BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global
bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk
pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi.
Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih
terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat
TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Diperkirakan 95% kasus Tuberkulosis dan 98%
kematian akibat Tuberkulosis Paru di dunia, terjadi di negara-negara berkembang.
Sekitar 75% pasien Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien Tuberkulosis dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika dia meninggal akibat
Tuberkulosis Paru, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. (Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Depkes, 2011).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah Tuberkulosis di dunia terutama
negara berkembang antara lain adalah :
- Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara yang sedang
berkembang.
- Kegagalan program Tuberkulosis selama ini. Hal ini diakibatkan oleh :
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin
penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang
standar, dan sebagainya).
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal penyembuhan kasus yang telah didiagnosis).
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
- Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umum kependudukan.
- Dan pandemi HIV.
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan Tuberkulosis. Koinfeksi
dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian Tuberkulosis secara signifikan. Pada
saat yang sama, resistensi ganda kuman Tuberkulosis terhadap obat anti Tuberkulosis
(multi drug resistance) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi
Tuberkulosis yang sulit ditangani.
Upaya pengendalian Tuberkulosis dunia, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
mengembangkan strategi pengendalian Tuberkulosis yang dikenal sebagai strategi
DOTS (directly observed treatment short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu :
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
3. Pengobatan yang standar dengan superfisi dan dukungan bagi pasien.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima setelah India, Cina, Afrika
Selatan dan Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien Tuberkulosis di Indonesia sekitar
5,8% dari jumlah pasien Tuberkulosis di dunia. Diperkirakan, setiap tahun ada
429.730 kasus baru dan kematian 62.246. Insidensi kasus Tuberkulosis BTA positif
sekitar 102 per 100.000 penduduk. (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
Depkes, 2011).
Hasil Survey Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2004
menunjukan angka prevalensi Tuberkulosis BTA positif di Indonesia dikelompokan
dalam 3 wilayah yaitu :
a) Wilayah Sumatera angka prevalensi Tuberkulosis adalah 160/100.000
penduduk.
b) Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi Tuberkulosis adalah 110/100.000
penduduk.
c) Wilayah Indonesia Timur angka prevalensi Tuberkulosis adalah 210/100.000
penduduk, khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi Tuberkulosis
adalah 68/100.000 penduduk.
Meskipun memiliki beban penyakit Tuberkulosis Paru yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country ( HBC) di wilayah WHO
South-East Asian yang mampu mencapai target global Tuberkulosis Paru untuk
deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009,
tercatat sejumlah 294.732 kasus Tuberkulosis Paru telah ditemukan dan diobati (data
awal mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA (+). Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah 73 per
100.000 (Case Detection Rate 73%). Rata-rata pencapaian angka keberhasilan
pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008
mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian
progran pengendalian Tuberkulosis Paru nasional yang utama.
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih
menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum
dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi
menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.
Provinsi- provinsi yang belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR)
70% diantaranya Bali,Sulbar,Babel,Sumbar,Kalteng,Jatim,Sulsel,
Jateng,Lampung,NTB,Jambi,NAD,Kalsel,Sumsel,Sultra,Kepri,Sumut,Gorontalo,Ben
gkulu Kalbar,NTT,Kaltim,Sulteng, Papua Barat,Papua,DIY,Malut,Riau. Sedangkan
provinsi yang sudah mencapai CDR > 70% yaitu Jabar,Sulut,Maluku,DKI
Jakarta,Banten. Kalimantan timur termasuk kedalam daerah dengan pencapaian CDR
< 70%.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, Proporsi BTA (+)
diantara seluruh kasus TB paru menurut provinsi di Indonesia dimana provinsi
dengan penemuan BTA + paling tinggi terdapat di provinsi Sulawesi tenggara yaitu
95% sedangkan penemuan BTA + paling rendah terdapat di provinsi papua barat
yaitu 35%.
Proporsi BTA(+) diantara kasus TB paru di provinsi Kalimantan Timur sebesar
58% sedangkan target minimal yang diharapkan sebesar 65%. Hal itu
mengindikasikan kurangnya prioritas menemukan kasus BTA(+) di wilayah
Kalimantan Timur termasuk Kota Bontang.
Upaya pencegahan penyakit Tuberkulosis Paru sudah dimulai sejak dini dengan
promosi kesehatan tentang Penyakit Tuberkulosis Paru dan setiap penemuan kasus
Tuberkulosis Paru dengan BTA (+) diberi pengobatan yang telah disediakan
pemerintah dengan masa pengobatan minimal selama 6 bulan dengan pengawasan
langsung yang disebut dengan DOTs (Directly-Observed Treatment Short).
Berdasarkan data Puskesmas Bontang Utara II, pada tahun 2010 terdapat 41
kasus Tuberkulosis Paru baru, pada tahun 2011 terdapat 58 kasus Tuberkulosis Paru
baru, 2012 terdapat 47 kasus Tuberkulosis Paru baru, 2013 terdapat 95 kasus
Tuberkulosis Paru baru,sedangkan tahun 2014 terdapat 101 kasus Tuberkulosis paru
baru. Menurut data diatas terdapat peningkatan kasus Tuberkulosis Paru dari tahun
2010-2014 walaupun ditahun 2012 terdapat penurunan jumlah kasus Tuberkulosis
Paru baru..
Dari target pedoman penanggulangan Tuberkulosis Paru seharusnya angka
penemuan kasus baru BTA(+) 65% sedangkan kasus yang di temui pada tahun 2013
hanya 58%. Sehingga dapat diketahui bahwa belum tercapainya target penemuan
kasus baru BTA(+).
1.2 Pernyataan Masalah
Berdasarkan data peningkatan kasus Tuberkulosis Paru dari tahun 2010-2014 di
Puskesmas Bontang Utara II kota Bontang sehingga ingin diketahui bagaimana
“Pengaruh penyuluhan terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru di
wilayah kerja PKM Bontang Utara II tahun 2015”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam miniproject ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penyuluhan terhadap keteraturan minum OAT pada penderita TB Paru di wilayah
kerja PKM Bontang Utara II tahun 2015
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan TB Paru dengan keteraturan
minum OAT pada penderita TB Paru.
b. Untuk mengetahui pengaruh sikap penderita TB Paru dengan keteraturan
minum OAT.
c. Untuk mengetahui pengaruh perilaku penderita TB Paru dengan keteraturan
minum OAT.
1.4 Manfaat Laporan
a. Manfaat Bagi Pengelolaan Program Tuberkulosis Paru (Dinkes Kota
Bontang)
- Memberikan masukan dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat khususnya dalam
mengatasi masalah Penyakit Tuberkulosis Paru.
- Sebagai masukan dalam merencanakan program untuk upaya penjaringan
penderita Tuberkulosis Paru di masyarakat.
b. Bagi Puskesmas Bontang Utara II
Sebagai bahan masukan dan evaluasi atas program-program yang telah
dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dalam pemberantasan
penyakit Tuberkulosis Paru.
c. Bagi pasien / keluarga
Menimbulkan kesadaran pada keluarga atau pasien akan pentingnya
penyuluhan terhadap pengetahuan , sikap, perilaku mengenai penyakit
Tuberkulosis Paru, dan kesadaran pasien untuk keteraturan minum OAT
dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.
d. Bagi Penulis
Bagi penulis sebagai sarana pembelajaran mengenai cara melakukan
evaluasi program Tuberkulosis Paru dipuskesmas, serta menambah
kemampuan dan kecermatan dalam mengindentifikasi, menganalisa dan
menetapkan prioritas permasalahan, mencari alternatif penyelesaian dari suatu
masalah dan memutuskan penyelesaiannya.
Top Related