45
BAB III
PERDAGANGAN LIMBAH B3 DALAM KESEPAKATAN
IJEPA
Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa ancaman rentan masuknya
Limbah B3 diwilayah Indonesia, membuat Indonesia meratifikasi Konvensi Basel
yang mengatur tentang lalu lintas limbah B3. Akan tetapi pada Bab ini, penulis akan
membahas tentang Ekonomi menjadi prioritas pembangunan, IJEPA: kerjasama
Indonesia-Jepang dalam kerangka liberalisasi perdagangan, serta Perdagangan
Limbah dalam IJEPA. Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi
Konvensi Basel, akan tetapi kembali menandatangani perjanjian kerjasama IJEPA
yang didalam perjanjiannya terdapat klausul yang memperbolehkan perdagangan
limbah B3.
3.1 Ekonomi Menjadi Prioritas Pembangunan Indonesia
Kegiatan ekonomi sangat penting bagi suatu negara, dimana didalamnya
terdapat kegiatan distribusi, produksi, konsumsi, serta investasi yang mana harus
sesuai dengan fungsi masing-masing. Tujuan utama dari sistem ekonomi negara
yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, mencapai kestabilan
ekonomi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta dapat meratakan pemerataan
diantara berbagai golongan dan lapisan masyarakat. begitu pentingnya nilai
ekonomi dalam suatu negara.
Tahun 2008 merupakan era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memiliki 6 prioritas pembangunan yang ditetapkan dalam rapat kabinet
46
diantaranya yaitu: Pertama pertumbuhan ekonomi, kedua penciptaan lapangan
pekerjaan, ketiga stabilitas harga, kempat Pengentas kemiskinan, kelima ketahanan
pangan serta keenam ketahanan energi48. Untuk memenuhi prioritas pembangunan
pertama yaitu pertumbuhan ekonomi, Indonesia seringkali melakukan berbagai
kerjasama dalam bidang ekonomi baik bersifat bilateral, multilateral serta regional.
Beberapa kerjasama ekonomi yang dilakukan Indonesia pada masa era Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono diantaranya yaitu:
1. Indonesia menandatangani Kesepakatan perdagangan senilai US$ 17
Miliar dengan Tiongkok guna meningkatkan bidang pertambangan,
pembangkit listrik tenaga air, besi baja, pertanian serta tekstil.
2. Indonesia menyepakati Millenium Comprehensive Partnership (MCP) atau
kemitraan melinium menyeluruh dengan Amerika Serikat. kemitraan ini
senilai US$600 juta atau Rp.5,4 Triliun yang ditujukan untuk mendukung
pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan, kesehatan masyarakat,
dan meningkatkan pelayanan publik di Indonesia.
3. Indonesia juga melakukan kemitraan ekonomi dengan Swedia, dimana
perdagangan kedua negara tersebut mampu menujukan kecenderungan
peningkatan yang positif selama 5 tahun terakhir dan mencapai 6,91
persen. Total perdagangan kedua negara pun mencapai US$1,46 miliar
pada tahun 2012 dimana terdapat peningkatan 28 persen dari tahun
48 Admin, 2012, “Ini 6 Program Prioritas SBY hingga 2014” diakses pada
https://nasional.kontan.co.id/news/ini-6-program-prioritas-sby-sampai-2014 (04/07/2019, 17.32
WIB)
47
sebelumnya. peningkatan juga terjadi pada investasi swedia di Indonesia
yang mencapat US$5,2 juta dengan 11 proyek.
Selain kerjasama ekonomi yang telah dipaparkan, Indonesia juga
melakukan kerjasama ekonomi Bilateral dengan Jepang yaitu dengan
ditandatanganinya perjanjian kerjasama Indonesia Japan Economic Partnership
Agreement (IJEPA) yang mulai diimplementasikan pada 1 Juli 2008 guna
membangun ekonomi Indonesia.
3.2 IJEPA: Kerjasama Indonesia-Jepang dalam Liberalisasi Perdagangan
Hubungan kerjasama antara Indonesia dan Jepang diawali dengan
terbentuknya hubungan diplomatik yang dimulai pada 20 Januari 1958. Dengan
sejarah hubungan diplomatik yang telah berpuluh-puluh tahun, kedua negara
tersebut sepakat membangun kerjasama bilateral dibidang ekonomi yaitu
Indonesian Japan Economic partnership Agreement (IJEPA) yang diresmikan pada
20 Agustus 2008. Hubungan kerjasama ini dilakukan oleh kedua negara guna
mencapai kepentingan nasional masing-masing negara sesuai dengan aturan-aturan
yang telah diatur oleh hukum internasional.
Indonesian Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) merupakan
salah satu bentuk kesepakatan kerjasama bilateral dalam bidang ekonomi antara
Indonesia dan Jepang yang diawali dengan dibentuknya Joint Study Group pada
tahun 2003 guna membahas bentuk dan masa depan kerjasama bilateral antara
Indonesia dan Jepang. Pertemuan pertama Joint Study Group merupakan forum
perkenalan bagi Economic Partnership Agreement antara Indonesia dan Jepang
48
yang berlangsung di Kementrian Perdagangan, Republik Indonesia pada 31 januari
dan 1 februari 2005. Joint Study Group ini dihadiri oleh pihak Jepang yang diwakili
oleh Mr. Atsuyuku Oike yang merupakan Direktur Kemitraan Ekonomi,
Kementrian Luar negeri. Mr. Keita Nishiyama, Direktur urusan Asia-Pasifik,
Kementrian Ekonomi, Perindustrian dan Perdagangan. Mr. Yutaka Ishiba, Direktur
kerjasama Teknik internasional, Kementrian pertanian, kehutanan dan perikanan.
serta Mr.Masaaki Kaizura yang merupakan Direktur negosiasi, Kementrian
Keuangan Jepang pada masa itu. Sedangkan dari pihak Indonesia diwakilkan oleh
Ibu Halida Miljani, yang merupakan mantan Duta Besar Republik Indonesia pada
WTO serta Bpk. Pos M. Hutabarat, Direktur Jendral kerjasama internasional,
Departemen Perdagangan.49
Pada pertemuan Joint Study Group ini pihak Indonesia dan Jepang
melakukan pembahasan serta tukar pikiran akan kiprah Joint Study Group
selanjutnya, Menganalisa kondisi perdagangan serta investasi antar kedua negara
serta topik-topik menarik lainnya. Joint study group mencapai hasil kesepakatan
pada bulan Desember 2004 antara Soichi Nakagawa yang merupakan Menteri
Perekonomian, Perdagangan dan Perindustrian Jepang serta Menteri Perdagangan
Indonesia Mari Pangestu. Selanjutnya pada Januari 2005 dengan kesepakatan
antara Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla serta Menteri Luar Negeri Jepang
Nobutaka Machimura. Secara keseluruhan Joint Study Group ini melakukan tiga
kali rapat untuk memutuskan layak tidaknya dibentuk Economic Partnership
49 Kedubes Jepang Di Indonesia “Joint Study Group, EPA Jepang-Indonesia Perdana” diakses pada
https://www.id.emb-Japan.go.jp/news05_13.html (06/11/2018,12.24 WIB)
49
Agreement antara Indonesia dan Jepang serta memutuskan waktu dimulainya proses
negosiasi.50
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada kunjungan resminya ke Jepang
pada 2 Juni 2005, beliau beserta perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi sepakat
mendatangani dimulainya kesepakatan Free Trade Agreement dimana Indonesian
Japan Economic Partnership Agreement sebagai kerangka kerjasamanya. Lalu
pada 20 Agustus 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Perdana Menteri
Shinzo Abe menandatangani surat persetujuan IJEPA. Dengan disetujuinya surat
persetujuan ini, IJEPA mulai aktif diimplemetasikan pada 1 Juli 2008 guna
mengembangkan dan meningkatkan perdangangan serta jalur investasi antar kedua
negara. Setelah meratifikasi IJEPA, pihak Indonesia memasukannya dalam
Peraturan Presiden No36 Tahun 2008.51
Indonesian Japan Economic Partnership Agreement memiliki 3 pilar utama
yang melandasi kerjasama IJEPA yaitu Liberalization, Facilitation dan
Cooperation. Pada pilar pertama yaitu Liberalization mengartikan penghapusan
atau pengurangan Batasan dan hambatan lainnya yang terdapat dalam perdagangan.
Pilar kedua yaitu Facilitation, dimana pilar ini berguna untuk pengurangan dan
peningkatan kinerja bea cukai, penanganan dipelabuhan, dan jasa-jasa yang
berkaitan dengan perdagangan. Sedangkan pada pilar terakhir yaitu Cooperation,
dimana Jepang berkomitmen untuk meningkatkan pembangunan kapasitas
(Industrial Capacity Building) dan sumber-sumber daya yang penting serta
50 Ibid,. 51 Betha Lande,Op.Cit., Hal.5
50
substansial bagi Indonesia sehingga Indonesia lebih mampu untuk bersaing dan
memanfaatkan secara optimal peluang pasar dari EPA. 3 pilar ini diharapkan dapat
menciptakan Win-win condition bagi kedua negara sehingga menciptakan kondisi
berimbang antara Indonesia dan Jepang guna persyaratan memasuki pasar global.52
Kerjasama Indonesian Japan Economic Partnership Agreement, memiliki
beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan dalam menjalin kerjasama diantaranya
yaitu Pertama Bersifat singel undertaking dimana perjanjian tidak ada yang
disepakati hingga semuanya setuju, Kedua, liberalisasi harus konsisten berdasarkan
pada pasal XXIV GATT, Ketiga, berdasarkan line by line, Keempat, Negosiasi
akses pasar dilakukan secara bersamaan dengan ROO (Rules of Origin) dimana
mekanisme ini digunakan untuk menentukan asal produk dalam rangka
mendapatkan fasilitas tarif prefensial. Kelima, permintaan dan penawaran
mencakup tarif line yang telah ditetapkan. Keenam, permintaan didasarkan pada
klasifikasi tariff mitra IJEPA. Ketujuh, base rate atau suku bunga dasar untuk
Jepang diberlakukan sejak 1 April 2005, sedangkan untuk Indonesia menunggu
proses harmonisasi tahap II. Keenam, kategori penurunan dan penghapusan tariff
bersifat linear 53
Pada poin pertama prinsip dasar kerjasama IJEPA yaitu bersifat single
undertaking diartikan bahwa kerjasama ini diartikan bahwa kerjasama ini didasari
dengan benar-benar kesepakatan bersama antara Indonesia dan Jepang, perjanjian
52 Ibid,. 53 A.Achdiat, I.Drajat, dkk, “Kedalaman struktur industri manufaktur melalui implementasi
IJEPA”, Jakarta: Kemenprin, Hal.22.
51
ini tidak akan berjalan tidak akan berjalan jika tidak terjadi kesepakatan baik dari
satu pihak dari kedua negara tersebut. Selain itu pada poin kedelapan yaitu poin
penurunan tariff bersifat linear juga berlaku untuk Indonesia maupun Jepang dalam
melakukan kegiatan perdagangan serta investasi.
Keputusan Indonesia dalam melakukan Perjanjian kerjasama bilateral
Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dilandasi berdasarkan
beberapa pertimbangan antara lain yaitu Jepang merupakan mitra dagang utama
Indonesia dimana Jepang merupakan tujuan eksport nomor satu bagi Indonesia
(appx.20%) serta sumber import Indonesia (14%) dari barang. Selain itu Jepang
merupakan sumber investasi utama, pinjaman pembangunan serta bantuan bagi
Indonesia. Dengan kondisi ekonomi kedua negara yang berbeda, perjanjian bilateral
ini menjadi alat kedua negara untuk saling melengkapi dengan tujuan yaitu
Pertama, memfasilitasi, dimana perjanjian ini mempromosikan liberalisasi
perdagangan baik jasa maupun barang antar kedua negara. Kedua, meningkatkan
kesepakatan investasi melalui penguatan perlindungan dan aktivitas investasi antar
kedua negara. Ketiga, memastikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual
dan mempromosikan kerjasama dibidang tersebut. Keempat, meningkatkan
trasnparansi serta promosi dari aktifitas anti persaingan dan kerjasama dan
bekerjasama mempromosikan persaingan. Kelima, meningkatkan kerangka
kerjasama yang lebih mendalam. Serta keenam, menciptakan prosedur yang efektif
dalam pengimplementasian perjanjian dan penyelesaian sengketa.54
54 Trixsaningtiyas Gayatri, 2008, “Analisa kepentingan ekonomi dan politik Indonesia dan Jepang
dalam IJEPA tahun 2007”, Tesis: Depok, Hubungan Internasional, Universitas Indonesia diakses
52
Kerangka kerjasama IJEPA mengelompokan perundingan ke dalam 13
Expert Groups (EG) dalam rangka mengkomprehersifkan serta melancarkan
jalannya perundingan yang meliputi Perdagangan barang, Prosedur Bea Cukai,
Aturan Asal, Investasi, Peningkatan lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan
bisnis, Perdagangan Jasa, Movement of Natural Person55, Sumber daya Energi dan
Mineral, Hak Kekayaan Intelektual, Kerjasama, Kebijakan Persaingan, kerjasama
teknis dan pembangunan kapasitas, serta pengadaan umum pemerintah. IJEPA
sendiri mempererat kemitraan ekonomi antara Indonesia dan Jepang termasuk
dalam Capacity Building56, liberalisasi, peningkatan perdagangan dan Investasi
yang bertujuan untuk meningkatkan arus dibidang investasi dan jasa, pergerakan
tenaga kerja diantara kedua negara dan juga perdagangan.57
Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) hadir sebagai
kerangka kerjasama yang memperkuat serta mempromosikan hubungan ekonomi
yang saling menguntungkan antar kedua negara serta berkonstribusi dalam
mewujudkan kerjasama serta peningkatan kapasitas diberbagai bidang.
Terbentuknya hubungan kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Jepang semakin
mendekatkan hubungan ekonomi serta hubungan lainnya diberbagai bidang dengan
kepentingan komersial yang besar dari masing-masing negara yaitu kebutuhan
dari http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/118812-T%2025102-Fluktuasi%20investasi-
Analisis.pdf (14/11/2018, 17.35 WIB) 55 Movement of Natural Person adalah Tenaga kerja yang berpindah ke negara lain misalnya tenaga
asing yang bekerja secara independen 56 Capacity Building adalah suatu proses untuk melakukan sesuatu atau serangkaian kegiatan untuk
melakukan perubahan multilevel dalam diri individu, kelompok-kelompok, organisasi-oraganisasi,
dan sistem-sistem guna memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi dalam
menghadapi perubahan lingkungan yang ada. 57 Betha Lande Op.cit., Hal.9
53
investasi, kebutuhan eksport import serta kebutuhan industri. Dengan adanya
kerjasama ini, Jepang memberi kepastian yang lebih besar dari akses pasar untuk
produk Indonesia dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara
lainnya yang memiliki perjanjian kerjasama ekonomi dengan Jepang, Indonesia
juga dapat lebih menarik banyak bisnis serta investasi dari Jepang, selain itu IJEPA
juga akan memberikan peningkatan kapasitas bangunan bagi produsen Indonesia
terutama membantu peningkatan kualitas produk Indonesia dipasar dalam negeri
maupun pasar internasional dalam bidang-bidang seperti produk standar pengujian,
sanitasi dan standar kesehatan minuman serta pelatihan dibidang manufaktur dll.
IJEPA juga menjanjikan akan membantu Indonesia untuk lebih maju dalam
meningkatkan kebiasaan, administasi perpajakan, serta penyediaan kapasitas
hukum yang lebih besar sehingga lebih meningkatkan iklim bisnis di Indonesia.58
Indonesia memiliki beberapa alasan yang menyebabkan Indonesia sepakat
dengan Jepang untuk menandatangani kerangka kerjasama Indonesia Japan
Economic Partnership Agreement (IJEPA) yaitu:59
1. Jepang merupakan salah satu investor serta mitra dagang utama bagi
Indonesia dan Indonesia sendiri merupakan negara penerima ODA (Official
Development Assistance) terbesar dari Jepang. Investasi Jepang dapat
membantu Indonesia dalam peningkatan kapasitas daya saing Indonesia
secara umum.
58 Gina M Dewi, Op,Cit., Hal.37 59 Trixsaningtiyas Gayatri Op,Cit., Hal.34
54
2. Mempermudah serta memperluas akses pasar produk Indonesia. Hal ini
merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengeksport produk Indonesia.
3. Indonesia memiliki peluang untuk mengirim tenaga kerja semi terampil ke
Jepang. Hal ini dapat meningkatkan sumber daya manusia yang terampil
melalui pelatihan teknologi.
4. Adanya Economic Partnership Agreement (EPA) dapat memberikan
kepastian yang lebih luas dan prefensial dibandingkan dengan program
Generalized System of Prefences (GSP) dan menempatkan Indonesia sejajar
dengan negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan dengan
Jepang seperti Malaysia, Filipina, Singapura serta Thailand di ASEAN.
Indonesia mengharapkan manfaat dari adanya kerangka kerjasama
Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) diantaranya yaitu:60
1. Tarif produk yang termasuk dalam perjanjian IJEPA akan dihilangkan
bertahap dalam 10-15 tahun.
2. Peningkatan akses pasar untuk barang-barang yang diekspor dari
Indonesia ke Jepang
3. Mempromosikan industri Indonesia serta mendukung dan memperkuat
kemitraan bisnis dengan perusahaan Jepang yang beroperasi di
Indonesia
4. IJEPA menyediakan pijakan yang sama antara Indonesia dan para
pesaing yang memiliki akses potensial dalam pasar Jepang.
60 Gina M Dewi, Op,Cit., Hal.37
55
International trade atau perdagangan internasional yaitu perdagangan antar
negara yang melibatkan dua atau lebih negara yang didalamnya mencakup ekspor
dan import. Menurut UU No.7 Tahun 2014 pasal 1 ayat 4, perdagangan
internasional atau perdagangan luar negeri dapat diartikan sebagai “perdagangan
yang mencakup ekspor dan import atas barang atau jasa yang melampaui batas
wilayah negara”. Berdasarkan UU No.17 Tahun 2006 pasal 1 ayat 14,”Ekspor
merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari pabean” sedangkan pada pasal yang
sama ayat 13 menjelaskan “import merupakan kegiatan memasukan barang
kedalam daerah pabean”.61
Perdagangan internasional merupakan salah satu motor penggerak
perekonomian serta memegang peran penting dan strategis dalam pertumbuhan
ekonomi di berbagai negara didunia termasuk Indonesia. Berkembangnya
globalisasi serta memesatkan integritas ekonomi diantara negara-negara didunia
menyebabkan semakin mudahnya arus perpindahan informasi, barang serta jasa
dari satu negara ke negara lainnya. Manfaat yang diberikan perdagangan
internasional yaitu negara dapat memproduksi barang yang memiliki keunggulan
komparatif serta mendorong masuknya investasi asing ke dalam negeri. Selain itu
dengan adanya perdagangan internasional dapat menjadikan suatu negara untuk
61 Gocklas L, Sulasmiyati S, 2017, “Analisis pengaruh IJEPA terhadap nilai perdagangan Indonesia
Jepang”, diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/188892-ID-analisis-pengaruh-
Indonesia-Japan-econom.pdf 16/11/2018, 03.35 WIB), Hal.192
56
mendapatkan akses pasar yang lebih luas bagi masuknya produk impor yang lebih
murah dan berkualitas kepasar domestik.62
Dalam hubungan internasional, terutama dalam konteks perdagangan
internasional, prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan diatur oleh World Trade
Organization (WTO). Dimana WTO merupakan organisasi internasional dibawah
United State yang mengatur akan perdagangan antar negara. WTO sendiri bertujuan
untuk memastikan bahwa perdagangan mengalir dengan lancer, dapat diprediksi
dan sebebas mungkin. Fungsi utama dari WTO sendiri yaitu sebagai forum bagi
anggotanya untuk melakukan perundingan perdagangan serta mengadministrasikan
semua hasil perundingan dan peraturan-peraturan perdagagangan internasional.
Pasal XXIV GATT 1994, WTO memperbolehkan negara anggotanya untuk
melakukan liberalisasi perdagangan baik bersifat Regional, Custom Union maupun
Bilateral selama komitmen tiap-tiap negara anggota WTO yang tergabung dalam
kerrjasama tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO yang
lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.63 Oleh karena itu
Indonesia serta Jepang yang merupakan negara anggota WTO, dapat membuat serta
memberlakukan Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)
dikarenakan sesuai dengan ketentuan yang telah diberlakukan oleh WTO, sehingga
62 S T Ardianti, 2015, Dampak perjanjian perdagangan IJEPA terhadap kinerja perdagangan
bilateral” diakses pada jurnal.kemendag.go.id/index.php/bilp/article/view/5 16/11/2018, 04.13
WIB), Hal.130 63Caterin Simamora, “World Trade Organization” diakses pada
http://pusdiklat.kemendag.go.id/v2018/kolom/world-trade-organization-wto (24/11/2018, 21.15
WIB)
57
hambatan tariff yang diberlakukan oleh kedua negara lebih diturunkan bahkan
dihilangkan dibandingkan hambatan tariff yang ditetapkan oleh WTO.
Kesepakatan perdagangan bebas dalam kerangka kerjasama Indonesia
Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) merupakan bingkai kesepatan
kerjasama ekonomi secara bilateral yang pertama kali dilakukan oleh Indonesia
Bersama mitranya. Perjanjian ini disusun secara matang agar dapat menghasilkan
manfaat bagi kedua negara secara adil, seimbang dan terukur melalui liberalisasi
akses pasar, fasilitas,dan kerjasama melalui pengembangan sektor-sektor industri
prioritas. Dalam sektor perdagangan IJEPA, Indonesia serta Jepang sama
menyetujui adanya konsensi khusus yang diberikan. Konsensi tersebut berupa
penurunan atau penghapusan tarif bea masuk yang dibagi menjadi tiga klasifikasi
yaitu: fast-track, normal-track dan pengecualian, dimana dengan memasang
rambu-rambu tindakan keamanan (emergency and safeguard measure) untuk
mencegah kemungkinan-kemungkinan yang berdampak negative terhadap industri
domestik.64
Pada produk yang berklasifikasikan fast-track presentasi tertentu dari total
pos tarif akan diturunkan ke 0% dimulai saat diberlakukannya IJEPA secara resmi.
Pada produk yang berklasifikasikan normal-track, tarif akan diturunkan menjadi
0% pada jangka waktu tertentu dari minimal tiga hingga maksimal 10 tahun bagi
Jepang serta 15 tahun bagi Indonesia. Hal ini akan dimulai sejak berlakunya IJEPA
64 Sigit setiawan, 2012, “Analisis dampak IJEPA terhadap Indonesia dan Jepang” diakses pada
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pkrb_03.%20dampak%20ijepa.pdf
(18/11/2018, 04.41 WIB), Hal. 1
58
bagi presentasi tertentu dari pos tarif. Selain konsensi tarif tersebut, terdapat pula
konsensi lainnya yaitu diaturnya suatu skema konsensi tarif khusus bagi sektor-
sektor industri tertentu dan kopensasinya melalui fasilitas pusat pengembangan
industri manufaktur. Diluar skema tarif prefensial terdapat skema khusus yang
disepakati oleh Indonesia dan Jepang, dimana Indonesia bersedia memberikan
fasilitas User Specific Duty Free Scheme (USDFS)65 kepada Jepang. Sebaliknya
Jepang harus memberikan imbalan berupa fasilitas Manufacturing Industry
Development Center (MIDEC)66 kepada Indonesia.67
Dalam trade in goods, Indonesia mengatur Elimination of Customs Duties
terhadap barang dari Jepang, dengan dasar hukum Pasal 13 Ayat (1) UU No.17
Tahun 2006 tentang kepabeanan. Selanjutnya dibagi kedalam 3 PMK diantaranya:68
- PMK No.94/PMK.011/2008 tentang modalitas penurunan tarif BM
- PMK No.95/PMK.011/2008 tentang penetapan tarif dalamIJEPA
- PMK No.96/PMK.011/2008 tentang penetapan tarif dalam bea masuk
dalam rangka USDFS
65 User Specifi Duty Free Scheme (USDFS) merupakan pembebeasan bea masuk untuk sejumlah
produk dari Jepang. Beberapa diantaranya yaitu Manufacture and Steel service center disektor
otomotif dan komponen elektronik, mesin kontruksi, alat berat, dan peralatan energi. Hal ini diatur
dlam Peraturan Menteri Keuangam (PMK) No.96/PMK.011/2008. 66 Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) merupakan kerjasama teknis dalam
rangka peningkatan daya saing industri melalui training, training for trainer, pengiriman expert,
kunjungan kerja ke industri-industri, basic study, dan workshop / seminar. 67 Ibid., 68 Direktoral Bea dan Cukai, “Petunjuk pelaksanaan impor barang dalam rangka skema IJEPA”
diakses pada http://itpc.or.jp/wp-content/uploads/pdf/ijepa/Presentasi%20IJ-
EPA%20Bea%20dan%20Cukai.pdf (04/03/2019, 10.42 WIB)
59
1.3 Perdagangan limbah dalam kerangka Indonesian Japan Economic
Partnership Agreement (IJEPA)
Limbah merupakan sesuatu yang dihasilkan dari beberapa fase aktifitas
manusia, dimana komposisi dan besar jumlahnya bergantung pada pola konsumsi,
struktur industri serta ekonomi. Sedangkan Limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun) diartikan sebagai “setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun yang karena sifatnya atau konsentrasinya atau jumlahnya baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan mencemarkan lingkungan
hidup serta membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lainnya”.69
Indonesian Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), dalam salah
satu klausul atau pasalnya menjadikan Limbah B3 sebagai barang yang dapat
diperjual belikan. Hal ini diatur dalam perjanjian IJEPA pasal 29 ayat (2) huruf (J)
yang berbunyi:70
“scrap and waste derived from manufacturing or processing operations or
from consumption in the party and fit only for disposal or for the recovery
of raw materials;”
Dimana pada pasal ini, perjanjian IJEPA memasukan limbah dari manufaktur, hasil
pengolahan industri dan hasil dari konsumsi yang tergolong sebagai barang yang
dapat diperdagangkan.
Pada kesepakatan IJEPA terdapat 15 komoditas ataupun jenis Limbah yang
tergolong Limbah B3 menurut Lampiran I dan Lampiran VIII Konvensi Basel serta
69 Setiyono, “Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3”, diakses pada
http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/view/199 (24/11/2018, 22.29 WIB) Hal: 73 70 Republik Indonesia,”Agreement Between The Republic Of Indonesia Japan For An Economic
Partnership” diakses pada http://www.kemendag.go.id/id/perdagangan-kita/agreements
(13/04/2018, 20.22 WIB)
60
PP 18/1999 PP 85/1999 yang menjadi barang yang dapat diperjual belikan. 15
komoditas tersebut adalah sebagai berikut:
3.1 Tabel daftar komoditas Limbah B3 yang diperdagangkan IJEPA.71
No Kode komoditas Deskripsi Limbah B3 Ditetapkan sebagai
Limbah B3 menurut
1. 2710.19 Limbah sisa Produksi
Minyak Bumi dan
Bitumennya
Lampiran 1 Konvensi
Basel
2. 3825.30.00.00 Limbah Klinik Lampiran 1 Konvensi
Basel
3. 3006.80.00.00 Limbah Farmasi Lampiran 1 Konvensi
Basel
4. 3825.50.00.00 Limbah dari Cairan
Asam Logam
Lampiran VIII
Konvensi Basel
5. 7802 Limbah Timbal dan
scrap-nya
Lampiran VIII
Konvensi Basel
6. 3915.30.00.00 Limbah Vinil Klorida Lampiran VIII
Konvensi Basel
7. 8107.30.00.00 Limbah Cadmium dan
scrap-nya
Lampiran VIII
Konvensi Basel
8. 8110.20.00.00 Limbah Antimony dan
scrap-nya
Lampiran VIII
Konvensi Basel
9. 8112.13.00.00 Limbah Berillium dan
scrap-nya
Lampiran VIII
Konvensi Basel
10. 8112.52.00.00 Limbah Thallium dan
scrap-nya
Lampiran VIII
Konvensi Basel
11. 8548.1 Limbah Bakteri dan Aki Lampiran VIII
Konvensi Basel
12. 7404.00.00.00 Limbah Tembaga dan
scrap-nya
PP 18/1999 junco PP
85/1999
13. 7902.00.00.00 Limbah Zinc/Seng dan
scrap-nya
PP 18/1999 junco PP
85/1999
14. 8112.22 Limbah Chromium dan
scrap-nya
PP 18/1999 junco PP
85/1999
15. 7503.00.00.00 Limbah Nikel dan
scrap-nya
PP 18/1999 junco PP
85/1999
Limbah B3 bukan hanya berbahaya bagi kesehatan manusia tetapi juga
dapat mengancam kelestarian lingkungan, dengan masuknya Limbah B3 sebagai
71 Danar Anindito, Op.Cit., Hal.67
61
komoditas yang diperjual belikan dalam perjanjian IJEPA tentu mengundang
banyak perdebatan, dimana pihak kementrian lingkungan hidup dan kehutanan
tidak dilibatkan dalam proses penandatanganan IJEPA yang hanya melibatkan
Kementrian Perdagangan, KLHH juga berpendapat bahwa perdagangan Limbah ini
dapat menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan Limbah B3 secara gratis
dari Jepang.72 Namun nilai ekonomis yang tinggi dari perputaran perdagangan
Limbah B3 membuat negara mengabaikan hal tersebut. Selain nilai ekonomis yang
tinggi, banyak pihak yang menafsirkan Limbah B3 sebagai komoditas yang
termasuk dalam pengaturan WTO, dikarenakan dalam peraturan GATT tidak
dirumuskan secara jelas mengenai apa itu produk maupun komoditas. Oleh karena
itu banyak negara yang menginterpretasikan pengaturan perdagangan Limbah B3
sama seperti perdagangan komoditas-komoditas lainnya.73 Indonesia dan Jepang
melihat adanya celah dan kesempatan yang dapat diambil dari Konvensi Basel yang
membuat kedua negara tersebut berani melakukan perdagangan Limbah B3 yaitu
Kesepakatan daur ulang, tidak terpenuhinya jumlah ratifikasi Basel Ban
Amandemen, Aturan artikel 11 Konvensi Basel yang memperbolehkan
Perdagangan Bilateral serta Kurangnya mekanisme kopensasi jika melanggar
ketentuan Konvensi Basel. Hal ini akan dijelaskan lebih dalam pada Bab IV.
Status hukum dari perdagangan IJEPA dan Konvensi Basel juga menjadi
salah satu pertimbangan dalam perdagangan Limbah B3 ini, dimana dalam
72 M. Agung Riyadi & Cavin R Manuputty, “Limbah beracun dijalur bebas hambatan” diakses pada
https://www.ekuatorial.com/id/2009/01/Limbah-beracun-di-jalur-bebas-hambatan/ (03/03/2019,
04.59 WIB) 73 Ibid
62
perjanjian internasional yang merupakan hukum formal, menggolongkan perjanjian
dalam treaty contract dan law making traeties. Dimana treaty contract merupakan
perjanjian seperti kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, yang
mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut seperti perjanjian bilateral, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan
serta perjanjian pemberatasan. Sedangkan law making treaties merupakan
perjanjian yang meletakan ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat
internasional sebagai keseluruh seperti Konvensi.74
Secara umum Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)
tegolong dalam treaty contract memiliki sifat hukum yang lebih terikat karena lebih
bersifat khusus guna memberikan kepastian hukum dalam kerjasama perdagangan
sehingga dapat menjamin hak dan kewajiban bagi pihak Indonesia dan Jepang.
Sedangkan Konvensi Basel yang tergolong dalam law making treaties, yang dimana
Konvensi merupakan aturan hukum yang diterima suatu negara yang didasarkan
pada asas kebiasaan yang timbul dan dipelihara dengan baik. Konvensi Basel ini
muncul karena pada tahun 1980-an terdapat isu akan pengelolaan Limbah B3
berbahaya yang menyebabkan pencemaran lingkungan.75 Dalam kasus ini
perjanjian IJEPA dan Konvensi Basel memiliki tingkatan hukum yang sama
dikarenakan kedua hal ini sama-sama menggunakan Peraturan Presiden sehingga
tingkatan hukumnya sama. IJEPA diatur dalam Peraturan Presiden No.36 Tahun
74 Mochtar K & Etty R.A, 2012, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT alumni, Hal:122 75 TZN Nerinina, 2017, Perjanjian Bilateral dalam mengatur perdagangan perbatasan,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/17906, Jurnal: Lex et societatis
Agustus Vol.5 No.6, (27/03/2019, 18.48 WIB)
63
2008 sedangkan Konvensi Basel yang telah diratifikasi oleh Indonesia diatur dalam
Keputusan Presiden No.61 Tahun 1993 dan dijelaskan kembali pada peraturan
presiden No.47 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden No.60 Tahun 2005. Namun
secara umum tingkatan hukum yang dimiliki oleh perjanjian bilateral lebih tinggi
dibandingkan Konvensi karena sifat Konvensi sendiri yang Soft Power.76
76 Konvensi Basel, Loc. Cit.
Top Related