34
BAB III
RITUAL NUGAL SUKU DAYAK SISAKNG KALIMANTAN BARAT
Dalam kehidupan manusia, ritual merupakan bagian yang esensial karena berkaitan
dengan aktivitas atau tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik secara
pribadi maupun dalam kehidupan bersama atau kelompok. Hal ini nampak dalam
kehidupan masyarakat Dayak Sisakng. Ada berbagai ritual yang dilaksanakan dalam
kehidupan masyarakat Dayak Sisakng, salah satunya adalah ritual dalam bercocok tanam
atau ritual nugal yang menjadi fokus penelitian.
Bab ini berisi hasil penelitian yang telah dilakukan secara khusus di dusun
Berungkat. Ada beberapa hal pokok yang akan dijelaskan, yakni: pertama, gambaran
umum suku Dayak Sisakng di Kalimantan Barat, khususnya yang ada di dusun Berungkat.
Kedua, bentuk-bentuk ritus masyarakat Dayak Sisakng. Ketiga, tradisi nugal dalam
masyarakat Dayak Sisakng. Keempat, proses pelaksanaan ritual nugal. Kelima, ritual
nugal dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng dan warga jemaat GPIB di dusun
Berungkat, Kalimantan Barat.
3.1. Gambaran Umum Suku Dayak Sisakng di Kalimantan Barat
3.1.1. Sejarah Suku Dayak Sisakng
Kata Dayak berasal dari kata ‘Daya’ yang berarti hulu, yang mengacu pada
masyarakat yang berdomisili di pedalaman atau hulu Kalimantan. Suku Dayak terbagi
dalam enam rumpun besar, yaitu: rumpun Klemantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan,
rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju, dan rumpun Punan. Keenam rumpun tersebut
menyebar ke seluruh wilayah di Kalimantan, mulai dari Kalimantan Barat, Timur, Tengah,
35
Selatan, dan Kalimantan Utara. Keenam rumpun ini terbagi lagi menjadi ± 405 sub suku.
Walaupun terbagi dalam berbagai sub suku, suku Dayak memiliki ciri khas yang menjadi
persamaan sub-sub suku tersebut, misalnya rumah panjang, tembikar, mandau, sumpit
beliong (kapak Dayak), mata pencaharian (sistem perladangan) dan seni tari.1
Suku Dayak Sisakng merupakan salah satu sub suku Dayak yang berdomisili di
wilayah kecamatan Sekayam, kabupaten Sanggau - Kalimantan Barat. Suku Dayak
Sisakng menetap di desa Bungkang dan desa Lubuk Sabuk. Bahasa yang dipakai sehari-
hari ialah Bahasa Bekade’. Berdasarkan sejarah, suku ini berasal dari Mawang Palai yang
berpindah ke wilayah kecamatan Sekayam sekitar abad ke-16. Perpindahan terjadi karena
suku Dayak Sisakng diserang oleh suku Iban Seribas (Iban Malaysia). Penyerangan
tersebut menyebabkan hampir seluruh penduduk habis terbunuh dan hanya menyisakan
satu keluarga. Keluarga yang tersisa bernama Babuk Sanu tersebut berhasil melarikan diri
dan bersembunyi di gua. Keluarga Babuk Sanu inilah yang kemudian berkembang hingga
saat ini. Nama suku Dayak Sisakng berasal dari keluarga Babuk Sanu yang merupakan
sisa dari seluruh penduduk yang tidak terbunuh. Sisakng berasal dari kata sisa-sisa.2
Setelah perpindahan tersebut, suku Dayak Sisakng kemudian menyebar di
beberapa dusun, seperti: dusun Lubuk Sabuk, Entabai, Berungkat, Bungkang, Rumit,
Bantan, Lubuk Tengah, Kuya dan Segumon. Selain itu, suku Dayak Sisakng juga
menyebar ke Sarawak-Malaysia seperti: dusun Mujat, Bunan, Gegan, Mongkos dan
Mentu.3 Suku Dayak Sisakng akhirnya memperoleh wilayahnya pada abad ke-17. Dalam
sejarahnya, hal ini terjadi ketika raja Brunei yang bernama Syahbandar Kasim berperang
1 “Sejarah Suku Dayak Dan Penyebarannya di Kalimantan”,
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asal-usul-suku-dayak.html (diakses tanggal 11 Februari 2018).
2 Ageus Laimudin & Aloysius Kasim, Dayak Sisakng Dalam Mengenal Sistem Peradilan Adat: 25
Suku Dayak Di Kabupaten Sanggau (Pontianak: Lembaga Bela Banua Talino, 2009), 139.
3 Laimudin & Kasim, Dayak Sisakng Dalam Mengenal Sistem Peradilan Adat….., 140.
36
dengan raja Sanggau yaitu Pangeran Paduka. Perang tersebut dimenangkan oleh Pangeran
Paduka. Peperangan antara kedua raja tersebut terjadi karena Pangeran Paduka menuntut
balas atas satu kampung rakyat yang habis terbunuh oleh suku Seribas Kerajaan Brunei.
Oleh karena itu, untuk menebus kekalahannya, maka dibuatlah batas wilayah dari
dusun Rumit dan dusun Panga. Dengan demikian, pembagian dusun di desa Bungkang dan
desa Lubuk Sabuk ialah: dusun Berungkat, Bungkang, Bantan dan Rumit merupakan
bagian dari desa Bungkang sedangkan dusun Entabai, Lubuk Sabuk, Lubuk Tengah, Kuya
dan Segumon merupakan bagian dari desa Lubuk Sabuk.
Gambar 1 : Gambar Peta Lokasi Suku Dayak Sisakng
Lokasi Penyebaran Suku Dayak Sisakng
di Desa Bungkang dan Desa Lubuk Sabuk
Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau
3.1.2. Kehidupan Suku Dayak Sisakng di Dusun Berungkat
3.1.2.1. Letak Geografis4
Dusun Berungkat merupakan bagian dari desa Bungkang yang terletak di
kecamatan Sekayam, kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat. Sebagian dari warga
4 Diambil dari data desa Bungkang tanggal 22 September 2017.
Peta Posisi Kabupaten Sanggau
dalam Provinsi Kalimantan Barat
37
masyarakat dusun Berungkat adalah warga jemaat GPIB Menara Iman Sekayam Pos
Pelkes Galilea Berungkat.
Secara geografis, dusun Berungkat berbatasan dengan:
- Sebelah Timur berbatasan dengan pegunungan Entinyu (perbatasan Malaysia);
- Sebelah Barat berbatasan dengan dusun Ima;
- Sebelah Utara berbatasan dengan dusun Bungkang;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan dusun Entabai.
Keadaan alam di dusun Berungkat merupakan daerah yang kondisi tanahnya
sangat subur dan sangat cocok untuk daerah pertanian. Dari segi iklim, dusun Berungkat
memiliki iklim yang tidak sama dengan wilayah lain di Indonesia yang mengalami musim
hujan dan musim kemarau. Hal ini karena pada umumnya di Kalimantan Barat hujan turun
hampir sepanjang tahun.
3.1.2.2. Kependudukan5
Berdasarkan data profil desa Bungkang bulan September 2017, jumlah keseluruhan
masyarakat dusun Berungkat terdiri dari 231 kepala keluarga, dengan jumlah perempuan
sebanyak 344 jiwa dan laki-laki 342 jiwa.
Tabel 1 : Jumlah Penduduk
No. Nama Dusun Laki-laki Perempuan Jumlah Jiwa Jumlah KK
1 Dusun Berungkat 342 jiwa 344 jiwa 686 jiwa 231 jiwa
Sumber data profil desa Bungkang, September 2017
3.1.2.3. Mata Pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian utama masyarakat dusun Berungkat adalah
bertani. Jenis-jenis tanaman yang ditanam meliputi tanaman yang tumbuh dalam jangka
panjang dan jangka pendek. Jenis tanaman jangka panjang yang ditanam dan diusahakan
5 Diambil dari data profil desa Bungkang tanggal 22 September 2017.
38
antara lain: pohon kelapa sawit, karet, coklat, sahang atau lada, durian, jeruk, langsat,
rambutan dan lain-lain. Jenis tanaman jangka pendek yang ditanam antara lain: padi,
jagung, ubi-ubian, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan lain-lain. Jenis-jenis tanaman
tersebut ditanam dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga
untuk biaya pendidikan anak-anak sampai ke jenjang perguruan tinggi. Selain sebagai
petani, ada juga masyarakat yang bekerja sebagai tenaga honorer di PAUD, tukang
bangunan, buruh di perusahaan sawit, tukang ojek, perawat, pedagang sayur dan lain-lain.6
3.1.2.4. Tingkat Pendidikan7
Tingkat pendidikan masyarakat di dusun Berungkat pada umumnya tamatan SD
(Sekolah Dasar). Walaupun demikian banyak anggota masyarakat yang tidak tamat SD
dan buta huruf. Namun untuk saat ini, masyarakat mulai memahami pentingnya
pendidikan, sehingga anak-anak mereka mulai disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal ini terlihat dari adanya beberapa keluarga di dusun tersebut yang mulai
menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Selain itu, pemerintah pun
mulai memperhatikan sarana pendidikan yang ada di dusun Berungkat, yakni dengan
mendirikan sekolah PAUD.
Tabel 2 : Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
1 Sarjana 6 3,11%
2 Diploma 3 1,55%
3 SMU 20 10,36%
4 SMP 32 16,58%
5 SD 132 68,39%
TOTAL 193 100%
Sumber data profil desa Bungkang, Oktober 2017
6 Wawancara dengan Kepala Dusun Berungkat (Parman) 20 September 2017.
7 Diambil dari data profil desa Bungkang tanggal 11 Oktober 2017.
39
3.1.2.5. Sistem Kepercayaan
Pada awalnya, masyarakat dusun Berungkat memeluk dan mempraktikkan ajaran
agama suku yaitu kepercayaan terhadap leluhur. Sistem kepercayaan terhadap leluhur
tersebut sangat mempengaruhi sistem nilai budaya, sosial ekonomi dan sistem pertanian.
Masyarakat Dayak memiliki sistem kepercayaan yang sangat kompleks. Kompleksitas
sistem kepercayaan berdasarkan tradisi dalam masyarakat Dayak mengandung dua prinsip,
yaitu: pertama, unsur kepercayaan terhadap leluhur (ancestral belief) yang menekankan
pada pemujaan roh-roh leluhur. Kedua, kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the One
God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan
manusia. Sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak berisi berbagai
peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
manusia dengan roh leluhur, dan manusia dengan alam beserta isinya.8 Kepercayaan
tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan upacara-upacara atau ritual adat yang
dilakukan oleh masyarakat dalam rangka membangun relasi dengan Tuhan, sesama, alam
dan roh-roh leluhur.
Pada tahun 1973 agama Katolik masuk ke dusun Berungkat.9 Sejak masuknya
agama Katolik ke dusun Berungkat, sebagian besar masyarakat kemudian memeluk agama
Katolik. Pada tahun 1982 agama Kristen Protestan melalui Gereja Protestan di Indonesia
bagian Barat (GPIB) masuk ke dusun Berungkat. Di dalam pelayanannya GPIB perlahan-
lahan mengalami perkembangan dan saat ini jumlah warga GPIB di dusun Berungkat
adalah 63 kepala keluarga.10
Pada tahun 2014, barulah agama Islam masuk ke dusun
Berungkat akibat dari perkawinan masyarakat dengan suku Bugis dan Jawa. Saat ini
8 Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Lembaga
Bela Banua Talino, 2009), 20-21.
9 Wawancara dengan Majelis Jemaat GPIB (Herman) 10 Oktober 2017.
10 Wawancara dengan warga jemaat GPIB (Juim) 10 Oktober 2017.
40
jumlah warga dusun Berungkat yang beragama Islam adalah 20 kepala keluarga. Berikut
jumlah persentase pemeluk agama di dusun Berungkat:11
Tabel 3 : Pemeluk Agama
No. Agama Jumlah KK Persentase
1 Katolik 148 64,07%
2 Kristen Protestan (GPIB) 63 27,27%
3 Islam 20 8,66%
TOTAL 231 100%
Sumber data profil desa Bungkang, Oktober 2017
Pada umumnya, walaupun masyarakat Dayak Sisakng di dusun Berungkat telah
memeluk agama yang diakui oleh pemerintah, namun mereka masih memegang kuat
tradisi para leluhur mereka. Menurut Kepala Dusun Berungkat, 80% warga masyarakat
dusun Berungkat tetap memegang teguh tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Bagi
warga dusun Berungkat, tradisi leluhur mereka harus terus dilestarikan.12
Gambaran di atas menunjukan adanya dualisme agama yang dipraktikkan oleh
masyarakat dusun Berungkat. Di sisi lain masyarakat mengakui akan adanya kuasa Tuhan,
namun masyarakat juga mengakui akan adanya kuasa roh-roh leluhur yang akan menjaga,
melindungi bahkan memberikan kesuburan bagi tanaman mereka.
3.1.2.6. Lembaga Adat13
Dalam struktur masyarakat Dayak Sisakng, lembaga adat mendapat perhatian yang
sangat besar dari masyarakat dan pemerintah setempat. Lembaga adat merupakan salah
satu bagian terpenting dalam masyarakat. Hal ini nampak dalam kehidupan masyarakat
yang selalu melibatkan dan mendahulukan ritual adat dalam segala bidang kehidupan
mereka, misalnya: upacara adat perkawinan, kematian, kelahiran, sakit, bercocok tanam,
11
Diambil dari data profil desa Bungkang tanggal 11 Oktober 2017.
12 Wawancara dengan Kepala Dusun Berungkat (Parman) 11 Oktober 2017.
13 Laimudin & Kasim, Dayak Sisakng Dalam Mengenal Sistem Peradilan Adat……….., 140-142.
41
kehutanan, pengelolaan sumber daya alam, penyelesaian konflik dalam masyarakat,
permohonan untuk mempunyai keturunan, dan lain-lain. Dengan demikian, adat dan
budaya memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Sisakng.
Ada beberapa lembaga yang ada pada masyarakat Dayak Sisakng, yaitu lembaga
adat dan lembaga pemerintah desa. Berikut ini adalah struktur kelembagaan adat
masyarakat Dayak Sisakng saat ini.
Temenggung Adat berperan membudayakan, mengembangkan dan menegakkan
Hukum Adat dan Adat Istiadat. Dalam melaksanakan tugas, Temenggung dibantu Wakil
Temenggung, dan Ketua-ketua Adat yang berada di setiap dusun. Tugas Temenggung
beserta perangkat adatnya adalah sebagai berikut: pertama, mengetahui batas-batas
wilayah kampung. Kedua, mengetahui dan mengatur batas-batas huma, sawah, hutan
lindung, kebun, tembawang dan sungai. Ketiga, mengetahui segala bentuk pemanfaatan
lahan dan segala hasil hutannya. Keempat, menyelesaikan konflik dalam pelanggaran adat.
KETUA ADAT DI DUSUN
TEMENGGUNG ADAT
WAKIL TEMENGGUNG
KETUA ADAT DUSUN
Pengurus Rukun Kepercayaan Adat Istiadat
Dibantu Tukang Pomang, Boreh/Belian,
Dukun Beranak/Berobat
Pengurus Hukum Adat
Dibantu Penggarap-penggarap Adat
(Ketahanan dan Penegak Adat Istiadat)
MASYARAKAT ADAT
Dengan berbagai lapisan masyarakat dan golongannya, tokoh agama, pengusaha
(Badan Usaha, Lembaga Pendidikan, Kelompok Tani, Komponen Lapisan Masyarakat)
42
Kelima, berwenang mengawinkan warga secara adat. Keenam, bekerjasama dengan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan dan kemajuan masyarakat.
3.1.2.7. Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat di dusun Berungkat 95% didominasi oleh penduduk asli suku Dayak
Sisakng, sedangkan 5% berasal dari suku Jawa, Bugis, Batak dan NTT. Hal inilah yang
menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat di dusun tersebut sangat kental
dengan adat istiadat mereka. Masyarakat Dayak Sisakng yang ada di dusun Berungkat
masih mempertahankan tradisi budaya yang diwariskan oleh leluhur yang dianggap
sebagai identitas mereka. Hal ini nampak dalam hubungan kekerabatan dalam masyarakat
Dayak Sisakng khususnya di dusun Berungkat. Salah satu contoh ialah dalam hal bercocok
tanam yang disebut dengan tradisi nugal atau menanam padi. Tradisi nugal telah diwarisi
turun temurun dan tetap dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini.14
3.2. Bentuk-bentuk Ritus Suku Dayak Sisakng
Pada umumnya sistem kepercayaan atau agama bagi masyarakat Dayak Sisakng
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial, ekonomi mereka
sehari-hari. Hal ini nampak dalam setiap tingkah laku masyarakat Dayak Sisakng yang
tidak dapat dilepaskan dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai budaya Dayak. Masyarakat
Dayak Sisakng masih meyakini kepercayaan berdasarkan tradisi leluhur walaupun sudah
menganut agama-agama yang diakui pemerintah, seperti Kristen, Katolik dan Islam.
Masyarakat Dayak Sisakng meyakini kuasa Tuhan sebagai kuasa yang tertinggi yang biasa
mereka panggil dengan nama Tempa. Namun di sisi lain, mereka memiliki kepercayaan
terhadap roh-roh leluhur atau nenek moyang yang diyakini dapat menolong mereka. Salah
satu cara adalah dengan melakukan ritual bagi roh-roh leluhur dengan memberikan
14
Wawancara dengan Kepala Dusun Berungkat (Parman) 20 September 2017.
43
sesajian karena mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur dapat menjaga dan memberikan
kesuburan bagi tanaman yang mereka tanam. Oleh karena itu, ritus-ritus yang dilakukan
adalah salah satu upaya membangun hubungan dengan leluhur roh-roh leluhur.
Bentuk-bentuk ritus yang dilakukan oleh masyarakat, diantaranya:15
pertama, ritus
peralihan atau siklus hidup. Ada beberapa ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak
Sisakng, yakni: pertama, ritual kelahiran. Dalam ritual ini, masyarakat melakukan ritual
adat permohonan agar anak yang baru lahir tersebut tidak diganggu oleh roh-roh jahat.
Kedua, ritual kematian. Dalam ritual ini, masyarakat akan melakukan ritual dan
meletakkan benda-benda yang sering dipakai oleh orang yang meninggal tersebut semasa
hidupnya, seperti piring, gelas dan ayam di kuburan orang yang baru meninggal. Dalam
kepercayaan masyarakat Dayak Sisakng, piring dan gelas yang diletakan di kubur tersebut
memiliki makna sebagai tempat makan dan minum roh orang yang baru meninggal
tersebut. Mereka memahami bahwa roh orang yang sudah meninggal pun akan melakukan
aktivitas yang sama seperti orang hidup hanya saja tidak nampak. Selain itu, peletakan
piring dan gelas di kubur bertujuan agar roh orang yang baru meninggal tersebut tidak
kembali ke rumah keluarga yang masih hidup untuk mencari benda-benda yang biasa
digunakan semasa hidupnya. Begitu pula dengan ayam yang diletakkan di kubur bertujuan
sebagai bekal makanan roh orang yang baru meninggal tersebut, agar roh orang yang
meninggal tersebut tidak kembali ke rumah keluarga dan mengganggu ternak peliharaan
mereka. Apabila orang yang meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan,
pembunuhan, maka masyarakat akan melakukan ritual adat berdasarkan aturan yang telah
dibuat oleh Dewan Adat Dayak, yakni memberikan sesajian pada leluhur, membayar adat,
dan lain-lain sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Ketiga, ritual pernikahan. Dalam
15
Wawancara dengan Ketua Adat dan sesepuh suku Dayak Sisakng (Migung & Alusius Roji), 21
September 2017.
44
pernikahan, masyarakat akan melakukan ritual adat sebelum diberkati di gereja. Ada
beberapa sesajian yang dipersembahkan di dalam ritual tersebut, misalnya darah ayam
yang akan dicurahkan di atas kepala mempelai sebagai simbol pembersihan dari dosa-dosa
dan untuk memperoleh rejeki dalam keluarga. Selain itu, orang tua wajib menyediakan
beras satu gantang (3 kg) yang akan dituangkan di atas kepala mempelai sebagai simbol
agar kehidupan rumah tangga yang baru dibentuk itu akan melimpah dengan berkat.
Setelah selesai, beras yang dituangkan di atas kepala mempelai dan jatuh ke lantai tersebut
harus dikumpulkan kembali dan wajib dimasak oleh keluarga yang baru menikah tersebut
hingga habis dan tidak boleh diberikan kepada orang lain sebagai simbol agar keluarga
tersebut tidak akan pernah kekurangan berkat dalam kehidupan rumah tangganya.
Kedua, ritus kalendrikal dan peringatan. Ritual yang dilakukan oleh masyarakat
dalam hal ini ialah ritual bercocok tanam, yaitu ritual nugal saat akan menanam padi yang
ditandai dengan memberikan persembahan kepada leluhur, ritual makan bersama sebelum
menanam padi, ritual anak padi pada saat benih padi mulai tumbuh, ritual sebelum panen
dan ritual sesudah panen. Ketiga, ritus pertukaran dan kerukunan. Dalam hal ini seluruh
masyarakat melakukan ritual makan beras baru setelah panen yang diadakan di balai
dusun. Ritual tersebut merupakan ucapan syukur seluruh masyarakat pada Tuhan atau
Tempa karena berkat yang diberikan sehingga dapat menuai hasil jerih lelah mereka.
Selain itu, masyarakat juga menaikkan syukur pada leluhur yang dianggap turut berperan
serta dalam pertumbuhan padi mereka hingga panen. Keempat, ritus yang berhubungan
dengan kesusahan atau penderitaan. Hal ini nampak dalam ritual sakit dan ritual utuk
memperbaiki kesalahan. Biasanya keluarga akan memanggil orang yang dianggap dapat
menolong mereka menyampaikan permohonan kepada roh-roh leluhur untuk memberikan
kesembuhan, keselamatan dan memperbaiki kesalahan. Kelima, ritus perayaan. Hal ini
nampak dalam berbagai perayaan-perayaan yang dilakukan masyarakat Dayak Sisakng,
45
misalnya ritual perayaan gawai atau pesta panen dan saat memperoleh berkat. Gawai
merupakan pesta adat yang dilakukan masyarakat untuk mensyukuri hasil panen. Dalam
pesta gawai, masyarakat menaikkan syukur pada Tuhan atau Tempa atas hasil panen yang
telah diperoleh. Selain itu, masyarakat juga menaikkan syukur pada leluhur untuk
menghormati dan membalas budi baik para leluhur karena telah melindungi tanaman padi
mereka hingga panen. Pesta gawai dikaitkan dengan “molas niat” atau membalas niat
sebelum panen berdasarkan atas kemampuan seseorang. Bagi masyarakat Dayak, bila
tidak melaksanakan gawai maka merupakan suatu aib karena tidak menghormati para
leluhur mereka yang dianggap telah memberkati padi mereka. Keenam, ritus politis. Hal
ini nampak dalam ritual untuk membangun dan mempromosikan kekuatan politik,
misalnya sesepuh desa, pengangkatan kepala desa atau untuk kepentingan politik.
3.3. Tradisi Nugal dalam Masyarakat Suku Dayak Sisakng
Tradisi menanam padi dalam masyarakat Dayak yang biasa disebut nugal
merupakan tradisi yang diwariskan turun temurun oleh para leluhur mereka dan terus
dilaksanakan hingga saat ini. Pada umumnya, masyarakat Dayak sangat memegang teguh
adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka. Tradisi nugal dalam
kehidupan seluruh masyarakat Dayak merupakan kegiatan menanam padi di ladang
(huma) yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dalam satu kampung dan
keluarga terdekat. Nugal ialah menanam padi di ladang dengan cara membuat lubang kecil
di tanah dengan alat tugal. Tugal ialah tongkat dari kayu yang ujungnya diruncingkan
untuk membuat lubang di tanah sebagai tempat untuk menabur benih.16
16
“Budaya Nugal (Menanam Padi) di Kalimantan Barat”,
http://ceritadayak.blogspot.co.id/2010/12/budaya-nugal-menanam-padi-di-kalimantan.html, (diakses tanggal
10 November 2016).
46
Masa menugal ialah pada bulan Agustus hingga bulan September. Tanaman utama
dalam tradisi nugal adalah padi. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis tanaman lainnya
yang dapat ditanam pada tradisi nugal ini sebagai tumpang sari. Tumpang sari merupakan
bercocok tanam dengan menanam dua jenis tanaman atau lebih secara serentak dengan
membentuk barisan-barisan lurus untuk tanaman yang ditanam secara berseling pada satu
bidang tanah.17
Keuntungan bercocok tanam tumpang sari adalah tanaman yang dijadikan
tumpang sari dapat berfungsi sebagai tanaman penjaga atau pelindung bagi tanaman utama
dan hanya bersifat sementara. Selain itu tumpang sari juga memberikan keuntungan bagi
petani yakni dapat menambah produksi hasil tanaman, mengoptimalkan lahan yang akan
ditanam dan menjadi sumber persediaan makanan sambil menunggu masa panen padi tiba.
Beberapa jenis tanaman tumpang sari yang biasa mereka tanam ialah jagung, terung, sawi,
cabe, labu, bayam, kacang-kacangan, dan timun. Tanaman tumpang sari yang ditanam
masyarakat dan umumnya rata-rata berusia dua sampai tiga bulan harus sudah dipanen.
Hal ini karena setelah padi berusia tiga bulan masyarakat akan melakukan ritual anak padi,
yaitu ritual adat untuk menaikkan permohonan pada Tuhan yang biasa disebut Tempa dan
leluhur mereka untuk melindungi tanaman padi tersebut.18
Tradisi nugal dalam budaya Dayak memiliki makna filosofi kebersamaan dan
kekeluargaan karena melibatkan peran semua anggota keluarga bahkan masyarakat untuk
bergotong royong menanam padi.19
Hal tersebut nampak dalam cara mereka memberikan
informasi tentang waktu dan pelaksanaan nugal kepada seluruh anggota keluarga serta
melakukan pembagian tugas kepada setiap anggota keluarga yang terlibat didalamnya.
17 “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, https://kbbi.web.id/tumpangsari, (diakses tanggal 17
November 2017).
18 Wawancara dengan warga masyarakat Dayak Sisakng di dusun Berungkat yang merupakan
warga jemaat GPIB (Lihun), 20 September 2017.
19 Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Barat (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), 32.
47
Oleh karena itu, bagi masyarakat tradisi nugal tersebut sangat memudahkan pekerjaan
mereka untuk menanam padi mengingat lahan untuk menanam padi biasanya sangat luas
dan berada di daerah perbukitan. Selain itu, tradisi nugal juga semakin mempererat
hubungan kekerabatan mereka dalam satu kampung tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama maupun suku lain yang ikut menugal.20
Dalam tradisi nugal, ada beberapa proses yang dipersiapkan yakni: pertama,
menebas pohon-pohon dan rumput yang ada di ladang dan membakar ladang. Pembakaran
ladang dilakukan untuk membersihkan sampah-sampah pohon yang ditebang dan abunya
diyakini bermanfaat sebagai pupuk alami agar tanaman dapat tumbuh dengan subur.
Kedua, mempersiapkan peralatan-peralatan untuk menanam padi, misalnya membuat alat
tugal yang cukup banyak karena akan digunakan oleh masyarakat dalam satu dusun yang
membantu menugal, benih padi dan berbagai benih lainnya untuk dijadikan tanaman
tumpang sari. Ketiga, menginformasikan waktu pelaksanaan untuk menugal kepada
seluruh kerabat dan anggota masyarakat dalam satu dusun.
Gambar 2 : Ladang yang baru dibakar dan Alat Tugal
20
Wawancara dengan Ketua RT dusun Berungkat yang juga merupakan Majelis Jemaat GPIB Pos
Pelkes Galilea Berungkat (Herman), 20 September 2017.
48
Setelah semua keperluan untuk menugal dipersiapkan dengan baik dan tiba masa
untuk menugal atau menanam padi, masyarakat suku Dayak akan melakukan praktik
religius atau ritual nugal. Ritual nugal yang dilakukan oleh masing-masing sub suku
Dayak pada umumnya memiliki cara yang berbeda-beda. Ritual nugal bagi masyarakat
Dayak Sisakng merupakan sebuah cara yang dilakukan agar benih padi yang akan ditanam
dapat tumbuh dengan subur dan memberikan hasil yang terbaik karena memperoleh
bantuan dari roh-roh leluhur. Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng, bila
menanam padi tanpa melakukan ritual nugal maka hasil panen tidak melimpah dan hama
akan menyerang tanaman padi.21
3.4. Proses Pelaksanaan Ritual Nugal Masyarakat Dayak Sisakng
Saat akan menugal atau menanam padi, masyarakat Dayak Sisakng akan
melakukan praktik religius atau ritual nugal yang menjadi ciri khas mereka. Ritual nugal
tersebut dilakukan setiap kali hendak menanam padi di ladang. Ritual nugal yang
dilakukan oleh masyarakat Dayak Sisakng berkaitan erat dengan sistem pertanian, yakni
bertujuan agar benih padi yang hendak ditanam dapat tumbuh dengan subur dan
memberikan hasil yang melimpah. Hal ini karena dalam pemahaman masyarakat Dayak
Sisakng, ritual nugal yang dilakukan berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa roh-roh
leluhur turut membantu menyuburkan tanaman padi yang mereka tanam. Oleh karena itu,
ada beberapa ritual yang akan dilakukan oleh masyarakat saat padi mulai tumbuh hingga
masa panen selesai. Proses persiapan dan pelaksanaan ritual yang harus dilakukan oleh
masyarakat baik sebelum menanam padi hingga masa panen selesai, yaitu: Pertama,
mempersiapkan peralatan atau perlengkapan untuk melakukan ritual ketingap sebelum
menugal. Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng, ritual ketingap merupakan ritual
21
Wawancara dengan Ketua Adat dusun Berungkat (Migung), 20 September 2017.
49
yang dilakukan sebelum menugal sebagai simbol untuk menjaga keselamatan anak padi.
Ketingap merupakan sebuah alat yang terbuat dari dua buah bambu yang pada bagian
atasnya dibuatkan tanda silang dari bambu kecil. Tanda silang tersebut merupakan simbol
dari telinga yang berfungsi untuk mendengar atau mengenali tanda-tanda adanya bahaya
yang akan mengganggu tanaman padi. Ketingap digunakan masyarakat Dayak Sisakng
sebagai simbol tolak bala atau menolak atau menghalangi roh-roh jahat yang akan
mengganggu tanaman padi mereka. Dalam ritual ketingap, ada beberapa peralatan yang
harus dipersiapkan, yakni: garam satu bungkus dan nasi yang dibungkus oleh daun yang
merupakan simbol bekal makanan dan minuman untuk roh-roh leluhur. Nasi harus
dibungkus oleh daun sebagai simbol leluhur menyatu dengan alam, sehingga tidak boleh
menggunakan peralatan yang biasanya dipakai di rumah seperti piring atau peralatan
lainnya. Selain itu, pemilik ladang juga mempersiapkan satu buah buluh sebagai simbol
tempat minum yang nantinya diisi air sebagai bekal minuman untuk roh-roh leluhur
mereka agar dapat menjaga tanaman padi. Seluruh peralatan dan perlengkapan tersebut
harus disediakan agar roh-roh leluhur tidak marah dan membuat kekacauan terhadap
tanaman padi dengan cara mendatangkan hama, seperti tikus, ulat, dan lain-lain. Selain itu,
pemilik ladang pun akan terkena imbas karena leluhur merasa tidak diperhatikan. Salah
satu contoh ialah jika pemilik ladang tidak memenuhi salah satu peralatan maka telinga
pemilik ladang tersebut akan terasa sakit seperti diiris dan akan sembuh bila keluarga
pemilik ladang melakukan ritual permohonan maaf. Oleh karena itu, pemilik ladang akan
sangat berhati-hati ketika mempersiapkan peralatan untuk ritual ini. 22
22
Wawancara dengan Kepala Dusun Berungkat, pebayur dusun Berungkat yang merupakan warga
jemaat GPIB, Ketua Adat dusun Berungkat, pengurus RT, warga jemaat GPIB dan warga dusun Berungkat
(Parman, Lonim, Migung, Herman, Beyan, Bugoh, Ocit, Bandung, Kumin, Lihun, Leni), 20 September
2017.
50
Gambar 3 : Contoh Alat Ketingap dan Buluh Berisi Air
Kedua, melakukan ritual ketingap. Ritual ketingap merupakan simbol untuk
menjaga keselamatan anak padi sesaat sebelum menanam padi, yakni permohonan agar
roh-roh jahat tidak mengganggu benih padi yang akan ditanam. Pelaksanaan ritual
ketingap dapat dilakukan oleh pemilik ladang atau juga dapat memanggil penebur (orang
yang dikhususkan untuk mempersembahkan sesajian bagi roh-roh leluhur dengan
membaca mantera) dan pebayur (wakil penebur yang bertugas mempersiapkan semua
perlengkapan ritual) untuk melakukan ritual tersebut. Hal yang harus dilakukan dalam
ritual ini ialah: pagi hari sekitar pukul 04.00–05.00 WIB sebelum semua orang datang ke
ladang untuk membantu menugal, pemilik ladang telah terlebih dahulu membawa benih
padinya ke ladang dan meletakkannya menghadap matahari di depan sebuah tunggul kayu
yang baru ditebang saat pembersihan ladang. Dalam tradisi suku Dayak Sisakng, benih
padi harus dibawa pagi-pagi karena tidak boleh ada satupun warga yang melihat pemilik
ladang membawa benih-benih padinya ke ladang. Hal ini karena jika terlihat oleh orang
lain, maka akan menyebabkan ritual ketingap berjalan tidak lancar yang berakibat pada
hasil panen yang kurang baik nantinya. Pemilik ladang kemudian meletakkan nasi yang
dibungkus daun dan garam yang sudah dipersiapkan sebelumnya di atas tunggul kayu
dekat benih padi sebagai simbol bekal untuk roh-roh leluhur. Pemilik ladang kemudian
menancapkan alat ketingap dan buluh berisi air di dekat benih padi yang akan ditanam.
51
Setelah itu pemilik ladang pun melakukan ritual ketingap yaitu membuat tujuh lubang di
sekeliling benih padi dengan alat tugal, kemudian menabur benih padi ke lubang tersebut
sambil menaikkan permohonan pada roh-roh leluhur.
Tujuh lubang yang dibuat oleh pemilik ladang merupakan simbol yang dilakukan
berdasarkan legenda Timang dan Giman yang terjadi di dusun Segumon. Dalam
legenda tersebut, Timang dan Giman merupakan bagian dari tujuh bersaudara. Ketika
hendak menanam padi, saudara-saudara Timang dan Giman membagi benih-benih
padi namun tidak memberikan benih yang terbaik bagi Timang dan Giman. Timang
dan Giman hanya memperoleh sisa-sisa padi yang dianggap tidak baik (ampas padi).
Timang dan Giman kemudian menanam benih padi tersebut dan merawatnya dengan
baik sehingga berhasil, sedangkan kelima saudaranya mendapatkan hasil panen yang
kurang baik akibat perbuatannya. Oleh karena itu, ketujuh lubang yang dibuat oleh
pemilik ladang ialah untuk mengingat Timang dan Giman, agar suku Dayak Sisakng
tidak mencontoh perbuatan kelima saudara Timang dan Giman yang membagi sisa-
sisa benih padi kepada dua saudaranya. Tujuh lubang menjadi simbol berkat bagi
masyarakat Dayak Sisakng agar hasil panen mereka melimpah setiap tahun.23
Setelah selesai menabur benih, pemilik ladang kemudian menyiraminya dengan air
sebagai simbol permohonan pendingin kepada Tempa dan leluhur karena menugal
dilakukan di musim kemarau. Benih-benih padi yang dimasukkan ke dalam tujuh lubang
tersebut dinamakan pohon induk benih.
Gambar 4 : Ritual Ketingap
23
Wawancara dengan Ketua Adat dan pebayur dusun Berungkat yang merupakan warga jemaat
GPIB (Migung & Lonim), 20 September 2017.
52
Ketiga, nyera atau makan bersama. Makan bersama dilakukan pada pukul 06.00
WIB setelah semua keluarga maupun warga dusun yang ikut membantu berkumpul di
ladang. Kegiatan menugal dilaksanakan pagi hari mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul
09.00 WIB. Hal ini bertujuan agar setelah selesai menugal, keluarga maupun warga dusun
yang membantu masih dapat melakukan aktivitas mereka. Sebelum menanam padi, semua
yang hadir kemudian berkumpul dan makan bersama. Makanan wajib disediakan oleh
pemilik ladang. Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng, makan bersama sebelum
menugal bertujuan agar seluruh orang yang membantu tidak kelaparan saat menugal.
Selain itu, makan bersama ini merupakan simbol untuk memberi makan roh-roh leluhur
yang dianggap mempunyai kuasa untuk membantu kesuburan tanaman padi. Makan
bersama memiliki makna bahwa semua orang yang membantu harus merasa kenyang, roh-
roh leluhur yang menjaga benih padi mereka juga merasa kenyang. Selain itu, makan
bersama merupakan simbol untuk memberi makan padi sehingga akan menghasilkan biji-
biji padi yang berisi dan hasil panen melimpah. Oleh karena itu, nyera atau makan
bersama wajib dilaksanakan sebelum memulai kegiatan menugal. Apabila pemilik ladang
tidak menyediakan makanan, maka akan berakibat pada para pekerja yang tidak mampu
menugal dengan baik, roh-roh leluhur marah karena merasa tidak diperhatikan dan juga
benih padi tidak akan tumbuh dengan subur. Selain itu, dalam hal menyediakan makanan,
masyarakat memiliki kepercayaan bahwa jika makanan yang disediakan adalah daging
ayam atau babi maka hasil panen baik. Namun jika makanan yang disediakan adalah ikan,
maka hasil panen kurang baik atau hasil tidak melimpah. Hal ini karena dalam kehidupan
masyarakat Dayak Sisakng, daging ayam maupun daging babi dikategorikan makanan
yang cukup mewah.
53
Gambar 5 : Ritual Makan Bersama
Keempat, menugal atau menanam padi dengan menggunakan alat tugal. Dalam
proses menugal terdapat pembagian tugas yang sudah ditetapkan dan dilakukan secara
turun temurun yakni, laki-laki bertugas untuk membuat lubang di tanah dengan alat tugal,
sedangkan perempuan bertugas untuk menabur benih ke dalam lubang-lubang tersebut.
Sebelum dimulainya kegiatan menugal, semua laki-laki berbaris terlebih dahulu dan yang
berdiri di ujung barisan tersebut adalah orang yang bertugas mengarahkan barisan agar
proses menugal berjalan teratur. Setelah itu, seluruh barisan secara serentak berjalan maju
untuk membuat lubang yang kemudian diikuti oleh kaum perempuan yang berbaris di
belakang mereka untuk menabur benih. Benih-benih yang ditabur oleh kaum perempuan
tidak murni benih padi, karena telah dicampur dengan benih timun, sawi, jagung, labu
sebagai tanaman tumpang sari. Tanaman tumpang sari tersebut akan mereka tuai saat
membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar padi saat berusia 2-3 bulan. Setelah selesai
menugal, seluruh alat tugal yang digunakan wajib ditancapkan berjajar di tempat ritual
ketingap dilaksanakan sebelumnya. Alat tugal tersebut berfungsi sebagai penjaga padi dan
keluarga pemilik ladang dari penyakit sehingga tidak boleh dibawa pulang atau dibuang.
54
Gambar 6 : Proses Menugal
Kelima, ritual encelan atau ritual anak padi. Setelah padi berusia 2-3 bulan, pemilik
ladang akan melakukan ritual encelan atau ritual anak padi dengan memberikan sesajian
kepada leluhur (nebur). Ada beberapa sesajian yang harus dipersiapkan pemilik ladang,
yaitu satu butir telur, nasi, pekasam ikan, ayam kampung, lemang (nasi dalam bambu dari
beras ketan), beras satu genggam, sirih, tuak, tembakau, buluh berisi air, garam, sungkai
(nasi yang dibungkus oleh daun dan berukuran sebesar jari tangan orang dewasa), dan
tujuh buah piring kecil. Semua sesajian tersebut diletakkan di atas tampi (tempat untuk
menampi atau membersihkan beras) dan diserahkan kepada penebur dan pebayur.
Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng, sesajian yang dipersembahkan
pada roh-roh leluhur tersebut memiliki makna, yaitu: pertama, tampi yang biasanya
digunakan untuk membersihkan beras dari sisa-sisa dedak dan digunakan untuk
meletakkan seluruh sesajian merupakan simbol bahwa sesajian yang dipersembahkan
merupakan harapan pemilik ladang untuk membersihkan atau menampi semua bahaya
yang akan mengganggu tanaman padi. Kedua, ayam kampung yang digunakan sebagai
korban persembahan dan darahnya digunakan untuk mengolesi anak padi merupakan
simbol pembersih, pembasuh, pembebas atau penebus anak padi dari berbagai bencana
seperti hama maupun gangguan roh-roh jahat yang ingin mengganggu tanaman padi.
Ketiga, sirih, tuak dan tembakau merupakan simbol hidangan pembuka dalam menjamu
55
roh-roh leluhur yang datang memenuhi undangan penebur agar mereka merasa nyaman
karena disambut dengan baik. Hidangan pembuka ini mengacu pada praktik kehidupan
manusia ketika menyambut tamu di rumah, tuan rumah pasti menghidangkan air atau
makanan ringan agar tamu yang berkunjung merasa nyaman dan disambut dengan ramah.
Keempat, nasi, telur, pekasam ikan, lemang dan buluh berisi air merupakan simbol
makanan untuk roh-roh leluhur. Masyarakat Dayak Sisakng meyakini bahwa roh-roh
leluhur membutuhkan makanan sama seperti manusia. Oleh karena itu, mereka
mempersembahkan makanan yang biasa dimakan sehari-hari kepada roh-roh leluhur.
Kelima, beras, garam, tuak, sungkai merupakan simbol bekal yang dipersiapkan untuk roh-
roh leluhur saat mereka menjaga tanaman padi yang akan ditanam hingga masa panen tiba.
Masyarakat memahami bahwa roh-roh leluhur pun membutuhkan persediaan makanan
sama seperti manusia. Bekal persediaan makanan tersebut bertujuan agar roh-roh leluhur
tidak kekurangan makanan saat menjaga padi. Bila bekal persediaan makanan tersebut
tidak disediakan pemilik ladang, maka roh-roh leluhur akan marah dan mengacaukan
tanaman padi. Keenam, tujuh buah piring kecil merupakan simbol untuk tempat makan
roh-roh leluhur yakni, Timang, Giman beserta seluruh saudaranya. Seluruh sesajian dalam
ritual ini wajib dipersiapkan. Hal ini karena dalam pemahaman masyarakat Dayak
Sisakng, bila sesajian tersebut tidak lengkap maka ritual anak padi yang dilakukan tidak
akan bermanfaat dan akan mendatangkan musibah bagi tanaman padi maupun bagi
pemilik ladang karena leluhur mereka merasa kecewa dan marah.
56
Gambar 7 : Sesajian Ritual Anak Padi
Setelah pemilik ladang mempersiapkan seluruh perlengkapan sesajian, penebur
dan pebayur kemudian menyusun seluruh sesajian di atas tempat persembahan yang
disebut sengkam. Sengkam merupakan tempat pemujaan atau tempat persembahan yang
terbuat dari bambu dan dibangun di tengah ladang tepat di depan seluruh alat tugal yang
ditancapkan berjajar waktu selesai menugal. Setelah selesai menyusun semua sesajian di
atas sengkam, penebur yang dibantu oleh pebayur pun melakukan ritual encelan. Seluruh
sesajian dipersembahkan pada roh-roh leluhur sambil membaca mantera.
Gambar 8 : Ritual Anak Padi
Ayam kampung disembelih dan darahnya digunakan untuk mengolesi anak padi
agar tumbuh subur sambil membaca mantera. Mantera yang diucapkan oleh penebur berisi
permohonan agar Tuhan dan leluhur menjaga, melindungi tanaman padi agar tumbuh
57
subur dan dijauhkan dari segala penyakit serta menghasilkan bulir-bulir padi yang terbaik.
Selain itu, mantera tersebut juga berisi permohonan kepada Tuhan dan leluhur agar
keluarga pemilik ladang, penebur dan pebayur pulang ke rumah dengan selamat dan
dijauhkan dari penyakit. Berikut ini penggalan mantera yang diucapkan oleh penebur saat
melakukan ritual encelan:24
Mantera Terjemahan
Tempa maman geeh piin metan kenam..
Raja beras membas megi sio…
Hantu laut, hantu bangas maman laut
jenggi jabal kap kedumok samina
babina mabatu muat mirung
aaaaaaaaa…….
Enik duweh taruh.. iiiiiii……
Tempa bulu gawa pulau bunga dayung
mamang…
Hantu bawang, hantu lopo, hantu
bangas, pauh ireng teyung murai teyug
perinte...
Tuhan tolong hanyutkan seluruh penyakit ke air..
Raja beras melalui darah ayam ini…
Jauhkanlah anak padi dari segala macam penyakit
serta lindungi keluarga dan penebur agar pulang
dengan selamat sampai rumah. Hanyutkanlah
seluruh penyakit dan roh-roh jahat ke laut…
aaaaaaa
Satu, dua, tiga,..iiiiiiii......
Oh Tuhan tolong selamatkan kami semua…
Oh kakek, nenek moyang tolong selamatkan anak
padi dan keluarga serta hanyutkanlah seluruh
penyakit dan roh-roh jahat ke laut…
Setelah ritual encelan selesai, penebur dan pebayur kemudian mengambil seluruh
sesajian yang telah dipersembahkan kepada leluhur tersebut dan memberikannya kepada
pemilik ladang untuk diolah dan dibagi rata. Ayam kampung wajib dibuat bubur ayam
namun hati ayam kampung dikhususkan untuk penebur sesuai dengan aturan dalam ritual
tersebut. Hati ayam tersebut merupakan tanda balas jasa pemilik ladang kepada penebur
karena telah menolong menyampaikan permohonan kepada Tempa dan leluhur. Seluruh
keluarga wajib untuk menyantap bubur ayam kampung tersebut. Selain itu, seluruh
sesajian yang telah dipersembahkan kepada roh leluhur wajib dibagi rata bagi semua
keluarga atau warga yang hadir di ladang. Apabila ada yang tidak mendapat bagian atau
tidak mau menyantap bubur dan sesajian tersebut, maka ia akan terkena musibah.
24
Wawancara dengan penebur dusun Berungkat yang merupakan warga jemaat GPIB (Latok), 20
September 2017.
58
Gambar 9 : Makan Bersama Setelah Ritual Anak Padi
Setelah seluruh rangkaian ritual encelan selesai, semua yang hadir di ladang dapat
kembali ke rumah. Tempat persembahan atau sengkam tidak boleh dibongkar hingga masa
panen selesai. Sengkam tersebut berfungsi sebagai alat penjaga padi dan keluarga pemilik
ladang. Oleh karena itu, bila sengkam tersebut dibongkar maka padi akan terserang hama
bahkan pemilik ladang pun akan sakit. Selain itu, keluarga pemilik ladang wajib
berpantang untuk tidak ke ladang selama dua hari. Seluruh warga satu dusun pun tidak
boleh memasuki ladang tersebut. Pemilik ladang memberikan tanda larangan masuk ke
ladang berupa bulu ayam yang ditempel di buluh atau bambu dan diolesi dengan kunyit,
yang kemudian ditancapkan di jalan masuk ke ladang. Kunyit merupakan simbol
wewangian yang digunakan sebagai tanda, sehingga siapapun yang mencium wangi
tersebut tidak akan masuk ke ladang. Bulu ayam yang ditempel di buluh merupakan
simbol bahwa pemilik ladang sudah melakukan ritual encelan. Bila ada yang melanggar
maka akan dikenakan hukum adat karena dianggap telah membuat kerugian (ritual anak
padi gagal dan hasil panen tidak melimpah). Si pelanggar wajib membayar adat berupa:
empat buah tempayan, empat ekor babi dan empat ekor ayam. Persyaratan tersebut
merupakan aturan yang telah disepakati oleh masyarakat sebagai pengganti kerugian.
Tempayan merupakan simbol untuk mengganti tubuh atau nyawa dari si pelanggar agar
tidak kemponan atau terkena musibah. Selain itu, babi dan ayam merupakan korban yang
59
dipersembahkan kepada leluhur agar tidak marah. Setelah semua dipenuhi oleh si
pelanggar, maka babi dan ayam wajib dimasak dan dimakan bersama dalam acara adat
tersebut sebagai simbol pendingin agar anak padi dapat tumbuh dengan subur.
Keenam, ritual nguha atau ritual sebelum panen. Setelah padi tumbuh dan siap
panen, pemilik ladang akan melakukan ritual nguha atau ritual sebelum panen sebagai
ungkapan syukur kepada Tempa dan leluhur yang telah menjaga padi dan memberikan
kesuburan hingga masa panen tiba. Ritual nguha dapat dilakukan oleh pemilik ladang
tanpa memanggil penebur. Proses pelaksanaan ritual nguha ialah: pertama, pemilik ladang
mengetam atau menuai padinya sebanyak satu takin (tempat untuk mengisi beras) dan
tidak boleh lebih ataupun kurang. Satu takin padi merupakan simbol permohonan pemilik
ladang untuk dapat menuai padinya. Kedua, setelah selesai mengetam, pemilik ladang
membawa padinya ke pondok (rumah tempat beristirahat di ladang). Pemilik ladang
kemudian menaikkan permohonan pada Tempa dan leluhur agar padi yang akan dipanen
nanti dapat memenuhi kebutuhan selama satu tahun. Ketiga, pemilik ladang kemudian
membawa padi yang baru dituai tersebut pulang ke rumah dan meletakkan satu bungkus
garam diatasnya. Garam merupakan simbol bekal untuk tuan padi yang telah datang ke
rumah si pemilik ladang agar kembali pulang ke ladang. Setelah itu padi disimpan selama
satu malam dengan pemahaman agar padi tersebut dapat beristirahat. Keempat, setelah
padi tersebut disimpan selama satu malam, pemilik ladang pun mengirik padinya. Setelah
selesai, pemilik ladang mengambil satu genggam beras dan membawanya ke sungai
sebagai simbol ungkapan syukur pada para leluhur yang telah melindungi dan memberikan
kesuburan bagi tanaman padi. Pemberian beras tersebut merupakan simbol pemilik ladang
membagi hasil tuaiannya untuk dinikmati oleh para leluhur. Setelah selesai melakukan
ritual, pemilik ladang wajib berpantang untuk tidak memetik padi selama tiga hari. Setelah
selesai berpantang barulah pemilik ladang datang dapat memanen seluruh padinya.
60
Gambar 10 : Alat Takin dan Mengetam
Ketujuh, ritual makan beras baru. Ritual makan beras baru merupakan wujud
syukur seluruh masyarakat satu dusun karena telah selesai menuai padi. Oleh karena itu,
mereka mempersembahkan hasil pertama kepada Tempa dan leluhur sebagai ungkapan
syukur. Ritual ini dilakukan di balai dusun dan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat.
Sesajian yang digunakan dalam ritual ini ialah: beras, ayam kampung, telur, garam dan
piring tujuh buah. Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng, sesajian tersebut
memiliki makna sebagai berikut: pertama, beras, telur, ayam dan garam merupakan
simbol makanan yang diberikan kepada leluhur sebagai ungkapan syukur karena mereka
telah melindungi tanaman padi hingga masa panen. Kedua, tujuh buah piring merupakan
simbol tempat makan leluhur yakni Timang, Giman dan seluruh saudaranya. Seluruh
sesajian dipersembahkan kepada leluhur sambil membaca mantera. Ayam kampung
disembelih dan darahnya dioleskan pada dahi seluruh warga masyarakat yang hadir dalam
acara tersebut. Darah ayam tersebut sebagai simbol pembebas atau penebus masyarakat
dari musibah. Setelah selesai, ayam kampung tersebut kemudian dijadikan bubur ayam
dan dibagikan ke seluruh warga masyarakat untuk dinikmati bersama.
61
3.5. Ritual Nugal dalam Pemahaman Masyarakat Dayak Sisakng dan Jemaat GPIB
3.5.1. Ritual Nugal dalam Pemahaman Masyarakat Dayak Sisakng
Dalam kehidupan manusia, ritual merupakan bagian yang sangat penting karena
berkaitan dengan praktik hidup sehari-hari. Ritual yang dilakukan oleh manusia
merupakan salah satu cara untuk memaknai hidup. Hal ini nampak dalam ritual-ritual yang
dilakukan oleh masyarakat Dayak Sisakng, salah satunya ialah ritual nugal. Bagi
masyarakat Dayak Sisakng, ritual nugal memiliki makna dan fungsi dalam kehidupan
mereka, sehingga ritual ini selalu dilakukan setiap kali mereka menanam padi.
Ada beberapa pemahaman masyarakat Dayak Sisakng mengenai ritual nugal,
yaitu:25
pertama, ritual nugal merupakan salah satu cara masyarakat membangun relasi
dengan Tuhan yang biasa disebut Tempa. Masyarakat Dayak Sisakng meyakini adanya
kuasa tertinggi yang ada di luar dirinya yaitu Tempa. Masyarakat meyakini bahwa Tempa
berkuasa menciptakan dan memelihara kehidupan mereka. Oleh karena itu, melalui ritual
nugal, masyarakat menaikan permohonan pada Tempa untuk menjaga dan memberkati
tanaman padi yang ditanam. Kedua, ritual nugal merupakan salah satu cara masyarakat
membangun relasi dengan roh-roh leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal.
Bagi masyarakat Dayak Sisakng, roh-roh leluhur atau roh orang yang sudah meninggal
dapat mempengaruhi kehidupan manusia bahkan memiliki kuasa untuk menolong.
Walaupun masyarakat telah menganut agama-agama yang diakui pemerintah, namun
mereka tetap meyakini kuasa roh-roh leluhur dapat menolong kehidupan mereka. Oleh
karena itu, ritual nugal merupakan salah satu cara mereka untuk membangun relasi dengan
25
Wawancara dengan Kepala Dusun Berungkat, pebayur dusun Berungkat yang merupakan warga
jemaat GPIB, Ketua Adat dusun Berungkat, pengurus RT, warga jemaat GPIB dan warga dusun Berungkat
(Parman, Lonim, Migung, Herman, Beyan, Bugoh, Ocit, Bandung, Kumin, Lihun, Leni, Dadang, Danan,
Lanem, Yudah, Susana, Jimmy, Bontel, Iwan), 20 September 2017.
62
roh-roh leluhur dan memohon pertolongan mereka untuk menjaga, melindungi dan
memberikan kesuburan bagi tanaman padi.
Ketiga, ritual nugal merupakan salah satu cara untuk membangun relasi dengan
anggota keluarga dan sesama. Hal ini nampak ketika masyarakat memasuki musim
menugal, yakni mereka akan menghubungi seluruh anggota keluarga besar baik itu yang
tinggal dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Semua anggota keluarga
akan berkumpul dan membahas waktu pelaksanaan menugal. Seluruh anggota keluarga
akan saling memperhatikan dan menolong hingga masa panen selesai. Selain itu, nugal
juga merupakan salah satu cara untuk mempererat relasi dalam masyarakat. Hal ini
nampak saat menanam padi, semua warga satu dusun akan saling tolong menolong tanpa
membeda-bedakan agama maupun suku. Apabila salah seorang pemilik ladang telah
ditolong oleh warga lainnya, maka ia wajib untuk menolong mereka ketika menanam padi
di ladangnya. Dengan demikian, nugal menjadi salah satu cara untuk mempererat dan
memperkokoh kekerabatan masyarakat dalam satu dusun.
Keempat, ritual nugal merupakan salah satu cara masyarakat Dayak Sisakng
membangun relasi dengan alam lingkungan. Dalam pemahaman masyarakat Dayak
Sisakng, tanah tempat mereka tinggal merupakan ibu sehingga harus dihormati dan tidak
boleh di rusak. Oleh karena itu, beberapa ritual yang dilakukan merupakan simbol untuk
menjaga tanah yakni menolak segala penyakit seperti hama yang akan merusak ladang
mereka. Masyarakat memohon agar Tempa dan roh-roh leluhur menjaga dan melindungi
tanaman yang mereka tanam demi kelestarian alam lingkungan. Selain itu, salah satu
bentuk masyarakat Dayak Sisakng menghormati tanah ialah dengan tidak mengeksploitasi
tanah secara besar-besaran. Masyarakat tidak akan menanam padi di lahan yang telah
digunakan sebelumnya. Lahan yang telah digunakan akan dibiarkan hingga ditumbuhi
rumput hingga dianggap sudah layak kembali untuk ditanami padi. Masyarakat pun lebih
63
memilih menanam padi secara tradisional daripada menggunakan alat-alat teknologi yang
disediakan oleh pemerintah setempat. Dengan demikian, ritual nugal yang dilakukan
merupakan salah satu bentuk untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Kelima,
nugal merupakan ciri khas atau identitas masyarakat Dayak Sisakng yang membedakan
mereka dengan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Tradisi nugal merupakan
warisan turun temurun dari leluhur mereka yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Hal-hal tersebut di atas yang mendasari mengapa masyarakat Dayak Sisakng
khususnya yang ada di dusun Berungkat memegang teguh tradisi nugal. Mereka meyakini
bahwa ritual nugal sangat berguna bagi kesuburan tanaman padi mereka dan pada
akhirnya akan memperoleh hasil yang melimpah. Oleh karena itu, bagi mereka tradisi
nugal tersebut harus dipertahankan dan dilestarikan.26
3.5.2. Ritual Nugal Dalam Pemahaman GPIB
Pada umumnya pemahaman tentang ritual selalu dikaitkan dengan praktik-praktik
atau upacara-upacara keagamaan. Ritual yang dilakukan dalam upacara keagamaan
merupakan cara manusia membangun relasi dengan Tuhan. Hal ini juga yang dipahami
dalam kehidupan berjemaat di GPIB khususnya Pos Pelkes Galilea Berungkat. Dalam
pemahaman GPIB, ritual merupakan cara membangun relasi dengan Tuhan melalui
ibadah. Ibadah yang dilaksanakan memiliki makna sebagai perjumpaan umat dengan
Tuhan, perayaan yang berkaitan dengan karya keselamatan yang dilakukan Yesus dan juga
sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan.27
Ibadah GPIB memiliki sisi yang berkaitan dan saling menunjang, melengkapi,
mempengaruhi dan mewarnai. Dua sisi tersebut yaitu: Pertama, ibadah ritual, terjadi
26
Wawancara dengan sesepuh suku Dayak Sisakng (Alusius Roji), 21 September 2017.
27 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Buku Tata Ibadah, Musik Gereja dan Pakaian
Liturgis (Jakarta: UK Penerbitan GPIB), 1.
64
dalam perjumpaan umat dengan Tuhan untuk menghayati karya keselamatan Allah.
Kedua, ibadah aktual, terjadi dalam kehidupan umat setiap hari. Pusat ibadah umat, baik
itu ritual maupun aktual adalah Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu,
dalam beribadah umat selalu diingatkan oleh Roh Kudus agar tidak menjadikan dirinya
atau kekuatan atau harta benda sebagai pusat ibadah. Hal ini berarti hanya ada satu pusat
ibadah GPIB, yaitu Tuhan Yesus Kristus.28
Dalam pemahaman GPIB yang hadir melayani di dusun Berungkat, ritual nugal
yang dilakukan oleh warga jemaat bertolak belakang dengan nilai-nilai Kristen yang
mengarahkan agar umat hanya beriman kepada Allah. Ritual-ritual peribadahan
seharusnya hanya berfokus pada Yesus tanpa melakukan praktik-praktik pemujaan pada
roh-roh leluhur. Hal-hal tersebut yang mendasari mengapa GPIB membuat program kerja
yang mengarahkan agar warga jemaat tidak lagi melakukan ritual nugal. Program kerja
tersebut ialah dengan cara mengadakan ibadah berkat benih di gereja sebelum masa
bercocok tanam tiba. Ibadah berkat benih dilakukan dengan tujuan agar warga jemaat
tidak lagi melakukan ritual-ritual yang ada dalam menugal. Warga jemaat diarahkan untuk
membawa benih-benih padi mereka ke gereja untuk diberkati dan tidak lagi melakukan
ritual nugal. Selain itu, gereja juga mengarahkan agar warga jemaat tidak lagi melakukan
ritual secara adat ketika padi telah tumbuh, namun diarahkan memanggil para pelayan
untuk berdoa di ladang mereka.29
3.5.3. Ritual Nugal Dalam Pemahaman Warga Jemaat GPIB
Dalam pemahaman warga jemaat GPIB yang merupakan warga masyarakat
masyarakat Dayak Sisakng, tradisi nugal dan seluruh rangkaian ritual yang dilakukan
28
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Buku Tata Ibadah…… 2.
29 Wawancara dengan Majelis Jemaat GPIB Pos Pelkes Galilea Berungkat (Herman, Beyan dan
Lihun), 20 September 2017.
65
hingga masa panen sangat berarti dalam kehidupan mereka. Hal ini nampak dari cara
warga jemaat merespon program-program kegiatan pelayanan di GPIB yang berkaitan
dengan tradisi mereka. Menurut pemahaman warga jemaat, program kerja GPIB yang
sudah dilaksanakan sejak tahun 2010 tersebut dapat menghilangkan tradisi mereka.30
Warga jemaat GPIB cenderung tidak membawa benih-benih padi mereka ke gereja
untuk diberkati melainkan lebih memilih melakukan ritual-ritual adat. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan jemaat tidak membawa benih-benih padi untuk diberkati di gereja
dalam ibadah berkat benih, yaitu: Pertama, berdasarkan pengalaman beberapa warga
jemaat yang pernah membawa benih-benih padinya ke gereja untuk didoakan tanpa
melakukan ritual adat nugal, maka hasil panen yang mereka peroleh tidak melimpah
bahkan mengalami kegagalan panen. Menurut warga jemaat, hal ini terjadi karena roh-roh
leluhur marah sehingga menyebabkan berbagai musibah yang mengakibatkan kerugian,
misalnya hama yang menyerang tanaman padi, banjir, butir-butir padi yang kurang baik
atau berukuran kecil dan juga berbagai bencana lainnya. Kedua, menurut warga jemaat,
ritual nugal yang mereka lakukan adalah permohonan doa kepada kuasa yang lebih tinggi
yaitu Tuhan atau Tempa dan juga pada roh-roh leluhur. Ketiga, jemaat menilai bahwa
gereja cenderung menghakimi dan menganggap ritual mereka bertentangan dengan nilai-
nilai Kekristenan sehingga kehadiran gereja dianggap akan menghilangkan tradisi
tersebut. Artinya bahwa sebagai penganut agama Kristen, maka tradisi lama harus
dihilangkan. Menurut penebur dan pebayur di dusun Berungkat yang merupakan warga
jemaat GPIB, ritual yang mereka lakukan adalah serangkaian doa yang mereka naikkan
juga kepada Tuhan atau Tempa namun dengan cara adat yang diwariskan oleh para leluhur
30
Wawancara dengan warga jemaat GPIB Pos Pelkes Galilea Berungkat (Lonim, Bugoh, Ocit,
Bandung, Kumin, Lihun, Seloha, Capan, Leni, Juim, Moyit, Burhanudin, Latok, Wani), 20 September 2017.
66
mereka.31
Oleh karena itu, sejak diadakannya ibadah berkat benih pada tahun 2010,
berdasarkan kehadiran atau partisipasi jemaat setiap tahunnya hanya 5% warga jemaat
yang berpartisipasi dalam program gereja tersebut.32
Kesimpulan
Tradisi nugal atau menanam padi dengan cara berladang merupakan salah satu
warisan leluhur masyarakat Dayak Sisakng yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Walaupun telah banyak alat-alat teknologi canggih dalam pertanian yang diberikan
melalui program pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lebih memilih menanam padi
dengan menggunakan cara tradisional. Dalam pemahaman masyarakat Dayak Sisakng
termasuk warga jemaat GPIB, tradisi nugal merupakan salah satu cara mereka
membangun relasi dengan Tuhan atau Tempa, sesama dan alam. Hal ini nampak dalam
berbagai ritual yang dilakukan di dalam proses menugal. Selain itu, tradisi nugal dan ritual
yang ada di dalamnya merupakan ciri khas mereka sebagai warga masayarakat Dayak.
Di sisi lain, ritual yang dilakukan oleh warga jemaat Dayak Sisakng tersebut di
anggap bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam iman Kristen yang mengarahkan
umat untuk memfokuskan diri hanya pada Yesus Kristus. Hal ini yang menjadi dasar
mengapa GPIB membuat program yang mengarahkan umat untuk tidak lagi melakukan
ritual nugal. Namun, program kerja yang dilaksanakan oleh GPIB terkait tradisi tersebut
kurang mendapat tempat di hati warga jemaat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk
mencarai titik temu antara ritual nugal Dayak Sisakng dengan Injil.
31
Wawancara dengan warga jemaat GPIB Pos Pelkes Galilea Berungkat (Lonim, Bugoh, Ocit,
Bandung, Kumin, Lihun, Seloha, Capan, Leni, Juim, Moyit, Burhanudin, Latok, Wani), 20 September 2017.
32 Wawancara dengan Majelis Jemaat GPIB Pos Pelkes Galilea Berungkat (Beyan, Herman), 20
September 2017.
Top Related