5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Avicennia marina
Avicennia marina adalah salah satu spesies mangrove yang ada di
Indonesia yang juga dikenal dengan nama api-api jambu (Kitamura et al. 1997).
Avicennia marina banyak ditemukan di hilir hingga zona estuarin menengah di
seluruh daerah intertidal (Robertson & Alongi 1992 pada www.iucnredlist.org).
Gambar 1. Avicennia marina
(http://swbiodiversity.org)
Berikut dibawah ini adalah taksonomi dari Avicennia marina yang diambil dari
IUCN (www.iucnredlist.org) :
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnolopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Avicennia marina memiliki akar seperti pensil yang menonjol
kepermukaan yang disebut akar nafas. Kulit kayunya yang halus dengan burik-
burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Pada bagian batang
6
yang tua kadang-kadang ditemukan serbuk tipis (Noor et al. 1999). Avicennia
marina ini dapat tumbuh hingga setinggi 12 m. Daun dari Avicennia marina
memiliki bentuk lancip di ujung dan berwarna hijau pada bagian depan dan
berwarna keabu-abuan di bagian bawah dengan panjang sekitar 5-11 cm.
Bunganya berbentuk bulat kecil dengan diameter sekitar 0,4 – 0,5 cm dan
berwarna kuning hingga oranye, sedangkan buahnya berbentuk bulat dengan
ujung melancip dan permukaan berambut halus, berwarna hijau dengan ukuran
panjang 1.5 – 2.5 cm dan lebar 1,5 – 2,0 cm. (Kitamura et al. 1997).
Gambar 2. Bentuk Akar Avicennia marina
(http://www.mycapricorncoast.com)
Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground dan
nursery ground bagi beberapa jenis ikan dan crustaceae. Selain itu hutan
mangrove juga memiliki fungsi sebagai penahan gelombang laut, penahan abrasi,
dan penahan intrusi air laut.
a. Distribusi
Avicennia marina tersebar luas di dunia. Di selatan Asia, tumbuhan ini
tersebar dari Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Taiwan, Hong Kong,
Indonesia, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri
Lanka, Thailand, dan Vietnam. Di Australasia, tumbuhan ini ditemukan di
Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Pulau Solomon. Tumbuhan ini juga
7
ditemukan di Guam dan Micronesia. Di Indonesia, tumbuhan ini hampir
ditemukan di seluruh pulau di Indonesia.
b. Habitat
Avicennia marina umumnya ditemukan dalam bentuk semak belukar
hingga pohon dengan ukuran sekitar 2-5 m dan ditemukan di muara sungai atau di
daerah pasang surut rendah. (Peng & Xin Men 1983 dikutip dari
www.iucnredlist.org). Memiliki toleransi tinggi terhadap salinitas hingga 85 ppt.
Sedangkan salinitas optimal untuk pertumbuhannya adalah sekitar 0-30 ppt
(Robertson & Alongi 1992 dikutip dari www.iucnredlist.org).
c. Potensi
Avicennia marina memiliki potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai
bahan obat-obatan. Menurut penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya,
hampir seluruh bagian dari tanaman ini memiliki senyawa metabolit sekunder
yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmakologi, diantaranya alkaloid,
saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, dan steroid (Wibowo et al. 2009).
Avicennia marina diketahui berkhasiat sebagai obat-obatan diantaranya untuk
mengobati hepatitis, aphrodiasiac, diuretic, dan leprosy. Selain itu tumbuhan ini
juga memiliki sifat anti malaria dan sitotoksik (Sukardjo 1984; Miles et al. 1999;
Bandranayake 2002; Purnobasuki 2004; dan Purnomo 2006 dalam Bayu 2009).
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia dengan Metode Harborne (1987) dan Hosettmann
(1991) terhadap Avicennia marina
(sumber : Wibowo et al. 2009)
Pengujian Hasil Pengujian
Akar Batang Daun Kulit Batang
Alkaloid ++++ ++++ ++++ ++++
Saponin ++++ ++++ ++++ +++
Tanin + + +++ ++
Flavonoid +++ +++ ++ +++
Triterpenoid ++++ ++ ++++ +++
Steroid - - - -
8
Keterangan :
++++ : Positif kuat sekali
+++ : Positif kuat
++ : Positif
+ : Positif lemah
- : Negatif
2.2 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder merupakan hasil metabolisme makhluk hidup yang
tidak esensial bagi perkembangan dan pertumbuhan makhluk hidup yang
umumnya merupakan senyawa aromatik. Metabolit sekunder ini merupakan
bentuk pertahanan diri yang diproduksi hanya saat dibutuhkan dan umumnya
dihasilkan oleh tanaman. Metabolit sekunder memiliki struktur yang beragam
yang dipengaruhi oleh letak geografis, paparan sinar matahari, ataupun keragaman
secara genetis. Metabolit sekunder berperan sebagai antibiotik, antioksidan,
antibakteri, anti kanker, anti koagulan darah, dan dapat menghambat efek
karsinogenik (Copriady et al. 2005 dalam Handayani 2013).
2.2.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan di alam dan hampir seluruhnya berasal dari tumbuhan. Alkaloid dapat
ditemukan di hampir seluruh bagian dari tumbuhan. Alkaloid merupakan senyawa
yang bersifat basa yang memiliki satu atau lebih atom N dan berbentuk
heterosiklik. Alkaloid sering kali bersifat racun bagi manusia dan banyak dari
alkaloid yang memiliki aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak
dimanfaatkan dalam bidang pengobatan. Umumnya alkaloid ini berbentuk kristal.
(Harborne 1987)
Gambar 3. Struktur Kimia Salah Satu Jenis Alkaloid, Kafein.
(sumber : caffeine.com)
9
Alkaloid tidak memiliki tata nama sistematik dan memiliki struktur yang
banyak jenisnya sehingga pengklasifikasian alkaloid didasarkan pada strukturnya.
Menurut strukturnya, alkaloid dibedakan menjadi alkaloid pirolidin, piperidin,
isokuinolin, indol, kuinolin, alisiklik, dan aromatik.
2.2.2 Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif yang bersifat seperti sabun dan dapat
dideteksi dari kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah
(Harborne 1987). Saponin termasuk dalam golongan senyawa glikosida. Senyawa
ini menghasilkan aglikon bila terhidrolisis dan bersifat polar. Sifat polar ini
dikarenakan kandungan glukosa yang dikandung saponin, dimana glukosa
memiliki banyak OH yang bersifat polar.
Gambar 4. Glycyrrhizin, Salah Satu Jenis Saponin Glikosida
(sumber: friendly.com)
Umumnya saponin digunakan sebagai racun ikan. Saponin memiliki rasa
yang pahit, menusuk, dan menyebabkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin
dapat menyebabkan hemolisis pada darah. Terdapat dua klasifikasi saponin, yaitu
saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin memiliki karakteristik berupa
buih. Di luar sifat racun yang dimiliki saponin, senyawa ini juga bersifat sebagai
antibakteri.
2.2.3 Tanin
Tanin banyak terdapat dalam tumbuhan berpembuluh, khususnya dalam
jaringan kayu. Senyawa ini membentuk koloid bila dilarutkan ke air dan
mengendapkan protein dari larutannya. Secara kimia, tanin dibagi menjadi dua
jenis utama yaitu tanin terkondensasi dan tanin yang terhidrolisiskan. Tanin
terkondensasi ini banyak tersebar pada tumbuhan paku-pakuan dan gimnospermae,
10
angiospermae, dan tumbuhan berkayu sedangkan tanin terhidrolisiskan hanya
terdapat pada tumbuhan berkeping dua.
Gambar 5. Struktur Kimia Tanin
(sumber: arsenada.blogspot.com)
2.2.4 Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan
di alam (Harborne 10987). Kerangka dasar karbon flavonoid terdiri dari 15 atom
karbon dengan susunan C6-C3-C6. Susunan tersebut dapat menghasilkan tiga jenis
struktur yaitu flavonoid (1,3-diarilpropan), isoflavonoid (1,2-diarilpropan), dan
neoflavonoid (1,1-diarilpropan). Banyaknya jenis senyawa flavonoid yang ada di
alam disebabkan oleh variasi hidroksilasi, alkoksilasi, dan glikosilasi pada
struktur dasar flavonoid (1,3-diarilpropan).
Gambar 6. Struktur Flavonoid
(arimjie.blogspot.com)
Jenis-jenis Flavonoid yang banyak ditemukan di alam diantaranya adalah
flavon, flavonol, dan antosianidin. Sebagian besar flavonoid alam ditemukan
dalam bentuk glikosida dimana aglikon flavonoid dapat dibebaskan dari glikosida
11
dengan proses hidrolisa asam. Cara mendeteksi flavonoid ini dapat dilakukan
dengan cara disinari dengan sinar UV ataupun dengan kromatografi.
2.2.5 Triterpenoid / Steroid
Triterpenoid merupakan senyawa yang biosintesisnya diturunkan dari
hidrokarbon C30 asiklik, skualena. Senyawa ini memiliki struktur siklik yang
rumit, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi, aktif optik, dan umumnya sulit
diidentifikasi karena tidak memiliki kereaktifan kimia. Tritepenoid umumnya
dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena, steroid, saponin, dan
glikosida (Harborne 1987).
Gambar 7. Betulinic acid, Salah Satu Jenis Triterpenoid
(sumber : wikipedia)
Steroid merupakan turunan dari senyawa triterpenoid. Steroid alami
berasal dari berbagai macam transformasi kimia dari triterpen yaitu lanosterol dan
sikloartenol (Harborne 1987). Golongan kedua senyawa ini banyak ditemukan
pada tanaman mangrove dan memilik banyak fungsi diantaranya antiradang, anti
inflamasi, dan lain-lain (Bayu 2009).
Gambar 8. Struktur Kimia Steroid dan Penomorannya
(sumber : chem-is-try.com)
12
2.2.6 Senyawa fenolik
Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki cincin aromatik yang
membawa satu atau lebih gugus hidroksil dan memiliki struktur yang bervariasi
(Balasundram et al 2006 dalam Redha 2013). Dalam keadaan murni, senyawa
fenolik merupakan zat padat yang tidak berwarna, tetapi bila senyawa ini
teroksidasi, akan berubah menjadi berwarna gelap (Kurniawan 2012). Dengan
struktur senyawa fenolik yang khas, yaitu memiliki satu atau lebih gugus hidroksil
yang terikat pada cincin aromatik benzen, senyawa ini jadi memiliki sifat yang
khas yaitu dapat teroksidasi. Kemampuan dalam membentuk radikal fenoksi yang
stabil dalam proses oksidasi menyebabkan senyawa ini banyak digunakan sebagai
antioksidan (Kurniawan 2012).
Gambar 9. Struktur Dasar Senyawa Fenolik
(sumber: perpustakaancyber.blogspot.com)
Banyaknya senyawa fenolik pada suatu bahan alam dapat dilihat
menggunakan uji total fenol. Uji ini dilakukan dengan menggunakan reagen
Folin-Ciocalteau dan asam galat sebagai standarnya.
2.3 Metode Isolasi Metabolit Sekunder
2.3.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pembuatan ekstrak bahan alam dimana
ekstraksi ini dilakukan untuk menarik komponen kimia pada bahan alam
(Harborne 1987). Ada beberapa metode ekstraksi diantaranya perkolasi, sokletasi,
dan maserasi. Metode ekstraksi yang umum digunakan adalah maserasi. Maserasi
merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang
cocok untuk senyawa yang akan dicari dan dilakukan berulang-ulang hingga
senyawa tersebut habis dari sampel yang ditandai dengan warna pelarut yang
berubah menjadi bening setelah perendaman (Rolando 2011).
13
2.3.2 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair.
Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu
dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan
larut dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar,
dan yang bersifat polar akan larut kedalam pelarut polar (Harborne 1987).
Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong pisah
atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu metode
pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom (Trifany 2012). Corong pisah
merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk memisahkan komponen-
komponen dalam campuran antara dua fase pelarut yang memiliki massa jenis
berbeda yang tidak tercampur (Haznawati 2012).
Gambar 10. Corong Pisah
(sumber: greatminds2.wordpress.com)
Ekstrak yang telah dilarutkan dalam aquades, nantinya akan dimasukkan
ke dalam corong pisah dan dicampur dengan pelarut berdasarkan tingkat
kepolarannya. Setelah itu corong pisah dikocok. Setelah dikocok, akan terbentuk
dua lapisan seperti pada gambar 10. Pelarut yang memiliki massa jenis lebih
tinggi akan berada di lapisan bawah, dan yang memiliki massa jenis lebih kecil
akan berada di lapisan atas. Senyawa yang terkandung dalam ekstrak nantinya
akan terpisah sesuai dengan tingkat kepolaran pelarut yang digunakan. Senyawa
14
akan tertarik oleh pelarut yang tingkat kepolarannya sama dengan dengan
senyawa tersebut.
2.4 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan molekul yang kehilangan satu buah elektron
dari pasangan elektron bebasnya dan terbentuk dari dua cara, yaitu secara endogen
sebagai respon normal dari peristiwa biokimia dalam tubuh dan secara eksogen
dari polusi dari luar tubuh yang bereaksi didalam tubuh (Supari (1995) dalam
Nurmillah (2009)). Molekul radikal ini menjadi tidak stabil dan mudah bereaksi
dengan molekul lainnya sehingga terbentuk molekul radikal baru. Radikal bebas
yang didapat secara endogen terbentuk akibat aktivitas tubuh diantaranya aktivitas
autooksidasi, oksidasi enzimatik, organel subseluler, aktivitas ion transisi, dan
berbagai sistem enzim lainnya (Benito dan Kurnani (2001) dalam Darmawan dan
Artanti (2006)).
Menurut Wijaya (1996) dan Amrun (2004) dalam Darmawan dan Artanti
(2006), Akumulasi radikal bebas dapat menimbulkan penyakit yang bersifat
degeneratif seperti kanker, tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, katarak,
diabetes, dan rematik arthritis. Keberadaan radikal bebas sebenarnya berperan
untuk pemeliharaan kesehatan karena sifatnya yang reaktif untuk mengikat
molekul asing yang masuk kedalam tubuh. Ketidakseimbangan antara jumlah
radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh dapat mengganggu sistem
metabolisme yang diakibatkan oleh radikal bebas yang menyerang lipid, DNA,
dan protein komponen sel dan jaringan (Helliwel dan Gutteridge (1989); Sumarsi
dan Slamet (1992) dalam Darmawan dan Artanti (2006)). Keberadaan radikal
bebas dalam tubuh dapat dikurangi dengan adanya antioksidan yang akan
berikatan dengan elektron dari radikal bebas sehingga keadaannya menjadi stabil.
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek
berbahaya radikal bebas oksigen reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal
bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya.
Antioksidan mampu menghambat oksidasi molekul-molekul lain di dalam tubuh.
15
Oksidasi itu sendiri adalah reaksi kimia yang mentransfer elektron atau hidrogen
dari suatu zat ke agen oksidator. Reaksi oksidasi dapat menghasilkan radikal
bebas yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Lebih spesifik lagi, proses
oksidasi dapat menyebabkan kerusakan membran sel tubuh manusia dan struktur
lainnya, termasuk protein selular, lipid, dan DNA.
Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu
antioksidan alami yang berasal dari ekstraksi bahan alam dan antioksidan sintetik
yaitu antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia (Karyadi 1997
dalam Nurmillah 2009). Antioksidan alami pada umumnya terdapat pada buah-
buahan, sayuran, dan tanaman berkayu. Menurut Pratt (1992) dalam Herawati
(2011) dan Nurmillah (2009), Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan
umumnya adalah senyawa fenolat atau polifenolat yang dapat berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokofenol, dan asam-asam organik.
Asam askorbat merupakan salah satu contoh antioksidan alami yang terdapat
dalam berbagai jenis buah-buahan dan sayuran.
Menurut Ong et al. (1995) dalam wikipedia.org, mekanisme kerja antioksidan
seluler diantaranya:
antioksidan berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas, atau
oksigen tunggal;
Antioksidan mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah jenis
oksigen reaktif menjadi kurang toksik, mencegah kemampuan oksigen
reaktif.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi tiga, yaitu
antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer berperan untuk
mencegah pembentukan radikal bebas baru dengan memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan sekunder berfungsi
untuk menangkap senyawa radikal serta mencegah terjadinya reaksi berantai,
sedangkan antioksidan tersier berfungsi untuk memperbaiki kerusakan sel dan
jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas.
16
Gambar 11. Struktur Kimia DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)
(sumber: Wikipedia.org)
Salah satu metode pengujian aktivitas antioksidan adalah metode DPPH (2,2-
difenil-1-pikrilhidrazil). Menurut Miller (2006) dalam Nurmillah (2009), metode
ini merupakan metode pengujian yang sederhana dengan menggunakan 2,2-
difenilpikrilhidrazil sebagai senyawa pendeteksi. DPPH ini merupakan senyawa
radikal bebas yang dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu
antioksidan dan membentuk DPPH tereduksi (Simanjuntak et al. 2002 dalam
Nurmillah 2009). Reaksi antara DPPH dengan senyawa radikal bebas dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:
Gambar 12. Reaksi DPPH dengan Senyawa Antioksidan
(sumber : Molyneux, 2004)
Top Related