BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit Kusta
2.1.1 Pengertian
Istilah kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yakni ”kushtha” berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis (Marwali Harahap, 2000).
Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath (dalam injil), yang
digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Fina, 2008).
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus,
batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau
dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima
tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya (Marwali Harahap, 2000).
Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni :
1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan
pada media buatan.
2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa
(D-Dihydroxyphenylalanin).
4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang
stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid
dan negatif pada penderita lepromatous.
2.1.3 Patogenesis Penyakit Kusta
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (Sel
Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak
mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh
menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah
masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan
bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-
daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien
berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000).
2.1.4 Manifestasi Klinis Penyakit Kusta
Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai
berikut :
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian tubuh
b. Kulit mengkilat
c. Bercak yang tidak gatal
d. Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut
e. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada syaraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan
b. Gangguan gerak anggota badan/bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas)
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah :
a. N. fasialis
Lagoftalmus
b. N. ulnaris
1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
2) Clawing kelingking dan jari manis
3) Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama
c. N. medianus
1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
2) Tidak mampu aduksi ibu jari
3) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
4) Ibu jari kontraktur
d. N. radialis
1) Anastesia dorsum manus
2) Tangan gantung (wrist/hand drop)
3) Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
e. N. poplitea lateralis
Kaki gantung (foot drop)
f. N.tibialis posterior
1) Anastesia telapak kaki
2) Clow toes
2.1.5 Klasifikasi Penyakit Kusta
Klasifikasi berdasarkan Ritley dan Jopling adalah tipe TT (tuberculoid), BT (borderline
tubercoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepormatous), dan LL (lepromatosa),
sedangkan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause
Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat pada tabel di bawah
(Arif Mansjoer, 2000).
Tabel 2.1 Klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO
No Tanda Utama PB MB
1 Lesi kulit
(makula datar, papul yang
meninggi, nodus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/ eritema
Distribusi tidak
simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
> 5 lesi
Distribusi lebih simetris
Hilangnya
sensasi
2 Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
Sumber : dikutip dari WHO dalam Arif Mansjoer (2000)
Kalsifikasi tipe PB dan tipe MB dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta menurut P2MPLP
No Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan Tipe PB Tipe MB
1 Bercak (macula) a. Jumlah
b. Ukuran
c. Distribusi
d. Permukaan
e. Batas
f. Gangguan sensibilitas
g. Kehilangan kemampu-
an berkeringat, bulu
rontok pada bercak
a. 1-5 lesi
b. Kecil dan besar
c. Unilateral atau
bilateral asimetris
d. Kering dan kasar
e. Tegas
f. Selalu ada dan
jelas
g. Bercak tidak
berkeringat, ada
bulu rontok
a. Banyak
b. Kecil-kecil
c. Bilateral, simetris
d. Halus, berkilat
e. Kurang tegas
f. Biasanya tidak
jelas, jika ada
terjadi pada yang
sudah lanjut
g. Bercak masih
berkeringat, bulu
tidak rontok
2 Infiltrat
a. Kulit
b. Membrana mukosa
(hidung tersumbat
pendarahan di hidung)
a. Tidak ada
b. Tidak pernah ada
a. Ada, kadang-
kadang tidak ada
b. Ada, kadang-
kadang tidak ada
3 Modulus Tidak ada Kadang-kadang ada
4 Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi
dini, asimetris
Terjadi pada yang
lanjut biasanya lebih
dari satu dan
simetris
5 Deformitas (cacat) Biasanya asimetris
terjadi dini
Terjadi pada
stadium lanjut
6 Sediaan apus BTA negatif BTA positif
7 Ciri-ciri khusus Central healing
penyembuhan di
tengah
Punched out lesion
(lesi seperti kue
donat), madarosis,
ginekomastia,
hidung pelana, suara
sengau
Sumber : dikutip dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta dalam Arif Mansjoer (2000)
2.1.6 Cara Menegakkan Diagnosa
Berdasarkan WHO pada tahun 1997 yang dikutip dari buku Pedoman Diagnosis dan
Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya, diagnosis
didasarkan adanya tanda utama atau Cardinal Sign
berupa :
1. Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas.
2. Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anastesi.
3. Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas.
2.1.7 Pengobatan
Tujuan utama pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah
timbulnya cacat. Sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin
kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap Dapson baik primer
maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri
paling tidak ada dua obat anti kusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan
dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy
of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT
(Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000)
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman
Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU
Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :
1. Pausibasiler
- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
- DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan dalam waktu maksimal
19 bulan.
Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
2. Multibasiler
- Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.
- Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.
Ditambahkan
- Lamprene 50 mg/hari
- DDS 100 mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan deselesaikan dalam
waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan BTA (+).
2.1.8 Kecacatan Kusta
a. Proses Terjadinya Cacat Kusta
Terjadinya kecacatan tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak.
Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses yaitu infiltrasi langsung Mycobacterium leprae
ke susunan saraf tepi dan organ lain misalnya mata, dan melalui reaksi kusta. Fungsi saraf secara
umum dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi
sensorik memberi rasa raba, fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak.
Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena apakah sensoris, motoris,
otonom maupun kombinasi ketiganya (Ditjen PP & PL, 2006).
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf
tersebut.
Tabel 2.3 Kerusakan saraf akan mengakibatkan cacat pada tempat tertentu
No Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
1 Fasialis Kelopak mata tidak
bisa menutup
Kekeringan dan
kulit retak akibat
kerusakan
kelenjar keringat,
minyak dan
aliran darah.
2 Ulnaris Jari tangan ke 4 dan
ke 5 lemah/ lumpuh/
kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian jari
ke 4 & 5
3 Medianus Ibu jari, jari 2 dan 3
lemah/lumpuh/kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian ibu
jari, jari ke 2 & 3
4 Radialis Tangan lunglai
5 Peroneus Kaki semper
6 Tibialis
posterior
Jari kaki kiting Mati rasa telapak
kaki Sumber : Ditjen PP & PL (2006)
Menurut McDougall (2005), pada pasien kusta biasanya timbul kecacatan pada :
1. Tangan :
a) Anastesi pada tangan
b) Clow hand (jari-jari tangan kiting)
c) Contraktur
d) Absorbsi (memendeknya jari akibat proses pada tulang)
e) Mutilasi ( putusnya ujung jari, ditandai dengan putusnya kuku)
f) Drop hand (tangan lunglai)
g) Luka
2. Kaki :
a) Anastesi
b) Luka
c) Drop foot
d) Clow toes
3. Muka :
a) Madarosis (alis mata yang menipis)
b) Lagoptalmus (mata tidak mau menutup)
b. Tingkat Cacat Menurut WHO
Untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat maka semua pasien kusta dinilai
tingkat kecacatannya sesuai dengan petunjuk WHO. Hal ini merupakan suatu sistem untuk
mengukur cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta. Cacat yang terjadi bukan
akibat kusta tidak dihitung.
Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit menutup. Tangan diperiksa apakah ada lunglai,
mati rasa pada telapak tangan, luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan
otot. Kaki diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, ulkus atau
pemendekan jari. (Ditjen PP & PL, 2006).
Berikut ini merupakan tabel pembagian tingkat cacat menurut WHO
Tabel 2.4 Pembagian tingkat cacat kusta menurut WHO
No Tingkat Mata Telapak Tangan /Kaki
1 0
Tidak ada kelainan pada
mata akibat kusta
Tidak ada cacat akibat kusta.
2 1 Anastesi, kelemahan otot,
(Tidak ada cacat/kerusakan
yang kelihatan akibat kusta).
3 2 Ada lagopthalmos Ada cacat/kerusakan yang
kelihatan akibat kusta,
misalnya ulkus, jari kiting, kaki
semper. Sumber : (Ditjen PP & PL, 2006)
Dilanjutkan
Lanjutan Tabel 2.4
1. Tingkat 0 (nol) berarti tidak ada cacat.
2. Tingkat 1 (satu) adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak
terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki.
Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa di lapangan oleh karena itu tidak ada
cacat tingkat 1 pada mata. Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus
plataris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada
bercak bukan merupakan cacat tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf
perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit.
3. Tingkat 2 (dua) berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata :
a. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).
b. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).
c. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.
Untuk tangan dan kaki :
a. Luka atau ulkus di telapak.
b. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kintraktur) dan
hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsialis dari jari-jari.
Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang
terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa),
kiting, kelemahan otot atau kehilangan jara yang disebabkan oleh kecelakan.
Tingkat cacat umum berarti nilai cacat yang paling tinggi di antara mata, tangan dan kaki.
Jumlah nilai diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai dari mata, tangan, dan kaki sehingga
dapat gambaran yang lebih jelas mengenai keadaan penderita itu yang sebenarnya.
(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2004)
2.2 Konsep Activity Daily Living
2.2.1 Pengertian Activity Daily Living
Activity Daily Living adalah suatu pola pelaksanaan tugas kehidupan sehari-hari yang
cukup untuk memenuhi tujuan yang berhubungan dengan kesehatan (Judith,2005).
Activity Daily Living adalah aktivitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap
hari untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari (Burnner and Suddart, 2002).
Activity Daily Living (aktivitas hidup sehari-hari) adalah hal-hal yang biasanya kita
lakukan dalam hidup sehari-hari termasuk aktivitas sehari-hari kita untuk melakukan perawatan
diri (seperti makan sendiri, mandi, berpakaian), bekerja, homemaking, dan liburan.
(Medicinenet, 2008)
2.2.2 Macam-macam Activity Daily Living
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) Activity Daily Living meliputi higiene/mandi,
berpakaian/berdandan, makan dan toileting.
1. Makan
Makan memerlukan memilih makan, menggunakan alat untuk memasukkan makanan ke
dalam mulut, mengunnyah serta menelan makanan tersebut.
2. Mandi
Aktivitas mandi memerlukan kesiapan air mandi dan peralatannya, membuka baju, menyiram
dan mengeringkan tubuh setelah mandi.
3. Berpakaian
Berpakaian memerlukan memilih pakaian, memakainya dan melepasnya, mengancing
pakaian dan menyisir rambut.
4. Toileting
Aktititas toileting meliputi kemampuan untuk sampai di kamar kecil, membuka pakaian,
untuk menggunakan toilet, membersihkan diri, mengenakan pakaian kembali dan
membersihkan tangan.
2.2.3 Defisit Perawatan Diri
Menurut NANDA (Judith, 2005) defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan
seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri,
seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting. Defisit perawatan diri yang mempengaruhi
Activity Daily Living diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Defisit perawatan diri : makan dan minum (feeding)
Definisi : kemampuan kurang untuk melakukan atau melengkapi aktivitas makan.
Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :
0 = sepenuhnya mandiri
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari
3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan
4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas
Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat
menunjukkan tingkat fungsional pasien :
Tabel 2.5 Pasien fungsional level makan dan minum
Tergantung total
(+4)
Tergantung sedang
(+3)
Tergantung sebagian
(+2)
Makan Pasien membutuhkan
bantuan untuk makan
secara total
Perawat memotong
makanan, membuka
botol, menyiapkan
posisi pasien,
memonitor dan
memotivasi makan
Perawat menyiapkan
posisi pasien,
menyediakan makanan
dan alat dan memonitor
ketika pasien makan
Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC
Outcomes (2005)
b. Defisit perawatan diri : mandi (hygiene)
Definisi : kelemahan untuk melakukan atau melengkapi mandi atau aktivitas kesehatan untuk
dirinya.
Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :
0 = sepenuhnya mandiri
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari
3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan
4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas
Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat
menunjukkan tingkat fungsional pasien :
Tabel 2.6 Pasien fungsional level perawatan diri mandi
Tergantung total
(+4)
Tergantung sedang
(+3)
Tergantung sebagian
(+2)
Mandi Pasien membutuhkan bantuan secara total;
tidak dapat
membantu sama
sekali
Perawat menyediakan semua peralatan :
posisi pasien :
mencuci punggung,
kaki, perineum dan
semua bagian lain
yang dibutuhkan :
pasien bisa
membantu
Perawat menyediakan semua peralatan : posisi
pasien : di tempat tidur
dan kamar mandi.
Pasien mandi sendiri
kecuali daerah
punggung dan kaki.
Kebersihan
mulut
Perawat membantu
semua prosedur
Perawat menyiapkan
sikat gigi, kumur
mulut, posisi pasien
Pasien menyediakan
peralatan : pasien
melakukan tugasnya
sendiri
Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC
Outcomes (2005)
c. Defisit perawatan diri : berpakaian/ berdandan
Definisi : kelemahan untuk melaksanakan atau melengkapi berpakaian dan aktivitas
berdandan untuk dirinya.
Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :
0 = sepenuhnya mandiri
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari
3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan
4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas
Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat
menunjukkan tingkat fungsional pasien :
Tabel 2.7 Pasien fungsional level berpakaian
Tergantung total
(+4)
Tergantung sedang
(+3)
Tergantung sebagian
(+2)
Berpakaian atau
pemeliharaan
Pasien membutuhkan
bantuan untuk
berpakaian dan
tidak bisa
membantu
perawat : perawat
menyisir rambut
pasien
Perawat menyisir rambut pasien,
membantu berpakaian,
mengancingkan dan
menutup resleting,
menalikan sepatu
Perawat menyediakan barang-barang untuk
pasien, bisa kancing,
resleting atau tali
pakaian. Pasien
berpakaian sendiri
Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC
Outcomes (2005)
d. Defisit perawatan diri : toileting
Definisi : kemampuan kurang untuk melakukan atau melengkapi aktivitas pergi ke toilet.
Internasional NANDA menggunakan skala sebagai berikut :
0 = sepenuhnya mandiri
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan orang lain untuk membantu, mengawasi atau mengajari
3 = memerlukan bantuan orang lain dan peralatan
4 = bergantung, tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas
Definisi dan gambaran berikut dapat membantu dalam menentukan angka yang dapat
menunjukkan tingkat fungsional pasien :
Tabel 2.8 Pasien fungsional level toileting
Tergantung total
(+4)
Tergantung sedang
(+3)
Tergantung sebagian
(+2)
Pergi ke toilet Pasien tidak dapat menahan diri ;
perawat
memposisikan
pasien di atas
pispot atau jamban
Perawat menyediakan
bedpan,
memposisikan
pasien di atas
bedpan dan
sesuadahnya,
menempatkan
pasien di atas
jamban
Pasien bisa berjalan ke kamar mandi atau
jamban dengan
bantuan, perawat
membantu berpakaian
Sumber : dikutip dari buku Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Interventios and NOC
Outcomes (2005)
2.2.4 Alat Pelindung dan Pendukung Activity Daily Living
Berbagai alat dapat dirancang dan disediakan dengan tujuan untuk melindungi tungkai
dan/atau untuk mendukung pasien dalam melakukan Activity Daily Living. Latihan yang teratur
untuk melakukan suatu pekerjaan lebih penting dibandingkan menggunakan alat-alat yang
disesuaikan. Tangan harus digunakan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan alat-alat dan
pekerjaan dan bukan menyesuaikan tangan dengan alat-alat. Hal ini dapat dilakukan dengan
latihan yang sangat teliti dan dengan merubah kebiasaan-kebiasaan kerja yang buruk. (Ditjen
PPM PL-NLR Indonesia, 2006).
Contoh-contoh alat pelindung dan pendukung (Ditjen PPM PL-NLR Indonesia, 2006):
a. Bebat jari yang dinamik atau statis untuk memperbaiki jari-jari yang bengkok
b. Bermacam alat Bantu pegangan yang tidak untuk memperbaiki kecacatan tangan (misalnya
untuk bias menggenggam lebih baik dan bahkan untuk mendistribusi kekuatan). Jika pasien
masih memiliki kekuatan menggenggam, untuk makan sendok dengan sebuah ukuran yang
besar. Jika pasien tidak memiliki kekuatan menggenggam, sebuah sendok khusus bisa dibuat,
dimana penjepit dipasang di telapak tangan.
c. Alat untuk melindungi tangan dari luka bakar.
Ketika akan meminum minuman yang panas, sebuah gelas dengan sebuah peganggan bisa
lebih mudah untuk dipegang, dan lebih aman daripada gelas minum yang biasa. Atau sebuah
keranjang bambu kecil dapat digunakan untuk melapisi gelas. Saat memasak, gunakan alas
yang tebal untuk mengangkat panci atau panci dengan pegangan yang mampu menahan
panas. Sebuah pegangan rokok harus digunakan jika pasien kusta mempunyai kebiasaan
merokok dan kebiasaan merokoknya tidak dapat dihentikan.
d. Berpakaian : kancing-kancing kecil dan pengait harusnya tidak digunakan. Jika tidak terlalu
mahal, beberapa pakaian bisa dirancang ulang untuk membuat pakaian tersebut lebih
gampang dikenakan. Sebuah kemeja bisa dengan lubang yang cukup besar untuk kepala
sehingga tidak membutuhkan kancing. Velcro berguna untuk mengikat sandal bagi seseorang
yang tidak memiliki jari-jari kaki.
e. Toilet : untuk seorang penderita tidak boleh ada tekanan yang lama di telapak kaki dan
penderita yang menggunakan protesa (kaki palsu) mungkin sulit untuk jongkok sehingga
penderita dapat menggunakan kursi kayu yang tengahnya dilubangi.
2.3 Terapi Okupasi
2.3.1 Pengertian
Occupational therapy berasal dari kata occupational yang artinya aktivitas dan therapy
berarti penyembuhan atau pemulihan, sehingga occupational therapy adalah proses
penyembuhan melalui aktivitas. Aktivitas yang dikerjakan tidak hanya sekedar membuat sibuk
pasien, melainkan aktivitas fungsional yang mengandung efek terapeutik dan bermanfaat bagi
pasien. Artinya aktivitas yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan (Nurrahmawati,2008).
Menurut American Occupation Therapy, terapi okupasi adalah seni dan ilmu untuk
mengarahkan jawaban manusia kepada aktifitas selektif supaya kesehatan ditingkatkan dan
dipertahankan, untuk mencegah cacat, menilai kekakuan dan memberi terapi serta latihan pada
penderita cacat fisik dan psikososial (Catherine Anne Trombly dan Mary Vining Radomski,
2001).
Terapi okupasi adalah suatu tindakan yang menolong individu yang mempunyai kelainan
atau kecatatan fisik atau mental yang bersifat sementara atau menetap dengan menggunakan
aktivitas-aktivitas yang telah di program atau disesuaikan untuk membantu fungsi fisik dan atau
mental maupun sosial secara optimal dibidang perawatan diri, produktivitas dan yang bersifat
rekreasi atau menyenangkan (Yakkum, 2008).
Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari
rehabilitasi medis. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan
cara memanipulasi, memfasilitasi dan menginhibisi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan,
perbaikan dan pemeliharaan kemampuan pasien (Sarana, 2008).
Terapi okupasi mencakup penggunaan aspek terapeutik productivity (kerja), activity of
daily living (perawatan diri), dan melakukan aktivitas untuk meningkatkan fungsi independen,
perbaikan, perkembangan dan mencegah ketidak mampuan. Termasuk di dalamnya adaptasi
tugas atau lingkungan untuk mencapai kebebasan maksimum dan untuk memperbaiki kualitas
hidup (Definisi resmi dari terapi okupasional, AOTA Executive Board, 1976) (Ditjen PPM Pl-
NLR Indonesia, 2006).
2.3.2 Fungsi dari Terapi Okupasi
Menurut Helen S. Willard dan Clare S.Spackman (1971) fungsi terapi okupasi adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai perawatan spesifik untuk pasien psikiatris untuk mengembangkan hubungan yang
yang lebih memuaskan, untuk membantu melepaskan atau mengendalikan emosi.
2. Sebagai perawatan spesifik untuk pemulihan fungsi fisik, untuk meningkatkan kerjasama
gerak, koordinasi dan kekuatan otot.
3. Mempelajari aktifitas kehidupannya sendiri, seperti kehidupan sehari-hari contohnya makan,
berpakaian, menulis, menggunakan peralatan.
4. Membantu ibu rumah tangga yang cacat untuk mengatur rutinitas rumah tangga dengan
instruksi dan nasihat sebagai bentuk adaptasi terhadap peralatan rumah tangga serta
penyederhanaan kerja.
5. Mengembangkan toleransi kerja serta perbaikan keahlian khusus sebagai persyaratan seperti
yang disyaratkan oleh yang punya pekerjaan.
6. Menyediakan pendidikan kejuruan untuk menentukan kapasitas fisik dan mental pasien,
minat, penyesuaian sosial, kebiasaan kerja, keahlian dan petensi kemampuan pelamar.
7. Sebagai tolak ukur, membantu pasien untuk menerima dan secara periode panjang
membangun keramahtamahan dan pemulihan kesehatan.
8. Menunjukkan kembali rekreasi dan kegemaran.
2.3.3 Macam-Macam Latihan Terapi Okupasi
Menurut Leladi Sesameng Dumadi (2004) ada beberapa latihan terapi okupasi
untuk penderita kusta dalam Activity Daily Living, antara lain yaitu:
a. Keterampilan Makan dan Minum Sendiri
Latih penderita untuk mengambil makanan dari piring dibawa ke mulut bisa
dengan tangan atau sendok, suapanya jangan terlalu penuh. Hal-hal yang perlu
diperhatikan saat melatih pasien adalah :
1. Bila pasien tidak dapat mengangkat lengannya maka dibantu dengan lengan yang
sehat atau ditopang dengan meja, lantai atau lutut.
2. Latih pasien untuk memasukkan makanan dari depan mulut, jangan dari sisi atau
samping mulut.
3. Masukan sejumlah kecil makanan atau minuman.
4. Usahakan agar kepala sejajar badan, bila menengadah makanan akan sulit ditelan.
Bila pasien sulit untuk menelan usaplah bagian leher dengan menggunakan dua jari.
5. Jangan terburu-buru, berikan waktu agar pasien tenang.
6. Bila penderita belum dapat menyelesaikan makanan sendiri, maka bantulah pasien
untuk menyelesaikan sisanya untuk disuap.
Ada beberapa modifikasi gagang sendok yang disesuaikan dengan keadaan kecacatan
tangan penderita, yaitu :
1. Sendok dengan gagang bulat besar, bisa dari rotan atau bambu untuk penderita yang
belum dapat memegang sendok tipis tetapi sudah mulai dapat menggenggam.
2. Sendok dengan gagang yang dilapisi bahan yang disebut Modulan. Modulan yaitu
suatu alat yang terbuat dari bahan seperti gips (cement) yang terdiri dari dua
komponen yaitu warna kuning dan warna biru. Warna kuning mengandung zat
Epoxy Rezin, sedangkan yang warna biru adalah zat pengerasnya. Cara memakainya
adalah pasien kusta dengan cacat pada tangan dapat menyesuaikan kedudukan yang
cocok dari tangan untuk memegang sesuatu sesuai dengan cacatnya. Kedua bahan
tersebut (modulan biru dan kuning) dicampur oleh dokter, perawat atau tenaga
kesehatan lainnya dengan memakai sarung tangan karena kedua bahan tersebut dapat
mengiritasi kulit. Setelah campuran kedua bahan tersebut berubah menjadi hijau,
kemudian diletakkan di tangkai alat yang akan digunakan. Jari tangan pasien
diletakkan pada bahan tersebut sehingga akan menimbulkan cekungan sehingga akan
terbentuk alat yang hanya dapat dipergunakan oleh pasien tersebut sesuai dengan
cacatnya. Pasien kusta yang tidak mempunyai jari tangan/mutilasi, gagang sendok
diselipkan pada kain dan dibelitkan pada tangan atau lengan.
3. Pilih sendok yang tidak terlalu cekung dan panjang.
4. Latih pasien yang tidak mempunyai tangan dengan menundukkan kepala dan
mendekatkan mulut ke piring.
Cara minum :
Latih penderita untuk membawa tempat minum ke mulut. Gelas/cangkir bisa tanpa
pegangan, satu pegangan atau dua pegangan. Bila penderita sulit untuk menelan isilah tempat
minuman penuh agar kepala tidak menengadah pada waktu minuman, karena akan
menambah sukar menelan. Bila penderita tidak dapat mengangkat tempat minum maka dapat
dipakai sedotan.
b. Latihan Mandi
Penderita bisa duduk di bawah pancuran atau dapat mengambil air dengan gayung
atau berendam dalam ember besar. Posisi mandi bisa duduk atau berdiri tergantung
keadaan cacatnya. Latih penderita menyiram badan dengan air, menyabuni badan dan
menggosok badan. Bila sukar memegang sabun, gantungkan sabun dengan tali di leher
pasien atau dimasukkan ke dalam kantong yang dijahitkan ke dalam sarung tangan yang
terbuat dari bahan handuk. Bila ada bagian badan yang tidak terjangkau oleh tangan, latih
pasien untuk menggosok badan dengan menggunakan sikat gagang panjang.
1. Menggosok gigi :
Bila penderita cacat (clawing) dapat dipakai modulan. Bila penderita tidak
mempunyai jari, sikat gigi dimasukkan ke dalam kantong yang diselipkan pada kain
dan dibelitkan ditangan pasien.
2. Menyisir rambut :
Latih penderita menyisir rambut setiap hari. Bila lengan tidak dapat diangkat,
maka sambunglah sisir dengan bambu atau kayu yang diikat pada sisir sebagai
pegangan. Bila penderita tidak mempunyai jari, sisir dimasukkan dalam kantong
seperti cara memasukkan sikat gigi.
c. Keterampilan Berpakaian
Pilih posisi yang memudahkan penderita melakukan aktivitas berpakaian , penderita
dapat duduk dilantai, berdiri, dan bersandar di dinding bila penderita tidak dapat duduk,
maka latih berpakaian dengan berbaring. Bila penderita mengalami kesukaran dengan
pakaian yang biasa dipakai maka dibuat modifikasi seperlunya sehingga memudahkan
penderita untuk mengenakannya. Bagi penderita dengan tangan kiting dipakai resluiting
sebagai pengganti kancing baju. Latih penderita untuk melepas pakaian terlebih dahulu,
kemudian baru diajarkan cara mengenakan pakaian.
1. Cara Melepas Pakaian :
Cara melepas celana panjang, yaitu pasien dilatih melepas celana dimulai
dari tungkai yang kuat terlebih dahulu kemudian baru yang lemah.
2. Cara Mengenakan Pakaian :
Latih penderita untuk mengenakan celana panjang mulai dari tungkai yang
lemah terlebih dahulu, baru tungkai yang kuat. Begitu juga dalam mengenakan
kemeja dimulai dari lengan yang lemah dan baru lengan yang kuat.
3. Cara Memakai Sepatu :
Dapat dibantu dengan memakai bambu atau kayu panjang yang berfungsi
sebagai pengungkit.
d. Ambulasi
Ambulasi adalah berpindah untuk mencapai jarak tertentu. Pada pasien kusta dapat
terjadi keadaan dimana satu atau kedua tungkainya harus dipotong (amputasi) karena terjadi
luka atau kanker kulit, sehingga pasiennya mengalami kesulitan untuk ambulasi.
Ambulasi pada pasien kusta bisa dengan :
1. Jalan jongkok.
2. Menggunakan dua buah kruk.
3. Berjalan dengan menggunakan bantuan kursi roda.
4. Berjalan dengan satu/dua tongkat.
a) Cara menaiki tangga :
Tungkai yang kuat melangkah ke atas lebih dahulu, baru tungkai yang lemah dengan
badan condong ke depan.
b) Cara Menuruni Tangga :
Tungkau yang lemah terlebih dahulu melangkah turun, diikuti tungkai yang kuat.
2.3.4 Sistem Limbik
Kata “Limbik” berarti perbatasan. Istilah limbik digunakan untuk menjelaskan struktur
tepi di sekeliling region berasal dari serebrum. Istilah sistem limbik telah diperluas artinya ke
seluruh lintasan neural yang mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional.
Sistem limbik dipengaruhi oleh amigdala dan hipokampus. Hipokampus berperan menentukan
makna suatu informasi yang akan disimpan atau tidak dalam ingatan. Seseorang dengan cepat
menjadi terbiasa terhadap stimulus dengan tekun mempelajari setiap pengalaman sensorik yang
dapat menimbulkan rasa senang atau rasa terhukum. Hipokampus menyebabkan timbulnya
dorongan untuk mengubah ingatan jangka pendek menjadi jangka panjang yaitu sampai menjadi
ingatan yang disimpan permanen. Hipokampus merupakan bagian medial korteks temporalis
yang memanjang, melipat ke atas dan dalam untuk membentuk permukaan ventral dari radiks
inferior ventrikel lateral. Salah satu ujung hipokampus berbatasan dengan nukleri amigdala,
serta pada salah satu tepinya juga bersatu dengan girus parahipokampus, yang merupakan
korteks dari permukaan ventromedial lobus temporalis. Hampir setiap jenis pengalaman
sensorik mengalami sensorik menyebabkan aktivitas sedikitnya di beberapa bagian hipokampus,
dan hipokampus kemudian menyebarkan sinyal-sinyal keluar menuju thalamus anterior,
hipotalamus dan bagian lain dari system limbik (Guyton & Hall, 1997). Tanpa hipokampus tidak
akan timbul konsolidasi ingatan jangka panjang dari jeni verbal atau jenis simbolik (Ganong,
1998).
Pengaruh emosi melalui amigdala. Amigdala menerima sinyal neuron dari semua bagian
korteks limbik seperti juga dari neokorteks lobus temporal, parietal, dan oksipital, terutama dari
area assosiasi auditorik dan area asossiasi visual. Karena hubungan yang multiple ini amigdala
disebut “Jendela” yang dipakai oleh system limbik untuk melihat kedudukan seseorang di dunia.
Perangsangan amigdala tertentu, kadangkala menimbulkan pola marah, melarikan diri, rasa
terhukum dan rasa takut, seperti pola rasa marah yang dicetuskan oleh hipotalamus (Guyton &
Hall, 1997).
2.4 Kerangka Teori
Masuk dalam tubuh manusia melalui saluran nafas atas (Mukosa Nasal)
Mycobacterium leprae
s
`
Gambar 2.1 Kerangka teori
Sel Schwan
Kusta
Gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak, aliran darah
Kelemahan Anastesi (mati rasa)
Otonom Motorik Sensorik
Gangguan fungsi saraf
Kulit kering dan pecah
Mata tidak bisa
berkedip
Tangan dan kaki
lemah/lumpuh
Kornea mati rasa, reflek berkedip
berkurang
Tangan dan kaki mati rasa dan
luka
Terapi
ADL terganggu
Macam ADL :
- Makan minum
- Mandi
- Toileting
- Berpakaian
Kecacatan
Jari-jari bengkok dan kaku
Pengobatan :
MDT - Rifampisin
- Lamprene
- DDS
Mampu melaksanakan ADL
(Feeding)
Rehabilitasi :
- Fisioterapi
- Ortetik postetik
- Psikoterapi
- Okupasi terapi
Sosial
Fisik
Psikologis
Stimulasi auditori & visual
Korteks serebri
Sistem limbik
Amigdala Hipokampus
Emosi, memori, perasaan Learning proses & memori
Masyarakat & keluarga
menjauhi penderita
Isolasi Sosial
Harga diri rendah
- Kehilangan mata pencaharian/sekolah
- Tergantung pada orang lain
- Kehilangan peran dalam keluarga
& masyarakat
Merasa tidak berharga Malu Segan berobat