5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Niasinamida
2.1.1 Struktur Kimia Niasinamida
Gambar 2.1 Struktur kimia niasinamida
Sumber : (Gille et al., 2008)
2.1.2 Sifat dan karakteristik Niasinamida
Niasinamida mempunyai sinonim Nikotinamida, Niasinamid, Niacinamide.
Nama kimianya adalah Piridin-3-karboksinamida (C6H6N2O). Niasinamida
mempunyai bentuk serbuk hablur, putih, tidak berbau dan mempunyai rasa pahit.
Larutan bersifat netral terhadap kertas lakmus. Kelarutannya mudah larut dalam
air, dalam etanol dan larut dalam gliserin. Berat mlekul Niasinamida adalah
122,12. Jarak leburnya antara 128o dan 131o dan mempunyai pH 6,0-7,5 (DepKes
RI, 2014).
Niasinamida sering disebut juga Niasin dan Vitamin B3. Niasinamida
tahan dengan pemanasan, udara dan oksidan tetapi Niasinamida dihidrolisis oleh
asam kuat dan larutan alkalis. Niasinamida adalah molekul hidrofilik dan
diasumsikan menjadi vitamin larut air yang paling stabil (Leskova et al., 2006;
Nicoli et al., 2008). Stabilitas Niasinamida tetap konstan selama penyimpanan
pada suhu 20o, 30o dan 37oC selama 12 bulan (Albala et al., 2000). Niasinamida
memiliki toksisitas rendah dan telah terdaftar oleh FDA diantara senyawa GRAS
(Generally Recognized as safe) (Nicoli et al., 2008).
6
2.1.3 Sumber Niasinamida
Niasinamida dapat ditemukan pada tumbuh-tumbuhan dan hewan salah
satunya terdapat pada beberapa sumber makanan seperti daging, kacang-
kacangan, biji-bijian, ragi, dan sebagainya (Salvador dan Chisvert 2007).
Niasinamida tersedia dalam tiga bentuk yaitu Niasinamida (nikotinamida), asam
nikotinat, dan ester nikotinat (myristyl nicotinate, benzyl nicotinate) (Draelos dan
Thaman 2006).
2.1.4 Manfaat Niasinamida
Berbagai produk kosmetik memiliki perkembangkan dengan berbagai efek
klinis. Beberapa bahan kosmetik ditambahkan dalam kosmetik berdasarkan
manfaat teoritis yang ditemukan pada studi in vitro untuk penyembuhan luka dan
proses metabolik lainnya. Berbagai tanda-tanda photoaging pada kulit, Misalnya,
depigmentasi, kerutan halus dan kulit kasar, sebagian besar terdapat dalam
beberapa kosmetik. Niasinamida merupakan bagian integral dari koenzim
nicotinamida adenin dinukleotida (NAD) dan NAD fosfat. Kekurangan
Niasinamida dapat menyebabkan pellagra. Penggunaan Niasinamida secara
topikal dapat mengurangi hilangnya air dari transepidermal dan meningkatkan
kadar air dari layer. Selain itu, Niasinamida meningkatkan sintesis keratin dan
merangsang produksi ceramide. Penggunaan Niasinamida secara topikal
dilaporkan dapat memudarkan warna, mengurangi kerutan, bercak merah dan titik
hiperpigmentasi dalam penuaan kulit wajah (Kawada et al., 2008).
Niasinamida mampu meningkatkan fungsi penghalang lapisan kulit
sehingga meningkatkan resistensi kulit terhadap lingkungan dari senyawa yang
dapat merusak seperti surfaktan, pelarut, dan dapat mengurangi iritasi, inflamasi,
dan kekasaran dimana dapat menyebabkan penuaan pada kulit (Bissett, 2009;
Draelos dan Thaman, 2006). Selain itu, Niasinamida dapat meningkatkan
kandungan air pada lapisan tanduk, antigaris halus, antikerut, antioksidan,
mengurangi hiperpigmentasi, dan antijerawat (Lupo, 2001).
Penggunaan Niasinamida 5% secara topikal juga diuji selama 12 minggu
kepada wanita yang berusia 40-60 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan signifikan selama 8 hingga 12 minggu berupa pengurangan garis
7
halus dan kerutan pada kulit wajah, mengurangi lipid sebasea dan ukuran pori-
pori, mengurangi hiperpigmentasi serta meningkatkan elastisitas kulit (Bissett et
al., 2005). Niasinamida dapat digunakan dengan dosis yang cukup tinggi (2%
sampai 5%) untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Kulit memiliki toleransi
yang sangat tinggi untuk penggunaan Niasinamida bahkan dengan penggunaan
jangka panjang. Pemakaian Niasinamida dengan dosis tinggi dapat digunakan dan
diterima oleh kulit. Dosis topikal Niasinamida adalah 1-5% (Bissett, 2009).
Niasinamida memiliki efek yang lebih baik dalam mengurangi ukuran pori,
hiperpigmentasi, dan kerut. Penggunaan dengan konsentrasi tinggi dapat
meningkatkan efek anti-penuaan (Surjanto et al., 2016).
Sebagai pencerah kulit, Niasinamida telah diamati bekerja dengan cara
menghambat proses transfer melanosom, dari melanosit ke keratinosid sehingga
terjadi pengurangan hiperpigmentasi kulit (Bisset et al., 2004). Niasinamida dapat
bekerja sebagai anti penuaan dengan dua cara, yang pertama Niasinamida
meningkatkan produksi kolagen yang dapat mengurangi munculnya kerutan pada
kulit wajah. Niasinamida meningkatkan aktivitas HAT (Histone Acetyltrans-
ferase) pada fibroblas manusia, sementara pada sel penuaan aktivitas HAT dan
Histone H4 asetilasi diturunkan. Hal ini menunjukkan bahwa Niasinamida mampu
untuk membalikkan fenotip penuaan dari fibroblas melalui modulasi histon.
Kemudian Niasinamida juga bekerja dengan cara mengurangi produksi kelebihan
glikosaminoglikan kulit yang merupakan ciri khas dari penuaan atau kerutan pada
kulit (Draelos dan Thaman 2006; Kawada at al., 2008).
2.1.5 Penetrasi Niasinamida Kedalam Kulit
Stratum korneum merupakan lapisan kulit paling luar, agar bahan obat dapat
berpenetrasi kedalam kulit, bahan obat harus dapat menembus stratum korneum.
Stratum korneum tersusun dari sekitar 40% protein (terutama keratin) dan 40% air
dan fosfolipid. Konsentrasi kandungan lipid pada fase ekstraselular stratum
korneum dan membentuk sebagian besar membran di sekitar sel. Karena rute
penetrasi obat utama melalui saluran interselular, komponen lipid dianggap
sebagai penentu paling penting dalam langkah pertama absorbsi (Ansel et al.,
2008). Niasinamida merupakan senyawa hidrofilik sehingga sulit untuk
menembus ke dalam kulit karena struktur lipid bilayer dari stratum korneum
8
(Hakozaki et al., 2006; Nicoli et al., 2008). Selain itu penelitian yang dilakukan
secara kuantitatif membuktikan bahwa Niasinamida dapat menembus lapisan
epidermal, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Sehingga dibutuhkan
penetration enhancer untuk membantu Niasinamida menembus stratum korneum
(Gehring et al., 2004).
2.2 Kulit
Gambar 2.2 Struktur Kulit
Sumber : (Chandra, 2015)
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutup seluruh tubuh dan
melindungi dari bahaya yang datang dari luar. Bagi wanita, kulit merupakan
bagian tubuh yang perlu mendapat perhatian khusus untuk memperindah
kecantikan. Kulit manusia mempunyai ketebalan yang bervariasi, mulai dari 0,5
mm sampai 5 mm, dengan luas permukaan sekitar 2 m2 dan berat sekitar 4 kg
(Wibowo, 2005).
Secara hispatologis kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu: lapisan
epidermis atau kutikel, dermis dan subkutis (hipodermis).
A. Lapisan Epidermis
Epidermis terdiri (Djuanda Adhi et al., 2001):
1. Stratum Korneum (lapisan tanduk)
Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak
berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk).
2. Stratum Lusidum
9
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini
lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
3. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar
dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa
biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4. Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau lapisan akanta
Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih
karena banyak mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila
semakin dekat ke permukaan. Diantara stratum spinosum, terdapat jembatan
antar sel (intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril
atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula
sel langerhans.
5. Stratum Basalis
Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada
perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal
bermitosis dan berfungsi reproduktif.
a. Sel kolumnar adalah protoplasma basofilik inti lonjong besar,
dihubungkan oleh jembatan antar sel.
b. Sel pembentuk melanin (melanosit) adalah sel berwarna muda,
sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen (melanosom).
B. Lapisan Dermis
Dermis terdiri atas 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata, stratum
papilare di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih dalam.
a. Stratum papilare tipis terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas dan sel
jaringan ikat lainnya terdapat di stratum ini seperti sel mast dan
makrofag. Dari lapisan ini, serabut lapisan kolagen khusus menyelip ke
dalam lamina basalis dan meluas ke dalam dermis. Serabut kolagen
tersebut mengikat dermis pada epidermis dan disebut serabut penambat.
10
b. Stratum retikulare lebih tebal, yang terdiri atas jaringan ikat padat tak
teratur (terutama kolagen tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih
banyak serat dan lebih sedikit sel daripada stratum papilar (Junqueira,
2007).
Dermis kaya dengan jaring-jaring pembuluh darah dan limfa. Di daerah
kulit tertentu, darah dapat langsung mengalir dari arteri ke dalam vena melalui
anastomosis atau pirau arteriovenosa. Pirau ini berperan sangat penting pada
pengaturan suhu. Selain komponen tersebut, dermis mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
(Junqueira, 2007).
C. Lapisan Subkutis
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara
longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di
atasnya. Hipodermis sering mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya
bervariasi sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status
gizi yang bersangkutan. Lapisan ini juga disebut sebagai jaringan subkutan dan
jika cukup tebal disebut panikulus adiposus (Junqueira, 2007).
2.2.1 Fungsi Kulit
Menurut (Djuanda Adhi et al., 2001) fungsi kulit secara umum sebagai
berikut:
1. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik, misalnya
tekanan; gesekan; tarikan; zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan; gangguan
yang bersifat panas, misalnya radiasi, paparan sinar UV, gangguan infeksi luar
terutama kuman maupun jamur.
2. Fungsi absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
3. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan ammonia.
11
4. Fungsi pengaturan suhu tubuh
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit.
5. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi syaraf.
6. Fungsi keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit,
sel langerhan dan melanosit.
7. Fungsi pembentukan vitamin D
Dengan mengubah 7 hidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.
2.2.2 Hiperpigmentasi
Warna kulit seseorang terutama ditentukan oleh jumlah melanin. Fungsi
utama melanin yaitu proteksi terhadap radiasi UV. Peningkatan sintesis melanin
atau distribusi melanin yang tidak merata dapat menyebabkan kelainan
hiperpigmentasi. Melanogenesis terjadi didalam melanosit (Sudharmono, 2005).
Proses pembentukan pigmen melanin terjadi pada butir-butir melanosum
yang dihasilkan oleh sel melanosit terdapat di antara sel-sel basal keranosit di
dalam lapisan basal (stratum germinavum), melanosit memberikan melanosum
kepada sejumlah sel-sel keranosit di sekelilingnya. Melanosom yang terdapat di
keratinosit berbentuk partikel padat atau gabungan dari 3-4 buah partikel lebih
kecil yang mempunyai membran dinamakan melanosom kompleks. Pembentukan
melanosum di dalam melanosit melalui 4 fase yaitu :
Fase I : Permulaan pembentukan melanosum dari matriks protein dan
tirosin, diliputi membran dan berbentuk vesikula bulat.
Fase II : Disebut pre-melanosum, pembentukan lebih sempurna, belum
terlihat adanya pembentukan melanin.
Fase III : Mulai Nampak adanya deposit melanin di dalam membran
vesikula, disini mulai terjadi melanisasi melanosom.
Fase IV : Deposit melanin memenuhi melanosom yang merupakan
partikel-partikel padat dan berbentuk sama.
12
Proses melanisasi melanosom terjadi di fase III dan IV sebelum melanosom
diekskresikan ke keratinosit (Tranggono dan Latifah, 2007).
2.2.3 Penuaan Kulit
Banyak faktor luar yang mempengaruhi penuaan kulit, yang paling utama
ialah sinar matahari (sinar UV). Kulit yang sering terpapar sinar matahari
cenderung lebih cepat kering, keriput, dan kasar. Kulit kering disebabkan oleh
menurunnya fungsi kelenjar minyak kulit (kelenjar sebasea). Keriput disebabkan
oleh berkurangnya kadar air kulit dan mengeringnya serabut kolagen serta elastin
akibat penurunan sekresi hormon-hormon kelamin. Penurunan kecepatan
metabolisme sel basal dan proses keratinisasi mengakibatkan regenerasi sel-sel
epidermis menjadi lambat (Tranggono dan Latifah 2007).
2.3 Krim
2.3.1 Definisi Krim
K r im adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini
secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai
konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak
dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri
dari emulsi minyak dalam air atau dispers mikrokristal asam-asam lemak atau
alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih
ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 2014).
2.3.2 Penggolongan Krim
Krim digolongkan menjadi 2 tipe yaitu A/M dan M/A tergantung pada
jumlah emulgator yang digunakan. Krim larut dengan fase kontinu :
a. Emulsi air dalam minyak (A/M) merupakan minyak sebagai basis krim, basis
ini diproduksi oleh bahan pengemulsi yang berasal dari alam. Basis tersebut
memiliki sifat emolien yang baik. Basis ini mempunyai konsistensi yang
lembut, putih atau bening dan agak kaku (Marriott et al., 2014).
b. Emulsi minyak dalam air (M/A) merupakan air sebagai basis krim. Basis ini
diproduksi oleh lilin sintetis. Lilin sintesis adalah basis terbaik yang
13
digunakan untuk absorbsi dan penetrasi obat yang cepat. Basis ini tipis, putih
dan mempunyai konsistensi lembut (Marriott et al., 2014).
2.3.3 Krim Tipe A/M dan Formulasinya
Krim tipe A/M merupakan sediaan yang terdiri dari fase minyak, fase air
dan zat aktif, dimana konsentrasi fase minyak didalam formula cukup tinggi 50-
58% (Mitzui, 1997).
Formula basis krim tipe A/M berdasarkan jurnal penelitian Shovyana dan
Zulkarnain 2013 yaitu :
Cera Alba 16%
Parafin liquidum 45%
Span 80 5%
Metil paraben 0,1%
Propil paraben 0,2%
Pewangi qs
Aquadest ad 100%
Sediaan topikal yang sesuai dengan mempertimbangkan tujuan pengobatan
dan kelarutan dari bahan aktif adalah krim, dimana krim ini merupakan suatu
sistem emulsi yang terdiri dari fase air dan fase minyak. Diharapkan bahan aktif
yang digunakan dapat terdispersi secara merata kedalam basis krim. Krim dengan
tipe A/M, memiliki penyebaran lebih baik daripada tipe M/A, walaupun sedikit
berminyak tetapi penguapan air yang terkandung dalam emulsi berjalan lambat
sehingga menimbulkan rasa dingin pada kulit (Shovyana dan Zulkarnain 2013).
Selain itu kandungan fase luar berupa minyak akan menyebabkan krim dapat
melekat lebih lama pada kulit sehingga akan menghasilkan efek terapi yang lebih
panjang (Ansel, 2008).
2.3.4 Fungsi Krim
Sediaan semipadat biasanya ditujukan untuk pemakain pada kulit. Sediaan
semipadat biasanya berfungsi sebagai bahan pembawa substansi obat untuk
pengobatan kulit, biasanya ditambahkan bahan lainnya seperti emolien dan
pelindung atau oklusif (Lachman et al., 1990).
14
2.3.5 Stabilitas Krim
Stabilitas krim akan rusak jika sistem campurannya terganggu oleh perubahan
suhu dan komposisi, misalnya adanya penambahan salah satu fase secara
berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan,
guncangan mekanik atau getaran, ketidakseimbangan densitas, reaksi antara dua
atau lebih komponen dalam sistem dan penambahan asam atau senyawa elektrolit.
(Suryani, 2000).
Beberapa bentuk ketidakstabilan sediaan krim antara lain :
1. Creaming
Creaming ialah yaitu terpisahnya emulsi menjadi 2 lapisan, yaitu bagian
mengandung fase disper lebih banyak daripada lapisan yang lain. Creaming
bersifat reversibel, artinya dengan pengadukan perlahan-lahan akan terdispersi
kembali (Syamsuni, 2006).
2. Koalesensi dan Cracking
Koalesensi ialah pecahnya emulsi karena film yang meliputi artikel rusak dan
butir minyak berkoalesensi atau menyatu menjadi fase tunggal yang memisah.
Emulsi ini bersifat irreversibel (tidak dapat diperbaiki kembali) (Syamsuni, 2006).
3. Inversi fase
Inversi fase adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi M/A menjadi A/M atau
sebaliknya. Sifatnya irreversibel (Syamsuni, 2006).
2.3.6 Keuntungan Krim Tipe A/M
Krim air dalam minyak bersifat keras, berminyak dan lengket. Oleh karena
itu, krim tipe A/M biasanya digunakan untuk perlindungan terhadap air, krim
bayi, atau krim malam, dan juga untuk krim siang. Keuntungan dari emulsi A/M
adalah:
a. Sebagai penutup atau pelindung alami karena memiliki sifat kemiripan dengan
lapisan lipid dalam stratum korneum.
b. Sebagai perlindungan kulit yang efisien karena dapat membentuk lapisan lipid
terus menerus pada kulit setelah pemakaian.
15
c. Sebagai moisturization karena bersifat semioklusif yang dapat mengurangi
penguapan air pada kulit dan bahan aktif dilepaskan melalui fase internal,
umumnya beberapa kali lebih efisien daripada M/A emulsi.
d. Dapat meningkatkan penetrasi ke dalam stratum korneum.
e. Dapat menurunkan resiko pertumbuhan mikroba.
Sifat fisikokimia dari komponen lipid mempengaruhi sifat penyebaran pada
kulit, tingkat oklusifitas dan perlindungan kulit. Oleh karena itu, pemilihan sistem
emulsi krim tipe M/A atau A/M sangatlah penting (Barel et al., 2009).
2.3.7 Bahan Pengemulsi dan Pengawet
2.3.7.1 Pengemulsi
Krim tipe A/M dengan kandungan fase minyak yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 50-85 % (Mitzui, 1997). Dalam proses pembuatannya, membutuhkan
emulgator untuk menjaga stabilitas sediaan krim tipe A/M (Barel et al., 2009).
Emulsi merupakan campuran dari fase air dan fase minyak, sehingga dibutuhkan
emulgator untuk membentuk emulsi yang baik yaitu keadaan dimana kedua fase
dapat bergabung. Emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan)
disekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi. Emulgator juga dapat menurunkan
tegangan permukaan sehingga sediaan tersebut terbentuk emulsi. Tanpa adanya
emulgator yang sesuai maka emulsi akan membentuk creaming, flokulasi,
koalesensi, dan inversi yang disebut sebagai fenomena ketidakstabilan emulsi.
Selain itu emulgator memiliki peranan penting yaitu sebagai penetrating enhancer
sehingga dapat mempercepat absorbsi dari zat aktif (Mollet H et al., 2001 dan
Anief, 2005).
Emulgator dapat dikelompokkan menjadi anionik, kationik, nonionik dan
amfoter. Emulgator anionik terdisosiasi dalam larutan air, dan anionnyalah yang
bekerja sebagai emulgator. Bagian yang terionisasi bisa berupa karboksilat, sulfat,
sulfonat, atau fosfat dan beberapa emulgator anionik dapat menyebabkan busa
dalam sediaan (contoh: natrium oleat digunakan untuk emulgator M/A).
Emulgator kationik terdisosiasi di dalam larutan air, emulgator kationik berbeda
dari anionik dan nonionik karena mereka membawa muatan positif, emulgator ini
tidak dapat digunakan bersama sabun lainnya karena akibat perbedaan muatannya
16
menyebabkan tidak dapat berfungsi sebagai emulgator lagi (contoh :
benzalkonium bromida untuk emulgator M/A). Emulgator nonionik tidak
membentuk ion dalam air, emulgator nonionik memiliki kompatibel kulit dan
mata yang bagus dan memiliki potensi iritasi yang rendah apabila dikombinasikan
bersama anionik dengan konsentrasi yang sesuai (contoh : ester sorbitan
digunakan untuk emulgator A/M). Emulgator amfoter adalah semyawa kimia,
yang menunjukkan grup kationik dan anionik dalam molekulnya (contoh : lesitin
digunakan untuk emulgator M/A atau A/M) (Voigt, 1994 dan Barel et al., 2009).
2.3.7.2 Pengawet
Pengawet digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
terutama pada sediaan yang mengandung fase air seperti emulsi. Tipe emulsi
minyak dalam air sangat membutuhkan pengawet karena kontaminasi fase
eksternal mudah terjadi. Pengawet yang sering digunakan biasanya bersifat
fungistatik dan bakteriostatik. Pengawet yang biasanya digunakan yaitu metil-,
etil-, propil-, dan butil paraben, asam benzoat, dan senyawa amonium kuartener
(Depkes RI, 1995).
Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya adalah metilparaben
(nipagin) 0,12% – 0,18% dan propilparaben (nipasol) 0,02% – 0,05% (Syamsuni,
2006).
2.3.8 Sistem HLB
Pada umumnya setiap bahan pengemulsi memiliki bagian hidrofilik dan
lipofilik, dengan satu atau yang lain lebih atau kurang dominan dalam
mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan diatas untuk membentuk tipe
emulsi. Sebuah metode yang dirancang untuk pengemulsi atau bahan permukaan
aktif dapat dikategorikan pada penyusun kimia untuk keseimbangan hidrofil-
lipofil atau HLBnya. Bahan yang sangat polar atau hidrofilik ditandai dengan nilai
HLB yang tinggi dibandingkan yang kurang polar atau lebih lipofilik. Umumnya,
bahan permukaan aktif yang memiliki nilai HLB 3-6 lebih lipofil dan
menghasilkan emulsi A/M. Sedangkan bahan dengan nilai HLB 8-18
menghasilkan emulsi M/A (Ansel, 2008).
17
Dalam sistem HLB, selain untuk bahan pengemulsi, nilai ditandai untuk
bahan minyak dan bahan menyerupai minyak. Dengan menggunakan dasar HLB
dalam penyiapan suatu emulsi, dapat dipilih bahan pengemulsi yang memiliki
nilai HLB yang sama atau mendekati minyak dari emulsi yang diinginkan. Untuk
membuat emulsi yang stabil, bahan pengemulsi harus memiliki harga HLB sama
dengan HLB untuk minyak atau air, bergantung pada jenis emulsi yang
diinginkan. Jika diperlukan, dua atau lebih pengemulsi dapat dikombinasikan
untuk mendapatkan nilai HLB yang diinginkan (Ansel, 2008).
2.3.9 Cara Pembuatan Krim
Seperti pembuatan sediaan lain, dalam pembuatan emulsi kebersihan dari
seluruh alat yang digunakan sangat penting, seperti wadah pembuatan emulsi,
spatula dan peralatan lainnya. Dalam pembuatan krim harus melebihkan bahan-
bahan yang digunakan karena krim tidak dapat dipindahkan seluruhnya kedalam
wadah akhir. Selanjutnya menentukan bahan yang larut dalam fase air dan fase
minyak. Lalu melarutkan bahan yang larut air kedalam fase air. Untuk pembuatan
fase minyak yaitu dengan mencairkan basis lemak dalam wadah di atas penangas
air pada suhu serendah mungkin. Dimulai dari basis yang memiliki titik leleh
tertinggi. Kemudian didinginkan hingga 60oC (panas yang berlebihan dapat
mendenaturasi bahan pengemulsi dan stabilitas produk dapat hilang). Kemudian
zat yang larut atau bercampur dengan fase minyak diaduk ke dalam leburan. Lalu
Suhu fase air harus disesuaikan hingga 60oC. Sehingga fase dispersi ditambahkan
kedalam fase kontinyu pada suhu yang sama. Maka untuk membuat krim tipe
M/A masukkan fase minyak kedalam fase air dan Untuk membuat krim tipe A/M
masukkan fase air kedalam fase minyak. Kemudian aduk emulsi yang dihasilkan
tanpa memasukkan udara, hingga terbentuk massa krim. Jangan mempercepat
pendinginan karena akan menghasilkan produk yang kurang bagus (Marriott et
al., 2014).
18
2.4 Uji Evaluasi Sediaan Krim
1. Tipe Emulsi
Tipe emulsi dilakukan untuk membuktikan bahwa krim yang dibuat
merupakan krim dengan tipe emulsi A/M (Shovyana dan Zulkarnain
2013).
2. Uji Organoleptis
Uji organoleptis dimaksudkan untuk melihat tampilan fisik suatu
sediaan yang meliputi bentuk, warna dan bau. Ini dilakukan untuk
mengetahui krim yang dibuat sesuai dengan warna dan bau bahan aktif
yang digunakan. (Juwita et al., 2013).
3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui
tercampurnya bahan-bahan sediaan krim (Juwita et al., 2013).
4. Uji pH
Uji pH bertujuan untuk mengetahui keamanan sediaan krim saat
digunakan. Jika krim memiliki pH yang terlalu basa dapat menyebabkan
kulit bersisik, sedangkan pH yang terlalu asam dapat menyebabkan iritasi
kulit (Alissya et al., 2013). Kosmetik dengan pH balanced menurut SNI
16-4399-1996 adalah pH kosmetik sama atau dekat dengan pH fisiologis
kulit yaitu 4,5-8,0.
5. Uji Viskositas
Viskositas sediaan semi padat menjadi salah satu faktor yang
perlu diperhatikan karena berkaitan dengan kenyamaan penggunaan
(Shovyana dan Zulkarnain 2013). Viskositas merupakan salah satu
parameter penting dalam produk emulsi. Nilai viskositas berkaitan
dengan kestabilan emulsi suatu bahan, semakin tinggi viskositas suatu
bahan, maka bahan tersebut akan semakin stabil karena pergerakan
partikel cenderung sulit dengan semakin kentalnya suatu bahan
(Yunilawati et al., 2011).
6. Uji Daya Sebar
Uji daya sebar basis dilakukan untuk mengetahui kemampuan basis
menyebar pada permukaan kulit ketika diaplikasikan. Kemampuan
19
penyebaran basis yang baik akan memberikan kemudahan pengaplikasian
pada permukaan kulit. Selain itu penyebaran bahan aktif pada kulit lebih
merata sehingga efek yang ditimbulkan bahan aktif menjadi lebih optimal
(Shovyana dan Zulkarnain 2013).
7. Uji Stabilitas
Uji stabilitas dilakukan untuk memastikan dan menjaga kualitas,
keamanan dan efikasi produk sepanjang masa simpan dianggap sebagai
persyaratan untuk penerimaan dan persetujuan produk farmasi (Bajaj et
al., 2012).
2.5 VCO
2.5.1 Cara Pembuatan VCO
Cara pembuatan VCO dapat diperoleh melalui proses fermentasi,
pendinginaan dan tekanan mekanis atau sentrifugasi (Haerani, 2010). VCO
merupakan minyak yang berasal dari buah kelapa tua segar yang diperoleh tanpa
proses pemanasan atau dengan suhu rendah (<60oC) yang terbentuk setelah santan
didiamkan dalam beberapa hari. Berikut adalah cara pembuatan VCO dengan
proses sentrifugasi diambil daging kelapa segar kemudian diparut dengan mesin
pemarut. Lalu peras hasil parutan menggnakan kain. Santan yang dihasilkan
didinginkan pada suhu 1°C-15°C, kemudian memasukkan santan kedalam wadah.
Wadah yang berisi santan dimasukan ke alat sentrifugal, setelah itu memisahkan
minyak yang didapat. Kemudian minyak divacum untuk mengurangi kadar airnya,
lalu disaring dengan kertas saring. Masukkan minyak yang telah disaring kedalam
oven pada temperatur 60ºC (Fachry et al., 2006).
Sedangkan pembuatan minyak kelapa dibuat dengan cara daging kelapa
segar yang diparut kemudian diperas untuk diambil santannya. Lalu santan
didiamkan hingga terpisah menjadi dua bagian, yaitu krim santan dan air santan.
Krim santan kemudian dipanaskan hingga minyaknya keluar, lalu minyak disaring
dan dipisahkan dari ampas. Minyak yang dihasilkan berbau harum, tetapi
warnanya kurang jernih akibat penggunaan panas pada pengolahannya
(Susilowati, 2009).
20
2.5.2 Kandungan VCO
VCO mengandung 93% asam lemak jenuh, tetapi 47-53% berupa lemak
jenuh berantai sedang dan pendek. Hasil uji laboratorium kimia Universitas
Gadjah Mada juga menunjukkan bahwa asam lemak yang terdapat dalam VCO
adalah asam lemak jenuh berantai pendek dan sedang. Asam lemak yang paling
dominan adalah asam laurat (50,33%). Kandungan lain berupa asam kalproat
(14,23%), asam kaprat (10,25%), asam miristat (12,91%), dan asam palmitat
(4,92%) (Wirakusumah, 2007).
2.5.3 Manfaat VCO
Minyak kelapa murni banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi
serta kosmetik. Pemanfaatannya didasarkan pada keamanannya dan mudah
didapatkan (Setiaji, 2005). Oleh karena itu VCO dapat menjadi salah satu
alternatif pemilihan komponen dalam membuat sediaan krim (Nurlaela et al.,
2014).
Pemanfaatan VCO dalam sediaan semi padat dimungkinkan karena
memiliki sejumlah sifat yang baik terhadap kulit yaitu bersifat emolient dan
moisturizer. Hal ini membuat kulit menjadi lembut dan lembab sehingga dapat
menurunkan tahanan difusinya (Agero et al., 2004). Asam-asam lemak rantai
pendek dan sedang seperti asam laurat dan asam oleat mudah diserap melalui kulit
sehingga dapat meningkatkan laju penetrasi zat aktif dari sediaan krim
mengandung VCO (Lucida et al., 2008).
2.5.4 VCO Sebagai Penetration Enhancer (Peningkat Penetrasi)
Sediaan transdermal dapat bekerja secara efektif jika zat aktif yang
terkandung dalam sediaan tersebut dapat berpenetrasi ke lapisan bawah kulit.
Kecepatan penetrasi obat ke dalam kulit dapat diamati melalui fluk obat. Untuk
meningkatkan fluk obat dapat digunakan senyawa peningkat penetrasi. Senyawa
peningkat penetrasi dapat memodifikasi atau melemahkan susunan lipid
interselluler stratum korneum sehingga transfer obat melalui kulit dapat
ditingkatkan (Williams dan Barry 2004).
VCO dapat berperan sebagai peningkat penetrasi melalui mekanisme
peningkatan hidratasi kulit karena VCO mengandung asam-asam lemak rantai
21
pendek yang dengan mudah melintasi membran kulit. Adanya peningkat penetrasi
disamping meningkatkan jumlah dan laju zat yang berpenetrasi juga diduga dapat
mempengaruhi mekanisme proses penetrasi atau difusi obat (Lucida Henny et al.,
2008).
2.5 Komponen Penyusun Krim
2.6.1 Span 80
Gambar 2.3 Struktur kimia span 80
(Sumber : Sweetman, 2009)
Span 80 mempunyai sinonim sorbitan monooleat, berupa cairan kental
berwarna kuning. Span 80 mudah larut dalam minyak, tidak larut dalam air. Span
80 digunakan sebagai emulgator yang mempunyai nilai HLB 4,3. Untuk
penyimpanannya dalam wadah tertutup baik, di tempat sejuk dan kering (Rowe et
al., 2009).
Ester sorbitan secara luas digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan
formulasi sebagai surfaktan non-ionik lipofilik. Ester sorbitan secara umum dalam
formulasi berfungsi sebagai agen pengemulsi dalam pembuatan krim, emulsi, dan
salep untuk penggunaan topikal. Ketika digunakan sebagai agen pengemulsi
tunggal, ester sorbitan menghasilkan emulsi air dalam minyak yang stabil dan
mikroemulsi, namun ester sorbitan lebih sering digunakan dalam kombinasi
bersama bermacam-macam polisorbat untuk menghasilkan emulsi atau krim, baik
tipe M/A atau A/M. Kadar yang digunakan apabila span 80 sebagai pengemulsi
tunggal adalah 1-15%.
Surfaktan nonionik berbeda dari surfaktan anionik, dengan tidak adanya
muatan atau ionisasi pada molekul bahan pengemulsi ini umumnya tidak
mengiritasi dibandingkan surfaktan lainnya. Bahan pengemulsi nonionik
diantaranya adalah ester sorbitan. Ester sorbitan adalah turunan dari mono siklik
atau dianhidrida sorbitol. Sorbitan terdiri dari ester sorbitan, yang dibuat dengan
22
esterifikasi satu atau lebih gugus hidroksil dalam anhidrida dengan asam lemak
seperti asam stearat, palmitat, oleat, atau asam laurat, dan polisorbat, yang
merupakan turunan polioksietilena dari ester sorbitan. Ester sorbitan adalah
surfaktan nonionik yang larut dalam minyak, dapat terdispersi dalam air dan dapat
mengurangi tegangan antar muka yang efektif (Sweetman, 2009).
Ester sorbitan yang biasa digunakan adalah sorbitan monolaurat (span 20),
sorbitan monopalmitat (span 40), sorbitan monostearat (span 60), sorbitan
monooleat (span 80). Berikut adalah struktur dari sorbitan :
Gambar 2.4 Struktur kimia sorbitan monoester (R1 = sorbitan monolaurat, R2 =
sorbitan monopalmitat, R3 = sorbitan monostearat, R4 = sorbitan monooleat.
(Sumber : Korhonen et al., 2004)
Dari struktur diatas dapat disimpulkan bahwa panjang dan ikatan rangkap
dalam rantai hidrokarbon dari sorbitan monoester mempengaruhi secara signifikan
sifat-sifat antarmuka dan molekul dari surfaktan. Sorbitan monolaurat memiliki
rantai hidrokarbon terpendek yang membuat surfaktan ini paling hidrofilik.
Sorbitan monooleat lebih hidrofobik dan nonpolar dari sorbitan monolaurat,
sorbitan monopalmitat dan sorbitan monostearat karena pada sorbitan monooleat
terdapat ikatan rantai hidrokarbon terpanjang dan rantai rangkap sehingga
molekul sorbitan monooleat dapat mengurangi interaksi rantai-rantai hidrofobik
antara molekul surfaktan dan molekul minyak yang berdekatan (Korhonen et al.,
2004).
2.6.2 Vaselin Putih
Vaselin adalah campuran hidrokarbon jenuh setengah padat yang
dimurnikan, diperoleh dari minyak bumi. Vaselin putih merupakan vaselin yang
telah dihilangkan seluruh atau hampir seluruh warnanya, sehingga mengurangi
23
reaksi hipersensitivitas dan lebih dipilih untuk penggunaan kosmetik dan sediaan
farmasetika lain. Vaselin putih mempunyi sinonim White soft paraffin, White
Petrolatum, berbentuk massa lunak putih, translusen, tidak berbau, tidak berasa
dan praktis tidak larut dalam air, gliserin, etanol (95%) dan aseton. Vaselin putih
sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik, ditempat sejuk dan kering.
Vaselin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal sebagai basis yang
bersifat emolien. Vaselin album digunakan sebagai emolien krim, topikal emulsi,
topikal ointment dengan konsentrasi antara 10-30% (Rowe et al., 2009).
2.6.3 Cera alba
Cera alba mempunyai sinonim white beeswax, malam putih. Pemeriannya
tidak berasa, serpihan putih dan sedikit tembus cahaya. Kemudian cera alba larut
dalam kloroform, eter, minyak menguap, sedikit larut dalam etanol (95%), praktis
tidak larut dalam air dan Inkompatibilitas dengan bahan pengoksidasi. Bahan ini
lebur pada suhu 61 - 65oC. Cera alba digunakan untuk meningkatkan konsistensi
dari krim dan salep dan untuk menstabilkan air dalam minyak. Bahan ini juga
dapat menambah laju absorbsi obat-obat yang digunakan secara topikal. Sebagai
bahan pembentuk basis penggunaan cera alba 5-20% (Rowe et al., 2009).
2.6.4 Propilen glikol
Gambar 2.5 Struktur kimia propilen glikol
(Sumber : Rowe et al., 2009)
Propilenglikol mempunyai sinonim 1,2-Dihidroksi propana, 2 hidroksi
propanol, metil etilen glikol, metil glikol. Bahan ini tidak berwarna, kental, praktis
tidak berbau, cair, dengan rasa manis, rasa sedikit pedas menyerupai gliserin dan
larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air, larut pada 1:6
bagian eter, tidak larut dengan minyak atau tetap minyak mineral ringan, tetapi
akan larut beberapa minyak esensial. Mempunyai inkopatibilitas dengan bahan
pengoksidasi seperti kalium permanganat. Propilenglikol digunakan sebagai
24
humektan, kosolven.bahan ini tidak beracun sehingga aman untuk digunakan
sebagai bahan kosmetik. Penggunaan sebagai humektan dengan kadar 1- 15%
(Rowe et al., 2009).
2.6.5 Nipagin
Gambar 2.6 Struktur kimia Nipagin
(Sumber : Rowe et al., 2009)
Sinonim nipagin adalah metil paraben yang mempunyai pemerian kristal
berwarna atau sebuk kristalin putih, dan tidak berbau dengan rasa seperti pada
sediaan topikal. Kelarutannya mudah larut dalam etanol, eter dan propilen glikol
sedikit larut pada air, dan praktis tidak larut dalam minyak mineral (Rowe et al.,
2009).
Nipagin digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasetika. Dalam kosmetik, Metil
paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Dapat
digunakan sendiri atau dikombinasi dengan golongan paraben yang lain atau
dengan antimikroba yang lain. Metil paraben efektif pada rentang pH yang luas
yaitu pH 4-8 dan memiliki spektrum yang luas terhadap mikroba dan jamur. Pada
sediaan topikal, metil paraben digunakan pada kadar 0,02-0,3%. Efikasi dari
pengawet dapat ditingkatkan dengan penambahan 2-5% propilenglikol. Dalam
formula ini digunakan metil paraben dengan kadar 0.18% (Rowe et al., 2009).
25
2.6.6 Nipasol
Gambar 2.7 Struktur kimia Nipasol
(Sumber : Rowe et al., 2009)
Nipasol mempunyai sinonim propil paraben. Mempunyai pemerian serbuk
kristalin berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa dan kelarutannya sangat
mudah larut dalam aseton, eter, minyak, mudah larut dalam etanol dan methanol,
sukar larut dalam air. Nipasol berubah warna dengan adanya besi dan hidrolisis
dengan basa lemah dan asam kuat (Rowe et al., 2009).
Nipasol digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasetika. Pengawet ini dapat
digunakan sendiri atau dikombinasi dengan golongan paraben yang lain atau
dengan antimikroba yang lain. Metil paraben efektif pada rentang pH yang luas
yaitu pH 4-8 dan memiliki spektrum yang luas terhadap mikroba dan jamur.
Propil paraben dapat digunakan sebagai pengawet untuk sediaan yang
mengandung minyak dan air, kemudian propil paraben dapat bekerja sebagai
pengawet air yang terjebak didalam minyak. Pada sediaan topikal, propil paraben
digunakan pada kadar 0,01-0,6%. Dalam formula ini digunakan propil paraben
dengan kadar 0.02% (Rowe et al., 2009).
2.6.7 Aquadest
Sinonim aquadest adalah Aqua, Aqua purificata, Hydrogen Oxide. Dan
memiliki pemerian jernih, tidak berwarna, tidak berasa. Aquadest digunakan
sebagai pelarut (Rowe et al., 2009).
Aquadest banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan dan pelarut dalam
pengolahan, formulasi dan pembuatan produk farmasi, bahan aktif farmasi (API)
dan intermediet, dan reagen nalitis. nilai spesifik dari air yang digunakan untuk
aplikasi tertentu dalam konsentrasi hingga 100% (Rowe et al., 2009).
26
2.6.8 Oleum Rosae
Oleum rosae mempunyai sinonim minyak mawar. Minyak mawar adalah
minyak atsiri yang diperoleh dengan penyulingan uap bunga segar Rosa gallica
L., Rosa damascena Miller, Rosa alba L., dan varietas Rosa lainnya. Pemeriannya
adalah cairan tidak berwarna atau kuning, bau menyerupai bunga mawar, rasa
khas, pada suhu 25oC kental, dan jika didinginkan perlahan-lahan berubah
menjadi massa hablur bening yang jika dipanaskan mudah melebur. Minyak
mawar larut dalam kloroform dan digunakan sebagai Corigen Odoris (DepKes RI,
1979).
2.6.9 Butylated Hydroxytoluene (BHT)
Gambar 2.8 Struktur kimia BHT
(Sumber : Rowe et al., 2009)
Sinonim BHT adalah 2,6 bis(1,1dimetil etil) 4 metil fenol, butil hidroksi
toluen, dibutil hidroksi toluen. Pemeriannya berwarna putih atau kuning pucat,
kristal padat atau bubuk dengan karakteristik bau fenolik samar. Kelarutannya
praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilenglikol. Larut dalam aseton,
benzena, etanol (95%), eter, metanol, toluen, minyak tetap dan minyak mineral
(Rowe et al., 2009).
BHT digunakan sebagai antioksidan pada kosmetik, makanan, dan obat-
obatan. Terutama digunakan untuk keterlambatan atau mencegah ketengikan
oksidatif lemak minyak dan mencegah hilangnya aktivitas vitamin yang larut
dalam minyak. BHT digunakan dalam rentang 0.0075–0.1% (Rowe et al., 2009).
27
2.6.10 Butylated Hydroxyanisole (BHA)
Gambar 2.9 Struktur kimia BHA
(Sumber : Rowe et al., 2009)
BHA memiliki sinonim Ter-butil-4-metoksifenol, butil hidroksi anisolum,
1,1-dimetiletil-4-metoksi fenol. Pemeriannya berwarna putih atau hampir putih,
bubuk kristal atau lilin berwarna putih kekuningan, bau aromatik yang khas.
Kelarutannya praktis tidak larut dalam air, larut dalam metanol, propilen glikol,
kloroform, eter, heksan, minyak biji kapas, minyak kacang, minyak kedelai,
gliseril monooleat, lemak babi, dan larutan dari alkali hidroksida (Rowe et al.,
2009).
BHA adalah antioksidan dengan memiliki kemampuan antimikroba. BHA
digunakan dalam berbagai kosmetik, makanan, dan obat-obatan. Dalam kosmetik
digunakan untuk menunda atau mencegah ketengikan oksidatif lemak dan untuk
mencegah hilangnya aktivitas vitamin yang larut dalam minyak. BHA sering
digunakan dalam kombinasi dengan antioksidan lainnya, khususnya BHT, alkil
gallates dan sekuestran atau yang memiliki efek sinergis seperti asam sitrat.
Konsentrasi penggunaan BHA dalam rentang 0,005-0,02% (Rowe et al., 2009).
28
2.6.11 NA-EDTA
Gambar 2.10 Struktur kimia Na-EDTA
(Sumber : Rowe et al., 2009)
Sinonim Na-EDTA adalah Dinatrii edetat, disodium EDTA, disodium etilen
diamin tetra asetat, asam edetat. Bahan ini berbentuk kristal putih, tidak berbau
dan mempunyai rasa sedikit asam dan mempunyai kelarutan praktis tidak larut
dalam kloroform dan eter, sedikit larut dalam etanol (95%), larut 1 bagian dalam
11 bagian air. Na-EDTA bersifat asam lemah, menggantikan karbon dioksida dari
karbonat dan bereaksi dengan logam untuk membentuk hidrogen (Rowe et al.,
2009).
Dinatrium edetat digunakan sebagai chelating agent pada sediaan farmasi,
termasuk obat kumur, tetes mata, dan sediaan topikal, Na-EDTA biasanya
digunakan pada konsentrasi 0,005 dan 0,1% w/v. Dinatrium edetat adalah bentuk
stabil dan kompleks yang larut dalam air (kelat) dengan alkali tanah dan logam
berat ion. Bentuk kelat memiliki beberapa sifat dari ion bebas, chelating agent
sering digambarkan sebagai 'pelepas' ion dari larutan, prosesnya disebut sebagai
sequestering. Dinatrium edetat bersifat higroskopis dan tidak stabil saat terkena
kelembaban, sehingga harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang
sejuk dan tempat yang kering (Rowe et al., 2009).
Top Related