5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata lauretii)
2.1.1 Taksonomi
Klasifikasi Tanaman Lidah Mertua:
Kingdom : Plantaeymax
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermathophyta
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Sub-kelas : Lilidae
Ordo : Liliales
Famili : Agavaceae
Genus : Sansevieria
Jenis : Sansevieria trifasciata (Nurcahyo, Erista, Rika et
al, 2012).
(Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012)
Gambar 2.1
Tanaman Lidah Mertua
6
2.1.2 Morfologi Lidah Mertua (Sasevieria trifasciata laurentii)
Lidah Mertua (mother-in-law’s tongue) atau bisa disebut tanaman
ular (snake plant) telah lama dikenal oleh banyak orang dan mulai
dibudidayakan sebagai tanaman hias mulai abad ke-19 (Laimeheriwa,
Adeanne, Widya, 2013). Tanaman ini dimanfaatkan sebagai tanaman
hias dalam pot baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan
(Adawiyah, Nia, Raisha et al, 2013). Tanaman ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai obat tradisional, karena mudah dijangkau
masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya (Caroline, 2015).
Lidah Mertua dikenali, karena keindahan daun yang bertekstur
kaku dan keras, tumbuh tegak dengan anakan disekitar tanaman induk,
tidak berbatang, berbunga dan berbiji. Lidah Mertua juga memiliki
tampilan daun yang unik, mulai dari warnanya yang hijau tua, hijau
muda, hijau abu-abu, perak, kombinasi putih-kuning dan hijau-kuning,
disertai model tampilan daun yang cantik dengan model panjang dan
pendek seperti bentuk tongkat, pedang, bulat runcing dan lain-lain.
Keunikan lain dari tanaman ini adalah pada ketahanan tumbuh pada
media tanam yang tidak membutuhkan perlakuan khusus, misalnya
dapat tumbuh dengan media yang tingkat kesuburannya kurang, serta
tahan dengan media kering dan hidup di banyak kondisi suhu udara,
baik dengan pencahayaan maupun tanpa pencahayaan. Selain itu,
tanaman ini dijuluki tanaman surkulen, karena memiliki daun yang
banyak mengandung air untuk bertahan hidup. Lidah Mertua yang
semakin bertambah usianya memiliki ukuran daun semakin lebat dan
7
lebar sehingga semakin besar dan luas penampang daun, maka
kemampuan menyerap polutan semakin besar (Adawiyah, Nia, Raisha
et al, 2013; Dharminto, Meuthika, Putri et al, 2013).
2.1.3 Kandungan Kimiawi Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata laurentii)
Daun Lidah Mertua mengandungan mengandung bahan aktif
pregnane glikoside (Dewi, Indri, 2012) Selain itu, Lidah Mertua juga
mengandung senyawa lain yaitu carotenoids, phytates, saponins, dan
tannins (Ayalogu, Ikhewuchi, Ikhewuchi et al, 2010). Dalam
penelitian lain juga disebutkan bahwa Lidah Mertua banyak
mengandung vitamin C (Ikewuchi, Jude, 2009). Satu tanaman Lidah
Mertua dewasa yang berdaun 4-5 helai dapat menyegarkan udara
dalam ruangan seluas 20m2 (Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012).
Tabel 2.1 Some Anti-Nutritional and Carotenoid Contents of Sansevieria sp
Component Composition
% Wet weight % Dry weight
Carotenoids 0.72 2.06
Phytates 0.22 0.63
Saponins 0.40 1.15
Tannins 0.01 0.03 (Ayalogu, Ikhewuchi, Ikhewuchi et al, 2010)
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Sansevieria
Komposisi Kimia %
Selulosa 50 – 60
Lignin 5 – 10
Rucogenin 1 – 2,5
4-0 methyl glucoronic acid 3 – 5
beta siti sterol 2 – 5
d-xylose 0,1 – 1
n butyl 4 OL propylphthalate 1 – 5
Neoruscogenin 0,1 – 1
Sanseverigenin 4 – 7
Pregnane glikosid 1 – 4 (Nababan, 2014)
8
Tabel 2.3 Komposisi Vitamin dari Sansevieria sp
Vitamin
Komposisi/100g
Jumlah Berat Kering
(mg)
Komposisi/100g
Jumlah Berat Basah
(mg)
Niacin 0,9891 0,4342
Vitamin B6 0,0228 0,0100
Vitamin C 87,3734 38,3569
Biotin 0,0401 0,0176
Vitamin A 0,0548 0,0241
Vitamin B1 0,0495 0,0217
Vitamin B2 0,2103 0,0923
Vitamin E 0,0185 0,0081
Asam Folat 0,0250 0,0110
Vitamin K 0,0005 0,0002
Vitamin D 0,0000 0,0000 (Ikewuchi, Jude, 2009)
2.2 Radikal Bebas
2.2.1 Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom, molekul atau senyawa yang dapat
berdiri sendiri yang mempunyai elektron tidak berpasangan, oleh
karena itu bersifat sangat reaktif dan tidak stabil. Elektron yang tidak
berpasangan selalu berusaha untuk mencari pasangan baru sehingga
mudah bereaksi dengan zat lain seperti protein, lemak, maupun DNA
yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan yang berlanjut dan terus menerus. Hal ini
disebabkan radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli
dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan disekitarnya,
dengan cara menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil
elektron. Zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas
juga sehingga akan memulai suatu reaksi berantai hingga akhirnya
merusak sel (Limantara, Budhi, Togar, 2008; Sayuti, Rina, 2015;
Setyowati, Sri, Subagus, 2011).
9
Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan endogen terhadap
serangan radikal bebas terutama terjadi melalui peristiwa metabolisme
sel normal dan peradangan. Jumlah radikal bebas dapat mengalami
peningkatan yang diakibatkan oleh stres, radiasi, asap rokok ,
makanan pengawet, kekurangan nutrisi, dan polusi lingkungan. Hal ini
menyebabkan sistem pertahanan tubuh yang ada menjadi tidak
memadai sehingga tubuh memerlukan tambahan antioksidan dari luar
tubuh yang dapat melindungi dari serangan radikal bebas (Sayuti,
Rina, 2015; Setyowati, Sri, Subagus, 2011).
2.2.2 Pembentukan Radikal Bebas
Pada metabolisme normal, tubuh memproduksi partikel kecil
dengan tenaga besar yang disebut radikal bebas. Atom dan molekul
dengan elektron bebas ini memiliki fungsi di dalam tubuh untuk
melawan radang, membunuh bakteri serta mengatur tonus otot polos
dalam organ dan pembuluh darah. Akan tetapi, radikal bebas juga
bersifat merusak dan sangat berbahaya (Sayuti, Rina, 2015).
Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara.
a. Perokdasi komponen lipid dari membran sel dan sitosol. Hal ini
menyebabkan serangkaian kerusakan membran dan organel sel.
b. Kerusakan DNA. Kerusakan DNA dapat mengakibatkan mutasi
DNA bahkan dapat menimbulkan kematian sel.
10
c. Modifikasi protein teroksidasi oleh karena terbentuknya cross
linking protein melalui mediator sulfidril atas beberapa asam amino
labil seperti sistein, metionin, lisin dan histidin (Sayuti, Rina,
2015).
Ada berbagai radikal bebas turunan dari C dan N akan tetapi yang
paling banyak diketahui adalah radikal oksigen. Radikal bebas bisa
terbentuk ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi
melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini sering kali
terjadi kebocoran elektron sehingga mudah sekali terbentuk radikal
bebas seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Radikal bebas
juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang bukan radikal bebas,
tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Misalnya, hidrogen
peroksida (H2O2). Kedua kelompok senyawa tersebut diistilahkan
sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (ROS) (Sayuti. Rina, 2015).
Tabel 2.4 Spesies Oksigen Reaktif (ROS)
No Radicals
1 O2* superoxide H2O2 hydrogen peroxide
2 HO* hydroxyl radical
1O2 singlet oxygen
3 HO2 hydroperoxyl radical LOOH lipid hydroperoxide
4 LO2* Lipid peroxyl radical Fe=O iron-oxygen complexes
5 LO* Lipid alkoxyl radical HOCl hypochlorite
6 NO2 nitrogen dioxide
7 NO* nitric oxide
(Sayuti, Rina, 2015)
Radikal bebas mengikat atau menyerang elektron molekul yang
berada di sekitarnya. Senyawa ini biasanya mengikat molekul besar
seperti lemak, protein, maupun DNA. Kerusakan molekul lemak,
protein maupun DNA disebabkan karena molekul tersebut rentan
terhadap radikal bebas yang terjadi dengan proses berikut.
11
a. Peroksidasi lemak terjadi akibat kerusakan pada membran sel yang
kayak akan sumber Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) yang
mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi. Hal tersebut sangat
merusak karena merupakan hidroperoksida lemak yang sering
melibatkan katalisis ion logam transisi.
b. Kerusakan protein. Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap
radikal bebas daripada PUFA sehingga kecil kemungkinan dalam
terjadinya reaksi berantai yang cepat, kecuali bila sangat ekstensif.
Hal ini terjadi jika radikal tersebut mampu berakumulasi atau bila
kerusakan terfokus pada daerah tertentu dalam protein, hal ini
disebabkan jika protein berikatan dengan ion logam transisi.
c. Kerusakan DNA, hal ini menjadi suatu reaksi berantai, biasanya
kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul. Apabila hal
ini tidak dapat diatasi dan terjadi sebelum replikasi maka akan
terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika
terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis (Sayuti, Rina,
2015)
Adapun tahapan reaksi pembentukan radikan bebas secara umum
melalui tiga tahapan reaksi, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi
dengan mekanisme kerja sebagai berikut.
a. Tahapan inisiasi merupakan awal pembentukan radikal bebas. Pada
tahap ini radikal bebas mulai terbentuk oleh beberapa proses. Suhu
tinggi, proses ekstrusi dan tekanan pada proses pemotongan bahan
polimer dapat menghasilkan radikal alkil.
12
(Sayuti, Rina, 2015)
Gambar 2.2
Tahap Inisiasi
Pada tahap inisiasi asam lemak (RH) bereaksi dengan oksigen
triplet dan membentuk radikal lemak (R*) dan radikal peroksida
(HOO*) dengan inisiator cahaya atau panas.
b. Tahap propagasi merupakan asal pemanjangan rantai radikal atau
reaksi, dimana radikal-radikal bebas akan diubah menjadi radikal-
radikal yang lain.
Pada tahap ini terjadi oksigenasi radikal lemak (R*) membentuk
radikal peroksida (ROO*). Proses ini terjadi sangat cepat dengan
aktifitas energi yang hampir mendekati nol sehingga konsentrasi
ROO* terbentuk lebih besar. Konsentrasi R* dalam sistem
makanan akan bereaksi dengan asam lemak lain dan membentuk
hidroperoksida dan radikal lemak baru (R’*).
(Sayuti, Rina, 2015)
Gambar 2.3
Tahap Prograsi
c. Tahap terminasi merupakan senyawa radikal yang bereaksi dengan
radikal lain atau dengan penangkap radikal sehingga potensi
propagasinya rendah.
13
Konversi radikal peroksi dan alkil ke non radikal mengakhiri reaksi
propagasi sehingga mengurangi perpanjangan rantai kinetik. Reaksi
terminasi yang signifikasn terjadi ketika konsentrasi oksigen
rendah. Kombinasi radikal alkil menyebabkan cross-linking yang
mengakibatkan peningkatan viskositas dan berat molekul.
(Sayuti, Rina, 2015)
Gambar 2.4
Tahap Terminasi
Pada tahap terminasi akan terbentuk spesies non radikal karena
radikal bebas yang bereaksi satu sama lain. Sedangkan
hidroperoksida akan terdekomposisi menjadi produk alkohol, asam
keton dan substrat lalin yang lebih stabil (Sayuti, Rina, 2015).
2.3 Timbal
2.3.1 Definisi Timbal
Timbal atau timah hitam (Pb) adalah kelompok logam berat
golongan IVA dalam sistem periodik unsur kimia yang memiliki
nomor atom 82 dengan berat atom 207,2 dan memiliki berat jenis
11,4/L. Timbal juga memiliki empat bentuk isotop yang berwarna
kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5C
dan titik didih pada 1.740C di atmosfer (Gusnita, 2012; Lubis, Flora,
Nelly et al, 2013).
Logam timbal yang ditinjau secara kimiawi memiliki titik uap
yang rendah serta dapat menstabilkan senyawa lain, sehingga berguna
pada ratusan produk industri antara lain sebagai bahan pengemas,
14
bahan saluran air, bahan alat rumah tangga, hiasan serta timbal dalam
bentuk oksida digunakan sebagai pigmen/zat warna dalam industri
kosmetik dan glace. Selain itu, timbal juga dapat ditemukan pada gas
buangan kendaraan bermotor serta pada cat yang berfungsi sebagai
agen pengering, kaltalis dan antikorosi. Namun, jika ditinjau secara
klinis timbal merupakan logam berat yang bersifat toksik (Gusnita,
2012; Lubis, Flora, Nelly et al, 2013; Mukono, Haryanto, Mulyadi,
2011).
2.3.2 Efek Timbal
Timbal banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung
mengganggu kelangsungan hidup organisme perairan. Timbal yang
masuk ke dalam perairan dapat berasal dari limbah industri kimia,
industri percetakan serta industri yang menghasilkan logam dan cat
sehingga hal ini dapat mengakibatkan terakumulasi timbal pada ikan.
Akumulasi timbal di dalam tubuh ikan dapat tinggal dalam jangka
waktu lama sebagai racun. Disisi lain, ikan merupakan bagian dari
makanan manusia sehingga melalui ikan yang telah terkontaminasi
timbal dapat mengakibatkan timbal terdistribusi ke tubuh manusia.
Apabila keadaan ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu lama
dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia
(Aunurohim, Yulaipi, 2013). Timbal dapat masuk ketubuh manusia
sekitar 65% melalui makanan, 20% melalui air, serta 15 % melalui
udara (Batubara, Latifah, Lela, 2014). Paparan timbal jangka panjang
dapat terakumulasi di dalam tubuh karena proses eliminasinya yang
15
lambat (Gustina, 2012). Kriteria diagnosis peningkatan kadar timbal
dalam darah untuk orang dewasa (16 tahun) menurut Clinical
Laboratory Improvement Amendments (CLIA) adalah 5g/dL (0,24
mol/L) (CDC, 2016).
Timbal yang telah masuk ke dalam tubuh manusia dapat
mempengaruhi semua organ dan sistem, antara lain sistem
gastrointestinal, sistem saraf, sistem imunitas, ginjal, sistem
hematologi, sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler, dan sistem
endokrin. Selain itu timbal juga dapat menyebabkan pubertas
terlambat dan penurunan fungsi kognitif pada anak (Lubis, Flora,
Nelly et al, 2013). Bahkan pada penelitian terakhir menunjukkan
bahwa logam timbal memiliki sifat karsinogenik. Anak-anak dan
balita memiliki resiko lebih tinggi terkena pencemaran bahan toksik.
Jika dilihat rasio berat badan balita dan anak-anak mengkonsumsi
makanan dan minuman serta menghirup udara lebih banyak
dibandingkan orang dewasa. Paparan dalam waktu lama pada anak-
anak menyebabkan penurunan IQ, kemampuan membaca dan
gangguan perilaku yang menetap. Hal ini disebabkan karena masih
terjadi pertumbuhan pada sistem saraf anak (Setiawan, 2012).
Timbal yang diserap oleh tubuh, 99% timbal akan terikat pada
eritrosit, sehingga kadar timbal dapat diperiksa melalui darah (Lubis,
Flora, Nelly et al, 2013). Timbal yang berada di dalam darah dapat
mengganggu sistem hemopitik pada sintesa heme dengan dua
mekanisme, yakni menggangu penyatuan Glycine dan Succinyl Co-
16
Enzyme A melalui depresi terhadap -aminolevulinat dehidrase (-
ALAD) serta mengganggu enzim Ferrochetalase yang berfungsi
melekatkan besi (Fe) terhadap protoporphyrin. Akibatnya,
pembentukan heme menurun (Iryani, Tan, 2011; Lubis, Flora, Nelly et
al, 2013).
Pemberian timbal asetat dapat menurunkan aktivitas enzim
katalase yang bekerja untuk menetralisir oksidan hidrogen peroksida
(H2O2). H2O2 merupakan salah satu senyawa Reative Oxygen Species
(ROS) yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid dari asam lemak tak
jenuh dengan tiga atau lebih ikatan rangkap. Sumber utama ROS
adalah dari hasil respirasi seluler dan proses metabolisme. Sedangkan
peroksida lipid merupakan hasil reaksi yang dicetuskan oleh logam
timbal dalam bentuk ion dan berfungsi untuk memasok radikal bebas
sehingga terjadi reaksi peroksida berikutnya. Radikal lipid akan
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi-lipid dan lipid
peroksida serta malondialdehyde (MDA) yang larut dalam air dan
dapat dideteksi dalam darah (Ambrawanto, Nurjazuli, Mursid, 2015;
Asterina, Endrinaldi, 2014).
Selain itu, ROS mempunyai peran krusial pada proses patologis.
ROS berperan dalam fungsi imun, tiroid, kognitif dan modulasi sensor
nutrien dan umur. ROS juga berimplikasi pada beberapa penyakit
antara lain cancer, penyakit kardiovaskuler (termasuk hipertensi),
penyakit saraf, gangguan pernapasan dan penyakit psikiatrik.
Peningkatan ROS dan MDA dapat menyebabkan kerusakan membran
17
sel yang mengandung senyawa lipid termasuk eritrosit. Peroksidasi
membran eritrosit menyebabkan hemolisis sehingga terjadi penurunan
kadar Hb (Ambrawanto, Nurjazuli, Mursid, 2015; Djokomoeljanto,
Ag, Iswari et al, 2012)
Akumulasi timbal dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan
timbal akut dan kronis. Keracunan timbal akut dan subakut
disebabkan dengan paparan dosisi yang relatif tinggi, waktu paparan
yang relatif singkat dan efek yang ditimbulkan terjadi secara dramatis,
seperti kematian tiba-tiba kram perut yang parah, anemia, perubahan
perilaku, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan untuk keracunan
timbal kronik disebabkan paparan timbal yang sedikit demi sedikit
dalam jangka waktu yang lama serta gejala yang ditimbulkan tidak
spesifik pada hampi semua sistem dalam tubuh (Andriyanto, Aulia,
Ietje et al, 2014).
2.3.3 Terapi Keracunan Timbal
Tindakan medis untuk mengurangi efek toksik dari timbal adalah
dengan terapi kelasi (Andriyanto, Aulia, Ietje et al, 2014). Namun,
menurut penelitian di Amerika Serikat bahwa terapi kelasi pada anak
keracunan timbal dapat menurunkan Blood Lead Level (BLL), tetapi
tidak berefek pada fungsi kognitif, perilaku dan neuromotorik pada
anak yang sudah keracunan timbal (Lubis, Flora, Nelly et al, 2013).
Selain itu, agen kelasi saat ini memiliki harga yang sangat mahal,
tidak tersedia secara kontinyu, tidak dapat diperoleh tanpa resep
dokter, dan dalam jumlah yang mencukupi. Berdasarkan kendala
18
tersebut, terapi kelasi pada manusia yang mengalami keracunan timbal
tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Sehingga penundaan terapi
dapat berakibat fatal bahkan sampai terjadi kematian (Andriyanto,
Aulia, Ietje et al, 2014).
2.4 Hemoglobin
2.4.1 Definisi Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu pigmen yang berwarna secara alami,
karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika
berikatan dengan O2 dan kebiruan jika mengalami deoksigenasi.
Karena itu, pembuluh darah yang teroksigenasi akan berwarna merah
dan pembuluh darah vena yang telah kehilangan sebagian kandungan
O2 memiliki warna kebiruan. Selain itu juga, kualitas darah dan warna
darah ditentukan oleh kadar hemoglobin (Nugrahani, Sulastri,
Winarsih, 2012; Sherwood, 2014).
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian, yaitu (1) bagian
globin, protein yang terbentuk dari empat rantai polopeptida; dan (2)
gugus hem yang mengandung besi dalam empat gugus non-protein
dengan masing-masing terikat ke salah satu polipeptida. Masing-
masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversibel
dengan satu molekul O2 dan 98,5% O2 terangkut dalam darah terikat
ke hemoglobin, karena O2 tidak mudah larut dalam plasma.
Hemoglobin hanya ditemukan di sel darah merah. Sel darah merah
mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam sel sampai sekitar 34
gm/dL sel. Konsentrasi ini tidak pernah meningkat lebih dari nilai
19
tersebut, karena nilai tersebut merupakan batas metabolik dari
mekanisme pembentukan hemoglobin. Namun, bila pembentukan
hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka presentase
hemoglobin dalam sel darah merah juga menurun. Bila jumlah
hemoglobin dalam masing-masing sel darah merah nilainya normal,
maka jumlah hemoglobin seorang pria rata-rata mengandung 16
gram/dL dan pada wanita rata-rata mengandung 14 gram/dL
(Nugrahani, Sulastri, Winarsih, 2012; Sherwood, 2014).
(Sherwood, 2014)
Gambar 2.5
Molekul Hemoglobin
2.4.2 Peran Hemoglobin
Hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah memiliki
peran berikatan dengan zat-zat berikut ini.
a. Oksigen (O2). Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari
paru-paru ke sel jaringan.
b. Karbon dioksida (CO2). Hemoglobin membantu mengangkut gas
ini dari sel jaringan ke paru.
20
c. Bagian ion-hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi,
yang dihasilkan di jaringan dari CO2. Hemoglobin bertugas
menyangga asam ini agar tidak banyak mengubah pH darah.
d. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak
terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup gas ini cenderung
menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan O2
menyebabkan keracunan CO.
e. Nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator
dan berikatan dengan hemoglobin. Vasodilatasi dapat membantu
menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir dengan lancar
dan juga membantu menstabilkan tekanan darah (Sherwood, 2014).
2.4.3 Pembentukan Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan komponen utama eritrosit yang
berfungsi mentransport oksigen dan karbondioksida (Baldy, 2012).
Sintesis Hb dimulai dari proeritoblas dan berlanjut sampai retikulosit
membentuk sel darah merah (eritrosit). Tahap dasar pembentukan Hb
dimulai dari suksinil-KoA yang telah dibentuk dalam siklus Krebs
berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian,
dari empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX yang
selanjutnya akan bergabung dengnan besi untuk membentuk heme.
Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida
panjang atau disebut dengan globin sehingga menjadi rantai
hemoglobin. Empat rantai hemoglobin akan berikatan longgar untuk
membentuk molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton, Hall, 2014).
21
(Guyton, Hall, 2014)
Gambar 2.6
Pembentukan Hemoglobin
Pembentukan heme terjadi terutama di mitokondria melalui
rangkaian reaksi biokimia yang dimulai dari kondensasi glisin dan
suksinil koenzim A dalam pengaruh kerja enzim asam -
aminolevulinat (ALA) sintase yang menghasilkan ALA. Dua molekul
ALA disatukan oleh enzim ALA dehidrase untuk membentuk dua
molekul air dan satu porfobilinogen (prekursor pertama pirol)
(Murray, Granner, Rodwell, 2013; Hoffbrand, Moss, 2015).
Pembentukan tetrapirol siklik, yaitu suatu porfirin, terjadi melalui
kondensasi empat molekul porfobilinogen (PBG) yang memadat
untuk membentuk sebuah tetrapirol linier, yaitu hidroksilmetibilan
(HMB). Reaksi ini dikatalis oleh uroporpirinogen I sintase yang juga
disebut PBG deaminase atau HMB sintase. HMB mengalami siklisasi
secara spontan untuk membentuk uroporfirinogen III oleh kerja
uroporfirinogen III sintase (Murray, Granner, Rodwell, 2013).
22
(Murray, Granner, Rodwell, 2013)
Gambar 2.7
Biosintesis Porpobilinogen
Uroporfibrinogen III diubah menjadi koproporfibrinogen III oleh
dekarboksilasi semua gugus asetat (A), yang mengubah asetat menjadi
substituen metil (M). Reaksi tersebut dikatalis oleh uroporfibrinogen
dekarboksilase. Koproporfibrinogen III kemudian memasuki
mitokondria dan diubah menjadi protoporfibrinogen III yang
kemudian menjadi protoporfirin III. Perubahan ini terjadi dalam
beberapa tahap, enzim mitokondria koproporfirinogen oksidase
mengkatalis dekarboksilasi dan oksidasi koproporfirinogen untuk
membentuk protoporfirinogen. Selanjutnya, oksidasi
protoporfirinogen menjadi protoporfirin dikatalisis oleh enzim
mitokondria yang lain, yaitu protoporfirinogen oksidase. Tahap
terakhir adalah penggabungan besi fero dengan protoporfirin dalam
23
suatu reaksi yang dikatalisis oleh feroketalase menjadi heme (Murray,
Granner, Rodwell, 2013).
(Murray, Granner, Rodwell, 2013)
Gambar 2.8
Tahap-Tahap Biosintesis Turunan Porfirin dari Porfobilinogen
24
(Murray, Granner, Rodwell, 2013)
Gambar 2.9
Biosintesis Heme
2.5 Pengaruh Ekstrak Daun Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata lauretii)
terhadap Kadar Hemoglobin
Tanaman Daun Lidah Mertua mengandung senyawa aktif pregnane
glikosid yang berfungsi untuk mereduksi polutan menjadi asam organik, gula
dan asam amino, yang tidak berbahaya bagi manusia (Dewi, Indri, 2012).
Adapun polutan yang direduksi sekitar 107 polutan diantaranya ada asap
25
rokok, limbah perak (Ag) dan timbal (Pb) (Adawiyah, Nia, Raisha et al,
2013). Sedangkan, enzim ALA dehidrase merupakan enzim yang peka
terhadap inhibisi oleh timbal. Dengan metabolic breakdown yang dilakukan
oleh senyawa aktif pregnane glikosid dianggap dapat mereduksi timbal di
dalam tubuh. Sehingga enzim ALA dehidrase tidak terinhibisi dan produksi
heme kembali baik (Dewi, Indri, 2012; Murray, Granner, Rodwell, 2013;
Swadaya, 2008).
Selain itu, antioksidan yang terdapat di dalam daun Lidah Mertua dapat
menangkap radikal bebas yang ada di dalam tubuh. Beberapa senyawa
antioksidan dapat ditemui pada vitamin C dan E yang dapat berpengaruh
terhadap kuantitas hemoglobin dan efektif mengatasi radikal bebas.Vitamin C
merupakan antioksidan kuat yang bekerja dengan mendonorkan elektron ke
senyawa logam serta menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia
intraseluler dan ektraseluler serta mampu menghilangkan senyawa oksigen
reaktif di dalam sel. Sedangkan vitamin E merupakan vitamin yang larut
dalam lemak dan berperan penting dalam mengatasi kerusakan radikal bebas.
Peran vitamin E adalah mengendalikan peroksida lemak dengan
menyumbangkan hidrogen dan menghambat aktivitas yang dilakukan oleh
peroksida dalam perusakan sel akibat radikal bebas (Cahyati, Didik, Roni et
al, 2014; Ikewuchi, Jude, 2009; Queljoe, Astrid, Benny, 2015).
Kombinasi vitamin C dan E dosis tinggi sebagai antioksidan dapat
menghentikan reaksi berantai radikal bebas dengan mengikat radikal bebas
yang mempengaruhi sumsum tulang sehingga efek penurunan sistem
hemopoetik dapat dicegah dan mencegah kerusakan sel-sel normal. Vitamin
26
C dan E bekerja secara sinergis, saling menetralkan produk teroksidasi
masing-masing vitamin. Vitamin C berperan penting dalam mempertahankan
jumlah vitamin E di dalam sel dengan cara mendaur ulang radikal vitamin E
menjadi bentuk yang tereduksi dan kerusakan DNA karena teroksidasi oleh
vitamin C juga dapat dihambat oleh vitamin E (Aminullah, Neni, Wiratno,
2012).
Top Related