8
BAB II
Landasan Teori
2. 1. Teori Budaya Organisasi
2. 1. 1. Pengertian Budaya
Budaya adalah seperangkat kepercayaan, nilai dan pola dari tingkah laku umum
yang ada dalam suatu kelompok. (Schermerhorn, 1996: 92)
2. 1. 2. Pengertian Organisasi
Organisasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli organisasi dan manajemen, di
antaranya adalah sebagai berikut:
Organisasi adalah “Suatu kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara
sadar, yang memiliki batas-batas yang dapat diidentifikasi, yang memiliki
fungsi berkesinambungan untuk mencapai suatu tujuan umum ataupun
tujuan yang telah ditetapkan”. (Robbins, 2001).
Organisasi adalah “Kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama”. (Schermerhorn, 2001).
Organisasi adalah “Sebuah unit yang berkoordinasi, terdiri paling sedikit
dua orang yang berfungsi untuk mencapai tujuan umum atau seperangkat
tujuan. Organisasi juga merupakan suatu kesatuan yang memungkinkan
9
suatu kelompok mengejar prestasi yang tidak bisa dicapai seorang diri”.
(Gibson, Ivanevich & Donelly, 2000)
Secara umum, organisasi merupakan suatu wadah yang di dalamnya berkumpul
orang-orang yang dikelompokkan dalam suatu struktur tertentu yang mempunyai
aktivitas saling tergantung satu sama lain (interdependent) untuk meraih suatu
tujuan atau beberapa tujuan yang telah disepakati bersama.
2. 1. 3. Definisi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki makna luas. Menurut Luthans (1998), budaya
organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku
anggota organisasi. Menurut Mondy and Noe (1996), Budaya organisasi
merupakan suatu sistem dari shared value, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan
dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk
menciptakan norma-norma perilaku. Menurut Wood, Wallace, Zeffane,
Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang
dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri, dan menurut Cushway dan Lodge
(2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan
mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara pegawai berprilaku.
Dari sejumlah pengertian diatas budaya organisasi sangat erat kaitannya dengan
pembentukan perilaku orang-orang yang ada didalamnya. Menurut Haris dan
Moran (1991) faktor utama dari budaya organisasi adalah perilaku kerja. Sehingga
bila kita ingin melihat bagaimana suatu budaya berkembang dalam organisasi
10
maka kita dapat melihat perilaku yang ada di dalamnya. Maka dalam hal ini
penulis berfokus melihat perilaku organisasi yang ada pada Kementerian Agama
RI.
2. 1. 4. Perilaku Organisasi
Menurut Keith Davis & John W. Newstrom (1993) dalam bukunya Perilaku
Dalam Organisasi mendefinisikan perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan
pengetahuan tentang bagaimana orang bertindak di dalam organisasi. Unsur
pokok dalam perilaku organisasi adalah orang, struktur, teknologi, dan lingkungan
tempat organisasi beroperasi. Berikut pengertian dari masing-masing unsur
tersebut:
a. Orang,
Orang-orang adalah makhluk hidup yang berjiwa, berpikiran, dan
berperasaan yang menciptakan organisasi untuk mencapai tujuan mereka.
Organisasi dibentuk untuk melayani manusia, dan bukan sebaliknya orang
hidup untuk melayani organisasi.
b. Struktur,
Struktur menentukan hubungan resmi orang-orang dalam organisasi.
Orang-orang ini harus dihubungkan dengan cara tertentu yang terstruktur
agar pekerjaan mereka efektif.
c. Teknologi,
Teknologi menyediakan sumber daya yang digunakan orang-orang untuk
bekerja dan sumber daya itu mempengaruhi tugas yang mereka lakukan.
11
d. Lingkungan,
Semua organisasi beroperasi didalam lingkungan luar. Lingkungan luar
mempengaruhi sikap orang-orang, mempengaruhi kondisi kerja, dan
menimbulkan persingan untuk memperoleh sumber daya dan kekuasaan.
Gambar 2. 1. Unsur-unsur pokok dalam perilaku organisasi
Dalam hal perilaku organisasi kita memberikan perhatian penuh kepada aspek
manusia di tempat kerja. Didasarkan pada Frederick. W Taylor (dalam James. A.
D. Storer. 1995). Di Amerika Serikat pada awal tahun 1900-an. Taylor sering
disebut sebagai bapak manajemen keilmuan, mengemukakan bahwa apabila
memang ada mesin terbaik untuk melaksanakan suatu pekerjaan, maka tentunya
ada cara terbaik bagi orang-orang untuk melakukan pekerjaan mereka. Adanya
teknologi informasi adalah untuk menunjang pekerjaan yang dilakukan oleh
manusia. Kesuksesan dan optimalisasi pemanfaatan TI didalam organisasi sangat
tergantung pada actor yang terdapat didalam sistem tersebut, yaitu manusia, baik
berperan sebagai pengguna (user), pembuat keputusan (decision maker),
12
pengembang (developer, termasuk sebagai designer dan programmer), peneliti
(researcher), serta maintenance operator. (Riri Satria. 2008).
2. 1. 5. Aspek Budaya Pada Sistem Informasi
Lamb and Kling (2005) berargumen bahwa salah satu actor terpenting dalam SI
adalah pengguna (user). Pengguna TI adalah actor dalam suatu sistem yang
disebut SI. Sementara itu menurut argumen Alexander, teknologi (termasuk TI)
termasuk dalam sistem budaya. Argumen Lamb and Kling (2005), Alexander
(1992), dan Keith Davis & John W (1993) jika disintesakan akan membawa kita
kepada kesimpulan bahwa TI adalah bagian dari sistem budaya, dan pasti juga
sangat dipengaruhi oleh komponen budaya. Oleh karena itu komponen teknologi
masuk kedalam faktor utama dari perilaku organisasi.
TI dalam ruang lingkup yang lebih luas, SI, adalah suatu sistem budaya. Hal ini
menyebabkan optimalisasi penggunaan TI juga sangat ditentukan oleh aspek
budaya (Riri Satria. 2008).
2. 2. E - Government
2. 2. 1. Definisi E- Government
The World Bank Group (2006), mendefinisikan "Electronic government refers to
the use by government agencies of informationtechnologies (such as wide area
networks, the internet, and mobile computing) that havethe ability to transform
relations with citizens, businesses, and other arms of government. These
technologies can serve a variety of different ends : better delivery of
13
governmentservices to citizens, improve interactions with business and industry,
citizenempowerment through access to information, or more efficient government
management. The resulting benefits can be less corruption, increased
transparency, greaterconvenience, revenue growth, and / or cost reductions. "e-
Government sebagai penggunaan teknologi informasi oleh badan-badan
pemerintahan, seperti: Wide Area Networks, Internet, dan Mobile Computing.
Dijelaskan pula Legislative Analyst’s Office (2006), bahwa e-Government
merupakan proses trasaksi bisnis antara masyarakat dan pemerintah melalui
penggunaan sistem yang terotomatisasi dan jaringan internet, biasanya disebut
World Wide Web. Pemerintah federal Amerika Serikat (dalam Legislative Analyst
Office. 2001) mendefinisikan e-Government secara ringkas, padat dan jelas, e-
Government mengacu kepada penyampaian informasi dan pelayanan online
pemerintahan melalui internet atau media digital lainnya.
E-Government adalah istilah yang menurut beberapa kalangan, didefinisikan
secara beragam. Secara umum e-Gov dapat di definisikan: penggunaan teknologi
informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi
warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan.
E-Government tidak saja dianggap sebagai pemerintahan online yang berbasis
Internet (internet based government). Namun, terdapat juga teknologi
pemerintahan electronic non-Internet yang dapat digunakan dalam hal ini.
Karena itu, dalam melihat E-Government, jangan terpaku oleh unsur 'e' - nya
semata, tetapi yang terpenting adalah proses dan jalannya pemerintahan melalui
14
fasilitas internet atau media online. Terdapat dua hal utama dalam pengertian E-
Government:
1. Penggunaan teknologi komunikasi informasi (salah satunya adalah internet)
sebagai alat bantu, dan
2. Tujuan pemanfaatannya agar kinerja pemerintahan dapat lebih efisien.
Dua negara besar terdepan dalam mengimplementasikan konsep e-Government,
yaitu Amerika dan Inggris melalui Al Gore dan Tony Blair (dalam indrajit. 2004),
secara terperinci menggambarkan manfaat yang diperoleh dengan diterapkannya
konsep e-Government bagi suatu negara adalah:
1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-
nya (masyarakat, kalangan bisnis dan industri) terutama dalam hal
kinerja efektifitas dan efisiensi diberbagai bidang kehidupan bernegara
2. Meningkatkan transparansi kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate
Governance
3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi
yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan
aktifitas sehari-hari
4. Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-
sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang
berkepentingan
15
5. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara tepat
dan cepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan
dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada
6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra
pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara
merata dan demokratis.
2. 2. 2. Strategi Pengembangan e-Government
Dalam pencapaian tujuan e-Government perlu dilaksanakan melalui enam strategi
yang saling terkait, yaitu :
1. Mengembangkan sistem pelyanan yang andal dan terpercaya, serta
terjangkau oleh masyarakat luas.
2. Menata sistem manajemen dan proses kerja pemerintah dan pemerintah
daerah otonom secara holistik.
3. Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal.
4. Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industry
telekomunikasi dan teknologi informasi.
5. Megnembangkan kapasistas SDM baik pada pemerintah maupun
pemerintah daerah otonom, disertai dengan meningkatkan e-literacy
masyarakat.
16
6. Melaksanakan pengembangan secara sistematik melaui tahapan-tahapan
yang realistis dan terukur.
2. 2. 3. Tingkatan dalam Pengembangan e-Government
Berdasarkan sifat transaksi informasi dan pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah melalui jaringan informasi, pengembangan e-Government dapat
dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan sebagai berikut (Inpres No. 3/2003):
> Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi :
o Pembuatan situs informasi disetiap lembaga.
o Penyiapan SDM.
o Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan sarana
Multipurpose Community Center, Warnet, SME-Center, dl.
o Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk public.
Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi :
o Pembuatan situs informasi publik interaktif.
o Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain.
Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi :
o Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;
o Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan lembaga lain.
17
Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi :
o Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B dan G2C yang
terintegrasi.
o Situs pemerintah pusat dan daerah harus secara bertahap ditingkatkan menuju
ke tingkat - 4.
Terkait dengan strategi tahapan pengembangan yang dilaksanakan inpres,
pengembangan e-Government dapat dilaksanakan melalui empat tingkatan budaya
sebagai berikut (Sri Handayaningsih. 2007).
1. Tahap Inisiasi
2. Tahap Interaksi
3. Tahap Trasaksi
4. Tahap Pelayanan
Pada tahapan pengembangan mengambil kunci serta mengkombinasikan dengan
unsur-unsur e-Government yang bersifat internal, amaka dirumuskan tahapan-
tahapan transformasi menuju e-Government yang terdiri dari empat tahap berikut:
Inisiasi, Interaksi, Transaksi, Transformasi.
Tahap pertama, tahap inisiasi memiliki kata kunci “Edukasi Digital” dengan
melakukan hal-hal dilakukan:
1. Mensosialisasikan pemanfaatan computer dan jaringan komputer secara
luas dikalangan aparatur pemerintahan.
18
2. Keberadaan Jaringan Komputer Lokal.
3. Pemanfaatan-pemanfaatan secara sederhana berupa layanan komunikasi e
mail, dan pemakaian arsip digital secara bersama (file sharing).
4. Diperkenalkan akses ke Internet dengan fasilitas yang minimal, misalnya
dengan mekanisme dial-up.
5. Keberadaan akses Internet ini juga dapat dimanfaatkan untuk mulai
menyelnggarakan situs web institusi secara sederhana sebagai bentuk awal
pelayanan kepada masyarakat. Informasi yang disajikan didalam stus lebih
cenderung bersifat statis, atau belum memiliki mekanisme pemutakhiran
yang rutin.
Tahap kedua, tahap interaksi dengan kata kunci “informasi Digital” hal-hal yang
dilakukan:
1. Mempertegas budaya dokumentasi digital dalam institusi.
2. Mekanisme file-sharing.
3. Konsep komunikasi dengan e-mail diperluas penggunaanya untuk
memulai bentuk-bentuk penyelenggaraan komunikasi dan koordinasi yang
mengakomodasi proses kerja perkantoran secara elektronik.
Budaya informasi digital akan mengkondisikan aparatur untuk:
1. Melakukan pertukaran informasi yang efektif serta interoperabilitas yang
lebih baik antar lembaga pemerintah.
19
2. Menyediakan sumber informasi yang berkualitas dan otentik.
3. Mendukung prinsip-prinsip administrasi, proteksi ataupun transparansi
informasi.
4. Melaksanakan ekstrasi, dan perangkuman informasi lintas lembaga
pemerintah.
5. Pembangunan infrastruktur komunikasi digital yang menghubungkan antar
lembaga untuk memulai pentahapan komunikasi dan informasi yang
bersifat lintas lembaga pemerintah.
6. Website/Portal, sudah bersifat dinamis dengan proses pemutakhiran
informasi secara berkala.
Tahap ketiga, tahap Transaksi yang memiliki kata kunci “Transaksi Digital”
melanjutkan hal-hal yang dilakukan:
1. Dokumen dan komunikasi digital telah diakui secara formal dalam instansi
pemerintah.
2. Dukungan jaminan keamanan dan keaslian data serta penghasil data
(security dan authority).
3. Data yang bersifat terstruktur, atau data yang memiliki atribut-atribut
khusus (numerik, tabular dan spasial). Bentuk data seperti inilah yang
akan berperan besar dalam fungsi kepengelolaan pemerintah, sebagai
bahan pengendalian dan penentuan rencana arahan. Keberadaan
20
data/informasi tersebut pada awalnya bersifat parsial dan tersebar di
beberapa instansi.
4. Terciptanya mekanisme untuk melakukan akses data yang bersifat lintas
instansi yang didukung oleh keberadaan sistem informasi infrastruktur
komunikasi digital dengan kapasitas yang memadai.
Tahap keempat, tahap transformasi ini berfokus secara eksplisit pada aspek
front-office pelayanan dengan mengambil tema tahapan Pelayanan Digital.
Budaya organisasi pada tahap ini terlihat pada:
1. Pemerintah telah mantap, dan didukung oleh keberadaan faktor-faktor
penunjang seperti fasilitas SITEL, staff pelaksana SITEL dan
aturan/kebijakan tentang penyelenggaraan SITEL.
2. Penataan aspek-aspek pelayanan kepada masyarakat yang dapat dilakukan
secara elektronik.
3. Terciptanya mekanisme pelayanan yang sifatnya terkoordinasi antar
instansi yang berwenang. Kondisi ideal yang dapat dicapai adalah layanan
satu pintu yang membuat pemrosesan layanan di belakangnya bersifat
transparan bagi masyarakat yang dilayaninya.
Berikut gambaran beberapa aplikasi pada Kementerian Agama RI:
21
Gambar 2. 2. Aplikasi e-Gov Kemenag RI
Portal (website) e-Government yang ada pada Kementerian Agama RI dijadikan
sebagai ujung tombak e-Government sesuai dengan amanat Inpres No. 3/2003.
Organisasi pengelolaan dan pengolahan informasi pada Kemenag RI di bagi
menjadi tiga organisasi berbeda, yaitu 1). Pusat Informasi dan Kehumasan dimana
unit ini menyediakan infrastruktur kelengkapan jaringan pada organisasi baik dari
sisi intranet, internet maupun keamanannya. Unit ini merupakan unit yang
didirikan sesuai amant Inpres No. 3/2003. Pada unit ini tersedia server untuk
website dan gateway untuk unit-unit lain dalam berhubungan dengan pihak
Instansi lain. 2). Unit Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) unit ini
sebagai unit pendaftaran dan pengelaan haji bagi masyarakat diseluruh indonesia.
Pada unit ini masyarakat dapat mendaftar haji seluruh indonesia yang
berkerjasama dengan pihak bank-bank pemerintah diseluruh Indonesia. Sehingga
masyarakat cukup mendaftar dengan bank pemerintah yang telah ditunjuk
kemudian terhubung langsung dengan server SISKOHAT sehingga terotomatisasi
22
dengan server bank-bank daerah. Karena menerapkan sistem peer-to-peer dengan
server seluruh bank pemerintah yang telah ditunjuk diseluruh indonesia. Sehingga
pada unit ini dapat mengetahui jumlah jamaah yang telah mendaftar, yang sudah
mendapatkan kursi, waiting list dan jumlah setoran yang telah dibayarkan oleh
masyarakat. 3). Unit-unit eselon III dan eselon IV yang merupakan unit-unit
teknis bagi masing-masing biro pada Kemenag RI. Unit ini mempunyai aplikasi-
aplikasi tambahan dalam menjalankan kelancaran informasi dan pekerjaannya,
contohnya aplikasi SAK (Sistem Akuntansi Keuangan) pada aplikasi ini dapat
menghitung neraca dari anggaran pada masing-masing unit kerja dan penyerapan
anggaran yang telah terealisasi. Dengan demikian dapat memudahkan besarnya
prosentase penyerapan anggaran dan sisanya. Sehingga pada unit ini sangat
banyak dan berbeda-beda aplikasi yang dimiliki pada masing-masing unit eselon
III dan IV.
2. 3. Kementerian Agama RI
2. 3. 1. Tinjauan Umum Organisasi
Merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ada enam landasan
filosofis bagi pembangunan bidang agama, yaitu:
1. Agama sebagai sumber nilai spiritual, moral dan etik bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara
Agama bukan sekadar mengajarkan tentang hubungan antara pemeluk agama dan
Sang Pencipta, melainkan juga tentang hubungan antar sesama manusia dan
23
hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab itu, pembangunan bidang agama
diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas kesalehan individual umat
beragama, tetapi juga mendorong terwujudnya kesalehan sosial dan ekologis, serta
moralitas publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
2. Penghormatan dan perlindungan atas hak dan kebebasan beragama
sebagai bagian dari hak asasi warga negara
Hak dan kebebasan beragama warga negara diakui sebagai bagian dari hak asasi
manusia yang dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) Sesuai amanat konstitusi, negara dan pemerintah berkewajiban
memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan
pelayanan untuk pemenuhan hak dasar warga negara tersebut. Dengan demikian,
aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai
bagian dari hak asasi warga negara menjadi landasan pokok bagi pembangunan
bidang agama.
3. Kerukunan umat beragama dan tata kelola kehidupan beragama
Landasan bagi pengembangan kerukunan umat beragama yang selama ini
dijadikan pijakan adalah prinsip trilogi kerukunan, yaitu kerukunan antarumat
beragama, kerukunan intraumat beragama dan kerukunan antara umat beragama
dan pemerintah. Tantangannya adalah bagaimana kerukunan tersebut
dikembangkan lebih jauh sehingga tidak hanya di kalangan elite agama, tetapi
juga menjangkau lapisan umat beragama yang lebih luas.
24
4. Pengembangan karakter dan jati diri bangsa
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan
penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
peningkatan etos kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama
dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan raudhatul athfal (RA), madrasah,
perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, guna
mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia,
bermartabat, dan beradab.
5. Penyediaan fasilitasi dan pelayanan bagi umat beragama berdasarkan
prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik
Salah satu mandat konstitusional yang diemban dalam pelaksanaan pembangunan
bidang agama adalah penyediaan fasilitasi dan pelayanan sebagai upaya
pemenuhan hak beragama warga negara. Fasilitasi dan pelayanan itu dapat berupa
regulasi, kebijakan dan program pembangunan bidang agama. Untuk mencapai
keberhasilan yang maksimal, fasilitasi dan pelayanan itu perlu diselenggarakan
berdasarkan prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik, meliputi: orientasi pada
tercapainya konsensus, adanya keikutsertaan publik dalam pengambilan setiap
kebijakan (participatory), bertumpu pada asas rule of law, efektif dan efisien,
dapat dipertanggungjawabkan kepada warganya (accountable), berlangsung
secara transparan (transparent), tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan warga
(responsive), serta berlangsung adil dan terbuka bagi seluruh warga (equitable and
inclusive).
25
Secara filosofis, sosio politis dan historis agama bagi bangsa Indonesia sudah
berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa. Itulah sebabnya para tokoh dan
pemuka agama selalu tampil sebagai pelopor pergerakan dan perjuangan
kemerdekaan baik melalui partai politik maupun sarana lainnya. Perjuangan
gerakan kemerdekaan tersebut melalui jalan yang panjang sejak jaman kolonial
Belanda sampai kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke II. Kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa
kemerdekaan kedudukan agama menjadi lebih kokoh dengan ditetapkannya
Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara dan UUD 1945. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa yang diakui sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan
karakter bangsa Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna
rohaniah terhadap kemajuankemajuan yang akan dicapai. Berdirinya Kementerian
Agama RI pada 3 Januari 1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi
kemerdekaan kecuali berakar dari sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia
tersebut di atas juga sekaligus sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila
dan UUD 1945. Ketentuan juridis tentang agama tertuang dalam UUD 1945 BAB
E pasal 29 tentang Agama ayat 1, dan 2:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Dengan demikian agama telah menjadi bagian dari
sistem kenegaraan sebagai hasil konsensus nasional dan konvensi
26
dalam_praktek kenegaraan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Organisasi Kementerian Agama RI
VISI
"Terwujudnya masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN,
CERDAS, MANDIRI DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN. "
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010)
MISI
1. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
2. Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
3. Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi
agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
5. Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010)
2. 3. 2. Struktur Organisasi
Dalam pengelolaan organisasinya, Kementerian Agama RI memiliki sebuah
menteri yang memimpin jalannya kementerian yang dibantu oleh Staff Ahli dan
Staff Khusus dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Dalam menjalankan
pekerjaan teknisnya dalam organisasi Kementerian Agama RI mempunyai 6
(enam) unit eselon 1 yang menjalankan fungsinya secara berbeda-beda dan
mempunyai visi misinya tersendiri. Dalam hal ini masing-masing unit eselon 1
dapat kita sebut dalam sebuah organisasi perusahaan merupakan anak-anak
27
perusahaan yang menjalankan tugasnya secara terpisah karena masing-masing
unit eselon 1 merupakan unit teknis yang membidangi tugas dan fungsinya
masing-masing. Masing-masing unit eselon 1 dipimpin oleh 1(satu) pimpinan unit
dan dibantu unit eselon 2 sebagai sub-sub biro, direktur dan kepala pusat dan
berjenjang terus hingga level eselon 4 sebagai kepala sub bagian dan sub dit
hingga staff. Unit eselon 1 ini terdiri dari:
1. Sekretariat Jenderal
Visi
"Terwujudnya masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN,
CERDAS, MANDIRI DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN. "
(Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010)
Fungsi
1. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
2. Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
3. Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi
agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
5. Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
28
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Visi
"Terwujudnya siswa sekolah yang menjiwai keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT, berakhlaq mulia, memiliki kecerdasan, memahami
dan mengamalkan ajaran agama Islam sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Misi
a. Memeratakan pelayanan PAI pada sekolah
b. Meningkatkan mutu lulusan siswa bidang PAI
Mengembangkan kurikulum PAI
c. Meningkatkan kualitas guru PAI pada sekolah
d. Meningkatkan mutu pengawas PAI
e. Meningkatkan fasilitas PAI pada sekolah
f. Mengembangkan dan memberdayakan lembaga PAI pada sekolah
g. Mengembangkan minat siswa sekolah mencintai dan mendalami dan
mengamalkan PAI
h. Meningkatkan tata kelola PAI
3. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Visi
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan serta melaksanakan kebijakan dan
29
standarisasi teknis di bidang Bimbingan Masyarakat Islam berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.
Misi
a. Penyiapan perumusan visi, misi, dan kebijakan teknis di bidang
Bimbingan Masyarakat Islam;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang Bimbingan Masyarakat Islam;
c. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di
bidang Bimbingan Masyarakat Islam;
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelaksanaan
tugas Bimbingan Masyarakat Islam;
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
4. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen
Visi
Mewujudkan masyarakat Kristen menjadi teladan dalam hidup beriman
dan panutan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Misi
a. Membimbing masyarakat Kristen menjadi umat beragama dan warga
negara indonesia yang berkualitas;
b. Melayani umat Kristen untuk melakukan kegiatan keagamaan secara
aman dan hikmat;
c. Memberdayakan lembaga dan pranata keagamaan Kristen sebagai
mitra pemerintah yang andal dan terpercaya;
30
d. Mendorong tercapainya Gereja Kristen yang esa di Republik
Indonesia;
e. Mempersiapkan umat Kristen untuk memiliki budi pekerti yang luhur,
bermoral dan berahklak mulia;
f. Mewujudkan dan meningkatkan kerukunan intern umat beragama,
antar umat beragama dan pemerintah yang otentik dan dinamis demi
persatauan dan kesatuan.
5. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik
Tugas
Terwujudnya masyarakat Katolik yang 100 % Katolik dan 100%
warganegara Indonesia.
Misi
Mengajak masyarakat Katolik untuk berperan serta secara aktif dan
dinamis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
mencapai tujuan kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Misi dijabarkan dalam usaha-usaha mengajak masyarakat Katolik untuk
mewujudkan :
a. Masyarakat Katolik yang cerdas dan beriman
b. Kerukunan hidup beragama masyarakat Katolik
c. Pranata-pranata yang bercirikan kebenaran, keadilan, kesederajatan
dan saling menghormati, serta persaudaraan sejati
d. Semangat kemandirian masyarakat Katolik
31
e. Pemahaman masyarakat Katolik terhadap hak dan kewajibannya
sebagai warga negara Indonesia
f. Partisipasi masyarakat Katolik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara atas dasar Pancasila dan UUD 1945
g. Masyarakat Katolik yang memahami, menghayati dan menghormati
adanya pluralitas budaya, agama dan suku bangsa
h. Kualitas pendidikan agama Katolik
6. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
Visi
Terwujudnya Masyarakat Modern Yang Agamis Dalam Wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Misi
a. Meningkatkan Kualitas Bimbingan, Pemahaman, Penghayatan dan
Pengamalan Agama Hindu
b. Meningkatkan Pelayanan Kehidupan Beragama Hindu;
c. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Agama Hindu;
d. Pemberdayaan Lembaga Sosial Keagamaan Dan Lembaga
Pendidikan Agama Dan Keagamaan Hindu;
e. Memperkokoh Kerukunan Intern Umat Beragama Hindu;
f. Mengembangkan Seni Dan Budaya Hindu.
32
7. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha
Visi
Terwujudnya Masyarakat Buddha yang Agamais, Mandiri dan Sejahtera
Misi
a. Meningkatkan Kualitas pelayanan Administrasi Berbasis
Teknologi Informasi
b. Meningkatkan Kehidupan Beragama dan kerukunan Umat
beragamaan
c. Meningkatkan Kualitas Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan
8. Inspektorat Jenderal
Visi
Menjadi pengendali dan penjamin mutu kinerja Kementerian Agama RI
Misi
a. Melakukan pengawasan fungsional secara profesional dan
independen;
b. Melakukan penguatan sistem pengawasan yang efektif dan
terintegrasi;
c. Meningkatkan kompetensi dan integritas moral aparatur
pengawasan;
33
d. Meningkatkan peran konsultan dan katalisator aparat pengawasan;
e. Mendorong akselarasi penyelesaian tindak lanjut hasil
pengawasan;
f. Menumbuhkembangkan pengawasan preventif melalui
pengawasan dengan pendekatan agama (PPA) ;
g. Mewujudkan pelayanan administrasi pengawasan yang cepat,
tepat, dan akurat berbasis teknologi informasi;
h. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka
peningkatan kualitas pengawasan.
9. Badan Litbang dan Diklat
Visi
"Tersedianya data dan informasi keagamaan yang memadai dalam rangka
terwujudnya kebijakan pembangunan agama berbasis hasil riset dan
tersedianya sumber daya manusia Kementerian Agama RI yang
berkualitas. "
Misi
a. Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan
kehidupan keagamaan;
b. Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan;
34
c. Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan lektur
dan khazanah keagamaan;
d. Meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil-hasil pentashihan
mushaf Al-Qur'an, kajian Al-Qur'an, dan sosialisasi Al-Qur'an serta
mengoptimalkan fungsi Bayt Al-Qur'an dan Museum Istiqlal;
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kementerian Agama
RI ; &
f. Penguatan tata kelola Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI
10. Direktorat Jenderal Haji dan Umrah
Visi
Optimal Dalam Pelayanan dan Bimbingan Perhajian
Misi
a. Meningkatkan Pemahaman tentang Perhajian
b. Mewujudkan Jamaah Mandiri
c. Mewujudkan Petugas Haji yang Handal danProfesional
d. Menigkatkan PIHK yang Amanah dan ProfesionalSebagai Mitra
Pemerintah
e. Menigkatkan Management Terpadu SecaraProfesional
35
Bagan 4. 1. Struktur Organisasi Kementerian Agama RI
2. 4. Review Penelitian Terdahulu
Dalam hal ini peneliti menuliskan beberapa peneliti terdahulu antara lain:
Sri Handayaningsih (2007) meneliti tentang: . Analisis terhadap Model Budaya
Organisasi Sebagai Faktor Penting dalam Keberhasilan Pengembangan
EGovernment
pada Pemerintah Kabupaten/Kota (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta.
Variabel independen adalah Organizational Culture, E-Government Development
36
Culture, dan Regional Government, sedangkan variabel dependen adalah
Keberhasilan Pengembangan E-Government pada Pemerintah Kabupaten/ Kota.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Organizational Culture, E-Government
Development Culture, dan Regional Government berpengaruh positif terhadap
Keberhasilan Pengembangan E-Government pada Pemerintah Kabupaten/Kota
(Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta).
Ade Gunawan (2007) meneliti tentang: . Pengembangan E-Government dalam
Menuju Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance): Studi Kasus Biro
Perencanaan dan Organisasi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN). . Variabel independen adalah G2C (Government to Citizen), G2B
(Government to Business Enterprises), G2G (Interagency Relationship),
sedangkan variabel dependen adalah E-Government Development Plan. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa G2C (Government to Citizen), G2B (Government to
Business Enterprises), G2G (Interagency Relationship) berpengaruh positif
terhadap Pengembangan E-Government dalam Menuju Tata Pemerintahan yang
Baik (Good Governance).
Karin Afriani (2009) meneliti tentang: . Dampak E-Government pada Good
Governance: Temuan Empiris dari Kota Jambi. . Variabel independen adalah
Prinsip prinsip Good Governance (Kepedulian terhadap Stakeholder, Efektivitas
dan Efisiensi, Partisipasi Masyarakat, Akuntabilitas, Transparansi), sedangkan
variabel
dependen adalah E-Government. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Prinsip-
prinsip
37
Good Governance (Kepedulian terhadap Stakeholder, Efektivitas dan Efisiensi,
Partisipasi Masyarakat, Akuntabilitas, Transparansi) berpengaruh positif terhadap
EGovernment.
Aryanni (2010) meneliti tentang: Pengaruh Budaya Organisasi, Kemampuan
Teknis Staff, dan Infrastruktur Terhadap Keberhasilan Implementasi e-
Government (studi kasus pemerintah kabupaten simalungun). Variabel
independen adalah Budaya Organisasi, Kemampuan Teknis Staff, dan
Infrastruktur, sedangkan Variabel dependen adalah Keberhasilan Implementasi e-
Government. Penelitian ini menyimpulkan Budaya Organsasi, Kemampuan
Teknis Staff dan Infrastruktur berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi e-
Government, secara partial budaya organisasi tidak berpengaruh terhadap
implementasi e-Government.
Tabel 2. 1. review penelitian relevan
No Nama Penelitian/
Tahun
Topik Penelitian Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1. Sri
Handayaningsih
(2007)
Analisis terhadap
Model Budaya
Organisasi Sebagai
Faktor Penting dalam
Keberhasilan
Pengembangan
EGovernment
pada
Pemerintah
Kabupaten/Kota
(Studi Kasus Daerah
Istimewa
Yogyakarta)
Independen
Variabel:
Organizational
Culture,
EGovernment
Development
Culture, Regional
Government
Dependen
Variabel:
Keberhasilan
Pengembangan
EGovernment
pada
Organizational
Culture,
E-Government
Development
Culture,
dan Regional
Government
berpengaruh
positif terhadap
Keberhasilan
Pengembangan
EGovernment
pada
Pemerintah
38
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
2. Ade Gunawan
(2007)
Pengembangan
EGovernment
dalam
Menuju Tata
Pemerintahan yang
Baik (Good
Governance): Studi
Kasus Biro
Perencanaan dan
Organisasi Lembaga
Penerbangan dan
Antariksa Nasional
(LAPAN)
Independen
Variabel: G2C
(Government to
Citizen), G2B
(Government to
Business
Enterprises),
G2G
(Interagency
Relationship)
Dependen
Variabel:
E-Government
Development
Plan
G2C
(Government to
Citizen), G2B
(Government to
Business
Enterprises),
G2G
(Interagency
Relationship)
berpengaruh
positif
terhadap
Pengembangan
E-Government
dalam
Menuju Tata
Pemerintahan
yang Baik
(Good
Governance)
3. Karin Afriani
(2009)
Dampak EGovernment
pada
Good Governance:
Temuan Empiris dari
Kota Jambi
Independen
Variabel:
Prinsipprinsip
Good
Governance
(Kepedulian
terhadap
Stakeholder,
Efektivitas dan
Efisiensi,
Partisipasi
Masyarakat,
Akuntabilitas,
Prinsip-prinsip
Good
Governance
(Kepedulian
terhadap
Stakeholder,
Efektivitas dan
Efisiensi,
Partisipasi
Masyarakat,
Akuntabilitas,
Transparansi)
berpengaruh
39
Transparansi)
Dependen
Variabel:
E-Government
positif
terhadap E-
Government
4. Aryanni (2010)
Pengaruh Budaya
Organisasi,
Kemampuan Teknis
Staff, dan Infrastruktur
Terhadap Keberhasilan
Implementasi E-
Government (Studi
Kasus Pemerintah
Kabupaten
Simalungun)
Independen
Variabel: Budaya
Organisasi,
Kemampuan
Teknis Staff,
Infrastruktur
Dependen
Variabel:
Keberhasilan
Implementasi E-
Government
Budaya
Organisasi,
kemampuan
teknis staff dan
infrasturktur
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
implementasi E-
Government,
Secara simultan
budaya organisasi
tidak berpengaruh
terhadap
implementasi e-
government
Top Related