BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI
DI PASAR BANDARJO UNGARAN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
ARFA LAILA RAHMAWATI
NIM. 214 14 040
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ArfaLailaRahmawati
NIM : 214 14 040
Jurusan : Hukum Ekonomi Syari‟ah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : BENTUK KHIYAR DALAM JUAL BELI DI PASAR
BANDARJO UNGARAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
v
MOTTO
“Many of life’s failures are people who did not
realize how close they were to success when they
gave up”
(BanyakKegagalanhidup yang
terjadikarenamerekatidakmenyadariseberapadeka
tkesuksesansaatmulaimenyerah)
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobil‟alamin. Dengan menyebutnama Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa, penuh cinta kasihnya yang telah memberikan saya kekuatan,
dan telah menuntun dan menyemangatiku menyelesaikan skripsi ini. Yang
mana skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku, Bapak Zumroni dan Ibu Sri Sunarsih yang telah
membimbing dan berkorban jiwa raga, kasih sayang, doa dan motivasi yang
selalu menguatkan langkahku setiap harinya. Ku ucapkan terimakasih semoga
Allah SWT selalu memberikan nikmat-Nya kepada Bapak dan ibu.
2. Suami dan Anakku tercinta, Eko Oktavianto dan Bilqis EkoShillanada yang
selalu memberiku motivasi setiap mendapati kesulitan. Memberikan doa dan
dukungan dan kasih sayang serta selalu menjadi pelipur hati.
3. Kakakku tersayang, Kunti Naili Sifa yang selalu memberikan doa dan
dukungan setiap harinya.
4. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun
materil sehingga aku bisa menyelesaikan studiku dengan baik.
vii
KATA PENGANTAR
ااسالم عليكن ورحمة هللا وبركاته
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik serta hidayahnya, sehingga skripsi dengan judul “Bentuk Khiyar
Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran Menurut Perspektif Hukum
Islam” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam penulis
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, parasahabat dan para
pengikutnya yang setia kepadanya hingga akhir zaman.
Skripsi ini ditulis dan diselesaikan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi pada program Strata Satu (S1) Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah IAIN Salatiga guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H) dalam bidang Ilmu Syariah.
Atas semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi ini, tak lupa
penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya. Secara rinci ungkapan
terimakasih itu saya sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.,selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syar‟iah Intitut Agama
Islam Negeri Salatiga dan juga sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.
viii
3. Ibu Heni Satar, S.H., M.Si, selaku Ketua Program Studi Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah yang telah mengizinkan penulis untuk
membahas judul skripsi ini sekaligus Dosen Pembimbing Akademik Institut
Agama Islam Negeri Salatiga.
4. Ibu Lutfiana Zahriani, S.H., M.H.selaku Kepala Laboratorium Fakultas
Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
5. Keluarga tercinta Ibu, Bapak,Suami, Anak, Mertua dan Saudaraku yang tak
henti-hentinya selalu mendoakan dan memberikan semangat.
6. Sahabat-sahabat tercinta Via, Ucik, Rima, dan Eka yang telah berbagi suka,
duka, bahagia serta mengisi hari-hariku selama menempuh S1.
7. Teman-teman senasib seperjuangan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014
Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang telah memberikan semangat dan
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada semua narasumber yang berkenan memberikan informasi.
9. Seluruh jajaran Akademik Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas
Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terimakasih banyak telah
banyak membantu penyusunan skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis
dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
Semoga amal kebaikan mereka semua di balas berlipat ganda oleh
Allah SWT dan dijauhkan dari sifat dengki dan berlaku dzalim, Amin.
ix
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya. Amin yarabbal „alamin.
ة هللا وبركاتهوالسالم عليكن ورحم
Salatiga, November 2018
Penulis
Arfa Laila Rahmawati
NIM. 214 14 040
x
ABSTRAK
Arfa Laila Rahmawati. 2018. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar
Bandarjo Ungaran Menurut Perspektif Hukum Islam. Skripsi. Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.Pembimbing, Dr. Siti Zumrotun, M. Ag.
Kata Kunci: Khiyar, Pasar Bandarjo Ungaran
Khiyar merupakan hak pilih salah satu kedua belah pihak untuk
melangsungkanatau membatalkan jualbeli. Hak khiyar ditetapkan syariat islam
bagi orang-orang yang melaksanakan jual beli agar tidak dirugikan dalam
transaksi jual beli. Salah satunya di Pasar Bandarjo Ungaran telah
memperselisihkan khiyar. Proses khiyar yang tidak di aplikasikan secara
menyeluruh karena sering kali pembeli merasa kurang puas dengan barang
yang telah diberi, apabila mendapati cacat atau tidak sesuai ukuran dengan
tidak boleh dikembalikan atau dibatalkan. Dari latar belakang diatas, maka
rumusan masalahnya adalah pertama, bagaimana praktik khiyar dalam jual beli
di Pasar Bandarjo Ungaran? Kedua, Apa saja bentuk-bentuk khiyar dalam jual
beli di Pasar Bandarjo Ungaran? Dan Ketiga, apakah bentuk khiyar dalam jual
beli di Pasar Bandarjo Ungaran sesuai dengan hokum islam?.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan, penelitian yang
langsung dilakukan di Pasar Bandarjo Ungaran dengan sifat penelitian
deskriptif dan untuk memecahkan masalah dengan pendekatan yuridis dengan
analisa kualitatif. Data diperoleh melalui observasi ketempat penelitian secara
langsung yaitu Pasar Bandarjo Ungaran dan wawancara dengan pihak yang
mendukung, yaitu kepala pasar, penjual, dan pembeli.
Hasil dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu praktik khiyar
dalam jual beli yang dilakukan pedagang dan pembeli apabila mendapati cacat
barang atau tidak sesuai ukuran, bukanlah pembatalan melainkan tetap
melanjutkan jual beli dengan syarat tukar barang yang sudah dibeli dengan
barang yang sejenis atau seharga, bias juga tukar tambah, dan tukar yang lebih
murah. Khiyar yang sering terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran yaitu khiyar „aib
dan khiyar syarat. Bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran
dalam hokum islam ini diperbolehkan. Hal ini dikaitkan dengan „urf, tukar
barang menjadi kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat
dalam jual beli.dimana kebiasaan itu di anggap baik dan selagi kedua belah
pihak tidak ada yang dirugikan dan atas dasar suka sama suka.
xi
DAFTAR ISI
COVER ...................................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................ ii
PENGESAHAN ........................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iv
MOTTO ..................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
D. Penegasan Istilah ................................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 8
F. Metode Penelitian................................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hukum Islam Tentang Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli ........................................................................ 14
2. Dasar Hukum Jual Beli ................................................................... 15
3. Rukun dan Syarat Jual Beli ........................................................... 17
xii
B. Hukum Islam Tentang Khiyar
1. Pengertian Khiyar ........................................................................... 20
2. Dasar Hukum Khiyar ...................................................................... 21
3. Syarat-Syarat Khiyar ...................................................................... 22
4. Macam-Macam Khiyar ................................................................... 23
5. Cara Penggunaan Khiyar ................................................................ 31
6. Hikmah Khiyar ............................................................................... 33
C. Hukum Islam Tentang „Urf
1. Pengertian „Urf ............................................................................... 34
2. Macam-Macam „Urf ....................................................................... 35
3. Kehujjahan „Urf .............................................................................. 38
4. Syarat-Syarat „Urf .......................................................................... 40
5. Hukum „Urf .................................................................................... 41
BAB III PRAKTIK KHIYAR DI PASAR BANDARJO UNGARAN
A. Gambaran Umum Pasar Bandarjo Ungaran ........................................ 43
B. Praktik Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran ............. 49
BAB IV ANALISIS BENTUK KHIYAR
A. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran ............. 58
B. Bentuk Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Menurut
Perspektif Hukum Islam ...................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 66
B. Saran .................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dan menjadi bagian
dalam agama Islam, ketika berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam
pikiran adalah peraturan-peraturan atau norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat. Bentuknya mungkin hukum yang tidak
tertulis atau hukum adat dan hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya di
masyarakat (Basyir, 2000:11). Dalam mencukupi kebutuhan hidupnya,
manusia saling memenuhi dan saling melengkapi layaknya sebagai makhluk
sosial.
Dalam kehidupan bermuamalat, Islam telah memberikan garis kebijakan
yang jelas. Muamalat sebagai tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam
hubungan dengan orang lain yang menimbulkan hak dan kewajiban itu
merupakan bagian terbesar dalam hidup manusia. Oleh karenanya, agama
Islam menempatkan bidang muamalat ini sedemikian pentingnya (Basyir,
2000:12). Salah satu bidang muamalat yang disyari‟atkan oleh Allah SWT
adalah Jual beli.
Mendengar istilah jual beli, tentulah tidak dapat dipisahkan dari kata
pasar.Berdagang adalah aktifitas paling umum yang dilakukan di pasar. Pasar
merupakan alat yang memungkinkan individu berinteraksi untuk membeli dan
menjual barang atau jasa tertentu. Menurut kajian ilmu ekonomi, pasar adalah
2
suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran
(penjualan) dari suatu barang atau jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat
menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang
diperdagangkan (Suprayitno, 2008: 205).
Oleh sebab itu Islam membolehkan pengembangan harta dengan
berbisnis, yang salah satunya melalui jalur perdagangan atau jual beli.
Sebagaimana firman Allah SWT:
َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاضٍ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ
ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َسُكْم َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ فُ ۚ ِمْنُكْم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakanharta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyanyang kepadamu (QS. An-
Nisa: 29).
Jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al-tijarah dan al mubaladah yang
berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud jual beli adalah menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (Suhendi,
2008:67). Dasar hukum jual beli di atas sebagaimana Firman Allah SWT:
ۚ َوَأَحلَّ اللَُّو اْلبَ ْيَع َوَحرََّم الرِّبَا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,,,,”. (Al-
Baqarah: 275)
Islam telah memberikan tuntunan dalam melaksanakan jual beli, agar
tidak ada yang merasa dirugikan antara penjual dan pembeli. Tuntunan yang
3
diberikan oleh Islam antara lain adanya kerelaan kedua belah pihak yang
berakad, dan barang yang dijadikan objek dalam jual beli dapat dimanfaatkan
menurut kriteria dan realitanya. Jual beli yang mendapatkan berkah dari Allah
adalah jual beli yang jujur, yang tidak curang. Tidak mengandung unsur
penipuan dan penghianatan (Antonio, 2007: 109).
Disamping itu hukum Islam memberikan solusi sebagai pelengkap
daripada rukun dan syarat jual beli yang telah terpenuhi, yakni berupa khiyar.
Hal ini bertujuan untuk melindungi pembeli dari kemungkinan penipuan dari
pihak penjual. Jual beli dalam Islam selalu memperhatikan maslahat-maslahat
yang Allah syariatkan berupa hak memilih bagi orang yang bertransaksi,
supaya dia puas melihat maslahat dan mudharat yang ada dari sebab akad
tersebut sehingga dia mendapatkan apa yang diharapkannya dari pilihannya itu
atau membatalkan jual belinya (Sabiq, 1983:164).
Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari
yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya.
Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik
berupa meneruskan akad atau membatalkannya (Mardani, 2012: 105). Status
khiyar menurut para ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan karena
suatu keperluan mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-
masing pihak yang bertransaksi (Haroen, 2007: 129).
Dalam proses khiyar dikenal ada beberapa macam-macamnya namun
khiyar yang paling mansyur yang sering terjadi dalam jual beli di bagi menjadi
tiga, yakni khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar „aibi (At-Thayar dkk,
4
2004:93). Misalnya ketika proses jual beli masih dilakukan sederhana, khiyar
sangat dipegangi oleh para pelaku jual beli karena mereka bertemu langsung
dan melihat objek transaksi. Jika barang yang dibeli dirasa belum sesuai
dengan kehendaknya, maka masih dapat ditukar selama masih ditempat
transaksi, maka terjadilah khiyar majlis. Jika barang dibeli bergaransi, maka
ketika suatu hari terdapat cacat, masih dapat dikembalikan sesuai perjanjian
maka terjadilah khiyar syarat dan khiyar „aib.
Khiyar dalam transaksi jual beli di pasar saat ini belum bisa dikatakan
sesuai. Salah satunya Pasar Bandarjo Ungaran sebagai objek penelitian dengan
alasan bahwa Pasar Bandarjo Ungaran merupakan salah satu pasar tradisional
di Ungaran yang menyediakan berbagai macam barang dengan harga miring
baik itu barang bekas maupun barang baru. Dan di pasar tersebut terdapat
kejanggalan-kejanggalan dalam transaksi jual beli mengenai barang yang
diperjual belikan.
Di Pasar Bandarjo Ungaran para pedagang telah memperselisihkan
khiyar dan ada pedagang yang tidak melaksanakan khiyar.Sebenarnya mereka
telah menerapkan beberapa ketentuan khiyar. Akan tetapi proses khiyar
menurut Islam tidak diaplikasikan secara menyeluruh. Seharusnya pedagang
harus mengetahui konsep khiyar yang harus diikuti dengan pengetahuan
bentuk-bentuk khiyar sesuai dengan hukum Islam. Seperti halnya ada beberapa
pedagang sepatu dan sandal yang mengatakan apabila barang yang ingin dibeli
harus benar-benar diperhatikan , agar tidak salah seketika sudah dibawa.
5
Dan pada pedagang elektronik juga mengatakan bahwa sebelum barang
yang akan dibeli maka terlebih dahulu harus dilihat dan diperhatikan. Dengan
alasan barang yang sudah dibeli apabila tidak sesuai maka untuk ditukar atau
dikembalikan sangatlah rumit dengan alasan lain sudah menjadi kesalahan
konsumen/pembeli bukan kesalahan penjual.
Lain halnya pada pedagang pakaian, dimana memberikan pernyataan
apabila baju atau pakaian lain yang berjumlah banyak seperti perbalan atau
perkodian dan seketika sudah di bawa pulang dicek ada yang rusak atau cacat
maka dapat ditukarkan selama lebelnya belum lepas atau capnya belum dicabut
dengan barang yang seharga. Dan tidak bolehnya aturan jika barang tersebut
terdapat cacat kemudian dikembalikan atau dibatalkan dalam jual beli tersebut
dengan alasan kesalahan pembeli karena kurang teliti sebelum membeli. Belum
pernah adanya penjual mengembalikan 100% yang sudah diterima bagi si
pembeli jika pakaiannya terdapat cacat (Wawancara, 05 Mei 2018).
Dari peristiwa tersebut dalam transaksi jual beli maka pembeli tidak
mendapatkan hak-haknya secara utuh dan merasa dirugikan atas transaksi yang
telah dilakukan pedagang dalam menjual barang dagangannya.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang konsep khiyar dalam jual beli yang saat ini
terjadi dengan judul “Bentuk Khiyar dalam Jual Beli di Pasar Bandarjo
Ungaran Dalam Perspektif Hukum Islam”.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas ada beberapa hal yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran?
2. Apa saja bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo
Ungaran?
3. Apakah bentuk-bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran
sesuai dengan hukum Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sesuai dengan permasalahan pokok diatas tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui praktik khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo
Ungaran.
b. Untuk mengetahui bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar
Bandarjo Ungaran.
c. Untuk mengetahui bentuk khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo
Ungaran menurut perspektif hukum Islam.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis
Penelitian ini sebagai upaya untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran apabila
dalam masyarakat terdapat bentuk atau model khiyar dalam jual beli yang
7
tidak sesuai dengan hukum islam, maka dapat dijadikan sebagai solusi
untuk permasalahan tersebut.
b. Secara praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang dapat memberikan
informasi mengenai bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar
Bandarjo Ungaran yang sesuai dengan hukum Islam.
2) Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat untuk memenuhi tugas
akhir guna memperoleh gelar S.H., pada Fakultas Syariah di IAIN Salatiga.
D. Penegasan Istilah
Untuk menghindari pemahaman yang kurang tepat terhadap judul diatas
maka perlu ditegaskan kembali pengertian kata penting yang terdapat pada
judul penelitian tersebut, diantaranya sebagai berikut :
1. Hukum Islam seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama islam (Syarifuddin, 2009: 6) .
2. Jual beli adalah suatu akad menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain
atas dasar saling merelakan (Suhendi, 2008:67).
3. Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari
yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya.
Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang baik dari dua urusan
baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya (Mardani, 2012: 105).
8
4. Pasar, dalam arti sempit adalah suatu tempat dimana pada hari tertentu para
penjual dan pembeli dapat bertemu untuk jual beli barang. Sedangkan
pengertian pasar dalam arti luas yaitu dimana pertemuan antara penjual dan
pembeli untuk melaksanakan transaksi jual beli tidak lagi terbatas pada
suatu tempat tertentu saja maupun pada hari tertentu (Gilarso, 2004:154).
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan pembahasan yang berkaitan dengan masalah ini,
penulis banyak menemukan buku-buku maupun literatur-literatur yang
berkaitan dengan pokok masalah ini yang dapat membatu penulis melakukan
pembahasan. Adapun buku maupun literatur yang menyinggung tentang
permasalahan khiyar dalam jual beli, diantaranya:
Buku yang berjudul “Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam Pandangan
Empat Madzhab” karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk
(2010: 225). Dalam buku tersebut membahas tentang pengertian jual beli, dasar
hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, bentuk jual beli serta khiyar.
Buku yang berjudul “Fiqh Ekonomi Syariah” karya Mardani (2012: 107),
buku ini membahas bentuk-bentuk khiyar menjadi tiga yaitu khiyar majlis,
khiyar syarat, dan khiyar „aibi.
Selain dari buku-buku diatas, masih ada banyak skripsi yang bertemakan
tentang khiyar. Seperti skripsi yang ditulis oleh saudara Tachrir (2013) yang
berjudul “Prinsip An taradin dalam Jual Beli Tanpa Khiyar”, menyimpulkan
bahwa dalam setiap akad-akad muamalah, ijab dan qabul yang merupakan
bentuk kerelaan (An taradin) diantara pihak-pihak yang melaksanakan akad
9
harus tetap dapat terlaksana perwujudannya. Maka dalam skripsi ini lebih
fokus pada kaedah fiqh khiyar serta konsep kerelaan saja.
Skripsi dari saudara Haddatul Waton (2016) yang berjudul “Jual Beli
Kain Potongan (Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur).
Skripsi ini membahas tentang transaksi jual beli kain potongan secara online,
agar tidak terjadi penipuan dalam jual beli maka kedua belah pihak
menggunakan prinsip khiyar yang sesuai dengan ajaran Islam.
Selain itu skripsi dengan judul “Pandangan Hukum Islam Terhadap
Pelaksanaan Khiyar dan Garansi Pada Produk Elektronik (Studi di Servise
Center Lenovo Semarang) yang ditulis oleh Nanang Taufik Masruri (2014).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa praktik pelaksanaan khiyar pada garansi
produk elektronik laptop lenovo diperbolehkan dalam hukum Islam, dengan
catatan pihak produsen maupun pihak servise center memberikan informasi
yang jelas dan lengkap kepada konsumen mengenai proses pelaksanaan garansi
dan prosedur atau tata cara pengajuan klaim garansi, agar konsumen tidak
tertipu akibat kurangnya informasi yang didapatkan dari produsen maupun
pihak service center.
Dengan demikian meskipun telah ada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yakni pemberian khiyar dalam jual beli pada satu transaksi jenis
barang tersebut. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang
sudah ada, bahwa peneliti mencari bentuk atau model khiyar dalam jual beli
yang terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran kemudian kami menganalisis berbagai
bentuk-bentuk khiyar ini dalam perspektif hukum Islam.
10
F. Metode Penelitian
Untuk melakukan penelitian yang baik, maka dibutuhkan metode yang
jelas. Agar dalam penelitian ini dapat memberikan hasil yang maksimal, maka
penulis mencoba memakai metode sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research)
yaitu data yang diperoleh dengan dengan hasil pengamatan langsung di
lapangan yakni, di Pasar Bandarjo Ungaran.
2. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat
upaya-upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterprestasikan
kondisi-kondisi yang saat ini terjadi (Tika, 2006: 57). Penelitian ini
menggambarkan bentuk atau model khiyar dalam jual beli di Pasar
Bandarjo Ungaran.
3. Pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis. Dengan
tujuan untuk mendekati masalah-masalah yang ada, benar atau tidak sesuai
dalam teori hukum Islam dengan cara mengamati bentuk khiyar dalam jual
beli di Pasar Bandarjo Ungaran.
4. Sumber data
Adapun sumber data yang berhasil dikumpulkan penulis secara garis
menjadi dua, diantaranya adalah
11
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau
objek yang diteliti (Tika, 2006: 57). Dalam hal ini data primer yang
diperoleh peneliti bersumber dari pedagang dan pembeli di Pasar
Bandarjo Ungaran.
b. Data sekunder adalah data yang telah lebih dulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang atau instansi diluar dari peneliti sendiri,
walaupun yang dikumpulkan sebenarnya data asli (Tika, 2006: 58).
Data sekunder ini dipeoleh dari buku-buku yang mempunyai relevansi
dengan permasalahan yang akan dikaji dalam peneliti ini.
5. Metode pengumpulan data
Dalam usaha menghimpun data untuk penelitian ini digunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap
gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian (Tika. 2006: 58).
Metode ini dilakukan untuk melihat model khiyar daalam jual beli di
Pasar Bandarjo Ungaran dengan cara pengamatan secara langsung ke
lokasi objek penelitian dan pencatatan secara sistematis terhadap
fenomena-fenomena yang sedang diteliti.
b. Wawancara (interview)
Wawancara (interview) adalah metode pengumpulan data
dengan cara Tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan
12
berlandaskan pada masalah, tujuan, dan hipotesis penelitian (Tika.
2006: 62). Pada praktiknya telah disiapkan daftar pertanyaan untuk
diajukan secara langsung kepada pedagang dan pembeli di Pasar
Bandarjo Ungaran.
c. Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder
dalam bentuk buku-buku dan data-data tertulis lain mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan permasalahan jual beli diatas.
6. Analisis data
Setelah data diperoleh, selanjutnya data tersebut akan dianalisa.
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Analisis kualitatif ini dipergunakan dengan cara
menguraikan dan merinci kalimat-kalimat sehingga dapat ditarik
kesimpulannya dengan jelas. Dalam menganalisa data dengan
menggunakan teknik penalaran induktif yaitu suatu analisis dari hal-hal
yang bersifat khusus ke hal yang bersifat umum (Surahmad, 1986: 139).
Hal ini berkaitan dengan bentuk atau model khiyar dalam jual beli yang
terjadi di Pasar Bandarjo Ungaran kemudian setelah data terkumpul,
dianalisa dengan menggunakan teori tentang khiyar dalam jual beli dalam
perspektif hukum Islam.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mempermudah pembahasan ini, maka penulis
mendeskripsikan sistematika pembahasan menjadi beberapa bab, diantaranya:
13
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini penyusun
mengemukakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kemudian
diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua, memuat tentang khiyar dalam jual beli. Bab ini mmerupakan
landasan teori yang akan digunakan untuk membahas bab-bab selanjutnya. Bab
ini meliputi konsep khiyar menurut islam yang mencakup pengertia jual beli,
dasar hukum jual beli, pengertian khiyar, dasar hukum khiyar ,macam-macam
khiyar, pengertian „urf dan macam-macam „urf.
Bab ketiga, penulis uraikan tentang gambaran umum di Pasar Bandarjo
yang meliputi sejarah berdirinya dan kondisi Pasar Bandarjo Ungaran.
Kemudian Praktik Khiyar dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran.
Bab keempat yang merupakan analisis menyeluruh dari bab sebelumnya
dengan analisis yang menyeluruh. Didalamnya meliputi analisa dari bentuk
khiyar serta praktiknya dalam jual beli di Pasar Bandarjo Ungaran dalam
perspektif hukum Islam.
Selanjutnya, Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat
kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting
yang berhubungan dengan penelitian ini serta untuk tetap eksisnya nilai-nilai
hukum Islam yang universal dalam kehidupan masyarakat.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hukum Islam tentang Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli secara bahasa berasal dari bahasa arab al-
Bai‟, al-Tijarah, al-Mubaladah artinya mengambil, memberikan sesuatu
atau barter (Nawawi, 2012:75). Adapun pengertian jual beli secara istilah,
sebagaimana yang akan dijelaskan dalam definisi-definisi berikut ini.
Jual beli menurut Taqiyuddin yakni “saling menukar harta (barang)
oleh dua orang untuk dikelola (ditasharafkan) dengan cara ijab dan qabul
sesuai dengan syara” (al- Husaini, Juz 1:147). Sedangkan Jual beli
menurut Wahbah az-Zuhaili adalah “saling tukar-menukar harta dengan
cara tertentu” (az-Zuhaili, juz 4:147).
Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami inti jual beli adalah suatu
perjanjian tukar-menukar benda (barang) yang mempunyai nilai atas dasar
kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang dibenarkan oleh syara‟.
Yang dimaksud dengan ketentuan syara‟ adalah jual beli tersebut
dilakukan sesuai dengan persyaratan –persyaratan , rukun-rukun dan hal-
hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka syarat-syarat dan rukun
nya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.
Menurut pandangan fuqaha Malikiyyah, jual beli dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu jual beli yang bersifat umum
15
dan jual beli yang bersifat khusus.Jual beli dalam arti umum yaitu suatu
perikatan tukar-menukar sesuatu bukan kemanfaatan dan kenikmatan.
Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang ditukarkan adalah
beruapa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi
bukan manfaatnya atau bukan hasilnya (Suhendi, 2002:150).
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang
mempunyai kriteria antara lain buka kemanfaatan dan bukan pula
kelezatan, yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan
bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak
ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang tersebut telah
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu (Suhendi,
2002:150).
2. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan oleh dalil-dalil Al-quran dan sunnah perkataan
serta sunnah perbuatan dan ketetapan Rasulullah saw, sebagai berikut:
Dalam surat Al-Baqarah ayat 275 firman Allah SWT:
بَا َم الرِّ ُ اْلبَْيَع َوَحرَّ َوأََحلَّ هللاَّ
Artinya :”padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. (QS. Al-Baqarah:275)
Firman yang lain :
َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاٍض يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ
ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ ُفَسُكْم ۚ ِمْنُكْم
16
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyanyang
kepadamu (QS. An-Nisa: 29).
Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari hadist Rasulullah
Saw adalah sebagaimana sabdanya:
،،اضٍ رَ ت َ نْ عَ عُ يْ ا الب َ ّنََّ إِ
Artinya: “Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”.
Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual
beli. Ijma ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun
harus ada kompensasi sebgai imbal baliknya. Sehingga dapat
disyari‟atkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untu
merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya
manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan
orang lain (Djuwaini, 2008:73).
Adapun landasan dari ijma yakni, Agama Islam melindungi hak
manusia dalam pemilikan harta yang dimilikinya dan memberi jalan keluar
untuk masing-masing manusia untuk memiliki harta orang lain dengan
jalan yang telah ditentukan, sehingga dalam Islam prinsip perdagangan
yang diatur adalah kesepakatan kedua belah pihak yaitu penjual dan
pembeli. Sebagaimana yang telah digariskan oleh prinsip mu‟amalah
17
yaitu: Prinsip kerelaan, Prinsip bermanfaat, Prinsip tolong menolong dan
Prinsip tidak terlarang (Ali, 2007: 144).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa jual
beli dengan tidak mengikuti ketentuan hukum Islam tidak diperbolehkan
dan tidak sah, seperti terdapat hal penipuan dan kecurangan serta saling
menjatuhkan dan dalam usaha jual beli atau perdagangan tersebut seperti
halnya transaksi jual beli barang dan pedagang yang dalam hal ini tidak
dapat dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati karena
terjadinya likuidasi terhadap suatu bank yang berhubungan pada pihak
penjual dan pembeli mengenai uang yang harus diterima pada waktu yang
ditentukan.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam pelaksanaan rukun dan syarat jual beli diuaraikan dibawah ini:
a. Rukun jual beli
Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi
seperti dibawah ini (Nawawi, 2012:77).
1) Penjual. Ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin
untuk menjualnya, dan sehat akalnya.
2) Pembeli. Ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan
orang yang kurang waras tau bukan anak kecil yang tidak mempunyai
izin untuk membeli.
18
3) Barang yang dijual. Barang yang dijual harus merupakan hal yang
diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan bisa
diketahui pembeli meskipun hanya dengan cirri-cirinya.
4) Bahasa akad, yaitu penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) dengan
perkataaan, misalnya pembeli berkata, “aku jual barang ini kepadamu”.
Atau ijab dan qabul dengan perbuatan, misalnya pembeli berkata “aku
menjual pakaian ini kepadamu”, kemudian penjual memberikan pakaian
yang dimaksud kepada pembeli.
5) Kerelaan kedua belah pihak: penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak
sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak.
b. Syarat jual beli
Syarat-syarat dalam jual beli diuraikan dibawah ini:
1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad (ijab dan qabul). Ijab
dari segi bahasa berarti “pewajiban atau perkenaan”, sedangkan qabul
berarti “penerimaan”. Ijab dalam jual beli dapat dilakukan oleh
pembeli atau penjual sebagaimana qabul juga dapat dilakukan oleh
penjual atau pembeli. Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali
dari salah satu yang berakad disebut ijab kemudian ucapan atau
tindakan yang lahir susudahnya disebut qabul (Jamil, 2002:138).
2) Syarat-syarat Aqid (penjual dan pembeli). Penjaul dan pembeli
digolongkan sebagai orang yang berakad. Persyaratan yang harus
dipenuhi penjual dan pembeli itu sama. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi keduanya adalah sebagai berikut:
19
a) Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum
islamdikenal istilah baligh (dewasa) dan berakal sehat.
Berdasarkan syarat ini maka jual beli dibawah umur dan rang tidak
berakal sehat menurut jumhur ulama tidak sah.
b) Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri. Karena itu
apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa baik secara fisik
atau mental, maka menurut jumhur ulama, jual beli tersebut tidak
sah (Huda, 2011:58). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
ۚ بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاٍض ِمْنُكْم
“.. kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka
sama suka (QS An-Nisa:29).
3) Syarat-syarat dalam ma‟qud alaih (objek akad). Ma‟qud alaih (objek
akad) adalah barang yang diperjualbelikan. Para ulama telah
menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam ma‟qul
alaih ada empat macam (az-Zuhaili, Juz 5: 3360). Adapun syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad akad
berlangsung. Apabila barang tersebut tidak diketahui, maka jual
beli tersebut tidak sah. Untuk mengetahuinya barang yang akan
dibeli perlu dilihat sekalipun ukurannya tidak diketahui.
b) Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga.
Berharga yang di maksud adalah suci dan halal ditinjau dari aturan
agama islam dan mempunyai manfaat bagi manusia.
20
c) Benda yang diperjualbelikan maerupakan milik penjual. Maka jual
beli barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah.
d) Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad.
Artinya benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad.
Bentuk penyerahan benda dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu pada benda yang bergerak dan benda tidak bergerak (Huda,
2011:62-66) .
B. Hukum Islam tentang Khiyar
1. Pengertian Khiyar
Khiyar secara bahasa yakni kata nama dari ikhtiyar yang berarti
mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau
membatalkannya. Sedangkan menurut istilah khiyar yaitu mencari yang
baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya
(Mardani, 2012: 105).
Secara termonologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan, antara
lain menurut Sayyid Sabiq,
،،اءِ غَ لْ اَِل وْ أَ اءِ ضَ مْ اَْلِ نْ مِ نِ يْ رَ مْ لَ الْ رُ ي ْ خَ بُ لَ طَ وَ ىُ ارُ يَ الِ
“khiyar yakni mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau
meninggalkan jual beli (Sabiq, 1999:164).
Dalam perdagangan atau jual beli dalam islam dibolehkan untuk
memilih (khiyar), apakah penjual dan pembeli akan meneruskan atau
membatalkannya. Khiyar suatu keadaan yang menyebabkan orang yang
melakukan orang yang melakukan transaksi (aqid) memilih hak pilih
untuk meneruskan transaksi atau akadnya, yakni menjadikan atau
21
membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, khiyar aib, khiyar
ru‟yah atau hendaknya memilih dua barang jika khiyar ta‟yin (Nawawi,
2012:85).
2. Dasar Hukum Khiyar
a. QS. An-Nisa ayat 29, sebagaimana Firman Allah:
َنُكْم بِاْلَباِطِل ِإَلَّ َأْن َتُكوَن ِِتَارًَة َعْن تَ رَاضٍ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ََل تَْأُكُلوا أَْمَواَلُكْم بَ ي ْ
ِإنَّ اللََّو َكاَن ِبُكْم َرِحيًما ۚ َوََل تَ ْقتُ ُلوا أَنْ ُفَسُكْم ۚ ِمْنُكْم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku atas suka sama suka diantara kamu dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyanyang kepadamu” (QS. An-Nisa: 29).
b. Hadist
بَا َنا بُ ْورَِك ََلَُما ِفْ بَ ْيِعِهَما َوِاْن َكَتَما وَكَ ذَّ قَا َوبَ ي َّ َعاِن بِا ْلَِياِر َما َلَْ يَ تَ َفرَّقَا, فَِاْن َصدَّ الب َ ي ْ
ْت بَ رَْكُة بَ ْيِعِهَما )رواه البخاري ومسلم( قَّ ُمُِ
Artinya : “Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan
khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka
keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.Jika mereka
menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah
keberkahan jual beli mereka”. (HR.Bukhori Muslim)
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli
hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli
terdapat cacat yang bisa merugikan kepada pihak pembeli (Muslich,
2015: 218)..
22
c. Ijma‟ Ulama
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status khiyar dalam pandangan
ulama Fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu
keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan
masing-masing pihak yang melakukan transaksi (Syarifudin, 2009:
213).
Di abad modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli
semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan,
hanya tidak menggunakan katakata Khiyar dalam mempromosikan
barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ukapan singkat dan
menarik, misalnya: “Teliti sebelum membeli”. Ini berarti bahwa
pembeli diberi hak Khiyar (memilih) dengan hati-hati dan
cermatdalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia
merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
3. Syarat-Syarat Khiyar
Hak pilih (khiyar) dalam jual beli itu disyariatkan dalam masalah-
masalah (Nawawi, 2012: 85) sebagai berikut:
a) Jika penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat belum
berpisah maka keduanya mempunyai hak khiyar untuk melakukan jual
beli atau membatalkannya.
b) Jika salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan hak khiyar itu
berlaku untuk waktu tertentu, kemudian keduanya menyepakatinya
23
maka keduanya terikat dengan hak khiyar hingga waktunya habis
kemudian jual beli dilakukan.
c) Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan
tersebut mencapai sepertiga lebih, misalnya menjual sesuatu yang
harganya sepuluh ribu dengan lima belas ribu atau dua puluh ribu,
pembeli diperbolehkan membatalkan jual beli atau membeli dengan
harga standar.
d) Jika penjual merahasiakan barang dagangannya. Misalnya, ia
keluarkan yang baik dan merahasiakan yang jelek atau
memperlihatkan yang bagus dan menyembunyikan yang rusak maka
pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau
melangsungkannya.
e) Jika terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dana
sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika
proses tawar-menawar, maka pembeli mempunyai hak khiyar.
f) Jika penjual dan pembeli tidak sepakat dengan harga suatu barang atau
sifatnya, maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai
hak khiyar antara melangsungkan atau membatalkan jual beli.
g) Jika penjual dan pembeli tidak sepakat, sedang barang dagangan nya
ada dan tidak ada bukti, maka keduanya bersumpah.
4. Macam-Macam Khiyar
24
Menurut Wahbah az-Zuhaili ada tujuh belas macam khiyar, namun
didalam kitabnya dia hanya menyebutkan enam macam khiyar yang
popular, sebagaimana akan diterangkan berikut ini,
a. Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah setiap aqidain mempunyai hak untuk
memilih antara meneruskan akad atau mengurungkannya sepanjang
keduanya belum berpisah. Artinya suatu akad belum bersifat lazim
(pasti) sebelum berakhirnya majlis akad yang ditandai dengan
berpisahnya „aqidain atau dengan timbulnya pilihan lain. Namun
khiyar majlis ini tidak berlaku pada setiap akad, melainkan hanya
berlaku pada al-mu‟awadhah, al-maliya, seperti akad jual beli dan
ijarah (Huda, 2011:41-42).
: الَ قَ مَ لَ سَ وَ وِ يْ لَ عَ اللُ ىلَّ صَ ِبِّ النَّ نِ ، عَ وُ نْ عَ اللُ يَ ضِ ، رَ امٍ زَ حِ نَ بْ مَ يْ كِ َعْن حَ
تْ قَ ُمُِ مَ تَ كَ ا َو بَ ذَ كَ نْ إِ ا وَ مَ هِ عِ يْ ب َ ِف امَ َلَُ كَ رِ وْ ا ب ُ نَ ي ْ ب َ ا وَ قَ دَ صَ نْ إِ ا فَ قَ رَّ فَ ت َ ي َ اَلَْ مَ ارِ يَ الِْ بِ انِ عَ ي ِّ الب َ
ا"مَ هِ عِ يْ ب َ ةُ كَ َر ب َ
Artinya :”Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan
khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka
keduanya diberkahi dalam jual beli mereka.Jika mereka
menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkanlah
keberkahan jual beli mereka”. (HR Bukhari dan Muslim)
Maksud dari hadist di atas, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah
pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan
selama keduanya belum berpisah secara fisik.Jika keduanya bangkit
dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.
25
Pendapat yang paling kuat bahwa yang dimkasud berpisah disesuaikan
dengan adat kebiasaan setempat (Sabiq, 1983:164)
Adapun penjual dan pembeli sudah berpisah dari tempat akat
tersebut hak khiyarnya sudah tidak berlaku lagi. Batasan khiyar majlis
sebagai berikut:
1) Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa transaksi
dapat menjadi lazim dengan adanya aib dan qabul, sebab tidak bisa
hanya dengan transaksi hak pilih. Selain itu akan sempurna bila
kedua belah pihak ada keridhaan.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang
yang bertransaksi pada jual beli orang yang melakukan tawar-
menawar sebelum bertransaksi atau tidak. Adapun maksud dari
berpisah adalah berpisah dari segi ucapan secara badan.Bagi yang
belum melakukan serah terima (ijab boleh menarik ucapannya
sebelum qabul). Sementara bagi yang lainnya, penerima boleh
memilih pakaian, ia akan menerima di tempat tersebut atau
menolak.
Ulama syafi‟iyah dan Hanafiyah berpendapat adanya khiyar
majlis, bahwa jika pihak-pihak yang bertransaksi menyampaikan
ijab dan qabul, transaksi tersebut termasuk boleh atau tidak lazim,
keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badan.
Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan,
menjadikan, atau saling berpikir (Nawawi, 2012:86-87).
26
b. Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah hak „aqidain untuk melangsungkan atau
membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan
ketika akad berlangsung. Seperti ucapan seorang pembeli “saya beli
barang ini dengan hak khiyar untuk diriku dalam sehari atau tiga hari”
(Huda, 2011: 43). Maka Rasulullah bersabda:
َعْن اَنَِّس قاَل:هنى َرُسْوُل الِل َصلَّى الل َعَلْيِو َسَلَم، أَْنَت بِاْلَِياِر ِِف ُكلِّ ِسْلَعٍة ابْ تَ ْعتَ َها
َثَلَث لََياٍل )رواه البيهقي(
Artinya:”Kamu boleh khiyar (memilih) pada setiap benda yang telah
dibeli selama tiga hari tiga malam”. (HR Baihaqi)
Para ulama mazhab mengemukakan pendapat yang berkaitan
dengan khiyar syarat, sebagai berikut:
a) Mazhab Hanafiyah, Zafar, dan Syafi‟iyah, khiyar syarat
diperbolehkan dengan menentukan jangka waktu secara pasti, tidak
boleh lebih dari tiga hari karena sebenarnya khiyar ini tidak
diperbolehkan dengan alasan khiyar ini pemindahan pemilikan dan
kelaziman jual beli.
b) Mazhab Hambali membolehkan khiyar syarat dengan batas waktu
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, kurang atau lebih
dari tiga hari.
c) Mazhab Malikiyah memberikan kriteria sesuai dengan komoditas
yang ditransaksikan. Jika berupa buah-buahan waktunya tidak
boleh lebih dari satu hari, untuk pakaian dan kendaraan biasa dalam
27
jangka waktu tiga hari dan untuk rumah atau tanah bisa satu bulan.
Jika jangka waktu telah habis maka jual beli jadi lazim (Nawawi,
2012:87).
Khiyar syarat akan berakhir jika dengan salah satu dari sebab-sebab
dibawah ini:
a) Terjadi penegasan pembatalan atau penetapan akad.
b) Batas waktu khiyar telah berakhir.
c) Terjadi kerusakan pada obyek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi
dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan
berakhirnya khiyar. Namun jika kerusakan tersebut terjadi dalam
penguasaan pembeli maka berakhirlah khiyar, akan tetapi tidak
membatalkan akad.
d) Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak
pembeli baik dari segi jumlah, seperti beranak, bertelur, atau
mengembang.
e) Wafatnya Sahib al-khiyar. Pendapat tersebut menurut pandangan
Mazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan menurut Mazhab Syafi‟I
dan Maliki bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris
menggantikan shahib al-khiyar yang wafat (Huda, 2011: 44).
c. Khiyar „Aib
Khiyar „aib adalah hal yang dimiliki oleh salah seorang dari
„aqidain untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia
menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak
28
memberitahukannya pada saat akad (Huda, 2011:44). Khiyar „aib ini
didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah Saw:
ََِ ََل مِ لِ سْ مُ الْ وْ خُ أَ مُ لِ سْ مُ الْ ،،،وُ لَ وُ نَ ي َّ ب َ َلَّ اِ بٌ يْ عَ وِ يْ ا فِ عً ي ْ ب َ وِ يْ خِ أَ نْ مِ اعَ بَ مٍ لِ سْ مُ لِ لُّ
Artinya :“seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka
tidak halal bagi seorang muslim menjual (barang) yang mengandung
cacat („aib) kepada saudanya kecuali jika dia menjelaskan (adanya
cacat) kepadanya”.(HR Ibn Majah dari „Uqbah ibn „Amir)
Hak khiyar komoditas yang cacat (khiyar „aib) dapar dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Cacat sudah ada ketika hak pilih dilakukan sebelum terjadinya
serah terima. Jika cacat muncul setelah serah terima maka tidak
ada hak khiyar.
2) Cacat melekat pada komoditas setelah diterima oleh pembeli.
3) Pembeli tidak mengetahui cacat atas komoditas yang
ditransaksikan baik setelah melakukan transaksi maupun setelah
menerimanya.
4) Tidak ada persyaratan perubahan dari cacat dalam transaksi jual
beli, jika disyaratkan maka hak khiyar gugur.
5) Cacat masih tetap pada sebelum terjadinya pembatalan transaksi
(Nawawi, 2012: 88).
Hak khiyar „aib ini berlaku semenjak pihak pembeli mengetahui
adanya cacat setelah berlangsung akad. Adapun mengenai batas waktu
untuk menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat
dikalangan fuqaha. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktu
berlakunya, berlaku secara tarakhi. Artinya pihak yang dirugikan tidak
29
harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat tersebut.
Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah batas waktunya secara
faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus segera
menggunakan hak khiyar secepat mungkin. Jika dia mengulur-ulur
waktu tanpa memberikan alasan, maka hak khiyar menjadi gugur dan
akad dianggap telah lazim (pasti).
Hak khiyar „aib gugur apabila berada dalam kondisi berikut ini:
1) Pihak yang dirugikan merelakan setelah dia mengetahui cacat
tersebut.
2) Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad.
3) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan pihak
pembeli.
4) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak
pembeli baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur maupun
segi ukuran seperti mengembang (Huda, 2011: 25-46).
d. Khiyar Ru‟yah
Khiyar Ru‟yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau
tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan
syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya
dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah
terjadi perubahan atasnya (Huda, 2011: 46).
Konsep khiyar ini disampaikan oleh para fuqaha Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus benda gaib (tidak
30
ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Namun
menurut Syafi‟iyah, khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli
karena menurutnya jual beli barang yang gaib sejak mula dianggap
tidak sah (Huda, 2011: 46-47).
Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru‟yah sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadist:
)رواه الدارقطىن( هُ آرَ اذَ اِ ارِ يَ ا لِْ بِ وَ هُ ف َ اهُ رَ ي َ ا َلَْ ئً يْ ى شَ رَ ت َ اشْ نِ مَ
“Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya,
maka baginya hak khiyar ketika melihatny”.(HR Dar al-Quthni dari
Abu Hurairah).
Akad seperti ini menurut mereka boleh terjadi disebabkan objek
yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau
karena sulit dilihat seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ru‟yah
menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang
akan dibeli.
e. Khiyar Ta‟yin
Khiyar ta‟yin adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk
memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau
harganya (Huda, 2011: 43). Keabsahan khiyar ta‟yin menurut mazhab
Hanafi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.
2) Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harus
setara dan harganya harus jelas. Jika nilai dan sifat masing-masing
benda berbeda jauh, maka khiyar ta‟yin ini menjadi tidak berarti.
31
3) Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.
Adapun Imam Syafi‟I dan Ahmad Ibn Hanbal menyangkal
keabsahan khiyar ta‟yin ini dengan alasan bahwa salah satu syarat
obyek akad adalah harus jelas (Huda, 2011: 43).
f. Khiyar Naqd (pembayaran)
Khiyar Naqd tersebut terjadi apabila ada dua pihak melakukan
jual beli dengan ketentuan jika pihak penjual tidak mau menyerahkan
barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad
(Huda, 2011: 47).
5. Cara Penggunaan khiyar
Dalam jual beli agar dimaklumi adanya hak pilih (khiyar) antara pembeli
dan penjual. Hal ini dengan cara sebagai berikut:
a. Pengguguran dengan jelas adalah pengguguran bagi orang yang
mempunyai hak khiyar dengan kata-kata seperti ini “saya batalkan hak
pilih saya dengan suka rela (ridha)”.
b. Pengguguran dengan cara dilalah, yaitu adanya kreativitas dengan
barang tersebut (tasharuf) dari pelaku khiyar yang menunjukan jual
beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang
tersebut kepada orang lain atau sebaliknya, pembeli mengembalikan
pembeliannya pada penjual. Pembeli menyerahkan kembali barangnya
pada penjual dan menunjukan bahwa ia membatalkan jual belinya.
32
c. Penggunaan hak pilih (khiyar) dengan kemadharatan. Dalam sistem
transaksi jual beli yang memperbolehkan adanya hak pilih (khiyar)
merupakan akad yang tidak lazim jika akad tersebut dibatalkan. Cara
menggunakan khiyar itu ada tiga pola, yaitu sebagai berikut:
1) Habis waktu. Khiyar dapat gugur setelah habis waktu yang telah
ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang khiyar.
2) Kematian orang yang memberikan syarat hak khiyar, baik penjual
maupun pembeli.
3) Adanya berbagai hal yang semakna dengan kematian, mislanya
gila, mabuk, dan lain-lain.
4) Barang rusak ketika masih waktu adanya hak khiyar, apakah
komoditasnya masih dipegang oleh penjual atau pembeli dengan
penjelasan sebagai berikut:
a) Jika barangnya masih ditangan penjual, batallah jual beli dan
hak pilih menjadi gugur.
b) Jika barang sudah ditangan pembeli, jual beli dianggap batal
jika khiyar berasal dari penjual, bahkan pembeli harus
menggantinya.
c) Jika barang sudah ditangan pembeli dan khiyar berasal dari
pembeli, jual beli menjadi lazim dan jual beli menjadi gugur.
d) Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanafiyah jika barang rusak
dengan sendirinya, maka khiyar gugur dan jual beli batal.
33
5) Adanya barang cacat. Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan
sebagai berikut:
a) Jika khiyar berasal dari penjual dan cacat terjadi dengan
sendirinya , khiyar gugur dan jual beli juga batal akan tetapi,
jika cacat karena pembeli atau orang lain, maka khiyar tidak
gugur dan pembeli bertanggung jawab atas kerusakannya.
Begitu pula jika orang lain yang merusaknya ia bertanggung
jawab atas kerusakannya.
b) Bila khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat maka khiyar
gugur, sebab barang sudah berada ditangan pembeli (Nawawi.
2012:88-89).
6. Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar sebagai berikut (Ghazali dkk, 2010:104):
a. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-
prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
b. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli,
sehingga pembeli mendapat barang yang baik atau yang benar-benar
disukainya.
c. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan
mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan
barangnya. Menjelaskan keadaan barang seperti kualitas, warna, berat,
dan yansg lainnya dengan tidak menyembunyikan barang yang
cacat/aib.
34
d. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun
pembeli, karena tidak ada kehatihatian dalam proses jual beli.
e. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih kasih
antar sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya
akan beraibat dengan penyesalan, dan penyesalan di salah satu pihak
biasanya dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam, dan
akibat buruk lainnya.
Demikianlah hak khiyar itu memang perlu digunakan dalam jual
beli. Karena tidak akan merugikan kedua belah pihak ketika pembeli
merasa barang dibelinya itu tidak sesuai. Sehingga terjadinya jual beli
tidak mengandung unsur paksaan.
C. Hukum Islam tentang ‘Urf
1. Pengertian Urf
„Urf secara etimologi berasal dari kata „araf َعَرف, yu‟rifu ِرفيع . Sering
diartikan dengan al-ma‟ruf ْلَمْعُرْوفا dengan arti “sesuatu yang dikenal” atau
berarti “yang baik”. Ulama ushul fikih membedakan antara adat dengan „urf
dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:
ةٍ يَّ لِ قْ عَ ةٍ اَْْلَْمُر اْلُمَتَكرُِّر ِمْن َغْْيِ َعَلقَ
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional.”
35
„Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan
kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau
kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding
dengan hukum Islam (Jumantoro dan Amin, 2005:333-334).
Menurut Al-Ghazali „Urf diartikan dengan: “keadaan yang sudah tetap
pada jiwa manusia, dibenarkannya oleh akal dan diterima pula oleh tabiat
yang sejahtera.
Adapun Badran mengartikan „Urf dengan :”Apa-apa yang dibiasakan dan
diakui oleh orang banyak,baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan berulang-
ulang dilakukan berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal
mereka (Jumantoro dan Amin, 2005:335).
2. Macam-Macam ‘Urf
Dilihat dari segi obyeknya, urf dibagi menjadi dua, yaitu urf lafzhi dan
urf amali (Suwarjin, 2012:149).
a. Urf lafzhi ialah kebiasaan masyarakat dalam mempermudah lafaz tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas di pikiran masyarakat.
Contohnya: Ungkapan “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seseorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli
daging satu kilogram,” pedagang tersebut lalumengambil daging sapi,
karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan
kata daging pada daging sapi.
36
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain
maka tidak dinamakan „urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan
marah dan ditangannya ada tongkat kecil, seraya saya berucap “jika saya
bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini. ”Dari ini dipahami yang
dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan
tongkat. Ungkapan seperti ini, tidak dinamakan „urf akan tetapi termasuk
majaz (Jumantoro dan Amin, 2005:338).
b. „Urf Amali adalah „urf yang berupa perbuatan. „Urf amali adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
muamalah keperdataan. Adapun yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak
terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada
hari tertentu dalam satu minggu.
Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan
masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Contoh
lain jual beli masayarakat yang tanpa mengucapkan shighat akad jual beli.
padahal menurut syara‟, shigat jual beli itu merupakan salah satu rukun
jual beli. tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
melakukan jual beli tanpa shigat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan maka syara‟ membolehkannya. Contoh lain adalah
kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesame teman tanpa adanya
ucapan meminta dan memberii, hal ini tidak dianggap mencuri
(Jumantoro dan Amin, 2005:336).
37
Dari segi cakupannya „urf dibagi menjadi dua, yaitu „urf amm dan „urf khas
(Suwarjin, 2012:150).
a. „Urf Amm adalah „urf yang berlaku pada suatu tempat, masa, dan
keadaan. Atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan seluruh daerah (Jumantoro dan Amin, 2005:337).
Contohnya seperti memberi hadiah kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada
orang yang telah membantu kita. Pengertian hadiah ini dikecualikan bagi
orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa
itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada seperti hubungan
penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang
menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat yang dilayani.
b. „Urf Khas, adalah „urf yang hanya berlaku pada tempat, masa. Dan
keadaan tertentu saja. Atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu (Jumantoro dan Amin, 2005:337).
Contohnya mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan leh
bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan
ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada Negara-negara Islam lain
tidak dibiasakan.
Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya „urf dibagi dua yaitu „urf shahih dan
„urf fasid (Suwarjin, 2012:151).
38
a. „Urf Shahih adalah „urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat al-Quran
atau Hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa mudharat kepada mereka (Jumantoro dan Amin, 2005:339).
Contohnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad
nikah dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan
tidak bertentangan denga syara‟.
b. „Urf Fasid adalah „urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟
(Jumantoro dan Amin, 2005:337).
Contohnya kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau
suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan Islam. Atau kebiasaan
yang terjadi di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba seperti
peminjaman uang anatara sesama pedagang.
Hukum „urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian
dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena
bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina
masyarakat (Suwarjin, 2012:151).
39
3. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama memandang „urf sebagai salah satu dalil untuk
mengistinbathkan hukum islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan
ulama, misalnya:
ةُ مَ كَّ ُمَُ ةُ ادَ العَ (Adat-istiadat itu dapat dijadikan hukum).
طاملعروف عرفا كا ملشروطشر ا (sesuatu yang telah dikenal kebaikannya oleh „urf,
itu seperti sesuatu yang disyaratkan).
Ada juga sebagian ulama yang memperkuat kehujjahan „urf dengan dalil
Al-Quran dan Hadist. Mereka mengemukakan ayat 199 ayat al-A‟raf sebagai
dalilnya
,,ْيَ ْض َعِن اْْلَاِىلِ ُخِذ الَعْفَو َوْأُمْر بِا ْلُعْرِف َوأَْعرِ
Artinya: “jadilah engkau pema‟af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma‟ruf dan berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma‟ruf. Sedangkan yang disebut ma‟ruf itu sendiri ialah
yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-
ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar dan
dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
Dan juga ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas‟ud r.a.:
ءُ آا رَ مَ فَ ُ
،، اللِ دَ نْ عِ وَ هُ ا ف َ نً سَ حَ نَ وْ مُ لِ سْ امل
Artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula
di sisi Allah.
40
Berdasarkan diatas menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik itu
berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan syariat
Islam, yakni sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu kebiasaan
semacam itu patut dijaga dan dipelihara.
Di samping dalil-dalil di atas, para ulama yang menggunakan „urf
sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan urf:
a. Kita mendapati Allah meresipir orang Arab yang dipandang baik. Seperti
diakuinya beberapa sitem perdagangan dan perserikatan, baik berupa jual
beli, mudharabah, ijarah, salam dan lain-lain. Beberapa jenis transaksi
tersebut menunjukan bahwa Allah melestarikan urf shahih yang sesuai
dengan kemaslahatan manusia.
b. „Urf pada dasarnya disandarkan kepada salah satu dalil-dalil syara‟ yang
mu‟tabarah, seperti ijma‟, maslahah mursalah dan sad al-zharai‟. Di
antara „urf yang disandarkan pada ijma‟ misalnya akad istishna‟.
kebolehan istishna telah menjadi ijma‟ ulama, dan ijma‟ ulama adalah
dalil yang mu‟tabar.
c. Para ulama dari masa ke masa telah menggubakan ijma‟ sebagai
dalil/hujjah hukum Islam. Hal ini menunjukan bahwa para ulama
mengakuinya sebagai dalil (Suwarjin, 2012: 151-153).
4. Syarat-Syarat ‘Urf
Oleh karena itu „urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri
melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara‟, maka ada sejumlah
persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan „urf tersebut, yaitu:
41
a. „Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan masyarakat.
Maksudnya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam masyarakat tidak
dapat dikatakan „urf. Adanya sejumlah lain yang tidak melakukan
kebiasaan itu menunjukan adanya pertentangan dalam masyarakat itu
sendiri dalam memandang kebiasaan tersebut. jika demikian, berarti
kebaikan dari kemaslahatan itu hanya diterima oleh sebagian masyarakat,
sedang sebagian menolaknya. Karenanya „urf semacam itu belum dapat
dijadikan hujjah.
b. „Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan
pada „urf tersebut diterapkan. Jika urf telah berubah, maka hukum tidak
dapat dibangun diatas „urf tersebut.
c. Tidak terjadi kesepakatn untuk tidak memberlakukan „urf oleh pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Misalnya kalau dua orang membuat
kontrak, dan di dalam kontraknya itu dia sepakat untuk tidak
menggunakan „urf tetapi menggunakan hukum lain yang disepakatinya,
maka „urf dalam hal ini tidak mengikat pihak-pihak tertentu.
d. „Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum
syariat (Suwarjin, 2012:154).
5. Hukum ‘Urf
Hukum „urf yang shahih maka wajib dipelihara baik dalam pembentukan
hukum atau dalam peradilan. Seorang mujtahid harus memperhatikan tradisi
dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikan
„urf yang berlaku dalam peradilannya. Karena sesuatu yang telah menjadi
42
adat manusia dan telah biasa dijalani, maka hal itu termasuk bagian dari
kebutuhan mereka, menjadi kesepakatan serta dianggap sebagai
kemaslahatan. Jadi selama tidak bertentangan dengan syara‟, maka wajib
diperhatikan. Syari‟ telah memelihara tradisi bangsa Arab dalam
pembentukannya. Oleh karena itu, maka ulama berkata:
،،ةُ مَ كَّ ُمَُ ةَ عَ ي ْ رِ شَ ةُ ادَ العَ
“Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”
„Urf mendapat pengakuan berdasarkan syara‟.Imam Malik banyak
mendasarkan hukumnya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah
dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum
berdasarkan perbedaan „urf mereka. Imam Syafi‟I ketiak berada di Mesir, ia
mengubah sebagian hukum yang pernah ditetapkan ketika berada di Baghdad,
hal tersebut karena perbedaan „urf.
Demikian pula di dalam fiqh mazhab Hanafiyyah terdapat sejumlah
hukum yang didasarkan atas „urf. Di antaranya, apabila ada dua orang saling
mendakwa dan salah satu dari mereka tidak bisa mendatangkan saksi, maka
perkataan yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh „urf.
Persyaratan dalam suatu perjanjian itu dianggap sah, apabila ada
pengakuan oleh syara‟, atau karena tuntunan perjanjian itu sendiri, dank arena
adanya „urf di masyarakat.
Hukum yang didasarkan atas „urf dapat berubah berdasarkan perubahan
masa dan tempat. Karena hukum cabang akan berubah sebab perubahan
hukum pokoknya. Oleh karena itulah, dalam perbedaan pendapat semacam
43
ini, fuqaha mengatakan “sesungguhnya perbedaan tersebut adalah perbedaan
masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil”.
Hukum yang didasarkan atas „urf bukan merupakan suatu dalil syari‟
yang berdiri sendiri. Pada umumnya „urf hanya didasarkan pada pemeliharaan
mashlahah mursalah. „Urf sebagaimana bisa ditetapkan sebagai hukum
syara‟, ia juga harus dijaga dalam menginterpretasikan nash-nash Al-Quran.
Dari itu „urf dapat digunakan untuk mentakhshiskan lafal yang „amm
(umum) dari membatasi hukum yang mutlak. Qiyas juga terkadang
ditinggalkan, karena berlakunya „urf. Oleh karena itu perjanjian produksi itu
sah, karena berlakunya „urf.Jika di qiyaskan tentu tidak sah, karena
merupakan atas segala sesuatu yang tidak ada (Khallaf, 2014: 149-152).
44
BAB III
PRAKTIK KHIYAR DI PASAR BANDARJO UNGARAN
A. Gambaran Umum Pasar Bandarjo Ungaran
Pasar Bandarjo Ungaran merupakan salah satu pusat perekonomian
terpenting di Kabupaten Semarang, yaitu sebagai salah satu pusat
pembelanjaan tradisional bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten
Semarang. Seiring dengan meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan
masyarakat Kabupaten Semarang, maka Pasar Bandarjo Ungaran turut
mengalami perkembangan dari pembelajaan tradisional ke arah perdagangan
modern terbukti dengan terdapatnya komplek pertokoan atau plaza modern
yang ikut melengkapi kawasan perniagaan tersebut.
Sebagai salah satu pusat kegiatan perekonomian, maka aktivitas utama
yang terjadi adalah perdagangan.Pasar Bandarjo Ungaran memberikan segala
kebutuhan yang diperlukan di masyarakat. Segala aktivitas yang berjalan di
Pasar Bandarjo Ungaran antara lain adalah:
1. Aktivitas perdagangan yang meliputi barang kebutuhan primer sehari-
hari.
2. Aktivitas perdagangan untuk kebutuhan barang sekunder seperti
kebutuhan rumah tangga, pakaian jadi, alat-alat elektronik serta
kebutuhan lainnya didapati terjadi pada plaza atau komplek pertokoan
yang juga berada di kawasan tersebut.
3. Aktivitas jasa pelayanan transportasi seperti ojek dan mobil angkutan
umum juga banyak terdapat di sekitar kawasan pasar.
45
Untuk Jumlah pedagang yang terdaftar di Pasar Bandarjo Ungaran terbagi
menjadi empat kelompok, yaitu terdiri dari pedagang los dalam, pedagang
kios, pedagang pagi. Semuanya itu aktivitasnya disini kisaran kurang lebih
dari 1000 pedagang, jadi bisa kurang atau lebih dari 1000 pedagang.
Pasar Bandarjo Ungaran berdiri pada tahun 1987.Pasar Bandarjo terletak
di Jalan Gatot Subroto, Desa Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang.Jalan Gatot Subroto merupakan jalan arteri primer arah Semarang-
Solo.Letaknya yang strategis dan kondisi bangunan yang memadahi
menjadikan pasar ini cepat berkembang menjadikan Pasar Bandarjo Ungaran
didatangi oleh para pengunjung.
Adapun batas-batas Pasar Bandarjo Ungaran sebagai berikut:
a. Sebelah Utara dibatasi dengan perkampungan.
b. Sebelah Selatan dibatasi dengan perumahan.
c. Sebelah Barat dibatasi dengan jalan arteri Semarang-Solo.
d. Sebelah Timur dibatasi dengan perkampungan.
Pasar Bandarjo Ungaran mempunyai luas pasar mencapai 8.580 m2
dengan terdapat berbagai 160 blok los beserta fasilitas umum didalamnya
seperti mushola, kamar mandi, dan tempat parker. Berikut ini merupakan
jumlah kios dan los yang ada di Pasar Bandarjo Ungaran yang sudah
dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Semarang dengan bangunan
permanen.Dari waktu jaman dahulu dengan bangunan sederhana hingga dari
jaman modern perubahan konstruksi bangunan yang seperti sekarang ini
(Wawancara, 06 Mei 2018).
46
Tabel 3.1
Jenis-Jenis Bangunan di Pasar Bandarjo Ungaran
Jenis Bangunan Jumlah Keterangan
Kios
Los
Kantor Pasar
Mushola
Toilet
160
798
1
2
4
Kios dibagi menjadi tiga ukuran
Jumlah los 798 dengan berbagai
jenis penjual
-
-
-
Berikut merupakan jumlah kios yang ada di Pasar Bandarjo Ungaran dengan
berbagai ukuran yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.2
Jumlah Kios di Pasar Bandarjo Ungaran
No Ukuran Kios Jumlah Kios
1
2
3
Ukuran 4m x 4m
Ukuran 4m x 3m
Ukuran 4m x 6m
64
22
74
Jumlah 160
Jumlah kios di Pasar tersebut mencapai 160 dan terbagi menurut ukuran
masing-masing
47
Tabel 3.3
Jumlah Los di Pasar Bandarjo Ungaran
No Los Jumlah Luas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Los Gerabah
Los Roti
Los Klontong
Los Pakaian
Los Sepatu atau Sandal
Los Plastik
Los Sembako
Los Ikan Asin
Los Daging
Los Kerupuk
Los Tahu atau Tempe
Los Makanan Kecil
Los Bumbu
Los Kelapa
Los Buah
Los Sayur
Los Pindang
27
66
37
55
31
14
203
18
56
7
66
14
38
37
25
92
12
125,5 m2.
201 m2.
130,5 m2.
164,5 m2.
90,5 m2.
49,5 m2.
1050,0 m2.
85,5 m2.
224 m2.
15 m2.
165 m2.
33,5 m2.
97 m2.
92,2 m2.
63,1 m2.
203,5 m2.
29 m2.
Jumlah 798 -
Seperti yang terlihat tabel di atas jumlah los di Pasar tersebut mencapai
798 los dengan berbagai jenis penjual di dalamnya. Los gerabah dengan luas
12,5 m2 yang ditempati oleh 27 pedagang. Los roti dengan luas 201 m2 yang
ditempati oleh 66 pedagang. Los klontong dengan luas 164,5 m2 ditempati
oleh 37 pedagang. Los pakaian dengan luas 164,5 m2 ditempati oleh 55
pedagang. Los sepatu atau sandal dengan luas 90,5 m2 ditempati oleh 31
pedagang. Los plastik dengan luas 49,5 m2 ditempati oleh 14 pedagang. Los
48
sembako dengan luas 1050,9 m2 ditempati oleh 203 pedagang. Los ikan asin
dengan luas 85,5 m2 ditempati oleh 18 pedagang. Los daging dengan luas
224 m2 ditempati oleh 56 pedagang serta di lokasi los daging terdapat tiga
macam pedagang antaranya pedagang daging sapi, ayam potong, dan ikan
laut dan seterusnya seperti yang terlihat di table 1.3 diatas. Sedangkan untuk
pembayaran restribusi kios dan los berbeda, berikut rinciannya.
Tabel 3.4
Pembayaran Restribusi Pasar Bandarjo Ungaran
Jenis Bangunan Besar Retribusi Keterangan
Kios 700,00 Penarikan retribusi
dilakukan setiap hari
Los 600,00 Penarikan retribusi
dilakukan setiap hari
Penarikan retribusi tersebut dikenakan kepada setiap pedagang yang ada
di Pasar Bandarjo Ungaran. Pedagang yang menempati kios dikenai retribusi
sebesar Rp 700,00 per hari. Sedangkan untuk pedagang yang menempati los
dikenai retribusi sebesar Rp 600,00 perhari.Selain pembayaran retribusi pasar,
pedagang juga membayar uang kebersihan, serta uang keamanan untuk setiap
harinya.
49
Struktur Organisasi Pasar Bandarjo Ungaran
Gambar 3.5 Struktur Organisasi Pasar Bandarjo Ungaran
a) Kepala Pasar
Kepala pasar adalah orang yang diberi wewenang untuk membantu direksi
dalam melaksanakan kegiatan perpasaran, memimpin, dan mengkoordinasi
kegiatan unit pasar.
b) Bendahara
Kepala Pasar Bandarjo
Ungaran
Singgih Agung Nugroho
Bendahara
Saleh
Petugas Pemungut
1. Wiwid Diyono
2. Budiyono
3. Jarni
Petugas Keamanan
1. Herlambang Ananta
2. Mugiyono
Petugas Kebersihan
1. Mujiyono
2. Ahmad Fahrudin
3. Rahman
4. Wahadin
50
Bendahara atau penyetor adalah orang yang berstatus pegawai sipil yang
diberi tugas untuk melakukan administrasi penerimaan dan penyetoran.
c) Petugas pemungut
Petugas pemungutan adalah orang yang diberi kewenangan untuk
melakukan restribusi pelayanan pasar yang dikelola oleh pemerintah
daerah.
d) Petugas ketertiban
Petugas ketertiban adalah orang yang diberi kewenangan untuk menjaga
ketertiban dan keamanan pasar.
e) Petugas kebersihan
Petugas kebersihan adalah orang yang bertugas untuk mbersihkan area
pasar.
B. Praktik Khiyar Dalam Jual Beli Di Pasar Bandarjo Ungaran
Dari hasil penelitian ini menunjukan adanya praktik khiyar yang kurang
sempurna. Hampir semua pedagang tidak sepenuhnya memahami tentang
konsep khiyar dalam islam, meskipun realitanya para pedagang sudah
menerapkan konsep khiyar dalam jual beli.
Dalam praktik khiyar di Pasar Bandarjo Ungaran diawali dengan
kesepakatan terlebih dahulu, ketika nantinya barang tidak sesuai ukuran
maupun cacat atau rusak. Kesepakatan kedua belah pihak jika barang rusak
atau cacat maka dapat ditukar barang yang sudah dibeli. Tukar menukar
dengan harga yang sama, tukar tambah jika barang yang ditukar lebih mahal
51
dan tukar yang lebih murah maka sisa uang tersebut ada yang pedagang
kembalikan dan ada yang dimintakan barang lainnya yang harganya sesuai
dengan sisa uang tersebut.
Adapun dengan hak pilih dengan cara membatalkan jual beli jarang
ditemui di Pasar Bandarjo Ungaran. Hanya beberapa saja pedagang yang
menerapkannya. Karena dianggap merugikan pihak penjual. Biasanya dengan
batalnya jual beli tersebut disebabkan adanya tidak ada atau habisnya barang
yang ingin ditukar. Maka pembeli bisa saja mengembalikan barang dan
meminta uangnya kembali.
Dalam penelitian ini tidak semua pedagang peneliti masukan dalam
penelitian ini, peneliti hanya membatasi 3 jenis pedagang yang ada di Pasar
Bandarjo Ungaran. Pedagang yang sering terjadi aadanya hak khiyar, seperti
pedagang pakaian, pedag
Top Related