BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Sudah terlalu banyak kau menari untuk dunia.Kini saatnya kau
menari bagi ‘Sang Kekasih’.Janganlah lagi kau mengejar bayang-
bayangmu semata. Pasrahkanlah dirimu pada Allah“.(Jalaludin Rumi)1
Kutipan diatas adalah syair cukup fenomenal dari Jalaludin Rumi, seorang sufi
asal Turki yang menciptakan sebuah tari sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan, yang kini dikenal dengan whirling dervishatau tari sufi.
Whirling dervish(tari sufi) merupakan salah satu kesenian asing yang masuk dan
berkembang di Indonesia.Whirling dervish adalah kesenian tari ritual yang diciptakan oleh
seorang teolog islam sekaligus pujangga sufi dari bumi persia. Ia menciptakan tari ini sebagai
upaya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan serta bentuk ekspresi rasa cinta dan kasih
sayang seorang hamba kepada Sang Pencipta dan kepada sosok tauladan yang sempurna
yaitu Muhammad SAW. Di Indonesia tari ini lebih dikenal dengan Tari Sufi, karena teolog
islam tersebut adalah seorang sufi.
Salah satu tuntunan Nabi Muhammad untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah
dengan berdzikir. Para murid Rumi mengembangkan metode berzikir dengan cara yang
1 Yunan Shalimow, “Sufi Mehfil : Orgasm Spiritual Ala Jalaluddin Rumi”, diakses dari http://www.shalimow.com/islam/sufi-mehfil-jalaludin-rumi.html, diakses pada tanggal 29 Desember 2013 pukul 12.31
berbeda, yaitu dengan gerakan berputar sehingga terciptalah tarian sema atau dikenal dengan
tari sufi.2
Tari Sufi terus dikembangkan oleh penerus Jalaluddin Rumi setelah kepergiannya
pada 1273 M sebagai sebuah penghormatan. Jalaluddin Rumi dengan nama asli yaitu Jalal
ad-Din Muhammad Balkhi Rumi, ia adalah seorang ahli hukum dari Persia sekaligus penyair
legendaris yang terkenal diseluruh dunia hingga saat ini. Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa
tarian ini adalah sebagai cara khusyuk berdzikir kepada Allah SWT dengan memfokuskan
diri pada satu titik (putaran)3.
Pada perkembangannya, ajaran sufi ini terbagi menjadi beberapa cabang, dan hal
ini mempengaruhi pada whirling dervish (tarian darwis) yaitu sedikit perbedaan dalam
gerakan tari. Burckhardt menjelaskan bahwa pada perkembangannya, aliran sufi (penganut
ajaran tasawwuf) di Timur seperti Naqsabandiyyah mengambil teknik-teknik hatha-yoga
tertentu dan akhirnya menjadi demikian berbeda dalam bentuk tarian mereka. Jalaluddin
Rumi yang mendirikan aliran Mevelvi (salah satu aliran sufi), mengambil inspirasi bagi
dzikir bersama masyarakatnya dari tarian popular dan musik Asia kecil, yang kemudian
terciptalah whirling dervish atau tarian dan musik kaum Darqowiyah (Darvhis) yang dikenal
oleh masyarakat Indonesia sebagai tari sufi.
Dalam tradisi Rumi, dinamika perjalanan menuju kesatuan mesra dengan Yang
Ilahi ini tergambarkan secara artistik dan dramatik dalam tarian para darwis yang khas
2http://aceh.tribunnews.com/2013/05/14/sosok-rumi-dan-daya-pikat-tarian-sufi. diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 11.29 3http://www.merdeka.com/foto/dunia/223609/menjelajahi-asal-usul-lahirnya-tarian-sufi-di-kota-konya-001-isn.html. diakses pada tanggal 09 Januari 2014 pukul 10.21
(whirling dervish). Dalam tarian ini, para darwis berjalan perlahan membentuk lingkaran,
lalu menghormati sang guru Sufi mereka dengan mencium tangan sang guru, kemudian
memutar badan dengan ritmis seperti ritme doa dzikir, putaran tersebut berlawanan dengan
arah jarum jam, sesuai dengan ritme perputaran bumi, gerakan ini melambangkan alam
semesta yang selalu berputar mengelilingi garis edarnya masing-masing. Posisi tangan kanan
naik dengan telapak terbuka ke atas, melambangkan proses menuju ke Yang Ilahi serta
keterbukaan akan rahmat-Nya. Dan posisi tangan kiri menurun, dengan telapak mengarah
ke bawah, menandakan proses mengalirnya rahmat Ilahi ini ke sesama dan seluruh bumi.
Para penari melakukan gerakan terus-menerus sampai tercapai rasa persatuan mesra dengan
Yang Ilahi, dengan sesama dan alam semesta. Tarian mistis dan kosmis ini adalah bagian
khas dari tradisi tarekat Mevlevi yang dirikan oleh anak laki-laki Rumi, Veled (Bagus :
2012).
Tarian sufi memiliki filosifi mendalam baik pada gerakan ataupun kostum yang
dipakai saat menari. Gerakan memutar ke arah kiri melambangkan putaran alam semesta,
putaran tawaf di Ka'bah, dan putaran surgawi Ilahiah. Warna kostum asli (penari sufi) hitam
dan putih. Mengingat mati sebelum mati.Ini berguna untuk mengendalikan ego.Islam adalah
agama yang indah, mengajarkan kelembutan.Jihad yang sebenarnya adalah melawan ego,
bukan berperang dengan kemarahan4.
Gambar 1.1-4. Para Penari Whirling dervish dalam gerakan menari berputar dengan tangan
mengayun ke samping
4http://hot.detik.com/read/2013/07/25/130015/2314092/1017/2/kematian-dan-kostum-penari-sufi. diakses pada tanggal 09 Januari 2014 pukul 11.01
Gambar 1.5 Penampilan Whirling Dervish Pondok Rumi di salah satu Mall di Jakarta
Jalaluddin Rumi menciptakan tari sebagai bentuk dan rasa cintanya kepada Tuhan,
secara sosiologis tari yang diciptakan Rumi merupakan jalan lain seseorang untuk mencapai
transenden dan mendapatkan kenikmatan serta kepuasan batin karena telah mendekati
singgasana Tuhan melalui cara yang indah, yaitu dengan menari. Tari ini memiliki fungsi
yang cukup penting yaitu sebagai daya tarik masyarakat, khususnya orang yang beragama
islam, sehingga melalui seni seseorang dapat memperpendek jaraknya dengan Sang
Pengasih.
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang mayoritas beragama islam.
Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, sensus penduduk pada tahun
2010 memaparkan bahwa jumlah masyarakat indonesia yang beragama islam adalah
sebanyak 87,2% atau secara angka absolut berjumlah 207,2 juta jiwa5. Hal ini merupakan
salah satu jawaban atas hadirnya whirling dervish dan mulai berkembangnya di indonesia.
Keberagaman dalam islam, serta multikulturnya masyarakat indonesia ditambah dengan
globalisasi yang kian berkembang, menjadikan masyarakat mengenal berbagai macam
budaya dari luar indonesia, dan salah satunya adalah tari sufi yang berasal dari Turki ini.
Sosok fenomenal Jalaluddin Rumi juga merupakan sebab dari hadirnya tari sufi ini ke
indonesia, yang dibawa oleh para penganut salah satu aliran islam yaitu sufi.
Keberadaan tari sufi di indonesia masih begitu jarang ditemui di berbagai daerah,
hanya di kota-kota tertentu saja dan itu pun karena adanya komunitas-komunitas sufi atau
kelompok pecinta Jalaluddin Rumi di kota tersebut, dengan kata lain kehadiran tari sufi dan
perkembangannya di indonesia masih bergantung dan dibawah bayang-bayang pergerakan
komunitas-komunitas sufi yang ada di indonesia.
5http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69. Diakses pada tanggal 9 Maret 2014, pukul 5.36
Persebaran komunitas yang mengembangkan dan melestarikan tari sufi di
indonesia terbilang masih terhitung jari. Beberapa komunitas berlabel “komunitas sufi”
dapat dikatakan masih seumur biji jagung dan lebih kepada perkumpulan para penganut
aliran sufisme yang berkumpul untuk mengkaji lebih mendalam akan ajaran atau aliran sufi
tersebut. Hasil penelusuran melalui akses internet, ditemukan beberapa komunitas tari sufi
di beberapa kota, diantaranya yaitu Sufi RabbaniWahid6 berasal dari Aceh, Zawiyah
Haqqani7 di Yogyakarta, TASURA(Tari Sufi Jepara)8 diJepara, dan Pondok Rumi9 yang
berada di Jakarta. Dari keempat komunitas berlain kota tersebut, komunitas di Jakarta lah
yang paling tua usianya dan sangat berkembang dibandingkan 3 komunitas lainnya.
Keberadaannya yang berlokasi di Jakarta Selatan memiliki nilai lebih bagi
komunitas ini untuk melestarikanTari Sufi sekaligus mengembangkankomunitas tersebut,
dimana Jakarta adalah ibukota Negara dan sentral dari segala macam aktivitas, terutama
bisnis.Jakarta pun dikenal dengan kota yang keras dalam upaya untuk bertahan hidup. Segala
profesi dapatditemukan dengan mudah di Jakarta, mulai dari pengemis, politisi sampai
pebisnis.Imageakan Jakarta pun begitu fenomenal di kalangan pelosok desa, mereka
mengatakan bahwa untuk menjadi orang kaya ataupun sukses, maka merantaulah ke
Jakarta.Pada hakikatnya manusia memang ditakdirkan untuk memilih ingin seperti apakah
hidupnya dan bagaimana agar iasurvive dibawah kerasnya dunia. Marx juga mengatakan
bahwa prioritas utama manusia adalah produksi sarana subsistensi melalui kerja.Ketika
6http://www.tempo.co/read/news/2012/10/16/111436086/Tari-Sufi-Aceh-Akan-Difilmkan. diakses pada tanggal 04 Maret 2014, pukul 09.57 7 http://www.tribunnews.com/regional/2012/08/06/mengintip-komunitas-sufi-di-yogyakarta. diakses pada tanggal 04 Maret 2014, Pukul 09.59 8 https://www.facebook.com/TariSufiJepara/info. diakses pada tanggal 04 Maret 2014, Pukul 10.03 9 http://pondokrumi.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 04 Maret 2014, Pukul 10.05
manusia menghasilkan makanan, pakaian dan semua alat yang bertujuan untuk mengubah
lingkungannya, maka mereka juga menciptakan dirinya10.
Sebuah komunitas begitu terlihat sepi dan tidak terasa keberadaannya, atau dapat
dikatakan hidup kurang lengkap jika tidak memiliki akun jejaring sosial, melihat dunia saat
ini berada dibawah ketiak mediamassa. Tidak terkecuali dengan Pondok Rumi, komunitas
pecinta tari sufi ini memilikisebuah situs jejaring sosial dan sebuah website sebagai alat
promosi dan wahana berkomunikasi dengan para pecinta tari sufi. Akun jejaring sosial
dengan namaTarian Sufi ini memberikan informasi sekaligus publikasi bahwa kegiatan-
kegiatan yang menjadi rutinitasnya saat ini adalah melakukan pertunjukan-pertunjukan tari
sufi dari berbagai macam acara, seperti acara-acara gathering,acara keagamaan islam, pesta
pernikahan bahkan acara launcing produk. Hal ini jelas telah menandakan bahwa terjadinya
pergeseran nilai dari filosofi penciptaan tari sufi tersebut, dimana tari tersebut dasar
penciptaannya adalah sebagai ritual untuk mendekatkan diri dengan tuhan.
Melihat segala aktivitas di Jakarta memiliki orientasi bisnis, belum lagi saat ini
entertainmen adalah lapangan pekerjaan bermodalkan seni yang paling banyak
diminati.Kian banyaknya acara, baik formal maupun informal, seni tari menjadi sebuah
suguhan wajibsebagai hiburan selingan yang dipersembahkan untuk para tamu dan peserta
acara.Bahkan saat ini banyak sekali panggung-panggung seni yang menyediakan pentas seni
tari dan untuk dapat melihatnya, harus membeli sebuah tiket dengan sejumlah uang
tertentu.Tidak terkecuali tari sufi yang terlihat pada gambar diatas, tim tari tersebut
10Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005, hlm. 13.
menampilkan tari sufi di panggung mewah yang sedang dikelilingi oleh para penonton yang
mencoba mendokumentasikan pertunjukan tersebut.
Tari sakral yang kian diminati di pasaran ditemukan juga di Bali. Bali sangat
dikenal dengan pendudukannya yang berpegangan kuat terhadap ajaran dan tradisi
hindu.Adat serta budaya yang kental begitu dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali, tidak
terkecuali dengan keseniannya, melihat banyak sekali upacara-upacara sakral yang
laksanakan setiap tahun.Salah satu seni dari budaya Bali yang terkenal sampai kancah
internasional adalah tari kecak.Hampir setiap ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat
Bali, dapat disaksikan pula penampilan tari kecak.
Bali adalah daerah tujuan wisata para turis mancanegara.Karena keunikan budaya
dan pantainya yang eksotik menjadikannya ramai oleh para wisatawan domestik maupun
asing.Hal ini lah yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Bali untuk memperkenalkan
budayanya kepada dunia.Berbagai kesenian mulai dari sakral sampai yang bersifat hiburan
dikemas dengan baik kemudian disuguhkan kepada para wisatawan yang datang ke Pulau
Dewata ini, salah satu kesenian yang sering disuguhkan adalah tari kecak.Di layar televisi
pun tidak jarang muncul tayangan yang menampilkan tari kecak baik dalam liputan
mengenai Bali, ataupun sebuah tayangan komersial, seperti iklan produk tertentu. Hal ini
menandakan bahwa tari kecak di Bali mengalami negosiasi didalamnya, yaitu negosiasi
antara kekuatan global dengan kekuatan lokal yang komplek, dimana kekuatan lokal
mampumelewati proses globalisasi dan kekuatan global mampu melewati proses
lokalisasi,yaitu bertahannya seni-budaya Bali dan kian diminati oleh wisatawan
mancanegara. Nyoman Darma (2014) mengatakan bahwa proses negosiasi itu berlangsung
dua arah, bukan salah satu mendominasi dan meniadakan yang lain, tidak juga dengan yang
satu menaklukan dan menghabisi yang lain, tetapi yang terjadi adalah saling asah sesuai
dengan apa yang dianggap ideal oleh masyarakat pendukungnya.11
Pemilihan dan diangkatnya tema tentang whirling dervish dalam penelitian ini
dikarenakan peneliti melihat adanya sebuah kasus yang cukup menarik untuk diteliti, dimana
sebuah seni tari yang dianggap sakral oleh sekelompok ummat beragama, kemudian diubah
menjadi sebuah komoditi dan ditawar-tawarkan dengan kata lain dijual. Sama halnya dengan
tari kecak yang merupakan tarian sakral bagi umat hindu di Bali, yang kemudian
dikembangkan sebagai daya tarik pariwisata di Bali. Begitu pula pada whirling dervish,
dimana seorang sufi terna bernama Jalaluddin Rumi menciptakan tarian ini sebagai upaya
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, akan tetapi komunitas Pondok Rumi justru mencoba
melestarikan Tarian sufi ini dengan cara mempromosikannya melalui situs jejaring sosial
dengan menerima permintaan penampilan diberbagai acara yang sudah diberi patokan harga
disetiap penampilannya.
Selain adanya pemaketan dan pematokan harga di setiap penampilan whirling
dervish, perekrutan para penari pun terlihat janggal, dimana pada saat ini Pondok Rumi yang
memiliki banyak anggota, tetapi disetiap penampilannya justru para anak-anak lah yang
ditugaskan untuk menari diberbagai acara, bukan orang dewasa. Perekrutan dilakukan
dengan mendatangi suatu kampung di Jakarta, dimana kampung tersebut mayoritas
masyarakat yang secara ekonomi berada di level menengah kebawah. Hal unik lainnya yaitu
lokasi yang kini dipilih untuk melakukan kegiatan rutin Pondok Rumi, yaitu Masjid Pondok
Indah dimana tempat peribadatan tersebut berdiri ditengah tengah kawasan perumahan elite
11http://www.antarabali.com/berita/48699/bali-beruntung-dari-kekuatan-global. diakses pada tanggal 17 Maret 2014. Pukul 10.04 WIB
dan dikelilingi oleh banyak pusat perbelanjaan (mall), swalayan, super market dan
perkantoran.
Penelitian yang dilakukan pada komunitas tari sufi yaitu Pondok Rumi memiliki
maksud untuk mendalami seberapa jauh perkembangan tari sufi yang dilestarikan oleh
komunitas Pondok Rumi, dan untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses terjadinya
komodifikasi pada tari sufi dan pergeseran nilai dari sebuah seni-ibadah menjadi ajang bisnis
bagi para penarinya dan tentunya bagi komunitas tersebut sertabagaimana proses negosiasi
terjadi didalamnya, melihat pondok rumi terletak di Jakarta, yang pada realitasnya Jakarta
adalah ibu kota sekaligus pusat bisnis Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Seperti pada umumnya sebuah komunitas, Pondok Rumi memiliki berbagai
kegiatan dan aktivitas sebagai upaya untuk melestarikan whirling dervish atau Tari
Sufi.Tetapi pada perkembangannya, Pondok Rumi lebih disibukkan dengan banyaknya
permintaan untuk melakukan pertunjukkan di berbagai macam acara. Padahal Tari Sufi
merupakan seni yang memiliki filosofi kuat akan nilai ritual dan spiritual, serta bertujuan
mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan kata lain tari tersebut kini beralih menjadi ladang
bisnis yang mempertontonkan sebuah ritual dalam seni tari. Dari fakta tersebut, beberapa
rumusan masalah yang didapat adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana proses pendirian Pondok Rumi dan bagaimana aktivitasnya dalam
pelestarian tari sufi
1.2.2 Apa yang dikomodifikasikan oleh komunitas Tari Sufi tersebut dan bagaimana
komodifikasinya
1.2.3 Apakah terjadi negosiasi dalam komodifikasi yang dilakukan Pondok Rumi dan
bagaimana prosesnya
1.2.4 Bagaimana pergeseran nilai yang terjadi pada komunitas tersebut saat
terjadi komodifikasi
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang meliputi:
1. Mengetahui proses terbentuknya Pondok Rumi sebagai Komunitaswhirling
dervish atau Tari Sufi
2. Menjelaskan perkembangan Pondok Rumi dalam melestarikan Tari Sufi
ditengah kota yang menjadi pusat bisnis Indonesia
3. Mengetahui bagaimana terjadinya pergeseran nilai-nilai seni pada tari sufi dan
terjadinya komodifikasi tari sufi menjadi sebuah ajang bisnis bagi komunitas
Pondok Rumi
4. Mengetahui adanya ruang negosiasi dari proses terjadinya komodifikasi di
Pondok Rumi
5. Mengenal lebih jauh perkembangan Tari Sufi dan komunitas-komunitasnya di
Indonesia
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang tari sufisaat ini masih sangat jarang sekali ditemukan. Karena
pada dasarnya perkembangan seni tari ini masih begitu muda di Indonesia.Beberapa literatur
yang menjadi tinjauan pustaka meskipun tidak semua membahas akan tari sufi atau
perkembangan komunitasnya di Indonesia, literature yang diambil adalah literatur yang
membahas tentang pengaruh globalisasi terhadap seni, pergeseran nilai seni dari spiritual
menjadi komoditi, serta ruang negosiasi dalam sebuah seni.
a. Sosiologi Tari, Sumandyo Hadi. 2005. Yogyakarta
Tari sebagai sebuah seni tidak serta merta hadir dan terlahir dengan sendirinya.Ia
bersifat dependen, berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti lingkungan,
sejarah dan budaya yang berlaku. Tari memiliki nilai-nilai dan makna yang terkandung
disetiap gerakannya.Ia juga dapat digunakan sebagai sistem simbol tertentu yang sarat akan
nilai dan makna. Secara sosiologis tari adalah bagian integral dari dinamika sosio-budaya
masyarakat.
Literatur ini mencoba membantu dalam menelaah seni tari dari kacamata
sosiologi.Bagaimana membaca keberadaan tari dengan menggunakan pandangan
fungsionalisme dan tinjauan sosio-historis. Selain itu juga memberikan gambaran akan
pelembagaan tari di masyarakat pluralis perkotaan dengan beberapa kasus yang sudah terjadi
sebelumnya. Analisis yang ditulis dalam buku ini membantu penulis dalam menganalisis
keberadaan whirling dervish dan kasus komodifikasi yang terjadi, karena disini Sumandyo
Hadi secara singkat dan jelas membahas akan korelasi seni dan ritual agama sebagai proses
simbolis dan salah satu contoh kasusnya adalah whirling dervish.
b. Peranan Musik Dalam Ritual Sufi As-Sama’ di Padepokan Rabbani Sufi Institut
Jakarta
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rico Somala ini adalah skripsi mengenai musik
dalam sebuah ritual para sufi di sebuah komunitas yaitu komunitas Rabbani Sufi Institut di
Jakarta. Ritual yang dilakukan adalah As-Sama’.As-Sama’ adalah Whirling dervishatau tari
sufi yang lebih dikenal masyarakat Indonesia. Meskipun yang dibahas dalam skripsi ini lebih
mengenai musik yang dibawakan dalam ritual tersebut, tapi skripsi ini sangat membantu
memberikan informasi mengenai sebuah komunitas sufi dan bagaimana tari sufi atau As-
Sama’ itu dapat berkembang di Indonesia, melihat saat ini masih jarang sekali literature yang
membahas akan komunitas dan tari sufi.
Pada abstrak skripsi tersebut, Rico memaparkan bahwa music selain sebagai alat
hiburan, terapi dalam pengobatan, propaganda dalam berpolitik, music juga berfungsi
sebagai alat stimulus (dorongan) ilahiah yang dapat meningkatkan kecintaan seorang hamba
kepada Tuhan, termasuk music yang menjadi pengiring dalam As-Sama’ (tari sufi).
Sedangkan ajaran tasawauf adalah ajaran yang berorientasi secara tulus kepada Sang Khalik,
pada ajaran tersebut para sufi menggunakan music dengan tarian sebagai ritual mereka, ritual
tersebut adalah As-Sama’ atau tari sufi. Para sufi mendengarkan syair-syair mistis yang
dilantunkan dan ditujukan kepada Tuhan sebagai bentuk ekspresi para sufi dalam
menjalankan ajaran tasawuf.
Literatur ini menjelaskan sedikit tentang bagaimana ajaran tasawuf, bagaimana
seorang guru yang memahami ajaran tasawwuf mengajarkan para muridnya rasa cinta
kepada Sang Pencipta, dan bagaimana ajaran berasaskan cinta ini masuk ke Indonesia. Selain
itu Rico juga menjelaskan tentang suatu komunitas sufi yang ditelitinya, bagaimana aktivitas
yang dilakukan terutama dalam pelaksanaan As-Sama atau tari sufi.
c. Komodifikasi Kesenian Tradisional Dan Representasinya Di Ranah Publik
Tinjauan pustaka satu ini adalah sebuah skripsi yang disusun oleh Indra Agung
Hanifah, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang meneliti komodifikasi kesenian
tradisional dan representasinya di ranah publik.Penelitian ini dijadikan tinjauan pustaka
karena melihat fokus dan diangkat untuk diteliti sama, yaitu komodifikasi terhadap kesenian,
sedangkan objek penelitiannyalah yang berbeda, dimana Indra mengangkat kesenian
tradisional Jawa yaitu Hip Hop Jawa di Yogyakarta, sedangkan objek penelitian yang
dipiliholeh penulisadalah Komunitas Pondok Rumi, sebuah komunitas yang melestarikan
dan mengembangkan kesenian Tari Sufi (whirling dervish) yang berada di Jakarta.
Hadirnya Globalisasi membawa perubahan yang besar pada kebudayaan, termasuk
pada kesenian tradisional. Globalisasi membawa budaya popular masuk ke Indonesia
kemudian menjadikan kesenian tradisional semakin terpuruk daya tariknya di masyarakat.
Para senimanmuda di Yogyakarta dintaranya yaitu kelompok Rak Dink Donk Boys dan
komunitas Kandang Sapi mencoba berkesenian dengan menciptakan karya-karya seni
dengan bahan dasarnya adalah kesenian tradisional, dengan melepaskannya dari nilai dan
fungsi religiusitasnya kemudian dimodernisasi sehingga terciptalah karya yang diminati
dipasaran.
Praktik komodifikasi yang dilakukan oleh para seniman ini ternyata memiliki
beberapa tujuan, baik itu konotatif maupun denotatif.Para seniman ini berkesenian ternyata
dikarenakan factor ekonomi yang kuat.Selain itu dengan melakukan komodifikasi, kedua
kelompok seniman muda ini ingin mempererat simpul komunitas dengan menghasilkan
karya sehingga intensitas tatap muka menjadi bertambah.Dan kemauan untuk eksis di jagat
musik Yogyakarta dan Indonesia mejadi factor kuat pemaknaan atas komodifikasi yang
dilakukan12.
12Indra Agung Hanifah.2007.Komodifikasi Kesenian Tradisional Dan Representasinya Di Ranah Publik.Skripsi. Jurusan
Sosiologi UGM. Yogyakarta
d. Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali, Suatu Kajian Manajemen Seni
Pertunjukan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dyah Hastuti Sri Rejeki pada tahun 2004 ini
memberikan hasil yang cukup menarik tentang fakta akan adanya manajemen seni
pertunjukan dalam kesenian tari kecak di salah satu Junjungan Ubud Bali. Skripsi mahasiswi
jurusan tari ISI Yogyakarta ini meneliti tari kecak yang merupakan tari Sanghyang, tarian
trance (kerawuhan), masuknya Hyang (spirit yang dapat menyebabkan penari tidak sadarkan
diri).Tari ini adalah tari tradisional sisa-sisa kebudayaan pra Hinduyang merupakan tari
sakral, dan bagi masyarakat setempat tari ini adalah ritual untuk penolak bala (penyakit
cacar)13.
Hastuti memaparkan dalam abstraknya bahwa penelitian ini difokuskan pada
manajemen seni pertunjukan Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali yang berdiri pada tahun
1997.Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali ini merupakan sebuah bentuk pertunjukan yang
dikemas untuk paket pariwisata.Didirikannya manajemen ini untuk suatu tujuan dan
keuntungan yang didapat kembali lagi untuk kebutuhan religius masyarakat setempat,
karena seperti yang disebutkan diatas, bahwa tari kecak merupakan tari sakral.
Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali memiliki karakteristik dalam melaksanakan
manajemen ini.Seluruh masyarakat Desa Adat Junjungan Ubud Bali terlibat langsung
disetiap kegiatan pertunjukan maupun pengelolaan manajemennya.Sistem yang diterapkan
adalah gotong royong yang bersifat ngayah(suatu kewajiban yang harus dilaksanakan ketika
waktunya tiba).Dana yang diperoleh dari hasil pertunjukan digunakan untuk keperluan
13Dyah Hastuti Sri. 2004. Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali, Suatu Kajian Manajemen Seni Pertunjukan.Skripsi. Jurusan Tari ISI. Yogyakarta
upacara pada tiap piodalan14dan perbaikan Pura.Tidak ada pembagian honorarium kepada
para penari maupun para pengelola manajeman, kecuali para penari putri, mereka diberikan
insentif sebesar Rp 10.000,00.Pertunjukan Tari Kecak Desa Adat Junjungan Ubud Bali
dilaksanakan 2 kali di setiap minggunya, dan pada hari-hari spesial tertentu. Setiap
pertunjukkan berdurasi satu jam dengan tiket masuk seharga lima puluh ribu rupiah, dan
untuk mendapatkan banyak penonton baik wisatawan domestik maupun asing, divisi
pemasaran dari manajemen ini bekerjasama dengan biro perjalanan, pariwisata, pemandu
wisatawan serta penyebaran brosur dan pemasangan pamflet di berbagai tempat.
1.5 Kerangka Teori
“seni tari” sebagai ekspresi manusia yang bersifat estetis, kehadirannya tidak bersifat
independen. Penjelasan yang bagaimanapun adanya “seni tari” dalam wacana ini, baik tari
yang berasal dari budaya primitive, tari tradisional yang berkembang di istana (biasa disebut
“klasik”), tari yang hidup dikalangan masyarakat pedesaan dengan ciri “kerakyatan”,
maupun tari yang berkembang di masyarakat perkotaan (sering mendapat label “pop”), dan
tari “modern” atau “kreasi baru”, kehadirannya sesungguhnya tak akan lepas dari masyarakat
pendukungnya. Keberadaan seni tari dengan lingkungannya, benar-benar merupakan
masalah sosial yang cukup menarik (Hadi : 2005).
Lahirnya sebuah komunitas pecinta sufi yang mengembangkan whirling dervish,
mencoba bertahan hidup dan terus berusaha melaksanakan tujuannya yaitu melestarikan
whirling dervish ke masyarakat khususnya kaum muda di kota Jakarta yang berlabel pusat
bisnis Indonesia. Untuk mencapai tujuannya dan berusaha bertahan hidup ditengah aturan
14Piodalan adalah hari ulang tahun Pura setiap enam bulan sekali
main kota bisnis menjadikan komunitas tari sufi ini melakukan berbagai usaha dengan
menyesuaikan sistem yang berlaku di masyarakat.
Usaha yang dilakukan Pondok Rumi untuk mendapatkan penghasilan agar dapat
bertahan hidup adalah dengan melakukan praktek komodifikasi, yaitu menjadikan setiap
penampilan whirling dervish menghasilkan rupiah.
Komodifikasi yang tercium dari adanya publikasi dalam jejaring sosial Pondok Rumi
tentu memunculkan hal-hal baru dalam aktifitas dan proses pelestarian whirling dervish, baik
itu berdampak baik positif maupun negatif pada perkembangan whirling dervish yang
dilestarikannya.
1.5.1 Komodifikasi
Komodifikasi merupakan proses dimana semakin banyak aktifitas manusia memiliki
nilai moneter dan menjadi barang yang diperjualbelikan di pasar. Komoditas adalah sesuatu
yang tersedia untuk dijual di pasar dan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan
dengan kapitalisme, dimana objek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan
permukaan barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal-usul komoditas yang
berasal dari hubungan eksploratif yang disebut Marx dengan fetisisme komoditas15
Dukungan teoritis datang dari pemikiran Marx yang berpendapat bahwa kapitalisme
(capitalism) adalah sistem ekonomi yang tumbuh dengan sendirinya.Pada tahap awal sejarah
manusia, orang memproduksi barang-barang untuk kebutuhan mereka sendiri.Seiring
dengan perkembangan masyarakat, orang mulai melakukan barter, saling menukar kelebihan
makanan dengan yang mereka butuhkan.Secara bertahap, pasar hadir sehingga pertukaran
menjadi lebih mudah dan uang digunakan sebagai media pertukaran.Akhirnya, orang mulai
15Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hlm. 14
memproduksi barang, bukan untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk dijual di
pasar.Hasilnya, pada masyarakat modern, hal apapun berpotensi menjadi komoditas,
memiliki nilai monoter, dan diperjualbelikan.Selanjutnya, jangkauan komodifikasi pun
meluas.Jadi perundang-undangan menempeli harga terhadap kehidupan manusia.Di banyak
Negara, terdapat perdagangan organ tubuh manusia. Juga terdapat perdebatan mengenai
sejauh mana perusahaan swasta dapat diperbolehkan memiliki gen manusia
(Abercrombie,Hill, Turner : 2010)
Marx memandang komodifikasi sebagai apapun yang diproduksi dengan tujuan
diperjualbelikan, baik yang dapat digunakan maupun yang tidak berguna, yang utamanya
adalah memiliki nilai jual (Smith dan Evans, 2004: 32-33).Tidak berbeda dengan Marx,
Gleick menjelaskan Komodifikasi sebagai proses merubah barang atau layanan yang
sebelumnya merupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi seuatu
subyek yang mengikuti pasar. Barker (2005: 517) mendefinisikan komodifikasi sebagai
proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana obyek, kualitas, dan tanda dijadikan
sebagai komoditas dengan tujuan utamanya adalah dijual di pasar16.
Komodifikasi dan pencarian pasar baru yang didorong oleh korporasi kapitalis
menjadikan mereka sensitif terhadap pertanyaan tentang lokasi keuntungan relatif yang
mereka peroleh. Upah kerja yang lebih rendah, unionisasi yang lebih lemah dan konsesi
pajak mengarahkan perusahaan untuk lebih memilih sejumlah tempat ketimbang tempat lain
sebagai lokasi perkebunan, pasar dan pembangunan. Mirip dengan itu, kebutuhan untuk
16Indra Agung Hanifah.“Komodifikasi Kesenian Tradisional Dan Representasinya Di Ranah Publik.Skripsi. Jurusan
Sosiologi UGM, 2007
menemukan bentuk investasi alternative, dan kondisi khas pasar dan intervensi Negara,
membantu sejumlah sektor ekonomi (dan beberapa tempat) untuk mendapatkan preferensi17.
1.5.2Ruang Negosiasi
Ruang negosiasi adalah sebuah ruang dari adanya tawar-menawar antar dua unsur
yang berbeda. Ruang negosiasi muncul sebagai jalan tengah dari pertemuan dua hal yang
berbeda dan bertentangan kemudian terjadi tarik ulur diantara keduanya dalam proses upaya
untuk mendominasi. Ruang negosisasi muncul karena terjadinya hibriditas diawali ketika
batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga
kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan
mengalami pengaburan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu ruang baru, suatu sistem
tersendiri ‘Hibrid’ menurut Bhabha merupakan metafora untuk menggambarkan
bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing
bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya.
Bhaba (1994:113-114) menambahkan bahwa postkolonialitas bukan hanya
menciptakan budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk
resistensi dan negoisasi baru bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik
mereka18.Namun, hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk
produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya.Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai
suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi
temporer kategori budaya (Barker, 2005:210).
17Chris Barker,op. cit. hlm. 312 18 Homi K Bhaba, The Location Of Culture (London: Routledge, 1994), hlm.113-114
Dari proses terjadinya ruang negosiasi, hibriditasmemunculkan mimikri. Menurut
Bhabha, (l994: 86) mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek
sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is
almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena
di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah,
sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai
representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran.
Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu
strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan
‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya.Kedua, mimikri juga merupakan
ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis
kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery,
meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, l994: 86)
Seperti yang terekam pada situs jejaring sosialnya, aktivitas komunitas Pondok
Rumi saat ini yang lebih pada mempertunjukkan tari sufi dalam acara-acara istimewa, seperti
acara peringatan hari besar islam, acara kesenian, pesta pernikahan bahkan acara peresmian
suatu produk industri. Hal ini lah yang menjadi titik permasalah untuk diteliti, dimana tari
sufi yang dikenal sebagai tarian ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, kini menjadi
sebuah aksi pertujukkan yang dipertontonkan di beberapa acara pesta. Oleh karena itu,
proposal ini memiliki judul; komodifikasi Whirling dervish, yang didalamnya berupaya
membahas pergeseran nilai dari seni ritual (Ibadah), kemudian menjadi ladang bisnis bagi
para penarinya.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode kualitatif.Menurut
Gorman & Clayton (dalam Santana : 2007), penulis kualitatif bertugas melaporkan meaning
of events dari apa yang diamati penulis. Laporannya berisi amatan dari berbagai kejadian
ataupun interaksi yang diamati langsung oleh peneliti (penulis).Peneliti secara partisipatif
terlibat dalam observasi, ia hadir di dalam kejadian tersebut. Inilah yang disebut sebagai
pengamatan langsung, maka sifat kejadiannya pun bersifat spesifik (specific
situations).Kejadian yang memiliki nilai spesial, mempunyai kekhususan tertentu. Gorman
& Clayton menambahkan, bahwa tujuan akhir tulisan kualitatif ialah memahami apa yang
dipelajari dari perspektif (sudut pandang) kejadian itu sendiri.
Riset kualitatif memroses pencarian gambaran data dari konteks
kejadiannya langsung, sebagai upaya melukiskan peristiwa sepersis
kenyataannya, yang berarti membuat pelbagai kejadiannya seperti merekat, dan
melibatkan perspektif (peneliti) yang partisipatif di dalam pelbagai kejadiannya,
serta menggunakan penginduksian dalam menjelaskan gambaran fenomena yang
diamatinya. (Gorman & Clayton, dalam Santana : 2007)
1.6.1 Jenis Penelitian
Varian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah studi kasus.Studi
kasus adalah uraian dan penjelasan komperhensif mengenai berbagai aspek seorang
individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi
sosial(Dedi : 2001). Varian ini dipilih karena melihat keuntungan dan keistimewaan dari
studi kasus, seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba, bahwa studi kasus
memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas, selain itu
studi kasus menyajikan uraian yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam
kehidupan sehari-hari.
1.6.2 Lokasi Penelitian
Terdapat 2 lokasi yang dipilih dalam penelitian ini, lokasi pertama adalah basecamp
atau kantor kesekertariatan komunitas Pondok Rumi. Lokasi ini adalah tempat pengurusan
yang berkaitan dengan perihal administrasi.Lokasi ini berada di Jalan Nipah 2, Prapanca,
Jakarta Selatan.Lokasi kedua adalah Masjid Raya Pondok Indah, tempat pengajian dan
pertunjukan rutin Pondok Rumi sekaligus tempat berkumpulnya para pecinta Tari Sufi yang
bertempat di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 1 Pondok Indah, Jakarta Selatan
1.6.3 Teknik Pemilihan Narasumber
Teknik pemilihan narasumber yang digunakan adalah teknik purposive sampling,
yaitu anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya,dimana
narasumber yang diwawancarai yaitu pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan pendirian
serta pengelolaan Pondok Rumi. Para narasumber tersebut ialah pendiri, pengurus, penari
maupun pecinta tari sufi yang tergabung dalam komunitas Pondok Rumi.
1.6.4 Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus ini dilakukan dengan beberapa metode
dan teknik pengumpulan data, diantaranya:
1.6.4.1 Observasi
Observasi barangkali mejadi metode paling dasar dan paling tua dalam suatu
penelitian. Karena dalam cara-cara tertentu, secara tidak langsung selalu terlibat dalam
proses pengamatan. Beberapa penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif, mengandung
aspek observasi di dalamnya (Tristiadi, Rahayu : 2004). Tristiadi dan Rahayu melanjutkan,
observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu
masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alatre-checking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Observasi adalah tahap awal pengumpulan data dengan melakukan pengamatan
langsung di setiap lokasi penelitian disertai dengan mencatat berbagai hal yang berkaitan
dengan analisis terhadap objek penelitian.Observasi dalam penelitian ini adalah dengan
mendatangi Masjid Raya Pondok Indah yang berlokasi di sebelah Mall Pondok Indah Jakarta
Selatan.Dari observasi yang dilakukan didapatlah informasi secara kasat mata bagaimana
lokasi dan tempat yang digunakan oleh Pondok Rumi untuk melakukan aktivitas
rutinnya.Observasi dilakukan secara rutin hingga data yang didapat dirasa sudah cukup. Pada
proses observasi ini, Alat yang digunakan adalah dengan menggunakan catatan berkala,
yaitu mengadakan observasi cara-cara orang bertindak dalam jangka waktu tertentu,
kemudian menuliskan kesan-kesan secara umum, dan melanjutkan observasi kembali pada
waktu lain yang sudah direncanakan dengan cara yang sama.
1.6.4.2 Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan Tanya-jawab sepihak
yang dikerjakan dengan sistematik, dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan (Hadi,
1993).Tristiadi dan Rahayu melanjutkan bahwa yang dimaksud dengan sepihak disini yaitu
menerangkan perbedaan tingkat kepentingan antara kedua belah pihak.Dalam wawancara
terjadi pula percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud
tertentu.Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai (interviewer) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu.Maksud mengadakan wawancara secara umum, adalah untuk
menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subjek yang diteliti.
Lincoln dan Guba lebih lanjut mengemukakan bahwa tujuan wawancara antara lain
mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kependulian, dan lain-lain.
Wawancara merupakan bagian terpenting dalam pengumpulan data pada penelitian
ini, karena pada penelitian kualitatif data mendalam hanya didapatkan dengan wawancara.
Untuk melakukan wawancara dibutuhkan interview guide (pedoman wawancara). Hal ini
diperlukan untuk mengantisipasi sehingga tidak ada informasi yang terlewatkan karena lupa
ditanyakan oleh peneliti.Sebelum dilakukannya wawancara, pendekatan terhadap para
narasumber dilakukan sehingga terjalin suasana akrab dan pada saat wawancara para
narasumber merasa nyaman sehingga dapat memberikan informasi yang mendalam dengan
cukup mudah.
Wawancara dilakukan kepada beberapa responden yang sudah ditentukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling yang telah dipaparkan sebelumnya, mereka
diantaranya adalah pendiri komunitas, pengelola, anggota komunitas, penari atau para
pecinta sufi yang mengikuti sepak terjang komunitas ini.
1.6.4.3 Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen (Usman dan Setiady: 2003). Observasi dan
wawancara adalah metode untuk mendapatkan informasi di lapangan, dan ini merupakan
data primer, sedangkan untuk menguatkan analisis data, diperlukan data sekunder yang
berupa dokumentasi dari beberapa kegiatan ekstern komunitas tersebut.Dokumentasi
didapatkan baik dari situs jejaring sosial milik Pondok Rumi ataupun dokumentasi pribadi
dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan selama komunitas ini berdiri.
Top Related