A Pendahuluan
Aku berlindung kepada Buddha.
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Sangha
Awal dari segala sesuatu tentang Agama Buddha dan pemikiran Sudarta
Gotama dan kitab-kitab yang berkembang sari sang guru.
Sumber utama ajaran Buddha ialah kitab Tripitaka1 (tri=tiga,
Pitaka=keranjang). Sesungguhnya kitab ini berisi kumpulan ceramah
keterangan perumpamaan dan percakapan Buddha dengan muridnya dan
pengikutnya.2 Jadi kitab ini bukan saja memuat perkataan sang Buddha
akan tetapi juga pendapat daripada muridnya. Oleh para muridnya ajaran-
ajaran keagamaan itu kemudian dipilah menjadi 3 kelompok utama yang
disebut dengan ‘Vinaya Pitaka’, Sutra Pitaka ‘, Abidharma Pitaka’,yang
masing-masing terbagi lagi dalam beberapa buah kitab.3
B Kitab Tripitaka
1. Kitab Vinaya Pitaka
a. Pengertian Vinayana
Vinayana berarti Peraturan, Disiplin atau Tatatertib.4 Kata
Vinaya sendiri berarti melenyapkan, manghapuskan,
memusnahkan, menghilangkan dalam hal ini segala tingkahlaku
yang halangi kemajuan dalam jalan pelaksanaan. Dharma : atau
sesuatu yang membimbing keluar (dari Dukkha).
Dharma dan Vinaya ( gabungan kedua nya disebut dengan
Budhasasana) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Dhamma
tampa Vinayana akan merupakan ajaran yang tidak menunjukan
awal atau permulaan untuk dilaksanakan. Sebaliknya Vinayana
1 Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama (Bandung PT Citra Aditya Bakti 1993) hal.2142 Herkulanus Entangai dkk. Pendidikan Agama Katolik( dewasa dalam komunikasi iman)
(Jakarta Gramedia Widia Sarana Indonesia 2004) hal. 243 Hilman hadikusuma. Antropologi Agama. Hal 2144 Bhikkhu Subalaratano. Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Budha
Nalanda 1988) hal. 1
-1-
tampa Dhamma akan merupakan formalisme kosong, suatu disiplin
yang hanya menghasilkan sedikit buah atau kemajuan.
b. Dua Jenis Vinayana
Vinaya tidak hanya diartikan sebagai peraturan yang
berhubungan dengan kebikhuan saja memang Vinaya Pitaka
berisikkan peraturan latihan, larangan, yang diperbolehkan dan
ketentuan yang mengatur kehidupan Bhikkhu, namun dikenal juga
Vinaya untuk umat beragama atau dikenal sebagai upasaka-
upasika. Vinayana untuk umat berkeluarga adalah Pancasila5 dan
pengertian lebih luas sigalovada sutta disebut pula “gihi vinaya
“(vinaya untuk umat berkeluarga).
Terdapat perbedaan antara sila umat berkeluarga dengan
bhikkhu. Sila untuk umat berkeluarga bersifat moral semata-mata
dan digolongkan dengan patisila. Bagi para bhikkhu selain sila
bersifat sila moral juga ada sila khusus untuk cara hidupnya dan
sila ini digolongkan kedalam sila Pannati-sila. Para bhikkhu dan
umat berkeluarga harus menaati Vinaya atau sila secara murni dan
tidak terjatuh dalam pelanggaran.
c. Isi Kitab Vinayana Pitaka
I. Suttavibangga
Kitab ini berisi peraturan-peraturan mencakup delapan jenis
pelanggaran diantaranta ada empat hal pelanggaran yang
menyebabkan bhikkhu dan bhikkhuni dikelurkan dari Sangha.6
Pelanggaran ini meliputi pelanggaran seks, pencurian,
5 Uraian dari Pancasilaa. Saya berjanji melatih diri untuk tidak menghilangkan nyawa makhluk kidupb. Saya berjanji melatih diri untuk tidak mengambil sesuatu yang tidak diberic. Saya berjanji melatih diri untuk tidak berzinad. Saya berjanji untuk tidak berbicara salahe. Saja berjanji untuk tidak minum minuman yang disuling atau diragi yang menyebabkan
menurunya kesadaran.6 Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama. hal 214
-2-
pembunuhan, dan pembujukan untuk bunuh diri, kesombongan
palsu akan kemampuan ghaib diri sendiri. Aturan-aturan ini
berjumlah 227.7 Seluruhnya sama dengan pati mokkha yang di
bacakan pada pertemuan Uphosata dari Sangha. Bagian ini
dilanjutkan dengan Bhikkhuni-suttavibangga, suatu rangkaian
aturan untuk para bhikhuni.
II. Khandaka-khandaka yang disusun dalam dua seri8
Kitab ini berisi berisi peraturan dan uraian tentang upacara
panahbisan bhikkhu dan bhikkhuni antara lain penerimaan
bhikkhu dan pelanggaranya.
Pembagian seri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mahavangga
1. Aturan untuk memasuki Sangha
2. Pertemuan Uposatha dan pengucapan pattimokkha
3. Tempat tinggal selama musim hujan(vassa)
4. Upacara penutupan musim hujan(pavarana)
5. Aturan untuk menggunakan pakaian dan perabot hidup
6. Obat-obatan dan makanan
7. Upacara khathina, pembagian jubah tahunan
8. Bahan jubah, aturan tidur atau aturan bikhu yang
sedang sakit
9. Cara menjalankan keputusan oleh Sangha.
10. Cara menyelesaikan perselisihan dalam Sangha
b. Cullavangga9
1. Aturan aturan-aturan untuk menangani pelangaran-
pelangaran yang dihadapkan pada Sangha (bagian I)
2. Aturan aturan-aturan untuk menangani pelangaran-
pelangaran yang dihadapkan pada Sangha (bagian II)
7 Bhikkhu Subalaratano. Pengantar Vinaya, hal. 38 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, hal. 39 Bhikkhu Subalaratano . Pengantar Vinaya, hal. 4
-3-
3. Penerimaan kembali seorang bhikkhu
4. Aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul.
5. Berbagai aturan untuk mandi, berpakaian, dan hal yang
sama dengan hal tersebut
6. Tempat tinggal, perabot, penginapan
7. Perpecahan
8. Perlakuan terhadap berbagai golongan bhikkhu dan
kewajiban terhadap guru samanera
9. Pengucilan dari patti mokkha
10. Pentahbisan dan petunjuk bagi para bhikkhuni
11. Sejarah Sidang Agung pertama di Rajagaha.
12. Sejarah Sidang Agung kedua di Vesali
III. Parivara
Kitab ini berisi ringkasan dan pengelompokan peratuaran
Vinaya yang disusun dalam Tanya jawab untuk dipakai dalam
pengajaran dan pelaksanaan ujian.10 Aturan dalam
suttavibangga dan khandakha-khandakha disertai cerita-cerita
mengenai terjadinya aturan itu.
Beberapa diantaranya benar-benar formal, yang semata-
mata menunjukan bahwa sekelompok bhikkhu telah
melakukan pelanggaran atau mengikuti kebiasaan tertentu
yang karenanya Sang Buddha menetapkan suatu keputusan.
Aturan-aturan penerimaan dalam Sangha didahului oleh
cerita mengenai kejadian setelah mencapai penerangan, awal
pembabaran Dhamma dan penerimaan siswa-siswa pertama.
Cerita mengenai Rahula diberikan sehubungan dengan syarat-
syarat yang diperlukan untuk penerimaan, dan aturan-aturan
mengenai perpecahan adalah cerita komplotan Devedatta.
10 Hilman Hadikusumo, Antropologi Agama, hal 214-215
-4-
2. Kitab Sutra Pitaka
Kitab ini memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna,baik
untuk para bhikkhu, bhikkhuni maupun umat Buddha lainya. Ia
sendiri terdiri dari 5 kumpulan kitab yaitu:
Dighanikaya,Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyutanukaya dan
Khuddakanikaya.11
a. Dighanikaya
Kitab ini terdiri dari 34 sutra yang panjang uraianya yang memuat
sebagi berikut:
1. Ada 62 pandangan yang salah yang harus dihindari
2. Kehidupan seorang petapa
3. Pedoman-pedoman penting bagi umat Buddha untuk kehidupan
sehari-hari
4. Tuntunan lengkap untuk meditasi
5. Kisah tentang hari-hari terakhir sang Buddha.
b. Majjhimanikaya
Kitab ini berisi tentang khotbah-khotbah Buddha yang terurai
dalam 152 sutra.
c. Angutaranukaya
Kitab ini terdiri dari 9557 sutra.
d. Samyuttanikaya
Kitab ini terdiri dari 7762 sutra.
e. Khuddanikaya
Kitab ini terdiri dari 15 kitab, yang tidak hanya memuat perkataan
Buddha melainkan juga ucapan dari para Thera.12 Diantara kitab ini
adalah kitab dhamma yang menguraikan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan Buddha. Buku ini ada 423 Syair yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa Syair
11 Hilman hadi kudsumo Antropologi Agama, hal 25-21512 Hilman hadikusumo, Antropologi Agama, hal 215
-5-
berisi riwayat hidup para Thera atas pembebasan yang telah
mereka capai.
3. Abidharma Pitaka
Kitab ini adalah bagian ketiga dari Tripitaka yang memuat tentang
filsafat Buddha Dharma yang disusun secara analitis yang mencakup
beberapa bidang ilmu seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan meta fisik.
Kitab ini terdiri dari tujuh kitab yaitu
a. Dhama Shangani
b. Vibangga
c. Dathukata
d. Punggalapanatti
e. Kathapathu
f. Yamaka
g. Pattana
Tidak seperti kitab Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka gaya bahasa
dalam kitab Abhidharma Pitaka sifatnya sangat teknis dan
analitis,tidak mudah dimengerti.
C Catur Arya Satyani
1. Pengertian
Dalam bahasa sangsekerta catur=empat, arya= kesunyatan, satyani=
mulia.
Jadi makna dari catur arya satyani adalah empat kesunyatan manusia
yang mulia.
2. Empat Kesunyatan Mulia
a. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha (dukkha ariya satya)
Hidup dalam bentuk dan kondisi apapun adalah Dukkha
(penderitaan),
- Lahir, sakit, tua dan mati adalah Dukkha
- Berhubungan dengan yang tidak kita sukai adalah Dukkha
-6-
- Ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi adalah Dukkha
- Tidak mendapatkan yang kita inginkan juga merupakan Dukkha
- Masih memiliki Lima khanda adalah Dukkha.
Dalam catur arya satyani dukkkha ada tiga macam yaitu13
Dukkha sebagai dukkha-dukkha yaitu penderitaan biasa yang
di alami misalnya perisiwa lahir, usia tua, berpisah dengan
sesuatu yang diintai dan sebagainya.
Dukkha sebagai vivarmamadukkha yaitu akibat terjadinya
perubahan-perubahan(fisik, mental dan lain-lan).
Dukkha sebagai sankharadukkha yaitu akibat kebergantungan
yang satu dan yang lain.
b. Asal Mula Dukkha (dukkha samudaya ariya satya)
Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan
yang tidak ada habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia
mencengkeram. Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan
orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya.Rasa
haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air
asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang
pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya.
Dikenal tiga macam tanhä, yaitu
1. Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah
kehausan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara merdu
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa
e. sentuhan-sentuhan
f. bentuk-bentuk pikiran
13 Hilman Hadikusmo. Antropologi Agama, hal 229-230
-7-
2. Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia
berdasarkan kepercayaan tentang adanya "atma (roh) yang
kekal dan terpisah" (attavada)
3. Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan
kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap
manusia (ucchedaväda).
c. Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha gamini
patipada)
Jalan-nya adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika
Magga)
Disebut ‘Mulia’ karena bila dilaksanakan, maka akan menuntun
seseorang ke kehidupan yang mulia;
Disebut ‘Berunsur Delapan’, karena terdiri dari Delapan Unsur,
Disebut ‘Jalan’, karena seperti jalan pada umumnya, akan
menuntun seseorang dari satu tempat ke tempat lain, dengan hal ini
dari Samsara ke Nibbana. Delapan Jalan Utama (Jalan Mulia
Berunsur Delapan)14 yang akan membawa kita ke Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha, yaitu :
Wisdom (Paññā)
1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) Right view
2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) Right intention
Sila
3. Ucapan Benar (sammä-väcä) Right speech
4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) Right action
5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Right livelihood
Samädhi
6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) Right effort
14Narada Mahatera. Buddha dan Ajarannya (terjemahan)(Kuala Lumpur Misionary society ed. Ke-3 1977)hal. 342
-8-
7. Perhatian Benar (sammä-sati) Right mindfulness
8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Right concentration
d. Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha ariya satya)
Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam
keadaan yang bahagia sekali, Sang Buddha dengan jelas dan tegas
mengajar kita, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan
mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nibbana. Istilah Nibbana
secara harfiah berarti ‘padam’, serta mengacu ke pemadaman api
keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin.
D Hukum Karma
a. Pengertian
Karma15 berasal dari kata Sanskerta [Pali; kamma] yang berarti
tindakan, pekerjaan atau perbuatan. Setiap perbuatan, ucapan atau
pikiran yang dilakukan dengan suatu tujuan atau niat dapat disebut
karma. Karma berarti suatu kehendak atau niat (cetana) yang baik
(kusala) dan buruk (akusala). Setiap tindakan yang kita lakukan
apabila berdasarkan suatu niat maka akan menciptakan karma.
Sang Buddha bersabda :"Aku nyatakan, O para Bhikkhu, bahwa
niat [cetana] itulah Kamma, dengan niat seseorang bertindak melalui
badan jasmani, ucapan dan pikiran." (Anguttara Nikaya III,I-117).
Dengan kata lain, Karma merupakan suatu hukum moral sebab-
akibat, suatu hukum alam dimana menjelaskan bahwa setiap tindakan
akan membuahkan hasil tindakan tertentu atau buah karma [karma
vipaka] . Sehingga apabila seseorang melakukan perbuatan mulia
seperti memberikan sumbangan kepada suatu yayasan kemanusiaan,
maka dia akan merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, jika seseorang
15 Mukhti Ali. Agama-agama di Dunia.Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press 1988 hal. 75
-9-
melakukan suatu perbuatan yang tercela, misalnya membunuh
makhluk hidup, maka dia akan merasakan penderitaan. Sehingga
dapat disimpulkan, akibat dari perbuatan karma sebelumnya
menentukan keberadaan orang tersebut pada kehidupan saat ini.
Karma dapat dikategorikan menurut matangnya, yaitu karma yang
matang pada kehidupan ini, karma yang matang pada kehidupan
berikutnya dan karma yang matang pada beberapa kehidupan yang
akan datang.
Sang Buddha bersabda : " Pembuat kejahatan hanya melihat hal
yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi
bilamana hasil perbuatan jahatnya telah masak, ia akan melihat akibat-
akibatnya yang buruk. Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang
buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana
hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya
yang baik." (Dhammapada, 119-120).
Tiga komponen yang merupakan pelaku utama karma adalah tubuh
fisik, ucapan dan pikiran. Contoh karma yang dilakukan oleh tubuh
fisik, yaitu membunuh, mencuri dan berjinah. Contoh karma yang
dilakukan oleh ucapan, yaitu berbohong, membicarakan hal-hal yang
tidak bermanfaat, memfitnah dan berbicara kasar. Sedangkan contoh
karma yang dilakukan oleh pikiran adalah keserakahan, kebencian dan
khayalan. Karma dapat dibedakan atas karma yang bermanfaat, karma
yang tidak bermanfaat dan karma yang bukan bermanfaat maupun
tidak bermanfaat.
Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam
penderitaan (neraka, hantu kelaparan dan binatang). Contoh karma
buruk yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka
antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/
Arahat/ Bodhisattva, dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari
-10-
karma baik adalah tumimbal lahir di alam manusia atau surga.
Sedangkan para Buddha, Arahat dan Bodhisattva yang sudah
mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma tidak bergerak,
namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk
menyeberangkan semua makhluk yang menderita dapat saja
bertumimbal lahir lagi di alam manusia .
Sebab utama timbulnya karma adalah karena ketidak-tahuan
[avidya/avijja] atau ketidak-mampuan untuk memahami segala
sesuatu sebagaimana adanya. Nafsu keinginan [tanha] juga merupakan
akar timbulnya karma. Perbuatan seseorang walaupun dilandasi oleh
tiga akar kebajikan yaitu kedermawan [alobha], kehendak baik [adosa]
dan pengetahuan [amoha], tetap dapat dianggap sebagai karma karena
dua unsur penyebab karma yaitu ketidak-tahuan dan keinginan masih
melekat dalam dirinya. Hanya perbuatan baik dari Jalan Kesadaran
[maggacitta] yang dapat dipandang sebagai proses untuk
menghancurkan akar sebab-akibat karma tersebut.
b. Proses Bekerjanya Karma
Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau
dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai
sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita
renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami
sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan.
Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka
renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha]
ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan
saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi dimana
kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu
menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah
-11-
dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun
penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya
timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita
keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun
tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan
kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada
kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme
yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai
kodrat, takdir ataupun nasib.
Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat
kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan
manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan
kematian. Untuk memahami kondisi bekerjanya karma sebagai suatu
Hukum Sebab Akibat, kita dapat memulainya dengan mengenali
adanya hukum yang bekerja di alam semesta ini. Dalam Abhidhamma
Vatara 54, dan Dighanikaya Atthakatha II-432, dapat ditemui adanya
Lima Hukum Alam [Pancaniyama Dhamma], yaitu:
1. Utu Niyama, yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan
suhu, contohnya gejala timbulnya angin dan hujan, bergantinya
musim, perubahan iklim, sifat panas, dan sebagainya.
2. Bija Niyama, yaitu hukum sebab-akibat mengenai biji-bijian,
contohnya sesawi berasal dari biji sesawi, gula berasal dari tebu,
dan sebagainya.
3. Karma Niyama [Kamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat
yang berkaitan dengan perbuatan, contohnya perbuatan baik akan
menghasilkan akibat baik, dan perbuatan buruk akan
menghasilkan akibat buruk.
4. Citta Niyama, yaitu hukum sebab-akibat yang berkiatan dengan
hasil pikiran, misalnya proses kesadaran, timbul dan lenyapnya
kesadaran, sifat kesadaran, kekuatan batin, telepati, kemampuan
-12-
membaca pikiran orang lain, kemampuan mengingat hal-hal yang
telah terjadi, dan sebagainya.
5. Dharma Niyama [Dhamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat
yang berkaitan dengan gravitasi, berupa gejala alam yang
menandai akan terlahirnya atau meninggalnya seorang Bodhisattva
ataupun seorang Buddha.
Hukum Karma [Kamma Niyama] merupakan salah satu dari
Hukum Alam tersebutdi atas yang terjadi karena prinsip Hukum
Sebab dan Akibat, dimana setiap suka ataupun duka pasti ada
penyebabnya. Tiada sebab maka tiada akibat. Segala penderitaan akan
dapat dihindari apabila dapat diketahui sebabnya. Penyebab tunggal
dari segala bentuk penderitaan adalah kemelekatan terhadap nafsu
keinginan duniawi.
Terdapat cukup banyak cara menggolongkan Hukum Karma, dan
berikut disampaikan beberapa jenis penggolongan Hukum Karma
tersebut.
Menurut masa berlakunya, dapat diurut sebagai berikut :
a. Karma yang berlaku segera [ditthadhammavedaniya kamma]
b. Karma yang berlaku sesudahnya [upapajjavedaniya kamma]
c. Karma yang berlaku untuk jangka waktu tidak terbatas
[aparapariyavedaniya kamma]
d. Karma yang kadaluarsa [ahosi kamma]
Menurut fungsinya [kicca] karma, maka dapat digolongkan atas :
a. Karma penghasil [janaka kamma]
b. Karma penunjang [upatthambaka kamma]
c. Karma pelemah [upapidaka kamma]
d. Karma penghancur [upaghataka kamma]
-13-
Sedangkan penggolongan karma menurut urutan akibatnya
[vipakadanavasena], dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Karma yang berat [garuka kamma]
b. Karma menjelang kematian [asanna kamma]
c. Karma kebiasaan [acinna kamma]
d. Karma yang bertimbun [katatta kamma]
Beberapa perbuatan berikut akan menghasilkan karma baik:
a. Selalu bersifat kedermawanan [dana]
b. Menjaga moralitas yang baik [sila]
c. Senantiasa melakukan meditasi [bhavana]
d. Melakukan penghormatan [apacayana]
e. Pengabdian yang mendalam [veyyavacca]
f. Senantiasa mengirim jasa kepada makhluk yang menderita
[pattidana]
g. Berbahagia atas perbuatan baik dari pihak lain [anumodana]
h. Mendengarkan Dharma [dhammasavana]
i. Membabarkan Dharma [dhammadesana]
j. Meluruskan pandangan salah [ditthijjukamma]
Sebagai Buddhis yang mempercayai hukum karma maka kita tidak
perlu mencela orang lain yang melakukan perbuatan paling jahat
sekalipun, karena selain mereka juga akan memiliki kesempatan untuk
memperbaiki diri, juga mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri
dari akibat perbuatan jahatnya sendiri.
Sang Buddha bersabda : " Tidak di langit, di tengah lautan, di
celah-celah gunung atau di manapun, juga dapat ditemukan suatu
tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat
perbuatan jahatnya" (Dhammapada, 127).
-14-
Sesuai dengan perkataan Buddha " Pembuat kejahatan hanya melihat hal
yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil
perbuatan jahatnya telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya
belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat
akibat-akibatnya yang baik." (Dhammapada, 119-120).
-15-
Top Related