan.
11. Pengaturan tentang keamanan wilayah perairan perikanan daerah otonom.
12. Pengaturan tentang yurisdiksi hukum (locus delicti) daerah otonom terhadap
wilayah perairan kabupaten/kota dan provinsi.
13. Pengaturan tentang peranserta masyarakat (clas action) dalam melindungi dan
melestarikan sumberdaya perikanan.
14. Pengaturan tentang penyidikan/penegakan hukum di wilayah perairan daerah
otonom.
15. Pengaturan tentang fenomena pengkaplingan wilayah perairan dan
sumberdaya pesisir dan laut.
16. Pengaturan tentang pengalih fungsian (konversi) hutan mangrove di wilayah
perairan pesisir menjadi tembak atau peruntukan lainnya serta rehabilitasinya
melalui penanaman kembali hutan bakau.
17. pengaturan tentang penarikan garis pembatas jalur-jalur penangkapan I, II, III
yang pengaturannya mencu pada Keputusan Menteri Pertanian No,
392/KFTS/IK, 120/4/1999, untuk klasifikasi nelayan tradisional dengan
nelayan moderen.
139
18. Pengaturan tentang perlindungan (konservasi) berbagai biota laut baik dari
jenis, ukuran umur dan spesies ikan tertentu.
19. Pengaturan sanksi yang berorientasi lingkungan; rehabilitasi, ganti rugi dan
denda serta biaya pemulihan dan pemeliharaan wilayah marine and coastal
lingkungan (secara kumutatir).
20. Standarisasi teknologi ramah lingkungan yang digunakan di dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Siapa yang
mengatur dan menguji teknologi yang dapat digunakan di dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan; 1), alat tangkap, ukuran a!at tangkap , 2), alat
bantu penangkapan, ukuran ikan, spesies ikan, jumlah dsb.
Ukuran ikan yang dapat ditangkap nelayan untuk semua spesies ikan
1. Siapa yang harus mengawasi dan memeriksanya.
2. Ukuran minimal ikan yang dapat ditangkap.
3. Skafa usaha yang dapat melakukan penangkapan ikan.
4. Berapa besar yang harus dieksploitas.
21. Pelembagaan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berdasarkan
prinsip desentralisasi dengan tetap mengedepankan integrasi pengelolaan.
22. Regulasi Daerah Penangkapan ikan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan
1. Jenis alat tangkap ikan yang dapat beroperasi
2. Ukuran panjang alat tangkap
3. Berapa jumlah alat yang dapat beroperasi di daerah tersebut
23. Ukuran GT kapal yang dapat beroperasi pada suatu daerah penangkapan ikan
dan jenis peralatan yang digunakan (Alat tangkap dan atat bantu penangkapan
ikan)
24. Tanah timbul di sekitar muara sungai, siapa yang paling berhak didalam
mengelola dan memaraakannya serta status kepemilikannya.
25. Pengelolaan dan tanggungjawab terhadap beberapa ekosistem di wilayah
pesisir yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehancuran
ekosistem tersebut.
26. Pencemaran perairan akibat pembuangan dari kapal-kapal, industri, pertanian
dan rumah tangga baik yang berasal dari darat dan laut.
27. Mekanisme pengairan pencemaran perairan di wilayah pesisir dan !aut yang
berasal dari : 1. limbah industri, 2, Limbah cair pemukiman, 3. Limbah cair
perkotaan, 4. Pertambangan, 5, Pelayaran, 6. Pertarnian dan 5. Perikanan
140
budidaya.
28. Regulasi setiap bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah
misalnya misalnya ; sedimen, unsur hara, logam beracum, pestisida, sampah,
organisme, organisme patogen dan oxygen depleting substance misalnya
sedimen yang menutupi biota laut, terumbu karang.
29. Regulasi pembangunan kawasan pemukiman diwilayah pantai yang dapat
merusak ekosistem di wilayah pesisir
30. Batas wilayah dan kewenangan di wilayah pesisir dan status hukum
kepemilikan serta penggarapan lahan oleh masyarakat di wiiayah pesisir.
31. Diperlukan adanya regulasi Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pasir dan batu-
batuan di wilayah pantai.
32. Kontribusi bagi suatu daerah yang warganya melakukan aktifitas didaerah lain.
Misalnya nelayan Pangkep menjual atau menangkap ikan ikannya di
Makassar dan lain-iain.
33. Regulasi mengenai Pajak komoditi perikanan dan kelautan terhadap daerah
sumber komoditi dan penghasil komoditi khususnya dalam hal : 1), Ekspor. 2).
Antar pulau, 3). Lokal.
34. Membatasi jumlah input dan output, Pembatasan output membatasi jumlah
tangkapan berdasarkan kuota dan pembatasan input yang menyangkut jumlah
pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap.
35. Praktik pengambilan sumberdaya alam yang tidak ramah lingkungan berupa
penangkapan ikan berlebihan di beberapa wilayah tertentu hingga
menimbulkan kerusakan laut dan degradasi fisik habitat pesisir.
36. Penggunaan fishing right (hak pemanfaatan sumberdaya perikanan) pada suatu
wilayah tertenttu dalam batas yunsdiksi yang jelas. Dalam sistem ini, hanya
pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan disuatu
wilayah yang tidak memiiiki izin tidak boieh menangkap ikan.
37. Bagi kalangan pemerintah, ketiadaan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir
telah menyebabkan tumpang tindihnya kewenangan antar departemen atau
instansi. Di wilayah pesisir hampir semua sektor mempunyai kewenangan
disitu mereka mendesain kebijakan berdasarkan kepentinqan sektornya. Hal ini
perlu dibenahi oleh DKP dimasa depan. Kalau itu terus dibiarkan dengan
kebijakan apa pun investasi Tidak akan bisa aman. Karena akibat dari tumpang
tindihnya kewenangan seperti itu para investor kita bingung harus kemana.
141
Bagi dunia usaha, hal itu menyebabkan ketidakpastian berusaha dan birokrasi
yang berbelit-belit sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi, Sedangkan
bagi masyarakat pada umumnya, hai itu telah menyebabkan terbatasnya akses
dan tidak terjaminnya hak atas pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan pesisir.
38. Perlindungan terhadap kearifan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan.
39. Pengaturan tentang kawasan industri budidaya.
40. Pengaturan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan o!eh nelayan andon
(migrasi).
41. Regulasi tentang kompensasi daerah dan masyarakat di daerah nursery dan
fishing ground.
42. Pembangunan kelautan dan perikanan harus berbasis kerakyatan/ daerah apabila
tujuannya untuk menggerakkan pembangunan ekonomi daerah. khususnya
daerah kepulauan atau terpencil dan sulit dijangkau. Dangan pembangunan
berbasis daerah, maka perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan
pembangunan menjadi tanggung jawab pemehntah dan masyarakat di daerah.
Hal seperti ini pula akan memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya
melakukan pengelolaan perikanan melalui peningkatan efekrivitas
pengawasan sehingga usaha perikanan bisa berjalan optimal dan berkelanjutan.
43. Penentuan batas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bagi setiap
Kabupaten/Kota. Hendaknya memperhatikan beberapa hal, seperti untuk
konteks perikanan mesti melihat sifat-sifat penyebaran atau migrasi ikan dan
kesatuan ekologi dimana sumberdaya itu berada. Untuk penetapan batas
wilayah pengelolaan tersebut diperlukan koordinasi dan kerjasama dengan
daerah lain, karena bagaimana pun sumberdaya bersifat lintas batas
administrasi, sehingga dimungkinkan adanya wilayah pengelolaan bersama.
Top Related