BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima
dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan, dan
juga bawaan seseorang sejak lahir.(Sjarkawi, 2008: 11).
Dalam buku (Agus Sujanto, dkk: 10) kata kepribadian berasal dari
kata Personality (bhs. Inggris) yang berasal dari kata persona (bhs. Latin)
yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh
pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan
perilaku, watak atau pribadi seseorang.
Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya
dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik,
ataupun yang kurang baik. Misalnya untuk membawakan kepribadian
yang angkara murka, serakah, dan sebagainya sering ditopengkan dengan
gambar raksasa, sedang untuk prilaku yang baik, budiluhur, suka
menolong, berani berkorban, dan sebagainya ditopengkan dengan seorang
ksatria, dan sebagainya.(Agus Sujanto dkk, 2009: 10)
Sebelum lebih lanjut membahas kepribadian muslim Indonesia, perlu
kiranya ada suatu keseragaman pengertian mengenai istilah kepribadian.
Pada dasarnya istilah kepribadian digunakan untuk pengertian yang
ditujukan pada individu atau perorangan. Artinya yang mempunyai
kepribadian digunakan pula untuk kelompok individu atau masyarakat,
sehingga selain dikenal adanya kepribadia si fulan, juga dikenal dengan
adanya kepribadian minangkabau, kepribadian Jawa, kepribadian pegawai
negeri, kepribadian Indonesia dan sebagainya. .(Abu Ahmad dan
Munawwar, 2005:155)
Kepribadian meliputi tingkah laku, cara berfikir, perasaan, gerak, hati,
usaha, aksi, tanggapan terhadap kesempatan, tekanan dan cara sehari-hari
dalam berinteraksi dengan orang lain. Jika unsur-unsur kepribadian ini
menyatakan diri dalam kombinasi yang berulang-ulang secara khas dan
dinamis makaa hal demikian dikenal dengan nama gaya kepribadian.
Kepribadian adalah khas bagi setiap pribadi, sedangkan gaya
kepribadian bisa dimiliki oleh orang lain yang juga menunjukan kombinasi
yang berulang-ulang secara khas dan dinamis dari ciri pembawaan dan
pola kelakuan yang sama. (Sjarkawi, 2008: 13).
Dalam kehidupan sehari-hari istilah kepribadian dipahami dengan
pengertian yang beraneka ragam. Terutama dalam kosa kata bahasa
Indonesia juga dikenal istilah watak, karakter, perangai dan sebagainya
yang pengertiannya sulit dibedakan dengan kepribadian. Meskipun
demikian, menurut Suryabrata (1990), watak sebenarnya merupakan
padanan dari karakter dan dalam penggunaannya, watak tidak hanya
dipakai dalam satu arti.
Perbedannya adalah pada sudut mana melihatnya. Kalau orang
bermaksud memberikan suatu penilaian mengenakan norma-norma, maka
istilah watak lebih tepat dipergunakan, tetapi bila orang hendak
menggambarkan apa adanya, tidak memberikan penilaian, maka yang
lebih cocok untuk istilah ini ialah kepribadian.
Pendapat demikian di dukung oleh Chaplin (1981) yang
menganggapa watak sebagai “the individual’s personality considered from
an ethical or moral point of view”,kepribadian seseorang dilihat dari sudut
pandang etik atau moral. Mengingat berbgai keterangan di atas, maka
penggunaan istilah kepribadian dalam penelitian ini dirasa lebih tepat.
(Khoiruddin Bashori, 2003: 26)
Istilah kepribadian sering dijumpai dalam beberapa literatur dengan
berbagai ragam makna dan pendekatan. Sebagian psikolog ada yang
menyebutnya dengan:
a. Personality (kepribadian) sendiri, sedang ilmu yang membahasnya
disebut dengan the psychology of personality, atau theory of
personality.
b. Character (watak atau perangai), sedang ilmu yang membicarakannya
disebut dengan the psycchology of character, atau characterology.
c. Type, (tipe) sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan typologi.
Ketiga istilah tersebut yang dipakai adalah istilah kepribadian. Selain
ruang lingkuponya jelas, istilah kepribadian juga mencerminkan
konsep keunikan diri seseorang.
Tujuan penggambaran tingkah laku ini adalah untuk mengetahui,
menentukan, dan mengkategorikan sifat-sifat dan tipologi-tipologi khas
individu dan aspek-aspek kejiwaan tertentuyang menentukan sifat dan
tipologinya.(Netty Hartati, 2004: 198).
Selanjutnya, Koswara (2005) dalam buku (Sjarkawi:19) menegaskan
bahwa definisi kepribadian dapat dikategorikan menjadi dua pengertian,
yaitu sebagai berikut:
1. Menurut pengertian sehari-hari
Menurut pengertian sehari-hari, kepribadian (personality) adalah suatu
istilah yang mengacu pada gambaran-gambaraan sosial tertentu yang
diterima oleh individu dari kelompoknya atau masyarakatnya,
kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan
atau sesuai dengan gambaran sosial yang diterimanya itu. (Sjarkawi,
2008: 19)
2. Menurut Psikolog
a. George Kelly (Sjarkawi, 2008: 19)menyatakan bahwa
kepribadian sebagai cara yang unnk dari indivdu dalam
mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.
b. Gordon Allport (Sjarkawi, 2008: 19)menyaatkan bahwa
kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis dari sistem
psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran
individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu
secara khas.
c. Sigmend Freud (Sjarkawi, 2008: 19) menyatkan bahwa
kepribadian merupakan suatu struktur yang terdiri dari tiga
sistem, yakni, id, ego, dan super ego, sedangkan tingkah laku
tidak lain merupakan hasil daro konflik dari rekonsiliasi ketiga
unsur dalam sistem kepribadian tersebut. (Sjarkawi, 2008: 19)
Dari berbagai definisi tersebut tampak bahwa kepribadian telah
didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda-beda oleh para teoritisi.
Tampak beberapa perbedaan penekanan dalam definisi tersebut, tetapi
terdapat satu kesamaan dalam memandang kepribadian sebagai suatu
integrasi dari sifat-sifat yang dapat diteliti dan digambarkan untuk
memberikan catatan kepada kualitas individu yang unik. Jadi terdapat ciri-
ciri atau sifat-sifat individual pada aspek-aspek psikis yang dapat
membedakan seseorang dengan orang lain. (Khoiruddin Bashori, 2003: 26)
Kedua, psikologi kepribadian menguraikan tingkah laku individu yang
normal. Pembahasan ini memiliki relevansi dengan objek material
kepribadian. Kepribadian secara harfiah dapat diartikan dengan tingkah
laku, yaitu tingkah laku individu yang menjadi ciri uniknya. Tingkah laku
disini diasumsikan dari konsep manusia yang normal dan bukan yang
sakit. (Netty Hartati, 2004: 129).
Benarbahwa ada sebagian besar tingkah laku yang sama antara yang
seorang dengan yang lain, namun yang benar-benar identik ridak pernah
ada sejak adanya manusia. Sebagian besar yang identik itulah yang
dipelajari oleh tipologi, sedang ketidaksamaannya itulah yang dipelajari
oleh psikologi Kepribadian itu. (Agus Sujanto dkk, 2009: 12)
Sedangkan perumusan makna istilah kepribadian sangat ditentukan
oleh konsep-konsep empirik tertentu yang merupakan bagian dari teori
kepribadian. Konsep-konsep empirik disini meliputi dasar-dasar pemikiran
mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan ruang lingkup dan
metodologi yangdipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satupun definisi
substantif tentang kepribadiandapat diberlakukan secara umum, sebab
masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris yang
berbeda-beda. (Netty Hartati, 2004: 121-123)
Thomas dkk. (sebagaimana dikutif Hurlock, 1991) berpendapat
bahwa kepribadian dibentuk oleh tempramen dan lingkungan yang terus
menerus saling mempengaruhi. Oleh karena tidak ada dua individu yang
memiliki ciri fisik ataupun sifat mental bawaan yang sama, atau memiliki
pengalaman lingkungan yang sama, maka tidak akan pernah ada dua orang
yang mengembangkan pola-pola kepribadian yang identik.
Sifat kepribadian seseorang akan selalu mengalami perkembangan dan
perubahan, dimulai sejak usianya yang masih dini. Perubahan ini dapat
bersifat kuantitatif , yaitu menguat atau melemahnyasifat yang sudah ada
atau bersifat kualitatif,yaitu sifatyang secara sosial kurang baik
digantikan dengansifatsosial yang lebih baik. Menurut Hurlock (1991),
sebagian besar perubahan kepribadian cenderung bersifat kuantitatif.
(Khoiruddin Bashori, 2003: 28)
Dari uraian tentang pengertian kepribadian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa kepribadian, yaitu keseluruhan pola (bentuk) tingkah
laku sifat-sifat, kebiasaan, kecakapan bentuk tubuh serat unsur-unsur
psiko-fisik lainya yang selalu menampakan diri dalam kehidupan
seseorang. Dengan kata lain dapat dikatakan kepribadian yang mencakup
semua aktualisasi dari penampilan yang selalu tampak dari diri seseorang,
merupakan bagian yang khas atau ciri dari seseorang. .(Abu Ahmad dan
Munawwar, 2005:158)
Proses Individuasi ini ditandai oleh bermacam-macam perjuangan
batin melalui bermacam-macam tahap perkembangan kepribadian.
a. Tahap Pertama
Membuat sadar fungsi pokok serta sikap jiwa yang ada dalam
ketidaksadaran. Dengan cara ini, tegangan dalam batin berkurang dan
kemampuan untuk mengadakan orientasi serta penyesuaian diri
meningkat.
b. Tahap Kedua
Membuat sadar dengan menyadari ini, orang akan mampu melihat
kelemahan-kelemahanya sendiri yang diproyeksikan.
c. Tahap Ketiga
Menyadari bahwa manusia hidup dalam berbagai tegangan pasangan
yang berlawanan, baik rohaniah maupun jasmaniah. Manusia harus
tabah menghadapi masalah ini serta dapat mengatasinya.
d. Tahap Keempat
Adanya hubungan yang selaras antara kesadaran dan ketidaksadaran,
adanya hubungan yang selaras antara segala aspek dari kepribadian
yang ditimbulkan oleh titik pusat kepribadian yaitu diri. (Syamsu
Yusuf, 2011: 92)
2. Kepribadian Dalam Persfektif Islam
a. Pengertian Kepribadian Islam
Sedangkan yang dimaksud psikologi kepribadian Islam adalah
studi Islam yang berhubungan dengan tingkah laku manusia
berdasarkan pendekatan psikologis dalam relasinya dengan alam,
sesamanya dan kepada sang khaliknya agar dapat meningkatkan
kualitas hidup di dunia dan di akhirat rumusan tersebut memiliki lima
komponen dasar, yaitu:
a. Studi Islam, psikologi kepribadian Islam merupakan salah satu
kajian dalam studi keislaman. Sebagai disiplin ilmu, ia memiliki
kedudukan yaang sama dengan disiplin keislaman yang lain, seperti
ekonomi Islam, kebudayaan Islam, politik Islam dan sebagainya.
b. Dalam relasinya dengan alam, sesamanya dan kepada sang khalik.
Psikologi kepribadian Islam mengkaji tingkah laku manusia dengan
berpijak pada fungsi kehidupan manusia. (Netty Hartati, 2004: 130)
Ketika berpikir tentang kepribadian, manusia memandang
keperibadian itu sebagai kesan yang ditimbulkan individu terhadap
orang lain. Atau memandang kepribadian itu sebagai kesan yang
paling penting dtinggalkan individu sebagai orang yang agresif atau
orang yang kalem. Dengan kata lain, kepribadian adalah pengantar
individu yang bersifat dinamis pada sistem fisik yang menentukan
tabiatnya yang uniki selaras dengan lingkungannya.
Jadi, para psikolog ketika mempelajari kepribadian, memandang
individu sebagai totalitas yang terpadu. Individu akan bertindak dan
memberi respons sebagai suatu kesatuan yang sistem fisik dan psikis
terangkai dan saling mempengaruhi serta menentukan perilaku dan
responnya dengan cara yang berbeda dari orang lain. (Muhammad
Usman Najati, 2005: 359).
Kepribadian dalam studi keislaman lebih dikenal dengan istilah
syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhshun yang berarti
pribadi . Kata ini kemudian diberi ya`nisbat sehingga menjadi kata
benda buatan syakhshiyat yang berarti kepribadian. Abdul Mujib
(1999: 133) menjelaskan bahwa kepribadian adalah “integrasi sistem
kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.”
(Syamsu Yusuf, 2011, 217).
Pada hakikatnya terdapat perbedaan mencolok antar konsepsi tiga
macam jiwa dalam teori Freud. Konsepsi nafsu ammarah bis su’, nafsu
lawwamah, , nafsu muthmainnah merupakan beberapa kondisi yang
berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa ditengah-tengah pergulatan
internalnya anatar aspek materi dan aspek spiritual dalam kepribadian
manusia. Hal itu bukan merupakan bagian-bagian yang berbeda dari
suatu jiwa, seperti halnya juga tidak terbentuk dalam fase-fase
perkembangan tertentu yang dilalui manusia.
Menurutpenjelasan Al-Qur’an keselarasan sifat penciptaan manusia
antar aspek materil dan aspek spiritual dari kepribadian manusia.
Mengiringi ppergulatan itu, terciptalah tiga kondisi jiwa: nafsu
ammarah bis su’, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah.
(Muhammad Utsman Najati, 2005: 377)
Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah banyak
digunakan untuk menggambarkan dan meilai kepribadian individu.
Pertama, istilah al-syakhshiyah al-inayah atau syakhshiyah al-zatiyah
untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari persfektif diri
sendiri.
Kedua istilah syakhshiyah al-mau’dudiyah atau syakhshiyah al-
khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif
orang lain, sebab kepribadian individu menjadi objek penggambaran.
Term lain yang tidak alah populernya adalah term akhlak. Secara
etimologis, akhlak berarti karakter, al-Ghazali berpendapat bahwa
manusia memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dengan
citra batiniyah yang disebut dengan khulq. Khulq merupakan citra fisik
manusia, sedang khulq merupakan citra psikis manusia. (Netty Hartati,
2044:125)
Dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang kepribadian manusia
dan ciri-ciri kepribadian yang sehat bersifat umum, yang membedakan
manusia dengan makhluk Allah swt, lainnya. Al-Qur’an juga
menjelaskan beberapa pola atau contoh umum kepribadian
manusiayang teristimewakan dengan ciri-ciri pokok, yaitu pola-pola
umum dan banyak terjadi dan juga pada masyarakaat manusia secara
umum. Agar memahami kepribadian manusia secara cermat dan tepat
kita mesti mempelajari dengan akurat berbagai faktor yang
menentukan kepribadian. (Muhammad Utsman Najati, 2005: 360)
1. Kepribadian Ammarah (nafs Ammarah)
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada
tabiat jasad dan mengejar prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik
qalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah
sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat
dan sumber kejelekan dn tingkah laku yang tercela.
2. Kepribadian Lawwamah
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh
cahaya qalbu, lalu ia bangkit untuk untuk memperbaiki
kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-
kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkann oleh
wataknya namun kemudian ia diingatkan oleh nur Ilaahi.
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang di dominasi
oleh komponen akal. Akal apabila telah diberi percikan nur qalbu
fungsinya menjadi baik.
3. Kepribadian Muthmainnah
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi
kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meningalkan sifat-sifat
tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Begitu tenangnya
kepribadian ini sehingga ia panggil oleh Allah swt, seperti dalam
surat al-fajr ayat 27-28.
“Hai kepribadian (jiwa) yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmmu dengan hati yang puas lagi di diridhoinya” (QS. Al-
Fajr: 27-28). (Netti Hartati, 2004: 166-169)
b. Hakikat Pribadi Manusia
1. Manusia adalah Makhluk Allah
Dalam Al-Qur’an kita mendapatkan pengklasfikasian manusia
atas dasar keyakinan dalam tiga pola, yaitu mukim, kafir dan
munafik. Masing-masing dari ketiga pola ini mempunyai ciri-ciri
pokok yang membedakan satu dan lainnya. Pengklasifikasian
manusiaatas dasar keyakinan ini sejalan dengan tujuan Al-Qur’an
sebagai kitab akidah dan hidayah.
Pengklasifikasian ini juga menunjukan bahwa faktor utama
dalam penilaian suatu kepribadian, dalampandangan Al-Qur’an
adalaah akidah dan ketakwaan. (Muhammad Utsman Najati, 2005:
380). Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur jasmaniah dan
rohaniah. Dilihat dari karakteristik jasmaniahnya, manusia
memiliki kesamaan dengan hewan (bintang).
Kesamaan itu seperti berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
makan, minum, bernafas, istirahat, dan seks (dorongan naluriah
dalam rangka pengembangan keturunan).
Definisi terakhir inilah yang lebih lengkapkarena khulq
mencakup lahir batin manusia. Keinginan, minat, kecendrungan,
dan pikiran manusia ada kalanya terwujud dalam suatu tingkah
laku nyata, tapi ada juga yang hanya terpendam didalam batin dan
tidak teraktualisasi dalam suatu tingkah laku yang nyata. Baik
teraktualisasi atau tidak semuanya masuk dalam kategori
kepribadian. Berdasarkan uraian ini, khulq memiliki ekuivalensi
makna dengan personality. (Netty Hartati, 2004: 127)
Kepribadian yang dimiliki seseorang akan berpengaruh
terhadap akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang
tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain
dalam kehidupan sehaari-hari dimanapun ia berada. Pembentukan
kepribadian melalui peningkaatan petimbangan moral secara
mendasar mendudkung dan mengarahkaan seluruh ajarannyaa
untuk mewujudkan nilai-nilai positif sebagaimana yang diajarkan
pendidikaan budi pekerti. Sebagaimana halnya moral, budi
pekertipun erat hubungannya dengan kepribadian. (Sjarkawi, 2011:
35)
Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil
proses evolusi alami, melainkan kehendak yang Maha Kuasa, Allah
Robbul `Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai
ketergantungan (dependent) Kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari
ketentuan-Nya. Sebagai makhluk, Manusia berada dalam posisi lemah
(terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa
yang sudah dipastikan-Nya. Dalam Al-Quran, surat At-tin: 4, Allah SWT
berfirman:
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat
baik (sempurna)”. (Muhammad Utsman Najati, 2005: 379)
Taklif Allah yang dibebankan kepada manusia adalah semata-mata
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Dalam hal ini Allah swt maha
kaya dan maha segala-galanya yang tidak kurang dari satu apapun. Allah
tidak akan berkurang kemurahan dan keagungannya tanpa adanya
pengabdian dan penghambaan dari manusia, lagi pula tidak akan
bertambah keagungan dan kemuliaannya dengan peribadatan manusia.
(Afiffudin dkk: 11)
2. Manusia adalah Khalifah di Muka Bumi
Dalam Islam pun tak ada paham serba permisif yang brupaya
memuaskan dorongan-dorongan ragawi tanpa batas. Islam
menyerukan keselarasan antar dorongan-dorongan tubuh dan roh
serta mengiuti jalan pertengahan yang mewujudkn keseimbangan
antara aspek materil dan spiritual pada manusia. Hal tersebut telah
kita bahas dalam perbincangan tentang pergulatan psikologis.
(Muhammad Utsman Najati, 2005: 379)
Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung
jawab (responsibility) untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif
dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang nyaman
dan sejahtera; dan berupaya mencegah (preventif) terjadinya
pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup
(regional-global). (Syamsu Yusuf, 2011: 209 – 210)
Dalam Ihya Ulumuddin al-Ghazali melukiskan betapa penting
kepribadian bagi seorang pendidik. “seorang guru mengamalkan
ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya.
Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati,
sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala, padahal
yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”. (Zainuddin
dkk, 1991: 56)
Statment al-Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal
perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seseorang pendidik
adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Karena kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru
oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Egolah yang memperkenankan pemuasan atas keinginan
instingtif yang diinginkannya, menagguhkan apa perlu
ditangguhkan, serta mengekang apa yang perlu dikekang dengan
memerhatikan realitas atau dunia eksternal yang memiliki norma-
norma, nilai-nilai, moral, dan ajaran-ajaran agama. (Muhammad
Usman Najati, 2005: 376)
3. Faktor-Faktor yang Membentuk Kepribadian
Studi tentang faktor-faktor yang menentukan kepribadian dibahasa
secara mendetail oelh tiga aliran. Tiga aliran itu adalah empirisme,
nativisme, dan konvergensi. Masing-masing aliran ini memiliki asumsi
psikologis tersendiri dalam meilhat hakikat manusia.
1. Aliran Empirisme
Aliran empirisme disebut juga aliran Environmentalisme, yaitu suatu
aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan lingkungan
sebagai penyebab timbulnya suatu tingkah laku. Pengalaman empiris
bagi merupakan sumber dari segala kepribadian.. (Netty Hartati,
2004:171)
2. Aliran Nativisme
Aliran nativisme adalah suatu aliran yang menitikberatkan
pandangannya pada peranan sifat bawaan, keturunan dan kebakaan
sebagai penentu tingkah laku seseorang. Persepsi tentang ruang dan
waktu tergantung pada faktor-faktor alamiah atau pembawaan dari
lahir. Kapasitas intelektual itu diwarisi sejak lahir. Aliran nativisme
memandang hereditas sebagai penentu kepribadian. (1785-1828).
(Netty Hartati, 2004: 174)
3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi adalah aliran yang mengabungkan dua aliran
diatas. Konvergensi adalah interaksi antara faktor hereditas dan faktor
lingkungan dalam proses pemunculan tingkah laku. Menurut aliran
ini, hereditas tidak akan berkembang secara wajar apaabila tidak
diberi rangsangan dari faktor lingkungan. Sebaliknya rangsangan
lingkungan tidak akan membina kepribadian yang ideal tanpa didasari
oleh faktor hereditas. (Netty Hartati, 2004: 177)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang dapat
dikelompokan kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu
sendiri. Faktor internal inibiasanya merupakan faktor genetis atau
bawaan. Faktor genetis maksdunya ialah faktor yangberupa bawaan
sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat
yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi
gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut.
Lingkungan keluarga tempat seorang anak tumbuh dan berkembang
akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak.
Terutama dari para orang tua mendidik dan membesarkan anaknya.
(Sjarkwai, 2008: 19)
Dari hasil Studinya, ada satu kecenderungan bahwa korelasi antara
hereditas dengan lingkungan lebih bnayak negatif. Cattell menafsirkan
penemuan ini, sebagai bukti untuk a law of coerctionto the biosocial mean,
yaitu suatu kecenderungan dari pengaruh lingkungan untuk menentang
secara sistematis terhadap ekspresi variasi genetic.(Syamsu Yusuf, 2011:
200)
Gunnandi (2005) pada umumnya terdapat lima penggolongan
kepribadian yang sering dikenal dala kehidupan sehari-hari yaitu sebagai
berikut:
1. Tipe Sanguinis
Seseorang yang termasuk tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain:
memiliki banyak kekuatan, bersemangat, mempunyai gairah hidup,
dapat membuat lingkungannyagembira dan senang. Akan tetapi tipe
ini pun memiliki kelemahan antara lain, cenderung implusif, bertindak
sesuai dengan emosinya atu keinginannya.
2. Tipe Flegmatik
Seseorang yang termasuk tipe ini memiliki ciri antara lain, cenderung
tenang, gejolak emosinya tidak tampak, misalnya dalam kondisi sedih
atau senang, sehingga turun naik emosinya yang tidak terlihat secara
jelas. (Sjarkawi, 2008: 11)
3. Tipe Melankolik
Seseorang yang termasuk tipe inimemiliki ciri antara lain, terobsesi
dengan karyanya yang paling bagus atau paling sempurna, nebgerti
estetika keindahan hidup, perasaannya sangat kuat, dan sangat sensitif
4. Tipe Kolerik
Seseorang yang termasuk tipe inimemiliki ciri antara lain, cenderung
berorientasi pada pekerjaan dan tugas, mempunyai disiplin kerja yang
sangat tinggi, mampu melaksanakan tugas dengan setia dan
bertanggunng jawab atas tugas yang diembannya.
5. Tipe Asertif
Seorang yang termasuk dalam tipe ini memliki ciri antara lain: mampu
menyatakan pendapat, ide, dan gaagasannya secara tegas, kritis, tetapi
perasannya halus sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain.
(Sjarkawi, 2008: 12)
Dalam memandang perkembangan kepribadian, Freud adalah ahli
yang menekankan masa lampau atau kausalitas, sedangkan Adler adalah
ahli yang berpandangan teleologis yang menekankan peranan masa depan
dengan segala cita-citanya.
Di dalam proses perkembangan kepribadian, dapat terjadi gerak maju
(progresi) atau gerak mundur (regreasi). Apa yang dimaksud dengan
progresi oleh Jung adalah bahwa aku sadar dapat menyesuaikan diri secara
memuaskan baik terhadap tuntutan dunia luar maupun kebutuhan ketidak
sadarannya. (Syamsu Yusuf, 2011: 90)
Dalam buku (Agus Sujanto:11) C.G. Yung, berpendapat bahwa:
sepanjang hidup manusia, selalu memakai topeng ini, nntuk menutupi
kehidupan batiniahnya. Manusia hampir tidak pernah berlaku wajar, sesuai
dengan hakekat dirinya sendiri, dan untuk yang terakhir ini manusia harus
berlatih dengan tekun dan bersungguh-sungguh dalam waktu yang lama
sekali, sebab selama ia hanya berlaku dengan kedok itu ia tidak akan
menjumpai kepuasan didalam hidupnya.
Dalam masalah ini G.W. Allport, dalam buku (Agus Sujanto:11)
berpendapat : Personality is the dynamic organization within the
individual of those psychophysical system, that determines his unique
adjusment to his environment. Artinya Personality adalah suatu organisasi
psichophysis yang dinamis daripada seorang yang menyebabkan ia dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Selanjutnya, Levine (2005) menegaskan bahwa kepribadian oran tua
akan berpengaruh terhadap cara orang tua tersebut dalam mendidik dan
membesarkan anaknya yang pada gilirannya juga akan berpengaruh
terhadap kepribaian si anak tersebut. (Sjarkawi, 2011: 20).
Dalam waktu bersamaan juga berpegang teguh pada keimanan
kepadaAllah swt, menunaikan peribadahan, menjalankan segala apa yang
di ridhai Allah swt dan menghindari semua hal yang dapat mengundang
semua murkanya. Begitupun pribadi yang mengekang kebutuhan-
kebutuhan tubuhnya serta memaksa dan melemahkan tubuhnya dengan
praktik kerahiban yang berlebih dan praktik pertpaaan yang berat serta
cenderung hanya memuaskan segala kebutuhan dan kerinduan spiritualnya
saja, juga bukanlah pribadi yang normal, (Syamsu Yusuf, 2011: 211).
Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk
menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus
menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan
prilakunya. Allah SWT berfirman dalm surat al-a’raf ayat 172:
“Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)", (QS. Al-Araf: 172).
Manusia berpotensi baik (takwa) dan buruk (ujur). Manusia dalam
hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah perkembangan, yaitu
takwa, sifata positif (beriman dan beramal shaleh) dan yang fujur, sifat
negatif (musyrik, kufur, dan berbuat ma`syiat, buruk dan zolim).
(Muhammad Usman Najati, 2005: 379)
Dua kutub kekuatan ini, saling mempengaruhi. Kutub pertama
mendorong individu untuk berprilaku yang normatif (merujuk nilai-nilai
kebenaran), dan kutub lain mendorong individu untuk berprilaku secara
implusif (dorongan naluriah, instinktif, hawa nafsu). Dengan demikian,
manusia dalam hidupnya senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara
benar- salah atau baik-buruk. (Syamsu Yusuf, 2011: 211)
B. Pembinaan Kepribadian Santri
1. Pengertian Pembinaan
Sebelum berbicara jauh tentang pembinaan, penulis akan menguraikan
terlebih dahulu tentang istilah pembinaan. Pembinaan adalah sebuah usaha
sadar untuk memperoleh perilaku dan karakter yang diharapkan yang
sesuai dengan norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku dan tidak
menyimpang dari semua aturan yang telah ditetapkan baik secara umum
maupun secara khusus mulai dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari
yang baik menjadi lebih baik. Maksud secara umum ialah agar perilaku
yang diharapkan tidak melenceng dari aturan umum yang berlaku. Adapun
secara khusus ialah peraturan-peraturan yang sengaja di buat untuk
individu seorang, ini biasanya berlaku di dalam keluarga. Menurut penulis
pembinaan memiliki makna dan fungsi yang sama dengan membimbing
dan pendidikan.
Dalam buku (Ahmad Munjih dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 1)
pembinaan (pendidikan) dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar
oleh pendidik atau pembina terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dengan
redaksi yang berbeda menyatakan bahwa pembinaan (pendidikan) adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
Taqiyuddin (2008: 42) mengemukakan istilah pembinaan atau
pendidikan yaitu sebagai proses upaya meningkatkan nilai peradaban
individu atau masyarakat dari suatu keadaan tertentu menjadi suatu
keadaan yang lebih baik, baik secara institusional peranan dan fungsinya
semakin dirasakan oleh sebagianbesar masyarakat.
Dalam hal ini kita harus ingat kepada tujuan pendidikan, diawal telah
dijelaskan bahwa pembinaan (pendidikan) ialah memimpin anak ke arah
kedewasaan. Jadi, yang kita tuju dengan pendidikan kita ialah kedewasaan
si anak. tidaklah mungkin. Sesuai dengan asas pendidikan yang dianut
oleh pemerintah dan bangsa Indonesia, yakni pendidikan seumur hidup
(long life ducation), maka pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. hal ini dinyatakan dalam
GBHN 1983-1988 aberberikut: “pendidikan berlangsung seumur hidup
dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antar
keluarga, masyarakat dan pemerintah”. (Ngalim Purwanto, 2007: 13)
Berdasarkan pada makna pendidikan di atas, maka dapat dikemukakan
bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai “usaha yang dilakukan orang
dewasa dalam situasi pergaulan dengan anak-anak melalui proses
perubahan yang di alami oleh anak-anak dalam bentuk pembelajaran atau
pelatihan”. Perkembangan pemikiran manusia dalam memberikan batasan
tentang makna dan pengertian pendidikan, setiap saat selalu menunjukan
adanya perubahan. Perubahan itu didasarkan atas berbagai temuan dan
perubahan yang berkaitan dengan semakin bertambahnya komponen
sistem pendidikan yang ada. (Taqiyuddin, 2008: 45)
Jelaslah kiranya bahwa kata pembinaan atau pendidikan mengandung
arti yang sangat luas. Semua daya upaya yang ditujukan untuk menolong
anak dalam perkembangannya baik jasmani maupun rohaninya menjadi
manusia dewasa yang susila, dapat disebut pembinaan (pendidikan).
Maka menurut pendapat yang terakhir ini nyata pada kita bahwa arti
pembinaan sudah menjadi lagi, hanya berarti pembentukan watak semata-
mata. (Ngalim Purwanto, 2007: 150)
Kemampuan mental spiritual dimaksud tidak hanya meliputi
kecerdasan dan ilmu pengetahuan, daya cipta, dan keterampilan bekerja,
melainkan juga menyangkut kemampuan untuk bersikap demokrasi,
mencintai bangsa dan sesama manusia, bersikap tangguh dalam bercita-
cita yang sehat, kemampuan berakhlak mulia, beerdedikasi yang tinggi
dalam hidup sosial dan dalam menjalin hubungannya dengan Yang Maha
Kuasa. Kemampuan-kemampuan tersebut dibimbing supaya dapat
berkembang dalam kehidupan yang seimbang atau harmonis dalam
kepribadian yang utuh dan bulat. Keseimbangan hidup pribadi demikian
merupakan ciri khas dari bangsa yang mengedepankan nilai-nilai
moralitas. (Samsul Munir Amin, 2010: 1)
Pandangan ini lebih rinci lagi bagi bangsa Indonesia melalui UU RI
No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa,
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dalam pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pembangunan nasional pada
sektor pendidikan berusaha dan menekankan kepada pentingnya
pembinaan kepada sumber daya manusia (SDM). (Taqiyuddin, 2008: 47)
Pada hakikatnya antara membina dan mendidik itu tidak ada
pembinaan yang tegas. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan, siapa
yang membina ia juga mendidik dan siapa membina maka ia juga harus
mendidik. Rupanya tidak mungkin orang dapat membina anak tanpa
dengan mendidiknya. Juga dalam kehidupan sehari-hari kita sering
mndengar kata-kata membina yang sebenarnya berarti pula mendidik.
(Ngalim Purwanto, 2007: 159)
Makna pembinaan atau pendidikan dan segala sesuatu yang terlibat di
dalamnya merupakan hal yang sangat penting dalam perumusan sistem
pendidikan Islam dan Implementasinya. atas dasar inilah maka tidak salah
jika Al- Attas mengartikan bahwa pendidikan Islam adalah sebagai suatu
proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. (Taqiyuddin, 2008: 49)
Dalam khazanah Islam, setidaknya ada tiga istilahyang berhubungan
dengan makna pembinaan atau pendidikan. tiga istilah tersebut adalah
ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kata ta’lim biasanya mengandung pengertian
proses transfer seperangkat peengetahuan kepada anak didik. (Ahmad
Munjih dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 1).
Dengan betolak dari GBHN tersebut dapat dirumuskan bahwa tujuan
pendidikan agama ialah untuk membina dan mendidik anak-anak supaya
menjadi orang yang taqwa kepada Tuhan yang maha esa, yanng berarti
taat dan patuh menjalankan perintah serta menjauhi larangan-larangannya
seperti yang diajarkan di dalam kitab suci. (Ngalim Purwanto, 2007: 157)
Pakar pendidikan Islam Naquib Al-Attas (1984) dalam buku
(Taqiyuddin, 2008: 48), menuliskan bahwa kata ta’dib memiliki perbedaan
yang sangat mencolok dengan kata tarbiyah. Kata tarbiyah secara semantik
tidak khusus di tunjukan untuk mendidik manusia, melainkan dapat
digunakan juga kepada species tanaman dan hewan. Berbeda dengan kata
ta’lim dan ta’dib, kata tarbiyah menurut Nizar dalam buku (Munjih dan
Lilik, 2009: 5) memiliki arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi
makan, mengembangkan, memelihara, membebaskan, menumbuhkan, dan
memproduksi serta menjinakkan baik yang mencakup aspek jasmaniah
maupun rohaniah.
Berdasarkan pada pengertian dan makna pendidikan sebagaimana
dikemukakan oleh para pakar dan ulama pendidikan di atas, baik pakar
pendidikan secara umum maupun ulama pendidikan Islam hampir
semuanya sepakat bahwa inti dari pendidikan adalah kegiatan yang
dilakukan orang dewasa dalam upaya mempengaruhi peserta didik melalui
pembelajaran, pembinaan, pembimbingan, pelatihan dan pembiasaan agar
mereka menjadi dewasa.(Taqiyuddin, 2008: 50 )
Sementara itu Zuhairini (Munjih dan Lilik, 2009: 5) menegaskan
bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha berupaya bimbingan ke arah
pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatis
supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terjalin
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Dari uraian diatas dapatlah diambil sebuah kesimpulan sebagai
berikut. Pembinaan lebih luas dari pada pendidikan, pembinaan
merupakan pembinaan keseluruhan serta merupakan pembentukan
kepribadian, pebinaan meliputi segala usaha dilakukan dalam hal
mendidik. (Ngalim Purwanto, 2007: 150)
2. Pengertian Santri
Sedangkan terminologi santri sendiri, menurut Zmaksyari Dhofier
dalam buku (Abdul Mugits, 2003: 120), santri berasal dari kata “santri”
(manusia baik) dan kata “tri “ (suka menolong) sehingga santri berarti
manusia baik yang suka menolong dan bekerja sama secara kolektif.
Menurut Prof. John, sebagaimana dikutif Dhofier kata “santri” berasal
dari bahasa Tamil yang berarti “guru ngaji”. Berbeda dengan Dhofier dan
John, Clifford Geertz berpendapat bahwa santri berasal dari baha india
atau sangsekerta “shastri” yang berarti ilmuan. (Abdul Mugits, 2003: 120)
Sedangkan asal usul kata santri dalam pandangan Nurchalis Madjid
dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, mengatakan bahwa santri
berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari bahasa yang berasal dari
bahasa sangsekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut
Nurchalis Madjid agaknya didasarkan atas kaum santri kelas literary orang
jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan
berbahasa Arab.
Disisi lain, Zamakhsyari Dhofier berpendapat, kata santri dalam
bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agam Hindu. Atau secara umum dapat
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri
sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata cantrik, berarti seorang
yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.
(Nurchalis Madjid, 2002: 61)
Melihat akar bahasa (etimologi) “santri” di atas, maka istilah santri
dan derivatnya, “pesantren” adalah lebih dekat dengan warisan budaya
loka pra Islam. Kebiasaan orang jawa untuk menyebut lembaga
pendidikan Islam itu terkadang dengan istilah “pondok” atau “pesantren”
atau merangkai keduanya menjadi pondok pesantren tetapi dengan
maksud yang sama. Hanya saja kemudian sering dibedakan antara
pesantren salaf yang berorientasi pada pelestarian tradisi dengan sistem
pendidikan tradisional, dengan pesantren modern yang sudah banyak
mengadopsi sistem pendidikan sekolah modern barat. (Abdul Mugits,
2003: 122)
Selanjutnya santri, sebagai elemen ketiga dari kultur pesantren yang
merupakan unsur pokok yangvtidak kalah penting dari keempat unsur
yang lainnya. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok. Pertama, santri
mukim ialah santri yang dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok
pesantren. Kedua, santri kalong ialah santri-santri yang berasala dari
daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam
pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai megikuti
suatu pelajaran dipesantren. Biasanya perbedaan antara pesantren besar
dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin
besar sebuah pesantren akan semakin besar jumlah santri mukimnya.
Dengan kata lain pesantren kecil lebih aka memiliki leih banyak
santri kalong dari santri mukim. (Nurchalis Madjid, 2002: 66). Dalam
tradisi Jawa santri sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu
pengertian sempit dan pegertian luas. Pengertian sempit santri adalah
seorang pelajar sekolaha agama yang disebut pondok atau pesantren
atauorang yang mendalami agama.
Sedangkan pengertian luasnya adalah seseorang penduduk di Jawa
yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh yang rajin
sembahyangnya pergi ke masjid pada waktu-waktu sholat meskipun belum
pernah mengenyam pendidikan agam di pesantren.Istilah lain untuk
pengertian yang terakhir adalah kaum putihan, istilah ini muncul karena
pada saat melakukan sholat biasanya santri ini memakai pakaian serba
putih. (Abdul Mugits, 2008: 120)
Dengan kondisi semacam itu terasa sekali kekentalan hubungan dan
interaksi yang hangat antara sesama santri, dengan dewan guru atau
dengan kyai sekalipun.Dalam konteks inilah pesantren memberikan
kontribusi berharga dalam pengembangan kepribadian santri. Sistem
pesantren demikian memungkinkan terbinanya sikap-sikap mental positif
seperti kemandirian, kreativitas dan kemerdekaan.
Idealitas demikian ditunjang oleh kondisi objektif pesantren yang
mengahruskan setiap antri merumuskan dan menyelesaikan segala
permasalahannya sendiri, baaik yang menyangkut rencana studi, kegiatan
organisasi, dan berbagai aktivitas lainnya, santri sendirilah yang mengatur
di bawah bimbingan para ustadz dan kyai. (Khoiruddin Bashori, 2003: 78)
3. Pembinaan Santri
Ketika berbicara masalah aktivitas tarekat maka tidak akan terlepas
peran dari pesantren, karena secara umum di Indonesia khususnya
keberadaan pesantren, khususnya pengaruh pesantren salafiyah yang tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh tarekat yang mana satu sama lain saling
mendukung. Ketika ada kegiatan tarekat maka pesantrenlah tempatnya,
ketika pesantren itu berdiri, maka tarekat akan mengikutinya. Begitulah
dinamika kehidupan pesantren dan tarekat dimana satu sama lain saling
mengisi. Maka dengan demikian, erat sekali kaitannya kegiatan atau
aktivitas dzikir tarekat mempengaruhi pribadi santri.
Ketika berbicara penyebaran tarkat di Indonesia maka tidak akan
terlepas dari peran pesantren. Sejak awal kelahirannya telah menjadikan
pendidikan sebagai way oflife. Pembentukan kepribadian muslim yang
dilakukan oleh pesantren tertentu justru hampir seluruhnya terjadi diluar
ruang belajar. Hubungan interaksi, dan pergaulan sehari-hari santri dengan
kyai atau santri dengan sesamanya, bahkan santri dengan masyarakat di
sekitar lingkungan pondok pesantren adalah sumber pembelajran utama
dalam rangka pembentukan kepribadian muslim yang dicita-citaakan
pesantren. (Suteja, 2011: 145)
Sebagaimana klaim pesantren salaf pada umumnya bahwa yang
membedakan pesantren salaf dan modern adalah ajaran etikanya, yakni
jika pesantren salaf sangan memperhatikan etika, sebaliknya pesantren
kurang memperhatikannya, sehingga santrilulusan modern ini kurang
membawa ajaran etika dalam berperilaku, meskipun penilaian ini juga
masih tampak biasnya dan terlalu mahal untuk digeneralisasikannya.
Ajaran etika tersebut merupakan aspek budaya yang menjadi ciri khas
utamanya dan selalu dibanggakan yang mana dalam kultur masyarakat
Jawa khusunya, ajaran ini masih dianggap sebagai unsur budaya yang
sangat penting. (Abdul Mugits, 2008: 155).
Pemikiran al-Ghazali memiliki pengaruh yang dominan dalam
penghayatan kaum muslim di Indonesia pada khususnya dan di Asia
tenggara pada umumnya. NU sebagai salah satu organisasi keagamaan
terbesar di Indonesia, dalam muktamarnya di Situbondo pada tahun 1984
menetapkan secara formal bahwa salah satu ketentuan tentang
pahamAhlusunnah Waljama’ah dalam tasawuf ialah mengikuti tarekat
mu’tabarah dengan berpedoman pada ajaran al-Ghazali dan ajaran para
tokoh sufi sunni yang lain. (Nur Syamsu, 2008: 63).
Sistem nilai tersebut merupakan roh bagi pesantren pada umumnya,
meskipun masing-masing pesantren terkadang memiliki hal-hal yang lebih
spesifik. Hal ini yang menjadi alasan bahwa pesantren bukanlah sekedar
menjadi pusat transformasi ilmu pengetahuan saja, sebagaimana disekolah
umum, tetapi juga sebagai tempat transformasi ajaran etika secara totalitas,
baik terhadap santri maupun masyarakat luas. Pesantren tidak sekedar
menjadi tempat pengaderan para cendekiawan tetapi juga sebagai pusat
pembentukan keperibadian manusia yang mulia. (Abdul Mugits, 2003:
158)
Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterpakan di dunia pesantren,
memang terdapat kemiripan, dengan tata laksana pengajaran dalam ritual
keagamaan Hindu, dimana terdapat penghormatan yang besar oleh santri
(murid) kepada kyainya. Sehubungan dengan ini Cak Nur menggambarkan
kyai duduk diatas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk
mengelilinginya. Denga cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh
para santri terhadap kyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-
uraian yang disampaikan kyainya. Sehingga peran kyai sangat fenomenal
dan signifikan dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren,
sebab kyai adalah sebuah elemen dari beberapa elemen dasar sebuah
pesantren. (Nurchalis Madjis, 2002: 63)
Pesantren dalam perkembangannya masih tetap disebut sebagai
lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan, dan
mengajarkan ilmu agama Islam. Pesantren dengan segala dinamikanya
dipandang sebagai lembaga pusat perubahan masyarakat melalui dakwah
Islamiah, seperti tercermin dalam dari berbagai pengaruh pesantren
terhadap perubahan dan pengembangan kepribadian individu santri,
sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara pengasuhnya (kyai)
dan pemerintah. (Suteja, 2011: 144).
Oleh karena posisi pesantern salaf sebagaiman institusi yang
mengajrkan ajaran etika ini selalu dipandang penting dan kuat karena
langsung mengakar dala kultru masyarakat. Tentang ajaran etika ini
padadasarnya ajaran tentang bagaimana pola pergaulan atau hubungan
yang baik antar unsur-unsur anggota pesantren, seperti pola hubungan
antara santri dan kyai ang merupakan hubungan ketaatan yang tak terbatas
sebagaimana diuraikan di depan.
Jika sementara hipotesis mengatakan bahwa tradisi pengagungan
tersebut merupakan warisan tradisi lokal pra-Islam, hal itu bukan berarti
sama sekali tidak bersandar pada ajaran ulama terdahulu, seperti ajaran
etika dalam kitab Ta’lim al-Muta’alimin karya asy-Syaikh az-Zarnuji.
(Abdul Mugits, 2008: 155)
Pendidikan pesantren dalam corak tradisional dan otosentris yang
berpusat padadiri sendiri, kemudian menjadi adaptif dan emansipatif
terhadap perubahan sosial serta berusaha mempertahankan kebudayaan
etnis dan identitas bangsa dan mengusahakan lenyapnya dominasi politik
asing di dalam negeri.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pesantren mempunyai pengaruh
dalam proses pelestarian budaya lokal atau pribumi dan telah berperan
aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sejalan dengan
komentar Ziemek,pesantren sebagai lembaga pergulatan spiritual,
pendidikan dan sosialisasi yang kuno dan sangat heterogen menyatakan
sejarah pedagogik, kehadiran, dan tujuan pembangunan sekaligus. (Samsul
Nizar, 2013: 110)
C. Hubungan Pendidikan dalam Proses Pembinaan
1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai suatu disiplin ilmu,
mempunyai karakteristik dan tujuan dari disiplin ilmu yang lain. bahkan
sangat mungkin berbeda sesuai dengan orientasi dari masing-masing
lembaga yang menyelenggarakannya. Pusat kurikulum Depdiknas
mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam di Indonesia adalah
bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, peserta didik
melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga
menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan,
ketakwaannya kepada Allah swt. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Ahmad Munjih Nasih
dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 7)
Dalam konteks pendidikam Islam ibadah mempunyai dampak positif
terhadap perkembangan anak didik. Menurut Abdurrahman an-Nahwi
dalam buku (Afiffudin dkk: 11), ibadah memberikan suasana baru bagi
anak didik dengan cara bertobat sehingga bersih daro noda dan dosa.
Sedangkan menurut Abdul Rosyad, ibadah dapat mendidik manusia yang
bersifat rohani, meliputi pendidikan akhlak, intelektual dan jasmani.
Ikhtiar pendidikan khususnya melalui proses pembelajaran guna
mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik adalah kesadaran
pendidik terhadap kemampuan intelektual setiap peserta didik harus
dipupuk dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap individu
terwujud sesuai dengan perbedaan masing-masing. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori,2010: 36)
Anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi
fitrahnya dibutuhkan bimbingan, arahan dan pembinaan orang tuanya.
Oleh karena itu kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan
amanat, harus dijaga benar-benar agar potensi fitrah ketubarian tetap
lestari sampai akhir hayat bahkan dapat mempertanggungjawabkan asal
muasal ruh manusia yang berasal dari Allah diambil dari surga yang bersih
dan suci sehingga terhindar dari siksaan api neraka. (Afiffudin, dkk: 34)
Menurut Conny Semiawan (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori,2010: 36) penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan kemampuan intelektual anak yang didalamnya
menyangkut keamanan psikologis dan kebebasan psikologis merupakan
faktor yang sangat penting.
Peserta didik yang telah mencapai tujuan pendidikan agam Islam
dapat digambarkan sebagai sosok individu yang memiliki keimanan,
komitmen, ritual dan sosial pada tingkat yang di harapkan. Menerima
tanpa keraguan sedikitpun akan kebenaran ajaran Islam, bersedia untuk
berperilaku atau memperlakukan objek keagamaan secara positif,
melakukan perilaku ritual dan sosial keagamaan positif, melakukan
perilaku ritual dan sosial keagamaan sebagaimana yang digariskan dalam
ajaran agama Islam. (Ahmad Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah, 2009:
7)
Pendidikan yang kreatif dan inovatif akan dapat membantu anak
menjadi pribadi yang tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga anak
memiliki jiwa dan kepribadian sosial. Pendidikan ini dapat mencegah
peserta didik menjadi individu yang sama sekali tidak memiliki jiwa
ataupun terlalu berlebihan. Pendidikan bertugas menjadikan anak-anak
yang sholeh dan bermanfaat bagi orang lain. (Afiffudin, dkk: 23)
Sesungguhnya anak-anak kreeatif kedudukannya sam saja dengan
anak-anak biasa lainnya di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Namun,
karena potensi kreatifnya itu mereka sangat memerlukan perhatian khusus
dari pendidik untuk mengembangkan dirinya. Perhatian khusus disini
bukan berarti mereka harus mendapatkan perlakuan istimewa, melainkan
harus mendapatkan bimbingan sesuai dengan potensi kreatifnya agar tidak
sia-sia.(Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,2010: 57)
Taklif Allah yang dibebankan kepada manusia adalah semata-mata
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Dalam hal ini Allah swt maha
kaya dan maha segala-galanya yang tidak kurang dari satu apapun. Allah
tidak akan berkurang kemurahan dan keagungannya tanpa adanya
pengabdian dan penghambaan dari manusia, lagi pula tidak akan
bertambah keagungan dan kemuliaannya dengan peribadatan manusia.
(Afiffudin dkk: 11)
Meskipun secara konseptual tujuan-tujuan tersebut di atas dapat
dipisahkan, namun dimensi-dimensi keberagaman tersebut harus terpadu
dalam diri individu yang utuh. Dengan gambaran sosok indivisu yang
utuh. Dengan gambaran sosok individu yang demikian ini, maka
pendidikan agama Islam harus diarahkan untuk meningkatkan dimensi,
komitmen dan ritual dan sosial secara terpadu dengan tetap berusaha
mengembangkan sikap menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional. Dengan demikian pendidikan agama Islam disamping
bertujuan menginternalisasikan nilai-nilai Islami , juga mengembangkan
anak didik agar mampu mengamalkan nilai-nilai itu secara dinamis dan
fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. (Ahmad
Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 7)
Dengan demikian, proses pendidikan Islam berakar kepada fungsi,
tujuan dan tugas hidup manusia, yaitu terbinanya individu dalam
menjalankan tugas vertikal untuk mencari keridhoan Allah swt, serta tugas
horizontal menuju kebahagiaan dunia dan akhirat dan rahmat atas alam,
sehingga individu tersebut dapat menundukannya dirinya sendiri sebagai
individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota lingkungan, sebagai
anggota warga negara, sebagai warga dunia, dan sebagai warga alam
semesta ini. (Afiffudin, dkk: 11)
2. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan
kegiatan yang paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian
tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang
dialami oleh murid sebagai anak didik. Misalnya adayang berpendapat
bahwa belajar merupakan suatu kegiatan menghafal sejumlah fakta-fakta.
Menurut James O.Whittaker dalam buku (Abu Ahmadi dan Widodo
Supriyono,1991: 118) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana
tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Keberhasilan atau kegagalan guru dalam menjalankan proses
pembelajaran banyak ditentukan oleh kecakapaannya dalam memilih dan
menggunakan metode mengajar. Ada dua faktor yang mempunyai andil
dalam menentukan keberhasilan pembelajaran, yakni faktor yang berada
dalam kendali guru dan faktor yang berada di luar kendali guru. (Ahmad
Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 31)
Belajar merupakan proses dari pada perkembangan hidup manusia.
Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif
inndividu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan
prestadi hidup tidak lain adalah hasil dari belajar. (Abu Ahmadi dan
Widodo Supriyono,1991: 120)
Proses sosialisasi belajar individu trejadi di tiga lingkungan utama,
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolahdan lingkungan masyarakat.
Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya
mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Perkembangan sosial
individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan serta keterampilan mengatasi masalah yang
dihadapinya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,2010: 93)
Kemampuan menekan kepentingan pribadi dan mendahulukan
kepentinagn orang banyak merupakan salah satu sasaran atau tujuan dari
pendidikan sosial. Bagi anak-anak usia sekolah dasar pendidikan
inimenjadi sangat menentukan bagi perkembangan mereka di jenjang
pendidikan sesudahnya. (Afiffudin, dkk: 23)
Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri
individu karena pada umumnya respon-respon dan sifat-sifat kepribadian
yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap ke dalam
diri individu melalui proses belajar. Oleh karena itu kemauan belajr
menjadi sangat penting karena proses belajar akan terjadi dan berlangsung
dengan baik dan berkelanjutan manakala individu yang bersangkutan
memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori,2010: 184)
Menurut pengertian secara psikologi, belajar merupakan proses
perubahan yaitu perubahan di dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-
perubahan tersebut akan dinyatakan dalam seluruh aspek tingkah laku.
(Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,1991: 121)
Dalam makna lain pembelajaran agama Islam bukan sekedar
mengajarkan pengetahuan tentang ke-Tuhanan, tetapi meliputi penanaman
nilai dan prinsip perilaku, transfer pengetahuan dan nilai, keterampiilam
ritual dan doktrin kehidupan sosial politik. Wilayah pembelajaran agama
Islam bukan sekedar afeksi, kognisi dan psikomotorik tetapi meliputi
dimensi spiritual metafisik tentang peran manusia sebagai kholifah Allah
bagi kemakmuran. (Ahmad Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah, 2009:
47)
Melihat masa remaja masa kini sangat potensial dan dapat
berkembang ke arah positif maupun negatif maka intervensi edukatif
dalam bentuk pendidikan, bimbingan, pembinaan, maupun pendampingan
sangat diperlukan untuk mengarahkan perkembangan potensi remaja
tersebut agar berkembang ke arah positif dan produktif. (Mohammad Ali
dan Mohammad Asrori,2010: 99)
Sebagai hasil belajar perubahan yang terjadi dalam diri inndividu
berlangsung terus menerus dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi
akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi
kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Ini berarti bahwa perubahan
tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan
belajar terarah perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. (Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono,1991: 122)
Muhaimin, dkk dalam buku (Ahmad Munjih Nasih dan Lilik Nur
Kholidah, 2009: 21) menegaskan bahwa hasil pembelajaran pendidikan
agam Islam dapat berupa hasil nyata dan hasil yang di inginkan. Lebih
lanjut ditegaskan bahwa hasil belajar pendidikan agam Islam merupakan
yang dicapai anak didik karena diterapkannya suatu metode pembelajaran
tertentu yang dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada.
3. Peranan Guru dalam Proses Belajar
Dalam proses belajar mengajar guru mempunyai tugas untuk
mendorong, membimbing, membina, dan memberi fasilitas belajar bagi
murid-muridnya untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab
untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu
proses perkemvangan anak. Penyampaian materi pelajaran hanyalah
merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu
proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan anak.
(Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,1991: 98)
Seorang guru dapat menggerakan ank didik apabila metode yang
digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik, baik secara
kelompok maupun secara individual, gueu hendaknya tidak memaksa anak
didik untuk bergerak dalam aktivitas belajar menurut acuan metode.
Pemaksaan tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan bisa merusak
perkembangan siswa terganggu, guru hendaknya mahir membangkitkan
motivasi instrintik siswa. (Ahmad Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah,
2009: 40)
Sebagai perencana pengajaraan, seorang guru dihadapkan mampu
merencanakan kegiatan belajar mengajar secara efektif. Untuk itu ia harus
memiliki pengetahuan yang cukup tentang prinsip-prinsip belajar sebagai
dasar dalam merancang kegiatan belajar mengajar, seperti merumuskan
tujuan, memiliki bahan, memilih metode dan sebagainya. Dengan
demikian prosess belajar mengajar akan senantiasa ditingkatkan terus
menerus dalam mencapai hasil belajar yang optimal. (Abu Ahmadi dan
Widodo Supriyono,1991: 100)
Dengan demikian seorang guru di tuntut untuk meningkatkan sistem
nilai, moral dan sikap yang berlaku dalam masyarakat berbeda antara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Bahkan sistem nilai,
moral dan sikap bukan bukan hanya dipengaruhi oleh kelompok
masyarakat tertentu, melainkan dalam suatu keluargapun biasanya
memiliki dan menjunjung tentang sistem nilai, moral dan sikap yang
diyakini dan dipegang teguh oleh anggota keluarga. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori,2010: 147)
Guru hendaknya memaksimalkan semua gaya belajar yang dimiliki
siswa dengan menggunaakan metode mengajar sehingga setiap siswa tidak
merasa dirugikan. Dalm konteks siswa secara berkelompok guru
hendaknya berusaha menetapkan berbagai metode mengajar sehingga
dapat mengaktifkan seluruh potensi yang dimiliki siswa. Seorang guru
dapat menggerakan ank didik apabila metode yang digunakan sesuai
dengan tingkat perkembangan anak didik, baik secara kelompok maupun
secara individual, gueu hendaknya tidak memaksa anak didik untuk
bergerak dalam aktivitas belajar menurut acuan metode. Pemaksaan tidak
akan menghasilkan apa-apa, bahkan bisa merusak perkembangan siswa
terganggu, guru hendaknya mahir membangkitkan motivasi instrintik
siswa. (Ahmad Munjih Nasih dan Lilik Nur Kholidah, 2009: 41)
Dari uraian diatas, jelas bahwa peranan guru telah meningkat dari
sebagai pengajar menjadi sebagai direktur (pengarah) belajar (direction of
learning). Sebagai directur belajar, tugas dan tanggung jawab guru
menjadi lebih meningkat yang ke dalamnya termasuk fungsi-fungsi guru
sebagai perencana pengajaran, pengelola pengajaran penilai hasil belajar,
sebagai motivator belajar dan sebagai pembimbing. (Abu Ahmadi dan
Widodo Supriyono,1991: 100)
Tugas pendidikan berikutnya adalah menjadikan peserta didik dengan
bantuan keteladanan guru atau pendidik, adalah melakukan pembiasaan
dan pelatihan dalam kerangka meneladani sifat-sifat terpuji dari Rasulullah
saw seperti kasih sayang terhadap sesama muslim. Ketikaseorang guru
atau pendiidik bersikap tegas terhadap setiap peserta didiknya tetapi
ketegasannya itu dilandasi oleh jiwa dan rasa kasih sayang seorang ayah
kepada putera kandungnya, bisa dipastikan proses pendidikan demikian
dapat memetik dua hasil pokok secara bersamaan. Pertama, pendidikan
dapat mencegah terjadinya anarkisme dan brutalsme. Kedua, keikhlasan
dan kerelaan peserta didik manakala mendapatkan teguran atau peringatan
atau sangsi ataupun hukuman karena hatidan rasanya merasakan
kenikmatan sentuhan kasih sayang guru mereka. (Afiffudin, dkk: 24)
Top Related