BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PENDAHULUAN
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix
merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah
dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya
apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan
fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendicitis2.
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis
dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia3.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta yang terjadi bila
Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum dan/atau
lekuk usus halus.
II.2 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada
pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir
pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis.
Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
Gambar 1. Appendix vermicularis4)
Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran histologis
Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia 15
tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami
obliterasi pada orang dewasa. 1,3
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum,
ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi
lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami
peradangan. 1,2
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT),
fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2
II.3 INSIDENSI
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari
satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. 2
II.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
II.4.1 Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih
jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris
vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan
oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada
pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus
alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis,
dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta
gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7)
Gambar 4.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal
0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal
sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah
epigastrium. 2)
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah,
dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan
peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 )
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai
darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan
suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,
invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah
infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7)
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat
dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi
ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan
mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari
dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri
visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri
somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang
berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi
di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica
urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan
tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6
II.4.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60%
cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan
yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan
sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan
tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting
pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 1,2,7)
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih
dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. 2) Flora
normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat
pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan
Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis.1,2,7) Kultur
peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari
obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi
Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non
perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga
leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada
drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi. 2,6)
Sesuai dengan yang disebutkan diatas, maka pada fase awal apendisitis, mukosa
mengalami inflamasi terlebih dahulu. Kemudian inflamasi ini akan meluas ke lapisan
submukosa, termasuk juga lapisan muskularis dan lapisan serosa pada waktu 24-48 jam pertama.
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular yang dikenal
dengan istilah infiltrat apendisitis. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan masa
apendikuler akan menjadi tenang untuk selanjunya akan mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan terbentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
II.5 MANIFESTASI KLINIS
II.5.1 Gejala Klinis
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan
nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri
perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai
kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam.
Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi
Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang
dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix
di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri
testicular. 1,2,3,7,8
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya
suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga >
39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah
yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi
saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis
diragukan. 2,8 Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis
gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa
pasien terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.12,13
Tabel 1. Gejala Appendicitis acuta 9)
Gejala Frekuensi(%
)
Nyeri Perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri Berpindah 50Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/ mual/ muntah kemudian nyeri 50
berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
II.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc
Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang
minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding
diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.12
Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum
maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot
polos psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila
meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum hingga
peristaltik meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika
apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terjadi perbedaan suhu aksilar dan rectal sampai 1 C. Pada
inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
apendicular.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Peristaltik usus sering normal,
peristaltik usus dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan
jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Gambar 2. Gejala dan tanda apendisitis akut: (1)Perasaan kurang enak, nyeri, dan mual
(2) nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muskuler selempat di titik McBurney (3) tanda
Rovsing dan Blumberg
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan , maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel
di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat
apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang,
apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.
II. 6 DIAGNOSIS
Appendisitis akut dapat didiagnosis secara klinis dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Selayaknya diagnosis segera mungkin ditegakkan dan appendix dapat segera
diangkat bila ternyata terjadi appendisitis. Diagnosis menjadi mudah untuk ditegakkan bila
tampak tanda dan gejala dari appendisitis klasik pada pasien, tanda dan gejala tersebut seperti:
Nyeri pada bagian abdominal kurang dari 72 jam;
Muntah 1-3 kali;
Facial flush;
Tenderness pada fossa iliaca kanan;
Demam dengan suhu antara 37,3-38,5 °C;
Tidak ada bukti infeksi traktus urinarius pada urinalisa
Tanda inflamasi peritoneal bagian fossa iliaca kanan yang berupa rasa nyeri, sering
tidak tampak. Untuk itu kita perlu untuk menyuruh pasien agar batuk, bila terjadi
inflamasi pada peritoneum parietal maka pasien akan merasakan nyeri. Selain itu dapat
dilakukan rebound tenderness untuk membantu menegakkan diagnosis, yaitu dengan
melakukan perkusi pada fossa iliaca kanan, rasa nyeri akan dirasakan oleh pasien akibat
perkusi bila pasien tersebut mengalami peritonitis.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan apakah
akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan
bukan radang akut.11)
Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2
Gejala Klinik Nilai
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anorexia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri Lepas 1
Febris 1
Hasil laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total Nilai 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.2
II.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi
Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis
kelamin pasien. 2,6)
1. Adenitis Mesenterica Acuta
Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada anak-
anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang ini telah
menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa sakit tidak dapat
ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama beberapa
jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah
penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.
2. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited dari
berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri
hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena
nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis
dapat juga menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri
Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.
4. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis Meckel
dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan terapi
yang sama yaitu operasi segera.
5. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda.
Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya
mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ.
Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tandatanda peritonitis adalah barium enema,
sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
6.Chron’s enteritis
Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan leukositosis
sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan anorexia. Mual dan muntah
yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis
Appendicitis acuta.
7. Perforasi ulkus peptikum
Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan
gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara spontan menutup,
gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal.
8. Epiploic appendagitis
Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder dari torsi
Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat berlangsung
hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi mual dan muntah, dan
nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada daerah yang terkena. Pada 25%
kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga epiploic appendage yang mengalami
infark dioperasi.
9. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan terutama
pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.
10. Batu Urethra
Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan Appendicitis
retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis, hematuria, dan atau tanpa
demam atau leukositosis mendukung adanya batu. Pyelografi dapat memperkuat
diagnosis.
11. Peritonitis Primer
Peritonitis primer jarang menyerupai Appendicitis acuta simplex namun dapat
ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus sekunder yang disebabkan
oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan dengan aspirasi peritoneal. Bila ditemukan bakteri
coccus pada pewarnaan Gram, peritonitis tersebut adalah peritonitis primer dan terapinya
adalah obat-obatan. Bila ditemukan bermacam-macam bakteri, peritonitis tersebut adalah peritonitis
sekunder.
12. Purpura Henoch-Schonlein
Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus. Nyeri abdomen
merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi, purpura dan nephritis juga hampir
selalu ditemukan.
13. Yersiniosis
Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk adenitis
mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya infeksinya ringan dan self
limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik yang umumnnya sangat fatal bila tidak
diobati. Kecurigaan pada diagnosis preoperatif tidak boleh menunda operasi, karena secara
klinis Appendicitis yang disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan dengan Appendicitis
oleh sebab lainnya. Sekitar 5% dari kasus Appendicitis acuta disebabkan oleh infeksi Yersinia.
14. Kelainan-kelainan ginekologi
Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita dewasa
muda disebabkan oleh kelainan-kelainan ginekologi. Angka rata-rata Appendectomy
yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan adalah 32%-45% pada
wanita usia 15-45 tahun. Penyakit-penyakit organ reproduksi pada wanita sering
dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan urutan yang tersering adalah PID, ruptur
folikel de Graaf, kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan
ektopik. Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah kanan dapat menyerupai
Appendicitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi pada pasien Appendicitis. Pada pasien
PID hanya sekitar separuhnya.
Ruptur Folikel de Graaf
Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta nyeri yang ringan pada
abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan berasal dari ovarium kanan, dapat
dikelirukan dengan Appendicitis. Nyeri dan nyeri tekan agak difus. Leucositosis dan demam
minimal atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut
mittelschmerz.
II.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa masa yang
terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus.
Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan
oleh omentum dan atau kerluk usus. Pada massa periapendikuler yang pendindinganya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti
peritonitis purulenta generalisata. Pada massa periapendikuler yang terfiksir dan
pendindingannya sempurna, pada orang dewasa dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa
periapendikuler hilang dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketen dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,dan pembengkakan masa serta leukositosis.
Riwayat klasik apendisitis akut, diikuti adanya massa di regio iliaka kanan yang nyeri disertai
demam mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit
dibedakan dari ca rektum, penyakit crohn dan amuboma. Pengelolaan. Apendiktomi di
rencanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien
diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setalah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu, kemudian dilakukan apendiktomi. Kalau sudah menjadi abses
dianjurkan drainase saja. Apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun dan hasil pemeriksaan tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Apendisitis perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur ( orang tua atau anak muda), dan keterlambatan
diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insiden perforasi
60% pada usia diatas 60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada
orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
apendiks berupa penyampitan lumen dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan
oleh dinding apendiks yang masih tipis, dan kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna, akibat perforasi berlangsung cepat dan
omentum anak belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin dengan pungtum
maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus
paralitik kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang
menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses rongga pelvis dan
subdiafragma.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif
serta kuman anaerob dan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan. Perlu dilakukan
laparotomi dengan incisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum
dari pus maupun pengeluaran fibrin secara adekuat secara mudah dan pula dapat dilakukan
pembersihan kantong nanah secara baik. Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi,
perlu dianjurkan pemasangan penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit
bila sudah dipastikan tidak ada infeksi.
II.9 PENATALAKSANAAN APPENDISITIS
Pada pasien yang kita duga apendisitis kita dapat melakukan manajemen
sebagai berikut:
Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, dan pasien itu memiliki
tanda dan gejala lain dari appendisitis sehingga kita dengan yakin mendiagnosisnya sebagai
apendisitis, maka segera lakukan apendiktomi.
Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, namun belum dapat
dipastikan diagnosis dari pasien tersebut apakah apendisitis atau penyakit lainnya, maka kita
harus mereview pasien tersebut secara periodik, bila perlu pasien kita sarankan untuk rawat inap
agar dapat dipantauperkembangannya dengan baik, bila setelah dipantau masih menimbulkan
keraguan maka kita dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan yang dapat mendukung
diagnosis
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7)
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi
atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Teknik operasi : Open appendectomy dan Laparoscopic Appendectomy
2.10 KOMPLIKASI POST OPERASI 1)
1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda asing,
tuberculosis, Aktinomikosis.
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24-27 jam setelah Appendectomy,
kadang-kadang setelah 10-14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan erosi kecil pada gaster dan
jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.
2.11 PROGNOSIS 2)
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun
1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan
penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi,
antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta
meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang laki-laki berusia 55 tahun beralamat di Jl.Singoan Rt.02 datang berobat ke RSUD
HAMBA dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa
2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan nyeri disekitar pusar yang kemudian beralih
dan menetap di perut kanan bawah. Pasien juga menderita demam dan rasa mual setiap habis
makan dan kadang-kadang disertai muntah.
Pada pemeriksaan fisik status generalis, didapatkan pernapasan, nadi, dan tekanan darah
dalam batas normal, sedangkan suhunya meningkat. Dari hasil pemeriksaan fisik status lokalis
pada regio abdomen didapatkan nyeri pada titik Mc Burney. Pada pemeriksaan rectal toucher
TSA baik, mukosa recti licin, ampula tidak kolaps, nyeri tidak ada, feces ada, darah tidak ada.
Pasien ini mengeluh timbulnya nyeri pada perut kanan bawah. Nyeri pada daerah ini
membuat kita berpikir tentang kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan
nyeri pada perut kanan bawah. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri
pada perut kanan bawah adalah apendisitis, batu ureter kanan, divertikulitis meckel dan kelainan
ginekologik. Pasien ini seorang laki-laki, sehingga menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan
ginekologik.
Pada pasien ini, nyeri perut kanan bawah yang dideritanya berada di daerah titik Mc
Burney. Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), Rovsing’s sign (+), Obturator sign (+) dan defans
muskuler (-) menunjukkan adanya rangsangan peritoneum lokal di bawah titik Mc Burney.
Tanda-tanda ini lebih mengarah pada apendisitis, karena pada apendisitis terdapat tanda-tanda
rangsangan peritoneum lokal di bawah titik Mc Burney. Timbulnya demam pada pasien ini
mendukung adanya proses infeksi yang terjadi. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat
leukositosis dan shift to the left yang mendukung adanya proses infeksi akut.
Tata laksana pada pasien ini dilakukan bedrest guna menekan metabolisme tubuh dan
mengurangi rasa nyeri yang timbul. Pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Dilakukan tindakan apendiktomi segera untuk mencegah terjadinya
komplikasi lanjut.
Prognosis qou ad vitam dubia ad bonam dan quo ad functionam adalah bonam. Karena
pada pasien ini belum terjadi komplikasi sehingga tingkat morbiditas dan mortalitas sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
8 Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery
Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins. 2001: 1466-78
9 Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family
Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011.
From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif
11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado
score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From: http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf