7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anjing
Anjing merupakan mamalia karnivora darat yang telah mengalami
domestikasi dari serigala sejak 100.000 tahun yang lalu. Hal ini diperkuat dengan
bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA. Anjing yang memiliki nama
latin Canis lupus familiaris merupakan hewan sosial sehingga umumnya hidup
secara berkelompok (Vila et al., 1997).
Serpell (1995) menyatakan bahwa peran anjing dalam kehidupan manusia
sudah dikenal sejak lama. Setelah perang dunia kedua, populasi anjing peliharaan
semakin banyak, dan anjing hanya berperan sebagai penjaga rumah, teman
bermain anak-anak, dan teman untuk berjalan-jalan. Pada tahun 1980-an, peran
anjing semakin penting, yaitu sebagai pendukung emosional bagi pemiliknya.
Hubungan manusia dan anjing semakin erat, dan anjing menjadi bagian dalam
keluarga.
Menurut Ruvinsky dan Sampson (2001), walaupun semua anjing secara
genetik memiliki kesamaan, seleksi alam dan pengembangbiakkan yang selektif
telah memperkuat karakteristik tertentu pada tiap jenis anjing, sehingga sekarang
tipe anjing dan ras anjing telah dikategorikan menjadi beberapa macam. Tipe
anjing dikategorikan berdasarkan fungsi, genetik dan karakteristik, sedangkan ras
anjing merupakan sekelompok anjing yang memiliki karakter turunan yang
membedakan mereka dari anjing yang lain.
8
Menurut Coren dan Hodgson (2007), ras anjing tidak diklasifikasikan
secara ilmiah, akan tetapi dikelompokkan oleh sekelompok penggemar anjing
yang disebut breed club atau kennel club. Ras anjing yang telah
terdokumentasikan akan diterima oleh salah satu atau lebih dari kennel club yang
telah dikenal di seluruh dunia, seperti Fédération Cynologique Internationale
(FCI) yang meliputi 84 negara, The Kennel Club dari United Kingdom, Canadian
Kennel Club, American Kennel Club (AKC), Australian National Kennel Council
dan New Zealand Kennel Club, serta kennel club lainnya. Ras tersebut terbagi
menjadi beberapa kategori yang disebut grup, yang masing-masing kennel club
memiliki kategori grup yang berbeda (Alderton, 1998). Tiap ras anjing masing-
masing memiliki standar performa yang telah tertulis, yaitu daftar ciri-ciri yang
menstandarisasi penampilan tiap ras, yang ditulis oleh penemu ras atau kennel
club. Menurut Moody et al., (2005) terdapat lebih dari 400 ras anjing di seluruh
dunia. Pous (2012) menyatakan sampai tahun 2012, terdapat 177 ras yang
terdaftar dalam AKC, 308 ras yang terdaftar di UKC dan 335 ras yang telah
terdaftar di FCI.
Anjing pernah diklasifikasikan sebagai Canis familiaris oleh Carolus
Linnaeus di tahun 1758, namun pada tahun 1993, Lembaga Smithsonian dan
Asosiasi Ahli Mamalia Amerika menetapkan anjing sebagai subspesies dari
serigala abu-abu, Canis lupus (Dharmawan, 2009). Berikut klasifikasi ilmiah
anjing adalah sebagai berikut (Wilson dan Reeder, 2005):
9
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Sub Kelas : Theria
Ordo : Carnivora
Subordo : Canformia
Family : Canidae
Subfamily : Caninae
Genus : Canis
Species : Canis lupus
Subspecies : Canis lupus familiaris
2.2 Anjing Kintamani
Anjing Kintamani Bali merupakan anjing yang asli hidup di pegunungan
sekitar Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yang semula
dikenal dengan nama “Anjing Gembrong”. Anjing ini jika diamati mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan anjing lokal lainnya. Habitat aslinya di daerah
sekitar Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Anjing
Kintamani Bali merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia yang sangat
berpotensi dikembangkan untuk tujuan komersial. Anjing Kintamani Bali
mempunyai berbagai keistimewaan antara lain penampilannya yang anggun dan
10
menarik dengan bulu panjang terutama pada bagian ekor sehingga digunakan
sebagai maskot fauna Kabupaten Bangli (Puja, 2007).
Anjing Kintamani Bali merupakan satu-satunya anjing asli Indonesia yang
memiliki penampilan yang menarik. Anjing ini dikenal sebagai anjing yang pintar,
berani, gagah dan setia pada pemiliknya (Puja et al., 2005). Habitat asli dari
Anjing Kintamani Bali adalah di sekitar desa Sukawana, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Anjing lokal jenis pegunungan ini memiliki penampilan yang
sangat indah dan cantik yang berbeda dengan anjing geladak yang ada di Bali
(Puja, 2007). Pada tahun 2006, PERKIN (Perkumpulan Kinologi Indonesia) telah
menetapkan Anjing Kintamani Bali sebagai anjing ras pertama dari Indonesia.
Pada tanggal 23 Februari 2012, Anjing Kintamani Bali ditetapkan oleh AKU
(Asian Kennel Union) sebagai ras Asia. Pada saat ini, pemilik Anjing Kintamani
Bali jumlahnya semakin besar. Hal ini dikarenakan Anjing Kintamani Bali
memiliki sifat berani, cerdas, setia pada keluarga, waspada, tidak agresif, dan juga
termasuk anjing yang cerdas sehingga tidak sukar untuk dilatih berbagai
ketangkasan (Darmadji dan Kristanto, 2012).
Ada yang beranggapan bahwa Anjing Kintamani Bali berasal dari
persilangan anjing Chow-Chow dengan anjing lokal yang ada di Bali. Salah satu
hasil penelitian menyebutkan bahwa anjing Kintamani berasal dari anjing lokal
Bali yang mengalami kehilangan keragaman genetik. Anjing Kintamani Bali telah
banyak dikembangbiakkan di beberapa wilayah di Indonesia khususnya di Bali
dan Jawa, dan di beberapa negara di luar Indonesia, seperti Belanda dan Kroasia
(Puja et al., 2005).
11
Anjing Kintamani Bali berpenampilan indah dengan ukuran sedang.
Ukuran tinggi Anjing Kintamani Bali jantan rata-rata 51,25 cm dengan berat
badan rata-rata 15,90 kg. Ukuran tinggi anjing betina rata-rata 44,65 cm dengan
berat badan rata-rata 13,24 kg. Ciri spesifik yang membedakan Anjing Kintamani
Bali dengan anjing ras lain adalah rambut tampak indah, tebal, dan panjang
tertutama pada daerah pundak sampai ke leher (badong), rambut kaki belakang
bagian belakang terlihat tebal dan panjang. Ekor berbentuk bulan sabit dengan
rambut yang tebal dan panjang. Telinga berdiri tegak dan berbentuk segitiga
dengan kekhasan pada tepian telinga berwarna seperti biskuit (biscuit colour).
Persentase perkiraan Anjing Kintamani Bali dengan warna rambut putih sebesar
49%, hitam sebesar 32%, coklat sebesar 12% dan warna campuran sebesar 7%.
Ukuran kepala Anjing Kintamani Bali sangat proporsional dengan ukuran
tubuhnya dengan dahi lebar tanpa kerutan, serta memiliki badan yang lurus dan
kuat (Puja, 2007).
Gambar 1. Anjing Kintamani Bali Jantan(Sumber: anjingkita.com, 2014)
12
Anjing Kintamani Bali berpenampilan menarik dan termasuk anjing yang
pintar. Balutan rambut yang menyelimuti tubuhnya menambah indah
penampilannya. Anjing Kintamani Bali mudah dilatih, oleh karena itu, anjing ini
sangat baik untuk anjing ketangkasan. Sifat Anjing Kintamani Bali tidak galak
serta sangat loyal dengan pemiliknya (Gunawan et al., 2012).
Penetapan sekelompok anjing sebagai anjing ras adalah apabila mereka
memiliki karakteristik eksterior yang dapat membedakannya dengan anjing
lainnya. Penetapan standar ras Anjing Kintamani Bali mengacu pada karakteristik
penampilan luar melalui inspeksi, seperti telinga, ekor, mata, moncong, rambut,
tinggi tubuh dan berat tubuh (Dharmawan, 2009). Anjing Kintamani Bali
termasuk ke dalam jenis anjing pekerja (working dog) dengan ukuran sedang dan
memiliki keseimbangan dan proporsi tubuh yang baik dengan pertulangan kuat
dibungkus otot yang kuat. PERKIN mengelompokkan Anjing Kintamani Bali
masuk dalam grup V karena memiliki ciri-ciri anjing spitz dan tipe primitif seperti
chow-chow, basenji, samoyed, dan lainnya (Puja, 2011).
2.3 Sistem Muskuloskeletal pada Anjing
Komponen penting dalam sistem muskuloskeletal meliputi otot dan
perlekatannya, tulang, kartilago, dan sendi. Fungsi utama sistem ini adalah
mendukung tubuh dalam berbagai cara untuk menampilkan gerakan dan postur
yang normal serta melindungi organ vital. Selain daripada itu struktur tulang
tertentu juga terlibat dalam beberapa fungsi tertentu, seperti respirasi, mastikasi,
urinasi dan defekasi (Hanson, 2011).
13
Tulang adalah bentuk jaringan ikat yang keras dan kaku, menyususn
bagian terbesar kerangka vertebrata (Mathode dan Hartanto, 2012). Tulang
memiliki struktur yang kompak dan kuat, sehingga memberikan bentuk pada
tubuh dan melindungi organ dalam dari lingkungan luar. Tulang juga melindungi
sumsum tulang, dimana terbentuk sel darah, dan sebagai depo kalsium bagi tubuh.
Jaringan tulang yang telah tua secara terus-menerus akan digantikan oleh jaringan
tulang yang baru, proses ini disebut dengan remodeling. Tulang saling menyatu
sehingga membentuk sendi. Setiap jenis sendi memiliki kemampuan yang
berbeda, yang menentukan derajat dan arah gerakan. Pada persendian, di ujung
tulang terlapisi oleh kartilago, yaitu jaringan pelindung yang tipis yang membantu
mengurangi gesekan ketika sendi bergerak (Hanson, 2011).
Otot merupakan organ yang menghasilkan gerak pada organisme hewan
melalui kontraksi (Mathode dan Hartanto, 2012). Otot dapat melekat pada tulang
yang berfungsi untuk bergerak aktif, selain itu otot juga merupakan jaringan pada
tubuh hewan yang bercirikan mampu berkontraksi dan dipengaruhi oleh stimulus
dari sistem saraf. Terdapat pula macam-macam otot yang berbeda pada vertebrata,
yaitu otot polos, otot rangka dan otot jantung. Dua dari jenis otot tersebut, yaitu
otot polos dan otot rangka, merupakan bagian dari sistem muskuloskeletal. Otot
rangka berperan dalam memberikan postur tubuh dan pergerakan tubuh. Otot
rangka menempel pada tulang dan tersusun disekitar sendi. Otot polos membantu
memfasilitasi proses pada tubuh, seperti menyusun arteri untuk peredaran darah
dan memfasilitasi pergerakan makanan disepanjang saluran pencernaan
(Nurhayati, 2004).
14
Tendon adalah tali fibrosa jaringan ikat yang bersambungan dengan
serabut otot dan melekatkan otot ke tulang atau tulang rawan (Mathode dan
Hartanto, 2012). Tendon tidak dapat meregang dan menempel pada tiap ujung otot
hingga ke tulang. Tendon terletak diantara selubung sehingga dapat bergerak
dengan bebas. Sedangkan ligamen merupakan serangkaian pita jaringan elastik
berwarna kuning yang melekat dan terbentang di antara bagian ventral dua lamina
arcus vertebrae yang berdekatan dari axis ke sacrum (Mathode dan Hartanto,
2012). Ligamen juga merupakan pita jaringan ikat yang kuat, akan tetapi dapat
diregangkan sampai batas tertentu. Ligamen mengelilingi, mendukung dan
menstabilkan sendi. Ligamen juga menyambungkan tulang satu dan yang lain
(Mathode dan Hartanto, 2012).
Gambar 2. Komponen Sistem Muskuloskeletal pada Lutut Anjing(Sumber: Merck Veterinary Manual, 2007)
15
2.4 Gangguan Muskuloskeletal pada Anjing
Gangguan muskuloskeletal adalah cedera atau rasa sakit pada sendi,
ligamen, otot, tendon, dan struktur lain yang menyokong tubuh. Gangguan
muskuloskeletal dapat mempengaruhi aktivitas normal dari pasien. Gangguan ini
dapat menyerang berbagai bagian tubuh, seperti leher, bahu, punggung dan
ekstremitas (Shearer, 2011). Berdasarkan pernyataan dari Hanson et al. (2007),
terdapat berbagai gangguan muskuloskeletal pada anjing, baik dapatan maupun
turunan.
Penyakit pada sistem muskuloskeletal umumnya mempengaruhi
pergerakan pada hewan. Gangguan pada tulang dan sendi merupakan hal sering
terjadi, dan kondisi tersebut dapat mengindikasikan penyakit pada daerah otot,
masalah neurologik, keracunan, abnormalitas hormonal, kelainan metabolik,
penyakit infeksius, kelainan pada darah dan pembuluh darah, malnutrisi, serta
cacat bawaan. Banyak sistem pada tubuh hewan yang bergantung pada otot.
Kemampuan seekor anjing untuk melihat, bernapas, urinasi, berkembangbiak,
bahkan mengunyah dan menelan dipengaruhi oleh kondisi muskuloskeletal.
Berikut beberapa gangguan muskuloskeletal yang sering terjadi pada anjing sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarafder dan Samad (2010):
2.4.1 Arthritis
Menurut Boden (2005), arthritis adalah istilah umum untuk peradangan
yang menyerang semua struktur dari sendi, seperti membran sinovial, ligamen
kapsular, kartilago, dan caput tulang yang membentuk formasi sendi. Penyebab
arthritis bermacam-macam, seperti trauma, reumatisme, defisiensi mineral, agen
16
infeksius dan herediter. Arthritis juga dapat mempengaruhi satu sendi (mono) atau
banyak (poli). Arthritis umumnya diawali dengan terjadinya sinovitis, tetapi
tingkat peradangan tersebut dapat meluas sampai ke struktur sekitar membran
sinovial. Penyebab, gejala dan terapinya sama dengan yang terjadi pada sinovitis,
akan tetapi terkadang menyebabkan kekakuan sendi (ankilosis) dan fiksasi pada
sendi.
Gambar 3. Sendi pada Kaki Depan dan Belakang Anjing(Sumber: Merck Veterinary Manual, 2007)
17
Pada kondisi normal, kartilago berfungsi sebagai penyerap guncangan
antara tulang. Arthritis terjadi akibat terkikisnya kartilago artikularis disepanjang
sendi. Sedikitnya saraf pada kartilago artikularis merupakan salah satu faktor pada
terjadinya arthritis. Kerusakan pada kartilago terlebih dahulu terjadi sebelum
jaringan sekitar sendi (kapsul sendi, tulang dan ligamen) mengalami peradangan.
Apabila kartilago sudah tidak ada lagi maka tulang akan tergesek dan terkikis
yang akhirnya akan menyebabkan kepincangan. Gejala umum dari arthritis adalah
kekakuan, pincang atau bertumpu pada satu bagian tubuh, terutama setelah tidur
atau beristirahat, ketidakmampuan untuk berdiri, enggan melompat atau menaiki
tangga, lesu, sering menjilati kaki atau sendi, terdapat kebengkakan dan nyeri
pada sendi. Pada pemeriksaan fisik yang dapat teramati adalah rasa sakit, krepitus,
pembengkakan, fibrosis periartikularis, atropi otot, dan penurunan pergerakan
pada anggota gerak yang mengalami arthritis (Budsburg, 2004).
Rata-rata usia dimana mulai muncul arthritis bervariasi tergantung dari
ukuran anjing. Semakin besar ukuran anjing maka akan semakin cepat
menampakkan gejala arthritis. Anjing ras kecil yang memiliki berat tubuh
dibawah 5 kg biasanya tidak akan menampakkan gejala arthritis sebelum mereka
berusia 9 tahun. Anjing dengan berat tubuh antara 5-15 kg menampakkan gejala
pada usia 8 tahun, berat badan 15-30 kg pada 7 tahun, 30-40 kg pada usia 6 tahun,
dan anjing di atas 40 kg pada usia 5 tahun (Dewi, 2009). Berdasarkan pernyataan
Budsburg (2004), berikut adalah beberapa faktor penyebab arthritis, yaitu:
1. Cedera traumatis yang mengakibatkan ketidakstabilan pada sendi akibat
robeknya ligamen.
18
2. Kegemukan atau obesitas mempengaruhi tekanan pada sendi. Tekanan
berlebih pada sendi akan menyebabkan kerusakan pada kartilago dan berakhir
pada arthritis.
3. Kegagalan pembentukan tulang pada usia muda.
4. Sendi secara genetik melemah atau tidak stabil.
5. Penyakit lain, seperti kanker dan penyakit pada ligamen.
Menurut Dewi (2009), stadium dari arthritis dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu:
1. Stadium pertama: terkadang anjing mengalami kepincangan, enggan menaiki
tangga dan melompat.
2. Stadium kedua: terjadi rasa sakit pada satu atau beberapa alat gerak setelah
berjalan jauh atau latihan, dan kesulitan bangun setelah berada pada posisi
istirahat atau tidur. Terjadi pengurangan masa otot pada daerah yang
terserang, karena daerah tersebut jarang digerakkan.
3. Stadium ketiga: anjing merasa sangat kesakitan setelah latihan atau pada saat
menggerakkan anggota tubuh yang terserang, dan terkadang anjing tidak
mampu untuk bangun setelah dalam posisi istirahat. Anjing tidak dapat
menaiki tangga atau melompat dan terlihta pengurangan masa otot yang
signifikan.
4. Stadium keempat: anjing sudah tidak mampu lagi bangun, berjalan maupun
melakukan aktivitas normal tanpa bantuan.
Menurut Vegad dan Swamy (2010), arthritis dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebab, durasi, dan produksi eksudat (serous, fibrous, purulen dan
19
limpoplasmasitik) yang umumnya diklasifikasikan menjadi inflamatorius dan
non-inflamatorius. Gejala sistemik penyakit dapat dilihat pada arthritis
inflamatorius yang termasuk demam dan lesu. Arthritis inflamatorius dapat
bersifat infeksius atau immune-mediated (termediasi oleh sistem imun) dan
dicirikan dengan adanya peradangan dalam sinovium dan cairan sinovial.
Immune-mediated arthritis dapat dikategorikan lebih jauh berdasarkan penemuan
radiografi, yaitu sebagai erosif atau non-erosif. Walaupun secara umum
digolongkan sebagai arthritis, penyakit sendi degeneratif (osteoarthritis)
merupakan penyakit sendi non-inflammatorius. Hal tersebut berhubungan dengan
perubahan degeneratif pada kartilago sendi, tidak adanya inflamasi akut dalam
sinovium atau cairan sinovial dan tidak ada gejala sistemik suatu penyakit
(Nielssen, 2007). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka arthritis pada anjing
dapat dikategorikan, sebagai berikut:
Gambar 4. Skema Jenis Arthritis Berdasarkan Sifatnya(Sumber: Canine Internal Medicine Secret, 2007)
Arthritis
Inflamatorius
Infeksius
Immune-mediated
Erosif
Non-erosif
Non-inflamatorius
Degeneratif
(Osteoarthritis)
20
2.4.1.1 Arthritis Inflamatorius
Menurut Nielssen (2007), arthritis inflamatorius terbagi menjadi dua, yaitu
infeksius atau septik dan immune-mediated. Pada immune mediated arthritis
dikategorikan lagi menjadi dua, yaitu erosif dan non erosif. Arthritis infeksius atau
septik adalah infeksi pada cairan dan jaringan sendi yang biasanya disebabkan
oleh bakteri. Beberapa agen dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya pada anjing,
termasuk jamur, bakteri (Borrelia burgdorferi, dan kondisi bakterimia seperti
dalam kasus endokarditis dan diskopondilitis), bakteri berbentuk L, infeksi
riketsia (Ehrlichia spp., Rickettsia rickettsii), mycoplasma, agen protozoa, dan
virus. Walaupun arthritis septik sering teridentifikasi berkaitan dengan infeksi
tersebut, monoarthritis septik pada anjing dapat terjadi akibat penginokulasian
organisme tertentu secara langsung ke dalam sendi, seperti pada kasus trauma dan
sebagainya. Pengidentifikasian terhadap agen tersebut tergantung pada data klinis
yang lengkap dan sejarah pasien, melalui pemeriksaan fisik secara menyeluruh,
gambaran diagnostik yang tepat, dan uji laboratorium (termasuk tes sitologi, tes
serologi dan kultur).
Immune-mediated arthritis disebabkan oleh respon sistem kekebalan tubuh
yang abnormal. Satu atau beberapa sendi diidentifikasi sebagai abnormal dan
reaksi inflamasi terjadi dengan peningkatan jumlah sel darah putih memasuki
ruang sendi. Sel darah putih itu sendiri melepaskan berbagai mediator kimia yang
membuat pembengkakan lebih lanjut dan inflamasi. Kondisi ini terbagi menjadi
dua yaitu bersifat erosif dan non-erosif (Vegad dan Swamy, 2010).
Bentuk paling umum dari arthritis erosif pada anjing adalah rheumatoid
arthritis (RA). RA merupakan kondisi kronis dari arthritis. Sering terjadi pada
21
anjing dan dapat menyerang anjing berumur lebih dari dua tahun. Boden (2005)
menyatakan bahwa penyakit ini kemungkinan besar bersifat herediter. Walaupun
demikian, kondisi ini merupakan kejadian langka dan sering ditemukan pada
anjing ras kecil muda sampai dewasa. Pada kasus RA, sendi yang paling distal
yang pertama terkena dan paling parah. Gejala awal dari penyakit ini adalah
anjing terlihat depresi, tidak ada nafsu makan dan sering mengalami demam, tapi
tidak terjadi kepincangan. Pemilik sering mengabaikan gejala awal dari penyakit
ini, dan pada akhirnya, gejala selanjutnya akan muncul, dimana RA terkadang
telah menyerang beberapa sendi (poliarthritis). Seiring berjalannya waktu,
deformitas pada sendi dapat terjadi pada anjing yang menderita penyakit ini dan
akhirnya mengakibatkan kepincangan. Gejala yang dapat diamati adalah terjadi
krepitus pada saat anggota tubuh digerakkan. Penyebab dari RA masih belum
diketahui, walaupun proses autoimun dan imunitas termediasi ditemukan pada
penyakit ini. Antibodi antiglobulin (faktor rheumatoid) juga terlibat. Peran sistem
imun berubah menjadi stimulasi antigenik kronik, seperti pada kasus infeksi virus
distemper, yang masih spekulatif sampai saat ini (Nielssen, 2007).
Diagnosis RA dapat dilakukan dengan cara mengamati sejarah pasien dan
gejala klinis, hasil analisis sel darah putih dalam cairan sinovial (>5x109/L), yang
didominasi oleh neutrofil, sedikit mucin, kultur negatif, dan penemuan radiografik
yang khas dapat membantu untuk meneguhkan diagnosa RA. Tes faktor
rheumatoid yang positif ditemukan pada 25%-75% pada anjing yang menderita
RA. Akan tetapi, hasil positif juga dapat ditemukan pada anjing yang tidak
menderita RA, sehingga hasil positif saja tidak dapat meneguhkan diagnosis
22
penyakit ini. Perubahan radiografik yang dapat terlihat pada penyakit ini adalah
pembengkakan sendi periartikular, pengaliran cairan (efusi) sendi; kolaps ruang
sendi; kerusakan tulang subchondralis; dan pada kasus lebih lanjut, terjadi
eksostosis (pembentukan tulang baru pada permukaan tulang) hipertropik,
ankilosis (kekakuan sendi) fibrosa, dan deformitas sendi. Pada spesimen biopsi
membran sinovial dapat ditemukan hipertropi vili, hiperplasia sinovial, dan
infiltrasi sel mononuclear (Nielssen, 2007).
Bentuk lain dari immune-mediated arthritis adalah arthritis non-erosif
yang termasuk reaksi imun tipe III. Kondisi ini diakibatkan oleh endapan antigen-
antibodi kompleks dalam membran sinovial dan menyebabkan aktivasi proses
inflamasi. Arthritis non-erosif dapat terkait dengan lupus eritematosa sistemik,
infeksi kronis, sinovitis limphositik-plasmasitik, neoplasia, dan penyakit inflamasi
kronis lainnya. Penyakit ini juga dapat bersifat idiopatik (Vegad dan Swamy,
2010).
Anjing yang mengalami arthritis non-erosif menunjukkan gejala yang
mirip dengan penyakit pada sendi lainnya seperti demam, tidak nafsu makan, lesu
dan kepincangan. Sendi paling distal lebih sering terkena. Sakit pada leher dapat
terjadi, kemungkinan karena sendi intervertebralis terkena atau karena kejadian
berbarengan dengan meningitis. Lymphadenopathy dan atropi otot juga dapat
terjadi. Complete blood count, profil biokimia serum, dan urinalisis
direkomendasikan untuk dilakukan pada kasus terduga arthritis non-erosif. Tes
diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan untuk meneguhkan diagnosa.
Arthrocentesis pada beberapa sendi direkomendasikan untuk memeriksa cairan
23
sendi. Sendi yang normal harus mengandung kurang dari 3x109/L sel darah putih.
Radiografi sendi dapat membantu membedakan arthritis erosif atau nonerosif. Tes
serologi dapat dilakukan tergantung dari lokasi geografi dan gejala dari anjing
penderita. Tes imunologik yang lebih lanjut dilakukan apabila terdapat gejala
klinis lain. Ketika seluruh penyebab dan uji diagnostik telah dilakukan dan masih
tidak mendapat kepastian penyebab, maka keputusan arthritis idiopatik dapat
diambil (Nielssen, 2007).
2.4.1.2 Arthritis Non-inflamatorius
Yang termasuk kedalam arthritis non-inflamatorius adalah penyakit sendi
degeneratif. Penyakit sendi degeneratif merupakan akibat dari kerusakan yang
muncul karena tekanan normal pada kartilago abnormal atau tekanan berlebih
pada kartilago yang normal (seperti yang terjadi pada kasus hip dysplasia).
Kondisi ini juga dapat terjadi akibat trauma, hemophilia, atau denervasi sendi.
Penyakit arthritis non-inflamatorius adalah osteoarthritis (Nielssen, 2007).
Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif progresif yang
berlangsung secara perlahan diikuti oleh hilangnya kartilago pada sendi dan yang
selanjutnya menyebabkan terkikisnya tulang subchondralis. Pembentukan tulang
baru akan terjadi akibat reaksi inflamasi kronis dan kerusakan jaringan lokal
dalam upaya untuk membatasi pergerakan dan rasa sakit. Secara makroskopik,
akan terlihat kerusakan pada kartilago, pendangkalan ruang sendi, sklerosis tulang
subchondralis, dan pembentukan osteofit sendi (Mele, 2007). Osteofit adalah
pertumbuhan tulang baru di dalam sendi akibat kerusakan tulang rawan (Mathode
dan Hartanto, 2012).
24
Osteoarthritis merupakan gangguan sendi yang sering terjadi pada anjing
dan menurut Laflamme (2004), osteoarthritis menyerang 20% anjing dewasa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mele (2007), kejadian osteoarthritis
dipengaruhi oleh ras anjing. Pada kasus osteoarthritis, sendi yang sering terserang
adalah pada bagian pinggul, siku, bahu, lutut dan tulang belakang (Smith, 2004).
Osteoarthritis umumnya disebabkan oleh trauma, obesitas, proses penuaan, dan
abnormalitas genetik.
Mele (2007) menyatakan bahwa usia yang rentan terhadap osteoarthritis
adalah anjing berusia antara 8-13 tahun. Pada kasus arthritis, sebanyak 45%
pasien merupakan anjing ras besar, sedangkan 28% merupakan ras sedang dan
sisanya adalah ras kecil. Predisposisi genetik untuk penyakit ini sering ditemukan
pada ras besar tertentu, seperti Labrador Retriever dan German Sheperd.
2.4.2 Kepincangan (Lameness)
Menurut Boden (2005), kepincangan (lameness) merupakan gejala adanya
kesakitan di daerah ekstremitas (kaki depan atau kaki belakang) pada anjing,
sehingga bukan suatu penyakit yang spesifik. Hal ini dapat mengindikasikan
adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal (Hanson et al., 2007).
Kepincangan (lameness) terbagi dalam dua jenis yakni kepincangan gerak dan
kepincangan tumpu. Kepincangan gerak terjadi apabila kesakitan berada di daerah
tarsus atau carpus ke atas, sedangkan kepincangan tumpu terjadi apabila kesakitan
berada di daerah tarsus atau carpus kebawah. Penyebab kepincangan (lameness)
umumnya terbagi menjadi dua yakni akibat trauma dan agen infeksius.
Kepincangan akibat trauma disebabkan karena tertabrak, terjepit, terpukul bahkan
25
berkelahi. Sedangkan akibat penyakit dapat disebabkan oleh adanya infeksi,
peradangan pada persendian, tumor, kelainan pertumbuhan atau adanya kelainan
pada tulang (Koesharyono, 2011).
2.4.3 Hip Dysplasia
Hip dysplasia adalah gangguan atau penyakit yang melemahkan dan terus
berkembang yang dikarakteristikan dengan ossifikasi perlahan pada caput femur,
kelemahan sendi panggul, dan keganjilan pada posisi acetabulum dan caput femur
yang mengakibatkan terjadinya sukluksasi. Subluksasi tersebut akan
mengakibatkan rasa sakit pada sendi dan seiring berjalannya waktu akan terjadi
osteoarthritis pada panggul yang mengalami dysplasia (Todhunter et al., 1999).
Menurut Boden (2005), beberapa kasus hip dysplasia merupakan penyakit
herediter, seperti:
1. Subluksasi yaitu kondisi dimana posisi caput femoris tidak terfiksir dengan
benar di dalam acetabulum. Deformitas caput femoris terjadi secara bertahap.
Gejalanya yaitu enggan bangkit dari posisi duduk dan kepincangan. Gejala
tersebut dapat diamati pada ras Alsatian dan Golden Retriever pada usia empat
sampai lima bulan.
2. Osteochondritis dissecans sering terjadi pada terrier yang memiliki kaki
pendek, poodle dan Pekingese. Kondisi ini mirip dengan penyakit Perthe.
Sering lelah dan kepincangan dapat teramati, terutama pada salah satu anggota
gerak.
26
3. Tergesernya epifisis juga dapat menyebabkan rasa sakit dan kepincangan pada
anjing usia empat sampai enam bulan, tetapi agak susah dibedakan dari
osteochondritis dissecans dan sering terjadi pada anjing berkaki pendek.
4. Dislokasi kongenital merupakan kondisi dimana acetabulum terlalu dangkal
untuk menjaga posisi caput femoris. Kondisi ini sering terjadi pada Labrador
hitam.
Hip dysplasia umumnya disebabkan oleh faktor keturunan, akan tetapi
juga dapat dipengaruhi faktor lingkungan, misalnya: ras, kecepatan pertumbuhan,
pola makanan atau nutrisi, cara dan lamanya latihan, adanya kelainan (deformitas)
dari tulang belakang (lumbo sacral), penyakit sumsum tulang belakang, trauma
dan adanya kelainan persendian dari kaki. Dari seluruh kasus hip dysplasia,
sebanyak 50% terjadi pada anjing ras besar. Tidak seperti dalam kasus hip
dysplasia pada manusia, hip dysplasia pada anjing tidak terdeteksi pada saat
anjing baru dilahirkan, kelainan ini dapat diamati selama tahun pertama
pertumbuhan. Hip dysplasia dapat menyerang baik anjing jantan maupun betina
dengan frekuensi yang sama, berbeda dengan kasus pada manusia yang sebagian
besar dialami pada wanita (Fries dan Remedios, 1995).
Apabila anjing mengalami hip dysplasia, maka pergerakan dari persendian
coxofemoralis mulai terbatas, sehingga otot kaki belakang secara perlahan
mengalami atropi. Lama kelamaan kaki belakang akan mengalami perubahan
bentuk. Akibatnya anjing enggan untuk berjalan, melompat atau naik tangga.
Selanjutnya kaki belakang anjing akan melengkung. Timbul rasa sakit bila kaki
belakang dimanipulasi terutama posisi ekstension (diluruskan). Gejala klinis hip
27
dysplasia yang akut sering timbul pada umur kurang dari 12 bulan, sedangkan
gejala-gejala yang kronis sering ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Tiley dan
Smith, 2011).
Berdasarkan tingkat keparahannya hip dysplasia terbagi menjadi tiga tipe,
yaitu ringan, sedang dan parah. Pada hip dysplasia ringan, tepi depan acetabulum
nampak datar dan tampak adanya subluksasio partial caput femoris (40-50%
masih ada di dalam acetabulum). Pada tipe sedang, acetabulum datar dan terjadi
subluksatio caput femoris (20-40% masih di dalam acetabulum) serta adanya
pertumbuhan tulang baru di sekitar persendian. Pada tipe parah, sebagian besar
atau seluruh caput femoris keluar dari acetabulum (<25% caput femoris terletak di
dalam acetabulum) dan terdapat banyak pertumbuhan tulang baru di sekitar
persendian coxofemoralis (Muhlbauer dan Kneller, 2013).
2.4.4 Luka Kecelakaan (Accidental Wound)
Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak dapat diduga. Anjing pun
dapat mengalami kecelakaan. Berbagai macam kecelakaan dapat dialami oleh
seekor anjing, seperti: tertabrak, tersengat serangga, tergigit hewan lain, terbakar,
tersetrum, dan lainnya. Kecelakaan tersebut dapat menyebabkan luka trauma pada
anjing. Luka adalah gangguan kontinuitas suatu jaringan, sehingga terjadi
pemisahan jaringan yang semula normal yang dapat disebabkan oleh cedera atau
pembedahan (Brooker, 2001).
Menurut Morgan dan Wolvekamp (2004), jenis luka bervariasi
berdasarkan seberapa besar, penyebab, dan organ yang terkena. Kejadian ini dapat
bersifat focal atau general yang mempengaruhi sebagian atau seluruh tulang
28
maupun sendi. Efek dari luka pada sistem muskuloskeletal dapat bervariasi,
seperti menyebabkan pasien dengan luka minimal mengalami kepincangan atau
tidak mampu menopang berat badan, selain itu pasien juga dapat mengalami
kelumpuhan maupun syok yang parah.
Morgan dan Wolvekamp (2004) menyatakan bahwa sebagian besar kasus
luka atau trauma disebabkan oleh kecelakaan akibat kendaraan, seperti mobil, bus,
truk, atau sepeda motor. Tingkat keparahan luka bervariasi tergantung bagaimana
pasien tertabrak, terlindas atau terseret oleh kendaraan. Tipe lain dari luka
disebabkan karena pasien terjatuh dari ketinggian yang tergantung dari jarak dan
cara mendarat. Terdapat juga jenis luka unik lainnya, yaitu ketika pasien
melompat dari kendaraan yang bergerak dan terbentur ke jalan. Jenis luka ini
dapat menjadi lebih kompleks apabila hewan terantai atau terikat, sehingga hewan
akan terseret. Kemungkinan lain penyebab luka adalah ketika hewan tertimpa oleh
benda berat, tertendang maupun tersangkut pada suatu benda. Luka gigitan juga
merupakan penyebab yang sering terjadi pada anjing dan selanjutnya dapat
dikomplikasikan oleh osteomyelitis sekunder. Luka tusuk diklasifikasikan
berdasarkan penyebab, yaitu akibat senapan dan benda tajam. Menurut Pemayun,
et al. (2009), secara umum, macam-macam luka dapat diklasifikasikan, sebagai
berikut:
29
2.4.4.1 Luka Terbuka (Vulnus Apertum)
Menurut Kaplan dan Hentz (1992), luka terbuka adalah kejadian dimana
keadaan kulit robek dan terbuka sehingga meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Contoh dari luka terbuka adalah:
1. Luka akibat benda tajam dengan ciri-ciri tepi luka licin, tidak terdapat
jembatan-jembatan jaringan, dan tidak ada jaringan yang mengalami nekrosis.
Misalnya luka iris (vulnus scissum) dan luka tusuk tajam (vulnus ictum).
2. Luka tumpul yaitu luka yang diakibatkan oleh benda tumpul, contohnya
adalah luka tembak (vulnus sclopetum) akibat peluru.
3. Luka gores (vulnus laceratum) yaitu luka akibat benturan benda tumpul
dengan ciri-ciri permukaan luka bergerigi tidak beraturan.
4. Luka penetrasi (vulnus penetratum) adalah luka yang dapat menembus rongga
tubuh, seperti peritoneum dan pleura.
5. Luka avulsum (vulnus avulsum) merupakan luka yang terjadi disertai sebagian
atau seluruh jaringan, seperti telinga terlepas, operasi pengangkatan tumor
dimana sebagian jaringan yang sehat ikut terbuang.
6. Luka gigit (vulnus mortum) misalnya luka tergigit serangga maupun hewan
lain.
7. Luka akibat fraktur atau patah tulang terbuka yang mengakibatkan kerusakan
jaringan vaskuler, epidermis dan sub-kutan.
30
2.4.4.2 Luka Tertutup (Vulnus Occlusum)
Menurut Marzoeki (1993), luka tertutup merupakan luka yang tidak
melampaui tebalnya kulit (epidermis dan dermis). Contoh luka tertutup adalah:
1. Luka lecet (vulnus excorasio) memiliki bagian yang ruska hanya di bagian
superfisial kulit atau tidak seluruh tebal kulit.
2. Luka lepuh (bulla) yang terjadi di bawah kulit epidermis sehingga timbul
ruangan berisi cairan, misalnya pada luka bakar (vulnus combustum).
3. Hematoma yaitu darah yang terakumulasi di suatu tempat sehingga harus
dikeluarkan supaya tidak terjadi infeksi, tidak menghambat kesembuhan luka
dan tidak terjadi pembentukan jaringan ikat.
4. Dislokasio yaitu longgarnya atau lepasnya hubungan antar tulang atau sendi.
5. Patah tulang tertutup (closed fracture) yaitu patah tulang tanpa merusak
jaringan yang lain.
Akibat yang ditimbulkan akibat luka adalah munculnya rasa sakit,
perdarahan, dan infeksi. Apabila perdarahan terjadi secara terus-menerus, maka
dapat mengakibatkan anemia sekunder, demam, dan dapat terjadi shock atau
kolaps (Pemayun et al., 2009).
2.4.5 Cedera pada Kuku (Nail Injury)
Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk yang menutupi
permukan dorsal ujung jari kaki depan dan belakang. Kuku anjing terdiri dari
sekumpulan pembuluh darah dan saraf yang disebut quick yang dikelilingi oleh
lapisan tanduk yang disebut keratin. Quick merupakan jaringan hidup, sedangkan
keratin tidak. Secara normal, terdapat lima kuku pada kaki depan anjing dan
31
empat kuku pada kaki belakang anjing. Kuku ibu jari pada kaki depan anjing,
yang terletak sedikit ke atas pada kaki depan, disebut dengan dewclaw (Budras et
al., 2007).
Umumnya, kuku anjing akan terkikis ketika anjing berjalan pada
permukaan yang kasar. Akan tetapi, anjing yang jarang berjalan atau sering
berjalan di permukaan yang halus, maka kukunya akan terus memanjang dan
mengakibatkan kuku menjadi berisiko untuk patah atau putus. Kuku anjing dapat
dengan mudah tersangkut pada permukaan benda, seperti celah lantai atau kayu,
karpet, dan lain-lain. Hal tersebut termasuk dalam luka ringan, akan tetapi dapat
menyebabkan rasa sakit dan pendarahan (Lagalisse, 2005).
Menurut Denny dan Butterworth (2000), cedera pada kuku (nail injury),
lebih sering terjadi pada anjing pacuan seperti Greyhound, akan tetapi cedera ini
juga dapat terjadi pada anjing ras lainnya. Mereka mengklasifikasikan cedera pada
kuku, sebagai berikut:
1. Split nail, yaitu bagian lapisan tanduk pada kuku terbelah secara longitudinal
yang memanjang dari ujung sampai ke bantalan kuku.
2. Pulled nail, yang sering mengenai dewclaw pada kaki depan. Kuku terlepas
seluruhnya, yang mengakibatkan tereksposnya bagian lamina yang sensitif.
Kejadian ini sering terjadi pada lomba pacuan.
3. Broken nail yang terjadi apabila kuku patah secara transversal.
4. Bruised nail terjadi apabila hanya sebagian kuku terpisah dari bantalannya
yang menyebabkan kepincangan dan rasa sakit ketika dipalpasi.
32
5. Deformed nail merupakan kuku yang tumbuh dengan sudut yang abnormal
akibat cedera yang terjadi sebelumnya dan dapat menusuk jari yang lainnya.
Top Related