9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan baik berupa skirpsi, jurnal
maupun hasil penelitian lainnya, ditemukan beberapa penelitian yang relevan yang
dapat digunakan sebagai acuan dan pembanding untuk penelitian ini. Adapun
penelitian yang dimaksud antara lain sebagai berikut :
Dewi (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Bentuk, Jenis,
Fungsi Gramatikal dan Makna Onomatope dalam Novel Kitchin Karya Banana
Yoshimoto” memiliki objek yang sama dengan penelitian kali ini yaitu onomatope,
sehingga sangat relevan untuk dijadikan referensi. Dewi meneliti tentang bentuk,
jenis, fungsi gramatikal dan makna onomatope yang terdapat dalam novel Kitchin
karya Banana Yoshimoto. Teori yang digunakan antara lain bentuk onomatope
menurut Toshiko (2009), klasifikasi onomatope, fungsi gramatikal menurut Hiroko
(1993), makna leksikal, makna gramatikal serta makna kontekstual menurut Sutedi
dan Chaer. Dalam penelitiannya, Dewi mendapat kesimpulan bahwa dari 254 data
onomatope yang didapat memiliki bentuk, jenis, fungsi gramatikal, dan makna yang
berbeda-beda. Dari penelitian yang dilakukan juga ditemukan bahwa, tidak semua
proses gramatikal mengubah makna yang dimiliki onomatope. Penelitian Dewi
mengangkat topik yang sama dengan penelitian ini yaitu Onomatope, namun tidak
mengkhusus meneliti tentang gijougo serta dalam penelitian ini menganalisis
penggunaan dan makna. Selain itu, sumber data yang digunakan juga berbeda, jika
Dewi menggunakan novel, penelitian kali ini menggunakan manga.
10
Dzkirullah (2012) dalam skripsinya “Analisis Giongo dalam Anime
Kaichou wa Meido-Sama!” meneliti mengenai makna, karakteristik, dan
penggunaan giongo. Karakteristik dan penggunaan di sini maksudnya adalah jenis,
pengklasifikasian serta fungsi dari giongo yang ditemukan. Dzkirullah
menggunakan menggunakan teori fungsi gramatikal dari Hiroko (2003), teori
makna dari Aminnudin (2008) untuk memecahkan masalah yang diangkat. Dari
hasil penelitian yang dilakukan Dzkirullah mendapati dari 25 giongo (tiruan bunyi
benda) yang ditemukan, terdapat 17 giongo yang tujuh di antaranya termasuk juga
ke dalam kategori gitaigo (tiruan bunyi dan suara yang menyatakan keadaan) dan
delapan giseigo (tiruan suara makhluk hidup) yang 4 di antaranya termasuk juga ke
dalam kategori gitaigo. Giongo yang ditemukan juga mempunyai karakteristik dan
penggunaan yang berbeda.
Penelitian Dzkirullah memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan
penelitian ini, antara lain sama-sama meneliti onomatope dalam sebuah manga dan
menganalisis penggunaan serta maknanya, perbedaannya terletak pada jenis
onomatope dan juga sudut pandang analisis penggunaan, karena penelitian ini
meneliti gijougo dan penggunaan dari sudut pandang pembentukan dan kategori.
Maula (2010) dalam skripsinya yang berjudul “ Analisis Makna Gitaigo
dalam cerita Boku no Ojisan” meneliti mengenai makna dan fungsi gitaigo. Dalam
penelitiannya Maula menganalisis makna yang pemaknaanya dipengaruhi oleh
situasi atau keadaan. Peneliti menggunakan teori semantik menurut Dedi Sutedi
(2003) untuk memecahakan rumusan masalah yang diangkat. Karena gijougo
merupakan turunan dari onomatope kelompok gitaigo, maka penelitian yang
11
dilakukan Maula memiliki relevansi untuk dijadikan sumber referensi untuk
melakukan analisis dalam penelitian ini.
2.2 Konsep
Konsep adalah seluruh istilah yang menjadi kata kunci yang digunakan
dalam suatu karya ilmiah. Konsep akan memberikan kesepahaman dan pengertian
mendalam yang sangat berguna bagi para pembaca. Adapun konsep yang akan
dijabarkan adalah sebagai berikut.
2.2.1 Onomatope
Onomatope bahasa Jepang dapat didefinisikan secara luas. Hal itu dapat
dilihat dari pendapat yang terdapat pada buku Onomatope : Keitai to Imi (Ikuhiro
dan Lawrence, 1998:10)
オノマトペは、もっとも一般的なていぎ、現実のおとを真似
ている語、あるいわ少なくともそのように見なされるごを指す(ぎ
しぎし、quack 等)。しかしながらこの述語は、声を含む音を表す
語に対してだけでなく、動作の様態(くねくね、zigzag)や、肉体
的(ぽっちゃり、plump)あるいは精神的(もさっ、sluggish)な状
態を描写する語に対しても、用いるが、声や音を表す語と、様態や
状態を表す語を解くに区別する必要がある場合には、前者を擬音オ
ノマトペ後者を擬態オノマトペと呼ぶことにする。
Onomatope wa, mottomo ippantekina teigi, genjitsu no oto wo
maneteiru go, aruiwa sukunakutomo sono youni minasareru wo o sasu
( gishigishi, quack nado). Shikashinagara kono jutsugo wa, koe wo fukumu
oto wo arawasu go ni taishite dakedenaku,dousa no youtai (kunekune,
zigzag) ya, nikuiteki (pocchari, plump) aruiwa seishinteki (mosat, sluggish)
na joutai wo byousha suru go ni taishitemo, mochiiru ga, koe ya oto wo
arawasu go to, youtai ya joutai wo arawasu go wo toku ni kubetsu suru
hitsuyou ga aru baai ni wa, zensha wo gion onomatope kousha wo gitai
onomatope to yobu koto ni suru.
‘Secara umum pengertian onomatope adalah kata-kata yag
menirukan dan mengekspresikan suara atau bunyi secara nyata, atau
minimal mengacu pada suara yang mirip dan mendekati suara aslinya,
( seperti gishigishi, ‘mendecit atau berderak,’ dan lain-lain). Tetapi istilah
ini tidak hanya mengacu pada kata atau bahasa yang menunjukkan bunyi
yang mengandung suara saja, tetapi juga kata-kata yang mendeskripsikan
keadaan atau kondisi perbuatan dan pergerakan (misalnya kunekune,
12
‘meliak-liuk’), kondisi fisik jasmani (misalnya, pocchari ‘montok’) dan
kondisi mental (misalnya, mosat ‘lesu, tidak segar’). Jika diklasifikasikan,
kata-kata yang mengungkapkan bunyi atau suara disebut dengan gion
onomatope sedangkan kata yang mengungkapkan keadaaan atau kondisi
disebut gitai onomatope’
Dari penjelasan di atas, dapat ditangkap bahwa onomatope dalam bahasa
Jepang tidak hanya digunakan untuk menggambarkan tiruan suara namun juga
menjelaskan kondisi perbuatan, gerakan, bahkan perasaan manusia. Menurut para
ahli bahasa Jepang, Onomatope dibagi menjadi dua bagian besar yang pertama
adalah giongo (擬音語) atau yang sering disebut onomatope yang merupakan tiruan
bunyi. Onomatope yang kedua adalah gitaigo (擬態語) yang biasa disebut mimesis
yang lebih mengarah pada tampilan luar atau psikologis dibanding suara (Hiroko,
1993:20). Dari dua bagian besar tersebut, onomatope bahasa Jepang dapat dibagi
lagi menjadi lima jenis yang lebih kecil, namun tidak menutup kemungkinan satu
onomatope masuk ke dalam lebih dari satu jenis onomatope. Adapun lima
klasifikasi jenis onomatope tersebut yaitu :
1. Giseigo (kata-kata yang menunjukkan suara makhluk hidup)
Contoh : kusukusu (suara samar-samar tidak jelas saat orang mengobrol, tertawa
dengan kurang jelas), wanwan (suara anjing), moomoo (suara sapi),
2. Giongo (kata-kata yang menunjukkan bunyi dari benda)
Contoh : dondon (suara mengetuk pintu), doon (suara ledakan), suusuu (suara udara
yang melewati celah kecil secara berkelanjutan), saa (suara mesin)
3. Gitaigo (menunjukkan keadaan benda mati)
Contoh : barabara (keadaan yang terpisah pisah), pittari (keadaan benda yang pas,
misalnya baju), mechakucha (keadaan benda yang berantakan), kicchin (keadaan
13
benda yang rapi, bisa juga menggambarkan keadaan yang pas, presisi dan akurat)
4. Giyougo (keadaan makhluk hidup juga pergerakan)
Contoh : pinpin (keadaan sehat dan bugar), pocchari (montok), gussuri ( tidur
dengan begitu lelapnya), sutakora (keadaaan kacau balau, puntang panting)
5. Gijougo (kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan perasaan manusia)
Contoh : wakuwaku (perasaan menanti sesuatu yang menyenngkan), mojimoji
(tidak bisa membuat keputusan karena malu), moyamoya (mengkhawatirkan
tentang apa yang akan dilakukan).
Selain jenisnya, onomatope juga dapat diklasifikasikan menurut bentuknya.
Menurut Toshiko dan Hoshino (1995:vi), bentuk onomatope ada yang berupa
pengulangan 反復形 (hanpukukei), penambahan konsonan ganda ~っ yang
disebut 促音(sokuon), bentuk akhiran ~ん yang disebut 発音 (hatsuon) ,bentuk
dengan vokal panjang ~ー yang disebut 長音(cho’on), bentuk dengan tipe Aっ
Bん, bentuk dengan akhiran ~り, dan bentuk dengan tipe AっBり.
2.2.2 Makna
Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2012:287) mengungkapkan bahwa
makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda
linguistik. Dalam kajian linguistik, ilmu yang mempelajari tentang makna dikenal
dengan istilah semantik, atau yang dalam bahasa Jepang disebut 意味論 (imiron)
yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna kata, frase, dan klausa dalam kalimat.
Makna sangatlah penting sebagai jembatan penghubung suatu bahasa dengan dunia
luar atau bahasa lain agar bisa saling mengerti satu sama lain. Mempelajari makna
berarti juga membahas tentang bagaimana setiap pemakai bahasa bisa saling
14
mengerti. Makna suatu kata yang sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi panca
indra dan biasanya terdapat dalam suatu kamus bahasa disebut sebagai makna
leksikal. Namun dalam ilmu linguistik, makna tidak dapat didefinisikan secara
leksikal saja, faktor eksternal juga mempunyai pengaruh besar terhadap makna dari
suatu kata ketika ditulis maupun diucapkan, dalam bidang linguistik istilah makna
kata yang berada dalam satu konteks tersebut dinamai makna kontekstual. (Chaer,
2012:289)
2.3 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini untuk menganalisis penggunaan dan makna digunakan
tiga buah teori yang secara garis besar adalah teori morfologi, sintaksis dan
semantik. Secara lebih khusus, untuk menjawab rumusan masalah pertama
mengenai penggunaan onomatope menggunakan teori morfologi dari Natsuko
Tsujimura (1996), lalu untuk menganalisis kategori menggunakan teori kategori
sintaksis Abdul Chaer (2012) dan untuk mengkaji lebih dalam mengenai rumusan
masalah kedua yaitu makna, penelitian ini menggunakan teori semantik menurut
Mansoer Pateda (2001). Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga teori tersebut akan
dijabarkan sebagai berikut :
2.3.1 Sintaksis
Sintaksis adalah salah satu cabang dari ilmu linguistik. Sintaksis
mempelajari kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain
sebagai satuan ujaran. Hal ini sesuai dengan asal-usul kata sintaksis itu sendiri yang
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang
berarti ‘menempatkan’. Jadi, secara etimologi istilah itu berarti : ‘menempatkan
bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat’ (Chaer, 2012:206).
15
Istilah sintaksis dalam bahasa Jepang disebut tougoron (統語論) atau
sintakusu (シンタクス)yaitu cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur
dan unsur-unsur pembentuk kalimat. Bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang
mencakup jenis dan fungsinya, unsur-unsur pembentuknya, serta struktur dan
maknanya. Dengan demikian garapan sintaksis mencakup struktur frase, struktur
klausa, dan struktur kalimat, ditambah dengan berbagai unsur lainnya (Nitta dalam
Sutedi, 2010:63). Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besarnya terdiri
dari subjek (shugo/主語), predikat (jutsugo/述語), objek (taishougo/対象語),
keterangan (joukyougo/状況語), modifikator (shuushokugo/修飾語) dan konjungsi
(setsuzokugo/接続語 ). Unsur subjek dan objek biasanya diisi dengan nomina
termasuk nomina jadian, sedangkan unsur predikat diisi dengan verba, adjektiva,
nomina ditambah dengan kopula. Unsur keterangan mencakup keterangan tempat,
waktu, alat, penyerta, dan lainnya. Unsur modifikator digunakan untuk memperluas
atau menerangkan subjek, objek, penyerta atau yang lainnya dengan menggunakan
verba, adjektiva, nomina, atau yang lainnya (Sutedi, 2010:73).
Dalam sintaksis yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis,
mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis serta alat-alat yang
digunakan dalam membangun struktur itu (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa
kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. (3) hal-lain yang berkenaan dengan
sintaksis seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya.
Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata atau frase yang menjadi pengisi
fungsi-fungsi sintaksis. Kategori sintaksis berkenaan dengan istilah nomina (N),
verba (V), adjektiva (A), adverbia (Adv), numeralia (Num), preposisi (Prep),
16
Konjungsi (Konj), dan pronominal (Pron). Dalam hal ini nomina, verba, dan
adjektifa merupakan kategori utama, sedangkan yang lain merupakan kategori
tambahan (Chaer, 2009:27).
Dilihat dari pendapat Hiroko (1993:29), onomatope sebagai adverbial dapat
dilekatkan dengan beberapa satuan sintaksis dalam suatu kalimat, adapun satuan
sintaksis tersebut antara lain :
1. Onomatope dapat dilekatkan dengan kata kerja bentuk pertama sebagai
adverbial, diletakkan sebelum kata kerja tersebut. misalnya ; せかせかと働く
(sekaseka to hataraku : bekerja dengan tidak tenang, gangan nomu : minum
dengan cepat sampai habis).
2. Onomatope bahasa Jepang dapat pula dilekatkan dengan する (suru) atau やる
(yaru) sehingga onomatope kategori menjadi verba. contohnya, うとうとする
(utouto suru : merasakan kantuk) いらいらする(ira ira suru : merasakan sakit)
3. Dikombinasikan dengan kopula ~だ (~ da) sehingga onomatope dapat berubah
kategori menjadi adjektiva. Contoh : くさくさだ。(kusakusa da : kedaaan
perasaan yang merasakan depresi) , お腹がペコペコだ。(onaka ga pekopeko
da : perut lapar).
4. Dilekatkan dengan partikel ~の (~no) dalam frase adjektif sehingga
onomatope dapat berubah kategori menjadi kata benda. Frase adalah gabungan
dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan , dan menjadi salah satu
unsur atau fungsi kalimat. (Chaer, 2011 : 301). Contoh : きらきらの星
17
(kirakira no hoshi : bintang yang berkelip), ぴかぴかのカメラ(pikapika no
kamera : kamera yang masih berkilauan karena baru)
5. Dilekatkan dengan partikel ~に (~ni) onomatope dapat berfungsi sebagai
frase adverbial dalam sebuah frase ataupun kalimat. Contoh : ぺらぺになる
(pera pera ni naru : menjadi lancar), カリカリにあげる (karikari ni ageru :
goreng dengan renyah).
2.3.2 Morfologi
Istilah morfologi dalam bahasa Jepang disebut keitairon ( 形態論 ).
Keitairon merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang kata dan
pembentukannya. Objek yang dikajinya yaitu tentang kata (語/go atau 単語/ tango)
dan morfem (形態素/ keitaiso) (Sutedi, 2010:42).
Menurut Tsujimura (1999:148), ada lima pembentukan kata dalam bahasa
Jepang yaitu :
1. Afiksasi (Affixation)
Pembentukan kata paling lazim dalam bahasa Jepang adalah afiksasi, yaitu
penambahan imbuhan pada suatu kata. Proses pembentukan ini merupakan proses
penambahan prefiks dan sufiks ke dalam bentuk dasar. Contoh pembentukan kata
melalui afiksasi misalnya :
Omizu {o} + {mizu}
Odorite {odor} + {i} + {te}
Kakite {kak} + {i} + {te}
Pada contoh di atas, morfem dasar {mizu} mendapat prefix {o} sehingga
menjadi kata omizu, pada contoh kedua dan ketiga morfem dasar {odor} dan {kak}
18
mendapat sufiks {te} serta tambahan {i} karena morfem dasarnya berakhir dengan
konsonan.
2. Komposisi (Compounding)
Tipe kedua pembentukan kata dalam bahasa Jepang adalah komposisi.
Pembentukan komposisi merupakan pembentukan kata-kata dengan
mengkombinasikan dua atau lebih kata. Pembentukan tipe ini memiliki beberapa
variasi. Yang pertama adalah komposisi yang terdiri dari gabungan kata asli bahasa
Jepang (native compound), komposisi kedua yaitu kata yang berasal dari gabungan
kata yang berasal dari Cina (sino-japanese), yang ketiga pembentukan dari
kombinasi bahasa asal yang berbeda, dan juga gabungan dari kata hasil komposisi
(hybrid compound). Ketiga pembentukan kata tersebut dapat dilihat dari contoh di
bawah ini :
a. Native Compound
aki-zora 秋空 : langit musim gugur
chika-michi 近道 : jalan pintas
tachi-yomi 立ち読み : membaca sambil berdiri
b. Sino Japanese Compound
ki-soku 規則 : aturan
To-zan 登山 : mendaki gunung
Satsu-jin 殺人 : pembunuh
c. Hybrid Compound
Sino Japanese + Native : dai-dokoro 台所 : dapur
Sino Japanese + Foreign : sekiyuu- sutoobu 石油ストーブ : Minyak Kompor
19
Native + Foreign : ita-choko 板チョコ : Coklat batangan
Foreign + foreign : teburu-manaa テブルマナー : table manner
Selain ketiga jenis komposisi di atas, ada satu lagi komposisi yang disebut
dvandva compound. Dvandva compound sedikit berbeda dengan ketiga
pembentukan komposisi di atas, dvandva compound tidak memandang satu
individu atau objek sebagai satu kesatuan namun lebih kepada dua individu atau
objek yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu kata yang memiliki
makna, misalnya :
Oya-ko 親子 : orang tua dan anak
Eda-ha 枝葉 : cabang dan daun
Iki-kaeri 行き帰り : pulang pergi
3. Reduplikasi (Reduplication)
Pembentukan kata yang ketiga adalah reduplikasi. Pembentukan reduplikasi
adalah proses pembentukan kata dengan mengulang sebagian atau seluruh kata
untuk membentuk suatu kata baru. Pembentukan reduplikasi umumnya digunakan
untuk pembentukan kata tiruan bunyi/keadaan/ mimesis, dan reduplikasi renyoukei,
contohnya :
Zawa-zawa : berisik
Pika-pika : bercahaya kelap kelip
Pota-pota : menetes
Naki-naki : menangis
Dari contoh di atas, dapat diketahui, bahwa contoh dari mimesis (zawa-
zawa, pika-pika, pota-pota) merupakan pembentukan dari satu mora dasar yang
20
diulang, sedangkan reduplikasi renyookei merupakan hasil dari pengulangan dari
suatu verba dasar.
4. Kliping (Clipping)
Pembentukan kata selanjutnya adalah kliping, yaitu pembentukan kata
dengan proses penyingkatan kata. Contoh dari pembentukan ini dapat dilihat
dibawah ini :
Keisatsu Satsu : Polisi
Suupaamakeeto Suupaa : Supermarket
Gakusei waribiki Gakusei wari : Diskon untuk siswa
Pada contoh di atas, kata tersebut mengalami penyingkatan dengan
meninggalkan beberapa bagian kata. Selain penyingkatan seperti contoh di atas, ada
pula penyingkatan kata dengan mengambil suku kata awal dari setiap kata yang
digabungkan, misalnya :
Waado purosessaa wa puro : world processor
Rimooto kontorooru rimo kon : remote control
5. Pinjaman (Borrowing)
Pembentukan kata yang terakhir adalah borrowing. Borrowing merupakan
pembentukan kata bahasa Jepang hasil peminjaman dari bahasa lain, termasuk juga
sino-japanese, contohnya :
Hotel hoteru
Panic panikku
Voice boisu
21
2.3.3 Semantik
Semantik adalah istilah yang disepakati sebagai bidang linguistik yang
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya atau dengan kata lain , bidang studi dalam linguistik yang mempelajari
makna atau arti dalam bahasa. Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah
tanda linguistik yang dikemukakan Ferdinand de Saussure (1996) yaitu yang terdiri
dari (1) Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk – bentuk bunyi
bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna atau makna dari komponen
yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang sedangkan
yang ditandai atau yang dilambanginya adalah sesuatu yang diluar bahasa yang
lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk (Chaer, 1990 : 2). Dari sekian banyak
jenis makna, pada penelitian ini onomatope akan ditinjau dari 3 sudut pandang
makna yaitu makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual.
2.3.3.1 Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, baik itu
dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap,
seperti yang dibaca dalam kamus bahasa tertentu. Makna leksikal ini memiliki
unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Makna leksikal suatu
kata terdapat pada kata yang berdiri sendiri, artinya makna sebuah kata dapat
berubah apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat ( Pateda 2001:119)
Makna leksikal suatu kata dapat dengan mudah diketahui dari sumber
kamus kata yang bersangkutan, misalnya dalam bahasa Jepang terdapat kamus
dasar bahasa Jepang, kamus gairaigo, kamus onomatope bahasa Jepang, dan lain
sebagainya.
22
Contoh makna leksikal dari sebuah onomatope dapat dilihat dibawah ini :
1. ブツブツ (butsubutsu) menunjukkan keadaan suara bisikan yang ada di dalam
mulut, juga untuk menyatakan keadaan ketika seseorang menyuarakan
ketidaksukaan, ketidakpuasan dengan suara yang tidak jelas. (Atoda dan
Hoshino, 2009:454)
2. フラフラ (furafura) menggambarkan keadaan yang tidak stabil, bergerak
dengan berayun-ayun, bergoncang, tanpa tenaga. Keadaan badan (bagian
tubuh) tidak bergerak sebagaimana mestinya karena lelah. (Atoda dan Hoshino,
2009:456)
Jika disimak dari contoh 1 dan 2, dapat disimpulkan seperti yang
diungkapkan Chaer (1990:63) bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah
gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu.
2.3.3.2 Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang muncul akibat fungsi dan keberadaan
kata dalam kalimat (Pateda, 2001:103). Makna gramatikal dalam bahasa Jepang
disebut 文法的意味 (bunpouteki imi) yaitu makna yang muncul akibat proses
gramatikalnya. Menurut Chaer (2012:290) proses gramatikal suatu kata terjadi
karena adanya afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Makna
gramatikal penting untuk dianalisis karena proses gramatikal yang terjadi dalam
sebuah onomatope dapat mengubah makna yang ditimbulkan, seperti contoh di
bawah ini.
3. うどんをつるつるすすり込む。(Atoda dan Hoshino, 2009:300)
udon wo tsurutsuru susurikomu
‘makan udon dengan suara slurp’
23
4. 親父の頭は40歳ごろからつるつるだったらしい (Atoda dan
Hoshino, 2009:300)
oyaji no atama wa 40 sai goro kara tsurutsuru datta rashii.
‘kepala ayah sudah botak kira kira sejak umur 40 tahun’
Pada contoh kalimat 3 dan 4, kata つ る つ る (tsurutsuru)yang
dikombinasikan dengan すすり込む (susurikomu) memiliki makna bunyi slurp
dan menjadi salah satu contoh giongo yaitu suara orang yang sedang menghisap
sesuatu, dalam kalimat ini yaitu udon. Sedangkan jika tsurutsuru menjadi sebuah
adjektiva seperti pada kalimat 5, tsurutsuru memiliki makna keadaan permukaan
yang halus .(dalam kalimat ini adalah permukaan kepala si Oyaji) dan merupakan
penggunaan tsurutsuru sebagai gitaigo.
2.3.3.3 Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna yang muncul karena adanya hubungan
antara ujaran dan konteks. Konteks itu berwujud dalam banyak hal, konteks yang
dimaksud di sini, yakni : (1) konteks orangan, termasuk di sini hal yang berkaitan
dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara atau pendengar, latar
belakang sosial ekonomi pembicara atau pendengar, (2) konteks situasi, misalnya
situasi aman, situasi rebut, (3) konteks tujuan, misalnya meminta, mengharapkan
sesuatu, (4) konteks formal atau tidaknya pembicaraan, (5) konteks suasana hati
pembicara atau pendengar, misalnya takut, gembira, jengkel, (6) konteks waktu,
misalnya malam, setelah magrib, (7) konteks tempat, (8) konteks objek, maksudnya
apa yang menjadi fokus pembicaraan, (9) konteks alat kelengkapan bicara atau
dengar pada pembicara atau pendengar, (10) konteks kebahasaan, maksudnya
24
apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak, dan (11)
konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan.
Untuk mendapat padanan ilmiah terdekat sehingga mudah untuk dipahami,
makna yang muncul dari sebuah kata dalam hal ini onomatope, seringkali
mengalami perubahan sesuai konteks/ lingkungan bahasa itu sendiri.
5. さあー、800万まであと75体!
今日も気合い入れてバラバラ死体ひろうかー
Saaa, 800 man made ato 75 tai!
Kyoumo kiai irete barabara shitai hirouka
‘Nah, tinggal 75 orang sampai pas 8 juta!
Hari ini aku harus lebih bersemangat memunguti tubuh yang tercerai
berai.’
6. あ~、かわいそーにバラバラんなっちゃまったよバイク...
死んだな ありやー
Aa, kawaiso ni barabara nacchamatta yo baiku…
Shindana ariyaa
‘Aah… kasihan, sepedanya hancur berantakan, pasti dia mati’
Pada contoh kalimat 5 dan 6 mempunyai makna yang sedikit berbeda sesuai
konteksnya. Makna bara-bara pada contoh pertama melukiskan keadaan tubuh
yang tercerai berai, berada disana-sini. Kemudian bara-bara pada kalimat 6
menggambarkan sepeda motor yang hancur berantakan. Bara-bara memiliki makna
leksikal keadaan benda yang berhamburan, berjatuhan, begitu saja. Juga
menunjukkan keadaan yang menjadi berhamburan atau terpisah-pisah, baik waktu,
tempat, perasaan, dan lainnya (Nakami, 2003:396).
Apabila kedua makna tersebut dipertukargantikan akan menimbulkan
benturan makna karena tidak sesuai konteksnya, (misalnya motor yang tercerai
25
berai). Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa konteks sebuah kalimat
sangat penting untuk menentukan makna kontekstual onomatope.
Top Related