BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier. Atresia
bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia
bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah
terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah
yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka
keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka
angka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus ditegakkan
sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu 1
I.2. Epidemiologi
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier
yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai
37-38 bayi atau 23% dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di
Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di
dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).2
1
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika
(1,5%) 1
Kasus Atresia Bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di Belanda, 5,1/100.000
kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelahiran hidup
di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang. 3
2
BAB II. ATRESIA BILIER
II.1 Definisi
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus
bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik
yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi
penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk 1, 4, 5
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia) 65 – 90 %
Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau
peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.
Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form 10 – 35 %
Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2 minggu
kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir
dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus,
polysplenia, malrotasi, dan lain-lain. 7, 8
3
Gambar 1. Atresia Bilier
Gambar 2. Sistem Hepatobiler
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis , (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanya normal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung
empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan
tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus
atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II 1
4
Gambar 3. Klasifikasi Atresia Bilier
a. duodenum, b. common bile duct, c. common hepatic duct, d. cystic duct, e. gall
bladder, f. liver, g. liver.
II.2. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi
17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian
besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak
duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi 1
5
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia bilier bukanlah penyakit yang
diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1
anak yang menderita penyakit tersebut 6
II.3. Patofisiologi
Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara ekstensif dalam bedah
spesimen dari sistem bilier extrahepatic yang didapat dari bayi yang mengalami
portoenterostomy, patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami. Masalah Atresia Bilier yang
muncul pada bentuk fetal berhubungan dengan anomali kongenital lain. Namun, pada bentuk
yang lebih umum, yakni tipe neonatal ditandai oleh lesi inflamasi yang progresif, yang
diakibatkan infeksi atau racun yang menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen infeksi yang
telah diteliti oleh beberapa studi telah mengidentifikasi peningkatan titer untuk reovirus
antibodi tipe 3 pada pasien dengan atresia bilier bila dibandingkan dengan kontrol. Virus
lainnya yang teridentifikasi, termasuk rotavirus dan sitomegalovirus (CMV),. 1, 7
Gambar 4. Histopatologi Atresia Bilier
6
II.4. Gejala Klinik
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah
iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda
klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi pada waktu lahir biasanya
baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3. Kolestasis
ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan itu sebagai
upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila
selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya
adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul
berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi
Ikterus
Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya ikterus
akan menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia biler, ikterusnya
akan semakin nyata dalam 2-3 minggu
Urin yang berwarna gelap
Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian bilirubin
terfiltrasi melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.
Feses Acholic
Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk
mewarnai feses.
Penurunan berat badan 1, 4, 9
7
II.5. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier
Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan peningkatan
berat badan selama minggu pertama kehidupan.
Hepatomegali
Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.
Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung 7
II.6. Pemeriksaan Penunjang 1,6
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah, urin, tinja)
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai
dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT
< 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali
dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut
Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier.
8
Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkali
fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya
10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam
empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan bila
pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah
minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier
kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak
ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai
akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis
intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus
normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke
usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat
juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop
9
di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar
98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic
Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) mcrupakan
upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis
intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai
baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,
sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi,
dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca
operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila
diameter duktus 100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan
Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk
menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,
10
terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia
bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
melakukan biopsi pada usia < 6 minggu
II.7. Diagnosa
Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih
seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna
tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar. Kriteria ini (Tabel 1)
mempunyai akurasi diagnostik sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi, yaitu
gambaran histopatologik hati.
Data klinis Kolestasis ekstrahepatik Kolestasis intrahepatik
Warna tinja selama dirawat
pucat 79% 26%
kuning 21% 74%
Berat lahir (gram) 3200 2700
Usia saat tinja akolik (hari) 16 30
Ukuran dan konsistensi
hati yang abnormal
87% 53%
Biopsy hati
Fibrosis portal 94% 47%
Proliferasi duktular 86% 30%
11
Thrombus empedu
intraportal
63% 1%
Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis
Intrahepatik dan Ekstrahepatik
II.8. Diagnosa Differential
Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
Perforasi spontan duktus bilier
Massa (neoplasma, batu)
Inspissated bile syndrome
Hepatitis neonatal idiopatik
Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).
Hepatitis
II.9. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa 1
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam
litokolat), dengan memberikan :
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim
glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim
sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran empedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin
memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
12
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
Terapi bedah 2,6
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati
atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan
yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8
minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya
perlu dilakukan pencangkokan hati.
13
Gambar 5. Kasai Prosedure
Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati
pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit
dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Penderita
penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan
penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya
pilihan pengobatan adalah pencangkokkan hati.
Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.
Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah
mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk
dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari
anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru
ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut
"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia
bilier.
II.10. Komplikasi
Kolangitis: komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. This occurs particularly in
the first weeks or months after the Kasai procedure in 30-60% of cases (72, 73). Hal ini terjadi
terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60%
kasus. This infection may be severe and sometimes fulminant. Infeksi ini bisa berat dan kadang-
kadang fulminan. There are signs of sepsis (fever, hypothermia, impaired haemodynamic
14
status), recurrent jaundice, acholic stools and perhaps abdominal pain. Ada tanda-tanda sepsis
(demam, hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan
mungkin timbul sakit perut.The diagnosis can be confirmed by cultures of blood and/or liver
biopsies (73). Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati. The
treatment requires IV antibiotics, and effective intravenous resuscitation.
Portal hypertension: Portal hypertension occurs in at least two-thirds of the children after
portoenterostomy (74, 75), even in those with complete restoration of the bile flow.Hipetensi
portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy.The most common site of varices are in the oesophagus, stomach, at the site
of the Roux loop anastomosis and the anorectum. Hal paling umum yang terjadi adalah varises
esofagus.If the Kasai operation has clearly failed with poor biochemical liver function and
persisting jaundice then liver transplantation is indicated. In those cases with good liver
function and an absence of jaundice, endoscopic therapy may be the only treatment necessary
(76, 77).
Hepatopulmonary syndrome and pulmonary hypertension: As in patients with other causes of
spontaneous (cirrhosis or prehepatic portal hypertension) or acquired (surgical) portosystemic
shunts, pulmonary arteriovenous shunts may occur even after complete clearance of jaundice
(hepatopulmonary syndrome).Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti
pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal)
atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin
terjadi.Typically this causes hypoxia, cyanosis, dyspnoea and digital clubbing, the diagnosis
being confirmed by confirmed by pulmonary scintigraphy. Biasanya, hal ini menyebabkan
hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy paru.
Alternatively, pulmonary hypertension can occur in cirrhotic children and be a cause of malaise
and even sudden death.Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan
sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak.The diagnosis in these
cases is suggested by echocardiography. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh
echocardiography.Liver transplantation reverses pulmonary shunts (81), and can reverse
15
pulmonary hypertension at its early stage (82). Transplantasi liver dapat membalikan shunts,
dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
Malignancies: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas (84) and cholangiocarcinomas (85) have
been described in the cirrhotic livers of patients with BA, in childhood or adulthood.Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien
dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis.Screening for malignancy has to be
performed regularly in the follow-up of patients with successful Kasai operations. Skrining
untuk keganasan harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi
Kasai yang berhasil.
Outcome after unsuccessful Kasai operationHasil setelah gagal operasi Kasai
Biliary cirrhosis is progressive if the Kasai operation fails to restore the bile flow, and
should lead to liver transplantation.Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk
memulihkan aliran empedu, dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati.This is
usually performed in the second year of life, but may be necessary earlier (from 6 months of
life) in case of rapid deterioration in the liver disease. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua
kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan
dari hati. Biliary atresia represents more than half of the indications for liver transplantation in
childhood. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi hati di
masa kanak-kanak. It may also be required in those cases where there is an initially successful
outcome after the Kasai operation usually due to recurrence of jaundice (secondary failure of
the Kasai operation), or to various complications of cirrhosis (eg hepatopulmonary syndrome).
Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi
16
Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk
berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).
II.11. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%, sedangkan
bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34,43%.
Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia
76 jam.
Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik hati, tidak adanya duktus
bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.
BAB III. KESIMPULANAtresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam
hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk
Klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
17
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung
empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Pada atresia bilier operasi lebih baik dilakukan pada usia < 8 minggu karena tingkat
keberhasilannya lebih baik daripada operasi dilakukan pada usia > 8 minggu. Tetapi bila dengan
operasi Kasai tidak berhasil atau tidak membaik, maka harus dilakukan transplantasi hati
DAFTAR PUSTAKA1. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta. Available from
: url :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilier086.html
18
2. Widodo Judarwanto. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. Available from : url :
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier-waspadai-bila-
kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
3. Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :
http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html
4. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of Medicine.
2010. Available from : url : http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
5. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Biliary Atresia. Available from : url :
http://www.naspghan.org/user-assets/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
6. Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available from: url :
http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
7. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from : url : http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-
ena504-pkb.pdf
8. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia. USA :
2006. Available from : url :
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf
9. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available from : url :
http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm
19