PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM
DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
BIER JANNAH
105034001236
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul “Pandangan AL-TÛSÎ Terhadap Ayat-ayat Hukum Dalam Tafsir
AL-TIBYÂN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis.
Ciputat,17 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, M.Ag Rifqi Muhammad Fathi, M.A (19600908 198903 1 005) (1977012 200312 1 003)
Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag Drs. A. Rifqi Mukhtar, MA (19711003 199903 2 001) (19690822 199703 1 002)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, serta tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul“PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM
TAFSIR AL-TIBYÂN.”
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, tidak
akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari
banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga, penulis haturkan
kepada yang teristimewa Papi dan Mami tersayang. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
2. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak
memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hadis.
3. Rifqi Muhammad Fathi, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
4. Dr. Suryadinata, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah
membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dalam penulisan
skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Tafsir Hadis (TH) atas
segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman
ii
yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Umum
Islam Iman Jama.
7. Papi dan Mami tercinta yang selalu menjadi Inspirasi dan mendampingi
penulis lewat doa-doanya, yang telah merawat penulis dengan kelembutan dan
cinta kasihnya, serta selalu memberikan dukungan dan semangat kepada
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
8. Untuk Keluargaku, dr Anas, dr Erna, Erni, Alfi, Atul, Habibie, Raya yang
selalu memberi support. Keceriaan dan keusilan kalian yang membuat
semangat. Makasih ya…
9. Keponakanku Juan, Radja, Daffa, Sultan, Jela, Ghia, Azka, Ihkam yang selalu
bikin semangat dan Bahagia. Cinta sayang kalian…
10. Laode Muhammad Aswin yang telah memberikan dukungan, semangat, dan
selalu sabar dalam menghadapi penulis.
11. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005. (Ulfah, Sasha, Nophy,
Ziah, Sri, Amar, Zulkarnain, Muhsin, Ummi, Nouval, Day, Afif, Hadi, Hafid,
Irfan, Lukman, Sahid, Suryadi, Syamsul, Wasih, Tezar, dan Yasir…). Makasih
untuk kebersamaannya selama 4 tahun.
12. Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan
satu persatu, semoga Allah swt. membalasnya.
iii
iv
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang
masih sedikit, referensi, dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan
penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, penulis telah berusaha
menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang
membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis
berharap semoga Allah swt. memberikan balasan yang lebih baik kepada semua
pihak pada umumnya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan harapan
yang begitu besar, semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca, dan
semoga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari
Allah swt.. Hanya kepada Allah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian
sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari
Allah swt.. Amin…
Ciputat, 17 Juni 2010
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6
C. Pembatasan Masalah ........................................................... 7
D. Perumusan Masalah............................................................. 7
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................ 7
F. Metodologi Penelitian.......................................................... 8
G. Sistematika Penulisan.......................................................... 11
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ ............................................... 13
A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya ......... 13
B. Karya Ilmiah al-Tûsî............................................................ 15
1. Kitab al-Tahdzîb .............................................................. 15
2. Kitab al-Istibsâr ............................................................... 16
3. Kitab al-abwâb................................................................. 16
4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an ......................................... 16
C. Profil Tafsir al- Tibyân........................................................ 17
1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan ............................. 17
v
2. Metode Penafsirannya ..................................................... 18
3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân...................... 19
D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah..................................................... 23
BAB III METODE DAN PRINSIP AL-TÛSÎ DALAM
MENAFSIRKAN AL-QUR’AN............................................ 26
A. Metode Penafsiran Al-Tûsî ................................................. 26
B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî .................................................. 29
1. Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin..... 29
2. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat............................. 33
3. Ta’wil yang Hakiki dalam al-Qur’an............................... 37
4. Al-Qur’an dan Nasikh - Mansukh .................................. 42
BAB IV PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM
DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN ........................................... 45
A. Hukum Ibadah..................................................................... 45
1. Shalat Qasar ................................................................... 45
2. Shalat Jama’ ................................................................... 46
3. Shalat Jum’at.................................................................. 47
4. Puasa .............................................................................. 48
5. Wudhu’........................................................................... 49
6. Zakat dan Khûmus ......................................................... 50
B. Hukum Mu’amalah.............................................................. 52
1. Nikah Mut’ah ................................................................. 52
2. Riba’............................................................................... 55
vi
3. Pernikahan dengan Perempuan Ahli Kitab .................... 55
4. Thalaq............................................................................. 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 61
B. Saran-saran......................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 64
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan s ث
J Je ج
H ح ha dengan garis di bawah
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S ص es dengan garis di bawah
D ض de dengan garis di bawah
T te dengan garis di bawah ط
Z ظ zet dengan garis di bawah
koma terbalik ke atas dengan menghadap ke ‘ ع
kanan
viii
G Ge غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
ـه H Ha
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah أ
I Kasrah إ
U ḏammah أ
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
أي Ai a dan i
أ و Au a dan u
ix
x
Vokal Panjang (Mad)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اأ Â a dengan topi di atas
يإ Î i dengan topi di atas
وأ Û u dengan topi di atas
Ta Marbūtah
No Kata Arab Alih Bahasa
ةقيرط 1 Tarîqah
ةيمالسإلا ةعماجلا 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah
دوجولا ةدحو 3 wahdat al-wujûd
BAB I
PENDAHULUAN
PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM
DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah firman Allah yang dibawa oleh malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Secara
istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan
dinilai ibadah ketika membacanya.1 Ia merupakan salah satu sumber hukum Islam
yang menduduki peringkat teratas, serta seluruh ayat-ayatnya berstatus qat‘iy al-
wurûd yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt.2 Dengan
demikian, autentisitas serta orisinalitas Al-Qur’an benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena ia merupakan wahyu Allah
swt, baik dari segi lafaz maupun dari segi maknanya.3
Dalam tradisi pemikiran Islam, Al-Qur’an telah melahirkan sederatan teks
turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan tersebut
merupakan teks kedua yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang
terkandung di dalamnya. Teks kedua ini dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an
1Amir ‘Abd al-‘Aziz, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Furqân, 1983), h. 10.
Lihat juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran Antara Tafsir Sunni dan Tafsir Syi‘i Terhadap Lafaz-Lafaz Musytarak Lafdzi Dalam Al-Qur’an, selanjutnya dinamai Perbandingan Penafsiran, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 1.
2‘Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1968), cet. ke- 8, h. 21.
3‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 23.
1
2
yang ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karateristik
masing-masing.
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh
para sastrawan Arab. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an memiliki susunan
indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui oleh sastrawan Arab.
Mereka melihat, bahwa Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz Arab, akan tetapi ia
bukan puisi, prosa, atau sya’ir. Bahasa atau kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan
kalimat-kalimat yang menakjubkan yang berbeda dengan kalimat-kalimat selain
Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang
nyata. Ia merupakan wahyu Allah yang mempergunakan berbagai macam bentuk
redaksi. Redaksi yang dipergunakan tersebut merupakan salah satu kemukjizatan
yang dimilikinya.4
Sehubungan dengan hal itu, manusia dituntut agar berusaha mencurahkan
segala potensi insaninya untuk menggali isi kandungan Al-Qur’an melalui
penafsiran terhadap lafaz-lafaznya. Hasil usaha manusia dalam memahami dan
menjelaskan makna serta maksud firman Allah swt tersebut dikenal dengan istilah
tafsir.
Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan
tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Tanpa tafsir, seorang
muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Allah swt
yang terkandung dalam Al-Qur’an.
4 Mutawalli Sya‘rawi, Mu‘jizât al-Qur’an, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1998), h. 54.
3
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berjalan sejak kitab suci ini masih
diturunkan kepada Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menjelaskan
maksud-maksud Al-Qur’an kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw wafat, maka
usaha penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh para sahabat, kalangan ulama tabi’in
dan seterusnya hingga generasi umat Islam berikutnya.5
Tafsir merupakan suatu kajian ilmiah yang sangat luas. Ia memiliki
berbagai macam segi dan makna. Seorang mufasir hanya mampu menafsirkan Al-
Qur’an sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Dengan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mufasir tersebut, maka
lahirlah suatu tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang-bidang
tertentu sebagai indikator adanya spesialisasi para mufasir itu sendiri. Berdasarkan
kondisi seperti ini, maka aliran teologi, mazhab dalam fiqh dan aliran tasawuf
yang dianut oleh mufasir, sangat berpengaruh terhadap cara penafsiran mereka.
Dengan demikian, lahirlah tafsir-tafsir yang bercorak teologi, hukum, tasawuf,
dan lain-lain.6
Sejalan dengan minat dan semangat kaum muslimin untuk mengetahui
seluruh segi kandungan Al-Qur’an, maka upaya penafsirannya terus berkembang,
baik pada masa ulama salaf maupun khalaf pada masa sekarang. Pada masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam, pemahaman dan penafsiran terhadap Al-
Qur’an, tidaklah mendapat suatu kesulitan. Hal ini disebabkan karena segala
persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Dalam
5 Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6. 6 Lihat Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.
4
perkembangan selanjutnya, ketika Islam semakin menyebar dan meluas, maka
semakin banyak pula tantangan dan permasalahan yang timbul.
Salah satu di antara permasalahan yang timbul pada masa perluasan dan
penyebaran Islam adalah tragedi suksesi kekhalifaan ‘Usman r.a kepada ‘Ali r.a
yang diwarnai dengan persaingan politik. Peristiwa tersebut mengakibatkan
munculnya berbagai aliran dalam Islam serta menimbulkan penafsiran Al-Qur’an
sesuai dengan corak dan warna serta latar belakang doktrin aliran masing-masing.
Setiap kelompok mengklaim bahwa pendapat dan keyakinannyalah yang Qur’ani,
walaupun pendapatnya tersebut hanya berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an saja.
Di antara corak dan warna penafsiran Al-Qur’an yang muncul sebagai
akibat dari peristiwa tersebut adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh
ulama Syi’i dan ulama Sunni. Ulama Syi’i berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan kapasitas mereka sebagai ahlul bait. Di antara mereka banyak muncul
ulama dan mufasir yang terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut
antara lain, Syi’i Zaidiyah, Ismailiyah, Bathiniyyah, Nizariyah, Musta’liyah,
Duquqiyah, Muqanna’ah, Isnâ ‘Asyariyah, dan lain-lain.7
7 Syi’ah adalah golongan atau pengikut Ali bin abi Thalib. Aliran yang dianut oleh Al-
Tûsî adalah Isnâ ‘Asyariyyah. Syi‘i tidak mengalami timbulnya sesuatu golongan selama masa keimaman ketiga imam, yaitu Ali, Hasan, dan Husain. Setelah kesyahidan Husain, aliran Syi‘i terbagi ke dalam beberapa kelompok. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan terhadap keimaman (kepemimpinan). Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima keimaman Ali bin Husain al-Sajjâd sebagai imam keempat, sedangkan sekelompok minoritas berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam adalah Muhammad bin Hanafiyah (putra khalifah Ali yang ketiga). Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Kisâniyyah. Selain itu, mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima Muhammad al-Bâqir sebagai imam yang kelima, sedangkan minoritas Syi‘i berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang kelima adalah Zaid al-Syâhid. Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Zaidiyah. Semenatara itu, perpecahan kelompok Syi‘i semakin bertambah setelah sampai pada pengangkatan imam yang ketujuh. Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam yang ketujuh adalah Musa al-Kâzim, sedangkan minoritas Syi‘i lainnya berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang ketujuh adalah Isma’il (putra imam keenam yang tertua). Kedua kelompok Syi‘i ini, baik minoritas (Zaidiyah dan
5
Sementara itu, ulama Sunni juga berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Mereka berpedoman pada
keyakinannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas
ilmu yang dimilikinya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kedua aliran mufasir
(Sunni-Syi’i) tersebut memiliki banyak perbedaan dan persamaan, baik dalam
masalah aqidah, hukum, mu‘amalah, dan lain-lain. Kedua aliran mufasir ini
berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pemahamannya masing-masing.
Al-Tûsî merupakan salah seorang mufasir Syi’i yang pertama kali
menafsirkan Al-Qur’an di kalangan Syi’i secara menyeluruh. Ia juga merupakan
mufasir Syi’i yang mempelopori penolakan pandangan akan penambahan dan
pengurangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dianut oleh sebahagian mufasir
Syi’i sebelumnya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî bersumber pada Al-
Qur’an itu sendiri, penafsiran Nabi saw, pandangan imam ahlul bait, serta hadis-
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya.
Tafsir al-Tibyân merupakan tafsir yang paling monumental dan
berpengaruh di kalangan Syi’i. Banyak mufasir Syi’i yang menjadikan tafsir al-
Tibyân ini sebagai rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di
antaranya adalah al-Tabarsî dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, al-Taba’tabai
dengan tafsirnya al-Mîzân, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga banyak
mencontoh metode dan sistematika al-Tûsî dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an. Ismailiyah), maupun mayoritas (Isna ‘Asyariyyah) masih ada hingga sekarang. Adapun Syi’ah minoritas selain Zaidiyah dan Isma’ilyah semuanya telah lebur dalam waktu yang singkat. Lihat Islam Syi’ah; Asal-usul dan Perkembangannya, terjemahan dari al-Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), cet. ke-1, h. 79-91. Lihat Juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 7.
6
Tafsir al-Tibyân yang disusun oleh al-Tûsî merupakan tafsir Syi’i pertama
yang moderat. Hal ini disebabkan karena al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an,
selain mengambil riwayat-riwayat dari imam ahlulbait, ia juga mengambil riwayat
para sahabat yang bukan Syi’i. Tafsir ini memiliki kesamaan dengan jumhur ahli
tafsir, kecuali dalam masalah riwayat imam yang disejajarkan dengan nabi. Dalam
tafsir ini pula, al-Tûsî menempatkan riwayat-riwayat imam di atas periwayatan
para sahabat. Adapun di antara alasannya adalah karena para imam mendapatkan
riwayat dari Ali r.a dan Ali mendapatkannya langsung dari Rasulullah saw.
Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al-Tûsî juga tetap menempatkan
riwayat imam ahlulbait di atas periwayatan para sahabat lainnya, dan apabila
riwayat-riwayat para sahabat yang bukan Syi’i tersebut bertentangan dengan
riwayat imam ahlulbait, maka riwayat tersebut tidak dipakai oleh al-Tûsî.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa terpanggil
guna berperan aktif mencoba meneliti “Pandangan al-Tûsî Terhadap Ayat-
Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-Tibyân”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka
identifikasi masalah yang penulis teliti dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan
dengan hukum ibadah;
2. Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan
dengan hukum mu‘amalah;
7
3. Bagaimana prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;
4. Bagaimana metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;
5. Apa yang menjadi sumber al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an;
6. Bagaimana pendapat al-Tûsî terhadap para sahabat selain ahlul bait yang
menafsirkan Al-Qur’an.
1. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalaha pada
hukum ibadah, hukum mu‘amalah, dan Bagaimana prinsip dan metode al-Tûsî
dalam menafsirkan Al-Qur'an.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan pokok yang akan
diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana metodologi penfsiran al-Tûsî dan
bagaimana pandangannya terhadap ayat-ayat ahkam dalam tafsir Al-Tibyân.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari serangkaian penelitian dan penulisan skripsi ini, maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisa secara mendalam tentang penafsiran al-Tûsî terhadap
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.
2. Untuk mengkaji prinsip-prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.
8
3. Untuk mengkaji metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk pengembangan ilmu lebih lanjut dan lebih mendalam.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi umat
Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan ayat-ayat hukum.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi
umat Islam dalam memahami penafsiran al-Tûsî sebagai mufasir Syi’i.
4. Penulis dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dorongan dalam
mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.
D. Metodologi Penelitian
Ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini, yaitu:
1) Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis melakukan penelitian kepustakaan
(library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dengan pokok masalah, penulis juga meneliti dengan menggunakan sumber
tertulis, baik primer maupun sekunder. Adapun sumber primer, yaitu: kitab
suci Al-Qur’an. Mushaf yang penulis gunakan sebagai pegangan adalah
9
mushaf al-Qur’ân al-Karîm yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, (Kairo: cet.
ke-1, 1994). Dan kitab tafsir al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'an oleh al-Tûsî (w. 460
H).8.
Sedangkan sumber sekunder, yaitu: kitab ‘ulûm al-Qur’an, baik dari Sunni
maupun Syi’i yang dianggap representatif mewakilinya. Adapun di antara kitab
yang penulis pergunakan dalam membahas tentang metode dan prinsip penafsiran
al-Tûsî adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur'an fi al-Islâm oleh al-Taba’tabai.
b. Shi'te Islam oleh al-Tabâ’tabâi.
c. A‘yân al-Syi‘ah oleh Sayyid Muhsin al-Amin.
d. Haqîqah al-Syî‘ah oleh Abdullah bin Abdullah al-Musuli.
e. Al-Tafsîr wa Manâhijuh oleh Mahmud Basuni Auda' (Sunni).
f. Ma‘a al-Syi‘ah al-Isnâ ‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ Dirâsah
Muqâranah fî al-‘Aqâ‘id wa al-Tafsîr oleh ‘Ali Ahmad al-Salus (Sunni).
g. Al-Syi‘ah al-Isnâ al-‘Asyariyyah wa Manhajuhum fî Tafsîr al-Qur'an al-
Karîm oleh Muhammad Muhammad Ibrahim al-‘Assal.
h. The Shiites: Ritual and Populer Piety in a Muslim Community oleh David.
2. Metode Pembahasan
Dalam penulisan pembahasan skripsi ini, penulis mempergunakan
pendekatan ilmu tafsir. Hal ini disebabkan karena obyek studinya adalah ayat-ayat
Al-Qur’an. Dalam ilmu tafsir dikenal empat metode penafsiran Al-Qur’an, yaitu:
8Untuk mengetahui alasan penulis terhadap pemilihan akan kitab tafsir tersebut dapat
dilihat pada halaman 25.
10
tahlili,9 metode ijmâli,10 metode muqârin,11 dan metode maudu’i.12 Keempat
metode ini diterapkan oleh para mufasir Sunni dan mufasir Syi’i. Adapun dalam
kajian ini, penulis menggunakan metode ijmâli dan maudu’i. Hal ini disebabkan
karena kajian skripsi ini menyangkut penafsiran al-Tûsî tentang ayat-ayat hukum.
Kemudian, penulis juga menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu
suatu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan secara umum mengenai
penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dan menganalisanya dengan cara
mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang berkaitan dengan penelitian
ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2005/2006.
9Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an Mushaf ‘Ustmani. Lihat Zahir ibn Awad al-Alma‘i, Dirâsât fi Tafsir al-Maudhu‘i li Al-Qur’ân al-Karim, (Riyadh: tp, 1984), h. 18.
10Tafsir metode ijmâli adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Melalui metode ini, mufasir menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat-surat Al-Qur’an. Lihat ‘Abd al-Hay al-Farmawi, selanjutnya disebut al-Farmawi, al-Bidâyah fi Tafsir al-Maudhu‘i: Dirâsât Manhajiyyah Maudhû‘iyyah, selanjutnya disebut al-Bidâyah, (t.tp: tp, 1977), h. 23.
11Tafsir muqârin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajiannya terdiri dari tiga macam, yaitu: pertama, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain; kedua, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis; ketiga, perbandingan mufasir dengan mufasir lainnya. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 45.
12Secara semantik, tafsir maudhu‘i berarti tafsir tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk, yaitu: pertama, tafsir yang membahas satu surat Al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain; kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 52.
11
E. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang global tentang isi skripsi ini, maka
berikut dikemukakan isi dari skripsi dalam garis-garis besarnya. Skripsi ini terbagi
dalam lima bab yang masing-masing utuh dan integral sekaligus mendukung
kesimpulan yang diketengahkan.
Bab I berupa pendahuluan. Bab ini harus diletakkan pada awal skripsi,
karena ia berisi tentang hal-hal yang akan memberikan gambaran umum dari
penelitian ini. Bab ini dibagi dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika
penulisan.
Pada bab II, penulis akan membahas tentang latar belakang al-Tûsî.
Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengemukakan perjalanan ilmiah dari
penulis tafsir al-Tibyân. Dalam bab ini, penulis membaginya dalam sub-sub
bagian yang menjelaskan tentang latar belakang keluarga, latar belakang
pendidikan dan karirnya, karya ilmiah al-Tûsî, serta profil tafsir al-Tibyân.
Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang metode dan prinsip
penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pembahasan ini mutlak
dimasukkan untuk mengetahui cara penafsiran al-Tûsî terhadap Al-Qur’an. Pada
bab ini, penulis menguraikan tentang metode dan prinsip al-Tûsî terhadap
penafsiran Al-Qur’an dalam hal muhkam dan mutasyabih, zahir dan batin, ta'wil,
serta nasikh dan mansukh.
Pada bab IV, penulis membahas tentang penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-
12
ayat hukum. Pembahasan ini merupakan inti penelitian dari skripsi ini. Dalam bab
ini, penulis mengklasivikasikan penafsiran al-Tûsî tersebut ke dalam sub-sub
bagian yang meliputi penafsiran bidang hukum ibadah dan hukum mu‘amalah.
Dalam bab V, penulis mengakhirinya dengan penutup. Bab ini berisikan
kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran penulis kepada para pembaca
pada khususnya dan kaum muslimin pada umumnya.
BAB II
RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ
A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya
Nama lengkap al-Tûsî adalah Syaikh Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan
bin ‘Ali al-Tûsî dan dalam perjalanan hidupnya dikenal dengan sebutan Syekh al-
Tûsî. Ia dilahirkan di Tus (Khurasan) pada bulan Ramadhan tahun 385 H. Syekh
al-Tûsî pertama kali menerima pendidikannya di Iran. Ketika berumur 23 tahun
(408 H), ia pergi ke Irak dan menetap di Baghdad. Pada masa itu, Baghdad di
bawah pemerintahan dinasti Abbasyiah dan menjadi pusat ilmu pengetahuan
dunia. Baghdad adalah pusat peradaban dan para sarjana serta kaum intelektual
dunia berdatangan ke kota itu untuk menuntut ilmu.
Sosok terkemuka yang hidup di Baghdad ketika al-Tûsî berada di kota
tersebut adalah Syekh Mufîd yang tinggal di lingkungan kaum Syi’ah di Karkah
sebuah tempat elit dan kaya raya. Syekh Mufîd merupakan sosok yang memiliki
pengaruh dan terhormat di masyarakat. Ia seorang intelektual yang
berpengetahuan luas dan mendalam tentang segala bidang kehidupan. Dia juga
seorang penyair dan kritikus kesusastraan. Pada syekh Mufîd inilah, al-Tûsî
memulai pelajarannya. Al-Tûsî masuk dan belajar pada kelas yang
diselenggarakan oleh Syekh Mufîd.1
Syekh al-Tûsî belajar di bawah bimbingan Syekh Mufîd selama lima
tahun. Selama itu, ia tidak pernah mengabaikan pelajaran gurunya walaupun
1Muhammad Ja‘far, Al-Ishtibshâr, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 390 HQ), h. 45-
48.
13
14
sesaat. Dia juga mengikuti pelajaran yang diberikan para sarjana lainnya, seperti
Ibnu Abu Junaid al-Baghdadi, Ibn Sultan Ahwazi, Abdullah Ghazairi, dan Ibnu
Abduh. Al-Tûsî belajar dari para sarjana tersebut tentang ilmu hukum Islam dan
ilmu periwayatan hadis.
Pada usia 25 tahun, Syekh al-Tûsî menulis sebuah uraian tentang karya
Syekh Mufîd yang berjudul al-Muqnâ. Al-Muqnâ adalah sebuah buku tentang
ilmu hukum agama. Kitab ini berisikan kumpulan hadis-hadis Syi’ah. Kitab ini
pula yang banyak memberikan inspirasi kepada al-Tûsî dalam menyusun karya-
karyanya.
Syekh al-Tûsî merupakan sosok yang cerdas dan sangat mengagumkan. Ia
memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Gelar yang dianugerahkan kepadanya
adalah gelar yang layak didapatkan oleh seorang pakar yang usianya sudah tua. Ia
belajar pada berbagai syekh yang ternama ketika itu, terutama Syekh Mufîd.
Setelah Syekh Mufîd meninggal dunia, al-Tûsî belajar di bawah bimbingan
seorang fâqih Syi’i (Muhammad bin Nu‘man) yang terkenal dengan sebutan
Sayyid al-Murtadhâ. Ia hidup bersama Syaikh Muhammad bin Nu‘man selama 13
tahun. Dari Sayyid Murtadâ ini, al-Tûsî belajar dan mengembangkan ilmu
pengetahuan Syi’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.
Pada tahun 468 H, al-Tûsî meninggalkan Baghdad dan menetap di Najaf
Asyraf yang ketika itu Najaf merupakan sebuah dusun kecil. Setelah al-Tûsî
berada di Najaf, lambat laun Najaf menjadi pusat pembelajaran bagi orang Syi’ah
serta banyak kalangan yang dari segala penjuru dunia yang berdatangan ke Najaf
15
untuk menimba ilmu agama. Syekh al-Tûsî juga mendirikan perguruan tinggi
agama pertama di Najaf.
Di kalangan Syi’i, al-Tûsî termasuk ulama besar yang paripurna dan
mujtahidnya kaum muslimin. Hampir semua rujukan Syi’i berujung padanya dan
dalam masa yang lama, kaum Syi’i memandang bahwa hadis-hadis yang
diriwayatkannya dijadikan sebagai prinsip-prinsip yang mereka terima secara
utuh.2 Ia adalah seorang yang jujur, faqîh, berpengatahuan luas, ahli dibidang
usûl, ilmu kalam, ilmu hadis, dan lain-lain. Ia terkenal dengan sebutan Syaikh al-
Tâifah yang terus menerus memberikan pelajaran dan menulis sampai akhir
hayatnya. Ia wafat pada tahun 460 H dalam usia 75 tahun.
B. Karya Ilmiyah Al-Tûsî
Imam al-Tûsî merupakan mufasir yang produktif. Ia banyak melahirkan
karya-karya yang sangat bermanfaat, diantaranya:
1. Kitab al-Tahdzîb
Kitab ini berisikan kumpulan dari 13.590 hadis. Pada permulaan buku ini,
al-Tûsî menuliskan tentang hadis-hadis menurut riwayat Syi’ah kemudian
menguraikan tentang penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap
hadis tersebut. Penjelasan hadis-hadis tersebut juga sekaligus merupakan
penjelasan kritikan terhadap riwayat-riwayat dalam kitab-kitab golongan Ahli
Sunnah yang dianggap bertentangan.
2Lihat Mahmûd Bashûni Faudâ', al-Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Matba‘ah al-Amânah,
1397 H), h. 147-145.
16
Dalam kitab ini pula, al-Tûsî menjawab penolakan-penolakan golongan
Ahli Sunnah terhadap hadis-hadis Syi’ah. Dalam penolakannya, al-Tûsî
menjelaskan bahwa keragu-raguan dari golongan Ahli Sunnah hanyalah
membuai mereka yang kurang sempurna pengetahuannya dan mereka yang
tidak mampu memahami arti kalimat-kalimat hadis dari berbagai sudut. Maka
dari itu, mereka tidak mampu untuk memahami jenis perbedaan-perbedaan.
2. Kitab al-Istibsâr.
Kitab ini membahas sebanyak 5511 hadis. Kitab ini merupakan kumpulan
dari hadis-hadis Syi’ah. Kita ini merupakan kitab yang dijadikan sebagai salah
satu rujukan utama dari kalangan Syi’ah. Kualitas kitab ini berada satu tingkat
di bawah kitab al-tahdzîb. Kedua kitab ini dipandang sebagai sumber-sumber
yang tidak tertandingi dalam masalah fiqh dan termasuk dalam empat kitab
fiqih yang menjadi tumpuan kajian kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah.
3. Kitab al-abwâb
Dinamakan dengan al-abwâb karena kitab tersebut tersusun dari urutan-
urutan bab sebanyak bilangan sahabat Nabi Muhammad saw dan sahabat dari
tiap-tiap dari para imam yang dua belas. Kitab ini juga membahas tentang
prinsip-prinsip akidah, membahas masalah tauhid, dan masalah keadilan.
4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an, dan lain-lain.
Kitab ini merupakan penafsiran seluruh ayat Al-Qur’an mulai dari al-
Fâtihah sampai dengan al-Nâs. Kitab-kitabnya tersebut memenuhi
perpustakaan-perpustakaan Syi’i, sehingga nama beliau menjulang tinggi.
17
C. Profil Tafsir al-Tibyân
1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan
Tafsir al-Tibyân merupakan kitab tafsir lengkap paling awal di kalangan
kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah. Hal ini diisyaratkan sendiri oleh al-Tûsî dalam
muqaddimah al-Tibyân. Kitab tafsir ini pertama kali dicetak di kota Najaf al-
Asyraf dan saat ini telah beredar di beberapa negara. Dalam penulisan kitab
tafsirnya ini, al-Tûsî selain mengambil riwayat dari imam-imam Syi’i, juga
mengambil riwayat-riwayat dari imam Bukhari dan Muslim. Dalam tafsir
ma’tsûr-nya, terdapat riwayat dari jalur ‘Aisyah dan Abu Hurairah.
Adapun tujuan penulisan tafsir al-Tibyân adalah seperti yang dikemukakan
oleh al-Tûsî dalam muqaddimah al-Tibyân-nya:
“Tujuan kitab ini adalah untuk mengetahui makna-makna Al-Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Adapun pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan di dalamnya, maka tidaklah patut untuk dikemukakan. Hal ini disebabkan karena telah terdapat kesepakatan ( ijmâ‘ ), bahwa isu tentang adanya penambahan atau kekurangan dalam Al-Qur’an adalah isu yang batil serta jelas ditentang oleh semua mazhab kaum muslimin. Isu tersebut juga tidak sejalan dengan pandangan yang sahih dari mazhab Syi’i. Seandainyapun isu tentang adanya pengurangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu memang ada, ia tidaklah dapat menggoyahkan kandungan Al-Qur’an”.3
Selain itu, al-Tûsî juga mengatakan: “Ketahuilah telah jelas dari khabar-
khabar sahabat kita bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak boleh dilakukan kecuali
dengan atsar yang sahih dari Rasulullah saw dan juga dari para imam r.a.
Perkataan imam adalah hujjah bagaikan perkataan nabi saw, dan bahwa penafsiran
yang berdasarkan akal itu tidaklah boleh”. Menurut ia, bahwa dalam firman Allah
swt. dan sabda Rasul-Nya tidak akan ada perselisihan dan pertentangan. Hal ini
3Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 8.
18
didasarkan pada firman Allah swt yang terdapat dalam surat Ibrâhîm/14: 4:
وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه ليبين لهم
“Kami tidak mengutus rasul seorangpun melainkan dengan bahasa
kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka”.
2. Metode Penafsirannya
Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menempuh metode tahlili dengan membagi
pembahasannya dalam tujuh bahagian. Setiap bahagian dimulai dengan sebuah
ayat Al-Qur’an atau lebih kemudian dilanjutkan dengan pembahasan beberapa
topik masalah satu demi satu. Pembahasan topiknya dimulai dengan pembahasaan
qira’at, lalu dilanjutkan dengan argumentasi ( hujjah ), bahasa, nuzum (urutan),
nuzûl, i‘râb, lalu diakhiri dengan makna ayat. Al-Tûsî sangat ahli dalam setiap
bahagian tersebut. Dalam membahas makna-makna lughawi dari setiap kata,
pembahasannya sangat mendalam, keterangannya sangat jelas dalam menjelaskan
ayat-ayat yang mujmal, serta apabila ia membahas tentang asbab nuzul
keterangan-keterangan yang diberikannya sangat jelas dan mencapai sasaran.
Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menghimpun riwayat-riwayat dan
pandangan-pandangan dalam beragam masalah kemudian menghubungkan
masalah-masalah tersebut dengan cabang ilmu pengetahuan yang menunjang
penafsiran tentang Al-Qur’an.
19
3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân
Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Tûsî menjelaskan bahwa makna-makna
Al-Qur’an itu mempunyai empat bahagian, yaitu:4
a. Bagian yang hanya Allah swt saja yang mengetahui akan makna-maknanya.
Di antara contoh ayat yang termasuk dalam bahagian ini adalah surat al-
A‘râf/7: 187:
يسألونك عن الساعة أيان مرسها قل إنما علمها عند ربي اليجليهالوقتها إالهو
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah terjadinya ?
Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada
sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia”.
b. Ayat yang Zahir-nya sesuai dengan maknanya.
Pada bagian ini, setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa Arab
serta dapat berdialog dengan bahasa tersebut, maka ia akan mengetahui makna Al-
Qur’an. Di antara contohnya adalah surat al-An‘âm/6: 151:
رم اهللا إال بالحقوال تقتلوا النفس التي ح
“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”.
c. Bagian yang global yang Zahir-nya tidak menunjukkan rinciannya.
Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah/2: 43:
وأقيموا الصلوة وءاتوا الزآوة وارآعوا مع الراآعين
4Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 4-7.
20
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-
orang yang ruku’.
Ayat tersebut hanyalah menerangkan tentang perintah melaksanakan
shalat, dan zakat. Adapun tentang rincian jumlah shalat dan jumlah rakaatnya,
rincian syarat-syarat dan ukuran nisab zakat tidak mungkin untuk diketahui
kecuali melalui keterangan dari Rasulullah saw.
d. Lafaz Al-Qur’an memiliki makna ganda atau lebih.
Pada bahagian ini, setiap satu makna dari sebuah lafaz memiliki
kemungkinan benar dan makna yang dimaksud. Pada bahagian ini pula, seseorang
tidak boleh untuk mengedepankan salah satu kemungkinan dari makna suatu
lafaz, kecuali apabila hal tersebut dikatakan oleh nabi atau imam yang ma‘sum.
Pada saat demikian, seseorang harus mengambil sikap bahwa dari zahir-nya, suatu
lafaz mengandung beberapa kemungkinan, dan setiap dari kemungkinan tersebut
terbuka untuk menjadi makna yang dimaksud secara terperinci.
Apabila sebuah lafaz memiliki makna ganda atau lebih kemudian di
dukung dengan sebuah dalil yang menegaskan bahwa makna yang dimaksud
adalah hal tersebut, maka pada saat itu boleh dikatakan bahwa itulah makna yang
dimaksud.
Selain itu, pandangan lain dari al-Tûsî yang menarik untuk dijelaskan dalam tafsir
al-Tibyân ini adalah sebagai berikut:
a. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama setelah Rasulullah
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an pada tafsir al-Tibyân, al- Tûsî
selain mengambil riwayat-riwayat dari para imam, ia juga mengambil riwayat-
21
إنما وليكم اهللا ورسوله والذين ءامنوا والذين يقيمون الصلوة ويؤتون الزآوة وهم راآعون “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
Dalam menafsirkan kata والذين ءامنوا tersebut, al-Tûsî mengerahkan segala
kemampuannya untuk menjadikan ayat di atas sebagai dasar bagi ke-imam-an Ali
r.a. Dalam tafsir al-Tibyân, al- Tûsî menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan perbuatan Ali r.a yang ketika itu beliau menyedekahkan
cincinnya sementara beliau sedang ruku’. Al- Tûsî mengatakan bahwa:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan salah satu dalil yang
jelas mengenai ke-imam-an Ali bin Abi Thalib a.s sesudah nabi
Muhammad saw secara langsung tanpa terputus. Adapun pendalilan (wajh
dalâlah) nya adalah bahwa pengertian وليكم dalam ayat tersebut adalah “
yang lebih utama ” atau “yang paling berhak”. Adapun yang dimaksud
dengan firman Allah SWT: والذين ءامنوا tersebut adalah Amirul Mukminin
Ali Bin Abi Thalib. Apabila dua pokok persoalan tersebut telah ditetapkan
22
b. Semua imam Syi‘i adalah ma’sûm.
Di antara prinsip pokok kaum Syi‘i adalah pendapat mereka tentang
‘ismah para imam. Mereka memandang bahwa para imam Syi‘i yang dua belas itu
seperti para nabi Allah SWT yang tidak mungkin mereka terjatuh dalam
kesalahan. Al- Tûsî dalam tafsir al-Tibyân berupaya menguatkan pendapat tentang
‘ismah ini dengan jalan pen-ta’wil-an ayat-ayat Allah SWT sesuai dengan
riwayat-riwayat para imam dengan menundukkan ayat-ayat tersebut agar sesuai
denga keyakinan mazhabnya. Demikianlah mengenai firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah/2: 124:
قال ومن ذريتى قال ال ينال هن قال إنى جاعلك للناس إماماوإذابتلى إبراهيم ربه بكلمت فأتم
عهدى الظلمين“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
5Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz III, h. 558-564.
23
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
Setelah menjelaskan ayat ini dari segi bahasa dan gramatikanya, al- Tûsî
menjelaskan bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut, sahabat-sahabat kita berdalil
bahwa imam itu mestilah ma‘sûm dari keburukan-keburukan. Hal ini disebabkan
karena Allah SWT tidak memberlakukan janji-Nya ( imamah ) bagi orang yang
zalim. Seseorang yang tidak ma‘sûm pastilah seorang yang zalim yang dapat
terjadi pada dirinya sendiri maupun zalim terhadap orang lain. Al- Tûsî juga
menjelaskan bahwa ayat tersebut tidaklah berarti bahwa janji Allah SWT itu tidak
berlaku bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan zalim saja atau berlaku
apabila ia telah bertaubat saja. Ayat tersebut menurutnya wajib dipahami sebagai
sesuatu yang menyangkut keumuman waktu dan bahwa janji Allah SWT itu tetap
tidak berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan kezaliman sekalipun ia telah
bertaubat. Selain itu, al-Tûsî juga beragumentasi bahwa jabatan imamah itu
bertalian dengan jabatan kenabian. Hal ini disebabkan karena Allah SWT
berbicara kepada nabi Ibrahim a.s tentang masalah imamah tersebut dalam
kedudukan beliau sebagai seorang nabi.6
D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah
Kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mempunyai fiqh tersendiri yang dinamai
dengan fiqh Ja‘fari. Dalam beberapa masalah, fiqh ini berbeda dari mazhab-
mazhab fiqh yang besar. Perbedaan antara fiqh Syi’ah dengan mazhab-mazhab
6 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 445-446.
24
fiqh di lingkungan Ahlu Sunnah tidaklah besar. Perbedaan tersebut serupa
besarnya dengan perbedaan antara mazhab fiqh Hanafi dengan fiqh Maliki atau
Syafi’i. Atau seperti perbedaan antara mereka yang beramal dengan ketentuan-
ketentuan lahiriyah nas dengan mereka yang mengambil apa yang tersirat di
dalamnya.
Apabila seseorang memperhatikan kandungan kitab-kitab fiqh mereka, ia
akan menjumpai pandangan-pandangan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang sejalan
dengan pendapat jumhur ulama fiqh. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa
terdapat pendapat-pendapat dalam fiqh Ja’fari yang menyebabkannya keluar dari
lingkungan Islam. Perbedaan pendapat antara fiqh Ja’fari dengan fiqh Ahlu
Sunnah menunjukkan suburnya kemerdekaan berpikir dalam Islam dalam
kerangka Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam fiqh mazhab Ja’fari terdapat pendapat-pendapat lurus yang sahih
untuk diambil. Dalam kenyataannya, Undang-undang ( qânûn ) Mesir telah
mengambil pendapat-pendapat Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah. Di antaranya adalah
menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya berarti talak satu. Dalam pandangan ini,
Majelis Muzâkarah Tafsir Mesir menyatakan bahwa pendapat tersebut diambil
dari Ibnu Taimiyah, tetapi Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pendapat tersebut
diambilnya dari pendapat-pendapat para imam ahl al-bait. Dalam masalah fiqh,
Syi’ah bersandar pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, sunnah, akal, dan ijma’.7
Al-Tûsî termasuk salah seorang fuqahâ’ kenamaan kaum Syi’ah, bahkan ia
termasuk pendiri mazhab Ja’fari. Ia telah berupaya membela pendapat-pendapat
7 Ahmad Bashûni Faudâi, Nasy’ah al-Tafsir wa Manâhijuh, h. 162-163.
25
mazhabnya dalam masalah fiqh. Dalam masalah fiqh, ia mengemukakan dalil-
dalil yang menunjukkan kuatnya akal beliau, keluasan pikirannya, dan luasnya
bacaannya.
BAB III
METODE DAN PRINSIP PENAFSIRAN AL-TÛSÎ
DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
A. Metode Penafsiran Al-Tûsî
Berdasarkan dalil Al-Qur’an, al-Tûsî berkeyakinan bahwa sabda nabi
Muhammad saw merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-
Tûsî juga berkeyakinan bahwa sabda (pendapat) para ulama ahlulbait merupakan
suatu dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan karena sabda para ulama ahlulbait mengikuti sabda nabi Muhammad
saw.
Adapun prinsip al-Tûsî terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, ia
berpandangan bahwa pendapat para sahabat dan tabi’in tidak dapat dijadikan
hujjah kecuali pendapatnya tersebut memiliki dukungan dari hadis nabi
Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena menurut al-Tûsî, kedudukan para
sahabat1 dan tabi’in adalah sama seperti kaum muslim lainnya. Dengan demikian,
1Syi‘i termasuk Al-Tûsî membagi sahabat menjadi tiga golongan, yaitu: pertama,
golongan sahabat yang beriman kepada Allah swt, nabi Muhammad saw, serta mengorbankan diri mereka demi kepentingan Islam. Mereka adalah golongan yang paling utama. Golongan sahabat ini selalu membantu dan senantiasa bersama-sama nabi. Mereka tidak pernah melanggar perintahnya dalam setiap hal dan tidak pula mengatakan bahwa nabi berdusta. Di antara para sahabat yang termasuk dalam golongan ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abû Zar al-Ghiffâri, Salmân al-Fârisi, Miqdâd, Ammar bin Yasir, dan Jâbir bin ‘Abd Allâh; kedua, golongan orang-orang yang mengingkari Islam, tetapi perbuatan mereka tidak sungguh-sungguh. Di antara sahabat yang termasuk dalam golongan sahabat ini adalah Ab- Bakr dan ‘Umar bin al-Khattâb; ketiga, golongan orang-orang yang mengingkari Islam setelah nabi Muhammad saw wafat sebagaimana yang dicatat oleh al-Bukhâri. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengutamakan nabi Muhammad saw, dan berusaha menyusup ke dalam Islam agar dimasukkan ke dalam golongan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik, seperti Ab- Sufyân, Mu’âwiyyah bin Abi Sufyân, dan Yazid bin Mu’âwiyah. Lihat Rofik Suhud, dll, Antologi
26
27
dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî menggunakan metode periwayatan dari
hadis-hadis nabi Muhammad saw, hadis imam ahlulbaitnya, dan dari hadis-hadis
sahabat.
Menurut al-Tûsî, mufassir Syi’i dalam menafsirkan Al-Qur’an terbagi
dalam beberapa kelompok, yaitu:2
Kelompok pertama adalah mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan penafsiran Rasulullah saw dan para imam ahlulbait. Dalam hal ini,
para mufasir Syi’i menempuh metode dengan memasukkan hadis-hadis
Rasulullah dan hadis-hadis para imam ahlulbait ke dalam karangan-karangan
mereka. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zurarah,
Muhammad bin Muslim, Ma‘ruf, Jarir, dan lain-lain3.
Kelompok kedua adalah ulama yang mula-mula menulis kitab tafsir,
seperti Furat bin Ibrahim, Abu Hamzah al-Samali al-‘Iyasyi (w. 320 H), ‘Ali bin
Ibrahim al-Qummi (w. 329 H), dan al-Nu‘man.4 Metode yang mereka pergunakan
Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi terjemahan dari Encyclopedia of Shia, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 345.
2Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70-72. Lihat juga Sâlim al-Safâr al-Baghdâdi, selanjutnya dinamai al-Baghdâdi, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-Muqâran selanjutnya disebut Naqd Manhaj, (Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000), h. 348-350. Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 227.
3Zurârah bin A‘yun adalah seorang ulama ahli fiqh Sy‘i. Ia merupakan pilihan dari dua imam, yaitu imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir dan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Ma‘rûf bin Khurbûz dan Jarir merupakan murid pilihan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70. Lihat juga al-Baghdâdi, Naqd Manhaj, h. 348.
4Furât bin Ibrâhim adalah pengarang kitab tafsir yang terkenal ( ريحانة األدب ). Ia merupakan guru dari ‘Al bin Ibrâhim al-Qummi. Ia berasal dari Kufah. Ab- Hamzah al-samâli adalah ahli fiqh Syi‘i dan murid pilihan imâm ‘Ali al-Sajjâd dan imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir. Al-‘Iyâsyi adalah mufasir Syi‘i abad ketiga dan keempat Hijriyah. Ia wafat pada tahun 320 H. ‘Ali bin Ibrâhim al-Qummi adalah salah seorang guru hadis mazhab Syi‘i. Ia hidup pada akhir abad ketiga Hijriyah dan permulaan abad keempat Hijriyah. Al-Nu‘mân Muhammad bin Ibrâhim adalah salah seorang tokoh dan ulama Syi‘i. Ia adalah murid kepercayaan al-Kulaini. Ia hidup pada
28
dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah
saw dan hadis-hadis dari para imam ahlulbait dengan menyebut dan meringkas
sanadnya. Selain itu, mereka juga dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak
mengemukakan pendapat dan pandangannya terhadap suatu masalah yang
dibahas.
Kelompok ketiga adalah ulama yang memiliki berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Mereka menulis kitab tafsir menurut spesialisasinya dan sesuai
dengan ilmu yang dikuasainya., seperti al-Syarif al-Rida (w. 404 H) dengan
tafsirnya yang bercorak sastra ( nahj al-balâghah). Al-Tûsî (w. 460 H) dengan
tafsirnya yang bercorak teologi masuk dalam kelompok ini. Selain itu, mufasir
yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Mubaidi al-Kunabadi dan ‘Abd al-
Razzaq al-Kasyani (w. 730 H) dengan tafsirnya yang bercorak tasawuf, Syaikh
‘Abd ‘Ali al-Huwaizi (w. 1112 H) dengan tafsirnya Nur Saqalain, Sayyid Hasyim
al-Bahrani (w. 1107 H) dengan tafsirnya al-Burhan, al-Faid al-Kasyyani (w. 1091
H) dengan tafsirnya al-Safi, dan lain-lain.5
Adapun metode yang mereka tempuh dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para
5Al-Syârif al-Ridhâ Muhammad bin Husain al-Musâwi adalah salah seorang ahli hukum Syi‘i imâmiyah yang terkemuka. Pada masanya, ia menjadi orang yang paling ahli dalam bidang sya’ir dan sastra. Di antara karangan-karangannya adalah kitab al-Nahj al-Balâghah. Ia wafat pada tahun 404 Hijriyah. shadr al-Din Muhammad bin Ibrâhim al-Syirâzi adalah seorang filosof yang terkenal. Ia adalah pengarang kitab Majma‘ al-Tafâsir. Ia wafat pada tahun 1050 Hijriyah. ‘Abd al-Razzâq al-Kâsyâni adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 730 H. Di antara karanganya adalah tafsir Ta'wilât al-Qur'ân. Sayyid Hasyim al-Bahrâni adalah salah seorang mufasir Syi‘i yang berpengaruh pada masanya. Ia wafat pada tahun 1107 Hijriyah. Al-Fâidh al-Kâsyâni Maulânâ Muhammad Muhsin bin al-Murtadhâ adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 1112 Hijriyah. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 72.
29
imam ahlulbait dengan menyebutkan sanadnya. Mereka juga mengemukakan
pendapat dan pandangannya dalam menafsirkan Al-Qur’an terhadap suatu
masalah yang dibahas.
Kelompok keempat adalah para mufasir yang mengemukakan berbagai
ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir mereka, seperti bahasa, gramatika, qira’ah,
teknologi, dan lain-lain. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini
adalah al-Tabarsi (w. 552 H) dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, dan lain-lain.
B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî
Adapun prinsip-prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin
Dalam menjelaskan tujuan-tujuan agama dan memberikan perintah-
perintah kepada manusia terhadap masalah doktrin dan tindakan, Al-Qur’an telah
menjelaskannya melalui kata-katanya yang zahir. Selain itu, Al-Qur’an juga telah
menerangkan akan masalah tersebut melalui makna-maknanya yang batin. Imam
al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa makna-makna batin Al-Qur’an tersebut
hanya dapat dipahami oleh kaum khawwadz (elite spiritual) yang mempunyai
kebersihan hati.6 Dalil yang menjelaskan tentang adanya makna batin Al-Qur’an
adalah tercermin dalam sabda Rasulullah saw:
6DJohan Efendi, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya selanjutnya disebut
Islam Syi'ah terjemahan dari Muhammad Husain Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), h. 104. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 34-35.
30
إن للقرآن ظهرا وبطنا ولبطنه بطنا إلي سبعة أبطن
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu mempunyai arti lahir dan batin (dimensi
kedalaman). Dan dimensi kedalaman itu masih mempunyai dimensi
kedalaman lagi hingga sampai tujuh dimensi kedalaman”.
Selain dari hadis tersebut, dalil yang menjadi penunjang utama akan
makna batin Al-Qur’an adalah suatu bahasa kiasan yang disebutkan oleh Allah
swt dalam surat al-Ra‘d/13: 17:
انزل من السمآء مآء فسالت أوديةبقدرها فاحتمل السيل زبدارابيا ومما يوقدون عليه في النار
الباطل فأما الزبد فيذهب جفاء وأما ما ابتغاء حلية أو متاع زبد مثله آذلك يضرب اهللا الحق و
ينفع الناس فيمكث فى األرض آذلك يضرب اهللا األمثال
“Allah swt telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih
yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api
untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buah
arus itu. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang
tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia,
maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan-
perumpamaan”.
Dalam ayat tersebut, karunia Allah swt dilambangkan (dikiaskan) dengan
hujan yang turun dari langit dan dari hujan itulah tergantung kehidupan bumi dan
penduduknya. Dengan turunnya hujan, airpun mengalir, dan setiap sungai
menerima air hujan tersebut menurut kemampuannya. Selain itu, sekalipun air
31
mengalir dan menutupi permukaan sungai, namun di bawahnya tetap mengalir air
yang sama yang dapat memberikan kehidupan dan manfaat pada umat manusia.
Seperti telah diisyaratkan oleh cerita kiasan di atas, kemampuan untuk
memahami pengetahuan ketuhanan yang menjadi sumber kehidupan batin
manusia sangatlah berbeda-beda. Di antara manusia ada yang hanya menerima
pengetahuan ketuhanan pada tingkat percaya secara sederhana, dan ada pula di
antara manusia yang karena kesucian fitrahnya, ia mampu memahami lambang-
lambang ciptaan yang tersembunyi. Dengan kesucian jiwa yang dimilikinya, ia
mengamati dalam suatu penglihatan rohani cahaya yang tidak terhingga dari
Keagungan dan Kebesaran Allah swt. Hati mereka sepenuhnya tertambat dengan
penuh kerinduan untuk mencapai hakekat pesan-pesan Allah swt yang
sesungguhnya.7 Allah swt berfirman dalam surat al-Nisâ’/4: 36:
واعبدوا اهللا وال تشرآوا به شيئا
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun”.
Secara zahir-nya, ayat ini menunjukkan bahwa ia melarang akan
penyembahan berhala, seperti dijelaskan dalam surat al-Hajj/22: 30:
فاجتنبوا الرجس من األوثان
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu”.
Adapun secara batinnya, ayat وا اهللا وال تشرآوا به شيئاواعبد menunjukkan
bahwa manusia tidak boleh mentaati siapapun selain Allah swt. Hal ini
disebabkan karena taat berarti sujud di hadapan seseorang dan mengabdi
7DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 105.
32
Begitu pula dengan firman Allah swt, surat al-‘Ankabût/29: 45:
وأقم الصلوة إن الصلوة تنهى عن الفحشآء والمنكر
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.
Secara zahir-nya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mendirikan
shalat dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Adapun secara batinnya, ayat
tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memuja dan mentaati Allah swt
dengan seluruh hati dan jiwanya. Di balik itu, ayat tersebut secara batin
mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah swt, manusia harus menganggap dirinya
tidak bernilai sama sekali dan harus selalu mengingat kepada-Nya.9
Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an memiliki aspek-
aspek lahir (zahir) dan aspek-aspek batin (tersirat). Aspek batin dari Al-Qur’an
tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti zahir-nya. Bahkan ia bagaikan
nyawa yang menghidupi badan. Makna zahir tidak menafikan maksud makna
8DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 106. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h.
34-35. 9DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 107.
33
batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir, serta makna
batin mempunyai berbagai tingkatan pengertian.10
2) Hakikat muhkamat dan mutasyâbihat
Pembahasan Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat muhkamat dan
mutasyâbihat tercantum dalam tiga surat, yaitu:
1. Surat Hûd/11: 1:
آتاب أحكمت ءايته ثم فصلت من لدن حكيم خبير
“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu”.
2. Surat al-Zumar/39: 23:
تقشعر منه جلود الذين يخشون ربهماهللا نزل أحسن الحديث آتابا متشابهامثانى
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.
3. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:
هو الذى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأما الذين فى
قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه
“Dialah yang menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara
isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan
yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang dalam
10DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 108.
34
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat
yang mutasyâbihat”.
Ayat pertama (surat Hûd/11:1) menegaskan bahwa seluruh kandungan Al-
Qur’an adalah muhkam. Adapun maksud ke-muhkam-annya adalah bahwa
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya,
dan sama sekali tidak mengandung kelemahan dan kebatilan, baik dalam lafaz-
lafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya.
Ayat kedua (surat al-Zumar/39: 23) menegaskan bahwa seluruh
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah mutasyâbih. Maksudnya adalah bahwa
ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan gaya bahasa, i‘jaz, dan memiliki
daya ungkap yang luar biasa.
Ayat ketiga (surat Âli ‘Imrân/3: 7) menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-
Qur’an terbagi kepada dua bahagian, yaitu sebagian ayat yang bisa dipahami
secara mandiri yang dikenal dengan muhkamat dan sebagaian ayat yang
memerlukan penjelasan ayat lain dalam cara memahaminya yang dikenal dengan
mutasyâbihat.11
Adapun prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat muhkamat dan
mutasyâbihat adalah sebagai berikut:
Pertama, ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maksud petunjuknya
jelas, tegas, dan tidak rancu, serta tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman.
Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.
11Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 42.
35
Kedua, ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya
bukanlah yang dimaksudkannya, tetapi makna hakikinya dijelaskan dengan pen-
ta’wil-an. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan.
Al-Tûsî berpandangan bahwa nabi Muhammad saw dan para imam ahlulbaitnya
mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyâbih tersebut. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat
muhkam dalam Al-Qur’an merupakan um al-kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an).
Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui ayat-ayat mutasyâbih harus merujuk
kepada ayat-ayat muhkam. Ayat-ayat mutasyâbih harus dirujuk kepada ayat-ayat
muhkam guna mengetahui maknanya yang hakiki.
Berdasarkan hal tersebut, al-Tûsî berpendapat bahwa tidak ada satu
ayatpun dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin tidak diketahui maknanya. Selain
itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui
makna-makna hakikinya dengan perantara ayat-ayat lain. Inilah yang dimaksud
dengan ketergantungan ayat muhkam kepada ayat mutasyâbih.12 Di antara
contohnya adalah firman Allah swt yang terdapat dalam surat Tâhâ/20:5:
الرحمن على العرش استوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arasy”,
dan ayat lain yang terdapat dalam surat al-Fajr/89:22:
وجآء ربك
“Dan datanglah Tuhanmu”.
12Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 43-46. Lihat juga Andrew Rippin selanjutnya
disebut Rippin (Ed), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, selanjutnya disebut Aproaches, (London: Clarendon Press, 1988), h. 189.
36
Secara zahir-nya, kedua ayat tersebut menunjukkan jismiyyah (memiliki
jasad) dan menggambarkan seakan-akan Allah swt itu adalah benda. Kedua ayat
tersebut apabila dihubungkan dengan firman Allah swt yang terdapat dalam surat
al-Syûrâ/42: 11:
ليس آمثله شىء وهو السميع البصير
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”, maka jelaslah bahwa “bersemayam” itu bukan
berarti menetap, dan “datang” itu bukan berarti pindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Inilah makna batin yang terkandung dalam ayat وجآء ربك dan ayat
. الرحمن على العرش استوى
Untuk menguatkan pandangan al-Tûsî tentang makna batin Al-Qur’an, ia
menyandarkan keyakinannya pada dalil-dalil sebagai berikut:13
1. Sabda Rasulullah saw:
وإن القرآن لم ينزل ليكذب بعضه بعضا ولكن نزل ليصدق بعضه بعضا فما عرفتم فاعملوا
به وما تشابه عليكم فآمنوا به
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan agar sebagiannya
mendustakan sebagian yang lain. Akan tetapi ia diturunkan agar
sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kalian
ketahui, amalkanlah; dan apa yang samar bagi kalian, maka imanilah”.
13Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 47-48.
37
2. Perkataan imam ‘Ali karram Allah wajhah:
ينطق بعضه بعضا ويشهد بعضه علي بعض
“Beberapa ayat Al-Qur’an saling mengisi dengan bagian-bagian yang
lain yang mengungkapkan maknanya kepada kita. Beberapa bagian
mengokohkan makna bagian yang lain”.
3. Perkataan imam Rida a.s:
ممن رد متشابه القرآن إلي محكمه هدي إلى صراط مستقي
“Barang siapa mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-
ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus”.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mufasir Syi’i menjelaskan bahwa ayat-
ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang tidak mandiri dalam madlul-nya. Oleh
karena itu, untuk mengetahui hakikat makna ayat-ayat mutasyâbih harus
dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian, dalam ayat-ayat Al-
Qur’an tidak ada satu ayatpun yang tidak diketahui maksudnya.
3) Ta’wil yang hakiki dalam Al-Qur’an
Kata ta’wil dalam Al-Qur’an tercantum pada tiga ayat, yaitu:
a. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:
له إال فأما الذين فى قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله وما يعلم تأوي
اهللا والراسخون فى العلم يقولون ءامنا به آل من عند ربنا
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada
38
b. Surat al-A‘râf/7: 53:
هل ينظرون إال تأويله يوم يأتى تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جآءت رسل ربنا بالحق
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’w³lnya. Pada hari
datangnya ta’wilnya itu berkatalah orang-orang yang melupakannya
sebelum itu: “sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan
haq".
c. Surat Yûnus/10: 39:
بل آذبوا بما لم يحيطوا بعلمه ولما يأتهم تأويله
“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum
mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
ta’wilnya”.
Dari beberapa ayat tersebut, mufasir Syi’i berpandangan bahwa
keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an adalah mempunyai ta’wil dan tidak hanya
terbatas pada ayat-ayat mutasyâbihat saja. Menurut mereka, ta’wil (makna
tersirat) yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt, para nabi,
dan orang-orang suci14 di antara wali-wali Allah yang bebas dari kotoran
ketidaksempurnaan manusia. Para wali ini dapat merenungi makna-makna Al-
14Orang-orang suci yang dimaksudkan oleh mufasir Syi‘i tersebut adalah para imam Syi‘i
dan ahlulbait lainnya. Pandangan Syi‘i tersebut berdasarkan ayat yang terdapat dalam surat al-Ahzâb(Md) /33: 33: إنما يريد اهللا ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهرآم تطهيرا (sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya).
39
Qur’an sekalipun hidup dalam kenyataan masa kini. Mereka juga beranggapan
bahwa pada hari kebangkitan, ta’wil Al-Qur’an akan diungkapkan.
Pendapat tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa pendalaman yang
memadai tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dari ahlulbait menunjukkan
dengan jelas bahwa kitab suci Al-Qur’an dengan bahasa yang menarik serta
pengungkapannya yang fasih dan terang, tidak pernah mempergunakan cara
pengemukaan yang penuh teka-teki. Ia selalu memaparkan setiap persoalan
dengan bahasa yang serasi dengan persoalannya. Menurut mufasir Syi’i, ta’wil
atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah,
melainkan ia berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataaan
tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan
kenyataan ini, ia melahirkan prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah
dari Al-Qur’an.15
Para mufasir Syi’i menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa
ta’wil adalah sama dengan tafsir. Mereka juga menolak pendapat ulama yang
mengatakan bahwa ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir
suatu ayat. Selain itu, para mufasir Syi’i juga menolak pendapat ulama yang
mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai ta’wil dan ta’wil
ayat-ayat Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt. Adapun alasan penolakan
mufasir Syi’i terhadap pandangan ini adalah sebagai berikut:16
Pertama, pendapat para ulama tersebut bertentangan dengan surat
Yûnus/10: 39:
15Djohan Effendi, Islam Syi'ah, h. 109. 16Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 51-53.
40
بل آذبوا بما لم يحيطوا بعلمه ولما يأتهم تأويله آذلك آذب الذين من قبلهم فانظر آيف آان
عقبة الظلمين
“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum
mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
ta’wil-nya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah
mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang zalim itu”.
Menurut mufasir Syi’i, ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa
keseluruhan ayat di dalam Al-Qur’an itu mempunyai ta’wil, dan tidak hanya
terbatas pada ayat mutasyâbihat.
Kedua, pendapat para ulama Sunni tersebut mengakibatkan pada
ketidakjelasan makna hakiki secara keseluruhan dalam Al-Qur’an, apabila yang
mengetahuinya hanya Allah swt. Pandangan seperti ini sangatlah tidak jelas
maksudnya dan bukanlah merupakan perkataan yang fasih dalam suatu ilmu
balaghah.
Ketiga, berdasarkan pendapat para ulama Sunni tersebut, maka
argumentasi Al-Qur’an menjadi kurang sempurna. Hal ini bertentangan dengan
firman Allah swt yang tercermin dalam surat al-Nisâ’/4: 82:
أفال يتدبرون القرآن ولوآان من عند غير اهللا لوجدوا فيه اختالفا آثيرا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya
Al-Qur’an itu bukanlah dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”.
41
Berdasarkan ayat ini, mufasir Syi’i berpandangan bahwa seandainya
diasumsikan bahwa ayat-ayat mutasyâbih berbeda dengan ayat-ayat muhkam, lalu
perbedaan tersebut dihilangkan dengan mengatakan bahwa arti lahirnya bukanlah
yang dimaksud, dan yang dimaksudkannya adalah arti lain yang hanya diketahui
oleh Allah swt, maka menghilangkan perbedaan dengan cara seperti ini tidak
menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan manusia.
Keempat, tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dimaksud dengan ta’wil
dalam ayat muhkam dan mutasyâbih adalah makna yang berbeda dengan arti
zahir. Di antara contoh Al-Qur’an yang menjelaskan pandangan ini adalah sebagai
berikut:
Dalam kisah nabi Yusuf a.s sangatlah jelas bahwa ta’wil mimpi bukanlah
sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi itu, akan tetapi ta’wil atas
mimpi tersebut merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam
bentuk tertentu.
Dalam kisah nabi Musa a.s dan nabi Khidir a.s, yaitu ketika nabi Khidir
merusak perahu, membunuh bocah, dan memperbaiki dinding yang roboh. Pada
kisah ini, setiap kali nabi Khidir a.s melakukan perbuatan tersebut, maka saat
itupula dikritik oleh nabi Musa a.s. Kritikan yang dilakukan oleh nabi Musa a.s
disebabkan karena ia belum mengetahui hakikat dan makna perbuatan yang
dilakukan oleh nabi Khidir a.s. Dengan keadaan seperti ini, akhirnya nabi Khidir
a.s menjelaskan kepada nabi Musa a.s tentang rahasia yang tersembunyi di balik
perbuatan-perbuatannya tersebut. Penjelasan seperti ini dinamakan dengan ta’wil.
42
Dalam masalah timbangan dan ukuran, Allah swt berfirman dalam surat
al-Isrâ’/17:35:
وأوفوا الكيل إذاآلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذلك خير وأحسن تأويال
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan timbangan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih
baik ta’wilnya”.
Dari ayat ini jelaslah bahwa ta’wil yang dikehendaki Allah dalam masalah
timbangan dan ukuran adalah posisi ekonomi, terutama perekonomian yang
terjadi di pasar-pasar dengan perantaraan jual-beli. Ta’wil dengan makna ini tidak
bertentangan dengan makna zahir-nya dari ukuran dan timbangan tersebut. Selain
itu, ta’wil dengan makna ini merupakan hakikat luar dan jiwanya yang terdapat
dalam ukuran dan timbangan dengan perantaraan jujur dan adil dalam mu‘amalah.
4) Al-Qur’an dan nasikh-mansukh
Dalam ayat-ayat hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat
beberapa ayat yang menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang turun
sebelumnya. Ayat yang turun terdahulu disebut mansukh (yang dihapus), dan ayat
yang turun kemudian disebut nasikh (yang menghapus). Ayat-ayat nasikh
berfungsi untuk mengakhiri berlakunya hukum sebelumnya. Di antara contohnya
adalah antara surat al-Baqarah/2: 109:
فاعفوا واصفحوا حتى يأتى اهللا بأمره
“Maka maafkan dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya”, dengan surat al-Taubah/9: 29:
43
قتلوا الذين اليؤمنون باهللا والباليوم األخر واليحرمون ماحرم اهللا ورسوله واليدينون دين
وتوا الكتبالحق من الذين أ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengaharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka”.
Pada surat al-Baqarah ayat 109, terdapat hukum yang memerintahkan
kaum muslimin untuk bersikap lunak kepada golongan ahlul kitab, namun setelah
beberapa hari kemudian, hukum tersebut dicabut. Sebagai penggantinya, Allah
swt. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka (surat al-
Taubah ayat 29). Penetapan hukum ini disebabkan karena ahlul kitab tidak
beriman kepada Allah swt, serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Mufassir Syi’i isnâ ‘asyariyyah berpendapat bahwa nasakh dalam Al-
Qur’an adalah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang di-nasakh (mansukh)
tersebut. Mufasir Syi’i juga berpendapat bahwa hukum yang pertama (mansukh)
memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang terbatas, dan hukum
yang pertama ini berakhir apabila ada ayat hukum yang datang kemudian
(nasikh). Mereka berpandangan bahwa menetapkan hukum sementara sebelum
ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi, kemudian
menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara merupakan
44
sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusyrikan.17 Hal ini
berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah falsafah nasakh,
di antaranya adalah surat al-Nahl/16: 101-102:
) 101(اليعلمون وإذا بدلنا ءاية مكان ءاية واهللا أعلم بما ينزل قالوا إنما أنت مفتر بل أآثرهم
)102(قل نزله روح القدس من ربك بالحق ليثبت الذين ءامنوا وهدى وبشرى للمسلمين
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang
mengada-ada saja”, bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui” (101).
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari
Tuhanmu dengan benar, untuk menguhkan hati orang-orang yang telah
beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)” (102).
Al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa nasakh dalam Al-Qur'an terbagi
tiga bahagian, yaitu: pertama, di-nasakh hukumnya tanpa di-nasakh lafaznya. Di
antara contohnya adalah surat al-Baqarah ayat 240, surat al-Mujâdalah ayat 21,
dan surat al-Anfâl ayat 65. Kedua, di-nasakh lafaznya tanpa di-nasakh hukumnya,
seperti ayat rajam; dan ketiga, di-nasakh lafaz dan hukumnya, seperti surat al-
Qasas ayat 12.18
17Al-Tabâabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 61. Lihat juga Rippin (Ed), Aproaches, h. 188. 18Al- Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 13.
BAB IV
PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM
DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN
A. Hukum Ibadah
1. Shalat Qasar
- Surat al-Nisâ’/4: 101:
وإذا ضربتم في األرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة إن خفتم أن يفتنكم الذين
وا لكم عدوا مبينا آفروا إن الكفرين آان
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagimu”.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa seseorang boleh
dan tidak berdosa untuk menqashar shalatnya. Menurutnya, shalat qasar wajib
dilakukan apabila seseorang sedang bepergian dan dalam keadaan takut. Jarak
yang dipersyaratkan oleh al-Tûsî adalah delapan farâsakh1. Apabila tidak dalam
keadaan takut, maka ia tidak wajib qasar shalat. Ia hanya diwajibkan mengerjakan
1 Farâsakh adalah jarak yang ditempuh seseorang dalam melakukan perjalanan. Satu
farâsakh sama dengan satu mil. Lihat al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pustaka Peantren, 2004), h. 125.
45
46
shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat
qasar.2
Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau
ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut:
a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak
dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan
Umar bin Khattab.
b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam
keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin
Abdullah, dan Ka‘ab.
2. Shalat Jama’
- Surat al-Isrâ’/17: 78:
أقم الصلوة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقران الفجر إن قران الفجر آان مشهودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat)”.
Al-Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat لدلوك الشمس adalah shalat zuhur
dan shalat asar. Adapun makna غسق الليل adalah shalat maghrib dan isya’,
sedangkan makna ayat وقران الفجر adalah shalat subuh. Melalui ayat ini, al-Tûsî
menjelaskan bahwa shalat zhuhur dan ashar pelaksanaannya dilakukan secara
2 Syaikh al-Tâifah Abû Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tûsî, al-Tibyân fi Tafsir al-
Qur’ân, (Teheran: Maktab al-A‘lâm al-Islâmi, 1409 HQ), Jilid III, h. 307-310.
47
Al-Tûsî juga menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat jama’ tersebut
dikerjakan pada saat muqim, dan apabila dalam keadaan musafir, maka seseorang
harus shalat jama’ qasar.
3. Shalat Jum’at
يأيهاالذين ءامنوا إذا نودى للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذآراهللا“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”. Al-Tûsî dan Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah menjelaskan bahwa shalat jum’at
harus dilaksanakan oleh sultan (penguasa) yang adil atau penggantinya. Sultan
yang dimaksud di sini adalah Rasulullah saw atau salah satu dari dua belas imam
yang ma’sûm. Adapun yang dimaksud dengan pengganti sultan, al-Tûsî
mensyaratkan harus orang mukmin yang mengakui imâmah dua belas.
Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat jum’at diwajibkan kepada seluruh
mukallaf, kecuali yang mempunyai uzur, seperti musafir, sakit, buta, tuli, pincang,
dan semacamnya. Ia juga menguraikan bahwa syarat pelaksanaan shalat jum’at
adalah minimal tujuh orang.4
Dari penjelasan al-Tûsî tersebut nampaklah bahwa terdapat perbedaan
antara pelaksanaan shalat jum’at oleh Syi‘i dengan mayoritas Sunni kecuali
mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi dijelaskan bahwa shalat jum’at harus
dipimpin oleh seorang sultan, baik adil maupun zalim. Dalam mazhab ini juga
dijelaskan bahwa ada empat hal yang menjadi hak para penguasa, di antaranya
adalah shalat jum’at. Apabila dalam shalat jum’at tidak disyaratkan harus
3Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid VI, h. 508-510. 4Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 8-9.
48
dipimpin sultan, maka pelaksanaannya akan mengarah pada kekacauan. Hal ini
disebabkan karena manusia akan saling berlomba datang lebih dahulu ke masjid
lalu melaksanakan shalat jum’at untuk tujuan mereka. Dengan demikian, orang-
orang selain mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengkoordinir
kegiatan shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini pasti terjadi kekacauan. Oleh
karena itu, menurut mazhab Hanafi, pelaksanaan shalat jum’at harus diserahkan
kepada sultan yang kepadanya diserahkan berbagai urusan manusia dan berlaku
adil di antara mereka.5
4. Puasa
Surat al-Baqarah/2: 183-184:
أياما ) 183(أيهاالذين ءامنوا آتب عليكم الصيام آما آتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون ي
)184(معدودات فمن آان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (183). (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang
siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (184)”.
Al-Tûsî menafsirkan bahwa kata الصيام yang tercantum dalam ayat tersebut
bermakna puasa Ramadhan. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa bagi orang
musafir dan bagi orang sakit, maka wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dan
menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan puasa. Apabila seseorang berpuasa
5‘Ali Ahmad al-Sâlûs, Ma‘a al-Isnâ ‘Asyariyyah fi al-shûl wa al-Furû‘, (Qatar: Dâr al-
Tsaqâfah, 2002), h. 992-1002.
49
5. Wudhu’
Surat al-Mâidah/5: 6:
لى المرافق وامسحوا يأيهاالذين ءامنوا إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إ
برءوسكم وارجلكم إلى الكعبين
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
Al-Tûsî menafsirkan ayat فاغسلوا وجوهكم dalam ayat tersebut adalah
membasuh muka mulai dari batas rambut kepala sampai dengan dagu. Ia juga
menjelaskan bahwa bahagian dalam dari mulut, hidung, dan mata bukan
merupakan bahagian dari wajah. Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak wajib
dibasuh. Ayat وأيديكم إلى المرافق ia tafsirkan dengan makna membasuh tangan mulai
dari siku sampai dengan ujung jari-jari tangan. Al-Tûsî menjelaskan bahwa dalam
membasuh tangan tidak boleh dimulai dari ujung jari sampai ke siku, karena harf
Pandangan ini berbeda dengan mazhab .مع dalam ayat tersebut bermakna إلى
Sunni.7
6Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid II, h. 115-117. 7Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 447-450.
50
Ayat رءوسكموامسحوا ب ia tafsirkan dengan makna mengusap bahagian depan
kepala dan tidak mengusap secara keseluruhan. Dalam membahas ayat وارجلكم إلى
Oleh karena itu, kata . برءوسكم ataf pada‘ وارجلكم menjelaskan bahwa kata الكعبين
tersebut harus dibaca kasrah ( وارجلكم ). Al- Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat
mengusap (bukan membasuh) kaki yang dimulai dari ujung jari وارجلكم إلى الكعبين
kaki sampai dengan mata kaki. Ia juga menjelaskan bahwa aturan mengusap
kepala berlaku juga dalam mengusap kaki. Aturan tersebut adalah bahwa kaki
yang diusap adalah sebahagiannya saja (tidak mesti telapak kaki).8
6. Zakat dan Khumûs
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara al-Tûsî sebagai mufasir dan
fuqahâ’ Syi‘i dengan mazhab Sunni dalam hal kewajiban dan kadar zakat. Yang
membedakan menurut al- Tûsî dan fuqahâ’ Syi‘i lainnya adalah di samping zakat
dan sedekah, masih ada kewajiban terhadap harta, yaitu khumûs (seperlima).
Menurut al-Tûsî, khumûs merupakan kewajiban bagi yang memperoleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Harta rampasan perang terhadap non muslim
b. Barang tambang (emas, perak, besi, minyak, dan semacamnya)
c. Harta tersembunyi yang ditemukan di bawah tanah (apa saja)
d. Yang ditemukan di laut atau sungai selain ikan
e. Keuntungan usaha, apabila melebihi kebutuhan seseorang dan keluarganya
selama satu tahun
f. Harta yang bercampur dan tidak terpisahkan antara yang halal dan yang haram
8Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 452-453.
51
g. Tanah yang dibeli oleh seorang zimmî dari seorang muslim. Hal ini terjadi
apabila setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu
h. Khumûs (seperlima) dari pendapatan atau harta-harta tersebut dibagi kepada
enam bahagian, yaitu mereka yang tersebut dalam surat al-Anfâl/8: 8:
هللا خمسه وللرسول ولذى القرب ى واليتمى والمسكين وابن واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن
السبيل“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”.
Al-Tûsî menjelaskan bahwa fayi’ itu diperuntukkan kepada Allah SWT,
Rasul-Nya Muhammad saw, imam ahlul bait dan kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil yang semuanya berasal dari ahli bait Rasulullah
saw dari Bani Hasyim dan bukan untuk secara umum. Selanjutnya al-Tûsî
menjelaskan bahwa hak Allah SWT dan hak Rasul saw setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw diserahkan kepada imam. Apabila imam belum muncul – dalam
hal ini imam ke-12 atau imam Mahdi , maka hak-hak Allah SWT dan Rasulullah
saw itu diserahkan pada para mujtahid9 yang adil untuk digunakan bagi kebutuhan
agama dan bantuan kepada fakir miskin. Separuh dari pajak keagamaan yang
diserahkan kepada otoritas agama yang diakui itu, dewasa ini digunakan pada hal-
hal yang dianggap perlu dan bermanfaat oleh otoritas yang diakui tersebut. Ia
bertindak sebagai wakil imam yang belum lagi hadir dan separuh lainnya
dibayarkan kepada keturunan nabi Muhammad saw, terutama yang membutuhkan.
Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan mereka dari kehinaan akibat
kesulitan keuangan dan sekaligus sebagai ungkapan cinta dan penghargaan kepada
mereka.10
9Para Mujtahid yang dimaksud tersebut adalah para Mujtahid yang berada di Iran, seperti
Khomeini, Syari’at Madari, Ali Khamanei, dan sebagainya. 10Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz V, h. 122-125.
52
B. Hukum Mu‘amalah;
1. Nikah Mut’ah
Surat al-Nisâ’/4: 24:
فمااستمتعتم به منهن فأتوهن أجورهن فريضة
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban”.
Sebelum penulis menguraikan pandangan al-Tûsî terhadap nikah mut’ah,
terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang pengetian nikah mut’ah. Dalam
paham Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mengenal dua macam perkawinan, yaitu: (1)
perkawinan mutlak tanpa batas waktu yang ditetapkan. Model ini sama dengan
paham Ahlu Sunnah. (2) perkawinan mut’ah. Perkawinan mut’ah adalah
perkawinan yang bersifat sementara dan temporer.
Perkawinan mut’ah tidak dibenarkan oleh Ahlu Sunnah sekalipun mereka
mengakui bahwa Rasulullah saw pernah mengizinkannya dan sahabat-sahabatnya
banyak yang melakukannya. Menurut Ahlu Sunnah, izin tersebut telah dibatalkan
sekalipun mereka berbeda pendapat tentang kapan dan siapa yang
membatalkannya.
Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah tidak mengakui adanya pembatalan dari Nabi
Muhammad saw., sehingga mereka masih membolehkannya sampai saat ini.
Dalam hal mut’ah, Syi’ah berpandangan bahwa ijma’ kaum muslimin menyatakan
53
bahwa kawin mut’ah itu pernah disyari’atkan dan telah dilakukan. Alasan lain
yang dikemukakan oleh ulama dan mufasir-mufasir Syi’ah adalah bahwa
menetapkan bolehnya perkawinan mut’ah akan membantu kaum muslim yang
dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda
belia supaya tidak terjerumus pada perzinahan.11
Perkawinan mut’ah mempunyai empat rukun, yaitu:12
Pertama, shighat, yaitu akad nikah dengan menggunakan salah dari tiga
lafaz, seperti zawwajtuka (saya kawainkan kamu), ankahtuka (saya nikahkan
engkau), dan matta‘tuka (saya mut’ahkan engkau).
Kedua, al-zaujah (mempelai perempuan). Perempuan disayaratkan harus
seorang muslimah atau ahli kitab dan tidak sah mut’ah dengan perempuan
musyrik.
Ketiga, mahar. Dalam hal mahar, mempelai laki-laki harus menyebutkan
jumlah mahar yang akan diberikan. Mahar tersebut ditentukan atas dasar kerelaan
kedua belah pihak walaupun hanya segenggam gandum.
Keempat, jangka waktu. Rukun ini merupakan syarat utama dalam akad
yang ditentukan atas dasar suka sama suka, seperti sehari, sebulan, atau setahun.
Jangka waktu ini harus ditetapkan dengan pasti.
11Muhammad Kâzim al-Tabâtabâi, al-Urwah al-Wutsqâ, (Teheran: Dâr al-Kutub al-
Islâmiyyah, 1388 H), h. 632. Lihat juga al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 166-167. 12Mahmûd Bashûni Faudâi, Nasy’ah Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Mathba‘ah al-
Amânah, 1997), h. 192-193.
54
Dalam hukum perkawinan mut’ah akan muncul beberapa masalah, di
antaranya:13
1. Perkawinan akan rusak atau batal apabila memisahkan antara penyebutan
mahar dengan penyebutan jangka waktu yang ditentukan. Selanjutnya,
menyebutkan mas kawin tanpa menentukan jangka waktu akan merubah status
perkawinan menjadi perkawinan permanent (nikah da’im).
2. Secara ijma’, tidak ada talak dalam perkawinan mut’ah.
3. Dalam perkawinan mut’ah tidak waris mewarisi antara suami-isteri.
4. Tidak sah memperbaharui akad sebelum berakhir jangka waktu yang telah
ditentukan.
5. Apabila telah habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka ‘iddah
perempuan adalah dua kali haid. Apabila suami meninggal, maka ‘iddahnya
adalah 4 bulan sepuluh hari.
Al-Tûsî berpegang teguh pada pendapatnya bahwa firman Allah swt.
dalam surat al-Nisâ’ ayat 24 tersebut diturunkan sehubungan dengan masalah
perkawinan mut’ah. Ia menjelaskan bahwa makna ayat فمااستمتعتم به منهن adalah
nikah mut’ah.
13Mahmûd Bashuni Faudâ’, Nasy’ah Tafsir, h. 193-194.
55
2. Riba
Surat Âli ‘Imrân/3: 130:
يأيهاالذين ءامنوا ال تأآلوا الربو أضعافا مضاعفة
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda”.
Al-Tûsî menjelaskan bahwa segala macam riba adalah haram, baik riba
nasi’ah, riba fadli, maupun riba yad. Menurutnya segala tambahan dalam hal
pinjam meminjam perhutangan, maka hukumnya adalah haram.
3. Pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab
Baik Syi‘i maupun Sunni menyepakati bahwa perkawinan seorang muslim
dengan seorang perempuan musyrik adalah tidak sah. Dalam perkawinan dengan
perempuan bersama Ahlu Kitab, para fuqahâ’ mazhab Sunni14 berpendapat bahwa
hukumnya adalah sah. Adapun pendapat di kalangan Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah, maka
mereka terbagi dua, yaitu: pertama, ada yang membolehkan, dan kedua, tidak
membolehkan.
Pendapat-pendapat yang membolehkan kawin dengan perempuan Ahlu
Kitab menguraikan bahwa ayat yang melarang perkawinan dengan perempuan-
perempuan musyrik itu tidaklah meliputi perempuan-perempuan Ahlu Kitab.
Adapun mengenai firman Allah SWT yang tercantum dalam surat al-Mumtahanah
ayat 10: وافر والتمسكوا بعصم الك ( dan janganlah kalian tetap mempertahankan
ikatan perkawinan dengan wanita-wanita kafir ) telah di-nasakh oleh surat al-
Mâidah ayat 5 yang menyatakan kebolehan mengawini perempuan-perempuan
14Para fuqahâ’ yang dimaksud adalah Syâfi‘i, Mâliki, Hanbal, Hanafi.
56
Di kalangan Syi‘i, mayoritas fuqahâ’-nya berpandangan bahwa kaum
muslimin dilarang untuk mempertahankan perkawinan yang langgeng dengan
perempuan Ahlu Kitab.
Al-Tûsî telah mengemukakan masalah ini dan menyatakan
ketidakbolehannya. Berkenaan dengan firman Allah SWT dalam surat al-
Mumtahanah ayat 10, beliau menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah
“janganlah berpegang erat-erat pada ikatan perkawinan dengan perempuan-
perempuan kafir”, sedangkan arti semula pada ‘ismah adalah mencegah.
Pernikahan dalam ayat tersebut dinamai ‘ismah karena perempuan yang dikawini
tersebut berada dalam ikatan suami dan pemeliharaannya. Menurut al-Tûsî, pada
ayat ini terdapat indikasi akan tidak diperbolehkan akad nikah dengan seorang
perempuan kafir, baik kafir Harbi maupun kafir Dzimmi dan dalam segala situasi.
Al-Tûsî menjelaskan bahwa nas tersebut bersifat umum bagi semua perempuan
kafir, dan seseorang tidak bisa mengkhususkan nas tersebut dengan penyembahan
kepada berhala saja, tetapi juga pada hal-hal lain yang berhubungan dengan
kemusyrikan dan kekafiran. Hal ini disebabkan karena asbâb al-nuzûl dari ayat
tersebut berkenaan dengan kaum perempuan.
4. Talak
Apabila seseorang menyimak fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah, maka jelaslah
bahwa terdapat pendapat-pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang berharga dan
dapat diterima kebenarannya menurut Ahlu Sunnah. Di antara pendapat tersebut
57
adalah pendapat mengenai talak. Jumhur kaum muslimin sangat menghargai
pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah ini. Ustaz Musa Jarullah
sebagai seorang tokoh besar yang dikenal sebagai musuh bebuyutan fiqh Syi’ah
Isnâ ‘Asyariyah menyatakan bahwa banyak orang sangat menghargai pendapat
Syi’ah dalam masalah adab talak dan aturannya.15
Undang-undang Mesir telah mengadopsi pendapat-pendapat fiqh Syi’ah
Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah talak. Dalam fiqh fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah
dijelaskan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus, maka ia berarti hanya jatuh
talak satu. Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menafsirkan surat al-alâq/96 1:
يأيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.
Al-Tûsî menjelaskan bahwa pada masa iddah mereka hendaklah suami
menceraikan isterinya itu dalam keadaan suci yang tidak digaulinya. Inilah yang
disebut talak pada iddah, karena masa suci, isteri ditalak itu dihitung sebagai
termasuk iddahnya yang terjadi sebagai akibat talak. Oleh karena itu, ayat tersebut
bermakna “hendaknya suami mentalak mereka pada masa sucinya yang dihitung
sebagai termasuk iddahnya, dan suami tidak diperbolehkan untuk menceraikan
mereka pada waktu haid mereka, yang tidak akan dihitung sebagai qurû‘ mereka”.
Atas dasar inilah, saat mulainya iddah itu adalah masa suci mereka. Inilah
menurut pendapat para sahabat kami.
Zâhir ayat tersebut menuntut bahwa apabila suami mentalak isterinya pada
masa haid atau pada masa suci yang digaulinya, maka tidaklah jatuh talak. Hal ini
disebabkan karena perintah dalam ayat tersebut menuntut pelaksanaan. Pendapat
ini dipegang juga oleh Sa‘id bin al-Musayyib dan kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah.
15 Mûsâ Jâr Allâh, al-Wasyi‘ah fi Naqd ‘Aqâid al-Syi‘ah, (Teheran: al-Maktabah al-
Islâmiyyah, 1987), h. 52.
58
Sebahagian fuqahâ’ berpendapat bahwa telah jatuh talak sekalipun hal itu
merupakan bid’ah menyalahi apa yang diperintahkan. Demikian pula menyatukan
talak tiga itu dalam satu waktu adalah bid’ah, meskipun hal tersebut banyak
dilakukan orang. Talak dalam syari’at adalah ibarat melepaskan perempuan dari
tali ikatan nikah, terkadang perpisahan suami-isteri dapat terjadi tanpa adanya
talak, seperti dalam kasus irtidâd, li‘ân, dan khulû‘. Ketiga hal ini tidak dinamai
talak.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat
petunjuk bahwa hal yang wajib dalam pernyataan talak adalah menjatuhkannya
secara terpisah (satu demi satu) dan tidak diperbolehkan mengumpulkan antara
tiga talak. Hal ini disebabkan karena Allah SWT telah mengukuhkan firman-Nya
dalam ayat surat al-alâq ayat satu tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa ayat
tersebut mengukuhkan akan garis-garis ketentuan Allah SWT mengenai talak dan
sebagai pemberitahuan bahwa hak ruju’ tidaklah hilang dengan disekaliguskannya
talak yang tiga. Melalui ayat ini menurutnya seakan-akan Allah berkata: “Jadilah
kalian orang-orang yang mengharapkan manfaat ruju’ itu, karena terkadang
memperbaharui rasa cinta suami setelah ia menjatuhkan talak”. Apabila mereka
berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT telah memerintahkan talak iddah,
maka talak sunnah itu adalah talak iddah. Al-Tûsî menjelaskan bahwa para
sahabat Ahlu Bait mengistilahkan talak yang tidak ditambah lagi sesudah ruju’ itu
disebut dengan talak sunnah, sedangkan talak yang ditambah dengan syarat
terjadinya ruju’ (sesudah talak yang pertama) disebut dengan talak iddah.
Dalam menjelaskan ayat tersebut, al-Tûsî juga mengutip riwayat dari Abû
Ja‘far. Abû Ja‘far menjelaskan bahwa yang dinamakan talak adalah menceraikan
isteri pada masa suci yang tidak dilakukan persetubuhan di dalamnya. Talak
disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil. Selanjutnya, suami masih berhak
59
untuk merujuki isterinya selama belum melampaui tiga qurû’. Inilah talak yang
sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan aturan Rasulullah saw
dalam sunnahnya. Adapun talak tanpa iddah tidaklah dapat dikatakan talak.
Dalam jalur riwayat yang lain, al-Tûsî juga mengutip penjelasan Zarârah.
Zarârah menjelaskan: Suatu saat dia bertanya kepada Abu Ja‘far: terangkanlah
kepadaku tentang talak sunnah dan talak iddah. Ia menjawab: Talak sunnah adalah
apabila seorang laki-laki menghendaki untuk menceraikan isterinya, maka ia
menanti sampai isterinya haid dan suci kembali. Apabila haidnya telah berhenti,
maka ia lalu metalaknya satu kali dan tidak mengadakan persetubuhan serta
disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil dan dibiarkannya isterinya tersebut
sampai habis masa iddahnya, maka berarti ia telah menceraikan isterinya tersebut.
Apabila ada seorang laki-laki yang melamarnya, maka bolehlah perempuan yang
diceraikan itu kawin dengannya apabila ia mau. Selama perempuan tersebut masih
dalam iddahnya, maka suami berkewajiban memberikan nafkah dan tempat
tinggal kepadanya. Selain itu, keduanya juga tetap boleh saling waris-mewarisi
sehingga berakhir masa iddahnya.
Adapun talak iddah adalah apabila seorang laki-laki ingin menceraikan
isterinya, maka ia menunggunya sampai datang haid dan kemudian suci kembali,
lalu ia mentalaknya dengan talak satu dengan tidak mengadakan persetubuhan,
serta dengan mendatangkan dua saksi yang adil. Setelah itu apabila suami ingin
damai, maka ia boleh ruju’ kembali kepadanya pada hari berikutnya atau setelah
beberapa hari. Apabila perempuan itu haid lagi dan kemudian habis haidnya, lalu
suami tersebut mentalaknya lagi dengan talak satu dengan tidak melakukan
persetubuhan serta disaksikan oleh dua orang saksi, lalu ia ruju’ kepadanya
dengan dipersaksikan, maka bolehlah suami menyetubuhinya dan tinggal
bersamanya sampai haid yang ketiga. Apabila perempuan tersebut telah selesai
60
dari haidnya yang ketiga, lalu suaminya tersebut mentalaknya lagi untuk ketiga
kalinya dengan dipersaksikan dan tidak melakukan persetubuhan, maka berarti
perempuan tersebut telah cerai darinya dan tidak halal lagi baginya untuk
mengawininya kembali sampai perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain.
Selanjutnya al-Tûsî dalam tafsir al-Tibyân menjelaskan bahwa mengenai
firman Allah SWT: وأشهدوا ذوي عدل منكم (dan persaksikanlah ruju’ itu dengan dua
orang saksi yang adil di antara kalian), para mufasir menjelaskan bahwa suami
isteri diperintahkan untuk mempersaksikan talak dan ruju’ dengan dua saksi yang
adil sehingga tidak terjadi penyangkalan dari perempuan yang dirujuki tersebut
setelah selesai masa iddahnya. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar laki-laki
atau suaminya tidak bisa menyangkal talaknya. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan
bahwa maksud ayat tersebut adalah “dan persaksikanlah pelaksanaan talak itu
oleh kalian sebagai penjagaan bagi agama yang dianutnya. Penjelasan maksud ini
adalah yang diriwayatkan para imam ahlul bait. Penjelasan ini menurutnya lebih
cocok dengan Zâhir ayat tersebut. Hal ini disebabkan karena apabila dikaitkan
dengan talak, maka ayat tersebut merupakan sebuah perintah yang menuntut
pelaksanaan dan merupakan salah satu syarat bagi sahnya talak.16
Inilah pendapat kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah dalam masalah talak, dan
ini pulalah pendirian al-Tûsî dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang
berkaitan dengan talak berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah.
16Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 28-34.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
‘Abd al-‘Aziz, Amir , Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirût: Dâr al-Furqân, 1983.
Al-‘Ak, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, UUsûl Tafsir wa Qawâ‘iduh, Beirût: Dâr al-
Nafâis, 2003.
Ali Ja‘far, Musâ’id ‘Abd Allâh, Asar al-Tatawwur al-Fikri fi al-Tafsir fi al-‘Asr
al-‘Abbâsi, Beirût: Muassah al-Risâlah, 1984.
Al-‘Arabiyyah, Majma‘ al-Lughah, Mu‘jam al-Fâzh al-Qur’ân al-Karim, Kairo:
al-Hayi’ah al-Misriyyah, t.th., jilid I.
Al-‘Assâl, Muhammad Muhammad Ibrâhim, al-Syi‘ah al-Itsnâ al-‘Asyariyyah wa
Manhajuhum fi Tafsir al-Qur'ân al-Karim, Kairo: Dâr al-Salâm, 1427 H.
Al-Asfahâni, al-Râghib, Mu‘jam Mufradât al-Fâzh al-Qur’an, Beirût:
Dâr al-Fikr, t.th.
‘Awwâd, Muhammad Hasan, Dirâsât fi Lughah al-Qur’ân, Tanâwub Hurûf al-
Jar fi Lughah al-Qur’ân, Yordania: Dâr al-Furqân, 1982.
Al-Baghdâdi, Sâlim al-Tsafâr, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-
Muqâran, Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000.
Al-Bannâ, Kamal, Tafsir al-Qur’ân al-Karim baina al-Qudamâ’ wa al-
Muhaddisîn: Kairo, Dâr al-Fikr, 2003.
Al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-
64
65
Karim, Kairo: Dâr al-Hadis, 2001.
Al-Bûti, Muhammad Sa‘id Ramadân, Mabâhis al-Kitâb wa al-Sunnah min ‘Ilm
al-Usûl, Damaskus: tp, 1975.
Faudâ', Mahmûd Basuni, al-Tafsir wa Manâhijuh, Kairo: Mathba‘ah al-Amânah,
1977.
Golziher, Ignaz, Mazhâhib al-Tafsir al-Islâmi, Bierût: Dâr al-Iqrâ', 1983.
Al-Haidari, Kamâl, Ta'wil al-Qur'ân; al-Nazariyyah wa al-Mu‘tiyât, Iran: Dâr
Farâqid, 2005.
_________, al-‘Ismah; Bahs Tahlili fi al-Dau' al-Manhaj al-Qur'ân, Iran: t.p,
1997.
Hakim, Muhammad Bâqir, ‘Ulûm al-Qur'ân, Qom: Majma‘ al-Fikr al-Islâmi,
1427 H.
Hasan, ‘Usmân ‘Ali, Manhaj al-Istidlâl ‘alâ Masâ’il al-I‘tiqâd ‘inda Ahl al-
Sunnah wa al-Jamâ‘ah, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1418 H.
Al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‘âni wa al-Bayân wa al-Badi‘,
Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ, 1960.
Al-Hasyimi, Muhammad Kâmil, ‘Aqâ‘id al-Syi‘ah fi al-Mizân, Beirût: Dâr al-
Fikr, 1979.
Hawting, G. R. dan A. Shareef, ‘Abdul Kader, Approaches to the Qur’ân: London
dan New York: Routledge, 1993.
Kassâr, Jawwâd ‘Ali, Buhûst Haul al-Imâmah, Iran: Dâr Farâqid, t.th.
66
Mahdi, ‘Abd al-Nabi, al-Manhaj al-Sahih fi Tafsir al-Qur'ân, Teheran: Markaz
Munir, 1385 .
Ma‘rifah, Muhammad Hâdi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Qom: al-Jâmi‘ah al-
Ridawiyahli al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 1383 HS.
_________, Târîkh al-Qur'ân, Qom: tp, t.th.
Al-Mushuli, ‘Abdullah bin ‘Abdullah, Haqîqah al-Syî‘ah, Beirût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990.
Al-Najafî, ‘Alî al-Fâdhil al-Qâiyanî, ‘Ilm al-ûsul; Târîkhan wa Tatawwuran, Iran:
Maktab al-I‘lâm al-Islâmî, 1376 HS.
Al-Najâr, ‘Amir, fi Mazâhib al-Islâmiyyîn, Kairo: al-Haiah al-Misriyyah al-
‘Âmmah li al-Kuttâb, 2005.
Al-Nahwi, Abî al-Hasan ‘Alî bin ‘Îsâ al-Rumânî, Kitâb Ma‘ânî al-Hurûf, Mesir:
Dâr al-Syurûq, t.th.
Al-Namlah, ‘Abd al-Karîm ibn ‘Ali ibn Muhammad, al-Muhazzab fî ‘Ilm Usûl al-
Fiqh al-Muqâran, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2004, Jilid III.
Nasab, Ridâ Husainî, al-Syî‘ah Tujîb, Iran: Muassasah Imâm ‘Alî, 1426 H.
Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tt: Mansyûrât al-‘Asr al-
Hadîs, 1973.
Al-Qurtubî, Abû ‘Abd Allâh, ibn Ahmad al-Ansârî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân,
Beirût: Dâr al-Sya‘b, t.th., jilid VII.
Ibn Qutaibah, Ta'wîl Musykil al-Qur'ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981.
67
Qutub, Sayyid, fî Zilâl al-Qur'ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2005.
Rippin, Andrew, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân,
New York: Clarendon Press, 1988.
Al-Sabt, Khâlid bin ‘Usmân, Qawâ‘id al-Tafsîr, Jam‘an wa Dirâsah, Kairo: Dâr
Ibn Ghiffân, 1421 H.
Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus: Maktabah
al-Ghazalî, 1991.
Al-Sâif, Muhammad ‘Abd al-Rahmân, al-Syî‘ah wa Tahrîf al-Qur'ân,
Iskandariyyah: Dâr al-´mân, t.th.
Sâlih, ‘Abd al-Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Asr al-Hadîs,
Beirût: Dâr al-Ma‘rifah, 2003.
Al-Sâlus, ‘Ali Ahmad, Ma‘a al-Isnâ al-‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘;
Dirâsah Muqâranah fi al-‘Aqâid wa al-Tafsîr wa al-Hadîs wa al-
Fiqh Usûlih, Kairo: Maktabah Dâr al-Qur'ân, 2006.
Saqar, al-Sayyid Ahmad, Syarah Ta’wîl Musykil al-Qur’ân li ibn Qutaibah,
Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981.
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Subhânî, Ja‘far, UUsûl, al-Fiqh al-Muqâran; fîmâ lâ Nâss fîh, Qom: Muassasah
al-Imâm al-sâdiq, 1425 H.
_________, al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah‘alâ Dau' Madrasah Ahl al-Bait, Qom:
Muassasah al-Imâm al-sâdiq, 1425 H.
68
_________, al-Insâf fî Masâil Dâm fîhâ al-Khilâf, Qom: Muassasah al-Imâm al-
sâdiq, 1423 H.
_________, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî wa Dawâruh, Qom: Muassasah al-Imâm al-
sâdiq, 1427 H.
Surachmad, Winarno, Dasar, Metode dan Teknik Pengantar Penelitian Ilmiah,
Bandung: Tarsito. 1995.
Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Muhammad dan Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî
Bakr, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hadîs, 2004.
Syâhîn, ‘Abd al-Sabûr, al-Minhaj al-Sautî li al-Bunyah al-‘Arabiyyah, Ru’ya
Jadîdah fi al-Sarf al-‘Arabî, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1980.
Al-Syintanawî, Ahmad, Dâirah al-Ma‘ârif al-Islâmiyyah, Beirût: Dâr al-
Fikr,1977, Jilid VII.
Al-Tabâtabâî, Sayyid Muhammad Husain, Shi’te Islam, Houston: Free Islamic
Literature, 1979.
___________, al-Qur’ân fî al-Islâm, Beirût: Jâmi‘iyyah al-Saqafah al-
Ijtimâ‘iyyah, 1973.
___________, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom: Mansyûrât Jâmi‘ah al-
Mudarrisîn fî al-Hauzah al-‘Ilmiyyah, t.th.
___________, fî Rihâb al-‘Aqîdah, Iran: Dâr al-Hilâl, 2004.
Al-Tawâb, Ramadân ‘Abd, Fusûl fî Fiqh al-‘Arabiyyah, Kairo: al-Nâsyir
Maktabah al-Khânajî, 1987.
69
Al-Ta’lîf Muassasah al-Balâgh, Lajnah, Ahl al-Bait: Maqâmuhum wa
Manhajuhum wa Masâruhum, Iran: Râbi¯ah al-Sâqâfah wa al-
‘Alaqah al-Islâmiyyah Mudîriyyah al-Tarjumah wa al-Nasyr, 1996.
Al-Tûsî, Abû Ja‘far Muhammad ibn al-Hasan, al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom:
Maktabah al-A‘lâm al-Islâmî, 1409 HQ.
‘Umar, Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn ibn Diyâ’ al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr wa
Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985, Jlid XV.
________, al-Mahsl: Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997, Juz I.
Yusuf Ali, Abdullah, The Holy Qur’an, Translation and Commentary,
Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989.
Al-Zahabî, Muhammad Husain, al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm, Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Mesir: Mustafâ al-Bâb al-Halabî,
t.th.
________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Zahiri, Ihsân Ilahi, al-Syî‘ah wa al-Sunnah, Lahore: tp, 1974.
Ibn Zakariyâ’, Abû Husain Ahmad ibn Fâris, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Mesir:
Mustafâ al-Bâb al-Halabî, 1972, jilid II.