87
BAB III
KEADILAN DI DALAM PERATURAN PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN DI INDONESIA
Pada bab III ini, penulis akan membahas tentang keadilan di dalam
peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Sebelum menguraikan
keadilan di dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dalam
bab ini penulis akan membahas mengenai sejarah pengaturan pertambangan
di Indonesia. Sedangkan hal yang terkait dengan pembahasan keadilan di
dalam peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia adalah kaidah
hukum asas keadilan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
Pertambangan, meliputi: PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan, UU
Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan membahas keadilan dalam
peraturan pelaksana pertambangan sebagai contoh UU Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua berkaitan dengan pemaknaan
keadilan dalam pengaturan pengelolaan pertambangan di Indonesia.
Dalam melakukan analisis atas asas keadilan dalam peraturan
pengelolaan pertambangan di Indonesia, penulis akan memakai aspek-aspek
keadilan sosial atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang
88
terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945 (lihat Bab II Sub B) dapat
dikategorikan sebagai berikut: orientasi, keberpihakan, hubungan dengan
pemilik modal, dan akses mengusahakan. Dari analisis tersebut penulis akan
dapat menginterprestasikan, jenis keadilan yang manakah terdapat dalam
peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia.
A. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia
Sejarah kegiatan usaha dan hukum pertambangan di Indonesia
menurut Soetaryo Sigit, secara resmi dapat ditemukan dalam catatan-catatan
kegiatan para geologist Belanda yang pernah melakukan survey di negeri ini.
Antara lain Ter Braake (1944) dan R .W Van Bemmelen (1949), serta
berbagai laporan tahunan Dinas Pertambangan Hindia Belanda
(“Jaarverslag Dienst Van Den Mijn Bow”).1 Berdasarkan catatan sejarah
tersebut, maka dapat diketahui pula bahwa penambangan emas, tembaga, dan
besi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera secara komersial sudah dimulai
menjelang tahun 700 Masehi. Maka pada masa itu Pulau Sumatera dikenal
sebagai Swarna Dwipa (Pulau Emas) dan Pulau Jawa dikenal sebagai Jawa
Dwipa (Pulau Beras). Selanjutnya sejak Belanda datang pada tahun 1602
Masehi, sebagai kelompok pedagang yang tergabung dalam Verenigde Ooze
Indische Company dan terkenal dengan sebutan VOC, maka mulailah era
1 IBR.Supancana, dkk, Pelaksanaan Kerjasama di Bidang Pertambangan (Mineral
dan Batubara), BPHN, Jakarta, 2008, hal 4.
89
baru dalam kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia yang lebih
modern dengan sekala yang besar pula.2
Pada tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan “Dienst van
het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah
melakukan eksplorasi geologi-pertambangan di beberapa daerah untuk
kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Hasil penemuannya antara lain
endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil
ditambang oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1891.3
Pada tahun 1899, Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan
Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214). Indische Mijnwet hanya mengatur
mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan. Oleh
karena Indische Mijnwet hanya mengatur pokok-pokok persoalan saja,
sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pelaksanaan
berupa Mijnordonnantie yang diberlakukan mulai 1 Mei 1907.
Mijnordonnantie mengatur mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja
(tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada
tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan
Mijnordonnantie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam
Mijnordonnantie 1930 tidak lagi mengatur mengenai pengawasan
2 Ibid.
3 Soetaryo Sigit dalam Aprae Vico Ranan, Upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan
Tengah Dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Usaha Pertambangan di Kalimantan
Tengah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, (Tesis: Tidak Diterbitkan), 2010,
hal 18.
90
keselamatan kerja pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam Mijn Politie
Reglement (Staatblad 1930 No. 341).4
Kebijakan politik Kolonial yang dilakukan pemerintah Belanda
dalam rangka pengelolaan sumber daya alam bahan galian di bumi Indonesia
ini, semakin terlihat sifat penjajahnya. Dengan menerapkan kebijakan
mineral yang bersifat diskriminatif, yang memberikan perlakuan yang sangat
istimewa kepada para investor swasta bangsa Belanda. Kenyataan ini
tercermin pada amandemen pertama dari Indische Mijn wet 1899, pada tahun
1910. Amandemen ini dilakukan, untuk meningkatkan minat investor swasta
asing non-Belanda dengan menambahkan Pasal 5 yang bersifat Publik
(Konsesi) dengan Pasal 5 A dari Indische Mijn Wet 1899 tersebut, yang
bersifat Kontrak (Perdata).
Bila ditinjau secara yuridis, maka kewenangan dari Kontraktor
Kontrak 5A ini tidak sekuat kewenangan yang dimiliki oleh para pemegang
Konsesi. Adapun secara lengkap amandemen Indishe Mijn Wet 1899 ini,
menurut Soetaryo Sigit adalah sebagai berikut:5
a. Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak
yang telah diberikan kepada penyelidik pemegang hak konsesi;
b. Untuk hal tersebut Pemerintah dapat melakukan sendiri
penyelidikan dan eksploitasi, atau mengadakan perjanjian dengan
perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan
4 Ibid.
5 IBR.Supancana, dkk, Op.cit, hal 15.
91
sebagaimana tercantum pada pasal 4 Undang-Undang ini dan
sesuai perjanjian itu, mereka wajib melaksanakan eksploitasi
ataupun penyelidikan dimaksud;
c. Perjanjian yang demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali bila
telah disyahkan dengan Undang-Undang.
Pelaksanaan pemberian Konsesi oleh Pemerintah Hindia Belanda ini,
dilakukan dalam rangka menetapkan politik dan kebijaksaan kolonialnya atas
kekayaan alam bahan galian di Indonesia. Undang-undang pertambangan
Hindia Belanda ini lahir, dari perkembangan politik pada waktu itu yang
dilandasi oleh alam fikiran mereka yang liberalistis dan kapitalis. Kebijakan
politik penjajah di bidang pertambangan ini telah melapangkan jalan bagi
“Konsesi Pertambangan”. Selanjutnya cengkeraman konsesi tersebut
terhadap kekayaan nasional bangsa Indonesia ini, berlangsung hingga 15
tahun kita merdeka. Tepatnya hingga tahun 1960, dengan diundangkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.37 tahun 1960 tentang
Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.44
tahun 1960 tentang Migas.6
Berlangsung terusnya cengkeraman konsesi oleh para investor asing
tersebut, atas bahan galian tambang kita ini hingga tahun 1960 disebabkan
oleh adanya ketentuan yang terdapat pada Bagian A Pasal I ayat (1)
Persetujuan KMB di Den Haag pada tahun 1948, yang menetapkan antara
lain bahwa: “Hak Konsesi yang diperoleh sejak zaman Penjajahan Belanda
6 Ibid, hal 8.
92
dan masih berlaku pada saat pengakuan kedaulatan, tetap dihormati sampai
berakhirnya masa pemberian Hak Konsesi tersebut.”7 Berdasarkan hal itulah
maka cengkeraman konsesi ini tetap dapat berlangsung terus walaupun kita
sudah merdeka, karena masa berlakunya konsesi ini dapat mencapai 75 tahun
dan Kontrak 5 A sampai 40 tahun. Perusahaan tambang asing bangsa
Belanda sebagai pemegang konsesi Pertambangan, waktu itu antara lain
adalah: Bataafsche Petroleum Maatschappijj (BPM), Nederlandsche Pacific
Petroleum Maatschappijj (NPPM) dan Nederlandsche Koloniale Petroleum
Maatschappijj (NKPM). Selanjutnya agar tidak terkesan berbau kolonial,
maka mereka segera mengganti nama perusahaan-perusahaannya tersebut,
secara berturut-turut menjadi: SCHELL, STANVAC dan CALTEX
PACIFIC.8
Keinginan Pemerintah untuk menguasai sepenuhnya pengelolaan
pertambangan, diawali oleh adanya mosi dari DPR RI kepada Pemerintah.
Mosi ini dimotori oleh seorang ahli hukum dan bekas gubernur Pertama
Propinsi Sumatera, bernama Mr. Teuku H. Mochammad Hasan. Beliau saat
itu duduk sebagai anggota DPR Komisi Perekonomian, telah melihat
berbagai kejanggalan yuridis sehubungan dengan pengelolaan kekayaan alam
nasional kita yang sebagian besar masih dikuasai oleh pihak asing sebagai
pemegang konsesi pertambangan. Hal ini menurut pandangan yuridis beliau,
7 Ibid, hal 14.
8 Ibid.
93
sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 khususnya Pasal
33 ayat (3). Maka pada tanggal 19 Juli 1951, beliau mengajukan usul kepada
Pemerintah melalui surat DPR RI No.Agd.1446/RM/DPRRI/1951, oleh
karena itu mosi tersebut terkenal sebagai Mosi Teuku Mochammad Hasan.9
Adapun beberapa pertimbangan yang mendorong beliau mengajukan usul
atau mosi tersebut, antara lain:
1) Bahwa sebagian besar ekonomi rakyat baik dalam usaha
pertambangan, maupun diluar pertambangan masih dikuasai oleh
Belanda dan pihak asing lainnya. Antara lain perusahaan-
perusahaan besar seperti KLM (maskapai Penerbangan ), KPM
(maskapai Pelayaran), BPM dan NKPM (maskapai Perminyakan)
masih dikuasai pihak Belanda. Sedangkan ekonomi menengah s/d
sedang masih dikuasai oleh sekelompok pedagang Cina;
2) Bahwa sebagian besar pengusahaan kekayaan bahan galian
tambang, berdasarkan Indische Mijn Wet 1899, masih dikuasai
oleh para pemegang Konsesi Pertambangan;
3) Bahwa bila tambang-tambang tersebut diusahakan dengan
sungguh-sungguh, maka hasilnya tentu dapat digunakan untuk
menutupi sebagian besar dari APBN. Berarti hasil pertambangan
dapat mengurangi dan sekaligus meringankan beban rakyat,
dalam kewajibannya untuk membayar pajak untuk membiayai
Negara tersebut. Dengan demikian hasil pertambangan itu telah
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat
tercapai. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) UUDS
1950 ( Pasal 33 ( 3 ) UU DASAR 1945 ).10
Sebagai reaksi positif pemerintah atas mosi tersebut, maka
Pemerintahan Soekarno waktu itu segera membentuk panitia Negara yang
berhasil menyiapkan RUU Pertambangan di awal tahun 1952. Namun
berhubung kondisi politik waktu itu yang masih tidak stabil, karena
9 Ibid, hal 18.
10 Ibid.
94
gangguan dari beberapa tokoh RIS yang masih pro Belanda dan anti
Soekarno, serta Kabinet juga jatuh bangun, maka RUU tersebut terhambat
untuk disampaikan ke DPR. Langkah selanjutnya pemerintah membentuk
berbagai perangkat untuk mendukung program nasionalisasi, dan pada tahun
1958 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang
Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang berlaku surut hingga Desember
1957. Undang-undang ini menjadi dasar pengambil alihan perusahaan
Belanda yang kemudian dimiliki secara penuh oleh pemerintah RI. Untuk
menangani perusahaan industri dan tambang milik Belanda dibentuk Badan
Penyelenggara Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT),
badan ini berada di bawah kendali Menteri Perindustrian.
Pada tahun 1960 Pemerintah Indonesia menerbitkan suatu peraturan
mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 37
Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal dengan Undang-
Undang Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya
Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan
nasional dan merupakan Undang-Undang Pertambangan nasional yang
pertama. Kemudian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960
tentang Perusahaan Negara, pemerintah menyeragamkan bentuk badan usaha
95
milik negara menjadi perusahaan negara yang pada masa itu berjumlah
sekitar 822 perusahaan negara.
Tahun 1966, lahirlah Orde Baru yang ditandai dengan perubahan
besar dalam tata kehidupan masyarakat, peran militer dan modal asing
semakin kuat dan luas. Perubahan ini dimulai ketika MPRS mengadakan
sidang umumnya yang pertama. Sidang umum tersebut menghasilkan
berbagai keputusan penting, antara lain adanya komitmen orde baru untuk
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi modal asing, termasuk dalam
pengelolaan kekayaan alam. Sebagai langkah konkrit adalah dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.XXIII/1966 tentang pembaharuan
kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Tindak lanjut
dari ketetapan MPRS dan instruksi presidium ditetapkanlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang
merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958. Selain itu
juga dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968 Tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Melengkapi Undang-undang PMA,
pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Meningkatnya sektor
pertambangan pada era Orde Baru, karena sebagian besar disebabkan oleh
sikap pemerintah yang lebih terbuka dengan modal asing.
96
Setelah hampir selama kurang lebih empat dasawarsa sejak
diberlakukannya Undang-Undang nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok pertambangan, maka lahirlah peraturan perundang-
undangan yang mengatur lebih spesifik tentang pertambangan mineral dan
batubara, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Lahirnya Undang-Undang ini disebabkan Undang-
Undang yang berlaku sebelumnya materi muatannya bersifat sentralistik dan
sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di
masa depan.
B. Asas Keadilan Dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-
Undangan Pertambangan
1. PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan
a. Law Making Proses PERPU 37 Tahun 1960
Pada era Orde Lama, kondisi politik yang diwarnai oleh gejolak dan
pertentangan yang tajam di antara partai-partai politik yang ada waktu itu,
telah mengakibatkan Dewan Konstituante sebagai produk pemilu 1955 gagal
untuk menyusun UUD yang baru guna menggantikan UUDS 1950. Dalam
kondisi yang kacau tersebut, selanjutnya Pemerintah untuk tetap berupaya
mencari dana dari luar. Pada tahun 1950 menteri perdagangan dan
perindustrian Dr. Sumitro Djojohadikusumo membentuk panitia
97
industrialisasi yang bertugas untuk menetapkan bidang-bidang usaha yang
terbuka bagi modal asing.
Walaupun dalam kondisi yang kurang stabil tersebut, maka pada
tahun 1958 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.78 Tahun 1958
tentang Penanaman modal Asing (UU PMA). Sesuai semangat ekonomi
terpimpin, maka UU PMA ini tidak memberikan peluang kepada Penanaman
Modal Asing untuk melakukan investasi langsung pada kegiatan usaha
pertambangan untuk bahan galian yang bersifat vital (Pasal 3 UU PMA).11
Kemungkinan untuk itu tetap terbuka, akan tetapi hanya melalui bentuk
pinjaman Luar Negeri dan tidak dapat ikut terlibat langsung menangani
proyek vital tersebut. Hal ini jelas sangat tidak menarik minat para investor,
karena tidak dapat ikut terlibat langsung untuk menangani proyek besar yang
memerlukan modal besar pula. Di samping itu ditambah lagi dengan kondisi
politik di dalam negeri yang tidak stabil waktu itu, maka walaupun adanya
jaminan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan waktu itu
tetap saja tidak menarik, karena tidak bersifat “bankable”.12
Demi menyelamatkan bangsa dan Negara dari pertentangan yang
semakin tajam dan perpecahan bangsa, maka Presiden Sukarno pada tanggal
5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang didukung oleh segenap
11
Ibid, hal 20.
12 Ibid, hal 21.
98
lapisan masyarakat dan Angkatan Perang. Dekrit ini menyatakan:
“Pembubaran Dewan konstituante dan kita kembali kepada UUD 1945,
selanjutnya dibentuklah DPRS dan MPRS sambil menunggu pemilu yang
akan datang.” Akibat adanya dekrit Presiden ini, maka kehidupan politik
liberal yang berlandaskan UUDS 1950 berakhir dan diganti dengan
Demokrasi Terpimpin yang melahirkan kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin
pula. Atas dasar kebijaksanaan ekonomi ini, maka mulai saat itu Pemerintah
akan terlibat langsung untuk mengurus berbagai sektor kegiatan
perekonomian yang dianggap penting dan menyangkut hajat hidup orang
banyak, salah satunya adalah sektor pertambangan. Salah satu upayanya
adalah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Prp.Tahun 1960 tentang
Pertambangan, kemudian Pemerintah berusaha lagi untuk menarik PMA
melalui pola Production Sharing (bagi hasil), yang indentik dengan
Pinjaman Modal Luar Negeri yang akan dikembalikan dari hasil produksi
bahan galian yang bersangkutan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20
Tahun 1963.13
b. Norma Hukum PERPU 37 Tahun 1960
Norma hukum atau isi dari PERPU 37 Tahun 1960 ini adalah judul,
konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul PERPU 37 Tahun
1960 adalah Pertambangan. Konsiderans, jelas di dalamnya tertuang arah dan
13
Ibid.
99
tujuan PERPU 37 Tahun 1960 ini yaitu mengatur penambangan bahan
galian di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara
perseorangan. Dalam Konsiderans dipaparkan bahwa PERPU 37 Tahun 1960
ini mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan payung hukum
pertambangan dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.14
Batang tubuh, terdiri dari 13 bab dan 31 pasal. Bab 1, berisi
penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2, Penggolongan dan
pelaksanaan penguasaan bahan galian. Bahan galian dibagi menjadi 3 yaitu
golongan bahan galian strategis, vital dan yang tidak termasuk strategis dan
vital. Strategis adalah menyangkut keamanan, perekonomian negara dan
security approach. Vital adalah yang menjamin kebutuhan hidup orang
banyak. Bab 3, bentuk dan organisasi perusahaan pertambangan. Golongan
bahan galian strategis dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk
oleh menteri, perusahaan negara, pihak swasta yang didirikan sesuai dengan
peraturan-peraturan RI bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan
berusaha dalam lapangan pertambangan dan pengurusnya memiliki
kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia, dan menurut
pertimbangan dari segi ekonomi dan pertambangan lebih menguntungkan
14
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pada
masa itu dikeluarkannya PERPU 37 Tahun 1960 karena kondisi politik Orde Lama memang
sedang diwarnai oleh gejolak antar partai.
100
bagi negara apabila diusahakan oleh swasta serta rakyat, yaitu bahan galian
yang sedemikian kecil sehingga lebih menguntungkan jika diusahakan secara
sederhana atau kecil-kecilan. Golongan bahan galian vital dilaksanakan oleh
instansi pemerintah (perusahaan negara atau daerah) dan badan atau
perseorangan swasta yang memenuhi syarat seperti di atas serta badan
hukum koperasi.
Bab 4, usaha pertambangan, meliputi penyelidikan umum eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Bab 5,
kuasa pertambangan. Dalam usaha pertambangan hanya boleh dilakukan
oleh pihak yang mempunyai kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan
diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam kuasa pertambangan untuk
usaha pertambangan terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: 15
a) tidak boleh mengganggu pertambangan rakyat yang telah ada
b) tidak meliputi tempat tertutup untuk kepentingan umum
c) tidak meliputi makam-makam, tempat yang dianggap suci, pekerjaan-
pekerjaan kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya
d) tidak meliputi tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain
e) tidak meliputi bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-
pabrik beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali ada ijin yang
berkepentingan.
Bab 6, cara dan syarat-syarat memperoleh kuasa pertambangan.
Untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada menteri dan syarat-
syaratnya diatur dengan PP. Bab 7, tentang berakhirnya kuasa pertambangan
ada 3 (tiga), yaitu: dikembalikan, dibatalkan, dan habis waktunya.
15
Lihat Pasal 12 PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan.
101
Dikembalikan, adalah dikembalikan kepada menteri dengan pernyataan
tertulis dan disetujui menteri. Dibatalkan, dapat dibatalkan dengan Kepmen
jika pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam PP dan atau ingkar dalam menjalankan perintah-perintah dan petunjuk
dari negara. Bab 8, hubungan kuasa pertambangan dengan hak tanah.
Pemegang kuasa pertambangan wajib memberikan ganti rugi akibat
usahanya kepada pemegang hak atas tanah, baik disengaja maupun tidak.
Bab 9, pungutan-pungutan negara. Pemegang kuasa pertambangan
membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau
eksploitasi dan pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa
pertambangan yang bersangkutan. Bab 10, pengawasan pertambangan. Tata
usaha dan pengawasan pekerjaan dan pelaksanaan pertambangan dipusatkan
kepada Departemen yang lapangan tugasnya meliputi pertambangan.
Bab 11, ketentuan-ketentuan pidana. Kualifikasinya tindak pidana
kejahatan dan pelanggaran. Unsur kesalahan adalah adanya unsur
kesengajaan. Ancaman pidana berupa penjara, kurungan dan denda. Jenis
perbuatan pidana:16
1) tidak mempunyai kuasa pertambangan, namun melakukan usaha
pertambangan.
2) melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban
terhadap pemegang hak atas tanah,
3) merintangi usaha pertambangan yang syah,
16
Lihat Pasal 26 s/d Pasal 29 PERPU 37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan.
102
4) pemegang hak atas tanah merintangi usaha pertambangan padahal
kewajiban sudah terpenuhi,
5) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi kewajibannya,
6) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat,
7) pemegang kuasa tidak melakukan perintah dan/atau petunjuk
negara.
Bab 12, ketentuan-ketentuan peralihan. Semua hak pertambangan
perusahaan dan/atau perseorangan yang bukan Perusahaan Negara, yang
diperoleh berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, tetap dapat dijalankan untuk
jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Bab 13, Ketentuan-ketentuan
penutup. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku
pada hari diundangkan, dan dapat disebut "Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Pertambangan".
c. Asas Keadilan Dalam PERPU 37 Tahun 1960
1. Orientasi
PERPU 37 Tahun 1960 merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia tertanggal
5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia tersebut 17 Agustus 1959, sebagai
yang ditegaskan dalam amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 yang
mewajibkan Negara untuk mengatur penambangan bahan galian di seluruh
wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan—hal inilah
103
yang menjadi orientasi dalam PERPU 37 Tahun 1960. Dari konsideran
tersebut maka dapat dijabarkan ada dua orientasi dalam PERPU 37 Tahun
1960, yaitu:
a. Kedaulatan negara.
Hal tersebut tercermin dari Pasal 2 ayat (1) PERPU 37 Tahun 1960:
“Segala bahan galian yang berada di dalam, di atas dan di bawah
permukaan bumi, dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
yang merupakan letakan-letakan atau timbunan-timbunan alam
adalah kekayaan nasional dan dikuasai oleh Negara”17
Pada dasarnya prinsip kedaulatan negara yang diadopsi dalam
PERPU 37 Tahun 1960 sama dengan apa yang pada Indische Mijnwet 1899.
Namun terdapat perubahan yang signifikan antara lain, perubahan dari sistem
konsesi ke sistem pengusahaan pertambangan yang mana kegiatan usaha
pertambangan dilakukan oleh negara atau daerah. Kalaupun sebuah badan
usaha swasta hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan dilakukan
melalui usaha bersama negara atau daerah.
b. Kemakmuran rakyat.
Dari kandungan konsideran PERPU 37 Tahun 1960 sangat terasa
bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia cukup dijamin. PERPU
37 Tahun 1960 ingin penambangan bahan galian di seluruh wilayah
kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—
dengan demikian nasionalisme Indonesia jika ingin difungsikan dalam
17
Lihat Pasal 2 ayat (1) PERPU 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan.
104
kenyataan tidak harus sekedar ditujukan untuk melawan eksploitasi dan
dominasi asing dalam politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga harus
dihadapkan kepada unsur kolonial domestik. Hal ini tercermin dalam Pasal 8
PERPU 37 Tahun 1960: Pelaksanaan pertambangan golongan bahan galian
yang vital dapat dikuasakan kepada pihak swasta yaitu badan hukum yang
didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia, bertempat
kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan
pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan
bertempat tinggal di Indonesia; dan juga perseorangan yang
berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Namun
dalam Penjelasan Pasal 8 PERPU 37 Tahun 1960 menegaskan bahwa
ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menjamin kepentingan
masyarakat seluruhnya. Dalam pelaksanaannya akan diberikan pengutamaan
kepada Koperasi. Hal ini sesuai dengan cita-cita keadilan Soekarno yang
pernah mengatakan bahwa:
“Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial
ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil
dan makmur, makmur dan adil, dengan menggunakan alat-alat
industri, alat-alat teknologi yang sangat modern....Tetapi
industrialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan
umum.”18
2. Keberpihakan
18
Soekarno, Op.cit, hal 295.
105
Dalam konsiderans PERPU 37 Tahun 1960 dinyatakan bahwa untuk
mencapai kemakmuran rakyat dilakukan baik secara gotong-royong maupun
secara perseorangan. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama
pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama—amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.19
Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan
gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan
dapat memahami nilai keadilan sosial yang berujung pada kemakmuran
rakyat. Dari hal tersebutlah maka dalam keberpihakan PERPU 37 Tahun
1960 ini pro-rakyat.
3. Hubungan Dengan Pemilik Modal
Dalam PERPU 37 Tahun 1960, mengijinkan Pemerintah menarik
modal asing untuk mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan
berdasarkan pola production sharing contract seperti yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 1963.20
Pola bagi hasil ini pada
dasarnya tidak lain berupa peminjaman modal dari pihak asing yang akan
dibayar kembali dengan hasil produksi.21
Production Sharing Contract
mempunyai beberapa ciri utama, yaitu :22
19
Saafroedin Bahar (ed), Op.cit, hal 82. 20
Departemen Pertambangan dan Energi, Op cit, hal. 265. 21
Abrar Saleng, Op cit, hal. 70. 22
Haris Retno Susmiyati, Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing
Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal
Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol 2 No 2, Desember 2006, hal 99.
106
a. Manajemen ada di tangan negara (perusahaan negara)
Negara ikut serta dan mengawasi jalannya operasi pertambangan
minyak dan gas bumi secara aktif dengan tetap memberikan
kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator dan
menjalankan operasi di bawah pengawasannya. Negara terlibat
langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang
biasanya dijalankan dengan mekanisme persetujuan (approval). Inti
persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh mana persetujuan
negara atau perusahaan negara diperlukan dalam proses pengambilan
keputusan.
b. Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)
Kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu
biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari
hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari pertambangan
yang dihasilkan. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus
selalu penggantian penuh (full recovery). bisa saja hanya sebagian
tergantung dari hasil negosiasi.
c. Pembagian hasil produksi (production split)
Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan
kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh
107
kontraktor dan pemasukan dari sisi negara. Besaran pembagian hasil
produksi ini berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor.
d. Pajak (Tax)
Pengenaan pajak dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor,
besarannya dikaitkan dengan besarnya pembagian hasil produksi
antara negara dengan kontraktor. Prinsipnya adalah semakin besar
bagian negara maka pajak penghasilan yang dikenakan atas
kontraktor akan semakin kecil.
e. Kepemilikan asset ada pada negara (perusahaan negara)
Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan
operasi menjadi milik perusahaan negara segera setelah dibeli atau
setelah depresiasi. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang
disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah beralih kepada
kontraktor.
4. Akses Mengusahakan
Dalam PERPU 37 Tahun 1960, peran negara (melalui Perusahaan
Negara) dan atau daerah (Perusahaan Daerah) menjadi otoritas yang selalu
terlibat dalam kegiatan usaha pertambangan. Pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan dilakukan oleh negara (Perusahaan Negara) atau oleh negara
bersama-sama daerah untuk bahan galian strategis. Kemudian pelaksanaan
kegiatan pertambangan bahan galian vital dilakukan oleh negara (Perusahaan
108
Negara) atau daerah (Perusahaan Daerah) serta dilakukan oleh Badan atau
perorangan swasta yang melakukan usaha bersama dengan negara atau
daerah dimana harus Badan usaha tersebut harus berbadan hukum Indonesia
dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk bahan galian yang bukan
termasuk bahan galian strategis dan bahan galian vital diatur oleh
Pemrerintah Daerah Tk. I (Pemerintah Provinsi). Melihat ketentuan tersebut,
maka perusahaan asing tidak dapat secara langsung melakukan kegiatan
usaha pertambangan di Indonesia bahkan untuk bahan galian non-strategis
dan atau bahan galian non-vital sekalipun. Dalam hal inilah mencegah
adanya exploitation de I’homme par I’homme.
Pengusahaan pertambangan terhadap bahan-bahan galian
sebagaimana tersebut di atas (strategis dan vital) hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh Kuasa Pertambangan. Pendapatan negara melalui
PERPU 37 Tahun 1960 didapat dari pungutan-pungutan terhadap iuran pasti,
iuran eksplorasi dan/atau eksplotasi dan/atau pembayaran-pembayaran
lainnya yang berhubungan dengan pemberian kuasa pertambangan yang
bersangkutan. Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap Hak
Masyarakat Adat yaitu, masyarakat yang terkena dampak negatif secara
langsung dari kegiatan usaha pertambangan sebagaimana terdapat dalam
Pasal 21 PERPU 37 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa mereka yang
berhak atas tanah diwajibkan memperkenankan pekerjaan pemegang kuasa
109
pertambangan atas tanah yang bersangkutan, jika kepadanya sebelum
pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau
salinannya yang syah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-
pekerjaan itu akan dilakukan, diberi ganti kerugian atau jaminan ganti
kerugian itu terlebih dahulu. Selain itu, Pemegang kuasa pertambangan
diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu
yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah, dengan tidak
memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan
sengaja, maupun kerugian yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih
dahulu. Analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam PERPU 37
Tahun 1960 mencerminkan usaha untuk mewujudkan keadilan sosial.
2. UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan
a. Law Making Proses UU Nomor 11 Tahun 1967
Pada pasca Pemerintahan Orde lama, maka Pemerintah Orde Baru
mulai menata kehidupan politik kembali dan memprioritaskan pembangunan
ekonomi, berdasarkan Tap MPRS Nomor XXIII-/MPRS/1966. Dalam
pembangunan di bidang pertambangan, Tap MPRS ini menetapkan antara
lain :23
23
Soetaryo Sigit, Perkembangan Pertambangan di Indonesia, Yayasan Krida
Caraka Bumi, Dept.Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1994, hal 108.
110
1) Kekayaan potensial yang terdapat dalam alam Indonesia perlu
digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi riil,
(Pasal 8 Bab II);
2) Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat
dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta
pembangunan Indonesia (Pasal 10 Bab II );
3) Dengan mengingatnya terbatasnya modal dari luar negeri, perlu
segera ditetapkan undang-undang tentang modal asing dan modal
domestic (Pasal 62 bab VIII );
Dengan menelaah isi Tap MPRS tersebut di atas, maka terlihat jelas
bahwa ketetapan yang dilakukan oleh Lembaga Tertinggi Negara tersebut,
adalah sangat tepat. Terutama ditujukan untuk pembangunan di bidang
pertambangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sekaligus
sebagai andalan utama penghasil devisa waktu itu. Untuk mendukung
amanat MPRS tersebut, maka UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan dan UU No. 78 Tahun 1958 tentang PMA, perlu direvisi dan
disesuaikan dengan maksud dan tujuan amanat MPRS tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Departemen perindustrian
dan Pertambangan waktu itu, segera membentuk panitia penyusun RUU
Pertambangan yang diketuai oleh Soetaryo Sigit.24
Selanjutnya hasil kerja
panitia ini, sudah dapat diajukan ke sidang DPR menjelang pertengahan
tahun 1967. Maka dimulailah babak baru dalam bisnis pertambangan di
Indonesia, yang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai revisi UU No. 78
24
IBR.Supancana, dkk, Op.cit, hal 22.
111
Tahun 1958. Dimana dalam dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 ini ditetapkan bahwa: “Penanaman Modal Asing di bidang
Pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas
dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku”.
Untuk lebih mendukung masuknya PMA di bidang pertambangan ini, maka
menjelang akhir tahun 1967 Pemerintah mengundangkan Undang-Undang
No.11 Tahun 1967 sebagai penyempurnaan Undang-undang No.37 Prp.1960
yang belum berhasil menarik minat investor.
b. Norma Hukum UU Nomor 11 Tahun 1967
Norma hukum atau isi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
ini adalah judul, konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul,
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Judul ini kurang tepat karena
adanya kata pokok. Idealnya ketentuan pokok hanya satu, dalam hal ini
adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Alasannya
dapat dilihat pada pasal 1 UUPA yang menyebutkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan bagian dari agraria.
Pada masa ini perundang-undangan trendnya menggunakan istilah ketentuan-
ketentuan pokok.
Konsiderans, jelas di dalamnya tertuang arah dan tujuan Undang-
undang ini yaitu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang
112
dikemukakan oleh W.W Rostow25
. Jadi tujuannya adalah bukan pemenuhan
target, tetapi pertumbuhan ekonomi yang bertujuan mengadakan eksploitasi
besar-besaran terhadap sumber daya alam. Seharusnya dalam konsiderans
dicantumkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA karena
dianggap sebagai payung dari undang-undang keagrariaan di Indonesia.
Pencantuman Keppres RI No.163 tahun 1966 dan Keppres RI No.171 tahun
1967 tidak tepat karena peraturan ini berada di bawah UU. Aturannya
peraturan yang berada di bawahnya tidak boleh menjadi konsiderans.
Batang tubuh, terdiri dari 12 bab dan 37 pasal. Bab 1 ketentuan
umum berisi penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam. Bab 2
Penggolongan dan pelaksanaan penguasaan bahan galian. Bahan galian
dibagi menjadi 3 yaitu golongan bahan galian strategis, vital dan yang tidak
termasuk strategis dan vital. Strategis adalah menyangkut keamanan,
perekonomian negara dan security approach. Vital adalah yang menjamin
kebutuhan hidup orang banyak. Bab 3, bentuk dan organisasi perusahaan
pertambangan. Golongan bahan galian strategis dilaksanakan oleh instansi
25
W.W. Rostow merupakan seorang ekonom Amerika Serikat yang menjadi
Bapak Teori Pembangunan dan Pertumbuhan. Tahapan teori pertumbuhan ekonomi Rostow
yaitu: masyarakat tradisional, Prakondisi tinggal landas, masyarakat tinggal landas, menuju
kedewasaan, high konsumsi. Di Indonesia teori Rostow pada masa Orde Baru dilaksanakan
sebagai landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala
untuk waktu 5 tahunan, yang terkenal dengan rencana pembangunan 5 tahun (Repelita).
Dengan dasar teori ini, seringkali Negara harus melakukan mobilisasi seluruh kemampuan
modal dan sumber daya alamnya sehingga mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10%
dari pendapatan nasionalnya. Efek dari teori itu adalah terjadi eksploitasi besar-besaran
terhadap sumber alam dan bahan-bahan mentah, tanpa mempertimbangkan kelestarian alam
dan pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang. Lihat Arief Budiman, Teori
Pembangunan Dunia Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal 26.
113
pemerintah yang ditunjuk oleh menteri, perusahaan negara, pihak swasta
yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan RI bertempat kedudukan di
Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan dan
pengurusnya memiliki kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di
Indonesia, dan menurut pertimbangan dari segi ekonomi dan pertambangan
lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh swasta serta
rakyat, yaitu bahan galian yang sedemikian kecil, sehingga lebih
menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan.
Golongan bahan galian vital dilaksanakan oleh instansi pemerintah
(perusahaan negara atau daerah) dan badan atau perseorangan swasta yang
memenuhi syarat seperti di atas serta badan hukum koperasi. Terdapat 3 jenis
hak pengusahaan pertambangan, yaitu kuasa pertambangan, kontrak karya
dan pertambangan rakyat. Kuasa pertambangan diberikan untuk semua jenis
bahan tambang golongan A dan B dan tertutup bagi modal asing. Kontrak
karya merupakan hak pertambangan yang membuka peluang modal asing
untuk investasi di Indonesia. Pertambangan rakyat adalah hak yang dapat
diperoleh rakyat setempat (tempat bahan tambang) dengan luas dan waktu
yang sangat terbatas.
Bab 4, usaha pertambangan, meliputi penyelidikan umum eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Bab 5,
kuasa pertambangan. Dalam usaha pertambangan hanya boleh dilakukan
114
oleh pihak yang mempunyai kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan
dapat diberikan kepada semua di atas, selain rakyat (pertambangan rakyat).
Dalam kuasa pertambangan untuk usaha pertambangan terdapat beberapa
ketentuan, di antaranya:26
a) tidak boleh mengganggu pertambangan rakyat yang telah ada
(kecuali untuk kepentingan negara)
b) tidak boleh dilakukan di tempat tertutup untuk kepentingan umum,
lapangan-lapangan dan bangunan-bangunan pertahanan.
c) makam-makam, tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan
kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya
d) tempat-tempat usahan pertambangan lain
e) bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik beserta
tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali ada ijin yang
berkepentingan.
Bab 6, cara dan syarat-syarat memperoleh kuasa pertambangan.
Untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada menteri dan syarat-
syaratnya diatur dengan PP. Bab 7, tentang berakhirnya kuasa pertambangan
ada 3 (tiga), yaitu: dikembalikan, dibatalkan, dan habis waktunya.
Dikembalikan, adalah dikembalikan kepada menteri dengan pernyataan
tertulis dan disetujui menteri. Dibatalkan, dapat dibatalkan dengan Kepmen
jika pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam PP dan atau ingkar dalam menjalankan perintah-perintah dan petunjuk
dari negara.
26
Lihat Pasal 16 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
115
Bab 8, hubungan kuasa pertambangan dengan hak tanah. Pemegang
kuasa pertambangan wajib memberikan ganti rugi akibat usahanya kepada
pemegang hak atas tanah, baik disengaja maupun tidak. Selain itu pemegang
hak atas tanah juga wajib memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa
pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat, alurnya
adalah: 27
1) pemegang kuasa pertambangan dan pemilik hak atas tanah
bermufakat tentang besarnya ganti rugi, jika tidak tercapai
2) penentuan ganti rugi oleh menteri jika pemilik tidak menyetujui
3) diserahkan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.
Bab 9, pungutan-pungutan negara. Pemegang kuasa pertambangan
membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau
eksploitasi dan pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa
pertambangan yang bersangkutan. Untuk daerah tingkat I dan II juga
dilakukan pungutan-pungutan tersebut. Bab 10, pengawasan pertambangan.
Pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada menteri, meliputi
keselamatan kerja, pengawasan produksi, kegiatan lainnya yang menyangkut
kepentingan umum. Selain itu pemegang kuasa pertambangan juga
diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat
sekitarnya.
27
Lihat Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
116
Bab 11, ketentuan pidana. Subyek hukumnya adalah orang
perorangan, badan hukum, negara (pemerintah pusat maupun daerah).
Kualifikasinya tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Unsur kesalahan
adalah adanya unsur kesengajaan. Ancaman pidana berupa penjara, kurungan
dan denda. Jenis perbuatan pidana: 28
1) melakukan usaha pertambangan tanpa surat kuasa pertambangan,
2) melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban
terhadap pemegang hak atas tanah,
3) merintangi usaha pertambangan tanpa mempunyai hak atas tanah,
4) pemegang hak atas tanah merintangi usaha pertambangan padahal
kewajiban sudah terpenuhi,
5) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi kewajibannya,
6) pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat,
7) pemegang kuasa tidak melakukan perintah dan/atau petunjuk.
Bab 12, ketentuan peralihan dan penutup. Untuk pelaksanaan lebih
lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 membutuhkan peraturan
pelaksana, berupa peraturan pemerintah. Namun ternyata belum semua
peraturan pelaksana tersebut dapat terbentuk. Sehingga dalam
pelaksanaannya karena belum ada peraturan yang mengatur maka dalam
kegiatannya menggunakan peraturan lama atau menurut penafsiran
pemerintah sendiri. Sehingga seringkali pihak-pihak yang berkuasa bertindak
untuk keuntungan sendiri dan mengesampingkan kepentingan rakyat—alasan
yang sering digunakan adalah untuk kepentingan umum.
28
Lihat Pasal 31 s/d Pasal 34 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan.
117
c. Asas Keadilan Dalam UU Nomor 11 Tahun 1967
1. Orientasi
Sejak dari konsiderans sudah terlihat bahwa UU Nomor 11 Tahun
1967 beorientasi kepada eksploitasi. Ketentuan “Menimbang” huruf a
menyatakan, bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan
ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur, materil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah
dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap
kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan
ekonomi riil. Eksploitasi tambang yang diusung oleh UU Nomor 11 Tahun
1967 memang sejalan dengan politik pembangunan ekonomi yang
digerakkan oleh rezim yang berkuasa saat itu (1967), yaitu pada masa-masa
awal pemerintahan orde baru. Orientasi seperti itu semakin terlihat pada
ketentuan “Menimbang” huruf b, UU Nomor 11 Tahun 1967 dikeluarkan
dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia di
masa sekarang dan di kemudian hari. Landasan filosofis, yang menyiratkan
tujuan dari UU Nomor 11 Tahun 1967 untuk mengembangkan usaha-usaha
pertambangan, memberi warna bagi isi UU Nomor 11 Tahun 1967 pasal
demi pasal.
2. Keberpihakan
118
Sejalan dengan orientasinya yang bersifat eksploitatif, UU ini
cenderung lebih berpihak kepada para pemilik modal atau pengusaha di
bidang pertambangan (prokapital). Dalam Penjelasan Umum Alinea 4 UU ini
dapat diketahui bahwa latar belakang lahirnya UU ini adalah untuk
kepentingan usaha di bidang pertambangan. Misi eksploitasi dan prokapital
tersebut mewarnai isi atau batang tubuh UU ini. Hal ini tergambar, salah
satunya, dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 5 sampai dengan 12 yang
mengatur tentang “Bentuk dan Organisasi Perusahaan Pertambangan”.
Konsep dasar penguasaan Negara atas bahan galian tambang,
dipertegas dalam Pasal 1 Undang-undang No. 11 tahun 1967: “Segala bahan
galian yang terdapat di wilayah hukum pertambangan Indonesia yang
merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai
dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Jika kita mengkaji tujuan hukum yang ada dalam Undang-undang Nomor 11
tahun 1967, pada bagian menimbang adalah untuk :29
a. Mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dalam
menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan
spirituil berdasarkan Pancasila;
b. Perlu adanya pengerahan semua dana dan daya untuk mengolah dan
membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan
menjadi kekuatan ekonomi;
29
Lihat Konsiderans UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan.
119
Berdasarkan konsep dasar dalam Pasal 1 Undang-undang No. 11
tahun 1967, merupakan pengakuan pembentuk Undang-undang bahwa :30
a. Bahan-bahan galian tambang yang ada di Bumi Indonesia merupakan
Karunia Tuhan Yang Maha Esa;
b. Negara menguasai bahan galian tersebut untuk diperuntukkan sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Pengakuan penguasaan negara atas bahan galian dengan demikian
jelas tujuannya adalah diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Demikian pula tujuan dari UU Nomor 11 Tahun 1967 adalah meningkatkan
perekonomian negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada
konsep ini terlihat masih ada kesesuaian tujuan dengan teori hukum, bahwa
tujuan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan. Pernyataan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat mengandung unsur di dalamnya keadilan dan
kemanfaatan.
Namun jika ditinjau ke dalam substansi Undang-undang Nomor 11
tahun 1967, terdapat beberapa perbedaan dari tujuan semula untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dan pandangan teori hukum bahwa hukum
ditujukan untuk menciptakan keadilan dan kemanfaatan. Beberapa substansi
yang tidak konsisten :
a. Tidak ada perlindungan khusus bagi pertambangan rakyat
30
Lihat Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
120
Suatu usaha pertambangan dapat dilakukan oleh perseorangan atau
perusahaan yang kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan, hal
ini diatur dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 1967.
Menurut Pasal 2 (i), yang dimaksud dengan kuasa pertambangan adalah
wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk
melaksanakan usaha pertambangan. Bagi pertambangan rakyat dapat
diberikan kuasa pertambangan jika mendapatkan ijin pertambangan
(Pasal 11 ayat (2)). Ketentuan tersebut tanpa maksud memberikan
perlindungan khusus membawa dampak hampir semua pertambangan
skala besar di Indonesia dikuasai modal asing, sehingga sebagian besar
keuntungan dari usaha pertambangan di Indonesia akan lari keluar
negeri. Sementara masyarakat adat yang telah menambang secara
turun-temurun tidak mendapatkan ijin pertambangan. Berdasarkan
ketentuan ini maka jelas tujuan menciptakan kemakmuran sebesar-
besarnya tidaklah terwujud.
b. Masyarakat pemilik hak atas tanah tidak memiliki hak tolak terhadap
pertambangan.
Di dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, dinyatakan
apabila telah didapat ijin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau
wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang
berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang
121
kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat
kepadanya:
a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa
pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan tentang
maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akan dilakukan ;
b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih
dahulu.
Berdasarkan ketentuan tersebut nampak bahwa tidak ada peluang bagi
masyarkat untuk menolak beroperasinya perusahaan pertambangan,
hak masyarakat hanyalah menerima ganti rugi saja. Ketentuan ini jelas-
jelas dapat merugikan kepentingan pemilik hak atas tanah yang
mungkin mempunyai orientasi lain untuk mengusahakan tanahnya
selain pertambangan. Ketentuan ini jelas mengesampingkan nilai-nilai
keadilan.
c. Hak Pemegang hak atas tanah terpinggirkan
Secara substansi ketentuan tentang hak-hak atas tanah dalam UU
Pokok Pertambangan ini rentan menimbulkan konflik dengan
pemegang hak atas tanah, hal ini terjadi karena kepentingan pemegang
hak atas tanah harus terpinggirkan ketika berhadapan dengan pemegang
122
kuasa pertambangan. Meskipun hak untuk mendapat ganti kerugian
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 27, yaitu :31
a. Apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan
dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak
diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara
pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah
tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian
sekali atau selama hak itu tidak dapat diperguanakan.
b. Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka
penentuannya diserahkan kepada Menteri.
c. Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri
tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini,
maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.
d. Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) Pasal ini
beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan
kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.
e. Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah
yang di atasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah
tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali
dengan persetujuan Menteri.
d. Kriminalisasi Rakyat
Masyarakat yang berhadapan dengan perusahaan pertambangan harus
menghadapi upaya kriminalisasi.32
Bahkan upaya kriminalisasi tersebut
31
Lihat Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. 32
Kriminalisasi menurut kamus hukum merupakan proses yang memperlihatkan
perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan
sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
1992, hal 232.
123
dilegalkan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 Pasal
32 yang ditentukan bahwa :33
1. Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun
dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah,
barangsiapa yang tidak berhak atas tanah merintangi atau
mengganggu usaha pertambangan yang sah.
2. Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan
dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah,
barang siapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu
usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa
pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 26 dan 27 Undang-undang ini.
3. Hubungan dengan pemilik modal.
Dalam UU No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan, hubungan
dengan pemilik modal diikat dengan perjanjian kontrak karya. Pasal 10 UU
No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
menyatakan bahwa:
(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum
atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau
Perusahaan Negara ybs selaku pemegang kuasa pertambangan.
(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Instansi Pemerintah atau
Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman,
petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.
(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah
disyahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR
apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai
bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 UU ini
dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk PMA.
33
Lihat Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
124
Perjanjian karya merupakan perjanjian antara instanstansi pemerintah
atau perusahaan Negara sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan
kontraktor yang ditunjuk oleh Menteri. Hal ini dilakukan jika diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang
bersangkutan. Pasal ini menjadi dasar untuk “kontrak karya” baik dengan
pihak modal dalam Negeri mau pun dengan modal Asing (Penjelasan Pasal
10).
4. Akses Mengusahakan.
Hal ini ditunjukkan pada hubungan antara orang dengan tambang
atau bahan galian dalam UU ini disebut dengan “kuasa pertambangan”. Pasal
2 huruf (i) UU ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kuasa
pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan
untuk melaksanakan usaha pertambangan.
Analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam UU Nomor 11
Tahun 1967 tidak mencerminkan usaha untuk mewujudkan keadilan sosial,
keadilan dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 hanyalah keadilan keadilan
distributif yaitu keadilan yang tidak memberikan hak sama kepada setiap
orang, tapi keadilan yang memberikan hak proporsionalitas/kesebandingan
dalam penerapannya. Keadilan distributif dalam UU Nomor 11 Tahun 1967
berfokus pada distribusi.
125
Pada masa UU No 11 Tahun 1967, pengertian ”dikuasai negara” telah
bergeser dari ”pemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi
”penguasaan secara tidak langsung”. Hal ini terjadi karena pemerintah
menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam secara langsung
memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat
besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi
(high risk). Hubungan dengan pemilik modal bersifat kontrak karya. Dalam
hal ini, maka Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa
dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang
dikuasainya. Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan
perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya
alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi “Yang
Publik.” Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang
dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara
Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan” suatu hak atas sumberdaya
alam pertambangan.
Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor ini pada
masa UU No 11 Tahun 1967 dapat menggeser urusan publik ke dalam ruang
bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu
pemerintahan yang demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy.
Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orang-orang di dalam
126
pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif
ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga ditelaah dari konsep
hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Implementasi
hubungan hukum pemanfaatan pertambangan dilakukan dengan MoU dan
Kontrak Kerjasama oleh Pemerintah berkedudukan sederajat. Bukan
administrasi perizinan yang satu arah. Ketentuan ini jelas mengesampingkan
nilai-nilai keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berorientasi
kepada kemakmuran rakyat.
3. UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
a. Law Making Proses UU Nomor 4 Tahun 2009
Pada era Reformasi Undang-Undang yang merupakan produk Orde
Lama yang tidak sesuai dengan rakyat Indonesia dirubah, salah satunya
adalah Undang-undang mengenai pertambangan dengan merumuskan UU
Minerba. Tujuan dari dirumuskannya UU Minerba oleh pemerintah dan
parlemen (DPR) adalah untuk menggantikan UU No.11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman ditingkat nasional maupun global.
Selain itu, perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi menjadi dasar
utama lahirnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba).
127
Problem terbesar dari UU No.11 Tahun 1967 adalah sistem perjanjian
atau kontrak tambang. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak
Karya (KK). Sementara dalam industri tambang batubara ada istilah
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa
Pertambangan (KP). Sistem kontrak ini memposisikan negara dan korporasi
tambang secara sejajar. Dalam rezim kontrak, negara dipandang sebagai
mitra bisnis perusahaan tambang yang tidak memiliki sifat superior. Hal
inilah yang membuat negara selalu ‘impotent’ ketika berhadapan dengan
korporasi dalam perumusan pembaruan kontrak, penarikan royalti dan
pajak, juga di saat kasus-kasus lingkungan dan sosial bermunculan. Posisi
negara yang lemah dalam UU No.11 Tahun 1967 inilah yang berusaha untuk
dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui UU No.4 Tahun 2009 tentang
Minerba tersebut. Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam
tata kelola industri tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim
kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan. Berdasarkan hal itulah maka UU
No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009.
b. Norma Hukum UU Nomor 4 Tahun 2009
Norma hukum atau isi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah
judul, konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul UU Nomor 4
128
Tahun 2009 adalah Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam konsiderans
tertuang arah UU ini yaitu:34
a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan;
c. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang
merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi,
minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting
dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan;
d. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional
maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak
sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-
undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang
dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara
secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan
berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional
secara berkelanjutan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Batang tubuh, terdiri dari 26 bab dan 175 pasal. Bab 1, Ketentuan
Umum yang berisi penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2, Asas
34
Lihat Konsiderens UU UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
129
dan Tujuan yang menjelaskan asas dan tujuan dari UU Nomor 4 Tahun 2009
ini, yaitu:35
Pasal 2
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
b. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
c. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang
berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan
usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan
berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional
agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara.
Bab 3, Penguasaan mineral dan batubara. Mineral dan batubara
sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
35
Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
130
Bab 4, Kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.
Bab ini membagi dan menjelaskan rincian kewenangan dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara. Kewenangan dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dibagi menjadi: kewenangan pemerintah
pusat, kewenangan pemerintah propinsi dan kewenangan pemerintah
propinsi kabupaten/kota.
Bab 5, Wilayah Pertambangan. Wilayah Pertambangan ditetapkan
oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan:36
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi
pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan
lingkungan; dan
c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.
Wilayah Pertambangan terdiri atas:37
a. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP,
adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data,
potensi, dan/atau informasi geologi.
b. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR,
adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha
pertambangan rakyat.
c. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN,
adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan
strategis nasional.
36
Lihat Pasal 10 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. 37
Lihat Pasal 13 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
131
Bab 6, Usaha Pertambangan. Usaha pertambangan dikelompokkan
atas: pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Penggolongan
mineral dan batubara dalam UU Minerba terdiri dari mineral radioaktif,
mineral logam, mineral bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan
dalam UU sebelumnya bahan galian digolongkan ke dalam, bahan galian
strategis, vital, non strategis dan non vital. Usaha pertambangan
dilaksanakan dalam bentuk:38
a. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
b. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
c. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut
dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Bab 7, Izin Usaha Pertambangan. Pemegang IUP Eksplorasi dan
pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan. Ijin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap:39
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
38
Lihat Pasal 35 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. 39
Lihat Pasal 36 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
132
Bab 8. Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan. Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP serta
memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi kepada masyarakat
secara terbuka. Usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan
administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan
finansial.
Bab 9, Izin Pertambangan Rakyat. Bupati/walikota memberikan IPR
terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat dan/atau koperasi. Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat
diberikan kepada perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare, kelompok
masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare, dan/atau koperasi paling banyak
10 (sepuluh) hektare dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
Bab 10, Izin Usaha Pertambangan Khusus. IUPK diberikan oleh
Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. IUPK terdiri atas dua
tahap:40
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan.
40
Lihat Pasal 76 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
133
Bab 11, Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus.
Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha
pertambangan di WIUPK serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK
Operasi Produksi kepada masyarakat secara terbuka. Badan usaha yang
melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan
administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan
finansial.
Bab 12, Data Pertambangan. Untuk menunjang penyiapan WP dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi lembaga riset
negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian tentang
pertambangan. Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan
merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah
wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan
tingkat nasional.
Bab 13, Hak dan Kewajiban. Pemegang IUP dan IUPK berhak
memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah
diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi,
kecuali mineral ikutan radioaktif. Pemegang IUP dan IUPK memiliki
kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
134
perundang-udangan; pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih
sejak berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat
perizinan dan kesanggupan untuk mengerjakan reklamasi/pasca tambang,
kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik
pertambangan, kewajiban utnuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk
membuat data dan pelaporan, dan kewajiban untuk melaksanakan kemitraan
dan bagi hasil.
Bab 14, Penghentian Sementara Kegiatan Izin Usaha Pertambangan
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus. Penghentian sementara kegiatan
usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK
apabila terjadi:41
1. keadaan kahar;
2. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;
3. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak
dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya
mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
Bab 15, Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus. IUP dan IUPK berakhir karena: dikembalikan;
dicabut; atau habis masa berlakunya. Apabila IUP atau IUPK berakhir,
pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh
41
Lihat Pasal 113 ayat (1) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
135
dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bab 16, Usaha Jasa Pertambangan. Pemegang IUP atau IUPK wajib
menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.
Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau
afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha
pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
Bab 17, Pendapatan Negara dan Daerah. Pemegang IUP atau IUPK
wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan
negara sebagaimana dimaksud terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan
negara bukan pajak. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud terdiri atas:
pajak daerah; retribusi daerah; dan pendapatan lain yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab 18, Penggunaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan.
UU Minerba memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan
sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.
Bab 19, Pembinaan, Pengawasan, dan Perlindungan Masyarakat.
Dalam UU Minerba pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP
dan IUPK dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan
136
kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/walikota.
Dalam UU sebelumnya pembinaan dan pengawasan sifatnya terpusat.
Bab 20, Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan
Pelatihan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,
melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan
pengembangan mineral dan batubara. Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
Bab 21, Penyidikan. Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab 22, Sanksi Administratif. Sanksi administratif berupa:42
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi
atau operasi produksi; dan/atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Selain itu, Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan
menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap
42
Lihat Pasal 151 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
137
provinsi.dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara
kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Bab 23, Ketentuan Pidana. Dalam UU Minerba ketentuan pidana
diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras.
Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda
ditambah 1/3. Dalam UU sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini,
sedangkan sanksi pidana/kurungan sangat lunak.
Bab 24, Ketentuan Lain-lain. Setiap masalah yang timbul terhadap
pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk
meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat
memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau
IUPK.
Bab 25, Ketentuan Peralihan. Permohonan kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan
kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-
Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin
penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya
tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini.
138
Bab 26, Ketentuan Penutup. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang
ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
c. Asas Keadilan Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009
1. Orientasi
UU Nomor 4 Tahun 2009 memberikan perhatian terhadap
peningkatan produksi di satu pihak dan konservasi sumberdaya mineral dan
batubara (minerba) pada lingkungannya. Pemberian perhatian yang seimbang
tersebut tidak hanya pada tingkat asas hukum dan tujuan, namun juga
penjabarannya secara lebih kongkret dalam ketentuan-ketentuan
sebagaimana dalam uraian berikut:
a. Orientasi pada peningkatan produksi
Peningkatan produksi merupakan upaya untuk menghasilkan
sebanyak mungkin minerba. Isyarat untuk meningkatkan produksi ini dapat
disimak dari beberapa aspek, yaitu: Pertama, penempatan minerba sebagai
salah satu komponen penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dinyatakan
dalam bagian ”Menimbang” yang menjadi landasan filosofisnya. Bagian
Menimbang huruf b menyatakan: ”mineral dan batubara merupakan
sumberdaya untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional dan
pembangunan daerah secara berkelanjutan”.
139
Kedua, pelaksanaan kegiatan usaha penambangan minerba harus
dijalankan berdasarkan pada prinsip berdayaguna, berhasilguna, dan
berdaya saing. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 yang di antaranya
menentukan bahwa pengelolaan usaha penambangan minerba ditujukan
pada efektivitas kegiatan usaha yang berdayaguna, berhasilguna dan
berdaya saing. Berdayaguna atau efisiensi mendorong agar kegiatan
penambangan minerba dilakukan dengan cara pengorbanan biaya dalam
jumlah tertentu namun memberikan hasil yang maksimal. Berhasilguna
atau efektif ditujukan agar kegiatan penambangan dapat berkontribusi bagi
pencapaian pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan oleh
pemerintah. Berdaya saing dimaksudkan agar di samping produk yang
dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang
relatif memberikan manfaat juga para pelaksana dari kegiatan
penambangan harus berorientasi pada prestasi yaitu peningkatan produksi.
Ketiga, jumlah produk yang dihasilkan harus optimal, yaitu setinggi
mungkin untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pasal 18
menentukan kriteria suatu sumberdaya mineral sebagai Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP) di antaranya optimalisasi hasil sumberdaya minerba
yang dapat dihasilkan.
Keempat, untuk mendukung pencapaian peningkatan produksi
tersebut di antaranya disyaratkan pada setiap pelaku usaha penambangan
140
minerba untuk menggunakan teknologi pertambangan yang baik dan modal
yang besar. Hal ini ditentukan dalam Pasal 28 dan Pasal 96 yang di
antaranya mewajibkan pelaku usaha penambangan mengeterapkan teknik
pertambangan yang baik yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan
produksi yang dihasilkan.
b. Orientasi pada konservasi
Konservasi bermakna adanya keberlanjutan eksistensi sumberdaya
minerbanya sendiri dan pemanfaatannya. Keberlanjutan sumberdaya
minerba bermakna bahwa ketersediaannya tetap terjamin dengan cara tidak
mengeksploitasinya secara berlebih-lebihan. Upaya untuk menjaga
keberlanjutannya dilakukan di antaranya adalah: Pertama, adanya asas
keseimbangan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam
pengelolaan sumberdaya minerba. Asas-asas ini tercantum dalam Pasal 2
yang dimaksudkan sebagai arahan dalam menentukan ketentuan lebih
lanjut baik dalam UU Minerba sendiri maupun peraturan pelaksanaannya.
Asas keseimbangan bermakna pengelolaan minerba di samping harus
menempatkan produksi sebagai orientasinya juga harus memberikan
perhatian terhadap konservasi sumberdaya minerba dan lingkungannya.
Kedua, Salah satu tujuan pengelolaan minerba adalah menjamin manfaat
pertambangan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3.
141
Ketiga, di antara kriteria yang dijadikan acuan untuk menentukan
suatu WUP adalah kemungkinan diterapkannya kaedah konservasi dan
masih terjaminnya daya dukung lingkungan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 18 dan Pasal 28. Keempat, terdapatnya kewajiban-kewajiban pelaku
usaha yang berkaitan dengan konservasi, yaitu:
(1) kewajiban melakukan reklamasi dan pemantauan lingkungan
pascapenambangan, termasuk harus membuat rencana pelaksanaan
reklamasi serta menyediakan dana reklamasi dan dana jaminan
pascapenambangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96;
(2) pengelolaan sisa tambang sesuai dengan standar baku mutu lingkungan
sebelum sisa-sisa tersebut dilepas ke alam terbuka;
(3) pelaku usaha wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung
sumberdaya air yang terdapat di WUP;
(4) wajib menghentikan sementara kegiatan pertambangan jika kondisi
daya dukung lingkungan wilayah usahanya.
2. Keberpihakan
Mengenai keberpihakan kepada rakyat, UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak memberikan definisi yang
jelas tentang pertambangan rakyat, hanya diatur mengenai Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Namun di beberapa pasal terdapat aturan mengenai luas wilayah maksimal
142
25 ha, prakondisi bahwa harus ada pengusahaan selama 15 tahun sebelumnya
di wilayah yang sama. Dari rumusan tersebut dapat dapat dilihat bagaimana
ketidakjelasan pengaturan mengenai pertambangan rakyat. Aturannya begitu
'cair' dan tidak ada format yang tegas. Oleh karenanya dapat dipahami jika
selama ini banyak penambang yang menjadi Penambang Tanpa Izin (PETI)
atau penambang ilegal. Ekses selanjutnya yang tidak dapat dihindari adalah
bahaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang mengancam diri
penambang dan kerusakan lingkungan hidup.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 juga disebutkan mengenai
pembinaan dari pemerintah daerah kepada pelaku usaha pertambangan
rakyat. Pembinaan dapat berupa bantuan permodalan dan hal-hal teknis
pertambangan, termasuk di antaranya mengenai K3 dan pengelolaan
lingkungan hidup. Semua itu pada dasarnya adalah kewajiban pemerintah
daerah. Akan tetapi pihak (penambang) mana yang disasar oleh aturan
tersebut? Jika disebut pertambangan rakyat, pertambangan yang bagaimana
itu? Terlebih di undang-undang terbaru tidak disebutkan apa dan siapa
pertambangan rakyat. Hanya diberikan aturan berupa prakondisi bahwa di
wilayah pertambangan rakyat harus sudah ada pengusahaan selama minimal
15 tahun. Tetap saja, tidak ada kepastian mengenai subjek hukumnya. Bisa
jadi malah ada pihak (pelaku) usaha atau korporasi yang "pura-pura" menjadi
pelaku pertambangan rakyat. Selain itu, adanya Pasal 162 dalam UU Nomor
143
4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa siapa saja yang menghalang-halangi
operasi pertambangan maka dapat dikenakan hukuman pidana atau denda.
Jika interpretasi hukuman ini dilakukan oleh penegak hukum maka rakyat
diperlakukan sama di mata hukum. Artinya, secara tidak langsung UU
Nomor 4 Tahun 2009 ini mengkerdilkan hak veto rakyat—dan lebih
condong pro-korporasi.
3. Hubungan dengan pemilik modal.
Pasal 35 UU Nomor 4 Tahun 2009 mengatur hubungan dengan
pemilik modal, usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk:43
a. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
b. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
c. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut
dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Dari Pasal 35 tersebut jelas bahwa Badan Hukum dan perorangan
yang diberi akses mengusahakan sumberdaya minerba harus dilandaskan
pada ijin tertentu. Hubungan hukum antara pemilik modal dengan minerba
tersebut menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 sudah tidak dimungkinkan lagi
didasarkan pada Kontrak Karya sebagaimana yang telah ada selama ini.
Namun demikian, Kontrak Karya yang sudah ada dan berlaku pada saat
43
Lihat Pasal 35 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
144
diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tetap berlaku sampai berakhirnya
Kontrak Karya. Terhadap IUP dan IUPK terdapat ketentuan yaitu: (a) Ijin
tersebut tidak boleh dialihkan; (b) pengalihan kepemilikan saham dapat
dilakukan setelah dilakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu dan harus
memberitahukan kepada Menteri/Gubernur/Bupati serta pengalihan saham
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
4. Akses Mengusahakan
UU Minerba memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk
menikmati hasil dari kegiatan usaha pertambangan minerba, yaitu: Pertama,
pemerintah dan Pemda. Bagi pemerintah seperti yang terdapat dalam Pasal
128 berhak mendapatkan pendapatan berupa: pajak, bea masuk, pendapatan
negara bukan pajak seperti iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan
kompensasi data informasi serta 4% dari keuntungan yang diperoleh
perusahaan. Bagi Pemda berhak mendapat pendapatan berupa pajak daerah,
retribusi, 6% dari keuntungan dengan pembagian 1% untuk provinsi, 2,5%
bagi kabupaten/kota yang menjadi lokasi pertambangan dan 2,5% bagi
kabupaten-kabupaten lain di provinsi tersebut.
Kedua, pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan
pertambangan minerba yang dilakukan. Bagi badan usaha nasional diberi
kesempatan untuk mendapatkan pengalihan saham dari badan usaha asing.
Pengalihan tersebut dilakukan menurut ketentuan Pasal 112 setelah badan
145
usaha asing tersebut sudah menjalankan usaha pertambangannya selama 5
(lima) tahun.
Ketiga, warga masyarakat khususnya yang berada di lokasi
pertambangan mempunyai akses untuk:
(1) melakukan usaha pertambangan di WPR yang ada di lokasi
tempat tinggalnya;
(2) menurut Pasal 106 warga mempunyai akses menjadi pekerja di
pertambangan yang diusahakan oleh badan usaha;
(3) Pasal 107 memberikan jaminan bagi pengusaha lokal untuk
diikutsertakan sebagai mitra dari pelaku usaha pertambangan
besar;
(4) mendapatkan program pemberdayaan yang menurut Pasal 95 dan
Pasal 108 harus didasarkan pada program yang nyata serta
dikonsultasikan pada pemerintah atau Pemda dan warga
masyarakat yang bersangkutan;
(5) menjadi Penyedia Jasa terutama dalam pelaksanaan penyelidikan
umum atau pengumpulan fakta yang harus dilakukan oleh badan
usaha pelaksana usaha pertambangan.
Kewenangan negara untuk mengelola sumberdaya mineral, di
samping dijalankan oleh Pemerintah pusat, juga dilakukan oleh Pemda baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan dalam kondisi tertentu DPR dan
146
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dilibatkan dalam
pelaksanaan kewenangan Negara. Hal Ini menunjukkan bahwa semangat
desentralisme kewenangan sudah mendasari pembentukan UU Minerba.
Kewenangan pemerintah dan Pemda sudah terbagi secara jelas sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
Di samping kewenangan yang diberikan secara otonom, antara
pemerintah dan Pemda harus saling berkonsultasi atau berkoordinasi dalam
hal:
(a) Pasal 29 berkaitan dengan penetapan WUPK yang akan
diusahakan;
(b) penetapan luas dan batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan
Khusus;
(c) pemberian Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) oleh Menteri
namun dengan memperhatikan kepentingan daerah.
Kewenangan yang diberikan kepada DPR-RI sebagaimana dalam
Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 14 serta Pasal 27, yaitu: pemerintah harus
berkonsultasi dengan DPR-RI dalam penyediaan sumberdaya minerba
tertentu yang diperlukan untuk kepentingan dalam negeri, koordinasi dalam
penetapan Wilayah Pertambangan, menerima laporan WUP yang sudah
ditetapkan, memberi persetujuan berkenaan dengan penetapan WPN untuk
komoditas dan konservasi terutama batasan waktunya. DPRD diberi
147
kewenangan memberikan pandangan berkenaan dengan penetapan WPR
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21
Dari penjabaran orientasi di atas secara kontekstual keadilan yang
hendak dicapai adalah keadilan komutatif. Keadilan ini bertujuan
memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Pemberian
perhatian yang seimbang terhadap peningkatan produksi di satu pihak dan
konservasi sumberdaya mineral dan batubara (minerba) pada lingkungannya
mencegah tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan
dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat
di sekitar pertambangan. Keadilan lainnya yang dapat ditemukan dalam UU
Minerba ini adalah keadilan distributif. Dalam hal keadilan distributif, UU
Minerba memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk menikmati
hasil dari kegiatan usaha pertambangan minerba.
Meski dalam UU Minerba telah merubah kontrak (pada UU UU
Nomor 11 Tahun 1967) menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa
penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat
serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam
praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk
memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir
masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan
kepada pihak swasta.
148
Untuk itu, konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam
pertambangan dalam UU Minerba harus dilihat sebagai bagian dari sistem
keadilan atas sumberdaya alam yang didalamnya mengatur juga mengenai
hak rakyat. Berbicara tentang “hak” dalam konstruksi politik, maka ia
bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengemban hak dalam suatu
sistem hak. Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila
mengarah kepada satu tujuan. Tujuan penguasaan negara atas sumberdaya
alam yang digariskan oleh Pasal 33 UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak hanya
bermakna rakyat sebagai objek yang akan menerima, sebab kemakmuran
tidak saja soal hasil. Sebesar-besar kemakmuran rakyat juga soal proses,
sehingga rakyat adalah subjek yang seharusnya terlibat secara partisipatif.
C. Asas Keadilan Dalam Peraturan Pelaksana Pertambangan
1. UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua
a. Law Making Proses UU No. 21 Tahun 2001
Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua
149
Merdeka mulai 1998 – 2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab
utama yakni:44
1. Persolan sejarah integrasi politik Papua;
2. Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran HAM
terhadap rakyat Papua;
3. Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan,
Ekonomi dan Infrasktruktur.
Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui
aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100
orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk
menyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres
Papua II pada tahun 2000. Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat
Papua tersebut Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Papua sebagai kebijakan Nasional.45
Kebijakan otonomi khusus
merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang
muncul sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika
44
Vincentsius Lokobal, Kegagalan Pelaksanaan UU No.21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Papua 10 Tahun di Tanah Papua, http://www.pmkri.or.id/wp-
content/uploads/2011/06/KEGAGALAN-PELAKSANAAN-UU-No-21-TAHUN-
20011.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2012. 45
Ibid.
150
social dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang
sering diketahui sebagai gerakan Papua Merdeka.
Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah
pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang Asli
Papua (dalam segala segi pembangunan ) agar meminimalisir aspirasi politik
orang Papua untuk keluar dari NKRI dan aspirasi pelanggaran (berat) HAM
Papua selama 40 – an Tahun ini. Berdasarkan semangat itu, Otonomi Khusus
identik dengan penyerahan semua kekuasaan pemerintahan, kecuali 5 bidang
pemerintahan menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat ( Pasal 4 ayat (1)
UU No.21 Tahun 2001).
b. Norma Hukum UU No. 21 Tahun 2001
Norma hukum atau isi dari UU No. 21 Tahun 2001 ini adalah judul,
konsiderans, batang tubuh dan penjelasan umum. Judul UU No. 21 Tahun
2001 adalah Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam konsiderans yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam tertuang
arah UU ini yaitu
1. Masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat
manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-
nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati
hasil pembangunan secara wajar
151
2. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua
belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan
pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
3. dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan
Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi
Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,
diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Batang tubuh, terdiri dari 24 bab dan 79 pasal. Bab 1, Ketentuan
Umum yang berisi penjelasan istilah-istilah dalam peraturan. Bab 2,
mengenai Lambang-Lambang, dinyatakan bahwa Provinsi Papua dapat
memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi
kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu
daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Bab 3, Pembagian daerah. Provinsi Papua terdiri atas Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom.
Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik terdiri atas
sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Di dalam Provinsi
152
Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi.
Bab 4, Kewenangan daerah. Kewenangan Provinsi Papua mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama,
dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional yang
dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi
Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Provinsi Papua dapat mengadakan
kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar
negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bab 5, Bentuk dan Susunan Pemerintahan. Pemerintahan Daerah
Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah
Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi
Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan
pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,
dan pemantapan kerukunan hidup beragama. MRP dan DPRP berkedudukan
153
di ibu kota Provinsi. Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta
perangkat pemerintah Provinsi lainnya. Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD
Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri
atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah
Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
Bab 6, Perangkat dan Kepegawaian. Perangkat Provinsi Papua terdiri
atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang
dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi. Pemerintah Provinsi
menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada
norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri
Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bab 7, Partai Politik. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk
partai politik. Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam
pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rekrutmen
politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan
memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta
pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya
masing-masing.
154
Bab 8, Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi dan
Keputusan Gubernur. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-
sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Perdasi dibuat
dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. Pelaksanaan Perdasus
dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Bab 9, Keuangan. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP
dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana Perimbangan bagian
Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan
perincian sebagai berikut:46
a. Bagi hasil pajak:
1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh
persen);
2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%
(delapan puluh persen); dan
3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh
persen).
b. Bagi hasil sumber daya alam:
1) Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
2) Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3) Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
4) Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen);
dan
5) Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
46
Lihat Pasal 34 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua.
155
1) Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada
Provinsi Papua;
2) Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus
yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan
3) Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus
yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR
berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang
terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur.
4) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku
selama 25 (dua puluh lima) tahun;
5) Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka
Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi
50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan
sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;
6) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh)
tahun.
7) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara
Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara
adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan
perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.
Bab 10, Perekonomian. Perekonomian Provinsi Papua yang
merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan
diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-
prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi
Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap
menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian
156
hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan
pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan
Perdasus.
Bab 11, Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Pemerintah
Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan
dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada
ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut
meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pelaksanaan hak ulayat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang
diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga
masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui
musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan
untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan
maupun imbalannya. Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan
mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak
perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan
yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
157
Bab 12, Hak Asasi Manusia. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan
menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakan
hal sebagaimana dimaksud, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bab 13, Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Tugas Kepolisian di
Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai
bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala
Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Kepala
Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi
Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bab 14, Kekuasaan Peradilan. Kekuasaan kehakiman di Provinsi
Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Peradilan adat adalah
peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang
mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat
158
dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman
pidana penjara atau kurungan. Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan
Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia.
Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh
Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Bab 15, Keagamaan. Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak
dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:47
1) menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi
semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya; menghormati nilai-nilai
agama yang dianut oleh umat beragama;
2) mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
3) memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara
proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat
mengikat.
Bab 16, Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah Provinsi
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi
wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan
47
Lihat Pasal 54 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua.
159
melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan
memantapkan jati diri orang Papua.
Bab17, Kesehatan. Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan
standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan
peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
Bab 18, Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Pemerintah Provinsi
berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Untuk mempercepat
terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk
asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi
memberlakukan kebijakan kependudukan. Orang asli Papua berhak
memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan
dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan
pendidikan dan keahliannya.
Bab 19, Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup.
Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan
160
keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Pemerintah
Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup
secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber
daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan
keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-
hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
penduduk.
Bab 20, Sosial. Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada
penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial. Pemerintah
Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan
suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua.
Bab 21, Pengawasan. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan
pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial. Dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban
memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.
Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus,
Perdasi, dan Keputusan Gubernur. Pemerintah berwenang melakukan
161
pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bab 22, Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan. Provinsi Papua
dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan
budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian diselesaikan
sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan. Perselisihan antara
Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah
yang difasilitasi Pemerintah Provinsi. Perselisihan antara Kabupaten/Kota
dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi
Pemerintah.
Bab 23, Ketentuan Peralihan. Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD
Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil
Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat
sebelum Undang-undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai
berakhir masa jabatannya. Dalam rangka melaksanakan kewenangan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua
berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan,
personil, peralatan, termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
162
Bab 24, Ketentuan Penutup. Pemekaran Provinsi Papua menjadi
provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan
sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa
datang. Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat
Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
c. Asas Keadilan Dalam UU No. 21 Tahun 2001
1. Orientasi
Orientasi UU No. 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi
Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.48
Kewenangan yang
lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur
pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomi, sosial,
dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang
signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya (wakil adat, wakil
agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan
48
H. Mohammad Abud Musa’ad, Model Reformasi Birokrasi Dalam Perspektif UU
No 21 Tahun 2001. Disampaikan dalam Simposium Nasional Papua “Menuju Pembangunan
Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan” tanggal 7-9 April 2010, di Universitas Indonesia
Jakarta.
163
kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi
Papua. Kebijakan Otsus Papua juga telah memberi peluang bagi orang asli
Papua untuk mengaktualisasikan diri melalui simbol-simbol budaya
(cultural) sebagai wujud kemegahan jatidiri, pengakuan terhadap eksistensi
hak ulayat, adat, masyarakat adat, hukum adat, dan sebagainya. Selain itu
UU No 21 Tahun 2001 juga mengandung semangat penyelesaian masalah
dan rekonsiliasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di
masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional
Indonesia di Provinsi Papua.
Berbagai paparan tersebut menunjukan bahwa sebagai akibat dari
penetapan UU No 21 Tahun 2001, maka ada perlakuan berbeda yang
diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi
Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu
terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di
Provinsi Papua. UU No 21 Tahun 2001 memiliki sejumlah keistimewaan
yang membedakannya dengan produk perundang-undangan lainnya. Dengan
berbagai keistimewaan tersebut, diharapkan UU No 21 Tahun 2001 dapat
berperan sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka
peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan
164
(development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di
provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan
dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-
provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.49
2. Keberpihakan
Keberpihakan dalam UU ini adalah Masyarakat Papua. Dalam
konsiderans yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil
kekayaan alam tertuang keberpihakan UU ini, yaitu:
a. Masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat
manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-
nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati
hasil pembangunan secara wajar
b. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua
belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan
pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
c. Dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan
Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi
49 Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua.
165
Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,
diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Hubungan dengan pemilik modal.
Hubungan dengan pemilik modal kiranya dapat dilihat dalam Bab 22
UU No 21 Tahun 2001 mengenai Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan.
Di dalamnya dinyatakan bahwa Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian
kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain
di Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Perselisihan di antara para pihak yang
mengadakan perjanjian diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang
diperjanjikan. Jadi hubungan dengan pemilik modal dalam UU No 21 Tahun
2001 ini adalah perjanjian kontrak.
4. Akses Mengusahakan
Dalam Bab 10 UU No 21 Tahun 2001 dinyatakan bahwa
perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian
nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha
perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam
dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan
jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian
166
lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya
ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian berbasis
kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang
dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat
berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Jadi, dalam UU No 21 Tahun
2001 ini akses mengusahakan adalah semua kelompok kegiatan, yaitu
negara, daerah, pengusaha dan rakyat setempat.
Dari analisis di atas menunjukkan bahwa susbstansi dalam UU No 21
Tahun 2001 secara kontekstual keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan
komutatif. Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum masyarakat Papua. Pemberian perhatian terhadap
kesenjangan masyarakat Papua dengan mencegah tindakan yang bercorak
ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan
menghancurkan pertalian dalam masyarakat Papua. Keadilan lainnya yang
dapat ditemukan dalam UU No 21 Tahun 2001 ini adalah keadilan
distributif. Dalam hal keadilan distributif, UU No 21 Tahun 2001 ini
memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk menikmati hasil
dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam.
Top Related